Santhy Agatha's Blog, page 18

January 4, 2013

Perjanjian Hati Part 7

 Created On Bandung 25th,December 2012 Part 7 Senja bergayut berganti malamBegitupun rasa hatiku kepadamuKau yang selalu ada, kau yang terbiasa ada, Tiba-tiba kusadari,Aku takut kalau kau jadi tak adaAku takut kehilanganmu Wahai kau, sosok yang perasaanku kepadamutak terdeskripsikan oleh hatiku....    Nessa tertegun. Menyadari kebenaran kata-kata Kevin. Benar juga. Dari awal alasan utama mereka menikah adalah demi menjaga perasaan mama Kevin, sekarang sang mama sudah tiada, tidak ada lagi alasan yang membuat mereka harus menikah. Tapi Nessa teringat kepada Delina yang mempercayakan Kevin kepadanya, kepada Ervan yang akhirnya mempercayai kalau Nessa dan Kevin saling mencintai, dan kepada ibunya yang begitu berbahagia karena Nessa akhirnya bisa menyembuhkan luka hatinya dan bertemu dengan jodohnya. Bagaimana perasaan mereka semua kalau menyadari bahwa Nessa dan Kevin telah membohongi mereka? Kevin berdehem pelan, menggugah Nessa dari lamunannya, "Tetapi tentu saja kita tidak bisa gegabah mengakhiri pernikahan ini....", Kevin menatap Nessa dalam-dalam, "Selain karena pernikahan ini baru sebentar, kita juga harus bisa memberikan alasan yang tepat kepada keluarga kita kenapa kita berpisah... jadi sementara ini, mungkin kita harus bertoleransi dan melanjutkan sandiwara pernikahan ini, kau tidak keberatan kan Nessa?" Nessa tercenung, sebenarnya melanjutkan sandiwara pernikahan ini terasa sangat memberatkan, tetapi membayangkan bercerai diusia pernikahan yang masih sangat muda, belum lagi menjelaskan kepada semuanya terasa begitu berat. Nessa juga yakin bahwa berpura-pura melanjutkan pernikahan ini adalah yang terbaik, "Ya... mungkin kita bisa menjalani seperti ini dulu sampai kita bisa menemukan alasan dan waktu yang tepat untuk berpisah." Kevin menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum miring, "Lagipula kita sepertinya nyaman menjalani pernikahan ini." senyumnya berubah menggoda, "Aku takut tiba-tiba kita sudah menjalani bertahun-tahun dan tetap belum menemukan alasan untuk berpisah., hmmm bagaimana kalau kita jalani pernikahan yang sesungguhnya saja?" Nessa membelalakkan mata dan menatap Kevin dengan marah, "Hentikan candaanmu itu." "Aku tidak bercanda." senyum Kevin berubah sensual, "Kupikir aku cukup bisa menerima memiliki isteri sepertimu, dalam hal sebenarnya." Wajah Nessa menjadi merah padam ketika berhasil mencerna kata-kata Kevin, lelaki ini benar-benar kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Kalau memang Nessa memiliki impian tentang seorang suami, pasti dia bukan tipe lelaki seperti Kevin! ***"Gaun baru untukmu sudah datang." Kevin yang sedang membaca buku di atas ranjang mengedikkan bahunya ke arah gaun hijau keemasan yang digantungkan di lemari, "Cobalah." Nessa yang baru memasuki kamar mengernyit bingung. Gaun baru? untuk apa? Hari ini sudah hampir tiga minggu setelah kematian mama Kevin. Semula semua terasa berat bagi mereka di rumah ini. Delina masih sering menangis terisak-isak sendirian, untunglah Ervan sering mengunjunginya dan menguatkannya, hingga bisa membuatnya mulai bisa tersenyum dan tertawa sedikit.  Sementara Kevin... Kevin masih tetap sama, selain kerapuhannya yang ditunjukkan kepada Nessa malam itu, Kevin luar biasa dingin dan kaku. masih mengenakan topeng yang sama, topeng datar dan tanpa emosi miliknya. "Kau lupa?" Kevin terkekeh, "Besok kan hari pernikahan mantan pacarmu." Marcell? besok hari pernikahan Marcell? Tiba-tiba dada Nessa terasa nyeri, dia memang sudah hampir bisa melupakan Marcell, melupakan rasa sakitnya akibat ditinggalkan Marcell dan melupakan perasaan cintanya yang dulu tumbuh begitu subur kepada Marcell, tetapi entah kenapa, kesadaran bahwa Marcell mengikat dirinya kepada perempuan lain, dan pengetahuan bahwa Marcell tidak bahagia membuat dadanya terasa sesak. Kevin menatap Nessa dan mengernyit, "Kau sudah tidak lagi mencintai bajingan pengecut itu kan?" tanyanya menyelidik, "Atau jangan-jangan kau masih cinta?" Nessa menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Tidak... aku sudah tidak..." "Kalau kau masih cinta berarti kau perempuan bodoh." "Aku sudah tidak cinta lagi, tapi kau harusnya mengerti perasaanku, bertahun lamanya aku hidup dengan kesadaran bahwa aku mencintainya, harusnya kau mengerti bagaimana rasanya ketika menyadari perasaan sesak ketika mantan kekasih akan menikah." "Tidak, aku tidak mengerti." Jawab Kevin tegas, "Begitu aku dikhianati oleh kekasihku, maka dia sama saja sudah mati. Begitupun perasaanku kepadanya, mati. Jadi aku tidak merasakan apapun." Lelaki itu menutup buku yang dibacanya, dan mengatur posisi tidurnya, "Selamat tidur." Nessa termenung di sisi ranjang yang berlawanan dan menatap punggung kaku Kevin yang membelakanginya. Dia hampir lupa, lelaki ini juga memendam kesakitan yang pedih karena pengkhianatan. Dan hal itu membuatnya menjadi keras. Tetapi Nessa sendiri saksinya bahwa Kevin masih menyimpan kerapuhan yang disembunyikannya, jauh di dalam hatinya. *** Nessa menyadari gerakan di sampingnya meskipun dia masih setengah terlelap, sepertinya masih dini hari karena kamar itu masih temaram dan terasa begitu dingin, tetapi kemudian lengan hangat dan kuat itu merengkuhnya, memelukknya erat-erat. Lengan itu terasa asing sekaligus akrab, dan membuat Nessa nyaman, dalam tidurnya dia mendesak dan menempel pada tubuh hangat itu, menikmati eratnya dekapan yang merengkuhnya, membuainya kembali ke alam mimpi. "Nessa."  Itu suara Kevin, tetapi entah kenapa terdengar lebih serak. Apakah Nessa sedang bermimpi? Dengan meyakini bahwa dia sedang ada di dalam mimpi, Nessa bergelung makin merapat ke tubuh hangat itu. Mendesakkan tubuh lembutnya ke tubuh keras itu. "Nessa, jangan sayang." suara Kevin kali ini terdengar tersiksa, tubuhnya terasa kaku dan tegang di tubuh Nessa yang menempel kepadanya. Suara Kevin yang terakhir itu membuat sepercik kesadaran Nessa kembali, dia membuka matanya, .... ada apa? Lalu Nessa memekik ketika menyadari posisi tubuhnya, dalam usahanya mencari kehangatan, dia sudah menempel lengket seperti koala yang melingkari pohonnya kepada Kevin. Pahanya melingkari tungkai dan pinggul Kevin tanpa malu-malu, lengannya memeluk dada dan pungguh Kevin, sementara kepalanya bersandar tanpa permisi di dada lelaki itu. Dalam detik yang sama Nessa langsung melepaskan pelukannya dan setengah melompat, menjauh menuju seberang ranjang yang paling ujung. Kevin menghela napas panjang, seolah dilepaskan dari ketegangan yang menyiksanya. lalu menatap Nessa dengan marah, "Kalau kau tidak mau aku terangsang dan berbuat yang tidak senonoh, jangan menempel-nempel padaku di atas ranjang!", geramnya parau, lalu menarik selimut sampai dada dan membalikkan badan memunggungi Nessa yang berbaring dengan muka panas dan merah padam. ***  Untunglah pagi hari ketika Nessa terbangun, Kevin sudah tidak ada di ranjangnya, kalau tidak Nessa tidak akan tahu bagaimana dia bisa menghadapi Kevin. Wajahnya terasa panas ketika mengingat kejadian semalam. Astaga, bagaimana bisa dia menempel begitu erat kepada Kevin? malam-malam sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Apakah memang karena hawa dingin, ataukah karena dorongan untuk mencari kenyamanan yang sepertinya disediakan oleh tubuh Kevin? Nessa mendengus, Kenyamanan yang disediakan oleh tubuh Kevin? Apakah dia buta? yang bisa disediakan oleh Kevin adalah rasa tidak nyaman, dan masalah. Dia harus ingat itu baik-baik setiap malam sebelum mereka tidur agar kejadian memalukan semalam tidak terulang lagi. Setelah selesai mandi, Nessa melangkah menuju lemari dan melihat gaun itu, gaun hijau keemasan yang dibelikan oleh Kevin..... dia mengernyit lagi, gaun untuk datang ke pernikahan Marcell. Pernikahan Marcell. Apa kabarnya lelaki itu? lelaki yang pernah dicintainya? Sejak kejadian ancaman bunuh diri Marcell di jembatan waktu itu, Marcell tidak pernah menghubunginya lagi, mungkin karena ancaman dari Kevin waktu itu, mungkin pula akhirnya Marcell menyadari bahwa antara dirinya dan Nessa sudah tidak ada harapan lagi.  Semoga pernikahan ini membuat Marcell bahagia, akhirnya Nessa bisa mengucapkan doa itu dengan tulus, dan membuat hatinya terasa lega. Ternyata ketika hatinya bisa melepaskan dan memaafkan, bisa membuat perasaannya terasa ringan.  Dielusnya gaun sutera itu dengan kagum, menyadari keindahan setiap serat gaun itu, Ini pasti mahal. Nessa berkerut, dan ini dibelikan oleh Kevin... "Kenapa kau belum memakai gaunmu? kita berangkat satu jam lagi."  Kevin tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat Nessa terkesiap kaget dan hampir menjatuhkan gaun itu dari tangannya. Lelaki itu berdiri di depan pintu, sudah mengenakan kemeja hijau senada dengan gaun Nessa, dan celana resmi, tetapi belum mengenakan jasnya. "Satu jam lagi?" , Nessa melirik jam emas antik di atas meja di samping ranjang, tanpa sadar semburat merah muncul di pipinya melihat Kevin. Ingatannya melayang tanpa ampun ke kejadian semalam. Kevin mengangkat alisnya, menyadari semburat merah di pipi Nessa, lalu tersenyum menggoda, "Ya, satu jam lagi kita berangkat, bersiaplah." Suaranya merendah, "Lain kali kalau kau ingin membelitku seperti ular di atas ranjang, peringatkan aku dulu."  Dan lelaki itu lalu melangkah pergi meninggalkan Nessa berdiri di sana dengan wajah merah padam dan perasaan campur aduk antara malu dan marah. ***  Ketika Nessa menuruni tangga, Ervan ternyata baru saja datang di rumah itu, bersama Delina. Ervan memang Mata Delina langsung berbinar-binar ketika melihat Nessa, "Wow, kak Nessa, kakak cantik sekali!", dia berdiri dan menatap Nessa dengan bersemangat, "Kakak tidak pernah berdandan sih ya, jadi sekalinya berdandan membuat orang terkagum-kagum." pujinya lagi, membuat pipi Nessa memerah. Delina mengernyitkan alisnya ke arah ruang kerja Kevin, "Dimana kak Kevin ini, tadi katanya mau buru-buru berangkat biar bisa cepat pulang lagi, sekarang malah menenggelamkan diri di ruang kerjanya." Delina mengedipkan matanya kepada Nessa, "Tunggu sebentar kak Nessa, akan aku seret kak Kevin dari sana." lalu melangkah memasuki ruang kerja Kevin. Ervan ikut-ikutan berdiri dan tersenyum mengagumi kepada Nessa,  "Kau cantik sekali kak." Nessa meringis geli, "Jangan kau juga ikut-ikutan memujiku, aku jadi malu." Ervan terkekeh, "Tapi kau memang betul-betul cantik, dan gaun itu sangat cocok untukmu, kata Delina, kak Kevin khusus memesankannya untukmu." Ervan tersenyum lembut, "Mulanya aku cukup cemas dengan pernikahan kalian. Tetapi makin hari aku makin yakin, kau bahagia kak. itu yang terpenting." Nessa memalingkan kepala, tidak mampu menatap Ervan, takut kebohongannya akan tercermin di matanya. Adiknya ini begitu mempercayainya, dan dia membohonginya. Semoga ketika semuanya terkuak nanti, Ervan bisa memahami dan tak marah kepadanya. Pada saat itu pintu ruang kerja Kevin terbuka, dan lelaki itu keluar diikuti Delina. Sejenak Kevin tertegun mengamati Nessa, lalu tersenyum. "Gaun itu cocok buatmu." gumamnya tenang. Diiringi dengan Delina dan Ervan yang saling melemparkan pandangan penuh arti, membuat pipi Nessa memerah. ***  Seperti yang diduga, ini