Santhy Agatha's Blog, page 21

October 31, 2012

REVISI COVER : 4 novel karya Santhy Agatha

A Romantic Story about Serena
Genre : Roman, novel

Dalam hidupnya, Impian Serena hanyalah ingin menjadi perempuan yang biasa-biasa saja. Dia ingin menikah dengan Rafi kekasihnya, membentuk keluarga kecil yang bahagia, lalu seperti akhir kisah klise lainnya: bergandengan tangan di usia senja, melangkah menuju matahari terbenam.
Tetapi ternyata apa yang dia inginkan meskipun sederhana, tidak semudah itu menjadi kenyataan. Kecelakaan itu telah merenggut semua yang diimpikannya, orang tuanya, merenggut rencana pernikahannya dengan Rafi yang kemudian tak berdaya dan membuatnya harus berjuang sendirian, dan menghancurkan semua
mimpi-mimpinya yang sebelumnya terbungkus dalam rencana masa depan yang telah tersusun rapi. Semuanya hancur. Dalam perjuangannya untuk bangkit itulah dia harus berhubungan dengan Damian, seorang taipan kaya yang sombong, arogan, suka memaksakan kehendak, dan...punya obsesi seksual terpendam terhadap dirinya. Serena membutuhkan Damian lebih demi menyelamatkan Rafi, sedangkan Damian membutuhkan Serena untuk memuaskan hasrat obsesif yang terus menerus menyiksanya terhadap Serena.
Dua manusia yang seharusnya tidak pernah bersilang jalan inipun dipertemukan oleh keadaan. Dua manusia yang saling membenci satu sama lain tetapi dikalahkan oleh hasrat dan kebutuhan. Hubungan mereka panas membara, luar biasa sampai mereka bisa terbakar habis di dalamnya. Mereka menjalin hubungan karena keterpaksaan, yang lama kelamaan menjadi hubungan saling membutuhkan, saling merindukan dan saling memuaskan dan….. akhirnya menyerah untuk saling mencintai.
Sampai kemudian tiba saatnya Serena harus memilih antara Hasratnya pada Damian, lelaki arogan yang terus menerus menyakitinya tetapi berhasil merenggut hatinya, atau cintanya kepada Rafi, lelaki yang baik, yang pernah meninggalkannya untuk berjuang sendirian, tetapi tetap menjaga janjinya dalam sebentuk cincin pertunangan di jari manisnya."



From The Darkest Side
Genre : Roman, novel, Thriller                        
Hidup Sharin semula biasa-biasa saja. Dia adalah anak yang tidak diakui ibunya sendiri, seorang artis ternama yang memilih merahasiakan keberadaannya di depan umum dan membiarkannya dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Sampai kemudian Cathy, ibunya memintanya berkenalan dengan calon ayah tirinya, seorang lelaki muda yang begitu berkuasa. Darren Leonidas, milyader kaya keturunan Yunani yang tampaknya menyimpan rahasia kelam yang berhubungan dengan masa lalu Sharin.
Begitu memasuki rumah calon ayah tirinya itu, ada nuansa gelap yang melingkupi Sharin, seolah-olah ada sepasang mata yang selalu mengawasinya sepanjang waktu, berusaha menunggu saat dia lengah untuk menyakitinya. Dan sikap calon ayah tirinya, yang entah kenapa begitu tampan, muda, kaya, berkuasa dan misterius itupun tampaknya sama sekali tidak membantu Sharin untuk memecahkan misteri yang melingkupinya, karena Darren – sang calon ayah tirinya – tampaknya merahasiakan sesuatu. Sesuatu yang cukup gelap dan menakutkan, sesuatu menyangkut Sharin dan masa lalunya. Sesuatu yang bisa dengan kejam melukai orang lain demi mencapai tujuan jahatnya.  Kisah ini adalah kisah thriller romance yang diilhami oleh ide yang hampir sama di semua kisah romance di dunia : Cinta segitiga. Tetapi cinta segitiga disini sangat unik, karena hanya melibatkan dua orang J. Kalian akan disuguhi suasana mencekam, darah, kekejaman sekaligus pelampiasan hasrat dan petualangan seksual yang luar biasa panas antara tokoh2 di dalamnya.    Unforgiven Hero
Genre : Roman, novel
Rafael Alexander adalah seorang pengusaha sukses keturunan dari keluarga kaya yang berpengaruh. tetapi sebenarnya Rafael menyimpan rasa bersalah yang menyiksa seumur hidupnya. Di masa mudanya, Rafael pernah menyebabkan kecelakaan parah yang membunuh seorang sopir taxi tua yang ternyata meninggalkan seorang anak perempuan bernama Elena menjadi sebatang kara.

Dengan kekuasaan dan kekayaannya, Rafael berusaha menebus kesalahannya itu. Bagaikan malaikat pelindung, dia diam-diam mengatur segala aspek kehidupan Elena hingga menjadi mudah. Bahkan dengan kekuasaannya pula, dia memaksa Elena untuk terikat dengannya, ketika kemudian Elena mengetahui bahwa Rafael adalah orang yang menyebabkan kematian ayahnya, kebencian meledak di antara mereka, Elena tidak bisa memaafkan Rafael. Tapi karena terbiasa mendapatkan apa yang dia mau, Rafael ahkirnya menggunakan cara paksaan untuk memiliki Elena, dia menculik  Elena ke tempat terpencil, jauh dari siapapun, berada sepenuhnya di bawah kuasanya, hanyut di dalam ledakan gairah Rafael, dan hanya bergantung kepadanya. Konflik terjadi ketika ada perasaan yang mulai terlibat dari hubungan yang semula hanyalah penebusan dosa dan pamer kekuasaan ini. Ketika perasaan itu semakin dalam, akankah Elena bisa memaafkan laki-laki yang telah merenggut nyawa ayahnya dalam kecelakaan itu? 



Sleep With The Devil Genre : Roman, Novel, Thriller
 
Ketika bisnis orang tuanya jatuh, Lana terpaksa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang-orang yang dicintainya satu persatu hancur. Ibunya terpuruk dalam rasa malu dan kecewa lalu meninggal karena digerogoti penyakit yang sumber utamanya adalah dari hatinya yang hancur, ayahnya ahkirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang diindikasikan bunuh diri dengan sengaja karena tidak kuat menghadapi beban hidup, meninggalkan Lana Sendirian.Sebatang kara di dunia ini, Lana menyadari bahwa penghancur hidup keluarganya, yang menjadi pembunuh tak langsung kedua orang tuanya adalah Mikail Raveno, Pria berdarah italia, penguasa bisnis yang punya hobby menghancurkan dan menguasai perusahaan-perusahaan kecil yang dia incar, termasuk perusahaan orang tua Lana. Mikail Raveno berdarah dingin, dan ditakuti karena tidak punya belas kasihan.Dengan nekad, Lana menyamar menjadi pelayan bar favourite Mikail. Dan Lana mencoba mencari cara untuk membalaskan dendamnya kepada lelaki kejam itu, ingin mencari kepuasan dengan melukai Mikail, meskipun hanya sedikit. Tetapi sayangnya, penjagaan keamanan di sekeliling Mikail tidak tertembus. Lana malahan berahkir dalam cengkeraman Mikail, dirinya di beli diluar kehendaknya, diculik paksa dan dipenjara di rumah Mikail.
Kenapa Mikail menyekapnya? Apakah Mikail mengetahu niat Lana untuk membalaskan dendam kematian kedua orangtuanya? Dan kenapa semakin lama, Mikail semakin tidak ingin melepaskan Lana?Novel ini begitu panas, oleh gejolak dan percikan gairah dua manusia yang saling bermusuhan,  yang sama-sama bertemperamen keras, Lana seorang perempuan mandiri yang meledak-ledak harus berhadapan dengan Mikail, lelaki arogan yang terbiasa mendapatkan apa yang dia mau.

1 like ·   •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on October 31, 2012 23:50

October 30, 2012

Kepada Yang Tercinta


Nak, bunda bersyukur bisa memelukmu, merasakan kau hadir di tubuh bunda, biarpun hanya sebentar.
Nak, seandainya bunda diminta mendeskripsikan perasaan bunda saat itu, mungkin bunda hanya bisa mengulang kata-kata yang sama : bahagia, bahagia, bahagia
Terasa sekejap di saat itu, bunda bangun dengan bahagia dan beranjak tidur dalam senyuman

Tetapi engkau kemudian memutuskan untuk tak tinggal lama.
dan yang bisa bunda lakukan hanyalah menjeritkan pertanyaan, kenapa??
Malam itu bunda menangis nak, batin bunda dipenuhi kesedihan, rasanya seperti jantung bunda diambil dan diremas hingga denyutnyapun terasa menyakitkan di dada.
Bunda sudah terlanjur bahagia, bunda sudah bermimpi menggendongmu nak
dan bunda terpuruk dalam perasaan tidak rela yang menyayat hati

Untunglah ayahmu adalah orang yang mendamaikan, nak
Beliau selalu bisa mendamaikan hati bunda dengan usapan tangan dan bisikan lembutnya
Ayahmu bilang, kau mungkin memikirkan kondisi bunda yang kelelahan dan kau tidak mau memberatkan bunda, jadi kau memilih untuk pergi

Mungkin ayahmu benar nak, kau mungkin sangat menyayangi bunda sampai kau memutuskan pergi.
Allah mungkin begitu menyayangi kita bertiga sehingga membuat jalannya seperti ini
Bunda mengerti nak
Bunda Ikhlas

Dan semoga suatu saat nanti, kau memutuskan untuk pulang kembali ke buaian bunda.
Ketika itu terjadi, yang bisa bunda janjikan hanya satu : Kau akan dicintai
Karena itu, datanglah kapanpun, Kami, ayah dan bundamu akan mengusahakan segala upaya agar kau berbahagia dalam kehidupanmu dalam pelukan kami

Terimakasih sudah mau mampir biarpun cuma sebentar ya nak
Terimakasih sudah memberikan sepercik kebahagiaan dalam kesempatan untuk mengandungmu
Lekaslah pulang kembali nak

Salam sayang
Bundamu

PS : Ayah juga menitip doa dan peluk buatmu



1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 30, 2012 21:03

Verna Dan Hujan Part 1


Created on 23rd October 2010

 Disclaimer : Bandung dengan hujannya yang ( hampir ) setiap hari melahirkan cerita ini. Mau tak mau membuat saya merenungkan hujan dari dua sisi, Hujan yang mendatangkan kebahagiaan bagi manusia yang mencintainya sepenuh hati, dan hujan yang mendatangkan kesedihan bagi manusia yang belum bisa melepaskan masa lalunya.
 






“Gue bingung menghadapi Dania “, Tanza menekuk lututnya dan memeluknya. Disebelahnya, Verna yang sedang mengetik baris-demi baris kalimat dikomputernya mengernyit,
“Kenapa bingung ?, bukannya selama ini kalian baik-baik saja ?”
“Yah, kita baik-baik saja…. Terlalu baik-baik malahan, segalanya terasa terlalu sempurna hingga Gue ngerasa aneh.
Verna mengangkat kacamatanya dan menaikkannnya di kepala, lalu menatap Tanza lekat-lekat,
“Yah… dasar aneh…. Dikasih ga sempurna manyun, giliran dikasih sempurna ngeluh juga”, mata Verna menatap Tanza lekat-lekat, “ Denger ya Za, Dania itu gadis baek, pasangan yang sempurna buat lo….. kalian memang diciptakan buat bersama”, dengan santai Verna memutar kursinya dan menatap layar monitor, berkonsentrasi sebentar, mencari baris-baris yang ditinggalkannya, lalu mulai asyik mengetik lagi.
“Lo ngetik apaan sih ? asyik banget dari tadi sampe gue dicuekin”,
“Gue ngetik tentang hujan”
Tanza mengernyit,
“Hujan ? itu tulisan terbaru lo ? memang apa yang bisa ditulis tentang hujan ?”
“Banyak”, Verna mulai berkonsentrasi menulis dan tidak memperhatikan perkataan sahabatnya.
“Verna !! gue jauh-jauh kesini bukan Cuma buat dicuekin ama lo “
Verna menarik napas, seolah harus menahan kesabaran menghadapi Tanza, lalu meninggalkan tulisannya lagi , memutar kursinya lagi dan menatap Tanza dalam-dalam,
“Gue tau lo kesini buat curhat, tentang Dania. Gue udah kasih solusi, tapi lo masih aja bingung, ga salah kan kalo gue balik nulis lagi, lebih asyik tau !”
“Lo belum ngasih solusi”, Tanza memberengut.
Verna mengangkat bahunya,
“Gue nasehatin lo buat bersyukur dan menjalani apa adanya, lo harusnya sadar betapa beruntungnya lo “


“Dibanding lo ya ?”, gumamnya geli
“Kurang ajarrrr “, Verna pura-pura marah dan melemparkan boneka kodok di meja samping komputernya ke arah Tanza yang langsung menangkisnya sambil tertawa.
“Hey jangan salahin gue dong ! Lagian napa sih lo sibuk banget ama tulisan-tulisan lo ini, sekali waktu cari pacar lagi sono, bukannya makin tenggelam dalam dunia khayalan “
“Gue udah pernah nyoba cari pacar sekali, dan hasilnya menyakitkan. Gue nggak mau lagi”
Suasana penuh canda itu langsung berubah hening. Tanza terdiam, ragu,
“Lo…. Lo masih nginget si Bayu ?”
“Jangan sebut nama dia lagi di muka gue”,
‘Tapi lo ga boleh terus-terusan melarikan diri dan menjauh dari cinta cuma gara-gara Bayu”, Tanza terus mengejar, dia nggak rela kalau topik sensitif ini dialihkan seperti biasa. Verna selalu menghindari pembicaraan tentang Bayu, tapi Tanza mulai cemas karena Verna seperti kehilangan semangat lagi buat menemukan cinta.
“Lo cuma ada di posisi yang salah dengan orang yang salah waktu itu Ver, jangan menghakimi diri lo sendiri”,
Verna menggelengkan kepalanya, wajahnya tampak sedih,
“Nggak, gue yang salah, gue jahat “
‘Ver ! itu semua bukan Cuma kesalahan lo, Bayu juga ikut andil, jangan mencoba menanggungnya sendirian “,
“Tapi waktu itu gue seharusnya berhenti selagi bisa berhenti, tapi gue terlalu egois, gue terlalu cinta sama Bayu sampai nggak peduli sama hal lain”
“Bayu juga begitu kan ? itu kesalahan kalian berdua, seharusnya kalian berdua yang menanggungnya, kenapa sekarang lo terpuruk di sini sedangkan Bayu berbahagia sama tunangannya”
Sudut-sudut mata Verna dipenuhi air mata,
“Dia nggak bahagia Za”, dengan sedih Verna mengusap air matanya yang mulai mengalir turun, “Kalo dia bahagia, gue mungkin akan bisa dengan mudah melupakannya, tapi dia nggak bahagia Za, gue ga sengaja ketemu dia seminggu lalu, dia nangis Za”
“Tapi itu pilihan yang Bayu ambil, dia harus bertanggung jawab atas pilihannya”, Tanza masih bersikeras. Dia nggak rela air mata Verna, air mata sahabatnya yang sangat berharga ini selalu dicurahkan untuk sosok seperti Bayu.
“Gue yang salah, gue yang menempatkan Bayu pada posisi sulit…. Seharusnya gue nggak pernah muncul, seharusnya gue nggak pernah ada dalam hidup Bayu”
“Verna, lo itu berharga. Lo harus terima kalo kisah lo sama Bayu itu Cuma masa lalu. Lo nggak bisa stagnan diem disini terus sementara dunia terus berputar, lo harus lanjutin hidup lo, gue percaya di depan sana ada seseorang yang bisa lo temuin, seseorang yang lebih baik dari Bayu”,
Verna tersenyum sedih mendengar nasehat Tanza,
“Makasih ya Za, lo memang selalu bisa bikin gue kuat”
***
Dulu gue selalu suka kalo hujan turun. Gue suka menyentuh aliran air yang dihempaskan dari atas itu dengan tangan gue. Gue suka masuk ke tengah derasnya hujan, ngebiarkan diri gue basah kuyub dari ujung kaki sampe ujung kepala. Gue cinta hujan, entah kenapa hujan selalu bisa bikin gue bahagia.

