Santhy Agatha's Blog, page 3
July 20, 2013
Postingan Ulang ketiga kalinya : The Vague Temptation Part 9
PS : Diposting ulang untuk ketiga kalinya karena masih ada beberapa yang tidak bisa membuka file ini. Seluruh gambar visualisasi dihapus karena dugaan yang bikin ga bisa dibuka adalah kapasitas gambarnya yang terlalu besar :D
PS : Banyak sekali pesan yang masuk karena readers kebanyakan ga bisa buka postingan TVT part 9 kemarin, jadi diposting ulang di sini ya. Mungkin dikarenakan waktu itu pas aku posting TVT beberaapa menit kemudian ada blok otomatis dari google dikarenakan ada prediksi hacker yg mencoba masuk ke blog-ku. Mungkin terpengaruh kali ya ( ga ngerti hihihihi)Tadi sudah aku utak-atik, tapi nggak nemu permasalahannya, jadi sebagai jalan keluarnya, aku postingkan ulang ya untuk The Vague Temptation Part 9 nya. Semoga yang ini bisa dibuka yaa.
Wajah Alexa merah padam mendengar kalimat yang diungkapkan dengan tanpa basa-basi itu.
Astaga, membayangkan lelaki sedingin ini mengejarnya dengan kekuatan penuh terasa menakutkan untuknya..... dan kemudian secara reflek Alexa langsung mundur satu langkah menjauh dari Daniel.
Daniel sendiri tersenyum melihat reaksi Alexa, lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Alexa dengan tajam,
"Takut padaku, eh?"
Alexa hanya menelan ludahnya, tidak berani menjawab, suaranya seakan hilang tak berbekas.
Dan kemudian, tanpa diduga, Daniel melangkah maju, membuat Alexa membeku tak sempat menjauh. Lelaki itu berdiri tepat di depan Alexa, begitu tinggi membuat Alexa harus mendongakkan kepalanya untuk menatap ekspresi Daniel yang dingin dan tak terbaca. Lalu Daniel mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah wajah Alexa....
Kembali secara refleks, Alexa memejamkan matanya sambil mengernyitkan kening, takut akan apa yang akan dilakukan Daniel kepadanya.
Tak diduganya, Daniel hanya menyentuhkan ujung jemarinya ke pipi Alexa dengan sentuhan lembut seringan bulu.
"Jangan pernah berpikir untuk mempertimbangkan Nathan sebagai pilihanmu." suaranya berbisik, penuh ancaman tetapi diucapkan secara tersirat. Lalu lelaki itu melangkah melewati Alexa yang masih membeku dan tak berani bergerak oleh sentuhan Daniel.
Sampai langkah-langkah Daniel menghilang dari ujung lorong, barulah Alexa berani menoleh, menatap ke arah lorong yang kini kosong.
Jemarinya menangkup pipinya sendiri, bekas sentuhan Daniel, dan entah kenapa, pipinya terasa amat panas.
***
Nathan mengamati kejadian itu dari jendela kaca tersembunyi di ruangan tempatnya berdiri, ruang kepala bagian personalia. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di sini untuk menunggu sang kepala personalia yang notabene adalah orang kepercayaannya. Ruangan ini memiliki jendela satu sisi yang besar dan tembus ke luar dari dalam, tetapi orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Dia tadi melihat Daniel menunggu di depan lift dan melihat Alexa datang, kemudian Nathan memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.
Daniel seperti biasa, selain memanfaatkan uangnya, lelaki itu memanfaatkan pesona dinginnya yang kasar untuk merayu perempuan.
Ah ya, Daniel seorang playboy sebelum keputusan pertunangan ini diumumkan. Lelaki itu memiliki beberapa kekasih yang dicampakkan sesuka hati, kebanyakan perempuan-perempuan cantik yang berasal dari kalangan atas, berasal dari keluarga kaya yang sederajat dengan keluarga Simon.
Hanya setelah masalah persaingan pertunangan ini, Daniel sepertinya meninggalkan pacar-pacarnya dan memilih berdiam dirumah Albert Simon. Lelaki itu benar-benar serius ingin memenangkan Alexa, dan meninggalkan kehidupan glamornya yang penuh dihiasi dengan wanita-wanita cantik.
Daniel berbeda dengan Nathan, Nathan tidak bisa bersikap dingin, tetapi meskipun begitu dia cukup terkenal di kalangan lawan-lawan bisnisnya dan cukup ditakuti, karena kadang di balik senyuman manisnya, dia bisa mengambil keputusan strategis perusahaan dengan kejam. Dan juga Nathan terlalu sibuk membangun bisnisnya sehingga tidak sempat bermain-main dengan wanita. Hanya demi Alexa, Nathan berusaha ekstra memberikan sejuta pesonanya untuk membuat Alexa takluk.kepadanya
Kalau Daniel serupa harimau yang tampak garang di luarnya dan menggertak dari luar, Nathan lebih mirip burung elang yang cantik tetapi diam-diam mengintai untuk membunuh.
Hanya saja tidak diduganya Daniel benar-benar berusaha mengalahkannya. Nathan sendiri terkejut ketika Albert Simon tadi pagi memanggilnya dan mengatakan bahwa Daniel akan memimpin perusahaan ini bersamanya. Padahal kemarin dia sudah maju satu langkah ketika Albert Simon memilihnya menjadi presiden direktur perusahaan ini, cabang perusahaan yang diincarnya karena Alexa berkerja di dalamnya. Tetapi sepertinya semalam Daniel berhasil membujuk Albert Simon, dengan alasan dia menginginkan atas waktu yang sama yang bisa dihabiskannya bersama Alexa, seperti halnya Nathan ketika bekerja.
Nathan mengernyit penuh kemarahan, tidak puaskah Daniel menjadi presiden direktur di perusahaan-perusahaan lain milik Albert Simon sehingga sekarang masih mengganggu posisinya di perusahaan ini?
Mata Nathan menajam melihat Alexa masih terpaku dengan jemari memegang pipinya yang bekas sentuhan Daniel.
Gawat.
Daniel sepertinya sudah berhasil menanamkan pesonanya di balik sikap dingin dan kasarnya. Lelaki-lelaki seperti itu memang menarik bagi perempuan....
Dan Nathan harus berbuat sesuatu sebelum dia dikalahkan dengan mudah. Nathan tidak boleh kalah, dan untunglah, untuk saat-saat seperti ini dia memiliki kartu truf bagus yang bisa membawanya ke dalam kemenangan.
Dia mengeluarkan amplop dari saku jasnya, hasil penyelidikannya dari detektif swasta atas Daniel, terutama di kisah asmaranya. Ada informasi terpenting di sana, mengenai kekasih Daniel yang terakhir, seorang perempuan dari kalangan atas, sempurna di segala hal dan sekarang merintis kariernya di bidang hukum. Perempuan itu adalah kekasih Daniel yang paling serius dan paling lama. Bahkan bulan-bulan terakhir ini santer berhembuskabar bahwa Daniel akan segera menikahi kekasihnya itu.
Tapi kemudian, hubungan mereka kandas tanpa sebab, gosip mengenai penyebab putusnya hubungan mereka itu beredar dalam berbagai versi tetapi tidak ada yang tahu asal muasalnya. Yang jelas, Daniel-lah yang meninggalkan kekasihnya itu tiba-tiba.
Ya.... sebuah senyum tipis muncul di bibir Nathan. Mungkin kebanyakan orang tidak tahu apa alasannya Daniel meninggalkan kekasihnya, tetapi Nathan tahu bahwa Daniel melakukannya demi mendapatkan Alexa.
Nathan bisa memanfaatkan kekasih yang patah hati itu demi mencapai tujuannya. Biasanya wanita-wanita yang patah hati lebih penuh dendam dan mudah dimanipulasi.
Kemudian dia menekan nomor kontak mantan kekasih Daniel itu.
***
Malam sudah beranjak semakin gelap ketika Alexa pulang ke mansion dengan memakai kendaraan umum. Albert Simon memang menyiapkan supir untuknya tetapi tentu saja Alexa tidak bisa menggunakannya bukan? Bisa-bisa gosip akan tersebar luas kalau salah satu karyawan rekan kerjanya melihatnya turun dari salah satu mobil besar milik Albert Simon.
Lagipula dia sudah terbiasa naik kendaraan umum, dan bahkan mansion ini lebih dekat ke kantornya daripada rumah mungilnya yang dulu, sehingga perjalanan yang ditempuh oleh Alexa lebih pendek dan mengurangi kelelahannya.
Dia melangkahkan kaki pelan-pelan memasuki tangga mansion yang megah itu, semuanya dari lantai tangga sampai pilar-pilarnya, dibuat dari marmer berwarna putih yang licin dan berkilauan. Alexa masih merasa tidak nyaman pulang ke rumah ini... rumah ini meskipun besar dan indah terasa asing dan memantulkan kesepian yang dalam.
Dia membuka pintu dan mendapati lobby mansion yang sepi.
Sepertinya Nathan dan Daniel belum pulang. Suasana tampak lengang, hanya beberapa pelayan yang lalu lalang sambil mengangguk menyapanya ketika melihat Alexa.
Mungkin Albert Simon juga sedang tidak ada di rumah....
Lambat-lambat telinga Alexa mendengarkan suara piano yang dimainkan dengan indahnya.
Siapa yang bermain piano? Apakah Albert Simon?
Dengan ingin tahu, Alexa menelusuri lorong di bawah tangga, menuju ke sebuah ruangan besar berdinding kaca yang memantulkan pemandangan malam dan juga berkubah kaca bening di bagian atas, sehingga langit malam yang berbintang tampak bagaikan lukisan alami yang menghiasi ruangan.
Lampu ruangan dinyalakan redup, dan ternyata yang sedang memainkan piano bukanlah Albert Simon, melainkan.... Daniel.
Ya. Daniel-lah yang memainkan piano dengan indahnya, lelaki itu duduk tegak dengan postur tubuh yang begitu bagus. Jemari rampingnya menekan tuts-tuts piano dan ekspresinya tampak lembut dan sedih ketika memainkan setiap nadanya.
Alexa tidak mengenali lagu apa yang dimainkan oleh Daniel, tetapi yang dia tahu, lagu itu sarat akan kepedihan, dan tiba-tiba saja membuat matanya panas dan dadanya terasa sesak. Astaga, tidak disangkanya, di balik sikap dingin dan kasarnya, Daniel mampu memainkan nada sedih ini dengan indahnya, dengan lembut dan penuh perasaan.....
Alexa menghela napas untuk meredakan kesesakan dadanya, dan ternyata hal itu membuat Daniel menoleh dan menghentikan permainannya. Langsung menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang tajam, membuat Alexa berdiri di sana dengan gugup dan salah tingkah.
"Maafkan aku..." suara Alexa tercekat, "Aku mendengar suara piano dan..."
Daniel mengangkat alisnya, "Tidak apa-apa." Selanya cepat, "Kau baru pulang kerja?"
"Ya." Alexa menoleh ke belakang, merasa ingin melarikan diri, "Permisi, sekali lagi maaf karena aku mengganggu."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Masuklah kemari, Alexa, aku ingin bicara." Daniel menyela sekali lagi, kali ini nada suaranya tegas dan tak terbantahkan, membuat langkah Alexa yang sudah hendak terbalik menjadi terpaku.
***
Nathan menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet parkir di lobby hotel dan restoran mewah itu. Dia tersenyum mantap penuh antisipasi ketika memasuki area restoran. Petugas reservasi tentu saja sudah mengenalnya dan langsung mengantarkannya menuju tempat duduknya.
Nathan lalu duduk dan menunggu. Kartu trufnya akan segera datang....
Dan memang benar Nathan tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan cantik, dengan penampilan tegas dan kuat -berbeda dengan perempuan yang merupakan anak orang kaya lainnya yang dikenal Nathan- memasuki ruangan. Perempuan itu mengenakan setelan hitam yang membungkus tubuhnya dengan seksi tampak pas membalut tubuh rampingnya yang berlekuk sempurna di tempat-tempat yang memang seharusnya berlekuk. Kakinya panjang dan tinggi seperti model, peenampilannya berkelas dengan wajah mungil tegas yang berkarakter. Keseluruhan penampilannya memunulkan citra perempuan kelas atas.
Perempuan itu langsung mendatangi Nathan dengan tatapan lurus yang mengintimidasi. Hanya terdiam hingga membuat Nathan pada akhirnya menyapa duluan,
"Senang sekali akhirnya kau mau menemuiku." Nathan menyapa, memasang senyum ramahnya.
"Tidak usah memakai basa-basi." Perempuan itu menyela, tidak mempedulikan senyum ramah Nathan, bahkan dia masih berdiri dengan menantang di depan Nathan. "Apa rencanamu sehingga repot-repot mengatur pertemuan ini?." Ya, Perempuan di depannya ini tentu saja sudah mendengar gosip yang beredar tentang Nathan, cucu keluarga Simon yang memasuki keluarga Simon dan menimbulkan kehebohan di sana.
Nathan mengangkat alisnya. Perempuan ini ternyata tidak bisa diremehkan. Mungkin karena karirnya di bidang hukum membentuknya menjadi perempuan yang kuat. Pantas saja Daniel betah berpacaran lama dengannya dan berniat menikahinya. Perempuan yang ada di depannya ini sudah jelas-jelas memiliki kualitas lebih, dan tidak lembek membosankan sehingga mudah disetir lelaki.
Nathan harus mengubah strateginya dalam menghadapi perempuan ini. Dia tidak akan bersikap dominan, tetapi bersikap bersahabat dan bertindak lebih seperti rekan serta membuat perempuan ini merasa dihargai.
"Duduklah dulu Renata." Nathan mengedikkan dagunya ke arah bangku di depannya, "Mungkin kita bisa membicarakan ini dengan lebih baik."
Renata mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan waspada. Tetapi kemudian dia menyadari kebenaran kata-kata Nathan dan duduk di depan lelaki itu.
"Well? Mulailah menjelaskan." tanyanya cepat, menunggu Nathan berbicara.
***
"Berbicara tentang apa?" Pada akhirnya Daniel berhasil menghela Alexa supaya duduk di sofa di seberangnya. Alexa memang menuruti Daniel, tetapi sekarang dia duduk kaku di ujung sofa, kedua tangannya teremas di pangkuannya, dan dia menatap Daniel dengan gugup.
Berdua dengan Daniel memang menegangkan. Tetapi berdua dengan Daniel di ruangan yang berhiaskan lagit malam berbintang dan hanya berdua saja tentu terasa lebih menangangkan.
Daniel sendiri tampaknya tidak mempedulikan kegugupan Alexa, lelaki itu menuangkan sepoci teh yang ternyata sudah di sediakan di meja didepan mereka, dan menyodorkan cangkirnya kepada Alexa yang duduk di seberangnya.
"Minumlah, kau pasti lelah setelah perjalananmu." gumam Daniel tegas hingga mau tak mau Alexa menerima cangkir itu dan menyesap teh yang harum itu.
Daniel mengamati Alexa hingga Alexa meletakkan cangkirnya. "Kau naik kendaraan umum?" Daniel tidak menunggu sampai Alexa menjawab, "Kenapa kau tidak memanfaatkan kendaraan yang disediakan kakek untukmu?"
"Kau tahu kenapa." Alexa cepat-cepat menjawab, berharap Daniel menyadari bahwa dia ingin merahasiakan seluruh hubungannya dengan keluarga Albert Simon ketika mereka sedang berada di tempat kerja.
Daniel menghela napas, "Yah, aku tahu. Kakek memanggilku dan mengatakan bahwa selama tiga bulan ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang seluruh rencana kita." Mata Daniel mengernyit, "Setidaknya kali ini aku bisa setuju dengan kakek. Gosip yang menyebar bisa menghancurkan orang-orang. Kau tahu seperti gosip kedatangan Nathan yang menyebar sedemikian cepat di kalangan keluarga, teman-teman dan kolega kami, membuat mamaku dan aku harus berjalan sambil membungkukkan tubuh dan berusaha menutupi wajah, menahankan rasa malu."
Alexa bisa melihat kesakitan di sana, kesakitan dan kepedihan yang sinis. Sepertinya di balik sikap keras lelaki itu, Daniel memendam luka emosional yang dalam.
Alexa mengamati ketika Daniel menuang teh untuk dirinya sendiri dan menyesapnya dengan elegan. Seorang pria tampan yang menuang teh dari poci bercorak bunga kemudian menyesap dari cangkir dengan corak bunga yang sama mungkin akan terlihat menggelikan, tetapi tidak begitu halnya dengan Daniel, lelaki itu malah tampak semakin jantan ketika melakukannya.
Pipi Alexa memerah, kenapa dia memikirkan tentang 'jantan' nya Daniel?
Daniel sendiri tampak tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu menatap ke sekeliling ruangan yang luas itu. Sofa tempat mereka duduk berada di pojok ruangan, di sudut area terkecil ruangan, selebihnya ruangan itu didominasi oleh lantai marmer yang indah berwarna putih yang melingkupi seluruh ruangan yang lapang dan kosong. Sebuah piano besar yang dimainkan oleh Daniel tadi, terletak di ujung satunya lagi, tampak cocok berada di sana sebagai ornamen penting.
"Kau tahu ini ruangan apa?" Daniel tiba-tiba bertanya, membuat Alexa yang tadinya mengamati Daniel terlonjak, merasa malu dan mengalihkan tatapannya.
Alexa mengikuti tatapan Daniel ke sekeliling ruangan, menatap kubah kaca yang memantulkan langit malam dan membangun suasana romantis di sana....
"Ini ruangan dansa." Daniel bergumam lagi, tidak menunggu jawaban Alexa. "Kakekku dulu sering mengadakan pesta dansa di sini. Para tamu akan berdansa di bawah taburan bintang yang menembus langit-langit kaca itu diirngi musik klasik yang dimainkan sang pianist dengan grand piano tua milik Kakek.."
Tiba-tiba saja Daniel berdiri, dan melangkah menuju ke arah alat stereo yang ada di dinding dekat sofa, dan menyalakannya, ketika dia selesai, alunan musik lembut mengalun memenuhi ruangan.
"Mamaku selalu bilang, bahwa kita tidak akan bisa mengenali seseorang sebelum kita berdansa dengan orang itu." Ada senyum di bibirnya yang kaku ketika menatap Alexa.
Kemudian tanpa di duga Daniel membungkuk formal dan mengulurkan sebelah tangannya kepada Alexa,
"Maukah kau lebih mengenalku, Alexa? dengan berdansa denganku?"
***
"Dia memang meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan dua minggu sebelumnya kami sudah memilih cincin untuk bertunangan. Daniel memang tidak pernah melamarku secara langsung, tetapi dia memberikan isyarat ke arah itu dengan setuju untuk memilih cincin bersamaku." Mata Renata menajam. "Dan kemudian dia meminta hubungan serius kami dihentikan tanpa bisa menjelaskan alasannya, dia pergi begitu saja....Membuatku kelabakan harus menjelaskan kepada keluargaku, kau tahu keluargaku dan keluarga Simon sebelumnya berhubungan baik dan hubungan itu sedikit retak karena langkah yang diambil Daniel."
Suara Renata sedikit bergetar mengungkapkan kepedihan yang dirasakannya, lalu dia menyambung "Aku menduga dia mungkin kehilangan cintanya kepadaku, kau tahu sebelum denganku dia juga menjalin cinta dengan beberapa gadis dan mencampakkannya ketika dia bosan. Orang bilang Daniel Simon tidak akan mampu melewati tiga bulan tanpa berganti kekasih... tetapi ketika dia menjalin hubungan denganku, sikapnya sungguh berbeda kepadaku, kami berhasil melalui tiga bulan tetap bersama tanpa masalah, bahkan hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya., hingga aku berani berharap lebih....Dan ketika dia meninggalkanku begitu saja, aku pikir dia sudah bosan kepadaku."
"Ternyata tidak." Nathan menyela dengan tenang. "Aku tidak berbohong kepadamu, Renata. Seluruh cerita yang kupaparkan tadi itu benar adanya. Daniel meninggalkanmu karena dia ingin memenangkan pertarungan melawanku, dia ingin mendapatkan Alexa. Tunangan kami berdua. Kau tahu, masa penentuannya adalah tiga bulan lagi. Siapapun yang dipilih Alexa menjadi suaminya akan menjadi cucu utama Albert Simon."
Mata Renata yang cerdas menyipit. "Jadi apa rencanamu, Nathan?"
"Aku ingin kau membuat Alexa memilihku. Kaulah satu-satunya yang bisa menyadarkan Alexa bahwa Daniel mendekatinya tanpa hati." Matanya menatap Renata dengan redup, "Hatinya ada padamu, Renata. Apakah kau tega membiarkan Daniel terikat dengan perempuan yang tidak dicintainya selamanya.... hanya karena kedudukan di keluarga Simon? Ingat, kalau Alexa memilih Daniel, tidak perlu menunggu waktu lama, paling lama tiga sampai empat bulan, Danielmu sudah harus menikahi Alexa. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan Daniel."
Renata mencibir dan menatap Nathan, "Aku pikir kau tidak mungkin memikirkan keselamatan Daniel, kau sedang memikirkan kepentinganmu sendiri Nathan. Kau mengincar posisi itu bukan? Kau ingin Daniel kalah hingga kau bisa menguasai seluruh warisan Albert Simon dan mendepak Daniel serta mamanya dari keluarga itu. Bagaimana aku bisa mempercayai dan bekerja sama denganmu padahal sudah jelas-jelas kau berniat jahat kepada Daniel ?"
Nathan bersedekap santai di kursinya, tidak membantah kata-kata Renata.
"Aku tidak emmbantah, Renata. Aku memang mempunyai kepentingan pribadi dalam hal ini dan aku membutuhkan bantuanmu. Kalau hal ini bisa membuatmu merasa tenang, aku berjanji tidak akan melukai Daniel. Dia akan mendapatkan bagian hartanya, meskipun dia harus menerima menjadi posisi nomor dua di bawahku." Tatapan Nathan berubah tajam, "Setidaknya kau bisa mendapatkan kekasihmu kembali, dan menyelamatkan Daniel dari menikahi perempuan yang tidak dicintainya."
Nathan menatap Renata yang tampak ragu dengan penuh perhitungan, "Bagaimana Renata? apakah kau setuju bekerjasama denganku? Aku memperoleh keuntungan dan kau juga, tidak ada yang dirugikan dalam kerjasama ini, tidak Daniel, tidak pula Alexa yang menjadi tunangan kami berdua."
Suaranya begitu meuakinkan, mencoba menembus keraguan di benak Renata....
Bersambung ke Part 10
PS : Banyak sekali pesan yang masuk karena readers kebanyakan ga bisa buka postingan TVT part 9 kemarin, jadi diposting ulang di sini ya. Mungkin dikarenakan waktu itu pas aku posting TVT beberaapa menit kemudian ada blok otomatis dari google dikarenakan ada prediksi hacker yg mencoba masuk ke blog-ku. Mungkin terpengaruh kali ya ( ga ngerti hihihihi)Tadi sudah aku utak-atik, tapi nggak nemu permasalahannya, jadi sebagai jalan keluarnya, aku postingkan ulang ya untuk The Vague Temptation Part 9 nya. Semoga yang ini bisa dibuka yaa.

Wajah Alexa merah padam mendengar kalimat yang diungkapkan dengan tanpa basa-basi itu.
Astaga, membayangkan lelaki sedingin ini mengejarnya dengan kekuatan penuh terasa menakutkan untuknya..... dan kemudian secara reflek Alexa langsung mundur satu langkah menjauh dari Daniel.
Daniel sendiri tersenyum melihat reaksi Alexa, lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Alexa dengan tajam,
"Takut padaku, eh?"
Alexa hanya menelan ludahnya, tidak berani menjawab, suaranya seakan hilang tak berbekas.
Dan kemudian, tanpa diduga, Daniel melangkah maju, membuat Alexa membeku tak sempat menjauh. Lelaki itu berdiri tepat di depan Alexa, begitu tinggi membuat Alexa harus mendongakkan kepalanya untuk menatap ekspresi Daniel yang dingin dan tak terbaca. Lalu Daniel mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah wajah Alexa....
Kembali secara refleks, Alexa memejamkan matanya sambil mengernyitkan kening, takut akan apa yang akan dilakukan Daniel kepadanya.
Tak diduganya, Daniel hanya menyentuhkan ujung jemarinya ke pipi Alexa dengan sentuhan lembut seringan bulu.
"Jangan pernah berpikir untuk mempertimbangkan Nathan sebagai pilihanmu." suaranya berbisik, penuh ancaman tetapi diucapkan secara tersirat. Lalu lelaki itu melangkah melewati Alexa yang masih membeku dan tak berani bergerak oleh sentuhan Daniel.
Sampai langkah-langkah Daniel menghilang dari ujung lorong, barulah Alexa berani menoleh, menatap ke arah lorong yang kini kosong.
Jemarinya menangkup pipinya sendiri, bekas sentuhan Daniel, dan entah kenapa, pipinya terasa amat panas.
***
Nathan mengamati kejadian itu dari jendela kaca tersembunyi di ruangan tempatnya berdiri, ruang kepala bagian personalia. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di sini untuk menunggu sang kepala personalia yang notabene adalah orang kepercayaannya. Ruangan ini memiliki jendela satu sisi yang besar dan tembus ke luar dari dalam, tetapi orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Dia tadi melihat Daniel menunggu di depan lift dan melihat Alexa datang, kemudian Nathan memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.
Daniel seperti biasa, selain memanfaatkan uangnya, lelaki itu memanfaatkan pesona dinginnya yang kasar untuk merayu perempuan.
Ah ya, Daniel seorang playboy sebelum keputusan pertunangan ini diumumkan. Lelaki itu memiliki beberapa kekasih yang dicampakkan sesuka hati, kebanyakan perempuan-perempuan cantik yang berasal dari kalangan atas, berasal dari keluarga kaya yang sederajat dengan keluarga Simon.
Hanya setelah masalah persaingan pertunangan ini, Daniel sepertinya meninggalkan pacar-pacarnya dan memilih berdiam dirumah Albert Simon. Lelaki itu benar-benar serius ingin memenangkan Alexa, dan meninggalkan kehidupan glamornya yang penuh dihiasi dengan wanita-wanita cantik.
Daniel berbeda dengan Nathan, Nathan tidak bisa bersikap dingin, tetapi meskipun begitu dia cukup terkenal di kalangan lawan-lawan bisnisnya dan cukup ditakuti, karena kadang di balik senyuman manisnya, dia bisa mengambil keputusan strategis perusahaan dengan kejam. Dan juga Nathan terlalu sibuk membangun bisnisnya sehingga tidak sempat bermain-main dengan wanita. Hanya demi Alexa, Nathan berusaha ekstra memberikan sejuta pesonanya untuk membuat Alexa takluk.kepadanya
Kalau Daniel serupa harimau yang tampak garang di luarnya dan menggertak dari luar, Nathan lebih mirip burung elang yang cantik tetapi diam-diam mengintai untuk membunuh.
Hanya saja tidak diduganya Daniel benar-benar berusaha mengalahkannya. Nathan sendiri terkejut ketika Albert Simon tadi pagi memanggilnya dan mengatakan bahwa Daniel akan memimpin perusahaan ini bersamanya. Padahal kemarin dia sudah maju satu langkah ketika Albert Simon memilihnya menjadi presiden direktur perusahaan ini, cabang perusahaan yang diincarnya karena Alexa berkerja di dalamnya. Tetapi sepertinya semalam Daniel berhasil membujuk Albert Simon, dengan alasan dia menginginkan atas waktu yang sama yang bisa dihabiskannya bersama Alexa, seperti halnya Nathan ketika bekerja.
Nathan mengernyit penuh kemarahan, tidak puaskah Daniel menjadi presiden direktur di perusahaan-perusahaan lain milik Albert Simon sehingga sekarang masih mengganggu posisinya di perusahaan ini?
Mata Nathan menajam melihat Alexa masih terpaku dengan jemari memegang pipinya yang bekas sentuhan Daniel.
Gawat.
Daniel sepertinya sudah berhasil menanamkan pesonanya di balik sikap dingin dan kasarnya. Lelaki-lelaki seperti itu memang menarik bagi perempuan....
Dan Nathan harus berbuat sesuatu sebelum dia dikalahkan dengan mudah. Nathan tidak boleh kalah, dan untunglah, untuk saat-saat seperti ini dia memiliki kartu truf bagus yang bisa membawanya ke dalam kemenangan.
Dia mengeluarkan amplop dari saku jasnya, hasil penyelidikannya dari detektif swasta atas Daniel, terutama di kisah asmaranya. Ada informasi terpenting di sana, mengenai kekasih Daniel yang terakhir, seorang perempuan dari kalangan atas, sempurna di segala hal dan sekarang merintis kariernya di bidang hukum. Perempuan itu adalah kekasih Daniel yang paling serius dan paling lama. Bahkan bulan-bulan terakhir ini santer berhembuskabar bahwa Daniel akan segera menikahi kekasihnya itu.
Tapi kemudian, hubungan mereka kandas tanpa sebab, gosip mengenai penyebab putusnya hubungan mereka itu beredar dalam berbagai versi tetapi tidak ada yang tahu asal muasalnya. Yang jelas, Daniel-lah yang meninggalkan kekasihnya itu tiba-tiba.
Ya.... sebuah senyum tipis muncul di bibir Nathan. Mungkin kebanyakan orang tidak tahu apa alasannya Daniel meninggalkan kekasihnya, tetapi Nathan tahu bahwa Daniel melakukannya demi mendapatkan Alexa.
Nathan bisa memanfaatkan kekasih yang patah hati itu demi mencapai tujuannya. Biasanya wanita-wanita yang patah hati lebih penuh dendam dan mudah dimanipulasi.
Kemudian dia menekan nomor kontak mantan kekasih Daniel itu.
***
Malam sudah beranjak semakin gelap ketika Alexa pulang ke mansion dengan memakai kendaraan umum. Albert Simon memang menyiapkan supir untuknya tetapi tentu saja Alexa tidak bisa menggunakannya bukan? Bisa-bisa gosip akan tersebar luas kalau salah satu karyawan rekan kerjanya melihatnya turun dari salah satu mobil besar milik Albert Simon.
Lagipula dia sudah terbiasa naik kendaraan umum, dan bahkan mansion ini lebih dekat ke kantornya daripada rumah mungilnya yang dulu, sehingga perjalanan yang ditempuh oleh Alexa lebih pendek dan mengurangi kelelahannya.
Dia melangkahkan kaki pelan-pelan memasuki tangga mansion yang megah itu, semuanya dari lantai tangga sampai pilar-pilarnya, dibuat dari marmer berwarna putih yang licin dan berkilauan. Alexa masih merasa tidak nyaman pulang ke rumah ini... rumah ini meskipun besar dan indah terasa asing dan memantulkan kesepian yang dalam.
Dia membuka pintu dan mendapati lobby mansion yang sepi.
Sepertinya Nathan dan Daniel belum pulang. Suasana tampak lengang, hanya beberapa pelayan yang lalu lalang sambil mengangguk menyapanya ketika melihat Alexa.
Mungkin Albert Simon juga sedang tidak ada di rumah....
Lambat-lambat telinga Alexa mendengarkan suara piano yang dimainkan dengan indahnya.
Siapa yang bermain piano? Apakah Albert Simon?
Dengan ingin tahu, Alexa menelusuri lorong di bawah tangga, menuju ke sebuah ruangan besar berdinding kaca yang memantulkan pemandangan malam dan juga berkubah kaca bening di bagian atas, sehingga langit malam yang berbintang tampak bagaikan lukisan alami yang menghiasi ruangan.
Lampu ruangan dinyalakan redup, dan ternyata yang sedang memainkan piano bukanlah Albert Simon, melainkan.... Daniel.
Ya. Daniel-lah yang memainkan piano dengan indahnya, lelaki itu duduk tegak dengan postur tubuh yang begitu bagus. Jemari rampingnya menekan tuts-tuts piano dan ekspresinya tampak lembut dan sedih ketika memainkan setiap nadanya.
Alexa tidak mengenali lagu apa yang dimainkan oleh Daniel, tetapi yang dia tahu, lagu itu sarat akan kepedihan, dan tiba-tiba saja membuat matanya panas dan dadanya terasa sesak. Astaga, tidak disangkanya, di balik sikap dingin dan kasarnya, Daniel mampu memainkan nada sedih ini dengan indahnya, dengan lembut dan penuh perasaan.....
Alexa menghela napas untuk meredakan kesesakan dadanya, dan ternyata hal itu membuat Daniel menoleh dan menghentikan permainannya. Langsung menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang tajam, membuat Alexa berdiri di sana dengan gugup dan salah tingkah.
"Maafkan aku..." suara Alexa tercekat, "Aku mendengar suara piano dan..."
Daniel mengangkat alisnya, "Tidak apa-apa." Selanya cepat, "Kau baru pulang kerja?"
"Ya." Alexa menoleh ke belakang, merasa ingin melarikan diri, "Permisi, sekali lagi maaf karena aku mengganggu."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Masuklah kemari, Alexa, aku ingin bicara." Daniel menyela sekali lagi, kali ini nada suaranya tegas dan tak terbantahkan, membuat langkah Alexa yang sudah hendak terbalik menjadi terpaku.
***
Nathan menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet parkir di lobby hotel dan restoran mewah itu. Dia tersenyum mantap penuh antisipasi ketika memasuki area restoran. Petugas reservasi tentu saja sudah mengenalnya dan langsung mengantarkannya menuju tempat duduknya.
Nathan lalu duduk dan menunggu. Kartu trufnya akan segera datang....
Dan memang benar Nathan tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan cantik, dengan penampilan tegas dan kuat -berbeda dengan perempuan yang merupakan anak orang kaya lainnya yang dikenal Nathan- memasuki ruangan. Perempuan itu mengenakan setelan hitam yang membungkus tubuhnya dengan seksi tampak pas membalut tubuh rampingnya yang berlekuk sempurna di tempat-tempat yang memang seharusnya berlekuk. Kakinya panjang dan tinggi seperti model, peenampilannya berkelas dengan wajah mungil tegas yang berkarakter. Keseluruhan penampilannya memunulkan citra perempuan kelas atas.
Perempuan itu langsung mendatangi Nathan dengan tatapan lurus yang mengintimidasi. Hanya terdiam hingga membuat Nathan pada akhirnya menyapa duluan,
"Senang sekali akhirnya kau mau menemuiku." Nathan menyapa, memasang senyum ramahnya.
"Tidak usah memakai basa-basi." Perempuan itu menyela, tidak mempedulikan senyum ramah Nathan, bahkan dia masih berdiri dengan menantang di depan Nathan. "Apa rencanamu sehingga repot-repot mengatur pertemuan ini?." Ya, Perempuan di depannya ini tentu saja sudah mendengar gosip yang beredar tentang Nathan, cucu keluarga Simon yang memasuki keluarga Simon dan menimbulkan kehebohan di sana.
Nathan mengangkat alisnya. Perempuan ini ternyata tidak bisa diremehkan. Mungkin karena karirnya di bidang hukum membentuknya menjadi perempuan yang kuat. Pantas saja Daniel betah berpacaran lama dengannya dan berniat menikahinya. Perempuan yang ada di depannya ini sudah jelas-jelas memiliki kualitas lebih, dan tidak lembek membosankan sehingga mudah disetir lelaki.
Nathan harus mengubah strateginya dalam menghadapi perempuan ini. Dia tidak akan bersikap dominan, tetapi bersikap bersahabat dan bertindak lebih seperti rekan serta membuat perempuan ini merasa dihargai.
"Duduklah dulu Renata." Nathan mengedikkan dagunya ke arah bangku di depannya, "Mungkin kita bisa membicarakan ini dengan lebih baik."
Renata mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan waspada. Tetapi kemudian dia menyadari kebenaran kata-kata Nathan dan duduk di depan lelaki itu.
"Well? Mulailah menjelaskan." tanyanya cepat, menunggu Nathan berbicara.
***
"Berbicara tentang apa?" Pada akhirnya Daniel berhasil menghela Alexa supaya duduk di sofa di seberangnya. Alexa memang menuruti Daniel, tetapi sekarang dia duduk kaku di ujung sofa, kedua tangannya teremas di pangkuannya, dan dia menatap Daniel dengan gugup.
Berdua dengan Daniel memang menegangkan. Tetapi berdua dengan Daniel di ruangan yang berhiaskan lagit malam berbintang dan hanya berdua saja tentu terasa lebih menangangkan.
Daniel sendiri tampaknya tidak mempedulikan kegugupan Alexa, lelaki itu menuangkan sepoci teh yang ternyata sudah di sediakan di meja didepan mereka, dan menyodorkan cangkirnya kepada Alexa yang duduk di seberangnya.
"Minumlah, kau pasti lelah setelah perjalananmu." gumam Daniel tegas hingga mau tak mau Alexa menerima cangkir itu dan menyesap teh yang harum itu.
Daniel mengamati Alexa hingga Alexa meletakkan cangkirnya. "Kau naik kendaraan umum?" Daniel tidak menunggu sampai Alexa menjawab, "Kenapa kau tidak memanfaatkan kendaraan yang disediakan kakek untukmu?"
"Kau tahu kenapa." Alexa cepat-cepat menjawab, berharap Daniel menyadari bahwa dia ingin merahasiakan seluruh hubungannya dengan keluarga Albert Simon ketika mereka sedang berada di tempat kerja.
Daniel menghela napas, "Yah, aku tahu. Kakek memanggilku dan mengatakan bahwa selama tiga bulan ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang seluruh rencana kita." Mata Daniel mengernyit, "Setidaknya kali ini aku bisa setuju dengan kakek. Gosip yang menyebar bisa menghancurkan orang-orang. Kau tahu seperti gosip kedatangan Nathan yang menyebar sedemikian cepat di kalangan keluarga, teman-teman dan kolega kami, membuat mamaku dan aku harus berjalan sambil membungkukkan tubuh dan berusaha menutupi wajah, menahankan rasa malu."
Alexa bisa melihat kesakitan di sana, kesakitan dan kepedihan yang sinis. Sepertinya di balik sikap keras lelaki itu, Daniel memendam luka emosional yang dalam.
Alexa mengamati ketika Daniel menuang teh untuk dirinya sendiri dan menyesapnya dengan elegan. Seorang pria tampan yang menuang teh dari poci bercorak bunga kemudian menyesap dari cangkir dengan corak bunga yang sama mungkin akan terlihat menggelikan, tetapi tidak begitu halnya dengan Daniel, lelaki itu malah tampak semakin jantan ketika melakukannya.
Pipi Alexa memerah, kenapa dia memikirkan tentang 'jantan' nya Daniel?
Daniel sendiri tampak tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu menatap ke sekeliling ruangan yang luas itu. Sofa tempat mereka duduk berada di pojok ruangan, di sudut area terkecil ruangan, selebihnya ruangan itu didominasi oleh lantai marmer yang indah berwarna putih yang melingkupi seluruh ruangan yang lapang dan kosong. Sebuah piano besar yang dimainkan oleh Daniel tadi, terletak di ujung satunya lagi, tampak cocok berada di sana sebagai ornamen penting.
"Kau tahu ini ruangan apa?" Daniel tiba-tiba bertanya, membuat Alexa yang tadinya mengamati Daniel terlonjak, merasa malu dan mengalihkan tatapannya.
Alexa mengikuti tatapan Daniel ke sekeliling ruangan, menatap kubah kaca yang memantulkan langit malam dan membangun suasana romantis di sana....
"Ini ruangan dansa." Daniel bergumam lagi, tidak menunggu jawaban Alexa. "Kakekku dulu sering mengadakan pesta dansa di sini. Para tamu akan berdansa di bawah taburan bintang yang menembus langit-langit kaca itu diirngi musik klasik yang dimainkan sang pianist dengan grand piano tua milik Kakek.."
Tiba-tiba saja Daniel berdiri, dan melangkah menuju ke arah alat stereo yang ada di dinding dekat sofa, dan menyalakannya, ketika dia selesai, alunan musik lembut mengalun memenuhi ruangan.
"Mamaku selalu bilang, bahwa kita tidak akan bisa mengenali seseorang sebelum kita berdansa dengan orang itu." Ada senyum di bibirnya yang kaku ketika menatap Alexa.
Kemudian tanpa di duga Daniel membungkuk formal dan mengulurkan sebelah tangannya kepada Alexa,
"Maukah kau lebih mengenalku, Alexa? dengan berdansa denganku?"
***
"Dia memang meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan dua minggu sebelumnya kami sudah memilih cincin untuk bertunangan. Daniel memang tidak pernah melamarku secara langsung, tetapi dia memberikan isyarat ke arah itu dengan setuju untuk memilih cincin bersamaku." Mata Renata menajam. "Dan kemudian dia meminta hubungan serius kami dihentikan tanpa bisa menjelaskan alasannya, dia pergi begitu saja....Membuatku kelabakan harus menjelaskan kepada keluargaku, kau tahu keluargaku dan keluarga Simon sebelumnya berhubungan baik dan hubungan itu sedikit retak karena langkah yang diambil Daniel."
Suara Renata sedikit bergetar mengungkapkan kepedihan yang dirasakannya, lalu dia menyambung "Aku menduga dia mungkin kehilangan cintanya kepadaku, kau tahu sebelum denganku dia juga menjalin cinta dengan beberapa gadis dan mencampakkannya ketika dia bosan. Orang bilang Daniel Simon tidak akan mampu melewati tiga bulan tanpa berganti kekasih... tetapi ketika dia menjalin hubungan denganku, sikapnya sungguh berbeda kepadaku, kami berhasil melalui tiga bulan tetap bersama tanpa masalah, bahkan hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya., hingga aku berani berharap lebih....Dan ketika dia meninggalkanku begitu saja, aku pikir dia sudah bosan kepadaku."
"Ternyata tidak." Nathan menyela dengan tenang. "Aku tidak berbohong kepadamu, Renata. Seluruh cerita yang kupaparkan tadi itu benar adanya. Daniel meninggalkanmu karena dia ingin memenangkan pertarungan melawanku, dia ingin mendapatkan Alexa. Tunangan kami berdua. Kau tahu, masa penentuannya adalah tiga bulan lagi. Siapapun yang dipilih Alexa menjadi suaminya akan menjadi cucu utama Albert Simon."
Mata Renata yang cerdas menyipit. "Jadi apa rencanamu, Nathan?"
"Aku ingin kau membuat Alexa memilihku. Kaulah satu-satunya yang bisa menyadarkan Alexa bahwa Daniel mendekatinya tanpa hati." Matanya menatap Renata dengan redup, "Hatinya ada padamu, Renata. Apakah kau tega membiarkan Daniel terikat dengan perempuan yang tidak dicintainya selamanya.... hanya karena kedudukan di keluarga Simon? Ingat, kalau Alexa memilih Daniel, tidak perlu menunggu waktu lama, paling lama tiga sampai empat bulan, Danielmu sudah harus menikahi Alexa. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan Daniel."
Renata mencibir dan menatap Nathan, "Aku pikir kau tidak mungkin memikirkan keselamatan Daniel, kau sedang memikirkan kepentinganmu sendiri Nathan. Kau mengincar posisi itu bukan? Kau ingin Daniel kalah hingga kau bisa menguasai seluruh warisan Albert Simon dan mendepak Daniel serta mamanya dari keluarga itu. Bagaimana aku bisa mempercayai dan bekerja sama denganmu padahal sudah jelas-jelas kau berniat jahat kepada Daniel ?"
Nathan bersedekap santai di kursinya, tidak membantah kata-kata Renata.
"Aku tidak emmbantah, Renata. Aku memang mempunyai kepentingan pribadi dalam hal ini dan aku membutuhkan bantuanmu. Kalau hal ini bisa membuatmu merasa tenang, aku berjanji tidak akan melukai Daniel. Dia akan mendapatkan bagian hartanya, meskipun dia harus menerima menjadi posisi nomor dua di bawahku." Tatapan Nathan berubah tajam, "Setidaknya kau bisa mendapatkan kekasihmu kembali, dan menyelamatkan Daniel dari menikahi perempuan yang tidak dicintainya."
Nathan menatap Renata yang tampak ragu dengan penuh perhitungan, "Bagaimana Renata? apakah kau setuju bekerjasama denganku? Aku memperoleh keuntungan dan kau juga, tidak ada yang dirugikan dalam kerjasama ini, tidak Daniel, tidak pula Alexa yang menjadi tunangan kami berdua."
Suaranya begitu meuakinkan, mencoba menembus keraguan di benak Renata....
Bersambung ke Part 10
Published on July 20, 2013 22:00
July 19, 2013
The Vague Temptation Part 10

