Santhy Agatha's Blog, page 8
June 1, 2013
Embrace The Chord Part 5

"Kelas Jason akan dimulai lusa." Calvin yang datang pagi-pagi ke rumah Rachel untuk menumpang sarapan - seperti yang biasa dilakukannya hampir setiap hari - menatap Rachel dengan pandangan penuh ingin tahu, "Jadi kau belum berubah pikiran tentang tawaran Jason?"
Rachel menelan susu cokelatnya dengan susah payah ketika topik itu diangkat. Sebenarnya, semalaman dia memikirkan keputusannya, dan kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah dia terlah bertindak terlalu dangkal dan bodoh? Apakah sebetulnya Calvin benar-benar tidak apa-apa kalau Rachel mengambil kesempatan yang ditawarkan Jason kepadanya itu?
Calvin sendiri tampaknya tidak memperhatikan pikiran yang berkecamuk di benak Rachel, dia sibuk mengunyah wafel enak buatan mama Rachel, dan kemudian lelaki itu seolah teringat sesuatu, dan mendongakkan kepalanya,
"Biasanya sebelum kelas Jason akan ada pesta perayaan, sejenis pesta dansa dan diadakan di akademi dengan mengundang semua murid, sekaligus sebagai pesta tutup tahun. Para guru akan datang, dan orang-orang penting di dunia musik akan datang."
"Oh ya, pesta itu." Rachel tahu tentang pesta itu, biasanya dihadiri oleh para murid senior, guru dan orang-orang penting di bidang musik. Pesta itu juga menjadi ajang pertemuan antara para siswa yang sedang menapaki karier di bidang musik dengan orang-orang penting yang telah lebih dahulu menanjak. Tetapi sampai sekarang, Rachel belum pernah sekalipun ikut ke pesta itu, selain karena dulu dia masih kelas yunior, mama Rachel melarang Rachel mengikuti pesta di malam hari ketika usianya masih tujuh belas tahun atau di bawahnya.
Tetapi sekarang Rachel sudah delapan belas tahun. Mamanya mungkin akan mengizinkannya mengikuti pesta itu.
Diam-diam Rachel melirik ke arah Calvin, lelaki itu tampak tampan sekali dengan bibir tipis dan hidung mancung yang terpadu sempurna. Mungkin... mungkin kalau Calvin menemaninya ke pesta itu, mamanya akan lebih setuju lagi untuk membiarkannya datang ke pesta itu.
Rachel langsung membayangkan, itu adalah pesta dansa. Jadi kalau dia datang berpasangan dengan Calvin, ada kemungkinan dia akan berdansa dengan Calvin, diiringi musik waltz yang romantis, dalam gaun yang seperti puteri.... ya ampun... rasanya mimpi itu indah sekali.
"Maukah kau datang ke pesta itu bersamaku? setahuku pestanya akan diadakan besok malam." tiba-tiba Calvin bergumam, membuat Rachel tertegun dengan mulut menganga, tidak percaya akan pendengarannya.
"Apa??"
Calvin meneguk susu cokelatnya dengan santai, "Sebenarnya aku ada janji dengan Anna, tetapi dia akan datang dengan ayahnya, kau tahu ayahnya sangat menjaganya jadi tidak mengizinkannya datang ke pesta dengan pria, apalagi pestanya di malam hari... Ayahku juga sama, dia terus menerus menyuruhku melakukan riset tentang permainan biola setiap malam dan pasti akan melarangku mendatangi pesta, nah kupikir-pikir aku akan mengajakmu datang ke sana saja kita berangkat dari sini berbarengan, jadi. aku bisa beralasan bahwa aku mengantarmu untuk berkompromi dengan Jason."
Perasaan Rachel yang melambung langsung merosot jatuh dengan kerasnya, benaknya terasa sakit dan beku, seperti diguyur oleh air es. Rasa sakit langsung menyeruak di dada Rachel, semua impiannya untuk berdansa bersama dengan Calvin, melewatkan malam romantis dengan hubungan lebih dari kakak adik ataupun sahabat dekat langsung musnah begitu saja.
"Rachel?" Calvin bertanya ketika Rachel hanya terpaku dan tidak memberikan tanggapan apa-apa, "Jadi bagaimana? Kau akan pergi denganku atau tidak? kau mau membantuku bukan Rachel?" Calvin melemparkan tatapan mata penuh permohonan, "Aku mohon, karena pertemuan dengan Anna amat sangat berarti untukku."
Rachel tergeragap, lalu dengan pedih menganggukkan kepalanya, "Tentu saja aku akan pergi denganmu, Calvin."
***
"Pergi dengan Calvin?" mamanya mengangkat alisnya, "Pesta itu berlangsung jam delapan sampai jauh larut malam, dan sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa." ada ketidaksetujuan di dalam suara mama Rachel, "Lagipula mama tidak pernah bisa datang ke pesta itu karena mama tidak kuat terjaga sampai malam..."
Rachel menghela napas panjang, mamanya sama saja seperti yang lain, selalu menganggapnya seperti anak kecil.
"Mama, aku sudah delapan belas tahun.... dan pesta itu juga dihadiri oleh siswa-siswa senior seumuranku, lagipula aku pergi dengan Calvin, dia akan menjagaku."
Sang mama tampak merenung, mempertimbangkan semuanya, lalu akhirnya menghela napas panjang,
"Oke baiklah, kau boleh pergi, tapi bilang pada Calvin bahwa dia harus sudah memulangkanmu sebelum pukul sebelas malam." Mama Rachel mengangkat alisnya sambil menatap anak perempuan semata wayangnya yang cenderung berpenampilan tomboi itu, "Pestanya besok, dan itu merupakan pesta dansa resmi, apakah kau sudah mempersiapkan gaun, Rachel?"
Rachel mengernyit. Gaun? hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya, dia menelaah isi lemarinya dan baru sadar bahwa dia hampir tidak punya gaun yang bagus. Semua gaunnya gaun santai, bukan dipakai untuk pesta, itupun hanya sedikit jumlahnya, selebihnya lemarinya dipenuhi oleh T-shirt dan celana jeans serta kemeja.....
Mamanya menatap ekspresi Rachel dan tersenyum geli, "Ayo kita pergi dan berbelanja gaun." gumamnya, tiba-tiba merasa bersemangat bisa mempunyai kesempatan untuk mendandani Rachel yang biasanya tidak mau berdandan itu.
***
Mereka akhirnya mendapatkan sebuah gaun setelah beberapa kali keluar masuk di kompleks perbelanjaan yang sangat ramai itu.
Gaun itu sederhana, berwarna ungu muda, nyaris putih, modelnya melekuk di tubuh sampai ke pinggang, lalu jatuh terjuntai melebar ke bawah, sampai semata kaki. Mamanya juga memilihkannya sepatu hak tinggi dengan warna senada untuk melengkapi penampilannya.
Rachel menatap gaun yang digantungkan oleh mamanya di lemarinya itu dan kemudian tersenyum miris.
Yah... secantik apapun penampilannya nanti, Calvin sepertinya tidak akan meliriknya, karena lelaki itu pasti akan memusatkan perhatiannya kepada Anna yang pasti beribu kali lebih cantik daripada Rachel.
***

Yah, Jason sedang berperan sebagai kekasih yang sempurna sebelum nanti menghancurkan Arlene jika waktunya tepat.
Jason memang selalu memilih pasangan yang lebih tua, dia memilihnya dengan hati dingin dan kejam, mencari yang semirip mungkin dengan ibunya, karena semakin mirip maka akan semakin puas hatinya ketika menyakiti mereka nanti....
Tiba-tiba saja bayangan akan Rachel melintas di benak Jason. Apakah Rachel akan datang ke pesta dansa itu? Jason tersenyum sini, seharusnya Rachel datang, dan dia pasti akan ditemani oleh Calvin, pasangan yang dibelanya mati-matian itu.
Yah... pesta itu akan sangat menarik kalau Rachel benar-benar datang, dia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat Rachel tidak berkutik lagi....
Tiba-tiba saja Jason tidak sabar untuk segera datang ke pesta itu.
***
Rachel menatap bayangannya di cermin dan mengernyit, dia tampak seperti perempuan yang berbeda malam ini, dengan gaun feminim dan riasan wajah tipis yang disapukan mamanya ke pesta.
Sang mama juga menatap cermin, tersenyum melihatnya,
"Nah, sekarang kau sudah siap untuk datang ke pesta." Mama Rachel mengedipkan sebelah matanya, "Ayo, temui Calvin yang sudah menunggu di bawah, dia pasti akan sangat terpesona kepadamu." gumam sang mama, membuat pipi Rachel memerah karena malu.
Hati-hati Rachel melangkah ke bawah, menuruni tangga, dia memang tidak terbiasa mengenakan sepatu hak tinggi, sekarang saja kakinya sudah terasa pegal. Rachel berdoa semoga kakinya bisa bertahan, dia tidak mau jatuh ataupun terkilir gara-gara sepatu ini.
Dan benar, sepertinya Calvin terpesona, karena lelaki itu membelalakkan matanya, lalu bersiul memuji ketika melihat penampilan Rachel.
"Wow..... gaun itu sangat cocok denganmu, Rachel. Kau benar-benar tampak seperti perempuan."
Pujian yang menggoda itu membuat Rachel membelalakkan matanya, "Memangnya selama ini aku tidak tampak seperti perempuan?"
Calvin tergelak, lalu mengulurkan tangan dan menggandeng Rachel menuju mobilnya,
"Aku baru sadar, selama ini aku jarang sekali memandangmu sebagai perempuan." gumamnya ringan.
Dalam perjalanan, Rachel merenungkan kata-kata Calvin... jadi begitu, Calvin jarang memikirkannya sebagai perempuan, karena itulah lelaki itu tampak amat sangat tidak peka dengan perasaan yang dipendam oleh Rachel kepadanya. Rachel menghela napas pedih, yah, mungkin selamanya dia harus bertahan, menahankan sakit hati karena selalu dipandang sebagai anak kecil, sebagai adik oleh Calvin.
Tapi... bukankah kata-kata Calvin tadi menyiratkan kalau dia mulai menyadari bahwa Rachel tampak seperti seorang perempuan? Mungkinkah gaun dan penampilan feminim ini memberikan kesempatan baginya? Mungkinkah Calvin terpesona dengannya hingga mempunyai perasaan lebih?
Yah. Rachel sungguh-sungguh berharap itu bisa terjadi.
***
Harapan Rachel langsung runtuh seketika ketika dia melihat penampilan Anna yang rupanya sudah menunggu Calvin di lobby ruang dansa. Anna luar biasa cantiknya dengan gaun warna merah gelap yang kontras dengan kulitnya yang cerah berkilau dan rambut cokelatnya yang panjang bergelombang sampai ke pinggang. Dan perempuan itu tampak seperti perempuan dewasa - Rachel melirik iri ke arah tubuh yang sintal dengan lekuk menonjol dan seksi di buah dada dan pinggulnya yang seperti gitar spanyol - Yah bagaimanapun juga, Rachel tampak seperti anak kecil jika dibandingkan dengan Anna.
Dan sepertinya Calvin juga berpikiran seperti itu, karena mata lelaki itu langsung berbinar ketika melihat Anna.
"Anna, kau cantik sekali." Calvin mengulurkan tangannya dan Anna langsung menyambutnya sambil tersenyum lebar.
"Kau terlalu memuji, Calvin."
"Aku tidak hanya memuji tapi sungguh-sungguh, bagiku kau adalah perempuan tercantik di pesta ini."
Kata-kata Calvin langsung membuat hati Rachel mencelos, untung saja dia berhasil menyembunyikannya dalam ekspresi datarnya ketika Anna akhirnya melihatnya dan menyapanya,
"Hai Rachel, apa kabar?"
Rachel mencoba tersenyum manis, "Kabarku baik." dia lalu melongok ke dalam ruang dansa, "Permisi sebentar, ada yang harus kulakukan."
Calvin tersenyum lebar, "Jam setengah sebelas kita bertemu di sini lagi ya Rachel, aku sudah berjanji kepada mamamu, dan dia akan membunuhku kalau aku tidak membawamu pulang tepat waktu."
Rachel hanya menganggukkan kepalanya, melirik sekilas kepada Calvin sebelum dia pergi, dan merasakan hatinya seperti tertusuk ketika menyadari bahwa perhatian Calvin sekarang sudah sepenuhnya tertuju kepada Anna.
***
Pesta itu ramai, dan semua orang tampak bercampur baur. Rachel memilih posisi di paling sudut, mencoba tidak mencolok dan kemudian menatap ke lantai dansa. Pesta ini meriah tentu saja, dengan jamuan makan malam yang melimpah ruah, tertata elegan di sudut-sudut ruangan, banyak orang yang makan sambil mengobrol dan tertawa bersama. Dan ketika musik dimainkan, beberapa pasangan langsung turun ke lantai dansa untuk berdansa.
Rachel menatap senyum-senyum di bibir para psangan itu. Dia pernah memimpikan berada di posisi yang sama, dengan Calvin tentunya. Sayangnya mimpi itu tidak terwujud....
Matanya tiba-tiba menangkap Calvin yang tengah menggandeng Anna sambil tertawa, mengajaknya ke lantai dansa. Dia tidak bisa mengalihkan pandangan matanya dari dua manusia yang tampak sangat serasi ketika berdansa itu... dan tiba-tiba saja, Rachel merasa seperti manusia paling merasan sedunia.

Suara itu terdengar di sampingnya begitu saja, membuat Rachel terkejut, dia menoleh dan melihat Jason sudah berdiri di sampingnya, lelaki itu berpakaian formal dan tampak amat sangat tampan dan elegan. Dan sepertinya lelaki itu terbiasa muncul tiba-tiba tanpa suara.
"Calvin bukan kekasihku, dia menganggapku sebagai adiknya."
Jason memiringkan kepalanya, ada senyum di sana, "Oh ya, dan kau menganggapnya seperti apa?"
Pipi Rachel memerah, menyadari bahwa Jason mungkin sedang menghinanya.
"Terserah aku menganggapnya seperti apa, itu bukan urusanmu." gumamnya dingin, lalu hendal melangkah pergi, tetapi langkahnya tertahan ketika Jason menahan dengan menggenggam pergelangan tangannya yang mungil.
"Hei, aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung, Rachel." suaranya lembut, seperti ajakan perdamaian, "Ayo kita berdansa."
Dan kemudian tanpa Rachel bisa menolaknya, Jason setengah menyeretnya ke lantai dansa.
Rachel berdiri dengan kaku, kebingungan. Dia sebenarnya sama sekali belum pernah turun ke lantai dansa sebelumnya, apalagi bersama seorang lelaki. Tetapi rupanya Jason adalah pasangan dansa yang sangat sabar, dengan lembut lelaki itu mengatur posisi tangan Rachel, dan kemudian membimbingnya bergerak mengikuti musik waltz yang lembut.
"Kau tidak pernah berdansa sebelumnya ya?" tebak Jason dengan cepat, membuat pipi Rachel memerah.
"Tidak." jawabnya singkat.
Jason terkekeh, "Sudah kuduga." celanya, "Jangan sampai kau menginjak kakiku." godanya.
Rachel membelalakkan matanya menatap Jason tersinggung, "Jangan kuatir, aku tidak akan menginjak kakimu yang berharga itu."
Kata-kata Rachel yang ketus itu entah kenapa membuat Jason malahan merasa geli, senyumnya makin melebar,
"Bagaimana dengan tawaranku? apakah kau berubah pikiran?"
Rachel tergeragap ketika langsung ditanya seperti itu, sebenarnya tadi dia sedang mencuri-curi pandang ke arah Calvin yang sedang berdansa dengan tubuh merapat ke Anna. Mereka tampak seperti pasangan kekasih... apakah itu benar? mungkinkah Calvin dan Anna sudah menjadi pasangan kekasih?
"Rachel." Jason tampak jengkel, "Aku bertanya kepadamu."
Rachel berdehem, mencoba mengingat pertanyaan Jason tadi. Apa kata Jason tadi?
Dan sebelum sempat Rachel menemukan jawabannya, seseorang menyela mereka, Rachel menoleh dan mendapati perempuan dewasa yang sangat cantik dan terlihat matang,
"Jason, panitia memintaku untuk memanggilmu, kau diminta memberikan sambutan." Arlene yang menyela tersenyum manis kepada Jason, dia bahkan tidak memandang ke arah Rachel, seolah-olah Rachel bukanlah perempuan yang berarti untuknya.
Jason mengerutkan keningnya, "Aku sedang berdansa, Arlene."
"Oke." kali ini Arlene mulai memperhatikan Rachel dan sedikit terkejut ketika melihat betapa mudanya Rachel. Tadi dia ke kamar mandi untuk memperbaiki riasannya, dan ketika kembali, dia mendapati bahwa Jason sudah berdansa dengan seorang perempuan. Dia memang menginterupsi dansa ini dengan tujuan memisahkan Jason dan perempuan itu... tetapi kalau perempuannya masih ingusan seperti ini, sepertinya Arlene tidak perlu cemas - perempuan ini jelas bukan selera Jason, dan bukan saingannya.
"Tapi panitia mengatakan bahwa kau harus memberi sambutan, Jason." Arlene tetap keras kepala, "Aku cuma menyampaikan pesan, dan kalau kau keberatan, kau bisa menyampaikan sendiri kepada mereka."
Rachel bisa melihat ada kilatan di mata Jason, hanya sekejap, tetapi kemudian kilatan itu menghilang dan berubah menjadi tatapan lembut, tatapan lembut yang ditujukan kepada Rachel,
"Oke. Maafkan aku Rachel. Aku harus memberikan sambutan sialan itu." dan kemudian dengan sopan, Jason melepaskan pelukan dansanya, lalu meraih jemari Rachel, dan mengecup punggung tangannya dengan lembut.
Ketika Jason berlalu, Rachel masih tertegun di sana, menatap punggung tangannya yang terasa panas. Kecupan di tangannya ini membawa kembali memori yang sudah berusaha dihapusnya, memori tentang ciuman Jason waktu itu kepadanya....dan tiba-tiba saja pipinya memerah seperti kepiting rebus.
***
Ketika Jason menaiki panggung, semua orang langsung memusatkan perhatian mereka kepada si tampan jenius biola yang sangat terkenal itu. Semua orang tentu saja mengagumi penampilan Jason, dan juga keahlian bermainnya yang luar biasa.
Jason tersenyum kepada semuanya, meski senyum itu tidak sampai ke matanya,
"Terimakasih atas semua yang hadir di pesta ini, dan terimakasih kepada semua yang menganggap saya pantas berdiri di sini untuk memberi sambutan. Selamat datang juga kepada para siswa senior yang duapuluh di antaranya akan menjalani kelas khusus bersama saya mulai besok. Saya harap kalian semua menyiapkan diri, dan bagi yang belum lolos, saya yakin masih ada kesempayan di tahun depan."
Rachel menatap ke arah Jason, dan mau tak mau mengagumi ketampanan lelaki itu, bahkan dari jauhpun Jason tampak amat sangat tampan - sayangnya ketampanan itu tidak dibarengi dengan kelakuan yang baik - Rachel langsung teringat akan deretan pacar-pacar Jason yang berjajar dan berganti seakan tiada habisnya, ya.. reputasi Jason sebagai pematah hati perempuan memang sudah melegenda, herannya banyak perempuan yang tetap saja mencoba menaklukkan hati Jason meskipun mereka tahu bahwa Jason berbahaya.... mungkin para perempuan itu ingin saling berlomba menjadi perempuan yang berhasil menaklukkan hati sang penghancur perempuan...
Lamunan Rachel terputus ketika dia merasakan Jason menatapnya dalam-dalam, dan sebelum Rachel sempat berpikir, tiba-tiba Jason sudah bergumam di atas panggung.
"Dalam kesempatan ini saya ingin memperkenalkan murid khusus saya, hanya ada satu orang murid yang saya pilih untuk menjadi anak bimbingan saya secara intensif, mungkin dalam beberapa waktu ke depan." Jason mengedikkan dagunya ke arah Rachel, membuat semua mata langsung terpusat kepada Rachel.
Jason tampak tersenyum puas melihat ekspresi Rachel yang kebingungan dan tak bisa berkata-kata, lalu melanjutkan, "Malam ini saya akan mempertunjukkan duet biola saya bersama Rachel sebagai persembahan kepada semua orang." lelaki itu lalu mengulurkan jemarinya ke arah Rachel yang terpaku seperti orang bodoh di tengah ruangan, sementara semua mata memandang kepadanya, "Mari Rachel, naiklah ke panggung." sambung Jason kemudian, ada senyum puas di sana ketika melihat bahwa Rachel sudah mati kutu dan tidak bisa membantah.
Rasakan kau perempuan keras kepala. Gumam Jason dalam hati. Sekarang tidak ada alasan bagi Rachel untuk menolaknya.
Bersambung ke part 6
Published on June 01, 2013 12:41
Crush In Rush Part 13

Kiara membuka matanya dan mendadak merasa kehilangan orientasi. Dia kebingungan menyadari dirinya berada di atas ranjangnya. Bukanlah semalam... Kiara sedang duduk minum teh di sofa, sementara Jason sedang berlatih serius dan mengurung diri di kamarnya setelah makan malam?Seingat Kiara dia mengantuk dan memutuskan memejamkan matanya sebentar di atas sofa, saat itu benaknya sedang berkecamuk karena Joshua tak kunjung pulang juga. Lalu sepertinya dia tertidur…Kalau begitu kenapa dia bisa berada di atas ranjang ini? Kiara terduduk, menatap sekeliling dengan bingung, apakah dia berjalan kembali ke ranjangnya tanpa sadar?Yah. Itu mungkin saja. Dengan bergegas, Kiara langsung menuju kearah kamar mandi, dia harus segera mandi dan menyiapkan sarapan pagi.***Ketika sampai di dapur, Kiara mengernyit melihat Joshua sudah duduk di sana, lelaki itu sedang menyesap secangkir kopi, kemudian tersenyum datar ke arah Kiara.“Hai, aku sudah bangun duluan darimu.” Gumam Joshua ramah, ada senyum di sana.Kiara langsung gugup, “Oh... Aku akan membuatkan sarapan untukmu.”‘Tidak usah.” Joshua mendorong cangkir kopi yang sudah dihabiskannya, “Aku cukup minum kopi saja, aku akan menjemput Carmila, kami berjanji akan sarapan bersama sebelum main golf.”Tangan Kiara yang membawa dua butir telur membeku, dia menoleh dan menatap Joshua bingung.“Kau akan pergi dengan Carmila lagi?”Joshua tertawa, “Tentu saja, kau lupa? Tantangan itu kan seminggu lamanya.” Lelaki itu lalu berdiri, meraih jaketnya yang tersampir di kursi, “Aku pergi dulu,” gumamnya dan kemudian sambil bersenandung, lelaki itu pergi berjalan keluar.Sementara itu Kiara masih terpaku kebingungan menatap bayangan Joshua yang menghilang di ambang dapur.Joshua...bersenandung?Tiba-tiba Kiara merasakan perasaan tidak enak yang mengglayutinya, perasaan yang dia tidak tahu itu apa. Yang pasti rasanya menyesakkan dada dan membuatnya ingin menangis.***
“Joshua pergi lagi?” Jason yang datang ke dapur untuk sarapan menatap Kiara yang murung. Meskipun begitu Kiara membuatkan nasi goreng keju yang sangat enak untuknya.“Dia pergi pagi-pagi sekali.”Jason terkekeh, “Seperti tidak sabar menghabiskan hari bersama perempuan itu ya.” Lelaki itu lalu tersenyum lembut, “Dan kita seharian di sini, menghabiskan hari yang membosankan... Hmmm...” Dia tampak berpikir. “Mungkin kau bisa ikut aku.”“Kemana?” Kiara menatap Joshua dan tampak agak tertarik.“Aku akan menemui mentorku untuk membicarakan persiapan resital tiga bulan lagi di Austria, setelah itu aku bebas. Kau bisa ikut aku, menunggu sebentar ketika aku berkonsultasi dengan mentorku, lalu kita mungkin bisa pergi ke taman hiburan, atau tempat lainnya yang ingin kau kunjungi.”“Taman hiburan?” mata Kiara melebar, begitu tertarik ketika mendnegar nama taman hiburan disebut, dia tahu dunia fantasi, atau sea world di Jakarta cukup terkenal, tapi yang dia tahu tiketnya cukup mahal, sehingga datang kesana hanyalah impian bagi Kiara. “Tapi… Tapi bukankah harga tiketnya mahal?” Kiara mengungkapkan kecemasannya, membuat Jason terbahak.“Kiara, begini-begini aku adalah pemain biola dengan bayaran tinggi, sekali-kali mentraktirmu tidak apa-apa buat kantongku,” gumamnya dalam senyuman, Jason lalu menghabiskan suapan nasi gorengnya, “Ayo siap-siap, kita berangkat sekarang, semakin pagi kita sampai, semakin banyak kesempatan kita untuk mencoba banyak wahana.”Setengah meloncat, Kiara pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian, membuat Jason melihatnya sambil tersenyum. Kiara sangat mirip dengan Keyna adiknya yang begitu lugu dan polos, dengan tubuh mungil dan wajahnya yang penuh binar.Ternyata Jason cukup lemah dengan perempuan-perempuan yang setipe adiknya. Lelaki itu mengangkat bahunya, ya sudahlah lagipula dia tidak ada pekerjaan hari ini, bermain ke taman hiburan tentunya menyenangkan, sekaligus bisa menghibur Kiara yang tampak begitu murung.Tiba-tiba Jason menebak-nebak, apakah Kiara begitu murung karena Joshua pergi lagi dengan Carmila hari ini?***

Malam telah tiba ketika Joshua pulang ke rumah, masih jam sembilan malam dan dia mendapati apartmentnya gelap. Tidak mungkin kan mereka semua sudah tidur? Joshua menyalakan lampu dengan kebingungan.Dan kemudian dia melangkah ke dekat kamar Kiara dan memanggil namanya, tidak ada jawaban, dia membuka pintu kamar Kiara yang tidak dikunci dengan hati-hati dan menemukan kamar itu kosong. Hal yang sama juga terjadi di kamar Jason.Joshua mengernyitkan keningnya, dan tiba-tiba merasa marah. Apakah Jason mengajak Kiara pergi bersamanya? Pergi kemana? Kenapa sampai malam sekali belum pulang?Joshua menekan nomor ponsel Kiara, tersambung tapi tidak diangkat-angkat, dia kemudian mencoba menghubungi nomor Jason yang ternyata tidak aktif.Dengan gusar dia mondar-mandir di ruang tengah, menunggu setengah marah setengah cemas. Kemana Jason membawa Kiara? Apakah Kiara bersama Jason? Ataukah dia pergi sendirian? Atau jangan-jangan ayah kandungnya merencanakan menculik Kiara ketika sendirian di rumah?Pikiran-pikiran buruk memenuhi benak Joshua, membuat kepalanya kalut dan pening. Hampir satu jam lamanya Joshua menunggu dengan cemas.Sampai kemudian ada suara-suara itu di pintu, suara tawa cekikikan. Lalu pintu apartment terbuka, menampakkan Jason yang sedang merangkul Kiara sambil tertawa, di tangan mereka ada kembang gula yang hampir habis setengahnya.Dua sejoli itu tertegun ketika melihat Joshua berdiri di tengah ruangan, menatap mereka berdua dengan marah.“Kemana saja kalian?” gumamnya dingin.Jason langsung sadar ada kemarahan di sana, dia langsung berdiri agak di depan Kiara, seolah melindunginya, dan kemudian tersenyum seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang berbeda.“Oh. Hai Joshua, kami kira kau akan pulang larut seperti kemarin.” Senyum Jason tampak tenang, “Aku mengajak Kiara ke taman hiburan.”Ekspresi Joshua mengeras. Hampir meledak, “Ke taman hiburan? Satu jam lebih aku menunggu kalian di sini cemas akan apa yang terjadi mencoba menghubungi ponsel kalian yang tidak bisa dihubungi, dan ternyata kalian ke taman hiburan dan bersenang-senang?” Joshua melemparkan tatapan marah ke arah Kiara, “Dan kau, kuharap kau tidak melupakan posisimu di rumah ini. Kau bukan salah satu dari kami. Tugasmu adalah menunggu rumah dan membersihkannya, mempersiapkan masakan. Karena kau adalah pelayan rumah ini. Mengerti? Apa perlu kuulangi? Kau hanyalah pelayan di rumah ini!”Mata Kiara melebar, tidak menyangka akan dikata-katai seperti itu, kenapa Joshua begitu marah? Apakah karena Kiara memang melanggar aturan? Seorang pelayan seharusnya memang menunggu rumah bukan? Kiara yang bersalah, memang Kiara yang bersalah.Joshua mengatakan bahwa dia bukanlah salah satu dari mereka... Ternyata Joshua sama saja dengan ayah kandungnya dan Carmila, memandang Kiara sebagai sosok dengan kelas yang lebih rendah dan lebih hina, karena asal usulnya yang tidak jelas...Mata Kiara berkaca-kaca, tetapi dia berusaha menyembunyikannya.“Maafkan aku...,” gumamnya dengan suara serak. Jason yang melihat Kiara hampir menangis menggertakkan giginya, menatap Joshua dengan marah, “Kiara tidak berhak diperlakukan seperti itu Joshua, kau tidak berhak menghinanya.”Pembelaan Jason terhadap Kiara, dan juga posisi Jason yang menutupi Kiara seolah melindungi Kiara dari dirinya semakin menyulut kemarahan Joshua, dia memandang Jason dengan dingin.“Kiara itu pelayanku, sudah hakku untuk memarahinya ketika dia melakukan kesalahan. Aku yang membayar gajinya, aku yang memberinya tempat bernaung dan memberinya makan. Jadi aku berhak melakukannya.” Mata Joshua bergumam sinis, “Dan kalau kau menginginkan pelayanan yang sama dari Kiara, seharusnya kau membawanya saja dan memberikan bayaran yang cukup untuknya, mungkin saja kau akan menerima pelayanan ekstra dari tubuhnya.” Mata Joshua menelusuri tubuh Kiara dengan tatapan melecehkan.Cukup sudah! Kiara tak sanggup lagi mendengarkan kata-kata hinaan Joshua kepadanya. Setengah mendorong Jason yang ada di depannya, Kiara berlari dengan berlinang air mata, masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.Jason menatap Joshua dengan marah, matanya menyala.“Kau keterlaluan Joshua, aku tidak tahu apa yang ada di otakmu itu, tapi kau tidak berhak menyakiti Kiara seperti itu!”“Oh ya? Apakah kau ingin memukulku? Apakah kau jangan-jangan menginginkan Kiara untukmu sendiri? Ingin memiliki tubuhnya yang menggiurkan itu?” Joshua membalas perkataan Jason dengan tantangan. Dan kemudian yang didapatkannya adalah sebuah tinju yang keras di mukanya.Jason melemparkan tinju itu dengan penuh emosi, napasnya terengah-engah karena marah, suaranya bahkan bergetar menahan kemarahannya. Tinju itu begitu keras sampai kepala Joshua mundur ke belakang.“Dengarkan kata-kataku ini baik-baik. Aku menyayangi Kiara karena dia mirip dengan adikku. Tidak pernah ada satupun pikiran kotorku terhadapnya, tidak sepertimu,” desisnya marah, “Dan kurasa persahabatan kita berakhir di sini, aku akan pergi dari rumahmu, dan membawa Kiara. Kurasa lebih baik kubawa saja dia pulang sebagai calon istriku kepada mamaku, daripada dia disini terus-menerus kau lecehkan. Aku pikir dulu kau tulus menolong Kiara, tapi ternyata aku salah. Pikiranmu picik, sama seperti ayah kandungmu!”Dan kemudian Jason berlalu, meninggalkan Joshua yang masih tertegun dengan rasa panas di wajahnya, bekas pukulan Jason.***

Joshua melemparkan tatapan cemasnya ke arah Jason.
bersambung ke part 14
Published on June 01, 2013 09:42
Another 5% Part 6

Hari ini Rolan sudah diperbolehkan pulang ke rumah.
Selly sangat bersemangat menunggu sore hari tiba. Selly sudah berjanji akan menjemput Rolan nanti sore sepulang kerja, mereka akan pulang ke rumah Rolan yang sudah lama sekali tidak pernah dikunjunginya sejak sakit. Rumah itu tentu saja masih terawat baik karena para pelayan yang setia selalu menjaganya, kedua orang tua Selly dulu juga tinggal di sana, tetapi mereka pada akhirnya memutuskan pindah ke rumah kecil di dekat sana dan menjalani masa pensiunnya dengan bahagia. Rolan sudah tidak sakit lagi, tidak akan ada lagi kecemasan dan kesedihan menggigit di hati Selly seperti di masa lalu, ketika melihat Rolan kesakitan karena penyakitnya.
Sekarang Rolan sudah sehat... ah betapa Selly masih tidak mempercayainya, meskipun hatinya tetap saja dipenuhi rasa syukur yang luar biasa.

