Surga Quotes

Quotes tagged as "surga" Showing 1-14 of 14
Windry Ramadhina
“Hujan turun membawa serta malaikat surga.”
Windry Ramadhina, London: Angel

Mouloud Benzadi
“Lucu bagaimana orang-orang memilih untuk percaya pada sihir, mukjizat, takdir, dan segala jenis kepercayaan takhayul, tetapi bukan pada diri mereka sendiri!”
Mouloud Benzadi

Lenang Manggala
“Surga, adalah masa kanak-kanak. Sisanya, adalah janji Tuhan yang bebas untuk kau percayai ataupun tidak.”
Lenang Manggala, Perempuan Dalam Hujan

“tak ubah nya hantu di keramaian,
tatapannya, seolah berkata ;
Setiap perlakuan, ada harga yang harus di bayar anak adam
Walau tuntas pun tak kan membuat surga di hati para pendendam.
.
.
.
.
#andradobing”
andra dobing

Hanum Salsabiela Rais
“...Setiap hari dia harus tidur lebih awal. Lalu saat sepertiga malam, dia harus bangun. Minta dirinya mencuci muka. Lalu membuka tirai jendela kamarnya dan pandanglah malam yang penuh bintang dengan sorot bulan. Tundukkan kepalanya, resapi apa kesalahan yang selama ini telah dia lakukan dalam hidupnya, dan katakan, ‘Ampunilah aku, Tuhan, atas segala perjalanan hidup yang tak menyusuri perintah-Mu. Masukkan aku ke dalam surga-Mu jika Engkau menghendakiku kelak’. (42)”
Hanum Salsabiela Rais, Bulan Terbelah di Langit Amerika

“Surga itu kondisi ketika hatiku dan hatimu tak berjarak lagi.”
Danu Saputra
tags: hati, surga

Dian Nafi
“Amalan-amalan apakah yang semestinya wanita lakukan agar dia dirindukan surga?”
Dian Nafi, Bidadari Surga Pun Cemburu

Dian Nafi
“Ya Allah, jgn jadikan waktu ini masa terakhir bagiku dg rumah-Mu. Sekiranya Engkau jadikan bagiku masa terakhir, maka gantilah surga utkku”
Dian Nafi, Miss Backpacker Naik Haji

Lucia Priandarini
“Bu, maafin Bima ya. Bima tiap saat berdoa, kalau Bima masuk neraka, Ibu jangan sampai ikut,” Bima berusaha biasa saja, padahal dalam hati ia menahan tangis
Ibu Bima terkesiap, menatap putranya, tapi juga mencoba biasa saja, “Kalau Ibu berdoanya tiap saat, semoga kamu masuk surga.”
“Emang masih bisa ya, Bu?” tanya Bima polos.
“Bim, kalau Ibu aja pelan-pelan bisa maafin kamu, apalagi Allah.”
Bima terhenyak.

“Tapi Bu, kalau Bima boleh minta, Ibu juga harus bisa maafin diri Ibu sendiri,”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru

Dian Nafi
“Siapakah sesungguhnya wanita yang layak menjadi penghuni surga?”
Dian Nafi, Bidadari Surga Pun Cemburu

“Kadangkala, Ia turun. Sekedar memastikan Ibunya bahagia.
Aku bisa menjaga Ibumu. Kau di Langit saja, Bermainlah.”
nom de plume
tags: anak, surga

“Justru karena kita nggak punya gambaran surga sebenarnya maka dibutuhkan pengalaman biar bisa membayangkan. Islam turun kepada orang-orang yang tinggal di gurun pasir maka gambaran sungai jernih mengalir, hutan lebat, dan taman indah menjadi wujud surga yang diidamkan.”
Ahmad Khadafi, Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali

“Akal-akalan orang Jakarta yang sekali datang ke Kopi Klothok memang ajaib benar. Orang-orang terbelakang itu sepanjang hayat di Jakarta hanya melihat beton, aspal, dan trotoar. Sehingga ketika mereka liburan ke Sleman, melihat sawah lapang, tinggi merapi, sayur lodeh, dan pisang goreng memuat mereka serasa di Surga. Surga buat orang kota, petaka bagi orang di sini.”
Arman Dhani, Usaha Mencintai Hidup

Titon Rahmawan
“Membayangkan Surga

Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay?
Serupa senja yang tumbuh
dari sebatang pohon
di sebuah tempat
yang kau bayangkan
seperti surga.

Cahaya lampu itu
menyapu wajahmu
dengan warna lembayung
dan berkilau seperti pelangi.
Tapi tak ada apa pun
kutemukan pada seri wajahmu
selain nafsu yang tertahan
dan seulas senyum kemesuman.

Tepat di puncak penantian
dari segala perhatian
yang tertuju pada dirimu.
Mata yang tak pernah menyadari
tersesat dalam raga belia
yang entah milik siapa.
Aura kemudaan
yang berasa sia-sia.

Telah kau reguk
semua kebahagiaan
dari ekspresi wajah tolol
yang ditunggangi
oleh nafsu alter egonya.
Atau barangkali,
telah habis kau hirup
wangi kelopak mawar hitam
yang tumbuh di ranjangmu
setiap pagi.

Sudah lama sekali rasanya
waktu berlalu.
Seperti ketika, kau masih suka
nongkrong di cafe
sambil meneguk cappucino
dari cangkir porselen
yang perlahan mulai retak.

Sementara laju usia
mengalir di tenggorakanmu
yang bening bagai pualam.

Waktu meninggalkan jejak buta
di dalam handphonemu.
Menyisakan tatap mata orang
yang tak lagi mampu menafsirkan
apa yang telah engkau lakukan.

Bukankah,
mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang?
Tak satu pun dari mereka percaya bahwa usiamu belum lewat
dua puluh tahun.

Siapa mendamba
merah muda anggur kirmizi
yang tumbuh di dadamu?
Tak satu pun telinga
sanggup melawan sihir
dari gelak tawamu yang getir.

Mata bodoh
yang tak sanggup melupakan
bayangan pisang matang
kau kunyah dengan brutal
sebagai kudapan
di tengah jeda pertunjukan.

Hidup tak seperti kecipak ikan
di dalam aquarium transparan
tertanam di dinding.
Air kolam di pekarangan
menjelma jadi bayangan jemari
tak henti menggapai.

Gelembung kekhawatiran
yang tak sanggup memahami
makna puisi
yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu.

Taman yang kau bayangkan itu, Kay bukanlah surga yang sesungguhnya.
Di sana tak ada sungai keabadian
atau pangeran tampan
yang menunggu kehadiranmu
dengan kerinduan.

Yang ada cuma kelebat kilat
dan hujan airmata hitam.
Mengucur seperti lendir laknat
yang mengalir dari hidungmu
saat kau meradang
karena influensa.

Tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay.
Hanya sedikit tersisa cerita
yang busuk dan menjijikkan
sebagai satu-satunya obrolan
untuk perintang waktu.

2024 - 2025”
Titon Rahmawan