Alexa menatap jemari Daniel yang terulur, sejenak merasa ragu. Tetapi mungkin benar apa yang dikatakan oleh Daniel tadi, bahwa untuk mengenal seseorang, bisa dicoba dengan berdansa bersama.
Pada akhirnya, Alexa menerima uluran tangan Daniel.
Daniel tersenyum dan menggenggam tangan Alexa, dengan lembut mengajaknya ke tengah ruangan, tepat di bawah kubah yang beratapkan kaca memantulkan langit gelap berbintang yang indah.
Mereka berdiri berhadapan, dan Daniel lalu merangkulkan tangannya di pinggang Alexa, membawa tangan Alexa supaya melingkar di lehernya, tubuh mereka merapat, diiringi oleh suara musik lembut yang sangat pas.
Kaki Daniel bergerak, dan kaki Alexa mengikuti, tubuh mereka seakan diciptakan untuk berdansa bersama, begitu pas. Kepala Daniel berada di atas puncak kepala Alexa, dan lelaki itu tersenyum,
“Aku baru sadar bahwa kau begitu mungil, Alexa.”
Alexa mendongak, langsung bertatapan dengan mata abu-abu yang tampak demikian tajam di bawah bayangan gelap ruangan. Pipinya memerah, dan berharap supaya suasana cukup gelap sehingga tidak kelihatan.
“Mungkin kau yang terlalu tinggi.” Alexa menjawab sekedarnya, membuat Daniel terkekeh,
“Mungkin juga.” Lelaki itu merapatkan pelukannya di pinggang Alexa, membuat tubuh mereka makin merapat, “Sepertinya kita cocok bersama.”
Alexa tidak membantah, hanya diam saja dan menikmati dansa itu, mengikuti kemana tubuh Daniel membawanya. Alexa tidak pernah berdansa sebelumnya apalagi di usianya yang dewasa ini. Daniel adalah dansa pertamanya, tetapi mereka berdua melakukannya seolah-olah sudah bertahun-tahun berdansa bersama...
***
Renata masih tertegun, di bawah tatapan Nathan yang menunggu jawaban, dia menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke kursi,
“Entahlah Nathan.” Tiba-tiba ekspresi wajah Renata yang keras dan angkuh tampak melemah, “Daniel pasti tidak akan suka dengan kehadiranku yang ikut campur.”
Nathan menganggukkan kepalanya, “Tentu saja dia akan tidak suka, saat ini benaknya hanyalah dibutakan oleh keinginan untuk mengalahkanku dan menguasai seluruh warisan kakek kami.. Dia pasti akan membenci kita karena mengganggu seluruh rencananya.” Nathan menatap Renata dalam-dalam seolah-olah ingin menembus ke dalam hatinya, “Tetapi ingat Renata, saat ini kita sedang mencoba menyelamatkannya. Kalau dia menikahi Alexa, sama saja dia mengingkari hati nuraninya demi harta dan kekuasaan.”
Renata menatap Nathan dan mengangkat alisnya, “Kau... bukankah kau juga berada di posisi yang sama dengan Daniel? Kau menutup perasaan dan belas kasihanmu, melakukan segala cara supaya bisa memasuki keluarga itu dan menguasainya bukan? Apa moivasimu sebenarnya, Nathan? Balas dendam?”
“Pengakuan.” Nathan membalas cepat, dengan tatapan mata yakin. “Aku hanya menginginkan pengakuan, Renata. Selama ini keberadaanku sebagai anak haram tidak diakui, pun keberadaan ibuku yang sudah meninggal dalam keadaan terlupakan. Lagipula aku tidak punya kekasih yang kutinggalkan demi untuk mengejar Alexa. Kalau Alexa bersamaku, itu akan lebih adil bagi Alexa... daripada kalau dia memilih Daniel sedangkan hati Daniel ada bersamamu.”
Renata terdiam, seolah-olah berusaha mencerna kata-kata Nathan, “Kalau memang aku setuju untuk membantumu. Bagaimana caranya kau mendekatkanku kepada Alexa dan Daniel?” Daniel sudah tidak pernah menghubunginya lagi sejak meninggalkannya. Hubungan keluarga mereka yang semula baikpun pada akhirnya merenggang.
“Kau adalah seorang pengacara keuangan yang sangat handal. Aku akan memasukkanmu ke dalam perusahaan, sebagai konsultan hukum.”
Renata mengangkat alisnya sekali lagi, “Itu akan membuat Daniel marah besar. Dan kakeknya mungkin tidak akan setuju kau memasukkanku ke sana.”
“Kakek adalah urusanku.” Nathan tersenyum, “Dia mungkin akan mengangkat alisnya dan menyadari bahwa masuknya kau ke perusahaan adalah salah satu rencanaku untuk menjatuhkan Daniel, tetapi dia tidak akan berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Kakek kami orang yang adil, dia tahu bahwa yang paling ahli strategilah yang akan memenangkan persaingan ini.” Nathan mengulurkan tangannya dan menunggu balasan Renata, “Aku menganggap pertanyaanmu tadi sebagai persetujuan, jadi, apakah kita bisa dikatakan bekerjasama mulai sekarang?”
Renata menatap uluran tangan Nathan, masih mencoba berpikir ulang sebelum menyambut uluran tangan itu.
***
Ketika Nathan turun dari mobilnya di depan mansion itu, dia mendapati rumah itu sepi. Para pelayan biasanya banyak yang berlalu lalang kalau Albert Simon berada di rumah. Sepinya rumah menunjukkan kalau kakeknya itu mungkin sedang berada di luar kota.
Nathan membuka pintu besar mansion itu lang melangkah melalui lobby, hendak menaiki tangga menuju kamarnya, ketika dia mendengarkan suara musik.
Itu suara musik dansa lembut yang mengalir dari bagian belakang mansion, di ujung lobby di bawah tangga.
Siapa yang menyalakan musik dansa malam-malam begini?
Dengan penuh ingin tahu, Nathan melangkah menuju bagian ujung lorong, ke ruangan yang biasanya digunakan Albert Simon untuk menjamu tamu-tamunya di acara pesta dansa resmi yang dulu sering diadakannya.
Nathan berdiri di ambang pintu lengkung besar itu dan tertegun.
Di depannya terhampar pemandangan Daniel dan Alexa, yang sedang berdansa dengan rapatnya, posisi mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati alunan musik sambil berpelukan.
Alexa membelakanginya sehingga tidak menyadari kehadiran Nathan. Tetapi Daniel menghadap ke arahnya dan langsung menyadari kehadiran Nathan di ambang pintu.
Daniel melemparkan tatapan mata penuh kemenangan kepada Nathan, dan kemudian seolah sengaja, dia mempererat pelukannya ke tubuh Alexa.
Seketika itu juga Nathan menggertakkan gigi, dipenuhi amarah, karena tahu persis bahwa pada detik ini, Daniel sudah berhasil mengalahkannya.
Dengan langkah geram, Nathan membalikkan badan dan pergi meninggalkan ambang ruangan itu.
***
Musik itu berhenti.
Alexa membuka matanya, tersadar bahwa sedari tadi dia menutup matanya menikmati dansa itu. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Daniel yang masih tersenyum.
“Maafkan.” Pipi Alexa bersemu merah, dan tanpa dinyana, Daniel mengulurkan jemarinya, menyentuh pipi Alexa.
“Kenapa kau minta maaf? Aku yang harusnya berterimakasih karena kau mau berdansa denganku.”Alexa menganggukkan kepalanya, melangkah mundur, dan Daniel tidak menahannya, lelaki itu melepaskan pelukannya.
“Mungkin aku harus kembali ke kamar.” Alexa menatap ke arah langit kaca di atas, tidak ada jam di ruangan ini, mungkin mereka sudah berdansa cukup lama.
Daniel menganggukkan kepalanya, “Selamat beristirahat Alexa, kuharap kau menikmati dansa tadi.”
Alexa menganggukkan kepalanya, “Terimakasih Daniel, aku pergi dulu.” Tiba-tiba perasaan gugup yang dirasakan ketika bersama Daniel, yang tadi sempat menghilang ketika mereka berdansa, muncul lagi. Dia buru-buru membalikkan tubuhnya, menganggukkan kepalanya sekali lagi dengan sopan kepada Daniel, lalu melangkah pergi.
Sepeninggal Alexa, Daniel melangkah ke rak bar di ujung ruangan, menuang minuman untuk dirinya sendiri, dan kemudian membanting tubuhnya di sofa dengan gelas di tangannya.
Dia mendongakkan kepalanya yang bersandar di sandaran sofa, lalu menempelkan gelas berisi minuman dingin itu ke dahinya.
Perempuan mungil itu membuatnya bergairah. Saking bergairahnya hingga Daniel harus menahan Alexa agar tidak terlalu merapat kepadanya.
Daniel sudah lama tidak bersama perempuan, sejak memutuskan untuk memenangkan persaingan ini dengan Nathan, Daniel meninggalkan semua perempuan di belakangnya dan berkomitmen dengan apa yang pernah dikatakannya, bahwa dia akan mengejar Alexa dengan kekuatan penuh.
Semula Daniel mengira ini semua akan mudah, Alexa sepertinya adalah perempuan yang lemah dan gampang ditaklukkan. Tetapi ternyata mengejar Alexa lebih sulit daripada mengejar wanita manapun di masa lalunya.
Biasaya Daniel bisa membaca perempuan, dia akan tahu apakah perempuan itu tertarik kepadanya, baik dari tatapan matanya maupun dari gerak-geriknya. Daniel sangat ahli mengenai perempuan, dan setahunya, hampir semua perempuan yang dikejarnya membalas perasaannya.
Tetapi Alexa berbeda, entah karena perempuan itu terlalu polos, atau memang Alexa sama sekali tidak tertarik kepadanya.... Daniel tidak bisa membaca Alexa. Dia tidak tahu apakah rayuannya berhasil atau tidak, dia tidak tahu apakah ada setitik ketertarikan Alexa kepadanya, yang bisa dibacanya hanyalah sikap gugup dan tidak nyaman kalau dia mendekati Alexa.
Alexa mungkin takut kepadanya akibat perkenalan kasarnya di bar waktu itu... karena itulah Daniel berusaha memperbaiki semuanya dengan bersikap lembut, berharap Alexa tidak takut kepadanya lagi.
Seorang perempuan yang takut kepadanya tidak akan mudah jatuh cinta kepadanya bukan?

Mengingat Renata membuat Daniel merasa bersalah. Dia telah meninggalkan Renata begitu saja setelah memberinya sejuta harapan. Tetapi itu mungkin yang terbaik bagi Renata, dan bagi dirinya.....Seandainya saja Daniel bisa menjelaskannya kepada Renata, pasti akan dia lakukan, selain karena Alexa, Daniel punya alasan sendiri kenapa dia meninggalkan Renata, alasan itu tidak mungkin diungkapkannya kepada Renata karena akan lebih menyakiti perempuan itu. Biarlah Renata berada dalam kondisi yang sekarang, membencinya karena menjadi lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Daniel tidak merasa bergairah kepada Renata. Renata adalah perempuan intelek, sangat pandai dan berasal dari keluarga kelas atas yang bersahabat dengan keluarganya, karena itulah ketika mamanya menyuruhnya mendekati Renata dan meninggalkan sikap playboynya di masa lalu yang suka mengencani perempuan-perempuan yang tidak berkelas, Daniel melakukannya tanpa pikir panjang.
Bersama Renata memang menyenangkan, mereka bisa mengobrol dan berdiskusi dalam waktu panjang, menghabiskan waktu bersama tanpa terasa, dan menikmati hubungan mereka yang tanpa terasa berjalan begitu lama. Ketika Renata mengisyaratkan menginginkan hubungan yang lebih serius, Daniel tidak keberatan.... tetapi kemudian dia menyadari bahwa dia tidak pernah memandang Renata sebagai kekasih, dia mungkin menganggap Renata sebagai partner, sahabat, teman diskusi yang menyenangkan, tetapi bukan sebagai kekasih... Karena Daniel sama sekali tidak merasakan gairah sebagai seorang lelaki kepada perempuannya kepada Renata.
Dia bahkan tidak mampu membayangkan berada di tempat tidur bersama Renata, kalau sudah begitu akan seperti apa hubungan mereka nanti sebagai suami isteri?
Daniel menggelengkan kepalanya, berusaha menepiskan pikirannya tentang Renata. Dia tidak akan bisa maju kalau terus menerus dibebani oleh rasa bersalah di masa lalu. Renata memang perempuan baik, yang terbaik dari semua mantan kekasihnya, karena itulah ada rasa bersalah yang pekat ketika dia harus menyakiti Renata, meskipun sebenarnya keputusan ini adalah keputusan yang terbaik bagi Renata dan dirinya.
Tetapi sekarang dia harus melupakan Renata, dan fokus kepada Alexa. Nathan melihat mereka berdua berdansa tadi, dan dia melihat kegeraman yang nyata di mata Nathan karena sudah kalah satu langkah dari Daniel, tidak tahu apa yang akan direncanakan Nathan nanti untuk mengejar ketertinggalannya. Yang pasti Daniel harus waspada.
Tiba-tiba saja Daniel mengingat Alexa, dan kemudian menelaah gairahnya sendiri kepada perempuan itu.
Yah. Kalau memang ternyata gairahnya sebesar ini kepada tunangannya itu, hal itu akan menghilangkan kekhawatirannya akan pernikahannya nanti dengan Alexa.
Kalau mereka bisa begitu cocok dalam berdansa, bisa dipastikan mereka akan sangat cocok di tempat tidur.
*** Nathan menggenggam rokok di tangannya dan meremasnya dengan geram. Dia selalu merokok ketika tidak bisa menahan emosinya, menenangkan dirinya dengan menghisap asap rokok sambil menghitung sampai sepuluh. Tetapi rokok itu hancur di tangannya, menjadi serpihan menyedihkan beraroma tembakau dan mint.
Nathan membuang serpihan rokok itu ke lantai dan menyalakan sebatang lagi, jemarinya masih bergetar ketika menyulut api dari pemantiknya ke batang rokok di bibirnya. Ketika rokok itu berhasil menyala, Nathan menghisap dan menghembuskan napasnya. Berhasil menarik napas dan menenangkan dirinya setelah hisapan ketiga.
Dia menyandarkan tubuhnya dalam kegelapan kamarnya. Telinganya menajam ketika mendengar suara pintu kamar di sebelahnya di buka.
Alexa sudah masuk ke kamar rupanya dia tidak berlama-lama berdansa dengan Daniel...

Masih diingatnya memori tahun berlalu, ketika Nathan berusia belasan tahun dan berusaha melacak siapakah ayahnya. Dari seluruh informasi yang dikumpulkannya, pada akhirnya dia berhasil menemukan alamat rumah lelaki yang diyakininya sebagai ayah kandungnya, seorang pria asing yang dulu dekat dengan ibunya, dan kemudian menghilang beberapa saat sebelum ibunya mengandung dirinya.
Hari itu hujan turun dengan derasnya, dan Nathan berdiri di seberang jalan, membawa payung besar, dan berdiri tak kentara di bawah pohon, mengamati rumah besar dan megah milik ayah kandungnya.
Dia hanya ingin melihat ayah kandungnya, hanya ingin tahu seperti apa rupanya. Nathan berusaha meyakinkan dirinya untuk menahan diri dan tidak langsung menemui ayahnya. Dia masih harus memastikan apakah ayahnya akan menerimanya ataukah akan menolaknya mentah-mentah.
Lalu sebuah mobil hitam yang besar datang memasuki pekarangan rumah itu. Nathan menajamkan matanya, dan kemudian dari pintu belakang, sosok laki-laki asing keluar dari sana.
Melihat parasnya, seketika itu juga Nathan tahu bahwa laki-laki itu adalah ayah kandungnya, karena dia bagikan melihat sosok dirinya sendiri ketika sudah menua di cermin, semua yang ada di lelaki itu, ikal rambutnya, mata cokelatnya, bentuk wajahnya, semuanya sama seperti yang diwariskannya kepada Nathan.Dengan penuh semangat, melupakan tekadnya untuk hanya melihat dari kejauhan, Nathan mendekat, ingin lebih nyata melihat ayah kandungnya.
Tetapi ketika dia sudah berada di belakang mobil itu, sosok yang lain keluar dari dalam mobil, sosok seorang perempuan yang sangat cantik dengan pakaian mahal, dan sosok anak lelaki remaja sebaya dirinya.
Anak lelaki itu berpakaian mahal tentu saja sangat bertolak belakang dengan Nathan yang berpakaian sederhana dan usang hasil dari cucian berkali-kali dan terlalu sering karena dia tidak punya banyak pakaian. Dan Nathan langsung menyadari bahwa yang ada di depannya ini adalah keluarga ayahnya. Ayahnya ternyata memiliki keluarga sendiri. Sebuah keluarga sempurna dengan isteri cantik dan anak yang tampan.
Anak lelaki itu menatap Nathan dan mengangkat alisnya, menatap Nathan yang terpaku ke arahnya,
“Siapa kau?” gumam anak lelaki yang mungkin adalah saudara tirinya itu. Suaranya terdengar sombong, mungkin karena dia terbiasa menjadi anak lelaki kaya.
Nathan bergeming bingung harus menjawab apa, dan kemudian isteri ayah kandungnya menyentuh bahu anak lelaki itu,
“Sudahlah Daniel, mungkin dia hanyalah orang yang meminta-minta, berikan saja uang kepadanya dan dia akan pergi. Ayo masuk, hujannya semakin deras saja, nanti kau basah.”
Isteri ayah kandungnya lalu mengamit lengan ayah kandungnya yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Nathan ingin berteriak, memanggil ayah kandungnya tetapi suaranya tercekat, hingga kemudian, anak lelaki berpakaian mahal itu melemparkan uang ke arahnya, jatuh ke tanah, tepat di antara kedua kakinya. Dan kemudian anak lelaki itu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Nathan yang masih terpaku di sana.
Nathan masih ingat, dia membungkuk dan mengambil uang itu, lalu menggenggamnya ke dalam tangannya. Uang itu adalah lambang penghinaan anak lelaki yang kemudian diketahuinya bernama Daniel kepadanya, lambang penghinaan dari perempuan itu yang ternyata adalah isteri sah ayahnya.
Seharusnya Nathan bisa menjadi anak dari ayahnya, merasakan kasih sayangnya, diakui sebagai keluarga, seharusnya ibunya bisa menjadi isteri yang diakui, bukannya menderita hidup sebagai seorang buruh, membanting tulang mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus hanya agar dia dan Nathan bisa makan.
Kematian ibunya yang mengenaskan dalam kemiskinan dan penderitaan tidak akan pernah dilupakannya. Ibunya meninggal dalam penderitaan, padahal ayahnya begitu kaya. Tekad Nathan untuk membalas dendam semakin besar sejak kejadian di hari itu.
Dia bahkan masih menyimpan uang dari Daniel di kala itu, uang itu selalu menjadi pengobar dendamnya, di saat-saat Nathan memilih untuk menyerah.
Ketika Nathan kuliah mati-matian dan sekaligus bekerja untuk membiayai kuliahnya, Nathan sempat ingin menyerah saja. Tetapi dia menatap uang yang selalu disimpannya di kotak kecil dari perak miliknya, mengingat kembali rasa terhina yang menjalari tubuhnya ketika Daniel melemparkan uang itu kepadanya, menganggapnya sebagai gembel peminta-minta. Semua kebencian langsung menyeruak di sana, menjadi bahan bakarnya untuk bertahan.
Hingga di sinilah dia sekarang, siap membalas dendam dan menuntut balas.
Nathan membunuh rokoknya di asbak, dan kemudian menatap kelamnya malam dari jendela kaca yang terbuka ke arah balkonnya.
Dia tidak akan kalah dari Daniel. Lelaki itu dan mamanya sudah merebut ayah kandungnya, merebut kehidupan Nathan sebagai anak yang seharusnya bisa diakui, dan merebut apa yang seharusnya berhak menjadi milik ibunya....... dan Nathan tidak akan membiarkannya memenangkan persaingan ini dan merebut Alexa...
Bersambung ke Part 11
Published on July 19, 2013 03:35
Postingan Ulang : The Vague Temptation Part 9
PS 1 : Banyak sekali pesan yang masuk karena readers kebanyakan ga bisa buka postingan TVT part 9 kemarin, jadi diposting ulang di sini ya. Mungkin dikarenakan waktu itu pas aku posting TVT beberaapa menit kemudian ada blok otomatis dari google dikarenakan ada prediksi hacker yg mencoba masuk ke blog-ku. Mungkin terpengaruh kali ya ( ga ngerti hihihihi)Tadi sudah aku utak-atik, tapi nggak nemu permasalahannya, jadi sebagai jalan keluarnya, aku postingkan ulang ya untuk The Vague Temptation Part 9 nya. Semoga yang ini bisa dibuka yaa.PS 2: Untuk yang menunggu ETC InsyaAllah nanti malam2 banget ya ini lagi nyicil beres-beresin semua yang tertunda gara-gara laptop rusak tungguin yaa ;))
Wajah Alexa merah padam mendengar kalimat yang diungkapkan dengan tanpa basa-basi itu.
Astaga, membayangkan lelaki sedingin ini mengejarnya dengan kekuatan penuh terasa menakutkan untuknya..... dan kemudian secara reflek Alexa langsung mundur satu langkah menjauh dari Daniel.
Daniel sendiri tersenyum melihat reaksi Alexa, lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Alexa dengan tajam,
"Takut padaku, eh?"
Alexa hanya menelan ludahnya, tidak berani menjawab, suaranya seakan hilang tak berbekas.
Dan kemudian, tanpa diduga, Daniel melangkah maju, membuat Alexa membeku tak sempat menjauh. Lelaki itu berdiri tepat di depan Alexa, begitu tinggi membuat Alexa harus mendongakkan kepalanya untuk menatap ekspresi Daniel yang dingin dan tak terbaca. Lalu Daniel mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah wajah Alexa....
Kembali secara refleks, Alexa memejamkan matanya sambil mengernyitkan kening, takut akan apa yang akan dilakukan Daniel kepadanya.
Tak diduganya, Daniel hanya menyentuhkan ujung jemarinya ke pipi Alexa dengan sentuhan lembut seringan bulu.
"Jangan pernah berpikir untuk mempertimbangkan Nathan sebagai pilihanmu." suaranya berbisik, penuh ancaman tetapi diucapkan secara tersirat. Lalu lelaki itu melangkah melewati Alexa yang masih membeku dan tak berani bergerak oleh sentuhan Daniel.
Sampai langkah-langkah Daniel menghilang dari ujung lorong, barulah Alexa berani menoleh, menatap ke arah lorong yang kini kosong.
Jemarinya menangkup pipinya sendiri, bekas sentuhan Daniel, dan entah kenapa, pipinya terasa amat panas.
***
Nathan mengamati kejadian itu dari jendela kaca tersembunyi di ruangan tempatnya berdiri, ruang kepala bagian personalia. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di sini untuk menunggu sang kepala personalia yang notabene adalah orang kepercayaannya. Ruangan ini memiliki jendela satu sisi yang besar dan tembus ke luar dari dalam, tetapi orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Dia tadi melihat Daniel menunggu di depan lift dan melihat Alexa datang, kemudian Nathan memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.
Daniel seperti biasa, selain memanfaatkan uangnya, lelaki itu memanfaatkan pesona dinginnya yang kasar untuk merayu perempuan.
Ah ya, Daniel seorang playboy sebelum keputusan pertunangan ini diumumkan. Lelaki itu memiliki beberapa kekasih yang dicampakkan sesuka hati, kebanyakan perempuan-perempuan cantik yang berasal dari kalangan atas, berasal dari keluarga kaya yang sederajat dengan keluarga Simon.
Hanya setelah masalah persaingan pertunangan ini, Daniel sepertinya meninggalkan pacar-pacarnya dan memilih berdiam dirumah Albert Simon. Lelaki itu benar-benar serius ingin memenangkan Alexa, dan meninggalkan kehidupan glamornya yang penuh dihiasi dengan wanita-wanita cantik.
Daniel berbeda dengan Nathan, Nathan tidak bisa bersikap dingin, tetapi meskipun begitu dia cukup terkenal di kalangan lawan-lawan bisnisnya dan cukup ditakuti, karena kadang di balik senyuman manisnya, dia bisa mengambil keputusan strategis perusahaan dengan kejam. Dan juga Nathan terlalu sibuk membangun bisnisnya sehingga tidak sempat bermain-main dengan wanita. Hanya demi Alexa, Nathan berusaha ekstra memberikan sejuta pesonanya untuk membuat Alexa takluk.kepadanya
Kalau Daniel serupa harimau yang tampak garang di luarnya dan menggertak dari luar, Nathan lebih mirip burung elang yang cantik tetapi diam-diam mengintai untuk membunuh.
Hanya saja tidak diduganya Daniel benar-benar berusaha mengalahkannya. Nathan sendiri terkejut ketika Albert Simon tadi pagi memanggilnya dan mengatakan bahwa Daniel akan memimpin perusahaan ini bersamanya. Padahal kemarin dia sudah maju satu langkah ketika Albert Simon memilihnya menjadi presiden direktur perusahaan ini, cabang perusahaan yang diincarnya karena Alexa berkerja di dalamnya. Tetapi sepertinya semalam Daniel berhasil membujuk Albert Simon, dengan alasan dia menginginkan atas waktu yang sama yang bisa dihabiskannya bersama Alexa, seperti halnya Nathan ketika bekerja.
Nathan mengernyit penuh kemarahan, tidak puaskah Daniel menjadi presiden direktur di perusahaan-perusahaan lain milik Albert Simon sehingga sekarang masih mengganggu posisinya di perusahaan ini?
Mata Nathan menajam melihat Alexa masih terpaku dengan jemari memegang pipinya yang bekas sentuhan Daniel.
Gawat.
Daniel sepertinya sudah berhasil menanamkan pesonanya di balik sikap dingin dan kasarnya. Lelaki-lelaki seperti itu memang menarik bagi perempuan....
Dan Nathan harus berbuat sesuatu sebelum dia dikalahkan dengan mudah. Nathan tidak boleh kalah, dan untunglah, untuk saat-saat seperti ini dia memiliki kartu truf bagus yang bisa membawanya ke dalam kemenangan.
Dia mengeluarkan amplop dari saku jasnya, hasil penyelidikannya dari detektif swasta atas Daniel, terutama di kisah asmaranya. Ada informasi terpenting di sana, mengenai kekasih Daniel yang terakhir, seorang perempuan dari kalangan atas, sempurna di segala hal dan sekarang merintis kariernya di bidang hukum. Perempuan itu adalah kekasih Daniel yang paling serius dan paling lama. Bahkan bulan-bulan terakhir ini santer berhembuskabar bahwa Daniel akan segera menikahi kekasihnya itu.
Tapi kemudian, hubungan mereka kandas tanpa sebab, gosip mengenai penyebab putusnya hubungan mereka itu beredar dalam berbagai versi tetapi tidak ada yang tahu asal muasalnya. Yang jelas, Daniel-lah yang meninggalkan kekasihnya itu tiba-tiba.
Ya.... sebuah senyum tipis muncul di bibir Nathan. Mungkin kebanyakan orang tidak tahu apa alasannya Daniel meninggalkan kekasihnya, tetapi Nathan tahu bahwa Daniel melakukannya demi mendapatkan Alexa.
Nathan bisa memanfaatkan kekasih yang patah hati itu demi mencapai tujuannya. Biasanya wanita-wanita yang patah hati lebih penuh dendam dan mudah dimanipulasi.
Kemudian dia menekan nomor kontak mantan kekasih Daniel itu.
***
Malam sudah beranjak semakin gelap ketika Alexa pulang ke mansion dengan memakai kendaraan umum. Albert Simon memang menyiapkan supir untuknya tetapi tentu saja Alexa tidak bisa menggunakannya bukan? Bisa-bisa gosip akan tersebar luas kalau salah satu karyawan rekan kerjanya melihatnya turun dari salah satu mobil besar milik Albert Simon.
Lagipula dia sudah terbiasa naik kendaraan umum, dan bahkan mansion ini lebih dekat ke kantornya daripada rumah mungilnya yang dulu, sehingga perjalanan yang ditempuh oleh Alexa lebih pendek dan mengurangi kelelahannya.
Dia melangkahkan kaki pelan-pelan memasuki tangga mansion yang megah itu, semuanya dari lantai tangga sampai pilar-pilarnya, dibuat dari marmer berwarna putih yang licin dan berkilauan. Alexa masih merasa tidak nyaman pulang ke rumah ini... rumah ini meskipun besar dan indah terasa asing dan memantulkan kesepian yang dalam.
Dia membuka pintu dan mendapati lobby mansion yang sepi.
Sepertinya Nathan dan Daniel belum pulang. Suasana tampak lengang, hanya beberapa pelayan yang lalu lalang sambil mengangguk menyapanya ketika melihat Alexa.
Mungkin Albert Simon juga sedang tidak ada di rumah....
Lambat-lambat telinga Alexa mendengarkan suara piano yang dimainkan dengan indahnya.
Siapa yang bermain piano? Apakah Albert Simon?
Dengan ingin tahu, Alexa menelusuri lorong di bawah tangga, menuju ke sebuah ruangan besar berdinding kaca yang memantulkan pemandangan malam dan juga berkubah kaca bening di bagian atas, sehingga langit malam yang berbintang tampak bagaikan lukisan alami yang menghiasi ruangan.
Lampu ruangan dinyalakan redup, dan ternyata yang sedang memainkan piano bukanlah Albert Simon, melainkan.... Daniel.
Ya. Daniel-lah yang memainkan piano dengan indahnya, lelaki itu duduk tegak dengan postur tubuh yang begitu bagus. Jemari rampingnya menekan tuts-tuts piano dan ekspresinya tampak lembut dan sedih ketika memainkan setiap nadanya.
Alexa tidak mengenali lagu apa yang dimainkan oleh Daniel, tetapi yang dia tahu, lagu itu sarat akan kepedihan, dan tiba-tiba saja membuat matanya panas dan dadanya terasa sesak. Astaga, tidak disangkanya, di balik sikap dingin dan kasarnya, Daniel mampu memainkan nada sedih ini dengan indahnya, dengan lembut dan penuh perasaan.....
Alexa menghela napas untuk meredakan kesesakan dadanya, dan ternyata hal itu membuat Daniel menoleh dan menghentikan permainannya. Langsung menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang tajam, membuat Alexa berdiri di sana dengan gugup dan salah tingkah.
"Maafkan aku..." suara Alexa tercekat, "Aku mendengar suara piano dan..."
Daniel mengangkat alisnya, "Tidak apa-apa." Selanya cepat, "Kau baru pulang kerja?"
"Ya." Alexa menoleh ke belakang, merasa ingin melarikan diri, "Permisi, sekali lagi maaf karena aku mengganggu."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Masuklah kemari, Alexa, aku ingin bicara." Daniel menyela sekali lagi, kali ini nada suaranya tegas dan tak terbantahkan, membuat langkah Alexa yang sudah hendak terbalik menjadi terpaku.
***
Nathan menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet parkir di lobby hotel dan restoran mewah itu. Dia tersenyum mantap penuh antisipasi ketika memasuki area restoran. Petugas reservasi tentu saja sudah mengenalnya dan langsung mengantarkannya menuju tempat duduknya.
Nathan lalu duduk dan menunggu. Kartu trufnya akan segera datang....
Dan memang benar Nathan tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan cantik, dengan penampilan tegas dan kuat -berbeda dengan perempuan yang merupakan anak orang kaya lainnya yang dikenal Nathan- memasuki ruangan. Perempuan itu mengenakan setelan hitam yang membungkus tubuhnya dengan seksi tampak pas membalut tubuh rampingnya yang berlekuk sempurna di tempat-tempat yang memang seharusnya berlekuk. Kakinya panjang dan tinggi seperti model, peenampilannya berkelas dengan wajah mungil tegas yang berkarakter. Keseluruhan penampilannya memunulkan citra perempuan kelas atas.
Perempuan itu langsung mendatangi Nathan dengan tatapan lurus yang mengintimidasi. Hanya terdiam hingga membuat Nathan pada akhirnya menyapa duluan,
"Senang sekali akhirnya kau mau menemuiku." Nathan menyapa, memasang senyum ramahnya.
"Tidak usah memakai basa-basi." Perempuan itu menyela, tidak mempedulikan senyum ramah Nathan, bahkan dia masih berdiri dengan menantang di depan Nathan. "Apa rencanamu sehingga repot-repot mengatur pertemuan ini?." Ya, Perempuan di depannya ini tentu saja sudah mendengar gosip yang beredar tentang Nathan, cucu keluarga Simon yang memasuki keluarga Simon dan menimbulkan kehebohan di sana.
Nathan mengangkat alisnya. Perempuan ini ternyata tidak bisa diremehkan. Mungkin karena karirnya di bidang hukum membentuknya menjadi perempuan yang kuat. Pantas saja Daniel betah berpacaran lama dengannya dan berniat menikahinya. Perempuan yang ada di depannya ini sudah jelas-jelas memiliki kualitas lebih, dan tidak lembek membosankan sehingga mudah disetir lelaki.
Nathan harus mengubah strateginya dalam menghadapi perempuan ini. Dia tidak akan bersikap dominan, tetapi bersikap bersahabat dan bertindak lebih seperti rekan serta membuat perempuan ini merasa dihargai.
"Duduklah dulu Renata." Nathan mengedikkan dagunya ke arah bangku di depannya, "Mungkin kita bisa membicarakan ini dengan lebih baik."
Renata mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan waspada. Tetapi kemudian dia menyadari kebenaran kata-kata Nathan dan duduk di depan lelaki itu.
"Well? Mulailah menjelaskan." tanyanya cepat, menunggu Nathan berbicara.
***
"Berbicara tentang apa?" Pada akhirnya Daniel berhasil menghela Alexa supaya duduk di sofa di seberangnya. Alexa memang menuruti Daniel, tetapi sekarang dia duduk kaku di ujung sofa, kedua tangannya teremas di pangkuannya, dan dia menatap Daniel dengan gugup.
Berdua dengan Daniel memang menegangkan. Tetapi berdua dengan Daniel di ruangan yang berhiaskan lagit malam berbintang dan hanya berdua saja tentu terasa lebih menangangkan.
Daniel sendiri tampaknya tidak mempedulikan kegugupan Alexa, lelaki itu menuangkan sepoci teh yang ternyata sudah di sediakan di meja didepan mereka, dan menyodorkan cangkirnya kepada Alexa yang duduk di seberangnya.
"Minumlah, kau pasti lelah setelah perjalananmu." gumam Daniel tegas hingga mau tak mau Alexa menerima cangkir itu dan menyesap teh yang harum itu.
Daniel mengamati Alexa hingga Alexa meletakkan cangkirnya. "Kau naik kendaraan umum?" Daniel tidak menunggu sampai Alexa menjawab, "Kenapa kau tidak memanfaatkan kendaraan yang disediakan kakek untukmu?"
"Kau tahu kenapa." Alexa cepat-cepat menjawab, berharap Daniel menyadari bahwa dia ingin merahasiakan seluruh hubungannya dengan keluarga Albert Simon ketika mereka sedang berada di tempat kerja.
Daniel menghela napas, "Yah, aku tahu. Kakek memanggilku dan mengatakan bahwa selama tiga bulan ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang seluruh rencana kita." Mata Daniel mengernyit, "Setidaknya kali ini aku bisa setuju dengan kakek. Gosip yang menyebar bisa menghancurkan orang-orang. Kau tahu seperti gosip kedatangan Nathan yang menyebar sedemikian cepat di kalangan keluarga, teman-teman dan kolega kami, membuat mamaku dan aku harus berjalan sambil membungkukkan tubuh dan berusaha menutupi wajah, menahankan rasa malu."
Alexa bisa melihat kesakitan di sana, kesakitan dan kepedihan yang sinis. Sepertinya di balik sikap keras lelaki itu, Daniel memendam luka emosional yang dalam.
Alexa mengamati ketika Daniel menuang teh untuk dirinya sendiri dan menyesapnya dengan elegan. Seorang pria tampan yang menuang teh dari poci bercorak bunga kemudian menyesap dari cangkir dengan corak bunga yang sama mungkin akan terlihat menggelikan, tetapi tidak begitu halnya dengan Daniel, lelaki itu malah tampak semakin jantan ketika melakukannya.
Pipi Alexa memerah, kenapa dia memikirkan tentang 'jantan' nya Daniel?
Daniel sendiri tampak tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu menatap ke sekeliling ruangan yang luas itu. Sofa tempat mereka duduk berada di pojok ruangan, di sudut area terkecil ruangan, selebihnya ruangan itu didominasi oleh lantai marmer yang indah berwarna putih yang melingkupi seluruh ruangan yang lapang dan kosong. Sebuah piano besar yang dimainkan oleh Daniel tadi, terletak di ujung satunya lagi, tampak cocok berada di sana sebagai ornamen penting.
"Kau tahu ini ruangan apa?" Daniel tiba-tiba bertanya, membuat Alexa yang tadinya mengamati Daniel terlonjak, merasa malu dan mengalihkan tatapannya.
Alexa mengikuti tatapan Daniel ke sekeliling ruangan, menatap kubah kaca yang memantulkan langit malam dan membangun suasana romantis di sana....
"Ini ruangan dansa." Daniel bergumam lagi, tidak menunggu jawaban Alexa. "Kakekku dulu sering mengadakan pesta dansa di sini. Para tamu akan berdansa di bawah taburan bintang yang menembus langit-langit kaca itu diirngi musik klasik yang dimainkan sang pianist dengan grand piano tua milik Kakek.."
Tiba-tiba saja Daniel berdiri, dan melangkah menuju ke arah alat stereo yang ada di dinding dekat sofa, dan menyalakannya, ketika dia selesai, alunan musik lembut mengalun memenuhi ruangan.
"Mamaku selalu bilang, bahwa kita tidak akan bisa mengenali seseorang sebelum kita berdansa dengan orang itu." Ada senyum di bibirnya yang kaku ketika menatap Alexa.
Kemudian tanpa di duga Daniel membungkuk formal dan mengulurkan sebelah tangannya kepada Alexa,
"Maukah kau lebih mengenalku, Alexa? dengan berdansa denganku?"
***
"Dia memang meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan dua minggu sebelumnya kami sudah memilih cincin untuk bertunangan. Daniel memang tidak pernah melamarku secara langsung, tetapi dia memberikan isyarat ke arah itu dengan setuju untuk memilih cincin bersamaku." Mata Renata menajam. "Dan kemudian dia meminta hubungan serius kami dihentikan tanpa bisa menjelaskan alasannya, dia pergi begitu saja....Membuatku kelabakan harus menjelaskan kepada keluargaku, kau tahu keluargaku dan keluarga Simon sebelumnya berhubungan baik dan hubungan itu sedikit retak karena langkah yang diambil Daniel."
Suara Renata sedikit bergetar mengungkapkan kepedihan yang dirasakannya, lalu dia menyambung "Aku menduga dia mungkin kehilangan cintanya kepadaku, kau tahu sebelum denganku dia juga menjalin cinta dengan beberapa gadis dan mencampakkannya ketika dia bosan. Orang bilang Daniel Simon tidak akan mampu melewati tiga bulan tanpa berganti kekasih... tetapi ketika dia menjalin hubungan denganku, sikapnya sungguh berbeda kepadaku, kami berhasil melalui tiga bulan tetap bersama tanpa masalah, bahkan hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya., hingga aku berani berharap lebih....Dan ketika dia meninggalkanku begitu saja, aku pikir dia sudah bosan kepadaku."
"Ternyata tidak." Nathan menyela dengan tenang. "Aku tidak berbohong kepadamu, Renata. Seluruh cerita yang kupaparkan tadi itu benar adanya. Daniel meninggalkanmu karena dia ingin memenangkan pertarungan melawanku, dia ingin mendapatkan Alexa. Tunangan kami berdua. Kau tahu, masa penentuannya adalah tiga bulan lagi. Siapapun yang dipilih Alexa menjadi suaminya akan menjadi cucu utama Albert Simon."
Mata Renata yang cerdas menyipit. "Jadi apa rencanamu, Nathan?"
"Aku ingin kau membuat Alexa memilihku. Kaulah satu-satunya yang bisa menyadarkan Alexa bahwa Daniel mendekatinya tanpa hati." Matanya menatap Renata dengan redup, "Hatinya ada padamu, Renata. Apakah kau tega membiarkan Daniel terikat dengan perempuan yang tidak dicintainya selamanya.... hanya karena kedudukan di keluarga Simon? Ingat, kalau Alexa memilih Daniel, tidak perlu menunggu waktu lama, paling lama tiga sampai empat bulan, Danielmu sudah harus menikahi Alexa. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan Daniel."
Renata mencibir dan menatap Nathan, "Aku pikir kau tidak mungkin memikirkan keselamatan Daniel, kau sedang memikirkan kepentinganmu sendiri Nathan. Kau mengincar posisi itu bukan? Kau ingin Daniel kalah hingga kau bisa menguasai seluruh warisan Albert Simon dan mendepak Daniel serta mamanya dari keluarga itu. Bagaimana aku bisa mempercayai dan bekerja sama denganmu padahal sudah jelas-jelas kau berniat jahat kepada Daniel ?"
Nathan bersedekap santai di kursinya, tidak membantah kata-kata Renata.
"Aku tidak emmbantah, Renata. Aku memang mempunyai kepentingan pribadi dalam hal ini dan aku membutuhkan bantuanmu. Kalau hal ini bisa membuatmu merasa tenang, aku berjanji tidak akan melukai Daniel. Dia akan mendapatkan bagian hartanya, meskipun dia harus menerima menjadi posisi nomor dua di bawahku." Tatapan Nathan berubah tajam, "Setidaknya kau bisa mendapatkan kekasihmu kembali, dan menyelamatkan Daniel dari menikahi perempuan yang tidak dicintainya."
Nathan menatap Renata yang tampak ragu dengan penuh perhitungan, "Bagaimana Renata? apakah kau setuju bekerjasama denganku? Aku memperoleh keuntungan dan kau juga, tidak ada yang dirugikan dalam kerjasama ini, tidak Daniel, tidak pula Alexa yang menjadi tunangan kami berdua."
Suaranya begitu meuakinkan, mencoba menembus keraguan di benak Renata....
Bersambung ke Part 10