Verna merenung, jari-jarinya berhenti di atas keyboard, lalu menghela napas, dan mengetik lagi.
Banyak kejadian menyenangkan yang gue alami di saat hujan. Tentu saja banyak juga kejadian menyebalkan karena hujan, but it doesn't matter, gue terlalu bahagia saat hujan turun hingga gue bahkan nggak nyadar kalo kejadian itu masuk kategori menyebalkan. Tapi sekarang, entah kenapa setiap melihat hujan, gue jadi ingin menangis....
Verna berhenti mengetik ketika mendengar gemuruh guntur di kejauhan, dia meninggalkan komputernya, berdiri dan melangkah ke jendela. Langit sudah mulai hitam pekat dan rintik hujan sudah mulai turun, makin lama makin deras, makin keras hingga pemandangan di depannya hanyalah garis-garis putih yang menghujam horisontal ke tanah.
Bahagiakah ia ?
Verna mendesah, berusaha mencari bahagia yang selalu bisa dia temukan ketika melihat hujan, tetapi bahagianya tidak ada.
Kesedihan yang dalam menghujam hatinya, ketika dia memutuskan pergi dari Bayu, ketika itulah seluruh kebahagiaannya terbawa pergi.
Verna teringat saat-saat bahagianya bersama Bayu yang selalu terjadi di saat hujan, betapa bahagiannya mereka saat itu. Mencoba menipu diri bahwa kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya.
"Gue kan uda bilang mending bawa mobil aja kalo mendung gini, sekarang liat nih hasil ide lo", Bayu sedikit berteriak, mengalahkan derasnya hujan yang menghujam mereka,
Sementara Verna yang berada di boncengan motor tertawa terbahak-bahak, bahagia,
"Memang ini maksud ide gue tadi, gue nunggu kita kehujanan ! ", dengan manja dia memeluk punggung Bayu, "Lagipula lo kan laki-laki kuat, masak sama aer aja kalah ?"
Bayu ikut tertawa lalu tangan kirinya lepas dari pegangan motor dan menggenggam tangan Verna yang memeluk pinggangnya,
"Dasar aneh !", serunya masih dalam tawa, "Gue ga tau napa gue mau-mau aja nurutin permintaan lo, hujan-hujanan kayak gini sementara ada jas hujan di bagasi motor"
"Karna lo cinta ama gue ?", Verna berbisik, pelan ditengah derasnya suara hujan, tapi Bayu mendengarnya, dan tersenyum lembut,
"Karna gue cinta banget ama lo Ver"
Dalam senyum, ditengah derasnya hujan, Verna semakin erat memeluk punggung Bayu.
Mereka sampai di rumah hampir satu jam kemudian, dalam kondisi basah kuyub dan mengigil kedinginan.
Ketika Bayu memarkir motor Verna di depan rumah, sosok perempuan mungil itu menghambur dari dalam rumah, membawa handuk,
"Ya ampun, dasar kalian berdua ini !, Bayu juga gitu, kenapa lo mau-mau aja ngikutin kemauan Verna pergi naek motor dia ", Nadia menyerahkan satu handuk kepada Verna, lalu menggunakan handuk yang satunya untuk mengusap rambut Bayu, dia sedikit berjinjit dan Bayu sedikit menunduk.
Verna menatap kakak kembarnya yang tak henti-hentinya mengomeli mereka, tetapi tetap dengan senyum di bibirnya, senyum perempuan yang sedang jatuh cinta.
Dengan lembut Verna berganti-ganti menatap Bayu dan Nadia. Sungguh pasangan serasi. Bayu yang tinggi dan tampan, dengan Nadia yang feminim dan luar biasa cantik.
Luar biasa cantik ? Verna mengernyit, kalau Nadia luar biasa cantik, seharusnya dia juga dong, kan mereka saudara kembar ? Tanpa sadar Verna tertawa sendirian. Tentu saja, mereka memang kembar, tapi entah kenapa aura 'Luar biasa cantik itu tidak pernah muncul dalam diri Verna. Wajah mereka sama, tapi mereka berdua bertolak belakang satu sama lain baik dalam sikap maupun penampilan,
"Verna, jangan berdiri saja di situ, ayo masuk, ganti baju dulu, gue bikinin kopi buat kalian berdua"
Tergeragap dari lamunan, Verna melangkah mengikuti Bayu dan Nadia masuk ke dalam rumah.
Beberapa saat kemudian ketika sudah ganti pakaian kering, Verna menuju ke ruang keluarga, Bayu sudah ada di sana menonton TV sedang Nadia nggak kelihatan,
Berdiri di pinggir karpet menatap Bayu, Verna terbahak sedang Bayu merengut,
"Diem lo", gumam Bayu sambil melempar bantal ke arah Verna, tapi seringai geli juga tampak di wajahnya.
Verna menutup mulutnya agar nggak tertawa,
"Lo... Lo pake baju bokap ya ?", tawa masih terdengar dalam suara Verna, matanya menelusuri Bayu yang memakai training hitam dan kaos putih milik ayahnya yang agak kebesaran.
"Salah siapa coba ?", Bayu merengut, "Gue ga nyangka bakalan di jebak penyihir kecil buat nganter dia pake motor, padahal gue bawa mobil, lalu diterjunkan ke tengah hujan deras dan parahnya ga boleh pake jas hujan, padahal jas hujannya ada di bagasi", Bayu melambaikan tangan mengajak Verna duduk di sebelahnya, "Gue ga bawa baju ganti"
Verna terkekeh, lalu duduk di sebelah Bayu di sofa matanya menatap sekeliling,
"Nadia di mana ?"
"Bikin kopi, bentar lagi juga dateng"
Dan benar, Nadia datang beberapa saat kemudian membawa nampan berisi kopi, Bayu langsung berdiri dan meraih nampan itu dari tangan Nadia,
"Berat tau, harusnya lo teriak aja dari dapur, biar gue yang bawain"
Nadia hanya tersenyum lembut menatap Bayu.
Setelah meletakkan kopi di meja, Bayu duduk lagi di sofa, agak jauh dari Verna dengan Nadia bergelung dalam pelukannya, mereka diam menonton TV sedangkan hujan masih turun dengan derasnya di luar.
Verna menatap tangan Bayu yang merengkuh pundak Nadia lalu mengalihkan pandangannya, dingin, Verna memeluk dirinya sendiri, lalu matanya mengarah pada hujan deras yang tampak dari jendela,
Apa sebenarnya mau lo Verna ? Hati nuraninya menderanya, Tega-teganya lo berselingkuh ama pacar kakak kembar lo sendiri. Kalau sekarang lo harus menanggung kepedihan melihat kemesraan mereka, itulah hukuman buat lo
"Verna ", suara Nadia menggugah Verna dari lamunannya, dia tergeragap dan menatap ke arah pasangan itu. Bayu tampak cemas menatapnya dari atas kepala Nadia.
"Kok lo malah ngelamun ? Hayoo diminum dulu kopinya", Nadia melepaskan diri dari pelukan Bayu dan mengambil secangkir kopi di meja, menyerahkannya kepada Bayu yang langsung menerimanya tanpa bertanya.
Dengan patuh, Verna mengambil kopi dan meminumnya, mengernyit sedikit karena rasanya begitu manis,
"Tadi papa nanyain lo, Yu", Nadia memulai percakapan, menyandarkan lagi di lengan Bayu,
"Hmm... Kenapa ?", Bayu masih berkonsentrasi menyesap kopinya.
"Tentang rencana pertunangan itu, gue udah bilang ke papa kalo kita berencana bertunangan segera setelah gue wisuda, tapi tadi papa bilang, napa ga sekarang aja toh kita udah pacaran lama and keluarga udah kenal deket"
Verna dan Bayu tersedak kopi bersamaan. Nadia langsung tertawa geli melihatnya,
"Kalian ini yaa... Bisa-bisanya barengan gitu, hati-hati dong !"
Verna mencoba tersenyum dan langsung memalingkan muka, berpura-pura menatap televisi, sedangkan Bayu meletakkan kopinya sambil menatap agak resah ke Nadia,
"Yah... Kita tunggu hasil pembicaan sama bokap lo ya", gumamnya ahkirnya.
Nadia tertawa,
"Ya, gue udah nggak sabar pingin tunangan ama lo Bayu, gue udah ga sabar make cincin lo"
Perkataaan yang menusuk hati Verna dan membuat hati Bayu terasa sakit. Ironisnya Nadia sama sekali tidak menyadarinya.
***
"Kita harus mengahkiri ini semua", Verna memutuskan, waktu itu rumah sepi. Kedua orang tuanya masih di kantor dan Nadia masih ada tugas kuliah sampai malam.
Bayu berdiri di depannya, tampak letih masih mengenakan pakaian kerjanya.
"Itu masalahnya, gue nggak bisa Ver, gue cintanya sama lo, bukan Nadia"
"Tapi lo udah jadi kekasih Nadia, lo udah cinta sama dia duluan sebelum gue, gue cuma pengganggu yang datang belakangan, menurut gue, kalo lo ga ketemu gue, lo sekarang pasti masih cinta ama Nadia. Dan gue sayang Nadia Yu, dia sodara kembar gue, kalo dia sakit gue juga sakit, gue ga bisa ngelanjutin kesalahan ini", Verna membalikkan tubuh membelakangi Bayu menatap ke jendela.
Bayu mengacak rambutnya, sedih,
"Setiap hari dalam hidup gue, gue selalu menyalahkan waktu, Kenapa ? Kenapa waktu terlambat mempertemukan kita ? Kenapa gue nggak ketemu lo lebih cepat ? Sebelum gue jadi milik siapa-siapa? Sebelum gue jadi milik Nadia ?",
Verna memejamkan matanya,
"Itu takdir Yu. Mungkin gue emang ga berujung ama lo. Gue juga salah, waktu itu ketika gue ngerasa perasaan yang berbeda ama lo, harusnya gue tahan kuat-kuat perasaan itu. Lo milik orang, milik kakak kembar gue. Tapi gue cuma manusia biasa, gue ga kuat nahan perasaan ini, gue.... Lo satu-satunya yang bikin gue ngerasa nyaman.."
"Verna", Bayu berbisik lembut, berdiri mendekat di belakang Verna dan merengkuh pundaknya dari belakang. Sama-sama menatap hujan yang turun deras di balik jendela.
"Gue akan cari jalan supaya pertunangan itu ditunda"
"Buat apa ?", Verna merasakan air mata di sudut matanya, "toh kita akan jalan di tempat lagi. Gue ga mau sembunyi-sembunyi di belakang Nadia lagi, perasaan bersalah ini semakin memuncak seiring dengan berjalannya waktu, gue nggak kuat lagi Yu",
"Gue akan bilang semuanya sama Nadia", gumam Bayu kemudian. Mantap.
"Jangan !!", Verna menjerit penuh air mata, membalikkan tubuhnya menatap Bayu, "Lo gila apa ?? Nadia akan sangat sakit, gue ga mau dia sakit !! Gue ga mau dia sedih !!"
"Tapi sekarang lo yang sakit Ver !! Lo yang sedih !! Gue ga tahan ngeliatnya", Bayu meraih dagu Verna mendongakkan wajahnya, "Gue cinta sama Lo Ver, cuma lo yang gue cintai"
Verna tersenyum sedih,
"Gue tetep pada keputusan gue, kita harus ahkiri semuanya ini",
"Verna", Bayu mengerang, penuh rasa tersiksa.
Verna langsung memeluk Bayu erat-erat,
"Peluk gue Yu, gue pingin merasakan pelukan lo buat terahkir kalinya. Merasakan kehangatan lo yang selalu bikin gue nyaman, setelah itu gue akan melangkah menjauh, dan gue ga akan bisa peluk lo lagi, tapi gue pasti kuat. Mengetahui lo hidup dan menjalani hidup dengan bahagia, gue pasti kuat"
"Verna", Bayu merengkuh Verna ke dalam pelukannya, merengkuhnya kuat-kuat, "Gue cinta sama lo"
"Astaga",
Kengerian mewarnai suara Nadia, ucapan itu begitu berbisik, tetapi seketika itu juga pelukan Bayu dan Verna terlepas, mereka serentak menjauh dan menatap ke arah sumber suara dengan tatapan bersalah.
Nadia berdiri di sana dengan wajah pucat pasi dan bibir gemetar menahan tangis,
"Gue udah curiga", suara Nadia sesak oleh tangis yang dalam, "Gue udah curiga ada wanita lain dalam hati Bayu. Sikapnya berubah nggak seperti dulu, gue udah ngerasa kalo hatinya makin jauh", Nadia menatap Bayu yang menunduk dengan rasa bersalah, air mata mengalir deras di pipinya, lalu dia menoleh ke arah Verna yang sama pucatnya dengannya, "Tapi gue ga nyangka, sama sekali ga pernah nyangka kalo wanita lain itu adalah lo !! Adik kembar gue sendiri !!", kemarahan nampak mewarnai suara Nadia yang bergetar, "lo jahat Verna !! Kalian semua jahaattt "
Seketika itu juga Nadia membalikkan tubuhnya dan menghambur ke luar, Bayu langsung melompat mengejarnya, menembus hujan yang deras, Verna sempat terpaku sejenak, masih schock dengan perkataan Nadia tadi, tetapi dia segera menyusul.
Suara rem yang menggesek aspal dengan keras membuat hatinya nyeri, dengan bergegas, dia melangkah ke jalan, ke arah suara itu,
Verna langsung berlari dan berlutut sambil menangis, di sana Nadia terbaring pingsan dengan kepala terluka berdarah, tertabrak oleh mobil, Bayu berlutut di sebelahnya. Hujan deras mengguyur mereka.
Setelah itu perjalanan ke rumah sakit terasa bagai neraka bagi mereka, Bayu tetap memeluknya. Memberinya kekuatan selama Nadia ditangani di UGD, orangtua mereka menyusul kemudian.
Dan selama proses menunggu yang begitu menekan itu, Verna terus menerus berbisik ke dalam hatinya, 'aku jahat, aku jahat, aku benar-benar jahat'
Lalu Nadia tersadar, dan Bayu serta Verna berdiri di sana. Siap menghadapi penghakiman. Tapi Nadia malah tersenyum begitu manis,
"Bayu? Verna ?, kenapa kalian berdiri di situ ?", tanyanya lembut, mengulurkan tangannya pada Bayu yang langsung duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggamnya.
"Gue.... Gue nggak ingat kenapa gue kecelakaan, konyol sekali ya", Nadia tertawa sambil mengusap perban di kepalanya, "Mungkin gue melamun di perjalanan pulang kampus ? Gue ingat hujan turun deras sekali, tapi setelah itu kabur", Nadia mengalihkan kepala kepada Bayu yang menggenggam tangannya lalu tersenyum penuh cinta, "Tapi gue seneng begitu membuka mata ngeliat lo di sini Yu, gue seneng banget", Nadia meremas tangan Bayu lembut.
Bayu tertunduk, mencoba tersenyum tapi terasa kaku,
"Gue juga seneng", jawabnya termenung. Lalu melepaskan genggamannya dari Nadia dan bangkit, "Gue ngasih tau mama papa dulu ya kalo lo udah sadar", dengan langkah cepat Bayu keluar ruangan perawatan itu.
Verni berdiri di sana. Nadia lupa bagaimana dia bisa kecelakaan? Dokter tadi mengatakan bahwa benturan keras di kepala Nadia bisa menyebabkan kakak kembarnya itu kehilangan beberapa ingatannya. Jadi Nadia tidak ingat apa yang dilihatnya sebelum kecelakaan itu ? Verna menarik napas lega, hampir menangis, dia lalu duduk di sebelah ranjang, meraih tangan Nadia.
Dan Nadia melepaskannya dengan kasar.
Wajah Verna langsung pucat pasi menatap Nadia yang tanpa ekspresi.
"Jangan kira gue sebodoh itu,...... lupa ingatan huh!", Nadia mencibir, "gue cuma pura-pura di depan Bayu, tapi di depan lo", Nadia menoleh, dan tatapan kebencian yang dilemparkannya itu membuat Verna semakin pucat, "Lo memang saudara paling jahat di dunia, bermain-main di belakang punggung gue, lo kejam banget Ver"
"Maafin gue...", Verna menunduk, butiran bening mengalir di sudut matanya.
"Nggak, gue ga bakalan maafin lo !!", seru Nadia setengah berteriak, "Gue mau lo menyingkir dari hidup gue dan Bayu, gue mau lo nyingkir dari kehidupan gue !! Gue ga mau ngeliat lo lagi kecuali terpaksa !!!"
Pernyataan Nadia itu menghancurkan hatinya, membuat Verna luluh lantak, dan dia melakukan semua yang diinginkan Nadia.
Beberapa hari setelah kecelakaan itu, Verna mengajukan pindah dari kampusnya. Ia mengambil kampus yang sedikit jauh di luar kota, kemudian dia mengemasi barang- barangnya, melawan keberatan orang tuanya, melawan protes Bayu, yang tetap mengira bahwa Nadia kehilangan ingatannya dan tidak mengetahui perselingkuhan mereka, dan Verna lalu pindah ke kamar kost dekat kampus barunya.
Verna benar-benar menjauh dari kehidupan Nadia dan Bayu.
***
Sekarang, masih menatap jendela kamarnya, ke arah hujan yang turun semakin jelas, Verna mendesah lagi, percakapannya dengan Tanza tadi telah menggugah ingatan yang dia tenggelamkan dalam-dalam, kenangan kejadian satu tahun lalu.
Dengan gontai dia melangkah membuat kopi, lalu duduk lagi di depan komputer, menyesap kopinya sebentar dan membaca ulang tulisannya tentang hujan, setelah itu dia mengklik tombol turn off dan menyandarkan tubuhnya di kursi, memejamkan mata.
Verna setengah tertidur ketika handphonenya berkedip-kedip,
Dengan malas diambilnya handphone itu, 1 message received,
Di luar hujan, jangan melamun yang nggak-nggak.
Verna tersenyum, Tanza.
Lo kali yang hobby ngelamun jorok kalo hujan-hujan.
Handphonenya berkedip lagi,
Eeehh sembarangan, siapa bilang gw bahas ngelamun jorok. Gue kan bilangnya 'ngelamun yang enggak-enggak'
Masih tersenyum Verna meletakkan handphone itu. Tanza mencemaskannya, dan hati Verna tersentuh. Mereka belum lama berkenalan tapi terasa seperti sudah mengenal lama. Salah seorang teman Verna dari kampus lama mengenalkannya kepada Tanza pada saat dia mencari tempat kost baru di dekat kampus barunya. Saat itu dengan senang hati Tanza membantunya, dan mereka jadi bersahabat.
Verna merasa nyaman bersama Tanza, dia bisa menceritakan apa saja tanpa merasa takut dihakimi. Tanza selalu mau mendengarkan ceritanya, dan memberikan solusi yang sangat membantu Verna. Tanza tidak pernah menghakimi Verna pada saat Verna ahkirnya bercerita tentang kisah perselingkuhannya dengan pacar kakak kembarnya sendiri, Tanza selalu bilang,
"Kau cuma ada di waktu yang salah, tempat yang salah, dan meletakkan perasaanmu kepada orang yang salah Verna"
Dan terus terang, di hati Verna mulai tumbuh kasih sayang yang mendalam untuk Tanza. Tapi Verna menahannya sekuat tenaga. Tanza sudah punya Dania, kekasihnya sejak satu tahun ini. Verna tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, menjadi pengganggu dalam hubungan dua orang yang saling mencintai.
Handphonenya berkedip lagi.
Kok diam ? Udah tidur ? Coba lihat hujan di luar sana, dan coba buat tersenyum lagi pas ngeliat hujan. Hujan itu menyenangkan lho. Sebete apapun gue, kalo ngeliat hujan pasti bahagia
Verna tersenyum, mau tak mau hatinya bergetar menerima perhatian Tanza,
Gue udah liat kok, gue senyum, bukan karena hujan, tapi karena baca sms lo. Lagipula lo kan orang yang mudah bahagia di mana-mana, ga usah alesan deh.
Beberapa menit kemudian Tanza membalas,
Hah! Dasar pandai mengalihkan pembicaraan. Seharian ini gue kepikiran lo terus. Jangan sedih deh, besok gue ajak lo hujan-hujan seharian mau?
Janji?
Janji.
Dengan pedih Verna meletakkan hanphonenya dan melangkah ke atas ranjangnya, meringkuk di atas tempat tidur, merenung.
Tanza hanya memperhatikannya karena mereka bersahabat. Tidak lebih. Dia tidak boleh berpikiran lebih. Dia tidak boleh, dia tidak boleh.....
Pemikiran itu membawanya hanyut ke alam mimpi.
***
Verna merengut pada Tanza yang duduk di sebelahnya, lelaki itu memakan bakso di depannya dengan lahap, tidak peduli dengan tatapan marah Verna,
"Aah sama juga boong kalo gini", seru Verna ahkirnya.
Tanza tergelak,
"Jangan salahin gue dong, bukan mau gue langit cerah kayak gini, yah kita tunggu dan berdoa aja deh, semoga hujan"
Verna meneguk teh-nya dan menatap Tanza,
"Gue udah ilang mood, gue pulang aja deh"
"Eh jangan dong, gue kan udah janji mo bikin lo nggak sedih, pokoknya kita tunggu sampai hujan turun", Tanza bersikeras.
Mau tak mau Verna tertawa melihat kekeraskepalaan Tanza,
"Tanza", Verna tersenyum lembut, "Ngeliat niat baik lo aja udah cukup buat ngilangin kesedihan gue, lo ga usah repot-repot lagi"
Tanza tertawa senang,
"Bagus, lo harus kembali jadi Verna yang ceria ya", tiba-tiba handphonenya berbunyi, Tanza melihatnya dan dahinya berkerut, "Ya, halo ? Dania? Gue lagi makan bakso..... Jemput? Dimana?", sejenak Tanza mendengarkan, lalu mengangguk, "Ok tar telp aja lagi, love you too", Tanza menutup telephonenya dan tersenyum pada Verna,
"Dania, minta dijemput di kampus"
"Pergi aja sekarang Za, tar telat lho"
Tanza mengerutkan keningnya lagi,
"Tapi gue kan udah janji mau nungguin hujan, mo ngajak lo hujan-hujanan"
Mendengar itu Verna melirik ke langit yang cerah benderang dan tertawa,
"Lo nunggu seharian juga kayaknya ga bakalan hujan, udah ah pergi sono ! Gue mau balik, mo nyelesein tulisan yang kemarin",
Verna meraih tasnya. Tapi Tanza meraih bahunya,
"Gue antar lo pulang dulu, baru jemput Dania"
"Lo ada-ada aja, kampus ke rumah kan deket, malahan kampus Dania yang jauh, lo mustinya cepet-cepet berangkat biar Dania ga nungguin lama, lagian gue lagi kepingin jalan kaki, mau mampir di toko buku bentar", dengan senyum manisnya, Verna melepaskan tangan Tanza dari pundaknya dan melangkah pergi,
"Ver"
Panggilan Tanza yang tiba-tiba serius itu membuat langkah Verna terhenti,
Dengan pelan Verna menoleh, mendapati Tanza berdiri di sana, menatapnya dengan sedih,
"Apa Za ?"
Tanza menghela nafas,
"Gue bukan Bayu, dan Dania bukan kakak kembar lo, seharusnya lo nggak perlu setakut itu",
Kalimat Tanza itu bagaikan menamparnya, membuat Verna pucat pasi,
"Lo ga perlu menyalahkan diri kalo ternyata gue punya perasaan lebih ama lo. Gue yang seenaknya sendiri merasakan perasaan itu tanpa seizin lo, lo sama sekali ga salah Ver",
Verna memejamkan matanya pedih,
"Sama aja Za, gue seolah-olah ditakdirkan buat jadi pengganggu di hubungan dua manusia yang semula baik-baik aja, gue ga mau lagi mencintai orang yang sudah dimiliki orang lain, sudah cukup gue menderita"
"Gue....."
"Udahlah Za, jemput Dania. Dan jangan mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Gue ingin kita tetap bersahabat, kalo lo bahas masalah ini lagi, gue nggak akan tahan dan mungkin akan memutuskan menjauh dari kehidupan lo"
Apapun yang akan diucapkan Tanza tadi langsung ditelannya begitu mendengar ancaman Verna, dia menarik napas panjang.
"Gue terima cuma dijadikan sahabat asal gue tetep bisa hadir dalam hidup lo. Gue terima lo mengabaikan perasaan gue Ver, Gue terima lo pura-pura nggak ada yang lebih dalam hubungan kita, padahal ada. apapun itu gue terima, asal gue bisa tetap ada dalam hidup lo",
Verna tersenyum sedih pada Tanza, menganggukkan kepalanya, lalu melangkah pergi meninggalkan Tanza.
***
Yah, hujan ini seperti mengejeknya. Verna mengernyit menatap jendela kaca etalase toko buku yang dimasukinya dalam perjalanan pulang.
Begitu dia masuk ke toko buku ini, langit tiba-tiba menggelap dan hujan turun dengan derasnya. Verna menatap aliran hujan yang begitu deras, lalu menundukkan kepalanya dan mendesah.
Yah, bahagiaku ternyata masih belum dapat kutemukan......
"Verna ?"
Suara yang sangat familiar itu membuat Verna langsung menoleh, waspada.
Dan benar, Bayu. Bayu yang dirindukannya berdiri di sana, tampak makin kurus dan letih daripada saat terahkir mereka bertemu secara tak sengaja beberapa waktu lalu,
"Ngapain lo disini Yu ?", Verna bertanya karena lokasi kampus barunya ini sangat jauh dari tempat tinggal Bayu, sangat jauh dari tempat yang biasanya dikunjungi Bayu, Verna sengaja melakukannya.
Bayu menatap Verna dalam-dalam,
"Gue emang sengaja kesini Ver... Bukan.. Pertamanya gue nggak niat ketemu langsung ama lo. Gue sering kesini Ver, ngeliat lo dari kejauhan, memastikan lo baik-baik saja, tapi tadi gue liat lo masuk toko buku ini dan gue nggak bisa nahan diri"
Verna bersedekap untuk melindungi dirinya dari perasaan yang bergejolak,
"Sebaiknya lo pergi dari sini, kalo Nadia sampe tau....",
"Nadia ga akan tahu", Bayu menatap Verna lekat-lekat, "Siapa laki-laki itu Ver, gue selalu ngamatin lo dari jauh, jadi gue tau, dia akrab banget ama lo"
Wajah Verna langsung pucat pasi. Dia tau persis siapa yang dimaksudkan oleh Bayu. Tanza.
"Itu bukan urusan lo", Verna memalingkan muka, menghindari tatapan lekat Bayu.
Bayu mengacak rambutnya frustasi,
"Selama ini gue nggak pernah tau, betapa menderitanya lo waktu ngejalanin hubungan ama gue dulu..", Bayu meringis sedih, "Gue... Hati gue terasa dicabik-cabik ketika ngeliat kedekatan lo ama lelaki itu.... Gue gak bisa bayangin betapa sakitnya perasaan lo ketika dulu gue tanpa perasaan bermesraan dengan Nadia di depan lo",
Verna mengernyit ketika kenangan demi kenangan itu melintas di ingatannya,
"Tolong jangan bahas itu lagi Yu, gue nggak mau tenggelam dalam masa lalu, gue mau melangkah maju"
"Dengan laki-laki itu?", tanya Bayu getir.
Verna menarik napas panjang,
"Nggak Yu, gue sama dia cuma sahabat, dia yang bantu gue bangkit dan semangat lagi. Dia udah punya pacar",
Bayu mendesah, tampak sedikit lega,
"Mungkin gue jahat dan egois karena merasa lega, gue belum siap ngeliat lo dimilikin laki-laki lain", Bayu menatap Verna sendu, "Perasaan ini masih ada, masih dalam, setiap hari gue menatap Nadia, berusaha mencintainya, tapi gue selalu membayangkan lo, gue selalu memprotes, kenapa harus Nadia ? Kenapa bukan lo ??"
"Bayu", Verna mengerang, "Jangan.... Gue mohon jangan teruskan lagi, pulanglah, kembalilah sama Nadia, gue mohon....",
Verna berlari, meninggalkan toko buku itu, tak dipedulikannya panggilan Bayu yang makin sayup-sayup di tengah derasnya hujan.
Verna terus berlari dengan air mata berderai, membiarkan derasnya hujan menghantam tubuhnya, menyakitinya.
Aku memang pantas disakiti, jerit Verna dalam hati, aku jahat, aku jahat, aku jahat.....
Dengan basah kuyup Verna melangkah menuju kost nya, air mata masih mengalir deras di pipinya, dan dia terkejut melihat Tanza berdiri bersandar di pintu kostnya,
"Curang, lo hujan-hujan sendirian", Tanza tersenyum.
"Lo kenapa disini? Dania gimana ?",
Tanza mengangkat bahu,
"Batal, Dania ada acara mendadak sama temen-temen kampusnya, biasa, shopping. Waktu gue liat langit gelap dan hujan, gue langsung puter balik ke tempat lo, tapi lo belum pulang, hp lo nggak aktiv, jadi gue tungguin", senyum masih ada di bibir Tanza, tapi dia mengernyit ketika memperhatikan Verna lebih dekat, "Ver.... Lo nangis ? Kenapa ?",
Verna merasa pedih sekali. Entah karena pertemuannya dengan Bayu tadi, entah karena kebaikan hati Tanza yang memikirkannya di kala hujan turun.
Tiba-tiba semuanya terasa kabur di matanya.
"Verna ? Verna ?!!", Verna masih mendengar seruan cemas Tanza sebelum semuanya berkunang-kunang dan dia kehilangan kesadarannya.
***bersambung ke part 2
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 30, 2012 10:01