"Ya Sir?" Tiba-tiba saja Selly merasa malu, Gabriel mungkin saja sudah mengawasinya sejak tadi, semoga saja Selly tidak membuat ekspresi bodoh ketika melamun tadi.
"Kau tersenyum sendirian, ada apa?" Suara Gabriel terdengar serius, tetapi entah kenapa Selly bisa mendengar nada geli di sana. Pipi Selly merona merah, Ya Ampun, dia benar-benar harus membiasakan diri seruangan dengan Gabriel, tidak ada pembatas di ruangan mereka yang berarti Gabriel bisa mengawasi Selly kapan saja. Lain kali Selly pasti akan berusaha lebih berhati-hati.
"Tidak... tidak ada apa-apa." Selly menjawab tergeragap, sedikit gugup menerima tatapan mata Gabriel yang tajam.
"Ada hal yang menyenangkan?" Gabriel bertanya datar, tidak mau menyerah.
Selly menghela napas panjang, akhirnya memutuskan untuk jujur,
"Calon suami saya, yang dirawat di rumah sakit.... dia, dia akhirnya sembuh dan diperbolehkan pulang."
"Oh ya?" Gabriel mengangkat alisnya lagi, "Itu sungguh kabar yang menggembirakan. Hari ini dia boleh pulang?"
"Iya Sir. Saya akan menjemputnya sepulang kantor."
"Tidak perlu menunggu pulang kantor, pergilah sekarang." Gabriel tersenyum.
Mata Selly membelalak, seakan tidak percaya, "Apa?" Selly butuh mendengar ulang kata-kata Gabriel tadi.
"Pulanglah sekarang, aku memberimu izin. Lagipula aku masih mempelajari berkas laporan yang kau buat kemarin dan belum ada tugas baru untukmu, jemputlah calon suamimu."
Selly ternganga, lalu akhirnya sadar untuk mengatupkan kembali bibirnya.
"Ah... ya... te.. terimakasih Sir."
Gabriel menganggukkan kepala, lalu mengalihkan tatapan matanya lagi ke berkas-berkasnya, sementara itu Selly dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya. Wah, sungguh tidak disangka atasannya ini berbaik hati kepadanya. Hatinya dipenuhi rasa syukur, senang karena dia bisa berjumpa dengan Rolan lebih cepat.
Setelah barang-barangnya beres, Selly berdiri dan menatap Gabriel yang masih sibuk menekuni pekerjaannya.
"Sa... saya pergi sekarang Sir, terimakasih sekali lagi." pamitnya cepat dan mendapat anggukan datar dari Gabriel.
Sepeninggal Selly, Gabriel meninggalkan berkas-berkas pekerjaannya dan merenung. Dia masih memikirkan arti puisi kuno kemarin..... apakah benar yang diduganya? Bahwa 'pengorbanan cinta sejati' itu menyangkut pengorbanan nyawa?
Kalau memang benar begitu, berarti Gabriel tidak perlu mencemaskan Rolan...karena lelaki itu pasti tidak akan mau mengorbankan Selly hanya untuk kemenangan.
Itu berarti Gabriel bisa menantang Rolan kapanpun dia mau dan tak perlu mencemaskan 'cinta sejati' Rolan.
*** Ketika keluar dari ruangan Gabriel, Selly berpapasan dengan rekan-rekan seruangannya dulu di bagian akunting, ada sekitar tujuh orang rombongan yang sepertinya hendak keluar makan siang,
Selly langsung menganggukkan kepalanya dan menyapa ramah,
"Hai, mau kemana?"
Rita yang dulunya duduk di seberang Selly yang menyahut, "Kami mau makan siang, kau sendiri mau kemana?"
"Aku... eh aku mau izin pulang, ada keperluan."
Kali ini Sinta yang mengangkat alisnya, "Pulang, sesiang ini? apakah bos mengizinkannya?" Bos yang dimaksud itu tentunya Gabriel.
Selly menganggukkan kepalanya, "Iya sudah diizinkan." Selly tersenyum lebar, "Kalau begitu aku pamit duluan ya." Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak, pandangan teman-temannya kepadanya terasa berbeda. Pandangan mereka semua tampak aneh, seperti jijik dan mencemooh....tidak ada lagi tatapan bersahabat seperti dulu.
Selly lalu menganggukkan kepalanya dan dengan langkah lebar mendahului semuanya yang masih bergerombol dan mengobrol di koridor, lalu masuk ke lift, ketika sampai di lobby bawah, Selly memutuskan untuk ke kemar mandi dulu.
Ketika dia selesai, Selly hendak keluar dari bilik kamar mandi kantor, ketika langkah-langkah kaki beberapa orang masuk.
"Kau lihat Selly tadi? sombong sekali mentang-mentang dia sudah menjadi asisten pribadi owner yang baru."
Suara Sinta yang terdengar begitu saja dari luar membuat tangan Selly yang sudah memegang handel pintu kamar mandi tertegun. Itu teman-temannya yang tadi... mereka semua sepertinya masuk ke kamar mandi di lobby ini... Mereka semua membicarakannya... astaga akan tampak sangat canggung kalau Selly keluar dari bilik kamar mandi sekarang. Selly lalu menghela napas panjang dan memutuskan untuk tidak keluar dulu.
Suara keran pancuran berbunyi, sepertinya ada yang mencuci tangan dan beberapa pasti sedang memperbaiki riasannya di kaca.
'Kau tahu, semua orang curiga kenapa Selly dipilih, padahal dia hanya staff biasa tanpa kemampuan apa-apa. Bahkan kemarin bu Sandra juga mengungkapkan hal yang sama kepadaku, dia mencurigai sesuatu." Itu suara Rita.
"Mencurigai apa?" Teman-temannya yang lain saling berbisik penuh ingin tahu, bagaikan semut yang mengerubuti gosip yang manis.
"Bahwa Selly punya hubungan dengan Owner baru kita Gabriel de Miguel." jawab Rita bersemangat.
Beberapa teman Selly yang lain tampak saling bergumam dan berbisik, lalu Dona, yang ada di rombongan teman-teman Selly menyahut,
"Kau sudah lihat wajah Gabriel, dia luar biasa tampannya, bagaimana mungkin dia bisa punya hubungan dengan Selly? pacar-pacarnya pasti dari kalangan atas dan luar biasa cantik."
"Yah, kalau pacar yang di depan umum sih mungkin saja dari kalangan atas, kan mereka buat dipamerkan... kalau simpanan kan berbeda." sela Rita mencemooh,
"Maksudmu?" suara yang lain kembali bertanya.
Rita terkekeh, "Kau kan tahu orang bule biasanya tertarik dengan kecantikan eksotis orang lokal, bisa saja Selly itu sebenarnya pelacur yang menjual diri dan menjadi simpanan Gabriel."
"Tapi bukankah Selly punya pacar? yang selalu dikunjunginya di rumah sakit itu?" kali ini Sinta yang bertanya.
"Ah, dengar-dengar pacarnya itu kan sekarat karena kanker, mungkin saja Selly mencari kesenangan lain di luar, lagipula pacarnya juga tak berdaya." Suara Rita merendah, "Hanya itu satu-satunya kesimpulan kenapa Gabriel memilih Selly sebagai asisten pribadinya, kalau memang Gabriel mencari yang kompeten, kenapa dia tidak memilih bu Sandra saja misalnya... pasti ada apa-apa... apa kalian tidak curiga akan apa yang mereka lakukan di ruangan tertutup itu seharian?"
Sampai di situ, Selly sudah tidah tahan lagi mendengarkan tuduhan kejam dan tidak berdasar itu. Oh astaga... sekejam itukah prasangka teman-temannya kepada dirinya? pantas saja tadi tatapan mata mereka tampak berbeda. Mata Selly berkaca-kaca.... dia sama sekali tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka...
Setelah berbisik-bisik ramai, rombongan teman-teman Selly itupun keluar dari kamar mandi. Selly menunggu lama masih tetap di dalam bilik kamar mandi, menunggu dalam keheningan. Setelah yakin semua temannya sudah jauh, Selly menghela napas panjang dan keluar. Dia kemudian berdiri di depan kaca yang berjajar, menatap wajahnya sendiri yang sembab. Air mata mengalir deras di pipinya tanpa bisa ditahankan.
Sekali lagi Selly menghela napas panjang, lalu mencuci mukanya, mencoba menghentikan tangis dan menyamarkan bekas air matanya. Setelah melap wakahnya dengan tissue, Selly melangkah keluar dari kamar mandi. Hatinya terasa sakit. Setiap patah kata yang diucapkan oleh teman-temannya tadi terngiang di benaknya... terasa semakin perih ketika dia mengulangnya kembali.
Pelacur.... bahkan teman-temannya tega menyebutnya dengan kata-kata kasar seperti itu..
Selly berjalan sambil merenung, dan kemudian tanpa sadar tubuhnya menabrak tubuh kokoh yang kuat itu, dengan aroma parfum cendana yang khas,
"Wah, sepertinya kau punya kecenderungan untuk menabrakku." Itu suara Gabriel, yang dingin dan tenang, lelaki itu berdiri di dekat Selly tampak menahan senyumnya.
Selly langsung gugup dan setengah meloncat menjauh satu langkah dari Gabriel, wajahnya merah padam karena malu.
"Oh ya ampun.." Kenapa Gabriel ada di lobby? "Maafkan saya Sir... saya sungguh tidak sengaja."
"Tidak apa-apa." Gabriel berdiri di sana, mengangkat keningnya, "Kenapa kau masih di sini? bukankah kau seharusnya pergi beberapa waktu yang lalu?"
"Iya... saya eh... tadi ke kamar mandi dulu." jawab Selly gugup, "Kalau begitu saya permisi dulu Sir." Selly merasa tidak nyaman, karena beberapa orang di lobby mulai menatap mereka berdua dengan tatapan penuh spekulasi. Segera setelah membungkukkan badannya sopan, Selly membalikkan tubuh dan menjauh, tetapi seketika itu juga jemari ramping Gabriel mencengkeram lengannya, membuat gerakannya terhenti.
Selly menoleh kembali, dan kali ini bertatapan dengan mata cokelat Gabriel yang sangat dingin.
"Kau menangis." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Selly membelalakkan matanya bingung, beberapa orang di lobby sudah memandangi mereka, tetapi Gabriel tampaknya tidak peduli.
"Saya tidak menangis." gumam Selly cepat. Dia sudah mencuci mukanya bukan? Seharusnya Gabriel atau siapapun tidak menyadarinya.
"Ada apa Selly?" suara Gabriel dingin dan mengintimidasi.
Wajah Selly langsung pucat pasi, "Tidak ada apa-apa Sir. Saya bersungguh-sungguh. Maafkan saya saya harus segera pergi." dengan nekad Selly menghentakkan pegangan Gabriel di lengannya, dan tanpa di duga, Gabriel melepaskannya begitu saja dengan mudah.
Selly langsung mengangguk tidak nyaman, berusaha untuk sopan, lalu berbalik dan melangkah terburu-buru meninggalkan lobby itu, dan meninggalkan Gabriel yang masih berdiri di sana, menatap tajam.
***
Selly harus menelepon Rolan. Dia menghela napas panjang, berdiri di ujung jalan sambil menunggu angkutan umum. Dia harus melupakan dulu insiden di kamar mandi tadi, hari ini seharusnya menjadi hari bahagia, Selly akan menjemput Rolan dan mereka akan merayakan kesembuhan Rolan bersama-sama. Dengan tegas Selly menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan kesedihan yang menggayuti benaknya. Dia harus ceria dan bahagia. Hari ini hari yang sangat penting untuk Rolan.
Ditekannya nomor telepon Rolan,

"Rolan. Aku akan datang lebih cepat, aku dapat izin dari bosku." gumam Selly ceria, "Tunggu aku ya, aku sedang dalam perjalanan ke sana."
"Oke sayang." Rolan menyahut tenang, "Aku sedang membesuk Sabrina di kamarnya, kalau aku tidak ada di kamarku, kau langsung ke kamar Sabrina saja ya, dan jangan buru-buru sayang, santai saja." gumam Rolan ceria, lalu meniupkan cium jauh kepada Selly sebelum mengakhiri percakapan telepon mereka.
Selly berdiri di sana dan termenung menatap ponselnya. Tiba-tiba perasaan aneh merayapi hatinya.
Rolan menengok Sabrina lagi?
Tiba-tiba terbayang di benaknya kecantikan Sabrina yang luar biasa, dengan wajah rapuhnya dan kulit yang seputih kapas tampak kontras dengan mata hijaunya yang lebar dan bening.
Ya ampun.. apakah Selly cemburu? Tiba-tiba Selly merasa malu kepada dirinya sendiri, seharusnya dia tidak boleh merasa cemburu kepada Sabrina. Sabrina sakit dan lemah, dia sendirian dan kesepian, Rolan pasti juga yang paling mengetahui perasaan Sabrina karena dia dulu pernah ada di posisi itu. Yang dilakukan Rolan pasti hanyalah bentuk empati terhadap penderitaan Sabrina.
Dan Selly tidak boleh berpikiran yang aneh-aneh tentang Sabrina dan Rolan...
Angkutan umum yang ditunggunya sudah datang, Selly menghentikannya dan bergegas masuk ke dalamnya. Hari ini adalah hari bahagia. Selly bergumam dalam hati. Dia dan Rolan pada akhirnya akan bersama-sama lagi.
***
Gabriel berdiri di sana, merasa frustrasi luar biasa. Ya, dia tidak terbiasa dengan orang-orang yang tidak mempan terhadap kekuatannya. Semua orang tunduk kepadanya, semua orang lemah di hadapannya.
Tetapi Selly satu-satunya - karena dia adalah cinta sejati Rolan - Selly menjadi satu-satunya manusia di dunia ini yang kebal terhadap semua kekuatan Gabriel. Tadi Gabriel berusaha membaca pikiran Selly, tetapi tidak berhasil, sama seperti kekuatan lainnya yang pernah Gabriel coba terhadap Selly dan kesemuanya gagal.
Kenapa perempuan itu menangis ketika keluar dari kamar mandi?
Gabriel melangkah ke dekat kamar mandi. Lalu menyentuhkan tangan di temboknya, memerintahkan semua benda di sana untuk menyalurkan kembali memori mereka atas kejadian sebelumnya.
Dan pemandangan itu muncul di pikiran Gabriel, Selly yang berada di kamar mandi, dan teman-temannya yang membicarakannya dengan kata-kata kasar dan penuh tiduhan.
Gabriel melepaskan jemarinya dari tembok, matanya membara.
Oke. Jadi itu alasannya...
***
"Selly yang menelepon?" Sabrina tersenyum lembut ketika Rolan menutup teleponnya.
Rolan menganggukkan kepalanya, "Ya. Selly dapat izin dari bos-nya dia bisa datang lebih cepat untuk menjemputku."
Ekspresi Sabrina tampak sedih, hingga Rolan mengerutkan keningnya,
"Ada apa Sabrina?"
Tiba-tiba saja Sabrina menangis, air matanya mengalir bening di pipinya yang pucat, "Tidak apa-apa... maafkan aku.. aku hanya merasa baru saja mendapatkan teman, dan tiba-tiba saja kau sudah harus pergi..."
'Hei... jangan berpikiran seperti itu." Rolan tersenyum, menundukkan kepalanya dan menatap Sabrina, "Aku pulang bukan berarti aku tidak akan mengengokmu lagi, aku masih akan sering ke rumah sakit ini untuk berkonsultasi dengan dokter Beni, dan juga aku pasti akan selalu mampir untuk menengokmu dan menemanimu mengobrol."
"Benarkah?" Sabrina mengusap air matanya, matanya tampak bercahaya, "Apakah kau berjanji bahwa kau tidak akan melupakanku, meski kau sudah pulang dan sembuh?"
"Aku berjanji Sabrina." Rolan bertekad akan memenuhi janjinya, Dirinya sudah diberikan anugerah oleh Tuhan, disembuhkan karena suatu mukjizat, dan sekarang gilirannya untuk membantu orang-orang yang menderita sama seperti dirinya yang dulu.
Mata Sabrina meredup, menatap Rolan penuh terimakasih, "Terimakasih, Rolan."
***
Pintu ruangan Gabriel diketuk, lelaki itu menyilangkan kakinya dengan tenang dan bergumam,
"Masuk."
Pintupun terbuka dan bu Sandra melangkah masuk ke ruangan itu dengan gugup.
"Anda memanggil saya?" Gabriel berada di tengah ruangan, di tempat yang luas itu, tetapi entah kenapa auranya begitu mengintimidasi, membuat bu Sandra merasa sangat gelisah sekaligus gugup... perasaan ini, sama seperti perasaan tikus yang dimasukkan hidup-hidup ke dalam kandang ular buas yang siap memangsanya.
"Ya, Ms. Sandra." Gabriel tersenyum, senyum yang kejam dan menakutkan, "Saya sudah menunggu anda, silahkan masuk."
Bersambung ke part 7
Published on June 01, 2013 05:04
May 31, 2013
Embrace The Chord Part 4