Wajah Alexa merah padam mendengar kalimat yang diungkapkan dengan tanpa basa-basi itu.
Astaga, membayangkan lelaki sedingin ini mengejarnya dengan kekuatan penuh terasa menakutkan untuknya..... dan kemudian secara reflek Alexa langsung mundur satu langkah menjauh dari Daniel.
Daniel sendiri tersenyum melihat reaksi Alexa, lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Alexa dengan tajam,
"Takut padaku, eh?"
Alexa hanya menelan ludahnya, tidak berani menjawab, suaranya seakan hilang tak berbekas.
Dan kemudian, tanpa diduga, Daniel melangkah maju, membuat Alexa membeku tak sempat menjauh. Lelaki itu berdiri tepat di depan Alexa, begitu tinggi membuat Alexa harus mendongakkan kepalanya untuk menatap ekspresi Daniel yang dingin dan tak terbaca. Lalu Daniel mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah wajah Alexa....
Kembali secara refleks, Alexa memejamkan matanya sambil mengernyitkan kening, takut akan apa yang akan dilakukan Daniel kepadanya.
Tak diduganya, Daniel hanya menyentuhkan ujung jemarinya ke pipi Alexa dengan sentuhan lembut seringan bulu.
"Jangan pernah berpikir untuk mempertimbangkan Nathan sebagai pilihanmu." suaranya berbisik, penuh ancaman tetapi diucapkan secara tersirat. Lalu lelaki itu melangkah melewati Alexa yang masih membeku dan tak berani bergerak oleh sentuhan Daniel.
Sampai langkah-langkah Daniel menghilang dari ujung lorong, barulah Alexa berani menoleh, menatap ke arah lorong yang kini kosong.
Jemarinya menangkup pipinya sendiri, bekas sentuhan Daniel, dan entah kenapa, pipinya terasa amat panas.
***
Nathan mengamati kejadian itu dari jendela kaca tersembunyi di ruangan tempatnya berdiri, ruang kepala bagian personalia. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di sini untuk menunggu sang kepala personalia yang notabene adalah orang kepercayaannya. Ruangan ini memiliki jendela satu sisi yang besar dan tembus ke luar dari dalam, tetapi orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Dia tadi melihat Daniel menunggu di depan lift dan melihat Alexa datang, kemudian Nathan memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.
Daniel seperti biasa, selain memanfaatkan uangnya, lelaki itu memanfaatkan pesona dinginnya yang kasar untuk merayu perempuan.
Ah ya, Daniel seorang playboy sebelum keputusan pertunangan ini diumumkan. Lelaki itu memiliki beberapa kekasih yang dicampakkan sesuka hati, kebanyakan perempuan-perempuan cantik yang berasal dari kalangan atas, berasal dari keluarga kaya yang sederajat dengan keluarga Simon.
Hanya setelah masalah persaingan pertunangan ini, Daniel sepertinya meninggalkan pacar-pacarnya dan memilih berdiam dirumah Albert Simon. Lelaki itu benar-benar serius ingin memenangkan Alexa, dan meninggalkan kehidupan glamornya yang penuh dihiasi dengan wanita-wanita cantik.

Kalau Daniel serupa harimau yang tampak garang di luarnya dan menggertak dari luar, Nathan lebih mirip burung elang yang cantik tetapi diam-diam mengintai untuk membunuh.
Hanya saja tidak diduganya Daniel benar-benar berusaha mengalahkannya. Nathan sendiri terkejut ketika Albert Simon tadi pagi memanggilnya dan mengatakan bahwa Daniel akan memimpin perusahaan ini bersamanya. Padahal kemarin dia sudah maju satu langkah ketika Albert Simon memilihnya menjadi presiden direktur perusahaan ini, cabang perusahaan yang diincarnya karena Alexa berkerja di dalamnya. Tetapi sepertinya semalam Daniel berhasil membujuk Albert Simon, dengan alasan dia menginginkan atas waktu yang sama yang bisa dihabiskannya bersama Alexa, seperti halnya Nathan ketika bekerja.
Nathan mengernyit penuh kemarahan, tidak puaskah Daniel menjadi presiden direktur di perusahaan-perusahaan lain milik Albert Simon sehingga sekarang masih mengganggu posisinya di perusahaan ini?
Mata Nathan menajam melihat Alexa masih terpaku dengan jemari memegang pipinya yang bekas sentuhan Daniel.
Gawat.
Daniel sepertinya sudah berhasil menanamkan pesonanya di balik sikap dingin dan kasarnya. Lelaki-lelaki seperti itu memang menarik bagi perempuan....
Dan Nathan harus berbuat sesuatu sebelum dia dikalahkan dengan mudah. Nathan tidak boleh kalah, dan untunglah, untuk saat-saat seperti ini dia memiliki kartu truf bagus yang bisa membawanya ke dalam kemenangan.
Dia mengeluarkan amplop dari saku jasnya, hasil penyelidikannya dari detektif swasta atas Daniel, terutama di kisah asmaranya. Ada informasi terpenting di sana, mengenai kekasih Daniel yang terakhir, seorang perempuan dari kalangan atas, sempurna di segala hal dan sekarang merintis kariernya di bidang hukum. Perempuan itu adalah kekasih Daniel yang paling serius dan paling lama. Bahkan bulan-bulan terakhir ini santer berhembuskabar bahwa Daniel akan segera menikahi kekasihnya itu.
Tapi kemudian, hubungan mereka kandas tanpa sebab, gosip mengenai penyebab putusnya hubungan mereka itu beredar dalam berbagai versi tetapi tidak ada yang tahu asal muasalnya. Yang jelas, Daniel-lah yang meninggalkan kekasihnya itu tiba-tiba.
Ya.... sebuah senyum tipis muncul di bibir Nathan. Mungkin kebanyakan orang tidak tahu apa alasannya Daniel meninggalkan kekasihnya, tetapi Nathan tahu bahwa Daniel melakukannya demi mendapatkan Alexa.
Nathan bisa memanfaatkan kekasih yang patah hati itu demi mencapai tujuannya. Biasanya wanita-wanita yang patah hati lebih penuh dendam dan mudah dimanipulasi.
Kemudian dia menekan nomor kontak mantan kekasih Daniel itu.
***
Malam sudah beranjak semakin gelap ketika Alexa pulang ke mansion dengan memakai kendaraan umum. Albert Simon memang menyiapkan supir untuknya tetapi tentu saja Alexa tidak bisa menggunakannya bukan? Bisa-bisa gosip akan tersebar luas kalau salah satu karyawan rekan kerjanya melihatnya turun dari salah satu mobil besar milik Albert Simon.
Lagipula dia sudah terbiasa naik kendaraan umum, dan bahkan mansion ini lebih dekat ke kantornya daripada rumah mungilnya yang dulu, sehingga perjalanan yang ditempuh oleh Alexa lebih pendek dan mengurangi kelelahannya.
Dia melangkahkan kaki pelan-pelan memasuki tangga mansion yang megah itu, semuanya dari lantai tangga sampai pilar-pilarnya, dibuat dari marmer berwarna putih yang licin dan berkilauan. Alexa masih merasa tidak nyaman pulang ke rumah ini... rumah ini meskipun besar dan indah terasa asing dan memantulkan kesepian yang dalam.
Dia membuka pintu dan mendapati lobby mansion yang sepi.
Sepertinya Nathan dan Daniel belum pulang. Suasana tampak lengang, hanya beberapa pelayan yang lalu lalang sambil mengangguk menyapanya ketika melihat Alexa.
Mungkin Albert Simon juga sedang tidak ada di rumah....
Lambat-lambat telinga Alexa mendengarkan suara piano yang dimainkan dengan indahnya.
Siapa yang bermain piano? Apakah Albert Simon?
Dengan ingin tahu, Alexa menelusuri lorong di bawah tangga, menuju ke sebuah ruangan besar berdinding kaca yang memantulkan pemandangan malam dan juga berkubah kaca bening di bagian atas, sehingga langit malam yang berbintang tampak bagaikan lukisan alami yang menghiasi ruangan.
Lampu ruangan dinyalakan redup, dan ternyata yang sedang memainkan piano bukanlah Albert Simon, melainkan.... Daniel.

Alexa tidak mengenali lagu apa yang dimainkan oleh Daniel, tetapi yang dia tahu, lagu itu sarat akan kepedihan, dan tiba-tiba saja membuat matanya panas dan dadanya terasa sesak. Astaga, tidak disangkanya, di balik sikap dingin dan kasarnya, Daniel mampu memainkan nada sedih ini dengan indahnya, dengan lembut dan penuh perasaan.....
Alexa menghela napas untuk meredakan kesesakan dadanya, dan ternyata hal itu membuat Daniel menoleh dan menghentikan permainannya. Langsung menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang tajam, membuat Alexa berdiri di sana dengan gugup dan salah tingkah.
"Maafkan aku..." suara Alexa tercekat, "Aku mendengar suara piano dan..."
Daniel mengangkat alisnya, "Tidak apa-apa." Selanya cepat, "Kau baru pulang kerja?"
"Ya." Alexa menoleh ke belakang, merasa ingin melarikan diri, "Permisi, sekali lagi maaf karena aku mengganggu."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Masuklah kemari, Alexa, aku ingin bicara." Daniel menyela sekali lagi, kali ini nada suaranya tegas dan tak terbantahkan, membuat langkah Alexa yang sudah hendak terbalik menjadi terpaku.
***
Nathan menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet parkir di lobby hotel dan restoran mewah itu. Dia tersenyum mantap penuh antisipasi ketika memasuki area restoran. Petugas reservasi tentu saja sudah mengenalnya dan langsung mengantarkannya menuju tempat duduknya.
Nathan lalu duduk dan menunggu. Kartu trufnya akan segera datang....
Dan memang benar Nathan tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan cantik, dengan penampilan tegas dan kuat -berbeda dengan perempuan yang merupakan anak orang kaya lainnya yang dikenal Nathan- memasuki ruangan. Perempuan itu mengenakan setelan hitam yang membungkus tubuhnya dengan seksi tampak pas membalut tubuh rampingnya yang berlekuk sempurna di tempat-tempat yang memang seharusnya berlekuk. Kakinya panjang dan tinggi seperti model, peenampilannya berkelas dengan wajah mungil tegas yang berkarakter. Keseluruhan penampilannya memunulkan citra perempuan kelas atas.
Perempuan itu langsung mendatangi Nathan dengan tatapan lurus yang mengintimidasi. Hanya terdiam hingga membuat Nathan pada akhirnya menyapa duluan,
"Senang sekali akhirnya kau mau menemuiku." Nathan menyapa, memasang senyum ramahnya.
"Tidak usah memakai basa-basi." Perempuan itu menyela, tidak mempedulikan senyum ramah Nathan, bahkan dia masih berdiri dengan menantang di depan Nathan. "Apa rencanamu sehingga repot-repot mengatur pertemuan ini?." Ya, Perempuan di depannya ini tentu saja sudah mendengar gosip yang beredar tentang Nathan, cucu keluarga Simon yang memasuki keluarga Simon dan menimbulkan kehebohan di sana.
Nathan mengangkat alisnya. Perempuan ini ternyata tidak bisa diremehkan. Mungkin karena karirnya di bidang hukum membentuknya menjadi perempuan yang kuat. Pantas saja Daniel betah berpacaran lama dengannya dan berniat menikahinya. Perempuan yang ada di depannya ini sudah jelas-jelas memiliki kualitas lebih, dan tidak lembek membosankan sehingga mudah disetir lelaki.
Nathan harus mengubah strateginya dalam menghadapi perempuan ini. Dia tidak akan bersikap dominan, tetapi bersikap bersahabat dan bertindak lebih seperti rekan serta membuat perempuan ini merasa dihargai.
"Duduklah dulu Renata." Nathan mengedikkan dagunya ke arah bangku di depannya, "Mungkin kita bisa membicarakan ini dengan lebih baik."
Renata mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan waspada. Tetapi kemudian dia menyadari kebenaran kata-kata Nathan dan duduk di depan lelaki itu.
"Well? Mulailah menjelaskan." tanyanya cepat, menunggu Nathan berbicara.
***

Berdua dengan Daniel memang menegangkan. Tetapi berdua dengan Daniel di ruangan yang berhiaskan lagit malam berbintang dan hanya berdua saja tentu terasa lebih menangangkan.
Daniel sendiri tampaknya tidak mempedulikan kegugupan Alexa, lelaki itu menuangkan sepoci teh yang ternyata sudah di sediakan di meja didepan mereka, dan menyodorkan cangkirnya kepada Alexa yang duduk di seberangnya.
"Minumlah, kau pasti lelah setelah perjalananmu." gumam Daniel tegas hingga mau tak mau Alexa menerima cangkir itu dan menyesap teh yang harum itu.
Daniel mengamati Alexa hingga Alexa meletakkan cangkirnya. "Kau naik kendaraan umum?" Daniel tidak menunggu sampai Alexa menjawab, "Kenapa kau tidak memanfaatkan kendaraan yang disediakan kakek untukmu?"
"Kau tahu kenapa." Alexa cepat-cepat menjawab, berharap Daniel menyadari bahwa dia ingin merahasiakan seluruh hubungannya dengan keluarga Albert Simon ketika mereka sedang berada di tempat kerja.
Daniel menghela napas, "Yah, aku tahu. Kakek memanggilku dan mengatakan bahwa selama tiga bulan ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang seluruh rencana kita." Mata Daniel mengernyit, "Setidaknya kali ini aku bisa setuju dengan kakek. Gosip yang menyebar bisa menghancurkan orang-orang. Kau tahu seperti gosip kedatangan Nathan yang menyebar sedemikian cepat di kalangan keluarga, teman-teman dan kolega kami, membuat mamaku dan aku harus berjalan sambil membungkukkan tubuh dan berusaha menutupi wajah, menahankan rasa malu."
Alexa bisa melihat kesakitan di sana, kesakitan dan kepedihan yang sinis. Sepertinya di balik sikap keras lelaki itu, Daniel memendam luka emosional yang dalam.
Alexa mengamati ketika Daniel menuang teh untuk dirinya sendiri dan menyesapnya dengan elegan. Seorang pria tampan yang menuang teh dari poci bercorak bunga kemudian menyesap dari cangkir dengan corak bunga yang sama mungkin akan terlihat menggelikan, tetapi tidak begitu halnya dengan Daniel, lelaki itu malah tampak semakin jantan ketika melakukannya.
Pipi Alexa memerah, kenapa dia memikirkan tentang 'jantan' nya Daniel?
Daniel sendiri tampak tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu menatap ke sekeliling ruangan yang luas itu. Sofa tempat mereka duduk berada di pojok ruangan, di sudut area terkecil ruangan, selebihnya ruangan itu didominasi oleh lantai marmer yang indah berwarna putih yang melingkupi seluruh ruangan yang lapang dan kosong. Sebuah piano besar yang dimainkan oleh Daniel tadi, terletak di ujung satunya lagi, tampak cocok berada di sana sebagai ornamen penting.
"Kau tahu ini ruangan apa?" Daniel tiba-tiba bertanya, membuat Alexa yang tadinya mengamati Daniel terlonjak, merasa malu dan mengalihkan tatapannya.
Alexa mengikuti tatapan Daniel ke sekeliling ruangan, menatap kubah kaca yang memantulkan langit malam dan membangun suasana romantis di sana....

Tiba-tiba saja Daniel berdiri, dan melangkah menuju ke arah alat stereo yang ada di dinding dekat sofa, dan menyalakannya, ketika dia selesai, alunan musik lembut mengalun memenuhi ruangan.
"Mamaku selalu bilang, bahwa kita tidak akan bisa mengenali seseorang sebelum kita berdansa dengan orang itu." Ada senyum di bibirnya yang kaku ketika menatap Alexa.
Kemudian tanpa di duga Daniel membungkuk formal dan mengulurkan sebelah tangannya kepada Alexa,
"Maukah kau lebih mengenalku, Alexa? dengan berdansa denganku?"
***
"Dia memang meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan dua minggu sebelumnya kami sudah memilih cincin untuk bertunangan. Daniel memang tidak pernah melamarku secara langsung, tetapi dia memberikan isyarat ke arah itu dengan setuju untuk memilih cincin bersamaku." Mata Renata menajam. "Dan kemudian dia meminta hubungan serius kami dihentikan tanpa bisa menjelaskan alasannya, dia pergi begitu saja....Membuatku kelabakan harus menjelaskan kepada keluargaku, kau tahu keluargaku dan keluarga Simon sebelumnya berhubungan baik dan hubungan itu sedikit retak karena langkah yang diambil Daniel."
Suara Renata sedikit bergetar mengungkapkan kepedihan yang dirasakannya, lalu dia menyambung "Aku menduga dia mungkin kehilangan cintanya kepadaku, kau tahu sebelum denganku dia juga menjalin cinta dengan beberapa gadis dan mencampakkannya ketika dia bosan. Orang bilang Daniel Simon tidak akan mampu melewati tiga bulan tanpa berganti kekasih... tetapi ketika dia menjalin hubungan denganku, sikapnya sungguh berbeda kepadaku, kami berhasil melalui tiga bulan tetap bersama tanpa masalah, bahkan hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya., hingga aku berani berharap lebih....Dan ketika dia meninggalkanku begitu saja, aku pikir dia sudah bosan kepadaku."
"Ternyata tidak." Nathan menyela dengan tenang. "Aku tidak berbohong kepadamu, Renata. Seluruh cerita yang kupaparkan tadi itu benar adanya. Daniel meninggalkanmu karena dia ingin memenangkan pertarungan melawanku, dia ingin mendapatkan Alexa. Tunangan kami berdua. Kau tahu, masa penentuannya adalah tiga bulan lagi. Siapapun yang dipilih Alexa menjadi suaminya akan menjadi cucu utama Albert Simon."
Mata Renata yang cerdas menyipit. "Jadi apa rencanamu, Nathan?"
"Aku ingin kau membuat Alexa memilihku. Kaulah satu-satunya yang bisa menyadarkan Alexa bahwa Daniel mendekatinya tanpa hati." Matanya menatap Renata dengan redup, "Hatinya ada padamu, Renata. Apakah kau tega membiarkan Daniel terikat dengan perempuan yang tidak dicintainya selamanya.... hanya karena kedudukan di keluarga Simon? Ingat, kalau Alexa memilih Daniel, tidak perlu menunggu waktu lama, paling lama tiga sampai empat bulan, Danielmu sudah harus menikahi Alexa. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan Daniel."