October 29, 2012

Perempuan yang aku benci



Aku benci sekali perempuan itu. Perempuan tidak tahu sopan santun yang seenaknya saja menyentuhkan jemarinya di tubuh kekasihku. Suara perempuan yang aku benci itu begitu memekakkan telingaku, tidak ada merdu-merdunya sama sekali.

Seandainya saja aku punya kekuatan menyingkirkan perempuan itu, pasti akan aku lakukan tanpa pikir panjang. Tapi kekasihku sepertinya membutuhkan kehadiran perempuan yang aku benci itu, mungkin karena dia adalah rekan kerjanya, yang begitu genit menempel-nempel  tanpa tahu malu.

Padahal aku sudah berusaha memberikan isyarat kepada kekasihku bahwa aku tidak menyukai keberadaan perempuan itu di rumah ini, tanpa hasil, karena kekasihku tampaknya tidak memahami isyaratku.
Perempuan yang aku benci itu mulai sering datang ke rumah ini sejak seminggu yang lalu. Meninggalkan jejaknya dimana-mana. Aku sampai harus menghindari sofa tempat dia duduk selama sehari penuh karena aroma parfumnya yang menempel di sana tak mau hilang.

Aku harus memaksakan diri mendengar suaranya yang dibuat-buat sok manja, penuh muslihat kepada kekasihku. Belum lagi aku harus menahankan pemandangan yang menarik kecemburuanku sampai ke ubun-ubun, ketika melihat kekasihku mulai menanggapi rayuan perempuan yang aku benci  itu tanpa malu-malu di depanku. Tanpa mempedulikan perasaanku. 
Hari ini aku sudah siap sedia, biasanya jam-jam segini, ketika petang mulai menggayuti matahari, kekasihku pasti mengajak perempuan yang aku benci itu pulang untuk makan malam bersama.

Hari ini aku sudah siap sedia. Akan aku balaskan sakit hatiku selama ini kepada perempuan itu. Jadi ketika suara mobil memasuki garasi, aku sudah menunggu di dekat pintu dengan segenap kekuatan yang aku kumpulkan seharian ini,

Kurasuki pikiranku dengan berbagai kebencian yang kuharap bisa semakin mendorong kekuatanku. Kubayangkan betapa aku yang harus menunggu di rumah sampai kekasihku pulang, tanpa teman, kesepian, dan sendirian. Sedangkan perempuan itu asyik masyuk seharian menghabiskan waktunya bersama kekasihku.

Kubayangkan betapa sakitnya hatiku ketika kekasihku tiap malam selalu mengajak perempuan itu makan malam di meja makan kesayangan kami, lalu perempuan yang aku benci itu dengan seenaknya duduk di kursi yang biasanya kududuki saat menemani kekasihku menikmati hidangannya, menguasai kekasihku, membuatku diabaikan.
Suara tak tok tak tok sepatu high heels perempuan yang kubenci itu terdengar semakin mendekat, aku bersiap. Sebentar lagi dia pasti akan melalui pintu ini, lalu berceracau dengan suara falsnya yang menyedihkan.

Tunggu saja, setelah ini dia pasti tak akan berani datang ke rumah ini lagi, ke rumahku yang dulunya sebelum dia mengacau adalah istanaku bersama kekasihku. Sedetik kemudian pintu dibuka, secepat aku menyerang perempuan itu, kucakar wajah mulus palsunya hasil perawatan salon. Perempuan yang aku benci itu menjerit-jerit kesakitan, dan aku tersenyum puas melihat darah membasahi kukuku. Biar rusak wajah cantik yang palsu itu ! biar kekasihku sadar betapa buruknya wajah asli perempuan yang kubenci itu tanpa embel-embel krim mahal dan make up tebal.
Tetapi kepuasanku tak berlangsung lama, kekasihku malahan membela perempuan itu, tubuhku didorongnya dengan kasar, terbanting hampir menabrak tembok, membuatku mengaduh kesakitan.
"Dasar kucing kampung gila !!! kenapa sih kau pelihara kucing kampung murahan ini terus-terusan???harusnya kau singkirkan dia sejak dulu  !! ", jerit perempuan itu histeris sambil memegangi pipinya yang berdarah. Tak henti-hentinya berteriak dan mengaduh-aduh, sambil berusaha menendangku dengan sepatu high heelsnya yang jelek itu 
Aku menghindar, dengan lincah naik ke atas ujung tangga, terdiam puas di pojok, menatap darah yang menetes-netes dari luka bekas cakaranku di pipi perempuan itu. Pasti rasanya sakit, tapi aku yakin tidak sesakit hatiku yang menahankan cemburu terus- menerus sejak kedatangan perempuan itu di rumah ini. 
*terinspirasi lagu dari Tulus yang berjudul Sewindu yang secara random sering kudengarkan bersama suamiku dari radio ketika kami dalam perjalanan*

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2012 20:33

October 23, 2012

Cerpen : Bad Surprise






Aku merapatkan jaketku  sambil berjalan menembus area parkiran di lapangan terbuka yang padat ini, mataku mengeryit terkena terpaan air bercampur angin yang makin lama makin kencang , setengah menunduk, setengah berlari, aku menembus derasnya hujan  melangkah ke teras cafe beratapkan hijau dengan uliran daun-daun merah itu. Aku berdiri ragu di sana, sementara air masih menetes-netes dari jaketku, membasahi lantai. 
Dia ada di dalam sana. Isteriku menunggu di dalam sana
Aku menghela nafas, sementara jantung yang tak tahu aturan itu berdegup makin lama makin kencang.
Sekaranglah saatnya bukan? Kau harus yakin Damar.
Kuhela nafas panjang sekali lagi untuk menguatkan diri,  sepagian ini aku berkutat dengan pikiranku sendiri seperti orang gila, menimbang-nimbang apakah kejujuran ini harus diungkapkan atau disimpan, yang pastinya tetap saja seperti menyimpan bom, suatu saat nanti akan meledak dan melukai banyak orang.
Tetapi siapkah aku mengungkapkan kejujuran ini di depan Renata? Akankah Renata menerimaku? Atau mungkin kemungkinan terburuk yang akan terjadi? Apakah Renata akan meninggalkanku setelah mengetahui ini semua?
Aku melepaskan jaketku yang basah kuyup dan meletakkannya begitu saja di bangku kursi kayu yang ada di teras cafe itu. Mataku melirik ke arah hujan yang makin deras turun sehingga hampir menyerupai tirai putih, lalu aku mencuri-curi pandang ke dalam cafe, dan menemukan sosok yang aku cari, duduk membelakangiku.Itu dia. Renata sedang duduk di sana dengan gaun putih kesayangannya yang selalu membuatnya tampak cantik dan luar biasa.
Isteriku memang luar biasa, begitu sempurna dan membanggakan. Kami sudah menikah selama lima tahun dan pernikahan kami sangat bahagia. Hanya saja ahkir-ahkir ini ada permasalahan yang sangat mengganggu dan membuat aku dan Renata menjadi sedikit tertekan.
Dua bulan yang lalu ibuku datang berkunjung ke rumah kami, ibuku memang orang ningrat jawa asli, dan sejak dulu dia memang tidak setuju aku menikahi Renata yang notabene wanita karier sibuk bekerja.
“Seorang perempuan itu harusnya di rumah, mengurus rumah, biar nanti kalau suaminya pulang rumah sudah bersih, makanan hangat siap, baju-baju sudah rapi, itulah tugas isteri yang sebenarnya, bukan kayak isterimu itu Mar, kamu sama sekali nggak diurusnya, makanan yang masak pembantu, baju yang nyuciin pembantu, bahkan kadang dia pulang lebih malam dari kamu gara-gara kerjaannya”
Waktu diceramahi begitu aku hanya diam saja dan tidak mengatakan apa-apa, karena aku kenal sekali watak ibu, semakin dibantah beliau malah semakin keras. Aku pribadi sebagai suami tidak keberatan dengan kehidupan pernikahan kami, kami memang pasangan yang sibuk dengan karier kami masing-masing. Tetapi setidaknya di malam hari kami selalu menyempatkan diri berkomunikasi, di ahkir minggu sedapat mungkin selalu kami habiskan berdua, walau kadang-kadang Renata tetap harus melakukan perjalanan bisnisnya di ahkir minggu. Tetapi itupun tidak masalah, aku mencintai Renata dan dia mencintaiku. Kami bahagia, dan kupikir itu sudah cukup baik bagiku.
“Makanya Tuhan itu nggak mau nitipin anak ke isterimu itu, lha dia belum bisa membuktikan dia bisa menjadi isteri yang baik....”
Aku mengernyit lagi. Mulai lagi deh pembahasan tentang anak. Mataku melirik cemas ke belakang, Renata sedang mandi. Semoga dia lama di kamar mandi, doaku dalam hati, aku tidak mau dia mendengar percakapan ini. Kadang-kadang keterus-terangan ibu menyakitkan hati kalau didengar langsung, aku nggak mau Renata merasa tertekan karenanya.
“Ah memang belum waktunya saja bu. Damar yakin nanti kalau sudah waktunya, kami bisa memberikan cucu untuk ibu”
“Lha waktunya itu kapan datangnya toh Mar”, mata ibu semakin berapi-api, “Kalian itu sudah lima tahun menikah dan tetap isterimu itu belum hamil, kalau isterimu itu memang sehat dan normal, harusnya setelah menikah dia bisa langsung hamil. Kamu harus ingat kalau kamu itu anak satu-satunya pembawa trah Sosrodiningrat. Bapakmu bisa kelabakan di surga sana kalau tahu bahwa namanya tidak bisa diteruskan karena anaknya salah memilih isteri....”
“Ibu...”, suaraku mulai terdengar cemas karena aku mendengar pintu kamar mandi dibuka. Tapi ibu tidak peduli,
“Mungkin kamu harus suruh isterimu itu periksa, Sepertinya dia perempuan mandul...”
Ibu !!!”,
Ibu terhenti dan menoleh mengikuti arah pandanganku di belakangnya. Renata berdiri dengan wajah pucat pasi di sana.
Yang aku ingat kemudian suasana menjadi sangat canggung. Renata berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Ibu tetap saja mendongakkan wajahnya dengan angkuh dan keras kepala,  sementara aku yang berada di tengah-tengah bingung harus bagaimana menyikapi keadaan tidak mengenakkan semacam ini.
Bukan sekali- dua kali ibu menyinggung tentang belum hadirnya anak dalam keluarga kami. Dan setiap itu terjadi Renata selalu menangis dan sedih. Tapi akulah yang paling tahu kalau Renata tidak mandul, atas inisiatif Renata sendiri, dia memeriksakan kesuburannya ke dokter. Aku sendiri yang mengantarkannya periksa ke laboratorium setelah insiden itu, dan hasilnya organ reproduksinya sehat. Sudah kutunjukkan hasil tes lab itu kepada ibu, tetapi ibu dengan pandangan kunonya tetap saja tidak percaya,
“Wanita yang menyalahi kodratnya seperti dia ndak akan bisa punya anak. Lha wanita kok kerja kantoran pulang malam, mau ngalahin lelaki dia?”
Begitulah tanggapan ibuku waktu itu.
Suara petir menghantarku kembali dari alam lamunan mengingat kejadian hampir dua bulan lalu lalu itu. Aku tersadar bahwa aku sudah berdiri lama  dengan pikiran menerawang di depan cafe ini. Mataku mencuri pandang ke arah Renata yang masih duduk dengan tenang memunggungiku disana. Ah isteriku itu memang selalu sabar, senyumku penuh kasih sayang.
Dengan masih tersenyum aku melangkah memasuki cafe itu dan berhenti di depan meja Renata, isteriku itu mendongak dan tersenyum manis, aku langsung menunduk dan mengecup keningnya sebelum duduk di depannya.
“Rambutmu basah”, jemarinya yang gemulai itu menyentuh rambut yang basah dan jatuh di dahiku, tanpa sadar aku memejamkan mata meresapinya, sentuhan Renata selalu membuatku merasa damai dan bahagia.
“Maaf aku terlambat, di luar hujan deras sekali, kamu sudah menunggu lama ya?”, tidak kukatakan bahwa aku sudah sampai sejak tadi tapi sibuk membuang waktu untuk menguatkan hati.
Renata tersenyum,
“Tidak apa-apa, aku tadi sudah bilang sekertarisku mau pergi lama, ada janji makan siang dengan suamiku untuk merayakan sesuatu”, senyumnya tampak penuh rahasia.
“Merayakan apa?”, aku jadi ingin tahu melihat binar di matanya,
Renata tergelak dan meremas jemariku,
“Nanti. Sekarang katakan apa yang ingin kau ceritakan padaku, kau tampak serius sekali ketika menelephone untuk mengajak makan siang tadi sayang”
Aku tercenung, tiba-tiba keberanianku lenyap sudah, melihat senyum dan tawa Renata itu, aku tidak tega menghancurkannya.
“Hmmm bukan hal yang penting kok “, tiba-tiba kuputuskan untuk menunda pengungkapan kejujuran itu kepada Renata, aku tidak berani, nyaliku menciut, karena itu aku mengalihkan perhatian kepada Renata, “Ayo ceritakan padaku apa yang akan kita rayakan, jantungku jadi deg-deg’an nih”,
Sekali lagi Renata tergelak, tawanya renyah, dia kelihatan bahagia sekali, sampai-sampai kebahagiaannya itu menulariku, membuatku ikut tertawa tanpa sebab,
Dengan lembut Renata meremas jemariku, lalu membuka tas yang sedari tadi di dekapnya di pangkuannya, mengeluarkan selembar amplop besar. Matanya begitu bahagia, pipinya bersemu merah ketika menatapku sebelum membuka amplop itu dan mengeluarkan kertas di dalamnya, menyerahkannya kepadaku.
Aku menerima kertas itu, tapi mataku masih menatap ke arah Renata. Bingung.
“Bacalah mas”, suara Renata berbisik penuh semangat.
Aku menunduk dan membaca kertas yang penuh dengan tulisan istilah-istilah medis itu. Begitu aku memahami isinya, serasa ada aliran es yang menjalar pelan melalui ujung jariku, merambat ke seluruh tubuhku, Panas yang membakar.
“Aku hamil mas ! kemarin aku diam-diam tes urine sendiri, karena aku sudah telat haid dan hasilnya positif. Lalu untuk lebih akurat aku periksa ke dokter kandungan , tadi siang dokter menelephone katanya hasil lab sudah keluar dan aku positif hamil 6 minggu, kita ahkirnya akan punya bayi mas!”, Kebahagiaan meluap-luap di wajah Renata, tapi lalu dia mengernyit ketika menyadari ekspresiku. 
Wajahku pucat pasi, dingin seperti es. Dan mataku berkaca-kaca.
“Lho ? mas kenapa ?”, Renata berusaha meraih tanganku dengan bingung, tapi aku menepisnya. Suaraku goyah ketika berkata,
“Sesuatu yang ingin kubicarakan itu.... “, suaraku menghilang dan gemetaran,
Kutatap Renata dalam-dalam, mencermati wajah isteri yang kucintai itu, isteri yang kupercayai, sebuah hantaman kepedihan memukul dadaku, membuatnya terasa begitu sakit dan sesak sehingga aku mengernyit tanpa sadar.
Aku mengeluarkan kertas dari sakuku, selembar kertas yang sudah lecek terlipat menjadi empat bagian, begitu leceknya karena sepagian sudah kubuka dan kulipat berkali-kali dalam pergulatan batinku. Dengan hati hancur kuserahkan kertas itu kepada Renata.
Isteriku itu meraihnya, dan membacanya. Lama kutatap ekspresinya, yang semakin lama semakin memucat, sama pucatnya dengan diriku.
“Kemarin aku juga diam-diam melakukan tes kesuburan”, suaraku masih bergetar, “Hasilnya keluar tadi pagi, itulah yang ingin kusampaikan kepadamu..... Aku mandul, spermaku tidak mengandung sel sperma yang sehat, aku tidak bisa punya anak. Aku tidak akan pernah bisa menghamili siapapun.”
Renata mendongakkan kepalanya, menatapku. Matanya penuh air mata, penuh rasa bersalah. Aku hanya diam, mencoba menahan seluruh pertanyaan dan kemarahan yang menggedor-gedor perasaanku.
Hujan deras di luar sudah hampir reda, tapi hujan deras di hatiku baru saja dimulai
Begitu saja. Begitu saja. Duniaku runtuh begitu saja. Ya Allah.....
Selesai
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 23, 2012 00:00