Rachel membelalakkan matanya, tangannya yang sedang menyuap sarapannya terhenti begitu saja di udara, dia terperangah,
"Apa?"
"Itu Jason..." Mamanya masih memasang ekspresi takjub yang sama, "Dia menelepon sendiri tadi dan..." lalu mamanya seolah tersadar, "Cepat Rachel, selesaikan sarapanmu, kita berangkat sekarang."
Lalu tanpa menunggunya, mamanya bangkit dari kursi, merapikan riasannya, meraih tas dan kunci mobil. Setelah sampai di pintu, mamanya menoleh dan mengernyit melihat Rachel yang masih bengong melihat tingkah sang mama.
"Kenapa kau masih di situ Rachel? Ayo cepat kita berangkat."
Rachel hanya mengangkat bahu, meletakkan makanannya dan meneguk susu cokelat di depannya. Matanya melirik sayang kepada sarapannya itu... yah padahal masih banyak... gumamnya dalam hati, mengutuk Jason yang menelepon pagi-pagi.
Tetapi baru kali ini mamanya bersikap terburu-buru dan panik seperti itu. Sepertinya terpilihnya Rachel menjadi murid khusus Jason benar-benar berarti baginya. Tiba-tiba saja Rachel teringat akan papanya, papanya adalah pemain biola..... mungkin jauh di dalam hatinya, sang mama ingin agar Rachel mengikuti jejak ayahnya.
***
Mereka sampai di halaman parkiran akademi musik itu, setelah sang mama memarkir mobil di area khusus pengajar, dia berjalan bersama Rachel melalui koridor, menuju ruangan direktur tempat janji temu mereka.
"Ini kesempatan besar, Rachel, dan mama tidak mau kau menyia-nyiakannya. Jason tidak pernah mengambil murid khusus sebelumnya, jadi kau adalah pertama dan yang terbaik."
Rachel cuma mangut-mangut, meskipun dalam benaknya dia kebingungan. Kenapa Jason memilihnya? Sekarang hal itu baru terpikir olehnya... bukankah di audisi kemarin banyak sekali anak-anak dengan teknik dan kemampuan yang lebih tinggi darinya? Apa yang istimewa dari Rachel yang hanya memiliki kemampuan musik standar?
Dan juga, Calvin pasti akan terkejut dengan berita ini..... ah Calvin! Tiba-tiba saja Rachel merasa bersalah.... harusnya Calvin yang mendapatkan kesempatan ini. Kemampuan teknik bermain biola Calvin tentu saja ada di atas Rachel, dan juga hasrat Calvin bermain biola lebih besar darinya, juga kekaguman Calvin terhadap Jason.
Rachel menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa melakukan ini kepada Calvin. Lelaki itu begitu baik hati, dan begitu mendengar kabar ini dia pasti akan menyalami Rachel dan mengucapkan selamat. tetapi Rachel tahu Calvin pasti menyimpan kekecewaan yang disembunyikan.
"Aku tidak bisa menerimanya, mama." Rachel bergumam keras, berusaha menarik perhatian mamanya yang berjalan terburu-buru di depannya.
Langkah mamanya terhenti, perempuan itu menoleh dan menatap Rachel terkejut,
"Apa?? Apa maksud perkataanmu itu?"
Rachel menggelengkan kepalanya sekali lagi, "Entah apa pertimbangan Jason memintaku menjadi murid khususnya, tetapi aku tidak bisa menerimanya mama, karena ini tidak adil terhadap mereka yang mempunyai hasrat bermain biola yang lebih murni dariku... aku...aku..."
"Kau memikirkan Calvin?" sang mama mengangkat alisnya, "Dia pasti akan mengerti, dia pemuda yang baik dan berjiwa besar, jadi dia akan mendukungmu dan ikut senang denganmu. Jangan sampai itu menghalangimu untuk maju, Rachel." mamanya menggandeng Rachel lalu mengajaknya berjalan lebih cepat menuju ruangan itu.
Mereka sampai di depan pintu ruang temu, dan mama Rachel mengetuknya,. dalam sekejap pintu terbuka dan Mr. Isaac yang membukakan pintu.
"Silahkan masuk." Lelaki itu membuka pintunya lebar, mempersilahkan Mama Rachel dan Rachel masuk.
Di sana, duduk di atas sofa dengan wajah dinginnya yang begitu sempurna, ada Jason yang menatap mereka semua dengan tatapan mata datar. Lelaki itu sedikit mengangguk sopan kepada mama Rachel yang duduk di depannya.
Mr. Isaac menyusul duduk di seberang sofa, menatap semuanya,
"Saya rasa kita sudah tahu tujuan pertemuan ini. Jason menawarkan Rachel menjadi murid pribadinya. Dan saya rasa kita sepakat dengan itu bukan?"
Rachel mengerutkan kening, menatap Jason yang hanya terdiam dengan wajah datar, kenapa lelaki itu tidak bicara? kenapa dia mewakilkan pembicaraan kepada Mr. Isaac?
"Tentu saja kita sepakat. Saya sungguh merasa terhormat, anak saya yang terpilih menjadi murid khusus." gumam Mama Rachel cepat.
Mr. Isaac mengangguk, "Kami melihat bahwa permainan biolanya istimewa, bukan begitu Rachel? Mulai sekarang kau akan berada di bawah bimbingan Jason."
"Tidak." Tiba-tiba saja Rachel mempunyai keberanian untuk berbicara, dan kalimatnya itu membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertegun.
Jason yang pertama kali bergumam pada akhirnya, matanya menatap tajam ke arah Rachel,
"Apa?" desis lelaki itu setengah marah setengah tak percaya.
"Maafkan saya." Rachel berdiri, membungkukkan badannya setengah meminta maaf kepada semua yang ada di ruangan itu, "Itu benar-benar kehormatan yang luar biasa untuk saya, tetapi saya tidak bisa menerimanya, karena itu terasa tidak benar, masih banyak siswa lain yang lebih berhak daripada saya. Sekali lagi terimakasih, tetapi saya tidak bisa menerimanya. Permisi." Rachel membungkukkan badannya sekali lagi lalu berbalik dan melangkah pergi.
"Rachel!" mamanya memanggilnya gusar, "Mama sudah bilang jangan lakukan ini demi Calvin!" sang mama berdiri hendak mengejar Rachel, tetapi Jason sudah berdiri duluan, menoleh dingin ke arah mama Rachel.
"Biarkan saya yang berbicara kepadanya." gumam Jason cepat, lalu melangkah keluar mengejar Rachel.
***
Rachel berjalan melalui koridor itu, hendak menuju area parkir.
Mamanya pasti akan marah besar kepadanya. Mungkin nanti dia akan diomeli habis-habisan di rumah, dan mungkin mamanya akan terus-menerus jengkel kepadanya selama beberapa lama karena menyia-nyiakan kesempatan ini, tetapi bagaimanapun juga Rachel merasa bahwa ini adalah hal yang benar. Demi Calvin... dia tidak akan melangkahi ataupun mengkhianati Calvin.
"Apakah kau pikir ini sepadan?" suara Jason yang tenang membuat Rachel terperanjat dan hampir menjerit.
Entah kapan, Jason ternyata sudah melangkah di sebelahnya, Rachel mungkin terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari Jason mendekat.
"Maksudmu?" Rachel mengerutkan keningnya, sedikit mendongak menatap Jason yang melangkah di sebelahnya. Yah, Jason cukup tinggi sementara Rachel mungil dan pendek.
"Mengorbankan kesempatan besarmu hanya demi pacarmu?"
Rachel mengerutkan keningnya, Pacarnya?
"Mamamu bilang kau melakukan ini demi Calvin, dia pacarmu bukan? Apakah kau pikir sepadan mengorbankan kesempatan besarmu untuk menguasai biola dengan baik hanya demi menjaga perasaan pacarmu?"
"Bukan hanya demi Calvin." Rachel membantah meskipun dalam hati dia mengakui bahwa sebagian besar alasannya adalah Calvin. "Juga demi anak-anak lain yang saya rasa lebih pantas dengan kemampuan yang lebih tinggi daripada aku."
Langkah Jason terhenti seketika, membuat Rachel juga menghentikan langkahnya, dia menoleh dan melihat Jason berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan mata tersinggung,
Lelaki itu lalu berjalan mendekat, melangkah di depan Rachel yang terpaku karena mata tajamnya, jemarinya terulur dan menyentuh dagu Rachel, mendongakkannya.
"Dengarkan aku baik-baik." bibir Jason menipis, tampak marah ketika berkata, "Aku tidak pernah main-main dalam memilih murid. Jangan pernah mempertanyakan keputusanku. Aku memilihmu karena aku melihat kau seperti berlian yang belum diasah." Jason menundukkan kepalanya, dan kemudian mengecup bibir Rachel dengan kecupan tipis dan singkat, "Hanya aku yang bisa mengasahmu sehingga cemerlang. Jadi aku akan tetap mempertahankan tawaranku, kapanpun kau berubah pikiran, datanglah kepadaku." bisiknya pelan di telinga Rachel , dan kemudian tanpa kata lelaki itu membalikkan badan, meninggalkan Rachel yang membeku karena ciuman itu. Tak bisa berkata-kata, hanya menatap tertegun ke arah punggung Jason yang makin menjauh.
***
"Mama sangat kecewa kepadamu, Rachel." sang mama berkata kemudian ketika mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang, "Kenapa kau lakukan itu?"
Rachel hanya terdiam, menatap lurus ke depan, dia bahkan hampir-hampir tidak mendengar perkataan mamanya. Bibirnya masih terasa panas.... Jason.. lelaki itu, kenapa lelaki itu mengecup bibirnya? Apakah itu pelecehan? Kenapa Jason melakukannya? Apa jangan-jangan Jason memang biasa melakukannya kepada siapapun? Tetapi kenapa dia? Rachel tahu bahwa Jason terkenal sebagai penakluk perempuan, tetapi korbannya selalu perempuan-perempuan yang lebih tua....bukankah itu memang selera jason? tetapi kenapa dia? kenapa Jason menciumnya?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang terus di benaknya, membuat Rachel mengerutkan keningnya.
"Rachel!" sang mama memanggilnya, membawa pikirannya kembali ke dunia nyata, "Apakah kau mendengar perkataan mama?"
Rachel mengehela napas panjang, "Maafkan aku mama... aku rasa ini keputusan yang terbaik."
Mamanya melirik sedikit kepadanya dari balik kemudia, "Segera setelah kau memikirkannya baik-baik, kau pasti akan menyesali keputusan ini, Rachel."
***
Ketika masih merenung di kamarnya, terdengar suara ketukan di sana, Rachel mengerutkan keningnya.
Siapa yang datang malam-malam begini?
Rachel melangkah ke pintu kamarnya dan membukanya, Calvin berdiri di sana, tersenyum lebar.
"Mamamu menyuruhku langsung ke sini, bolehkah aku masuk?"
Sebenarnya Rachel merasa agak canggung, sejak kecil mereka memang berteman akrab dan Calvin sering sekali bermain di kamarnya, tetapi menjelang mereka remaja sampai sekarang, Calvin hampir tidak pernah masuk ke kamarnya lagi.
"Aku akan membiarkan pintunya terbuka." Calvin tampak geli membaca keraguan Rachel, dan kemudian tanpa permisi dia masuk ke kamar Rachel, dan duduk di kursi belajar Rachel.
"Wow, sudah lama aku tidak kesini, dan kamarmu tidak berubah, seperti kamar anak sepuluh tahun." Calvin terkekeh, matanya memandang ke sekeliling ruangan Rachel yang didominasi warna pink dan boneka-boneka kelinci dengan warna senada.
Rachel mendengus, pura-pura kesal, "Jangan mengomentari kamarku. Dan katakan kepadaku, kenapa kau datang ke sini malam-malam begini. Mama yang menyuruhmu ya?" Rachel melangkah di depan Calvin dan duduk di tepi ranjang,
Calvin mengangkat bahunya,
"Ya, mamamu menghubungiku dan menceritakan semua kejadiannya."
Rachel memalingkan muka, "Aku tidak akan berubah pikiran meskipun kau membujukku."
"Rachel." suara Calvin tampak sabar, seperti suara yang selalu digunakannya ketika Rachel merajuk di waktu mereka kecil, "Itu kesempatan besar, dan mendengar kau menolaknya hanya karena aku, itu membuatku sangat sedih."
Rachel memasang wajah datar, "Bukan hanya karenamu kok, aku hanya merasa aku tak pantas menerima kesempatan itu."
"Kau pantas." Calvin menyela. "Penilaian Jason bukan main-main, Rachel. Ingat dia adalah seorang pemain biola jenius, dia bisa melihat kemampuan tersembunyi yang orang lain tidak bisa melihat, Rachel." Calvin tersenyum lembut, "Dan lagipula, menurut penilaianku, permainan biolamu sangat indah."
Ketika Rachel hanya terdiam, Calvin bangkit dari kursi dan berlutut di tepi ranjang, tepat di depan Rachel, wajah mereka berhadapan sangat dekat, membuat Rachel tersipu.
"Terimalah tawaran itu Rachel, demi aku. Oke?"
Rachel memalingkan wajahnya yang terasa panas, "Aku akan memikirkannya, tapi aku tidak janji."
Calvin terkekeh, "Oke. Dasar anak keras kepala, aku akan menunggu kabar baik darimu." Lelaki itu menghela napas panjang, "Dan juga aku harus menyiapkan waktu untuk kelas tiga bulan yang akan di ajarkan oleh Jason, kau tahu Anna mungkin sedikit sedih karena aku tidak bisa menyediakan banyak waktu untuknya, padahal aku sudah berjanji."
"Anna?" Rachel menyambar, sedikit bingung ketika Calvin menyebut nama Anna, Anna adalah teman seangkatan Calvin di akademi musik dulu, dia seorang pemain piano, sangat cantik dengan penampilan yang sangat feminim dan lembut, begitu bertolak belakang kalau dibandingkan dengan Rachel.
"Iya, Anna, kau masih mengingatnya bukan? Saking sibuknya dengan persiapan audisi aku sampai lupa menceritakannya kepadamu." Senyum Calvin melebar, "Kami tidak sengaja bertemu ketika aku mengikuti sebuah pesta bersama papa, dia sibuk dengan pendidikan musiknya di Italia.... tetapi sekarang, untuk beberapa lama dia akan berada di Indonesia karena liburan semester, dan kemudian aku berjanji kepadanya untuk menemaninya selama di sini." Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya, "Siapa yang tahu kalau hubungan kami bisa lebih dari pertemanan, kau tahu bukan dulu aku naksir kepadanya. Dan sekarang dia sedang tidak terikat dengan siapapun."
Rachel tahu, dan ketika itu, di masa lalu, masa-masa Calvin begitu memuja Anna membuatnya menyimpan perih yang dalam, yang disembunyikan jauh di dalam hatinya. Tetapi waktu itu Anna sudah punya pacar, dan Calvin tidak punya kesempatan, jadi Rachel bisa tenang. Setelah Calvin dan Anna lulus dari akademi, dan Anna melanjutkan pendidikannya di luar negeri, Rachel merasa tenang... apalagi setelah itu Calvin tampaknya tidak dekat dengan perempuan manapun.
Dan sekarang Anna kembali? .... tidak sedang terikat dengan siapapun... begitu kata Calvin tadi.
Rachel langsung merasakan dadanya diremas oleh perasaan pedih yang sama, perasaan yang sudah hampir dilupakannya bertahun lalu.
"Kalau begitu aku pulang dulu Rachel, sudah malam." Calvin melirik jam tangannya, lalu melempar senyum manis kepada Rachel sebelum pergi, "Ingat, aku akan menjadi orang pertama yang sangat bahagia kalau kau menerima kesempatan itu."
***
Kenapa dia mencium Rachel? Kenapa dia mencium anak perempuan ingusan itu?
Jason merenung di tengah hingar bingar pesta itu, merasa marah kepada dirinya sendiri. Oh Astaga, Jason yang begitu berpengalaman kepada perempuan, tidak bisa menahan diri dan mencium Rachel, anak ingusan yang lebih muda delapan tahun darinya, yang mungkin bahkan belum pernah berciuman sebelumnya!
Dan kenapa pula Rachel berani-beraninya menolak tawarannya? Tawaran istimewa yang mungkin tidak akan pernah diberikannya kepada orang lain?
Hati Jason dipenuhi kemarahan. Dia akan membuat Rachel memohon-mohon untuk menjadi muridnya. Dia pasti bisa melakukannya.
Rachel mungkin jenis perempuan yang suka membuat lelaki mengejarnya, pura-pura menolak sebelum meminta bagian yang lebih besar.... mungkin saja Rachel sengaja memanipulasi Jason. Mungkin saja Rachel seculas perempuan-perempuan lain yang dikenalnya selama ini, seculas ibunya....
Dan Jason tidak akan membiarkan Rachel melakukan itu kepadanya, dia akan memberi Rachel pelajaran karena berani-beraninya menolaknya.
Bersambung ke part 5
Published on May 31, 2013 09:28
Another 5% Part 5
PS : untuk yang menanti Embrace The Chord, InsyaAllah nanti malam yah, ini daku sedikit meriang dan pusing hehehe... Kalau naskah another 5% sudah siap dari kmrin2, jadi diposting duluan, kalau naskah Embrace The Chord baru 50%nya jd harus dikerjain dulu :)
Rolan menggendong Sabrina yang lunglai dan berjalan menuju sayap rumah sakit tempat penderita kanker di rawat intensif.
Suster yang berjaga di sana. Suster yang sangat dikenalnya karena Rolan juga lama di sini langsung berdiri dari tempat duduknya. Menyongsong mereka dengan panik,
"Astaga. Tuan Rolan. Bagaimana... Kenapa bisa nona Sabrina??" Lalu suster itu menyadari bahwa Rolan tampak begitu sehat dan kuat, "Anda tidak apa-apa Tuan Rolan? Anda menggendong Sabrina?"
"Aku tidak apa-apa." Rolan tersenyum penuh keyakinan, "Aku baik-baik saja suster, jangan cemaskan aku, dimana kamar Sabrina? Aku akan menidurkannya di sana."
"Di lorong itu lurus. Kamar sebelah kanan yang paling ujung di seberang kamar anda.... Astaga dia tampak pucat sekali, seharusnya dia tidak boleh berjalan-jalan keluar, dia pasti menyelinap tadi." Wajah suster itu memucat, " saya akan memanggil dokter."
Rolan menganggukkan kepalanya, dan membawa Sabrina yang lunglai digendongannya ke kamar yang ditunjukkan suster itu.
Kamar itu berada jauh di ujung. Lokasinya berseberangan dengan kamar Rolan - yang sebentar lagi akan menjadi bekas kamarnya - Selama sakit Rolan hampir tidak pernah keluar kamar, kecuali saat dia harus melakukan pemeriksaan di luar. Pantas saja dia tidak pernah melihat Sabrina sebelumnya meskipun sebenarnya kamar mereka hanya berseberangan.
Kamar Sabrina lengang seperti kamarnya di rumah sakit, tetapi terkesan feminim karena sprei dan bed covernya berwarna pink, sepertinya dibawa sendiri dari rumah.
Dengan lembut dan hati-hati, Rolan membaringkan Sabrina ke atas ranjang. Dia memperhatikan betapa pucatnya perempuan ini. Tiba-tiba hatinya terasa sedih membayangkan betapa perempuan semuda dan serapuh ini mengalami kesakitan sama seperti yang pernah dirasakannya dulu. Seandainya Sabrina tidak sakit, dia pasti akan menjadi perempuan yang ceria....
Bulu mata Sabrina yang panjang dan tebal bergerak-gerak, lalu mata hijau bening itu terbuka, tampak bingung dan menatap ke sekeliling. Sabrina mencoba bangun dan duduk, tapi Rolan segera mencegahnya,
"Jangan bangun dulu, kau baru saja pingsan, kau pasti pusing."
Sabrina mendongakkan kepalanya dan menatap Rolan seakan baru menyadari kehadirannya.
"Ah...kau... Kau yang menolongku di lorong tadi." Perempuan itu mengernyit seakan kesakitan.
"Dokter akan segera datang, apakah kau pusing?" Rolan tahu bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya kepalanya dulu...
Sabrina menganggukkan kepalanya, tersenyum lemah. "Aku selalu merasa pusing dan mual setiap saat..... Lama-lama aku terbiasa." Sabrina menatap Rolan lagi, "apakah kau sedang membesuk seseorang di sini?"
Rolan tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Bukan. Aku pasien di sayap rumah sakit ini, kamarku ada di ujung sebelah sana."
"Pasien di sayap Rumah sakit ini?" Sabrina mengerutkan keningnya, "Kau tampak terlalu sehat untuk seorang penderita kanker."
Rolan terkekeh, "Aku sudah sembuh."
"Sembuh?" Mata hijau Sabrina yang indah membelalak lebar, "Bagaimana bisa?"
"Aku sembuh begitu saja." Rolan tersenyum, mengangkat bahunya.
Sabrina membuka mulutnya tampak hendak berbicara. Tapi kemudian dokter Beni masuk. Dia tersenyum menatap Rolan yang juga ada di ruangan itu,
"Di sini anda rupanya Tuan Rolan, saya menunggu anda di ruangan saya untuk membicarakan hasil test anda."
Rolan tersenyum meminta maaf,
"Maafkan saya, saya sudah dalam perjalanan ke sana ketika saya menemukan Sabrina hampir pingsan di lorong."
"Ah ya, Sabrina." Dokter Beni menoleh ke arah Sabrina yang setengah duduk di ranjang dengan pipi memerah, "Kau rupanya memutuskan untuk berjalan-jalan lagi sendirian. Untung tadi ada Rolan menolongmu, kalau tidak kau akan terbaring di lorong sana beberapa lama sampai ada orang lain lewat. Bukankah sudah kubilang kalau kau hendak jalan-jalan kau bisa memanggil suster perawat untuk menemanimu?"
Pipi Sabrina semakin merah, memberikan rona di kulitnya yang putih pucat.
"Maafkan saya dokter." Gumamnya lemah, penuh penyesalan, "Saya sungguh tidak bermaksud keluar sendirian. Tadi saya memanggil suster. Tetapi tidak ada yang datang. Jadi saya mencoba berjalan ke luar dan ternyata di pos perawat tidak ada orang. Akhirnya saya keluar menuju lorong mencari perawat...."
Dokter Beni menganggukkan kepalanya. "Nanti jangan diulang lagi ya." Gumamnya. Lalu mulai memeriksa Sabrina, "Kepalamu pusing?"
"Berdentam-dentam seperti biasa." Jawab Sabrina sambil tersenyum lemah.
Dokter Beni mengangguk, "Nanti akan reda setelah minum obat. Oke, saya akan mengontrol pasien yang lain dulu." Dia menoleh ke arah Rolan dan tersenyum, "Mengenai hasil test..."
"Saya sebenarnya tidak perlu tahu apa hasilnya. Saya yakin hasilnya sama seperti yang kemarin." Sela Rolan yakin.
Dokter Beni tertegun. Lalu menganggukkan kepalanya. "Well memang hasilnya sama, sungguh suatu keajaiban." Matanya menatap Rolan sungguh-sungguh, "Bagaimanapun juga kami memerlukan anda untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami harus mencari tahu apa yang terjadi."
Rolan menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar, "aku akan berusaha membantu sebisanya dokter."
Setelah dokter Beni pergi. Tinggalah Rolan bersama Sabrina yang menatapnya malu-malu.
"Sekali lagi terimakasih atas bantuannya tadi, aku benar-benar ceroboh dan jadi merepotkanmu." gumam Sabrina akhirnya
Rolan menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, senang bisa membantu." Dia lalu mengulurkan tangannya, "Kita malahan belum berkenalan secara resmi, kenalkan aku Rolan."
Sabrina menyambut uluran tangan Rolan, tersenyum hangat.
"Aku Sabrina."
***
Selesai!
Selly menutup berkas laporannya dengan puas dan menghela napas panjang. Lebih lama dari waktu yang dijanjikannya kepada Rolan, ternyata Selly membutuhkan waktu lebih dari empat puluh lima menit untuk menyelesaikan semuanya. Semoga Rolan tidak marah kepadanya, semoga Rolan mau mengerti keadannya.
Dia sudah benar-benar terlambat, jadi dia memutuskan untuk naik taxi demi menghemat waktu.
Selly lalu berdiri, meletakkan berkas setumpuk yang tebal itu di meja besar Gabriel, lalu setengah berlari keluar.
Dia harus bergegas!
Seketika itu dia bertubrukan dengan tubuh besar yang kokoh, beraroma parfum cendana. Tubrukan itu sangat keras hingga Selly hampir saja terlontar jatuh seandainya saja Gabriel tidak menahannya dengan kedua tangannya yang ramping dan kuat di pundaknya.
"Hei..hei.. Maafkan aku." Gabriel meluruskan Selly yang terhuyung, lalu melepaskan pegangannya, "Mau kemana terburu-buru?"
Selly menghela napas panjang, menatap Gabriel yang sekarang sudah mengenakan pakaian santai dan tampak luar biasa tampan, sepertinya lelaki itu sempat pulang ke rumah tadi dan berganti pakaian, atau bahkan mungkin sudah mandi mengingat wanginya yang begitu segar. Tiba-tiba Selly membandingkannya dengan kondisinya sendiri, dia belum mandi dan akan segera bertemu Rolan, Selly langsung bertekad menyemprotkan parfum ke sekujur pakaiannya nanti di taxi agar dia tetap harum dan segar ketika bertemu Rolan.
"Maafkan saya. Saya harus segera ke rumah sakit..."
"Rumah sakit lagi? kemarin kita pertama kali bertemu di dekat rumah sakit." Gabriel mengangkat alisnya, "Apakah ada saudaramu yang sakit?"
"Bukan saudara." Selly menggumam cepat, "Dia calon suami saya."
"Oh." Gabriel menatap Selly lembut, "Aku ikut prihatin Selly, semoga calon suamimu lekas sembuh ya." Lelaki itu melirik ke berkas yang diletakkan Selly di mejanya, "Pekerjaannya sudah selesai?"
"Sudah." Jawab Selly bersemangat, "Saya sudah membuat laporan se-informatif mungkin. Semoga anda puas dengan semua informasi yang dimuat di sana."
"Oke." Gabriel menganggukkan kepalanya, "Pergilah. Maafkan aku karena menahanmu.... Hati-hatilah."
"Baik, terimakasih Sir." Selly membungkukkan badan hormat, lalu buru-buru melangkah setengah berlari menuju lift,
"Oh, Selly?" Tiba-tiba saja Gabriel memanggil, membuat langkah Selly terhenti dan menoleh lagi.
"Ya Sir?"
"Kau bisa memakai supirku, dia ada di bawah di depan lift. Dia akan mengantarmu ke rumah sakit..."
"Tidak Sir! Tidak perlu! Saya bisa naik taxi..." dengan segera Selly menggelengkan kepalanya.
"Di luar hujan dan menunggu taxi membutuhkan waktu lama, kasihan calon suamimu menunggu di sana. Pakai saja supirku, hitung-hitung sebagai permintaan maafku karena membuatmu kerja lembur dan terlambat menemui calon suamimu." Gabriel bergumam dengan tenang, matanya menatap Selly tajam, tak terbantahkan.
Sejenak Selly terpana, tapi kemudian dia sadarkan diri, mungkin Gabriel benar, akan lebih praktis kalau diantar oleh supir Gabriel, dan tadi katanya di luar hujan pula.
"Terimakasih Sir." Gumamnya bersemangat dan pintu lift-pun terbuka. Sebelum Selly masuk ke dalam lift dia sempat melirik ke arah Gabriel berdiri tadi, tetapi lelaki itu sudah tidak ada, dan pintu ruang besar tertutup rapat.
***
Mobil besar berwarna hitam itu berhenti tepat di depan rumah sakit, setelah mengucapkan terimakasih pada supir Gabriel yang dari tadi hanya diam saja, hanya mengangguk dan tak bersuara sedikitpun, Selly lalu keluar dari mobil dan setengah berlari memasuki lobby rumah sakit itu.
Dia benar-benar terlambat! Meski supir Gabriel berusaha melaju secepat mungkin, tetapi kemacetan jalan raya menghalangi mereka untuk segera sampai. Rolan pasti sudah menemui doktrer Beny sendirian.
Dengan rasa menyesal, Selly berjalan menuju ruangan dokter Rolan, tempat mereka sering berkonsultasi mengenai kesehatan Rolan. Tetapi lorong itu lengang, dan pintu ruangan tertutup rapat.
Yah dia memang benar-benar terlambat, Rolan pasti sudah kembali ke kamarnya.
Dengan langkah tergesa, Selly menuju sayap rumah sakit tempat pasien kanker ditempatkan, menganggukkan kepala pada suster jaga yang sudah sangat mengenalnya, lalu setengah berlari menuju kamar Rolan.
Kamar itu kosong....Dimana Rolan?
Selly melangkah keluar kamar, kebingungan...apakah Rolan menjalani pemeriksaan lagi? Atau Rolan menjalani perawatan intensif di tempat lain? tetapi bukankah Rolan sudah sembuh? Atau jangan-jangan.... hasil test kemarin salah?
Pikiran-pikiran buruk memenuhi benak Selly membuatnya semakin cemas. Dia hendak berjalan ke tempat suster jaga untuk menanyakan tentang Rolan ketika suara tawa itu terdengar. Suara tawa yang amat sangat dikenalnya.
Itu suara tawa Rolan!
Dan datangnya dari kamar seberang..... dengan hat--hati, takut salah dengar, Selly mengintip ke pintu di kamar seberang yang terbuka.
Di sana Rolan duduk di tepi ranjang, sedang menjelaskan sesuatu dengan bersemangat pada seorang pasien lain yang terbaring setengah duduk di tempat tidur, kemudian mereka tertawa bersama.
Tanpa sadar, Selly mendorong pintu itu, menimbulkan bunyi geseran pintu dan membuat Rolan menoleh. Mata Rolan langsung melebar, begitu juga senyumnya ketika melihat Selly,
"Ah, Selly, Sayang, akhirnya kau datang juga." Rolan mengulurkan tangannya, "Sini, kemari kukenalkan dengan Sabrina, dia pasien di sini juga sejak lama."
Rolan memiringkan tubuhnya, dan kemudian, pasien itu... pasien bernama Sabrina yang tadi tertutup punggung Rolan terlihat jelas di mata Selly,
Oh astaga... cantiknya.... sungguh kecantikan yang sangat rapuh, kulit Sabrina begitu pucatnya tetapi matanya hijau dan besar, terlihat begitu mencolok dengan bulu mata yang indah dan panjang. Kecantikan yang rapuh, kecantikan yang bagaikan dewi peri hutan yang transparan ketika disentuh...
Dengan langkah hati-hati, Selly menerima uluran tangan Rolan, dan Sabrina yang berada di atas ranjang tersenyum kepadanya, sambil mengulurkan tangan,
"Hai, aku Sabrina, Rolan menolongku ketika pingsan di lorong tadi." Mata hijaunya bercahaya dan tampak cantik, "Kau pasti Selly, Rolan banyak bercerita tentangmu tadi."
Selly menyambut uluran tangan Sabrina, merasakan jemari itu dingin dan rapuh dalam genggamannya,
"Hai juga, aku Selly."
Rolan tersenyum lebar, "Bayangkan Selly, aku dan Sabrina hanya berseberangan kamar dan kami ada di rumah sakit ini sangat lama, tetapi tidak pernah bertemu sebelumnya." Rolan lalu berdiri dan menatap Sabrina lembut, "Baiklah, aku tidak mau mengganggu istirahatmu Sabrina, kau pasti lelah, jadi kami akan pergi." dengan posesif, lelaki itu merangkul pinggang Selly.
Sabrina menganggukkan kepalanya, "Terimakasih Rolan, menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersama seseorang." Sabrina lalu menoleh ke arah Selly dan tersenyum lembut, "Kau sungguh beruntung memiliki seseorang yang bersedia menemani dan mengisi hari-harimu ketika kau sakit..... sedangkan aku, aku selalu di sini sendirian... keluargaku hanya papaku, dan dia sangat sibuk dengan bisnisnya... " mata Sabrina tampak sedih, berkaca-kaca.
Tiba-tiba saja Selly merasa iba melihatnya, gadis ini sakit, tampak begitu rapuh dan kesepian, mengingatkannya pada Rolan di masa-masa sakit parahnya dahulu,
"Jangan kuatir Sabrina, aku dan Rolan pasti akan sering kemari untuk menemanimu ngobrol." gumamnya impulsif seketika.
Mata Sabrina langsung melebar, kesedihan di sana lenyap berganti dengan harapan,
"Benarkah?" dia tersenyum lebar dan tampak cantik sekali, "Terimakasih. terimakasih.. itu amat sangat berarti bagiku." gumamnya ceria.
***
Rolan dan Selly berjalan keluar dari kamar Sabrina dan menuju ke seberang, ke arah kamar Rolan,
"Maafkan aku... aku terlambat datang karena pekerjaanku..." Selly bergumam penuh penyesalan ke arah Rolan.
Kekasihnya itu menoleh, menatap Selly dan kemudian memeluknya erat, mengecup dahinya lembut,
"Tidak apa-apa sayang, aku mengerti kok. Lagipula aku juga tidak melihat hasil test itu." gumam Rolan riang, menagap Selly di pelukannya.
Mata Selly melebar, "Tidak melihat hasil testnya? jadi...?"
"Tadi aku sempat bertemu dokter Beni ketika dia memeriksa Sabrina, katanya hasil testnya sama, aku sudah sembuh."
"Sudah sembuh?" Selly menatap Rolan, melihat senyum Rolan yang lebar. Rolan bersungguh-sungguh, mukjizat ini benar adanya!
Air mata mengalir di sudut mata Selly, mengalir ke pipinya, membuatnya sesenggukan,
"Ya Tuhan Rolan... aku amat sangat bersyukur... amat sangat bersyukur..." Selly menangis, perasaannya meluap-luap, antara rasa syukur dan bahagia, terharu dan semua perasaan indah itu bercampur aduk di benaknya, membuatnya sesenggukan.
Rolan mengecup air mata di pipi Selly dengan lembut, kemudian menenggelamkan tubuh Selly yang mungil di pelukannya, memeluknya kuat-kuat,
"Aku mencintaimu Selly, amat sangat mencintaimu. Sekarang kau bisa memilikiku, diriku yang sehat, seutuhnya."
***
Sabrina sedang termenung sambil menatap ke arah jendela, memantulkan sinar senja yang menggelap. Ketika dia merasakan aura itu,
"Kau selalu datang tanpa permisi." gumamnya dan kemudian menoleh ke arah Gabriel yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sana, bersandar malas di dekat jendela, berdiri di bawah bayang-bayang senja sehingga wajahnya tertutup siluet gelap.
"Perempuan jahat." Gabriel tersenyum sinis, "Kau menggunakan penampilan rapuhmu untuk memanipulasi hati manusia yang lemah."
Sabrina membalas senyuman Gabriel, "Bukankah kau seharusnya berterima kasih kepadaku, Gabriel ? Secara tidak langsung aku membantumu bukan?"
"Aku tidak butuh bantuan." Mata Gabriel menggelap, "Apa sebenarnya rencanamu, Sabrina? Kenapa kau mendekati Rolan?"
Sabrina menghindari tatapan Gabriel yang tajam, berusaha membentengi diri. Dia tahu bahwa kalau mau, Gabriel bisa menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran, karena itulah dia berusaha membentengi dirinya kuat-kuat. Dia sudah terbiasa melakukan itu kalau berhadapan dengan Gabriel.
"Kau tidak perlu tahu rencanaku, Gabriel... yang perlu kau tahu, aku tidak akan mengganggu apapun rencanamu."
"Oh ya?" Gabriel memajukan tubuhnya, berdiri di tepi ranjang dan kemudian mengulurkan telunjuknya untuk mengangkat dagu Sabrina yang pucat dan rapuh, "Jangan main-main denganku Sabrina, apa yang kau lakukan tadi memang memuluskan rencanaku, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya. Aku punya rencanaku sendiri yang sudah kususun dengan baik, dan aku tidak mau siapapun ikut campur, bahkan kau sekalipun." Gabriel tidak main-main, ekspresi kejam muncul di wajahnya, "Apakah kau mengerti, Sabrina?"
Tubuh Sabrina terasa panas, membakar. Oh Astaga! Gabriel menaikkan suhu ruangan ini, lelaki itu benar-benar marah, dan sekarang seluruh ruangan terasa panas membakar. Peluh Sabrina bercucuran sedangkan Gabriel tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan suhu ruangan ini yang begitu membakar.
"Gabriel! Panas! Panas!" Sabrina menjerit, keringat bercucuran di seluruh tubuhnya dan rambutnya basah kuyup.
Mata Gabriel tetap dingin, "Jawab aku Sabrina, apakah kau mengerti? Dan kemudian katakan apa rencanamu."
"Aku mengerti! Aku mengerti!" Sabrina memekik, tidak tahan dengan suhu ruangan yang panas dan juga rasa panas yang membakar tubuhnya, "Gabriel! Kumohon, kumohon kakak! Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu!"
Seketika itu juga panas yang membakar ruangan itu menghilang. Gabriel mundur dan menatap Sabrina dengan dingin,
"Jelaskan."
Mata Sabrina berkaca-kaca, menatap Gabriel, kakak tirinya yang sangat dicintainya, tetapi tidak pernah bisa membalas cintanya. Kenapa Gabriel bisa sekejam ini kepadanya? Tidak adakah sedikitpun rasa sayang Gabriel kepadanya? dia adik Gabriel bukan?
"Aku... aku sudah tahu semuanya, bahwa Rolan bisa mengancam keselamatanmu... bahwa mungkin saja kau terbunuh kalau Rolan bisa mendapatkan pengorbanan dari Selly dan mendapatkan 5% tambahan kekuatannya..." air mata Sabrina menetes, "Aku hanya tidak ingin kau mati..."
"Jadi kemudian kau menyamar dan mencoba merebut Rolan dari Sabrina demi menyelamatkanku?" Gabriel mendesis dingin, " Aku tidak akan kalah dari Rolan apapun yang terjadi, dia hanya anak ingusan yang tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatannya." Mata Gabriel menyala, "Aku tidak peduli apapun yang kau lakukan Sabrina, kali ini kau kumaafkan. Tapi jangan sampai kau ikut campur lagi tanpa seizinku."
Dan kemudian Gabriel menghilang ditelan bayang-bayang gelap yang menyambut malam.
Sabrina menangis di atas ranjang, terisak-isak perih akan sikap dingin Gabriel. Seharusnya Gabriel bisa mencintainya! Kalau saja Gabriel bisa mencintainya, maka lelaki itu akan memiliki cinta sejati dan tidak perlu cemas akan dikalahkan oleh Rolan!
Gabriel adalah cinta sejati Sabrina, dan Sabrina tidak akan pernah menyerah sampai Gabriel mencintainya. Dan alasan sebenarnya berusaha mendekati Rolan bukan hanya demi menyelamatkan Gabriel, tetapi lebih karena Sabrina tidak rela Gabriel mendekati Selly dan menebarkan pesonanya kepada perempuan itu!
Sabrina tidak akan berhenti. Sebab jika Rolan sudah benar-benar terpesona kepadanya, maka Gabriel tidak akan perlu repot-repot mendekati Selly.
***
Ruangan itu sunyi, hanya ada Gabriel di sana, dahinya berkerut, Apa yang dilakukan Sabrina mungkin akan memberikan keuntungan kepadanya. Dengan merayu Rolan, mungkin saja hal itu akan membuat pekerjaan Gabriel lebih mudah.
Walaupun begitu ada rasa tidak suka di benak Gabriel, dia tidak suka Sabrina selalu berusaha mencampuri apapun rencananya. Sabrina adalah adik tirinya, mereka berhubungan darah, berbeda ayah tetapi satu ibu. Sabrina sangat mirip dengan ibu mereka yang rapuh dan sakit-sakitan sepanjang hidupnya. Dan Sayangnya adiknya itu menyimpan obsesi terpendam yang tidak pernah dimengertinya. Tidakkah Sabrina mengerti bahwa mereka berhubungan darah? selain itu apapun yang terjadi Gabriel tidak akan bisa membuka hatinya kepada perempuan manapun. Jiwanya terlalu kelam dan gelap untuk dirasuki penyakit bernama 'cinta'.
"Carlos!" lelaki itu memanggil pelayan setianya yang langsung muncul seketika.
"Ya Tuan."
"Kau sudah membawa apa yang aku minta?"
Carlos mengangguk tanpa kata, menyerahkan sebuah buku yang berat dan tebal dan meletakkannya di meja Gabriel. Gabriel menatap buku kuno yang usianya mungkin sudah ratusan tahun itu, dia bahkan tidak mau menyentuhnya. Buku itu penuh dengan aturan-aturan semesta yang mengikat sang pemegang kekuatan, diwariskan oleh pemilik kekuatan terdahulu turun temurun kepadanya. Matthias pasti juga mewariskan buku yang sama untuk Rolan entah bagaimana caranya nanti, meskipun Gabriel bisa memastikan bahwa sampai detik ini Rolan belum menerima buku itu.
Gabriel sangat jarang membaca buku itu, bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya, dia muak dengan segala aturan semesta yang mengikat sang pembawa kekuatan yang tercantum begitu banyak di dalam buku itu. Gabriel biasanya menyuruh Carlos mempelajarinya dan menjelaskan kepadanya.
"Apakah kau sudah menemukan bagian itu? bagian mengenai 'pengorbanan sang cinta sejati'?"
Carlos menganggukkan kepalanya, "Saya menemukan petunjuk tentang hal itu Tuan, meskipun bagian itu disamarkan dengan barisan puisi kuno yang penuh teka-teki."
"Disamarkan?" Kali ini Gabriel tertarik, "Tunjukkan padaku."
Carlos melangkah mendekat dan membuka buku itu dihadapan Gabriel dengan hati-hati,
"Buku ini hampir tidak pernah membahas tentang pengorbanan cinta sejati, sepertinya hal itu memang dihindarkan untuk terjadi di antara kedua pembawa kekuatan." Carlos menjelaskan, "Yang dijelaskan secara gamblang hanyalah, ketika kedua pembawa kekuatan memutuskan saling bertarung, maka yang menjadi pemenang adalah yang mempunyai cinta sejati, yang akan memberikan pengorbanan sehingga bisa membangkitkan 5% kekuatan otak yang tersisa.......dan memang untuk pemegang kekuatan kegelapan, diberikan benteng penghalang khusus supaya tidak bisa menemukan cinta sejatinya. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan kegelapan tidak tergoda untuk membunuh kekuatan cahaya."
Gabriel tersenyum sinis, "Jadi kekuatan semesta mengatur bahwa bagaimanapun juga, kekuatan kegelapan tidak akan pernah bisa memenangkan pertarungan? Hatiku dibentengi dengan kegelapan yang pekat sehingga tidak bisa jatuh cinta. Pada akhirnya selalu digariskan bahwa kekuatan terang yang menang."
Carlos menatap Gabriel hati-hati, "Itu semua diatur mengingat kekuatan terang adalah pecinta damai, meskipun dia menemukan cinta sejatinya, dia tidak akan mengobarkan perang karena tahu bahwa keseimbanganlah yang paling utama. Sedangkan kekuatan gelap, hampir bisa dipastikan merupakan pemicu terjadinya perang kekuatan...."
Mata Gabriel menggelap, "Ya. Kami para pemegang kekuatan kegelapan memang memiliki hati yang jahat dan hasrat untuk menghancurkan dunia, karena itulah kami dikutuk untuk tidak bisa jatuh cinta, supaya kami tidak bisa menemukan cinta sejati kami, dan supaya kami tidak bisa mengalahkan pemegang kekuatan terang." Mata Gabriel tampak muram, "Tetapi aku harus mengalahkan Rolan bagaimanapun juga, Matthias mencurangiku dengan memilih Rolan yang sudah memiliki cinta sejatinya. Dan karena sekarang sepertinya Rolan masih belum mendapatkan lima persen kekuatan itu - bahkan meskipun dia sudah memiliki Selly di sampingnya - itu membuatku bertanya-tanya, apakah ada ritual khusus dari Rolan untuk mendapatkan tambahan kekuatan lima persen itu."
"Semua ritualnya tersirat di puisi ini." Jemari Matthias menunjuk bagian di lembaran buku itu.
Mata Gabriel langsung mengarah kesana, membaca barisan puisi di buku kuno dengan kertas yang sudah menguning dan tua itu.
Ketika dua memecah belah semestaMaka sang takdir akan memberikan sang pemenangHanya satu yang bisa meraihnyaSatu yang terpilih sang pembuka hatiSatu terpilih yang bisa merasakan cinta sejatiDarah dan air mata akan tertumpahPilihan akan diajukanDarah yang tercinta ataukah keseimbangan semesta?Semua pilihan akan memberi maknaYang kalah dan yang menang muncul setelah pilihan diambilPengorbanan cinta sejati akan menentukan segalanya.
Mata Gabriel menggelap, dia menatap ke arah Carlos dan lelaki itu membalas tatapannya penuh makna, menyiratkan bahwa dia memiliki pemikiran yang sama.
Ya.... pengorbanan cinta sejati itu melibatkan pengorbanan nyawa....demi memberikan kekuatan kepada Rolan sebesar lima persen, Selly harus mengorbankan nyawanya. Entah bagaimana caranya, tetapi itulah yang tersirat di puisi kuno ini.
Bersambung ke part 6

Rolan menggendong Sabrina yang lunglai dan berjalan menuju sayap rumah sakit tempat penderita kanker di rawat intensif.
Suster yang berjaga di sana. Suster yang sangat dikenalnya karena Rolan juga lama di sini langsung berdiri dari tempat duduknya. Menyongsong mereka dengan panik,
"Astaga. Tuan Rolan. Bagaimana... Kenapa bisa nona Sabrina??" Lalu suster itu menyadari bahwa Rolan tampak begitu sehat dan kuat, "Anda tidak apa-apa Tuan Rolan? Anda menggendong Sabrina?"
"Aku tidak apa-apa." Rolan tersenyum penuh keyakinan, "Aku baik-baik saja suster, jangan cemaskan aku, dimana kamar Sabrina? Aku akan menidurkannya di sana."

Rolan menganggukkan kepalanya, dan membawa Sabrina yang lunglai digendongannya ke kamar yang ditunjukkan suster itu.
Kamar itu berada jauh di ujung. Lokasinya berseberangan dengan kamar Rolan - yang sebentar lagi akan menjadi bekas kamarnya - Selama sakit Rolan hampir tidak pernah keluar kamar, kecuali saat dia harus melakukan pemeriksaan di luar. Pantas saja dia tidak pernah melihat Sabrina sebelumnya meskipun sebenarnya kamar mereka hanya berseberangan.
Kamar Sabrina lengang seperti kamarnya di rumah sakit, tetapi terkesan feminim karena sprei dan bed covernya berwarna pink, sepertinya dibawa sendiri dari rumah.
Dengan lembut dan hati-hati, Rolan membaringkan Sabrina ke atas ranjang. Dia memperhatikan betapa pucatnya perempuan ini. Tiba-tiba hatinya terasa sedih membayangkan betapa perempuan semuda dan serapuh ini mengalami kesakitan sama seperti yang pernah dirasakannya dulu. Seandainya Sabrina tidak sakit, dia pasti akan menjadi perempuan yang ceria....
Bulu mata Sabrina yang panjang dan tebal bergerak-gerak, lalu mata hijau bening itu terbuka, tampak bingung dan menatap ke sekeliling. Sabrina mencoba bangun dan duduk, tapi Rolan segera mencegahnya,
"Jangan bangun dulu, kau baru saja pingsan, kau pasti pusing."
Sabrina mendongakkan kepalanya dan menatap Rolan seakan baru menyadari kehadirannya.
"Ah...kau... Kau yang menolongku di lorong tadi." Perempuan itu mengernyit seakan kesakitan.
"Dokter akan segera datang, apakah kau pusing?" Rolan tahu bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya kepalanya dulu...
Sabrina menganggukkan kepalanya, tersenyum lemah. "Aku selalu merasa pusing dan mual setiap saat..... Lama-lama aku terbiasa." Sabrina menatap Rolan lagi, "apakah kau sedang membesuk seseorang di sini?"
Rolan tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Bukan. Aku pasien di sayap rumah sakit ini, kamarku ada di ujung sebelah sana."
"Pasien di sayap Rumah sakit ini?" Sabrina mengerutkan keningnya, "Kau tampak terlalu sehat untuk seorang penderita kanker."
Rolan terkekeh, "Aku sudah sembuh."
"Sembuh?" Mata hijau Sabrina yang indah membelalak lebar, "Bagaimana bisa?"
"Aku sembuh begitu saja." Rolan tersenyum, mengangkat bahunya.
Sabrina membuka mulutnya tampak hendak berbicara. Tapi kemudian dokter Beni masuk. Dia tersenyum menatap Rolan yang juga ada di ruangan itu,
"Di sini anda rupanya Tuan Rolan, saya menunggu anda di ruangan saya untuk membicarakan hasil test anda."
Rolan tersenyum meminta maaf,
"Maafkan saya, saya sudah dalam perjalanan ke sana ketika saya menemukan Sabrina hampir pingsan di lorong."
"Ah ya, Sabrina." Dokter Beni menoleh ke arah Sabrina yang setengah duduk di ranjang dengan pipi memerah, "Kau rupanya memutuskan untuk berjalan-jalan lagi sendirian. Untung tadi ada Rolan menolongmu, kalau tidak kau akan terbaring di lorong sana beberapa lama sampai ada orang lain lewat. Bukankah sudah kubilang kalau kau hendak jalan-jalan kau bisa memanggil suster perawat untuk menemanimu?"
Pipi Sabrina semakin merah, memberikan rona di kulitnya yang putih pucat.
"Maafkan saya dokter." Gumamnya lemah, penuh penyesalan, "Saya sungguh tidak bermaksud keluar sendirian. Tadi saya memanggil suster. Tetapi tidak ada yang datang. Jadi saya mencoba berjalan ke luar dan ternyata di pos perawat tidak ada orang. Akhirnya saya keluar menuju lorong mencari perawat...."
Dokter Beni menganggukkan kepalanya. "Nanti jangan diulang lagi ya." Gumamnya. Lalu mulai memeriksa Sabrina, "Kepalamu pusing?"
"Berdentam-dentam seperti biasa." Jawab Sabrina sambil tersenyum lemah.
Dokter Beni mengangguk, "Nanti akan reda setelah minum obat. Oke, saya akan mengontrol pasien yang lain dulu." Dia menoleh ke arah Rolan dan tersenyum, "Mengenai hasil test..."
"Saya sebenarnya tidak perlu tahu apa hasilnya. Saya yakin hasilnya sama seperti yang kemarin." Sela Rolan yakin.
Dokter Beni tertegun. Lalu menganggukkan kepalanya. "Well memang hasilnya sama, sungguh suatu keajaiban." Matanya menatap Rolan sungguh-sungguh, "Bagaimanapun juga kami memerlukan anda untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami harus mencari tahu apa yang terjadi."
Rolan menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar, "aku akan berusaha membantu sebisanya dokter."
Setelah dokter Beni pergi. Tinggalah Rolan bersama Sabrina yang menatapnya malu-malu.
"Sekali lagi terimakasih atas bantuannya tadi, aku benar-benar ceroboh dan jadi merepotkanmu." gumam Sabrina akhirnya
Rolan menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, senang bisa membantu." Dia lalu mengulurkan tangannya, "Kita malahan belum berkenalan secara resmi, kenalkan aku Rolan."
Sabrina menyambut uluran tangan Rolan, tersenyum hangat.
"Aku Sabrina."
***
Selesai!
Selly menutup berkas laporannya dengan puas dan menghela napas panjang. Lebih lama dari waktu yang dijanjikannya kepada Rolan, ternyata Selly membutuhkan waktu lebih dari empat puluh lima menit untuk menyelesaikan semuanya. Semoga Rolan tidak marah kepadanya, semoga Rolan mau mengerti keadannya.
Dia sudah benar-benar terlambat, jadi dia memutuskan untuk naik taxi demi menghemat waktu.
Selly lalu berdiri, meletakkan berkas setumpuk yang tebal itu di meja besar Gabriel, lalu setengah berlari keluar.
Dia harus bergegas!
Seketika itu dia bertubrukan dengan tubuh besar yang kokoh, beraroma parfum cendana. Tubrukan itu sangat keras hingga Selly hampir saja terlontar jatuh seandainya saja Gabriel tidak menahannya dengan kedua tangannya yang ramping dan kuat di pundaknya.

Selly menghela napas panjang, menatap Gabriel yang sekarang sudah mengenakan pakaian santai dan tampak luar biasa tampan, sepertinya lelaki itu sempat pulang ke rumah tadi dan berganti pakaian, atau bahkan mungkin sudah mandi mengingat wanginya yang begitu segar. Tiba-tiba Selly membandingkannya dengan kondisinya sendiri, dia belum mandi dan akan segera bertemu Rolan, Selly langsung bertekad menyemprotkan parfum ke sekujur pakaiannya nanti di taxi agar dia tetap harum dan segar ketika bertemu Rolan.
"Maafkan saya. Saya harus segera ke rumah sakit..."
"Rumah sakit lagi? kemarin kita pertama kali bertemu di dekat rumah sakit." Gabriel mengangkat alisnya, "Apakah ada saudaramu yang sakit?"
"Bukan saudara." Selly menggumam cepat, "Dia calon suami saya."
"Oh." Gabriel menatap Selly lembut, "Aku ikut prihatin Selly, semoga calon suamimu lekas sembuh ya." Lelaki itu melirik ke berkas yang diletakkan Selly di mejanya, "Pekerjaannya sudah selesai?"
"Sudah." Jawab Selly bersemangat, "Saya sudah membuat laporan se-informatif mungkin. Semoga anda puas dengan semua informasi yang dimuat di sana."
"Oke." Gabriel menganggukkan kepalanya, "Pergilah. Maafkan aku karena menahanmu.... Hati-hatilah."
"Baik, terimakasih Sir." Selly membungkukkan badan hormat, lalu buru-buru melangkah setengah berlari menuju lift,
"Oh, Selly?" Tiba-tiba saja Gabriel memanggil, membuat langkah Selly terhenti dan menoleh lagi.
"Ya Sir?"
"Kau bisa memakai supirku, dia ada di bawah di depan lift. Dia akan mengantarmu ke rumah sakit..."
"Tidak Sir! Tidak perlu! Saya bisa naik taxi..." dengan segera Selly menggelengkan kepalanya.
"Di luar hujan dan menunggu taxi membutuhkan waktu lama, kasihan calon suamimu menunggu di sana. Pakai saja supirku, hitung-hitung sebagai permintaan maafku karena membuatmu kerja lembur dan terlambat menemui calon suamimu." Gabriel bergumam dengan tenang, matanya menatap Selly tajam, tak terbantahkan.
Sejenak Selly terpana, tapi kemudian dia sadarkan diri, mungkin Gabriel benar, akan lebih praktis kalau diantar oleh supir Gabriel, dan tadi katanya di luar hujan pula.
"Terimakasih Sir." Gumamnya bersemangat dan pintu lift-pun terbuka. Sebelum Selly masuk ke dalam lift dia sempat melirik ke arah Gabriel berdiri tadi, tetapi lelaki itu sudah tidak ada, dan pintu ruang besar tertutup rapat.
***
Mobil besar berwarna hitam itu berhenti tepat di depan rumah sakit, setelah mengucapkan terimakasih pada supir Gabriel yang dari tadi hanya diam saja, hanya mengangguk dan tak bersuara sedikitpun, Selly lalu keluar dari mobil dan setengah berlari memasuki lobby rumah sakit itu.
Dia benar-benar terlambat! Meski supir Gabriel berusaha melaju secepat mungkin, tetapi kemacetan jalan raya menghalangi mereka untuk segera sampai. Rolan pasti sudah menemui doktrer Beny sendirian.
Dengan rasa menyesal, Selly berjalan menuju ruangan dokter Rolan, tempat mereka sering berkonsultasi mengenai kesehatan Rolan. Tetapi lorong itu lengang, dan pintu ruangan tertutup rapat.
Yah dia memang benar-benar terlambat, Rolan pasti sudah kembali ke kamarnya.
Dengan langkah tergesa, Selly menuju sayap rumah sakit tempat pasien kanker ditempatkan, menganggukkan kepala pada suster jaga yang sudah sangat mengenalnya, lalu setengah berlari menuju kamar Rolan.
Kamar itu kosong....Dimana Rolan?
Selly melangkah keluar kamar, kebingungan...apakah Rolan menjalani pemeriksaan lagi? Atau Rolan menjalani perawatan intensif di tempat lain? tetapi bukankah Rolan sudah sembuh? Atau jangan-jangan.... hasil test kemarin salah?
Pikiran-pikiran buruk memenuhi benak Selly membuatnya semakin cemas. Dia hendak berjalan ke tempat suster jaga untuk menanyakan tentang Rolan ketika suara tawa itu terdengar. Suara tawa yang amat sangat dikenalnya.
Itu suara tawa Rolan!
Dan datangnya dari kamar seberang..... dengan hat--hati, takut salah dengar, Selly mengintip ke pintu di kamar seberang yang terbuka.
Di sana Rolan duduk di tepi ranjang, sedang menjelaskan sesuatu dengan bersemangat pada seorang pasien lain yang terbaring setengah duduk di tempat tidur, kemudian mereka tertawa bersama.

