Santhy Agatha's Blog, page 2

August 20, 2013

Embrace The Chord Part 17

PS : berhubung penerbit libur lebaran dari tanggal 5 sd 18 Agutus 2013 dan kantor mulai efektif tanggal 19 Agustus 2013 maka untuk pengiriman Embrace The Chord dan Another 5% akan dikirimkan dalam minggu ini ( periode minggu ke tiga tanggal 19 sd 26 Agustus 2013 ) 
Sedangkan Romeo's Lover mengalami mundur proses produksi diakibatkan libur lebaran selama 13 hari kerja tersebut sehingga proses pengirimannya diusahakan pada akhir bulan ini ( minggu ke empat)Mohon maaf sebesar-besarnya dan mohon permakluman, karena pada saat perhitungan sebelumnya aku lupa memperhitungkan bahwa ada hari raya lebaran dan ada libur lebaran T_T maafkan ya
Dan buat yang lama menunggu postingan aku mohon maaf sebesar-besarnya karena sempat menghilang beberapa lama dalam 2 minggu terakhir, bukan karena aku melupakan readers semuanya, tetapi lebih karena ada 'sesuatu' yang mengalihkan duniaku, membuatku harus fokus dan sampai tidak bisa melakukan hal yang lain, mohon maafkan ya, dan mohon doa semuanya semoga hal tersebut bisa menjadi ringan dan pada akhirnya berujung menyenangkan :)

Embrace The Chord Part 17


Pagi harinya, direktur akademi musik yang juga adalah papa Calvin datang bertamu, Jason menemuinya di ruang tamu keluarganya.
“Bagaimana kondisi tanganmu, Jason?” sang direktur rumah sakit, Mr. Segita, bertanya dengan hati-hati.
Jason menyandarkan tubuhnya dengan santai di sofa, tersenyum dengan ekspresi datar.“Aku pasti akan bisa bermain biola lagi.”
Mr. Segita menganggukkan kepalanya, “Aku percaya kau akan pulih seperti semula Jason, kau adalah pemain yang sangat berbakat dan tiada duanya di dunia ini. Lagipula, konser tunggal yang sedianya akan diadakan untuk menghormatimu akan berlangsung bulan depan. Kau tidak melupakannya kan?”
Terus terang Jason melupakannya. Dia terlalu sibuk dengan segala hal yang terjadi di sekitarnya hingga lupa bahwa bulan depan akan ada even penting baginya.
Konser itu sudah direncanakan sekian lama, hampir setahun yang lalu, sebuah konser besar di gedung orkestra terbesar dinegara ini, dengan menggandeng tiga orkestra terkenal untuk mendampingi Jason memainkan konser violin tunggalnya. List tamunya bahkan sudah penuh sampai mencapai daftar tunggu yang begitu lama, kebanyakan dipenuhi oleh orang-orang hebat di dunia musik, dalam dan luar negeri.
Konser tunggal dari Jason amat sangat ditunggu-tunggu, sebuah kesempatan langka untuk mendengarkan permainan jenius sang violinist yang mungkin tidak ada duanya di dunia ini.
Dan Jason melupakannya, dia mengerutkan keningnya. Konser itu menambah tekanan di dalam dirinya, itu berarti dia punya batas waktu untuk menyempurnakan kesembuhannya. Dia harus sembuh dengan sempurna untuk menghadapi konser tersebut.
“Aku pasti akan siap.” Jason tersenyum, menutupi perasaannya dan memasang wajah tenang.
Mr. Sagita menatap Jason dengan serius. “Jason, kau tidak boleh memaksakan diri, aku tahu bahwa luka di urat tangan bagi seorang pemain biola sangat krusial hingga kadang memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Kalau kau memang belum siap, aku bisa mengusahakan untuk memundurkan konser besar itu...”

“Aku siap.” Jason menjawab mantap. Dia tidak akan menyerah pada rasa sakitnya dan berlama-lama meratapi diri, konser tunggal yang akan dilakukan bulan depan akan menjadi pendorong yang sangat bagus bagi kesembuhannya. Lagipula Jason tidak ingin mengobarkan api pada gosip yang telah kian memanas. Di luar sana, spekulasi bertebaran di mana-mana, semua mempertanyakan kemampuan Jason bermain biola, kalau konser itu sampai diundur, semua orang pasti akan berkesimpulan bahwa Jason kehilangan kemampuannya bermain biola.
Lelaki itu tersenyum. Ini kesempatan bagus, dia akan menggunakan konser itu untuk menjawab semua pertanyaan yang bertebaran.
***
Rachel segera mengangkat teleponnya ketika melihat Calvin yang menelepon ponselnya.
‘Halo Calvin?”
‘Halo Rachel.” Suara Calvin tampak tenang dan lembut seperti biasa, “Apa kabarmu? Kenapa kau tidak memberi kabar?”
Rachel tersenyum, merasa bersalah. Biasanya dia memang selalu menelepon Calvin atau setidaknya mengirimkan pesan, tetapi kemarin dia terlalu disibukkan dengan penyesuaian dirinya tinggal di rumah Jason, pun dengan perasaannya yang terus menerus cemas akan kemampuan Jason bermain biola lagi, membuat dia hampir-hampir tidak memikirkan Calvin sama sekali.
“Maafkan aku Calvin, agak sibuk di sini. Tetapi aku sehat-sehat saja.” Gumam Rachel ceria.
Sejenak hening di luar sana, lalu Calvin bergumam,
“Kau kerasan ya di sana? Di rumah Jason?”
Rachel mengangkat bahunya, “Aku diperlakukan dengan baik di sini.” Seketika Rachel mengajukan pertanyaan, menyadari ada yang berbeda di balik suara Calvin, “Ada apa Calvin? Kau tampaknya banyak pikiran?”
Calvin menghela napas panjang, “Yah... aku.. entahlah Rachel. Ini tentang Anna, aku rasa hubungan jarak jauh ini tidak berhasil. Pada awal-awal kami begitu yakin kami bisa, berusaha menjaga komunikasi sebaik mungkin, tetapi kemudian semua terasa melahkan..... entahlah, lama kelamaan kami lelah untuk berkomunikasi, kadang-kadang bahkan seharian aku tidak mendengar kabar dari Anna.”
Rachel tercenung, menelaah perasaannya mendengar perkataan Calvin itu. Seharusnya, karena dia mencintai Calvin dia boleh merasa senang kalau mendengar ada gangguan dari hubungan Calvin dan Anna, itu berarti ada kesempatan baginya untuk memasuki hati Calvin. Tetapi entah kenapa Rachel tidak merasa senang, mungkin karena suara pedih Calvin, membuatnya ikut merasa sedih dan prihatin.
“Hubungan jarak jauh memang berat, meskipun aku sendiri belum pernah merasakannya.” Rachel menghela napas panjang, “Tetapi kalau kalian bisa menjalankannya dengan penuh tekad, kalian pasti bisa melakukannya.”
Rachel bisa membayangkan Calvin tersenyum miris di seberang sana, “Yah. Mungkin memang tekadku dan Anna masih kurang.” Gumamnya, ‘Bagaimana dengan kau sendiri, Rachel? Bagaimana hubunganmu dengan Jason?”
Calvin tentu saja masih mengira bahwa Rachel dan Jason adalah sepasang kekasih... tiba-tiba saja Rachel merasakan dorongan untuk mengatakan semuanya kepada Calvin, bahwa dia dan Jason hanyalah berpacaran pura-pura.
Kalimat itu sudah ada di ujung bibirnya, tetapi langsung membeku ketika mata Rachel menangkap kehadiran Jason di ambang pintu. Jason berdiri di sana, bersandar di ambang pintu dan menatap Rachel dengan pandangan memperingatkan.
Mau tak mau Rachel mengucapkan kebohongan lagi kepada Calvin. “Hubungan kami baik-baik saja.” Gumam Rachel, dipenuhi oleh rasa bersalah karena harus membohongi Calvin.
“Oh.” Calvin tampak kehabisan kata-kata, lelaki itu berkali-kali menghela napas sebelum berbicara. “Aku senang hubungan kalian baik-baik saja.” Gumamnya tenang, sedikit ragu, “Rachel, aku merindukanmu, aku ingin bercakap-cakap denganmu, seperti kita dulu, saling berbagi perasaan dan bercerita untuk menenangkan pikiran, kira-kira, bisakah kau menyempatkan diri keluar dari rumah Jason dan menemuiku? Mungkin kita bisa bertemu di cafe langganan kita.”
Rachel tersenyum lembut, ‘Tentu saja bisa Calvin.” Matanya melirik ke arah Jason yang masih mengamatinya dari ambang pintu, “Aku akan mengusahakan waktunya.”
“Oke. Terimakasih, Rachel.” Calvin lalu mengakhiri percakapannya.
Dan Rachel memasukkan ponselnya di saku bajunya, mengangkat alisnya sambil menatap Jason yang balas menatapnya penuh arti.
‘Kenapa?” gumamnya langsung kepada Jason.
Jason tersenyum, lalu melangkah memasuki ruangan, dan duduk di sofa tepat di depan Rachel.
“Dia mulai mengejarmu, ya?”
Rachel mengerutkan keningnya, “Calvin tidak mengejarku, dia sedang menceritakan permasalahannya dengan Anna.”
“Oh ya? Ada masalah apa?”
“Mereka menjalani hubungan jarak jauh.” Suara Rachel berubah prihatin, “Dan entah kenapa itu tidak berjalan dengan baik, Calvin merasa kalau dia dan Anna mulai kehilangan komunikasi.”
“Hmmm.” Jason merenung sejenak, lalu menatap Rachel dalam senyuman, “Apakah kau sadar Rachel? Bila seorang lelaki mulai membicarakan permasalahan hubungannya dengan kekasihnya, berarti lelaki itu sedang berusaha mengambil hatimu. Kau pernah dengar tidak, suami-suami yang mendekati selingkuhannya, mereka biasanya menarik perhatian perempuan lain itu dengan berkeluh kesah tentang kekurangan isterinya, tentang ketidakbahagiaannya dengan hubungan yang sedang dijalananinya, suami-suami itu akan bersikap sebagai korban, hingga memancing si perempuan yang diincarnya agar terdorong menjadi sang penyelamat.”
Rachel menatap Jason tidak setuju, “Calvin tidak sedang menarik perhatianku, dia benar-benar sedang bermasalah dengan Anna. Aku mengenal Calvin sudah sejak dulu kala dan kami memang terbiasa saling bertukar pikiran.
Jason menatap Rachel dengan ekspresi datar,
“Terserah pendapatmu Rachel. Aku hanya bisa memberimu satu saran, jangan bersikap terlalu mudah kalau kau memang ingin mendapatkan Calvin, semakin sulit kau didapatkan, semakin kuat seorang lelaki ingin mengejarmu.” Lelaki itu menatap Rachel dengan tajam, “Aku dengar dia mengajakmu bertemu, apakah kau akan melakukannya?”
Rachel mengangkat dagunya, “Kalau ya, apa hubungannya denganmu?”
“Kau kekasihku.” Dalam sedetik lelaki itu bergumam, menatap Rachel dengan kuat. Tetapi ketika melihat ekspersi terkejut Rachel, Jason berdehem, “Maksudku... kau adalah kekasihku di mata semua orang selama ini, jadi kalau kau melakukan pertemuan dengan lelaki lain, mungkin beberapa orang akan bertanya-tanya.”
Rachel mengamati Jason, merasa bingung karena pipi Jason sepertinya merona, entah kenapa,
“Tidak akan ada yang berpikir tidak-tidak kalau aku menemui Calvin, dia kan temanku sejak kecil.”
Jason menggelengkan kepalanya, memasang wajah tidak setuju, “Tidak Rachel, pokoknya, kalau kau hendak menemui Calvin, kau harus bersamaku.” Gumamnya keras kepala.
Rachel mengerutkan keningnya semakin dalam, menatap ekspresi wajah Jason yang keras kepala, bagaimana mungkin dia menemui Calvin dengan membawa Jason? Bukankah Calvin  ingin menemuinya dengan tujuan untuk bertukar pikiran? Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan kalau ada Jason di tengah-tengah mereka?
***
Ketika melangkah ke luar ruangan itu dan meninggalkan Rachel, Jason merasa ada yang bergolak di dalam dirinya.
Rasanya hampir seperti.... cemburu.
Membayangkan Rachel menemui Calvin dan mereka menghabiskan waktu berduaan, rasanya tidak menyenangkan bagi benak Jason. Dia tidak suka.
Dan kenapa dia tidak suka?
Seharusnya Jason tidak peduli dengan siapa Rachel menghabiskan waktu bersama, seharusnya Jason tidak peduli siapa lelaki yang dipuja Rachel. Seharusnya Jason tidak peduli.
Tetapi dia peduli.
Apakah jangan-jangan sandiwara ini sudah menjadi serius untuknya?
Tetapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin hatinya tercuri oleh seorang anak perempuan yang masih bisa dibilang remaja? Anak perempuan berumur delapan belas tahun, jauh di bawah usianya yang dua puluh enam tahun dan bisa dibilang lebih pantas sebagai adiknya?
Jason menghela napas panjang, merasa kesal dengan apa yang berkecamuk di pikirannya.
***
Konser itu tentu saja juga bisa digunakan Jason untuk memuluskan rencananya terhadap Arlene, semula dia berencana memancing kecemburuan Arlene, supaya perempuan itu bertindak gegabah, tetapi sepertinya hal itu memerlukan waktu yang cukup lama, padahal Jason sudah tidak sabar untuk segera membuat Arlene tertangkap basah dan dihukum atas perbuatannya.
Konser itu mengubah rencananya, dia bisa menggunakannya untuk memancing Arlene dengan cara lain.
Jadi ketika berada di kamarnya, dia menelepon Arlene.
“Jason!” suara Arlene meninggi dan langsung mengangkat ponselnya pada deringan pertama ketika tahu bahwa Jasonlah yang menelepon. “Ada apa sayang?”
Jason sedikit menggertakkan giginya, tetapi menahan diri, “Aku akan mengadakan konser tunggal bulan depan, setelahnya tentu saja akan ada pesta perayaan, dan aku ingin kau menjadi pendamping resmiku.”
“Kau ingin aku menjadi pendampingmu?” kali ini suara Arlene setengah menjerit, dipenuhi rasa girang.
“Tentu saja, aku tidak punya perempuan lain yang kurasa lebih pantas untuk mendampingiku, selain dirimu, Arlene.”
Napas Arlene tercekat mendengar suara Jason yang merayu, Terimakasih Jason, aku pasti akan berdandan secantik mungkin hingga membuatmu bangga membawamu sebagai pendampingmu.” Gumamnya penuh semangat, “Sebulan lagi ya? Apakah kau sudah sembuh, Jason?”
“Aku sudah sembuh.” Jawab Jason cepat, “Tetapi ada sedikit masalah.”
Masalah? Masalah Apa?”
Jason menghela napas panjang, berusaha tampak terganggu, ‘Kehadiran Rachel. Semua orang tampaknya berusaha menjodohkanku dengannya, padahal aku hanya menganggapnya sebagai murid istimewaku, ibuku juga memaksaku membawa Rachel ke konser itu. Maafkan aku Arlene atas sikapku di telepon kemarin itu, aku bersikap kasar padamu seolah-olah akan meninggalkanmu karena tertarik pada Rachel, sebenarnya waktu itu aku terpaksa karena dipaksa oleh mamaku yang sangat inging menjodohkanku dengan Rachel. Semula aku berniat mengikuti kemauan mamaku, tetapi aku terus memikirkanmu. Aku tidak mau dipaksa membawa Rachel ke pesta, padahal aku ingin membawa dirimu, aku bingung bagaimana cara menyingkirkan Rachel.”
‘Menyingkirkan Rachel?” Arlene tampak terkejut dengan kata-kata Jason.
“Ya, menyingkirkan Rachel, supaya aku tidak berkewajiban membawa Rachel sebagai pasangan resmiku di pesta setelah konser tersebut. Kau tahu rasanya malas sekali membawa anak remaja ke sebuah pesta, berbeda kalau aku membawamu, seorang wanita dewasa yang matang dan begitu cantik.” Jason sengaja menyelipkan nada merayu di dalam suaranya, membuat napas Arlene tercekat.
“Aku.. aku mungkin bisa membantumu, Jason.” Gumam Arlene cepat, kehilangan kewaspadaannya.
Jason tersenyum lebar, menyadari bahwa pancingannya kepada Arlene hampir mengenai sasaran.
“Aku tahu kau pasti bisa mengusahakannya Arlene, mengingat betapa inginnya aku membawamu sebagai pasanganku di pesta itu.
***
Rachel menatap dirinya di cermin dan tersenyum, penampilannya tampak sedikit feminim dengan rok corak daun anggur dengan warna serupa musim gugur.
Dia akan menemui Calvin hari ini.
Yah biarpun Jason melarangnya, Rachel pikir, dia boleh-boleh saja menemui Calvin, toh Calvin adalah teman masa kecilnya, kecemasan Jason tidak beralasan, dia menemui Calvin kan bukan untuk bermesraan di muka umum atau apa, dia menemui Calvin untuk bertukar pikiran. Lagipula, lama sekali rasanya dia tidak bertemu dengan lelaki itu..
Rachel melangkah keluar kamar, dan hampir bertabrakan dengan mama Jason yang kebetulan lewat di lorong.
Mama Jason mengamati penampilannya dan tersenyum lembut,
“Cantik sekali.” Gumamnya memuji. “Mau kemana, Rachel?”
Tiba-tiba saja Rachel merasa gugup, dia tersenyum sedikit malu-malu,
“Eh, saya akan menemui teman saya.”
“Oh, hati-hati kalau begitu.” Gumam sang mama ramah, lalu mengangkat alisnya, “Kau tidak meminta Jason menemanimu?”
Rachel langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Ti. Tidak, tidak perlu, Jason sepertinya sedang beristirahat.”
Dan kemudian, menghindari pertanyaan lebih lanjut, Rachel mengucapkan kata-kata perpisahan basa-basi dan kemudian buru-buru berpamitan.
***
“Rachel tampak cantik sekali tadi.” Sang mama meletakkan kue berisi biskuit ke samping meja tempat Jason duduk., Jason sedang ada di ruang baca dan membaca, dan seperti biasanya, mamanya selalu menyediakan biskuit buatan sendiri sebagai teman Jason membaca.
Jason mengangkat matanya dari buku dan menatap mamanya,
“Rachel?” dia mengerutkan kening, “Apakah dia berdandan? Memangnya dia mau ke mana?”
Sang mama mengerucutkan bibirnya, “ Lho, kamu tidak tahu, Jason? Rachel tadi buru-buru pergi, katanya mau bertemu dengan temannya, aku bertanya kenapa dia tidak minta kau antar, tetapi katanya kau sedang beristirahat, jadi kupikir kau sudah tahu kalau Rachel keluar.”Seketika itu juga Jason menggertakkan giginya.
Sialan. Dasar Rachel, Perempuan itu tidak mengindahkan peringatannya dan memilih untuk menemui Calvin tanpa seizinnya.
Pasti, tidak terbantahkan lagi, Rachel pasti pergi menemui Calvin. Hal itu membuatnya menahankan rasa terbakar di dalam dadanya, membayangkan Rachel sedang berduaan dengan Calvin.
Selain itu, ada rasa cemas yang menyeruak di dadanya. Jason sudah berhasil memancing Alrene supaya berusaha melenyapkan Rachel, demi menjebak Arlene dalam misinya. Hal itu berarti sampai Jason berhasil menjebak Arlene, Rachel selalu dalam kondisi terancam.
Rachel tidak boleh lepas dari penjagaan Jason!
Bersambung ke Part 18
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2013 22:09

August 13, 2013

Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Dear all

Malam ini aku baru bisa membuka blog lagi setelah sekian lama, setelah rasa tepar akibat perjalanan mudik yang panjang :)

Selamat Lebaran, semoga kita kembali fitrah, bersih dan penuh dengan berkah Allah
Mohon maaf lahir dan bathin, maafkan jika ada kesalahan dalam perbuatan, kata-kata atau apapun yang sekiranya menyinggung hati all readers :)

Maafkan pula lama vakum posting dikarenakan selama libur lebaran mudik hampir melintasi setengah pulau jawa  lewat jalur darat yang memakan waktu hampir sehari penuh sehingga tepar dan juga kesibukan menjelang dan sesudah lebaran yang membuat aku tidak sempat posting kisah2 yang sudah ditunggu2 oleh semuanya hiks hiks, maafkan aku yaaa

Untuk pemesan novel ETC dan Another 5%, mohon maaf atas keterlambatan pengiriman dikarenakan adanya libur lebaran dr tanggal 5 sd 15 Agustus 2013 sehingga terjadi penundaan pengiriman, untuk buku sendiri sebenarnya sudah siap, mohon sabar menunggu ya untuk proses pengirimannya

Untuk pemesan Romeo's Lover, buku masih dalam proses, mohon maklum dikarenakan ada waktu yang terpotong diakibatkan libur lebaran selama 10 hari, pemesan akan segera diinformasikan jika buku sudah siap kirim 

Dan untuk postingan, bagi yang rindu membaca di anakcantik, InsyaAllah mulai besok akan diposting secara rutin kembali :) semoga banyak yang rindu yah heee

Terimakasih buat semua pembaca blog anakcantik, kangen sekali rasanya sudah lama tidak posting di sini.