October 22, 2012

Cerpen : Pillow Talk



Bandung , 28 Februari 2011 ( Pada Suatu Malam ) Perempuan itu memasuki kamar yang temaram, ranjang berseprei putih terhampar rapi. Seorang laki-laki berbaring disana dalam diam, matanya menatap kedatangan perempuan itu.
Perempuan itu menatap ke arah ranjang dan menghela nafas, lalu melangkah melewati ranjang, duduk di depan cermin meja riasnya. Dengan hati-hati dioleskannya krim malam ke seluruh wajahnya, matanya menatap pantulan dirinya di kaca, tampak sedih.
Si Lelaki bangkit dari ranjang, dan berdiri di belakang perempuan itu, mengawasi wajah perempuan itu di kaca,“Kau tampak cantik, bahkan ketika kau sedang lelah dan sedih…”
Si Perempuan mendesah, lalu berdiri dan membalikkan badan, menatap ke arah ranjang dengan ragu-ragu.

Lelaki itu berdiri di sampingnya,
“Tidakkah kau merindukanku Nina? Merindukan kita disana?”, bisiknya menggoda.
Nina terpaku. Lalu mendesah lagi.
Dengan galau Nina duduk di tepi ranjang, lalu menelusurkan tangannya pada kelembutan sprei itu. Pelan-pelan Nina membaringkan tubuhnya di ranjang itu. Nina berbaring terlentang, tangannya terlipat rapi di dada, matanya menatap langit-langit kamar,
Lelaki itu menyusul naik ke ranjang, mereka berdua sama-sama berbaring terlentang dalam keheningan,
“Berbaring tapi tak bisa tidur…. “, Lelaki itu menolehkan kepalanya kepada Nina dan tersenyum lembut,“Kau tahu betapa aku merindukan saat-saat kita mengisi keheningan ini dengan kemesraan yang….”
“Aku tahu kau selingkuh Fer…”Wajah Ferry langsung pucat pasi, menatap kaget kepada Nina.
“Apa….?”
“Aku tahu kau selingkuh Fer, aku sudah tahu sejak lama….”, air mata bening bergulir dari sudut mata Nina.
“Kau tidak pernah menunjukkan kalau kau mengetahui tentang hal itu…”
“Aku selalu ingin mengatakan padamu kalau aku tahu… tapi semua itu tertahan di bibirku…Kau selalu pulang dengan senyum bahagia dan menawan, dengan kasih sayang yang sama… dan aku takut … kalau aku mengatakannya, aku akan kehilanganmu…. “
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Kau tahu tidak Fer? Rasanya menyakitkan sekali ketika kebenaran itu datang menghampiriku… sebenarnya aku sudah bertanya-tanya sejak lama… sejak dua bulan lalu kau mulai sering pulang terlambat, sejak dua bulan lalu kau mulai sering melewatkan makan malam di rumah…. Aku bertanya-tanya, tapi setiap pikiran buruk itu datang, setiap kali pula aku berusaha menghapuskannya. Aku takut kalau pikiran burukku itu menjadi nyata, bahwa kau ternyata benar-benar mengkhianatiku, setelah hampir sepuluh tahun masa pernihakan yang begitu membahagiakan bagiku……”, Nina mendesah sedih lalu mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Lalu aku menemukan kertas itu ketika mencuci celana panjangmu….. bon hotel bertanggalkan 24 Januari, aku ingat sekali saat itu kau sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Tapi bon hotel itu berlokasi di Jakarta, dan atas namamu….”,
Wajah Ferry menggelap penuh kesedihan,
“Ya Tuhan, Nina… Nina, kenapa kau tidak pernah menanyakannya kepadaku?.. Ah Nina, sayangku, maafkan aku…”, Ferry memiringkan tubuh, berusaha meraih tubuh Nina, tetapi isterinya itu  membalikkan badan memunggunginya, tangisnya semakin dalam.
“Aku benar-benar hancur saat itu Ferry, rasanya semua ketakutanku yang terdalam menjadi kenyataan…..saat itu aku begitu terpuruk, aku ingin mati saja…. Tapi entah kenapa kemudian aku mendapatkan kekuatan, aku mulai mencari tahu…”, Tatapan mata Nina menerawang, “Aku mulai sering mengikutimu, jika kau berangkat ke kantor, atau jika kau berpamitan untuk berangkat ke luar kota….”, Nina mulai gelisah, membalikkan tubuhnya lagi menatap langit-langit kamarnya,
Sementara Ferry yang berbaring miring menghadapnya menegang menunggu kata-kata selanjutnya,
“Lalu aku melihatmu  bersama perempuan itu, dan dia adalah perempuan terahkir di dunia ini yang kukira akan menjadi selingkuhanmu…”, Suara Nina meninggi, “Kau berselingkuh dengan adikku sendiri !!, kau berselingkuh dengan Susan !!!”,
Wajah Ferry memucat,
“Bukan begitu Nina… kau salah, aku seharusnya menjelaskan semua kepadamu, tetapi Susan…”
“Aku melihat kau menjemputnya saat itu. Lalu kalian berdua pergi bermobil ke luar kota”, Mata Nina menyala tajam, kesedihannya berubah menjadi kemarahan yang berapi-api, “Aku mengikuti kalian tapi aku kehilangan kalian di tol, kau mengemudi terlalu cepat….”
“Nina… Nina … seandainya saja aku bisa mengembalikan waktu dan menjelaskan semuanya kepadamu….”
“Seketika itu juga aku membencimu Ferry…. Aku jadi sangat membencimu, bukan saja karena kenyataan bahwa kau telah mengkhianatiku, tetapi juga karena kau begitu kejam memilih adik kandungku sendiri sebagai objek perselingkuhanmu..”
“Aku sangat menyesal Nina… aku sangat menyesal…”
“Aku merasa begitu disakiti dan dikhianati…. Aku membencimu, aku membenci Susan…. Aku benci !!!”
“Nina… kau dengar aku? Aku menyesal… aku sangat menyesal… ini semua seharusnya tidak perlu terjadi kalau aku menjelaskan kepadamu dari awal…”
“Karena itulah aku memutuskan untuk membunuhmu…”
Ferry terpaku kaget, dan menatap Nina yang terbaring di sebelahnya,
“Apa…?”
“Karena itulah aku bertekad untuk membunuhmu…. Dan juga Susan…”, Nina mengulang kata-katanya, suaranya dipenuhi oleh kebencian.
“Kau tidak mungkin melakukan itu !!!”, Ferry berteriak dan menggulingkan tubuhnya menindih Nina, menatap matanya dalam-dalam, “Bahkan kau tidak akan mungkin memikirkan hal semacam itu !! Nina yang kukenal adalah isteri yang lembut dan baik hati, dia tidak mungkin memikirkan hal sekeji itu !!”
“Nina yang kau kenal mungkin adalah perempuan yang lembut dan baik hati…. Tetapi kau juga harus tahu Ferry, perempuan yang mencintai lalu kemudian dikhianati, dia bisa menjadi jahat…”, tubuh Nina bergetar, “Dia juga bisa menjadi Iblis….”
“Tidak…!! Tidak Nina !! Jangan katakan kalau kau…. Kalau kau…”
Nina menggelengkan kepalanya dengan histeris, air matanya berderai, ada amarah bercampur kesedihan dalam suaranya,
“Siang itu kau berpamitan akan pergi ke luar kota lagi. Tapi aku tahu, aku sudah tahu bahwa kau pasti akan pergi bersama Susan …… “, Nina meremas-remas kedua tangannya dengan gugup, tampak sesak napas, sehingga Ferry menggulingkan tindihannya dari atas tubuh Nina, lalu berbaring miring, menatap Nina yang terlentang menatap langit-langit kamar dengan nanar,
“Aku sangat marah, aku menggila….. ketika kau sedang mandi sebelum berangkat, aku menyelinap ke mobilmu… aku tidak mengerti tentang mobil… tapi aku belajar…”, Nina mulai tertawa histeris, “Sungguh ironis ketika aku mempelajari mesin mobil untuk merencanakan membunuh suamiku sendiri… tapi aku berhasil melakukannya, aku memotong rem mobilmu…. Biar nanti kalau kau mengendarainya dengan Susan, kalian berdua mati di neraka !!!”, Nina mulai terbahak, “Matilah kalian !! Matilah kalian berdua karena berani-beraninya mengkhianatiku…!!!!”
Tawa Nina terdengar membahana di kegelapan malam, tapi kemudian tawa itu berubah menjadi isakan pedih yang menyayat hati, Nina terduduk dan memeluk lututnya, dengan air mata bercucuran tanpa henti,
“Tapi kenapa aku tak juga bahagia..? kenapa aku tak merasa puas…?”. Isaknya sedih, “Kusadari aku ternyata terlalu mencintaimu Ferry, aku bahkan siap memaafkanmu dan menerimamu kembali bahkan meskipun nanti kau akan mengkhianatiku berkali-kali…. Aku mencintaimu Ferry… aku terlalu mencintaimu untuk bisa membencimu…..aku merindukanmu….”
Nina menangis terisak-isak, sedangkan Ferry hanya duduk di sana, di sebelah ranjang terpaku dengan kesedihan luar biasa. Air mata mengalir di wajah Ferry, air mata penyesalan. Penyesalan karena kesalahannnyalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Penyesalan karena dia telah membuat isteri yang dicintainya begitu menderita.
“Maafkan aku Ferry…. Maafkan aku…..”, Rintih Nina dalam kesakitan yang dalam.
Seketika itu juga Ferry bergerak, mencoba memeluk Nina,
“Aku memaafkanmu sayang, bukan salahmu… bukan salahmu… akulah yang salah….”, Jantung Ferry terasa diremas ketika tangannya yang transparan menembus bahu rapuh Nina yang akan di peluknya, kesadaran membawa dirinya kembali. Dia hanyalah arwah yang tak terlihat, tak terdengar, tak teraba. Dia hanyalah arwah yang terjebak di dunia fana karena terlalu mencintai isterinya. Nina tidak menyadari kehadirannya, Nina tidak bisa mendengarnya, Nina tidak bisa mengetahui kebenarannya.
Menyadari bahwa dia tidak bisa memberitahukan kebenarannya kepada Nina membuat arwah Ferry terhantam pilu, karena Nina akan selamanya menanggung dosa dan kebencian yang seharusnya tidak perlu ditanggungnya…..
Nina mengusap air mata di wajahnya, tapi air mata itu terus berderai di sana. Monolog yang dilakukannya sendirian di kamar telah begitu menguras emosinya. Dadanya terasa berat menyimpan semua rahasia ini. Rahasia yang di telannya dalam-dalam. Bahkan ketika dia menghadiri pemakaman suami dan adiknya siang tadi.
Sekarang, menatap kamar kosong itu, kamar yang selama sepuluh tahun ditempatinya dengan Ferry suami tercintanya, hati Nina terasa di iris-iris. Dia telah membunuh suami dan adiknya sendiri atas nama cinta dan kecemburuan. Dan kini ketika kedua orang yang dibencinya itu telah tiada, yang dia rasakan hanyalah penyesalan mendalam, tidak ada lagi tersisa kebencian, kemarahan dan kecemburuan yang begitu berkobar-kobar sebelumnya. Tetapi yang namanya penyesalan memang selalu datang terlambat. Dengan sedih, Nina mengusap perutnya yang membuncit pertanda ada kehidupan yang sedang bertumbuh di dalam perutnya.

“Maafkan aku Ferry….”, demikianlah kata-kata itu terucap berulang-ulang seperti mantra dari mulut Nina, menggema berulang-ulang di kamar temaram itu, tanpa ada balasan jawaban.******
Bandung , 23 November 2010 ( Tiga bulan sebelum terjadinya kecelakaan )
“Kenapa kau ingin bertemu denganku ?”, Ferry menatap ke arah Susan, adik iparnya dan matanya mengernyit, adik iparnya ini tampak begitu pucat dan kurus.
“Aku ingin meminta bantuan mas Ferry”
“Bantuan apa?”
Susan menyesap minuman di gelasnya, dan menatap Ferry memohon.
“Tapi mas Ferry harus berjanji untuk tidak memberitahu mbak Nina
“Tergantung, aku nggak bisa begitu saja merahasiakan sesuatu dari mbakmu tanpa alasan yang jelas”Susan mendesah,
“Mas, Susan habis cek di lab… ada tumor yang tumbuh di rahim Susan, tumor ini berpotensi menjadi kanker mas, dokter berusaha supaya jaringannya tidak menyebar”, wajah Susan tampak semakin tirus dan lelah, “Tapi Susan ingin merahasiakan ini dari mbak Nina dulu,. Mas kan juga tahu kalo mbak Nina sedang hamil, dan kondisi mbak Nina lemah, Susan takut kalau berita ini akan mengganggu kondisi mbak Nina”
Ferry menggenggam tangan Susan prihatin,
“Mas akan bantu sebisanya Susan, mas juga akan merahasiakan dari mbakmu…. Lalu sekarang kau akan bagaimana?”
“Mas Ferry, karena Susan hanya punya mas Ferry dan mbak Nina, mungkin setelah ini Susan akan sangat merepotkan mas Ferry”******
Bandung , 2 Desember 2010 ( Pada suatu sore )
“Memangnya kau memasak apa sore ini?”, Ferry menyandarkan tubuhnya di kursi kantornya, tersenyum mendengar suara Nina di seberang sana, “Baiklah, aku akan pulang cepat, sudah nggak sabar mencicipi masakanmu”, bisik Ferry lembut, “Dan bagaimana kabar anak kita di perut bundanya hari ini…?”
Ferry tersenyum lagi mendengarkan jawaban Nina di seberang telephone, kemudian terdengar nada sela di telephonenya dan Ferry mengernyit, dilihatnya nada sela itu. Dari Susan.
“Sayang, ada telephone masuk dari bos, aku harus mengangkatnya, nanti kita sambung lagi ya, jaga dirimu sampai aku pulang”, gumam Ferry lembut, lalu menutup sambungan telephonenya dengan Nina dan mengangkat telephone dari Susan.
“Halo, Susan?”
“Mas…..”, suara Susan terdengar lemah, “Mas… Susan pendarahan banyak sekali mas… Susan nggak bisa bangun dari tempat tidur…”
“Aku akan segera kesana…”, seru Ferry panik seraya bangkit dari duduknya dan menghambur keluar. Disempatkannya menulis sms kepada Nina sambil setengah berlari menuju mobilnya yang diparkir di halaman kantor.
“Sayang maaf. Bos telephone minta meeting dadakan. Aku mungkin akan pulang malam. Maafkan aku. Sisakan masakanmu untukku ya, aku akan memakannya nanti. Aku mencintaimu”*******
Bandung , 3 Desember 2010 ( Pada suatu siang )
“Sayang. Mungkin nanti malam aku akan pulang terlambat lagi. Jangan menungguku untuk makan malam ya, ingat ibu calon anakku harus makan teratur. Dan jangan menungguku sampai tidak tidur seperti semalam, tidurlah duluan. Aku mencintaimu”
Ferry membaca ulang sms-nya lalu menekan tombol send untuk mengirimkannya kepada Nina. Dia mendesah sambil melangkah di koridor rumah sakit yang putih itu. Lalu memasuki kamar perawatan intensif tempat Susan terbaring dengan wajah pucat,
Susan tersenyum melihat Ferry, bibirnya bergetar,
“Maafkan aku mas, aku merepotkan mas sampai seperti ini”
Ferry duduk di tepi ranjang dan menatap Susan lembut,
“Tidak apa-apa San, itulah guna seorang kakak….”,
Susan menganggukkan kepalanya, tampak kelelahan.
“Susan… apa tidak sebaiknya kita memberitahu Nina…?”
“Jangan !!”, Susan setengah memekik, “Susan tidak mau membuatnya cemas mas, mbak Nina sudah pernah keguguran dua kali.. .. dan sekarang setelah sepuluh tahun menunggu ahkirnya mbak Nina bisa hamil lagi, Susan tidak mau membuatnya cemas mas!”
“Tapi bagaimanapun Nina akan tahu nantinya….”
“Biarlah dia tahu nanti mas, kalau kondisi janinnya sudah kuat, kalau kondisi Susan sudah lebih baik”, Susan lalu menatap Ferry  dengan binar penuh harapan,
“Dokter disini merekomendasikan dokter terbaik di Jakarta untuk operasi pengangkatan tumor dari rahim Susan…, mungkin nanti mas, setelah operasi berhasil Susan akan memberitahu mbak Nina”
Ferry mendesah, ada ketakutan yang berbisik di hatinya, bagaimana jika nantinya Susan tidak selamat? Bagaimanakah dia menjelaskan semua ini kepada Nina?
Dengan sedih Ferry mengangkat bahunya menyerah,
“Baiklah kalau itu maumu Susan, kita tunggu sampai setelah operasi”*******
Bandung 25 Desember 2010 ( Pada suatu malam)
“Halo?”, Ferry mengangkat telephone dari Susan dengan cemas, selama ini dia telah menemani Susan melakukan berbagai prosedur pengobatan dan kemotherapy. Dia berharap telephone ini berisi kabar yang ditunggu-tunggunya.
“Dokter sudah menjadwalkan operasi”, suara Susan di seberang sana terdengar penuh harapan.
“Kapan?”
“Sebulan lagi mas, tanggal 24 Januari, di Rumah sakit di Jakarta”
“Oke, aku akan mengurusmu”
“Mas?”
“Ya?”
“Mas Ferry bisa tetap jaga agar jangan sampai ketahuan mbak Nina?”
“Iya, aku akan bilang kepadanya aku ada tugas kantor ke Surabaya selama beberapa waktu”,*******
Bandung , 27 Februari 2011 ( Hari Kecelakaan)
Ferry membimbing Susan menaiki mobilnya, lalu setelah duduk di kursi kemudi, dia menjalankan mobil itu.
“Hari ini check up terahkir ke rumah sakit di Jakarta kan? Bagaimana kondisimu?”, Ferry mengamati Susan, sudah sebulan setelah operasi, dan meskipun masih lemah, kondisi Susan tampak lebih baik, sudah ada rona di wajahnya.
“Kondisi Susan baik mas…”, Susan tersenyum lembut, “Mungkin sepulang dari Jakarta ini Susan akan menceritakan semuanya kepada mbak Nina”
Ferry menganggukkan kepalanya setuju.
“Kondisi Nina juga sudah lebih kuat, anak kami juga kuat dan sehat Susan, kau bisa menceritakan pelan-pelan kepada Nina tanpa takut menyakitinya dan bayinya, Nina berhak tahu, karena kau adalah adiknya, satu-satunya keluarganya yang tersisa, yang sangat disayanginya…”
Susan mengangguk setuju,
“Iya mas, Susan nggak tahu apa jadinya Susan tanpa mbak Nina dan mas Ferry, terimakasih ya mas… terutama mas Ferry sudah merelakan banyak waktunya untuk mengurusi Susan, belum lagi memenuhi permintaan Susan untuk merahasiakannya dari mbak Nina”
Ferry menggangguk,
“Sudahlah, lagipula mbakmu sebentar lagi juga akan tahu kebenarannya, jadi semua akan baik-baik saja”
Semua akan baik-baik saja. Ferry terpekur. Bulan-bulan terahkir ini dia telah banyak mengecewakan isterinya demi mengurus kesehatan Susan. Kadang dia bisa melihat kesedihan di mata Nina ketika dia mengatakan akan lembur, akan pulang telat, harus tugas ke luar kota dan berbagai pengingkaran janji lainnya yang terpaksa dilakukannya. Kadang dia tersiksa karena tahu bahwa dia telah menyakiti Nina, tetapi tidak bisa mengatakan alasannya kepada isterinya itu.
Tetapi setelah semua ini, semuanya akan baik-baik saja. Semua akan kembali seperti semula. Ferry berjanji dalam hati akan mengganti semua saat-saat yang dia sia-siakan dengan mengabaikan isterinya. Setelah ini dia akan mencurahkan seluruh perhatian kepada isterinya, dia akan selalu menyediakan waktu untuk isterinya kapanpun, dimanapun, dan mereka akan bahagia. Semua akan baik-baik saja. Dia, Nina, Susan, dan calon bayi di perut Nina, semua akan baik-baik saja.
Lalu Truk besar itu tiba-tiba saja muncul di tikungan, membuat Ferry terkejut dan langsung menginjak rem. Tapi Remnya tidak berfungsi. Wajah Ferry pucat pasi, ketika mobilnya mengarah dengan frontal ke muka truk besar yang juga melaju kencang itu. Masih didengarnya jeritan Susan di sebelahnya, sebelum hantaman keras itu terjadi, lalu semuanya gelap…. Hitam… pekat…
Semuanya tidak baik-baik saja. Itulah yang dipikirkan Ferry sebelum kesadarannya menghilang.******
Bandung, 28 Februari 2011 ( Pada Suatu Malam, setelah Pemakaman )
Kilasan-kilasan kebenaran itu berkelebat di benak Ferry, sambil berdiri diam di tepi ranjang, melihat isterinya menangis tersedu-sedu dan meminta maaf kepadanya.
Ingin rasanya Ferry meneriakkan semua kebenaran itu kepada Nina, tetapi dia tak berdaya, dia hanya arwah tak nyata yang berdiri di dua dunia, tak bisa menjamah Nina.
Dan di situlah Ferry berdiri, seorang suami yang tak pernah berkhianat, tetapi telah menanggung tuduhan pengkhianatan. Seorang suami yang dibunuh atas nama cinta dan kecemburuan dari seorang isteri yang telah dipermainkan kebenaran.
“Maafkan aku Ferry, maafkan aku….”, isak Nina, “Aku menyesal….”
“Aku memaafkanmu sayang, aku memaafkanmu…..”,
Bisikan Ferry tak sampai terdengar oleh telinga Nina. Begitu sendu, pilu, haru, larut di dalam malam kelabu.