"Ah, Selly, Sayang, akhirnya kau datang juga." Rolan mengulurkan tangannya, "Sini, kemari kukenalkan dengan Sabrina, dia pasien di sini juga sejak lama."
Rolan memiringkan tubuhnya, dan kemudian, pasien itu... pasien bernama Sabrina yang tadi tertutup punggung Rolan terlihat jelas di mata Selly,
Oh astaga... cantiknya.... sungguh kecantikan yang sangat rapuh, kulit Sabrina begitu pucatnya tetapi matanya hijau dan besar, terlihat begitu mencolok dengan bulu mata yang indah dan panjang. Kecantikan yang rapuh, kecantikan yang bagaikan dewi peri hutan yang transparan ketika disentuh...
Dengan langkah hati-hati, Selly menerima uluran tangan Rolan, dan Sabrina yang berada di atas ranjang tersenyum kepadanya, sambil mengulurkan tangan,
"Hai, aku Sabrina, Rolan menolongku ketika pingsan di lorong tadi." Mata hijaunya bercahaya dan tampak cantik, "Kau pasti Selly, Rolan banyak bercerita tentangmu tadi."
Selly menyambut uluran tangan Sabrina, merasakan jemari itu dingin dan rapuh dalam genggamannya,
"Hai juga, aku Selly."
Rolan tersenyum lebar, "Bayangkan Selly, aku dan Sabrina hanya berseberangan kamar dan kami ada di rumah sakit ini sangat lama, tetapi tidak pernah bertemu sebelumnya." Rolan lalu berdiri dan menatap Sabrina lembut, "Baiklah, aku tidak mau mengganggu istirahatmu Sabrina, kau pasti lelah, jadi kami akan pergi." dengan posesif, lelaki itu merangkul pinggang Selly.
Sabrina menganggukkan kepalanya, "Terimakasih Rolan, menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersama seseorang." Sabrina lalu menoleh ke arah Selly dan tersenyum lembut, "Kau sungguh beruntung memiliki seseorang yang bersedia menemani dan mengisi hari-harimu ketika kau sakit..... sedangkan aku, aku selalu di sini sendirian... keluargaku hanya papaku, dan dia sangat sibuk dengan bisnisnya... " mata Sabrina tampak sedih, berkaca-kaca.
Tiba-tiba saja Selly merasa iba melihatnya, gadis ini sakit, tampak begitu rapuh dan kesepian, mengingatkannya pada Rolan di masa-masa sakit parahnya dahulu,
"Jangan kuatir Sabrina, aku dan Rolan pasti akan sering kemari untuk menemanimu ngobrol." gumamnya impulsif seketika.
Mata Sabrina langsung melebar, kesedihan di sana lenyap berganti dengan harapan,
"Benarkah?" dia tersenyum lebar dan tampak cantik sekali, "Terimakasih. terimakasih.. itu amat sangat berarti bagiku." gumamnya ceria.
***
Rolan dan Selly berjalan keluar dari kamar Sabrina dan menuju ke seberang, ke arah kamar Rolan,
"Maafkan aku... aku terlambat datang karena pekerjaanku..." Selly bergumam penuh penyesalan ke arah Rolan.
Kekasihnya itu menoleh, menatap Selly dan kemudian memeluknya erat, mengecup dahinya lembut,
"Tidak apa-apa sayang, aku mengerti kok. Lagipula aku juga tidak melihat hasil test itu." gumam Rolan riang, menagap Selly di pelukannya.
Mata Selly melebar, "Tidak melihat hasil testnya? jadi...?"

"Sudah sembuh?" Selly menatap Rolan, melihat senyum Rolan yang lebar. Rolan bersungguh-sungguh, mukjizat ini benar adanya!
Air mata mengalir di sudut mata Selly, mengalir ke pipinya, membuatnya sesenggukan,
"Ya Tuhan Rolan... aku amat sangat bersyukur... amat sangat bersyukur..." Selly menangis, perasaannya meluap-luap, antara rasa syukur dan bahagia, terharu dan semua perasaan indah itu bercampur aduk di benaknya, membuatnya sesenggukan.
Rolan mengecup air mata di pipi Selly dengan lembut, kemudian menenggelamkan tubuh Selly yang mungil di pelukannya, memeluknya kuat-kuat,
"Aku mencintaimu Selly, amat sangat mencintaimu. Sekarang kau bisa memilikiku, diriku yang sehat, seutuhnya."
***
Sabrina sedang termenung sambil menatap ke arah jendela, memantulkan sinar senja yang menggelap. Ketika dia merasakan aura itu,
"Kau selalu datang tanpa permisi." gumamnya dan kemudian menoleh ke arah Gabriel yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sana, bersandar malas di dekat jendela, berdiri di bawah bayang-bayang senja sehingga wajahnya tertutup siluet gelap.
"Perempuan jahat." Gabriel tersenyum sinis, "Kau menggunakan penampilan rapuhmu untuk memanipulasi hati manusia yang lemah."
Sabrina membalas senyuman Gabriel, "Bukankah kau seharusnya berterima kasih kepadaku, Gabriel ? Secara tidak langsung aku membantumu bukan?"
"Aku tidak butuh bantuan." Mata Gabriel menggelap, "Apa sebenarnya rencanamu, Sabrina? Kenapa kau mendekati Rolan?"
Sabrina menghindari tatapan Gabriel yang tajam, berusaha membentengi diri. Dia tahu bahwa kalau mau, Gabriel bisa menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran, karena itulah dia berusaha membentengi dirinya kuat-kuat. Dia sudah terbiasa melakukan itu kalau berhadapan dengan Gabriel.
"Kau tidak perlu tahu rencanaku, Gabriel... yang perlu kau tahu, aku tidak akan mengganggu apapun rencanamu."
"Oh ya?" Gabriel memajukan tubuhnya, berdiri di tepi ranjang dan kemudian mengulurkan telunjuknya untuk mengangkat dagu Sabrina yang pucat dan rapuh, "Jangan main-main denganku Sabrina, apa yang kau lakukan tadi memang memuluskan rencanaku, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya. Aku punya rencanaku sendiri yang sudah kususun dengan baik, dan aku tidak mau siapapun ikut campur, bahkan kau sekalipun." Gabriel tidak main-main, ekspresi kejam muncul di wajahnya, "Apakah kau mengerti, Sabrina?"
Tubuh Sabrina terasa panas, membakar. Oh Astaga! Gabriel menaikkan suhu ruangan ini, lelaki itu benar-benar marah, dan sekarang seluruh ruangan terasa panas membakar. Peluh Sabrina bercucuran sedangkan Gabriel tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan suhu ruangan ini yang begitu membakar.
"Gabriel! Panas! Panas!" Sabrina menjerit, keringat bercucuran di seluruh tubuhnya dan rambutnya basah kuyup.
Mata Gabriel tetap dingin, "Jawab aku Sabrina, apakah kau mengerti? Dan kemudian katakan apa rencanamu."
"Aku mengerti! Aku mengerti!" Sabrina memekik, tidak tahan dengan suhu ruangan yang panas dan juga rasa panas yang membakar tubuhnya, "Gabriel! Kumohon, kumohon kakak! Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu!"
Seketika itu juga panas yang membakar ruangan itu menghilang. Gabriel mundur dan menatap Sabrina dengan dingin,
"Jelaskan."
Mata Sabrina berkaca-kaca, menatap Gabriel, kakak tirinya yang sangat dicintainya, tetapi tidak pernah bisa membalas cintanya. Kenapa Gabriel bisa sekejam ini kepadanya? Tidak adakah sedikitpun rasa sayang Gabriel kepadanya? dia adik Gabriel bukan?
"Aku... aku sudah tahu semuanya, bahwa Rolan bisa mengancam keselamatanmu... bahwa mungkin saja kau terbunuh kalau Rolan bisa mendapatkan pengorbanan dari Selly dan mendapatkan 5% tambahan kekuatannya..." air mata Sabrina menetes, "Aku hanya tidak ingin kau mati..."
"Jadi kemudian kau menyamar dan mencoba merebut Rolan dari Sabrina demi menyelamatkanku?" Gabriel mendesis dingin, " Aku tidak akan kalah dari Rolan apapun yang terjadi, dia hanya anak ingusan yang tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatannya." Mata Gabriel menyala, "Aku tidak peduli apapun yang kau lakukan Sabrina, kali ini kau kumaafkan. Tapi jangan sampai kau ikut campur lagi tanpa seizinku."
Dan kemudian Gabriel menghilang ditelan bayang-bayang gelap yang menyambut malam.
Sabrina menangis di atas ranjang, terisak-isak perih akan sikap dingin Gabriel. Seharusnya Gabriel bisa mencintainya! Kalau saja Gabriel bisa mencintainya, maka lelaki itu akan memiliki cinta sejati dan tidak perlu cemas akan dikalahkan oleh Rolan!
Gabriel adalah cinta sejati Sabrina, dan Sabrina tidak akan pernah menyerah sampai Gabriel mencintainya. Dan alasan sebenarnya berusaha mendekati Rolan bukan hanya demi menyelamatkan Gabriel, tetapi lebih karena Sabrina tidak rela Gabriel mendekati Selly dan menebarkan pesonanya kepada perempuan itu!
Sabrina tidak akan berhenti. Sebab jika Rolan sudah benar-benar terpesona kepadanya, maka Gabriel tidak akan perlu repot-repot mendekati Selly.
***

Walaupun begitu ada rasa tidak suka di benak Gabriel, dia tidak suka Sabrina selalu berusaha mencampuri apapun rencananya. Sabrina adalah adik tirinya, mereka berhubungan darah, berbeda ayah tetapi satu ibu. Sabrina sangat mirip dengan ibu mereka yang rapuh dan sakit-sakitan sepanjang hidupnya. Dan Sayangnya adiknya itu menyimpan obsesi terpendam yang tidak pernah dimengertinya. Tidakkah Sabrina mengerti bahwa mereka berhubungan darah? selain itu apapun yang terjadi Gabriel tidak akan bisa membuka hatinya kepada perempuan manapun. Jiwanya terlalu kelam dan gelap untuk dirasuki penyakit bernama 'cinta'.
"Carlos!" lelaki itu memanggil pelayan setianya yang langsung muncul seketika.
"Ya Tuan."
"Kau sudah membawa apa yang aku minta?"
Carlos mengangguk tanpa kata, menyerahkan sebuah buku yang berat dan tebal dan meletakkannya di meja Gabriel. Gabriel menatap buku kuno yang usianya mungkin sudah ratusan tahun itu, dia bahkan tidak mau menyentuhnya. Buku itu penuh dengan aturan-aturan semesta yang mengikat sang pemegang kekuatan, diwariskan oleh pemilik kekuatan terdahulu turun temurun kepadanya. Matthias pasti juga mewariskan buku yang sama untuk Rolan entah bagaimana caranya nanti, meskipun Gabriel bisa memastikan bahwa sampai detik ini Rolan belum menerima buku itu.
Gabriel sangat jarang membaca buku itu, bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya, dia muak dengan segala aturan semesta yang mengikat sang pembawa kekuatan yang tercantum begitu banyak di dalam buku itu. Gabriel biasanya menyuruh Carlos mempelajarinya dan menjelaskan kepadanya.
"Apakah kau sudah menemukan bagian itu? bagian mengenai 'pengorbanan sang cinta sejati'?"
Carlos menganggukkan kepalanya, "Saya menemukan petunjuk tentang hal itu Tuan, meskipun bagian itu disamarkan dengan barisan puisi kuno yang penuh teka-teki."
"Disamarkan?" Kali ini Gabriel tertarik, "Tunjukkan padaku."
Carlos melangkah mendekat dan membuka buku itu dihadapan Gabriel dengan hati-hati,
"Buku ini hampir tidak pernah membahas tentang pengorbanan cinta sejati, sepertinya hal itu memang dihindarkan untuk terjadi di antara kedua pembawa kekuatan." Carlos menjelaskan, "Yang dijelaskan secara gamblang hanyalah, ketika kedua pembawa kekuatan memutuskan saling bertarung, maka yang menjadi pemenang adalah yang mempunyai cinta sejati, yang akan memberikan pengorbanan sehingga bisa membangkitkan 5% kekuatan otak yang tersisa.......dan memang untuk pemegang kekuatan kegelapan, diberikan benteng penghalang khusus supaya tidak bisa menemukan cinta sejatinya. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan kegelapan tidak tergoda untuk membunuh kekuatan cahaya."
Gabriel tersenyum sinis, "Jadi kekuatan semesta mengatur bahwa bagaimanapun juga, kekuatan kegelapan tidak akan pernah bisa memenangkan pertarungan? Hatiku dibentengi dengan kegelapan yang pekat sehingga tidak bisa jatuh cinta. Pada akhirnya selalu digariskan bahwa kekuatan terang yang menang."
Carlos menatap Gabriel hati-hati, "Itu semua diatur mengingat kekuatan terang adalah pecinta damai, meskipun dia menemukan cinta sejatinya, dia tidak akan mengobarkan perang karena tahu bahwa keseimbanganlah yang paling utama. Sedangkan kekuatan gelap, hampir bisa dipastikan merupakan pemicu terjadinya perang kekuatan...."
Mata Gabriel menggelap, "Ya. Kami para pemegang kekuatan kegelapan memang memiliki hati yang jahat dan hasrat untuk menghancurkan dunia, karena itulah kami dikutuk untuk tidak bisa jatuh cinta, supaya kami tidak bisa menemukan cinta sejati kami, dan supaya kami tidak bisa mengalahkan pemegang kekuatan terang." Mata Gabriel tampak muram, "Tetapi aku harus mengalahkan Rolan bagaimanapun juga, Matthias mencurangiku dengan memilih Rolan yang sudah memiliki cinta sejatinya. Dan karena sekarang sepertinya Rolan masih belum mendapatkan lima persen kekuatan itu - bahkan meskipun dia sudah memiliki Selly di sampingnya - itu membuatku bertanya-tanya, apakah ada ritual khusus dari Rolan untuk mendapatkan tambahan kekuatan lima persen itu."
"Semua ritualnya tersirat di puisi ini." Jemari Matthias menunjuk bagian di lembaran buku itu.
Mata Gabriel langsung mengarah kesana, membaca barisan puisi di buku kuno dengan kertas yang sudah menguning dan tua itu.

Mata Gabriel menggelap, dia menatap ke arah Carlos dan lelaki itu membalas tatapannya penuh makna, menyiratkan bahwa dia memiliki pemikiran yang sama.
Ya.... pengorbanan cinta sejati itu melibatkan pengorbanan nyawa....demi memberikan kekuatan kepada Rolan sebesar lima persen, Selly harus mengorbankan nyawanya. Entah bagaimana caranya, tetapi itulah yang tersirat di puisi kuno ini.
Bersambung ke part 6
Published on May 31, 2013 03:15
May 30, 2013
Another 5% Part 4
PS : untuk Another 5% ini full visualisasi yah biar puas pembaca membayangkan hihihihi ^__^
Suasana mendadak hening ketika Gabriel menyapa Selly, semua mata memandang ke arah Selly yang masih berdiri gugup di sana, sementara Gabriel tampak tenang-tenang saja, ada seulas senyum di bibirnya
"Kemarilah, silahkan duduk nona Selly." Gabriel menggerakkan tangannya, meminta Selly mendekat, ada senyum ramah di sana, senyum menenangkan yang membuat Selly akhirnya berani maju dan duduk di salah satu bangku yang mengitari meja bundar yang besar itu. Ibu Sandra ikut duduk di sebelahnya, tidak berkata apa-apa.
"Oke semua orang yang saya minta sudah hadir di sini. Sebagian dari kalian pasti masih bingung dan menebak-nebak apa yang terjadi, siapa saya dan apa hubungannya dengan Mr. Tony." Gabriel menoleh ke arah Mr. Tony yang mengangguk-angguk sambil tersenyum, "Saya akan memperkenalkan diri saya secara langsung, saya adalah Gabriel de Miguel, saya mempunya perusahaan di eropa dan amerika yang bergerak di bidang retail, penjelajahan saya atas ekspansi akhirnya berujung di negara yang indah ini, dan kemudian saya bertemu dengan Mr. Tony yang menawarkan kerjasama bisnis. Jadi mulai sekarang, saya adalah pemilik resmi perusahaan ini."
Gabriel tersenyum menatap ekspresi seluruh orang yang ada di ruang meeting itu, ada yang tampak terkejut, ada yang tampak datar, "Perlu kalian semua tahu, dengan berpindahnya kepemilikan tidak akan mengubah apapun dalam arti yang krusial, bisnis tetap berjalan seperti biasanya, saya belum akan mengevaluasi ataupun melakukan pernggantian sumber daya manusia. Dan Mr. Tony tetap menjadi CEO di perusahaan ini, sementara saya akan mengawasi dari balik panggung. Saya harap kerjasama dari kalian semua."
Semua yang ada diruangan itu mengangguk-angguk, setuju akan perkenalan pemilik baru perusahaan mereka yang tampan dan karismatik. Lalu Mr. Tony bersalaman dengan Gabriel, sebagai simbol pemindahan kepemilikan mereka secara resmi.
Sementara itu Selly masih duduk di ujung dan mengerutkan keningnya, ini jelas-jelas pembahasan kalangan atas dan direksi, apalagi semua yang hadir di sini milimal manager dan direktur.... kenapa Selly harus ada di sini? Untuk apa dia dipanggil di sini?
Pertanyaan Selly rupanya segera terjawab ketika Gabriel melanjutkan kata-katanya.
"Dan satu lagi, saya membutuhkan asisten dari perusahaan ini yang bisa dipercaya. Seorang asisten pribadi yang bisa menyiapkan semua data perusahaan ini kapanpun saya minta." Mata Gabriel melirik tajam ke arah Selly, membuat Selly tergeragap gugup, "Dan saya sudah menentukan pilihan, Nona Selly saya sudah membaca seluruh report prestasimu di pekerjaan ini, dan saya ingin mempromosikan kamu menjadi asisten pribadi saya."
Semua yang ada di ruangan itu, kecuali Mr. Tony yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja dari tadi, tampak terkejut. Sekali lagi semua mata memandang ke arah Selly yang hanya bisa membelalakkan matanya dengan gugup dan bingung.
Dia bahkan tidak tahu harus berkata apa! Kenapa Gabriel.... kenapa lelaki ini menjadi bos barunya? dan kenapa mempromosikan dirinya? Apakah ini ada hubungannya dengan pertemuan tidak sengaja mereka beberapa kali itu? Tetapi bagaimana mungkin?
"Saya harap semua bisa menerima keputusan saya, dan ke depannya kita bisa bekerjasama dengan baik demi kemajuan perusahaan. Oke meeting hari ini saya tutup." Gabriel bergumam, memberikan pengusiran halus hingga orang-orang mau tak mau beranjak berdiri meninggalkan ruangan, kemudian lelaki itu menatap Selly yang masih duduk dan terpaku, "Nona Selly anda boleh tinggal di sini sebentar, ada yang ingin saya bahas dengan anda."
Mau tak mau Selly menganggukkan kepalanya. Dirinya masih diselimuti oleh rasa terkejut yang luar biasa hingga bahkan kalaupun dia mau, dia tak bisa bergerak.
Setelah semua orang pergi dan hanya tinggal Selly dan Gabriel di ruangan itu, Gabriel menopangkan kedua tangannya di meja dan mengaitkannya di bawah dagunya, ada senyum yang lembut dari bibirnya.
"Kau pasti terkejut." gumamnya memecahkan keheningan yang kaku itu.
Selly mendongakkan kepalanya dan menatap langsung mata Gabriel yang tajam itu, yang seolah-olah menembus ke dalam hatinya. Bibirnya bergetar, merasa kalau lelaki ini sedikit mengintimidasi.
"Ya. Mohon maaf. Saya.... saya masih tidak mengerti kenapa anda memilih saya untuk menjadi asisten pribadi." setelah berdehem beberapa kali akhirnya Selly bisa berkata-kata.
Gabriel tersenyum lalu bertopang dagu sambil menatap Selly dengan tajam,
"Mungkin memang semua hanya kebetulan dan aku memakai alasan klise yang aneh, kuharap kau mengerti Selly. Aku adalah orang asing di negara ini, tidak ada yang kukenal, dan kemudian seperti sebuah petunjuk aku bertabrakan denganmu di jalan.... lalu kita bertemu lagi di perusahaan ini." Mata Gabriel tampak berkilat, "Aku adalah orang yang percaya dengan intuisiku, jadi aku menganggap bahwa pertemuanku denganmu mungkin sebuah petunjuk. Aku percaya dengan kapabilitasmu sebagai pegawai, karena itu, dengan tidak ada maksud lain di baliknya, aku murni memintamu membantuku di perusahaan ini, menjadi asistenku. Apakah kau bersedia? Karena ini bukan paksaan, kalau kau tidak bersedia, aku akan mempertimbangkan orang lain."
Lelaki itu menjelaskan semua alasannya bahkan tanpa berkedip sekalipun. Selly tercenung dan menghela napas panjang. Ini adalah promosi yang luar biasa, dirinya yang hanya staff akunting dalam sekejap bisa menjadi asisten orang nomor satu di perusahaan ini, lelaki itu tadi menyinggung tentang kapabilitasnya sebagai pegawai, dan Selly merasa ini mungkin waktunya dia menunjukkan kemampuannya.
"Saya bersedia. Saya akan berusaha sebaik mungkin." jawab Selly mantap kemudian, membuat Gabriel tersenyum penuh arti.
"Bagus, terimakasih Selly, kemasilah barang-barang di ruangan kantormu yang dulu. Kau akan pindah di ruangan besar bersamaku supaya kita lebih mudah berkomunikasi."
***
Ketika Selly kembali ke ruangannya, staff-staff yang lain memandangnya dengan tatapan mata aneh, bahkan bu Sandra pun tampak aneh kepadanya.
Selly segera mengetuk pintu ruangan bu Sandra, perempuan setengah baya berusia empat puluhan itu menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Selly masuk.
Dengan gugup Selly duduk,
"Saya menerima promosi itu, bu Sandra." gumamnya pelan.
Ada kilat di mata bu Sandra, tetapi perempuan itu berhasil menyembunyikannya dalam sekejap.
"Bagus. Dan kurasa kau harus mengemasi barang-barangmu dan pindah ke ruangan besar?"
"Iya bu."
"Berpamitanlah dengan rekan-rekan kerjamu sebelum pindah, aku sudah menginformasikan promosi yang kau terima kepada mereka semua." dan setelah itu bu Sandra memalingkan muka ke arah kertas-kertas di tangannya, memberi isyarat pengusiran halus kepada Selly.
Selly akhirnya berdiri dengan gugup, "Baik bu... eh terimakasih atas semua kebaikan ibu selama saya berada di divisi ini." Ketika bu Sandra hanya mengangguk tanpa ekspresi, Selly akhirnya keluar dari ruangan atasannya itu.
Ketika Selly keluar, bu Sandra menatap marah ke arah punggungnya dari belakang. Benaknya dipenuhi rasa iri yang menggelora.
Bagaimana bisa?? Bagaimana bisa anak ingusan itu tiba-tiba saja mendapatkan jabatan penting yang bahkan lebih tinggi darinya?
Sudah sepuluh tahun dia bekerja di perusahaan ini, memberikan dedikasi yang terbaik yang bisa diberikannya, dia adalah pekerja yang hebat dan berpengalaman. Jadi kalau ada yang berhak diberikan promosi, seharusnya adalah dia! bukan pekerja ingusan yang tidak punya kemampuan apa-apa seperti Selly!
Benaknya membayangkan owner baru mereka yang masih muda dan luar biasa tampan. Tiba-tiba dia bertanya-tanya, mungkinkah ada hubungan khusus antara Gabriel dengan Selly?
***
Selly diberi ruangan khusus berada di sudut ruang besar. Ruang besar adalah ruangan paling besar di kantor itu, yang menjadi ruang khusus owner perusahaan mereka. Selly mendapatkan meja besar di sudut ruangan , lengkap dengan seluruh peralatan penunjang pekerjaannya. Sementara di tengah ruangan itu, ada meja gelap yang besar, tempat owner perusahaan mereka berkantor. Ruangan itu memiliki pintu sambungan khusus ke ruang sebelah yang nyaman dan berisi sofa dan rak buku, tempat owner perusahaan menerima tamunya.
Mungkin pekerjaan Selly akan lebih seperti sekertaris pribadi, batinnya dalam hati waktu mengatur barang-barangnya di mejanya yang baru, menyadari bahwa dia menempati meja bekas sekertaris pribadi owner yang lama. Kalau begitu, kemana sekertaris pribadi owner yang lama sekarang...?
Selly menghela napas panjang, berkesimpulan bahwa sekertaris pribadi owner yang lama pastilah sudah diberikan posisi lain yang bagus, bukankah Gabriel di meeting tadi bilang bahwa dia tidak akan mengevaluasi ataupun mengganti pegawai di sini?
Bicara tentang Gabriel... dimana lelaki itu? Selly memandang ke arah meja besar yang kosong, lalu termenung, kalau tidak ada lelaki itu, dia tentu saja tidak ada pekerjaan. Lama kemudian Selly duduk di ruangannya, merasa bingung, sampai kemudian pintu ruangan itu terbuka.
"Sudah merasa nyaman dengan tempat barumu?" Gabriel tersenyum di sana menyapa.
Selly menganggukkan kepalanya dengan gugup, menunggu instruksi selanjutnya.
Gabriel sendiri tampak membawa berkas-berkas dan laptop di tangan kirinya, dia meletakkannya di meja besarnya, lalu berdiri di sana dan menatap Selly,
"Aku masih mempelajari perusahaan ini, bagaimana penjualannya, seperti apa konsumennya, barang apa yang kita jual, dengan supplier mana kita bekerjasama dan sebagainya." Matanya mengernyit tampak tidak senang, "Sayangnya data yang ada masih berantakan, maukah kau merapikannya untukku? buatlah susunan data yang teratur dan terperinci menyangkut seluruh informasi tentang perusahaan ini, kau pasti tahu caranya bukan?"
Selly menganggukkan kepalanya, dia harus menghubungi banyak divisi untuk meminta semua data sebelum merangkumnya menjadi laporan lengkap.
"Bagus." Gabriel menganggukkan kepalanya, tampak senang." Dan perlu kau tahu Selly kau adalah asisten pribadiku, dan bukan hanya di perusahaan ini tetapi di perusahaanku yang lainnya, jadi sebisa mungkin aku akan membawamu kemana-mana." Lelaki itu mengedikkan bahunya, tidak mempedulikan eskpresi Selly yang terperangah, "Sekarang aku ada janji, jam tujuh malam aku akan kembali di sini, kuharap seluruh laporan itu selesai, kalau kau pulang duluan, letakkan saja di meja ini."
Dan kemudian tanpa menunggu jawaban Selly, Gabriel melangkah pergi, meninggalkan Selly yang benar-benar panik. Astaga! Gabriel menginginkan seluruh laporan yang rumit itu dikerjakan sekarang? Biasanya laporan seperti itu membutuhkan waktu beberapa hari!
Selly duduk dan menekan telepon untuk meminta data kepada semua divisi. Dia harus bergegas mengumpulkan semua data, kalau tidak dia bisa terlambat untuk bertemu dengan Rolan.
***
Rolan mengernyitkan keningnya, sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Selly tapi teleponnya tidak diangkat, Selly tidak pernah begini sebelumnya, perempuan itu selalu siap sedia kapanpun Rolan menghubunginya, tiba-tiba saja benak Rolan merasa cemas, perasaan itu menyeruak di dalam dirinya seakan ada kekuatan jahat yang sedang mengancam Selly.
Setelah percobaan yang kesekian kalinya, akhirnya teleponnya di angkat, Rolan menghela napas, merasa sangat lega,
"Selly! Astaga, kenapa tidak kau angkat teleponmu?"
Suara Selly di seberang sana tampak gugup dan lelah, "Rolan... ya ampun maafkan aku Rolan, aku sibuk mengerjakan pekerjaanku hingga meninggalkan ponselku di tas, aku tidak mendengar kau menelepon, maafkan aku."
Rolan mengernyitkan keningnya, melirik jam tangannya, sebentar lagi ada pertemuan dengan dokter untuk membicarakan hasil tes, karena itulah Rolan menunggu-nunggu Selly,
"Kau masih di kantor?" tanyanya gusar. Kenapa Selly masih di kantor? bukankah butuh waktu hampir satu jam dari kantor Selly ke rumah sakit?
"Iya Rolan, maafkan aku. Aku... aku menerima promosi, sekarang aku menjadi asisten pribadi pemilik baru perusahaan ini, dan pekerjaan pertamaku adalah mengumpulkan seluruh data perusahaan, aku berusaha mengerjakan secepat mungkin... maafkan aku, tapi ini benar-benar banyak.... mungkin dua puluh menit lagi aku baru bisa ke rumah sakit, Rolan."
Tiba-tiba kegusaran di benak Rolan menghilang ketika mendengarkan bahwa Selly sudah hampir menangis. Ah. Ya Ampun, Rolan sama sekali tidak berhak memarahi Selly, pun Selly tidak seharusnya meminta maaf sampai seperti itu kepadanya. Selama ini Selly sudah memberikan waktunya tanpa pamrih dengan tulus kepada Rolan. Dan sekarang adalah waktunya Rolan yang mendukung Selly,
"Jangan terburu-buru sayang, ini cuma pertemuan dengan dokter kok. Lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya yah, aku tidak apa-apa sayang."
Selly menghela napas panjang, "Terimakasih Rolan, aku akan segera ke rumah sakit setelah beres." janjinya sungguh sungguh, membuat Rolan tersenyum dan memberikan cium jauh sebelum menutup pembicaraan.
Rolan menghela napas panjang, dia lupa memberi selamat kepada Selly atas promosi yang diterimanya, tapi nanti pasti ada kesempatannya bersama Selly.... nanti... Rolan tersenyum tahu bahwa besok dia pasti sudah boleh keluar dari rumah sakit ini yang selama beberapa tahun telah menjadi tempat tinggal keduanya.
Dan setelah itu waktunya bersama Selly akan sangat panjang, mereka akan bebas menikmati waktu bersama-sama.... Begitu keluar dari rumah sakit, Rolan akan mengunjungi toko cincin. Ya, dia akan langsung melamar Selly, menunjukkan kesungguhan hatinya dengan menikahi cinta sejatinya itu.
***
Rolan berjalan di lorong, hendak menemui dokter. Yah pada akhirnya dia akan menemui dokter itu sendiri, meskipun dia sudah tahu hasilnya, tidak akan ada yang berubah dari hasil pemeriksaan yang kedua ini,
Dirinya sudah sembuh total... dan selain itu ada kekuatan besar didalam dirinya yang terasa meluap-luap, seakan meminta untuk dipergunakan....
Sambil bersenandung Rolan berjalan menyusuri lorong rumah sakit itu, dan kemudian mengeryit ketika melihat ke depan.
Di depannya ada seorang perempuan berambut panjang dengan gaun kuning cerah berbunga-bunga, dia berjalan sendirian.... sambil berpegangan pada tepi lorong rumah sakit. Dan kemudian mulai terhuyung-huyung seakan hendak pingsan.
Secepat kilat Rolan langsung melompat dan menangkap tubuh kecil yang oleng ke belakang itu, tubuh itu terasa begitu ringan...
Rolan menatap perempuan yang masih lunglai dengan mata terpejam di pelukannya itu, dan menyadari betapa cantiknya perempuan yang ada di tangannya, tapi... perempuan itu pucat... sangat pucat hingga tubuh dan wajahnya seputih kertas.... apakah perempuan ini sakit?
Perempuan itu menghela napas panjang, lalu membuka matanya, mata hijau besar yang sangat bening, bibirnya tampak pucat dan bergetar ketika berkata-kata,
"Maafkan aku...namaku Sabrina." suaranya kecil dan lemah, "Seharusnya aku tidak boleh berjalan-jalan, tapi aku mencari perawatku... dia tidak ada."
"Anda pasien di sini?" Rolan makin cemas ketika melihat wajah perempuan itu semakin pucat, "Katakan di mana kamar anda, saya akan mengantarkan..."
Perempuan itu mengangguk, dan kemudian bibirnya membuka lalu menutup lagi, seakan kesulitan berbicara, setelah menghela napas panjang, dia berkata,
"Te... terimakasih.... aku, aku ada di bagian pasien kanker....maafkan aku.. sepertinya pandanganku berkunang-kunang" perempuan itu memejamkan mata, tubuhnya lunglai.
"Saya akan mengantar anda ke sana." Dengan sigap, Rolan mengangkat tubuh ringkih perempuan cantik itu ke dalam gendongannya, "Seharusnya anda tidak berjalan-jalan sendirian seperti ini." Sabrina, begitu tadi nama perempuan ini, dan ternyata Sabrina juga mengidap kanker. Rolan sendirilah yang paling tahu bagaimana lemahnya tubuhnya ketika digerogoti oleh penyakit itu. Dia pernah mengalaminya dan mengerti bagaimana rasanya.
Jauh di belakang lorong, Gabriel bersandar di dinding. Dari tadi dia mengamati semua kejadian itu, dan kemudian setelah Rolan menghilang di ujung lorong bersama Sabrina, Gabriel tidak bisa menahan senyumnya.
Ternyata mudah sekali .... Sabrina akan memuluskan rencananya yang berikutnya...
Bersambung ke part 5

Suasana mendadak hening ketika Gabriel menyapa Selly, semua mata memandang ke arah Selly yang masih berdiri gugup di sana, sementara Gabriel tampak tenang-tenang saja, ada seulas senyum di bibirnya
"Kemarilah, silahkan duduk nona Selly." Gabriel menggerakkan tangannya, meminta Selly mendekat, ada senyum ramah di sana, senyum menenangkan yang membuat Selly akhirnya berani maju dan duduk di salah satu bangku yang mengitari meja bundar yang besar itu. Ibu Sandra ikut duduk di sebelahnya, tidak berkata apa-apa.