Salam sayang dan peluk erat,
Selalu memikirkan kalian semua - Santhy Agatha


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 13, 2013 07:53

August 1, 2013

Pengumuman

Dear mohon maafkan
untuk pemesanan ETC dan Another 5%, bagi beberapa yang belum terima, buku masih dalam proses penyelesaian akhir dan pengiriman, mohon maklum dikarenakan bulan puasa jadi jam kerja untuk percetakan berkurang sehingga juga mengurangi produktivitas, dan juga masih dikurangi libur lebaran di karenakan kantor percetakan tutup dari awal bulan sampai dengan tanggal 15 juni. Tetapi tetap diusahakan buku bisa sampai dengan segera ke alamat masing-masing ya, bahkan beberapa kru yang tidak mudik telah berusaha dengan melemburkan diri sampai malam demi menyelesaikan seluruh pesanan yang ada dan mengejar proses kirim sebelum lebaran.
Posting agak terhambat, maafkan dikarenakan aku masih harus mengerjakan tutup buku laporan auditor jelang lebaran huhuhu semoga setelah laporan ini beres, aku bisa posting lancar lagi ya. Dan juga untuk sms, emai, mention dan semuanya yang belum kubalas, mohon bersabar menunggu dikarenakan sampai dengan hari ini benar-benar full time lembur mengerjakan laporan auditor tengah tahun plus tutup buku jelang lebaran. InsyaAllah besok lebih longgar akan kuhabiskan waktuku buat membalas semua pesan, sms, email, mention dan sebagainya yang masih belum ditanggapi
Salam Hangat dan Peluk Erat, 
Santhy Agatha
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 01, 2013 20:28

July 30, 2013

Another 5% Part 20



Ketika Selly membuka matanya, dia berada di sebuah kamar. Kamar yang indah bernuansa cokelat lembut. Selly tergeragap dan langsung terduduk dengan bingung.
Dimanakah dia?
“Kau sudah bangun.” Suara itu tiba-tiba saja muncul dari ujung ruangan, membuat Selly terperanjat dan tergeragap kebingungan. Dia menoleh dan mendapati Gabriel berdiri di sana, mengamatinya dengan tatapan intensnya yang tajam.
“Sir?” Selly mengerutkan keningnya, kebingungan meliputinya, berusaha mengumpulkan kenangan, kenapa dia bisa tiba-tiba berada di dalam sebuah kamar bersama bosnya itu. Tetapi bagaimanapun Selly mencoba, yang diingatnya hanyalah dia sedang menangis di sofa rumahnya.
Bagaimana bisa dia berada di sini?
“Kau tak perlu bingung Selly, aku akan menjelaskan semuanya kepadamu.” Gabriel berdiri dan tersenyum kepadanya, tetapi entah kenapa aura Gabriel terasa begitu mengerikan. “Karena Pada akhirnya, aku dan Rolan akan bertarung.”
Selly menatap Gabriel, terperangah kebingungan dengan kata-kata Gabriel. Gabriel menggunakan kata ‘bertarung’ bukan bertengkar atau adu pendapat. Kata bertarung mengisyaratkan diperlukannya kekuatan fisik dan merupakan bentuk kata untuk mengisyaratkan perkelahian dua orang yang sama-sama kuat. Tatapan Selly tetap menyiratkan kewaspadaan kepada Gabriel, dia mundur sejauh mungkin dari ranjang, bersiap melompat kalau-kalau Gabriel mendekat, hal itu sepertinya malahan membuat lelaki itu geli karena dia hanya berdiri di sana dengan senyuman seperti mengejek.
“Di dunia ini, untuk menjaga keseimbangan maka diciptakanlah gelap dan terang. Ada yang mengendalikan kekuatan terang, dan ada yang mengendalikan kekuatan kegelapan.  Sayangnya Selly, kau dan aku berada di sisi yang berseberangan, meskipun sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu.”
Kata-kata Gabriel masih sulit dimengertinya. Lelaki ini tampak aneh dan berbeda, bukan seperti Gabriel atasannya yang elegan dan selalu tenang. Lelaki ini sekarang tampak berbahaya, seperti pemangsa yang siap membunuh kapanpun dia menginginkannya.
“Apa maksud anda Sir?”
Gabriel masih berdiri tegak di sana. “Aku adalah pemegang kekuatan kegelapan. Dan Rolan adalah pemegang kekuatan terang. Dan aku sudah bertekad untuk menghancurkan siapapun yang memegang kekuatan terang.”
Rolan? Pemegang kekuatan terang? Apa maksudnya?
Gabriel tampaknya bisa membaca kebingungan Selly, dia melanjutkan. “Apakah kau tidak pernah berpikir kenapa Rolan dengan penyakit separah itu bisa sembuh? Itu karena dia mendapatkan kekuatan terang dari Matthias, pemegang kekuatan sebelumnya. Kau mungkin masih bingung. Jadi akan kutunjukkan padamu.” 
Jemari ramping Gabriel terulur ke depan, lalu dari sana keluar api yang menyala begitu saja. “Kami sang pemegang kekuatan, memperoleh kekuatan karena sang pemegang kekuatan sebelumnya mewariskan kemampuannya kepada kami dengan mengaktivkan fungsi otak kami hingga 95% persen, kau tahu bukan bahwa manusia yang sekarang dengan kepandaiannya itu ternyata hanya menggunakan kemampuan otaknya sebanyak sepuluh persen? Kau pasti bisa membayangkan apa yang bisa kami lakukan dengan kemampuan otak 95%.” api di tangan Gabriel semakin membesar, tetapi secara ajaib, lelaki itu bisa mengendalikannya. “Kami mempunyai kekuatan luar biasa, hampir tak terbatas. Kami bisa menguasai semua elemen bumi, air, api, udara.” Tiba-tiba api di tangan Gabriel berubah menjadi es yang membeku, dan dalam sekerjap mata luruh menjadi abu yang menghilang di udara. “Kami bisa melakukan apa saja yang kami mau di dunia ini.” Mata Gabriel meredup. “Termasuk saling menghancurkan.”
Selly menatap Gabriel antara bingung dan tidak percaya. Tetapi Gabriel telah menunjukkan kekuatannya di depan Selly, yang meskipun mungkin itu kekuatannya yang paling sederhana, tetap saja menjadi bukti perkataannya. Orang tidak mungkin mengeluarkan api, es dan abu dari tangannya, dan Selly tahu itu bukanlah trik seorang pesulap.
Tetapi logikanya masih terasa sulit menerima semua ini.....
“Kenapa Rolan bisa menjadi pemegang kekuatan terang?” Dan kenapa Rolan tidak mengatakan kepadanya? Memang benar setelah sembuh dari penyakitnya, Rolan tampak berbeda, tampak lebih kuat...
Gabriel bersedekap. “Mungkin karena kebetulan atau mungkin Matthias sudah merencanakannya. Aku dan Matthias sudah bertarung bertahun-tahun lamanya dan tidak ada satupun di antara kami yang bisa memenangkannya karena kekuatan kami sama hebatnya. Mungkin Matthias mulai menyerah, dan kemudian dia mencari seseorang yang bisa mengalahkan aku, dan Rolanlah orangnya.”
“Tetapi kenapa Rolan?”
“Kenapa?” Mata Gabriel menajam, lelaki itu tiba-tiba melangkah maju, membungkuk ke arah Selly yang masih berada di atas ranjang, dan kemudian meraih dagu Selly sebelum Selly bisa menghindar, dan mendongakkannya,
“Matthias memilih Rolan karena kau Selly.” Mata Gabriel seolah menembus kedalaman hati Selly, “Karena kau adalah sang cinta sejati. Seorang pemegang kekuatan yang teguh memegang cinta sejatinya, dia akan memperoleh tambahan kekuatan sebesar 5%, kelebihan kekuatan sebesar 5% itulah yang akan membuatnya menjadi pihak yang lebih unggul.”
Seketika itu juga Selly mundur, menepiskan tangan Gabriel dari dagunya. “Jadi kau mengincarku? Apakah kau akan membunuhku?”
Gabriel berdiri di sana, seperti pangeran kegelapan yang tak punya hati, menatap Selly dengan ekspresi muram yang dingin.
“Tidak. Aku tidak akan membunuhmu Selly. Tapi yang pasti aku akan membunuh Rolan, entah bagaimana caranya.”
Selly ketakutan. Dia memang sakit hati karena Rolan, tetapi membayangkan Rolan terbunuh membuatnya takut. Ekspresinya tertangkap di Gabriel yang langsung tampak marah."Kenapa kau masih begitu memikirkankan lelaki itu? Dia meninggalkanmu berkali-kali demi kecemasannya yang tidak beralasan kepada perempuan lain, dia menyakiti hatimu dan tanpa pikir panjang mencium perempuan lain.”
Selly mendongak, terkejut karena Gabriel mengetahui insiden kemarin yang menghancurkan hatinya.
“Ya. Aku tahu.” Gabriel menyipitkan matanya. “Seorang lelaki yang memegang teguh cinta sejatinya, dia tidak akan mencium perempuan lain dengan mudahnya. Apakah kau tidak pernah memikirkan? Seandainya saja waktu itu kau tidak ada di sana, akankah Rolan berterus terang kepadamu bahwa dia sudah mencium perempuan lain? Tidak bukan? Selamanya mungkin dia akan membohongimu. Kalau aku...” Suara Gabriel tertelan, “Kalau aku bisa mencintai seorang perempuan dan memutuskan bahwa dia adalah cinta sejatiku, aku tidak akan pernah mencium perempuan lain.”
Dan kemudian, dalam sekejap, Gabriel membungkuk, meraih Selly ke dalam lengannya, bibirnya yang dingin mencari bibir Selly dan kemudian memagutnya. Ciuman itu dalam, dan lembut, bertolak belakang dengan lengan Gabriel yang mencengkeram punggung Selly, menahannya dengan kuat. Gabriel mencecap bibir Selly seolah ingin merasakan setiap sudutnya, menikmatinya. Sementara Selly karena terlalu terkejut, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya terpaku kebingungan. Lalu Gabriel melepaskan Selly begitu saja, setengah mendorongnya ke tengah ranjang. Dan dalam sekejap mata, Gabriel menghilang. Tubuhnya hilang ditelan bayangan kegelapan. Meninggalkan Selly yang masih shock dan kebingungan.
***
Gabriel menyandarkan tubuhnya di sisi luar kamar, di depan pintu kamar tempat dia mengurung Selly. Napasnya terengah dan matanya terpaku, penuh keterkejutan. Jemarinya menyentuh bibirnya yang terasa panas, bekas ciumannya dengan Selly. Kenapa dia mencium Selly?
Bahkan Gabriel sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya. Dia melakukannya begitu saja.
“Anda akan menguprungnya di sini?” Carlos tiba-tiba muncul seperti biasa dan mengajukan pertanyaan.
Gabriel langsung menyingkirkan jemarinya yang masih menyentuh bibirnya.
“Dia tidak boleh sampai ada di pertarunganku dengan Rolan.” Gumamnya tenang.
“Apakah itu untuk mencegah supaya Rolan tidak menang... ataukah itu demi tujuan lain?” Carlos bertanya lagi, berusaha meredakan rasa ingin tahunya.
Tatapan Gabriel langsung menajam, “Apa maksudmu, Carlos?”
Pelayannya yang setia itu tampak gugup dan menelan ludahnya sebelum mengajukan kembali pertanyaannya. “Saya... saya berpikir anda ingin mencegah nona Selly untuk berada di pertempuran itu karena anda ingin mencegahnya mengorbankan nyawa demi Rolan.”
Gabriel tertegun. Sedikit agak lama dari yang seharusnya. Tetapi ketika menatap Rolan, ekspresinya kembali tenang.
“Aku punya tujuan sendiri, Carlos. Tugasmu adalah berada di sini dan menjaga Selly supaya tidak keluar dari rumah ini, sampai pertarunganku dengan Rolan beres.”
Carlos mengerutkan keningnya, “Bukankah ini adalah pertarungan yang sia-sia? Tanpa Selly kalian berdua akan sama kuatnya, pertarungan itu tidak akan pernah selesai.”
Gabriel tersenyum tipis.  “Biarpun begitu, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghajar lelaki bodoh itu.”
Gabriel tampak begitu keras kepala, meskipun Carlos sudah mengungkapkan bahwa pertarungan itu tidak akan berujung kalau salah satu dari mereka tidak punya cinta sejati untuk menambahkan kekuatannya. Mungkin Gabriel hanya ingin melampiaskan kemarahannya kepada Rolan. Carlos mengamati tuannya, dan tiba-tiba sebuah kesimpulan menyeruak di benaknya.
*** Rolan ternganga, menatap Marco dengan tatapan tak percaya. “Apa katamu tadi? Sabrina adalah....”
“Ya Tuan. Sabrina adalah adik tiri dari Gabriel sang pemegang kekuatan kegelapan. Ibu dari Gabriel adalah sang pemegang kekuatan kegelapan yang sebelumnya. Beliau menyerahkan kekuatannya kepada Gabriel anak lelakinya. Dan Sabrina ini... dia menderita penyakit parah, dia bisa bertahan selama ini karena ibunya dulu memberikan darah untuknya... mungkin itu juga yang dilakukan Gabriel selama ini kepada Sabrina hingga perempuan itu bisa bertahan sampai sekarang.”
Rolan terperangah. “Bagaimana mungkin? Kenapa Sabrina tidak pernah menceritakan kepadaku?”
Marco mengerutkan keningnya, “Mungkin ini semua sudah direncanakan oleh Gabriel, dia menggunakan Sabrina untuk mengalihkan perhatian anda.” Marco menghela napas panjang, “Saya belum bercerita kepada anda, kenapa Gabriel berambisi untuk melenyapkan kekuatan terang. Semua ini berpangkal dari Sabrina. Ibunya yang juga ibu Gabriel, ketika memegang kekuatan gelap melakukan pelanggaran kepada aturan semesta demi anaknya, dia menyerap rasa sakit Sabrina, seperti yang sudah saya jelaskan kepada anda, hal itu akan menimbulkan akibat yang fatal ketika sang pemegang kekuatan kehilangan kekuatannya, dia akan menderita akibat rasa sakit yang diserapnya.” 
Marco menghela napas lagi. “Ketika ibu Gabriel dan Sabrina menyerahkan kekuatannya, dia langsung menderita kanker ganas stadium akhir yang siap merenggut nyawanya.... saya masih ingat ketika itu Gabriel masih kecil, dia belum bisa menggunakan kekuatannya dengan sempurna, karena itu dia  datang, memohon dan berlutut di depan tuan Matthias, meminta tuan Matthias menyelamatkan nyawanya...Sayangnya seperti yang kita tahu, sang pemegang kekuatan meskipun mampu, tidak boleh menyelamatkan atau menyembuhkan penyakit orang yang masih terikat takdir kematian. Karena itu tuan Matthias menolak Gabriel.”
“Dan kemudian ibu Gabriel meninggal?” Rolan menyela, termangu.
Marco menganggukkan kepalanya. “Ya. Ibu Gabriel meninggal tak terselamatkan. Gabriel ternyata kemudian menjadi pemegang kekuatan gelap yang sangat hebat dan tak terkalahkan, dia lalu berambisi untuk melenyapkan kekuatan terang, karena baginya, kekuatan terang ternyata tidak mewakili kebaikan.”
“Jadi semua ini... semua permusuhan dan pertarungan tiada henti antara Gabriel dan Matthias, karena Gabriel kehilangan ibunya?”
“Beliau masih kecil waktu itu, dan menanggung kekuatan yang begitu dasyat di pundaknya.” Marco menghela napas panjang. “Kadang hal-hal yang remeh bisa berubah menjadi masalah besar di kemudian hari.” Lelaki itu melirik ke arah Rolan, “jadi apa yang akan anda lakukan kepada nona Sabrina ini? Anda sudah memberikan darah anda kepadanya bukan? Saya kuatir, belum pernah ada manusia yang menerima darah baik dari sang pemegang kekuatan terang maupun pemegang kekuatan gelap... seandainya saya tahu bahwa perempuan yang akan anda tolong adalah nona Sabrina, mungkin saya akan mencegah anda sejak awal.”
Rolan menatap Sabrina yang masih terbaring lemah di atas ranjang, tampak begitu pucat dan rapuh. Sabrina tidak mungkin jahat bukan? Perempuan itu begitu lemah. Mungkin dia juga hanyalah korban, lagipula dia sakit dan tidak berdaya. Rolan harus mendengarkan Sabrina terlebih dahulu.
“Aku akan menanyai Sabrina begitu dia sadar.” Rolan memutuskan.
***
“Nona Selly sama sekali tidak mau menyentuh makan malamnya.” Carlos menghela napas panjang, menatap Gabriel yang masih termenung di ruang kerjanya, “Makan malamnya utuh. Sama halnya dengan makan pagi dan makan siangnya. Dia bisa dibilang tidak memasukkan apa-apa ke perutnya seharian ini.”
Gabriel menyipitkan matanya, “Apakah dia berencana untuk menyiksa dirinya dan bunuh diri?”
Carlos menghela napas panjang. “Saya tidak tahu, tuan, yang pasti nona Selly tidak mau dikurung, sepertinya dia akan mogok makan, sampai anda melepaskannya.”
Gabriel menggertakkan giginya. “Aku akan menemuinya sendiri dan memaksanya makan.” Gabriel benar-benar frustrasi kepada Selly, biasanya kalau dengan orang lain, dia bisa menguasai pikirannya dan memaksa orang tersebut melakukan apa yang dia mau. Tetapi dengan Selly berbeda, kekuatannya tidak mempan sama sekali kepada Selly, dan hal itu membuat semuanya menjadi lebih sulit.
Dan kemudian tanpa menunggu tanggapan dari Carlos, Gabriel menghilang dan muncul kembali ke kamar tempat Selly dikurung.
“Kau harus makan.” Gabriel mengerutkan keningnya melihat Selly yang terbaring lemah.
Selly mengangkat dagunya, keras kepala, “Aku tidak akan makan sampai kau melepaskanku dari tempat ini.”
Mata Gabriel menyala. “Makan Selly, atau aku mungkin akan melakukan sesuatu yang membuatmu menyesal.”
Selly menatap Gabriel setengah takut. Pria ini tidak main-main, dia tampak kejam dan buas. Tetapi Selly tidak punya pilihan lain bukan? Dia harus menantang Gabriel.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Mata Gabriel menyipit, “Jangan menantangku, Selly. Kekuatanku memang tidak mempan kepadamu, tetapi bukan berarti aku tidak bisa melukai orang lain demi memaksakan kehendakku kepadamu.” Gabriel menunjukkan jemarinya, “Dengan hanya mengibaskan tangan, aku bisa membakar satu gedung yang penuh dengan orang-orang tidak berdosa. Aku bisa memanggil angin topan untuk menghempas tempat tinggal yang penuh orang....”
Selly gemetar, karena Gabriel tampak benar-benar serius dengan ucapannya. Dia menatap Gabriel dengan marah.
“Kau jahat kalau sampai melakukannya!”
Gabriel terkekeh, “Jahat?” Lelaki itu memalingkan muka, “Aku adalah pemegang kekuatan kegelapan, sudah seharusnya aku jahat bukan?” Ketika menatap Selly ada sepercik kesedihan di matanya, tapi cuma beberapa detik karena kemudian mata itu berubah kejam, “Jangan berpikir dengan mogok makan kau bisa mencapai keinginanmu. Kau harus makan, Selly, pelayanku akan membawa makanan untukmu sebentar lagi, dan kau akan menghabiskannya. Jika kau tidak melakukannya, aku akan melakukan apa yang sudah kukatakan kepadamu tadi, dan secara tidak langsung kau akan bertanggung jawab terhadap kematian begitu banyak manusia yang tidak berdosa.”
Selly menggertakkan gigi, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sama sekali tidak menyangka, Gabriel, atasannya yang begitu baik dan perhatian ternyata sangat jahat.
Tetapi sikap lelaki itu begitu kontradiktif... Selly teringat ketika Gabriel menemaninya merayakan hari ulang tahunnya yang menyedihkan karena Rolan membatalkan acara makan malam mereka, dan juga Gabriel selalu bersikap baik kepadanya, memberikan nasehat dan semangat dalam kekalutannya, apakah itu semua hanyalah sandiwara? Apakah Gabriel ternyata berpura-pura dan sudah merencanakan semuanya?
Seperti sudah direncanakan, pintu itu terbuka, dan seorang lelaki tua setengah baya masuk membawa nampan makanan.
“Letakkan saja di meja, Carlos. Sang Tuan Putri akan menghabiskan makanannya kali ini.”
Lelaki tua yang bernama Carlos itu mengangguk dalam diam, dan meletakkan nampan yang penuh berisi makanan itu di meja sisi ranjang, kemudian setelah melemparkan tatatapan tak terbaca ke arah Selly, Carlos melangkah pergi.
Duduk. Makan.” Gabriel berdiri di sana, dengan arogan dan menatap Selly dengan tatapan mata tak terbantahkan. Selly memandang Gabriel dan tahu bahwa lelaki kejam itu tidak main-main dengan ancamannya. Dia melihat sendiri bagaimana Gabriel bisa menghasilkan api dari tangannya, bagaimana Gabriel bisa menghilang sesukanya.
Sambil beringsut duduk, Selly menahankan harga dirinya dan menyuap makanan dari atas piring di meja itu. Makanannya lezat tentu saja, tetapi kemarahan Selly karena dipaksa di luar kehendaknya membuat makanan itu terasa seperti bubur kertas di mulutnya.
Gabriel sendiri hanya berdiri dan menatap Selly, mengangkat alisnya ketika Selly tampak enggan melakukan suapan keduanya.
“Habiskan Selly.” Gumamnya tegas, menyatakan dengan jelas bahwa dia tak akan pergi dari sana sebelum Selly melakukan apa yang dia mau.
Mau tak mau Selly menyuapkan makanan itu, sampai dengan suapan terakhir. Ketika dia selesai melakukannya, dia mendongakkan kepalanya dan menatap Gabriel dengan tatapan menantang.
Gabriel setengah tersenyum puas, dia mengambil gelas di atas meja, dan menyorongkannya ke depan Selly.
“Ini minum.”
Lagi, dalam diam Selly menuruti kearoganan lelaki itu. Dia menerima gelas itu dan meneguknya sampai habis.
Setelah gelas itu diletakkan, Gabriel menganggukkan kepalanya. “Bagus.” Gumamnya, jemarinya terulur, menyentuh dagu Selly, “Mulai sekarang kau harus menghabiskan makananmu. Pelayanku akan memeriksa piringmu dan melaporkannya kepadaku. Kalau kau tidak melakukan apa yang aku mau, aku akan datang kepadamu dan memaksamu. Apakah kau mengerti?”
Selly diam saja dengan keras kepala. Merasa marah karena begitu tak berdaya di bawah ancaman lelaki jahat ini.
“Apakah kau mengerti, Selly?” Gabriel mengulangi ucapannya, kali ini nadanya lebih memaksa.
Selly mendongakkan kepala, melemparkan tatapan mata menyala marah kepada Gabriel, kata-katanya tidak sesuai dengan kebencian yang menyala di matanya.
“Aku mengerti. Sir.” Jawabnya ketus.***
Perempuan keras kepala.
Gabriel duduk di depan meja kerjanya. Membuka buku tebal tentang aturan alam semesta di depannya. Tetapi matanya tidak terarah ke buku itu. Benaknya melayang memikirkan Selly.
Menahan Selly di rumahnya seperti ini sebenarnya tidak memberikan keuntungan apa-apa baginya selain menambahkan kebencian Selly kepadanya. Ya. Gabriel bisa melihat mata Selly dan mengetahui ada kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepadanya.
Apakah perempuan itu masih membela dan memikirkan Rolan? Lelaki lemah yang gampang terpedaya oleh perempuan lain?
Mata Gabriel mengarah ke hamparan syair yang tertera di dalam buku alam semesta itu, di bagian yang membahas tentang ‘pengorbanan cinta sejati’. Bait-bait puisi kuno itu yang selalu mengganggunya. Bait-bait puisi tersirat tentang pengorbanan cinta sejati. Gabriel amat sangat yakin akan makna yang tersirat dari puisi itu :
Ketika dua memecah belah semesta, Maka sang takdir akan memberikan sang pemenangHanya satu yang bisa meraihnyaSatu yang terpilih sang pembuka hatiSatu terpilih yang bisa merasakan cinta sejatiDarah dan air mata akan tertumpahPilihan akan diajukanDarah yang tercinta ataukah keseimbangan semesta?Semua pilihan akan memberi maknaYang kalah dan yang menang muncul setelah pilihan diambilPengorbanan cinta sejati akan menentukan segalanya.
Itu berarti Selly harus memberikan nyawanya demi memberikan kekuatan kepada Rolan sebesar 5%. Lelaki itu menatap bait puisi di depannya dengan marah. Menghancurkan sang pemegang kekuatan terang sudah menjadi tujuan hidupnya sejak mamanya meninggalkann dunia ini, Gabriel telah siap, telah merencanakan semuanya, mengatur terjadinya perang kekuatan yang sangat besar. Sampai kemudian Selly hadir dan membuatnya ragu. Kalau pertarungan antara dia dan Rolan terjadi, kemungkinan besar Selly akan mengorbankan nyawanya demi Rolan... 
Apakah itu sepadan? Kematian Selly?
Sambil merangkum jari kedua tangannya di bawah dagunya, Gabriel merenung. Selly. Perempuan itu mengubah segalanya. Tidakkah perempuan itu menyadari bahwa Gabriel sudah berniat menghentikan pertarungan dan dendamnya dengan pemegang kekuatan terang, demi menyelamatkan nyawanya?
***
Rolan duduk di tepi ranjang, menatap ke arah Sabrina yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Perempuan itu belum sadarkan diri juga sejak tadi. Tetapi napasnya teratus dan tanda-tanda vital tubuhnya tampak baik-baik saja. Mungkin ketika menyerap kesadaran Sabrina saat menyelamatkannya dari kebakaran, Rolan terlalu besar menggunakan kekuatannya hingga Sabirina tidak sadarkan diri terlalu lama.... Pintu kamarnya terbuka, Marco masuk dengan wajah pucat pasi.
“Ada apa?” Tiba-tiba Rolan merasakan firasat buruk. Ekspresi cemas Marco menular kepadanya.
Marco menelan ludahnya, “Saya... mata-mata saya memberikan informasi. Nona Selly sekarang berada di bawah kekuasaan Gabriel. Gabriel menculik dan mengurung nona Selly
Bersambung ke Part 21