Kadangkala takdirmu adalah hasil dari sebuah keputusan. Semua bergantung bagaimana kau akan bertindak, seperti sebuah pesan tak terkirim, telephone tak terangkat, rahasia yang tertunda untuk diungkap, kecurigaan yang tak terkatakan,  hal-hal remeh semacam itu, bisa membuat takdirmu berbeda kalau saja semuanya dilakukan dengan cara berbeda. ( anonim ) The End
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 22, 2012 23:31

Cerpen : Lelaki Tua dan Makam Sederhana




Lelaki itu renta, tubuhnya sudah rapuh dimakan usia, keriput di kulitnya begitu nyata dan kasar, mencerminkan perjuangan hidupnya yang penuh kesakitan. Tubuhnya sudah tidak tegak lagi, sedikit bungkuk seolah tulangnya tidak mampu lagi menopang dagingnya. Langkahnya pelan dan terseret-seret, penyakit stroke yang menyerangnya lima tahun lalu telah mengubah cara berjalannya.
Tetapi lelaki itu tetap tangguh, dia selalu datang di makam itu setiap sore. Menabur bunga di makam sederhana itu, lalu duduk lama disana sambil termenung, tidak pernah ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki tua itu. Penjaga makam sudah mengenalnya, pun anak-anak kecil dan wanita-wanita lusuh yang selalu berkeliaran di areal makam, membersihkan makam jika ada peziarah sambil mengharapkan sekeping dua keping uang untuk sekedar menyambung hidup.
Dan Lelaki tua itu seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan areal pemakaman yang konstan dari hari ke hari, seperti memang sudah seharusnya lelaki itu ada di sana setiap sore, duduk termenung seperti larut dalam pemikiran sendiri selama hampir dua jam. Sampai matahari tenggelam dan meninggalkan semburat kemerahan di langit, barulah lelaki itu melangkah pergi, dengan langkah yang sama, bungkuk dan terseret-seret.

 Tidak ada yang mengganggu keheningan lelaki itu di depan makam tua yang selalu dikunjunginya, meskipun ada beberapa yang menebak-nebak apa yang ada dalam di pikiran sang lelaki tua. Sebagian mengira sang lelaki tua sedang mendaraskan doa yang panjang, dan sebagian lagi mengira lelaki tua itu melamun dan bercakap-cakap dalam hati dengan makam tua itu, sebuah monolog yang menyedihkan.






Hari ini lelaki tua itu duduk disitu lagi. Terpekur diam, sama seperti hari-hari sebelumnya, yang menjadikan lelaki itu bagaikan aksesoris patung bisu di samping makam.
Hari ini cuaca tidak bersahabat, gerimis turun rintik-rintik dan angin bertiup kencang, tapi apalah artinya itu bagi si lelaki tua? Dia sudah pernah duduk di situ bahkan ketika hujan deras menerpanya, atau bahkan  ketika udara yang kering dan panas  meniupnya. Membuatnya terbatuk-batuk.
Lelaki tua itu masih selalu duduk di situ, dalam keheningan misteriusnya, disamping sebuah makam sederhana, menabur bunga, penuh air mata. Lelaki tua itu selalu ada.
*****
"Selamat datang", sapaan itu terdengar lembut di ruang makan yang bersinar temaram.
Sajian makan malam terpapar di sana, tampak layu dan menyedihkan. Makan malam itu seharusnya disantap berjam-jam yang lalu, tetapi Norman tidak datang untuk makan malam. Dan Idha hanya bisa duduk termenung di samping meja makan karena suaminya tidak bisa dihubungi, suaminya seolah menghilang, tidak ada dimana-mana.
Tetapi seperti selayaknya isteri yang baik, yang dibesarkan dengan pendidikan jawa kuno sejak kecil, bahwa seorang isteri harus selalu mengabdi dan mengalah kepada suami, bahwa seorang isteri adalah pelayan yang tunduk, hanya sebagai pelengkap, maka Idha hanya bisa duduk pasrah, tidak pernah berargumentasi, tidak pernah membantah, padahal sebagai seorang Isteri, dia mempunyai hak untuk melakukan itu.
Lalu, setelah hampir lima jam duduk di kursi meja makan itu, tidak bisa mengantuk karena cemas, suara mobil Norman ahkirnya terdengar di halaman, Idha menunggu dengan penuh harap hanya untuk menemukan suaminya masuk dalam kondisi setengah mabuk, bau alkohol dan parfum asing menyeruak dari tubuhnya, matanya merah dan Norman tampak acak-acakan.
Idha segera bangkit dan menopang suaminya yang sempoyongan, hanya untuk di dorong dengan kasar.
"Perempuan tak berguna!", bentak Norman tak terkendali, "Perempuan yang tidak bisa menyenangkan suami!", mata Norman tampak nyalang dan tak fokus, dia menatap Idha dengan marah seolah ingin memukulnya, "Aku menyesal kenapa aku dulu memilih untuk menikahimu, aku membuang banyak kesempatanku untuk memilih perempuan yang lebih baik! Dan aku tidak tahan berpikir harus menghabiskan sisa hidupku dengan perempuan seperti kamu!", suara Norman semakin meninggi seiring dengan makin banyaknya cacian yang diucapkannya.
Idha hanya berdiri di situ, menerima segala cercaan suaminya. Itu sudah menjadi kebiasaan suaminya ahkir-ahkir ini, mencerca dan menyakitinya dengan kata-kata kasar dan bahkan hatinya sudah mulai terbiasa menghadapinya.
Dulu pernikahan mereka bahagia. Norman adalah pengusaha sukses yang berkecukupan, dan dulu dia mencintai Idha. Tetapi semuanya berubah setelah masa lima tahun pernikahan mereka berlalu dan Idha tak kunjung hamil. Keluarga besar Norman adalah keturunan ningrat dengan Norman sebagai anak satu-satunya. Mereka sangat ingin Idha bisa melahirkan penerus darah biru mereka, dan setelah lima tahun berlalu, kesabaran mereka habis, keluarga Norman tak henti-hentinya merongrong rumah tangga Idha dan Norman. Bahkan sang ibu mertua mulai melakukan Intervensi, mempengaruhi Norman untuk berpikir menceraikan Idha, atau mungkin mengambil isteri kedua, menjodoh-jodohkan Norman dengan anak-anak teman-temannya dari kalangan ningrat, karena Idha adalah perempuan mandul yang tidak bisa memberikan keturunan. Lagipula sang ibu mertua sama sekali tidak pernah menyukai Idha yang dianggapnya hanya mahluk rendahan dari kalangan biasa, yang menurutnya sama sekali tak sepadan dengan Norman, putra semata wayangnya.
Selama ini Idha selalu pasrah, dia menyadari kekurangannya yang tak sempurna sebagai perempuan. Dia rela dimadu, tetapi tidak mau diceraikan, karena bagaimanapun juga dia mencintai Norman, lagipula Norman memang pantas memperlakukannya seperti itu, karena dia sudah mengecewakan Norman sebagai seorang isteri. Dia tidak mampu memberikan keturunan yang selama ini sangat diinginkan Norman, Norman adalah anak tunggal yang selalu kesepian, Idha sangat paham betapa Norman sangat ingin membangun keluarga besar.
Dulu pada awalnya, Norman masih membela dan mendukungnya. Tetapi tahun-tahun belakangan ini Norman berubah dan berbalik menyerangnya. Mungkin itu terjadi karena Norman tidak tahan akan tekanan keluarga besarnya yang tak henti-hentinya mencibir kebodohan Norman karena dulu memilih Idha sebagai isterinya,  mungkin juga karena Norman benar-benar kecewa kepada Idha, sikap Norman makin lama makin berubah, dia menjadi dingin, kasar dan jarang pulang ke rumah, Lelaki itu lebih sering menginap di rumah keluarganya,  sikapnya penuh kebencian dan permusuhan.
Norman mengubah rumah mereka menjadi seperti neraka bagi Idha. Tetapi Idha tetap diam, dan pasrah, menerima semuanya. Bukankah sudah kewajiban seorang isteri, menanggung kemarahan suaminya? Lamunan Idha terhenti dan dia sadar dia hampir tidak mendengarkan cercaan Norman kepadanya, dengan takut-takut dia menatap ke arah suaminya, dan melihat Norman sudah terdiam dan menatap tajam ke arahnya.
Norman tampak jengkel melihat kediaman Idha, napasnya terengah, lalu dia membalikkan badan sambil menghentakkan kaki, seolah tak tahan menatap isterinya lama-lama. Dengan langkah sempoyongan dia melangkah ke kamar, dan membanting pintu dengan keras, meninggalkan Idha sendirian di luar.
Air mata Idha mengalir, dan dia tetap duduk terpaku di kursi itu, menatap pintu kamar yang tertutup rapat, menolak kehadirannya. Dia sudah kehilangan cinta suaminya, apalagi yang dimilikinya? Dia hanyalah seorang isteri mandul yg tidak bisa memberikan keturunan, yang sudah tidak dicintai suaminya lagi.
******
"Aku akan menikah lagi", suara Norman terdengar dingin dan tajam. Mereka sedang duduk bersama, sarapan.
Dada Idha serasa diremas, tapi dia menghela nafas dalam-dalam, menahan nyeri di hatinya yang bagaikan ditusuk sembilu,
"Kapan?", tanyanya hati-hati.
Norman tersenyum, seolah tidak menyadari betapa terlukanya Idha,
"Minggu depan. Ibu menjodohkanku dengan Anissa, hari ini Anissa pulang dari Belanda setelah menyelesaikan gelar masternya, kau ingat Anissa?"
Tentu saja Idha ingat. Anissa, keturunan ningrat  berdarah biru juga, sama seperti Norman. Perempuan yang dulunya memang hendak dijodohkan dengan Norman. Tetapi ketika Anissa bersekolah di Belanda, Norman bertemu Idha dan jatuh cinta kepadanya, lalu memutuskan untuk menikahinya.
Sekarang nasib membawa kembali Anissa ke dalam kehidupan mereka. Dunia kadang seperti sebuah lelucon yang penuh ironi, Idha meringis. 
Norman mengamati ekspresi Idha dan dahinya berkerut,
"Kau setuju kan Idha? Karena kalau kau tidak setuju, aku terpaksa mengikuti saran ibu untuk menceraikanmu..."
"Aku setuju mas", jawab Idha cepat-cepat, mencoba tersenyum meskipun suaranya bergetar menahan isak tangis.
"Bagus, dan cobalah bersikap baik kepada Anissa, sebab dia akan tinggal di sini bersama kita", Norman bangkit dari duduknya dan meraih kunci mobil, "Aku harus menjemput Anissa di bandara, mungkin nanti kami akan makan siang di sini, cobalah memasak makan siang yang enak, Anissa suka sekali masakan Indonesia seperti pecel dan gado-gado, mungkin kau bisa memasak itu, dia pasti akan sangat senang karena di Belanda dia susah menemui masakan seperti itu", Norman tersenyum dengan mata menerawang, seperti lelaki yang sedang jatuh cinta.
"Baik mas"
Dan kemudian setelah Norman pergi, Idha berdiri di dapur, menumbuk sambal kacang untuk gado-gado sambil bercucuran air mata.
******
Makan siang itu berlangsung lancar, terlebih karena Idha memilih diam dan bersikap pasrah. Anissa cantik seperti biasa, dan sedikit angkuh, seperti sifat bawaan wanita berdarah biru. Lagipula  Anissa memang tidak pernah menyukai Idha. Dia selalu memandang Idha sebagai perempuan yang pernah  merebut calon suaminya, dan sekarang, ketika keadaan berbalik membuatnya di atas angin, Anissa berpesta pora dengan kemenangannya.
"Enak sekali masakannya", gumam Anissa sambil mengelap mulutnya.
Norman tersenyum dan menggenggam tangan Anissa, tak peduli dia melakukannya di depan isterinya sendiri."Idha yang membuatnya khusus untukmu, benar kan Idha?", mata Norman melirik Idha, memperingatkannya untuk bersikap manis kepada Anissa.
Dengan lembut Idha mengangguk.
Anissa menatap Idha dengan tatapan merendahkan,
"Wah mbak Idha pandai memasak ya?", lalu Anissa mulai melancarkan mulutnya yang beracun, "Seharusnya mba Idha buka warung saja, dagang gado-gado dan pecel kecil-kecilan, pasti banyak yang suka"Norman tertawa mendengarnya,
"Ah kau ini Anissa, nanti aku yang malu, dikira nggak bisa menghidupi isteri, masa isteri pengusaha sukses berdagang gado-gado"
"Tapi itu kan bisa membuat mbak Idha belajar mandiri dan mencari uang sendiri, nggak selalu bergantung pasokan keuangan dari mas Norman ya kan mbak?", senyum Anissa tampak begitu manis, "Lagipula daripada mbak Idha hanya diam saja di rumah, toh nggak ada anak untuk di urus"
Kata-kata terahkir itu menghantam Idha sekerasnya, wajahnya pucat pasi. Sedangkan Anissa tersenyum puas memandang ekspresi Idha. Rupanya itu memang efek yang diinginkannya.
Makan siang itu berlangsung bagai neraka bagi Idha, Norman dan Anissa tak henti-hentinya bermesraan bagai pasangan dimabuk cinta. Ketika Anissa mengulurkan jemarinya menggoda untuk mengusap bekas makanan di sudut bibir Norman, idha sudah hampir tak tahan lagi.
Tapi Norman lalu berdiri dan menggandeng Anissa,
"Kami akan ke rumah ibu, menemui keluarga besar untuk membicarakan persiapan pernikahan, kamu nggak usah menunggu kami, mungkin aku akan menginap di rumah ibu"Norman tidak pulang hingga empat hari kemudian.
*******
Pernikahan Norman terjadi di hari minggu, dan Idha hadir di sana, duduk dengan hati hancur ketika suaminya mengikat janji dengan perempuan lain. Tetapi kehancuran ini baru awalnya dari kehancuran-kehancuran lainnya yang menyusul.
Anissa masuk ke rumah mereka, dan menguasainya. Dia mengusir Idha dari kamar utama - yang lalu Anissa tempati bersama Norman - dan membuat Idha tergusur ke kamar tamu, sendirian di sana, melewatkan malam-malamnya dalam sepi, karena sejak saat itu Norman tidak pernah mengunjunginya di kamar. Sampai kemudian Anissa hamil, dan tingkah jahatnya semakin menjadi-jadi, memperlakukan Idha seperti pembantu, sedangkan Norman sama sekali tidak membelanya. Idha hanya berdiri di situ, berusaha bertahan walaupun makin lama semakin terpinggirkan dari kehidupan Norman, lelaki yang dicintainya, dia seorang isteri yang dipaksa melihat kebahagiaan sang suami dengan keluarga barunya di depan matanya. Hatinya hancur sedikit demi sedikit dari dalam, yang kemudian menggerogoti tubuhnya. Dia menjadi makin kurus, makin lemah.
Pernah suatu hari Idha demam tinggi, dan dia meminta Norman mengantarnya ke dokter,
"Perutku sakit sekali mas, nyerinya tak tertahankan", Idha meringis, kesakitan setelah mencoba berdiri dan berjalan untuk menemui Norman yang sedang duduk di ruang tamu.
Norman mendongakkan kepalanya dan mengernyit, Isterinya tampak berubah, sangat kurus hingga hampir seperti tengkorak hidup, kulitnya pucat, tetapi kusam dan tidak sehat,
"Perlu ke dokter?", tanya Norman setengah hati, dalam hati membandingkan Idha dengan Anissa isteri mudanya yang sedang hamil 7 bulan, semakin bertambah usia kehamilannya, Anissa makin bertambah cantik, membuat Norman tak henti-hentinya ingin memamerkan isteri dan calon bayinya kemana-mana. Aku akan malu kalau harus memperkenalkan isteriku yang satu ini, gumam Norman dalam hati, mengamati penampilan Idha yang lusuh dengan daster yang sudah pudar warnanya. Seharusnya aku menceraikannya saja, gumam Norman dalam hati lagi.
Idha memegang perut kanannya dan meringis,
"Sepertinya aku harus ke rumah sakit mas, nyerinya tak tertahankan dan aku makin khawatir, di bagian ini perutku mengeras",
Dengan bersungut-sungut Norman berdiri dan meraih kunci mobil,
"Kita kedokter dulu saja, mungkin cuma masuk angin. Jangan terlalu manja", ketika Norman berdiri dengan Idha yang melangkah tertatih-tatih di belakangnya, mereka berpapasan dengan Anissa yang sudah segar, baru selesai mandi. Daster hamilnya tampak modis dan dia berias lengkap. Kehamilannya membuat kulitnya semakin mulus dan berkilauan, dan tubuhnya jadi berisi dan menggiurkan.
"Mau kemana mas?", Anissa tersenyum manja kepada Norman, lalu mengernyit melihat Idha yang mengikuti Norman di belakangnya.
"Mau ke dokter, Idha sakit",
Anissa menatap Idha dari ujung kepala ke ujung kaki, lalu mencibir,
"Mbak Idha manja sekali sih, aku saja yang hamil tujuh bulan masih segar dan kuat, mungkin karena mbak Idha malas, kurang gerak jadinya badannya lemas. Sekali-kali ikutlah aku jalan-jalan pagi mbak, bukannya tidur saja", dengan manja Anissa merangkul Norman, "Mas, anakmu disini pingin makan manisan mangga, kita beli yuk?", gumamnya sambil mengelus perutnya yang membuncit.
Norman berdiri di sana meragu, di satu sisi dia ingin menyenangkan isterinya dan calon bayinya, di sisi lain Idha tak bisa disangkal lagi tampak begitu pucat.
Anissa menyadari kebimbangan Norman dan mencebik manja,
"Mas kasihan anakmu ini, aku sebenarnya sudah pingin lama tapi aku menahannya karena tidak ingin merepotkanmu, tapi hari ini aku pingin sekali mas, rasanya badanku sakit semua kalau belum berhasil mencicipi manisan mangga itu", Anissa menatap ke arah Idha, "Mba Idha paling cuma masuk angin biasa, tidur sebentar juga sembuh, nanti sambil beli manisan, sekalian deh kita beli tolak angin buat mbak Idha ya?"Dan disanalah Idha, berdiri lunglai menahankan kesakitannya, sambil menatap mobil Norman melaju dengan Anissa di sisinya, meninggalkannya di rumah.
******
Sebulan kemudian, Idha benar-benar terkapar di rumah sakit, livernya sudah mengeras dan kondisinya kritis. Malam itu, malam ke empat belas Idha dirawat, ketika Idha meregang nyawa, dia membisikkan nama suaminya. Tetapi suaminya tidak menungguinya di sana, hanya bik Sumi, pembantunya yang setia menungguinya sambil bercucuran air mata, tak sanggup melihat kondisi nyonyanya yang mengenaskan.
"Mas Norman nggak datang bik?", Mata Idha sudah tidak fokus, tetapi dia tetap menanyakan suaminya.
Bik Sumi menggeleng dengan sedih, suaranya tercekat di tenggorokan. Bagaimana mungkin dia tega mengatakan bahwa pada saat Idha meregang nyawa, Norman dan Anissa sedang tertawa-tawa di sana, mereka berdua sedang mempersiapkan kamar bayi, di kamar yang seharusnya masih menjadi kamar Idha, Tadi boks bayi besar warna biru baru saja di datangkan ke rumah, sebagai hadiah kejutan Norman untuk Anissa, dan isteri muda tuannya itu memekik bahagia lalu menciumi suaminya, mereka terkekeh-kekeh tertawa bersama mengagumi keindahan boks itu. Itulah pemandangan terahkir yang disaksikan bik Sumi sebelum dia naik ke angkot untuk ke rumah sakit menjenguk nyonya majikannya yang terbaring tak berdaya.
"Bilang sama mas Norman kalau aku nanti tak sempat bertemu ya bik, bilang padanya kalau aku mencintainya"
Bik Sumi mengangguk, air mata mengalir deras di pipinya.
"Jangan nangis bik, aku tidak apa-apa kok, aku malah lega, sepertinya semua nyeri ini akan segera berahkir", Idha tersenyum lembut dan memejamkan matanya. Lalu nafasnya pelan-pelan melemah dan menghilang sama sekali. Pergi dalam damai.
Dan begitulah ternyata ahkir kisah Idha yang menyedihkan, hampir satu tahun setelah dia dimadu. Idha meninggal dunia dalam kesedihan karena cinta suaminya yang direnggut darinya. Dokter mendiagnosanya menderita kanker hati yang terlambat diketahui dan terlambat ditangani, tapi bagi orang yang mengerti, Idha meninggal karena patah hati.
*****
"Aku mencintaimu isteriku", lelaki tua itu mengusap air mata bening yang menetes di sudut matanya, menatap makam sederhana berusia dua puluh tahun itu, "maafkan aku, maafkan aku...", Norman menunduk dan menahan serak di tenggorokannya, Tubuhnya sudah begitu renta, penyakit stroke yang menggerogotinya sejak lima tahun lalu semakin membuatnya lemah dan menua lebih daripada yang seharusnya.
Hujan rintik-rintik menerpanya, tetapi Norman tidak merasakannya, seakan dia ingin mati saja di sana, tepat di depan nisan ini. Tetapi entah kenapa Tuhan seolah-olah sengaja mempertahankannya dalam kesakitan dan kerentaannya, lalu menghukumnya untuk selalu kembali dan kembali ke sini, ke makam almarhumah isterinya, Idha yang meninggal dua puluh tahun lalu, untuk memohon ampun di pusaranya.
"Ternyata aku yang mandul", Norman mengulangi kata-kata yang sama, yang diucapkannya setiap dia mengunjungi makam Idha, "Ternyata akulah yang tidak mampu memberikan keturunan, dokter memastikannya ketika aku memeriksakan diri karena tak kunjung mendapatkan anak kedua", tatapan Norman menerawang, melayang ke masa lalunya, "aku marah besar saat itu, menuntut kebenaran dari Anissa tentang anak yang dilahirkannya" suara Norman tertahan oleh emosi, "Ternyata Alfi bukan anakku, dia anak kekasih Anissa...",
Tangan Norman mengusap lembut pusara di depannya, yang bertaburkan bunga mawar, "Aku marah sekali saat itu Idha, marah sekali, tapi aku tidak berdaya, sebelumnya Anissa sudah berhasil membujukku untuk memindahkan seluruh harta kekayaanku atas nama Alfin, rumah... mobil... perusahaan... Semua lepas dari tanganku, Anissa menguasai semuanya, Idha...", dengan sedih Norman menangis, "aku tidak pernah menyesali hilangnya hartaku, tapi aku menyesali semua yang aku lakukan kepadamu, kau isteriku yang terbaik, mencintaiku apa adanya, tapi lihat apa yang kulakukan kepadamu, aku menghancurkan hatimu, aku menyakitimu, bahkan mungkin pada ahkirnya aku yang membunuhmu.... Aku menyesal Idha, aku sungguh-sungguh menyesal, dosaku kepadamu sungguh tak termaafkan, dan aku terima semua ini terjadi kepadaku sebagai balasan atas semua kesakitan yang pernah aku timpakan kepadamu", suara Norman tercekat oleh tangis yang dalam.
Kemudian lelaki tua itu termenung, lama, seperti yang selalu dilakukannya. Mendera dirinya dengan penyesalan dan rasa bersalah sampai lama, sampai senja mulai tenggelam dan langit mulai gelap. Setelah puas menyalahkan dirinya sendiri, dengan susah payah lelaki itu menundukkan tubuhnya dan mengecup nisan sederhana itu sepenuh perasaan,
"Sudah malam, aku harus kembali, mereka akan mencariku, beristirahatlah dengan tenang isteriku, aku akan datang lagi besok"
Lalu lelaki tua itu bangkit dengan tertatih-tatih. Keriputnya semakin dalam ketika menahan sakit saat menyeret kakinya yang setengah lumpuh karena stroke, punggungnya bungkuk di terpa usia.
Lima tahun lalu, ketika kehancuran rumah tangganya membawanya kepada penyakit stroke yang parah. Anissa mengirimnya ke sebuah panti jompo, dengan deposit pembayaran 10 tahun, lalu tidak pernah menengoknya lagi. Dia sudah membuang Norman. Sekarang Norman tidak punya keluarga. Orangtuanya sudah meninggal dan seluruh keluarga besarnya meninggalkannya ketika dia terpuruk di bawah kekuasaan Anissa. Norman sebatang kara, tidak punya siapa-siapa. Menghabiskan masa tuanya dalam kesepian di panti jompo, hanya menunggu ajal menjemputnya.
Dan lelaki tua yang melangkah bungkuk terseret-seret di makan usia itu pergi dengan satu pertanyaan yang mengusik hatinya.
"Kalau aku mati nanti.... Siapakah yang akan menabur bunga di pusaraku...?"
THE END
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 22, 2012 03:39