"Oke semua orang yang saya minta sudah hadir di sini. Sebagian dari kalian pasti masih bingung dan menebak-nebak apa yang terjadi, siapa saya dan apa hubungannya dengan Mr. Tony." Gabriel menoleh ke arah Mr. Tony yang mengangguk-angguk sambil tersenyum, "Saya akan memperkenalkan diri saya secara langsung, saya adalah Gabriel de Miguel, saya mempunya perusahaan di eropa dan amerika yang bergerak di bidang retail, penjelajahan saya atas ekspansi akhirnya berujung di negara yang indah ini, dan kemudian saya bertemu dengan Mr. Tony yang menawarkan kerjasama bisnis. Jadi mulai sekarang, saya adalah pemilik resmi perusahaan ini."
Gabriel tersenyum menatap ekspresi seluruh orang yang ada di ruang meeting itu, ada yang tampak terkejut, ada yang tampak datar, "Perlu kalian semua tahu, dengan berpindahnya kepemilikan tidak akan mengubah apapun dalam arti yang krusial, bisnis tetap berjalan seperti biasanya, saya belum akan mengevaluasi ataupun melakukan pernggantian sumber daya manusia. Dan Mr. Tony tetap menjadi CEO di perusahaan ini, sementara saya akan mengawasi dari balik panggung. Saya harap kerjasama dari kalian semua."
Semua yang ada diruangan itu mengangguk-angguk, setuju akan perkenalan pemilik baru perusahaan mereka yang tampan dan karismatik. Lalu Mr. Tony bersalaman dengan Gabriel, sebagai simbol pemindahan kepemilikan mereka secara resmi.
Sementara itu Selly masih duduk di ujung dan mengerutkan keningnya, ini jelas-jelas pembahasan kalangan atas dan direksi, apalagi semua yang hadir di sini milimal manager dan direktur.... kenapa Selly harus ada di sini? Untuk apa dia dipanggil di sini?
Pertanyaan Selly rupanya segera terjawab ketika Gabriel melanjutkan kata-katanya.
"Dan satu lagi, saya membutuhkan asisten dari perusahaan ini yang bisa dipercaya. Seorang asisten pribadi yang bisa menyiapkan semua data perusahaan ini kapanpun saya minta." Mata Gabriel melirik tajam ke arah Selly, membuat Selly tergeragap gugup, "Dan saya sudah menentukan pilihan, Nona Selly saya sudah membaca seluruh report prestasimu di pekerjaan ini, dan saya ingin mempromosikan kamu menjadi asisten pribadi saya."
Semua yang ada di ruangan itu, kecuali Mr. Tony yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja dari tadi, tampak terkejut. Sekali lagi semua mata memandang ke arah Selly yang hanya bisa membelalakkan matanya dengan gugup dan bingung.
Dia bahkan tidak tahu harus berkata apa! Kenapa Gabriel.... kenapa lelaki ini menjadi bos barunya? dan kenapa mempromosikan dirinya? Apakah ini ada hubungannya dengan pertemuan tidak sengaja mereka beberapa kali itu? Tetapi bagaimana mungkin?
"Saya harap semua bisa menerima keputusan saya, dan ke depannya kita bisa bekerjasama dengan baik demi kemajuan perusahaan. Oke meeting hari ini saya tutup." Gabriel bergumam, memberikan pengusiran halus hingga orang-orang mau tak mau beranjak berdiri meninggalkan ruangan, kemudian lelaki itu menatap Selly yang masih duduk dan terpaku, "Nona Selly anda boleh tinggal di sini sebentar, ada yang ingin saya bahas dengan anda."
Mau tak mau Selly menganggukkan kepalanya. Dirinya masih diselimuti oleh rasa terkejut yang luar biasa hingga bahkan kalaupun dia mau, dia tak bisa bergerak.
Setelah semua orang pergi dan hanya tinggal Selly dan Gabriel di ruangan itu, Gabriel menopangkan kedua tangannya di meja dan mengaitkannya di bawah dagunya, ada senyum yang lembut dari bibirnya.
"Kau pasti terkejut." gumamnya memecahkan keheningan yang kaku itu.
Selly mendongakkan kepalanya dan menatap langsung mata Gabriel yang tajam itu, yang seolah-olah menembus ke dalam hatinya. Bibirnya bergetar, merasa kalau lelaki ini sedikit mengintimidasi.
"Ya. Mohon maaf. Saya.... saya masih tidak mengerti kenapa anda memilih saya untuk menjadi asisten pribadi." setelah berdehem beberapa kali akhirnya Selly bisa berkata-kata.
Gabriel tersenyum lalu bertopang dagu sambil menatap Selly dengan tajam,

Lelaki itu menjelaskan semua alasannya bahkan tanpa berkedip sekalipun. Selly tercenung dan menghela napas panjang. Ini adalah promosi yang luar biasa, dirinya yang hanya staff akunting dalam sekejap bisa menjadi asisten orang nomor satu di perusahaan ini, lelaki itu tadi menyinggung tentang kapabilitasnya sebagai pegawai, dan Selly merasa ini mungkin waktunya dia menunjukkan kemampuannya.
"Saya bersedia. Saya akan berusaha sebaik mungkin." jawab Selly mantap kemudian, membuat Gabriel tersenyum penuh arti.
"Bagus, terimakasih Selly, kemasilah barang-barang di ruangan kantormu yang dulu. Kau akan pindah di ruangan besar bersamaku supaya kita lebih mudah berkomunikasi."
***
Ketika Selly kembali ke ruangannya, staff-staff yang lain memandangnya dengan tatapan mata aneh, bahkan bu Sandra pun tampak aneh kepadanya.
Selly segera mengetuk pintu ruangan bu Sandra, perempuan setengah baya berusia empat puluhan itu menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Selly masuk.
Dengan gugup Selly duduk,
"Saya menerima promosi itu, bu Sandra." gumamnya pelan.
Ada kilat di mata bu Sandra, tetapi perempuan itu berhasil menyembunyikannya dalam sekejap.
"Bagus. Dan kurasa kau harus mengemasi barang-barangmu dan pindah ke ruangan besar?"
"Iya bu."
"Berpamitanlah dengan rekan-rekan kerjamu sebelum pindah, aku sudah menginformasikan promosi yang kau terima kepada mereka semua." dan setelah itu bu Sandra memalingkan muka ke arah kertas-kertas di tangannya, memberi isyarat pengusiran halus kepada Selly.
Selly akhirnya berdiri dengan gugup, "Baik bu... eh terimakasih atas semua kebaikan ibu selama saya berada di divisi ini." Ketika bu Sandra hanya mengangguk tanpa ekspresi, Selly akhirnya keluar dari ruangan atasannya itu.
Ketika Selly keluar, bu Sandra menatap marah ke arah punggungnya dari belakang. Benaknya dipenuhi rasa iri yang menggelora.
Bagaimana bisa?? Bagaimana bisa anak ingusan itu tiba-tiba saja mendapatkan jabatan penting yang bahkan lebih tinggi darinya?
Sudah sepuluh tahun dia bekerja di perusahaan ini, memberikan dedikasi yang terbaik yang bisa diberikannya, dia adalah pekerja yang hebat dan berpengalaman. Jadi kalau ada yang berhak diberikan promosi, seharusnya adalah dia! bukan pekerja ingusan yang tidak punya kemampuan apa-apa seperti Selly!
Benaknya membayangkan owner baru mereka yang masih muda dan luar biasa tampan. Tiba-tiba dia bertanya-tanya, mungkinkah ada hubungan khusus antara Gabriel dengan Selly?
***
Selly diberi ruangan khusus berada di sudut ruang besar. Ruang besar adalah ruangan paling besar di kantor itu, yang menjadi ruang khusus owner perusahaan mereka. Selly mendapatkan meja besar di sudut ruangan , lengkap dengan seluruh peralatan penunjang pekerjaannya. Sementara di tengah ruangan itu, ada meja gelap yang besar, tempat owner perusahaan mereka berkantor. Ruangan itu memiliki pintu sambungan khusus ke ruang sebelah yang nyaman dan berisi sofa dan rak buku, tempat owner perusahaan menerima tamunya.
Mungkin pekerjaan Selly akan lebih seperti sekertaris pribadi, batinnya dalam hati waktu mengatur barang-barangnya di mejanya yang baru, menyadari bahwa dia menempati meja bekas sekertaris pribadi owner yang lama. Kalau begitu, kemana sekertaris pribadi owner yang lama sekarang...?
Selly menghela napas panjang, berkesimpulan bahwa sekertaris pribadi owner yang lama pastilah sudah diberikan posisi lain yang bagus, bukankah Gabriel di meeting tadi bilang bahwa dia tidak akan mengevaluasi ataupun mengganti pegawai di sini?
Bicara tentang Gabriel... dimana lelaki itu? Selly memandang ke arah meja besar yang kosong, lalu termenung, kalau tidak ada lelaki itu, dia tentu saja tidak ada pekerjaan. Lama kemudian Selly duduk di ruangannya, merasa bingung, sampai kemudian pintu ruangan itu terbuka.
"Sudah merasa nyaman dengan tempat barumu?" Gabriel tersenyum di sana menyapa.
Selly menganggukkan kepalanya dengan gugup, menunggu instruksi selanjutnya.
Gabriel sendiri tampak membawa berkas-berkas dan laptop di tangan kirinya, dia meletakkannya di meja besarnya, lalu berdiri di sana dan menatap Selly,
"Aku masih mempelajari perusahaan ini, bagaimana penjualannya, seperti apa konsumennya, barang apa yang kita jual, dengan supplier mana kita bekerjasama dan sebagainya." Matanya mengernyit tampak tidak senang, "Sayangnya data yang ada masih berantakan, maukah kau merapikannya untukku? buatlah susunan data yang teratur dan terperinci menyangkut seluruh informasi tentang perusahaan ini, kau pasti tahu caranya bukan?"
Selly menganggukkan kepalanya, dia harus menghubungi banyak divisi untuk meminta semua data sebelum merangkumnya menjadi laporan lengkap.
"Bagus." Gabriel menganggukkan kepalanya, tampak senang." Dan perlu kau tahu Selly kau adalah asisten pribadiku, dan bukan hanya di perusahaan ini tetapi di perusahaanku yang lainnya, jadi sebisa mungkin aku akan membawamu kemana-mana." Lelaki itu mengedikkan bahunya, tidak mempedulikan eskpresi Selly yang terperangah, "Sekarang aku ada janji, jam tujuh malam aku akan kembali di sini, kuharap seluruh laporan itu selesai, kalau kau pulang duluan, letakkan saja di meja ini."
Dan kemudian tanpa menunggu jawaban Selly, Gabriel melangkah pergi, meninggalkan Selly yang benar-benar panik. Astaga! Gabriel menginginkan seluruh laporan yang rumit itu dikerjakan sekarang? Biasanya laporan seperti itu membutuhkan waktu beberapa hari!
Selly duduk dan menekan telepon untuk meminta data kepada semua divisi. Dia harus bergegas mengumpulkan semua data, kalau tidak dia bisa terlambat untuk bertemu dengan Rolan.
***
Rolan mengernyitkan keningnya, sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Selly tapi teleponnya tidak diangkat, Selly tidak pernah begini sebelumnya, perempuan itu selalu siap sedia kapanpun Rolan menghubunginya, tiba-tiba saja benak Rolan merasa cemas, perasaan itu menyeruak di dalam dirinya seakan ada kekuatan jahat yang sedang mengancam Selly.
Setelah percobaan yang kesekian kalinya, akhirnya teleponnya di angkat, Rolan menghela napas, merasa sangat lega,
"Selly! Astaga, kenapa tidak kau angkat teleponmu?"
Suara Selly di seberang sana tampak gugup dan lelah, "Rolan... ya ampun maafkan aku Rolan, aku sibuk mengerjakan pekerjaanku hingga meninggalkan ponselku di tas, aku tidak mendengar kau menelepon, maafkan aku."
Rolan mengernyitkan keningnya, melirik jam tangannya, sebentar lagi ada pertemuan dengan dokter untuk membicarakan hasil tes, karena itulah Rolan menunggu-nunggu Selly,
"Kau masih di kantor?" tanyanya gusar. Kenapa Selly masih di kantor? bukankah butuh waktu hampir satu jam dari kantor Selly ke rumah sakit?
"Iya Rolan, maafkan aku. Aku... aku menerima promosi, sekarang aku menjadi asisten pribadi pemilik baru perusahaan ini, dan pekerjaan pertamaku adalah mengumpulkan seluruh data perusahaan, aku berusaha mengerjakan secepat mungkin... maafkan aku, tapi ini benar-benar banyak.... mungkin dua puluh menit lagi aku baru bisa ke rumah sakit, Rolan."

"Jangan terburu-buru sayang, ini cuma pertemuan dengan dokter kok. Lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya yah, aku tidak apa-apa sayang."
Selly menghela napas panjang, "Terimakasih Rolan, aku akan segera ke rumah sakit setelah beres." janjinya sungguh sungguh, membuat Rolan tersenyum dan memberikan cium jauh sebelum menutup pembicaraan.
Rolan menghela napas panjang, dia lupa memberi selamat kepada Selly atas promosi yang diterimanya, tapi nanti pasti ada kesempatannya bersama Selly.... nanti... Rolan tersenyum tahu bahwa besok dia pasti sudah boleh keluar dari rumah sakit ini yang selama beberapa tahun telah menjadi tempat tinggal keduanya.
Dan setelah itu waktunya bersama Selly akan sangat panjang, mereka akan bebas menikmati waktu bersama-sama.... Begitu keluar dari rumah sakit, Rolan akan mengunjungi toko cincin. Ya, dia akan langsung melamar Selly, menunjukkan kesungguhan hatinya dengan menikahi cinta sejatinya itu.
***

Dirinya sudah sembuh total... dan selain itu ada kekuatan besar didalam dirinya yang terasa meluap-luap, seakan meminta untuk dipergunakan....
Sambil bersenandung Rolan berjalan menyusuri lorong rumah sakit itu, dan kemudian mengeryit ketika melihat ke depan.
Di depannya ada seorang perempuan berambut panjang dengan gaun kuning cerah berbunga-bunga, dia berjalan sendirian.... sambil berpegangan pada tepi lorong rumah sakit. Dan kemudian mulai terhuyung-huyung seakan hendak pingsan.
Secepat kilat Rolan langsung melompat dan menangkap tubuh kecil yang oleng ke belakang itu, tubuh itu terasa begitu ringan...
Rolan menatap perempuan yang masih lunglai dengan mata terpejam di pelukannya itu, dan menyadari betapa cantiknya perempuan yang ada di tangannya, tapi... perempuan itu pucat... sangat pucat hingga tubuh dan wajahnya seputih kertas.... apakah perempuan ini sakit?
Perempuan itu menghela napas panjang, lalu membuka matanya, mata hijau besar yang sangat bening, bibirnya tampak pucat dan bergetar ketika berkata-kata,
"Maafkan aku...namaku Sabrina." suaranya kecil dan lemah, "Seharusnya aku tidak boleh berjalan-jalan, tapi aku mencari perawatku... dia tidak ada."
"Anda pasien di sini?" Rolan makin cemas ketika melihat wajah perempuan itu semakin pucat, "Katakan di mana kamar anda, saya akan mengantarkan..."
Perempuan itu mengangguk, dan kemudian bibirnya membuka lalu menutup lagi, seakan kesulitan berbicara, setelah menghela napas panjang, dia berkata,
"Te... terimakasih.... aku, aku ada di bagian pasien kanker....maafkan aku.. sepertinya pandanganku berkunang-kunang" perempuan itu memejamkan mata, tubuhnya lunglai.
"Saya akan mengantar anda ke sana." Dengan sigap, Rolan mengangkat tubuh ringkih perempuan cantik itu ke dalam gendongannya, "Seharusnya anda tidak berjalan-jalan sendirian seperti ini." Sabrina, begitu tadi nama perempuan ini, dan ternyata Sabrina juga mengidap kanker. Rolan sendirilah yang paling tahu bagaimana lemahnya tubuhnya ketika digerogoti oleh penyakit itu. Dia pernah mengalaminya dan mengerti bagaimana rasanya.
Jauh di belakang lorong, Gabriel bersandar di dinding. Dari tadi dia mengamati semua kejadian itu, dan kemudian setelah Rolan menghilang di ujung lorong bersama Sabrina, Gabriel tidak bisa menahan senyumnya.
Ternyata mudah sekali .... Sabrina akan memuluskan rencananya yang berikutnya...
Bersambung ke part 5
Published on May 30, 2013 00:27
May 29, 2013
Another 5% Part 3
PS : Happy Birthday To Mendy Jane ^_^V
"Tolong cek ulang hasil rekonsiliasi bank ini Selly, di sini dilaporkan ada transaksi debit di rekening koran yang belum dibukukan di General Ledger, tapi kulihat angka itu barusan sudah dimasukkan ke General Ledger tanggal 3 mei, mungkin kita bisa menyesuaikan rekonsiliasi ini sebelum tutup buku." Ibu Sandra, atasan langsung Selly di bagian akunting kantor mendatanginya sambil menunjukkan berkas laporan Selly, Selly menerima berkas itu dan membacanya "Saya akan melakukan koreksi angka, saya cek di General Ledger dulu." gumamnya sopan. Ibu Sandra menganggukkan kepalanya. "Oke nanti kirimkan softcopynya saja melalui email. Aku akan melakukan pemeriksaan akhir sebelum report itu dicetak." Perempuan itu lalu melangkah pergi dan masuk kembali ke ruangannya. Sementara itu Selly kembali berkutat dengan pekerjaannya, melakukan koreksi, kemudian mengirim report emailnya. Inilah pekerjaan Selly setiap harinya, sebagai seorang akunting di sebuah perusahaan yang bergerak di bagian retail. Matanya melirik ke arah jam di tembok tengah ruangan. Hari ini dia tidak boleh terlambat, Rolan memintanya untuk menemaninya mendengarkan hasil lab terakhirnya. Entah kenapa ini tampaknya begitu penting bagi Rolan. Lelaki itu bahkan sebelumnya sempat menolak mendengarkan hasil lab-nya karena semua mengarah pada hasil yang sama. Bahwa Rolan semakin parah. Selly menghela napas panjang, mungkinkah sekarang kekasihnya itu mempunyai harapan baru? Selly membayangkan wajah ceria Rolan kemarin dan entah kenapa dia merasakan secercah harapan itu ada. Harapannya bersama Rollan..... ***
Ketika jam kantor berlalu, Selly langsung mengemasi tas-nya dan bergegas melangkah pergi, biasanya dia masih sempat pulang ke rumah dan mandi sebelum berangkat membesuk Rolan, tapi karena begitu banyaknya pekerjaan menjelang report tutup buku, Selly sepertinya harus langsung berangkat ke rumah sakit.
Pintu lift terbuka, dan Selly hendak melangkah masuk, tetapi seseorang keluar dari lift itu, mereka berdiri berhadap-hadapan dan Selly ternganga.
Itu... itu lelaki yang sama yang ditabraknya kemarin, yang meminjaminya payung! Ya ampun! sungguh suatu kebetulan mereka bertemu terus menerus......siapa namanya? Selly mencoba mengingat-ingat, tetapi dia lupa.
"Gabriel.... namaku Gabriel, Selly." lelaki itu tersenyum, bergumam dengan suaranya yang dalam. Membuat Selly ternganga kaget. Bagaimana bisa lelaki itu menebak apa yang ada di pikirannya? apakah ekspresi wajahnya seterbuka itu? Tiba-tiba Selly merasa malu, pipinya merona merah karenanya. Tetapi kemudian dia teringat,
"Payung... oh ya payungnya ada di ruangan saya, sebentar saya ambilkan...." Selly membalikkan tubuh, hendak mengambil payung hitam besar yang ada di ruangannya, tetapi jemari yang kuat itu tiba-tiba meraih lengannya, menahannya. Membuat Selly menoleh ke belakang dan menatap kaget ke arah ekspresi Gabriel yang tenang dengan senyum tipisnya,
"Nanti saja Selly, kau bisa mengembalikan payung itu kapan saja." Suaranya tenang, "Sudah kubilang kita akan punya banyak kesempatan untuk bertemu nanti."
Banyak kesempatan untuk bertemu? Apa maksudnya....?
Mata Selly menatap ke jemari panjang tetapi kuat milik Gabriel yang masih mencekal lengannya, dan Gabriel mengikuti arah pandangannya,
"Ah maaf." Lelaki itu melepaskan pegangannya, "Sungguh tidak sopan mencekal perempuan seperti itu." senyumnya lembut, "Sepertinya kau terburu-buru?"
Ah ya. Rolan! Tiba-tiba Selly teringat bahwa dia hampir terlambat.
"Saya harus segera pergi ada janji. Payung itu... payung itu nanti akan saya kembalikan." Selly setengah membungkuk dengan sopan, kemudian melangkah memasuki lift meninggalkan Gabriel. Dia masih sempat melihat ekspresi wajah Gabriel sebelum pintu lift itu ditutup. Lelaki itu tersenyum, tapi senyumnya tampak sedikit kejam....
***
Gabriel langsung melangkah melalui lorong perusahaan itu, menuju ruangan paling ujung, ruangan milik owner perusahaan retail lokal kecil yang bergerak di bidang alat-alat rumah tangga dan kebutuhan rumah tangga tempat Selly bekerja.
Salah satu cara yang paling mudah untuk mendekati Selly adalah dengan menguasai tempatnya bekerja. Selly berada di sini delapan jam sehari - dan kemudian menghabiskan waktunya di rumah sakit.
Selly adalah cinta sejati sang pembawa kekuatan baru, Rolan, perwakilan dari kekuatan baik yang sekarang menjadi batu sandungan baginya. Aturan alam semesta yang konyol itu membuatnya tidak dapat membunuh cinta sejati lawannya. Jadi Gabriel tidak bisa membunuh Selly begitu saja. Bahkan ada beberapa kekuatannya yang tidak mempan digunakan kepada Selly, Gabriel tadi sudah mencoba menguasai tubuh Selly dengan kekuatannya, tetapi perempuan itu tampaknya tidak merasakan apapun.
Satu-satunya cara untuk membuat Rolan kehilangan cinta sejatinya dan tidak bisa melawannya, adalah dengan membuat Selly tidak mencintai Rolan lagi.
Gabriel tersenyum tipis sebelum membuka pintu ruangan owner perusahaan. Dan dengan seluruh pesonanya, dia akan membuat Selly mencintainya, meninggalkan Rolan dan membuat lelaki itu lemah. Gabriel mungkin saja tidak bisa jatuh cinta karena kutukan hatinya yang pekat dan kejam, tetapi dia tidak keberatan bermain-main dulu dengan Selly....
Owner perusahaan itu, Mr. Tony, tampak masih sibuk di depan komputernya. Dia mendongakkan kepalanya melihat pintu ruangannya dibuka tanpa permisi, dan kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat bahwa dia tidak mengenali tamunya.
"Apa-apaan? Siapa kau?" Mr. Tony setengah berdiri, hendak memanggil keamanan. Tetapi dalam sekejap Gabriel menggerakkan ujung jarinya hingga Mr. Tony terduduk lagi, tidak bisa bergerak.
Lelaki itu pucat pasi, wajahnya menyiratkan ketakutan ketika Gabriel semakin mendekatinya dan berdiri dekat di depannya. Gabriel menunduk dan tersenyum melihat ketakutan di wajah Mr. Tony.
"Kau tidak perlu takut. Aku tidak akan menyakitimu." Telunjuknya terulur dan menyentuh dahi Mr. Tony, "Segera setelah ini, kau akan menjadi budakku."
Mr. Tony mengernyit merasakan rasa yang panas di dahinya, di tempat yang disentuh oleh Gabriel. Dan kemudian semuanya gelap, semuanya kosong. Bahkan cahaya di matanya yang semula menyiratkan emosi, menjadi kosong dan hampa.
"Berdiri." gumam Gabriel dingin, dan Mr. Tony bergerak seperti robot, langsung berdiri dan memberi tempat untuk Gabriel. Dengan angkuh, Gabriel duduk di kursi owner perusahaan itu.
"Mulai sekarang aku adalah pemilik perusahaan ini. Kau menjualnya kepadaku karena kau membutuhkan uang. Mulai sekarang jabatanmu hanyalah CEO perusahaan ini, tetapi bukan pemiliknya lagi. Besok kau akan mengurus surat-surat pemindahan kepemilikan perusahaan ini. Aku akan memberikan uang yang banyak untukmu, senilai perusahaan ini." Gabriel memang kaya. Meskipun dia bisa saja membuat Tony menyerahkan perusahaannya secara cuma-cuma, tetapi Gabriel tidak akan melakukan hal itu karena akan menyinggung harga dirinya jikalau menerima sesuatu secara cuma-cuma. Lagipula dia sangat kaya karena bahkan kalau dia mau, dia bisa merubah batu menjadi emas dan berlian, membeli perusahaan kecil ini tak akan berarti baginya.
Pandangan Mr. Tony tetap kosong, dan lelaki itu menganggukkan kepalanya, menurut.
"Saya akan siapkan semuanya, Tuan." gumamnya dengan nada datar dan kosong seperti robot.
Gabriel tersenyum. Menatap sinis ke arah Mr. Tony yang begitu lemah, begitu mudah jatuh ke dalam kuasanya. Para manusia ini memang mahluk yang paling mudah dikuasai.
Dan sebentar lagi, Gabriel akan menguasai Selly. Dengan caranya sendiri.
***
"Sembuh?" Selly hampir berteriak keras di ruang dokter itu. Dia menatap sang dokter yang tampak bingung dan takjub, lalu beralih lagi menatap Rolan yang tampak tenang-tenang saja mendengarkan kabar itu, "Maksud anda? Sel-sel kankernya? Sudah tidak ada lagi? tapi bagaimana mungkin?"
"Kami juga terkejut, tetapi hasil pemeriksaan kemarin menunjukkan bahwa tidak ada kanker di jaringan otak tuan Rolan, semua bersih. Tuan Rolan benar-benar sehat. Tapi tentu saja untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan prosedur, kami akan melakukan pemeriksaan ulang...."
"Itu tidak perlu dilakukan, aku tahu kondisi badanku sendiri. Aku baik-baik saja."
"Rolan!" Selly berseru tidak setuju, "Kau tidak bisa melakukan itu, kita harus benar-benar memastikan kondisi badanmu... aku tidak mau terjadi apa-apa..."
"Kau bisa tenang Selly, sudah kukatakan aku baik-baik saja, sangat baik malahan." Rolan tersenyum lebar, "Ini memang suatu mukjizat, tetapi aku sendiri tidak bisa terkejut, aku sudah merasakannya dari kemarin, semua rasa sakitku hilang."
Rolan memang tampak sangat baik kemarin... Selly merenung. Tetapi jantungnya masih berdebar antara penuh harapan dan ketidak percayaan.... benarkah ini? benarkah semua ini? Mungkinkah ada keajaiban sehingga Rolan bisa sembuh total? Apakah ini sungguh-sungguh ataukah cuma mimpi?
"Aku mohon Rolan... lakukan pemeriksaan sekali lagi untuk memastikan semuanya." bibir Selly begetar, "Kalau kau tidak mau melakukannya demi dirimu... lakukan demi aku."
Rolan mengernyit, menatap Selly dan dokter itu berganti-ganti. Merasa sedikit kesal karena mereka susah sekali percaya bahwa dia sudah sembuh total.
Tetapi kemudian dia melihat ekspresi Selly yang pucat pasi dengan mata berkaca-kaca, dan hatinya luluh. Memang semua ini tidak bisa dijelaskan dengan nalar dan akal sehat. Apalagi bagi Selly hal ini pasti benar-benar membuatnya shock,
"Oke. Baiklah, lalukan test apapun yang diperlukan kepadaku besok, dok." Matanya menatap dokternya sambil menganggukkan kepala, "Meskipun aku bisa menjamin bahwa hasilnya akan menunjukkan hal yang sama, bahwa aku sembuh total."
Setelah mereka keluar dari ruang dokter itu, Selly mengernyit mengetahui bahwa Rolan berjalan sendiri keluar. Tadi mereka ke ruang dokter dengan menggunakan kursi roda, dengan Selly mendorong Rolan, tetapi sekarang Rolan menolak kursi rodanya dan melangkah dengan tenang keluar ruangan, membuat Selly mengikutinya dengan panik.
"Rolan... kursi rodanya..."
Rolan menoleh, tersenyum lebar, lalu meraih tangan Selly dan menggandengnya, meremasnya kuat penuh cinta,
"Aku sudah sembuh Selly, aku bisa melakukan semuanya sendiri. Tidakkah kau lihat? Apakah begitu susah bagimu untuk menerima kenyataan itu?"
Ini seperti mimpi bagi Selly, seperti keajaiban yang menjadi nyata, mimpi dimana Selly membayangkan Rolan berdiri di depannya dengan sehat, tidak sakit lagi. Dan sekarang ini adalah kenyataan... benarkah Rolan benar-benar sembuh? bisakah dia mempercayai keajaiban ini?
Jemari Selly bergetar, menutup mulutnya, berusaha menahankan perasaannya, air matanya membuncah dengan kuatnya dari matanya, mengalir deras di pipinya.
Seketika itu juga mata Rolan melembut, lelaki itu langsung merengkuh tubuh mungil Selly ke dadanya, memeluknya erat-erat.
"Aku sudah sembuh Selly, setelah hasil test kedua mengatakannya besok, aku bisa keluar dari rumah sakit ini, dan segera setelahnya, kita akan menikah, Oke?"
Selly tidak bisa berkata-kata, hanya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan dada bidang Rolan yang hangat, menangis kuat-kuat.
***
Bahkan pagi ini di kantor, Selly masih merasa seperti bermimpi. Rolan meneleponnya barusan dan mengatakan akan menjalani tes ulang. Di pagi hari ketika terbangun, Selly didera ketakutan membayangkan bahwa kesembuhan Rolan ternyata bukan nyata, bahwa itu hanyalah kesalahan. Tetapi kemudian dia menerima telepon Rolan, dengan suara yang sehat dan ceria, lelaki itu mengatakan bahwa dia akan menjalani tes ulang, dan menggoda Selly tentang hasilnya yang tak akan berubah.
Pagi itu Selly dipenuhi dengan doa dari dalam hatinya, berdoa semoga mukjizat atas diri Rolan benar-benar nyata, berdoa semoga hasil tes ulang Rolan membuktikan bahwa lelaki itu benar-benar sembuh.
"Selly?"
Selly mendongak dari lamunannya, dan langsung bertatapan dengan bu Sandra yang tampak serius.
"Iya bu Sandra?"
"Ikut saya ke ruangan direksi, ada hal penting yang akan dibicarakan."
Dia? Ke ruangan direksi? untuk apa? Ruangan direksi hanya digunakan untuk meeting-meeting penting kelas atas. Bukan dalam kapasitas Selly sebagai staff untuk berada di sana.
Tetapi bu Sandra sudah melangkah ke luar mendahuluinya tanpa menunggu jawaban Selly sehingga Selly mau tak mau terbirit-birit melangkah mengikuti langkah bu Sandra.
Mereka melalui lorong yang panjang itu dan berhenti di sisi kiri lorong, tempat ruangan besar yang sering digunakan untuk meeting penting itu. Bu Sandra membuka pintu, dan menoleh ke arah Selly,
"Ayo masuklah."
Mau tak mau Selly mengikuti bu Sandra, memasuki ruangan itu.
Yang ada di dalam ruangan itu tak terbayang olehnya, jajaran direksi duduk di sana, bahkan ada Mr. Tony, owner perusahaan ini, tetapi yang membuatnya terkejut, yang duduk di kepala meja, menyiratkan posisi tertinggi di perusahaan ini bukanlah Mr. Tony... tetapi lelaki itu.... Gabriel yang duduk di kepala meja dengan posisi angkuh dan elegan.
Mata lelaki itu datar tak terbaca ketika melihat Selly,
"Duduklah nona Selly." suara Gabriel dalam dan tenang, menggetarkan hati semua orang yang berada di ruangan itu.
Bersambung ke part 4