adalah pesta pernikahan yang mewah. Jantung Nessa terasa berdegup kencang ketika melangkah memasuki gedung ini. Dekorasinya sangat indah, dan kemudian perasaan itu menyergapnya lagi, perasaan yang menyadarkannya bahwa dia sedang menghadiri pesta pernikahan Marcell. Marcell. Lelaki itu berdiri di sana, dengan Susan di sebelahnya. Keduanya tampak megah dalam balutan busana bernuansa emas. Lalu keluarga Marcell, ibunya, sepupu-sepupunya, tantenya dan semuanya yang dulu sempat mengenal Nessa melihatnya, kemudian berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh spekulasi. Jantung Nessa berdenyut lagi, lebih kencang. Mampukah dia naik ke sana dan menyalami Marcell dengan tegar, dibawah tatapan mata tajam seluruh keluarga Marcell ? Kevin seolah-olah menyadari perasaan Nessa yang campur aduk, dia mengencangkan genggamannya di jemari Nessa, dan berbisik lembut, "Kau datang kesini bersamaku, aku suamimu. Dan aku adalah laki-laki yang seratus kali lebih baik dari mantan pacarmu yang sedang bersanding di pelaminan itu. Jadi tegakkan dagumu, Tunjukkan kebanggaanmu. Kau tidak rugi ditinggalkan olehnya, dia yang rugi karena kehilanganmu. Tunjukkan betapa berharganya dirimu kepada Marcell dan keluarganya.Tunjukkan betapa berharganya dirimu, karena kau adalah isteriku." Bisikan Kevin itu, meskipun begitu penuh kesombongan dan arogansi, mampu menghilangkan kegugupannya. Kevin benar, dia tidak seharusnya takut ataupun gugup atas pandangan menilai ibu dan keluarga Marcell. Dia datang ke sini bersama Kevin, suaminya. Dan Kevin mendukung sepenuhnya Nessa untuk memamerkan kebanggaan dirinya, karena ternyata mampu berujung lebih baik dari Marcell. Kevin tersenyum melihat perubahan ekspresi Nessa,  "Bagus, Ayo isteriku, kita salami mantan kekasihmu yang tidak beruntung itu." Lelaki itu menghela Nessa dengan lembut menaiki panggung tempat Marcell dan Susan berdiri. Kevin yang melangkah duluan dan menyalami Marcell dengan senyum mengejeknya yang menjengkelkan, "Selamat." gumamnya dengan suara tegas, lalu menghela Nessa mendekat, "Kemari sayang, kita harus memberi selamat kepada pasangan ini." suaranya berubah mesra. Nessa mendekat, dan menyalami Marcell. dia merasakan genggaman yang berbeda, dan Marcell menatapnya dengan tatapan tersiksa. Tapi Nessa menguatkan diri. Ini jalan yang dipilih Marcell dan Nessa sudah memilih jalan yang berbeda jauh. "Selamat Marcell. Selamat Susan." suaranya terdengar tegas, dan kuat, dan tulus. Menyalami Marcell yang terlihat sedih dan Susan yang tersenyum kaku.  Kemudian mereka berhadapan dengan mama Marcell. Dan seketika ingatan itu berkelebat di benak Nessa, ingatan ketika Marcell memperkenalkannya ke mamanya. Nessa yang lugu waktu itu mengulurkan tangannya. Dan mama Marcell hanya menatap jemarinya dengan angkuh, lalu memalingkan mukanya dengan mencemooh, tak mau membalas salamannya dan membuat Nessa harus menarik tangannya mundur pelan-pelan dengan penuh rasa malu. Kali ini, mama Marcell menatap Kevin dan Nessa dengan gugup. "Nessa tidak kusangka bertemu lagi denganmu di sini." suara mama Marcell bernada ramah yang dibuat-buat. Lalu tanpa di sangka perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya, "Dan sekarang kau adalah isteri tuan Kevin, kami sekeluarga belum mengucapkan selamat, selamat ya." Godaan untuk menolak uluran tangan itu dan membalaskan kesakitannya di masa lalu sangatlah besar, tetapi Nessa sadar, dia akan tampak kekanak-kanakan kalau melakukannya, lagipula situasi ini sudah merupakan pembalasan tidak langsung untuk Marcell dan ibunya.  Disambutnya uluran tangan itu lembut, "Terimakasih." gumamnya pelan dalam senyum. Kevin menatap kepadanya, memahaminya dalam senyum pengertian. Lalu setelah basa-basi sejenak yang kaku, Kevin berpamitan dan mengajak Nessa keluar dari gedung dan acara penikahan yang menyesakkan napas itu,  Mereka berjalan bergandengan, melangkah menuju mobil Kevin, lelaki itu masih menggandeng tangannya erat. "Senang?" tanyanya dalam senyum memahami. Nessa terdiam sejenak, berusaha menelaah perasaannya, kemudian menemukan rasa ringan yang membuatnya tenang. Ternyata yang diperlukannya hanyalah menghadapi masa lalunya dengan berani, lalu melepaskan semua beban itu. Perasaan sedih yang menggelayutinya selama ini itu sudah tiada, dan rasanya menyenangkan. Dia mendongak, menatap Kevin dan tersenyum, "Senang." senyumnya bertambah lebar, "Terimakasih Kevin." Lelaki itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya, "Sama-sama Nessa, sama-sama." ***  "Selamat ulang tahun." Nessa mengerjapkan matanya, dan menemukan Kevin masih terbaring di ranjang, bertumpu pada sikunya dan miring menghadap Nessa. Lelaki itu tampak luar biasa tampan bahkan ketika bangun tidur. Seakan-akan rambut kusut dan penampilan acak-acakannya malah menambah pesonanya bukannya mengurangi. Jauh berbeda dengan Nessa, dia sama sekali tidak yakin penampilan bangun tidurnya bisa mempesona.  Tetapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh kepada Kevin rupanya, lelaki itu tetap tersenyum dan menatapnya dengan pandangan berbinar-binar, "Selamat ulang tahun." lelaki itu mengulang, seakan tidak yakin ucapannya yang pertama tadi bisa dicerna oleh Nessa. Nessa mengerjapkan matanya sekali lagi, menghitung tanggal dalam benaknya, dan menyadari bahwa sekarang memang hari ulang tahunnya. "Terimakasih." gumamnya tersenyum. Kevin terkekeh lalu bangkit dari ranjang, "Delina memberitahuku kemarin, dia merencanakan sebuah pesta kecil-kecilan untukmu, hanya kita dan keluarga, liburan di tepi pantai." Hari ini memang hari sabtu, tetapi biasanya di hari sabtupun Kevin pergi bekerja.  "Apakah kau libur?", tanya Nessa ragu, Kevin mengangkat bahu, "Pekerjaan bisa menunggu, lagipula Delina akan membunuhku kalau aku tidak bisa ikut. Kau tahu dia kemarin  bersemangat melanjutkan yang dilakukan mama, yaitu mempersiapan acara resepsi pernikahan kita, dan setelah bujukan yang luar bisa akhirnya dia mau mengerti bahwa kita memilih tidak mengadakan resepsi apapun untuk menghormati mama yang telah tiada, setidaknya menyiapkan acara liburan ulang tahunmu ini bisa menghiburnya." Nessa tersenyum dan mengangguk, Delina benar-benar perempuan yang tegar. Dia menghadapi kesedihannya dengan menjadi kuat dan bersemangat. Dan Nessa sangat bersyukur kalau memang Ervan berjodoh dengan Delina, dia akan menjadi isteri yang hebat untuk Ervan. Lalu pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Nessa, "Kevin..." suara Nessa yang serius menarik perhatian Kevin, " Tentang pernikahan kita ini.... bagaimana ke depannya? apakah kau sudah memikirkannya?" Kevin tercenung lalu mengangkat bahu, "Terus terang aku tidak memikirkannya. Aku hanya menjalaninya, kau juga seperti itu kan? lagipula aku sedang tidak jatuh cinta dengan siapapun, dan kau juga tidak jatuh cinta kepada siapapun. Jadi kupikir kita bisa menjalankan pernikahan ini dengan biasa dulu." "Kalau nanti kita jatuh cinta kepada orang lain?" Nessa tidak bisa menahan diri untuk bertanya, Kevin menghela napas, "Maka kita tidak boleh saling menghalangi." gumamnya parau. ***  Mereka berjalan meninggalkan makam mama Kevin dalam keheningan. Sebelum berangkat liburan ke pantai untuk merayakan ulang tahun Nessa, mereka berkunjung ke makam untuk berdoa dan meletakkan bunga. "Kevin!", suara itu memanggil dengan lembut dari sebuah sudut, dan membuat mereka semua menoleh.  Delina yang pertama kali menghela napas, dia berdiri di sebelah Nessa dan menepuk dahinya, "Gawat." desahnya pelan. Nessa menoleh dan menatap Delina, "Ada apa?" "Itu Paula, mantan kekasih kak Kevin seorang model profesional... yah tidak bisa dibilang kekasih, dia selalu putus sambung dengan kak Kevin .... dan dia.. sangat terobsesi dengan kak Kevin, pada saat pernikahan kalian dia sedang ada di luar negeri jadi tidak tahu, mungkin dia baru pulang dan mendengar kak Kevin menikah, jd dia menyusul ke sini." Delina berbisik pelan kepada Nessa, "Hati-hati kak Nessa, dia tajam seperti racun." Nessa tiba-tiba merinding ngeri. Selama menjadi isteri Kevin, dia tahu banyak perempuan yang iri dan membencinya. Tatapan-tatapan permusuhan kadang diterimanya ketika Kevin bersikap mesra kepadanya di depan umum. Tetapi belum pernah dia menghadapi kecemburuan secara frontal. Apalagi kecemburuan dari seorang mantan kekasih. Paula berdiri di depan Kevin dan Nessa, perempuan itu tinggi dan cantik, sesuai dengan profesinya sebagai seorang model. Rambutnya panjang dan cokelat, dikuncir kelimis ke belakang dan membentuk ekor kuda yang indah di belakangnya. Pakaiannya begitu modis dan membungkus tubuhnya dengan seksi. Nessa tiba-tiba memandang dirinya dengan gelisah ketika membandingkan dirinya dengan perempuan modis di depannya itu. Astaga, kalau begini selera Kevin sebelumnya, pantas saja dia sama sekali tidak kesulitan menahan diri ketika tidur seranjang dengan Nessa. Mantan kekasihnya ini begitu sensual, dan Nessa hanya seperti anak kecil kalau dibandingkan dengannya. "Hai Kevin, aku mendengar kabar mengejutkan kemarin ketika mendarat pulang, kau menikah." Kevin tampak tersenyum datar, "Kabar itu betul, kenalkan ini isteriku, Nessa." Paula mengulurkan tangannya dan Nessa membalasnya. Senyum Paula tampak sinis dan perempuan itu memandangnya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan mengejek, "Aku Paula." gumamnya tak kalah mengejek, lalu seolah tak mempedulikan Nessa, perempuan itu menoleh kembali pada Kevin dengan merayu, "Aku merindukanmu Kevin, kapan kita bisa bertemu lagi dan melepaskan rindu? mungkin nanti malam kita bisa memesan makan malam privat di tempat biasa?" Nessa ternganga, kaget sekaligus marah. Perempuan ini benar-benar tidak peduli bahwa Kevin sudah menikah dengan Nessa! bahkan dia terang-terangan meremehkan keberadaan Nessa sebagai isteri Kevin dengan sengaja mengeluarkan rayuan sensual kepada Kevin, padahal Nessa sedang berdiri di sebelahnya. "Maaf." Nessa bergumam sebelum Kevin sempat berkata-kata, "Suamiku tidak punya waktu untukmu malam ini atau kapanpun, kami akan menghabiskan malam di pantai untuk merayakan ulang tahunku." gumam Nessa geram, lebih karena dipenuhi rasa terhina dan bukan cemburu. Paula menatap Nessa jengkel karena berani menjawab pertanyaannya yang ditujukan untuk Kevin, tetapi dia lalu melemparkan pandangan sensual kepada Kevin menunjukkan kalau dia meremehkan jawaban dari Nessa, "Kalau begitu lain kali sayang. Aku yakin kau nanti ada waktu untukku, seperti biasanya." bisiknya penuh arti Kevin yang dari tadi tampak geli dengan situasi ini mengangkat bahunya acuh tak acuh, "Kau dengar sendiri isteriku tadi Paula. Isteriku memastikan bahwa aku tidak punya waktu untuk kegiatan bersama orang lain." Lelaki itu melirik menggoda kepada Nessa, membuat wajah Nessa memerah. Paula mengamati Kevin dan Nessa bergantian, menilai situasi. Lalu tersenyum sinis. "Oke, aku tidak akan menyerah, Lain kali aku akan mencoba lagi." dengan anggun perempuan itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Bersambung ke Part 8 Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.htmlBaca Part 6 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-6.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2013 21:47