October 21, 2012

Cerpen : Setelah sepuluh tahun







Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain. Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap ada kesempatan. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa terasa.

Tuhanku....Dina menatap kekosongan di depannya dan menarik napas panjang, rasa nyeri itu menyeruak makin dalam, menghimpit dadanya, membuatnya sesak nafas, Tuhanku... Betapa aku mencintainya...

Nah, dia sudah berhasil mengakuinya, tapi pengakuan itu tidak membuatnya lega sama sekali, malahan semakin menghimpit perasaannya,

Kenapa cinta yang Kau berikan padaku ini terasa begitu pedih? Mencintainya, mencintai cinta yang bagai dua sisi mata uang yang bertolak belakang : cinta itu sendiri di sisi depan, dan airmata di sisi belakang yang tersembunyi.

Mencintai cinta, dan disisi lain, mencintai air mata pula.




Tetapi bukankah keputusan ini sudah dia ambil masak-masak? Bukankah semua konsekuensi sudah dia pertimbangkan sebelumnya? Mencintai Lintang sama saja menyerahkan hatinya untuk dipatahkan, dihancurkan berkeping-keping dengan sukarela. Dan bahkan dia melakukannya dengan kesadaran penuh, menyerahkan hatinya untuk dihancurkan berkeping-keping.
Lintang, yang sudah tidak sendiri lagi. Lintang yang sudah menjadi milik orang lain. Dan Dina dengan rela membiarkan hatinya dimiliki Lintang sepenuhnya, tanpa menuntut Lintang untuk memberikan seluruh hatinya kepadanya.

Dia sudah mengambil keputusan bukan? Menjadi wanita nomor dua Lintang, wanita yang tidak bisa diakui, dan tidak bisa mengakui Lintang. Merelakan posisinya tersembunyi sedemikian rupa. Tidak apa-apa, katanya pada dirinya sendiri waktu itu. Aku rela, asalkan aku boleh mencintai Lintang dan bisa mereguk cinta dari Lintang.

Tapi ternyata tidak semudah itu. Hatinya selalu terasa nyeri, bahkan saat dia bersama Lintang, dalam pelukannya. Dia merasa sebagai wanita yang rendah, merenggut lelaki yang seharusnya menjadi hak milik perempuan lain.

Dosakah dia melakukan ini? Bahkan dengan mengatas namakan cintapun, tidak akan pernah ada manusia yang bisa mengerti. Mereka akan memandang hina dirinya, merendahkannya. Dibelahan manapun di dunia ini, wanita seperti Dina, seorang selingkuhan, wanita simpanan, perebut kasih sayang laki-laki yang seharusnya menjadi milik pasangannya yang sah, selalu dipandang sebagai pihak yang salah, pihak yang hina, pihak perusak yang tidak seharusnya ada.

Mereka semua kadang tidak paham, bahwa wanita seperti itu terkadang melakukannya karena cinta yang begitu mendalam yang tak tertahankan.

"Aku mencintaimu Dina, tubuhku boleh menjadi miliknya, tapi hatiku milikmu", kata Lintang di suatu malam, dalam pertemuan-pertemuan rahasia mereka yang penuh cinta.

Dan Dina tidak bisa menjawab. Memiliki tubuh atau hati seseorang. Kenapa Tuhan begitu kejam membuatnya memilih? Tidak bisakah dia memiliki kedua-duanya? Seringkali pertanyaan itu terjerit dalam hatinya, ingin diteriakkan entah kepada siapa. Tetapi kemudian selalu tertahan di bibir, menjadi gumpalan-gumpalan berat yang menyesakkan dadanya, semakin menahan napasnya, menyakitinya.

Dan Dina selalu menanggung semuanya seorang diri, tidak pernah membiarkan Lintang tahu apa yang berkecamuk di dadanya, Oh Lintang, Lintangnya, satu-satunya lelaki yang dicintainya, satu-satunya lelaki yang mampu membuat Dina menyerahkan hatinya dengan sepenuhnya, tenggelam sedalam-dalamnya ke kubangan cinta tanpa peduli akan sakit yang menusuknya tiap dia menyerahkan diri.

Tuhan, ketika kau membiarkanku jatuh cinta, kenapa harus dengan lelaki yang sudah termiliki oleh perempuan lain?

Terkadang saat memandang Lintang dalam tidurnya yang damai, Dina ingin menangis. Lelakinya, yang sangat ingin Dina doakan kebahagiaannya, betapa kehadiran Dina dihidup Lintang telah memporak porandakan ketenangan yang seharusnya terjalin dalam garis kehidupan lelaki itu.

Lintang seharusnya tidak bertemu dengan Dina, lelaki itu sudah memiliki istri yang mencintainya, dengan hubungan yang harmonis, keluarga kecil yang bahagia, dan pastinya akan terus bahagia seandainya tidak ada insiden yang mempertemukan Lintang dengan Dina, yang mengubah seluruh kehidupan Lintang, juga Dina.

Mereka berdua bertemu, dan seluruh dunia seakan jungkir balik, Dina melupakan semuanya, melupakan bahwa dibalik kebahagiaan yang direnggutnya, diam-diam dia menari dibawah pengkhianatan terhadap seorang isteri, seorang wanita pula yang seperti dirinya. Melupakan bahwa tidak seharusnya dia bertindak egois, semakin memperdalam cintanya kepada Lintang, bahkan di saat dia tahu bahwa Lintang adalah lelaki yang tidak boleh dia cintai.

"Aku merasakan cinta yang sebenar-benarnya bersamamu", bisik Lintang lembut pada suatu malam.

Dan mata Dina yang kelam menyapu malam, menelan kepedihan yang terlalu sering dirasakannya hingga hampir mati rasa,

"Kau juga merasakan cinta yang sama kepada isterimu bukan?"

"Aku pikir aku dulu mencintainya", jawab Lintang tegas.

Dan Dina menggelengkan kepalanya,

"Seharusnya aku tidak pernah muncul di antara kalian, seharusnya aku tidak pernah ada"

Lintang merengkuh bahu Dina dan memeluknya erat,

"Jangan. Jangan mengatakan itu. Itu sungguh menyakitiku, bersamamu aku benar-benar mengerti apa artinya bahagia, bersamamu aku benar-benar mengerti apa artinya mencintai. Aku memang egois menahanmu disini, bersamaku, mereguk cintamu yang tanpa batas itu sepuas-puasnya, tanpa bisa menjanjikan apa-apa kepadamu. Aku yang salah di sini, seharusnya aku bisa menahan diriku, tapi aku tak bisa, aku mencintaimu Dina, dan kesempatan sekecil apapun yang kau berikan kepadaku aku akan mereguknya"

Dina membalas pelukan Lintang, bulir air mata hangat membasahi pipinya tanpa sadar,

"Aku juga mencintaimu Lintang, dan aku berpikir aku ingin melimpahimu dengan cinta ini selagi bisa, selagi boleh",

Kalimat Dina terhenti ketika Lintang memeluknya makin dalam dengan sendu. Percuma. Rintih Dina dalam hati, percuma kalau dilanjutkan. Mereka memang bisa saling mencurahkan cinta, tetapi mereka akan tetap saling menyakiti tanpa sadar.

Mencintai cinta, dan airmata itu sendiri di sisi lain.

Mencintai Lintang bagaikan menelan pil bersalut gula yang mengandung 90 persen kebahagiaan, tetapi terselip 10 persen racun kepedihan di dalamnya. Dan Dina meskipun tahu bahwa dibalik kebahagiaan itu ada racun yang terserap tubuhnya perlahan-lahan dan menggerogoti jiwanya dengan kepedihan, tetap saja dengan sukarela menelan pil itu setiap ada kesempatan. Tidak peduli bahwa mungkin saja racun dalam pil itu mungkin akan mengendap dan mengendap dalam aliran jiwanya dan membunuhnya dari dalam, tanpa terasa.Biar saja. Desah Dina pelan, toh jiwaku sepertinya sudah mati kalau aku tidak bisa mencintai Lintang lagi.

Yang penting sebelum jiwanya ini mati, dia sudah pernah mencurahkan cintanya ini, dia sudah pernah mencintai Lintang dengan sepenuh hati.

Ya dia mencintai Lintang, cinta inilah yang membuatnya mampu menahan kepedihan dimalam-malam dia melepas kepulangan Lintang dari pelukannya, kembali kepada isterinya, yang tidak tahu apa-apa di rumah. Cinta inilah yang membuat Dina mampu menahan tangisannya di malam-malam gelap ketika menahankan kepedihan dan kecemburuan, membayangkan kebersamaan Lintang bersama isterinya di rumah. Cinta ini pulalah yang membuat Dina menahan perasaan dingin yang seakan memukul tulang belakangnya, ketika menyadari bahwa dia tidak bisa mengakui Lintang sebagai kekasihnya, dan dia tidak akan pernah bisa diakui sebagai kekasih Lintang.

Tapi Cinta ini pulalah yang membawa Dina kepada kesadaran menyakitkan bahwa dia harus melepaskan Lintang. Bahwa dia harus membebaskan Lintang dari mantra yang disebut cinta sejati ini.

Salah satu dari mereka harus memutuskan untuk pergi, dan Dina tahu bahwa Lintang tidak mungkin meninggalkannya. Lintang sangat mencintainya, jadi lelaki itu tidak akan pernah menyakitinya dengan meninggalkannya. Dulu Dina tidak akan pernah sanggup meninggalkan Lintang. Tetapi sekarang, entah kenapa kekuatan itu ada, kekuatan itu muncul dari dalam jiwanya, dan membuatnya semakin bertekad kuat mengambil keputusan ini.

Tidak. Dina meralat kata-katanya, kekuatan ini bukan muncul dari dalam jiwanya, kekuatan ini muncul dari dalam tubuhnya.

Dengan lembut Dina mengelus perutnya, ada kekuatan disini. Buah cintanya dengan Lintang yang sedang bertumbuh di dalam perutnya, yang semakin lama semakin bertambah kuat, semakin menegaskan keberadaannya.

Ketika pertama kali menyadari bahwa dirinya hamil, Dina menangis. Tidak, tangisannya bukanlah tangisan putus asa seorang perempuan yang hamil tanpa suami. Tangisannya adalah tangisan bahagia, tangisan bahagia seorang perempuan yang ahkirnya bisa memiliki bagian dari laki-laki yang dicintainya, di dalam tubuhnya. Selama ini dia selalu membagi lelaki yang dicintainya, entah tubuhnya, entah hatinya, dengan perempuan lain. Tetapi yang ini berbeda. Anak yang tumbuh di dalam tubuhnya adalah bagian dari Lintang, yang benar-benar miliknya. Anak ini jugalah yang memberikan kekuatan kepada Dina untuk memutuskan meninggalkan Lintang.