1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 30, 2013 02:43

July 26, 2013

Embrace The Chord Part 16



Rachel terpana, merasakan pelukan Jason yang sedemikian erat di tubuhnya. Lengan kuat Jason melingkarinya, seakan ingin meremukkannya. Tetapi dibalik kekuatan pelukannya, Rachel merasakan ada kerapuhan yang dalam di sana. Kerapuhan yang tidak pernah ditunjukkan oleh Jason sebelumnya, sisi lain yang baru diketahui oleh Rachel. Jason benar-benar manusia dengan kepribadian yang amat sangat kompleks, di satu waktu, Rachel merasa sudah mengenali lelaki itu, tetapi kemudian di waktu yang lain, Jason tiba-tiba saja menguakkan lapisan kepribadiannya yang lain, membuat Rachel terkejut. 
Seperti sekarang. Jason memeluknya, tampak rapuh... bagaikan bocah kecil yang meminta perlindungan kepada ibunya, meminta dikuatkan.
Didorong oleh perasaannya, Rachel menggerakkan jarinya, semula ragu, tetapi kemudian dia melingkarkan lengannya di punggung Jason, membalas pelukannya, jemarinya kemudian bergerak dan mengusap punggung Jason, berusaha memberikan ketenangan.



Lama kemudian, Jason melepaskan pelukannya. Ekspresinya tidak terbaca.

"Maaf." gumamnya, dan sebelum Rachel sempat berkata-kata, Jason melepaskan pegangannya dan melangkah pergi meninggalkan kamar itu, membiarkan Rachel yang terpana tanpa bisa berkata-kata.

*** 

Arlene mengamati dari dalam mobilnya di depan rumah orang tua Jason. Dia menggigit bibirnya dengan geram, menahan rasa marah dan cemburu.

Dari berita di televisi, dia tahu bahwa Jason hari ini keluar dari Rumah Sakit, Arlene begitu senang, tetapi dia menahan diri dan tidak berani mendekati Jason, takut lelaki itu akan langsung menuduhnya sebagai dalang atas kecelakaan yang dia alami. 

Jadi disinilah dia, sengaja memakai mobil pinjaman agar tidak dicurigai dan duduk di dalam seperti orang bodoh, mengawasi rumah Jason dan tidak berani mendekat.

Satu hal yang membuatnya semakin geram adalah karena dia melihat Rachel. Perempuan ingusan itu - yang ternyata tidak menderita luka parah - mengikuti Jason masuk ke rumah itu, dan sampai sekarang tidak keluar-keluar dari sana.

Apakah perempuan itu tinggal di rumah Jason?

Arlene langsung mengumpat, tidak bisa menahan dirinya. Kalau sampai perempuan itu berani tinggal di rumah Jason, maka Arlene akan melenyapkannya. 

Tidak boleh ada perempuan lain yang boleh berada di dekat Jason selain dirinya!

*** 

Ketika bertemu lagi dengan Jason sore harinya, Rachel sibuk mengamati lelaki itu, Jason sedang bercakap-cakap dengan mamanya di teras depan sambil menikmati teh dan kue harum yang masih hangat, baru keluar dari panggangan.

Lelaki itu tampak ceria, sama sekali tidak tertinggal ekspresi sedih yang ditampakkannya tadi siang. Rachel membatin, melihat betapa Jason tertawa lebar akan apa yang dikatakan oleh mamanya. Tentu saja Rachel tahu kisah tentang mama kandung Jason yang jahat, dan melihat keakraban Jason dengan mama angkatnya ini, tampaknya sang mama benar-benar menyayangi Jason dan berusaha menggantikan kekosongan yang ada. 

Kepala Jason terangkat dan sedikit ada kilat di matanya ketika melihat Rachel datang, tetapi lelaki itu dalam sekejap bisa menyembunyikannya dan memasang ekspresi datar, lalu tersenyum.

"Kemarilah Rachel, aku dan mamaku sedang membahas kejadian lucu di salah satu konserku waktu aku kecil."

Mau tak mau Rachel mendekat dan duduk di salah satu kursi yang berada di dekat Jason. Mama Jason menuangkan secangkir teh untuknya dan Rachel mengucapkan terimakasih ketika menerima cangkir teh itu.

"Pada mulanya Jason selalu demam panggung sebelum konser." Sang mama melanjutkan kisahnya, tersenyum lebar mengingat kenangan yang menghangatkan hati itu, "Dia pernah menangis dan tidak mau naik ke panggung. Aku tidak menyalahkannya, waktu itu usianya baru duabelas tahun, dan harus menjadi violinist solo di sebuah konser internasional yang disaksikan ribuan orang. Kami benar-benar kebingungan ketika Jason tidak mau naik ke panggung ketika itu."

Jason tersenyum mendengarkan kisah mamanya, menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi, "Aku sudah lupa tentang kejadian itu, yang ada diingatanku hanyalah ketakutan samar-samar ketika melihat kursi penonton begitu penuh." Sahutnya.

Rachel mencondongkan tubuhnya, tampak tertarik. "Lalu apa yang terjadi?"

"Aku memberinya sebuah jimat supaya dia tenang." Sang mama tersenyum lembut, menatap jason dan mengenang.

"Jimat?" Rachel mengerutkan keningnya, membuat mama Jason tertawa.

'Bukan jimat yang punya kekuatan besar tentu saja. Aku panik dan mengambil yang pertama yang aku ingat. Aku memberinya jepit rambutku, jepit rambut berhiaskan berlian yang berbentuk kupu-kupu. Aku bilang pada Jason bahwa jepit rambut itu mempunyai kekuatan, bisa menyerap rasa takut dan gugup." Sang mama berkisah kembali.

"Dan Jason percaya?" Rachel tersenyum lebar, membayangkan Jason kecil yang sedang gugup tidaklah mudah. Jason yang ada di depannya selalu penuh percaya diri.

Kali ini Jason yang menjawab, "Aku baru dua belas tahun  di kala itu, dan aku mempercayai semua perkataan mamaku, jadi aku percaya."

"Dia menggenggam jepit rambutku itu erat-erat, lalu memasukkannya ke saku dan melangkah dengan kepala tegak ke arah panggung. Pada akhirnya, konser itu sangat sukses membuat nama Jason terkenal ke dunia internasional sebagai pemain biola jenius di usia yang masih sangat muda." Sang mama menyambung, tersenyum lembut ke arah anak lelakinya

Jason mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya. Pada saat yang sama, ponselnya berbunyi. Lelaki itu menatap layar ponselnya dan dahinya langsung berkerut dalam ketika melihat nama yang tertera di ponselnya.

"Kurasa aku harus menerimanya di tempat lain." Lelaki itu berdiri dan membungkuk ke arah Rachel dan mamanya, "Silahkan lanjutkan obrolan kalian." gumamnya sebelum melangkah pergi.

Rachel mengamati mama Jason yang masih menatap anaknya dengan senyum bangga. Hati Rachel tiba-tiba terasa hangat, perempuan ini bukan mama kandung Jason, tetapi dari sorot matanya, tampak jelas bahwa dia amat sangat menyayangi anaknya itu.

Sang mama tiba-tiba menolehkan kepalanya dan menatap Rachel, membuat Rachel tergeragap.

"Aku senang pada akhirnya Jason memutuskan untuk menjalin hubungan denganmu, Rachel." Mama Jason tersenyum tulus. "Kau tahu sendiri obsesi Jason untuk menghancurkan perempuan-perempuan yang mirip dengan mama kandungnya." Ada kesedihan di suaranya, "Aku sendiri tidak bisa menyalahkan Jason ketika dia menganggap jenis perempuan seperti itu harus dihukum.... sakit hatinya kepada mama kandungnya mungkin terlalu dalam, kau pasti sudah pernah mendengar betapa egois dan jahatnya mama kandung Jason yang sekarang masih mendekam di penjara. Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya, supaya dia melupakan kenangan sedih di masa lalunya, tetapi rupanya Jason bukanlah orang yang mudah melupakan."

Rachel tahu kisah tentang mama kandung Jason, bahkan kisah itu sempat heboh dulu ketika mama kandung Jason ditangkap polisi karena mendalangi penculikan Keyna, adik kandung Jason yang notabene adalah anak kandungnya sendiri demi untuk mendapatkan uang tebusan dalam jumlah besar. Bahkan Rachel tidak bisa membayangkan ada seorang mama yang begitu jahat hingga tega menculik anak kandungnya sendiri hanya demi uang. 

"Aku terus berharap Jason bisa membuka hatinya untuk perempuan yang benar-benar dicintainya. Kau tahu, semakin dia menghancurkan hati banyak perempuan, semakin cemas diriku." Mama Jason menyambung, "Kau tahu sendiri perempuan yang sakit hati bisa melakukan apapun untuk membalas dendam, semakin banyak korban Jason, maka semakin banyak pula yang menyimpan sakit hati dan dendam kepadanya, hal itu membuatku cemas kalau-kalau salah satu dari mereka mencoba menyakiti Jason." Mata sang mama meredup, "Karena itulah aku mendesaknya untuk segera menikah, mencoba menjodohkannya dengan anak-anak perempuan teman-temanku, tetapi dasar Jason, dia sangat keras kepada. Pada akhirnya dia malahan membeli apartemen temannya dan pindah, menghindariku." Sang mama terkekeh, tampak tidak sakit hati dengan ulah anak lelakinya itu. "Aku senang dia menjalin hubungan denganmu, Rachel, kalian cocok di semua hal. Dan aku tahu Jason menyimpan perasaan yang dalam kepadamu."

"Menyimpan perasaan yang dalam?" Rachel membelalakkan matanya, darimana sang mama bisa menyimpulkan hal seperti itu? dan terlihat sangat yakin pula. Rachel dan Jason memang bersandiwara sebagai sepasang kekasih.... tetapi mereka tidak pernah berpura-pura terlalu dalam, dengan menunjukkan kemesraan misalnya. Jadi darimana mama Jason bisa mengambil kesimpulan itu?

"Suatu malam Jason datang ke rumah, matanya berbinar, dia tampak bersemangat. Dia datang mengambil biola Stradivari peninggalan ayahnya yang selalu kusimpan di kotak kaca khusus. Jason sudah lama tidak menggunakan biola itu dan memilih menggunakan biola Paganini miliknya." Sang mama melanjutkan, "Dan ketika kutanya kenapa dia mengeluarkan biola itu dari kotaknya, Jason bercerita tentang kau, Rachel."

'Bercerita tentang aku?" Rachel mulai membeo tidak sabar menunggu perkataan mama Jason selanjutnya.

"Ya. Mata Jason berbinar, dia begitu bersemangat. Aku tidak pernah melihatnya begitu antusias sebelumnya ketika membicarakan orang lain. Dia bercerita dengan semangat meluap-luap bahwa pada akhirnya dia menemukan seseorang yang bisa menggugah hatinya dengan kemampuan bermusiknya. Jason mengambil biola Stradivari-nya yang sudah begitu lama dia simpan di dalam kotak untuk dimainkan olehnya, karena dia ingin kau bermain dengan biola Paganini miliknya." Sang mama menatap Rachel dengan lembut. "Jangan salah Rachel, Jason sangat menyayangi kedua biolanya, begitu protektif menjaganya hingga dia tidak akan membiarkan orang lain menyentuhnya tanpa seizinnya....Tetapi dia membiarkanmu memainkan salah satunya, itu menunjukkan bahwa kau sangat istimewa baginya. Amat sangat istimewa, karena itulah aku yakin, anak lelakiku menyimpan perasaan yang dalam kepadamu."

Rachel tercenung. Bahkan Jason bukan hanya membiarkan Rachel memainkan biolanya, dia memberikan Paganini miliknya kepada Rachel.....

Apakah itu berarti Rachel benar-benar istimewa bagi Jason?

*** 

Arlene. Perempuan itu meneleponnya di ponselnya. Berani-beraninya dia melakukannya setelah semua insiden yang melukai dirinya dan Rachel.

Jason menggertakkan giginya, berusaha menahan emosinya.

Ketika dia mengangkat teleponnya, suaranya terdengar ramah dan santai, tanpa sedikitpun kemarahan tersisa.

"Arlene? Apa kabar?"

Arlene tercenung di seberang sana, jelas perempuan itu tidak menyangka bahwa Jason akan menjawab teleponnya dengan ramah. Tiba-tiba dia merasa yakin bahwa Jason memang masih mempunyai perasaan kepadanya dan membelanya, tidak menyalahkannya karena dia mencoba menyakiti Rachel.

"Aku baik-baik saja  Jason sayang." Suaranya berubah serak, genit dan merayu, "Bagaimana keadaanmu Jason? selama kau di rumah sakit aku selalu mencemaskanmu, aku hampir menangis tiap malam karena memikirkanmu."

Untung saja Arlene berada jauh di seberang telepon, kalau tidak mungkin dia akan menyadari ekspresi jijik di wajah Jason ketika mendengar perkataannya.

"Aku baik-baik saja Arlene." suara Jason terdengar ceria, berusaha bersandiwara sebaik mungkin. Dia harus membuat Arlene yakin bahwa dia sama sekali tidak curiga atau menyalahkan Arlene atas insiden yang terjadi, ketika Arlene lengah, itu akan memuluskan rencananya untuk membalas perempuan itu.

"Kudengar kau sudah pulang dari rumah sakit." Arlene tampak ragu, "Dan aku mendengar gosip bahwa kau tinggal bersama Rachel di rumahmu." Ada nada cemburu yang sangat kental di sana, kecemburuan yang tak mampu disembunyikan oleh Arlene.

Jason tersenyum simpul, mulai menjalankan rencananya untuk memancing Arlene.

"Ya. Rachel tinggal di sini untuk sementara. Aku melatihnya secara intensif di sela proses penyembuhanku. Lagipula mamaku berharap banyak akan hubungan kami, jadi..."

"Mamamu berharap apa?" Arlene langsung menyambar, nada suaranya meninggi.

"Mamaku menjodohkan diriku dengan Rachel, kau tahu dia bahkan sudah berbicara dengan mama Rachel..."

"Dan kau mau begitu saja?" Arlene hampir saja berteriak. "Jadi benar Jason? kau meninggalkanku karena kau mempunyai perasaan kepada Rachel?"

"Mungkin bisa dibilang begitu dan dulu aku tidak menyadarinya." Jason tersenyum lebar, yakin bahwa pancingannya mengena. Setelah ini Arlene akan terbakar rasa cemburu sampai hangus dan kemudian akan melakukan tindakan bodoh lainnya. Jason akan menggunakannya untuk mempermalukan Arlene nantinya, membuat perempuan itu jera selamanya. "Sudah ya, mamaku dan Rachel memanggil. Terimakasih atas perhatianmu, Arlene, adios."

Dan kemudian, dengan tanpa perasaan Jason mengakhiri percakapan itu, tak peduli bahwa Arlene masih memanggil-manggil namanya di seberang sana.

*** 

Arlene menatap ponselnya dengan tatapan panas membara.

Sialan! Sialan Rachel! Perempuan itu sekarang bahkan berhasil mempengaruhi mama Jason. 

Tentu saja mama Jason sangat senang ketika Rachel mendekati anak lelakinya... sudah terlihat jelas kalau disuruh memilih, mama Jason akan memilih Rachel yang muda dan cantik sebagai menantunya daripada Arlene yang notabene seorang janda dan berusia jauh lebih tua daripada Jason.

Kenyataan tentang hal itu Arlene sudah tahu. Bahkan kenyataan bahwa Jason hanya menjalin hubungan main-main dengannya dia juga tahu. Tetapi perasaannya kepada Jason yang sempurna telah menjadi semakin dalam, menguasai hatinya hingga dia hampir gila.

Tidak! Dia tidak boleh menyerah. Jason harus kembali menjadi miliknya, dia tidak akan rela jika Jason dimiliki oleh perempuan ingusan yang jelek itu!

*** 

Dia harus melindungi Rachel dengan intens setelah ini.