January 3, 2013

Perjanjian Hati Part 6

   Bandung, December 24th 2012 Part 6Aku pernah mencintaimu sampai terasa sakit luar biasa. Sampai di titik sakitnya sudah tidak terasa lagiYang Tersisa cuma cinta, yang terasa cuma cinta....Meski akhirnya yang aku dapat hanyalah pengkhianatan...     Kevin mengemudikan kendaraannya dengan kencang, mengumpat-umpat jika terkena kemacetan dan lampu merah, tetapi selain itu perjalanan lancar. Sambil mengemudi Kevin melirik ke arah Nessa, yang meremas-remas tangannya dengan cemas sambil memandang ke depan. "Apakah Marcell serius dengan kata-katanya?" Nessa menoleh menatap Kevin yang sudah mengalihkan pandangannya lagi ke jalan, "Dia... dia terdengar gila dan putus asa." Kevin menghela napas pendek, "Pasti gara-gara pernikahan kita ya?", lelaki itu mendengus kesal, "Dasar laki-laki tidak punya otak." "Jangan mengata-ngatai orang."  Kevin menatap Nessa marah, "Aku tidak salah bukan? dia memang tidak punya otak, tidak punya hati dan pengecut luar biasa. Dulu ketika ada kesempatan dia tidak memperjuangkanmu, sekarang ketika jelas-jelas dia kalah yang dilakukannya hanya merajuk dan mengancam bunuh diri, benar-benar lelaki tak punya otak!", Kevin mengencangkan laju mobilnya,  Nessa terdiam, tidak bisa membantah kata-kata Kevin karena semuanya mengandung kebenaran. Marcell dulu tidak berbuat apa-apa untuk memperjuangkannya. Lelaki itu hanya diam dan mencampakkannya dalam kehancuran. Sekarang, ketika baginya Nessa sudah termiliki oleh lelaki lain, Marcell menggila. Kenapa Marcell melakukan ini semua? benarkah ini didasari cinta Marcell yang masih tersimpan untuknya? atau ini hanyalah estimasi cemburu buta yang merenggut kewarasan lelaki itu? ***Taman kota tampak lengang, begitu Kevin memarkir mobilnya di sana, Nessa langsung keluar diikuti oleh Kevin.  "Ke arah mana?" Tanya Kevin sambil mensejajari langkah Nessa. Nessa memandang ragu, sudah dua tahun berlalu sejak dia terakhir kali kemari. Terakhir kali dia kesini adalah di tengah hujan, saat Marcell mencampakkannya dua tahun lalu. Setelah itu jangankan kemari, memikirkannyapun Nessa tidak berani. Saat ini taman kota sudah berubah hingga Nessa hampir tak mengenalinya. Di mana tempat dia dan Marcell sering menghabiskan waktu dulu...? "Nessa?" Kevin menggeram, tak sabar. Nessa menelan ludah dan mengambil keputusan. "Ke arah sana." gumamnya sambil tergesa ke arah kanan, dengan Kevin mengikutinya. ***  Marcell ada di sana, masih berpegang pada pagar kayu di jembatan itu. Jembatan setinggi lima meter di udara, yang menghubungkan jurang dalam dengan aliran sungai berbatu di bawahnya. Salah satu keunggulan taman kota ini adalah pemandangan di atas jembatan ini. Dengan gemericik sungai dan air terjun buatan yang cukup mempesona, bagaikan harta karun alam tersembunyi ditengah hiruk pikuk polusi dan kesibukan kota. Tetapi sekarang Nessa tidak sempat mengagumi pemandangan indah itu, matanya terpaku pada Marcell dan tampak cemas. "Marcell." serunya dalam bisikan tertahan, takut kalau suaranya terlalu keras akan mengagetkan lelaki itu dan membuatnya terlompat. Marcell yang semula menatap kosong ke bawah, menoleh perlahan dan menemukan Nessa dan Kevin di ujung jembatan. Matanya membara penuh tekad, "Jangan mendekat!" serunya keras, "Atau aku akan lompat." Nessa berseru frustrasi, bingung harus berbuat apa. Taman kota ini nampak sepi, disiang yang lengang ini. Syukurlah, kalau tidak pasti sudah ada keramaian menghebohkan di sini. "Lompat saja kalau berani, aku pikir itu akan membuat Nessa puas." Kevin bergumam tenang tetapi cukup keras untuk di dengar Marcell Seketika Nessa dan Marcell menatap Kevin dengan keget, "Kevin..." Nessa mendesis mencoba memperingatkan lelaki itu agar tidak memperkeruh suasana, tetapi Kevin hanya mengedikkan bahunya tak peduli, lelaki itu menatap Marcell yang tengah menatapnya dengan senyum mengejek. "Lompat saja Marcell, aku menunggu di sini, untuk melihat sampai dimana keberanianmu." dengan sinis Kevin tersenyum, "Kau pikir kau lompat atau tidak akan berpengaruh pada Nessa? kau terlalu percaya diri. Nessa kemari mencegahmu karena dorongan hatinya yang terlalu baik,  tapi kenyataannya kau sudah tidak ada lagi di kehidupannya. Kau mau mati atau hidup, tidak ada untung ataupun ruginya bagi dia.... aku pribadi merasa terganggu dengan tingkahmu yang kekanak-kanakkan dan merepotkan ini, jadi cepat lompat saja dan mati sekalian, biar semua kerepotan ini usai." Marcell menatap Kevin marah, napasnya terengah-engah, penuh ketersinggungan, "Kau... kau tidak ada urusannya untuk mengomentari hubunganku dengan Nessa, semua ini antara aku dan Nessa, kau tidak berhak ikut campur!". serunya emosi Kevin mengangkat alisnya, "Tidak berhak ikut campur?" dengan sengaja dia merangkul Nessa supaya merapat padanya, "Nessa isteriku. Dan jika ada lelaki gila yang mengganggu dan mengancam-ancam akan bunuh diri karenanya, maka aku berhak ikut campur." Tatapan Kevin menajam dengan jahat, "Aku menyelidikimu Marcell, aku tahu pasti masa lalumu dengan Nessa, dimana kau mencampakkan gadisku ini dengan kejam. Well.... sebenarnya masa lalu itu urusan kalian berdua, tetapi kalau sampai masa sekarang, kau masih merecoki Nessa, aku akan turun tangan. Dan ketika aku turun tangan, itu berarti kehancuran bagi kau dan keluargamu" Marcell menatap Kevin, menelan ludah dan tampak meragu, rupanya baru menyadari situasinya.  "Jadi silahkan kalau kau mau bunuh diri dan mampus di bawah sana. Tetapi jangan ikut-ikutkan isteriku dalam permasalahanmu. Jangan pernah berani-benarinya lagi kau mengganggu isteriku." Kevin membalikkan badan, dan menyeret Nessa bersamanya, "Ayo Nessa, kita pergi. Yang penting kita sudah mengutarakan maksud kita. biarkan bajingan itu mengambil keputusannya sendiri." Dengan sedikit memaksa Kevin menyeret Nessa agar mengikuti langkahnya. Nessa mencoba memberontak dan melepaskan pegangan Kevin, tetapi lelaki itu mencengkeramnya dengan begitu kiat sampai terasa sakit, sampai akhirnya Nessa menyerah dan mengikuti langkah Kevin, Sempat dia menoleh ke belakang dan melihat Marcell masih termenung di jembatan. Ah. Ya Tuhan... semoga Marcell tidak melompat. Desahnya dalam hati sambil memejamkan mata. ***  Kevin membukakan pintu untuk Nessa lalu membanting pintu itu setelah Nessa masuk dan dengan sigap melangkah ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya, membawa Nessa meninggalkan taman kota itu. "Kupikir kau mengembut mengantarku ke taman kota tadi untuk membantuku mencegah Marcell melompat." desis Nessa kesal, ketika mereka sudah memasuki jalan raya yang ramai, "Tak kusangka kau malah datang untuk menyuruhnya lompat." Kevin terkekeh dan mengedikkan bahunya ke arah Nessa, "Dia pantas menerimanya." Nessa menelan ludah. "Ba... bagaimana kalau dia benar-benar melompat?" Tawa Kevin makin keras, meremehkan. "Marcell? melompat? aku berani bertaruh dia tidak akan mampu melakukannya, dia terlalu pengecut untuk itu. Yang dia lakukan hanyalah menggertak. Dia hanya ingin kau datang, lalu dia akan mengancam, dia akan membuatmu memohon kepadanya agar tidak melompat, pada akhirnya, kau akan berjanji menuruti semua kemauannya." Kevin mendengus kesal. "Aku tahu persis tipikal lelaki pengecut macam dia Nessa, kau harus berhati-hati." Jeda sejenak, kemudian Kevin bertanya, "Apakah kau masih mencintai dia?" Nessa tertegun. Apakah dia masih mencintai Marcell? Melihat Marcell di jembatan tadi, rapuh, tak berdaya dan putus asa, membuat hati Nessa serasa diremas. Tetapi apakah itu cinta? ataukah itu hanya rasa kasihan? Nessa tidak tahu. dia tidak bisa menjawab. Dan Kevin sepertinya juga tidak mengejar jawaban darinya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya lagi ke jalan dan melajukan kendaraannya pulang. ***  "Mau kemana?"  Nessa hampir saja terlonjak kaget ketika mendengar suara Kevin muncul dari kegelapan lorong. Dia hendak keluar bersama Aya, teman mengajarnya di TK. Mereka berdua seumuran dan sama-sama suka membaca buku, biasanya di hari sabtu sore mereka keluar berdua untuk makan, bersantai dan berburu buku-buku bekas di pasar buku yang sangat sering mereka datangi. Sejak Nessa menikah, mereka tidak melakukannya lagi, tapi tadi Aya menelepon dan mengajaknya, dan karena rumah sedang sepi karena Delina sedang mengajak mamanya kontrol dirumah sakit, Nessa memutuskan untuk pergi bersama Aya. Biasanya Kevin belum pulang jam-jam segini. Lelaki itu selalu pulang larut dari pekerjaannya, jam sembilan atau jam sepuluh malam baru sampai ke rumah, sementara sekarang masih jam lima sore. Nessa menatap Kevin yang tampak lelah. Lelah tetapi tampan, dia masih mengenakan setelan jas dengan dasi sudah dilonggarkan dan rambut yang sedikit acak-acakan. "Eh... aku ada acara dengan temanku." Jawab Nesa segera setelah debar dihatinya mereda melihat ketampanan Kevin. Lelaki itu mengangkat alisnya,  "Acara? Malam minggu? dengan laki-laki?" Nessa merasa tersinggung, sebenarnya lebih mudah kalau dia langsung menjelaskan kalau dia pergi dengan teman perempuannya. Tetapi nada arogan di suara Kevin membuat harga dirinya tergelitik. Lelaki itu tidak berhak mengatur-atur dengan siapa dan kapan dia akan menghabiskan waktunya. "Apa bedanya kalau dengan laki-laki atau perempuan?" "Tidak boleh kalau dengan laki-laki." Suara Kevin datar, tapi mengancam. Hal itu malah membuat Nessa semakin tersulut kemarahannya. "Aku berhak pergi dengan siapapun yang aku mau. Kau memang suamiku, tetapi hanya di atas kertas. Kau tidak punya hak-hak sebagai suami yang semestinya kepadaku, karena pernikahan kita hanya sebatas perjanjian!" "Hati-hati dengan perkataanmu Nessa, jangan mengancamku. Kau akan menyesal kalau aku sampai marah." Memangnya siapa dia sampai aku harus ketakutan kepadanya?? Nessa berseru dalam hati, dilumuri oleh rasa marahnya. Meskipun tidak dapat disangkal, ada sebersit ketakutan yang muncul jauh dalam hatinya mendengarkan ancaman Kevin itu. "Aku tidak peduli kau marah atau tidak. Aku manusia bebas dan kau tidak berhak melarangku!", Nessa menghentakkan kakinya dan berjalan melewati Kevin, tetapi lelaki itu dengan cepat meraih siku Nessa dan mencengkeramnya, "Katakan dulu kau pergi dengan laki-laki atau perempuan." "Bukan urusanmu." "Aku berhak tahu, aku suamimu." "Kau cuma suami sandiwara!", Nessa meronta mencoba melepaskan cengkeraman Kevin di sikunya, tetapi pegangan itu begitu eratnya hingga usaha Nessa sia-sia, "Lepaskan aku!" "Tak akan kulepaskan hingga kau menjelaskan dengan siapa kau pergi dan apa keperluanmu." "Aku pergi dengan teman sekantorku, Aya! dia perempuan! Puas?!",  Nessa menjerit, dipenuhi rasa frustrasi atas sikap kasar dan arogan Kevin. Dalam sedetik, lelaki itu melepaskan pegangannya, membuat Nessa bisa berputar secepat kilat dan melemparkan telapak tangannya ke pipi Kevin, mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di sana. PLAK! Kevin terdiam. Sejenak suasana hening. Antara Nessa yang menunggu penuh antisipasi dan Kevin yang seolah tertegun karena tamparan itu. Lalu pelan lelaki itu melemparkan pandangan menusuknya ke arah Nessa, "Berani-beraninya kau menamparku." desis Kevin geram, membuat Nessa gemetar