Nathan bersedekap santai di kursinya, tidak membantah kata-kata Renata.
"Aku tidak emmbantah, Renata. Aku memang mempunyai kepentingan pribadi dalam hal ini dan aku membutuhkan bantuanmu. Kalau hal ini bisa membuatmu merasa tenang, aku berjanji tidak akan melukai Daniel. Dia akan mendapatkan bagian hartanya, meskipun dia harus menerima menjadi posisi nomor dua di bawahku." Tatapan Nathan berubah tajam, "Setidaknya kau bisa mendapatkan kekasihmu kembali, dan menyelamatkan Daniel dari menikahi perempuan yang tidak dicintainya."
Nathan menatap Renata yang tampak ragu dengan penuh perhitungan, "Bagaimana Renata? apakah kau setuju bekerjasama denganku? Aku memperoleh keuntungan dan kau juga, tidak ada yang dirugikan dalam kerjasama ini, tidak Daniel, tidak pula Alexa yang menjadi tunangan kami berdua."
Suaranya begitu meuakinkan, mencoba menembus keraguan di benak Renata....
Bersambung ke Part 10
Published on July 19, 2013 00:14
July 18, 2013
Another 5% Part 17
Penulis curhat dulu :
Heeee berasa sudah lama sekali aku nggak posting di blog ini. Maafkan yaa.... Diawali pada hari senin yang cerah ( kok jd malahan cerita hehehe) ketika layar laptop berkedip heboh dan segala cara sudah dicoba buat bikin berhenti, tapi kedipannya ga mau berhenti.... malahan setelah beberapa lama tiba-tiba layarnya berubah menjadi putih bersih tanpa gambar apapun, usut punya usut, laptop rusak LED-nya dan ga bisa diselamatkan sehingga harus diganti yang baru jadinya harus nginep deh di tukang service.
Posting jadi terhambat selama laptop dibetulin karena aku termasuk penulis yang nekat dan ga kapok-kapok, jadi semua naskah disimpen di satu laptop itu tanpa back-up, sehingga kalo laptop itu ga bisa nyala, otomatis semua naskah ga bisa diambil T_T, pernah kejadian si laptop ini windowsnya rusak dan mati total hingga aku menangis meraung-raung di kamar, bikin misua kelabakan dan buru-buru cari cara buat menyelamatkan datanya sampe dia ga tidur semalaman, hihihihihi
Hari ini akhirnya laptop bisa diambil dari tukang service dan mulai bisa deh intip2 komen, email dan semua media sosial, lalu langsung merasa bersalah banget karena banyak yang nanyain, banyak yang doain supaya ga sakit, dan banyak yang menunggu dan juga banyak sekali perhatian lainnya dari all readers (semuanya aku baca meski ada yang belum di balas huhuhu). Huhuhuhu jadi terharu, maafkan ya membuat semuanya menunggu lama. Semoga setelah ini si laptop kesayangan sudah nggak ngambek lagi dan lancar jaya postingnya ya.
Dan semoga aku bisa terus posting karya-karya yang menghibur all readers semuanya ya. Maafkan membuat all readers menunggu begitu lama :))
Another 5%
Sabrina membuka matanya, dan melihat Rolan duduk membelakanginya sambil menyuntikkan jarum besar ke lengannya untuk mengambil darahnya.
Dengan segera Sabrina kembali memejamkan matanya, supaya Rolan tidak tahu bahwa dia sudah sadar.
Kenapa Rolan mengambil darahnya? Apakah lelaki itu akhirnya takluk ke dalam tipuannya dan hendak memberikan darahnya kepada Sabrina secara sukarela?
Cara yang digunakan Rolan berbeda dengan Gabriel, ketika memberikan darahnya, Gabriel tidak repot-repot menggunakan jarum suntik, dia menggunakan kekuatannya untuk memindah darahnya hingga dalam sekejap, infus Sabrina berwarna merah dan darah Gabriel mengalir ke dalam tubuhnya. Tetapi bagaimanapun caranya, bukankah ujungnya sama saja? Pada akhirnya Sabrina akan mendapatkan darah sang pemegang kekuatan yang bisa memperlambat efek menyebarnya sel kankernya. Membuatnya baik-baik saja.
Sabrina tidak bisa menyembunyikan senyuman di sudut bibirnya ketika akhirnya Rolan menyuntikkan darahnya ke dalam infusnya.
Dia langsung merasakan efeknya, darah itu memasuki tubuhnya, menghentikan sel-sel kanker yang menyebar. Membuatnya merasa lebih baik.
Mungkin Sabrina akan bisa terus memanfaatkan Rolan ke depannya. Gabriel tidak bisa dipercaya, bahkan sekarang kakaknya itu tega menghukum Sabrina karena ikut campur urusannya dengan tidak memberikan darahnya dan membuat Sabrina kesakitan.Sekarang Sabrina punya Rolan. Jadi Gabriel tidak akan bisa menghukumnya dengan cara yang sama. Rolan tentu saja lebih mudah dimanipulasi dan dibodohi dibandingkan dengan Gabriel, karena Rolan berjiwa putih dan baik.
Sabrina tertawa dalam hati dengan sinis, menertawakan orang-orang baik yang sangat mudah dibodohi. Dia berencana akan memanfaatkan Rolan, bahkan jika bisa dia akan membuat Rolan menyembuhkannya.
Dan sementara itu, Sabrina akan memikirkan cara untuk menyingkirkan Selly secepatnya.
***
Gabriel memejamkan mata dan menggertakkan giginya, dia melihat semuanya, melihat bagaimana dengan nekat Rolan memberikan darahnya untuk membantu Sabrina memperlambat sel-sel kankernya.
Lelaki itu benar-benar sudah tertipu oleh penampilan lemah Sabrina.
Kasihan Selly...
Gabriel mengeryit ketika rasa iba itu menyeruak ke dadanya. Dia tidak pernah merasa iba, tidak setelah dia mendapatkan kekuatan itu. Hatinya dingin dan gelap sehingga tidak bisa dimasuki oleh perasaan manusiawi seperti rasa iba.
Tapi ini rasa iba. Gabriel memikirkan Selly dan merasakan sensasi rasa itu. Perasaan kasihan yang begitu dalam, memikirkan Selly harus menghadapi semua ini.
“Dia memberikan darahnya bukan?” Carlos bergumam tenang, mengamati setiap perubahan ekspresi Gabriel.
Gabriel menganggukkan kepalanya, hampir tak kentara.
“Ya. Lelaki bodoh itu takluk di kaki Sabrina dan memberikan darahnya.” Bodoh sekali!
Carlos mengamati Gabriel dalam-dalam, “Bukankah itu yang tuan inginkan? Dengan begitu ikatan cinta sejati antara Selly dengan Rolan akan semakin rapuh.”
Gabriel memang menginginkan ikatan cinta sejati antara Rolan dan Selly terputus, tetapi rencananya bukan seperti ini. Rencananya adalah merayu Selly ke dalam pesonanya sehingga perempuan itu meninggalkan Rolan, setelah itu Selly akan membuat Rolan terperosok dalam jurang patah hati yang dalam. Sekarang yang terjadi, Rolanlah yang akan menceburkan Selly ke dalam jurang patah hati itu.
“Kurasa waktunya sudah dekat, Carlos, aku akan menantang Gabriel.”
“Anda belum tahu pasti apakah ikatan cinta sejati antara Rolan dan Selly sudah putus. Akan berbahaya ketika anda menantang Rolan dan ternyata dia masih memiliki Selly sebagai cinta sejatinya. Bukankah itu tujuan anda? Menjauhkan Selly sehingga tidak bisa menjadi tambahan 5% kekuatan bagi Rolan?”
Gabriel hanya terdiam, ekspresinya tidak terbaca.
“Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Aku akan menantang Rolan segera. Aku muak hanya mengamati dia berbuat kebodohan demi kebodohan.”
Dan kemudian, tanpa kata lelaki itu menghilang dari hadapan Carlos, ditelan oleh bayangan hitam.
Carlos masih merenung sendiri di ruangan itu, menatap bayangan hitam yang semakin memudar di tempat tuannya tadi berdiri.
Dia merasa ada yang berubah dari diri Gabriel, bahkan pada malam itu ketika Gabriel buru-buru pergi untuk menyelamatkan Selly yang dicampakkan Rolan begitu saja di tengah hujan badai, Carlos merasa itu bukan watak Gabriel yang dikenalnya.
Tuan Gabriel bukanlah orang yang bersedia repot-repot untuk menolong manusia biasa. Apalagi seorang perempuan lemah yang notabene adalah cinta sejati musuhnya.
Atau... apakah memang Gabriel sudah berubah? Carlos sendiri curiga bahwa alasan Gabriel ingin memutuskan ikatan cinta sejati antara Rolan dengan Selly bukan karena dia takut kalah, tetapi lebih karena ingin menyelamatkan Selly. Karena buku kuno aturan semesta menyebutkan bahwa sang cinta sejati harus berkorban demi memberikan 5% tambahan kekuatan bagi sang pemegang kekuatan..... Mungkin saja hal itu berarti pengorbanan nyawa bagi Selly.
Apakah jangan-jangan... Gabriel ingin menyelamatkan Selly dari kematian karena pengorbanan?
***
“Apakah kau baik-baik saja?” Gabriel yang tadi entah berada di mana sudah kembali ke ruangan kerja mereka, dan sekarang berdiri di depan Selly, mengamatinya.
Diamati seperti itu Sely langsung merasa gugup.
“Saya baik-baik saja.”
“Kau tampak sedih.” Lelaki itu tetap menelusuri seluruh wajah Selly dengan tatapan tajam seolah ingin menembus ke dalam jiwanya.
Selly tersenyum, “Saya baik-baik saja.” Meskipun begitu Selly tampak tidak yakin, dia mengusap pipinya bertanya-tanya apakah matanya yang sembab dan menghitam karena menangis semalaman tidak berhasil ditutupi oleh riasannya.
“Ada apa dengan calon suamimu?” Gabriel tampaknya tidak mempercayai jawaban Selly, lelaki itu mengambil kursi dan duduk di depan meja Selly, bersikap santai seolah dia bukan seorang bos. “Masalah lagi?”
Selly menghela napas panjang, “Tidak Sir, sebenarnya hubungan kami baik-baik saja, mungkin hanya perasaan saya yang tidak enak.”
“Kenapa perasaanmu tidak enak?” Gabriel berdiri di sana, bagaikan banteng yang tidak mau menyerah sebelum mendapatkan informasi, “Selly aku memang bosmu, kita bekerja secara profesional di sini, tetapi bukan berarti kau tidak boleh kadangkala menceritakan permasalahanmu, kalau sampai permasalahan itu berimbas kepada pekerjaanmu, bukankah itu juga akan berimbas kepadaku juga?”
Selly menatap Gabriel, tampak agak tersinggung, “Saya jamin permasalahan saya tidak akan mengganggu pekerjaan saya Sir.”
Tanpa diduga Gabriel tesenyum lebar. ‘Memang, aku yakin kau orang yang kompeten. Tetapi tidak bisakah kau berbagi denganku, mungkin sebagai teman?”
Sebagai teman? Selly hampir-hampir tidak mengenal Gabriel selain di kanto dan beberapa insiden yang membuat mereka bertemu di luar kantor. Apakah dia bisa menganggap Gabriel sebagai teman?
Tetapi bisa dikatakan Selly tidak mempunyai teman, pekerjaannya sebagai asisten pribadi Gabriel membuatnya jauh dari teman-teman sekerjanya, hanya Gabriel satu-satunya rekan kerjanya sekarang, lagipula insiden di malam ulang tahun itu membuat Gabriel sedikit banyak mengetahui permasalahan Selly dengan Rolan, mungkin Selly bisa sedikit berbagi dengan Gabriel.
“Calon suami saya... namanya Rolan.” Selly tidak ingat apakah dia pernah menyebut nama Rolan kepada Gabriel atau belum, “Seperti yang saya ceritakan, Rolan pernah menderita penyakit kanker otak dan dia sembuh dengan mukjizat.... tetapi ada seorang perempuan, dia pasien kanker otak juga... akhir-akhir ini, Rolan memperioritaskannya... dan itu membuat perasaan saya tidak enak.” Selly menghela napas panjang, “Mungkin memang perasaan saya yang salah, tidak seharusnya saya merasakan kecemburuan kepada perempuan lemah seperti Sabrina....”
“Apakah Sabrina ini perempuan yang sama yang membuat Rolan tidak datang di janji makan malam kalian di hari ulang tahunmu itu?”
Selly menganggukkan kepalanya.
Gabriel tersenyum meskipun tatapannya tampak serius,
“Selly. Sebagai seorang perempuan, kau tidak boleh diam dan menyerah. Kalau kau memang mencintai calon suamimu, maka kau harus memperjuangkannya. Sikap diam dan memendam sendiri tidak akan membawa jalan keluar, yang ada kau akan terlambat dan kehilangan semuanya.”
Dan kemudian, tanpa menunggu reaksi Selly, Gabriel bangkit dari kursinya dan pergi ke mejanya sendiri.
***
Selly melangkah keluar dari toilet dan sedikit tersentak ketika ponselnya berbunyi. Dia mengeluarkannya dari sakunya dan melihat nomor Rolan di sana.
“Rolan?” Selly langsung mengangkat ponselnya dengan semangat, berharap Rolan memberi kabar baik bahwa mereka bisa bertemu sore ini.
“Selly?”
Itu bukan suara Rolan, itu suara Sabrina. Selly bagaikan dihantam dengan keras ketika mendengar bahwa Sabrina yang menyahut di sana. Kenapa Sabrina meneleponnya dengan menggunakan ponsel Rolan? Apa yang dilakukan Sabrina dengan ponsel Rolan? Kemana Rolan?
“Sabrina?” Selly tetap bertanya meski dia sudah tahu pasti, dia bisa merasakan senyum Sabrina di seberang sana.
“Selly, Rolan memintaku meneleponmu, katanya dia tidak bisa menemuimu, dia harus menemaniku menjalani serangkaian pemeriksaan malam ini. Kau tidak apa-apa kan?”
Selly membeku. Benarkah? Benarkah apa yang dikatakan Sabrina itu? kalau memang begitu, kenapa Rolan tidak meneleponnya sendiri? Kenapa dia menyuruh Sabrina menyampaikannya?
“Dimana Rolan?” Selly bertanya, curiga.
Ada senyum di nada suara Sabrina, “Rolan sedang berkonsultasi dengan dokter tentang proses pemeriksaanku.” Sabrina menghela napas, terdengar bahagia, “Aku senang sekali. Selly, Rolan baru saja membuktikan kepadaku, bahwa dia rela berkorban apa saja... rela melakukan apa saja agar aku tidak sakit lagi.”
“Apa?”
“Kau pasti mengerti apa maksudku. Sudah ya.” Tiba-tiba saja Sabrina memutus pembicaraan, membuat Selly masih ternganga dengan gagang ponsel di telinganya.
Jemarinya bergetar ketika menurunkan ponsel itu dan menatapnya. Dia tidak bermimpi bukan? Tadi benar-benar Sabrina bukan yang menelepon menggunakan ponsel Rolan?Mata Selly masih nanar menatap ponsel di depannya. Hatinya terasa sakit, penuh gemuruh dan prasangka.
Tetapi..... dia tidak bisa menuduh Rolan begitu saja, bisa saja Sabrina yang sengaja melakukan kecurangan dengan mencuri pakai ponsel Rolan bukan? Mungkin memang Sabrina ingin menjauhkan Selly dari Rolan, karena itulah dia memakai cara licik ini.
Selly tahu persis sifat Rolan. Tidak mungkin Rolan melakukan ini kepadanya.
Jantungnya berdebar penuh antisipasi. Dia langsung teringat kata-kata Gabriel tadi, kalau dia mencintai Rolan dia tidak boleh diam saja, dia harus memperjuangkan Rolan sebelum terlambat.
Sore nanti, mengabaikan kat-kata Sabrina, Selly akan menyusul ke rumah sakit.
***
“Kenapa tampak buru-buru?” Gabriel mengerutkan kening ketika melihat Selly segera mengemasi tas-nya ketika jam lima tepat ditunjukkan di jam dinding.
Selly mendongakkan kepalanya, menatap Gabriel yang mengerutkan keningnya dan menatap Selly ingin tahu. Tiba-tiba pipi Selly memerah karena dia terdorong perasaannya akibat nasehat Gabriel tadi. Selly memang berencana untuk bergegas menyusul ke rumah sakit dan menemui Rolan, memastikan apa yang dikatakan Sabrina tadi kepadanya melalui ponsel dan mengkonfirmasinya langsung baik kepada Rolan maupun kepada Sabrina.
“Saya ingin ke rumah sakit.” Selly bergumam pelan, “Saya ingin memastikan sesuatu.”“Ini tentang Rolan lagi?”
Pipi Selly memerah, merasa malu karena permasalahannya dengan Rolan begitu pelik sehingga Gabriel sampai terganggu karenanya.
“Iya...” Selly menelan ludahnya dengan ragu. “Ada telepon dari Sabrina yang mengatakan bahwa Rolan... bahwa pada dasarnya Rolan ingin meninggalkan saya dan memilih Sabrina.” Dia menggigit bibirnya, merasakan dorongan menyesakkan untuk menangis, “Anda bilang saya harus berjuang dan memastikan, karena itu saya akan datang ke rumah sakit untuk memastikan semuanya.”
Gabriel mengerutkan keningnya, menatap Selly yang menahan tangisnya, Dia menggertakkan giginya dan kemudian menggunakan kekuatannya, hanya beberapa detik hingga Selly tidak menyadarinya, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit.Setelah mendapatkan pengelihatannya, matanya menyala.
“Kupikir lebih baik aku mengantarmu Selly.” Gumam Gabriel tenang meskipun ada kemarahan di dalam suaranya, “Aku kebetulan berencana ke rumah sakit yang sama hari ini, untuk menengok salah seorang kolega bisnisku yang dirawat hari ini, kau bisa ikut mobilku dengan begitu kau bisa lebih cepat sampai dibandingkan naik kendaraan umum.”
Sejenak Selly merasa ragu. Tetapi bukankah dia beruntung karena Gabriel ternyata sedang berencana untuk mengunjungi rumah sakit yang sama?
Selly lalu menganggukkan kepalanya,
“Terima kasih Sir. Saya rasa saya akan menumpang mobil anda.”
***
Hari sudah beranjak sore ketika Rolan memasuki ruangan Sabrina lagi, dia barusan bertemu dengan dokter Beni dan berbicara mengenai kondisi kesehatan Sabrina. Nanti malam mereka akan melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Sabrina, dan Rolan yakin hasil pemeriksaan itu akan mengatakan bahwa Sabrina sudah kembali baik-baik saja.
“Dokter sudah menjadwalkan pemeriksaan nanti sore, sepertinya kondisimu sudah membaik ya.” Rolan mengamati wajah Sabrina dan menyadari bahwa sudah ada rona di sana. Berarti darah yang diberikannya memang memberikan efek yang baik kepada Sabrina, tadi dia memberikan darah itu pelan-pelan, masih menggunakan metode manual dengan jarum suntik untuk memindahkan darahnya kepada Sabrina, karena dia masih belum bisa memindahkan darahnya dengan kekuatannya.
“Iya. Sepertinya... sepertinya rasa sakitku hilang begitu saja.” Sabrina bergumam lembut, menyentuh rona di pipinya dengan jemarinya yang kurus, “Terimakasih Rolan, karena kau menemaniku....” Perempuan itu lalu menghela napas dan tampak sedih.
“Kenapa Sabrina?”
“Aku... aku merasa tidak enak kepada Selly... apakah kau tidak menyadari tatapan Selly kepadaku kemarin? Dia.. dia sepertinya marah kepadaku.”
Rolan mengerutkan keningnya. Benarkah? Selly memang sedikit cemburu kepada Sabrina, tetapi setelah Rolan menjelaskan, bukankah Selly kemudian mengerti? Kemarinpun ketika mereka berpisah, Selly tampak baik-baik saja.
“Selly tidak mungkin marah kepadamu Sabrina, dia perempuan yang sangat pengertian. Lagipula dia pasti tahu bahwa aku menyayangimu seperti adikku sendiri.”
Sabrina menghela napas, memalingkan muka dengan mata berkaca-kaca.
“Bagaimanapun aku harus meminta maaf kepada Selly... dia begitu baik dan aku...” Setetes air mata bergulir di pipinya, “Dan aku telah mengkhianatinya.”
“Mengkhianatinya? Rolan mengerutkan keningnya, bingung dengan kata-kata Sabrina, “Apa maksudmu?”
Sabrina menundukkan kepala, ketika dia mengangkat matanya dan menatap Rolan, wajahnya tampak bersemu merah,
“Karena aku menyimpan perasaan lebih kepadamu.” Suara Sabrina tampak sedih, “Aku tidak tahu itu tidak boleh, tapi kau begitu baik kepadaku, tidak pernah ada yang begitu baik dan perhatian kepadaku, membuat perasaan itu tumbuh begitu saja....”
“Sabrina.” Rolan mengerang, ekspresinya tampak serba salah. Dia menyayangi Sabrina tentu saja, dan kebaikannya itu lebih karena didorong perasaan empati karena dia pernah merasakan sakit yang sama, tetapi tidak pernah ada di dalam benaknya untuk merasakan perasaan yang lebih kepada Sabrina. Hatinya hanya untuk Selly......
Rolan menatap Sabrina yang begitu rapuh dan tiba-tiba merasa bersalah, salahnya sendiri. Dia terlalu baik dan perhatian kepada Sabrina, lebih daripada yang seharusnya sehingga membuat Sabrina berani menumbuhkan perasaan itu kepadanya. Salahnya membuat Sabrina patah hati...
‘Maafkan aku Sabrina, kau tahu.. aku dan Selly, perasaanku hanya kepada Selly...”
Sabrina menundukkan kepalanya kembali, setetes bening turun mengalir di pipinya yang pucat.“Tapi kau tak perlu cemas Rolan, aku sendiri merasa bersalah dengan perasaan ini, aku merasa bersalah kepada Selly... dia begitu baik...” Bibir Sabrina bergetar ketika berkata, “Aku.. aku akan menghapus perasaan ini segera... tetapi sebelumnya bolehkah aku meminta satu hal?”
Rolan menghela napas panjang, “Apa Sabrina?” Kalau satu permintaan itu bisa menebus rasa bersalahnya kepada Sabrina dan mengurangi sakit hati Sabrina, dia akan melakukannya.
“Maukah kau menciumku, satu kali saja?” Sabrina tampak begitu rapuh dan menderita, “Aku belum pernah dicium lelaki sebelumnya, sakitku ini membuatku tidak mengenal banyak lelaki. Dan seandainya aku bisa memilih lelaki pertama yang akan menciumku, aku ingin kau yang melakukannya Rolan, maukah kau menciumku satu kali saja? Dan setelah itu mungkin aku bisa melepas perasaanku dan belajar menekan cintaku kepadamu.”
Rolan tertegun. Bingung antara keinginannya meredakan sakit hati Sabrina, dan teriakan nuraninya yang menahannya karena dengan mencium perempuan lain, itu sama saja dengan mengkhianati Selly.
Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang?
Bersambung ke Part 18
Heeee berasa sudah lama sekali aku nggak posting di blog ini. Maafkan yaa.... Diawali pada hari senin yang cerah ( kok jd malahan cerita hehehe) ketika layar laptop berkedip heboh dan segala cara sudah dicoba buat bikin berhenti, tapi kedipannya ga mau berhenti.... malahan setelah beberapa lama tiba-tiba layarnya berubah menjadi putih bersih tanpa gambar apapun, usut punya usut, laptop rusak LED-nya dan ga bisa diselamatkan sehingga harus diganti yang baru jadinya harus nginep deh di tukang service.

Hari ini akhirnya laptop bisa diambil dari tukang service dan mulai bisa deh intip2 komen, email dan semua media sosial, lalu langsung merasa bersalah banget karena banyak yang nanyain, banyak yang doain supaya ga sakit, dan banyak yang menunggu dan juga banyak sekali perhatian lainnya dari all readers (semuanya aku baca meski ada yang belum di balas huhuhu). Huhuhuhu jadi terharu, maafkan ya membuat semuanya menunggu lama. Semoga setelah ini si laptop kesayangan sudah nggak ngambek lagi dan lancar jaya postingnya ya.
Dan semoga aku bisa terus posting karya-karya yang menghibur all readers semuanya ya. Maafkan membuat all readers menunggu begitu lama :))
Another 5%

Sabrina membuka matanya, dan melihat Rolan duduk membelakanginya sambil menyuntikkan jarum besar ke lengannya untuk mengambil darahnya.
Dengan segera Sabrina kembali memejamkan matanya, supaya Rolan tidak tahu bahwa dia sudah sadar.
Kenapa Rolan mengambil darahnya? Apakah lelaki itu akhirnya takluk ke dalam tipuannya dan hendak memberikan darahnya kepada Sabrina secara sukarela?
Cara yang digunakan Rolan berbeda dengan Gabriel, ketika memberikan darahnya, Gabriel tidak repot-repot menggunakan jarum suntik, dia menggunakan kekuatannya untuk memindah darahnya hingga dalam sekejap, infus Sabrina berwarna merah dan darah Gabriel mengalir ke dalam tubuhnya. Tetapi bagaimanapun caranya, bukankah ujungnya sama saja? Pada akhirnya Sabrina akan mendapatkan darah sang pemegang kekuatan yang bisa memperlambat efek menyebarnya sel kankernya. Membuatnya baik-baik saja.
Sabrina tidak bisa menyembunyikan senyuman di sudut bibirnya ketika akhirnya Rolan menyuntikkan darahnya ke dalam infusnya.
Dia langsung merasakan efeknya, darah itu memasuki tubuhnya, menghentikan sel-sel kanker yang menyebar. Membuatnya merasa lebih baik.
Mungkin Sabrina akan bisa terus memanfaatkan Rolan ke depannya. Gabriel tidak bisa dipercaya, bahkan sekarang kakaknya itu tega menghukum Sabrina karena ikut campur urusannya dengan tidak memberikan darahnya dan membuat Sabrina kesakitan.Sekarang Sabrina punya Rolan. Jadi Gabriel tidak akan bisa menghukumnya dengan cara yang sama. Rolan tentu saja lebih mudah dimanipulasi dan dibodohi dibandingkan dengan Gabriel, karena Rolan berjiwa putih dan baik.
Sabrina tertawa dalam hati dengan sinis, menertawakan orang-orang baik yang sangat mudah dibodohi. Dia berencana akan memanfaatkan Rolan, bahkan jika bisa dia akan membuat Rolan menyembuhkannya.
Dan sementara itu, Sabrina akan memikirkan cara untuk menyingkirkan Selly secepatnya.
***
Gabriel memejamkan mata dan menggertakkan giginya, dia melihat semuanya, melihat bagaimana dengan nekat Rolan memberikan darahnya untuk membantu Sabrina memperlambat sel-sel kankernya.
Lelaki itu benar-benar sudah tertipu oleh penampilan lemah Sabrina.
Kasihan Selly...
Gabriel mengeryit ketika rasa iba itu menyeruak ke dadanya. Dia tidak pernah merasa iba, tidak setelah dia mendapatkan kekuatan itu. Hatinya dingin dan gelap sehingga tidak bisa dimasuki oleh perasaan manusiawi seperti rasa iba.
Tapi ini rasa iba. Gabriel memikirkan Selly dan merasakan sensasi rasa itu. Perasaan kasihan yang begitu dalam, memikirkan Selly harus menghadapi semua ini.
“Dia memberikan darahnya bukan?” Carlos bergumam tenang, mengamati setiap perubahan ekspresi Gabriel.
Gabriel menganggukkan kepalanya, hampir tak kentara.
“Ya. Lelaki bodoh itu takluk di kaki Sabrina dan memberikan darahnya.” Bodoh sekali!
Carlos mengamati Gabriel dalam-dalam, “Bukankah itu yang tuan inginkan? Dengan begitu ikatan cinta sejati antara Selly dengan Rolan akan semakin rapuh.”
Gabriel memang menginginkan ikatan cinta sejati antara Rolan dan Selly terputus, tetapi rencananya bukan seperti ini. Rencananya adalah merayu Selly ke dalam pesonanya sehingga perempuan itu meninggalkan Rolan, setelah itu Selly akan membuat Rolan terperosok dalam jurang patah hati yang dalam. Sekarang yang terjadi, Rolanlah yang akan menceburkan Selly ke dalam jurang patah hati itu.
“Kurasa waktunya sudah dekat, Carlos, aku akan menantang Gabriel.”
“Anda belum tahu pasti apakah ikatan cinta sejati antara Rolan dan Selly sudah putus. Akan berbahaya ketika anda menantang Rolan dan ternyata dia masih memiliki Selly sebagai cinta sejatinya. Bukankah itu tujuan anda? Menjauhkan Selly sehingga tidak bisa menjadi tambahan 5% kekuatan bagi Rolan?”
Gabriel hanya terdiam, ekspresinya tidak terbaca.
“Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Aku akan menantang Rolan segera. Aku muak hanya mengamati dia berbuat kebodohan demi kebodohan.”
Dan kemudian, tanpa kata lelaki itu menghilang dari hadapan Carlos, ditelan oleh bayangan hitam.
Carlos masih merenung sendiri di ruangan itu, menatap bayangan hitam yang semakin memudar di tempat tuannya tadi berdiri.
Dia merasa ada yang berubah dari diri Gabriel, bahkan pada malam itu ketika Gabriel buru-buru pergi untuk menyelamatkan Selly yang dicampakkan Rolan begitu saja di tengah hujan badai, Carlos merasa itu bukan watak Gabriel yang dikenalnya.
Tuan Gabriel bukanlah orang yang bersedia repot-repot untuk menolong manusia biasa. Apalagi seorang perempuan lemah yang notabene adalah cinta sejati musuhnya.
Atau... apakah memang Gabriel sudah berubah? Carlos sendiri curiga bahwa alasan Gabriel ingin memutuskan ikatan cinta sejati antara Rolan dengan Selly bukan karena dia takut kalah, tetapi lebih karena ingin menyelamatkan Selly. Karena buku kuno aturan semesta menyebutkan bahwa sang cinta sejati harus berkorban demi memberikan 5% tambahan kekuatan bagi sang pemegang kekuatan..... Mungkin saja hal itu berarti pengorbanan nyawa bagi Selly.
Apakah jangan-jangan... Gabriel ingin menyelamatkan Selly dari kematian karena pengorbanan?
***
“Apakah kau baik-baik saja?” Gabriel yang tadi entah berada di mana sudah kembali ke ruangan kerja mereka, dan sekarang berdiri di depan Selly, mengamatinya.
Diamati seperti itu Sely langsung merasa gugup.
“Saya baik-baik saja.”
“Kau tampak sedih.” Lelaki itu tetap menelusuri seluruh wajah Selly dengan tatapan tajam seolah ingin menembus ke dalam jiwanya.
Selly tersenyum, “Saya baik-baik saja.” Meskipun begitu Selly tampak tidak yakin, dia mengusap pipinya bertanya-tanya apakah matanya yang sembab dan menghitam karena menangis semalaman tidak berhasil ditutupi oleh riasannya.
“Ada apa dengan calon suamimu?” Gabriel tampaknya tidak mempercayai jawaban Selly, lelaki itu mengambil kursi dan duduk di depan meja Selly, bersikap santai seolah dia bukan seorang bos. “Masalah lagi?”
Selly menghela napas panjang, “Tidak Sir, sebenarnya hubungan kami baik-baik saja, mungkin hanya perasaan saya yang tidak enak.”
“Kenapa perasaanmu tidak enak?” Gabriel berdiri di sana, bagaikan banteng yang tidak mau menyerah sebelum mendapatkan informasi, “Selly aku memang bosmu, kita bekerja secara profesional di sini, tetapi bukan berarti kau tidak boleh kadangkala menceritakan permasalahanmu, kalau sampai permasalahan itu berimbas kepada pekerjaanmu, bukankah itu juga akan berimbas kepadaku juga?”
Selly menatap Gabriel, tampak agak tersinggung, “Saya jamin permasalahan saya tidak akan mengganggu pekerjaan saya Sir.”
Tanpa diduga Gabriel tesenyum lebar. ‘Memang, aku yakin kau orang yang kompeten. Tetapi tidak bisakah kau berbagi denganku, mungkin sebagai teman?”
Sebagai teman? Selly hampir-hampir tidak mengenal Gabriel selain di kanto dan beberapa insiden yang membuat mereka bertemu di luar kantor. Apakah dia bisa menganggap Gabriel sebagai teman?
Tetapi bisa dikatakan Selly tidak mempunyai teman, pekerjaannya sebagai asisten pribadi Gabriel membuatnya jauh dari teman-teman sekerjanya, hanya Gabriel satu-satunya rekan kerjanya sekarang, lagipula insiden di malam ulang tahun itu membuat Gabriel sedikit banyak mengetahui permasalahan Selly dengan Rolan, mungkin Selly bisa sedikit berbagi dengan Gabriel.

“Apakah Sabrina ini perempuan yang sama yang membuat Rolan tidak datang di janji makan malam kalian di hari ulang tahunmu itu?”
Selly menganggukkan kepalanya.
Gabriel tersenyum meskipun tatapannya tampak serius,
“Selly. Sebagai seorang perempuan, kau tidak boleh diam dan menyerah. Kalau kau memang mencintai calon suamimu, maka kau harus memperjuangkannya. Sikap diam dan memendam sendiri tidak akan membawa jalan keluar, yang ada kau akan terlambat dan kehilangan semuanya.”
Dan kemudian, tanpa menunggu reaksi Selly, Gabriel bangkit dari kursinya dan pergi ke mejanya sendiri.
***
Selly melangkah keluar dari toilet dan sedikit tersentak ketika ponselnya berbunyi. Dia mengeluarkannya dari sakunya dan melihat nomor Rolan di sana.
“Rolan?” Selly langsung mengangkat ponselnya dengan semangat, berharap Rolan memberi kabar baik bahwa mereka bisa bertemu sore ini.
“Selly?”
Itu bukan suara Rolan, itu suara Sabrina. Selly bagaikan dihantam dengan keras ketika mendengar bahwa Sabrina yang menyahut di sana. Kenapa Sabrina meneleponnya dengan menggunakan ponsel Rolan? Apa yang dilakukan Sabrina dengan ponsel Rolan? Kemana Rolan?
“Sabrina?” Selly tetap bertanya meski dia sudah tahu pasti, dia bisa merasakan senyum Sabrina di seberang sana.
“Selly, Rolan memintaku meneleponmu, katanya dia tidak bisa menemuimu, dia harus menemaniku menjalani serangkaian pemeriksaan malam ini. Kau tidak apa-apa kan?”
Selly membeku. Benarkah? Benarkah apa yang dikatakan Sabrina itu? kalau memang begitu, kenapa Rolan tidak meneleponnya sendiri? Kenapa dia menyuruh Sabrina menyampaikannya?
“Dimana Rolan?” Selly bertanya, curiga.
Ada senyum di nada suara Sabrina, “Rolan sedang berkonsultasi dengan dokter tentang proses pemeriksaanku.” Sabrina menghela napas, terdengar bahagia, “Aku senang sekali. Selly, Rolan baru saja membuktikan kepadaku, bahwa dia rela berkorban apa saja... rela melakukan apa saja agar aku tidak sakit lagi.”
“Apa?”
“Kau pasti mengerti apa maksudku. Sudah ya.” Tiba-tiba saja Sabrina memutus pembicaraan, membuat Selly masih ternganga dengan gagang ponsel di telinganya.
Jemarinya bergetar ketika menurunkan ponsel itu dan menatapnya. Dia tidak bermimpi bukan? Tadi benar-benar Sabrina bukan yang menelepon menggunakan ponsel Rolan?Mata Selly masih nanar menatap ponsel di depannya. Hatinya terasa sakit, penuh gemuruh dan prasangka.
Tetapi..... dia tidak bisa menuduh Rolan begitu saja, bisa saja Sabrina yang sengaja melakukan kecurangan dengan mencuri pakai ponsel Rolan bukan? Mungkin memang Sabrina ingin menjauhkan Selly dari Rolan, karena itulah dia memakai cara licik ini.
Selly tahu persis sifat Rolan. Tidak mungkin Rolan melakukan ini kepadanya.
Jantungnya berdebar penuh antisipasi. Dia langsung teringat kata-kata Gabriel tadi, kalau dia mencintai Rolan dia tidak boleh diam saja, dia harus memperjuangkan Rolan sebelum terlambat.
Sore nanti, mengabaikan kat-kata Sabrina, Selly akan menyusul ke rumah sakit.
***
“Kenapa tampak buru-buru?” Gabriel mengerutkan kening ketika melihat Selly segera mengemasi tas-nya ketika jam lima tepat ditunjukkan di jam dinding.
Selly mendongakkan kepalanya, menatap Gabriel yang mengerutkan keningnya dan menatap Selly ingin tahu. Tiba-tiba pipi Selly memerah karena dia terdorong perasaannya akibat nasehat Gabriel tadi. Selly memang berencana untuk bergegas menyusul ke rumah sakit dan menemui Rolan, memastikan apa yang dikatakan Sabrina tadi kepadanya melalui ponsel dan mengkonfirmasinya langsung baik kepada Rolan maupun kepada Sabrina.
“Saya ingin ke rumah sakit.” Selly bergumam pelan, “Saya ingin memastikan sesuatu.”“Ini tentang Rolan lagi?”
Pipi Selly memerah, merasa malu karena permasalahannya dengan Rolan begitu pelik sehingga Gabriel sampai terganggu karenanya.
“Iya...” Selly menelan ludahnya dengan ragu. “Ada telepon dari Sabrina yang mengatakan bahwa Rolan... bahwa pada dasarnya Rolan ingin meninggalkan saya dan memilih Sabrina.” Dia menggigit bibirnya, merasakan dorongan menyesakkan untuk menangis, “Anda bilang saya harus berjuang dan memastikan, karena itu saya akan datang ke rumah sakit untuk memastikan semuanya.”
Gabriel mengerutkan keningnya, menatap Selly yang menahan tangisnya, Dia menggertakkan giginya dan kemudian menggunakan kekuatannya, hanya beberapa detik hingga Selly tidak menyadarinya, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit.Setelah mendapatkan pengelihatannya, matanya menyala.
“Kupikir lebih baik aku mengantarmu Selly.” Gumam Gabriel tenang meskipun ada kemarahan di dalam suaranya, “Aku kebetulan berencana ke rumah sakit yang sama hari ini, untuk menengok salah seorang kolega bisnisku yang dirawat hari ini, kau bisa ikut mobilku dengan begitu kau bisa lebih cepat sampai dibandingkan naik kendaraan umum.”
Sejenak Selly merasa ragu. Tetapi bukankah dia beruntung karena Gabriel ternyata sedang berencana untuk mengunjungi rumah sakit yang sama?
Selly lalu menganggukkan kepalanya,
“Terima kasih Sir. Saya rasa saya akan menumpang mobil anda.”
***
Hari sudah beranjak sore ketika Rolan memasuki ruangan Sabrina lagi, dia barusan bertemu dengan dokter Beni dan berbicara mengenai kondisi kesehatan Sabrina. Nanti malam mereka akan melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Sabrina, dan Rolan yakin hasil pemeriksaan itu akan mengatakan bahwa Sabrina sudah kembali baik-baik saja.
“Dokter sudah menjadwalkan pemeriksaan nanti sore, sepertinya kondisimu sudah membaik ya.” Rolan mengamati wajah Sabrina dan menyadari bahwa sudah ada rona di sana. Berarti darah yang diberikannya memang memberikan efek yang baik kepada Sabrina, tadi dia memberikan darah itu pelan-pelan, masih menggunakan metode manual dengan jarum suntik untuk memindahkan darahnya kepada Sabrina, karena dia masih belum bisa memindahkan darahnya dengan kekuatannya.
“Iya. Sepertinya... sepertinya rasa sakitku hilang begitu saja.” Sabrina bergumam lembut, menyentuh rona di pipinya dengan jemarinya yang kurus, “Terimakasih Rolan, karena kau menemaniku....” Perempuan itu lalu menghela napas dan tampak sedih.
“Kenapa Sabrina?”
“Aku... aku merasa tidak enak kepada Selly... apakah kau tidak menyadari tatapan Selly kepadaku kemarin? Dia.. dia sepertinya marah kepadaku.”
Rolan mengerutkan keningnya. Benarkah? Selly memang sedikit cemburu kepada Sabrina, tetapi setelah Rolan menjelaskan, bukankah Selly kemudian mengerti? Kemarinpun ketika mereka berpisah, Selly tampak baik-baik saja.
“Selly tidak mungkin marah kepadamu Sabrina, dia perempuan yang sangat pengertian. Lagipula dia pasti tahu bahwa aku menyayangimu seperti adikku sendiri.”
Sabrina menghela napas, memalingkan muka dengan mata berkaca-kaca.
“Bagaimanapun aku harus meminta maaf kepada Selly... dia begitu baik dan aku...” Setetes air mata bergulir di pipinya, “Dan aku telah mengkhianatinya.”
“Mengkhianatinya? Rolan mengerutkan keningnya, bingung dengan kata-kata Sabrina, “Apa maksudmu?”
Sabrina menundukkan kepala, ketika dia mengangkat matanya dan menatap Rolan, wajahnya tampak bersemu merah,
“Karena aku menyimpan perasaan lebih kepadamu.” Suara Sabrina tampak sedih, “Aku tidak tahu itu tidak boleh, tapi kau begitu baik kepadaku, tidak pernah ada yang begitu baik dan perhatian kepadaku, membuat perasaan itu tumbuh begitu saja....”
“Sabrina.” Rolan mengerang, ekspresinya tampak serba salah. Dia menyayangi Sabrina tentu saja, dan kebaikannya itu lebih karena didorong perasaan empati karena dia pernah merasakan sakit yang sama, tetapi tidak pernah ada di dalam benaknya untuk merasakan perasaan yang lebih kepada Sabrina. Hatinya hanya untuk Selly......
Rolan menatap Sabrina yang begitu rapuh dan tiba-tiba merasa bersalah, salahnya sendiri. Dia terlalu baik dan perhatian kepada Sabrina, lebih daripada yang seharusnya sehingga membuat Sabrina berani menumbuhkan perasaan itu kepadanya. Salahnya membuat Sabrina patah hati...
‘Maafkan aku Sabrina, kau tahu.. aku dan Selly, perasaanku hanya kepada Selly...”
Sabrina menundukkan kepalanya kembali, setetes bening turun mengalir di pipinya yang pucat.“Tapi kau tak perlu cemas Rolan, aku sendiri merasa bersalah dengan perasaan ini, aku merasa bersalah kepada Selly... dia begitu baik...” Bibir Sabrina bergetar ketika berkata, “Aku.. aku akan menghapus perasaan ini segera... tetapi sebelumnya bolehkah aku meminta satu hal?”