Jason menyimpulkan sambil berjalan kembali ke teras tempat mamanya dan Rachel masih mengobrol.

Arlene pasti akan berbuat nekad, lebih nekad dari sebelumnya dan sadar atau tidak, demi memancing Arlene, Jason telah menempatkan Rachel ke dalam bahaya. Mungkin kali ini bahaya yang mengincar Rachel akan lebih besar daripada sebelumnya.... Well, Jason harus selalu waspada kalau begitu, sambil berharap dia bisa segera menjebak Arlene.


Jason berdiri di ambang pintu, menatap ke arah Rachel yang sedang tertawa mendengarkan kelakar mamanya, wajahnya yang mungil dan polos tampak bercahaya dan berpadu dengan mata cemerlangnya. Dia menghentikan langkahnya di sana, tahu bahwa baik Rachel maupun mamanya tidak menyadari dia ada di sana. Matanya mengamati dalam diam ke arah Rachel.

Seketika itu juga Jason terpesona. Rachel tidak pernah mengenakan riasan, dia selalu tampil polos apa adanya dengan kesederhanannya, jauh berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah dipacarinya. Tetapi entah bagaimana, perempuan itu berhasil memancarkan kecantikan alami yang berasal dari dalam jiwanya. Rachel cantik, dengan caranya sendiri.

Jason tersenyum masam, menyadari bahwa dirinya sedang menatap terpesona kepada anak ingusan berusia delapan belas tahun, jauh di bawah umurnya....

Dengan perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan, Jason membalikkan badan, memilih menjauhi Rachel dan mencoba menelaah perasaannya sendiri.

*** 

Malam beranjak kelam ketika Jason berdiri di tengah kamarnya yang luas. Suasana cukup sepi, seluruh penghuni rumah itu mungkin sudah larut di dalam tidurnya. Jason terpekur di sana, menatap ke arah biola Stradivari miliknya yang berada di atas meja dengan kotaknya yang terbuka.

Terakhir kalinya dia memainkan biola ini, dia tidak bisa menahan kesakitan dan tidak sanggup menyelesaikan permainannya....

Jason sudah menutup rapat pintu kamarnya. Kamar ini memang dibuat khusus untuknya, dengan peredam suara di sekeliling dindingnya, memungkinkan Jason berlatih biola kapanpun dia mau tanpa mengganggu orang-orang di luar. 

Sejak kecil Jason terbiasa memainkan biola malam-malam, berlatih nada-nada yang sulit dan memainkannya.


Jemari rampingnya menelusuri permukaan biola yang dipernis halus hingga mengkilat itu.

Dan kemudian, setelah menghela napas panjang, Jason meraih biola itu dan meletakkannya di pundaknya. Tangan kanannya masih sakit tentu saja dan yang pasti tidak akan mampu digunakan untuk menggerakkan penggesek biola dengan intens ketika dia memainkan nada-nada yang sulit.

Jason meletakkan biola itu di pundak kanannya. Dan memegang penggesek itu di tangan kirinya, tangan yang tidak terluka.

Ya. Dia memegang penggesek itu di tangan kirinya.

Tidak pernah ada yang tahu, bahwa sebagai seorang pemain biola jenius, Jason pernah belajar memainkan biola dengan penggesek di tangan kirinya. Dan waktu itu, dia bisa memainkan biolanya dengan tangan kiri, sama baiknya ketika dia menggunakan tangan kanannya. Meskipun seorang pemain biola yang menggunakan tangan kirinya sangat jarang, bahkan pemain biola kidalpun kebanyakan tetap memainkan biola dengan tangan kanannya.

Sudah lama sekali Jason tidak melakukannya, dan dia ragu, tidak tahu apakah tangan kirinya yang tidak terlatih sekian lama mampu melakukannya sebaik tangan kanannya yang rutin digunakannya bermain. Tetapi dia harus mencoba. Mungkin saja tangan kanannya tidak bisa pulih sepenuhnya, tetapi setidaknya Jason masih memiliki tangan kiri yang sama hebatnya.

Dia hanya harus berlatih dengan lebih intens, bukan?

Maka digeseknya biola itu dengan tangan kiri, memainkan lagu tersulit yang pernah dimainkannya.


Bersambung ke Part 17

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 26, 2013 02:20

July 25, 2013

EPILOG : Crush In Rush



Kiara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisi tubuhnya sudah membaik dan dokter memastikan dia akan sehat-sehat saja ke depannya. Saat ini dia sedang duduk di samping ranjang, sudah mengenakan pakaian rapi dengan koper yang sudah siap di atas ranjang.
Dia menunggu Joshua yang akan menjemputnya.
Suara ketukan di pintu membuat Kiara menoleh penuh harap, tetapi bukan Joshua yang datang melainkan Jason.
Lelaki itu tersenyum, dan melangkah masuk ke ruangan duduk di kursi depan Kiara.
"Menunggu Joshua?"
Kiara menganggukkan kepalanya, tersenyum ke arah Jason.

Kiara tersenyum, menyelipkan sejumput rambut di belakang telinganya. "Aku sudah baikan...."
"Dikurung di bagasi seperti itu memang mengerikan. Ayah Joshua memang jahat, tetapi kau bisa tenang, Kiara, dia sudah kembali ke negaranya dan tidak akan mengganggumu lagi."
Ya. Peristiwa penculikan itu memang menakutkan, sebuah pengalaman traumatis yang sangat ingin dilupakannya. Kadangkala benaknya berpikir, bagaimana jika waktu itu Joshua dan Jason serta pihak kepolisian tidak berhasil mengejar penculiknya dan menyelamatkannya? Mungkin dia akan berakhir menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri seperti yang direncanakan oleh ayah Joshua.
Kadang di malam-malamnya di rumah sakit, Kiara masih sering terbangun tengah malam, berkeringat dan ketakutan karena mimpi buruknya berada di dalam bagasi, tersekap, berteriak-teriak dan tidak ada yang menolongnya. Dan ketika itu, Joshua yang setia menungguinya langsung menggenggam tangannya, menenangkannya sampai dia tertidur kembali.
"Aku akan berusaha melupakannya." Kiara menatap ke arah Jason, "Terimakasih Jason, kau begitu baik kepadaku."
Jason tersenyum, sebuah senyum lebar yang mempesona di wajah tampannya.
"Aku menganggapmu seperti adikku sendiri, kau sangat mirip dengannya, dengan kemandirian dan sikap tegarmu." lelaki tampan itu lalu mengerutkan keningnya, "Sayangnya tidak disangka kau mengalami nasib yang sama sepertinya. Diculik oleh orang jahat."
"Dan untunglah kami berdua sama-sama selamat." Gumam Kiara, merasa benaknya dipenuhi rasa syukur yang begitu dalam.
"Ya. Untunglah pada akhirnya kalian menemukan laki-laki yang bisa menjaga kalian." tatapan Jason tampak melembut. "Joshua lelaki yang baik, meskipun dia kadangkala keras dan menakutkan, tetapi dia tidak pernah bersikap seperti itu kepada perempuan lain sebelumnya. Aku yakin dia  benar-benar menyayangi dan akan menjagamu, Kiara."
Kiara tersenyum. Hatinya terasa hangat ketika mengingat Joshua. Memang kemarahan Joshua terakhir kali sebelum dia diculik waktu itu benar-benar menyakiti hatinya, kata-kata Joshua waktu marah memang kasar. tetapi lelaki itu telah meminta maaf kepadanya dan menjelaskan sebab kemarahannya.
Joshua cemburu.
Kiara tidak bisa menahan senyumnya memikirkan bahwa Joshua, lelaki sempurna itu cemburu kepadanya.
"Sepertinya kalian sangat asyik." Lelaki yang dibayangkannya itu, Joshua, tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu. Seperti biasa penampilannya tampan dengan rambut basah sehabis keramas. Sepertinya dia baru saja mandi. Kiara tersenyum, menyadari bahwa Joshua rela mengubah pola tidurnya yang biasa untuk menjemput Kiara. Yah siapa yang bisa lupa bahwa Joshua selalu bersikeras bekerja sepanjang malam dan beranjak tidur ketika menjelang pagi lalu bangun di sore hari?
Hari ini jam sepuluh pagi dan Joshua sudah rapi berada di sini untuk menjemputnya.
Joshua melangkah masuk, mengangkat alisnya ketika menatap Jason.
"Kenapa kau ada di sini Jason?" suaranya terdengar curiga.
Jason tersenyum jahil. "Aku berencana untuk menculik Kiara sebelum kau ambil."
Seketika itu juga, Joshua dengan defensif berdiri di depan Kiara yang masih duduk di tepi ranjang, seolah ingin menghalangi pandangan Jason kepada Kiara.
"Kau harus menghadapi aku dulu." gumamnya tenang.
Jason terkekeh, geli melihat tingkah posesif Joshua kepada Kiara.
"Kau bisa tenang Joshua, aku bercanda. Mana mungkin aku menculik Kiara, dia tidak akan mau mengikutiku karena dia sedang menunggumu."
Joshua tidak bisa menahan senyumnya, dia menoleh ke arah Kiara yang menatapnya malu-malu dan tersenyum, "Benarkah? kau menungguku?"
Kiara sendiri hanya tersenyum malu, bingung hendak menjawab apa, sementara Jason tampak tidak tahan dengan sikap malu-malu Kiara di bawah tatapan mata tajam Jason, dia langsung menceletuk dengan nada menahan tawa.
'Tentu saja Kiara menunggumu Joshua, kau kan berjanji akan menjemputnya keluar dari rumah sakit."
"Aku terlambat, aku sedikit kesiangan. Maafkan aku." Joshua menatap Kiara dengan pandangan meminta maaf. Dan Kiara menganggukkan kepalanya, tersenyum penuh pengertian.
"Aku mengerti, Joshua."
Sekali lagi, Jason tampaknya tidak tahan untuk berkomentar,
"Kau harus sedikit galak kepada Joshua, Kiara. Kalau tidak dia akan menindasmu." gumamnya dan langsung mendapatkan tatapan mata galak oleh Joshua.
"Bisakah kau pergi Jason? aku ingin berbicara empat mata dengan Kiara." Joshua seperti biasa melakukan pengusiran terang-terangan kepada sahabatnya itu. Untunglah Jason sudah biasa dengan sikap Joshua hingga sama sekali tidak merasa tersinggung, dia malahan tersenyum lebar, menatap pasangan di depannya dengan pandangan menggoda.
"Oh Well baiklah, aku akan pergi. Jangan lupa Kiara, sekali-kali sedikit galaklah kepada Joshua." Gumam Jason sambil terkekeh geli, melangkah ke luar ruangan, meninggalkan Joshua dan Kiara hanya berdua saja,
Lama Joshua hanya menatap Kiara, dia lalu duduk di tepi ranjang, di sebelah Kiara. Aroma parfumnya yang menyenangkan menyentuh hidung Kiara, dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar. Joshua terasa begitu dekat. Dan sekarang lelaki itu menatapnya dengan pandangan intens.
"Bagaimana keadaanmu?" Joshua bergumam lembut, menatap Kiara yang masih menunduk salah tingkah.
"Aku sudah baikan. Tidak ada bagian tubuhku yang terluka kok."
"Aku berjanji ayahku yang brengsek itu tidak akan bisa mengganggumu lagi." Mata Joshua menyala, tampak geram ketika membicarakan tentang ayahnya. Tetapi mata itu berubah penuh kasih sayang ketika menatap Kiara. Lengannya bergerak, semula agak ragu, tetapi kemudian dia merangkul Kiara ke dalam pelukannya dengan sebelah lengannya, menyandarkan kepala Kiara ke dadanya dan memeluknya erat. "Aku senang kau baik-baik saja, Kiara."

Joshua tidak pernah selembut itu kepadanya. Mungkin karena sekarang lelaki itu menyadari perasaannya kepada Kiara dan sudah tidak mencoba menyangkalnya lagi?

Lelaki itu sudah menyatakan cinta kepada Kiara, meskipun rasanya Kiara masih tak percaya. Dicintai oleh lelaki seperti Joshua.... rasanya seperti mimpi. Tetapi sekarang dia tidak sedang bermimpi bukan? Sekarang Joshua memeluknya erat, sepenuh hatinya.

Tiba-tiba muncul keberanian di hati Kiara. Dia merangkulkan sebelah lengannya ke punggung Joshua, dan sebelah lengannya lagi melingkari dada Joshua, setengah memeluk lelaki itu dari samping.

"Terimakasih Joshua." gumamnya lembut, berbisik pelan dengan pipi merona merah, malu akan keberaniannya sendiri memeluk tubuh Joshua yang harum beraroma maskulin itu.

Sejenak Joshua tampak tertegun, membeku, seolah tidak menyangka bahwa Kiara akan balas memeluknya. Tetapi sedetik kemudian, lelaki itu merangkulkan sebelah lengannya yang lain ke tubuh Kiara, setengah mengangkat Kiara ke pangkuannya dan memeluknya erat-erat.

"Jangan berterimakasih kepadaku. Akulah yang harusnya berterimakasih kepadamu, sayang." Joshua menenggelamkan kepalanya di rambut Kiara yang harum, "Hidupku dulu hampa, aku menjalani hidup dengan penuh kebencian dan rasa pahit, tidak mensyukuri semua yang telah kumiliki. Lalu kau datang, kau membuat hidupku berarti, membuatku bersyukur masih bisa membuka mata dan menghirup napasku setiap hari, masih bisa bersyukur karena aku bisa memilikimu, perempuan polos yang begitu manis, begitu baik hati, bahkan setelah perlakuan kasarku kepadamu."

Kiara mendongakkan kepalanya, menatap Joshua. Lelaki itu rupanya masih menyimpan rasa bersalah atas kata-kata kasarnya kepada Kiara di pertengkaran mereka waktu itu.

"Aku sudah memaafkanmu." bisiknya tulus.

Joshua tersenyum, tidak bisa menahan diri untuk mengecup pucuk hidung Kiara, dan kemudian menenggelamkan perempuan mungil itu ke dalam pelukannya lagi.

"Tentu saja kau sudah memaafkanku, dasar kau perempuan berhati baik." Bisiknya dengan penuh emosi, "Aku akan menikahimu Kiara, aku akan mengurus dan menjagamu, kau tidak akan sendirian lagi di dunia ini,begitupun aku, kita saling memiliki, kau dan aku akan selalu bersama."

Ucapan itu bagaikan sebuah janji. Diucapkan oleh seorang lelaki yang mencintai.

*** 

Pesta pernikahan berlangsung sederhana, hanya teman-teman dekat Joshua yang datang, serta beberapa rekan kerjanya dan koleganya. Pesta itu diadakan di ballrom sebuah hotel berbintang di pusat kota.

Kiara berkali-kali mencuri pandang ke arah Joshua yang tampak begitu tampan dengan setelan jas hitam dan dasinya yang rapi. Sang pengantin lelaki begitu tampan. Kiara mengawasi Joshua dan merasakan jantungnya berdebar.

Suaminya.

Dia masih tidak percaya bahwa sekarang dirinya dan Joshua adalah sepasang suami isteri. 

Matanya melirik ke arah cincin emas putih dengan berlian mungil yang elegan di jari manisnya, tanda bahwa dia terikat dengan Joshua. Lelaki itu mengenakan cincin perkawinan juga di jari manisnya, dengan versi yang lebih maskulin tentu saka. Dan setiap melihat kilatan cincin di jari manis Joshua, Kiara merasakan perasaan hangat menjalari dadanya. Mereka sekarang adalah pasangan, saling memiliki. Kiara tidak sebatang kara lagi di dunia ini. Dia memiliki Joshua, suaminya yang akan selalu menjaganya.

Tiba-tiba mata Kiara terasa panas. Rasa haru yang luar biasa menyesaki dadanya. Membuatnya ingin menangis keras-keras. Oh tentu saja ini bukan tangisan kesedihan, ini tangisan kebahagiaan.

Di pesta yang indah ini, Kiara memang tidak mempunyai ayah, ibu ataupun keluarga lain yang ikut merayakan bersamanya. Pun demikian adanya dengan Joshua. Tetapi mereka bahagia, mereka memiliki satu sama lain dan tetap berbahagia. Kiara percaya pada akhirnya mereka akan membentuk keluarga baru mereka sendiri, keluarga besar, seperti yang dikatakan Joshua kepadanya semalam, dengan banyak anak laki-laki dan perempuan yang memenuhi rumah besar mereka nanti.

"Jangan menangis." Suara Jason terdengar di belakangnya, membuat Kiara menoleh, lalu tersenyum malu dan mengusap air matanya.

Jason mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya, lelaki ini juga tampak tampan dengan setelan jasnya, dia menjadi pendamping pengantin pria, sementara Deliah menjadi pendamping pengantin wanita, Deliah juga tampak cantik dengan gaun warna peachnya, orang yang tidak mengenalnya tidak akan tahu bahwa Deliah bukanlah perempuan asli.

Dengan lembut Jason mengusap air mata di sudut mata Kiara dengan saputangannya, "Pengantin yang cantik tidak boleh menangis, nanti riasanmu rusak." Lelaki itu tersenyum, "Kau cantik sekali Kiara, dan Joshua terlihat sangat bahagia. Kalian tampak begitu cocok satu sama lain."

Tiba-tiba Kiara merasa begitu terharu, sekuat tenaga dia menahan air matanya supaya tidak mengalir lagi, "Terimakasih, Jason."

"Sama-sama Kiara, aku mendoakan kebahagiaanmu." Jason mengangkat bahunya, "Kalian orang-orang yang beruntung, bisa menemukan belahan jiwanya dan bersatu, seandainya saja aku seberuntung kalian."

"Kau pasti akan mengalami keberuntungan itu suatu saat nanti." Tiba-tiba Kiara menggenggamkan buket bunganya ke tangan  Jason, "Ini  buket bungaku untukmu."

Jason terkekeh, tetapi dia menerima bunga itu. "Ini kan biasanya untuk perempuan lajang, aku yakin banyak perempuan lajang menanti untuk mendapatkan bunga ini jika dilempar."

Kiara tertawa, "Aku rasa kau lebih membutuhkannya, Jason."

"Hmm kalau memang kutukan bunga pengantin ini benar, berarti aku akan segera menyusul kalian." 

"Itu bukan kutukan, Jason. Itu sebuah berkat." Kiara langsung mengoreksi, membuat Jason mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa, 

"Terimakasih atas bunganya.Kurasa aku harus segera pergi, ada pengantin pria yang datang dan memelototiku." Dengan gaya elegan dan menggoda, Jason membungkukkan tubuhnya, lalu berbalik pergi, membawa bunga itu di tangannya sambil bersiul pelan.

"Kau memberikan bunga pengantinmu untuknya?" Joshua tiba-tiba muncul di belakang Kiara, menatap ke arah kepergian Jason.

Kiara mendongak, menoleh ke belakang dan tersenyum lembut. "Aku rasa Jason lebih membutuhkannya dibandingkan dengan perempuan-perempuan yang ada di sini."

Joshua terkekeh, "Ya. Mungkin dengan begitu dia bisa berhenti untuk semakin memperkuat reputasinya sebagai penghancur perempuan." Mata Joshua menatap Kiara dengan tajam, "Tetapi dia sangat baik kepadamu, membuatku sedikit cemburu."

Dengan malu Kiara memukul sebelah lengan Joshua, "Dia menganggapku seperti adiknya."

Joshua terkekeh, menarik Kiara ke dalam pelukannya, "Ya. Aku tahu. Kurasa kau harus terbiasa, Kiara, aku akan mencemburui semua lelaki, siapapun yang berani melirikmu akan membuatku merasa cemburu, tak terkecuali."

"Tidak ada yang akan melirikku." Kiara menyahut, menenggelamkan wajahnya ke dada Joshua. 

Joshua menarik bahu Kiara, membuat Kiara berhadapan dengannya, Isterinya. Pengantinnya. Perempuan itu tampak begitu cantik dalam balutan gaun putih yang mengembang indah di pinggangnya. Rambut Kiara terurai sempurna, membingkai wajahnya, dengan riasan sederhana yang membuat wajah polosnya semakin cemerlang. 

"Kau cantik, Kiara. Kau sempurna untukku. Apakah kau tidak tahu betapa takutnya aku kehilanganmu? Bersamamu, menjadi suamimu adalah kebahagiaan yang sempurna untukku." Joshua menunduk, mengecup pucuk hidung KIara, "Sekarang maukah kau berdansa denganku, pengantinku?"

Kiara mengangguk, membiarkan Joshua menggenggam tangannya dan membawanya ke lantai dansa. Mereka menyatu di tengah lantai dansa, dengan lengan-lengan kuat Joshua memeluk pinggangnya dengan posesif.

Mereka berada di tengah pasangan lain yang berdansa, tetapi bagi Joshua dan Kiara, sekarang hanya ada mereka berdua, menikmati kebahagiaan langkah baru dalam hubungan mereka. 

Pernikahan bukanlah tujuan akhir dari sebuah hubungan percintaan. Pernikahan adalah sebuah awal, awal diamana dua anak manusia merengkuh janji untuk menjalani hidup bersama. Dua yang menjadi satu, satu yang terdiri dari dua. Itulah mereka sekarang.