tetapi bertahan. Dia tidak boleh takut pada lelaki ini, Kevin adalah tipe penindas, sekali Nessa mundur, lelaki itu akan mendesaknya sampai di titik Nessa akan menyerah dan menuruti semua kemauannya. Nessa tidak mau berakhir seperti itu. Kevin harus sadar bahwa dia tidak bisa memperlakukan Nessa sama seperti orang lain. "Karena kau harus disadarkan." seru Nessa berusaha setegas mungkin, "Kau tidak punya hak apapun atas diriku. Pernikahan ini hanya sandiwara, begitu pula dengan hak dan kewajiban yang menyertainya!" Kevin menatap Nessa dengan tatapan membunuh, lalu mensedekapkan tangannya, "Terserah kepadaku mau memperlakukanmu seperti apa. Selama kau masih tercatat sebagai isteriku, kau harus mengikuti aturan-aturanku." "Persetan denganmu!", Nessa membalikkan badan dengan marah dan segera melangkah pergi meninggalkan Kevin berdiri di sana. ***  Sengaja malam itu Nessa pulang larut dan mematikan HPnya. Biar saja Kevin marah besar kepadanya! Diliriknya jam tangannya, sudah jam sepuluh malam. Dengan hati-hati Nessa memasuki pintu rumah itu. Tidak biasanya suasana ruang tamu gelap, dan sepi. Begitupun ruang keluarga. Biasanya sampai malampun, sudah terang benderang. Apakah semua orang sudah tidur? Nessa melangkah memasuki kamarnya dan Kevin, kamar itu kosong, tidak ada tanda-tanda orang di sana. Dengan ragu dia meletakkan tasnya, kemudian meraih hp yang dia matikan. Sambil menghela napas panjang Nessa duduk di ranjang, perasaannya terasa tidak enak, dinyalakannya HP itu. Layar putih itu tampak berkedip-kedip kemudian memunculkan pemberitahuan. bahwa dia telah dihubungi hampir tiga puluh kali nomor Kevin dan mendapat dua puluh pesan sms selama hpnya tidak aktif. Sambil mengernyitkan keningnya Nessa membuka pesan itu, dasar lelaki maniak, gerutunya memikirkan sempat-sempatnya lelaki itu mengganggu acaranya dengan mengirimnya pesan dan memiscallnya berkali-kali.  Tetapi kemudian kernyitannya berubah menjadi panik ketika menyadari bahwa semua pesan Kevin bertuliskan hal yang sama.  [....Ke rumah sakit. Mama sudah kritis.....]  Nessa langsung meraih kembali tas-nya dan berlari menuruni tangga. ***  Langkah-langkah kaki Nessa terdengar jelas di lorong rumah sakit yang sepi itu. Dia sampai di ruang iccu dan menemukan Delina sedang menangis terisak-isak di pelukan Ervan. "Kak, kemana saja." Ervan langsung berseru ketika melihat Nessa, 'Kami semua mencoba menghubungimu, tetapi tidak bisa." "Maafkan aku." permintaan maaf Nessa terucap dari lubuk hatinya. Ah, berapa bodohnya dia! Perbuatan kekanak-kanakannya karena marah kepada Kevin ternyata merepotkan semua orang. "Bagaimana mama?" Ervan mengetatkan pelukannya kepada Delina yang terisak semakin keras dan menggeleng sedih, "Mama sudah meninggal setengah jam yang lalu." Dan detik itu, hati Nessa dipenuhi penyesalan yang mendalam, mencengkeramnya dan mengancam akan menenggelamkannya ke ujung dunia. ***  "Kak Nessa." Delina mendekati Nessa ketika mobil mereka memasuki gerbang rumah, dia kelihatan sedih dan pucat. Tentu saja, siapa yang tidak sedih ketika kehilangan mamanya? "Iya Delina?" Nessa berusaha selembut mungkin, mengingat berapa rapuhnya Delina saat ini. Mereka ada di kursi belakang mobil Ervan yang sedang mengemudi. Sementara Kevin masih di pemakaman, menyelesaikan semua urusan sebelum nanti menyusul pulang. "Kak Kevin,,, aku harap kakak bisa membantunya." Nessa mengernyitkan keningnya, Membantu Kevin? dalam hal apa? Lelaki itu tampak begitu tegar, Bahkan kemarin ketika dia akhirnya melihat Nesaa menyusul kerumah sakit, lelaki itu hanya mengangkat alisnya, dengan wajah datar seperti batu. Dan wajah itu yang terus dipakai Kevin sampai sekarang hingga proses pemakaman usai. Tidak ada air mata, tidak ada emosi dan ekspresi apapun yang menyiratkan kepedihan. Wajahnya keras, seperti batu yang kosong. "Dia memang tampak tegar di luar." Delina bergumam, seperti bisa membaca pikiran Nessa, 'Tetapi dia rapuh kak.... dia selalu begitu ketika terpuruk, selalu membangun benteng kokoh di sekelilingnya supaya tidak ada orang lain yang bisa memasuki dan melihat jiwanya yang rapuh.", Delina meringis, "Mungkin kak Nessa belum tahu, kalau kak Kevin sebenarnya pernah hancur karena pengkhianatan." Nessa menoleh dan menatap Delina penuh ingin tahu, "Pengkhianatan?" Delina menganggukkan kepalanya, "Ya... Dulu kak Kevin punya seorang kekasih, kekasihnya adalah perempuan yang sangat dicintainya. Namanya Rika. . Mereka sudah berpacaran lama dan sangat cocok. Kakak tampak sangat bahagia waktu itu, beda dengan yang sekarang, dia banyak tertawa, jahil, suka bercanda." Delina tersenyum, tampak mengenang. "Lalu kak Kevin memutuskan untuk memperkenalkannya kepada papa kami." Delina mendesah, "Papa kami adalah seorang pebisnis yang sangat pandai dan arogan, meskipun dia papa yang baik bagi keluarganya. Di makan malam perkenalan itu, dengan lantang papa mengajukan penawaran kepada Rika. Jika kak Kevin menikahi Rika, maka kak Kevin akan kehilangan seluruh hak warisnya dan diusir dari rumah papa, Tetapi jika Rika mau meninggalkan kak Kevin, maka dia akan diberikan cek oleh papa senilai seratus juta rupiah...." Delina menghela napas, 'Tentu saja papa hanya menggertak, beliau tidak mungkin mengusir kak Kevin dari rumah, beliau sangat sayang kepada Kevin, penawaran itu sebenarnya hanyalah ujian bagi Rika..." Nessa menatap mata Delina yang sedih, ingin tahu apa yang terjadi kemudian. Ervan yang sedang menyetir di depanpun tampak memasang telinga, mendengarkan. "Sayangnya yang terjadi kemudian tidak kami duga. Rika menerima cek itu dan akhirnya meninggalkan kak Kevin." Nessa menelan ludah. Pengkhianatan semacam itu dan dilakukan di depan keluarganya pula. Pantas saja mengubah Kevin menjadi orang yang begitu pahit, dia masih ingat perkataan Kevin siang itu ketika lelaki itu menawarinya perjanjian sandiwara ini.  "Kau akan terkejut mengetahui berapa banyak yang akan menyambar umpan itu mentah-mentah." Begitu ucap Kevin waktu itu, dengan nada pahit yang sekarang baru disadari Nessa artinya. "Hal itulah yang membuat kak Kevin menutup hatinya seperti sekarang ini kak.", sambung Delina parau, "Ketika kak Kevin akhirnya membuka hatinya untuk kak Nessa dan menikahi kak Nessa, aku sangat bahagia, aku tahu betapa baiknya kak Nessa, dan betapa kak Nessa bisa membahagiakan kak Kevin....." Delina mendesah, "Cuma aku sedikit cemas, setelah mama meninggal, sikap kak Kevin sama persis seperti dulu ketika dikhianati Rika, dia memasang topeng datar dan dingin di wajahnya, di hatinya, membuat kita tidak bisa mendekatinya." Delina menyusut air matanya, "Aku sangat mencemaskannya kak..." Nessa memeluk Delina yang terisak-isak ke dalam rangkulannya. Hatinya terasa hangat karena menerima pemahaman baru, bahwa Kevin juga pernah merasakan sakitnya dikhianati, sama seperti dirinya. *** "Aku membawakan sup hangat untukmu."  Malam sudah sepi dan semua orang sudah masuk ke kamar tidurnya. Nessa mengintip ke ruang kerja Kevin, lelaki itu sepulang pemakaman, langsung menenggelamkan dirinya di sana dan tidak keluar untuk makan malam.  Kevin mendongak dari berkas-berkas di meja kerjanya dan mengerutkan kening, "Aku sedang tidak ingin makan apapun." Nessa meletakkan nampan di meja, bersikeras, "Tetapi kau harus makan Kevin, aku tidak melihatmu makan apapun dari pagi. bahkan sejak pemakaman tadi." Kevin memasang tampang paling dingin dan menyatukan telapak tangannya di bawah dagunya, "Kenapa kau repot-repot memikirkanku eh?" gumamnya sinis Lelaki ini menyerangnya demi melindungi dirinya. Nessa menghela napas, mencoba memahami, dia harus sabar menghadapi lelaki ini. Kevin sedang sedih meskipun sekarang dia sedang bersandiwara sebagai seorang bos yang arogan dan jahat. Lelaki ini menutupi kesedihannya dengan semua itu. "Karena aku mencemaskanmu." "Hm... kejutan. Seorang Nessa mencemaskanku. Apakah kau cemas aku akan terpuruk dalam kesedihan, sayang." dengan gerakan halus, lelaki itu meluncur berdiri dan tiba-tiba sudah ada di dekat Nessa, menjebaknya ke tembok, "Mungkin aku tidak akan terlalu bersedih kalau kau bersedia menghiburku...", disusurkannya jemarinya dengan lembut di pipi Nessa,  "Aku tidak akan menghiburmu dengan cara tidak senonoh!", suara Nessa sedikit meninggi, antara takut, marah dan sedikit gelenyar panas yang mengaliri tubuhnya merasakan usapan sensual Kevin di pipinya,  Untunglah lelaki itu memutuskan tidak mendesaknya lebih jauh, Kevin hanya terkekeh, lalu melepaskan Nessa, meskipun masih berdiri di dekatnya, "Aku tidak butuh simpati darimu." gumam Kevin sambil mengacak rambutnya, "Terutama darimu...." tiba-tiba suara laki-laki itu hilang seakan tertelan. Kevin memalingkan mukanya, dan melangkah menjauh dari Nessa, 'Pergilah!" "Kevin...." "Pergilah!" suara Kevin berubah menjadi bentakan keras,  Nessa menghela napas panjang, hubungan mereka memang sudah tidak baik dari awalnya. Sudah terlambat untuk menunjukkan simpati dan niat baik, sesalnya dalam hati, dengan pelan, dia melangkah menuju pintu. "Jangan lupa dimakan supnya." Hening. Dan Nessa membuka handle pintu hendak keluar.  Lalu isakan itu terdengar.  Nessa menoleh dan mendapati Kevin berdiri membelakanginya, isakan itu terdengar darinya, lelaki itu menangis. Kali ini benar-benar menangis sepenuh hati, suaranya penuh kedukaan dan kesakitan, duka yang membuat bahunya berguncang dengan keras. Tanpa pikir panjang, didorong oleh hatinya, Nessa langsung melangkah mendekati Kevin dan merengkuhnya. Lelaki itu langsung memeluknya dengan erat, dan menangis dalam pelukannya, beban tubuhnya membuat Nessa terjatuh ke sofa, dengan Kevin menangis dipelukannya.  Diusapnya bahu Kevin, rambutnya, berusaha meredakan kesedihannya. Berusaha membantu lelaki itu memnumpahkan apa yang ada di hatinya. Tiba-tiba perasaan lembut menyelemutinya, perasaan lembut yang sama ketika mengetahui sisi rapuh lelaki ini, yang tidak pernah ditampakkannya di depan orang lainnya. Nessa memeluk Kevin erat-erat, sampai lama kemudian isakan idu mereda, berubah menjadi napas yang tenang dan teratur, dan lelaki itu masih meringkuk dengan kepala tenggelam di bahu Nessa dengan mereka bergelung duduk di atas sofa. Lalu Kevin mengangkat tubuhnya daan menjauhkan kepalanya. 'Maaf." suaranya terdengar parau. Nessa tersenyum, "Tidak apa-apa Kevin, aku ... aku senang bisa membantu...." "Aku tidak pernah menangis di depan siapapun sebelumnya." "Aku tahu." "Aku tidak sengaja menangis tadi." "Itupun aku tahu." Senyum Nessa tertahan, 'Kau sedang sedih, dan aku sedang bisa membantumu. aku harap kau merasa sedikit ringan setelah menangis tadi." Kevin tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa sambil mengacak rambutnya frustrasi. Lama mereka bertatapan, lalu tatapan Kevin melembut. "Terimakasih." Nessa menganggukkan kepalanya, "Sama-sama Kevin." Lelaki itu menatap Nessa lagi dengan tajam, kemudian tersenyum kecut dan memalingkan kepalanya, "Tidakkah kau sadar? setelah kematian mama... kau dan aku tidak harus terikat lagi." Suaranya setajam tatapannya kemudian, "Kita bisa mengakhiri perkawinan ini." *** Bersambung ke part 7 Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 01:52