Dina menatap perutnya dan tersenyum lembut,

"Anakku, beri mama kekuatan ya. Mama akan meninggalkan papa, semoga kau mengerti nak, itu demi kebahagiaan papamu.

******
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Dina menghilang, lenyap dari kehidupan Lintang. Dina menatap tubuh mungil yang sedang tertidur pulas di depannya, dielusnya rambutnya dengan penuh sayang, Alita, buah cintanya dengan Lintang telah tumbuh menjadi anak perempuan lucu yang sangat cerdas dan sangat memenangkan hatinya.

Dina menatap wajah Alita yang begitu damai dalam tidurnya, Tidak mungkin tidak membayangkan Lintang ketika menatap Alita, Lintang adalah gambaran versi feminim dari Lintang. Keseluruhan dirinya adalah penggambaran dari Lintang. dan Dina senang karenanya. Kadang-kadang dimalam sunyinya saat dia mengantarkan Dina ke dalam tidurnya, dia mengambil waktu untuk mengamati wajah Alita, lalu mengenang kembali saat-saat indahnya bersama Lintang, saat-saat itu masih menjadi bagian dalam kehidupannya yang sangat disyukurinya, fase kehidupannya yang paling berharga, yang akan selalu dikenangnya.

Kenangan memang akan selalu memudar seisi berjalannya waktu. Tapi hanya kenangan yang Dina punya tentang Lintang, karena itulah dia selalu memperbaharui kenangannya setiap malam, menjaga agar Lintang akan tetap selalu terjaga di dalam hatinya.

Dan Lintang telah memberinya Alita, bagian dari Lintang yang juga amat sangat dicintainya. Setiap malam itu pula, hati Dina akan dipenuhi oleh rasa syukur yang tiada terkira.
 ******
 "Ibu Dina, kolega dari perusahaan Jepang itu sudah datang di ruang pertemuan", suara sang sekertaris terdengar dari intercom.

"Aku akan segera kesana", Dina mengalihkan perhatiannya kembali kepada ponsel di telinganya,

"... dan ibu guru tadi memuji gambarku sebagai gambar terbaik ma, aku dapat nilai sembilan"Dina tersenyum membayangkan wajah anaknya yang berbinar,

"Alita sudah makan siang?"

"Sudah ma, pulang sekolah tadi Bi Inu memasak ayam kecap kesukaan Alita"

"Ya sudah, kerjakan dulu PR Alita sebelum bobok siang ya, nanti mama bawakan donat cokelat kesukaan Alita kalau mama pulang ya."

"Mama?"

“Iya?”

“Alita sayang sama mama.”

Setetes air mata bergulir di pipi Dina,

“Mama juga sayang sama Alita”

*****
Dina berjalan menuju ruang pertemuan dengan hati riang, ucapan sayang dari Alita membuat dadanya mengembang penuh rasa cinta yang luar biasa. Mereka berdua berjuang bersama, Dina membesarkan Alita sebagai orang tua tunggal. Dan Alita adalah anak yang cerdas, hanya sekali anak itu pernah bertanya kenapa dia tidak punya papa seperti anak-anak yang lain, lalu Dina menjawab dengan hati-hati,

“Alita, papa pasti sangat mencintai Alita dan bangga mempunyai putri kecil seperti Alita, tetapi kalau papa ada bersama kita, papa tidak akan bahagia. Jadi papa harus berpisah dari kita. Alita ingin papa bahagia kan?”

“Iya ma”

“Kalau begitu, biarkan semua tetap seperti ini ya? Kita tidak bisa bersama papa, tetapi mama yakin, papa sangat mencintai kita berdua. Mama akan memberikan kasih sayang dua kali lipat untuk memenuhi jatah kasih sayang dari papa untukmu”

Lalu Alita, anak kecil itu, yang seharusnya masih belum bisa menanggung penjelasan yang begitu rumit, menganggukkan kepalanya dengan penuh pengertian. Mungkin anak itu masih belum mengerti, mungkin pikiran anak-anaknya masih belum menerima kondisi ini. Tetapi Alita sangat menyayangi mamanya, dan percaya.

Saat itu Dina memandang putri kecilnya, lalu memeluknya erat-erat dan menangis.

“Terimakasih nak”

Sejak saat itu, Alita tidak pernah menanyakan papanya lagi.

Dina mendesah, mungkin dia salah waktu itu. Meninggalkan Lintang tanpa penjelasan apapun dalam kondisi hamil. Mungkin seharusnya Lintang berhak tahu bahwa dia mempunyai puteri yang sangat cantik yang pasti akan membuatnya bangga. Tapi hati Dina dipenuhi ketakutan, dia takut akan merusak rumah tangga Lintang kalau dia mengatakannya kepada lelaki itu... terlebih lagi sekarang, mungkin Lintang sudah memiliki anak-anaknya sendiri dengan isterinya, Dina sangat tidak ingin mengganggu rumah tangga lelaki itu. Lagipula Dina takut jangan-jangan Lintang memutuskan akan merebut anak itu dari dirinya, Dina tidak akan sanggup tanpa Alita, anak itulah satu-satunya alasannya bertahan hidup selama ini.

“Ibu Dina, perkenalkan ini bapak Lintang, perwakilan dari kolega perusahaan Jepang yang akan menjalin kerjasama dengan kita”

Suara itu memecah lamunan Dina di ambang pintu, wajahnya pucat pasi. Lelaki itu, lelaki yang berdiri di depannya, adalah lelaki yang selama ini selalu mengisi kenangan Dina pada malam-malam sepinya, selalu ada di sana, jauh di dalam benaknya yang mencintai selama sepuluh tahun. Lintang ada di sini !

Lintang menatap Dina dengan datar, seolah tidak mengenalinya, lalu mengulurkan tangannya. Dina menatap tangan itu dengan panik. Apakah Lintang tidak mengenalinya? Tidak mungkin! Dina melihat tatapan tersirat Lintang dan menyadari ada kemarahan tersembunyi yang bercampur dengan kelegaan di sana, lelaki itu mengenalinya!

Dengan gugup Dina menyambut genggaman tangan Lintang, dan menarik napas panjang merasakan remasan tangan Lintang di jabatannya. Remasan itu terasa tegas dan kuat. Nanti. Itu isyarat yang ingin dikatakan oleh Lintang tanpa kata kepadanya.
 ******
“Tidak kusangka, setelah mencarimu kemana-mana, aku menemukanmu disini”, Lintang tersenyum getir, menatap Dina yang duduk di depannya dengan tubuh tegang seperti ingin lari dengan wajah pucat pasi.

Dengan gusar, Lintang meraih tangan Dina, mencoba menggenggamnya, Dina menghindar, tentu saja, tetapi Lintang tidak mau menyerah, digenggamnya tangan Dina erat-erat, sampai jemari Dina melemah dan menyerah,

“Kenapa kau lakukan itu kepadaku Dina? Kenapa kau meninggalkanku dengan cara kejam seperti itu? Kau menghilang tiba-tiba, tanpa perpisahan, kau tidak bisa kutemukan dimana-mana, padahal malam sebelumnya kau masih memelukku dengan penuh kasih sayang”, Mata Lintang menatap tajam pada mata Dina yang gelisah, “Kau menghilang tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata-kata perpisahan.....apakah kau tidak tahu betapa paniknya aku? Betapa hancurnya aku? Aku seperti orang gila mencarimu kemana-mana, tetapi kau seolah-olah lenyap ditelan bumi, HPmu tidak pernah aktif, aku benar-benar telah kehilanganmu...”

Dina memalingkan mukanya sedih,

“Aku memang berencana untuk tidak bisa ditemukan....”

“Kenapa kau lakukan itu Dina? Kenapa kau lakukan itu kepadaku?”

“Karena aku tidak tahan lagi dalam perasaan bersalah.”

“Kau tidak perlu merasa bersalah Dina, pernikahankupun pasti akan hancur, bahkan kalaupun aku tidak bertemu denganmu”

Dina menggelengkan kepalanya,

“Karena bertemu denganku kau jadi tidak mencintai isterimu lagi, itu dosaku yang tak termaafkan Lintang, jadi aku harus pergi sebelum aku makin merusak segalanya.”

“Bukankah aku sudah bilang kepadamu, saat itu aku mengira mencintai isteriku, cintaku yang sesungguhnya hanya kepadamu!”, suara Lintang meninggi menahankan perasaannya. Kemudian dia menarik napas panjang, “Tapi sudahlah, mungkin ini semua sudah terlambat.... yang pasti aku senang bertemu denganmu, kau sehat dan baik-baik saja, itu sudah cukup memuaskanku....”, sekali lagi Lintang menghela nafas panjang, lalu melepaskan genggamannya dari Dina, “Aku akan pergi, dan aku tidak akan mengganggumu Dina kalau itu maumu, sebenarnya dulu, kalau kau mengatakan tidak ingin kau ganggu, aku pasti akan pergi juga, seharusnya kau tidak perlu menghilang seperti itu”

Kau tidak tahu mengapa aku harus menghilang. Dina membayangkan Alita.

Lintang menatap Dina dalam-dalam, tersenyum sedih,

“Yah... kalau begitu, selamat tinggal Dina.”

Dina tertegun. Ada sesuatu, ada yang disembunyikan oleh Lintang. Karena itulah reflek ketika Lintang hendak beranjak, Dina mencengkeram lengannya, menahan lelaki itu.

“Ada apa Lintang?”, tanyanya dengan lembut, selembut bisikannya dulu ketika dia memeluk kepala Lintang dan membuainya di dadanya pada malam-malam mereka bersama.

Sejenak Lintang tampak kehabisan kata-kata. Lalu menarik napas panjang,

“Sangat menyakitkan bagiku ketika bisa bertemu denganmu lagi, tetapi menyadari bahwa aku tidak pantas bahkan untuk mencoba memilikimu lagi’

“Apa maksudmu?”

Lintang menundukkan kepalanya,

“Lima tahun lalu aku mengalami kecelakaan.... fatal.... sebagai akibatnya, aku... aku masih bisa berfungsi sebagai laki-laki normal... tetapi aku tidak akan pernah bisa mempunyai anak”, suara Lintang bergetar, lalu memandang tangannya, tangan yang sekarang sudah tidak memakai cincin, “Isteriku.... dia tidak bisa menerima keadaanku, dia meninggalkanku setelahnya....”, Lintang menatap Dina dan tersenyum pedih, “Sekarang aku lelaki yang menyedihkan Dina, melihatmu disini, masih mencintaimu sama dalamnya seperti yang dulu, tapi terbelenggu oleh perasaan hina bahwa aku tidak pantas untukmu, aku tidak mungkin mengejarmu sementara aku tidak bisa menawarkan apa-apa kepadamu, aku tahu kau sangat mencintai anak-anak, dan aku... aku tidak bisa punya anak....”, setitik bening mengalir di sudut mata Lintang, dia mengusapnya buru-buru lalu bangkit berdiri, “Sudahlah, aku tidak mau memberatkan dirimu dengan kisahku yang menyedihkan ini.....”, Lintang menoleh dan tersenyum kepada Dina, “Setidaknya kau sehat dan bahagia, itu sudah cukup untukku, hiduplah dengan bahagia Dina...”, tangan Lintang terulur dan meremas lengan Dina, lalu membalikkan badannya tanpa kata.

Sementara itu Dina terpaku seperti patung. Ketika Lintang sudah semakin menjauh, Dina bagaikan tersadarkan, dia berseru memanggil Lintang,

“Lintang?”

Lintang tertegun, lalu berbalik, ada kepedihan di sana,

“Ya?”

“Maukah kau....”, Dina menelan ludahnya, “Maukah kau ikut denganku ke rumahku?”

Lintang mengernyitkan keningnya tidak mengerti,

“Untuk apa?”

Dina tersenyum, jantungnya berdetak keras,

“Mungkin... mungkin ada seseorang yang sangat ingin bertemu denganmu disana”

“Maksudmu...?”

“Sudahlah, ayo ikut aku, kau akan tahu ketika kau disana”
 ******

Mereka turun dari mobil, dihalaman rumah Dina yang mungil dan asri. Lintang sejenak tampak tertegun dan terpaku di balik kemudi,

“Dina.... aku.... aku tidak bisa menjalin hubungan lagi denganmu meskipun aku masih amat sangat mencintaimu... tetapi aku tidak mungkin egois, membiarkanku bersamamu, sekaligus membunuh impianmu untuk memiliki anak dalam sebuah perkawinan....”

“Ayo ikut aku Lintang”, Dina menyela, turun dari mobil sehingga mau tidak mau Lintang turun mengikutinya.

Begitu Dina membuka pagar, diikuti Lintang yang melangkah ragu-ragu di depannya, pintu depan terbuka, dan sosok mungil berpita dengan rok putih yang cantik menghambur keluar,“Mama....!!! mama pulang cepat hari ini....!!! aku membawa gambar yang di puji oleh ibu guru, mama pasti senang melihatnya... aku....”, cuara celotehan gembira Alita terdengar memenuhi udara, tanpa henti, tak menyadari petir yang disambarkan oleh kehadirannya kepada Lintang.Lintang hanya perlu menatap Alita, memperkirakan usianya, lalu menyadari kemiripan dirinya yang terpatri jelas di wajah Alita. Matanya berkaca-kaca, jantungnya berdegup keras, dengan gugup dia menatap mata Dina yang tersenyum, mencari jawaban di sana.

Benarkah? Tanyanya tanpa kata, hanya lewat tatapan matanya. Sejenak Dina hanya tersenyum dan jantung Lintang berdegup keras. Oh Tuhan, kumohon, semoga ini bukan mimpi, semoga ini bukan mimpi.... Lintang merapalkan doanya seperti mantra.

Lalu Dina mengangguk dan hati Lintang meledak oleh perasaan bahagia yang tidak bisa dilukiskan, begitu pula air matanya.

Kemudian, baru Alita menyadari kehadiran lelaki asing di belakang mamanya, lelaki itu nampak seperti menangis sekaligus tertawa, Alita menatap mamanya ingin tahu,

“Siapa ma?”, tanyanya penuh senyum. Alita anak yang ramah, yang selalu membagi senyum kepada siapapun, bahkan meskipun itu lelaki asing yang dibawa mamanya.

Dina merasakan matanya panas, ingin menangis. Dadanya terasa penuh, dia menatap wajah Lintang, wajah lelaki yang masih sangat dicintainya meski sepuluh tahun sudah mereka tidak pernah berjumpa. Lelaki itu tampak kehilangan kata-kata, tetapi Dina tahu, Lintang sangat bahagia. Semua penjelasan bisa dilakukan nanti. Yang penting adalah saat-saat ini, momen-momen berharga ketika mereka bisa bertemu lagi.

“Ini papamu nak”,
THE END
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 21, 2012 22:22

October 18, 2012

Cara Pemesanan Novel A Romantic Story About Serena

From Link : http://portalnovel.blogspot.com/2012/10/tentang-arsas-versi-hard-copy.html?showComment=1350626503876#c7005527988198052140

Dear All Readers yang kusayangi,

Hari ini aku sudah terima hardcopy sample-nya, ternyata memuaskan :)
Jadi sepakat dengan penerbit untuk bisa segera di order
Untuk pemesanan all Readers bisa langsung klik di link: http://nulisbuku.com/books/view/a-romantic-story-about-serena

Spesifikasi novelnya : Cover Dove, tebal 328 lembar, Kertas novel terbaik
Harga buku : Rp 75.000 ( belum termasuk ongkos kirim)
dengan perincian/buku :
Biaya Produksi : Rp. 67.000
Komisi Penerbit : Rp. 3.500
Keuntungan Penjualan : Rp. 4.500 (yang semuanya akan disumbangkan ke Rumah Yatim  atas nama Yay, Rumah Yatim Arrohman Ind).

Untuk yang minta tandatangan, mohon maaf aku udah konfirm ke penerbit
katanya kalau untuk tandatangan pihak penerbit tidak bisa mengcover
Mungkin nanti ada kesempatan kita bisa kopdar yah heeee
lagian aku malu kalo dimintain tandatangan *tersipu*

Terimakasih ya untuk all readers yang sudah mengapresiasi novel ini :)
Dan terimakasih untuk Mas Yudi - admin portalnovel yang telah memberi kesempatan bagi ARSAS untuk muncul di blog sekaliber portalnovel :)

Semoga novel ini bisa menjadi koleksi yang berharga sekaligus menambah pahala,
karna kita beli sekaligus menyumbang. Jadi semoga semakin banyak yang beli semakin banyak yang kita sumbangkan ya :)
oh ya berikut langkah2 pemesanannya ;)


Dear Readers ,

karena banyak yang bertanya apakah transfer uangnya langsung ke rekening rumah Yatim BCA di atas, maka aku konfirmasikan ulang yah
Transfer uangnya jangan langsung ke rekening rumah Yatim

kalau begitu nanti penerbit nggak akan tahu dan buku nggak akan dibuat hiks kasihan para readers kalau begitu

ini aku postingkan langkah2 pemesanan bukunya yah :

sistem pemesanannya

1. Readers buka link http://www.nulisbuku.com/books/view/a-romantic-story-about-serena
kemudian Readers order buku serena di sana

2. setelah order, kita ngasih tahu penerbit alamat lengkap rumah kita

3. reader akan dapat konfirmasi dari penerbit mengatakan bahwa buku pesanan sudah masuk list terdaftar
dan kemudian diinformasikan total harga plus ongkos kirim, dan kemana uang harus readers transfer ( ke nomor rekening penerbit )

4. reader transfer uang ke penerbit dan konfirmasi ke penerbit kalo udah transfer by email saja ( sambil insert foto bukti transfernya di email)

5. Oleh penerbit uang tsb akan dipakai untuk biaya produksi cetak buku, dan keuntungan dr penjualan buku itulah yang akan ditransfer penerbit ke rumah Yatim
penerbit yang akan transfer ke nomor rekening rumah yatim hasil keuntungan penjualan buku secara berkala ( 1 bulan sekali )--- jadi bukan kita yah yg transfer ke rumah yatim
nanti kita dikasih laporan pertanggungjawaban bulanan dari penerbit

Jad Readers jangan langsung kirim transfer uang ke rumah yatim-nya yah, karena dengan begitu pihak penerbit nggak akan tahu kalo reader pesen buku ARSAS, nantinya bisa berakibat readers nggak bisa mendapatkan buku arsas hiks hiks
Untuk cover tanggung jawab transfer ke rumah yatim semua dilakukan oleh penerbit ;)

6. Setealh proses transfer dan konfirmasi dengan penerbit beres, Readers akan dikonfirmasi bahwa buku sudah dalam proses cetak ( maksimal cetak 10 hari)

7. Setelah buku sudah dicetak oleh penerbit dan dikirim ke alamat readers, maka readers akan dapat email konfirmasi penerbit bahwa buku sudah di kirimkan, plus informasi nomor resi dan informasi link untuk track pengiriman buku tersebut via JNE online

8. Buku pun tiba di tangan readers ;)

Salam Sayang

Santhy Agatha

semoga bisa membantu yah all readers ;)
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 18, 2012 23:05

October 12, 2012

Catatan Terahkir Untuk Mas Irwan



Irwan memasukkan pakaian terahkirnya ke dalam tas, lalu menutup resleting tas itu sambil menarik napas panjang. Dia berdiri, membawa tas itu dan hendak melangkah pergi ketika langkahnya terhenti, tangannya terpaku berat di pegangan pintu.

Sekali lagi mendesah, Irwan memutar tubuhnya dan menatap ke sekeliling ruangan mungil berukuran tiga kali empat itu. Setiap detail ditatapnya dan disimpannya dalam-dalam ke dalam ingatannya.