"Tolong cek ulang hasil rekonsiliasi bank ini Selly, di sini dilaporkan ada transaksi debit di rekening koran yang belum dibukukan di General Ledger, tapi kulihat angka itu barusan sudah dimasukkan ke General Ledger tanggal 3 mei, mungkin kita bisa menyesuaikan rekonsiliasi ini sebelum tutup buku." Ibu Sandra, atasan langsung Selly di bagian akunting kantor mendatanginya sambil menunjukkan berkas laporan Selly, Selly menerima berkas itu dan membacanya "Saya akan melakukan koreksi angka, saya cek di General Ledger dulu." gumamnya sopan. Ibu Sandra menganggukkan kepalanya. "Oke nanti kirimkan softcopynya saja melalui email. Aku akan melakukan pemeriksaan akhir sebelum report itu dicetak." Perempuan itu lalu melangkah pergi dan masuk kembali ke ruangannya. Sementara itu Selly kembali berkutat dengan pekerjaannya, melakukan koreksi, kemudian mengirim report emailnya. Inilah pekerjaan Selly setiap harinya, sebagai seorang akunting di sebuah perusahaan yang bergerak di bagian retail. Matanya melirik ke arah jam di tembok tengah ruangan. Hari ini dia tidak boleh terlambat, Rolan memintanya untuk menemaninya mendengarkan hasil lab terakhirnya. Entah kenapa ini tampaknya begitu penting bagi Rolan. Lelaki itu bahkan sebelumnya sempat menolak mendengarkan hasil lab-nya karena semua mengarah pada hasil yang sama. Bahwa Rolan semakin parah. Selly menghela napas panjang, mungkinkah sekarang kekasihnya itu mempunyai harapan baru? Selly membayangkan wajah ceria Rolan kemarin dan entah kenapa dia merasakan secercah harapan itu ada. Harapannya bersama Rollan..... ***
Ketika jam kantor berlalu, Selly langsung mengemasi tas-nya dan bergegas melangkah pergi, biasanya dia masih sempat pulang ke rumah dan mandi sebelum berangkat membesuk Rolan, tapi karena begitu banyaknya pekerjaan menjelang report tutup buku, Selly sepertinya harus langsung berangkat ke rumah sakit.
Pintu lift terbuka, dan Selly hendak melangkah masuk, tetapi seseorang keluar dari lift itu, mereka berdiri berhadap-hadapan dan Selly ternganga.
Itu... itu lelaki yang sama yang ditabraknya kemarin, yang meminjaminya payung! Ya ampun! sungguh suatu kebetulan mereka bertemu terus menerus......siapa namanya? Selly mencoba mengingat-ingat, tetapi dia lupa.
"Gabriel.... namaku Gabriel, Selly." lelaki itu tersenyum, bergumam dengan suaranya yang dalam. Membuat Selly ternganga kaget. Bagaimana bisa lelaki itu menebak apa yang ada di pikirannya? apakah ekspresi wajahnya seterbuka itu? Tiba-tiba Selly merasa malu, pipinya merona merah karenanya. Tetapi kemudian dia teringat,
"Payung... oh ya payungnya ada di ruangan saya, sebentar saya ambilkan...." Selly membalikkan tubuh, hendak mengambil payung hitam besar yang ada di ruangannya, tetapi jemari yang kuat itu tiba-tiba meraih lengannya, menahannya. Membuat Selly menoleh ke belakang dan menatap kaget ke arah ekspresi Gabriel yang tenang dengan senyum tipisnya,
"Nanti saja Selly, kau bisa mengembalikan payung itu kapan saja." Suaranya tenang, "Sudah kubilang kita akan punya banyak kesempatan untuk bertemu nanti."
Banyak kesempatan untuk bertemu? Apa maksudnya....?
Mata Selly menatap ke jemari panjang tetapi kuat milik Gabriel yang masih mencekal lengannya, dan Gabriel mengikuti arah pandangannya,
"Ah maaf." Lelaki itu melepaskan pegangannya, "Sungguh tidak sopan mencekal perempuan seperti itu." senyumnya lembut, "Sepertinya kau terburu-buru?"
Ah ya. Rolan! Tiba-tiba Selly teringat bahwa dia hampir terlambat.
"Saya harus segera pergi ada janji. Payung itu... payung itu nanti akan saya kembalikan." Selly setengah membungkuk dengan sopan, kemudian melangkah memasuki lift meninggalkan Gabriel. Dia masih sempat melihat ekspresi wajah Gabriel sebelum pintu lift itu ditutup. Lelaki itu tersenyum, tapi senyumnya tampak sedikit kejam....
***

Salah satu cara yang paling mudah untuk mendekati Selly adalah dengan menguasai tempatnya bekerja. Selly berada di sini delapan jam sehari - dan kemudian menghabiskan waktunya di rumah sakit.
Selly adalah cinta sejati sang pembawa kekuatan baru, Rolan, perwakilan dari kekuatan baik yang sekarang menjadi batu sandungan baginya. Aturan alam semesta yang konyol itu membuatnya tidak dapat membunuh cinta sejati lawannya. Jadi Gabriel tidak bisa membunuh Selly begitu saja. Bahkan ada beberapa kekuatannya yang tidak mempan digunakan kepada Selly, Gabriel tadi sudah mencoba menguasai tubuh Selly dengan kekuatannya, tetapi perempuan itu tampaknya tidak merasakan apapun.
Satu-satunya cara untuk membuat Rolan kehilangan cinta sejatinya dan tidak bisa melawannya, adalah dengan membuat Selly tidak mencintai Rolan lagi.
Gabriel tersenyum tipis sebelum membuka pintu ruangan owner perusahaan. Dan dengan seluruh pesonanya, dia akan membuat Selly mencintainya, meninggalkan Rolan dan membuat lelaki itu lemah. Gabriel mungkin saja tidak bisa jatuh cinta karena kutukan hatinya yang pekat dan kejam, tetapi dia tidak keberatan bermain-main dulu dengan Selly....
Owner perusahaan itu, Mr. Tony, tampak masih sibuk di depan komputernya. Dia mendongakkan kepalanya melihat pintu ruangannya dibuka tanpa permisi, dan kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat bahwa dia tidak mengenali tamunya.
"Apa-apaan? Siapa kau?" Mr. Tony setengah berdiri, hendak memanggil keamanan. Tetapi dalam sekejap Gabriel menggerakkan ujung jarinya hingga Mr. Tony terduduk lagi, tidak bisa bergerak.
Lelaki itu pucat pasi, wajahnya menyiratkan ketakutan ketika Gabriel semakin mendekatinya dan berdiri dekat di depannya. Gabriel menunduk dan tersenyum melihat ketakutan di wajah Mr. Tony.
"Kau tidak perlu takut. Aku tidak akan menyakitimu." Telunjuknya terulur dan menyentuh dahi Mr. Tony, "Segera setelah ini, kau akan menjadi budakku."
Mr. Tony mengernyit merasakan rasa yang panas di dahinya, di tempat yang disentuh oleh Gabriel. Dan kemudian semuanya gelap, semuanya kosong. Bahkan cahaya di matanya yang semula menyiratkan emosi, menjadi kosong dan hampa.
"Berdiri." gumam Gabriel dingin, dan Mr. Tony bergerak seperti robot, langsung berdiri dan memberi tempat untuk Gabriel. Dengan angkuh, Gabriel duduk di kursi owner perusahaan itu.
"Mulai sekarang aku adalah pemilik perusahaan ini. Kau menjualnya kepadaku karena kau membutuhkan uang. Mulai sekarang jabatanmu hanyalah CEO perusahaan ini, tetapi bukan pemiliknya lagi. Besok kau akan mengurus surat-surat pemindahan kepemilikan perusahaan ini. Aku akan memberikan uang yang banyak untukmu, senilai perusahaan ini." Gabriel memang kaya. Meskipun dia bisa saja membuat Tony menyerahkan perusahaannya secara cuma-cuma, tetapi Gabriel tidak akan melakukan hal itu karena akan menyinggung harga dirinya jikalau menerima sesuatu secara cuma-cuma. Lagipula dia sangat kaya karena bahkan kalau dia mau, dia bisa merubah batu menjadi emas dan berlian, membeli perusahaan kecil ini tak akan berarti baginya.
Pandangan Mr. Tony tetap kosong, dan lelaki itu menganggukkan kepalanya, menurut.
"Saya akan siapkan semuanya, Tuan." gumamnya dengan nada datar dan kosong seperti robot.
Gabriel tersenyum. Menatap sinis ke arah Mr. Tony yang begitu lemah, begitu mudah jatuh ke dalam kuasanya. Para manusia ini memang mahluk yang paling mudah dikuasai.
Dan sebentar lagi, Gabriel akan menguasai Selly. Dengan caranya sendiri.
***
"Sembuh?" Selly hampir berteriak keras di ruang dokter itu. Dia menatap sang dokter yang tampak bingung dan takjub, lalu beralih lagi menatap Rolan yang tampak tenang-tenang saja mendengarkan kabar itu, "Maksud anda? Sel-sel kankernya? Sudah tidak ada lagi? tapi bagaimana mungkin?"
"Kami juga terkejut, tetapi hasil pemeriksaan kemarin menunjukkan bahwa tidak ada kanker di jaringan otak tuan Rolan, semua bersih. Tuan Rolan benar-benar sehat. Tapi tentu saja untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan prosedur, kami akan melakukan pemeriksaan ulang...."
"Itu tidak perlu dilakukan, aku tahu kondisi badanku sendiri. Aku baik-baik saja."
"Rolan!" Selly berseru tidak setuju, "Kau tidak bisa melakukan itu, kita harus benar-benar memastikan kondisi badanmu... aku tidak mau terjadi apa-apa..."
"Kau bisa tenang Selly, sudah kukatakan aku baik-baik saja, sangat baik malahan." Rolan tersenyum lebar, "Ini memang suatu mukjizat, tetapi aku sendiri tidak bisa terkejut, aku sudah merasakannya dari kemarin, semua rasa sakitku hilang."
Rolan memang tampak sangat baik kemarin... Selly merenung. Tetapi jantungnya masih berdebar antara penuh harapan dan ketidak percayaan.... benarkah ini? benarkah semua ini? Mungkinkah ada keajaiban sehingga Rolan bisa sembuh total? Apakah ini sungguh-sungguh ataukah cuma mimpi?
"Aku mohon Rolan... lakukan pemeriksaan sekali lagi untuk memastikan semuanya." bibir Selly begetar, "Kalau kau tidak mau melakukannya demi dirimu... lakukan demi aku."
Rolan mengernyit, menatap Selly dan dokter itu berganti-ganti. Merasa sedikit kesal karena mereka susah sekali percaya bahwa dia sudah sembuh total.
Tetapi kemudian dia melihat ekspresi Selly yang pucat pasi dengan mata berkaca-kaca, dan hatinya luluh. Memang semua ini tidak bisa dijelaskan dengan nalar dan akal sehat. Apalagi bagi Selly hal ini pasti benar-benar membuatnya shock,
"Oke. Baiklah, lalukan test apapun yang diperlukan kepadaku besok, dok." Matanya menatap dokternya sambil menganggukkan kepala, "Meskipun aku bisa menjamin bahwa hasilnya akan menunjukkan hal yang sama, bahwa aku sembuh total."
Setelah mereka keluar dari ruang dokter itu, Selly mengernyit mengetahui bahwa Rolan berjalan sendiri keluar. Tadi mereka ke ruang dokter dengan menggunakan kursi roda, dengan Selly mendorong Rolan, tetapi sekarang Rolan menolak kursi rodanya dan melangkah dengan tenang keluar ruangan, membuat Selly mengikutinya dengan panik.
"Rolan... kursi rodanya..."
Rolan menoleh, tersenyum lebar, lalu meraih tangan Selly dan menggandengnya, meremasnya kuat penuh cinta,
"Aku sudah sembuh Selly, aku bisa melakukan semuanya sendiri. Tidakkah kau lihat? Apakah begitu susah bagimu untuk menerima kenyataan itu?"
Ini seperti mimpi bagi Selly, seperti keajaiban yang menjadi nyata, mimpi dimana Selly membayangkan Rolan berdiri di depannya dengan sehat, tidak sakit lagi. Dan sekarang ini adalah kenyataan... benarkah Rolan benar-benar sembuh? bisakah dia mempercayai keajaiban ini?
Jemari Selly bergetar, menutup mulutnya, berusaha menahankan perasaannya, air matanya membuncah dengan kuatnya dari matanya, mengalir deras di pipinya.
Seketika itu juga mata Rolan melembut, lelaki itu langsung merengkuh tubuh mungil Selly ke dadanya, memeluknya erat-erat.
"Aku sudah sembuh Selly, setelah hasil test kedua mengatakannya besok, aku bisa keluar dari rumah sakit ini, dan segera setelahnya, kita akan menikah, Oke?"
Selly tidak bisa berkata-kata, hanya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan dada bidang Rolan yang hangat, menangis kuat-kuat.
***
Bahkan pagi ini di kantor, Selly masih merasa seperti bermimpi. Rolan meneleponnya barusan dan mengatakan akan menjalani tes ulang. Di pagi hari ketika terbangun, Selly didera ketakutan membayangkan bahwa kesembuhan Rolan ternyata bukan nyata, bahwa itu hanyalah kesalahan. Tetapi kemudian dia menerima telepon Rolan, dengan suara yang sehat dan ceria, lelaki itu mengatakan bahwa dia akan menjalani tes ulang, dan menggoda Selly tentang hasilnya yang tak akan berubah.
Pagi itu Selly dipenuhi dengan doa dari dalam hatinya, berdoa semoga mukjizat atas diri Rolan benar-benar nyata, berdoa semoga hasil tes ulang Rolan membuktikan bahwa lelaki itu benar-benar sembuh.
"Selly?"
Selly mendongak dari lamunannya, dan langsung bertatapan dengan bu Sandra yang tampak serius.
"Iya bu Sandra?"
"Ikut saya ke ruangan direksi, ada hal penting yang akan dibicarakan."
Dia? Ke ruangan direksi? untuk apa? Ruangan direksi hanya digunakan untuk meeting-meeting penting kelas atas. Bukan dalam kapasitas Selly sebagai staff untuk berada di sana.
Tetapi bu Sandra sudah melangkah ke luar mendahuluinya tanpa menunggu jawaban Selly sehingga Selly mau tak mau terbirit-birit melangkah mengikuti langkah bu Sandra.
Mereka melalui lorong yang panjang itu dan berhenti di sisi kiri lorong, tempat ruangan besar yang sering digunakan untuk meeting penting itu. Bu Sandra membuka pintu, dan menoleh ke arah Selly,
"Ayo masuklah."
Mau tak mau Selly mengikuti bu Sandra, memasuki ruangan itu.
Yang ada di dalam ruangan itu tak terbayang olehnya, jajaran direksi duduk di sana, bahkan ada Mr. Tony, owner perusahaan ini, tetapi yang membuatnya terkejut, yang duduk di kepala meja, menyiratkan posisi tertinggi di perusahaan ini bukanlah Mr. Tony... tetapi lelaki itu.... Gabriel yang duduk di kepala meja dengan posisi angkuh dan elegan.
Mata lelaki itu datar tak terbaca ketika melihat Selly,
"Duduklah nona Selly." suara Gabriel dalam dan tenang, menggetarkan hati semua orang yang berada di ruangan itu.
Bersambung ke part 4
Published on May 29, 2013 05:45
May 28, 2013
Another 5% Part 2
PS : Untuk Mendy Jane yang besok akan berulang tahun, kuberikan requestmu lebih cepat hee semoga besok ada lagi hadiah susulan untukmu *peluk* 
Rolan menoleh dan melihat Shelly yang memandangnya dengan terkejut di pintu. Wajah Selly pucat pasi, perempuan itu benar-benar cemas. Selly segera meletakkan jeruknya di meja terdekat dan menghambur menghampiri Rolan, "Rolan! Astaga! Kau bisa berdiri?" jemarinya menyentuh lengan Rolan, mencoba menopangnya. Tetapi entah kenapa lengan Rolan yang biasanya kuyu dan rapuh kini terasa begitu kuat dan kokoh. Selly mengerutkan keningnya. Dia mendongak dan menatap wajah Rolan, lelaki ini terasa berbeda. Bahkan pancaran wajahnyapun berbeda. Rolan sama sekali tidak tampak seperti orang sakit. Yah sebelumnya Selly maklum karena pengobatan terus menerus telah mempengaruhi kondisi Rolan, kulitnya menjadi kuyu dan kering, rambutnyapun menipis. Tetapi sekarang, lelaki di depannya ini tampak seperti Rolan yang dulu, Rolan sebelum sakitnya semakin parah.Rolan tersenyum lembut, menatap Selly, kemudian meraih jemari mungil perempuan itu dan mengecupnya, "Jangan kuatirkan aku sayang, aku sudah sembuh." Sudah sembuh? Bagaimana mungkin? Selly menatap Rolan bingung, tetapi kemudian bergumam tegas, "Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadamu Rolan, tetapi baiknya kau tidur demi kesehatanmu. Jangan mencoba berdiri sendiri lagi tanpa pengawasan suster atau aku, mengerti?" Rolan hanya terkekeh, tampak geli melihat sikap tegas Selly. Tetapi dia tidak membantah. Tubuhnya terasa ringan dan kuat, sama sekali tidak ada rasa sakit, sama sekali tidak ada rasa nyeri. Pendengarannya sempurna, pengelihatannya luar biasa tajam, seluruh inderanya seakan-akan dilahirkan kembali, dengan kualitas yang beratus-ratus kali lebih baik. "Oke-oke." Rolan setengah melompat menaiki ranjangnya, membuat Selly memekik kaget, dia kemudian berbaring masih tersenyum lebar, tidak mempedulikan tatapan cemas Selly, "Jangan cemberut lagi dong. Aku sudah berbaring bukan?" Lama Selly menatap Rolan dengan pandangan bingung bercampur tanda tanya. Tetapi perempuan itu kemudian menghela napas panjang dan mendesah. Seharusnya dia tidak boleh protes kalau Rolan tampak sehat dan seceria ini, seharusnya dia bersyukur atas kesempatan ini. Mungkin efek obatnya pada akhirnya berfungsi baik pada Rolan sehingga bisa mengurangi rasa sakitnya. Selly menatap wajah Rolan yang tersenyum lebar menatapnya dan hatinya dipenuhi rasa syukur, diserapnya senyum itu dan disimpannya dalam ingatannya yang terdalam. Dia akan membutuhkan semua kenangan manis itu nanti, ketika yang terburuk yang paling ditakutkannya terjadi. Tetapi tentu saja Selly tidak akan memikirkannya dulu. Sekarang, di saat yang terbaik ini, dimana Rolan tampak begitu sehat dan ceria, Selly akan berbahagia bersamanya, Sementara itu Rolan mengamati seluruh perubahan ekspresi Selly dengan seksama. Dia tahu, Selly pasti sedang kebingungan. Tetapi tentu saja Rolan tidak akan bisa menjelaskan semuanya kepada Selly bukan? Selly pasti tidak akan percaya kalau dia bercerita tentang pertemuannya dengan lelaki tua itu, dan kemudian kemungkinan fungsi otaknya diaktifkan sampai 95% yang membuat tubuhnya bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Dia belum punya bukti medis karena hasil labnya belum keluar, jadi kemungkinan besar Selly akan menuduhnya berhalusinasi. Nanti, mungkin setelah hasil lab-nya keluar, Rolan mungkin bisa menjelaskan semuanya kepada Selly. Senyumnya melebar, lalu mengambil lagi kantong jeruk di tangannya, dia melangkah mendekati ranjang Rolan dan duduk di samping ranjang, "Aku membawakan jeruk." gumamnya dalam senyum lembutnya yang biasa. Senyum lembutnya yang bisa meneduhkan hati Rolan seketika. "Aku mau." Rolan berbisik serak. Mengamati wajah Selly dengan penuh cinta. Ah. Betapa rasa cintanya kepada perempuan ini sama kuatnya seperti ketika dia menyadari perasaannya. Selama ini dia tumbuh bersama Selly, meskipun Selly adalah anak pelayan di rumahnya, tetapi mereka dekat dan Rolan selalu menganggap Selly adik kesayangannya, melindungi dan menyayanginya sepenuh hati. Dan kemudian ketika mereka dewasa, Rolan menyadari bahwa Selly sudah mengambil hatinya dan tak bisa diminta kembali. Cintanya kepada Selly begitu besar, apalagi setelah Selly menunjukkan betapa besar cinta dan setianya, menjaga dan merawat Rolan bahkan di kondisi sakitnya yang paling buruk sekalipun. Selly menundukkan kepalanya dan mengupas jeruk itu, dan Rolan tidak bisa menahan dirinya untuk mengulurkan jemarinya, menyentuh dagu Selly dan mendongakkannya, "Terimakasih karena telah mendampingiku sampai sejauh ini." Suara Rolan serak menahan perasaan, "Aku mencintaimu, Selly dan jika Tuhan memberiku kesempatan, akan kulakukan apapun untuk membahagiakanmu." Mata Selly sendiri berkaca-kaca mendengar kalimat Rolan yang diucapkan dengan sepenuh hati itu. Sebutir air mata menetes di pipinya ketika dia berkata, "Aku juga mencintaimu Rolan. Sungguh-sunguh, sepenuh hatiku." gumamnya dengan bibir bergetar. Jemari Rolan lalu meraih kepala Selly mendekat, dan bibir mereka bertemu, berpadu dengan penuh cinta di ruangan rumah sakit yang sunyi dan bernuansa putih. *** "Aku sudah menemukannya." Gabriel duduk di ruang kerjanya, menatap tajam ke arah pelayan pribadinya yang setia. "Karena dia sudah memberikan kekuatannya kepada Rolan, dia tidak punya pelindung lagi. Dan dia tidak bisa sembunyi lebih lama dariku." Carlos berdiri di sana, menatap gugup kepada tuannya yang dingin dan kejam, "Bukankah menurut aturan semesta, kita tidak bisa mengejar mantan pemegang kekuatan? Karena orang itu sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melindungi diri dari anda. Sudah berabad-abad aturan itu dipegang oleh para pemegang kekuatan. Mereka tidak boleh membunuh siapapun yang sudah menyerahkan kekuatannya." Mata Gabriel tampak dingin dan tajam, "Apakah kau ingin mengguruiku? Apakah kau pikir aku tidak tahu semua aturan bodoh tentang alam semesta itu? Ya. Aku tahu bahwa aku dilarang mengejar mantan pemegang kekuatan karena dia sekarang sudah menjadi manusia yang lemah sama seperti yang lain. Tetapi lelaki tua itu telah begitu lama menyulitkanku dan mengganggu seluruh rencanaku, dan dia bahkan memberikan kekuatan itu kepada Rolan, seorang lelaki yang sudah mempunyai cinta sejatinya, membuatku kalah satu langkah." Mata Gabriel menyipit kejam, "Aku tahu lelaki tua itu sudah merencanakan semuanya, untuk menghancurkanku. Dia adalah duri dalam daging dan dia harus dilenyapkan." Senyum jahat muncul di bibirnya, "Dan aku akan mengunjunginya malam ini." Carlos hanya menunduk dan diam, gemetar karena aura keji yang dipancarkan oleh Gabriel. Tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia ketakutan. Dengan membunuh Matthias, lelaki tua pemegang kekuatan sebelum diserahkan kepada Rolan, maka Gabriel akan melanggar hukum semesta. Semua keseimbangan yang sudah dijaga baik-baik akan kacau. Bumi ini akan terancam. Tetapi siapa pula yang berani menentang keinginan tuannya ini? Gabriel adalah manusia yang diberkahi kekuatan dasyat itu, kekuatan untuk mengaktifkan 95% dari kemampuan otaknya. Dan kalau Rolan ada di sisi putih sebagai kekuatan baik. Maka Gabriel ada di sisi hitam, sebagai penyeimbangnya. Sebagai kekuatan Jahatnya. *** Matthias tahu, entah kenapa. Dia memang sudah kehilangan kekuatannya setelah dia menyerahkannya secara sukarela kepada Rolan. Seharusnya dia memang bisa hidup lama, orang yang memegang kekuatan itu akan memiliki umur panjang, dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi Matthias merasa lelah. Dia lelah bertarung dengan Gabriel yang begitu berambisi untuk menghancurkan dunia. Dia lelah sendirian di dunia, menua sendiri sementara orang-orang yang dicintainya tumbang satu persatu. Dia hanya ingin beristirahat, menyusul mantan isterinya yang telah lama pergi, jauh sebelum dia menerima anugerah kekuatannya itu. Entah kekuatan itu bisa dinyatakan sebagai anugerah atau kutukan. Seperti pepatah yang selalu didengarnya, Kekuatan yang besar hampir pasti akan selalu disertai oleh tanggung jawab yang tak kalah besarnya. Dia adalah penyeimbang mewakili terang dan kebaikan. Hanya ada satu di dunia ini. Lawannya, juga satu-satunya di dunia ini adalah penyeimbang mewakili kegelapan dan kejahatan. Gabriel memang sesuai dengan kekuatannya, dia begitu kejam dan jahat, hasrat satu-satunya mungkin adalah menghancurkan dunia ini. Tetapi bagaimanapun juga pada dasarnya Gabriel memang harus ada. Karena tidak akan ada terang kalau tidak ada kegelapan, tidak ada kebaikan kalau tidak ada kejahatan.... semua harus saling menyeimbangkan. Sayangnya hasrat kelam Gabriel pada akhirnya membuatnya semakin berambisi untuk menghancurkan Matthias. Gabriel rupanya tidak menginginkan keseimbangan seperti aturan yang sudah dibuat semesta untuk mengikat mereka. Dia ingin seluruh dunia dikuasai kegelapan tanpa ada terang, sehingga dia ingin melenyapkan Matthias. Tetapi tentu saja dia tidak akan pernah bisa melenyapkan Matthias, di masa lalu, Gabriel berkali-kali menyerang Matthias, mencoba membunuhnya, sayangnya sudah aturan semesta bahwa mereka tidak akan bisa membunuh satu sama lain, karena kekuatan mereka sama persis. Mereka sama-sama bisa mengaktifkan kekuatan otaknya sampai 95%. Itu artinya jika yang satu menyerang, mereka akan mengeluarkan kekuatan dengan intensitas sama, dan bisa menyembuhkan diri dengan intensitas yang sama pula, yang berarti perang imbang yang kosong tanpa pemenang. Rahasia dari kemenangan itu ada di cinta sejati. Cinta sejati itu adalah pasangan, yang bisa membuat sang pemegang kekuatan bisa mencintai sepenuh hati, begitu juga sebaliknya. Ya. Jikalau sang pemegang kekuatan bisa menemukan cinta sejati, dan pada titik akhirnya, sang cinta sejati bersedia mengorbankan diri, maka Sang pemegang kekuatan akan mendapatkan 5% kekuatan yang tersisa, menjadikan otaknya teraktifkan sampai 100%. Dengan keunggulan itu maka sang pemilik cinta sejati, bisa mengalahkan lawannya. Sayangnya Matthias tidak pernah bisa menemukan cinta sejatinya. Jauh di dalam hatinya dia sadar bahwa cinta sejatinya sudah pergi, terkubur bersama jasad isterinya yang telah meninggal begitu lama. Sejak saat itu, meskipun Matthias berusaha, dia tahu bahwa dia menipu hatinya sendiri. Dia sudah tidak bisa mencintai lagi, yang berarti hal itu akan menutup kemungkinan bagi dirinya untuk mengalahkan Gabriel. Untunglah demikian juga halnya dengan Gabriel, lelaki itu sampai sekarang masih belum bisa menemukan cinta sejatinya. Karena hatinya yang kelam dan gelap itu sepertinya tidak akan bisa mencintai. Gabriel terlalu kejam dan jahat untuk jatuh cinta. Hingga dia tidak bisa mendapatkan keunggulan yang dia mau, kesempatan untuk mendapatkan kekuatan tambahan sebesar 5% itupun tertutup untuknya. Jadi begitulah yang terjadi, selama bertahun-tahun Gabriel dan Matthias bertarung tanpa bisa menemukan satupun pemenangnya. Pertarungan itu ternyata membuat Gabriel frustrasi dan dia melampiaskannya kepada manusia yang tidak berdosa. Semua bencana yang terjadi beruntun di seluruh penjuru dunia itu, angin ribut, gempa bumi, dan semua kekacauan alam yang tidak terencana, yang tidak terdeteksi dan merenggut beribu-ribu nyawa mahluk hidup, semua itu adalah hasil dari kekuatan Gabriel ketika dia marah dan memanggil angin serta gempa bumi. Gabriel sangat kejam, nyawa manusia baginya sepadan dengan nyawa semut, mahluk kecil yang dianggapnya tidak berguna dan bisa dibunuh kapan saja. Dan ketika semua bencana itu semakin sering terjadi, Matthias tahu dia tidak boleh berdiam diri. Gabriel harus dihentikan. Jadi Matthias lalu berkelana, mencari manusia terbaik. Manusia yang berhati suci, yang berhak menerima kekuatannya. Dan yang terpenting, manusia itu harus punya kekasih yang merupakan cinta sejatinya. Cinta sejatinya itu haruslah teguh dan kuat, dan mau berkorban pada akhirnya. Kemudian Matthias menemukan semua hal itu pada pasangan Rolan dan Selly. Dia menyerahkan kekuatannya kepada Rollan, dengan harapan nanti ketika tiba waktunya, Rollan bisa mendapatkan tambahan kekuatan 5% dari cinta sejatinya, dari Selly, dan kemudian mengalahkan Gabriel, menghentikan semua kekacauan alam yang begitu banyak memakan korban di dunia ini. Semua itu memang ada konsekuensinya. Dengan menyerahkan kekuatannya, Matthias sekarang menjadi manusia lemah, manusia biasa yang tidak punya perlindungan dan kekuatan apa-apa. Tetapi hal itu tidak masalah untuknya, dia rela asalkan kejahatan Gabriel bisa dihentikan. Sekarang, setelah kehilangan kekuatannya, seharusnya dia bisa hidup tenang, karena aturan semesta melarang Gabriel untuk membunuhnya, membunuh mantan pemegang kekuatan yang sudah lemah. Tetapi dia tahu, Gabriel tidak pernah mematuhi aturan semesta. Matthias tahu Gabriel sudah ada di dalam dan menunggunya, meskipun sudah tidak punya kekuatan, tetapi dia bisa tahu aura kejam yang disebarkan oleh Gabriel dari tubuhnya. Rasanya sama seperti menjemput kematian yang sudah pasti akan menghadangnya. Tetapi Matthias tidak mau lari, dia sudah lelah. Matthias membuka pintu aprtementnya dan melihat apa yang sudah diantisipasinya, Gabriel duduk di sana, dengan nyaman di kursi besarnya, dan tersenyum ketika melihat Matthias masuk. "Selamat datang Matthias, maafkan aku masuk ke rumahmu tanpa permisi." Matthias menatap Gabriel dengan jijik, "Sudah kuduga, kau akan melanggar aturan semesta dan mengejarku." Tanggapan Gabriel atas hinaan itu hanyalah kekehan pelan, lelaki itu menatap Matthias tajam, "Tentu saja kau tidak akan mengira bahwa aku akan melepaskanmu begitu saja kan Matthias? Kau sudah menggangguku begitu lama, dan aturan semesta sama sekali tidak berpengaruh untukku. Akulah semesta itu, dan aku akan menguasai semuanya." Suaranya merendah, dia menggerakkan sedikit ujung jarinya dan dalam sekejap, tubuh Matthias rubuh, berlutut di depannya. Sebesar itulah kekuatan Gabriel, hanya dengan menggerakkan ujung jarinya, dia bisa menggerakkan semua benda sesukanya. Gabriel menyilangkan kakinya dengan pongah, menatap Matthias yang terperangkap di tubuhnya sendiri, berlutut di depan Gabriel dan tak bisa bergerak, "Bagaimana rasanya, Matthias? berlutut di depan musuhmu yang sangat kau benci?" lelaki itu tertawa kejam, "Pasti rasanya sangat menyakitkan." Matthias mengangkat matanya meskipun lehernya terasa amat kaku dan tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan, terkunci di sana. Dia menatap Gabriel dengan penuh kebencian. "Tubuhku berlutut tapi hatiku tidak. Kau akan musnah, Gabriel. Penggantiku, dia memiliki cinta sejatinya. Kau tinggal menunggu saat-saat kekalahanmu." Gabriel tergelak. "Penggantimu itu hanyalah pesakitan bodoh yang tidak bisa apa-apa, dan kau menyuruhnya menghadapiku?" Tawa Gabriel makin keras, "Tidak kusangka kau begitu bodoh Matthias, aku memang mungkin tidak akan bisa mendapatkan cinta sejatiku. Tetapi aku bisa membuat penggantimu kehilangan cinta sejatinya juga." Mata Matthias membelalak, "Apakah kau akan mengincar perempuan tidak berdosa itu?" "Semua ini kesalahanmu, Matthias. Mereka dulunya hanyalah pasangan yang berbahagia dan tak berdosa, tetapi sekarang kau telah menempatkan mereka sebagai musuhku. Aku akan menghancurkan mereka." Gabriel berdiri, tepat di depan Matthias yang masih berlutut, matanya melirik ke bawah dengan sinar yang kejam, luar biasa. "Dan sebagai penghormatan kepadamu, aku akan mencabut nyawamu dengan cepat, kau tidak akan tersakiti." Dari ujung jemari Gabriel keluarlah api berwarna biru, lelaki itu mengarahkannya ke tubuh Matthias yang masih berlutut. Api biru itu menyelubungi tubuh Matthias, hanya sekejap, bahkan Matthias tidak sempat merasakan apa-apa. Dan beberapa detik kemudian, api itu mati, menyisakan tubuh Matthias yang sekarang hanya berupa buliran abu yang berserakan di lantai. Gabriel melihat melihat buliran abu itu, dan tersenyum puas. Dia lalu melangkah keluar dari apartemen Matthias, kakinya menginjak abu itu, membuatnya bertebaran dan berserakan. *** Setelah menghabiskan sore yang menyenangkan bersama Rolan, Selly melirik jam tangannya, "Sudah jam delapan malam, aku harus pulang." Selly tersenyum menatap Rolan yang tiba-tiba berekspresi sedih, diraihnya jemari Rolan dan diremasnya, "Kau tahu aku sebenarnya sangat ingin tidur di sini setiap malam, menungguimu, tetapi pihak rumah sakit tidak mengizinkannya demi kebijakan kesehatan mereka. Kita seharusnya bersyukur karena ada dispensasi dari pihak rumah sakit sehingga aku bisa menginap di sini setiap akhir pekan." Rolan menganggukkan kepalanya, menghapus ekspresi sedih di wajahnya, dia mengerti. "Maafkan aku, aku hanya merasa tidak suka ketika harus jauh darimu." Meskipun hal ini mungkin hanya perlu ditahankannya sebentar lagi. Dia yakin ketika hasil lab sudah keluar, para dokter akan mengetahui bahwa dia sembuh total. Segera, Rolan akan keluar dari rumah sakit ini dan dia bisa memiliki waktu bersama Selly sebebas-bebasnya. Selly tersenyum lembut, lalu mengecup dahi Rolan, "Jaga diri ya, aku akan kembali besok." bisiknya tak kalah lembut. Ketika Selly sudah melangkah hampir di pintu, Rolan kembali memanggilnya, "Selly?" Selly langsung menghentikan langkahnya, "Ada apa Rolan?" "Hasil pemeriksaanku tadi pagi akan keluar besok, kau mau menemaniku ketika dokter membicarakannya?" Rolan akan memastikan Selly ada di sana ketika dokter memberitahukan kesembuhannya. Selly tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Tentu saja aku mau." Perempuan itu meniupkan cium jauh kepada Rolan, "Aku mencintaimu, Rolan." "Aku juga mencintaimu, Selly." *** Selly berjalan keluar dari apartemen itu dan melangkah ke ujung jalan yang sama untuk mencari angkutan. Beberapa lama dia berdiri di sana, dan tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, tanpa peringatan menimpanya begitu saja. Selly mendesah kesal karena bajunya langsung basah, dan dia berlari-lari kecil menembus hujan, mencari tempat berteduh. Ini bisa gawat. Selly mendesah dalam hatinya. Dia tidak membawa payung dan kalau tidak tidak berdiri di pinggir jalan dia tidak akan mendapatkan angkot yang berarti dia tidak bisa pulang. Kalau hujan turun begini derasnya sampai larut malam, Selly akan kesulitan menemukan kendaraan untuk pulang ke rumah. Dengan bingung Selly melangkah menuju emperan toko, yang tidak jauh dari jalan raya, dia berdiri di sana sendirian, memeluk tubuhnya sendiri yang setengah basah melawan angin dingin yang menghembusnya. "Apakah kau membutuhkan payung?" suara yang familiar itu terdengar di sebelahnya. Selly mendongak dan membelalakkan matanya, yang berdiri di sebelahnya adalah lelaki misterius yang ditabraknya tadi! Kenapa tadi dia tidak merasakan kedatangan laki-laki itu? sejak kapan lelaki itu berdiri di sebelahnya? Lelaki itu tersenyum lembut, dan mengulurkan payung besar berwarna hitam, "Kau bisa memakai payungku." Mata Selly melirik ke arah payung yang diulurkan kepadanya, kemudian beralih lagi menatap wajah Gabriel yang luar biasa tampan, dia bingung. "Eh... tapi nanti anda tidak akan punya payung." Senyum lelaki itu melebar, "Mobilku akan datang sebentar lagi menjemputku, dan aku tidak butuh payung. Aku senang bisa menolongmu, terimalah payung ini." Jemarinya terulur lagi mendekatkan payung itu kepada Selly, dan mau tak mau Selly menerimanya, matanya menatap lelaki itu penuh terimakasih. "Terimakasih... terimakasih... kalau ada lain kesempatan saya akan mengembalikan payung ini." Lelaki itu tersenyum, "Aku yakin akan ada lain kesempatan" lelaki itu mengulurkan tangannya, "Namaku Gabriel." Selly membalas uluran tangan itu, matanya menatap ke arah Gabriel, "Saya... Selly." Gabriel menganggukkan kepalanya, "Selly, mobilku sudah datang. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan." Lelaki itu setengah membungkuk, kemudian melangkah tenang menembus hujan, masuk ke mobil hitam yang datang dan berhenti di pinggir jalan, kemudian lelaki itu memasuki mobil itu. Mobil hitam legam dan besar itupun membelah hujan, meninggalkan Selly yang masih terpaku sambil memeluk payung hitam besar di tangannya. Bersambung ke Part 3