December 28, 2012

Perjanjian Hati Part 5


Created On Bandung 23rd, December 2012

Part 5

Ketika kau harus memilih, mana yang akan kau pilih?
Seuatu yang ada dalam genggamanmu, tetapi masih kau ragukan
Atau sesuatu yang dulu pernah ada dalam genggamanmu, sempat terlepas, tetapi ingin kembali pulang?







Nessa ternganga, begitupun Delina dan Ervan yang ada di ruang tunggu iccu itu. Dengan gugup Nessa menelan ludah, menatap Kevin yang tampak begitu serius, menatap Delina dan Ervan yang mengamati mereka dengan penuh keingintahuan. Nessa bingung harus bicara apa. Kalau menurut kata hatinya, seharusnya dia langsung menolak mentah-mentah lamaran itu, bukankah saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan yang hanya sandiwara? Kenapa Kevin melamarnya di sini, di depan kedua adik mereka? Bagaimana Nessa harus menanggapinya? dengan sungguh-sungguh atau bersandiwara? "Kevin...?" Nessa bergumam lirih berusaha supaya tidak terdengar oleh Delina dan Ervan yang ada di ujung ruangan. Kevin menatap Nessa dengan mata membara, tampak tersiksa, "Please." Mulutnya membentuk permohonan tanpa bersuara. Nessa menelan ludah lagi. Kevin pasti punya alasan melakukan ini, mungkin dia akan menjelaskannya nanti. Dan jika ternyata mereka salah arah, Nessa berharap Kevin bisa mengeluarkannya dari masalah ini. Dengan menguatkan hati, Nessa menganggukkan kepalanya. "Baik Kevin aku bersedia menikah denganmu." Terdengar suara helaan napas Delina di sudut ruangan, lega. Sementara Nessa mencuri pandang ke ekspresi adiknya yang tercekat. Mungkin sama seperti dirinya, Ervan kaget dan tidak menyangka hubungan Nessa dan Kevin berkembang secepat ini. Sedangkan Kevin, lelaki itu memejamkan matanya tampak lega luar biasa. Lalu dengan cepat, seolah takut Nessa berubah pikiran, dia menyelipkan cincin yang mereka beli barusan ke jemari Nessa, "Itu jadi cincin pertunangan kita. Besok kita beli lagi cincin pernikahan.", bisiknya serak sambil mengecup jemari Nessa yang bercincin. Kevin lalu berdiri dari posisi berlututnya, tampak menjulang di depan Nessa, "Baiklah Nessa, karena kau telah menyetujuinya, kita akan menikah besok." "Besok??!"
Kali ini yang bersuara kaget bukan hanya Nessa, tetapi juga Ervan dan Delina. Kevin menghela napas panjang, lalu menoleh sedih ke arah ruangan iccu. "Mama sedang memperjuangkan hidupnya di sana serangan ini tidak akan terjadi satu kali saja, pasti akan terjadi lagi, dan setiap terjadi kita mempunyai resiko kehilangan mama, satu-satunya permintaannya adalah bisa melihat aku menikah." Kesedihan di mata Kevin bukanlah sandiwara, lelaki itu benar-benar sakit dengan kondisi mamanya, "Aku tidak mungkin menolak permohonan mama kan? Akan hidup dengan penyesalan yang mendalam kalau sampai mama meninggal dan aku tidak bisa melakukan amanat satu-satunya darinya." Delina mengusap air matanya dengan pedih, membiarkan dirinya dipeluk oleh Ervan.  Sementara itu, Ervan mengamati Kevin dan Nessa berganti-ganti. "Apakah... apakah kalian yakin? aku tidak tahu seberapa lama dan seberapa dalam hubungan kalian berdua... meskipun aku sangat senang kalian bersatu, tapi... pernikahan mempunyai dasar pertimbangan lain selain cinta dan pemenuhan amanat untuk orang lain... pernikahan adalah komitmen seumur hidup... untuk selamanya kalau bisa." gumam Ervan, mencoba mencari jawaban dari ekspresi dua manusia di depannya. Wajah Nessa memucat, tetapi tidak bisa berkata-kata. Ervan benar, pernikahan adalah hal yang sangat serius untuk dilakukan. Mereka melakukan janji di hadapan Tuhan, dan itu bukan main-main. Selain itu, jangankan komitmen seumur hidup, mereka bahkan tidak mempunya cinta satu sama lain yang bisa mendukung komitmen itu. Apa yang harus dia lakukan? dia menyetujui sandiwara ini dari awal dan kemudian terseret arus, tidak bisa kembali lagi. Kevin merangkul Nessa dengan sebelah lengannya, "Tidak apa-apa. Kami saling mencintai." jawab Kevin tegas, mengetatkan rangkulannya untuk menegaskan maksudnya, "Aku akan menemui ibumu Nessa, untuk meminta izin." ***  "Jadi begitu ceritanya bu. Mohon maaf saya mendesak secara mendadak seperti ini. Tetapi kondisi mama sayalah alasan satu-satunya saya mempercepat pernikahan ini, meskipun resepsi akan tetap dilaksanakan empat bulan lagi." Ibu Nessa menatap Kevin yang begitu serius dengan permintaannya. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kaget anaknya dilamar mendadak seperti ini. Oh. mama Kevin dan Kevin sendiripun sudah menemuinya minggu kemarin, untuk membicarakan persiapan pernikahan. Tetapi itu untuk pernikahan empat bulan lagi, bukannya pernikahan dadakan besok pagi. Dengan lembut, ibu Nessa melirik ke arah putri satu-satunya yang dari tadi tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya sendiri. "Nessa, ibu terserah padamu nak, karena kau yang menjalaninya." Nessa meringis. Bagaimana bisa dia terjebak dalam situasi ini? Sepanjang jalan ke rumah tadi, Nessa ingin meledak kepada Kevin, marah karena ditempatkan dalam posisi seperti ini tanpa rencana. Tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Kevin, karena Ervan ikut bersama mereka untuk mengambil baju ganti sebelum kembali ke rumah sakit lagi, sementara Delina masih di rumah sakit, berjaga menunggui mamanya. "Nessa sudah setuju dengan saya ibu, toh kami memang sudah berencana menikah, betul kan Nessa?" sela Kevin cepat, mencegah Nessa mengeluarkan penolakan. Nessa hanya menganggukkan kepalanya lemah. Ibu Nessa menghela napas panjang,  "Baiklah nak, ibu memberikan restu. Ibu yakin, pernikahan ini bertujuan baik, dan semua yang bertujuan baik pasti akanberujung baik." *** "Kakak yakin ?" Ervan mendekatinya, ketika Nessa sedang melangkah memasuki kamarnya. Ervan sudah membawa tas ransel berisi beberapa baju ganti dan selimut. Lelaki itu akan menemani Delina menginap di ruang tunggu iccu sambil menunggu mama Kevin bisa dipindahkan ke kamar pribadi. Dia sudah akan berangkat lagi ke rumah sakit diantar Kevin. Kevin sendiri belum bisa menginap di rumah sakit, dia harus mempersiapkan segala urusan untuk pernikahan dadakan itu di pagi harinya, baru mungkin dini hari nanti dia akan menyusul Delina dan menggantikan adiknya menunggui mamanya. Nessa menatap mata adiknya, ada kecemasan di sana. Nessa tahu pikiran Ervan terlalu tajam dalam melihat semua ini. Ervan pasti merasa semua terlalu cepat, dan dia terlalu mengenal kakaknya untuk mengabaikan kecemasan yang berkecamuk di dalam hati Nessa, Sambil tersenyum kepada adiknya, Nessa menganggukkan kepalanya, "Pernikahan ini adalah jalan yang terbaik." gumamnya. Ervan menatap Nessa tajam, mencoba menembus mata kakaknya, "Apakah... apakah ada yang kau rahasiakan kepadaku?" Nessa langsung menatap Ervan waspada. Apakah sandiwara mereka begitu kelihatan di mata Ervan? "Kenapa kau berpikiran seperti itu?" Ervan mengangkat bahunya, tersenyum miris, "Entahlah kak." Senyumnya berubah menjadi permintaan maaf, "Maafkan aku, bukannya aku tidak percaya akan cinta kalian, tetapi ini semua terlalu cepat... aku...aku bahkan tidak menyangka kakak Delina mau berkomitmen kepada seseorang, Delina selalu cerita kalau kakaknya sangat menghindari pernikahan, dia selalu ingin menjadi lelaki bebas. Lamarannya tadi, aku takut dia terlalu tergesa-gesa karena dorongan hatinya ingin menyenangkan mamanya..... Kalau yang dilamarnya bukan kakak, mungkin aku akan tenang-tenang saja. Tetapi kau, kakakku, dan aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin ada penyesalan nantinya." Nessa merasakan matanya panas dan berkaca-kaca. Ingin rasanya dia mengungkapkan semuanya kepada adiknya, yang sangat disayanginya. Tetapi dia tidak bisa. Ervan akan merasa sangat bersalah, karena sandiwara dengan skenario yang kacau ini asal muasalnya adalah demi kebahagian Ervan dan Delina. "Kakak sudah siap Ervan, kau jangan mencemaskan kakak ya." "Apakah kau mencintai Kevin?" Ervan berdehem salah tingkah, "Maksudku, Kevin memang sangat mudah dicintai dengan berbagai kelebihannya itu, tapi apakah kau benar-benar mencintainya untuk hidup bersamanya dalam satu pernikahan?" Bagaimana mungkin? Nessa meringis kesal. Kevin tidak mudah dicintai. Lelaki itu arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendak. Tapi Nessa bisa apa? Semoga Tuhan memaafkannya karena melakukan perjanjian palsu untuk menikah. Semoga Tuhan mengerti bahwa ada alasan baik di balik sandiwara yang berujung tak terduga ini. "Kakak mencintainya Ervan." Nessa berbohong dengan lancar, "Tenang saja ya, seperti kata ibu tadi, apapun yang dilakukan dengan tujuan baik, pasti akan berujung baik." ***  Mereka menikah pagi itu di rumah sakit. Kondisi mama Nessa sudah membaik sehingga bisa dipindah ke kamar pribadi yang luas dan lebih privat. Pernikahan itu sederhana, hanya dihadiri oleh beberapa perwakilan keluarga keduabelah pihak sebagai saksi. Semua berlangsung begitu cepat, tiba-tiba saja Kevin sudah memakaikan cincin kawin itu. Cincin dengan berlian besar yang ditolaknya kemarin, ke jemarinya, dan mereka sudah sah sebagai suami isteri. Mama Kevin tampak lemah dan pucat, tetapi senyum bahagianya memancar ketika dia meremas jemari Nessa, dan mengucapkan terimakasih dengan lemah, air mata menetes dari mata indahnya, membuat jantung Nessa serasa ditusuk-tusuk oleh rasa bersalah. Tuhan, seandainya saja mama Kevin tahu ini semua hanya sandiwara, betapa hancurnya perasaannya. Delinapun memeluknya dengan rasa terimakasih dan kasih sayang persaudaraan yang tulus, membuat Nessa semakin sesak dadanya. Semua orang berterimakasih padanya, tetapi kenapa rasa bersalah tetap menggayutinya, rasa bersalah dan ketakutan tersembunyi... ketika dia menyadari bahwa dia sudah menjadi isteri sah Kevin. *** Nessa diantarkan masuk oleh petugas kamar hotel mewah di dekat rumah sakit tempat Mama Kevin di rawat. Kevin sengaja memesankan kamar untuk bulan madu mereka di sana, karena tempatnya dekat dengan rumah sakit sehingga mereka bisa bergegas ke sana kalau-kalau ada apa-apa. Nessa duduk di sofa di kamar itu dengan gugup, sambil menatap Kevin yang melepas jasnya dan melemparkan dasinya ke kursi.  Inilah kesempatan pertama kalinya mereka bisa berdua saja. Sebelumnya selalu banyak interupsi, dan Kevin begitu sibuk mempersiapkan pernikahan dadakan ini sehingga susah di temui. Bahkan tadi pagi Nessa baru melihatnya pertama kali, beberapa menit sebelum pernikahan dilangsungkan. "Kita harus bagaimana?" gumam Nessa lemah, pada akhirnya. Kevin menghempaskan tubuhnya di sofa diseberang Nessa, "Maafkan aku menempatkanmu pada situasi sulit seperti ini." Dengan frustrasi dia mengusap wajahnya, "Aku juga tidak menyangka akan berujung seperti ini.... " Nessa menghela napas panjang dan menatap Kevin dalam, "Apakah kita bisa mengurus perceraian dengan mudah nantinya....?" Dan dia akan menyandang status janda, di usianya yang masih muda. Perceraian itu mungkin mengandung konsekuensi yang sangat berat, selain pandangan masyarakat, belum lagi berbagai pertanyaan dari keluarganya nantinya, bagaimana mungkin Nessa bisa menghadapinya? Tatapan Kevin tampak mengeras, "Jangan bicarakan perceraian dulu. Kita jalani saja pernikahan ini dengan sebaik-baiknya dulu. Semoga nanti ada jalan keluar." suara Kevin berubah serius, "Aku berjanji Nessa, selama menjadi suamimu, aku akan menghormatimu sebagai isteriku." Nessa menelan ludahnya, apa maksud Kevin dengan menjalani pernikahan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah mereka juga harus... pipi Nessa memerah. Kevin tampaknya memahami ekspresi Nessa itu, senyumnya tampak miris, "Tidak Nessa, jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu, jika itu yang kau takutkan." Tanpa sadar Nessa menghela napas lega. Pernikahan ini sudah terasa seperti ikatan yang menyesakkan dada. Nessa tidak akan bisa menanggungnya kalau mereka harus lebih terikat lagi.

"Apakah kita akan tidur bersama dalam satu kamar nantinya?", tanya Nessa was-was.

Kevin melemparkan tatapan meminta maaf kepada Nessa,

"Ya Nessa, kita akan tidur bersama, setelah mama pulang, kau akan ikut pindah ke rumahku, tinggal di kamarku, dan tidur seranjang denganku, kita harus melakukannya. Kalau tidak, akan muncul gosip di kalangan pelayan yang mungkin akan sampai ke telinga mamaku. Jangan takut." Kevin menyadari ekspresi Nessa yang berubah pucat, "Aku tidak akan berbuat tidak senonoh kepadamu, aku berjanji....

Nessa menghela napas lega, tetapi rupanya Kevin belum selesai dengan ucapannya.

"Kecuali kalau kau yang meminta kepadaku."

Ucapan susulan Kevin itu langsung mendapat hadiah pelototan mata dari Nessa.

"Aku cuma bercanda." Gumam Kevin terkekeh geli sambil menatap Nessa. "Tetapi aku sungguh-sungguh Nessa, kalau kau yang memintanya, aku pasti tidak akan menolak untuk melakukan sesuatu yang lebih." Suaranya berubah sensual.

Nessa menatap Kevin dengan pipi merah padam dan napas terengah, merasa malu sekaligus marah,

"Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu!" serunya mantap kemudian, dan disambut dengan gelak tawa Kevin. Kurang ajar lelaki itu!
 *** Dalam seminggu, mama Kevin sudah boleh pulang, wajahnya masih pucat dan lemah meskipun tampak lebih sehat dari terakhir kali keluar dari iccu. "Mama sudah tidak sabar mempersiapkan resepsi pernikahan kalian." Sang mama tersenyum ketika Kevin merebahkannya di atas ranjang. "Istirahatlah dulu saja mama, mama harus lebih kuat lagi. Toh kami sudah menikah, jadi resepsi pernikahan hanyalah syarat saja." suara Kevin terdengar serak. Mama Kevin tersenyum lembut dan menggenggam jemari Kevin, "Terimakasih sayang, terimakasih. Mama merasa tenang dan bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Mama sangat menyayangimu dan ingin kau bahagia, kau tahu itu kan...." dengan lembut sang mama mengusap dahi Kevin, "Kau adalah anakku yang sangat kucintai, detik itu, ketika aku menggendong bayimu yang menangis keras-keras, aku sudah menasbihkanmu di dalam hatiku sebagai anak laki-lakiku." Kevin tersenyum lembut dan mengecup dahi mamanya. "Istirahatlah mama sayang, aku juga sangat mencintaimu." Ketika mamanya tertidur kemudian, Kevin melangkah keluar kamar dengan tergesa-gesa, hampir tersandung, membuat Nessa cemas dan mengikutinya keluar. "Kevin ada apa?" Nessa berdiri, menatap Kevin yang berpegangan pada uliran tangga di luar kamar. Punggung Kevin tampak bergetar.  Dengan gugup, Nessa mendekat, dan menyentuh pundak Kevin. "Kevin, kenapa?" Lalu secepat kilat, tanpa diduga, Kevin membalikkan badan dan merengkuh tubuh Nessa kuat-kuat, memeluknya seakan ingin meremukkan tulangnya. Tubuh Nessa terasa sakit, tetapi ditahankannya ketika merasakan isakan Kevin tenggelam di rambutnya. Ah Ya Tuhan, lelaki arogan ini menangis di pelukannya. Dengan lembut, Nessa melingkarkan lengannya di punggung Kevin yang keras, mengusapnya lembut, membiarkan lelaki itu menumpahkan perasaannya. "Dokter bilang....", suara Kevin terdengar serak dan tersengal, "Dokter bilang mama sudah tidak bisa bertahan lagi.... kita... kita tinggal menghitung hari..." lalu isak itu terdengar lagi. Nessa memeluk Kevin kuat kuat, mencoba menyalurkan kekuatan kepada lelaki itu. Lelaki yang sebenarnya tidak begitu dikenalnya, tetapi sekarang sudah menjadi suaminya. Lama Kevin menumpahkan perasaannya, sampai kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya dari rambut Nessa, matanya tampak basah. Ditatapnya Nessa dengan lembut, "Terimakasih Nessa." Tiba-tiba perasaan hangat menjalari dada Nessa, menemukan sisi Kevin yang rapuh ini ternyata menghangatkan perasaannya.