Kiara tidak tahu akan menjadi apa pernikahannya bersama Joshua nanti. Tetapi yang dia tahu, mereka akan menjadi kuat bersama menghadapi apapun ke depannya, karena mereka akan selalu bergenggaman tangan.

*** 

Jason melepas kaca mata hitamnya, menyadari beberapa perempuan menoleh dua kali setiap berpapasan dengannya. Dia sudah biasa menerima tatapan mata seperti itu, tatapan mata kagum dan terpesona perempuan-perempuan itu kepadanya.

Langkahnya terhenti ketika melihat Joshua dan Kiara. Joshua seperti biasa, tampak merangkul pinggang Kiara dengan posesif seolah-olah ingin melindunginya dari hiruk pikuk keramaian bandara.


Kiaralah yang pertama melihatnya dan langsung melambaikan tangannya dengan bersemangat, membuat Jason tersenyum dan mempercepat langkahnya mendekati pasangan itu.

"Kalian hanya membawa dua tas itu?" Jason melirik dua buah koper yang ada di dekat kaki Joshua. Ya. Joshua dan Kiara akan menetap permanen di Australia, kebetulan Joshua menerima pekerjaan di sana, dan dia juga memiliki investasi di perusahaan yang cukup besar di sana. Mereka berdua memutuskan untuk memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar baru, mencoba membangun keluarga kembali dari awal.

"Barang-barang yang lain akan dikirimkan melalui jasa pengiriman. Lagipula aku tidak membawa banyak barang, kami bisa membelinya nanti di sana berikut perabotan untuk mengisi rumah kami di sana." Joshua tersenyum, menatap Jason penuh arti. "Bagaimana rasanya menempati apartemen barumu? kuharap kau kerasan."

Jason memang telah membeli apartemen yang dulunya milik Joshua segera setelah Joshua memutuskan untuk pindah ke australia dan menetap di sana. Dia merasa nyaman di apartemen itu, sekaligus dengan pindah ke tempatnya sendiri, dia bisa menghindari mamanya yang terus menerus berusaha menjodohkannya dan memaksanya untuk segera mengakhiri masa lajangnya dan mencari pendamping hidup.

"Aku senang di sana." Jason tersenyum lebar hingga barisan deretan giginya yang rapi terlihat, "Banyak kenangan manis yang tertinggal di sana." Matanya melembut, menoleh ke arah Joshua dan Kiara berganti-ganti. Pada saat yang sama panggilan untuk keberangkatan penerbangan terdengar, "Hat-hati ya. Aku pasti akan sangat merindukan kalian berdua."

"Kami juga akan merindukanmu, Jason. Mampirlah ke Australia kapanpun kau sempat." Kiara menyahut lembut, matanya tampak berkaca-kaca, dan Jason memeluk perempuan itu dengan sayang, seperti memeluk adiknya sendiri

"Pasti." Jason mengecup puncak kepala Kiara, lalu menoleh ke arah Joshua, "Aku yakin kalian akan berbahagia."

"Terimakasih Jason." Joshua menyalami Jason, mereka berpelukan sejenak, dan Joshua menepuk pundak Jason dengan menggoda, "Aku harap kau akan menemukan tempat berlabuh, sama seperti diriku."

Kata-kata itu membuat Jason tersenyum skeptis, "Itu mungkin masih akan lama sekali." gumamnya.

Joshua tertawa, "Yah. Siapa yang tahu? Mungkin saja jodohmu ada di sekitar sini hanya saja kau belum mengetahuinya." Lelaki itu mengamit jemari Kiara, "Ayo sayang, kita harus masuk sekarang."

Kiara mengangguk, sekali lagi menatap lembut ke arah Jason. "Sampai jumpa lagi Jason."

Jason melambaikan tangannya, menatap pasangan itu yang mulai melangkah menjauh, "Sampai jumpa lagi." jawabnya lembut.

Kiara dan Joshua memasuki gate penerbangan, bergandengan tangan. 

"Terimakasih karena mau mengikutiku ke Australia." gumam Joshua sambil merangkul Kiara ke dalam pelukannya, "Aku tahu mungkin ini sedikit berat untukmu, meninggalkan semua kehidupan yang biasa kau jalani untuk pindah ke negara baru yang sama sekali asing.'

Kiara tersenyum. "Aku tidak punya siapa-siapa yang kutinggalkan di sini, Joshua. Aku hanya punya kau. dan aku isterimu, aku akan mengikutimu kemanapun kau pergi."

"Kemanapun?" mata Joshua tampak menggoda.

Kiara langsung mengangguk mantap. "Kemanapun."

Joshua membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telinga Kiara, dan berbisik dengan sensual. "Saat ini, aku memikirkan untuk pergi ke tempat manapun yang menyediakan ranjang."

Pipi Kiara langsung memerah, spontan memukul lengan Joshua. "Joshua!" gumamnya memperingatkan, memandang ke sekeliling takut kalau ada orang yang mendengar godaan sensual Joshua kepadanya tadi. Sementara itu Joshua tertawa melihat pipi Kiara yang semerah kepinting rebus. Diraihnya kembali isterinya ke dalam pelukannya, ketika dia berbisik, suaranya serak penuh perasaan.

"Aku bahagia bersamamu, Kiara. Kuharap kau merasakan hal yang sama."

Kiara membalas pelukan suaminya matanya berbinar penuh kebahagiaan, "Akupun demikian adanya, Joshua."

Dan beginilah akhirnya, dua manusia yang berasal dari dua dunia berbeda, dua manusia yang seharusnya tidak pernah bersua, ternyata bersimpangan jalan dan saling terkait. Pada akhirnya mereka berdua menyatu, terikat oleh cinta, berlabuh di dalam janji pernikahan.


End of Epilog


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2013 08:57

July 23, 2013

The Vague Temptation Part 11 [ revisi resolusi picture soalnya banyak yg ga bisa buka ]



Pagi harinya, seperti biasa Alexa menuju dapur untuk sarapan sebelum berangkat bekerja. Dan seperti kemarin, dia mendapati Nathan sudah ada di dapur, menyantap menu yang sepertinya makanan kesukaannya, pasta sayuran dengan saus keju dan mayones.
Nathan mengangguk kepadanya dan tersenyum lebar, "Selamat pagi Princess."
Pipi Alexa langsung memerah, ini kedua kalinya Nathan memanggilnya dengan sebutan Princess, membuatnya merasa sedang berhadapan dengan pangeran tampan yang baik hati dan sempurna, dengan senyum ramahnya yang lembut. Nathan selalu tampak baik dan murah senyum kepadanya, seolah-olah dia mengisyaratkan bahwa dirinya tidak berbahaya untuk Alexa.
"Selamat pagi." Alexa menatap Nathan dengan malu-malu, "Kau selalu bangun pagi-pagi sekali sepertinya."

Alexa tersenyum, menyadari bahwa Nathan benar-benar hidup dengan penuh kerja keras sebelum menuai kesuksesan seperti sekarang. 
"Itu kebiasaan yang bagus." gumamnya pelan, menyesap cokelat hangat itu dan menyukai rasa manis khas yang meleleh di dalam mulutnya.
Nathan tertawa, "Yap. Kebiasaan bagus, aku hanya jengkel sekali-kali kalau tiba di hari libur dan aku ingin bangun siang, tetapi tetap saja tak bisa dan tetap bangun pagi-pagi sekali." Nathan menyuap suapan terakhirnya, meletakkan piringnya dan menyesap teh di cangkirnya, "Aku melihatmu berdansa dengan Daniel semalam, kalian tampak begitu dekat dan cocok."
Tangan Alexa yang hendak membawa cangkir cokelatnya kembali ke mulutnya terpaku di udara. Dia menatap Nathan dan tiba-tiba merasa tidak enak hati.
"Ya. Daniel... eh Daniel mengajakku berdansa, dia bilang kita bisa lebih mengenal seseorang kalau kita mencoba berdansa dengannya." Alexa menjawab dengan serba salah, tiba-tiba merasa tidak enak kepada Nathan.
Nathan terkekeh, "Jangan merasa tidak enak kepadaku. Aku tidak apa-apa kok." tatapannya tampak penuh pengertian, "Aku malahan senang kau mencoba mengenal kami berdua lebih dekat. Aku yakin akan ada kesempatan untukku nantinya."
Alexa menganggukkan kepalanya, menatap Nathan dan seketika sebuah pikiran terbersit di benaknya. Nathan benar-benar lelaki yang baik.... seharusnya Alexa mengambil pilihan mudah dan memutuskan untuk memilih Nathan, mungkin semuanya tidak akan serumit ini.
Tetapi entah kenapa masih ada yang menahannya, dipikir-pikir itu semua mungkin karena Alexa hampir-hampir tidak mengenal baik Nathan maupun Daniel sebelum kedua lelaki itu diperkenalkan kepadanya oleh Albert Simon.
Dan mengingat tentang Albert Simon, kenapa lelaki tua itu tidak tampak dimana-mana setelah makan malam bersama mereka dulu?
"Aku tidak melihat kakek Albert Simon sejak lama... apakah dia pergi?"
Nathan mengangguk. "Sepertinya kakek ada urusan bisnis di London, kakek akan segera kembali. Meskipun aku sempat berpikir dia sengaja pergi supaya kita bertiga bisa lebih leluasa untuk saling mengenal." Senyum Nathan tampak menggoda, "Aku pikir, kalau kau bersedia, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, agar kita bisa lebih saling mengenal."
"Kemana?" Alexa menatap Nathan, lelaki ini sungguh tampak tidak berbahaya meskipun samar-sama masih ada sesuatu yang misterius dan tersembunyi di baliknya, mungkin dengan menghabiskan waktu bersama Nathan, Alexa bisa sedikit mengetahui kepribadian Nathan yang sebenarnya.

"Tidak perlu jauh-jauh dari sini, mungkin kita bisa ke toko buku di hari minggu, atau apapun itu, kita rencanakan nanti ya." Nathan tampak berubah sikap menjadi tegang dan kaku, dan ketika Alexa melirik ke belakang, tahulah dia apa penyebabnya.

Ada Daniel di sana, berdiri dengan sikap menantang dan tatapan penuh cemooh kepada Nathan, lelaki itu bersedekap, entah sejak kapan dia berdiri di sana, tetapi setelah dia tahu semua orang menyadari kehadirannya, Daniel melangkah dengan angkuh ke ruang sarapan.

Lelaki itu mengambil tempat duduk di sebelah Alexa, berhadapan dengan Nathan.

"Selamat pagi." Daniel menyapa Alexa, dan sama sekali tidak melirik ke arah Nathan, sengaja bersikap seolah Nathan tidak ada di ruangan itu.

"Eh selamat pagi." Alexa melirik berganti-ganti ke arah Nathan dan Daniel. Suasana pagi yang santai tiba-tiba berubah menjadi tegang. Setegang senar tipis yang direnggangkan hingga mencapai titik maksimalnya, besiap untuk putus dan melukai siapapun yang ada di dekatnya.

Dalam diam Daniel mengambil sarapannya dan menuang kopi hitam untuk dirinya sendiri. Sementara Nathan bersikap sama, diam-diam menyuap makanannya. Tinggalah Alexa yang merasa seperti terhimpit di tengah-tengah, dorongan untuk melarikan diri sangat kuat terasa karena tidak tahan oleh aura permusuhan yang ditebarkan oleh dua kakak beradik ini. Dia pura-pura melihat jam tangannya.

"Kurasa aku harus bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor." Alexa memandang Nathan dan Daniel berganti-ganti. "Aku duluan ya." dia beranjak berdiri dan meninggalkan cangkir cokelatnya yang baru habis separuh.

"Sampai jumpa nanti di kantor ya." Nathan tersenyum ramah kepada Alexa, sementara Daniel bersikap acuh tak acuh dan sibuk menyuap makanannya.

Alexa menganggukkan kepalanya sebelum kemudian melangkah pergi dengan tergesa-gesa, begitu sampai di luar ruangan dia menghela napas panjang.

*** 

"Kau mau mengajaknya pergi ke mana?" Daniel yang memulai percakapan terlebih dulu, menatap Nathan dengan mata abu-abunya yang tajam.

Nathan melirik ke arah Daniel, menyesap tehnya dengan gerakan elegan, lalu bergumam ringan, 

"Bukan urusanmu."

Daniel langsung menggertakkan giginya, "Kau tidak boleh mengajaknya semaumu. Saat ini dia milik kita berdua."

"Aku tidak pernah menganggap dia milik siapapun." Nathan menyela dengan tatapan mengejek, "Belum menjadi milik siapapun sampai dia memilih siapa yang akan menjadi suaminya. Kau tidak berhak mengklaimnya, Daniel, saat ini Alexa adalah milik dirinya sendiri, manusia yang bebas. Dan kalau memang Alexa bersedia pergi denganku, kenapa tidak?" Nathan berdiri, menatap Daniel dengan tatapan mencemooh. "Kurasa lebih baik aku pergi sebelum kau mengobarkan perang di pagi hari."

Ketika Nathan hendak melangkah keluar pintu, Daniel bergumam dingin.

"Kau tidak akan menang Nathan, segala tindakanmu dipenuhi oleh rencana tersembunyi yang aku tahu bukan rencana baik. Dan apapun yang didasari oleh rencana buruk tidak akan berhasil."

Nathan menoleh dari balik bahunya dan tersenyum, "Kau belum tahu sehebat apa rencanaku, Daniel."

"Alexa akan tahu siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang mempunyai rencana tersembunyi."

Nathan langsung membalikkan tubuhnya, menatap Daniel sambil mengangkat alisnya,


"Kau bersikap seolah kau tulus kepada Alexa. Tapi aku tahu bahwa kau sama sekali tidak tulus, Daniel. Kau mendekati Alexa semata-mata demi untuk mengalahkanku dan memenangkan kedudukan utama di keluarga Simon." Mata Nathan berkilat, menyiratkan emosi yang selama ini berhasil disembunyikannya dengan baik, "Aku harap Alexa benar-benar bisa membuka matanya untuk melihat siapa yang paling tulus di antara kita."
Dan kemudian lelaki itu pergi, meninggalkan Daniel yang duduk dengan geram mencengkeram gelas kopinya seakan ingin meremukkannya.

*** 

Ketika Alexa sedang menyelesaikan tugas-tugasnya, atasannya memanggil. Alexa berdiri menatap kepala bagian personalia yang katanya adalah orang kepercayaan Nathan. Memang sejak Nathan dan Daniel sama-sama memimpin perusahaan ini, orang-orang langsung membentuk dua kubu pendukung. Dari jajaran direksi sampai karyawan kelas bawah, semua punya jagonya masing-masing. Dan pak Firman, kepala Personalia ini adalah salah satu pendukung Nathan.

"Alexa. Saya ingin memperkenalkanmu dengan bagian analisa legal kita yang baru, beliau adalah pengacara perusahaan. Dan kemungkinan kau akan dipekerjakan sebagai staffnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan administrasi." Pak Firman menatap Alexa dengan tenang. Membuat Alexa tiba-tiba bertanya-tanya, lelaki di depannya ini sudah pasti merupakan sedikit orang yang tahu bahwa Alexa adalah tunangan dari dua cucu Albert Simon, kalau begitu apakah pak Firman juga akan mengarahkan pilihan Alexa kepada Nathan yang notabene didukungnya?

"Baik Pak." Alexa hanya duduk di sana, menatap ke arah Pak Firman yang mengangkat telepon dan bercakap-cakap dengan orang di seberang sana. Beberapa saat kemudian dia menutup teleponnya dan menatap ke arah Alexa kembali.

"Silahkan, kau bisa ke ruangan besar."

Alexa mengerutkan keningnya, teringat pertemuan pertamanya dengan Nathan di ruangan besar itu. Apakah jangan-jangan semua ini ada hubungannya dengan rencana Nathan?

Tetapi dia tidak bertanya lagi, sambil menahan kebingungannya, Alexa berpamitan dan melangkah masuk ke dalam ruangan besar. Dia berdiri dengan ragu di sana dan kemudian mengetuk pintunya.

Orang-orang yang berada di balik pintu itu membuatnya mengerutkan keningnya. Ada beberapa dari jajaran direksi di sana, termasuk direktur keuangan dan juga.... Ada Daniel bersama Nathan, duduk di meja bundar yang berseberangan.

Nathanlah yang pertama kali menatapnya dan mempersilahkannya masuk dengan ramah, "Masuklah Alexa, tidak apa-apa. Semua orang yang berada di ruangan ini tahu posisimu seperti apa di sini."

Apakah maksud Nathan orang-orang ini tahu bahwa dia adalah tunangan dari Nathan dan Daniel?

Alexa menelan ludahnya dengan gugup, menyadari tatapan-tatapan mata yang seakan menelanjanginya. Dia kebingungan. Pada saat itulah, Daniel memundurkan kursi di sebelahnya dan menepuk-nepuknya, ada senyum di matanya,

"Sini Alexa, jangan berdiri di sini saja. Duduklah di sini."

Alexa sadar kalau ekspresi Nathan mengeras melihat ajakan spontan Daniel kepada Nathan. Tetapi akhirnya dia menurut, mengambil kursi di sebelah Daniel dan duduk dengan kaku di sana, dirasakannya Daniel dengan sengaja mengulurkan tangannya ke bagian belakang kursinya, sebuah sikap sembrono yang mencerminkan keintiman dan kepemilikan yang disengaja, pasti ditujukan kepada Nathan.

Nathan sendiri pura-pura tidak melihat meskipun rahangnya tampak mengeras. Lelaki itu menunduk membaca kembali berkas di depannya dan ketika berbicara suaranya berubah formal.

"Kehadiran Alexa diperlukan di sini karena saya akan menempatkannya dalam posisi yang saya kira aman untuknya menjadi tunangan saya tanpa harus kerepotan menyembunyikannya dari karyawan lain."

"Tunangan kami." Daniel menyela untuk mengkoreksi, suaranya dalam dan dingin. 

Sejenak ruangan itu hening. Para direksi saling melemparkan pandangan tidak enak, menyebarkan suasana canggung di sana.

Nathan berdehem, berusaha memecahkan suasana itu. "Jadi hanya kita di dalam  ruangan ini, dan pak Firman yang kali ini berhalangan hadir di rapat ini yang mengetahui posisi Alexa sebenarnya. Saya harap kalian semua mendukung sampai tiga bulan ke depan." Matanya beralih menatap Alexa. "Sampai Alexa menentukan siapa pilihannya, dan juga menentukan pula siapa yang akan memimpin perusahaan ini."

Semua mata tiba-tiba memandang ke arah Alexa, dengan berbagai spekulasi yang tersirat, membuat Alexa menundukkan kepalanya dengan gugup.

"Karena itu saya akan menempatkan Alexa sebagai staff di bagian legal perusahaan ini. Saya sudah merekrut pengacara ahli yang akan memimpin divisi yang berada di bawah HRD dan mengurus seluruh bidang hukum perusahaan."

Seakan sudah direncakan, pintu itu diketuk dari luar. Alexa mengamati Nathan seolah sedang menahan senyumnya ketika bergumam.

"Masuk."


Pintu itupun terbuka, dan masuklah seorang perempuan berambut hitam legam dan diatur dengan sedemikian cantiknya. Pakaiannya profesional dan kecerdasannya tampak bersinar di matanya yang cemerlang, di luar semua itu, perempuan itu tampak sangat cantik dan mempesona. Alexa bahkan terpesona oleh keanggunan kelas tinggi yang dipancarkan oleh perempuan itu.

"Perkenalkan ini Renata, yang akan menjadi pengacara legal kita yang baru."

Karena begitu terpesona oleh penampilan Renata, Alexa terlambat menyadari bahwa sekujur tubuh Daniel yang sedang duduk di sebelahnya menegang, lelaki itu tampak marah dan seolah-olah siap meledak.

"Licik sekali Nathan, Bravo. Selamat, sepertinya kau mendapatkan rekan baru yang mendukungmu." Daniel menggertakkan giginya, menatap Nathan dengan tatapan membara. dan kemudian dia berdiri dengan marah, dan berjalan berderap hendak meninggalkan ruangan itu.

Alexa mengamati betapa Renata menatap Daniel dengan tatapan sedih. Dan ketika Daniel hanya melewatinya tanpa menoleh, Renata tidak bisa menahan diri untuk berseru dan memanggilnya.

"Daniel." suaranya serak dan indah, seindah penampilannya. Tetapi ternyata hal itu tidak membuat Daniel menoleh, lelaki itu terus berjalan, keluar dari ruangan dan membanting pintu di belakangnya.

Renata menoleh ke arah Nathan dan ke wajah-wajah direksi di ruangan itu. "Perkenalkan saya adalah pengacara legal perusahaan yang baru. Semoga kita bisa bekerjasama ke depannya." Renata menatap ke arah pintu, "Mohon maaf, saya harus pergi." Renata membungkukkan badannya dan buru-buru membalikkan badan keluar ruangan.

Seketika itu juga Alexa tahu bahwa Renata mengejar Daniel...

Dia menoleh ke arah Nathan, mengernyitkan keningnya meminta jawaban. Tetapi Nathan menghindari tatapannya.

"Well kita bisa melanjutkan ini besok. Menunggu saudara saya supaya lebih bertanggung jawab dan tahu kewajibannya untuk menghadiri meeting ini sampai akhir." gumamnya sinis dan kemudian menutup rapat itu.