“Maukah kau menciumku, satu kali saja?” Sabrina tampak begitu rapuh dan menderita, “Aku belum pernah dicium lelaki sebelumnya, sakitku ini membuatku tidak mengenal banyak lelaki. Dan seandainya aku bisa memilih lelaki pertama yang akan menciumku, aku ingin kau yang melakukannya Rolan, maukah kau menciumku satu kali saja? Dan setelah itu mungkin aku bisa melepas perasaanku dan belajar menekan cintaku kepadamu.”
Rolan tertegun. Bingung antara keinginannya meredakan sakit hati Sabrina, dan teriakan nuraninya yang menahannya karena dengan mencium perempuan lain, itu sama saja dengan mengkhianati Selly.
Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang?
Bersambung ke Part 18
Published on July 18, 2013 23:13
July 11, 2013
The Vague Temptation Part 9

Wajah Alexa merah padam mendengar kalimat yang diungkapkan dengan tanpa basa-basi itu.
Astaga, membayangkan lelaki sedingin ini mengejarnya dengan kekuatan penuh terasa menakutkan untuknya..... dan kemudian secara reflek Alexa langsung mundur satu langkah menjauh dari Daniel.
Daniel sendiri tersenyum melihat reaksi Alexa, lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, menatap Alexa dengan tajam,
"Takut padaku, eh?"
Alexa hanya menelan ludahnya, tidak berani menjawab, suaranya seakan hilang tak berbekas.
Dan kemudian, tanpa diduga, Daniel melangkah maju, membuat Alexa membeku tak sempat menjauh. Lelaki itu berdiri tepat di depan Alexa, begitu tinggi membuat Alexa harus mendongakkan kepalanya untuk menatap ekspresi Daniel yang dingin dan tak terbaca. Lalu Daniel mengulurkan jemarinya yang ramping ke arah wajah Alexa....
Kembali secara refleks, Alexa memejamkan matanya sambil mengernyitkan kening, takut akan apa yang akan dilakukan Daniel kepadanya.
Tak diduganya, Daniel hanya menyentuhkan ujung jemarinya ke pipi Alexa dengan sentuhan lembut seringan bulu.
"Jangan pernah berpikir untuk mempertimbangkan Nathan sebagai pilihanmu." suaranya berbisik, penuh ancaman tetapi diucapkan secara tersirat. Lalu lelaki itu melangkah melewati Alexa yang masih membeku dan tak berani bergerak oleh sentuhan Daniel.
Sampai langkah-langkah Daniel menghilang dari ujung lorong, barulah Alexa berani menoleh, menatap ke arah lorong yang kini kosong.
Jemarinya menangkup pipinya sendiri, bekas sentuhan Daniel, dan entah kenapa, pipinya terasa amat panas.
***
Nathan mengamati kejadian itu dari jendela kaca tersembunyi di ruangan tempatnya berdiri, ruang kepala bagian personalia. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di sini untuk menunggu sang kepala personalia yang notabene adalah orang kepercayaannya. Ruangan ini memiliki jendela satu sisi yang besar dan tembus ke luar dari dalam, tetapi orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Dia tadi melihat Daniel menunggu di depan lift dan melihat Alexa datang, kemudian Nathan memutuskan untuk melihat apa yang akan terjadi.
Daniel seperti biasa, selain memanfaatkan uangnya, lelaki itu memanfaatkan pesona dinginnya yang kasar untuk merayu perempuan.
Ah ya, Daniel seorang playboy sebelum keputusan pertunangan ini diumumkan. Lelaki itu memiliki beberapa kekasih yang dicampakkan sesuka hati, kebanyakan perempuan-perempuan cantik yang berasal dari kalangan atas, berasal dari keluarga kaya yang sederajat dengan keluarga Simon.
Hanya setelah masalah persaingan pertunangan ini, Daniel sepertinya meninggalkan pacar-pacarnya dan memilih berdiam dirumah Albert Simon. Lelaki itu benar-benar serius ingin memenangkan Alexa, dan meninggalkan kehidupan glamornya yang penuh dihiasi dengan wanita-wanita cantik.

Kalau Daniel serupa harimau yang tampak garang di luarnya dan menggertak dari luar, Nathan lebih mirip burung elang yang cantik tetapi diam-diam mengintai untuk membunuh.
Hanya saja tidak diduganya Daniel benar-benar berusaha mengalahkannya. Nathan sendiri terkejut ketika Albert Simon tadi pagi memanggilnya dan mengatakan bahwa Daniel akan memimpin perusahaan ini bersamanya. Padahal kemarin dia sudah maju satu langkah ketika Albert Simon memilihnya menjadi presiden direktur perusahaan ini, cabang perusahaan yang diincarnya karena Alexa berkerja di dalamnya. Tetapi sepertinya semalam Daniel berhasil membujuk Albert Simon, dengan alasan dia menginginkan atas waktu yang sama yang bisa dihabiskannya bersama Alexa, seperti halnya Nathan ketika bekerja.
Nathan mengernyit penuh kemarahan, tidak puaskah Daniel menjadi presiden direktur di perusahaan-perusahaan lain milik Albert Simon sehingga sekarang masih mengganggu posisinya di perusahaan ini?
Mata Nathan menajam melihat Alexa masih terpaku dengan jemari memegang pipinya yang bekas sentuhan Daniel.
Gawat.
Daniel sepertinya sudah berhasil menanamkan pesonanya di balik sikap dingin dan kasarnya. Lelaki-lelaki seperti itu memang menarik bagi perempuan....
Dan Nathan harus berbuat sesuatu sebelum dia dikalahkan dengan mudah. Nathan tidak boleh kalah, dan untunglah, untuk saat-saat seperti ini dia memiliki kartu truf bagus yang bisa membawanya ke dalam kemenangan.
Dia mengeluarkan amplop dari saku jasnya, hasil penyelidikannya dari detektif swasta atas Daniel, terutama di kisah asmaranya. Ada informasi terpenting di sana, mengenai kekasih Daniel yang terakhir, seorang perempuan dari kalangan atas, sempurna di segala hal dan sekarang merintis kariernya di bidang hukum. Perempuan itu adalah kekasih Daniel yang paling serius dan paling lama. Bahkan bulan-bulan terakhir ini santer berhembuskabar bahwa Daniel akan segera menikahi kekasihnya itu.
Tapi kemudian, hubungan mereka kandas tanpa sebab, gosip mengenai penyebab putusnya hubungan mereka itu beredar dalam berbagai versi tetapi tidak ada yang tahu asal muasalnya. Yang jelas, Daniel-lah yang meninggalkan kekasihnya itu tiba-tiba.
Ya.... sebuah senyum tipis muncul di bibir Nathan. Mungkin kebanyakan orang tidak tahu apa alasannya Daniel meninggalkan kekasihnya, tetapi Nathan tahu bahwa Daniel melakukannya demi mendapatkan Alexa.
Nathan bisa memanfaatkan kekasih yang patah hati itu demi mencapai tujuannya. Biasanya wanita-wanita yang patah hati lebih penuh dendam dan mudah dimanipulasi.
Kemudian dia menekan nomor kontak mantan kekasih Daniel itu.
***
Malam sudah beranjak semakin gelap ketika Alexa pulang ke mansion dengan memakai kendaraan umum. Albert Simon memang menyiapkan supir untuknya tetapi tentu saja Alexa tidak bisa menggunakannya bukan? Bisa-bisa gosip akan tersebar luas kalau salah satu karyawan rekan kerjanya melihatnya turun dari salah satu mobil besar milik Albert Simon.
Lagipula dia sudah terbiasa naik kendaraan umum, dan bahkan mansion ini lebih dekat ke kantornya daripada rumah mungilnya yang dulu, sehingga perjalanan yang ditempuh oleh Alexa lebih pendek dan mengurangi kelelahannya.
Dia melangkahkan kaki pelan-pelan memasuki tangga mansion yang megah itu, semuanya dari lantai tangga sampai pilar-pilarnya, dibuat dari marmer berwarna putih yang licin dan berkilauan. Alexa masih merasa tidak nyaman pulang ke rumah ini... rumah ini meskipun besar dan indah terasa asing dan memantulkan kesepian yang dalam.
Dia membuka pintu dan mendapati lobby mansion yang sepi.
Sepertinya Nathan dan Daniel belum pulang. Suasana tampak lengang, hanya beberapa pelayan yang lalu lalang sambil mengangguk menyapanya ketika melihat Alexa.
Mungkin Albert Simon juga sedang tidak ada di rumah....
Lambat-lambat telinga Alexa mendengarkan suara piano yang dimainkan dengan indahnya.
Siapa yang bermain piano? Apakah Albert Simon?
Dengan ingin tahu, Alexa menelusuri lorong di bawah tangga, menuju ke sebuah ruangan besar berdinding kaca yang memantulkan pemandangan malam dan juga berkubah kaca bening di bagian atas, sehingga langit malam yang berbintang tampak bagaikan lukisan alami yang menghiasi ruangan.
Lampu ruangan dinyalakan redup, dan ternyata yang sedang memainkan piano bukanlah Albert Simon, melainkan.... Daniel.

Alexa tidak mengenali lagu apa yang dimainkan oleh Daniel, tetapi yang dia tahu, lagu itu sarat akan kepedihan, dan tiba-tiba saja membuat matanya panas dan dadanya terasa sesak. Astaga, tidak disangkanya, di balik sikap dingin dan kasarnya, Daniel mampu memainkan nada sedih ini dengan indahnya, dengan lembut dan penuh perasaan.....
Alexa menghela napas untuk meredakan kesesakan dadanya, dan ternyata hal itu membuat Daniel menoleh dan menghentikan permainannya. Langsung menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang tajam, membuat Alexa berdiri di sana dengan gugup dan salah tingkah.
"Maafkan aku..." suara Alexa tercekat, "Aku mendengar suara piano dan..."
Daniel mengangkat alisnya, "Tidak apa-apa." Selanya cepat, "Kau baru pulang kerja?"
"Ya." Alexa menoleh ke belakang, merasa ingin melarikan diri, "Permisi, sekali lagi maaf karena aku mengganggu."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Masuklah kemari, Alexa, aku ingin bicara." Daniel menyela sekali lagi, kali ini nada suaranya tegas dan tak terbantahkan, membuat langkah Alexa yang sudah hendak terbalik menjadi terpaku.
***
Nathan menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet parkir di lobby hotel dan restoran mewah itu. Dia tersenyum mantap penuh antisipasi ketika memasuki area restoran. Petugas reservasi tentu saja sudah mengenalnya dan langsung mengantarkannya menuju tempat duduknya.
Nathan lalu duduk dan menunggu. Kartu trufnya akan segera datang....
Dan memang benar Nathan tidak perlu menunggu lama. Seorang perempuan cantik, dengan penampilan tegas dan kuat -berbeda dengan perempuan yang merupakan anak orang kaya lainnya yang dikenal Nathan- memasuki ruangan. Perempuan itu mengenakan setelan hitam yang membungkus tubuhnya dengan seksi tampak pas membalut tubuh rampingnya yang berlekuk sempurna di tempat-tempat yang memang seharusnya berlekuk. Kakinya panjang dan tinggi seperti model, peenampilannya berkelas dengan wajah mungil tegas yang berkarakter. Keseluruhan penampilannya memunulkan citra perempuan kelas atas.
Perempuan itu langsung mendatangi Nathan dengan tatapan lurus yang mengintimidasi. Hanya terdiam hingga membuat Nathan pada akhirnya menyapa duluan,
"Senang sekali akhirnya kau mau menemuiku." Nathan menyapa, memasang senyum ramahnya.
"Tidak usah memakai basa-basi." Perempuan itu menyela, tidak mempedulikan senyum ramah Nathan, bahkan dia masih berdiri dengan menantang di depan Nathan. "Apa rencanamu sehingga repot-repot mengatur pertemuan ini?." Ya, Perempuan di depannya ini tentu saja sudah mendengar gosip yang beredar tentang Nathan, cucu keluarga Simon yang memasuki keluarga Simon dan menimbulkan kehebohan di sana.
Nathan mengangkat alisnya. Perempuan ini ternyata tidak bisa diremehkan. Mungkin karena karirnya di bidang hukum membentuknya menjadi perempuan yang kuat. Pantas saja Daniel betah berpacaran lama dengannya dan berniat menikahinya. Perempuan yang ada di depannya ini sudah jelas-jelas memiliki kualitas lebih, dan tidak lembek membosankan sehingga mudah disetir lelaki.
Nathan harus mengubah strateginya dalam menghadapi perempuan ini. Dia tidak akan bersikap dominan, tetapi bersikap bersahabat dan bertindak lebih seperti rekan serta membuat perempuan ini merasa dihargai.
"Duduklah dulu Renata." Nathan mengedikkan dagunya ke arah bangku di depannya, "Mungkin kita bisa membicarakan ini dengan lebih baik."
Renata mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan waspada. Tetapi kemudian dia menyadari kebenaran kata-kata Nathan dan duduk di depan lelaki itu.
"Well? Mulailah menjelaskan." tanyanya cepat, menunggu Nathan berbicara.
***

Berdua dengan Daniel memang menegangkan. Tetapi berdua dengan Daniel di ruangan yang berhiaskan lagit malam berbintang dan hanya berdua saja tentu terasa lebih menangangkan.
Daniel sendiri tampaknya tidak mempedulikan kegugupan Alexa, lelaki itu menuangkan sepoci teh yang ternyata sudah di sediakan di meja didepan mereka, dan menyodorkan cangkirnya kepada Alexa yang duduk di seberangnya.
"Minumlah, kau pasti lelah setelah perjalananmu." gumam Daniel tegas hingga mau tak mau Alexa menerima cangkir itu dan menyesap teh yang harum itu.
Daniel mengamati Alexa hingga Alexa meletakkan cangkirnya. "Kau naik kendaraan umum?" Daniel tidak menunggu sampai Alexa menjawab, "Kenapa kau tidak memanfaatkan kendaraan yang disediakan kakek untukmu?"
"Kau tahu kenapa." Alexa cepat-cepat menjawab, berharap Daniel menyadari bahwa dia ingin merahasiakan seluruh hubungannya dengan keluarga Albert Simon ketika mereka sedang berada di tempat kerja.
Daniel menghela napas, "Yah, aku tahu. Kakek memanggilku dan mengatakan bahwa selama tiga bulan ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang seluruh rencana kita." Mata Daniel mengernyit, "Setidaknya kali ini aku bisa setuju dengan kakek. Gosip yang menyebar bisa menghancurkan orang-orang. Kau tahu seperti gosip kedatangan Nathan yang menyebar sedemikian cepat di kalangan keluarga, teman-teman dan kolega kami, membuat mamaku dan aku harus berjalan sambil membungkukkan tubuh dan berusaha menutupi wajah, menahankan rasa malu."
Alexa bisa melihat kesakitan di sana, kesakitan dan kepedihan yang sinis. Sepertinya di balik sikap keras lelaki itu, Daniel memendam luka emosional yang dalam.
Alexa mengamati ketika Daniel menuang teh untuk dirinya sendiri dan menyesapnya dengan elegan. Seorang pria tampan yang menuang teh dari poci bercorak bunga kemudian menyesap dari cangkir dengan corak bunga yang sama mungkin akan terlihat menggelikan, tetapi tidak begitu halnya dengan Daniel, lelaki itu malah tampak semakin jantan ketika melakukannya.
Pipi Alexa memerah, kenapa dia memikirkan tentang 'jantan' nya Daniel?
Daniel sendiri tampak tidak peduli, dia menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu menatap ke sekeliling ruangan yang luas itu. Sofa tempat mereka duduk berada di pojok ruangan, di sudut area terkecil ruangan, selebihnya ruangan itu didominasi oleh lantai marmer yang indah berwarna putih yang melingkupi seluruh ruangan yang lapang dan kosong. Sebuah piano besar yang dimainkan oleh Daniel tadi, terletak di ujung satunya lagi, tampak cocok berada di sana sebagai ornamen penting.
"Kau tahu ini ruangan apa?" Daniel tiba-tiba bertanya, membuat Alexa yang tadinya mengamati Daniel terlonjak, merasa malu dan mengalihkan tatapannya.
Alexa mengikuti tatapan Daniel ke sekeliling ruangan, menatap kubah kaca yang memantulkan langit malam dan membangun suasana romantis di sana....

Tiba-tiba saja Daniel berdiri, dan melangkah menuju ke arah alat stereo yang ada di dinding dekat sofa, dan menyalakannya, ketika dia selesai, alunan musik lembut mengalun memenuhi ruangan.
"Mamaku selalu bilang, bahwa kita tidak akan bisa mengenali seseorang sebelum kita berdansa dengan orang itu." Ada senyum di bibirnya yang kaku ketika menatap Alexa.
Kemudian tanpa di duga Daniel membungkuk formal dan mengulurkan sebelah tangannya kepada Alexa,
"Maukah kau lebih mengenalku, Alexa? dengan berdansa denganku?"
***
"Dia memang meninggalkanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan dua minggu sebelumnya kami sudah memilih cincin untuk bertunangan. Daniel memang tidak pernah melamarku secara langsung, tetapi dia memberikan isyarat ke arah itu dengan setuju untuk memilih cincin bersamaku." Mata Renata menajam. "Dan kemudian dia meminta hubungan serius kami dihentikan tanpa bisa menjelaskan alasannya, dia pergi begitu saja....Membuatku kelabakan harus menjelaskan kepada keluargaku, kau tahu keluargaku dan keluarga Simon sebelumnya berhubungan baik dan hubungan itu sedikit retak karena langkah yang diambil Daniel."
Suara Renata sedikit bergetar mengungkapkan kepedihan yang dirasakannya, lalu dia menyambung "Aku menduga dia mungkin kehilangan cintanya kepadaku, kau tahu sebelum denganku dia juga menjalin cinta dengan beberapa gadis dan mencampakkannya ketika dia bosan. Orang bilang Daniel Simon tidak akan mampu melewati tiga bulan tanpa berganti kekasih... tetapi ketika dia menjalin hubungan denganku, sikapnya sungguh berbeda kepadaku, kami berhasil melalui tiga bulan tetap bersama tanpa masalah, bahkan hubungan kami sudah berjalan hampir dua tahun lamanya., hingga aku berani berharap lebih....Dan ketika dia meninggalkanku begitu saja, aku pikir dia sudah bosan kepadaku."
"Ternyata tidak." Nathan menyela dengan tenang. "Aku tidak berbohong kepadamu, Renata. Seluruh cerita yang kupaparkan tadi itu benar adanya. Daniel meninggalkanmu karena dia ingin memenangkan pertarungan melawanku, dia ingin mendapatkan Alexa. Tunangan kami berdua. Kau tahu, masa penentuannya adalah tiga bulan lagi. Siapapun yang dipilih Alexa menjadi suaminya akan menjadi cucu utama Albert Simon."
Mata Renata yang cerdas menyipit. "Jadi apa rencanamu, Nathan?"
"Aku ingin kau membuat Alexa memilihku. Kaulah satu-satunya yang bisa menyadarkan Alexa bahwa Daniel mendekatinya tanpa hati." Matanya menatap Renata dengan redup, "Hatinya ada padamu, Renata. Apakah kau tega membiarkan Daniel terikat dengan perempuan yang tidak dicintainya selamanya.... hanya karena kedudukan di keluarga Simon? Ingat, kalau Alexa memilih Daniel, tidak perlu menunggu waktu lama, paling lama tiga sampai empat bulan, Danielmu sudah harus menikahi Alexa. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan Daniel."

Nathan bersedekap santai di kursinya, tidak membantah kata-kata Renata.
"Aku tidak emmbantah, Renata. Aku memang mempunyai kepentingan pribadi dalam hal ini dan aku membutuhkan bantuanmu. Kalau hal ini bisa membuatmu merasa tenang, aku berjanji tidak akan melukai Daniel. Dia akan mendapatkan bagian hartanya, meskipun dia harus menerima menjadi posisi nomor dua di bawahku." Tatapan Nathan berubah tajam, "Setidaknya kau bisa mendapatkan kekasihmu kembali, dan menyelamatkan Daniel dari menikahi perempuan yang tidak dicintainya."
Nathan menatap Renata yang tampak ragu dengan penuh perhitungan, "Bagaimana Renata? apakah kau setuju bekerjasama denganku? Aku memperoleh keuntungan dan kau juga, tidak ada yang dirugikan dalam kerjasama ini, tidak Daniel, tidak pula Alexa yang menjadi tunangan kami berdua."
Suaranya begitu meuakinkan, mencoba menembus keraguan di benak Renata....
Bersambung ke Part 10
Published on July 11, 2013 01:23
July 9, 2013
Embrace The Chord Part 14
PS : Mohon maaf lahir batin, selamat menjalankan ibadah puasa :)
Operasi Jason berlangsung cukup lama, lebih lama dari yang diperkirakan. Dokter mengatakan butuh waktu dua sampai dengan tiga jam untuk operasi. Tetapi sekarang sudah empat jam berlalu.
Rachel duduk di sana dengan cemas, di antara keluarga Jason. Ada mama Jason yang tampak keibuan dan papanya. Juga ada adik Jason, Keyna yang ramah padanya, ditemani oleh suaminya, Davin. Seluruh keluarga Jason baik kepada Rachel.... padahal semula Rachel mengira dirinya akan disalahkan karena menyebabkan Jason terluka dan harus menghadapi operasi ini. Mama Rachel ikut menemani Rachel menunggu, beliau sedang bercakap-cakap dengan mama Jason, posisi mama Rachel sebagai guru di akademi tempat Jason dulu pernah berlatih, membuatnya mengenal mama Jason jauh bertahun-tahun sebelumnya, meskipun tidak akrab.
Keyna, adik Jason yang cantik dan ikut menunggui di sana bahkan duduk di sebelahnya dan mengajaknya bercakap-cakap selama menunggu. Sementara itu suami Keyna, Davin, sedang mengurus sesuatu di perusahaannya dan mengatakan akan segera menyusul datang.
"Hai Rachel, akhirnya kita bertemu, aku seudah penasaran sekali ingin bertemu denganmu." Keyna bergumam ramah begitu mereka duduk bersama.
Apakah Keyna penasaran ingin tahu wajah perempuan yang membuat kakaknya terluka? Memikirkan itu, ekspresi Rachel langsung berubah sedih,
"Maafkan aku, aku....maafkan aku semua kejadian ini membuat Jason terluka, dia berusaha melindungiku."
"Hei. Kami semua tidak menyalahkanmu, lagipula kami menduga itu perbuatan salah satu mantan kekasih Jason yang cemburu, wll kakakku memang banyak menyakiti perempuan di masa lalunya... jadi kau adalah korban juga dan itu semua bukan sepenuhnya kesalahanmu." Mata Keyna tampak bercahaya, "Lagipula aku senang sekali akhirnya Jason memiliki kekasih yang normal."
Kata 'kekasih' dan 'normal' membuat Rachel mengerutkan keningnya. Keyna jelas-jelas menyebutnya sebagai kekasih Jason, apakah Keyna tahu tentang sandiwara mereka? atau Jason juga menutupinya dari adiknya?
"Jason mengatakan padaku bahwa kau adalah kekasihnya tadi sebelum dia operasi." Keyna mengedipkan sebelah matanya, "Karena itulah aku tidak sabar bertemu denganmu."
Jasi ternyata Jason serius mengatakan bahwa sandiwara sebagai pasangan kekasih ini hanya boleh diketahui oleh mereka berdua. Lelaki itu bahkan membohongi adiknya sendiri.
"Apa maksudmu dengan kekasih yang normal?" Rachel langsung bertanya penuh dengan ingin tahu. Apakah itu berarti Keyna menganggap bahwa kekasih-kekasih Jason sebelumnya bukan manusia normal?
"Kau berbeda jauh dengan kekasih-kekasih Jason sebelumnya. Amat sangat berbeda." Rachel menoleh ke arah Keyna, sedikit mengerutkan keningnya. Apakah maksud Keyna Rachel tidak secantik kekasih-kekasih Jason sebelumnya? Tetapi ternyata tidak ada ejekan apapaun di wajah Keyna, perempuan itu malahan tampak senang sekali karena Jason sekarang memiliki Rachel sebagai kekasihnya.
"Berbeda maksudku bukan dalam hal penampilannya. Kakakku itu suka main-main dengan wanita yang lebih tua." Keyna mengerucutkan bibirnya dengan ironis, "Kau pasti sudah dengar reputasinya, dia suka mencampakkan mereka semua hingga terpuruk. Herannya, wanita-wanita yang lebih tua itu tidak ada yang kapok, mereka terus berusaha menaklukkan kakakku." Mata Keyna menatap Rachel penuh persahabatan, "Aku senang pada akhirnya Jason membuka matanya dan memilihmu sebagai kekasihnya, kau akan membuatnya berlabuh dan melukapan sikap suka-main-mainnya. Aku berharap nanti kita benar-benar menjadi saudara."
Belum sempat Rachel menanggapi kata-kata Keyna, pintu ruang tunggu terbuka dan Davin, suami Keyna memasuki ruangan, mata lelaki itu langsung menemukan isterinya dan menatapnya dengan sayang. Keyna langsung beranjak dari duduknya ketika melihat suaminya datang,
"Tunggu sebentar ya." Jemari lembutnya menyentuh tangan Rachel sedikit dan meminta maaf, lalu Keyna menghampiri suaminya, yang lamgsung menghelanya ke dalam pelukan dan mengecup dahinya.
Rachel tergugu, bingung tak tahu harus bicara apa. Keyna tampak begitu baik dan mengharapkan yang terbaik untuk Jason, dan dia sekarang membohongi Keyna dengan semua sandiwara ini. Belum lagi, akan ada banyak orang yang mereka bohongi nantinya... mamanya, orang tua Jason.... dan Calvin.
Hati Rachel tiba-tiba merasa cemas ketika memikirkan tentang Calvin. Calvin... kemana dia? Rachle berusaha menghubungi ponselnya tetapi tidak diangkat... dan sejak insiden Calvin memergoki dia dan Jason berciuman, lelaki itu belum muncul lagi di rumah sakit.
Membohongi Calvin adalah yang paling berat untuk Rachel, apalagi karena lelaki itu ada di hatinya. Tetapi Rachel sudah berjanji kepada Jason... lagipula Jason bilang sandiwara mereka sebagai pasangan kekasih itu bisa membuat Calvin membuka matanya dan melihat Rachel sebagai seorang perempuan.
Seandainya saja itu benar.... seandainya saja Calvin bisa memandanganya sebagai seorang perempuan, bukan lagi adik atau sahabat.... mungkinkan Calvin bisa menumbuhkan perasaan kepadanya?
Lamunan Rachel tersentak ketika lift penghubung ruang operasi terbuka. Dokter yang mengoperasi Jason keluar. Mereka semua langsung berdiri dan menunggu penjelasan.
"Operasinya berhasil." Kata dokter itu, "Untuk pemulihannya kita harus melihat lagi nanti. Sekarang pasien sedang berada di ruang pemulihan pasca operasi, nanti setelah sadar baru akan kita pindahkan kembali ke kamarnya." dokter itu segera memberi keterang lebih lanjut kepada orang tua Jason yang menungggu.
Keyna sendiri hanya berdiri di kejauhan, memejamkan matanya lega. Setidaknya operasi Jason berhasil... mereka memang belum tahu apakah kemampuan Jason bermain biola akan terpengaruh oleh kejadian ini, tetapi semoga saja tidak/
Sungguh, Rachel berharap dari dalam hatinya bahwa kemampuan Jason yang bisa memainkan biola dan menghasilkan nada-nada yang ajaib itu tidak hilang....
***
Ketika Jason membuka matanya, dia menemukan adiknya sedang duduk menungguinya.
"Hai kakak." gumam Keyna lembut.
Jason langsung tersenyum, mengerjapkan matanya, berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Mama dan papa sedang bertemu dokter di bawah." Keyna menjelaskan lagi, "Aku di sini menungguimu dengan Rachel."
"Rachel?" Jason menggumamkan nama perempuan itu, lalu menelan ludahnya karena tenggorokannya yang kering. Matanya menelusuri sekeliling ruangan dan menemukan Rachel terduduk di kursi seberang, perempuan itu masih dibebat kakinya dan hanya menggunakan satu kruk yang disandarkan di lengan kursi.
Mata Jason terpejam lagi. Dia mengantuk. Dan kemudian kegelapan menelannya kembali.
***
Jason terbangun hampir tengah malam. Dia membuka matanya begitu saja dan menyadari bahwa hari sudah gelap. Lampu tidur yang temaram sudah dinyalakan, dan ketika dia memandang ke sudut ruangan, ada mamanya yang menunggui di sana., tertidur di atas sofa besar.
Jason bergerak pelan, berusaha duduk tetapi tidak bersuara sehingga tidak mengganggu tidur mamanya. Dia kemudian menatap tangannya yang diperban tebal, dan diberi pemberat agar tidak banyak bergerak. Matanya menatap ke arah tangannya itu.
Bahkan sekarang dia tidak bisa merasakan tangannya sendiri... entah karena pengaruh bius atau karena pengaruh syarafnya yang terluka....
Jason menghela napas panjang. Nanti begitu diizinkan, dia harus segera mencoba bermain biola lagi.
***
Tak terasa sudah sepuluh hari setlah operasi Jason. Hari ini dia diperbolehkan pulang ke rumah. Akhirnya, setelah malam-malam membosankan di rumah sakit.
Semula Jason bersikeras kembali ke apartemen yang ditempatinya sendiri. Tetapi sang mama memaksanya untuk pulang ke rumah dulu, karena beliau mencemaskan Jason yang akan tinggal sendirian sementara tangannya belum sembuh benar. Pada akhirnya Jason mengalah kepada mamanya, dan bersedia pulang ke rumah mamanya untuk sementara,
Suara pintu terbuka membuatnya menoleh, senyumnya langsung melebar.
"Joshua." sapanya sambil tersenyum lebar, sahabatnya datang dari australia untuk menjenguknya. Sebenarnya Joshua seharusnya datang berhari-hari yang lalu, tetapi karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkanya, lelaki itu meminta maaf dan menunda kepulangannya hingga hari ini.
"Kulihat kau sehat-sehat saja, tidak seperti orang habis dioperasi" Joshua bersedekap, mengamati Jason dalam senyum, "Sepertinya sayang sekali karena Kiara benar-benar mencemaskanmu setengah mati."
Jason hanya terkekeh mendengar celaan Joshua, sahabatnya itu tidak berubah meskipun lama mereka tidak bertemu, tetap saja sinis dan sarkatis.
"Di mana Kiara?" Jason melirik ke belakang Joshua, dan beberapa detik kemudian, pintu terbuka lagi dan Kiara masuk.
"Jason!" Kiara menatap Jason dengan cemas, "Bagaimana keadaanmu?"
"Dia baik-baik saja, kau tidak lihat?" Joshua mencibir,"Sia-sia saja kau menangisinya kemarin."
"Kau menangisiku?" Jason tersenyum menatap Kiara yang merona pipinya, sementara itu Joshua langsung memeluk pundak Kiara dengan posesif, menatap Jason memperingatkan.
"Hei. Kiara menangisimu karena dia mencemaskanmu sebagai saudaqra. Singkirkan seringaian lebarmu itu." gumamnya serius, sehingga Kiara menyodok pinggangnya dengan siku karena malu,
"Sebenarnya bukan aku yang menangisimu, Joshua yang hampir menangis karena cemas ketika mendengar berita tentang musibah yang menimpamu," Kiara terkikik ketika Joshua melotot kepadanya.
Jason tersenyum, "Terimakasih kalian sudah datang kemari menengokku." Lelaki itu menunjukkan tangannya yang diperban. "Tangan ini sudah agak pulih, aku sudah mencoba menggerakkan jaro-jariku."
Tiba-tiba Joshua menatap Jason dengan tatapan mata prihatin, "Apakah luka itu mempengaruhi kemampuanmu bermain biola?"
Senyum Jason tampak dalam dan tidak terbaca, "Aku belum tahu, aku belum mencobanya..."
Suara Jason terhenti ketika sosok mungil yang sudah ditunggunya muncul dari pintu. Rachel berdiri di sana, perempuan itu sudah tidak memakai kruk lagi meskipun kakinya masih dibebat, tetapi sakitnya sudah mereda dan pergelangan kakinya yang terkilir sudah tidak bengkak lagi. Rachel sudah bisa berjalan tanpa kruk meskipun masih agak terpincang-pincang.
Wajah Rachel tampak salah tingkah ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamar Jason,
"Ah... maaf... aku tidak tahu kalau ada tamu."
"Tidak apa-apa. Masuklah Rachel." Jason mengulurkan tangannya dari tengah ruangan, hingga mau tak mau Rachel melangkah masuk dan menyambut tangan itu.
"Joshua, Kiara kalian pasti sudah tahu Rachel, dia murid khususku dan sekarang dia menjadi kekasihku."
Mata Kiara melebar, sedangkan Joshua berhasil menyembunyikan kekagetannya. Tetapi itu hanya berlangsung sejenak, sedetik kemudian, Kiara memecah suasanya dengan menyalami Rachel dengan hangat.
"Senang sekali akhirnya Jason bertobat dan memilih perempuan yang baik." gumamnya dalam senyuman lebar, " Salam kenal Rachel..."
"Kiara dan Joshua ini pasangan suami isteri, mereka sahabtku dan tinggal di Australia." Jason menjelaskan kepada Rachel.
Joshua, lelaki berwajah dingin tapi tampan itu kemudian tersenyum lembut kepada Rachel yang masih tampak bingung,
"Kami datang kemari khusus untuk menengok Jason." Lelaki itu akhirnya melirik ke arah tas-tas Jason yang sudah tertata rapi, "Kau akan pulang hari ini, Jason?
Jason menganggukkan kepalanya. "Sudah bisa pulang kata dokter, untunglah karena aku sudah beradadi batas kebosananku."
Joshua tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Kami akan berada di indonesia selama dua minggu." lelaki itu menyebut nama hotel tempat mereka menginap, "Kami akan mengunjungimu nanti. Kau akan pulang ke rumahmu bukan?"
"Rumah orang tuaku." Jason mengkoreksi, "Mereka memaksaku pulang ke sana karena takut tidak ada yang merawatku kalau aku pulang sendirian ke apartemenku." dia menatap Joshua penuh arti, "Kenapa kalian harus tinggal di hotel? Kenapa kalian tidak tinggal di apartemenku saja? Itu kan apartemen kalian juga."
"Bekas apartemen kami, Jason. Apartemen itu sudah bukan milik kami, bukankah kau sudah membayarnya lunas kepadaku?" Joshua langsung menyela membuat Jason terkekeh,
"Yah bagaimanapun juga aku tidak akan pulang ke sana, kalian bisa menggunakannya. Aku tahi hotel itu memiliki fasilitas yang lengkap, tetapi apartemen itu penuh kenangan bagi kalian kan? Kalian bisa mengenang kembali masa-masa indah kalian yang dulu." Suara Joshua menggoda dan penuh arti
Sementara Rachel mengamati Joshua dan Kiara saling bertukar pandang, ada cinta yang pekat di sana, dan pipi Kiara memerah ketika Joshua menyinggung tentang kenangan di apartemen itu... bahkan... pipi Joshua tampak sedikit merona. Pasangan ini sepertinya memiliki kenangan yang indah di apartemen itu...
Joshua berdehem, lelaki berwajah dingin itu tampak salah tingkah, lengannya merangkul pinggang isterinya dengan erat.
"Kami... eh kami mungkin akan menerima tawaranmu untuk tinggal di apartemenmu sementara, benar kan Kiara?"
Kiara menatap suaminya dengan senyum lembut, dan pipi yang makin merona merah, "Iya." jawabnya pelan.
Jason terkekeh, dan mengeluarkan kartu apartemennya dari sakunya, 'Ini. Kalian bisa tinggal di sana sesukanya." gumamnya menggoda.
***
Kiara dan Joshua kemudian berpamitan untuk beristirahat dan membereskan barang-barang mereka dulu, karena mereka tadi langsung datang ke rumah sakit dari bandara. Setelah itu Jason duduk di tepi ranjang, sementara Rachel berdiri canggung di depannya.
"Bagaimana kondisi... tanganmu?" Rachel menatap ke arah tangan Jason yang sekarang hanya dibalut perban tipis dan elastis. Kecemasan langsung menyergapnya. Jason belum mencoba memegang biola lagi, sementara itu, kata Keyna dokter mengatakan tangan Jason mungkin akan berfungsi kembali 85% dari semula.
Apakah 85% itu cukup untuk membuatnya bisa bermain biola kembali?
Jason sendiri bisa membaca kecemasan di mata Rachel. Dia memegang tangannya yang diperban dengan tangannya yang lain, lalu menampilkan senyuman datar,
"Aku bisa menggerakkan jari-jariku dengan mudah." Jason menunjukkan jarinya yang bergerak-gerak kepada Rachel, "Masih terasa agak kaku, tetapi aku baik-baik saja."
Rachel menelan ludahnya, dia ingin sekali bertanya kapan Jason mau mencoba memegang biola lagi, tetapi dia tidak berani.
"Apakah barang-barangmu hanya itu?" Rachel melirik tas Jason yang sudah terpacking rapi. "Kau... seperti kata Joshua tadi, kau akan pulang ke rumah orang tuamu?"
"Ya." Tiba-tiba tatapan mata Jason menajam, "Dan aku sudah meminta secara khusus kepada mamamu, agar kau diizinkan tinggal di sana juga."
Mata Rachel membelalak terkejut, "Apa?"
Jason bersedekap seolah menantang Rachel untuk melawannya, "Mamamu sudah setuju. Begitupun orang tuaku. Aku melalaikan mengajarimu biola selama aku sakit, dan sekarang aku akan mengejarnya, dengan kau tinggal di rumah itu, pelatihanku kepadamu akan semakin intensif."
"Itukah alasan yang kau gunakan untuk membujuk mamaku?" Kalau Jason beralasan begitu, sudah pasti mamanya setuju. Lagipula mamanya benar-benar senang ketika Jason mengatakan bahwa Rachel adalah kekasihnya, Mamanya benar-benar menganggap Jason sebagai menantu idaman. Padahal hubungan mereka ini hanyalah pura-pura.... Rachel bisa membayangkan betapa kecewanya mama Rachel nanti ketika mengetahui kebenarannya. Belum juga, Rachel harus menjelaskan pada Calvin nanti kalau pada akhirnya kebohongannya ini terkuak. Calvin menerima kabar bahwa Rachel sudah menjadi kekasih Jason dengan baik, dan berbeda dengan apa yang dikatakan Jason, bukannya mendekati Rachel, Calvin malah menjaga jarak, nanti Rachel akan protes kepada Jason mengenai masalah ini. Tetapi itu nanti. Sekarang Jason malahan melemparkan masalah baru kepadanya. Tinggal bersama di rumah orang tua Jason? yang benar saja!
Jason tersenyum lebar, matanya bersinar jahil. 'Ya itu alasanku untuk membujuk mamamu."
Mata Rachel menyipit, "Dan apa alasanmu yang sebenarnya?" gumamnya curiga.
Jason terkekeh, "Kau harus menepati janjimu untuk bersedia melakukan 'apapun' untukku..." mata Jason meredup, dan jemarinya menyentuh dagu Rachel dengan santai, wajahnya mendekat dan suaranya berubah serak menggoda, "Apakah kau sudah siap melakukan apapun untukku, Rachel? aku ingin kau melakukan...."
Rachel panik. Termakan oleh janjinya sendiri, salahnya sendiri berjanji kepada Jason yang licik dan keji, lelaki ini pasti akan memanfaatkannya, dasar lelaki mesum tukang cium sembarangan! Apakah Jason akan memaksanya untuk berbuat mesum? Wajah Rachel memucat ketakutan.
Jason melihat perubahan ekspresi Rachel dan langsung tahu pikiran apa yang ada di benak Rachel. Lelaki itu melepaskan pegangannya kepada Rachel dan tertawa geli,
"Singkirkan pikiran mesum dari otakmu Rachel, aku ingin kau menjadi suster perawatku selama kau tinggal di sana."
"Suster perawat?" begitu Jason melepaskan pegangan di dagu Rachel, dia langsung mundur selangkah untuk menjaga diri dan mengamankan jarak,
"Ya." Sinar jahil semakin kental di mata Jason. "Kau akan melayani segala kebutuhanku, seperti kataku dulu. Kau akan menjadi pelayan sekaligus perawatku."
Dasar pria licik sialan! Rachel menggertakkan gigi karena tidak bisa membatntah perkataan Jason. Pria mesum dan licik ini benar-benar memanfaatkan posisinya yang berada di atas angin. Rachel dengan bodohnya menjanjikan 'apapun' kepada Jason, dan dengan kejam, lelaki itu menjadikan Rachel budaknya!
"Kau tidak boleh membantah Jason. Jadi pulanglah dan kemasi barang-barangmu, aku akan menunggumu di sini, setelah keluargaku datang menjemputku kita akan pulang dari rumah sakit bersama-sama ke rumah orang tuaku." Jason mengangkat alisnya melihat Rachel hendak membantah, "Lagipula ini rencana yang bagus untuk memancing orang yang mencoba melukaimu, dia akan semakin cemburu ketika kabar bahwa kau tinggal bersamaku tersebar.... dengan kecemburuannya, dia akan lengah dan bertindak bodoh."
Rachel terdiam, dan mau tak mau, dia menyetujui perkataan Jason.
***
Satu jam kemudian, Rachel kembali ke rumah sakit sambil membawa tas pakaiannya, lebih cepat dari yang direncanakan. Rachel tadi berpikir dia mungkin bisa kembali ke rumah sakit ini tiga jam lagi karena dia harus membereskan barang-barangnya. Ternyata mamanya yang antusias sudah membereskan semua barang untuknya, seluruh perlengkapan menginapnya untuk tinggal di rumah Jason sudah disiapkan.
Dasar. Rachel cemberut memikirkan mamanya yang melepasnya tadi dengan senyuman lebar. Mamanya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegirangannya karena Rachel menjadi kekasih Jason...
Rachel melalui lorong-lorong rumah sakit menuju kamar Jason, tasnya dia tinggalkan di penitipan tas di area lobby rumah sakit. Ketika langkahnya semakin mendekat ke kamar Jason, Rachel mengerut.
Suara biola terdengar sayup-sayup.
Jason?
Rachel mempercepat langkahnya di atas karpet lorong rumah sakit yang tebal itu. Dan alunan biola yang indah itu semakin pekat terdengar ketika dia semakin mendekat ke kamar Jason.
Pintu kamar Jason sedikit terbuka sehingga Rachel bisa mengintip di sana, tidak berani masuk karena takut akan mengganggu konsentrasi Jason bermain biola...
Dan kemudian, Rachel melihat Jason memainkan biola itu, menjepit biola itu di pundak kirinya dan memainkan nada yang indah...
Senyum Rachel melebar... Jadi Jason bisa bermain biola lagi?
Tetapi senyumnya ternyata tidak bertahan lama. Ketika mengamati ekspresi Jason, Rachel menyadari bahwa Jason mengerutkan keningnya seolah menahan kesakitan, bahkan keringat menetes di dahi Jason... seolah-olah memainkan biola itu sangat menyakitkan untuknya.
Lalu nada yang dimainkan Jason berhenti mendadak. Sepertinya sakit yang dialami Jason tak tertahankan, memaksa tangannya berhenti menggesek senar biolanya. Lelaki itu terengah, ekspresinya kesakitan. Dan kemudian, dengan ekspresi yang luar biasa sedih, Jason meletakkan biola dan penggeseknya di meja.
Tatapan matanya nanar, menatap satu titik yang tak terlihat di meja, ekspresi Jason bercampur antara kekecewaan, kemarahan dan kesedihan.
Rachel langsung menyingkir dan bersandar jauh di dinding luar kamar Jason, air matanya menetes,
Dia telah menyaksikan sang maestro, jenius berbakat dalam permainan biola, tidak mampu memainkan biolanya.... tidak mampu menyelesaikan lagunya sampai akhir.
Bersambung ke part 15