Lalu tiba-tiba tatapan Kevin meredup, lelaki itu kemudian mendekatkan kepalanya dan mengecup dahi Nessa, sebelum Nessa sempat menghindar. Kecupan yang lembut dan sopan, tetapi entah kenapa membuat tubuh Nessa seperti tersetrum ketika menerimanya.

Lelaki itu lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi tanpa kata, meninggalkan Nessa yang berdiri di sana sambil merasakan panas membara di bekas kecupan Kevin di dahinya. ***  Ketika Nessa sedang memberi nilai pada gambar hasil karya anak didiknya, pintu ruangan kelasnya diketuk. Nessa memang tidak berniat untuk pulang cepat, dia menunggu Kevin menjemputnya, lelaki itu sekarang mengantar jemputnya setiap Nessa bekerja, dan tidak mengizinkan Nessa naik kendaraan umum lagi. Ketika Kevin sedang sibuk dengan pekerjaannya, dia akan mengirimkan supir. Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua minggu, dan mereka baik-baik saja. Kevin mengajak Nessa tinggal di rumahnya bersama ibunya dan Delina. Mereka tidur seranjang meskipun Kevin menepati janjinya untuk tidak menyentuhnya.  Pada malam-malam pertama tentunya terasa canggung, Nessa tidak pernah seranjang dengan lelaki manapun seumur hidupnya, kecuali dengan Ervan, itupun ketika mereka masih berumur 7 tahun. Ketika tanpa sengaja kaki atau lengan mereka bersenggolan, Kevin akan segera meminta maaf dengan canggung, lalu mereka akan bergeser dengan cepat masing-masing di ujung sisi ranjang yang berseberangan. Tetapi lama kelamaan mereka terbiasa, mereka akan mengucap selamat tidur tanpa kata, lalu menempati posisi masing-masing, sambil berusaha tidak menyentuh satu sama lain di ranjang itu. Setidaknya setelah Kevin menangis di pelukannya waktu itu, Nessa menemukan sisi positif dalam diri Kevin. Lelaki itu memang arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendaknya. Tetapi dia juga lelaki yang bertanggung jawab, yang sangat mencintai mama dan adik perempuannya. Nessa bisa memahami itu karena dia juga begitu sayang dengan ibunya dan Ervan. Ponsel di tangannya berdering. Dan Nessa melirik ke layarnya, lalu mengernyitkan matanya, Marcell? Nessa masih menyimpan nomor Marcell di ponselnya ternyata, dan ini nomor yang sama, yang berdering dan membuat layar ponselnya terus berkedip-kedip, tak mau menyerah. Nessa mendiamkan ponsel itu, ragu. Tetapi Marcell di seberang sana tampak tak mau menyerah, Kenapa Marcell meneleponnya lagi? Sambil menghela napas panjang, Nessa mengangkat telepon itu. "Halo..." "Nessa ini aku..." suara Marcell terdengar serak dan tersiksa di seberang sana. "Aku dengar... aku dengar kau sudah menikah dengan tuan Kevin...." Apakah isakan Marcell yang terdengar di sana? , "Aku tak kuat lagi Nessa, aku mau mati saja." "Astaga Marcell jangan bicara sembarangan!", Nessa berseru kaget mendengar kalimat Marcell, suara diseberang sana tampak rapuh dan tidak main-main. "Aku mencintaimu Nessa, aku sangat mencintaimu! Meskipun aku hanyalah pecundang lemah yang tak mampu melawan keluargaku, aku sangat mencintaimu. Aku tak kuat lagi menahan beban demi keluargaku, kau yang kucintaipun sudah menikah dengan lelaki lain, jadi untuk apa aku hidup??" "Marcell." Nessa bergumam tenang, berharap ketenangannya menular kepada Marcell yang tampak histeris, "Tenangkan pikiranmu Marcell, kau ada di mana?" "Aku akan mati saja..... sekarang aku ada di tempat perpisahan kita dua tahun yang lalu.... aku... aku akan terjun dari jembatan itu... Selamat tinggal Nessa...." "Marcell!! Jangan lakukan apapun! aku akan kesana!!", Nessa meraih tasnya dengan cepat dan berlari menembus koridor Taman Kanak-Kanak, dan bertabrakan dengan Kevin yang sedang berjalan dari arah berlawanan. "Nessa ada apa?" Kevin menyentuh kedua lengan Nessa yang panik. Nessa menahankan napasnya yang tersengal, "Marcell... Marcell di taman kota... mencoba bunuh diri... lompat dari jembatan..." setiap kata-katanya berhamburan, bercampur dengan kepanikannya. Kevin mencerna kalimat itu dalam sedetik, kemudian menggandeng Nessa dan mengajaknya melangkah ke mobilnya yang diparkir di depan secepat kilat, "Ayo." gumamnya, mendorong Nessa duduk di kursi penumpang, lalu masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya secepat kilat. *** Bersambung ke part 6 
Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 28, 2012 21:27

Pernikahanku bersama tukang pijit pribadiku :)

   Ketika suamiku menikahiku dulu, di pesta pernikahan semua teman-temannya menggodanya, dan berkata : "Wah sudah enak kamu ya wan, sekarang sudah ada yang mijit kalau capek." Suamiku hanya menyenggolku pelan dengan sikunya, dan aku tersenyum malu-malu.       
Pernikahan ini sudah berjalan lebih dari satu tahun. Kadangkala semua tidak berjalan mulus, tentu saja ada perbedaan pendapat, tetapi kami belajar untuk berkompromi. Terkadang kami harus duduk berdua mencoba memecahkan permasalahan pelik, terkadang kami hanya berpelukan, pasrah kepada jalan Allah ketika dirasa kami tak kuat lagi. Tetapi semua mendorong kami untuk lebih dewasa, lebih pengertian dan lebih berbesar hati. Pernikahan ini mengajarkan kami untuk saling menghargai dan mampu meminta maaf serta memberi maaf dengan tulus satu sama lain. Tentang pijit memijit ..... sepertinya teman-teman suamiku salah. Bukannya suamiku yang selalu dipijit di saat kecapekan, tetapi ternyata pernikahan ini mengembangkan bakatnya sebagai tukang pijit pribadiku. Di saat tubuhku pegal-pegal sehabis naik motor pulang kantor, suamiku sudah siap dengan balsem di tangan dan pijitannya yang melemaskan otot-ototku, di saat hamil mudaku dulu sampai akhirnya keguguran, hanya pijitan suamiku di kakiku setiap malamlah yang bisa mengantarkanku tidur pulas, lepas dari sakit badan yang menderaku. Pun di saat aku demam, dia siap sedia memijit tubuhku yang panas membara sekaligus menggigil kedinginan, meringankan rasa nyeri yang menyelimuti tubuhku. Senyumku selalu muncul setiap mengingat momen itu, dan tentu saja aku mensyukurinya. Pernikahan kami mungkin masih muda, belum sebanding dengan mereka yang sudah melalui tahun demi tahun, ditempa oleh berbagai gelombang tetapi mampu bertahan. Tetapi aku yakin, selama kami bisa saling ikhlas dan tulus untuk meringankan penderitaan satu sama lain - meskipun dengan perbuatan yang tampaknya sepele seperti memijit, tetapi memiliki dampak besar bagi hati - kami mungkin bisa menjadi pasangan yang berbahagia dan penuh syukur, sampai akhir nanti. ;) *Terimakasih tukang pijit pribadiku, yang selalu siap dengan balsem di tangannya :* 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 28, 2012 19:22