Para direksi mengucap salam, dan kemudian satu persatu meninggalkan ruangan, tinggalah Alexa dan Nathan berdua di ruangan itu.

Alexa menatap ke arah pintu yang tertutup, dan mengernyit ke arah Nathan.

"Apa maksudnya tadi itu?"

Nathan menghela napas, menyandarkan tubuhnya di kursi besarnya.

"Aku memang sedikit jahat." lelaki itu tersenyum, "Memasukkan mantan tunangan Daniel ke perusahaan ini. Tetapi bagaimanapun juga, Renata adalah pengacara terbaik di kelasnya yang direkomendasikan oleh banyak orang."

"Mantan tunangan Daniel?" Alexa tidak salah dengar bukan?

Nathan mengangkat bahunya, "Mungkin belum bisa dibilang mantan tunangan, meskipun setahuku mereka berdua sudah sempat mencari cincin bersama. Bagaimanapun juga, Daniel dan Renata sudah menjalin hubungan bertahun-tahun lamanya." Mata Nathan tampak tajam ketika menatap Alexa. "Kau tahu tidak, Alexa? Daniel begitu saja meninggalkan Renata tanpa penjelasan, tepat ketika kau masuk ke dalam keluarga kami. Apakah menurutmu itu suatu kebetulan?"

*** 

Alexa membaringkan tubuhnya di ranjang dengan lelah. Benar-benar lelah. Pikirannya berkecamuk. Masih jelas diingatnya kemarahan Daniel ketika meninggalkan ruang meeting tadi.

Nathan memang sengaja memunculkan Renata. Dua saudara itu benar-benar saling membenci rupanya hingga tidak tanggung-tanggung saling menyerang, menggunakan segala cara.

Lalu setelah ini apa? Akankah Daniel juga akan memunculkan wanita di masa lalu Nathan untuk ditunjukkan kepada Alexa, demi membalas Nathan?

Tetapi bagaimanapun juga, mengetahui bahwa Daniel memiliki seorang wanita yang serius di masa lalunya dan menjalin hubungan cukup lama, benar-benar membuat Alexa terkejut. Tidak percaya dengan kata-kata Nathan, Alexa langsung mencari di mesin pencari di internet ketika sudah kembali ke ruangannya. Dia menggunakan kata kunci nama Daniel dan Renata. 

Hasil yang keluar adalah berita-berita gosip mengenai hubungan mereka, dan beberapa foto ketika mereka menghadiri sebuah pesta bersama, tampak begitu serasi dengan pakaian indah yang senada. Semua orang memuji Daniel dan Renata sebagai pasangan yang sangat cocok bersama. Alexa menemukan bahwa nama Daniel banyak muncul di kolom gosip karena lelaki itu sering memacari wanita-wanita dari kalangan artis. Tak terhitung dengan jari barisan artis yang pernah menjadi kekasihnya, mulai dari model sampai penyanyi... rupanya Daniel punya masa lalu dengan begitu banyak perempuan.

Penasaran, Alexa mencari nama Nathan di mesin pencari. Dan rupanya, berbeda dengan Daniel, Nathan rupanya cukup tertutup dalam hal percintaannya. Atau mungkin lelaki itu menjauhi perempuan dari kalangan artis sehingga tidak masuk ke kolom-kolom gosip seperti Daniel. Berita-berita tentang Nathan kebanyakan ada di kolom-kolom bisnis dan beberapa pembahasan tentang perusahaan miliknya yang melejit kesuksesannya.

Malam ini Alexa berbaring dengan tatapan nyalang ke langit-langit kamar dan kebingungan. Masih diingatnya tatapan dalam dan intens Renata ketika menatap Daniel tadi, perempuan itu benar-benar masih mencintai Daniel.... meskipun Daniel hanya melewatinya dengan kejam seperti itu.


Dan melihat deretan kekasih masa lalu Daniel, tiba-tiba saja Alexa merasa takut. Mereka semua begitu cantik, jauh sekali Alexa kalau dibandingkan dengan mereka. Dia hanya perempuan biasa, bukan dari kalangan jet set, perempuan pintar kaya berpendidikan tinggi seperti Renata, ataupun model cantik seperti pacar Daniel yang lainnya.

Dan Daniel mengatakan akan mengejar Alexa dengan kekuatan penuh. Apakah itu mungkin? Sekarang Alexa jadi bertanya-tanya tentang motif Daniel kepadanya.

Lamunannya terhenti oleh sebuah ketukan pelan di pintu kaca balkonnya. Alexa terduduk dan menatap gugup ke arah balkonnya dengan waspada.

Dia mengernyit ketika melihat Daniel berdiri di sana, tampak kusut dan jengkel. Lelaki itu menempelkan telapak tangannya di kaca pintu yang terkunci itu, menatap Alexa dengan tatapan tajam mata abu-abunya yang mengintimidasi.

"Buka pintunya Alexa, aku ingin bicara." Suara Daniel terdengar memaksa dan tak terbantahkan, membuat Alexa duduk diranjang, kebingungan harus melakukan apa.

Bersambung ke Part 12

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 23, 2013 01:28

July 22, 2013

Another 5% Part 19



Rolan begitu terkejut melihat asap membumbung tinggi dan menghitam di bagian belakang rumah sakit. Perhatiannya langsung teralihkan. Dia teringat bahwa sayap untuk menampung pasien-pasien kanker berada di sisi belakang rumah sakit tersebut.
Dia membalikkan badan dan berlari menelusuri lorong-lorong rumah sakit, menuju sisi belakang. Dan kemudian Rolan tertegun.
Seluruh bagian sayap rumah sakit itu sudah terbakar habis, asap hitam membumbung dari lorong, menciptakan hawa panas membakar yang menyesakkan dada. Orang-orang berkerumun di depan lorong rumah sakit itu dengan wajah kebingungan.
“Kami tidak tahu kenapa tiba-tiba ada api, ada delapan belas pasien yang dirawat intensif di bagian kanker ini dan entah kenapa mereka semua bisa terbaring di luar sayap yang terbakar ini, mereka tidak ingat apa yang terjadi seolah-olah mereka dipindahkan dalam sekejap.”

Rolan mengerutkan kening mendengar komentar-komentar panik di sekitarnya. Api ini ada yang mengatur? Pasien-pasien lain tiba-tiba dipindahkan dan begitu saja ada di luar lorong jauh dari kebakaran?
Ini terasa tidak benar.... ini seperti ada yang menggerakkan, apakah jangan-jangan... Gabriel? Seperti yang dikatakan oleh Marco, Gabriel sedang mengincar untuk menantangnya. Apakah api ini peringatan dari Gabriel bahwa perang akan segera dimulai?
Mata Rolan menelusuri seluruh penjuru ruangan tempat pasien-pasien yang terselamatkan secara ajaib itu dipindahkan dengan kursi roda dan beberapa dengan ranjang dorong ke tempat lain yang lebih aman. Pemadam kebakaran sedang dalam perjalanan, dan beberapa orang berusaha meredakan api dengan air dari selang seadanya sambil menunggu pemadam kebakaran tiba. Suasana tampak hiruk pikuk dan penuh kepanikan, sementara itu Rolan mencari Sabrina. Dan tiba-tiba saja jantungnya terasa berdebar ketika melihat bahwa Sabrina tidak ada di antara pasien-pasien yang selamat itu.
Dia langsung menyentuh bahu salah satu suster yang dikenalnya, mulai panik.
“Anda melihat Sabrina suster?”
Suster itu mengerjap, tampak juga baru menyadari bahwa Sabrina tidak ada di antara mereka, matanya langsung berlumur ketakutan.
“Aku dari tadi tidak melihat Sabrina.” Matanya memandang ke arah api yang membumbung tinggi dengan asap hitam menggumpal di lorong. “Apakah... apakah Sabrina masih ada di dalam?”
Rolan seketika itu juga langsung melompat dan menerjang ke arah lorong yang terbakar itu. Suster dan beberapa orang berteriak memperingatinya, mengatakan bahwa api itu terlalu besar untuk ditembus. Tetapi tentu saja, mereka tidak tahu bahwa Rolan punya kekuatan.
Begitu memasuki api dan asap yang membakar itu, langsung muncul selubung tebal seperti kabut putih yang melindungi Rolan supaya tidak panas dan terbakar, dia juga bisa menarik napas seperti biasa tanpa takut kehabisan oksigen. Rolan melesat seperti busur panas yang ditembakkan menuju ke ujung lorong tempat Sabrina berada.
Ada suara teriakan di sana.... teriakan Sabrina!
Rolan berdiri di depan pintu kamar Sabrina yang seluruhnya diselubungi api. Dari besarnya api yang membakar itu, tampak jelas kalau api itu berasal dari kamar Sabrina.
Sabrina masih berteriak-teriak di dalam sana, membuat Rolan tidak berlama-lama menunggu, dia mengarahkan telapak tangannya dan pintu itu langsung menghempas membuka. Rolan melesat masuk, dan melihat bahwa Sabrina ada di sana, berteriak-teriak, api membakar sebagian lengannya dan rambutnya, perempuan itu histeris.
Rolan langsung menyentuhkan tangannya ke tubuh Sabrina,
“Sabrina!” dia berusaha menenangkan Sabrina yang histeris dan meronta-ronta,  berusaha menyingkirkan api dari kulitnya, rambut panjangnya sudah terbakar hampir sepertiganya, dan bekas api meninggalkan jejak luka bakar menyedihkan di kulitnya yang dulunya putih pucat.
Rolan langsung menyentuhkan telapak tangannya di dahi Sabrina, menyerap kesadaran perempuan itu agar dia tidak meronta-ronta lagi. Seketika itu juga tubuh Sabrina lunglai jatuh ke dalam lengan Rolan.
Sambil mengernyit melihat luka bakar di lengan dan sisi kiri tubuh Sabrina, Rolan mengangkat Sabrina ke dalam gendongannya. Bau gosong dan asap tebal makin menyengat, sementara itu api sendiri makin membesar seolah ingin menyerang mereka, meski tentu saja api itu tidak akan bisa menembus perisai putih Rolan.
Dan kemudian, tiba-tiba saja sosok itu muncul. Sosok lelaki bertubuh tinggi berpakaian hitam-hitam dengan mata yang membara. Lelaki itu melayang dari atas tanah, dan api menyelubungi seluruh tubuhnya, tidak membakarnya melainkan menjadi perisai yang melingkupi tubuhnya.
Menatap mata yang gelap dan penuh kebencian itu, Rolan langsung tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan Gabriel untuk pertama kalinya, Gabriel sang pemegang kekuatan kegelapan yang memiliki niat jahat untuk menghancurkan pemegang kekuatan terang dan mengendalikan dunia di bawah kegelapan...
“Mengapa kau lakukan ini?” Selubung perisai putih di sekeliling Rolan menebal, melingkupi dirinya dan Sabrina yang ada dalam gendongannya, pertanda bahwa dirinya semakin waspada.
Gabriel melemparkan pandangan tajam ke arah Sabrina yang berada di dalam gendongan Rolan lalu bibirnya membentuk cibiran sinis.
“Kau menembus api untuk menyelamatkan perempuan yang bukan cinta sejatimu.” Suara Gabriel dalam dan penuh kebencian. “Apakah kau tidak takut kehilangan cinta sejatimu karenanya?”
Cinta sejatinya? Apakah yang dimaksud oleh Gabriel adalah Selly?
Kenapa Gabriel tampak begitu marah kepadanya? Apakah karena dia adalah sang pemegang kekuatan terang? Tetapi kenapa kebencian Gabriel sepertinya lebih diarahkan kepada dirinya dan Sabrina yang berada dalam gendongan lengannya?
“Apakah kau tidak tahu dia terluka?” Api di sekeliling Gabriel tampak meluap dan membesar seiring dengan kemarahannya, “Dia menangisimu dan kau lelaki bodoh, dibutakan oleh perempuan yang menggunakan kelemahannya sebagai kekuatan.” Mata Gabriel melirik lagi ke arah Sabrina, “Cinta sejati yang begitu kuat dan setia ada di dalam genggaman tanganmu, siap menjadi milikmu, dan kau melepaskannya begitu saja hanya demi sampah kotor yang pandai bersandiwara.”
Mata Rolan menyipit. Gabriel membicarakan Selly seolah-olah lelaki itu amat mengenalnya. Gabriel tidak berhak menghakiminya seperti itu! Hanya dia dan Selly yang tahu betapa dalamnya cinta mereka berdua.
“Aku tidak pernah bermaksud menyakiti Selly, dia tetaplah cinta sejatiku, kami saling mencintai., memang ada beberapa salah paham, tetapi kami akan membereskannya.” Mata Rolan menyala marah, “Kau membakar rumah sakit ini dan menimbulkan kepanikan, memang benar ternyata bahwa pemegang kegelapan cenderung menjadi perusak!”
Gabriel terkekeh, “Jangan mencoba mengajariku bocah kecil. Aku telah sekian lama menggunakan kekuatanku ini hingga rasanya semudah seperti ketika aku bernafas, sedangkan kau hanyalah bocah ingusan yang kebetulan saja mendapatkan kekuatan besar dan baru belajar.” Tatapan Gabriel membara, dan dia mengarahkan jemarinya yang ramping ke arah Rolan. “Ada hal-hal kecil yang kadangkala terasa remeh, tetapi ternyata sangat berarti bagi seorang perempuan. Jika kau laki-laki sejati dan ingin memenangkan hati seorang perempuan, belajarlah untuk tidak merusak hal-hal kecil itu. Karena kalau kau merusaknya meskipun kau tidak sadar, kau akan kehilangan cinta sejatimu.”
Dan kemudian bola api yang sangat cepat meluncur dari telapak tangan Gabriel, begitu cepat dan begitu kuat hingga Rolan tidak bisa menghindar, ketika bola api itu menembus perisainya dengan mudah dan menghantam bahunya dengan keras, membakar di sana dan mendorong tubuhnya hingga mundur dan menabrak tembok.
Rolan langsung berdiri tegak kembali, waspada. Bola api itu sempat melukainya, tentu saja dan menimbulkan rasa pedih akibat panas yang menyengat, tetapi tentu saja kemampuan Rolan untuk menyembuhkan diri langsung membuat kulitnya pulih kembali seakan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
“Aku tidak tahu kenapa kau semarah itu dan kenapa kau mencampuri urusanku dengan Selly. Tetapi seharusnya kau sadar, kalau kau bertarung denganku kau tidak akan mendapatkan apa-apa, kekuatan kita sama. Yang ada kita hanya akan menghancurkan sekeliling kita, menyakiti orang-orang sementara kita sendiri tidak terluka! Kau harus sadar Gabriel!”
“Aku tahu itu.” Lagi, sebuah senyum sinis muncul di bibir Gabriel, “Aku bukannya ingin memulai perang dengamu sekarang, aku hanya ingin memperingatkanmu tentang apa yang akan kau hadapi nanti Rolan. Dan juga sedikit menghukummu, kau membicarakan cinta sejatimu, sementara kau memeluk perempuan lain dalam tanganmu. Meskipun aku tahu bahwa aku mungkin tidak bisa merasakan cinta sejati, bagiku itu bukan cinta sejati.” Gabriel mengarahkan jemarinya lagi ke arah Rolan, dan dengan kekuatannya, Rolan bisa membaca bahwa energi yang dikeluarkan Gabriel untuk menyerangnya amat sangat besar dan merusak, dimaksudkan untuk menghancurkannya.
Lelaki di depannya ini dipenuhi amarah dan sifat buas serta keinginan untuk membunuh yang besar. Rolan tidak bisa bertarung dengan Gabriel di sini sekarang, tidak di saat dia menggendong Sabrina dalam pelukannya dan perempuan itu terluka parah oleh luka-luka bakar yang mengerikan. Dia langsung mengambil keputusan untuk melarikan diri.
Rolan memejamkan matanya, dan memikirkan rumahnya. Dalam beberapa detik dia sudah menghilang dari hadapan Gabriel, meninggalkan asap dan kebakaran yang begitu panas itu.
Gabriel masih berdiri melayang di antara api itu, mencibir karena Rolan memilih melarikan diri dan menyelamatkan Sabrina daripada menghadapinya. Dia menatap ke seluruh api yang sudah membakar sayap rumah sakit bagian kanker tersebut, dan mengernyit, dikibaskannya tangannya, dan seketika api itu padam. Sama sekali padam, bahkan bara yang panas pun tidak ada sama sekali.
Lalu dirinya menghilang, ditelan oleh bayangan kegelapan yang menyatu dengan asap hitam sisa kebakaran.
Sementara itu di luar, para petugas pemadam kebakaran yang datang dan menyiapkan selang, ternganga kebingungan ketika api padam begitu saja, seperti sebuah lilin rapuh yang ditiup dengan begitu mudah. Padam sepenuhnya.
Mereka tentu saja tidak pernah menemui hal seperti itu sebelumnya dan dipenuhi kebingungan yang nyata. Semua orang terperangah dan saling berpandangan, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
***
Carlos langsung tergopoh-gopoh menghampiri ketika Gabriel muncul di rumah.
“Anda membakar rumah sakit tempat nona Sabrina di rawat? Anda hendak membunuh nona Sabrina?”
Gabriel mendengus. “Ya. Perempuan culas itu mungkin sudah mati sekarang, kalau saja si pemegang kekuatan terang yang bodoh itu tidak menyelamatkannya.”
“Bagaimana dengan pasien yang lain?” Membakar rumah sakit adalah tindakan yang riskan. Banyak pasien lain yang lemah dan tak berdaya di sana. Meskipun Carlos tidak meragukan kekejaman Gabriel, lelaki itu dulu sangat mampu menghabisi nyawa orang tidak bersalah demi mencapai tujuannya.
Gabriel melemparkan pandangan yang susah ditebak kepada Carlos, “Kau tidak usah cemas, aku sudah mengeluarkan mereka semua sebelum aku membakar tempat itu. Aku hanya mengincar Sabrina.” Dan kemudian Gabriel tersenyum seolah geli, “Lagipula rumah sakit itu adalah milikku, jadi tidak ada yang dirugikan di sini. Aku akan membangunnya kembali dalam sekejap.”
Dan sebelum Carlos dapat berkata-kata, Gabriel melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
***
Rolan muncul di kamarnya, di dalam rumahnya. Dia langsung membaringkan Sabrina di ranjang, memeriksa luka-luka bakarnya yang mengerikan. Disentuhkannya tangannya di setiap luka bakar itu, disembuhkannya luka itu, hingga kulit pucat Sabrina kembali seperti semula.
Setelah itu dia menghela napas panjang, menatap Sabrina yang masih tidak sadarkan diri dan kemudian menarikkan selimutnya untuk Sabrina.
Ketika dia melangkah keluar dari kamarnya, dia tahu bahwa Marco ada di sana, menunggunya.
“Anda sudah berhadapan dengan tuan Gabriel.” Marco menatapnya.
Rolan mengangguk. “Dia benar-benar kuat, Marco dan dipenuhi nafsu membunuh yang sangat besar. Aku bisa membaca betapa kuatnya dia bahkan hanya dengan melihatnya. Dia tampak sangat marah padaku.”
“Gabriel memang selalu dipenuhi kemarahan.” Marco sendiri tampak begidik ketika membayangkan tentang Gabriel. “Anda mengambil keputusan tepat ketika anda memilih melarikan diri dari hadapannya. Anda belum siap menghadapinya, saya belum selesai mengajari anda menggunakan kekuatan anda.”
Rolan mengernyit. “Kau bilang satu-satunya cara untuk mengalahkan Gabriel adalah dengan cinta sejatiku.”
Marco menganggukkan kepalanya dengan tegas. “Ya. Anda mempunyai poin lebih dibandingkan dengan Gabriel, anda mempunyai Selly, cinta sejati anda. Bagaimanapun juga, meskipun saya belum tahu caranya bagimana, sesuai dengan buku aturan semesta, Selly bisa menjadi tambahan kekuatan 5% untuk anda, membuat anda mempunyai kesempatan untuk mengalahkan Gabriel.”
Rolan mengernyit. “Aku tidak mau melibatkan Selly dalam pertarunganku, aku ingin dia tetap aman. Lagipula Selly... dia marah kepadaku, mungkin aku sudah kehilangannya.”
Rolan mengingat tatapan mata Selly yang terluka dan merasa dikhianati, dan benaknya langsung diliputi kepedihan yang amat dalam. Sungguh, tidak ada sama sekali maksud di benaknya untuk melukai Selly. Ini salah paham dan seandainya bisa Rolan ingin mendatangi Selly sekarang dan menjelaskan semua kesalahpahaman ini agar Selly mengerti. Tetapi sekarang Rolan tidak bisa melakukannya, selain karena sekarang ada Sabrina di rumahnya, dia takut menemui Selly karena Gabriel bisa saja melacaknya dan kemudian melukai Selly. Dia harus menjaga Selly jauh dari ini semua.
Mata Marco menyipit, “Maksud anda... anda kehilangan cinta sejati anda?”
Rolan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak kehilangan cinta sejatiku, aku yakin Selly masih mencintai aku, demikian adanya dengan diriku. Ini semua hanya salah paham.”
“Apakah ini karena perempuan yang menderita kanker otak itu? Yang sama seperti penyakit yang pernah diderita anda?”
“Ya. Selly salah paham akan hubunganku dengan Sabrina. Dia mengira aku berselingkuh dengan Sabrina...”
“Sabrina?” Marco langsung menyela, matanya bersinar waspada.
“Ya. Sabrina, aku menyelamatkannya dari kebakaran, sumber kebakaran itu ada dari kamar Sabrina, sepertinya Gabriel mengincar Sabrina entah kenapa. Mungkin dia mengira Sabrina cinta sejatiku dan ingin melenyapkannya atau mungkin karena alasan lain, aku tidak tahu. Tetapi dia berucap seolah-olah dia mengetahui tentang aku dan Selly, jadi aku...”
“Anda menyelamatkannya dari kebakaran? Di mana sekarang perempuan yang bernama Sabrina itu?”
“Dia ada di kamarku, aku sudah menyembuhkan luka bakarnya dan dia masih tak sadarkan diri. Marco? Hei! Kenapa?” Rolan membalikkan badan mengejar Marco ketika lelaki itu setengah berlari menuju kamar Rolan tanpa mempedulikannya.
Marco bergerak cepat, membuka pintu kamar Rolan dan menatap Sabrina yang terbaring lunglai tak berdaya.
Seketika itu juga wajahnya pucat pasi. Matanya membelalak. Dan ketika dia menatap Rolan yang menyusul di sebelahnya, ketakutan yang nyata tampak di mata itu.
“Tuan Rolan.... sepertinya anda telah dimanipulasi. Perempuan bernama Sabrina ini.... dia adalah adik tiri dari Gabriel.”
***
Selly sampai di flatnya dan menghela napas panjang, matanya masih sembab karena menangis sepanjang perjalanan pulang tadi, tidak mempedulikan supir taksi yang meliriknya terus menerus dari kaca spion di atas dasbor mobil.
Dinyalakannya lampu-lampu di ruangan flatnya dan kemudian dia membanting tubuhnya di sofa, meringkuk disana dan menangis keras-keras sampai kepalanya terasa sakit.
Rolan... entah berapa lama dia menjadikan lelaki itu tumpuan hatinya...entah berapa lama dia hidup dengan harapan indah bahwa dia dan Rolan akan berakhir bersama dengan bahagia. Bahkan di saat terburuk ketika penyakit Rolan sepertinya tidak ada harapan untuk sembuh lagi, Selly masih tetap percaya akan ada kesempatan baginya dan Rolan untuk bahagia. Dia tetap percaya, dan kebahagiaannya memuncak ketika Rolan dinyatakan sembuh.
Tetapi ternyata kesembuhan Rolan bukannya semakin menyatukan mereka, malahan memisahkan mereka semakin jauh... semakin jauh hingga akhirnya Selly benar-benar kehilangan Rolan.
Air mata Selly mengalir deras di pipinya seakan tak mau berhenti, dia sesenggukan dan napasnya terasa sesak, tetapi kepedihan di hatinya terasa begitu kuat hingga membuatnya ingin mati saja.
Pada akhirnya, karena kelelahan menangis, Selly jatuh tertidur, meringkuk di atas sofa.
***
Gabriel muncul di ruangan itu begitu saja. Berdiri di sana, menatap Selly yang meringkuk dan menangis di atas sofa. Dia membungkuk dan melihat bekas air mata yang mengering di pipi Selly. Jemarinya terulur, menyentuh ujung mata Selly dan merasakan bahwa bulu mata Selly masih basah oleh air mata.
Gabriel berdecak. Perempuan ini menangisi cinta sejatinya. Mungkin yang namanya patah hati memang terasa menyakitkan bagi seorang perempuan, Gabriel tidak tahu.
Tetapi tidak ada waktu bagi Selly untuk menangis, Saatnya sudah tiba. Rolan pasti sekarang sudah waspada dan memulihkan kekuatannya. Mereka cepat atau lambat pasti akan bertarung karena Gabriel sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk menyerang Rolan. Tetapi sebelum itu terjadi, dia harus mengambil Selly dan menjauhkannya dari pertarungan mereka.
Diangkatnya tubuh Selly yang lunglai ke dalam gendongannya. Selly yang masih tertidur langsung meringkuk nyaman di dadanya, tidak sadar siapa yang menggendongnya.
Gabriel menatap Selly yang berada dalam gendongannya, tatapan matanya tidak terbaca, tampak begitu muram. Dan kemudian, dalam sekejap, tubuh Gabriel yang sedang menggendong Selly menghilang ditelan bayangan kegelapan. 
Bersambung ke Part 20