Operasi Jason berlangsung cukup lama, lebih lama dari yang diperkirakan. Dokter mengatakan butuh waktu dua sampai dengan tiga jam untuk operasi. Tetapi sekarang sudah empat jam berlalu.
Rachel duduk di sana dengan cemas, di antara keluarga Jason. Ada mama Jason yang tampak keibuan dan papanya. Juga ada adik Jason, Keyna yang ramah padanya, ditemani oleh suaminya, Davin. Seluruh keluarga Jason baik kepada Rachel.... padahal semula Rachel mengira dirinya akan disalahkan karena menyebabkan Jason terluka dan harus menghadapi operasi ini. Mama Rachel ikut menemani Rachel menunggu, beliau sedang bercakap-cakap dengan mama Jason, posisi mama Rachel sebagai guru di akademi tempat Jason dulu pernah berlatih, membuatnya mengenal mama Jason jauh bertahun-tahun sebelumnya, meskipun tidak akrab.
Keyna, adik Jason yang cantik dan ikut menunggui di sana bahkan duduk di sebelahnya dan mengajaknya bercakap-cakap selama menunggu. Sementara itu suami Keyna, Davin, sedang mengurus sesuatu di perusahaannya dan mengatakan akan segera menyusul datang.
"Hai Rachel, akhirnya kita bertemu, aku seudah penasaran sekali ingin bertemu denganmu." Keyna bergumam ramah begitu mereka duduk bersama.
Apakah Keyna penasaran ingin tahu wajah perempuan yang membuat kakaknya terluka? Memikirkan itu, ekspresi Rachel langsung berubah sedih,
"Maafkan aku, aku....maafkan aku semua kejadian ini membuat Jason terluka, dia berusaha melindungiku."
"Hei. Kami semua tidak menyalahkanmu, lagipula kami menduga itu perbuatan salah satu mantan kekasih Jason yang cemburu, wll kakakku memang banyak menyakiti perempuan di masa lalunya... jadi kau adalah korban juga dan itu semua bukan sepenuhnya kesalahanmu." Mata Keyna tampak bercahaya, "Lagipula aku senang sekali akhirnya Jason memiliki kekasih yang normal."
Kata 'kekasih' dan 'normal' membuat Rachel mengerutkan keningnya. Keyna jelas-jelas menyebutnya sebagai kekasih Jason, apakah Keyna tahu tentang sandiwara mereka? atau Jason juga menutupinya dari adiknya?
"Jason mengatakan padaku bahwa kau adalah kekasihnya tadi sebelum dia operasi." Keyna mengedipkan sebelah matanya, "Karena itulah aku tidak sabar bertemu denganmu."
Jasi ternyata Jason serius mengatakan bahwa sandiwara sebagai pasangan kekasih ini hanya boleh diketahui oleh mereka berdua. Lelaki itu bahkan membohongi adiknya sendiri.
"Apa maksudmu dengan kekasih yang normal?" Rachel langsung bertanya penuh dengan ingin tahu. Apakah itu berarti Keyna menganggap bahwa kekasih-kekasih Jason sebelumnya bukan manusia normal?
"Kau berbeda jauh dengan kekasih-kekasih Jason sebelumnya. Amat sangat berbeda." Rachel menoleh ke arah Keyna, sedikit mengerutkan keningnya. Apakah maksud Keyna Rachel tidak secantik kekasih-kekasih Jason sebelumnya? Tetapi ternyata tidak ada ejekan apapaun di wajah Keyna, perempuan itu malahan tampak senang sekali karena Jason sekarang memiliki Rachel sebagai kekasihnya.
"Berbeda maksudku bukan dalam hal penampilannya. Kakakku itu suka main-main dengan wanita yang lebih tua." Keyna mengerucutkan bibirnya dengan ironis, "Kau pasti sudah dengar reputasinya, dia suka mencampakkan mereka semua hingga terpuruk. Herannya, wanita-wanita yang lebih tua itu tidak ada yang kapok, mereka terus berusaha menaklukkan kakakku." Mata Keyna menatap Rachel penuh persahabatan, "Aku senang pada akhirnya Jason membuka matanya dan memilihmu sebagai kekasihnya, kau akan membuatnya berlabuh dan melukapan sikap suka-main-mainnya. Aku berharap nanti kita benar-benar menjadi saudara."
Belum sempat Rachel menanggapi kata-kata Keyna, pintu ruang tunggu terbuka dan Davin, suami Keyna memasuki ruangan, mata lelaki itu langsung menemukan isterinya dan menatapnya dengan sayang. Keyna langsung beranjak dari duduknya ketika melihat suaminya datang,
"Tunggu sebentar ya." Jemari lembutnya menyentuh tangan Rachel sedikit dan meminta maaf, lalu Keyna menghampiri suaminya, yang lamgsung menghelanya ke dalam pelukan dan mengecup dahinya.
Rachel tergugu, bingung tak tahu harus bicara apa. Keyna tampak begitu baik dan mengharapkan yang terbaik untuk Jason, dan dia sekarang membohongi Keyna dengan semua sandiwara ini. Belum lagi, akan ada banyak orang yang mereka bohongi nantinya... mamanya, orang tua Jason.... dan Calvin.
Hati Rachel tiba-tiba merasa cemas ketika memikirkan tentang Calvin. Calvin... kemana dia? Rachle berusaha menghubungi ponselnya tetapi tidak diangkat... dan sejak insiden Calvin memergoki dia dan Jason berciuman, lelaki itu belum muncul lagi di rumah sakit.
Membohongi Calvin adalah yang paling berat untuk Rachel, apalagi karena lelaki itu ada di hatinya. Tetapi Rachel sudah berjanji kepada Jason... lagipula Jason bilang sandiwara mereka sebagai pasangan kekasih itu bisa membuat Calvin membuka matanya dan melihat Rachel sebagai seorang perempuan.
Seandainya saja itu benar.... seandainya saja Calvin bisa memandanganya sebagai seorang perempuan, bukan lagi adik atau sahabat.... mungkinkan Calvin bisa menumbuhkan perasaan kepadanya?
Lamunan Rachel tersentak ketika lift penghubung ruang operasi terbuka. Dokter yang mengoperasi Jason keluar. Mereka semua langsung berdiri dan menunggu penjelasan.
"Operasinya berhasil." Kata dokter itu, "Untuk pemulihannya kita harus melihat lagi nanti. Sekarang pasien sedang berada di ruang pemulihan pasca operasi, nanti setelah sadar baru akan kita pindahkan kembali ke kamarnya." dokter itu segera memberi keterang lebih lanjut kepada orang tua Jason yang menungggu.
Keyna sendiri hanya berdiri di kejauhan, memejamkan matanya lega. Setidaknya operasi Jason berhasil... mereka memang belum tahu apakah kemampuan Jason bermain biola akan terpengaruh oleh kejadian ini, tetapi semoga saja tidak/
Sungguh, Rachel berharap dari dalam hatinya bahwa kemampuan Jason yang bisa memainkan biola dan menghasilkan nada-nada yang ajaib itu tidak hilang....
***
Ketika Jason membuka matanya, dia menemukan adiknya sedang duduk menungguinya.
"Hai kakak." gumam Keyna lembut.
Jason langsung tersenyum, mengerjapkan matanya, berusaha mengembalikan kesadarannya.
"Mama dan papa sedang bertemu dokter di bawah." Keyna menjelaskan lagi, "Aku di sini menungguimu dengan Rachel."
"Rachel?" Jason menggumamkan nama perempuan itu, lalu menelan ludahnya karena tenggorokannya yang kering. Matanya menelusuri sekeliling ruangan dan menemukan Rachel terduduk di kursi seberang, perempuan itu masih dibebat kakinya dan hanya menggunakan satu kruk yang disandarkan di lengan kursi.
Mata Jason terpejam lagi. Dia mengantuk. Dan kemudian kegelapan menelannya kembali.
***

Jason bergerak pelan, berusaha duduk tetapi tidak bersuara sehingga tidak mengganggu tidur mamanya. Dia kemudian menatap tangannya yang diperban tebal, dan diberi pemberat agar tidak banyak bergerak. Matanya menatap ke arah tangannya itu.
Bahkan sekarang dia tidak bisa merasakan tangannya sendiri... entah karena pengaruh bius atau karena pengaruh syarafnya yang terluka....
Jason menghela napas panjang. Nanti begitu diizinkan, dia harus segera mencoba bermain biola lagi.
***
Tak terasa sudah sepuluh hari setlah operasi Jason. Hari ini dia diperbolehkan pulang ke rumah. Akhirnya, setelah malam-malam membosankan di rumah sakit.
Semula Jason bersikeras kembali ke apartemen yang ditempatinya sendiri. Tetapi sang mama memaksanya untuk pulang ke rumah dulu, karena beliau mencemaskan Jason yang akan tinggal sendirian sementara tangannya belum sembuh benar. Pada akhirnya Jason mengalah kepada mamanya, dan bersedia pulang ke rumah mamanya untuk sementara,
Suara pintu terbuka membuatnya menoleh, senyumnya langsung melebar.
"Joshua." sapanya sambil tersenyum lebar, sahabatnya datang dari australia untuk menjenguknya. Sebenarnya Joshua seharusnya datang berhari-hari yang lalu, tetapi karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkanya, lelaki itu meminta maaf dan menunda kepulangannya hingga hari ini.
"Kulihat kau sehat-sehat saja, tidak seperti orang habis dioperasi" Joshua bersedekap, mengamati Jason dalam senyum, "Sepertinya sayang sekali karena Kiara benar-benar mencemaskanmu setengah mati."
Jason hanya terkekeh mendengar celaan Joshua, sahabatnya itu tidak berubah meskipun lama mereka tidak bertemu, tetap saja sinis dan sarkatis.
"Di mana Kiara?" Jason melirik ke belakang Joshua, dan beberapa detik kemudian, pintu terbuka lagi dan Kiara masuk.
"Jason!" Kiara menatap Jason dengan cemas, "Bagaimana keadaanmu?"
"Dia baik-baik saja, kau tidak lihat?" Joshua mencibir,"Sia-sia saja kau menangisinya kemarin."
"Kau menangisiku?" Jason tersenyum menatap Kiara yang merona pipinya, sementara itu Joshua langsung memeluk pundak Kiara dengan posesif, menatap Jason memperingatkan.
"Hei. Kiara menangisimu karena dia mencemaskanmu sebagai saudaqra. Singkirkan seringaian lebarmu itu." gumamnya serius, sehingga Kiara menyodok pinggangnya dengan siku karena malu,
"Sebenarnya bukan aku yang menangisimu, Joshua yang hampir menangis karena cemas ketika mendengar berita tentang musibah yang menimpamu," Kiara terkikik ketika Joshua melotot kepadanya.
Jason tersenyum, "Terimakasih kalian sudah datang kemari menengokku." Lelaki itu menunjukkan tangannya yang diperban. "Tangan ini sudah agak pulih, aku sudah mencoba menggerakkan jaro-jariku."
Tiba-tiba Joshua menatap Jason dengan tatapan mata prihatin, "Apakah luka itu mempengaruhi kemampuanmu bermain biola?"
Senyum Jason tampak dalam dan tidak terbaca, "Aku belum tahu, aku belum mencobanya..."
Suara Jason terhenti ketika sosok mungil yang sudah ditunggunya muncul dari pintu. Rachel berdiri di sana, perempuan itu sudah tidak memakai kruk lagi meskipun kakinya masih dibebat, tetapi sakitnya sudah mereda dan pergelangan kakinya yang terkilir sudah tidak bengkak lagi. Rachel sudah bisa berjalan tanpa kruk meskipun masih agak terpincang-pincang.
Wajah Rachel tampak salah tingkah ketika melihat ada dua orang asing di dalam kamar Jason,
"Ah... maaf... aku tidak tahu kalau ada tamu."
"Tidak apa-apa. Masuklah Rachel." Jason mengulurkan tangannya dari tengah ruangan, hingga mau tak mau Rachel melangkah masuk dan menyambut tangan itu.
"Joshua, Kiara kalian pasti sudah tahu Rachel, dia murid khususku dan sekarang dia menjadi kekasihku."
Mata Kiara melebar, sedangkan Joshua berhasil menyembunyikan kekagetannya. Tetapi itu hanya berlangsung sejenak, sedetik kemudian, Kiara memecah suasanya dengan menyalami Rachel dengan hangat.
"Senang sekali akhirnya Jason bertobat dan memilih perempuan yang baik." gumamnya dalam senyuman lebar, " Salam kenal Rachel..."
"Kiara dan Joshua ini pasangan suami isteri, mereka sahabtku dan tinggal di Australia." Jason menjelaskan kepada Rachel.
Joshua, lelaki berwajah dingin tapi tampan itu kemudian tersenyum lembut kepada Rachel yang masih tampak bingung,
"Kami datang kemari khusus untuk menengok Jason." Lelaki itu akhirnya melirik ke arah tas-tas Jason yang sudah tertata rapi, "Kau akan pulang hari ini, Jason?
Jason menganggukkan kepalanya. "Sudah bisa pulang kata dokter, untunglah karena aku sudah beradadi batas kebosananku."
Joshua tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Kami akan berada di indonesia selama dua minggu." lelaki itu menyebut nama hotel tempat mereka menginap, "Kami akan mengunjungimu nanti. Kau akan pulang ke rumahmu bukan?"
"Rumah orang tuaku." Jason mengkoreksi, "Mereka memaksaku pulang ke sana karena takut tidak ada yang merawatku kalau aku pulang sendirian ke apartemenku." dia menatap Joshua penuh arti, "Kenapa kalian harus tinggal di hotel? Kenapa kalian tidak tinggal di apartemenku saja? Itu kan apartemen kalian juga."
"Bekas apartemen kami, Jason. Apartemen itu sudah bukan milik kami, bukankah kau sudah membayarnya lunas kepadaku?" Joshua langsung menyela membuat Jason terkekeh,
"Yah bagaimanapun juga aku tidak akan pulang ke sana, kalian bisa menggunakannya. Aku tahi hotel itu memiliki fasilitas yang lengkap, tetapi apartemen itu penuh kenangan bagi kalian kan? Kalian bisa mengenang kembali masa-masa indah kalian yang dulu." Suara Joshua menggoda dan penuh arti
Sementara Rachel mengamati Joshua dan Kiara saling bertukar pandang, ada cinta yang pekat di sana, dan pipi Kiara memerah ketika Joshua menyinggung tentang kenangan di apartemen itu... bahkan... pipi Joshua tampak sedikit merona. Pasangan ini sepertinya memiliki kenangan yang indah di apartemen itu...
Joshua berdehem, lelaki berwajah dingin itu tampak salah tingkah, lengannya merangkul pinggang isterinya dengan erat.
"Kami... eh kami mungkin akan menerima tawaranmu untuk tinggal di apartemenmu sementara, benar kan Kiara?"
Kiara menatap suaminya dengan senyum lembut, dan pipi yang makin merona merah, "Iya." jawabnya pelan.
Jason terkekeh, dan mengeluarkan kartu apartemennya dari sakunya, 'Ini. Kalian bisa tinggal di sana sesukanya." gumamnya menggoda.
***
Kiara dan Joshua kemudian berpamitan untuk beristirahat dan membereskan barang-barang mereka dulu, karena mereka tadi langsung datang ke rumah sakit dari bandara. Setelah itu Jason duduk di tepi ranjang, sementara Rachel berdiri canggung di depannya.
"Bagaimana kondisi... tanganmu?" Rachel menatap ke arah tangan Jason yang sekarang hanya dibalut perban tipis dan elastis. Kecemasan langsung menyergapnya. Jason belum mencoba memegang biola lagi, sementara itu, kata Keyna dokter mengatakan tangan Jason mungkin akan berfungsi kembali 85% dari semula.
Apakah 85% itu cukup untuk membuatnya bisa bermain biola kembali?
Jason sendiri bisa membaca kecemasan di mata Rachel. Dia memegang tangannya yang diperban dengan tangannya yang lain, lalu menampilkan senyuman datar,
"Aku bisa menggerakkan jari-jariku dengan mudah." Jason menunjukkan jarinya yang bergerak-gerak kepada Rachel, "Masih terasa agak kaku, tetapi aku baik-baik saja."
Rachel menelan ludahnya, dia ingin sekali bertanya kapan Jason mau mencoba memegang biola lagi, tetapi dia tidak berani.
"Apakah barang-barangmu hanya itu?" Rachel melirik tas Jason yang sudah terpacking rapi. "Kau... seperti kata Joshua tadi, kau akan pulang ke rumah orang tuamu?"
"Ya." Tiba-tiba tatapan mata Jason menajam, "Dan aku sudah meminta secara khusus kepada mamamu, agar kau diizinkan tinggal di sana juga."
Mata Rachel membelalak terkejut, "Apa?"
Jason bersedekap seolah menantang Rachel untuk melawannya, "Mamamu sudah setuju. Begitupun orang tuaku. Aku melalaikan mengajarimu biola selama aku sakit, dan sekarang aku akan mengejarnya, dengan kau tinggal di rumah itu, pelatihanku kepadamu akan semakin intensif."
"Itukah alasan yang kau gunakan untuk membujuk mamaku?" Kalau Jason beralasan begitu, sudah pasti mamanya setuju. Lagipula mamanya benar-benar senang ketika Jason mengatakan bahwa Rachel adalah kekasihnya, Mamanya benar-benar menganggap Jason sebagai menantu idaman. Padahal hubungan mereka ini hanyalah pura-pura.... Rachel bisa membayangkan betapa kecewanya mama Rachel nanti ketika mengetahui kebenarannya. Belum juga, Rachel harus menjelaskan pada Calvin nanti kalau pada akhirnya kebohongannya ini terkuak. Calvin menerima kabar bahwa Rachel sudah menjadi kekasih Jason dengan baik, dan berbeda dengan apa yang dikatakan Jason, bukannya mendekati Rachel, Calvin malah menjaga jarak, nanti Rachel akan protes kepada Jason mengenai masalah ini. Tetapi itu nanti. Sekarang Jason malahan melemparkan masalah baru kepadanya. Tinggal bersama di rumah orang tua Jason? yang benar saja!
Jason tersenyum lebar, matanya bersinar jahil. 'Ya itu alasanku untuk membujuk mamamu."
Mata Rachel menyipit, "Dan apa alasanmu yang sebenarnya?" gumamnya curiga.
Jason terkekeh, "Kau harus menepati janjimu untuk bersedia melakukan 'apapun' untukku..." mata Jason meredup, dan jemarinya menyentuh dagu Rachel dengan santai, wajahnya mendekat dan suaranya berubah serak menggoda, "Apakah kau sudah siap melakukan apapun untukku, Rachel? aku ingin kau melakukan...."
Rachel panik. Termakan oleh janjinya sendiri, salahnya sendiri berjanji kepada Jason yang licik dan keji, lelaki ini pasti akan memanfaatkannya, dasar lelaki mesum tukang cium sembarangan! Apakah Jason akan memaksanya untuk berbuat mesum? Wajah Rachel memucat ketakutan.
Jason melihat perubahan ekspresi Rachel dan langsung tahu pikiran apa yang ada di benak Rachel. Lelaki itu melepaskan pegangannya kepada Rachel dan tertawa geli,
"Singkirkan pikiran mesum dari otakmu Rachel, aku ingin kau menjadi suster perawatku selama kau tinggal di sana."
"Suster perawat?" begitu Jason melepaskan pegangan di dagu Rachel, dia langsung mundur selangkah untuk menjaga diri dan mengamankan jarak,
"Ya." Sinar jahil semakin kental di mata Jason. "Kau akan melayani segala kebutuhanku, seperti kataku dulu. Kau akan menjadi pelayan sekaligus perawatku."
Dasar pria licik sialan! Rachel menggertakkan gigi karena tidak bisa membatntah perkataan Jason. Pria mesum dan licik ini benar-benar memanfaatkan posisinya yang berada di atas angin. Rachel dengan bodohnya menjanjikan 'apapun' kepada Jason, dan dengan kejam, lelaki itu menjadikan Rachel budaknya!
"Kau tidak boleh membantah Jason. Jadi pulanglah dan kemasi barang-barangmu, aku akan menunggumu di sini, setelah keluargaku datang menjemputku kita akan pulang dari rumah sakit bersama-sama ke rumah orang tuaku." Jason mengangkat alisnya melihat Rachel hendak membantah, "Lagipula ini rencana yang bagus untuk memancing orang yang mencoba melukaimu, dia akan semakin cemburu ketika kabar bahwa kau tinggal bersamaku tersebar.... dengan kecemburuannya, dia akan lengah dan bertindak bodoh."
Rachel terdiam, dan mau tak mau, dia menyetujui perkataan Jason.
***
Satu jam kemudian, Rachel kembali ke rumah sakit sambil membawa tas pakaiannya, lebih cepat dari yang direncanakan. Rachel tadi berpikir dia mungkin bisa kembali ke rumah sakit ini tiga jam lagi karena dia harus membereskan barang-barangnya. Ternyata mamanya yang antusias sudah membereskan semua barang untuknya, seluruh perlengkapan menginapnya untuk tinggal di rumah Jason sudah disiapkan.
Dasar. Rachel cemberut memikirkan mamanya yang melepasnya tadi dengan senyuman lebar. Mamanya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kegirangannya karena Rachel menjadi kekasih Jason...
Rachel melalui lorong-lorong rumah sakit menuju kamar Jason, tasnya dia tinggalkan di penitipan tas di area lobby rumah sakit. Ketika langkahnya semakin mendekat ke kamar Jason, Rachel mengerut.
Suara biola terdengar sayup-sayup.
Jason?
Rachel mempercepat langkahnya di atas karpet lorong rumah sakit yang tebal itu. Dan alunan biola yang indah itu semakin pekat terdengar ketika dia semakin mendekat ke kamar Jason.
Pintu kamar Jason sedikit terbuka sehingga Rachel bisa mengintip di sana, tidak berani masuk karena takut akan mengganggu konsentrasi Jason bermain biola...
Dan kemudian, Rachel melihat Jason memainkan biola itu, menjepit biola itu di pundak kirinya dan memainkan nada yang indah...
Senyum Rachel melebar... Jadi Jason bisa bermain biola lagi?

Lalu nada yang dimainkan Jason berhenti mendadak. Sepertinya sakit yang dialami Jason tak tertahankan, memaksa tangannya berhenti menggesek senar biolanya. Lelaki itu terengah, ekspresinya kesakitan. Dan kemudian, dengan ekspresi yang luar biasa sedih, Jason meletakkan biola dan penggeseknya di meja.
Tatapan matanya nanar, menatap satu titik yang tak terlihat di meja, ekspresi Jason bercampur antara kekecewaan, kemarahan dan kesedihan.
Rachel langsung menyingkir dan bersandar jauh di dinding luar kamar Jason, air matanya menetes,
Dia telah menyaksikan sang maestro, jenius berbakat dalam permainan biola, tidak mampu memainkan biolanya.... tidak mampu menyelesaikan lagunya sampai akhir.
Bersambung ke part 15
Published on July 09, 2013 03:16
July 6, 2013
-Not- The Sweetest Love Part 2

Rupanya Keenan bukan tipe orang yang suka menyia-nyiakan waktu. Setelah meeting pembahasan selesai dan kesepakatan ditentukan, lelaki itu langsung mendekati Aurel, seolah-olah dia sudah menunggu sejak lama untuk melakukannya.
"Dimana saya harus menjemput anda untuk makan malam nanti?"
Aurel menatap Keenan, menyadari bahwa lelaki itu tidak akan membiarkannya menghindar. Lagipula mereka masih dekat dengan peserta meeting yang lain, yang bisa mendengar percapakan mereka. Akan sangat tidak sopan kalau Aurel tidak menjawab pertanyaan Keenan.
"Saya menginap di hotel milik anda." Aurel menyebut nama resort hotel yang cukup terkenal di kota itu, yang kebetulan merupakan salah satu hotel milik si kembar. Keenan mengangkat alisnya, "Seharusnya anda menghubungi saya, saya bisa mengatur akomodasi terbaik untuk anda di sana." Matanya menatap tajam, tetapi ada sinar tantangan di sana. "Saya akan menjemput anda di lobby tepat pukul tujuh malam." Lelaki itu rupanya menantang Aurel untuk menolaknya.
Tentu saja, meskipun sangat ingin, Aurel tidak bisa melakukannya. "Saya akan turun ke lobby pada jam terssebut."
"Bagus." Senyum Keenan melebar, lebih menyerupai seringai. "Berikan aku nomor kontakmu."
Sejenak Aurel merasa ingin memberontak dan menolak Keenan mentah-mentah, tetapi kemudian dia sadar bahwa lelaki itu sengaja menarik batas kesabarannya. Bukankah Keenan memegang kartu nama resminya? Lelaki itu tinggal melihat ke sana dan dia tahu nomor kontak Aurel. Tetapi rupanya Keenan memaksa ingin mendengarnya dari mulut Aurel sendiri.
"Anda bisa melihat kartu nama perusahaan yang saya berikan kepada anda tadi sebelum meeting." Aurel bergumam setengah menggertakkan giginya,
Tanggapan Keenan atas kejengkelan Aurel hanyalah dari kekehan tawa tertahannya, "Oh maaf, aku lupa." Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya menggoda, membuat pipi Aurel merah padam.
Kemudian salah seorang asistennya memanggilnya dan menanyakan sesuatu, perhatian lelaki itu teralihkan yang berarti menjadi kesempatan bagi Aurel untuk melarikan diri.
Dia bergegas membalikkan badan, buru-buru menghampiri Pak Adam yang datang bersamanya.
"Pukul tujuh tepat, Miss Aurel." Keenan bergumam pelan tetapi cukup untuk didengar Aurel. Sejenak Aurel tertegun mendengar nada peringatan di sana, tetapi kemudian dia memutuskan untuk mengabaikannya, segera menghampiri Pak Adam, dan berpura-pura membahas meeting kemarin dengannya.
***
Pukul tujuh kurang limabelas menit...
Aurel menatap dirinya di cermin. Hampir dua jam dia habiskan untuk menentukan akan memakai gaun yang mana, semula dia memutuskan memakai gaun panjang formal berwarna hitam, tetapi kemudian dia takut baju ini terlalu formal, dia takut salah kostum dan ternyata Keenan bukan membawanya ke restoran formal.
Pada akhirnya pilihannya jatuh ke sebuah rok terusan sepanjang betis berwarna cokelat muda yang cukup sopan untuk dipakai di acara formal, tetapi bisa juga dipakai untuk bersantai. Lagipula gaun itu cukup sopan, sehingga tidak akan membuat lelaki manapun berpikir macam-macam.
Dia mengenakan gelang emas di tangannya dan memasukkan kakinya ke sepatu berhak rata berwarna cokelat tua. Matanya melirik ke arah jam di dinding dan menghela napas panjang.
Sebentar lagi pukul tujuh tepat.
Suara deringan ponselnya membuatnya terlonjak kaget. Aurel buru-buru mengambilnya, dan menghela napas panjang ketika mengetahui bahwa Celia yang meneleponnya.
"Bagaimana?" Celia langsung bertanya, tanpa menunggu sapaan Aurel.
Aurel mengernyit. Saudara sepupunya ini telah mendesaknya hingga harus melalui batas ketakutannya. Dia takut kepada lelaki dan Keenan sangat mendesak....
"Aku belum mendapatkan apapun. Tetapi malam ini aku akan makan malam dengan Keenan untuk urusan bisnis... kau tahu, kerjasama antara pemasok kertas dinding di perusahaanku dengan perusahaan si kembar...." Aurel menelan ludahnya, tiba-tiba merasa bersalah karena memutuskan untuk tidak menceritakan pertemuannya dengan Keenan di bar, dan juga bagaimana Keenan mengejarnya dengan agresif... dia tidak mau melukai perasaan Celia.
Sedikit banyak dia tahu, bahwa sebenarnya yang dicintai Celia adalah Keenan. Dia memusatkan perhatiannya kepada Azka karena Keenan menolaknya.
Bagaimana mungkin Aurel bisa mengatakan kepada Celia bahwa Keenan mengejarnya?
"Bagus, gunakan kesempatan itu, Aurel. Buat Keenan terpesona kepadamu." Suara Celia menajam, "Tetapi hati-hati. Aku tahu Keenan sangat mempesona, aku tidak mau kau sampai terpesona kepadanya."
"Aku tidak akan terpesona kepadanya." Aurel menyahut cepat. Membayangkan Keenan membuatnya takut, dia takut kepada semua lelaki... semua lelaki pemaksa dan kasar kepada perempuan...
"Berjanjilah kepadaku Aurel." Celia terdengar sungguh-sungguh, "Berjanjilah kepadaku apapun yang terjadi kau tidak akan jatuh ke dalam rayuan Keenan dan mengkhianatiku."
Aurel menghela napas panjang, "Aku berjanji, Celia."
Mereka bercakap-cakap sejenak lalu Celia mengakhiri percakapan. Setelah menutup pembicaraan, Aurel menghela napas panjang.... entah kenapa dia merasa sangat lelah.
Lalu ponselnya berdering lagi, Aurel melirik ke layarnya.
Kali ini Keenan yang meneleponnya.
"Halo?"
'Kenapa sibuk? Kau sedang berbicara dengan siapa?"
Aurel mengernyit mendengar sapaan pertama Keenan itu. Entah memang pembawaannya serampangan, atau memang lelaki ini tidak pernah bisa berbasa-basi. Lelaki itu bahkan tidak menggunakan bahasa formal seperti yang digunakannya tadi siang.
"Aku sedang berbicara dengan rekan kerjaku." Aurel berbohong, lagipula apa urusan Keenan menanyakan dia sedang berbicara dengan siapa?
"Aku sudah di bawah." Keenan bergumam lagi.
"Oke. Aku akan turun."
Jantung Aurel berdebar. Dia menghela napas panjang dan kemudian melangkah keluar dari kamarnya.
***
"Hai." Keenan langsung menyapa Aurel ketika melihat perempuan itu mendekatinya di loby.
Aurel menatap Keenan dan mau tidak mau mengagumi penampilan Keenan malam ini. Lelaki ini mengenakan kaos berwarna putih yang dilapisi dengan jas sport hitam yang trendi, dan dia mengenakan celana jeans. Penampilannya formal sekaligus santai.
"Kau tampak cantik." tanpa malu-malu Keenan mengamati Aurel dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuat pipi Aurel merona.
"Terimakasih." Dia mencoba menghentikan pandangan Keenan yang intens kepadanya, "Kita akan makan malam di mana?"
"Di sebuah tempat istimewa, kau pasti akan menyukainya. Ayo." Lelaki itu menghela lengan Aurel dengan lembut, mengajaknya ke mobilnya yang sudah menunggu di lobby hotel.
***
Mobil Keenan berhenti di sebuah cafe yang cukup ramai, dengan hiasan taman-taman dan tumbuhan yang indah di depannya.

Aurel menghela napas lega, tadinya dia mengira Keenan akan membawanya makan malam formal di salah satu hotel bintang lima miliknya. Ternyata lelaki itu membawanya ke sebuah cafe besar tetapi nyaman.
Mungkin malam ini tidak begitu buruk dan mungkin Aurel bisa melalui malam ini dengan baik.
"Ayo masuk." Tanpa permisi Keenan menggandeng tangan Aurel dan mengajaknya masuk. Jemari Aurel mengejang dalam genggaman tangan Keenan, dia berusaha melepaskan diri, tetapi Keenan bersikeras, lelaki itu tetap memaksa untuk menggenggam tangannya.
Aurel ingin meronta, menunjukkan penolakannya, tetapi kemudian, ketika dia memasuki cafe itu, perhatiannya teralihkan dan dia terpesona.
Cafe itu tampak temaram, tetapi interiornya sangat indah. Orang-orang tampak menikmati hidangannya di meja masing-masing. Beberapa orang tampak menikmati kesendiriannya sambil menghirup kopi dan sibuk dengan komputernya. Beberapa yang lain tampak menikmati kebersamaan, berkumpul bersama di sebuah meja besar, dan sesekali terdengar tawa dari sana.
Dan di sisi lain, banyak pasangan yang memutuskan untuk makan malam berdua di sudut lain Garden cafe yang diatur dengan lebih menekankan privacy dan lebih romantis.