Perjanjian Hati Part 4

  Created on Bandung, 22nd December 2012
 Part 4
 Pernikahan.... aku pernah mendengar suatu pepatah yang mengatakan:"Janganlah kau menikahi seseorang yang menurutmu kau bisa hidup dengannya. Tetapi nikahilah seseorang yang menurutmu, kau tidak bisa hidup tanpanya"       Perempuan itu sangat cantik, duduk di sana di tengah kebun bunga sambil meminum tehnya dari cangkir yang elegan. Rambutnya disanggul dengan formal ke atas, dan gaunnya tampak sangat indah, berwarna hijau, menyatu dengan alam taman bunga di sekelilingnya. Mama Kevin dan Delina ini pasti sangat cantik di masa mudanya, karena bahkan di masa tuanyapun gurat-gurat kecantikannya masih menyisa di sana. Mama Kevin mendongak ketika melihat Kevin datang bersama Nessa yang gugup, lalu senyum ramahnya mengembang. "Silahkan duduk." gumamnya menyilahkan sambil mengedikkan bahu dengan lembut pada kursi di depannya. Dengan tenang Kevin menarikkan kursi untuk Nessa, dan duduk di sebelahnya. "Mama tidak masuk angin, minum teh sore-sore di luar seperti ini?" Sang mama tersenyum lembut dan menatap Kevin dengan sayang, "Mama cukup kuat kalau hanya duduk-duduk di luar Kevin, lagipula mama bosan kalau di dalam terus, pemandangan taman ini di sore hari sangat indah, sayang untuk dilewatkan." Mama Kevin benar. pikir Nessa mengiyakan. Pemandangan taman ini tampak luar biasa, dengan dedaunan yang rimbun dan tertata rapi serta bunga-bunga dan rumput hijau yang mengelilingi, ditambah lagi kolam ikan yang cantik dengan gemericik air terjun buatan yang mendamaikan suasana. Nessa dengan senang hati akan rela melewatkan waktunya untuk duduk-duduk di taman ini menikmati keindahan suasananya. Tak disadarinya mama Kevin mengamati Nessa dengan penuh perhatian. Ketika Nessa tersadar, dia langsung bergumam gugup menyadari ketidaksopanannya karena langsung duduk dan melamun, bukannya memperkenalkan diri, "Eh, maaf... saya... saya Nessa.", gumam Nessa sambil mengulurkan tangannya gugup. Mama Kevin menyambut uluran tangan Nessa, tampak geli melihat kegugupan Nessa, "Dan perkenalkan aku mamanya Kevin dan Delina." dia melirik Kevin penuh arti, "Begitu mendengar tentangmu dari Kevin dan Delina, aku benar-benar didera rasa ingin tahu."Nessa melirik Kevin yang sepertinya sudah ada dalam mode berakting karena lelaki itu melirik lembut dan penuh cinta kepadanya,
 "Aku tidak pernah merasakan yang seperti ini kepada perempuan manapun, mama. Dia istimewa dan aku harap dia yang terbaik." Kevin bergumam dengan nada yang terdengar begitu tulus dan jujur. Bahkan Nessa yang mengetahui bahwa itu hanyalah kebohongan semata tersipu-sipu mendengarnya. Mama Kevin menyesap teh-nya lagi, lalu melirik Nessa dan Kevin bergantian, "Kau tidak pernah menceritakan tentang Nessa sebelumnya." "Aku sedang mengejarnya." Jawab Kevin santai, "Sekarang aku sudah memilikinya, dan kupikir sekaranglah saat yang tepat untuk mengklaimnya dan menunjukkannya pada semua orang."
Mama Kevin terkekeh mendengar nada posesif dan kepemilikan di dalam suara Kevin. Dia tersenyum pada Nessa meminta permakluman, "Maafkan anak lelakiku ini Nessa, dia memang terbiasa arogan dan keras kepala, mungkin kau juga menyadarinya. Aku senang karena dia akhirnya menemukan seseorang yang cocok untuknya, karena aku tahu betapa alerginya dia mengikatkan diri pada seorang perempuan." Nessa tersenyum kaku, mencoba tampak santai, "Saya...saya senang karena anda menerima saya..." "Tentu saja aku menerimamu, kau pilihan Kevin, berarti kaulah yang terbaik." Sang mama tersenyum dan mengangkat bahunya, "Tentunya Kevin sudah bercerita kalau aku berniat menjodohkannya dengan Delina.... sebuah pemikiran yang kupikir keputusan terbaik, mengingat aku begitu menyayangi mereka berdua dan menginginkan mereka saling menjaga.... kalau-kalau aku.. sudah tidak ada lagi. Dokter bilang penyakit jantungku sudah parah dan sungguh untung kalau aku bisa hidup lebih dari 1 tahun ke depan." "Mama." Kevin berseru memprotes perkataan mamanya. Sang mama hanya tersenyum menenangkan. "Yah... aku pikir waktu itu Kevin dan Delina sama-sama belum mempunyai pasangan dan mereka tampak sangat cocok bersama, lagipula aku sudah sangat ingin menimang cucu.", Mama Kevin lalu tersenyum dengan mata berbinar, "Kabar kalau Kevin ternyata sudah mempunyai pilihan hati memang tidak kusangka-sangka, tetapi kabar ini menyenangkan, dan menenangkan, aku pikir aku akan dengan senang hati menyiapkan pernikahan kalian." "Pernikahan?" Kevin dan Nessa sama-sama berseru. Yang satu protes dan yang lain kaget. "Tentu saja." mama Kevin mengedipkan matanya ke arah Nessa, "Mulai sekarang panggil aku mama, sayang. Karena saat ini aku sudah setengah jalan mempersiapkan pernikahan besar di akhir tahun," perempuan itu tampak menghitung di dalam kepalanya, "Akhir tahun tinggal empat bulan lagi,." Dia lalu tersenyum lembut pada Nessa, " Dulunya pernikahan ini kurencanakan untuk pernikahan Kevin dan Delina, tetapi aku yakin sekarang akan lebih menyenangkan karena Kevin mempunyai pilihan hatinya sendiri, kuharap kau akan sering kemari Nessa dan membantuku mempersiapkan pernikahan ini." Mama Kevin berucap manis, dengan senyum yang manis pula. Tetapi makna yang ada di dalam kata-katanya, tak terbantahkan. ***  "Pernikahan?" Nessa berseru memprotes sambil menatap Kevin yang sedang menyetir dengan tajam, "Tadinya aku pikir kita hanya bersandiwara sebagai pasangan kekasih. Lalu setelah Delina bisa memperkenalkan Ervan kepada mamamu, kita akan pura-pura berpisah baik-baik dan mengatakan ada perbedaan prinsip yang menghalangi kita!" "Delina belum bisa memperkenalkan Ervan sekarang-sekarang ini. Mereka belum lulus kuliah, dan aku meragukan mama akan menerima Ervan begitu saja, beliau pasti akan menganggap Ervan terlalu muda untuk serius dengan Ervan di usianya sekarang ini. Kita harus bertahan Nessa demi mereka. segera setelah Ervan lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik, Delina bisa membawanya kepada mama. Aku akan mengatur pekerjaan yang baik untuk Ervan nanti." "Tapi mereka berdua baru lulus tiga bulan lagi, itu sangat beresiko mengingat mamamu merencanakan pernikahan empat bulan lagi. Terlalu tipis waktunya, apalagi untuk membatalkan semuanya secara mendadak. Mungkin.... mungkin kita harus jujur saja kepada mamamu. Aku lihat mamamu perempuan yang kuat dan berpikiran luas, dia mungkin mau menunggu sampai Ervan lulus dan melihat bukti keseriusannya kepada Delina." Kevin memandang lurus ke depan, tampak serius. "Dia memang selalu berusaha tampil kuat Nessa, tetapi dia rapuh. Lagipula kita sudah maju sejauh ini, tak bisa mundur lagi. Kalau kita mengatakan bahwa ini semua hanya pura-pura kepada mama, dia pasti akan kecewa dan itu akan mempengaruhi kondisi tubuhnya. Saat ini dia bahagia, kita biarkan saja. Semoga nanti begitu Ervan lulus dan Delina memperkenalkannya, mama begitu bahagia sehingga dia tidak kecewa ketika kita membatalkan pernikahan itu. Kita berdoa saja semoga semua berjalan seperti semestinya." "Dan jika tidak?" Jantung Nessa berdegup kencang, memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kevin menoleh, dan menatap Nessa dengan senyum ironisnya. "Jika tidak.... maka mungkin kau dan aku akan terjebak dalam sebuah sandiwara pernikahan." ***  "Nessa." sang ibu mengetuk pintu kamar Nessa, suaranya terdengar cemas, "Ada tamu." Nessa yang sedang membaca di dalam kamar mengernyit, lalu melirik jam di dinding, sudah jam delapan malam, siapa yang bertamu semalam ini? Nessa membuka pintu kamarnya dan berhadapan dengan wajah ibunya yang cemas, "Siapa ibu?" Suara sang ibu berbisik pelan, "Marcell. dia memaksa bertemu denganmu, ibu bilang mungkin kau sudah tertidur tetapi dia minta ibu membangunkanmu. Kau ingin bertemu dengannya atau tidak?" Nessa mengernyit, untuk apa Marcell datang ke rumah ini malam-malam begini? saat ini? bukankah sejak lelaki itu mencampakkannya dua tahun lalu, jangankan datang ke rumah ini, mengirimkan kabarpun lelaki itu tidak pernah. Perasaan ingin tahu membuat Nessa terdorong mengambil keputusan, "Aku akan menemuinya ibu." Sang ibu menahan tangannya, "Kau tidak apa-apa Nessa, ibu tahu kau sudah menjalin hubungan baru dengan Kevin... tetapi ibu..." Nessa memang sudah menceritakan bahwa dia menjalin hubungan dengan Kevin, supaya sang ibu tidak kaget nantinya. Ibunya cukup senang meskipun juga mengutarakan kecemasannya karena Nessa menjalin hubungan lagi dengan lelaki kaya. Tetapi Nessa meyakinkan ibunya bahwa hal ini tidak akan menyakiti hatinya lagi, toh dalam hati Nessa menyadari bahwa hubungan ini hanyalah sandiwara yang tidak melibatkan hati sama sekali. Tetapi insting seorang ibu memang luar biasa, ibunya bisa merasakan bahwa Nessa masih menyimpan luka mendalam akibat perbuatan Marcell, "Tidak apa-apa ibu.' Nessa tersenyum lembut, "Jangan cemas ya." Nessa melangkah ke ruang tamu, dan menemukan sosok Marcell yang duduk termenung di sofa, lelaki itu langsung berdiri begitu melihat Nessa, "Hai Nessa, aku tadi lewat di dekat-dekat sini dan memutuskan untuk mampir." "Ada apa Marcell?" Nessa memutuskan untuk tidak menanggapi pernyataan basa basi Marcell, dia bersedekap dan menatap lelaki itu dengan dingin. Marcell berdiri dengan salah tingkah, "Aku... aku berpikir, sekian lama aku tidak melihatmu dan kemarin ketika melihatmu, kau sudah berubah, lebih dewasa dan lebih cantik.... dan ternyata... aku... aku masih merindukanmu." Apa maksud Marcell dari pernyataannya ini? Nessa mengernyitkan keningnya. Lelaki itu sudah mencampakkannya, dan bahkan kemarin sudah mengundangnya ke pesta pernikahannya. Dan sekarang dengan tak tahu malu, Marcell berdiri di sini dan mengatakan merindukannya? Marcell menelan ludah, "Aku tahu kau sakit hati dengan perlakukanku dulu, tetapi harap mengerti Nessa, aku terpaksa, aku juga menderita, sama sepertimu. Tekanan dari keluargaku sangat kuat, Keluargaku mempunyai hutang budi yang begitu besar kepada keluarga Susan, aku bagaikan tumbal mereka dan aku tidak bisa melawan.... kalau aku menolak, maka keluargaku akan hancur." Nessa mengernyit, dan kenapa baru sekarang Marcell memilih untuk menjelaskan kepadanya? Kenapa tidak dulu ketika lelaki itu mencampakkannya tanpa kata-kata dan membiarkannya terpuruk dalam kedukaan mendalam karena patah hati? Setidaknya kalau Nessa tahu alasan itu dari dulu, mungkin dia bisa lebih berbesar hati ketika kehilangan Marcell. "Aku ingin menghubungimu dulu itu. Tetapi pengawasan keluargaku sangat ketat... Susan juga... dia terobsesi padaku dan sangat posesif, dia mengancam akan menghancurkanmu kalau aku sampai berhubungan lagi denganmu... dan dulu mengingat begitu berkuasanya keluarga Susan, mereka bisa menghancurkan keluargamu dengan mudah..." "Dan kenapa sekarang kau tetap menemuiku? Tidakkah ini akan membuat Susan mengamuk kalau dia tahu?" Marcell menggegeleng, tersenyum kecut, "Tidak. Sekarang keluargaku dan Susan tidak bisa berbuat apa-apa, kau... kau entah bagaimana dengan beruntungnya menjadi kekasih Tuan Kevin, yang beribu kali lebih berkuasa dari kami. Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam denganmu, karena itulah aku bisa menemuimu dengan leluasa seperti akhir-akhir ini..... " Mata Marcell tampak berkaca-kaca, "Aku.. aku sudah menunggu kesempatan ini begitu lama Nessa, dua tahun lamanya.... aku selalu tersiksa, memikirkanmu, memikirkan keadaanmu yang kutinggalkan begitu saja dengan begitu menyakitkan... waktu itu aku berpikir kalau kau kutinggalkan dengan kejam, kau akan membenciku, dengan begitu kau akan lebih mudah melupakan aku..... aku sadar bahwa aku sudah menyakitimu begitu dalam.... maafkan aku....." Suara Marcell berubah serak, dia menatap Nessa dengan memohon. "Di TK kemarin itu aku sudah ingin mengungkapkan semuanya kepadamu... tetapi aku berubah pikiran ketika kau bertemu denganku, kau begitu tegar dan kuat dan kau bilang kau tidak memikirkanku lagi... jadi aku... aku mengatakan alasan-alasan bodoh kenapa aku menemuimu waktu itu," Marcell menghela napas panjang, 'Tetapi perasaan ini menghantuiku... aku hanya ingin kau tahu, bahwa tidak pernah sedikitpun terbersit di benakku untuk menyakitimu, mencampakkanmu... aku sangat mencintaimu... bahkan... bahkan sampai sekarangpun aku... masih..." Nessa tanpa sadar meringis merasakan kesakitan yang menusuk benaknya. Harusnya Marcell tidak usah mengungkapkan semua ini. Dia sudah bisa berjalan tegak sejak keterpurukannya karena ditinggalkan Marcell, dia sudah bisa menutup luka hatinya meskipun kadangkala masih terasa pedih. Tetapi apa yang diucapkan Marcell hari ini seperti membuka luka lamanya lagi, membuatnya menganga dan berdarah. "Terimakasih sudah menjelaskan kepadaku." Suara Nessa terdengar serak, "Tetapi bagaimanapun semua sudah terjadi. Kita tidak bisa menoleh ke belakang lagi. Aku sudah melanjutkan hidupku, begitupun dirimu. Semoga tidak ada lagi kesalah pahaman dan luka masa lalu di antara kita." Marcell mengacak rambutnya dengan frustrasi, "Lelaki itu, Tuan Kevin.... apakah kau benar-benar mencintainya?" Nessa menghela nafasnya sebelum mengucapkan jawaban semantap mungkin, "Ya, aku benar-benar mencintainya." "Yah." Marcell tersenyum pahit sambil mengangkat bahu, "Apalagi yang kuharapkan, dia lebih segala-galanya dariku, jadi wajar kalau kau semudah itu melupakanku." Wajahnya tampak sedih, "Meskipun aku tidak pernah melupakanmu selama ini, Nessa. Dua tahun berlalu, aku memang bertunangan dengan Susan, tetapi hanya tubuhku yang terikat dengannya. Hatiku... hatiku masih selalu menjadi milikmu." "Aku tidak mau menerima hatimu." Sela Nessa dengan tegas, "Biarkan itu menjadi milik Susan, kalian akan segera menikah, aku harap kau akan berbahagia dengannya." Marcell menggeleng, hendak membantah, tetapi kemudian tampak mengurungkan niatnya. "Yah... Oke. Tidak ada lagi yang perlu kusampaikan." Ditatapnya mata Nessa dalam-dalam, seolah-olah berusaha mencari cinta yang tersembunyi di sana, kemudian dia memalingkan mukanya dengan sedih, "Kalau begitu aku permisi dulu Nessa, selamat tinggal." "Selamat tinggal Marcell." Kali ini ucapan selamat tinggal itu benar-benar terucap dari hatinya, kepedihannya masih terasa, apalagi mendengarkan pengakuan Marcell barusan. Setidaknya kemarahan dan kebenciannya di masa lalu atas perlakukan Marcell kepadanya terjawab sudah, lelaki itu punya alasan sendiri meninggalkannya, dan Nessa sudah menerimanya. ***  "Kau suka nuansa ini Nessa?', mama Kevin tersenyum kepada Nessa sambil menunjukkan foto dekorasi ruang pesta yang begitu mewah, "Aku ingin kesannya elegan dengan nuansa warna emas dan putih.' Nessa melirik foto itu, lalu melirik Kevin di sebelahnya yang memasang muka datar dengan gugup, "Eh ya... putih dan emas bagus juga mama." gumamnya lembut.  Saat ini Nessa dan Kevin sedang berkunjung ke rumah Kevin, sang mama bersikeras menunjukkan foto-foto gedung dan desain ruangan yang harus dilihat oleh Kevin dan Nessa dulu sebelum diputuskan mana yang akan dipilih. Dengan terpaksa Nessa datang, karena kata Kevin kalau Nessa terus menerus menghindar, mama Kevin akan curiga. "Kalian sudah membeli cincin?" Mama Nessa menatap Kevin, "Kau bilang kalian akan memilih cincin akhir minggu kemarin." Kevin menggelengkan kepalanya, "Belum mama, aku sibuk sekali akhir minggu kemarin, ada rapat mendadak di perusahaan, mungkin minggu depan, lagipula acaranya kan masih lama, jadi waktu kami masih panjang." Mama Kevin menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Tidak bisa begitu." gumamnya keras, "Cincin pernikahan adalah hal yang paling penting yang harus diprioritaskan. Kalian bersikeras menolak dilakukannya pertunangan lebih dulu, mama sudah setuju. Tetapi mama ingin kalian menyiapkan cincin pernikahan itu dulu, selain sebagai bukti keseriusan kalian, mama ingin memastikannya sesuai dengan tema pesta pernikahan ini." Kevin dan Nessa saling berpandangan, berucap tanpa kata. "Baiklah mama, kami janji minggu depan pasti sudah membawa cincin untuk ditunjukkan kepada mama." *** "Kau mau yang seperti apa?' Kevin mengedikkan bahunya kepada jajaran cincin-cincin pernikahan yang diletakkan berjejer dalam kotak beludru di atas etalase, Nessa mengamati cincin-cincin itu, luar biasa mewahnya, tetapi tentunya cincin yang dipersiapkan untuk pengantin Kevin pasti akan luar biasa bukan? "Cincin ini tidak akan pernah kugunakan." Nessa bergumam lirih kepada Kevin, takut kedengaran petugas toko perhiasan itu, "Mungkin kau pilihkan saja yang sesuai seleramu." Kevin menatap Nessa tajam, lalu mengangkat bahunya, "Oke. Yang itu.' Nessa melirik pada pilihan Kevin dan membelalak, sepasang cincin itu memang begitu indah di dalam kotak beludru warna hitam itu. Cincin untuk laki-lakinya begitu maskulin tetapi yang mengganggu adalah cincin untuk perempuannya yang dihiasi dengan batu berlian yang begitu besar berkilauan, terasa berlebihan. "Tidakkah kau bisa memilihkan cincin yang lebih sederhana?" gumam Nessa ketus. Kevin tertawa,  "Aku akan memilihkan yang itu untuk calon isteriku, lagipula kau tadi bilang mau yang sesuai seleraku." "Aku berubah pikiran." gumam Nessa sambil melirik sinis, "Yang itu saja.' Kevin mengangkat alisnya melihat cincin pilihan Nessa, sepasang cincin dengan uliran sederhana tetapi elegan, hanya cincin polos dengan variasi uliran indah buatan tangan. Tanpa batu berlian apapun. "Terlalu polos dan sederhana." gumam Kevin tidak suka. Nessa menatap Kevin tajam, "Pokoknya yang itu." Kevin terkekeh, geli dengan kekeraskepalaan Nessa, "Oke.. oke.. baiklah." Dia melirik kepada Manager toko yang menunggu mereka, "Kami ambil yang itu." Ketika Manager toko menyiapkan cincin itu, Nessa berbisik pelan kepada Kevin, "Kau membeli sesuatu yang jelas-jelas tidak akan digunakan......bisakah nanti kau menjual cincin itu kembali kalau perjanjian sandiwara kita ini gagal?" Kevin melirik Nessa seolah tersinggung, "Harga cincin itu tak seberapa." gumamnya tenang, "Jangan kau pikirkan, tidak apa-apa." Ketika mereka menerima kotak cincin itu, ponsel Kevin berbunyi. Lelaki itu mengangkatnya dengan tenang. Lalu setelah menerima penjelasan dari ujung sana, wajahnya memucat, berubah tegang. "Nessa, kita harus ke rumah sakit segera. Mama tadi sesak napas, lalu pingsan. Sepertinya jantungnya. Kita harus ke rumah sakit sekarang. ***  Mama Nessa terbaring lemah di ruang iccu rumah sakit. Delina yang menyambutnya di sana bersama Ervan, perempuan itu menangis sesenggukan, "Kak Kevin, mama pingsan, tadi kondisinya mengkhawatirkan... tetapi sekarang kata dokter sudah sadar." Kevin menatap cemas ke arah ruang iccu, "Sudah bolehkah kita menengoknya?" Delina mengangguk,  "Tadi aku sudah menengoknya, tetapi mama belum sepenuhnya sadar.... kata dokter pengunjung boleh masuk, asalkan satu-satu." Kevin menghela napas panjang, "Aku akan menengok mama dulu." gumamnya sambil melangkah memasuki ruangan iccu yang tertutup itu. Lama kemudian, Kevin tidak keluar. Ervan masih memeluk Delina yang terus menerus memandang cemas ke arah pintu itu. Sementara Nessa berdiri dengan bingung, tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Kemudian pintu terbuka dan Kevin melangkah keluar, wajahnya tampak pucat pasi, tetapi matanya menyala penuh tekad. Lelaki itu langsung melangkah lebar-lebar dan berdiri di depan Nessa. Nessa menatap Kevin bingung. Ada apa? Tak disangkanya, sedetik kemudian, Kevin berlutut di depannya dengan posisi melamar, mengeluarkan kotak cincin itu dan menunjukkannya kepada Nessa, "Nessa, maukah kau menikah denganku, segera?" *** Bersambung ke Part 5 Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 28, 2012 00:07