Tidak akan pernah dia lupakan. Tidak akan pernah dia lupakan masa-masa dimana dia mendapatkan pelajaran baru, bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dengan sederhana, dalam ruangan mungil yang penuh berisi cinta..... dan juga perempuan yang dicintainya.

Amara, perempuan itu sekarang tidak ada di sini, tidak kuat menahankan perpisahan, katanya. Jadi pemilik hatinya itu memilih pergi menjauh, supaya yang terkenang di saat terahkirnya hanyalah momen mereka berpelukan bersama, bukan momen ketika irwan melangkah pergi dengan tas pakaian di tangannya, lalu menghilang di balik pintu.

Tiba-tiba mata irwan tertumbuk pada sebuah buku catatan di atas bantal. Dia tidak pernah melihat buku itu sebelumnya, dan itu menarik perhatiannya.Dengan hati-hati diletakkannya tas itu, lalu melangkah menuju tempat tidur, duduk di tepi ranjang dan meraih catatan itu.

Lembar pertama disingkapnya sedikit, ada tulisan Amara di situ, tulisannya yang khas dengan huruf-huruf rapi yang terjalin lurus. Sejenak Irwan merasa bersalah, seperti mengintip rahasia kekasih yang seharusnya tidak boleh dibaca, tetapi sebaris kata menarik perhatiannya. "Untuk Mas Irwan".
 
Dengan ragu dan gelisah Irwan membuka halaman pertama itu, demi menemukan tulisan panjang yang sepertinya khusus dibuat Amara untuk dibacanya, senyum Irwan tanpa sadar muncul di sudut bibirnya, Kekasihnya itu memang selalu lebih mudah mengungkapkan perasaannya dengan tulisan daripada dengan kata-kata. Segera Irwan terseret dalam nuansa halus jalinan kata yang disusun Amara.

============================================================

Bandung, 8 September 2011


Untuk Mas Irwan yang kusayangi,

Kalau mas sudah membaca ini, berarti kita sekarang sudah berada di tahap perpisahan yang selalu kita bicarakan itu ya. Tak apa- apa mas, jangan mencemaskan aku, aku sungguh baik-baik saja. Aku masih perempuan kuat yang kau cintai itu, yang terus berjalan menantang badai meski mas sudah nggak akan berada di sisiku lagi.

Aku menulis surat ini untuk mas Irwan semata-mata agar mas menyadari perasaanku, bahwa semua waktu demi waktu yang aku habiskan bersamamu, semua itu tidak pernah sia-sia. Setiap detik yang aku habiskan bersamamu itu semuanya penuh makna dan membahagiakan, sungguh anugerah Tuhan yang paling indah, yang pernah disisipkannya dalam hidupku yang singkat ini.

Kauingat ketika kita menyesap kopi pada pertemuan pertama kita? di sudut cafe remang-remang di tengah hari, saat aku memandang matamu dan menyadari ada jiwa yang indah di dalam sana. Atau mungkin di saat malam saat kita keluar berdua tanpa rencana? sebuah moment singkat penuh tawa yang menghangatkan hati.

Atau kesan mendalam yang kuresapi bersamamu, ketika kita duduk berdua beralaskan karpet kamarku, dengan secangkir kecil kopi di tangan masing-masing, ngobrol ngalor ngidul dengan semua tema beragam yang pernah ada, lalu tanpa sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam bersama hanya untuk berbicara. Aku tidak pernah merasa bosan bercakap-cakap denganmu, lama kemudian baru kusadari itu :)

Tapi yang paling aku ingat tentu saja saat dimana hatiku mulai bergetar ketika menatap matamu. Malam itu ketika mas Irwan dengan penuh perhatian datang sepulang kerjamu hanya demi menengokku, perempuan manja ini yang sedang sakit. Kehadiran mas Irwan terasa menentramkan jiwaku, dan usapan jemarimu yang lembut dikepalaku saat itu membuatku berpikir betapa beruntungnya perempuan yang boleh bersandar padamu.

Lalu malam berikutnya aku menguji hatiku sendiri, dengan meminta pelukmu, yang kemudian kau berikan tulus tanpa rencana. Pelukan paling memukau yang pernah kurasakan, karena tanpa nafsu, tanpa tendensi apapun. Sarat dengan kasih sayang dan pekat dengan keinginan untuk berbagi yang luar biasa tulus. Detik itulah aku menyadari bahwa aku mencintaimu Mas.

Lalu kebersamaan-kebersamaan kita terjalin begitu saja. Seperti kata orang, bagi dua orang yang saling mencintai, waktu mengalir tanpa rencana melebihi putaran bumi dan langit. Seperti itulah ketika tiba-tiba aku menyadari aku sudah terbenam begitu dalam ke pusaran kasih sayangmu yang tanpa batas. Mencintai sepenuh hati dengan seberani-beraninya hati yang pernah patah ini.

Tahukah mas Irwan, aku masih mengenang perasaan di malam-malam berharga itu, saat kita sama-sama berharap kita bisa menghabiskan malam bersama berpelukan, tetapi tidak bisa. Perasaan penuh harap yang indah itu masih kusimpan di sini, bahkan getarannya tetap terasa ketika aku memejamkan mata dan mencoba memutar balik waktu dalam otakku ini. Saat itu kita tidak diizinkan, tetapi yang namanya orang jatuh cinta, pasti ada cara, aku suka sekali keindahan ketika kita mencuri-curi waktu hanya untuk bisa berpelukan sampai pagi buta lalu terpisah lagi ( pasti mas Irwan mengerti apa maksudku )

Dan Tuhan memang Maha Baik, semoga Dia mengampuni kita, Dia memberikan kita kesempatan untuk menjalani hidup bersama, Kau kemudian secara harafiah menjadi orang terahkir yang kupeluk sebelum aku beranjak tidur di malam hari, dan menjadi orang pertama yang kuberi senyum ketika aku terbangun di pagi hari.

Pada mulanya aku takut hidup denganmu, aku tidak pernah berbagi kehidupan dengan orang lain. Aku takut semua kenikmatan penyendiriku musnah dengan kehadiranmu di sisiku. Tetapi ternyata aku salah, kau membuatku makin bahagia dengan membagi waktu pribadiku bersamamu. Kau membuatku ingin pulang cepat-cepat setiap harinya, karena tahu aku akan bertemu denganmu ketika pulang. Kau merubahku menjadi manusia yang senang berbagi, senang bersama. kau mengubahku menjadi manusia yang lebih baik. Lebih manusiawi. Terimakasih ya. :)

Hidup bersamamu sangat menyenangkan. Aku suka moment dimana kita berbaring dalam diam, dengan buku di tangan masing-masing, hening tetapi penuh pengertian yang pekat, aku suka moment dimana aku menatapmu yang sedang tertidur pulas dengan ekspresi polosmu yang seperti malaikat ( kau pasti tidak menyadarinya).

Aku suka moment dimana tanpa sadar kita saling mencari, bahkan hanya sekedar untuk mengaitkan jemari ketika tidur, seolah-olah kita tetap membutuhkan satu sama lain meskipun pikiran kita sedang terserap ke alam mimpi.

Aku suka moment ketika kita berbaring dalam kegelapan, saling mengungkapkan pemikiran-pemikiran absurd yang kita pikir hanya kita yang paham, membahas dari kehidupan sampai keTuhanan.

Aku suka merawatmu ketika kau sedang sakit dan merapuh, memeluk tubuhmu yang sedang demam sambil berdoa dalam hati untuk kesembuhanmu, Aku suka setiap detik yang kulewatkan bersamamu, setiap sentuhanmu, setiap suaramu, setiap helaan nafasmu, setiap tatapmu, aku tergila-gila dengan itu.

Aku mencintaimu. Mungkin sudah beribu-ribu kali kuungkapkan kepadamu. Tapi entah kenapa tidak ada cukup kata yang bisa mewakili perasaan cintaku yang membuncah untukmu. Tiga kata itu terasa terlalu sederhana untuk mewakili perasaanku yang begitu kompleks ini, mungkin karena itulah aku mengucapkannya berkali-kali sampai kau mungkin merasa bosan mendengarnya.

Aku mencintai segalamu, aku mencintai ketika kau kadang-kadang bisa sangat romantis, menatap mataku dalam-dalam lalu bergumam aku tak akan terganti. Aku mencintaimu ketika kau sedang begitu manja, seperti anak-anak yang merajuk kepada ibunya.

Aku mencintaimu ketika kau tiba-tiba menjadi begitu jahil, bertingkah begitu lucu yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak. AKu bahkan mencintaimu ketika kau marah padaku, ketika kau sedang berusaha menahan kesabaranmu atas sikapku, ketika kau menangis di pelukanku. Bahkan aku tetap mencintaimu ketika ada lapisan kebohongan putih yang terkuak di mataku darimu.

Aku mencintai baik dan burukmu, aku mencintai sakit dan bahagiamu, aku mencintai segalamu. Dan Cintaku ini bukan cinta biasa, karena aku tidak ingin menuntut apa-apa darimu. Hanya ingin mencintaimu sebanyak-banyaknya selagi aku diizinkan.

Lalu aku belajar untuk menjadi dewasa, bersamamu. Kau membimbingku dengan kedewasaan sikapmu. Aku tidak egois lagi, aku tidak keras kepala lagi. Aku tidak antipati lagi untuk meminta maaf, aku tidak sombong lagi. Semua itu aku dapat darimu, pribadi yang rendah hati dan begitu sabar menghadapi aku, kekasihmu yang kadang-kadang susah mengontrol emosi hati ini. Mungkin kau bahkan tidak menyadarinya betapa kau telah membaikkanku. Mungkin baru sekarang kau menyadarinya, tapi aku yakin kau bisa merasakannya.

Kita berdua pernah mengalami segala kebahagiaan sampai pada tingkat yang aku bahkan tidak berani membayangkannya sebelumnya. Kita berdua pernah juga mengalami badai yang bahkan sampai menimbulkan luka hati yang luar biasa dalam, yang kadangkala membuat mata ini tak henti-hentinya mengalirkan airmata kepedihan, Tetapi hebatnya, bersamamu, semua itu bisa kulalui dengan baik. Bersamamu aku lebih cepat menyembuhkan diri.

Tidak ada yang akan kusesali dari setiap detik yang aku habiskan bersamamu mas, tak ada. Semua begitu berharga, semua begitu luar biasa, semua begitu membaikkan. Di dalam hatiku yang paling dalam, jauh di sana, akan selalu ada saat-saat ini yang kusimpan dengan hati-hati layaknya mutiara berharga yang tak terganti. Kenangan antara aku, kamu dan kebersamaan kita.

Tetapi dari awal aku sudah tahu, bahagia kita ini ada tenggat waktunya. Kebersamaan kita ini adalah sesuatu yang salah.... aku tidak mau menyebutnya 'salah' karena aku tidak merasa ada yang salah antara dua hati yang saling mencintai.

Mungkin aku akan menyebutnya kebersamaan yang terlarang? Ah tidak, aku tidak mau menggunakan kata 'terlarang' seolah-olah kebersamaan kita itu suatu dosa yang menjijikkan. AKu akan menyebut kebersamaan kita sebagai sesuatu yang tidak diizinkan. Kau bukan lelaki yang bebas. Aku tahu itu dari awal, dan dengan egoisnya aku tidak peduli.

Tetapi sekarang mungkin sudah waktuku untuk peduli. AKu mencintaimu. tetapi aku tidak akan bisa bertahan bila terus begini. Kadangkala hatiku menangis mas, karena aku tidak bisa mengakuimu, dan kamu tidak bisa mengakuiku.

Kadangkala hatiku pedih mas, karena aku merasa seperti perempuan murahan yang mengemis cinta dari lelaki yang sudah beristri, Kadangkala hatiku hancur mas, membayangkan kebersamaanmu dengan isterimu itu saat kau sedang tidak disampingku, dan kesakitan itu kadang aku lampiaskan kepadamu dengan kecemburuan tidak masuk akal dan kemurungan tiba-tiba - yang tentu saja selalu kauhadapi dengan kesabaran dan penerimaan yang luar biasa.

Aku takut jika aku terus begini, perlahan-lahan cinta yang kurasakan berkobar-kobar padamu itu perlahan padam, digantikan oleh kebencian. Benci karena kau tidak memilihku, benci karena kau tidak memperjuangkanku, benci karena kau milikku tetapi aku harus rela membagimu dengan isterimu, benci karena aku tidak berhak atasmu, benci karena sepertinya hanya aku yang punya keinginan memilikimu tapi kamu tidak sebaliknya.

Benci karena melihatmu memakai cincin bertuliskan nama perempuan itu di jari manismu, Benci karena selalu meragu apakah kau mencintaiku atau aku mungkin hanya pelarian sesaat atas kecewamu pada perempuan lain. Aku takut mas, harap kau paham dengan keputusanku ini. Jika bisa, jika mungkin, aku ingin mengahkirinya selagi semuanya membahagiakan.

Tetapi ingin kukatakan kepadamu aku mengerti. Aku mengerti kenapa kau tidak bisa meninggalkan isterimu untuk bersamaku. Dia wanita hebat pilihan ibumu, dan kau adalah anak paling berbakti yang pernah aku kenal di dunia ini. Aku mengerti bagaimana kita mencintai orang tua dan ingin menjalankan amanat sebaik-baiknya.

Lagipula dia yang lebih berhak atasmu, dia memilikimu, dia memakai cincinmu di jarinya, dan begitu juga sebaliknya, menyatakan klaim bahwa kalian saling memiliki. Dan dia adalah wanita yang dulunya, bahkan sampai sekarang masih amat sangat kau cintai, yang aku yakin juga bisa membahagiakan hatimu selain diriku .

Aku mengerti mas. meskipun aku sebagai manusia tidak pernah bisa menahan impian untuk menjadi milikmu, bermimpi aku bisa meneriakkan bahwa aku berhak atasmu, bermimpi bahwa aku bisa memakai cincin bertuliskan namamu di jariku begitu pula sebaliknya mengikatkan cincin tanda kepemilikanku di jarimu, bermimpi akan ada saat-saat pertama dimana aku bisa mempersembahkan kepadamu kehormatan yang selama ini kujaga baik-baik hanya untukmu sebagai suamiku,

Bemimpi betapa bahagianya jika aku bisa mengandung anak-anakmu lalu mensyukuri indahnya ada bagian dirimu yang tumbuh di dalam perutku, bermimpi bisa menggenggam tanganmu saat aku kesakitan ketika melahirkan anak pertama kita kedunia lalu berpelukan penuh airmata haru ketika mendengar tangisan pertama anak kita, bermimpi selalu berjalinan tangan denganmu dalam susah dan senang, dan saling berjanji akan membesarkan anak-anak yang kita miliki dengan penuh cinta dan tanggung jawab sebagai orangtua. bermimpi bisa menua bersamamu dan jika aku beruntung, bisa menghembuskan nafas terahkirku di pelukanmu. 

Itu mimpiku. Tapi aku sudah sampai pada suatu tahap menyadari bahwa manusia tidak selalu bisa mendapatkan apa yang diimpikannya. Dulu aku pernah berharap bahwa akulah puteri dalam cerita dongeng yang berahkir indah itu,ternyata memang bukan aku. AKu sudah terima.

Lagipula aku juga mengerti bahwa bukan hanya aku yang kesakitan di sini. Kau juga sakit, kau juga pedih menahan rasamu, aku mengerti rasanya mas. Seandainya bisa kurenggut pedihmu itu dan kubebankan ke pundakku untuk kutanggung sendiri. Tapi aku tak mampu. Kau pedih, aku pedih. Kita sama-sama pedih. Kepedihan yang dibalut kebahagiaan karena saling mencintai.

Karena itu izinkanlah aku pergi sambil membawa kenangan tentangmu. Aku sudah menyerah berharap padamu. Harapan itu dulu pernah ada, pernah bertumbuh dan kupelihara dalam diam. Tetapi insiden di suatu malam itu membuatku menyadari sesuatu, bahwa mungkin kau tidak merasakan hal yang sama padaku, bahwa mungkin aku sedang berharap sendirian dan kau tidak. bahwa aku tidak mungkin punya harapan mendapat tempat dalam kehidupanmu saat ini, atau bahkan nanti.

Aku lalu mematikan harapanku pelan-pelan. Tetap mencintaimu dan bersedia mencurahkan cintaku selagi bisa, tetapi tak pernah lagi berharap. Semua impianku untuk memilikimu sudah kupadamkan meskipun siraman airnya bagaikan air garam yang membasahi luka hatiku yang makin bernanah ini.

Maafkan aku memutuskan semua hubungan yang ada di antara kita dengan tiba-tiba ini. Aku hanya ingin semuanya mudah untukmu. Kau tidak akan pernah bertemu denganku lagi, entah di dunia nyata, entah di dunia maya.

Aku akan menghilang dari hidupmu. Akan kuhapus diriku sendiri bahkan yang tersisa sekecil-kecilnya dari seluruh kehidupanmu. Buanglah aku dari sana, anggap saja aku sedikit makna yang pernah diberikan Tuhan pada hidupmu. Terimakasih atas setiap detik, setiap helaan nafas, setiap waktu yang kau bagi bersamaku. Bahagialah dengan isterimu, dengan anak-anak kalian nanti. Bahagialah terus, selamanya. sampai nanti

Dalam setiap helaan nafasku akan kuhembuskan doa sepenuh hati, semoga kau bahagia mas Irwan, semoga... dan selalu.

Mencintaimu Selalu,
Amara

=============================================================
Irwan mengusap bening yang mengalir di sudut matanya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru, rasa cinta yang sekaligus digurati oleh keperihan menyengat. Dengan lunglai dia berdiri, masih mendekap buku catatan itu di dadanya. lalu melangkah bangkit dari pinggiran ranjang. Ditatapnya tas-nya yang penuh dengan pakaiannya, lalu dengan haru dimasukkannya buku catatan dari Amara itu kesana.

Sekali lagi Irwan berdiri terpaku menatap setiap detail yang ada di ruangan itu. Semua kenangan itu berputar-putar di kepalanya. Kenangan indah bersama sang pemilik hatinya di ruangan kecil itu, tempat mereka melewatkan waktu berdua dalam bahagia. Dengan pilu Irwan memejamkan mata.

"Aku mencintaimu Amara, dengan caraku sendiri, kuharap kau mengerti",

dalam benaknya terbayang senyum penuh pengertian Amara untuknya, dan hatinya dibanjiri oleh perasaan hangat yang luar biasa. Dibukanya matanya, sekali lagi dia menarik nafas panjang, lalu dengan enggan dia melangkah meraih handle pintu,

"Selamat tinggal Amara, selamat tinggal pemilik hatiku"

Irwan membuka pintu kamar itu dan melangkah keluar, menutup pintu dibelakangnya dan melangkah gontai menuju mobilnya yang diparkir di pelataran. Sekejap kemudian hp-nya bergetar, dan otomatis Irwan meraihnya, dibacanya pesan singkat yang tertulis di sana.

-Ayah, Nanti malam pulang telat lagi nggak? kalau enggak Bunda boleh minta dijemput jam lima?-

Dari isterinya.

Irwan mendesah, lalu membalas pesan singkat itu.

-Enggak Bunda. Ayah sudah tidak akan lembur lagi. Ayah akan selalu pulang cepat mulai saat ini. Nanti Ayah jemput ya jam lima.-

Di kliknya tombol Send, dan memasukkan hp itu ke kantongnya.

*******


Senja nan muram di temaramnya hari, ketika mobil putih itu berjalan pergi, menghilang di tikungan jalan. Sebuah mata mengamati dari tempat tersembunyi, mata perempuan yang penuh air mata tapi berjuang tegar demi kekasihnya, menikmati saat-saat terahkir dia bisa melihat pria yang paling dicintainya itu.

"Bahagialah mas, bahagialah.... ", demikianlah sebuah harapan singkat terjalin dalam doa Amara yang sepenuh hati.


Selesai

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 12, 2012 20:47

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.