Setelah Aurel duduk, Keenan duduk di depannya, menatapnya dengan tatapan tajam di atas bayang-bayang lilin yang berada di tengah meja mereka.
"Kuharap kau suka berada di tempat ini."
"Ini tempat langgananmu?"
Keenan tertawa. "Bukan. Ini punya kakakku, Azka. Kau nanti pasti akan bertemu dengannya, dia adalah pemilik resmi perusahaan ini, aku hanya menggantikannya selama dia berbulan madu dengan isterinya."
Azka... Aurel menghela napas panjang, tiba-tiba teringat akan perkataan Celia bahwa dia juga harus membalaskan dendamnya kepada Azka, entah dengan cara mengganggunya atau mungkin dengan merusak perkawinannya.... bagaimana mungkin Aurel bisa melakukannya?
Tiba-tiba saja Aurel merasa ingin menyerah, dia ingin mengemasi pakaiannya dan pergi saja dari sini, kembali kepada kehidupannya yang tenang dan nyaman.
Seorang pelayan setengah baya yang tampak ramah mendatangi mereka, senyumnya melebar ketika melihat Keenan.
"Sungguh beruntung tuan Keenan karena bisa makan malam dengan perempuan secantik anda." gumamnya sambil menatap Aurel dengan penuh perhatian, dan membuat Aurel tersipu.
Keenan tertawa, "Jangan menggodanya Albert.." lalu lelaki itu mengalihkan pandangannya kepada Aurel dan menjelaskan, "Ini Albert dia bisa dibilang adalah penunggu cafe ini."
Albert terkekeh juga mendengar julukan Keenan untuknya, lalu mengangguk sopan kepada Aurel, "Saya akan meminta pelayan mencatat pesanan anda. Semoga anda menikmati waktu anda di sini." Lelaki itu setengah membungkuk lalu meninggalkan mereka berdua.
Seorang pelayan segera mendatangi mereka, dan kemudian mencatat menu makan malam dan membawakan minuman pembuka. Setelah itu mereka tinggal berdua saja, menunggu pesanan.makan mereka datang.
Suasana dengan segera menjadin canggung. Mungkin Keenan biasa-biasa saja, tetapi entah kenapa Aurel merasa gugup.
"Maafkan kelakuanku di bar kemarin." Keenan meminta maaf, tetapi tidak tampak menyesal, "Meskipun kau tidak bisa menyalahkanku, aku selalu tertarik kepada perempuan cantik dan kau salah satu di antaranya." gumamnya tanpa basa-basi. "Aku pikir aku sudah kehilanganmu, tetapi rupanya kita berjodoh sehingga bertemu lagi di sini."
Perilaku agresif lagi. Tiba-tiba Aurel merasa ngeri. Akankah Keenan memaksanya kalau dia menolak?
"Apa yang kau lakukan di bar itu malam-malam, Aurel? Apakah kau tersesat?"
Tatapan intens Keenan yang seakan menusuk ke dalam kalbunya membuat Aurel gugup.
"Aku... eh... aku tersesat." Akhirnya Aurel mengiyakan saja.
Tetapi rupanya jawaban Aurel masih belum memuaskan Keenan, "Dari semua tempat di dekat hotel, kau masuk ke bar itu... apakah kau sedang mencari seseorang?"
Aku sedang mencarimu. Dalam hati Aurel ingin melontarkan kata-kata itu di muka Keenan, tetapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya bukan?
"Sudah kubilang aku tersesat. Lagipula bagaimana mungkin aku mencari seseorang? Aku tidak kenal siapa-siapa di sini."
Keenan tidak akan bisa menghubungkannya dengan Celia. Aurel sudah memastikan menutupi semua jejak hubungan mereka.
"Oh." Kali ini Keenan memilih tidak memaksa, "Apakah kau sudah mempunyai pacar?"
"Apa?" Aurel membelalakkan matanya, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulut Keenan.
"Aku tidak perlu mengulangi pertanyaanku bukan? Aku hanya ingin tahu apakah kau sudah ada yang memiliki, Aurel."
"Dan apa urusanmu mengenai itu?" Suara Aurel ketus, sebagai penutup sifat defensifnya terhadap laki-laki.
Tetapi suara ketus Aurel tidak mempengaruhi Keenan, lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan santai.
"Sebab, kalau kau belum ada yang memiliki, aku berencana untuk memilikimu."
Pemaksa. Agresif. Dominan.
Seketika itu juga Aurel memutuskan. Lelaki ini, dibalik sikap santainya tetap saja sama seperti lelaki pada umurmnya, mereka semua sama saja, suka memaksakan kehendaknya kepada perempuan.
"Aku menerima ajakan makan malammu dengan alasan kesopanan." Aurel langsung mengeluarkan suara formalnya, jenis suara yang selalu digunakan kepada anak buahnya, membuatnya menjadi CEO yang disegani. "Tetapi kalau kau mulai bersikap tidak sopan, maka mohon maaf, aku akan pergi."
Aurel sudah siap beranjak dari duduknya ketika jemari kokoh Keenan menahannya.
Tidak ada yang dilakukan Aurel kecuali menatap jemari Keenan dengan pandangan mencela.
Rupanya Keenan mengerti isyaratnya, lelaki itu melepaskan pegangannya dan bersedekap,
"Jangan pergi Aurel, Maafkan aku. Kau jenis perempuan yang lari terbirit-birit ketika dipaksa rupanya. Aku salah strategi." Dan kemudian senyumnya melebar lagi, "Duduklah, nikmati makan malammu, aku berjanji akan bersikap sopan sepanjang malam ini."
Aurel menatap Keenan. berusaha mencari kebenaran di mata itu..... lalu dia menghela napas panjang.
"Baiklah." gumamnya, berusaha bersikap sedingin mungkin.
Dan kemudian hidangan pembuka datang, mengalihkan perhatian mereka. Aurel menatap takjub kepada hidangan yang indah itu, itu adalah patisserie yang di dalamnya diberi creme brulee dengan hiasan strawberry di atasnya. Tampilannya sangat indah dan menggoda...
Cafe ini benar-benar menyenangkan. Aurel membatin. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling sementara Keenan sedang berbicara dengan pelayan yang menyiapkan hidangan mereka. Suasananya romantis, tenang dan nyaman... dan makanannya sepertinya enak...
Mata Aurel terus berputar mengitari seluruh penjuru cafe.... dan kemudian dia terperangah, wajahnya langsung memucat ketika melihat sosok itu. Sosok yang duduk tak jauh dari mereka, sedang menikmati hidangan bersama teman-teman lelakinya.
Sosok itu adalah sosok yang tidak akan pernah Aurel lupakan. Monster kejam yang terpatri di benaknya bahkan setelah tahun-tahun berlalu.....
Itu......Radit!
Lelaki yang pernah mencoba memaksakan kehendaknya kepada Aurel. Lelaki menjijikkan, perwakilan dari segala apa yang ditakuti dan dibenci oleh Aurel. Sudah bertahun-tahun Aurel tidak melihatnya, tentu saja seperti halnya dirinya, penampilan Radit sudah berubah menjadi lebih dewasa, tetapi Aurel yakin lelaki itu pasti masih tetap jahat dan pemaksa.
Jemari Aurel mengepal, begitu kuatnya sampai buku-buku jarinya memutih.
Dia harus pergi dari sini secepatnya. Monster itu tidak boleh melihatnya!
Tetapi bagaimana caranya? Monster jahat itu duduk di dekat pintu, Aurel harus melewatinya kalau mau keluar. Lelaki itu tidak ada ketika Aurel masuk tadi bersama Keenan, jadi dia pasti baru saja datang.
Sementara itu, Keenan menyelesaikan percakapannya dengan si pelayan, dia memusatkan perhatiannya kembali kepada Aurel, dan menyadari ada yang salah dari diri Aurel.
Perempuan itu sepucat kapas, ekspresinya tegang dan ada teror di matanya, sementara jari-jarinya mengepal dengan kuatnya di atas meja.
Keenan langsung merasa cemas....
"Aurel? Kau kenapa?"
Bersambung ke Part 3
Published on July 06, 2013 10:34
July 5, 2013
The Vague Temptation Part 8

Seperti yang sudah diduga oleh Alexa, makan malam itu berlangsung canggung. Hanya Albert Simon yang sedari tadi tampak berceloteh, menanyakan semua hal tentang Alexa, dari kisah masa kecilnya sampai dia besar. Sementara itu Daniel dan Nathan, yang sekali lagi entah dengan sengaja, diatur duduk di sisi kanan dan kirinya, hanya menikmati hidangannya dalam keheningan.
"Nenekmu, Samantha, dulu sangat menyukai makanan ini." Albert Simon tampak mengenang, menatap sup lobster yang ada di hadapannya, "Ada sebuah restoran belanda di ujung kota, satu-satunya yang menyediakan menu ini. Dulu aku dan nenekmu sering mencuri waktu untuk makan di sana."
Alexa mengamati Albert Simon dan merasa sedih melihat betapa lelaki ini tampaknya masih mencintai neneknya. Mungkin cinta mereka berdua teramat dalam, hingga bahkan hampir puluhan tahun berlalu dan cinta itu tetap terjaga.
Seandainya saja Alexa bisa mengalami jenis cinta yang seperti itu......
Sayangnya sekarang dia terjebak, untuk menikah diantara dua pilihan, dua lelaki yang sepertinya sama-sama tidak mencintainya, hanya bersedia karena terpaksa oleh keadaan.
Akan jadi seperti apa pernikahan mereka nanti?
Alexa melirik ke arah Nathan yang tampak tenang. Pria itu bilang akan memperlakukannya dengan baik. Tuluskah itu? atau hanyalah sebuah cara agar Alexa memilihnya? Daniel juga... kenapa bersikap baik kepadanya? Apakah mereka berdua tulus kepada Alexa....? Ataukah mereka menganggap bahwa Alexa hanyalah sebuah rintangan yang harus ditaklukkan sebelum mencapai tujuan mereka?
***
"Bagaimana keadaanmu, ayah?" Alexa menelepon ayahnya setelah makan malam. Dia masih mengenakan gaun resminya dan membanting tubuhnya di sofa putih besar yang berada di dalam kamarnya.
"Aku baik-baik saja. Semua orang di sini sangat baik Alexa, mereka mencoba membantuku.." Suara ayahnya melembut, "Dan bagaimana keadaanmu?"
"Alexa baik-baik saja di sini ayah. Jangan mencemaskan Alexa ya?"
Mereka bercakap-cakap sejenak, bercerita akan tempat baru mereka masing-masing. Lalu ayahnya menutup pembicaraan karena sudah mendekati jam tidur.
Alexa meletakkan ponselnya di pangkualannya dan merenung. Ayahnya terdengar lebih baik.... kalau dihitung-hitung berarti sudah hampir dua puluh empat jam ayahnya tidak menenggak minuman beralkohol.... semoga ayahnya bisa sembuh dari ketergantungannya, dan kembali menjadi ayah Alexa yang lama, yang selalu menjaganya.... sama seperti dulu sebelum ibunya meninggal...
***
Daniel berdiri di balkon kamarnya sendiri, dan melirik ke arah balkon Alexa dan pintu kacanya yang tertutup rapat. Gorden tebal berwarna hijau menutup pintu itu, menghalangi pandangan Daniel dari keadaan di dalam.
Yah, disinilah dia sekarang, tunduk pada kemauan kakeknya....demi menyelamatkan mamanya dan nama keluarga mereka...
Kalau dia tidak dipaksa seperti ini, maukah dia mendekati Alexa?
Daniel langsung mencari informasi tentang tunangannya itu setelah mendengarnya dari sang kakek, dia menyewaq orang untuk menyelidiki segalanya tentang Alexa, dan menemukan bahwa kakeknya ternyata telah mengatur segalanya, menempatkan Alexa di salah satu anak perusahaan mereka. Dia juga menemukan bahwa Alexa harus menjalani dua pekerjaaan, yang salah satunya sungguh tak tertahankan, demi membayar hutang akibat tingkah bodoh ayahnya.
Wanita seperti apakah Alexa itu? Dan apabila Daniel berjuang untuk memiliki Alexa demi semua ini, akankah dia tahu seperti apa wanita yang akan dia nikahi ini?
***

Tidak di duganya di dalam sana sudah ada Nathan, rambutnya masih basah sehabis mandi dan dia sedang menyantap sejenis pasta di piringnya dengan serampangan.
Albert Simon mungkin benar mengatakan bahwa dia harus tinggal bersama dua lelaki ini untuk mengenali mereka lebih dalam, karena sekarang penampilan Nathan benar-benar berbeda dari apa yang ditampilkannya sebagai presiden direktur perusahaan yang dewasa, serius dan berwibawa. Penampilannya sekarang, dengan kaos gombrong dan rambut acak-acakan, membuatnya tampak beberapa tahun lebih muda. Dan bagaimanapun penampilannya, tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki ini tampak tampan dan mempesona. Ada aura lembut di sana, aura lembut yang membuat Alexa merasa nyaman.
Ruang makan kecil untuk sarapan itu ternyata menyatu dengan dapur, disana berbagai jenis sarapan rupanya sudah disiapkan oleh koki mansion ini. Di meja terdapat piring besar berisi pasta yang tampak segar, buah-buahan yang sudah dipotong dan disusun indah, dan juga roti bakar yang beraroma harum. Di belakang Nathan, teko-teko dari kaca bening tampak berisi kopi dan susu serta cokelat panas yang aromanya menguar, bercampur jadi satu dan menggugah selera.
"Selamat pagi." Alexa menjawab sapaan ramah Nathan dan merapikan kacamata dan sanggul rambutnya, dia sudah berpakaian untuk bekerja, seperti biasanya dengan sanggul dan kacamatanya.
Pagi ini terasa aneh karena dia harus sarapan bersama sang presiden direktur di perusahaan tempatnya bekerja... sang presiden direktur, sekaligus tunangannya...
"Bagaimana istirahatmu semalam? kuharap tidurmu nyenyak." Nathan memajukan tubuhnya, menatap Alexa dengan ramah dan intens.
Alexa menganggukkan kepalanya, "Ya. Nyenyak sekali." Alexa tidak berbohong, begitu kepalanya menyentuuh bantal, dia langsung tertidur pulas. Jenis tidur pulas yang dalam dan tanpa mimpi. Mungkin tanpa terasa hari kemarin benar-benar membuatnya lelah lahir dan batin.
"Kuharap kau kerasan di sini.... aku senang dengan kehadiranmu di sini, kau membuat pagiku cerah." Tanpa diduga Nathan mengedipkan sebelah matanya ke arah Alexa, membuat pipi Alexa merona.
Kemudian Nathan berdehem dan berubah serius, "Aku ingin membicarakan apa yang harus kita lakukan kalau sedang berada di kantor."
Alexa menatap Nathan dari balik kacamatanya, tangannya sedang menuang cokelat panas ke cangkir di tangannya.
"Di kantor?"
"Ya.... aku tentu saja ingin mengumumkan bahwa kau adalah tunanganku, dan kau... sebagai tunanganku tidak seharusnya bekerja menjadi staff lagi...."
"Tidak, jangan!" Alexa langsung panik ketika Nathan megatakan bahwa keadaannya sekarang akan diumumkan di kantor. Dia bisa membayangkan gosip yang akan meledak luas, dia bisa membayangkan bagaimana Rosa akan melahap santapan gosip yang lezat ini mentah-mentah.... "Jangan... maksudku jangan sampai ada orang yang tahu tentang posisiku sekarang.... setidaknya sampai tiga blan ke depan sampai aku bisa menentukan..." suara Alexa tertelan di tenggorokannya sendiri karena Nathan tiba-tiba menatapnya tajam.
"Apakah kau tidak suka diumumkan sebagai tunanganku, Alexa?" Nathan tampak terluka.
"Bukan begitu/" Mendadak Alexa bingung harus berkata apa. "Aku... kau tahu keadaan sekarang... sungguh bukan impianku... mempunyai dua tunangan.... orang-orang akan menggunjngkanku, menggunjingkan kita." Tatapan matanya memohon kepada Nathan, "Aku mohon, jangan sampai ada satu orangpun di kantor yang tahu tentang masalah ini."
Nathan menatap Alexa lurus, lalu mengangkat bahunya, senyum lembutnya muncul lagi, seketika menghapus tatapan mata tajamnya, "Oke Alexa... meskipun sebenarnya aku sangat bangga kalau harus mengumumkan bahwa kau adalah tunanganku, aku menghormati pertimbanganmu. Di kantor, kita akan bersikap seolah saling tak mengenal."
Alexa menganggukkan kepalanya, merasa lega. "Terimakasih, Nathan."
"Apapun untukmu, princess." Nathan melahap suapan terakhirnya, lalu meneguk jus jeruk di meja. "Aku harus bersiap dulu untuk ke kantor. Sampai jumpa di kantor, Alexa."
Dan kemudian lelaki itu melangkah pergi, meninggalkan Alexa yang menyesap cokelat hangatnya sendiri.
***
"Selamat pagi." Kali ini suara yang terdengar berbeda, dan memberikan efek yang berbeda pula bagi Alexa. Yah, meskipun Daniel kemarin bersikap cukup baik kepadanya, kenangan tentang malam-malam itu, diamana Daniel bersikap kasar dan dingin kepadanya ternyata masih membekas di benak Alexa, membuatnya selalu merasa antisipatif jika berada di dekat Daniel, seolah-olah dia adalah mangsa dari mahluk buas yang kejam.
Alexa bisa merasakan langkah-langkah kaki Daniel yang mendekat di belakangnya, lelaki itu kemudian berjalan melewati Alexa, dan menuangkan secangkir kopi hitam panas di mug berwarna putihg, lalu menyesapnya, dahinya sedikit mengernyit karena panasnya.

Daniel mengangkat alisnya, menyadari apa yang ditatap Alexa, tangannya mengusap air yang menetes dari rambutnya itu.
"Aku berenang di kolam renang belakang." gumamnya tenang, lalu mengambil kursi tepat di hadapan Alexa, "Bagaimana istirahatmu semalam?"
Alexa sedikit tertegun, mendengar pertanyaan Daniel itu, ini adalah pertanyaan yang sama yang barusan ditanyakan oleh Nathan kepadanya.
Apakah sebenarnya tanpa disadari, dua saudara beda ibu ini ternyata memiliki kemiripan tersembunyi?
"Baik. Tidurku nyenyak." jawab Alexa segera dengan sopan.
Daniel meneguk kembali kopinya, tersenyum tipis, "Bagus, kau akan membutuhkannya." gumamnya misterius, kemudian lelaki itu mengamati Alexa dengan tajam, tanpa tahu malu matanya menelusuri Alexa dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan membuat Alexa merasa tidak nyaman.
Lama kemudian, Daniel mengangkat alisnya, "Begini rupanya penampilanmu ketika bekerja?" Matanya mengerut melihat kacamata berbingkai tebal dan rambut yang disanggul rapi ke belakang itu, membuat penampilan Alexa terlihat beberapa tahun lebih tua. "Sangat berbeda dengan penampilanmu di... bar itu."
Kata-kata Daniel tentang bar itu membuat Alexa semakin teringat kembali akan perlakukan kasar Daniel kepadanya. Alexa menunduk, berusaha menghindari mata abu-abu Daniel yang menatapnya dengan intens, "Ini penampilan asliku." gumamnya defensif.
'Oh ya?" senyum Daniel melebar, "Jadi penampilan seksi dan menggoda di bar itu penampilan palsumu ya?" Jemarinya terulur dari seberang meja, menyentuh kaca mata Alexa sambil lalu, membuat Alexa langsung mundur dan menjengatkan kepalanya menjauh dengan waspada.
Daniel menarik kembali tangannya, "Kenapa kau memakai kacamata itu? Kau tidak memakai kacamata di bar itu, sepertinya kau tidak butuh kacamata."
"Aku butuh kacamata, ketika di bar, aku memakai contact lens." Tiba-tiba saja Alexa merasa ingin segera pergi dari ruangan itu, Daniel terasa begitu mengintimidasi, seolah-olah seluruh ruangan ini dipenuhi oleh auranya sehingga terasa menyesakkan.
"Lalu untuk apa rambut yang disanggul rapi seperti itu? itu membuat penampilanmu seperti tante-tante, tidak cocok dengan usiamu."
Memang itu yang diinginkan Alexa. Dia ingin tampak serius dan dewasa sehingga bisa menghindari perlakukan merendahkan dari lelaki, perlakuan merendahkan seperti yang pernah dilakukan Daniel kepadanya.
"Aku suka penampilan seperti ini." gumam Alexa cepat, lalu segera beranjak dari duduknya, "Permisi, aku harus bersiap-siap untuk ke kantor."
Dan kemudian, dengan terbirit-birit Alexa melangkah pergi meninggalkan ruang makan itu.
***
Sesampainya di kantor, Alexa berhadapan dengan Rosa yang sudah menunggunya di depan ruangan divisi administrasinya tempatnya dulu.
"Hai Alexa, jadi benar kau dimutasi ke bagian personalia?"
Alexa menganggukkan kepalanya, membetulkan letak kacamatanya dengan gugup, 'Ya., baru mulai hari ini aku dimutasinya."
"Aneh... ada apa ya? tiba-tiba sekali." Rosa menatapnya dengan menyelidik, tetai kemudian dia memutuskan bahwa Alexa tidak menyyembunyikan sesuatu kepadanya. Tatapannya langsung berubah penuh konspirasi, "Kau tahu tidak gosip terbaru yang kudengar? Nora sahabatku kan salah satu sekertaris direksi, jadi dia bisa mengupdate gosip-gosip terbaru dari kalangan atas perusahaan kita." gumamnya setengah berbisik.
Alexa langsung mengerjapkan matanya, berharap semoga gosip yang di dengar Rosa bukanlah tentang anak biasa yang ternyata adalah tunangan dari dua cucu pemilik perusahaan yang sedang bersaing mendapatkannya... karena kalau Rosa mengetahui gosip itu, maka seluruh perusahaan sudah pasti tahu. Rosa adalah penyebar gosip tercepat yang penah Alexa kenal.
"Katanya cucu kandung owner kita tidak terima si anak haram menjadi presiden direktur perusahaan ini. Dia mengajukan penawaran kepada kakeknya."
Itu kabar baru yang tidak didengar Alexa sebelumnya. Ini tentang Daniel dan Nathan bukan? Alexa langsung tertarik.
"Penawaran apa?"
"Bahwa dia akan memimpin perusahaan ini bersama si cucu haram selama tiga bulan, kakek mereka bisa menilai yang mana yang terbaik selama tiga bulan ke depan, dan memilih, siapa yang pantas menjadi presiden direktur perusahaan ini."
Alexa ternganga. Ya ampun. Ternyata bukan hanya menyangkut dirinya, Daniel dan Nathan sepertinya berebut dan bersaing untuk mendapatkan segalanya. Dan kenapa sekarang dirinya bisa terjebak di tengah pusaran persaingan yang memusingkan itu?
"Itu urusan mereka." Alexa bergumam lelah, "Kita hanya harus bekerja sebaik mungkin, tidak peduli siapapun yang memimpin nanti."
Rosa tertawa, "kau sangat polos, kau tidak tahu ya, gosip ini sudah berkembang begitu cepat, bahkan para karyawan saling membagi apakah mereka akan mendukung si cucu kandung, atau si cucu haram...."
Suara Rosa terhenti, dan dia ternganga ketika melihat ke arah lift.
Alexa mau tak mau ikut melihat ke arah Lift, dan ketika melihat apa yang membuat Rosa ternganga, jantungnya langsung berdebar kencang.


Saat rombongan itu makin dekat ke arah Alexa dan Rosa yang masih terpaku di sana, Nathan menoleh ke arah mereka, dan kemudian tersenyum ramah.
"Selamat pagi." Sapanya lembut dan formal, dan lelaki ini rupanya sangat pandai bersandiwara, karena sama sekali tidak tampak bahwa dia mengenal Alexa. Syukurlah.
Alexa hanya menganggukkan kepalanya, sementara Rosa menjawab sapaan itu dengan suara tercekat. Mata Alexa melirik ke arah Daniel yang muram, yang berada di dalam rombongan itu juga. Daniel tampak dingin dan muram, dan sepertinya tidak mau repot-repot melirik ke arah Alexa, lelaki itu berjalan lurus bersama rombongan itu dan melalui mereka.
Setelah rombongan itu menghilang di ujung lorong, Rosa hampir saja berteriak karena histeris, suaranya tercekat, dipenuhi ketakjuban.
"Kau lihat itu? Kau lihat itu?!" jemarinya meremas tangan Alexa, "Itu orang-orang yang kita bicarakan! Itu dua cucu owner perusahaan kita!"
Alexa menganggukkan kepalanya, menanggapi tingkah histeris Rosa dengan lemah.
"Dan yang menyapa kita tadi pastilah si cucu kandung yang ramah, sedangkan lelaki satunya pastilah cucu haram, karena dia bahkan tidak mau repot-repot melirik ke arah kita, dasar sombong dan rendahan, padahal dia cuma cucu haram."
Terbalik. Alexa ingin mengkoreksi, tetapi kemudian menahan diri. Rosa akan curiga kalau Alexa menunjukkan bahwa dia tahu siapa yang Daniel dan siapa yang Nathan. Kedua cucu Albert Simon belum pernah menunjukkan dirinya di perusahaan ini, dan hampir seluruh pegawai tidak tahu wajah mereka kecuali jajaran atas perusahaan.
Tiba-tiba merasakan perasaan asing di dada Alexa. Antara ingin membela Daniel karena tidak sampai hati lelaki itu salah dianggap sebagai si cucu haram, atau ingin membela Nathan karena predikatnya sebagai cucu haram membuatnya dianggap sombong dan rendahan.
*** Istirahat siang tiba, setelah melepaskan matanya yang lelah dari komputer, Alexa menyandarkan tubuhnya di kursi putarnya.
Dia masih harus banyak belajar dengan pekerjaan dan tanggung jawab barunya., entah dengan alasan apa Nathan memindahkannya kemari, tetapi yang pasti Alexa akan berusaha sebaik mungkin di tugas dan tanggung jawabnya yang baru.
Dia melirik ke arah jam tangannya. Ruangan itu sangat sepi, hanya Alexa yang berada di dalam sana dan satu dua orang yang masih ada di depan komputernya. Beberapa pegawai yang lain sudah turun dan makan di kantin. Mungkin dia akan ke kamar mandi dulu sebelum turun untuk makan....
Alexa lalu beranjak dari kursinya dan kemudian melangkah keluar dari pintu divisi personalia itu dan melangkah ke lorong, menuju lift.
Dan kemudian dia tertegun.
Daniel ada di sana, bersandar di dinding seolah-olah menunggunya.
"Hai." lelaki itu menyapa singkat, bersedekap dan menatap Alexa dengan tajam.
Alexa langsung merasa cemas. Dia sudah mengatakan kepada Nathan bahwa dia ingin hubungan dan keadaan rumit mereka sekarang dirahasiakan jika mereka ada di kantor, dan dia belum mengatakan hal yang sama kepada Daniel. Sebab dia tidak menyangka bahwa Daniel akan muncul di kantor ini....
Apakah Daniel bermaksud mengumumkan kepada semua orang tentang Alexa dan seluruh situasi yang melingkupi mereka?
'Kau pasti terkejut melihatku ada di sini."
Alexa menganggukkan kepala, tetap menjaga jarak dari Daniel dan waspada akan hadirnya orang lain yang mungkin akan bergosip dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Daniel rupanya melihat kecemasan Alexa dan tersenyum. "Tenang. Aku tidak akan membuka kisah kita kepada orang-orang ini. Diperusahaan ini kita akan berpura-pura tidak saling kenal." lelaki itu lalu maju dan berdiri tegak, "Apakah kau tidak mau tahu kenapa aku datang ke perusahaan ini?"
Alexa diam, tetapi tatapan mata ingin tahunya menjawab segalanya.
Daniel tersenyum. "Aku merasa kakek tidak adil. Kau seharian berada di kantor ini, begitu juga Nathan. Itu berarti kesempatan Nathan bersamamu lebih besar dibanding diriku. Karena itu semalam setelah makan malam aku menemui kakek, dan mengatakan aku seharusnya memiliki kesempatan yang sama." Mata abu-abu Daniel tampak menajam, "Jadi Alexa .... kau harus bersiap, karena aku sekarang memutuskan untuk mengejar dan memenangkanmu dengan kekuatan penuh."
Kata-kata itu mengirimkan gelenyar aneh di tubuh Alexa. Seperti perempuan di masa primitif yang dikejar untuk dimiliki oleh lelakinya....
Bersmabung ke Part 9
Published on July 05, 2013 23:02
Another 5% Part 16
PS : aku bobo dulu yaa... cerita yang lainnya akan dipostingkan besok pagi-pagi sekali, aku janji hehehe tunggu yaa semoga mau bersabar, maafkan beberapa hari ini telat sekali kalau posting
"Kalau sampai tuan Rolan memberikan darahnya kepada nona Sabrina, maka anda harus berhenti memberikan darah anda kepadanya."
Gabriel menoleh, mengernyit mendengar perkataan Carlos, "Kenapa?"
"Karena belum pernah ada dalam sejarah, dua orang pemegang kekuatan yang berlawan memberikan darahnya untuk satu orang manusia. Hal ini memang tidak tercatat di buku aturan alam semesta, dan tidak dilarang, tetapi saya mengkhawatirkan efeknya kepada nona Sabrina. Saya takut akan terjadi hal yang ekstrim." Carlos menyambung dengan sungguh-sungguh.
"Seperti Sabrina bisa langsung mati?" Gabriel menyela, ada nada sinis dalam suaranya.
Tatapan Carlos tampak penuh spekulasi, "Atau malah sebaliknya, nona Sabrina bisa sembuh total."
Gabriel mengernyit tidak suka, "Aku tidak suka kemungkinan itu. Aku lebih suka Sabrina dalam kondisinya yang sekarang, sakit dan tidak berdaya. Dalam kondisi sakit, dia sudah begitu mengganggu, apalagi kalau sembuh."
Dengan takut-takut Carlos bergumam, "Tetapi dia adik sedarah anda."
Gabriel terkekeh, "Lalu kenapa?" Tatapannya berubah menjadi tajam dan kelam, "Karena dialah aku kehilangan ibuku, kalau mama tidak menyerap rasa sakit Sabrina dia tidak akan meninggal secepat itu karena kanker ganas yang diserapnya dari Sabrina.."
Seketika itu juga Carlos memilih mundur. Gabriel selalu berubah menjadi begitu menakutkan ketika membahas ibunya. Anabelle adalah perempuan yang kuat, sebagai pengabdi pada sang pemegang kekuatan, Carlos pernah mengabdi kepada Anabelle, juga pada nenek Anabelle.....dan dia memang sangat menyayangkan kematian Anabelle....
Karena kematian Anabelle mengubah segalanya. Mengubah Gabriel dari anak kecil lemah yang dipaksa menerima kekuatan besar, menjadi sosok yang penuh dendam... dendam yang membuatnya ingin menghancurkan kekuatan terang.
Gabriel masih merenung, kemudian dia menatap Carlos tajam, "Rolan sudah dibuka kekuatannya oleh Marco bukan? seharusnya dia bisa membaca pikiran Sabrina, kenapa dia bisa tertipu begitu dalam oleh tampilan lemah Sabrina hingga rela memberikan darahnya?"
Carlos mengangkat bahunya, "Mungkin karena alasan sentimentil yang menutupi kekuatannya, anda tahu, tuan Rolan masih baru menggunakan kekuatannya, dia masih belajar... dan kadang-kadang emosinya masih menutupi kekuatannya. Lagipula Sabrina sudah berpengalaman."
"Apa maksudmu?" Gabriel mengangkat kepalanya, tampak tertarik.
"Bukankah kadang-kadang nona Sabrina bisa menutupi pikirannya? Seperti yang dipelajarinya dari ibu anda bertahun-tahun yang lalu. Kadang-kadang dia bisa menutupi pikirannya dari anda bukan? sehingga anda harus memaksanya?"
Gabriel teringat ketika dia harus memaksa Sabrina berbicara dengan membakar dahi Sabrina menggunakan kekuatan panasnya melalui telunjuk tangannya. Ya. Sabrina kadang-kadang bisa menutupi pikirannya hingga tak terbaca, bukan tak terbaca sepenuhnya, hanya tertutup kabut.
Pada Akhirnya Gabriel tersenyum sinis.
"Sebenarnya aku berencana menyingkirkan Sabrina karena menggangguku, tetapi aku berubah pikiran. Biarlah Sabrina menjadi ujian bagi si pemegang kekuatan terang. Ujian bagi cinta sejatinya, karena kalau dia bisa dengan mudahnya tergoda oleh tipuan Sabrina, berarti cintanya kepada Selly tidak sedalam itu."
***
"Sudah siap?" Rolan menunggu di pintu, menoleh dan tersenyum menatap Selly yang tampak cantik dengan sweater hijau muda dan rok panjang warna cokelat. Dengan lembut Rolan menyentuh dahi Selly,
"Masih hangat, nanti kita periksakan ke dokter rumah sakit ya sebelum menengok Sabrina, semoga saja hanya demam biasa."
Selly mengangguk. Tubuhnya sudah lebih enakan karena obat turun panas yang diberikan oleh Rolan. Hanya saja tenggorokannya terasa gatal dan hidungnya panas. Mungkin dia terserang virus flu, dan karena daya tahan tubuhnya turun, dia menjadi lemah dan mudah terserang.
Dibiarkannya Rolan membimbing tangannya dan mereka berjalan bersisian keluar dari flat Selly, menuju rumah sakit.
***
"Untung hanya flu biasa." Rolan dan Selly keluar dari ruang pemeriksaan dokter, mereka sekarang berjalan ke area untuk perawatan penyakit kanker, tempat Sabrina di rawat. Tadi Rolan menyempatkan diri menelepon dokter Beni ketika Selly diperiksa di bagian rawat jalan rumah sakit, dan kata dokter Beni, Sabrina sudah sadarkan diri.
Selly menganggukkan kepalanya, tersenyum lemah. Jantungnya tiba-tiba berdesir pelan ketika mereka semakin mendekati ruangan Sabrina. Entah kenapa dia merasakan perasaan yang tidak enak, seperti rasa tidak nyaman dan penuh di dada... seperti sebuah firasat...
Tetapi firasat akan apa? Apakah ini semua hanya karena Selly merasa sedikit cemburu kepada Sabrina yang telah mengambil waktu Rolan dua kali, waktu yang seharusnya diberikan untuknya? Tetapi Selly tidak seharusnya merasa cemburu bukan? akan sangat kejam kalau dia cemburu kepada Sabrina yang sedang bertarung melawan penyakitnya? Seharusnya Selly sehati dengan Rolan, mendukung Sabrina, merasakan empati karena Sabrina menderita penyakit yang sama dengan penyakit yang hampir merenggut Rolan darinya dulu.
Meskipun begitu, perasaannya sebagai perempuan biasa membuat hatinya memberontak. Dia cemburu, karena dulu sebelum Rolan pulang dari rumah sakit, dia sudah mempunyai impian tinggi akan kebersamaan mereka.... dan kemudian yang dilakukan Rolan adalah memberikan sebagian besar waktunya untuk Sabrina.
Selly langsung menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan tidak enak di dadanya.
Tidak! dia tidak boleh berpikiran seperti itu, apalagi kepada Rolan... bukankah Rolan selalu datang kepadanya setelahnya? bukankah Rolan yang menolongnya dari bawah hujan deras itu, menyelamatkannya dan merawatnya ketika sakit?
Selly masih ingat sentuhan jemari yang sejuk dan kecupan lembut di bibirnya ketika demamnya sedang tinggi-tingginya itu. Sentuhan dan ciuman itu... membuatnya yakin bahwa dia dicintai.
"Sabrina sedang bangun." Rolan setengah berbisik di depan pintu perawatan Sabrina, membuat Selly tersadar dari lamunannya.
Mau tak mau dia mengikuti Rolan masuk ke dalam ruang perawatan
"Rolan." Sabrina bergumam dalam suara lemahnya, meskipun begitu, suaranya terdengar sumringah penuh kegembiraan, "Kau datang."
"Tentu saja aku datang." Rolan tersenyum lembut, "Aku datang bersama Selly."
Sabrina menoleh, menatap Selly, lalu tersenyum lembut seolah baru menyadari kehadiran Selly, "Oh Selly, kau ikut juga. Apa kabarmu?"
Selly mencoba tersenyum, melihat Sabrina yang tampak lemah dan rapuh, tiba-tiba saja dia merasa bersalah karena merasa cemburu kepada Sabrina. Astaga, dia sehat dan beruntung ... sungguh tidak pantas dia merasa cemburu kepada Sabrina yang sakit, lemah dan harus menghabiskan hampir sepanjang waktunya di ranjang rumah sakit.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaanmu Sabrina, kata Rolan kau mengalami serangan kemarin?"
Sabrina menganggukkan kepalanya, matanya tampak sedih, "Ya... tubuhku melemah akhir-akhir ini." Tatapannya menerawang, seolah memikirkan seseorang, tetapi kemudian ketika dia menatap Sabrina dan Rolan, perempuan itu tampak mencoba tersenyum, "Tetapi tidak apa-apa, aku senang karena kalian menengokku, terimakasih ya...."
Selly mengangguk dan tersenyum. Sabrina lalu mengalihkan pandangannya ke arah Rolan.
"Rolan... maukah kau memanggilkan suster untukku? Sepertinya aku harus ke kamar mandi."
Rolan menganggukkan kepalanya. "Oke. Tunggu ya." lelaki itu melangkah pergi,. meninggalkan Sabrina dan Selly berduaan.
Sejenak suasana hening, Sabrina tampak merenung sambil menatap jendela di luar, lalu dia menoleh menatap Selly yang duduk diam di kursi samping ranjang, "Rolan sangat baik..."
Selly tersenyum, "Ya, dia memang baik."
"Kau beruntung memilikinya."
Sekali lagi Selly tersenyum menanggapi perkataan Sabrina, "Memang. Aku sungguh beruntung."
Tiba-tiba air mata menetes di pipi Sabrina, membuat Selly bingung. Dia menatap Sabrina dengan cemas.
"Sabrina? Kenapa? Apakah kau sakit?" Selly hampir beranjak dari duduknya hendak memanggil sustes, tetapi jemari kurus dan rapuh Sabrina menahannya.
"Jangan. Aku tidak apa-apa." Sabrina mengusap air matanya, tetapi air matanya tampaknya malahan mengalir semakin deras, jemarinya yang memegang tangan Selly meremasnya makin erat, "Aku... aku membutuhkan Rolan di sisiku... kumohon Selly..." gumamnya di sela isakannya.
Selly tertegun, menatap Sabrina dengan terkejut, "Apa Sabrina?"
"Aku mohon padamu, berikan Rolan kepadaku." Isakannya semakin keras dan suaranya bergetar menahan emosi, "Kau.. kau perempuan sehat dan cantik pasti ada banyak orang di dunia ini yang mau mencintaimu... tetapi aku... aku kondisiku seperti ini, umurku tidak lama lagi, dan aku hanya punya Rolan, satu-satunya lelaki yang mau memperhatikanku, aku tidak punya siapa-siapa lagi." Tangisan Sabrina makin keras, "Rolan sangat memperhatikanku, aku tahu dia punya perasaan lebih kepadaku, dia... dia selalu mengecup dahiku dengan lembut, mengantarku tertidur, dia bilang ingin menghabiskan banyak waktunya bersamaku, tetapi di sisi lain dia tidak enak kepadamu, karena itu dia terpaksa membagi waktunya untuk kita....Kumohon berikan Rolan untukku, biarkan kami bersama Selly.... setidaknya sampai aku mati... umurku tidak lama lagi..sedangkan kau, hidupmu masih terbentang panjang di depanmu.."
Lalu Sabrina menangis tersedu-sedu, begitu kerasnya, Membuat Selly kebingungan. Kata-kata Sabrina sungguh mengejutkan Selly, dia tidak menyangka Sabrina akan berkata seperti itu kepadanya. Dan benarkah apa yang dikatakan Sabrina kepadanya? bahwa Rolan sebenarnya ingin menghabiskan waktunya bersama Sabrina tetapi dibatasi oleh rasa bersalah kepadanya....? benarkah itu?
"Suster akan segera da...." Rolan membuka pintu, masih dengan senyum lebar di bibirnya, tetapi dia tertegun dan bergegas ke tepi ranjang ketika melihat Sabrina menangis tersedu-sedu, "Ada apa Sabrina? Kenapa menangis? kau sakit?"
Sabrina malahan semakin tersedu, "Aku pusing Rolan... kepalaku sakit...." Lalu Sabrina merangkulkan lengannya yang mungil ke tubuh Rolan, memeluk lelaki itu. "Aku merasa kematian akan menjemputku sebentar lagi.. aku takut."
"Jangan berpikir seperti itu." Rolan berbisik lembut di atas kepala Sabrina, "Jangan berpikir seperti itu Sabrina, kau akan baik-baik saja." Lengannya mengelus rambut Sabrina penuh kasih.
Di saat yang sama, Selly masih termangu menatap pemandangan di depannya. Kekasihnya sedang memeluk perempuan lain yang tampak begitu rapuh dan bergantung kepadanya..... pemandangan ini menyakiti hatinya dan membuatnya remuk redam... apakah Rolan tidak sadar kalau dia melakukan hal itu di depannya sama saja dengan menyakiti hatinya? Bagaimanapun... sesabar apapun dia, dia tetaplah perempuan biasa bukan?
Suaranya bergetar ketika bergumam, "Aku... kurasa aku harus pulang Rolan, kepalaku pusing."
Rolan mengerutkan keningnya, menatap Sabrina yang masih tersedu-sedu di pelukannya, "Tunggu sebentar ya?" gumamnya memberi isyarat supaya Selly bersabar.
Selly merasakan panas di dadanya, dia menghela napas panjang, "Aku... kurasa aku akan pulang duluan saja naik taxi, kau bisa menunggui Sabrina di sini."
"Aku akan pulang bersamamu." Rolan bergumam lembut kepada Selly, lalu melepaskan Sabrina dari pelukannya, "Sabrina, aku harus mengantar Selly pulang."
Tetapi kemudian, tiba-tiba saja Sabrina lunglai dan dia kejang.... membuat Rolan panik dan menekan tombol panggilan darurat. Dokter dan suster langsung berdatangan dan berusaha menangani Sabrina, sementara Rolan dan Selly dihela ke luar.
"Aku bisa pulang sendiri Rolan, mungkin kau harus menunggu Sabrina di sini, kasihan kalau dia sadar..." mata Selly menatap mata Rolan, berusaha mencari-cari kebenaran di sana. Apakah benar yang dikatakan Sabrina tadi? bahwa keinginan Rolan sebenarnya adalah berada di sini dan menunggui Sabrina? beranikah dia menantang Rolan untuk memilih?
Rolan hendak membuka mulutnya membantah perkataan Selly ketika pintu ruang perawatan terbuka dan seorang suster keluar, suster itu tentu saja sudah mengenal Rolan karena Rolan pernah lama dirawat di sini.
"Rolan... Sabrina sudah sadar, dia memanggil-manggil namamu..."
Rolan tertegun, bingung. Selly melihat keraguan di mata Rolan dan jantungnya terasa berdenyut menyakitkan. Pada akhirnya, dialah yang mengambil keputusan untuk Rolan dan dirinya.
"Tinggalah. Aku tidak apa-apa kok. Aku akan naik taxi, minum obat dan tidur begitu sampai di rumah." Apa yang diucapkannya berbeda dengan benaknya yang berteriak. Selly ingin memohon kepada Rolan, memaksanya, melakukan apa saja agar Rolan mau ikut pulang dengannya dan meninggalkan Sabrina. Tetapi dia tidak bisa melakukannya, dia harus melihat sendiri bagaimana pilihan Rolan.
Rolan menggenggam jemari Selly, mengecupnya lembut penuh sayang. "Kau tidak apa-apa pulang sendirian, Selly?" tanyaya kemudian, ada nada ragu di suaranya.
"Aku tidak apa-apa." Pulanglah bersamaku! Pulanglah bersamaku! Benak Selly berteriak-teriak melawan kata-katanya sendiri. Berharap Rolan menyadari bahwa kata-kata kuatnya adalah palsu...
"Baiklah. Maafkan aku Selly, aku harus menunggui Sabrina, kau tahu sendiri aku dulu pernah mengalami serangan yang sama, dan ketika itu aku membutuhkanmu untuk menggenggam tanganku... aku memilikimu saat itu. Sementara sekarang Sabrina tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang bisa membantunya, kuharap kau mengerti...."
aku hanya punya Rolan, satu-satunya lelaki yang mau memperhatikanku, aku tidak punya siapa-siapa lagi...Kumohon berikan Rolan untukku, biarkan kami bersama Selly....
Kata-kata Sabrina tadi langsung terngiang di benak Selly, menikam hatinya hingga terasa perih.
"Aku mengerti... aku pulang dulu ya." Selly menyentuh pipi Rolan dengan lembut, dan lelaki itu mengecup telapak tangan Selly dengan sayang, lalu memeluk Selly erat-erat.
"Hati-hati di jalan sayang, aku akan segera ke tempatmu nanti setelah selesai dengan Sabrina ya."
Selly menganggukkan kepalanya, tak sanggup lagi menatap mata Rolan karena dorongan untuk menangis terasa sangat kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, melangkah menuju lift sambil menggigit bibirnya menahan tangis.
Dia masih berharap dan menunggu.... menunggu Rolan memanggilnya, atau berubah pikiran dan memilih pulang bersamanya. Tetapi yang didengarnya adalah pintu tertutup. Rolan sudah masuk ke tempat Sabrina di rawat....
Selly memejamkan mata dan air mata bergulir ke pipinya.
Rasanya sakit sekali... sakit sekali, seakan jantungmu direnggut paksa dan kau tidak bisa berbuat apa-apa...
***
Selly terbangun dengan kepala pening di pagi harinya, matanya sembab dan terasa perih karena dia menangis semalaman tanpa henti.
Bahkan malam kemarin, Rolan tidak meneleponnya. Sedang apa Rolan pagi ini? apakah dia sedang berada di rumah sakit dan menunggui Sabrina? berdua bersama perempuan itu dan menikmati waktu mereka berduaan...?
Lagi. Rasa sakit itu berdenyut di jantungnya. Selly menghela napas panjang dan turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi. Dia mengernyit ketika melihat bayangan dirinya di cermin...
Astaga matanya benar-benar sembab dan menghitam di sekelilingnya, perlu riasan tebal untuk menutupi seluruh bekas air mata dan kepedihan itu...
***
Selly memutuskan untuk pergi bekerja meskipun dia merasa belum sehat benar. Ketika turun dari angkot dan kemudian memasuki lobby perusahaan, seorang satpam menyapanya.
"Nona Selly." satpam itu tersenyum ramah, "Bagaimana malam yang dulu itu?, apakah akhirnya tuan Gabriel menemukan anda? Sungguh hujan badai yang mengerikan waktu itu ya."
Selly termenung dan mengernyit, dia menatap Satpam itu dan menyadari bahwa ini adalah satpam yang sama yang menyapanya ketika dia menunggui Rolan datang menjemputnya di sore yang berhujan deras waktu itu. Dan apa kata Satpam itu tadi?
"Tuan Gabriel?" Selly menyuarakan kebingungannya? apa hubungannya Gabriel dengan dia di malam itu? bukankah Gabriel sudah pulang jauh sebelumnya?
"Ya. Tuan Gabriel." Satpam itu sepertinya tidak menyadari kebingungan Selly, "Ketika anda memutuskan untuk menembus hujan badai itu. Tuan Gabriel muncul dari dalam, sepertinya dia belum pulang... kemudian dia menanyakan anda, saya bilang anda baru saja keluar menembus hujan... lalu tuan Gabriel mengatakan bahwa dia akan menyusul anda, saya pikir anda akhirnya...."
Tidak... dia tidak bertemu Gabriel.... benar bukan? Kalau dia bertemu Gabriel dia pasti ingat. Ingatan terakhirnya adalah kehilangan kesadarannya ditengah hujan deras di pinggir jalan, berpikir dia akan terbaring saja di sana celaka tanpa ada orang yang menolongnya.
Tetapi kenapa satpam itu mengatakan seperti itu?
Selly mencoba hanya menganggukkan kepalanya dan menatap satpam yang masih tersenyum lebar itu, lalu dia bergegas berlalu, dipenuhi kebingungan dalam benaknya.
***
"Sayang." Rolan bergumam ketika Selly mengangkat teleponnya, saat itu dia sedang berada di lift menuju ke atas ke ruangannya.
"Ya Rolan?" Selly menyahut, berusaha menyembunyikan rasa sedih di hatinya. "Bagaimana keadaan Sabrina?"
"Dia baik-baik saja. cuma semalam dia menangis ketika aku hendak meninggalkannya, membuatku serba salah, maafkan aku....sekarang dia tertidur, jadi aku bisa meneleponmu."
Kenapa sekarang seolah-olah posisinya dan Sabrina dibalik? Selly bertanya dalam hatinya. Kenapa sekarang seolah-olah Sabrina yang memiliki Rolan dan Selly yang harus menunggu Rolan mencuri waktu bersamanya?
"Apakah... apakah kau akan menemuiku nanti sore?" Selly memberanikan diri bertanya, suaranya terdengar bergetar, tetapi dia berhasil menyamarkannya.
"Aku tidak bisa berjanji, tapi aku akan mengusahakannya. Kau pasti tahu bahwa bersamamu adalah apa yang paling kuinginkan, Selly. Sabar ya?"
Tiba-tiba saja kata-kata Rolan menyejukkan hati Selly..... Bersamamu adalah apa yang paling kuinginkan.... mungkin Selly harus selalu percaya kepada Rolan dan melupakan kata-kata Sabrina kemarin,
"Aku akan bersabar, hubungi aku lagi ya nanti?"
"Pasti sayang, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu Rolan."
Dan kemudian percakapan mereka berakhir, membuat Selly merasakan perasaan kosong yang menyayat di hatinya. Tetapi Selly menjadi yakin bahwa dia seharusnya mempercayai Rolan, mempercayai cinta mereka. Apa yang dikatakan Sabrina kemarin mungkin hanyalah bentuk keputusasaan seorang perempuan yang sakit dan kesepian... Seharusnya Selly tidak meragukan Rolan. Cinta Selly begitu dalam kepada Rolan, dan dia yakin, Rolanpun demikian adanya kepadanya.
***
Ketika dia memasuki ruangan, Selly hampir bertabrakan dengan Gabriel yang hendak menuju keluar, dia hampir jatuh terbentur tubuh kokoh Gabriel, untunglah lelaki itu kemudian menahannya dengan kedua tangannya di pundak Selly.
"Kau sudah masuk kerja? apakah kondisimu sudah membaik?" Gabriel langsung bertanya, menatap Selly dengan tatapan tajamnya.
Selly mengangguk, merasa gugup ditatap setajam itu, "Saya... sudah baikan Sir."
Lalu dengan tidak disangka, Gabriel mengangkat jemarinya, dan menempelkan telapak tangannya di dahi Selly.
"Oke. Demammu sudah turun rupanya." Lelaki itu melangkah mundur, dan kemudian berjalan ke samping Selly, keluar dari pintu itu. "Jangan memaksakan diri." gumamnya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Selly yang masih termenung di ambang pintu.
Selly termenung bukan karena kata-kata Gabriel. Tetapi lebih karena sentuhannya....
Kenapa sentuhan telapak tangan Gabriel di dahinya itu terasa begitu familiar?
Bersambung ke Part 17