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 22, 2013 20:22

July 20, 2013

Another 5% Part 18



Supir itu menjalankan mobilnya dengan tenang menembus kemacetan jalan raya, sementara Selly duduk di bangku belakang mobil, merasa sedikit canggung duduk bersebelahan dengan Gabriel.
Gabriel sendiri memilih terdiam dan menatap lurus ke depan. Lelaki itu tampak geram, entah kenapa.
“Selly,”
Tiba-tiba Gabriel memanggil nama Selly membuat Selly hampir saja terlonjak karena kaget.
Selly mendongak, menatap mata Gabriel yang tajam, bertanya-tanya apa yang berkecemuk di benak atasannya itu sehingga lelaki itu tampak begitu marah.
“Ya?”
Gabriel mengerutkan keningnya,
“Mengenai Rolan, calon suamimu itu. Kau sangat mencintainya bukan?”
Selly menganggukkan kepalanya, dia sudah lama sekali mencintai dan begitu setia kepada Rolan, hingga terbiasa. Dan ya, meskipun permasalahan dengan Sabrina mengganggu benaknya, Selly masih tetap mencintai Rolan.
Dia kemudian menganggukkan kepalanya,
“Ya, saya mencintainya.”
‘Kau pasti bersedia berkorban apapun untuknya karena cintamu itu.”
Sekali lagi Selly menganggukkan kepalanya. Tentu saja. Selly masih merasakan ketulusan yang sama, berkorban untuk Rolan pasti akan dilakukannya jika perlu.
Gabriel mendengus, ‘Meskipun kalau dia mengkhianatimu?”
“Apa?” gantian Selly yang mengerutkan keningnya, tidak menyangka kalau Gabriel akan menanyakan pertanyaan seperti itu, “Apa maksud anda?”
“Aku hanya ingin tahu, kau sepertinya begitu mencintai calon suamimu itu. Kalau kemudian pada akhirnya kau menemukan bahwa Rolan berkhianat, akankah kau tetap setia mencintainya? Dan bersedia berkorban untuknya?”
Rolan? Mengkhianatinya?
Tiba-tiba saja Selly merasa takut. Telepon dari Sabrina tadi langsung terngiang-ngiang di benaknya. Apakah mungkin Rolan benar-benar mengkhianatinya? Kalau ternyata hal itu terjadi.... apakah yang akan Selly lakukan? Bagaimana dengan perasaan Selly?
“Saya tidak tahu.” Selly benar-benar tidak tahu, kemungkinan itu tidak pernah terpikirkan di benaknya sebelumnya.
Gabriel memalingkan muka, menatap lurus ke depan.
“Semoga pada waktunya nanti kau akan tahu apa yang harus kau lakukan, Selly.”
Kata-kata Gabriel itu membuat Selly menoleh dan mengerutkan keningnya dengan bingung. Apa sebenarnya maksud Gabriel dengan kata-katanya itu? Selly ingin bertanya, tetapi Gabriel sudah memasang ekspresi keras dan tak terbaca. Membuat Selly mengurungkan niatnya.
***
Dalam beberapa waktu, mobil yang mereka naiki akhirnya sampai di rumah sakit. Supir berhenti di lobby depan dan membukakan pintu untuk mereka. Gabriel dan Selly berjalan berdampingan memasuki lobby rumah sakit, hingga akhirnya Selly menoleh ke arah Gabriel dengan ragu.
“Saya... akan ke bagian pasien kanker.” Selly menatap Gabriel penuh rasa terimakasih. “Terimakasih atas tumpangannya.”
Gabriel berdiri di sana, menatap Selly dengan tatapan misterius.
“Oke.” Gumamnya tanpa emosi.
Tetapi ketika Selly membalikkan badannya hendak pergi, Gabriel tiba-tiba meraih jemari Selly dengan lembut, membuat Selly menoleh kaget, menatap ke arah atasannya itu dengan penuh tanda tanya.
“Hati-hati.” Gabriel setengah berbisik, lalu melepaskan pegangan tangannya.
Selly mau tak mau menganggukkkan kepalanya, meskipun dia tidak tahu apa maksud kata-kata Gabriel itu.
***
Jantung Selly berdebar ketika melalui koridor menuju ke arah ruangan Sabrina di rawat, dan entah kenapa suasana begitu hening, tidak ada perawat satupun yang biasanya lalu lalang di lorong.
Langkahnya terhenti di depan pintu kamar Sabrina, matanya mengintip dari kotak kaca yang cukup besar yang ada di bagian atas pintu. Dan kemudian Selly tertegun.
Dia melihat Rolan, sedang duduk di tepi ranjang, menatap Sabrina yang setengah terduduk di atas ranjang. Sabrina sedang menangis entah kenapa, dan kemudian dengan lembut Rolan mengusap air mata di pipi Sabrina dengan jemarinya.
Pemandangan itu tentu saja membuat jantung Selly berdenyut serasa diremas dengan menyakitkan. Jemari Rolan seharusnya hanya menyentuh lembut pipi Selly bukan?
Dan kemudian terjadilah pemandangan yang sangat tidak diduganya. Rolan menundukkan kepalanya, Sabrina memejamkan matanya, dan kemudian..... bibir Rolan menyentuh bibir Sabrina, sebuah ciuman di bibir yang penuh dengan kasih sayang!
Jemari Selly yang masih memegang handdle pintu bergetar. Rasa sakit itu kian menyeruak ke dalam dadanya, membuat napasnya sesak dan matanya terasa panas.
Selly tidak tahan melihat pemandangan di depannya itu, dia membalikkan badannya, bersandar ke pintu sambil berurai air mata. Ya ampun. Rolan mencium Sabrina, dan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Rolan melakukannya dengan lembut, sama seperti ketika Rolan menciumnya, tanpa ada paksaan sama sekali.
Rolan mencium Sabrina dengan kemauannya sendiri! Apakah itu berarti apa yang dikatakan Sabrina di telepon tadi, mengenai Rolan, benar adanya? Bahwa kekasihnya itu sebenarnya sudah tidak ingin bersamanya lagi, bahwa kekasihnya itu sudah memindahkan hatinya kepada Sabrina tetapi merasa tidak enak kepada Selly.... kenapa? Kenapa Rolan bertahan dengan Selly, bersikap baik kepadanya kalau dia sudah tidak ingin bersama Selly lagi? Apa karena Rolan merasa berhutang budi, sebab Selly-lah yang merawat Rolan ketika dia sakit?
Apakah hanya hutang budi yang membuat Rolan masih bertahan bersama Selly padahal hatinya sudah berpindah kepada Sabrina?
Selly mengusap air matanya, tetapi sepertinya air matanya itu tak mau diatur, tetap deras mengalir tanpa mau berhenti. Dia menghela napas panjang, berusaha menormalkan napasnya.
Air matanya tetap mengalir, tetapi Selly sudah mengambil keputusan tegas.
Baiklah. Kalau memang yang diinginkan Rolan adalah bersama Sabrina, maka Selly tidak akan menahan Rolan lagi untuk bersamanya.
Dia melangkah, meninggalkan pintu kamar Sabrina, tanpa menoleh lagi, Keputusan sudah bulat di benaknya. Dialah yang akan meninggalkan Rolan!
Selly melangkah tergesa meninggalkan lorong bagian pasien kanker itu. Tetapi ketika sampai di ujung lorong, Selly meragu.
Beranikah dia meninggalkan Rolan begitu saja? Tanpa penjelasan? Beranikah dia melepaskan cinta sejatinya begitu saja?
Nasehat Gabriel kepadanya siang tadi langsung bergulir di benaknya. Dia harus memperjuangkan Rolan sebelum memutuskan untuk menyerah bukan?
Selly menghela napas panjang, membalikkkan badannya kembali dan melangkah balik menuju ke arah kamar Sabrina lagi.
***
Rolan melepaskan bibirnya dari bibir Sabrina yang pucat dan lembut, menemukan air mata masih mengalir di pipi Sabrina.
“Kenapa kau masih menangis? Aku sudah menciummu bukan?”
Sabrina mengusap air matanya, bibirnya tersenyum malu, tetapi dia masih sesenggukan.“Maafkan aku.” Gumamnya lemah, “Aku Cuma terlalu bahagia.”
Rolan menghela napas panjang, “Maafkan aku Sabrina, karena tidak bisa membalas perasaanmu. Kau tahu, aku sudah mengikat janjiku kepada Selly...”
Sabrina buru-buru menganggukkan kepalanya, “Aku mengerti kok. Aku hanyalah perempuan yang tidak tahu diri, berani-beraninya menumbuhkan perasaan kepadamu, mengkhianati Selly yang sangat baik kepadaku.”
“Jangan berkata begitu Sabrina.” Rolan langsung menyela, merasa tidak enak karena Sabrina menyalahkan dirinya sendiri. Salahnya juga bukan kalau Sabrina sampai menumbuhkan perasaan yang lebih kepadanya? Dia terlalu baik kepada Sabrina dan seolah-olah memberikan harapan kepadanya...
Sabrina tersenyum lembut, “Aku akan belajar memadamkan perasaan ini. Lagipula Selly perempuan yang sangat baik, kalian adalah pasangan serasi. Semoga kalian berbahagia ya..?”
Baru saja Rolan hendak membuka pintu untuk menjawab pertanyaan Sabrina, pintu kamar itu terbuka.
Rolan menoleh dan terkejut mendapati Selly berdiri di sana. Dia melirik jam tangannya,
Astaga!Rolan lupa, dia tadi berjanji akan menjemput Selly sepulang kerja dan mereka akan bersama sesudahnya, tetapi pernyataan cinta dari Sabrina benar-benar membuatnya lupa!
Selly pasti menyusul kemari karena tidak ada kabar darinya. Rolan langsung menatap Selly dengan penuh rasa bersalah.
Sayangnya tatapan mata bersalah Selly diartikan lain oleh Selly, dia mengira Rolan merasa bersalah karena telah memindahkan hatinya kepada Sabrina. Selly lalu bergumam dengan bibir bergetar.
“Kau mencium Sabrina, aku rasa itu sudah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya, Rolan.”
Wajah Rolan langsung pucat pasi, Selly melihatnya mencium Sabrina?
Itu pasti adalah pemandangan yang membuat siapapun salah paham, terlebih bagi Selly....Rolan hendak membuka mulutnya, menjelaskan semuanya tetapi Sabrina dululah yang sudah berkata-kata.
“Aku bisa menjelaskan semuanya Selly, jangan marah...” Sabrina memasang ekspresi sedih dan rapuh, membuat Selly menghela napas panjang, mengeraskan hati dan tidak jatuh dalam rasa kasihan, dia menatap Sabrina dan Rolan berganti-ganti. Rasa sakit menyeruak ke dadanya, membuatnya merasa getir.
“Sepertinya kalian memang seharusnya bersama.” Matanya menatap Rolan, menahankan air matanya lalu dia mengalihkan pandangannya kepada Sabrina, “Selamat Sabrina kau mendapatkan apa yang kau mau, aku menyerahkan Rolan untukmu.”
“Selly!” suara Rolan sedikit meninggi, berusaha menarik perhatian Selly, tetapi yang didapatinya adalah tatapan kemarahan dan dikhianati dari Selly.
Rolan menghela napas panjang,
“Jangan berkata begitu kepada Sabrina, dia tidak seperti yang kau pikirkan...kau salah paham Selly, aku dan Sabrina bisa menjelaskan kenapa ciuman itu bisa terjadi, aku...”
Selly melangkah mundur dengan defensif menatap Rolan, “Jangan menjelaskan apapun, Rolan. Aku percaya dengan mataku, hatimu sudah berpindah dan tak ada gunanya aku mempertahankanku.” Kali ini Selly tidak mampu menahan air matanya, “Bahkan sekarang aku mulai mempertanyakan apakah aku masih mencintaimu atau tidak...” Selly tidak tahan lagi berada di ruangan itu bersama Rolan dan Sabrina. Dia sudah tidak mampu lagi. Semula dia ingin mempertanyakan perasaan Rolan baik-baik, tetapi kemudian hatinya sakit ketika Rolan bukannya membelanya, malahan menyuruh menjaga ucapannya kepada Sabrina, Rolan membela Sabrina! Itu sudah cukup untuk menunjukkan perasaan Rolan yang sebenarnya bukan?
Tanpa kata-kata lagi, Selly membalikkan badan dan menghambur keluar dari kamar Sabrina.
“Selly!” Rolan berteriak, hendak mengejar. Tetapi di saat yang sama, Sabrina sepertinya juga hendak mengejar Selly, tetapi dia melupakan tubuhnya yang lemah. Tubuh Sabrina langsung roboh jatuh ke lantai bersama selimut yang membungkus tubuhnya ketika dia mencoba beranjak dari ranjangnya.
Rolan langsung membalikkan badannya, tidak jadi mengejar Selly dan menolong Sabrina yang terbaring tak berdaya di lantai. Perempuan itu menangis penuh air mata penyesalan sampai terisak-isak kehabisan napas,
“Jangan pedulikan aku.” Sabrina terisak-isak, “Kesanalah, kejar Selly dan jelaskan semuanya.”
Rolan tampak pucat pasi, kebingungan. Pada akhirnya, dia mengangkat tubuh Sabrina dan membaringkannya di atas ranjang, menyelimutinya kembali dengan lembut.
“Aku... aku akan mengejar Selly dulu ya.” Bisiknya panik.
Sabrina menganggukkan kepalanya, “Pergilah Rolan, semoga Selly mau mengerti...” air mata membanjir deras di pipinya, “Aku... aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai aku menjadi penyebab pertengkaran kalian.”
Rolan menganggukkan kepalanya, dengan lembut mengecup dahi Sabrina, lalu membalikkan badan keluar dari ruangan kamar Sabrina, mengejar Selly.
***
Sepeninggal Rolan, Sabrina mengusap air matanya dan tersenyum.
Ternyata benar-benar sesuai yang direncanakannya. Sabrina sebenarnya tidak menyangka kalau Selly akan muncul di kamarnya tepat setelah Rolan menciumnya, dia mengira Selly sudah mundur dan menyerah akan Rolan, tetapi ternyata perempuan itu  tak tahu malu dan masih berusaha mengejar Rolan.
Bukan salah Sabrina kalau Selly melihat pemandangan itu, pemandangan Rolan mencium Sabrina dengan lembutnya. Dari ciuman itu saja, Sabrina sudah tahu bahwa sebentar lagi, tidak perlu menunggu lama, Rolan akan menjadi miliknya.
Dan dengan begitu Sabrina tidak perlu mengharapkan belas kasihan dari Gabriel lagi, Gabriel yang dicintainya tetapi hatinya terlalu kelam untuk dilembutkan olehnya. Sabrina akan bisa menguasai Rolan, dan dengan Rolan menjadi kekasihnya nanti, itu berarti Rolan akan terus mensupplay darahnya untuk membantu Sabrina bertahan dari penyakitnya.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan pelan dari ujung ruangan, Sabrina menoleh dengan waspada dan mendapati Gabriel berdiri di sana, setengah melayang, diliputi oleh bayangan gelap, wajah Gabriel tampak sinis luar biasa.
“Sepertinya aku harus memuji kemampuan beraktingmu.”
Sabrina masih menatap Gabriel dengan waspada, “Kau datang.”
“Aku datang bukan untuk memberikan darahku.” Gabriel bergumam dengan tajam, “Kau sudah mendapatkan dari pemegang kekuatan terang yang bodoh itu bukan? Yang dengan mudahnya jatuh ke dalam rayuanmu?”
Sabrina mendongakkan dagunya, mencoba menantang Gabriel,
“Aku merayunya karena kau tidak memberikan darahmu lagi, kau begitu kejam tega membuatku kesakitan!”
“Itu hukuman untukmu Sabrina, karena selalu mencampuri urusanku.” Mata Gabriel menyipit. “Dan aku akan menghukummu sekali lagi karena bertindak sendiri dan mengganggu rencanaku. Seharusnya kau mati sejak dulu, aku yakin semesta akan mendukungku jika melenyapkanmu. Kau sebenarnya sudah mati bertahun-tahun lalu. Aku memberikan darahku untuk mempertahankanmu hanya karena janjiku kepada mama. Tetapi kupikir sekarang saatnya mematuhi aturan semesta dan melenyapkanmu sesuai takdirmu.” Tiba-tiba tanpa peringatan, dari telapak tangan Gabriel keluar api. Api itu membesar, membakar gorden di kamar Sabrina, menjalar ke karpet, dan pada akhirnya membakar semuanya yang ada di kamar Sabrina, membuat Sabrina menjerit ketakutan
***
Selly setengah berlari meninggalkan kamar Sabrina, tadi dia masih sempat mendengar Rolan memanggil namanya dan menoleh, sayangnya pemandangan yang dia dapat malahan lebih menyakitkan hati, Rolan sedang berjongkok, memeluk Sabrina yang terjatuh dari ranjang dan menolongnya.
Hal itu sudah jelas-jelas menunjukkan siapa yang dipilih Rolan bukan? Karena lelaki itu menunda untuk mengejarnya demi menolong Sabrina...
Ketika keluar dari sayap rumah sakit bagian penyakit kanker, Selly sama sekali tidak mengurangi langkahnya, dia ingin sekali meninggalkan rumah sakit ini dengan segera, rumah sakit yang penuh dengan kenangan manis baginya, tetapi ternyata pada akhirnya menyajikan kenangan buruk untuknya. Selly ingin pergi sejauh mungkin, Selly tidak mau melihat ataupun memikirkan Rolan lagi...
Selly berlari keluar dari lobby rumah sakit, menghambur ke ujung jalan, dan menyetop taxi pertama yang dilihatnya. Dia lalu masuk ke dalam taxi itu, berurai air mata.
Di belakangnya ada Rolan yang mengejar, berteriak memanggil nama Selly sekuat tenaga dari ujung trotoar, sayangnya Taxi itu terus melaju kencang dan Selly tidak mendengar.Rolan menoleh ke kiri dan kekanan, memastikan tidak ada yang melihat, lalu dia mengulurkan tangannya ke arah taxi yang dinaiki Selly, berusaha membuat Taxi itu berhenti melaju dengan kekuatannya.
Tetapi kemudian teriakan-teriakan panik di belakangnya membuatnya teralihkan, dia menoleh dan mendapati asap hitam membubung dari bagian belakang rumah sakit. Orang-orang berlarian dengan panik sambil berteriak-teriak.

