Dua Garis Biru Quotes

Rate this book
Clear rating
Dua Garis Biru Dua Garis Biru by Lucia Priandarini
203 ratings, 3.70 average rating, 42 reviews
Dua Garis Biru Quotes Showing 1-22 of 22
“Untuk sebentar, mereka bahagia. Untuk sejenak, semua terasa sempurna. Mereka tertawa bersama, meski tahu ini tak untuk selamanya.
Tapi bukankah semua kehidupan begitu?
Untuk beberapa saat, mereka tidak ingin mengingat, bahwa setelah ini ada yang akan berkemas menjauh.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Ingatan, memang adalah kotak yang perlu terus dikunjungi untuk melukis peta ke depan, menyadari mana yang perlu dipugar, dan mana akan terus dibawa jadi bagian diri. Dara ingin ingatan yang ini terus hidup dan terus tercipta lagi dalam keluarga mereka.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Bu, maafin Bima ya. Bima tiap saat berdoa, kalau Bima masuk neraka, Ibu jangan sampai ikut,” Bima berusaha biasa saja, padahal dalam hati ia menahan tangis
Ibu Bima terkesiap, menatap putranya, tapi juga mencoba biasa saja, “Kalau Ibu berdoanya tiap saat, semoga kamu masuk surga.”
“Emang masih bisa ya, Bu?” tanya Bima polos.
“Bim, kalau Ibu aja pelan-pelan bisa maafin kamu, apalagi Allah.”
Bima terhenyak.

“Tapi Bu, kalau Bima boleh minta, Ibu juga harus bisa maafin diri Ibu sendiri,”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Isi kamar itu bak kekacauan yang masih berusaha ditata. Kekacauan yang adalah keseharian normal Bima.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Seumur hidup, kini ia baru tahu begini rasanya punya rahasia besar. Seperti menenteng sebuah botol penuh gas beracun. Sekali terjatuh, sumbat dan gasnya akan terlepas dan membuat semua jatuh sekarat, atau berlarian menjauh. Lalu ia jadi yang paling bersalah sedunia.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Pria bisa pergi. Tapi perempuanlah yang membawa anak mereka ke mana-mana, yang harus menerima tubuhnya berubah, dan mungkin juga masa depannya.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Tidak ada yang paling membunuh selain rasa bersalah dan menyesal.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Lagipula, apa benar cowok itu tidak boleh nangis? Bolehnya apa? Marah saja? Bukankah marah itu tanda orang tidak bisa menguasai diri sendiri?”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Ia bahkan tidak bisa bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Bagaimana mau bertanggung jawab atas orang lain?”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Butuh seumur hidup untuk merencanakan dan menata hidup, dan hanya sedetik pilihan yang salah bisa meruntuhkan semuanya.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Dara sadar, kebebasan juga adalah penjara. Setiap pilihan tidak bebas dari konsekuensi.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Bima sungguh sadar, dirinya jauh dari baik sebagai pendamping. Tapi ia tidak gentar belajar, mencoba, gagal lagi, terhempas lebih keras, tapi ia akan kembali siap.

Tak bisa kah begitu?”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
tags: mimpi
“Dara tahu dirinya tidak berbakat berpura-pura. Ia salut pada orang yang bisa menyembunyikan banyak hal dalam hidupnya.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Ibu Dara berdiri mematung menatap putrinya. Ada perasaan yang sulit ia kenali. Ia merasa….dibohongi. Terkhianati. Ibu Dara merasa sudah cukup sering memberitahu Dara untuk menjaga dan mencintai diri. Apakah Dara tidak mendengarnya?”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Badan Bima duduk dalam ruang kelas, tapi pikirannya menyusup ke lorong-lorong yang ia sendiri tak kenal. Di hadapannya ada lembar ujian tengah semester (UTS) Matematika, tapi ia sendiri tidak bisa berhenti berhitung menakar masa depannya.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Bima tahu persis masalah yang ini tidak akan selesai hanya dengan minta maaf. Konsekuensinya seumur hidup.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Bima jarang sedih. Kalaupun sedang sedih, ia senang menyembunyikannya. Tetapi yang ini tidak mampu ia simpan sendiri. Tidak mampu disimpan sendiri, tapi juga tidak bisa ia ceritakan.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Bima tidak menyesal bersama Dara, tapi ia menyesal telah mengacaukan hidup gadis sebaik Dara.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Lama kemudian, Dara hanya berusaha tenang. Tetapi berusaha tenang adalah sikap yang paling tidak menenangkan.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Dara merasa melihat semua impiannya mati satu persatu di hadapannya. Berjatuhan karena tangannya sendiri.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Cuma karena bisa bukan berarti gue suka ya.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru
“Sejak peristiwa itu, Dara merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Tubuhnya seperti sudah melawan akal sehatnya. Dan ia membiarkan akalnya kalah.”
Lucia Priandarini, Dua Garis Biru