"Kalau sampai tuan Rolan memberikan darahnya kepada nona Sabrina, maka anda harus berhenti memberikan darah anda kepadanya."
Gabriel menoleh, mengernyit mendengar perkataan Carlos, "Kenapa?"
"Karena belum pernah ada dalam sejarah, dua orang pemegang kekuatan yang berlawan memberikan darahnya untuk satu orang manusia. Hal ini memang tidak tercatat di buku aturan alam semesta, dan tidak dilarang, tetapi saya mengkhawatirkan efeknya kepada nona Sabrina. Saya takut akan terjadi hal yang ekstrim." Carlos menyambung dengan sungguh-sungguh.

Tatapan Carlos tampak penuh spekulasi, "Atau malah sebaliknya, nona Sabrina bisa sembuh total."
Gabriel mengernyit tidak suka, "Aku tidak suka kemungkinan itu. Aku lebih suka Sabrina dalam kondisinya yang sekarang, sakit dan tidak berdaya. Dalam kondisi sakit, dia sudah begitu mengganggu, apalagi kalau sembuh."
Dengan takut-takut Carlos bergumam, "Tetapi dia adik sedarah anda."
Gabriel terkekeh, "Lalu kenapa?" Tatapannya berubah menjadi tajam dan kelam, "Karena dialah aku kehilangan ibuku, kalau mama tidak menyerap rasa sakit Sabrina dia tidak akan meninggal secepat itu karena kanker ganas yang diserapnya dari Sabrina.."
Seketika itu juga Carlos memilih mundur. Gabriel selalu berubah menjadi begitu menakutkan ketika membahas ibunya. Anabelle adalah perempuan yang kuat, sebagai pengabdi pada sang pemegang kekuatan, Carlos pernah mengabdi kepada Anabelle, juga pada nenek Anabelle.....dan dia memang sangat menyayangkan kematian Anabelle....
Karena kematian Anabelle mengubah segalanya. Mengubah Gabriel dari anak kecil lemah yang dipaksa menerima kekuatan besar, menjadi sosok yang penuh dendam... dendam yang membuatnya ingin menghancurkan kekuatan terang.
Gabriel masih merenung, kemudian dia menatap Carlos tajam, "Rolan sudah dibuka kekuatannya oleh Marco bukan? seharusnya dia bisa membaca pikiran Sabrina, kenapa dia bisa tertipu begitu dalam oleh tampilan lemah Sabrina hingga rela memberikan darahnya?"
Carlos mengangkat bahunya, "Mungkin karena alasan sentimentil yang menutupi kekuatannya, anda tahu, tuan Rolan masih baru menggunakan kekuatannya, dia masih belajar... dan kadang-kadang emosinya masih menutupi kekuatannya. Lagipula Sabrina sudah berpengalaman."
"Apa maksudmu?" Gabriel mengangkat kepalanya, tampak tertarik.
"Bukankah kadang-kadang nona Sabrina bisa menutupi pikirannya? Seperti yang dipelajarinya dari ibu anda bertahun-tahun yang lalu. Kadang-kadang dia bisa menutupi pikirannya dari anda bukan? sehingga anda harus memaksanya?"
Gabriel teringat ketika dia harus memaksa Sabrina berbicara dengan membakar dahi Sabrina menggunakan kekuatan panasnya melalui telunjuk tangannya. Ya. Sabrina kadang-kadang bisa menutupi pikirannya hingga tak terbaca, bukan tak terbaca sepenuhnya, hanya tertutup kabut.
Pada Akhirnya Gabriel tersenyum sinis.
"Sebenarnya aku berencana menyingkirkan Sabrina karena menggangguku, tetapi aku berubah pikiran. Biarlah Sabrina menjadi ujian bagi si pemegang kekuatan terang. Ujian bagi cinta sejatinya, karena kalau dia bisa dengan mudahnya tergoda oleh tipuan Sabrina, berarti cintanya kepada Selly tidak sedalam itu."
***

"Masih hangat, nanti kita periksakan ke dokter rumah sakit ya sebelum menengok Sabrina, semoga saja hanya demam biasa."
Selly mengangguk. Tubuhnya sudah lebih enakan karena obat turun panas yang diberikan oleh Rolan. Hanya saja tenggorokannya terasa gatal dan hidungnya panas. Mungkin dia terserang virus flu, dan karena daya tahan tubuhnya turun, dia menjadi lemah dan mudah terserang.
Dibiarkannya Rolan membimbing tangannya dan mereka berjalan bersisian keluar dari flat Selly, menuju rumah sakit.
***
"Untung hanya flu biasa." Rolan dan Selly keluar dari ruang pemeriksaan dokter, mereka sekarang berjalan ke area untuk perawatan penyakit kanker, tempat Sabrina di rawat. Tadi Rolan menyempatkan diri menelepon dokter Beni ketika Selly diperiksa di bagian rawat jalan rumah sakit, dan kata dokter Beni, Sabrina sudah sadarkan diri.
Selly menganggukkan kepalanya, tersenyum lemah. Jantungnya tiba-tiba berdesir pelan ketika mereka semakin mendekati ruangan Sabrina. Entah kenapa dia merasakan perasaan yang tidak enak, seperti rasa tidak nyaman dan penuh di dada... seperti sebuah firasat...
Tetapi firasat akan apa? Apakah ini semua hanya karena Selly merasa sedikit cemburu kepada Sabrina yang telah mengambil waktu Rolan dua kali, waktu yang seharusnya diberikan untuknya? Tetapi Selly tidak seharusnya merasa cemburu bukan? akan sangat kejam kalau dia cemburu kepada Sabrina yang sedang bertarung melawan penyakitnya? Seharusnya Selly sehati dengan Rolan, mendukung Sabrina, merasakan empati karena Sabrina menderita penyakit yang sama dengan penyakit yang hampir merenggut Rolan darinya dulu.
Meskipun begitu, perasaannya sebagai perempuan biasa membuat hatinya memberontak. Dia cemburu, karena dulu sebelum Rolan pulang dari rumah sakit, dia sudah mempunyai impian tinggi akan kebersamaan mereka.... dan kemudian yang dilakukan Rolan adalah memberikan sebagian besar waktunya untuk Sabrina.
Selly langsung menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan tidak enak di dadanya.
Tidak! dia tidak boleh berpikiran seperti itu, apalagi kepada Rolan... bukankah Rolan selalu datang kepadanya setelahnya? bukankah Rolan yang menolongnya dari bawah hujan deras itu, menyelamatkannya dan merawatnya ketika sakit?
Selly masih ingat sentuhan jemari yang sejuk dan kecupan lembut di bibirnya ketika demamnya sedang tinggi-tingginya itu. Sentuhan dan ciuman itu... membuatnya yakin bahwa dia dicintai.
"Sabrina sedang bangun." Rolan setengah berbisik di depan pintu perawatan Sabrina, membuat Selly tersadar dari lamunannya.
Mau tak mau dia mengikuti Rolan masuk ke dalam ruang perawatan
"Rolan." Sabrina bergumam dalam suara lemahnya, meskipun begitu, suaranya terdengar sumringah penuh kegembiraan, "Kau datang."
"Tentu saja aku datang." Rolan tersenyum lembut, "Aku datang bersama Selly."
Sabrina menoleh, menatap Selly, lalu tersenyum lembut seolah baru menyadari kehadiran Selly, "Oh Selly, kau ikut juga. Apa kabarmu?"
Selly mencoba tersenyum, melihat Sabrina yang tampak lemah dan rapuh, tiba-tiba saja dia merasa bersalah karena merasa cemburu kepada Sabrina. Astaga, dia sehat dan beruntung ... sungguh tidak pantas dia merasa cemburu kepada Sabrina yang sakit, lemah dan harus menghabiskan hampir sepanjang waktunya di ranjang rumah sakit.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaanmu Sabrina, kata Rolan kau mengalami serangan kemarin?"
Sabrina menganggukkan kepalanya, matanya tampak sedih, "Ya... tubuhku melemah akhir-akhir ini." Tatapannya menerawang, seolah memikirkan seseorang, tetapi kemudian ketika dia menatap Sabrina dan Rolan, perempuan itu tampak mencoba tersenyum, "Tetapi tidak apa-apa, aku senang karena kalian menengokku, terimakasih ya...."
Selly mengangguk dan tersenyum. Sabrina lalu mengalihkan pandangannya ke arah Rolan.
"Rolan... maukah kau memanggilkan suster untukku? Sepertinya aku harus ke kamar mandi."
Rolan menganggukkan kepalanya. "Oke. Tunggu ya." lelaki itu melangkah pergi,. meninggalkan Sabrina dan Selly berduaan.
Sejenak suasana hening, Sabrina tampak merenung sambil menatap jendela di luar, lalu dia menoleh menatap Selly yang duduk diam di kursi samping ranjang, "Rolan sangat baik..."
Selly tersenyum, "Ya, dia memang baik."
"Kau beruntung memilikinya."
Sekali lagi Selly tersenyum menanggapi perkataan Sabrina, "Memang. Aku sungguh beruntung."
Tiba-tiba air mata menetes di pipi Sabrina, membuat Selly bingung. Dia menatap Sabrina dengan cemas.
"Sabrina? Kenapa? Apakah kau sakit?" Selly hampir beranjak dari duduknya hendak memanggil sustes, tetapi jemari kurus dan rapuh Sabrina menahannya.
"Jangan. Aku tidak apa-apa." Sabrina mengusap air matanya, tetapi air matanya tampaknya malahan mengalir semakin deras, jemarinya yang memegang tangan Selly meremasnya makin erat, "Aku... aku membutuhkan Rolan di sisiku... kumohon Selly..." gumamnya di sela isakannya.
Selly tertegun, menatap Sabrina dengan terkejut, "Apa Sabrina?"

Lalu Sabrina menangis tersedu-sedu, begitu kerasnya, Membuat Selly kebingungan. Kata-kata Sabrina sungguh mengejutkan Selly, dia tidak menyangka Sabrina akan berkata seperti itu kepadanya. Dan benarkah apa yang dikatakan Sabrina kepadanya? bahwa Rolan sebenarnya ingin menghabiskan waktunya bersama Sabrina tetapi dibatasi oleh rasa bersalah kepadanya....? benarkah itu?
"Suster akan segera da...." Rolan membuka pintu, masih dengan senyum lebar di bibirnya, tetapi dia tertegun dan bergegas ke tepi ranjang ketika melihat Sabrina menangis tersedu-sedu, "Ada apa Sabrina? Kenapa menangis? kau sakit?"
Sabrina malahan semakin tersedu, "Aku pusing Rolan... kepalaku sakit...." Lalu Sabrina merangkulkan lengannya yang mungil ke tubuh Rolan, memeluk lelaki itu. "Aku merasa kematian akan menjemputku sebentar lagi.. aku takut."
"Jangan berpikir seperti itu." Rolan berbisik lembut di atas kepala Sabrina, "Jangan berpikir seperti itu Sabrina, kau akan baik-baik saja." Lengannya mengelus rambut Sabrina penuh kasih.
Di saat yang sama, Selly masih termangu menatap pemandangan di depannya. Kekasihnya sedang memeluk perempuan lain yang tampak begitu rapuh dan bergantung kepadanya..... pemandangan ini menyakiti hatinya dan membuatnya remuk redam... apakah Rolan tidak sadar kalau dia melakukan hal itu di depannya sama saja dengan menyakiti hatinya? Bagaimanapun... sesabar apapun dia, dia tetaplah perempuan biasa bukan?
Suaranya bergetar ketika bergumam, "Aku... kurasa aku harus pulang Rolan, kepalaku pusing."
Rolan mengerutkan keningnya, menatap Sabrina yang masih tersedu-sedu di pelukannya, "Tunggu sebentar ya?" gumamnya memberi isyarat supaya Selly bersabar.
Selly merasakan panas di dadanya, dia menghela napas panjang, "Aku... kurasa aku akan pulang duluan saja naik taxi, kau bisa menunggui Sabrina di sini."
"Aku akan pulang bersamamu." Rolan bergumam lembut kepada Selly, lalu melepaskan Sabrina dari pelukannya, "Sabrina, aku harus mengantar Selly pulang."
Tetapi kemudian, tiba-tiba saja Sabrina lunglai dan dia kejang.... membuat Rolan panik dan menekan tombol panggilan darurat. Dokter dan suster langsung berdatangan dan berusaha menangani Sabrina, sementara Rolan dan Selly dihela ke luar.
"Aku bisa pulang sendiri Rolan, mungkin kau harus menunggu Sabrina di sini, kasihan kalau dia sadar..." mata Selly menatap mata Rolan, berusaha mencari-cari kebenaran di sana. Apakah benar yang dikatakan Sabrina tadi? bahwa keinginan Rolan sebenarnya adalah berada di sini dan menunggui Sabrina? beranikah dia menantang Rolan untuk memilih?
Rolan hendak membuka mulutnya membantah perkataan Selly ketika pintu ruang perawatan terbuka dan seorang suster keluar, suster itu tentu saja sudah mengenal Rolan karena Rolan pernah lama dirawat di sini.
"Rolan... Sabrina sudah sadar, dia memanggil-manggil namamu..."
Rolan tertegun, bingung. Selly melihat keraguan di mata Rolan dan jantungnya terasa berdenyut menyakitkan. Pada akhirnya, dialah yang mengambil keputusan untuk Rolan dan dirinya.
"Tinggalah. Aku tidak apa-apa kok. Aku akan naik taxi, minum obat dan tidur begitu sampai di rumah." Apa yang diucapkannya berbeda dengan benaknya yang berteriak. Selly ingin memohon kepada Rolan, memaksanya, melakukan apa saja agar Rolan mau ikut pulang dengannya dan meninggalkan Sabrina. Tetapi dia tidak bisa melakukannya, dia harus melihat sendiri bagaimana pilihan Rolan.
Rolan menggenggam jemari Selly, mengecupnya lembut penuh sayang. "Kau tidak apa-apa pulang sendirian, Selly?" tanyaya kemudian, ada nada ragu di suaranya.
"Aku tidak apa-apa." Pulanglah bersamaku! Pulanglah bersamaku! Benak Selly berteriak-teriak melawan kata-katanya sendiri. Berharap Rolan menyadari bahwa kata-kata kuatnya adalah palsu...
"Baiklah. Maafkan aku Selly, aku harus menunggui Sabrina, kau tahu sendiri aku dulu pernah mengalami serangan yang sama, dan ketika itu aku membutuhkanmu untuk menggenggam tanganku... aku memilikimu saat itu. Sementara sekarang Sabrina tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang bisa membantunya, kuharap kau mengerti...."
aku hanya punya Rolan, satu-satunya lelaki yang mau memperhatikanku, aku tidak punya siapa-siapa lagi...Kumohon berikan Rolan untukku, biarkan kami bersama Selly....
Kata-kata Sabrina tadi langsung terngiang di benak Selly, menikam hatinya hingga terasa perih.
"Aku mengerti... aku pulang dulu ya." Selly menyentuh pipi Rolan dengan lembut, dan lelaki itu mengecup telapak tangan Selly dengan sayang, lalu memeluk Selly erat-erat.
"Hati-hati di jalan sayang, aku akan segera ke tempatmu nanti setelah selesai dengan Sabrina ya."

Dia masih berharap dan menunggu.... menunggu Rolan memanggilnya, atau berubah pikiran dan memilih pulang bersamanya. Tetapi yang didengarnya adalah pintu tertutup. Rolan sudah masuk ke tempat Sabrina di rawat....
Selly memejamkan mata dan air mata bergulir ke pipinya.
Rasanya sakit sekali... sakit sekali, seakan jantungmu direnggut paksa dan kau tidak bisa berbuat apa-apa...
***
Selly terbangun dengan kepala pening di pagi harinya, matanya sembab dan terasa perih karena dia menangis semalaman tanpa henti.
Bahkan malam kemarin, Rolan tidak meneleponnya. Sedang apa Rolan pagi ini? apakah dia sedang berada di rumah sakit dan menunggui Sabrina? berdua bersama perempuan itu dan menikmati waktu mereka berduaan...?
Lagi. Rasa sakit itu berdenyut di jantungnya. Selly menghela napas panjang dan turun dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi. Dia mengernyit ketika melihat bayangan dirinya di cermin...
Astaga matanya benar-benar sembab dan menghitam di sekelilingnya, perlu riasan tebal untuk menutupi seluruh bekas air mata dan kepedihan itu...
***
Selly memutuskan untuk pergi bekerja meskipun dia merasa belum sehat benar. Ketika turun dari angkot dan kemudian memasuki lobby perusahaan, seorang satpam menyapanya.
"Nona Selly." satpam itu tersenyum ramah, "Bagaimana malam yang dulu itu?, apakah akhirnya tuan Gabriel menemukan anda? Sungguh hujan badai yang mengerikan waktu itu ya."
Selly termenung dan mengernyit, dia menatap Satpam itu dan menyadari bahwa ini adalah satpam yang sama yang menyapanya ketika dia menunggui Rolan datang menjemputnya di sore yang berhujan deras waktu itu. Dan apa kata Satpam itu tadi?
"Tuan Gabriel?" Selly menyuarakan kebingungannya? apa hubungannya Gabriel dengan dia di malam itu? bukankah Gabriel sudah pulang jauh sebelumnya?
"Ya. Tuan Gabriel." Satpam itu sepertinya tidak menyadari kebingungan Selly, "Ketika anda memutuskan untuk menembus hujan badai itu. Tuan Gabriel muncul dari dalam, sepertinya dia belum pulang... kemudian dia menanyakan anda, saya bilang anda baru saja keluar menembus hujan... lalu tuan Gabriel mengatakan bahwa dia akan menyusul anda, saya pikir anda akhirnya...."
Tidak... dia tidak bertemu Gabriel.... benar bukan? Kalau dia bertemu Gabriel dia pasti ingat. Ingatan terakhirnya adalah kehilangan kesadarannya ditengah hujan deras di pinggir jalan, berpikir dia akan terbaring saja di sana celaka tanpa ada orang yang menolongnya.
Tetapi kenapa satpam itu mengatakan seperti itu?
Selly mencoba hanya menganggukkan kepalanya dan menatap satpam yang masih tersenyum lebar itu, lalu dia bergegas berlalu, dipenuhi kebingungan dalam benaknya.
***
"Sayang." Rolan bergumam ketika Selly mengangkat teleponnya, saat itu dia sedang berada di lift menuju ke atas ke ruangannya.
"Ya Rolan?" Selly menyahut, berusaha menyembunyikan rasa sedih di hatinya. "Bagaimana keadaan Sabrina?"
"Dia baik-baik saja. cuma semalam dia menangis ketika aku hendak meninggalkannya, membuatku serba salah, maafkan aku....sekarang dia tertidur, jadi aku bisa meneleponmu."
Kenapa sekarang seolah-olah posisinya dan Sabrina dibalik? Selly bertanya dalam hatinya. Kenapa sekarang seolah-olah Sabrina yang memiliki Rolan dan Selly yang harus menunggu Rolan mencuri waktu bersamanya?
"Apakah... apakah kau akan menemuiku nanti sore?" Selly memberanikan diri bertanya, suaranya terdengar bergetar, tetapi dia berhasil menyamarkannya.
"Aku tidak bisa berjanji, tapi aku akan mengusahakannya. Kau pasti tahu bahwa bersamamu adalah apa yang paling kuinginkan, Selly. Sabar ya?"
Tiba-tiba saja kata-kata Rolan menyejukkan hati Selly..... Bersamamu adalah apa yang paling kuinginkan.... mungkin Selly harus selalu percaya kepada Rolan dan melupakan kata-kata Sabrina kemarin,
"Aku akan bersabar, hubungi aku lagi ya nanti?"
"Pasti sayang, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu Rolan."
Dan kemudian percakapan mereka berakhir, membuat Selly merasakan perasaan kosong yang menyayat di hatinya. Tetapi Selly menjadi yakin bahwa dia seharusnya mempercayai Rolan, mempercayai cinta mereka. Apa yang dikatakan Sabrina kemarin mungkin hanyalah bentuk keputusasaan seorang perempuan yang sakit dan kesepian... Seharusnya Selly tidak meragukan Rolan. Cinta Selly begitu dalam kepada Rolan, dan dia yakin, Rolanpun demikian adanya kepadanya.
***

"Kau sudah masuk kerja? apakah kondisimu sudah membaik?" Gabriel langsung bertanya, menatap Selly dengan tatapan tajamnya.
Selly mengangguk, merasa gugup ditatap setajam itu, "Saya... sudah baikan Sir."
Lalu dengan tidak disangka, Gabriel mengangkat jemarinya, dan menempelkan telapak tangannya di dahi Selly.
"Oke. Demammu sudah turun rupanya." Lelaki itu melangkah mundur, dan kemudian berjalan ke samping Selly, keluar dari pintu itu. "Jangan memaksakan diri." gumamnya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Selly yang masih termenung di ambang pintu.
Selly termenung bukan karena kata-kata Gabriel. Tetapi lebih karena sentuhannya....
Kenapa sentuhan telapak tangan Gabriel di dahinya itu terasa begitu familiar?
Bersambung ke Part 17
Published on July 05, 2013 08:57
July 4, 2013
The Vague Temptation Part 7

Daniel melirik ke arah sopir yang membawa tas koper Alexa dan mengangkat alisnya, "Hanya itu barangmu." Alexa menganggukkan kepalanya, masih bingung harus berkata apa. Tiba-tiba ekspresi keras Daniel menghilang, lelaki itu menghela napas seakan lelah. "Kita tidak boleh bersikap kaku seperti ini. Kau tahu kita akan menghabiskan tiga bulan tinggal bersama di rumah ini, dan aku tidak ingin hubungan kita buruk." Daniel mengernyit, "Kurasa aku akan bersikap baik padamu, mau tak mau karena aku membutuhkanmu untuk menyelamatkan mukaku bukan?" ada nada getir di dalam suaranya, membuat Alexa merasakan sengatan rasa pedih yang mengganggu. Ya... berada di posisi Daniel pasti sangat sulit. Apalagi sekarang, ketika sang kakek malahan membuatnya bersaing terang-terangan dengan saudara tirinya sendiri. Alexa tidak suka berada di posisi ini, dia merasakan beban berat di pundaknya, menjadi penentu dari sebuah keputusan besar di keluarga ini. Seandainya saja dia bisa lari..... Daniel dan Alexa berjalan dalam keheningan memasuki rumah itu, ketika mereka sampai di lobby Albert Simon telah menunggu mereka di sana, lelaki itu langsung berdiri dan menyambut dengan hangat. "Alexa, selamat datang di mansion ini." dengan ramah lelaki itu menyambut tangan Alexa, dan kemudian menariknya ke pelukannya dengan sayang. "Aku sudah lama menunggu saat ini tiba." Alexa tersenyum menyambut sikap hangat lelaki itu, dan ketika Albert melepaskan pelukannya, dia menoleh ke arah Daniel. "Selamat datang Daniel." Daniel hanya menatap datar ke arah kakeknya, lalu tatapannya menjadi tajam seolah ingin membunuh ketika melihat sosok yang berjalan di belakang kakeknya. Nathan. Nathan tersenyum lebar menyambut Alexa dan menyalami tangannya, "Selamat datang di sini Alexa, kuharap kau akan merasa nyaman. Daniel langsung mencibir, "Ini bukan rumahmu, kau hanya menumpang di sini dan kau tidak berhak menyambut Alexa datang." gumamnya kejam. Suasana langsung menjadi hening, hening yang tidak enak hingga Albert Simon berdehem dan mencoba mencairkan suasana. "Kau pasti lelah Alexa." gumamnya, memusatkan pandangan kepada Alexa dan berusaha mengabaikan kedua cucunya yang saling bertatapan dengan tatapan tajam, "Ayo, aku akan tunjukkan kamarmu. dan kau bisa beristirahat." Alexa menoleh ke arah Nathan dan Daniel yang masih berpandangan dalam keheningan yang menegangkan, lalu dia memutuskan untuk mengikuti Albert Simon ytang sudah berjalan ke arah tangga dan menunggunya. Lebih baik dia pergi ke tempat netral bersama Albert Simon daripada berada di antara dua saudara yang siap saling membunuh ini. ***



Published on July 04, 2013 09:59
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