Rolan menoleh dan melihat Shelly yang memandangnya dengan terkejut di pintu. Wajah Selly pucat pasi, perempuan itu benar-benar cemas. Selly segera meletakkan jeruknya di meja terdekat dan menghambur menghampiri Rolan, "Rolan! Astaga! Kau bisa berdiri?" jemarinya menyentuh lengan Rolan, mencoba menopangnya. Tetapi entah kenapa lengan Rolan yang biasanya kuyu dan rapuh kini terasa begitu kuat dan kokoh. Selly mengerutkan keningnya. Dia mendongak dan menatap wajah Rolan, lelaki ini terasa berbeda. Bahkan pancaran wajahnyapun berbeda. Rolan sama sekali tidak tampak seperti orang sakit. Yah sebelumnya Selly maklum karena pengobatan terus menerus telah mempengaruhi kondisi Rolan, kulitnya menjadi kuyu dan kering, rambutnyapun menipis. Tetapi sekarang, lelaki di depannya ini tampak seperti Rolan yang dulu, Rolan sebelum sakitnya semakin parah.Rolan tersenyum lembut, menatap Selly, kemudian meraih jemari mungil perempuan itu dan mengecupnya, "Jangan kuatirkan aku sayang, aku sudah sembuh." Sudah sembuh? Bagaimana mungkin? Selly menatap Rolan bingung, tetapi kemudian bergumam tegas, "Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadamu Rolan, tetapi baiknya kau tidur demi kesehatanmu. Jangan mencoba berdiri sendiri lagi tanpa pengawasan suster atau aku, mengerti?" Rolan hanya terkekeh, tampak geli melihat sikap tegas Selly. Tetapi dia tidak membantah. Tubuhnya terasa ringan dan kuat, sama sekali tidak ada rasa sakit, sama sekali tidak ada rasa nyeri. Pendengarannya sempurna, pengelihatannya luar biasa tajam, seluruh inderanya seakan-akan dilahirkan kembali, dengan kualitas yang beratus-ratus kali lebih baik. "Oke-oke." Rolan setengah melompat menaiki ranjangnya, membuat Selly memekik kaget, dia kemudian berbaring masih tersenyum lebar, tidak mempedulikan tatapan cemas Selly, "Jangan cemberut lagi dong. Aku sudah berbaring bukan?" Lama Selly menatap Rolan dengan pandangan bingung bercampur tanda tanya. Tetapi perempuan itu kemudian menghela napas panjang dan mendesah. Seharusnya dia tidak boleh protes kalau Rolan tampak sehat dan seceria ini, seharusnya dia bersyukur atas kesempatan ini. Mungkin efek obatnya pada akhirnya berfungsi baik pada Rolan sehingga bisa mengurangi rasa sakitnya. Selly menatap wajah Rolan yang tersenyum lebar menatapnya dan hatinya dipenuhi rasa syukur, diserapnya senyum itu dan disimpannya dalam ingatannya yang terdalam. Dia akan membutuhkan semua kenangan manis itu nanti, ketika yang terburuk yang paling ditakutkannya terjadi. Tetapi tentu saja Selly tidak akan memikirkannya dulu. Sekarang, di saat yang terbaik ini, dimana Rolan tampak begitu sehat dan ceria, Selly akan berbahagia bersamanya, Sementara itu Rolan mengamati seluruh perubahan ekspresi Selly dengan seksama. Dia tahu, Selly pasti sedang kebingungan. Tetapi tentu saja Rolan tidak akan bisa menjelaskan semuanya kepada Selly bukan? Selly pasti tidak akan percaya kalau dia bercerita tentang pertemuannya dengan lelaki tua itu, dan kemudian kemungkinan fungsi otaknya diaktifkan sampai 95% yang membuat tubuhnya bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Dia belum punya bukti medis karena hasil labnya belum keluar, jadi kemungkinan besar Selly akan menuduhnya berhalusinasi. Nanti, mungkin setelah hasil lab-nya keluar, Rolan mungkin bisa menjelaskan semuanya kepada Selly. Senyumnya melebar, lalu mengambil lagi kantong jeruk di tangannya, dia melangkah mendekati ranjang Rolan dan duduk di samping ranjang, "Aku membawakan jeruk." gumamnya dalam senyum lembutnya yang biasa. Senyum lembutnya yang bisa meneduhkan hati Rolan seketika. "Aku mau." Rolan berbisik serak. Mengamati wajah Selly dengan penuh cinta. Ah. Betapa rasa cintanya kepada perempuan ini sama kuatnya seperti ketika dia menyadari perasaannya. Selama ini dia tumbuh bersama Selly, meskipun Selly adalah anak pelayan di rumahnya, tetapi mereka dekat dan Rolan selalu menganggap Selly adik kesayangannya, melindungi dan menyayanginya sepenuh hati. Dan kemudian ketika mereka dewasa, Rolan menyadari bahwa Selly sudah mengambil hatinya dan tak bisa diminta kembali. Cintanya kepada Selly begitu besar, apalagi setelah Selly menunjukkan betapa besar cinta dan setianya, menjaga dan merawat Rolan bahkan di kondisi sakitnya yang paling buruk sekalipun. Selly menundukkan kepalanya dan mengupas jeruk itu, dan Rolan tidak bisa menahan dirinya untuk mengulurkan jemarinya, menyentuh dagu Selly dan mendongakkannya, "Terimakasih karena telah mendampingiku sampai sejauh ini." Suara Rolan serak menahan perasaan, "Aku mencintaimu, Selly dan jika Tuhan memberiku kesempatan, akan kulakukan apapun untuk membahagiakanmu." Mata Selly sendiri berkaca-kaca mendengar kalimat Rolan yang diucapkan dengan sepenuh hati itu. Sebutir air mata menetes di pipinya ketika dia berkata, "Aku juga mencintaimu Rolan. Sungguh-sunguh, sepenuh hatiku." gumamnya dengan bibir bergetar. Jemari Rolan lalu meraih kepala Selly mendekat, dan bibir mereka bertemu, berpadu dengan penuh cinta di ruangan rumah sakit yang sunyi dan bernuansa putih. *** "Aku sudah menemukannya." Gabriel duduk di ruang kerjanya, menatap tajam ke arah pelayan pribadinya yang setia. "Karena dia sudah memberikan kekuatannya kepada Rolan, dia tidak punya pelindung lagi. Dan dia tidak bisa sembunyi lebih lama dariku." Carlos berdiri di sana, menatap gugup kepada tuannya yang dingin dan kejam, "Bukankah menurut aturan semesta, kita tidak bisa mengejar mantan pemegang kekuatan? Karena orang itu sudah tidak punya kekuatan lagi untuk melindungi diri dari anda. Sudah berabad-abad aturan itu dipegang oleh para pemegang kekuatan. Mereka tidak boleh membunuh siapapun yang sudah menyerahkan kekuatannya." Mata Gabriel tampak dingin dan tajam, "Apakah kau ingin mengguruiku? Apakah kau pikir aku tidak tahu semua aturan bodoh tentang alam semesta itu? Ya. Aku tahu bahwa aku dilarang mengejar mantan pemegang kekuatan karena dia sekarang sudah menjadi manusia yang lemah sama seperti yang lain. Tetapi lelaki tua itu telah begitu lama menyulitkanku dan mengganggu seluruh rencanaku, dan dia bahkan memberikan kekuatan itu kepada Rolan, seorang lelaki yang sudah mempunyai cinta sejatinya, membuatku kalah satu langkah." Mata Gabriel menyipit kejam, "Aku tahu lelaki tua itu sudah merencanakan semuanya, untuk menghancurkanku. Dia adalah duri dalam daging dan dia harus dilenyapkan." Senyum jahat muncul di bibirnya, "Dan aku akan mengunjunginya malam ini." Carlos hanya menunduk dan diam, gemetar karena aura keji yang dipancarkan oleh Gabriel. Tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia ketakutan. Dengan membunuh Matthias, lelaki tua pemegang kekuatan sebelum diserahkan kepada Rolan, maka Gabriel akan melanggar hukum semesta. Semua keseimbangan yang sudah dijaga baik-baik akan kacau. Bumi ini akan terancam. Tetapi siapa pula yang berani menentang keinginan tuannya ini? Gabriel adalah manusia yang diberkahi kekuatan dasyat itu, kekuatan untuk mengaktifkan 95% dari kemampuan otaknya. Dan kalau Rolan ada di sisi putih sebagai kekuatan baik. Maka Gabriel ada di sisi hitam, sebagai penyeimbangnya. Sebagai kekuatan Jahatnya. *** Matthias tahu, entah kenapa. Dia memang sudah kehilangan kekuatannya setelah dia menyerahkannya secara sukarela kepada Rolan. Seharusnya dia memang bisa hidup lama, orang yang memegang kekuatan itu akan memiliki umur panjang, dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi Matthias merasa lelah. Dia lelah bertarung dengan Gabriel yang begitu berambisi untuk menghancurkan dunia. Dia lelah sendirian di dunia, menua sendiri sementara orang-orang yang dicintainya tumbang satu persatu. Dia hanya ingin beristirahat, menyusul mantan isterinya yang telah lama pergi, jauh sebelum dia menerima anugerah kekuatannya itu. Entah kekuatan itu bisa dinyatakan sebagai anugerah atau kutukan. Seperti pepatah yang selalu didengarnya, Kekuatan yang besar hampir pasti akan selalu disertai oleh tanggung jawab yang tak kalah besarnya. Dia adalah penyeimbang mewakili terang dan kebaikan. Hanya ada satu di dunia ini. Lawannya, juga satu-satunya di dunia ini adalah penyeimbang mewakili kegelapan dan kejahatan. Gabriel memang sesuai dengan kekuatannya, dia begitu kejam dan jahat, hasrat satu-satunya mungkin adalah menghancurkan dunia ini. Tetapi bagaimanapun juga pada dasarnya Gabriel memang harus ada. Karena tidak akan ada terang kalau tidak ada kegelapan, tidak ada kebaikan kalau tidak ada kejahatan.... semua harus saling menyeimbangkan. Sayangnya hasrat kelam Gabriel pada akhirnya membuatnya semakin berambisi untuk menghancurkan Matthias. Gabriel rupanya tidak menginginkan keseimbangan seperti aturan yang sudah dibuat semesta untuk mengikat mereka. Dia ingin seluruh dunia dikuasai kegelapan tanpa ada terang, sehingga dia ingin melenyapkan Matthias. Tetapi tentu saja dia tidak akan pernah bisa melenyapkan Matthias, di masa lalu, Gabriel berkali-kali menyerang Matthias, mencoba membunuhnya, sayangnya sudah aturan semesta bahwa mereka tidak akan bisa membunuh satu sama lain, karena kekuatan mereka sama persis. Mereka sama-sama bisa mengaktifkan kekuatan otaknya sampai 95%. Itu artinya jika yang satu menyerang, mereka akan mengeluarkan kekuatan dengan intensitas sama, dan bisa menyembuhkan diri dengan intensitas yang sama pula, yang berarti perang imbang yang kosong tanpa pemenang. Rahasia dari kemenangan itu ada di cinta sejati. Cinta sejati itu adalah pasangan, yang bisa membuat sang pemegang kekuatan bisa mencintai sepenuh hati, begitu juga sebaliknya. Ya. Jikalau sang pemegang kekuatan bisa menemukan cinta sejati, dan pada titik akhirnya, sang cinta sejati bersedia mengorbankan diri, maka Sang pemegang kekuatan akan mendapatkan 5% kekuatan yang tersisa, menjadikan otaknya teraktifkan sampai 100%. Dengan keunggulan itu maka sang pemilik cinta sejati, bisa mengalahkan lawannya. Sayangnya Matthias tidak pernah bisa menemukan cinta sejatinya. Jauh di dalam hatinya dia sadar bahwa cinta sejatinya sudah pergi, terkubur bersama jasad isterinya yang telah meninggal begitu lama. Sejak saat itu, meskipun Matthias berusaha, dia tahu bahwa dia menipu hatinya sendiri. Dia sudah tidak bisa mencintai lagi, yang berarti hal itu akan menutup kemungkinan bagi dirinya untuk mengalahkan Gabriel. Untunglah demikian juga halnya dengan Gabriel, lelaki itu sampai sekarang masih belum bisa menemukan cinta sejatinya. Karena hatinya yang kelam dan gelap itu sepertinya tidak akan bisa mencintai. Gabriel terlalu kejam dan jahat untuk jatuh cinta. Hingga dia tidak bisa mendapatkan keunggulan yang dia mau, kesempatan untuk mendapatkan kekuatan tambahan sebesar 5% itupun tertutup untuknya. Jadi begitulah yang terjadi, selama bertahun-tahun Gabriel dan Matthias bertarung tanpa bisa menemukan satupun pemenangnya. Pertarungan itu ternyata membuat Gabriel frustrasi dan dia melampiaskannya kepada manusia yang tidak berdosa. Semua bencana yang terjadi beruntun di seluruh penjuru dunia itu, angin ribut, gempa bumi, dan semua kekacauan alam yang tidak terencana, yang tidak terdeteksi dan merenggut beribu-ribu nyawa mahluk hidup, semua itu adalah hasil dari kekuatan Gabriel ketika dia marah dan memanggil angin serta gempa bumi. Gabriel sangat kejam, nyawa manusia baginya sepadan dengan nyawa semut, mahluk kecil yang dianggapnya tidak berguna dan bisa dibunuh kapan saja. Dan ketika semua bencana itu semakin sering terjadi, Matthias tahu dia tidak boleh berdiam diri. Gabriel harus dihentikan. Jadi Matthias lalu berkelana, mencari manusia terbaik. Manusia yang berhati suci, yang berhak menerima kekuatannya. Dan yang terpenting, manusia itu harus punya kekasih yang merupakan cinta sejatinya. Cinta sejatinya itu haruslah teguh dan kuat, dan mau berkorban pada akhirnya. Kemudian Matthias menemukan semua hal itu pada pasangan Rolan dan Selly. Dia menyerahkan kekuatannya kepada Rollan, dengan harapan nanti ketika tiba waktunya, Rollan bisa mendapatkan tambahan kekuatan 5% dari cinta sejatinya, dari Selly, dan kemudian mengalahkan Gabriel, menghentikan semua kekacauan alam yang begitu banyak memakan korban di dunia ini. Semua itu memang ada konsekuensinya. Dengan menyerahkan kekuatannya, Matthias sekarang menjadi manusia lemah, manusia biasa yang tidak punya perlindungan dan kekuatan apa-apa. Tetapi hal itu tidak masalah untuknya, dia rela asalkan kejahatan Gabriel bisa dihentikan. Sekarang, setelah kehilangan kekuatannya, seharusnya dia bisa hidup tenang, karena aturan semesta melarang Gabriel untuk membunuhnya, membunuh mantan pemegang kekuatan yang sudah lemah. Tetapi dia tahu, Gabriel tidak pernah mematuhi aturan semesta. Matthias tahu Gabriel sudah ada di dalam dan menunggunya, meskipun sudah tidak punya kekuatan, tetapi dia bisa tahu aura kejam yang disebarkan oleh Gabriel dari tubuhnya. Rasanya sama seperti menjemput kematian yang sudah pasti akan menghadangnya. Tetapi Matthias tidak mau lari, dia sudah lelah. Matthias membuka pintu aprtementnya dan melihat apa yang sudah diantisipasinya, Gabriel duduk di sana, dengan nyaman di kursi besarnya, dan tersenyum ketika melihat Matthias masuk. "Selamat datang Matthias, maafkan aku masuk ke rumahmu tanpa permisi." Matthias menatap Gabriel dengan jijik, "Sudah kuduga, kau akan melanggar aturan semesta dan mengejarku." Tanggapan Gabriel atas hinaan itu hanyalah kekehan pelan, lelaki itu menatap Matthias tajam, "Tentu saja kau tidak akan mengira bahwa aku akan melepaskanmu begitu saja kan Matthias? Kau sudah menggangguku begitu lama, dan aturan semesta sama sekali tidak berpengaruh untukku. Akulah semesta itu, dan aku akan menguasai semuanya." Suaranya merendah, dia menggerakkan sedikit ujung jarinya dan dalam sekejap, tubuh Matthias rubuh, berlutut di depannya. Sebesar itulah kekuatan Gabriel, hanya dengan menggerakkan ujung jarinya, dia bisa menggerakkan semua benda sesukanya. Gabriel menyilangkan kakinya dengan pongah, menatap Matthias yang terperangkap di tubuhnya sendiri, berlutut di depan Gabriel dan tak bisa bergerak, "Bagaimana rasanya, Matthias? berlutut di depan musuhmu yang sangat kau benci?" lelaki itu tertawa kejam, "Pasti rasanya sangat menyakitkan." Matthias mengangkat matanya meskipun lehernya terasa amat kaku dan tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan, terkunci di sana. Dia menatap Gabriel dengan penuh kebencian. "Tubuhku berlutut tapi hatiku tidak. Kau akan musnah, Gabriel. Penggantiku, dia memiliki cinta sejatinya. Kau tinggal menunggu saat-saat kekalahanmu." Gabriel tergelak. "Penggantimu itu hanyalah pesakitan bodoh yang tidak bisa apa-apa, dan kau menyuruhnya menghadapiku?" Tawa Gabriel makin keras, "Tidak kusangka kau begitu bodoh Matthias, aku memang mungkin tidak akan bisa mendapatkan cinta sejatiku. Tetapi aku bisa membuat penggantimu kehilangan cinta sejatinya juga." Mata Matthias membelalak, "Apakah kau akan mengincar perempuan tidak berdosa itu?" "Semua ini kesalahanmu, Matthias. Mereka dulunya hanyalah pasangan yang berbahagia dan tak berdosa, tetapi sekarang kau telah menempatkan mereka sebagai musuhku. Aku akan menghancurkan mereka." Gabriel berdiri, tepat di depan Matthias yang masih berlutut, matanya melirik ke bawah dengan sinar yang kejam, luar biasa. "Dan sebagai penghormatan kepadamu, aku akan mencabut nyawamu dengan cepat, kau tidak akan tersakiti." Dari ujung jemari Gabriel keluarlah api berwarna biru, lelaki itu mengarahkannya ke tubuh Matthias yang masih berlutut. Api biru itu menyelubungi tubuh Matthias, hanya sekejap, bahkan Matthias tidak sempat merasakan apa-apa. Dan beberapa detik kemudian, api itu mati, menyisakan tubuh Matthias yang sekarang hanya berupa buliran abu yang berserakan di lantai. Gabriel melihat melihat buliran abu itu, dan tersenyum puas. Dia lalu melangkah keluar dari apartemen Matthias, kakinya menginjak abu itu, membuatnya bertebaran dan berserakan. *** Setelah menghabiskan sore yang menyenangkan bersama Rolan, Selly melirik jam tangannya, "Sudah jam delapan malam, aku harus pulang." Selly tersenyum menatap Rolan yang tiba-tiba berekspresi sedih, diraihnya jemari Rolan dan diremasnya, "Kau tahu aku sebenarnya sangat ingin tidur di sini setiap malam, menungguimu, tetapi pihak rumah sakit tidak mengizinkannya demi kebijakan kesehatan mereka. Kita seharusnya bersyukur karena ada dispensasi dari pihak rumah sakit sehingga aku bisa menginap di sini setiap akhir pekan." Rolan menganggukkan kepalanya, menghapus ekspresi sedih di wajahnya, dia mengerti. "Maafkan aku, aku hanya merasa tidak suka ketika harus jauh darimu." Meskipun hal ini mungkin hanya perlu ditahankannya sebentar lagi. Dia yakin ketika hasil lab sudah keluar, para dokter akan mengetahui bahwa dia sembuh total. Segera, Rolan akan keluar dari rumah sakit ini dan dia bisa memiliki waktu bersama Selly sebebas-bebasnya. Selly tersenyum lembut, lalu mengecup dahi Rolan, "Jaga diri ya, aku akan kembali besok." bisiknya tak kalah lembut. Ketika Selly sudah melangkah hampir di pintu, Rolan kembali memanggilnya, "Selly?" Selly langsung menghentikan langkahnya, "Ada apa Rolan?" "Hasil pemeriksaanku tadi pagi akan keluar besok, kau mau menemaniku ketika dokter membicarakannya?" Rolan akan memastikan Selly ada di sana ketika dokter memberitahukan kesembuhannya. Selly tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Tentu saja aku mau." Perempuan itu meniupkan cium jauh kepada Rolan, "Aku mencintaimu, Rolan." "Aku juga mencintaimu, Selly." *** Selly berjalan keluar dari apartemen itu dan melangkah ke ujung jalan yang sama untuk mencari angkutan. Beberapa lama dia berdiri di sana, dan tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, tanpa peringatan menimpanya begitu saja. Selly mendesah kesal karena bajunya langsung basah, dan dia berlari-lari kecil menembus hujan, mencari tempat berteduh. Ini bisa gawat. Selly mendesah dalam hatinya. Dia tidak membawa payung dan kalau tidak tidak berdiri di pinggir jalan dia tidak akan mendapatkan angkot yang berarti dia tidak bisa pulang. Kalau hujan turun begini derasnya sampai larut malam, Selly akan kesulitan menemukan kendaraan untuk pulang ke rumah. Dengan bingung Selly melangkah menuju emperan toko, yang tidak jauh dari jalan raya, dia berdiri di sana sendirian, memeluk tubuhnya sendiri yang setengah basah melawan angin dingin yang menghembusnya. "Apakah kau membutuhkan payung?" suara yang familiar itu terdengar di sebelahnya. Selly mendongak dan membelalakkan matanya, yang berdiri di sebelahnya adalah lelaki misterius yang ditabraknya tadi! Kenapa tadi dia tidak merasakan kedatangan laki-laki itu? sejak kapan lelaki itu berdiri di sebelahnya? Lelaki itu tersenyum lembut, dan mengulurkan payung besar berwarna hitam, "Kau bisa memakai payungku." Mata Selly melirik ke arah payung yang diulurkan kepadanya, kemudian beralih lagi menatap wajah Gabriel yang luar biasa tampan, dia bingung. "Eh... tapi nanti anda tidak akan punya payung." Senyum lelaki itu melebar, "Mobilku akan datang sebentar lagi menjemputku, dan aku tidak butuh payung. Aku senang bisa menolongmu, terimalah payung ini." Jemarinya terulur lagi mendekatkan payung itu kepada Selly, dan mau tak mau Selly menerimanya, matanya menatap lelaki itu penuh terimakasih. "Terimakasih... terimakasih... kalau ada lain kesempatan saya akan mengembalikan payung ini." Lelaki itu tersenyum, "Aku yakin akan ada lain kesempatan" lelaki itu mengulurkan tangannya, "Namaku Gabriel." Selly membalas uluran tangan itu, matanya menatap ke arah Gabriel, "Saya... Selly." Gabriel menganggukkan kepalanya, "Selly, mobilku sudah datang. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan." Lelaki itu setengah membungkuk, kemudian melangkah tenang menembus hujan, masuk ke mobil hitam yang datang dan berhenti di pinggir jalan, kemudian lelaki itu memasuki mobil itu. Mobil hitam legam dan besar itupun membelah hujan, meninggalkan Selly yang masih terpaku sambil memeluk payung hitam besar di tangannya. Bersambung ke Part 3
Published on May 28, 2013 05:17
Embrace The Chord Part 3
PS : buat yg menunggu Crush in Rush dan Menghitung Hujan, Naskah masih dalam proses dipoles yah untuk episode sampai end khusus untuk blog ini :) jadi masih terpending postingannya kira2 tiga sampai empat hari lagi, semoga sabar menunggu yah. Untuk sementara Embrace The Chord dan Another 5% akan diposting secara berkala :)
Musik itu mengalun memenuhi aula. Dan seketika itu juga Jason ternganga. Anak perempuan ini.... anak perempuan ini...
Antusiasme langsung memenuhi diri Jason, membanjirinya, ini adalah rasa yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Rachel memainkan setiap gesekan nada dengan begitu mudahnya, seolah setiap nada bukanlah sesuatu yang sulit untuknya. Padahal musik yang dia mainkan membutuhkan latihan intensif dan konsentrasi tersendiri. Tchaikovsky tentu saja adalah favorit Jason. Dia menguasai semuanya, dan suka mendengarkannya, amat sangat tahu tingkat kesulitannya.Rachel memainkannya dengan begitu mudah, gerakan tangannya menggesek biola, berpadu dengan jemarinya bergerak secara alami, semuanya begitu sempurna. Perempuan ini memiliki bakat alami, hanya saja belum terasah benar. Jantung Jason berdebar, anak ini adalah berlian yang belum diasah. Jason tidak bisa melepaskannya begitu saja, antusiasme yang dibawa oleh nada-nada yang dimainkan oleh Rachel memberikan perasaan meluap-luap di dadanya, membuatnya ingin bermain. Dia langsung berdiri, melirik ke arah salah satu pegawai yang dengan sigap mengerti maksudnya. Pegawai itu langsung mengantarkan biolanya yang dengan hati-hati diletakkan di meja khusus. Tentu saja Jason tidak menggunakan biola berharga yang diwariskan oleh ayahnya, biola dari ayahnya adalah Stradivarius, buatan abad ke 17, salah satu dari biola langka dan Jason amat sangat menjaga biola itu yang sekarang diletakkan di kotak kaca di rumah mamanya. Biola yang sering dipakai Jason sekarang sangat mahal dan langka, diberikan oleh seorang komposer di Austria sebagai hadiah atas kekagumannya akan permainan biola Jason, dibuat ratusan tahun yang lalu. Biola ini dibuat oleh Paganini tahun 1759, seorang pencipta biola luar biasa, dengan hasil biola yang sangat brilian. Biola Paganini sangat sulit dimainkan karena perbedaan yang kontras antara nada tinggi dan nada rendahnya, membuat sang violinist haruslah orang yang benar-benar ahli, tetapi jika dimainkan dengan baik hasilnya sepadan, suara yang dihasilkannya amat sangat indah, bening dan memukau. Hanya ada beberapa violinist di dunia yang mampu memainkan biola Paganini dengan baik, Jason adalah salah satu orang yang istimewa itu. Setelah biola berada di tangannya, Jason membuka tempatnya, mengambilnya, lalu berdiri, dan kemudian masuk ke tengah musik, memainkan nada mengiringi permainan biola Rachel. Seluruh ruangan terkesiap. Semuanya takjub akan alunan biola Jason yang ajaib, alunan dari si violinist jenius yang sangat jarang bisa mereka dengarkan secara langsung. Sekarang Jason bermain di depan aula, mengiringi permainan Rachel, menjadikan kesempatan ini sebagai kesempatan yang luar biasa bagi semua peserta audisi. Rachel terperanjat ketika merasakan alunan biola yang indah dan sangat ahli mengiringinya di belakangnya, dia membuka matanya yang sedari tadi terpejam mengikuti musik yang dimainkannya, menoleh mengikuti arah suara itu, dan langsung bertatapan dengan mata indah Jason yang tajam. Lanjutkan. Jason memberikan isyarat dengan matanya. Antusiasme itu menular. Alunan musik biola Jason yang indah dan tanpa cela, membuat Rachel seperti dibangkitkan, dia lalu memainkan setiap nadanya dengan sepenuh hatinya. Bermain biola dengan diiringi oleh maestro sekelas Jason itu luar biasa! Astaga... benar-benar kesempatan yang luar biasa. Alunan nada dari dua biola itu berjalinan, menciptakan simponi yang indah, membius seluruh aula. Semuanya terpana seperti terhipnotis, mendengarkan dengan mata berbinar. Dan kemudian, jatah waktu lima menit untuk Rachel berubah menjadi dua puluh menit lebih, memainkan nada awal Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35 sampai akhir, diiringi oleh Jason. Ketika Rachel memainkan nada tinggi dan kemudian merendah dengan dramatis di akhir musik, semua peserta audisi ikut menghela napas, Jason tentu saja mengiringi dengan sempurna. Sampai kemudian gesekan terakhir yang menyayat, semakin pelan dan menghipnotis. Lalu selesai. Rachel berdiri di sana, terengah-engah menatap ke arah penonton yang terpana. Jason berdiri di belakangnya, ada senyum puas di bibirnya. Kemudian salah satu penonton memecah keheningan dengan tepuk tangannya. Seketika itu juga ruangan riuh rendah oleh karena tepuk tangan dan teriakan antusias, semua peserta audisi berdiri dan memuji. Rachel menoleh mencari-cari Calvin, dan dia melihat lelaki itu tersenyum lebar, bertepuk tangan penuh semangat, lalu mengedipkan matanya memuji ke arah Rachel, membuat pipi Rachel memerah. Rachel menoleh ke arah Jason yang masih berdiri di sana, dan kemudian membungkukkan tubuhnya penuh penghargaan atas kesediaan lelaki itu mengiringinya, memberikan pertunjukan dan pengalaman luar biasa kepada seluruh penonton di aula itu. Setelah itu, Rachel melangkah mundur meninggalkan panggung depan aula. Semua orang menyenggol dan tersenyum lebar kepadanya di jalannya menuju ke arah Calvin, beberapa memuji dan menyelamatinya atas kesempatan langka itu, bisa bermain diiringi oleh Jason. Tapi yang dituju oleh Rachel hanyalah Calvin. Lelaki itu tersenyum bangga dan membuka lengannya lebar, membuat Rachel tanpa bisa menahan diri memeluk lelaki itu erat-erat. "Hebat. Hebat." Calvin memeluk Rachel, setengah mengangkat tubuh mungilnya dengan sayang. Sementara Rachel meluapkan seluruh perasaannya, bangga, bahagia, antusias dan takjub di pelukan Calvin. Jauh di atas panggung, di bagian depan aula, Jason menatap Rachel yang menghambur ke pelukan Calvin.
Ternyata perempuan itu sudah punya pacar. Jason mengernyit. Lagipula, apa pedulinya? Tidak ada hubungannya dengannya bukan? Salah satu mentor senior kemudian mendekati mic dan meminta seluruh peserta beristirahat dan makan di area makan yang telah disediakan sementara para mentor dan Jason akan berdiskusi. Pengumuman nama-nama peserta yang lolos akan diumumkan satu jam kemudian. *** "Kau pasti mau Rachel masuk dalam list." Mr. Isaac tersenyum menatap Jason, "Sebelumnya aku tak pernah melihatmu bermain secara spontan seperti itu, Jason. Permainan anak itu memang hebat, meskipun belum terasah benar, di bawah tanganmu aku yakin dia akan menjadi hebat." "Ya. Masukkan dia." mata Jason tampak kosong, "Aku tidak akan bisa benar-benar mengasah berlian itu. Aku hanya akan melatihnya selama tiga bulan." Mr. Isaac menatap Jason dan tersenyum, "Kau bisa mengangkatnya sebagai murid khususmu setelahnya. Pada usiamu, aku dulu sudah membimbing murid khususku. Dan aku hanya melakukannya pada anak-anak yang memang benar-benar kulihat bakatnya, mengembangkannya dengan sempurna." "Akan kupertimbangkan, aku baru melihatnya bermain satu kali." Jason mengerutkan keningnya, "Jadi dimana daftarnya?" Mr. Isaac menyerahkan kertas lembar daftar sementara itu, "Evaluasi dulu, kalau-kalau ada yang ingin kau ubah." Jason termenung menatap dua puluh nama-nama yang terpilih itu, matanya mengarah ke nomor 199 yang masuk ke dalam list, lelaki yang dia tahu dipeluk oleh Rachel setelah permainannya tadi. Nama lelaki itu Calvin Segita... Tiba-tiba Jason tersenyum ketika menyadari bahwa itu adalah nama direktur Akademi musik ini. Jadi akhirnya anak lelaki direktur berhasil lolos juga. Dan anak lelaki direktur itu adalah pacar Rachel. Sepertinya tiga bulan ke depan akan sangat menarik bagi Jason. *** Semua peserta audisi duduk di meja-meja yang telah disediakan di area prasmanan. Meskipun semua tampak ceria, tetapi Rachel bisa melihat wajah-wajah cemas yang ada di setiap siswa, tentu saja, nasib semuanya akan ditentukan dalam beberapa menit lagi. Rachel melahap roti pisang di depannya - makanan penutupnya - dengan nikmat, ternyata dia lapar. Karena mendapatkan giliran terakhir, sepertinya Rachel yang paling lama menahan rasa tegang, karena itulah perutnya jadi keroncongan. Setelah menghabiskan rotinya, Rachel meminum teh manisnya dengan senang. Sementara itu Calvin menatapnya dan tersenyum, lelaki itu telah menghabiskan makanannya dari tadi dan meminum secangkir kopi sambil menunggu Rachel selesai makan, "Melihat tubuh kecilmu, orang tak akan percaya kalau selera makanmu sebesar ini." gumamnya menggoda, membuat Rachel membelalakkan matanya pura-pura marah,
"Aku lapar." gumamnya sambil tertawa.
Calvin tersenyum, menatap Rachel kagum, "Kau hebat sekali tadi, luar biasa bisa membuat Jason mengiringi permainanmu, dan kau hebat, bisa mengimbangi permainannya, kalau aku berada di posisimu, aku pasti akan gugup dan jemariku membeku."
Rachel tertawa, "Mungkin aku hanya beruntung. Jason sepertinya telah merencanakan memberikan penutup kejutan untuk semua peserta audisi, kebetulan aku berada di nomor urutan terakhir, jadi akulah yang beruntung."
Tidak. Rachel tidak sekedar beruntung, Calvin tahu pasti akan hal itu. Ketika Rachel memainkan biolanya, dia kebetulan sedang mengamati ekspresi Jason. Lelaki itu telah memasang wajah datar sepanjang audisi, tetapi ketika mendengar permainan Rachel, matanya bercahaya, mula-mula terkejut, lalu antusias. Calvin tahu pasti bahwa Jason ikut bermain tadi karena dorongan spontannya, bukan direncanakan.
Suara panggilan terdengar di ruang besar aula, membuat Calvin terkesiap. Itu panggilan untuk berkumpul karena nama-nama yang lolos audisi akan diumumkan. Calvin menyesap kopinya untuk terakhir kali, lalu setengah berdiri dengan bersemangat,
"Ayo Rachel." ajaknya, dan tanpa kata Rachel mengikuti langkah-langkah cepatnya ke ruang besar aula.
***
Semua orang berkumpul dengan harap-harap cemas, menatap Jason yang duduk tenang di kursinya, masih dengan wajahnya yang tak terbaca. Lelaki itu menyerahkan selembar kertas kepada mentor senior yang mendampinginya, dan mentor itupun menghadap mic, mengumumkan semua nama.
Nama-nama disebut secara berurutan. Menimbulkan berbagai emosi, bagi yang disebut namanya tentu saja itu merupakan kebahagiaan yang luar biasa, ucapan syukur terdengar diantara kerumunan, beberapa menerima ucapan selamat dari yang lain. Tetapi semakin banyak jumlah nama yang diumumkan, semakin banyak pula wajah-wajah cemas dan tegang di antara semua peserta audisi, karena kesempatan mereka dipanggil akan semakin kecil.
Calvin tanpa sadar menggenggam tangan Rachel erat-erat, Matanya menatap tegang, terpaku pada sang mentor yang mengumumkan semua nama berurutan. Rachel melirik jemari mereka yang bertaut dan tersenyum, sesungguhnya dia tidak peduli dengan hasil pengumuman ini. Berdiri di sini, berbagi rasa tegang dengan Calvin dan bergenggaman tangan sungguh merupakan suatu momen yang tak tergantikan.
Pengumuman sudah sampai ke nomor sembilan belas, jantung Rachel tiba-tiba ikut berdebar, tinggal dua nama lagi dan Calvin belum disebut. Dia berdoa dalam hati memohon supaya Calvin lolos, memohon dengan sangat supaya lelaki itu tidak mendapatkan kekecewaan lagi.
Dan ternyata Tuhan mengabulkan doanya. nama Calvin disebut. Lelaki itu menegang, dan kemudian tersenyum lebar ketika Rachel memeluknya setengah memekik dengan bersemangat. Calvin memeluk Rachel erat-erat.
"Akhirnya aku lolos Rachel!" serunya penuh kegembiraan, menenggelamkan Rachel dalam pelukannya.
Dan pada saat yang sama, nama terakhir yang lolos diumumkan, dan itu adalah nama Rachel. Calvin dan Rachel membeku, bertatapan seakan tak percaya. Lalu Calvin tertawa bahagia,
"Kau lolos juga!" serunya senang, "Kita akan masuk kelas khusus bersama-sama!" dengan bahagia dipeluknya tubuh mungil Rachel, setengah diangkat.
Orang-orang berkerumun memberi selamat. Ada wajah kecewa ada wajah bahagia dalam kerumunan itu, sebagian pasti juga berpikir akan mencoba lagi tahun depan di kesempatan berbeda. Setelah pengumuman ditutup, kerumunan itupun bubar.
Dalam perjalanan ke mobil mereka, Calvin dan Rachel masih berangkulan, tertawa begitu bahagia, masih tidak percaya dengan keberuntungan mereka.
"Tiga bulan ke depan pasti akan luar biasa, aku tidak percaya kita berdua lolos bersama-sama, sungguh menyenangkan." Calvin masih bergumam tidak percaya akan betapa beruntungnya mereka.
Rachel sendiri tentunya terkejut. Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi salah satu dari dua puluh anak yang beruntung. Setahunya, masih banyak peserta dengan teknik yang lebih sempurna dari dirinya. Tetapi bagaimanapun juga, dia tidak tahu bagaimana pertimbangan penilaian audisi itu. Mungkin saja mereka semua memiliki pertimbangan sendiri.
Tiba-tiba langkah Calvin yang masih merangkulnya terhenti, membuat langkah Rachel yang sedang melamun terhenti seketika. Rachel mendongak, menatap bingung ke arah Calvin.
"Kenapa kita berhenti...." matanya mengikuti arah mata Calvin yang terpaku dan tertegun, dan kemudian dia melihat Jason... lelaki itu berdiri dengan tenang di tempat tersembunyi di area parkiran mobil hanya sekitar empat langkah dari posisi mereka berdiri sekarang. Pandangannya lurus ke arah Rachel, dan sepertinya dia sedang menunggu mereka....
Karena Calvin masih terperangah membeku tak percaya akan apa yang dia lihat, Jasonlah yang melangkah mendekat lebih dulu. Tersenyum dengan senyum khasnya yang mempesona,
"Selamat, kalian berdua lolos masuk ke kelas khusus." lelaki itu mengulurkan tangan dengan sopan.
Calvin tampak terpaku, tetapi dengan cepat dia menjabat tangan Jason, tak kalah sopan,
"Terimakasih, sungguh suatu kebanggan sendiri bisa masuk ke kelas anda. Anda adalah motivasi terbesar saya dalam bermain biola..." Calvin langsung menghentikan kalimatnya, menyadari kalau dia terlalu banyak berkata-kata.
Jason hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, dia lalu menolehkan kepalanya kepada Rachel.
"Hai. Kita bertemu lagi. Meskipun pertemuan terakhir kita sepertinya tidak begitu menyenangkan." tatapannya tersirat, penuh arti membuat pipi Rachel memerah.
Apanya yang tidak menyenangkan? Bukankah lelaki itu yang bersikap galak di pertemuan terakhir mereka? Rachel kan hanya mengikuti alunan musik secara tidak sengaja?
Ketika Rachel hanya diam saja, Jason melanjutkan.
"Permainan biolamu sangat hebat, dan duet kita tadi menyenangkan. Semoga tiga bulan ke depan banyak ilmu yang bisa kau dapatkan." gumamnya lembut.
Dan kemudian tanpa diduga, Jason meraih tangan Rachel dan mengecupnya lembut. Membuat Rachel terperangah sampai lupa menutup bibirnya.
"Sampai jumpa lagi." gumam Jason setengah geli melihat ekspresi Rachel. Lelaki itu lalu menganggukkan kepala kepada Calvin dan kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Calvin dan Rachel yang masih terpaku kebingungan.
***
"Kenapa kau diam saja sepanjang malam ini, sayang?" Arlene, kekasih terbaru Jason. Seorang janda muda dan kaya berusia tiga puluh tahun yang sangat cantik cemberut dan melirik ke arah Jason yang hanya diam sepanjang tadi. Mereka berdua sedang berada di pesta yang diadakan oleh sahabat Arlene. Sejenis pesta jamuan malam yang diakhiri dengan acara bincang-bincang. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi pesta ini masih ramai, Arlene dan Jason duduk di sofa besar di sudut ruangan, bersama pasangan lainnya dan sedang membicarakan hal-hal tidak berarti.
Jason melirik ke arah Arlene dan tiba-tiba saja merasa muak. Oh Tentu saja, Arlene adalah korbannya yang berikutnya. Perempuan ini jelas-jelas murahan dan gila harta seperti ibunya, Arlene telah memperoleh bagian cukup besar dari perceraiannya yang menghebohkan itu dan kemudian menggunakannya untuk berfoya-foya. Perempuan itu memang memiliki koneksi di dunia musik karena suaminya adalah mantan promotor konser musik klasik di negara ini. Mereka bertemu tanpa sengaja di suatu pesta dan tanpa malu-malu Arlene melemparkan umpan kepada Jason, mengatakan bahwa dia benar-benar tertarik kepada Jason.
Jason tentu saja langsung memakan umpannya. Perempuan seperti inilah yang dicarinya, perempuan bodoh, genit, gila harta yang akan menjadi pelampiasan tepat untuk dendam yang masih membara di benaknya. Saat ini, seperti biasa dia sedang berperan sebagai kekasih yang baik. Arlene akan dibuatnya jatuh cinta setengah mati kepadanya. Dan ketika sampai di titik Arlene tidak bisa hidup tanpanya, Jason akan mencampakkannya dengan kejam.
"Aku lelah, kau tahu aku baru saja mengaudisi dua ratus siswa tadi." Jason bergumam dingin, berusaha bersikap biasa ketika dengan menggoda Arlene duduk merapat padanya, dengan sengaja menyenggolkan payudaranya yang ranum dan hanya dibungkus gaun dengan belahan dada sangat rendah untuk memamerkan belahannya.
Tapi Jason sedang tidak tertarik, pun ketika Arlene berusaha memberi isyarat meminta untuk bercumbu dengannya. Lelaki itu malahan berdiri dan menggelengkan kepalanya,
"Kurasa aku harus pulang. Aku lelah." dia mengedikkan bahunya kepada Arlene, "Sampai nanti Arlene."
Dan kemudian Jason meninggalkan Arlene yang masih memanggil-manggil namanya. Dia tidak peduli. Lagipula dia tidak berkewajiban mengantar Arlene pulang karena perempuan itu tadi datang kemari sendiri dengan diantar oleh supirnya.
***
Sekali lagi Jason terbaring dalam keheningan malam di kamarnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Sekelilingnya gelap karena Jason mematikan semua lampu.
Seharusnya dia bisa langsung tertidur karena dia lelah sekali. Tetapi dia tidak bisa tidur. Ketika dia memejamkan mata, alunan musik itu terbayang di benaknya, alunan musik yang memainkan nada indah... nada duetnya bersama Rachel.
Anak perempuan kecil itu adalah berlian. Jason mengulang kembali kesimpulannya. Berlian itu harus diasah di tangan yang benar, kalau tidak dia akan rusak. Dan Jason tidak akan membiarkannya rusak.
Ada yang harus dilakukannya besok, pagi-pagi sekali.
***
"Aku tak percaya kau lolos." Mamanya meletakkan sepiring omelet di depan Rachel, yang langsung dimakan Rachel dengan lahap.
Mereka sedang sarapan bersama di pagi hari. Dan mamanya masih saja membahas hasil pengumuman kemarin.
"Mungkin permainan biolaku cukup bagus." Rachel tertawa, menggoda mamanya yang mengerutkan keningnya. Mamanya tampaknya sangat serius dalam segala hal terutama menyangkut musik, Rachel takut hal itu akan menambah keriput di wajah mamanya yang masih cantik.
"Mama yakin masih banyak yang lebih sempurna darimu. Kau selama ini hanya mempelajari biola setengah-setengah, tidak sepenuh hasratmu." Mama Rachel duduk di depan Rachel dan tatapannya berubah serius, "Kalau kau sudah menjalani kelas khusus bersama Jason ini, kau harus menetapkan pilihanmu pada biola dan menjalaninya dengan serius Rachel."
Sebelum Rachel menjawab, telepon rumahnya berbunyi. Sang mama mengerutkan keningnya, bergumam tentang siapa yang menelepon rumah sepagi ini, lalu beranjak berdiri dan mengangkat telepon.
Rachel tentu saja tidak mendengarkan pembicaraan mamanya ditelepon yang terdengar sangat serius itu. Dia malahan asyik melahap omelet buatan mamanya yang sangat enak.
Sampai kemudian mamanya meletakkan telepon, wajahnya pucat..... mungkin efek dari pembicaraannya? Dan kemudian dia duduk di depan Rachel dengan mata membelalak tak percaya.
Lama kemudian mamanya masih seperti itu hingga Rachel merasa cemas,
"Ada apa mama?"
Mamanya tergeragap, seolah dibangunkan dari lamunannya, tetapi ekspresi takjub masih tampak di matanya, bibirnya membuka sedikit gemetar,
"Itu tadi..... Astaga. Itu tadi Jason sendiri yang menelepon! Dia meminta kita datang ke akademi, katanya dia ingin menjadikanmu murid bimbingan khususnya yang pertama!"
Bersambung ke part 4