“Kebakaran! Ada kebakaran!”
Bersambung ke Part 19

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 20, 2013 22:40

Embrace The Chord Part 15



Rachel duduk di cafetaria kantin sambil menyesap kopinya, jemarinya bergetar dan perasaannya bergemuruh. Ekspresi sedih Jason tadi benar-benar tak terlupakan, sarat dengan kesedihan hingga Rachel tidak berani mendekati lelaki itu dan memilih melarikan diri ke lantai bawah, menyesap kopi untuk menenangkan dirinya.
Ponselnya berbunyi, dan dia melihat nama Calvin di sana. Calvin.... Rachel hampir-hampir melupakan Calvin, bukan karena perasaannya mulai pudar tetapi karena setelah insiden itu Calvin benar-benar menghilang dari kehidupannya, seolah-olah lelaki itu menghindari Rachel.
Hal itu membuat Rachel bertanya-tanya. Kenapa Calvin menghindarinya? Apakah karena lelaki itu marah kepadanya? Karena dia mengira - setelah melihat Jason dan Rachel berciuman - bahwa Jason dan Rachel menjalin hubungan cinta? Calvin sudah jelas-jelas menunjukkan ketidak setujuannya akan hubungan Rachel dengan Jason, lelaki itu memang menghormati dan mengagumi Jason dari permainan biolanya, tetapi Calvin mencemaskan reputasi Jason sebagai penghancur perempuan.
Seandainya saja Rachel bisa mengungkapkan kepada Calvin bahwa hubungannya dengan Jason hanyalah sandiwara, mungkin dia bisa menghilangkan kecemasan Calvin... sayangnya dia tidak bisa melakukannya.
"Rachel?" Suara Calvin terdengar di sana, memanggil-manggil Rachel yang masih melamun dan membuat Rachel mengerjapkan kedua matanya.
"Iya Calvin? Kau di mana saja? Rasanya sudah lama sekali kita tidak bicara." Rachel merindukan Calvin tentu saja.
Calvin berdehem, "Aku... aku tidak mau mengganggumu dengan Jason, dia kan sedang dalam masa pemulihan. Lagipula aku sedang intens menghabiskan waktuku bersama Anna..."
Anna. Hampir saja Rachel melupakan keberadaan perempuan itu. Terakhir, Calvin mengatakan bahwa dia sudah menyatakan cintanya kepada Anna dan Anna membalas perasaannya. Mereka berdua sekarang adalah sepasang kekasih... Anna yang memiliki Calvin. Rachel berusaha menekan perasaan pedih dalam suaranya.
"Aku mengerti Calvin...."
"Hari ini Anna dan papanya kembali ke luar negeri." Calvin melanjutkan, "Aku akan mengantarkannya ke bandara."
Rachel mengerutkan keningnya, "Anna sudah akan pulang? Jadi kalian akan menjalin hubungan jarak jauh?"
Suara Calvin tampak sedih dan tidak yakin. "Kami akan mencoba Rachel, meskipun aku tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak." Keraguan dalam suara Calvin tampak nyata, "Karena aku... aku padamu...." suara Calvin menghilang, membuat Rachel mengerutkan keningnya semakin dalam.
"Kau kenapa Calvin?"
Hening sejenak, lalu Calvin berkata. "Tidak. Tidak ada apa-apa. Maafkan aku, mungkin aku hanya sedang bingung, kau tahu, aku sedih karena akan berpisah dengan Anna."
Rachel tersenyum lembut, "Aku mengerti perasaanmu, Calvin." 
"Kaulah yang paling mengerti/" Ada senyum di suara Calvin, tetapi senyum itu menghilang ketika dia bertanya kepada Rachel, "Aku tadi ke rumahmu, kata mamamu, kau sudah berkemas dan akan tinggal di rumah Jason untuk sementara."
Rachel berdehem, merasa tidak enak karena dia tidak tahu ketidaksetujuan hubungan Rachel dengan Jason.
"Ya. Jason memintaku tinggal di sana, karena dia ingin melatihku secara intensif. Selain itu... aku merasa bersalah karena akulah dia terluka."
"Itu bukan sepenuhnya kesalahanmu Rachel, penyergap itulah yang bersalah melukai kalian." Suara Calvin tampak ragu, "Apakah kau mencintai Jason?"
"Apa/" Rachel terbelalak, tidak menyangka Calvin akan menanyakan pertanyaan itu.
Calvin terdengar salah tingkah, "Aku... kau tahu, aku penasaran, Mereka semua bilang kalian adalah sepasang kekasih, aku bertanya-tanya apakah kau benar-benar mencintai Jason.... ataukah itu hanya didorong oleh rasa bersalahmu karena luka Jason?"
Bagaimana Rachel harus menjawab? Dada Rachel terasa sesak, penuh oleh rasa bingung. Tetapi pada akhirnya dia ingat kesepakatannya dengan Jason dan menguatkan dirinya ketika menjawab.
"Aku... aku menjalin hubungan dengan Jason karena aku mencintainya, Calvin." Dia harus menghilangkan kecurigaan siapapun tentang hubungan sandiwaranya dengan Jason, dia sudah berjanji kepada Jason. Meskipun sekarang rasanya begitu perih, berbohong bahwa dirinya mencintai lelaki lain, kepada Calvin, lelaki yang sesungguhnya dicintainya.
Hening lagi. Kali ini sedikit agak lama. Tetapi kemudian Calvin berdehem.
"Baguslah kalau begitu. Maafkan aku kalau sedikit mencampuri. Kau tahu aku mencemaskanmu."
Rachel tersenyum lembut, "Terimakasih, Calvin."
"Oke kalau begitu, aku harus ke bandara untuk mengantar Anna, sampai ketemu nanti ya."
"Iya." 
Dan kemudian percakapan mereka terputus, dengan suasana canggung yang entah kenapa. Rachel sendiri mulai meragukan perkataan Jason bahwa hubungan pura-pura mereka akan membuat Calvin memandang Rachel sebagai seorang perempuan.... rasanya tidak begitu, yang ada malahan Calvin menjauhinya dan membuat hubungan mereka yang dulunya erat menjadi canggung.
Dan sekarang Rachel terikat dengan Jason. Dia harus melakukan apapun yang diinginkan oleh Jason. Tetapi Jason mungkin berhak memperalatnya, menjadikannya pelayannya atau apalah. Dia telah menyebabkan kehilangan fatal bagi Jason......
Rachel mengernyit, kalau sampai Jason tidak bisa bermain biola lagi, maka kesalahan terbesar ada di pundak Rachel. Dia yang bersalah, dia yang bertanggung jawab.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, membuat Rachel terkejut dan hampir saja menjatuhkan cangkir kopinya. Dia melirik dan jantungnya berdebar ketika mengetahui bahwa Jason yang meneleponnya.
"Halo?" diangkatnya telepon itu dengan suara lemah, berusaha menyingkirkan ekspresi wajah Jason tadi yang membuatnya merasa sangat bersalah.
"Kau di mana? Aku menelepon ke rumahmu, kata mamamu kau sudah berangkat sejak tadi ke rumah sakit."
Rachel menghela napas panjang, berdoa semoga saja Jason tidak menyadari bahwa Rachel sudah sampai ke rumah sakit sejak tadi dan memergoki kegagalan Jason bermain biola tadi.
"Aku... aku baru sampai rumah sakit." Rachel menjawab cepat, "Aku akan segera naik."
"Aku tunggu." Jason langsung menutup ponselnya tanpa menunggu jawaban Rachel.
Rachel menyesap kopinya untuk terakhir kalinya, lalu beranjak berdiri. Bertemu dengan Jason, terlebih setelah menyaksikan ekspresi kesedihan lelaki itu karena gagal memainkan biolanya benar-benar membuat dada Rachel terasa sesak.
*** 
"Menurutmu, apakah perempuan bernama Keyna itu adalah kekasih Jason?" Joshua meletakkan garpunya di atas piring yang telah kosong. Mereka berada di apartemen Jason, bekas apartemen mereka dulu dan melewatkan pagi dengan sarapan bersama. Kiara, dengan keahliannya memasak seperti biasa telah membuatkan Joshua omelet keju kesukaannya, sekaligus membawa kenangan di masa-masa dulu ketika hati mereka belum bertaut sepenuhnya.
Kiara menyorongkan gelas berisi jus jeruk ke depan Joshua lalu bertopang dagu menatap suaminya,
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
Joshua terkekeh, "Ayolah sayang, kau tahu sendiri bagaimana tipe kekasih Jason sebelumnya, Rachel benar-benar di luar kategori itu, selain dia masih terlalu muda, dia adalah tipe 'perempuan baik-baik'."
Kiara menatap suaminya dengan wajah masam, "Jadi menurutmu Jason selalu berpacaran dengan perempuan tidak baik-baik?"
Kali ini kekehan Joshua berubah menjadi tawa, "Tepat seperti itu maksudku. Dia mempunyai obsesi aneh untuk menyakiti perempuan."
"Jason selalu baik kepadaku, dia tidak memukul rata semua perempuan." Kiara membantah
Joshua menganggukkan kepalanya, "Benar, karena itulah tipe kekasih Jason sangat spesifik, dia selalu memilih perempuan yang lebih tua, dengan watak yang aku asumsikan mirip dengan ibu kandungnya."
Mereka berdua tentu saja tahu bagaimana jahat dan serakahnya ibu kandung Jason. Hal itulah yang membuat Jason menjadi seperti ini, mengumpulkan reputasi sebagai penghancur perempuan.
"Mungkin dia benar-benar serius dengan Rachel, kau tahu aku membaca beberapa berita tentang Rachel. Dia sangat berbakat dalam bermain biola, para kritikus musik itu tidak ada yang mencelanya, semuanya memujinya dan menyebutnya sebagai Jason yang akan datang." Mata Kiara mengerjap. "Rekaman ketika Jason dan Rachel bermain biola tersebar di media, aku melihatnya dan merasa begitu takjub, aku memang tidak tahu tentang musik, tetapi telinga awamku bisa memastikan kalau permainan mereka berdua sangat sempurna dan berpadu dengan indahnya."
"Aku juga melihat rekaman yang menghebohkan itu. Setahuku Jason ingin membuat Rachel menjadi murid khususnya yang pertama. Aku tidak tahu kalau dia menjadikannya pacarnya." Mata Joshua berkilat, "Mungkin pada akhirnya Jason berlabuh pada perempuan yang lugu." dia menatap Kiara dengan tatapan menggoda, "Seperti diriku."
Pipi Kiara langsung memerah, berusaha menghindari tatapan mata Joshua, "Jadi sekarang kau sudah benar-benar berlabuh ya?"
Joshua terkekeh, melangkah mengitari meja dan memeluk Kiara dari belakang, mengecup pundaknya dengan mesra dan lembut, 
"Tentu saja, aku punya isteri yang sempurna. Apalagi yang aku inginkan? Aku sudah lengkap."
Kiara tersenyum, menyandarkan tubuhnya kepada Joshua, membalas pelukan erat suaminya, "Aku bahagia karena kau memilihku untuk berlabuh." gumamnya serak, penuh perasaan.
"Aku berlabuh pada perempuan yang tepat." Joshua membalik tubuh Kiara, lalu mengecup bibirnya dengan lembut, ketika dia mengangkat kepalanya, matanya berbinar nakal, 'Kau mau mencoba ranjang di bekas kamarku itu sekali lagi? Mengenang bulan madu kita dulu?"
Kiara terkikik, dan menurut ketika Joshua menghelanya memasuki kamar.
*** 
Kiara mengetuk pintu kamar Jason, dan mendapati lelaki itu sedang duduk di kursi di samping ranjang dan merenung. Lelaki itu sudah berpakaian lengkap, siap untuk pulang.
"Keyna dan Davin akan menjemput kita, sebentar lagi mereka datang." 
Rachel menganggukkan kepalanya, melangkah mendekati Jason ke tengah ruangan dan mengamati lelaki itu. Jason tampak seperti biasa, dengan ekspresi datarnya yang tidak tertebak. Tidak kelihatan bahwa barusan dia telah menampilkan ekspresi sedih luar biasa yang membuat siapapun yang melihatnya merasakan kesedihan yang sama.
"Kenapa?" Jason mengangkat alisnya, menatap Rachel yang mengamatinya, membuat Rachel langsung mengalihkan matanya dengan gugup.
"Eh... tidak ada apa-apa." Mata Rachel beralih ke arah biola Jason, itu Paganini miliknya, yang diletakkan di atas meja.
Jason melihat arah pandangan Rachel dan tersenyum, "Aku meminta biola ini untuk diantarkan kemari." Matanya menatap Rachel dengan tajam, "Aku ingin memberikan biola itu kepadamu."
Wajah Rachel langsung pucat pasi. Kenapa Jason memberikan biola itu kepadanya? setahu Rachel, Jason sangat menyayangi biola ini, hadiah yang diperolehnya di sebuah negara karena pertunjukan biolanya yang luar biasa. Lelaki ini selalu menggunakan biola ini di setiap pertunjukan dan konsernya. Apakah... apakah Jason memberikan biola ini kepadanya... karena dia tidak bisa bermain biola lagi?
Jason rupanya mengamati ekspresi Rachel yang berubah-ubah, lalu terkekeh pelan. 
"Jangan berpikiran terlalu jauh Rachel, kau tampak kebingungan dan ekspresimu seperti buku yang terbuka. Aku memberikan biola itu karena kau akan menjadi murid spesialku. Selama aku menyembuhkan diri, aku akan menggunakan waktuku untuk mengajarimu. Karena itu aku ingin memberikan kepadamu biola yang terbaik. Nanti setelah kemampuanku pulih, aku bisa menggunakan Stradivarius milikku, warisan dari ayahku."
Jason mengatakan hal itu dengan tenang, seolah-olah ada keyakinan di dalam dirinya bahwa dia  bisa pulih seperti biasa, dan Rachel menggenggam keyakinan itu kuat-kuat, berharap bahwa hal itu benar adanya.
*** 
"Ini kamarmu." Jason membukakan sebuah pintu yang berada di sebelah kamarnya, mereka berada di rumah besar keluarga Jason. Mama dan Papa Jason tinggal di sini. Keyna dan Davin tinggal di kediaman mereka sendiri tentu saja, meskipun Keyna mengatakan bahwa dia akan sering berkunjung selama Jason dalam proses pemulihan.
Rachel memandang kamar itu dan tersenyum kepada Jason, 
"Kamar yang indah, terimakasih Jason."
Jason hanya tersenyum lembut, lalu membuka pintu kamar itu semakin lebar, dan masuk ke dalam mendahului Rachel,
"Ayo masuklah, kamar ini biasanya digunakan untuk tamu mama, sudah dibersihkan karena akan kau tinggali." Jason melangkah ke jendela besar di ujung kamar yang menghadap ke arah taman, dan membuka jendela itu, membiarkan udara segar dan secercah sinar matahari masuk. "Kenapa tidak kau mainkan biolamu untukku sekarang?"
Lelaki itu berdiri di depan jendela, membelakangi cahaya matahari yang melingkupinya, begitu tampan dalam setengah siluetnya bagaikan seorang pangeran dari negeri antah berantah yang muncul entah dari mana. Dan beberapa saat Rachel terpana, terpesona akan kesempurnaan fisik lelaki di depannya.
"Rachel? Mainkanlah biolamu untukku." Ekspresi Jason sedikit mencari, tiba-tiba saja Rachel bisa melihat kilat kepedihan di sana, "Aku sudah lama tidak mendengar permainan biola yang indah sejak aku sakit, aku ingin mendengarkannya."
Jantung Rachel serasa diremas. Permainan biola yang indah itu tentu saja bisa didengarkan dari permainan Jason sendiri seandainya saja tangannya tidak sakit, tetapi karena Rachel, Jason tidak bisa bermain bola lagi.
Rachel meletakkan wadah biola Paganini dari Jason dengan hati-hati di atas meja, membukanya dan menelusuri permukaan biola berumur ratusan tahun itu dengan penuh rasa kagum. Ini kali kedua Rachel akan memainkan biola itu setelah dulu Jason pernah meminjaminya dalam pertunjukan bersama mereka dulu. Dan dia masih terkagum-kagum dengan keunikan dan keindahan biola Paganini yang begitu kontras antara nada tinggi dan nada rendahnya itu.
Dia masih tidak percaya bahwa Jason memberikan biola ini kepadanya untuk dia miliki.....
Jason meraih sebuah kursi, duduk dan menatap Rachel dengan serius.
"Mainkankah untukku."
Rachel menurut, mengambil biola itu dengan hati-hati, meletakkannya di pundak kirinya, dan mulai menggesek senar unik bawaan biola Paganini itu.
Nada indah langsung mengalun lembut memenuhi ruangan kamar itu. Carmen Fantasy by Pablo de Sarasate, adalah salah satu permainan biola yang menjadi musik tema untuk Opera berjudul Carmen yang sangat terkenal dan sering dimainkan di berbagai opera internasional. Rachel memainkan nada dengan pelan pada mulanya, lalu semakin bersemangat ke depannya, permainan biolanya mewakilkan sosok Carmen, perempuan gipsy cantik yang rapuh sekaligus kuat. Kisah seorang perempuan yang berada di antara dua pilihan, dua lelaki yang menjadi cinta sejatinya, cinta segitiga di antara Carmen dengan seorang perwira tampan dan sang matador yang notabene adalah lelaki biasa. Musik yang dimainkan Rachel meledak-ledak memenuhi ruangan, menggambarkan seorang perempuan yang panas dan kuat, mampu mengangkat dagunya menghadapi kekuasaan dunia yang didominasi oleh para lelaki. Dan tetap mengangkat kepalanya dalam kebanggaan meskipun kisah cintanya pada akhirnya berakhir tragis, dengan kematiannya di ujung pisau oleh karena kecemburuan lelaki yang tidak dipilihnya.
Rachel melupakan keberadaan Jason yang mengamatinya di sana, dia membayangkan padang rumput yang luas, diaman seorang perempuan cantik berpakaian gipsy yang khas dengan rok lebarnya yang berwarna cerah, dengan rambut panjang bergelombang yang terurai dan tubuh indah yang tegak,  melompat dengan lincah, bertelanjang kaki dan mengikuti musik, bebas merdeka membawa kebanggaannya sebagai perempuan dan tak mau takluk di kaki laki-laki manapun.
Ketika dia mengakhiri permainan biolanya dengan akhir yang indah, Rachel membuka matanya, napasnya terengah ketika dia menurunkan biola itu dari pundaknya, ditatapnya Jason dan menyadari bahwa lelaki itu juga memejamkan matanya.
Ketika Jason membuka matanya, tatapan matanya tampak tajam.
"Aku tidak pernah mendengarkan musik Carmen diamainkan dengan itepretasi seberani dan seindah itu. Suaranya serak, penuh perasaan.
Pipi Rachel bersemu merah mendengarkan pujian itu. Pujian dari seorang mastro seperti Jason tentu saja amat sangat berarti.
Tiba-tiba saja Jason berdiri, dan kemudian dengan gerakan secepat kilat, lelaki itu memeluk Rachel erat-erat.
Rachel benar-benar terkejut, dia berusaha meronta, tetapi pelukan Jason begitu erat seolah-olah ingin meremukkan tubuhnya yang mungil. Pada akhirnya, Rachel menyadari bahwa Jason gemetar.
Lelaki itu membungkukkan tubuhnya, menenggelamkan kepalanya di pundak Rachel.
"Aku takut." Getaran di suara Jason semakin dalam seiring dengan pelukannya yang semakin erat. Jason benar-benar menenggelamkan tubuh Rachel ke dalam lingkaran lengannya, menekankan tubuh mungil Rachel seakan ingin menyerap kekuatannya. Lelaki itu menghela  napas panjang seolah sesak napas, lalu bergumam.  "Aku takut tidak akan bisa bermain biola lagi."

Bersambung ke Part 16
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 20, 2013 22:21

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.