Musik itu mengalun memenuhi aula. Dan seketika itu juga Jason ternganga. Anak perempuan ini.... anak perempuan ini...
Antusiasme langsung memenuhi diri Jason, membanjirinya, ini adalah rasa yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya. Rachel memainkan setiap gesekan nada dengan begitu mudahnya, seolah setiap nada bukanlah sesuatu yang sulit untuknya. Padahal musik yang dia mainkan membutuhkan latihan intensif dan konsentrasi tersendiri. Tchaikovsky tentu saja adalah favorit Jason. Dia menguasai semuanya, dan suka mendengarkannya, amat sangat tahu tingkat kesulitannya.Rachel memainkannya dengan begitu mudah, gerakan tangannya menggesek biola, berpadu dengan jemarinya bergerak secara alami, semuanya begitu sempurna. Perempuan ini memiliki bakat alami, hanya saja belum terasah benar. Jantung Jason berdebar, anak ini adalah berlian yang belum diasah. Jason tidak bisa melepaskannya begitu saja, antusiasme yang dibawa oleh nada-nada yang dimainkan oleh Rachel memberikan perasaan meluap-luap di dadanya, membuatnya ingin bermain. Dia langsung berdiri, melirik ke arah salah satu pegawai yang dengan sigap mengerti maksudnya. Pegawai itu langsung mengantarkan biolanya yang dengan hati-hati diletakkan di meja khusus. Tentu saja Jason tidak menggunakan biola berharga yang diwariskan oleh ayahnya, biola dari ayahnya adalah Stradivarius, buatan abad ke 17, salah satu dari biola langka dan Jason amat sangat menjaga biola itu yang sekarang diletakkan di kotak kaca di rumah mamanya. Biola yang sering dipakai Jason sekarang sangat mahal dan langka, diberikan oleh seorang komposer di Austria sebagai hadiah atas kekagumannya akan permainan biola Jason, dibuat ratusan tahun yang lalu. Biola ini dibuat oleh Paganini tahun 1759, seorang pencipta biola luar biasa, dengan hasil biola yang sangat brilian. Biola Paganini sangat sulit dimainkan karena perbedaan yang kontras antara nada tinggi dan nada rendahnya, membuat sang violinist haruslah orang yang benar-benar ahli, tetapi jika dimainkan dengan baik hasilnya sepadan, suara yang dihasilkannya amat sangat indah, bening dan memukau. Hanya ada beberapa violinist di dunia yang mampu memainkan biola Paganini dengan baik, Jason adalah salah satu orang yang istimewa itu. Setelah biola berada di tangannya, Jason membuka tempatnya, mengambilnya, lalu berdiri, dan kemudian masuk ke tengah musik, memainkan nada mengiringi permainan biola Rachel. Seluruh ruangan terkesiap. Semuanya takjub akan alunan biola Jason yang ajaib, alunan dari si violinist jenius yang sangat jarang bisa mereka dengarkan secara langsung. Sekarang Jason bermain di depan aula, mengiringi permainan Rachel, menjadikan kesempatan ini sebagai kesempatan yang luar biasa bagi semua peserta audisi. Rachel terperanjat ketika merasakan alunan biola yang indah dan sangat ahli mengiringinya di belakangnya, dia membuka matanya yang sedari tadi terpejam mengikuti musik yang dimainkannya, menoleh mengikuti arah suara itu, dan langsung bertatapan dengan mata indah Jason yang tajam. Lanjutkan. Jason memberikan isyarat dengan matanya. Antusiasme itu menular. Alunan musik biola Jason yang indah dan tanpa cela, membuat Rachel seperti dibangkitkan, dia lalu memainkan setiap nadanya dengan sepenuh hatinya. Bermain biola dengan diiringi oleh maestro sekelas Jason itu luar biasa! Astaga... benar-benar kesempatan yang luar biasa. Alunan nada dari dua biola itu berjalinan, menciptakan simponi yang indah, membius seluruh aula. Semuanya terpana seperti terhipnotis, mendengarkan dengan mata berbinar. Dan kemudian, jatah waktu lima menit untuk Rachel berubah menjadi dua puluh menit lebih, memainkan nada awal Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35 sampai akhir, diiringi oleh Jason. Ketika Rachel memainkan nada tinggi dan kemudian merendah dengan dramatis di akhir musik, semua peserta audisi ikut menghela napas, Jason tentu saja mengiringi dengan sempurna. Sampai kemudian gesekan terakhir yang menyayat, semakin pelan dan menghipnotis. Lalu selesai. Rachel berdiri di sana, terengah-engah menatap ke arah penonton yang terpana. Jason berdiri di belakangnya, ada senyum puas di bibirnya. Kemudian salah satu penonton memecah keheningan dengan tepuk tangannya. Seketika itu juga ruangan riuh rendah oleh karena tepuk tangan dan teriakan antusias, semua peserta audisi berdiri dan memuji. Rachel menoleh mencari-cari Calvin, dan dia melihat lelaki itu tersenyum lebar, bertepuk tangan penuh semangat, lalu mengedipkan matanya memuji ke arah Rachel, membuat pipi Rachel memerah. Rachel menoleh ke arah Jason yang masih berdiri di sana, dan kemudian membungkukkan tubuhnya penuh penghargaan atas kesediaan lelaki itu mengiringinya, memberikan pertunjukan dan pengalaman luar biasa kepada seluruh penonton di aula itu. Setelah itu, Rachel melangkah mundur meninggalkan panggung depan aula. Semua orang menyenggol dan tersenyum lebar kepadanya di jalannya menuju ke arah Calvin, beberapa memuji dan menyelamatinya atas kesempatan langka itu, bisa bermain diiringi oleh Jason. Tapi yang dituju oleh Rachel hanyalah Calvin. Lelaki itu tersenyum bangga dan membuka lengannya lebar, membuat Rachel tanpa bisa menahan diri memeluk lelaki itu erat-erat. "Hebat. Hebat." Calvin memeluk Rachel, setengah mengangkat tubuh mungilnya dengan sayang. Sementara Rachel meluapkan seluruh perasaannya, bangga, bahagia, antusias dan takjub di pelukan Calvin. Jauh di atas panggung, di bagian depan aula, Jason menatap Rachel yang menghambur ke pelukan Calvin.
Ternyata perempuan itu sudah punya pacar. Jason mengernyit. Lagipula, apa pedulinya? Tidak ada hubungannya dengannya bukan? Salah satu mentor senior kemudian mendekati mic dan meminta seluruh peserta beristirahat dan makan di area makan yang telah disediakan sementara para mentor dan Jason akan berdiskusi. Pengumuman nama-nama peserta yang lolos akan diumumkan satu jam kemudian. *** "Kau pasti mau Rachel masuk dalam list." Mr. Isaac tersenyum menatap Jason, "Sebelumnya aku tak pernah melihatmu bermain secara spontan seperti itu, Jason. Permainan anak itu memang hebat, meskipun belum terasah benar, di bawah tanganmu aku yakin dia akan menjadi hebat." "Ya. Masukkan dia." mata Jason tampak kosong, "Aku tidak akan bisa benar-benar mengasah berlian itu. Aku hanya akan melatihnya selama tiga bulan." Mr. Isaac menatap Jason dan tersenyum, "Kau bisa mengangkatnya sebagai murid khususmu setelahnya. Pada usiamu, aku dulu sudah membimbing murid khususku. Dan aku hanya melakukannya pada anak-anak yang memang benar-benar kulihat bakatnya, mengembangkannya dengan sempurna." "Akan kupertimbangkan, aku baru melihatnya bermain satu kali." Jason mengerutkan keningnya, "Jadi dimana daftarnya?" Mr. Isaac menyerahkan kertas lembar daftar sementara itu, "Evaluasi dulu, kalau-kalau ada yang ingin kau ubah." Jason termenung menatap dua puluh nama-nama yang terpilih itu, matanya mengarah ke nomor 199 yang masuk ke dalam list, lelaki yang dia tahu dipeluk oleh Rachel setelah permainannya tadi. Nama lelaki itu Calvin Segita... Tiba-tiba Jason tersenyum ketika menyadari bahwa itu adalah nama direktur Akademi musik ini. Jadi akhirnya anak lelaki direktur berhasil lolos juga. Dan anak lelaki direktur itu adalah pacar Rachel. Sepertinya tiga bulan ke depan akan sangat menarik bagi Jason. *** Semua peserta audisi duduk di meja-meja yang telah disediakan di area prasmanan. Meskipun semua tampak ceria, tetapi Rachel bisa melihat wajah-wajah cemas yang ada di setiap siswa, tentu saja, nasib semuanya akan ditentukan dalam beberapa menit lagi. Rachel melahap roti pisang di depannya - makanan penutupnya - dengan nikmat, ternyata dia lapar. Karena mendapatkan giliran terakhir, sepertinya Rachel yang paling lama menahan rasa tegang, karena itulah perutnya jadi keroncongan. Setelah menghabiskan rotinya, Rachel meminum teh manisnya dengan senang. Sementara itu Calvin menatapnya dan tersenyum, lelaki itu telah menghabiskan makanannya dari tadi dan meminum secangkir kopi sambil menunggu Rachel selesai makan, "Melihat tubuh kecilmu, orang tak akan percaya kalau selera makanmu sebesar ini." gumamnya menggoda, membuat Rachel membelalakkan matanya pura-pura marah,
"Aku lapar." gumamnya sambil tertawa.
Calvin tersenyum, menatap Rachel kagum, "Kau hebat sekali tadi, luar biasa bisa membuat Jason mengiringi permainanmu, dan kau hebat, bisa mengimbangi permainannya, kalau aku berada di posisimu, aku pasti akan gugup dan jemariku membeku."
Rachel tertawa, "Mungkin aku hanya beruntung. Jason sepertinya telah merencanakan memberikan penutup kejutan untuk semua peserta audisi, kebetulan aku berada di nomor urutan terakhir, jadi akulah yang beruntung."
Tidak. Rachel tidak sekedar beruntung, Calvin tahu pasti akan hal itu. Ketika Rachel memainkan biolanya, dia kebetulan sedang mengamati ekspresi Jason. Lelaki itu telah memasang wajah datar sepanjang audisi, tetapi ketika mendengar permainan Rachel, matanya bercahaya, mula-mula terkejut, lalu antusias. Calvin tahu pasti bahwa Jason ikut bermain tadi karena dorongan spontannya, bukan direncanakan.
Suara panggilan terdengar di ruang besar aula, membuat Calvin terkesiap. Itu panggilan untuk berkumpul karena nama-nama yang lolos audisi akan diumumkan. Calvin menyesap kopinya untuk terakhir kali, lalu setengah berdiri dengan bersemangat,
"Ayo Rachel." ajaknya, dan tanpa kata Rachel mengikuti langkah-langkah cepatnya ke ruang besar aula.
***
Semua orang berkumpul dengan harap-harap cemas, menatap Jason yang duduk tenang di kursinya, masih dengan wajahnya yang tak terbaca. Lelaki itu menyerahkan selembar kertas kepada mentor senior yang mendampinginya, dan mentor itupun menghadap mic, mengumumkan semua nama.
Nama-nama disebut secara berurutan. Menimbulkan berbagai emosi, bagi yang disebut namanya tentu saja itu merupakan kebahagiaan yang luar biasa, ucapan syukur terdengar diantara kerumunan, beberapa menerima ucapan selamat dari yang lain. Tetapi semakin banyak jumlah nama yang diumumkan, semakin banyak pula wajah-wajah cemas dan tegang di antara semua peserta audisi, karena kesempatan mereka dipanggil akan semakin kecil.
Calvin tanpa sadar menggenggam tangan Rachel erat-erat, Matanya menatap tegang, terpaku pada sang mentor yang mengumumkan semua nama berurutan. Rachel melirik jemari mereka yang bertaut dan tersenyum, sesungguhnya dia tidak peduli dengan hasil pengumuman ini. Berdiri di sini, berbagi rasa tegang dengan Calvin dan bergenggaman tangan sungguh merupakan suatu momen yang tak tergantikan.
Pengumuman sudah sampai ke nomor sembilan belas, jantung Rachel tiba-tiba ikut berdebar, tinggal dua nama lagi dan Calvin belum disebut. Dia berdoa dalam hati memohon supaya Calvin lolos, memohon dengan sangat supaya lelaki itu tidak mendapatkan kekecewaan lagi.
Dan ternyata Tuhan mengabulkan doanya. nama Calvin disebut. Lelaki itu menegang, dan kemudian tersenyum lebar ketika Rachel memeluknya setengah memekik dengan bersemangat. Calvin memeluk Rachel erat-erat.
"Akhirnya aku lolos Rachel!" serunya penuh kegembiraan, menenggelamkan Rachel dalam pelukannya.
Dan pada saat yang sama, nama terakhir yang lolos diumumkan, dan itu adalah nama Rachel. Calvin dan Rachel membeku, bertatapan seakan tak percaya. Lalu Calvin tertawa bahagia,
"Kau lolos juga!" serunya senang, "Kita akan masuk kelas khusus bersama-sama!" dengan bahagia dipeluknya tubuh mungil Rachel, setengah diangkat.
Orang-orang berkerumun memberi selamat. Ada wajah kecewa ada wajah bahagia dalam kerumunan itu, sebagian pasti juga berpikir akan mencoba lagi tahun depan di kesempatan berbeda. Setelah pengumuman ditutup, kerumunan itupun bubar.
Dalam perjalanan ke mobil mereka, Calvin dan Rachel masih berangkulan, tertawa begitu bahagia, masih tidak percaya dengan keberuntungan mereka.
"Tiga bulan ke depan pasti akan luar biasa, aku tidak percaya kita berdua lolos bersama-sama, sungguh menyenangkan." Calvin masih bergumam tidak percaya akan betapa beruntungnya mereka.
Rachel sendiri tentunya terkejut. Dia tidak menyangka bahwa dia akan menjadi salah satu dari dua puluh anak yang beruntung. Setahunya, masih banyak peserta dengan teknik yang lebih sempurna dari dirinya. Tetapi bagaimanapun juga, dia tidak tahu bagaimana pertimbangan penilaian audisi itu. Mungkin saja mereka semua memiliki pertimbangan sendiri.
Tiba-tiba langkah Calvin yang masih merangkulnya terhenti, membuat langkah Rachel yang sedang melamun terhenti seketika. Rachel mendongak, menatap bingung ke arah Calvin.
"Kenapa kita berhenti...." matanya mengikuti arah mata Calvin yang terpaku dan tertegun, dan kemudian dia melihat Jason... lelaki itu berdiri dengan tenang di tempat tersembunyi di area parkiran mobil hanya sekitar empat langkah dari posisi mereka berdiri sekarang. Pandangannya lurus ke arah Rachel, dan sepertinya dia sedang menunggu mereka....
Karena Calvin masih terperangah membeku tak percaya akan apa yang dia lihat, Jasonlah yang melangkah mendekat lebih dulu. Tersenyum dengan senyum khasnya yang mempesona,
"Selamat, kalian berdua lolos masuk ke kelas khusus." lelaki itu mengulurkan tangan dengan sopan.
Calvin tampak terpaku, tetapi dengan cepat dia menjabat tangan Jason, tak kalah sopan,
"Terimakasih, sungguh suatu kebanggan sendiri bisa masuk ke kelas anda. Anda adalah motivasi terbesar saya dalam bermain biola..." Calvin langsung menghentikan kalimatnya, menyadari kalau dia terlalu banyak berkata-kata.
Jason hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, dia lalu menolehkan kepalanya kepada Rachel.
"Hai. Kita bertemu lagi. Meskipun pertemuan terakhir kita sepertinya tidak begitu menyenangkan." tatapannya tersirat, penuh arti membuat pipi Rachel memerah.
Apanya yang tidak menyenangkan? Bukankah lelaki itu yang bersikap galak di pertemuan terakhir mereka? Rachel kan hanya mengikuti alunan musik secara tidak sengaja?
Ketika Rachel hanya diam saja, Jason melanjutkan.
"Permainan biolamu sangat hebat, dan duet kita tadi menyenangkan. Semoga tiga bulan ke depan banyak ilmu yang bisa kau dapatkan." gumamnya lembut.
Dan kemudian tanpa diduga, Jason meraih tangan Rachel dan mengecupnya lembut. Membuat Rachel terperangah sampai lupa menutup bibirnya.
"Sampai jumpa lagi." gumam Jason setengah geli melihat ekspresi Rachel. Lelaki itu lalu menganggukkan kepala kepada Calvin dan kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Calvin dan Rachel yang masih terpaku kebingungan.
***
"Kenapa kau diam saja sepanjang malam ini, sayang?" Arlene, kekasih terbaru Jason. Seorang janda muda dan kaya berusia tiga puluh tahun yang sangat cantik cemberut dan melirik ke arah Jason yang hanya diam sepanjang tadi. Mereka berdua sedang berada di pesta yang diadakan oleh sahabat Arlene. Sejenis pesta jamuan malam yang diakhiri dengan acara bincang-bincang. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi pesta ini masih ramai, Arlene dan Jason duduk di sofa besar di sudut ruangan, bersama pasangan lainnya dan sedang membicarakan hal-hal tidak berarti.
Jason melirik ke arah Arlene dan tiba-tiba saja merasa muak. Oh Tentu saja, Arlene adalah korbannya yang berikutnya. Perempuan ini jelas-jelas murahan dan gila harta seperti ibunya, Arlene telah memperoleh bagian cukup besar dari perceraiannya yang menghebohkan itu dan kemudian menggunakannya untuk berfoya-foya. Perempuan itu memang memiliki koneksi di dunia musik karena suaminya adalah mantan promotor konser musik klasik di negara ini. Mereka bertemu tanpa sengaja di suatu pesta dan tanpa malu-malu Arlene melemparkan umpan kepada Jason, mengatakan bahwa dia benar-benar tertarik kepada Jason.
Jason tentu saja langsung memakan umpannya. Perempuan seperti inilah yang dicarinya, perempuan bodoh, genit, gila harta yang akan menjadi pelampiasan tepat untuk dendam yang masih membara di benaknya. Saat ini, seperti biasa dia sedang berperan sebagai kekasih yang baik. Arlene akan dibuatnya jatuh cinta setengah mati kepadanya. Dan ketika sampai di titik Arlene tidak bisa hidup tanpanya, Jason akan mencampakkannya dengan kejam.
"Aku lelah, kau tahu aku baru saja mengaudisi dua ratus siswa tadi." Jason bergumam dingin, berusaha bersikap biasa ketika dengan menggoda Arlene duduk merapat padanya, dengan sengaja menyenggolkan payudaranya yang ranum dan hanya dibungkus gaun dengan belahan dada sangat rendah untuk memamerkan belahannya.
Tapi Jason sedang tidak tertarik, pun ketika Arlene berusaha memberi isyarat meminta untuk bercumbu dengannya. Lelaki itu malahan berdiri dan menggelengkan kepalanya,
"Kurasa aku harus pulang. Aku lelah." dia mengedikkan bahunya kepada Arlene, "Sampai nanti Arlene."
Dan kemudian Jason meninggalkan Arlene yang masih memanggil-manggil namanya. Dia tidak peduli. Lagipula dia tidak berkewajiban mengantar Arlene pulang karena perempuan itu tadi datang kemari sendiri dengan diantar oleh supirnya.
***
Sekali lagi Jason terbaring dalam keheningan malam di kamarnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Sekelilingnya gelap karena Jason mematikan semua lampu.
Seharusnya dia bisa langsung tertidur karena dia lelah sekali. Tetapi dia tidak bisa tidur. Ketika dia memejamkan mata, alunan musik itu terbayang di benaknya, alunan musik yang memainkan nada indah... nada duetnya bersama Rachel.
Anak perempuan kecil itu adalah berlian. Jason mengulang kembali kesimpulannya. Berlian itu harus diasah di tangan yang benar, kalau tidak dia akan rusak. Dan Jason tidak akan membiarkannya rusak.
Ada yang harus dilakukannya besok, pagi-pagi sekali.
***
"Aku tak percaya kau lolos." Mamanya meletakkan sepiring omelet di depan Rachel, yang langsung dimakan Rachel dengan lahap.
Mereka sedang sarapan bersama di pagi hari. Dan mamanya masih saja membahas hasil pengumuman kemarin.
"Mungkin permainan biolaku cukup bagus." Rachel tertawa, menggoda mamanya yang mengerutkan keningnya. Mamanya tampaknya sangat serius dalam segala hal terutama menyangkut musik, Rachel takut hal itu akan menambah keriput di wajah mamanya yang masih cantik.
"Mama yakin masih banyak yang lebih sempurna darimu. Kau selama ini hanya mempelajari biola setengah-setengah, tidak sepenuh hasratmu." Mama Rachel duduk di depan Rachel dan tatapannya berubah serius, "Kalau kau sudah menjalani kelas khusus bersama Jason ini, kau harus menetapkan pilihanmu pada biola dan menjalaninya dengan serius Rachel."
Sebelum Rachel menjawab, telepon rumahnya berbunyi. Sang mama mengerutkan keningnya, bergumam tentang siapa yang menelepon rumah sepagi ini, lalu beranjak berdiri dan mengangkat telepon.
Rachel tentu saja tidak mendengarkan pembicaraan mamanya ditelepon yang terdengar sangat serius itu. Dia malahan asyik melahap omelet buatan mamanya yang sangat enak.
Sampai kemudian mamanya meletakkan telepon, wajahnya pucat..... mungkin efek dari pembicaraannya? Dan kemudian dia duduk di depan Rachel dengan mata membelalak tak percaya.
Lama kemudian mamanya masih seperti itu hingga Rachel merasa cemas,
"Ada apa mama?"
Mamanya tergeragap, seolah dibangunkan dari lamunannya, tetapi ekspresi takjub masih tampak di matanya, bibirnya membuka sedikit gemetar,
"Itu tadi..... Astaga. Itu tadi Jason sendiri yang menelepon! Dia meminta kita datang ke akademi, katanya dia ingin menjadikanmu murid bimbingan khususnya yang pertama!"
Bersambung ke part 4
Published on May 28, 2013 04:06
May 27, 2013
Visualisasi Novel Embrace The Chord, Crush In Rush & Menghitung Hujan & Another 5% [ Edited ]
Banyak yang nanya visualisasi buat ngebayangin yah hehehhemungkin begini versiku, kalau yang lain pasti punya visualisasi tersendiri sesuai dengan selera masing2 semuanya bebas ber-imajinasi hehehehe,
ini mungkin visualisasi versiku :)
Untuk 4 judul novel yang masih bersambung di blog ini
selamat berimajnasi sebebas-bebasnya yaaa :))
Embrace The Chord Jason & Rachel
PS : Foto Rachel di ganti karena banyak yg ga setuju xixixixi kalau yang ini bagaimana?
{ PS. Rachel ceritanya agak tomboi yah }
Crush In Rush
Joshua & Kiara
PS : Karena Joshua judes jadi mukanya dikasih yang agak galak :)
Menghitung Hujan
Rangga & Nana & Reno & Diandra & Axel( PS : Urutan dari kiri ke kanan yah )
Another 5%
Rolan & Selly & Gabriel
ini mungkin visualisasi versiku :)
Untuk 4 judul novel yang masih bersambung di blog ini
selamat berimajnasi sebebas-bebasnya yaaa :))
Embrace The Chord Jason & Rachel
PS : Foto Rachel di ganti karena banyak yg ga setuju xixixixi kalau yang ini bagaimana?
{ PS. Rachel ceritanya agak tomboi yah }

Joshua & Kiara
PS : Karena Joshua judes jadi mukanya dikasih yang agak galak :)



Published on May 27, 2013 04:55
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