December 27, 2012

Seandainya aku tahu

 
Aku sangat mencintai isteriku, dengan caraku sendiri. Mungkin semua orang yang melihatku hanya akan menyimpulkan bahwa aku adalah lelaki pendiam yang kaku. Tetapi mereka pasti tak akan menyangka betapa dalamnya cintaku kepada isteriku, begitu pula sebaliknya. Kami pasangan bahagia, saling mencintai, sampai nanti. 



Isteriku. Dia perempuan yang cantik dan baik hati. Menerimaku apa adanya, dan merawat kedua anak kami yang lucu-lucu dengan sepenuh hatinya. Terkadang aku begitu tersentuh ketika aku pulang dari pekerjaanku di malam hari, dia sudah menunggu dengan secangkir teh hangat dan pelukannya yang tak kalah hangatnya, membuatku lupa akan keletihanku bekerja seharian. Ah, berapa berharganya dia untukku. Pekerjaanku sebagai staff di sebuah retail Supermarket terbesar di Jawa membuatku mengorbankan banyak waktu pribadiku demi pekerjaan. Tetapi aku bersemangat melakukannya. Demi isteriku, demi keluargaku. Aku pikir aku harus bekerja keras sekarang, mumpung aku masih muda, supaya nanti di masa tua kami sekeluarga bisa hidup tenang dan berkecukupan, tak perlu membanting tulang lagi untuk hidup. Setiap aku kelelahan bekerja, kubayangkan wajah isteriku, kubayangkan masa depan kami ketika kami mapan dan berkecukupan. Dimana kami berdua nanti bisa punya banyak waktu bersama-sama.  Malam itu aku pulang jam sebelas malam, Supermarket sangat ramai tadi menjelang tutup tahun, sehingga semua karyawan harus siap lembur sampai tutup toko. Kubuka pintu rumah, ruangan sudah gelap. anak-anak pasti sudah tidur, tiba-tiba batinku terenyuh membayangkan wajah si bungsu yang baru berumur 2 tahun, betapa jarang aku menggendongnya karena kesibukanku. Si sulungpun tak ada bedanya, kami menjadi tidak akrab, karena pagi hari aku sudah berangkat sebelum dia bangun dan ketika aku pulang dia sudah tidur. Kebersamaan kami hanyalah di hari minggu yang singkat, bahkan kadang aku harus mengorbankan hari mingguku untuk masuk kerja kalau ada keadaan darurat.  Kutemukan isteriku tertidur di ruang tamu, menungguku. Kudekati dia dan kutatap wajah damainya dalam tidur, lalu kukecup keningnya lembut. Ah, Ya Allah. Aku mencintainya dan terus menerus  merindukannya, pekerjaan ini telah sedemikian menyita waktuku hingga kadang-kadang aku merindukan saat-saat bersamanya, mencurahkan kasih dan cintaku kepadanya sebebas-bebasnya seperti waktu dulu. Tetapi kutegarkan hatiku. Ini semua demi mereka, keluargaku. Demi kebahagiaan mereka di masa depan. Aku bekerja keras sekarang demi kemudahan di masa depan nanti. Tidak apa-apa sekarang aku kehilangan saat-saat bersamaku dengan keluargaku, nanti pasti bisa kutebus kalau karirku sudah meningkat dan kami sudah lebih mapan. Bukankah orang selalu bilang kita lebih baik bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian? ***  Telepon di ruanganku berbunyi, dan aku mengangkatnya, suara kakak iparku terdengar di seberang. "Bisa izin dari tempat kerja? Anita kecelakaan di jalan....." ***  Aku terpekur menatap jenazah yang dibaringkan di ruang tamu itu. Dadaku terasa kosong dan hampa. Bahkan air mataku sudah tak bisa keluar lagi karena kesedihanku sudah mencapai puncaknya, tak tertahankan.  Isterikulah yang terbaring tak bernyawa di sana. Sebuah mobil menyerempetnya ketika dia hendak menjemput anakku dari SD-nya. Aku bahkan tidak sempat menemani isteriku disaat-saat terahkirnya, karena isteriku menghembuskan napas terahkirnya di rumah sakit, ketika aku sedang berjuang menembus kemacetan jalanan dari tempat kerjaku. Lalu tiba-tiba air mataku menetes, air mata pertama sejak tragedi ini menimpaku. Dan kemudian seperti bendungan yang bocor, air mata itu mengalir tanpa henti, membuat aku sampai membungkuk, berlutut di depan jenazahnya dengan isak keras tak tertahankan. Ya Allah, Ya Allah, hamba tidak kuat Ya Allah.... sedu sedanku menyayat perih, seperih luka hatiku yang berdarah sedih. Seandainya aku tahu waktuku bersama isteriku begitu pendek, akan kucurahkan seluruh kasih sayangku untuknya. Akan kuberikan semua waktuku untuk memujanya, membuatnya bahagia, membuatnya menyadari bahwa dia begitu dicintai. Seandainya saja aku tahu bahwa hari esokku bersama isteriku tak lagi datang, tak akan kusia-siakan waktuku untuk semua pekerjaan dan rencana-rencana masa depan kami yang sekarang tak mungkin terwujud lagi. Tetapi penyesalan memang selalu datang terlambat, dan manusia seperti aku hanya bisa berandai-andai. Ya Allah... Seandainya saja aku tahu.... End *Cintailah kekasihmu, seolah-olah dia akan mati besok pagi. Setidaknya ketika  ternyata kau benar-benar kehilangannya, kau tak akan dipenuhi penyesalan dan berandai-andai.  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 27, 2012 00:25

December 26, 2012

Perjanjian Hati part 3

  Created on Bandung, December 22nd, 2012

Part 3
Terasa begitu menyakitkan kehilanganmu dulu..
Terasa begitu menghancurkan kalbu ketika mencoba melupakanmu....
Sampai akhirnya kusadari, kau tak seberharga itu
Dan ternyata aku tidak mencintaimu sedalam itu









Hening sejenak. Lalu Kevin berdehem di seberang sana. "Kau yakin?' Kenapa di saaat Nessa berusaha menguatkan dirinya demi adiknya, Kevin malahan bertanya seperti itu? Nessa mengerutkan keningnya. "Ya. aku yakin." "Aku akan marah besar kalau kau berubah pikiran di tengah-tengah rencana kita." Memangnya dia siapa? dan apa peduli Nessa kalau Kevin marah? Tetapi tiba-tiba Nessa teringat bahwa Kevin bisa menakutkan kalau dia mau. "Aku tidak akan berubah pikiran." gumam Nessa, berusaha terdengat meyakinkan. "Bagus. Kalau begitu aku akan mengatur semuanya." Lalu percakapan ditutup, tanpa ucapan apapun. Meninggalkan Nessa yang mengerutkan kening karena ketidak sopanan Kevin. *** "Ibu tidak usah mencemaskan Nessa, ya." Nessa mencoba tersenyum lembut dan menenangkan ibunya, "Nessa pasti akan menemukan seseorang yang baik pada saatnya nanti."
 Tiba-tiba Nessa teringat akan Kevin. Kira-kira bagaimana perasaan ibunya ketika Kevin dan Nessa benar-benar melaksanakan perjanjian untuk bersandiwara ini? ***
"Delina sudah datang." Ervan berdiri dan melangkah ke pintu depan, sedang Nessa masih membantu ibunya membereskan piring dan menata meja makan. Terdengar suara pintu dibuka, dan terdengar suara-suara percakapan. Lama-kelamaan Nessa mengernyit. Suara laki-laki yang dalam itu bukan suara Ervan... dia tahu persis itu suara siapa! Belum sempat Nessa melakukan sesuatu, Ervan sudah masuk ke ruang tengah, dengan Delina dan Kevin ikut di belakangnya. "Ibu, kak Nessa, Delina datang bersama kakaknya." gumam Kevin gembira. Delina segera masuk dan tersenyum ramah lalu menyalami ibu Nessa, dan memeluk Nessa. Kevin menyusul di belakangnya dalam diam, menyalami ibu Nessa dengan sopan, kemudian berdiri di depan Nessa dan tersenyum. "Hai Nessa." gumamnya penuh arti. Nessa menatap Kevin dengan tatapan memperingatkan lalu mencoba tersenyum palsu, "Selamat datang." senyumnya tidak sampai ke matanya. Dan segera setelah itu Nessa menggumamkan berbagai alasan dan melarikan diri ke dapur. Tetapi ketika seluruh alasan sudah habis, Nessa terpaksa ke ruang tengah, dan mereka segera menuju ke ruang makan untuk makan malam bersama. Entah memakai trik apa, Kevin pada akhirnya duduk di sebelah Nessa, dan lelaki itu seolah-olah sengaja, menyenggol tangan Nessa setiap saat sehingga membuat Nessa benar-benar jengkel. Acara makan malam berlangsung menyenangkan karena Ervan dan Delina dengan senang hati meramaikan percakapan dengan kisah-kisah mereka. Nessa sendiri hanya tersenyum-senyum melihat tingkah pasangan yang sangat saling mencintai itu, begitupun ibunya.

Sementara Kevin... hah? apa yang dilakukan lelaki itu? meskipun menyantap makanan yang sederhana, gayanya benar-benar seperti makan di restoran bintang lima, sangat elegan. Dan dia banyak memasang ekspresi datar dan sopan, hanya tersenyum jika memang waktunya tersenyum. Ketika makan malam sudah dibereskan, Kevin melakukan tindakan tak terduga dengan menatap Ibu Nessa lalu tersenyum lembut, "Terimakasih ibu, masakannya enak sekali." gumamnya tetang, tetapi mampu membuat ibu Nessa yang sudah setengah baya itu tersipu malu.  Dasar Playboy. tukas Nessa dalam hati, sampai-sampai Kevin juga menebarkan pesonanya kepada ibunya.

Ibu Nessa tampak melirik anak perempuannya yang memasang wajah cemberut, lalu melirik ekspresi Kevin yang terlihat geli di sebelahnya, perempuan tua itu mengangkat alis lalu kemudian tersenyum,

"Ibu undur diri istirahat di dalam dulu ya, silahkan dilanjutkan kalau masih ingin mengobrol-ngobrol,"

Ibu Nessa pun melangkah masuk ke kamarnya di ruang belakang. Nessa langsung berdiri dan membereskan meja makan, sementara Ervan mengajak Delina dan Kevin ke ruang tamu.

Setelah membereskan meja makan dan dapur, Nessa termangu di sana. Haruskah dia keluar lagi ke ruang tamu? dorongan hatinya ingin masuk saja ke kamar dan tak keluar-keluar lagi. Kevin, entah kenapa terlalu menebarkan aura mengintimidasi kepada Nessa, dan itu mengganggunya.

Tetapi tentu saja Nessa tidak mungkin membiarkan Ervan sendirian di sana menghadapi Kevin bukan?

Sambil menghela nafas panjang, Nessa melangkah menuju ruang tamu.

***

Ketika Nessa masuk ke ruang tamu, Ervan tampak sedang bercakap-cakap canggung dengan Kevin, dan Delina duduk diam menyimak di sebelah Ervan,

Kevin sedikit melirik ke arah Nessa yang memasuki ruang tamu dan duduk di sudut sofa yang terjauh dari Kevin, lalu melirik jam tangannya.

"Sepertinya kita harus pulang Delina." gumam Kevin tenang.

Delina mengerutkan keningnya, menatap kakaknya memprotes. Dia masih ingin bersama Ervan lebih lama lagi,

"Tetapi aku masih ingin di sini, kakak pulang duluan saja, nanti aku biarkan di antar oleh Ervan."

Tatapan Kevin langsung menajam,

"Kau tidak bisa melakukan itu, Delina. Kau tahu mama seperti apa. Dia menyuruhku mengantarmu, dan aku juga yang harus membawamu pulang."

Suasana menjadi canggung dengan Ervan yang bingung harus berkata apa-apa di tengah-tengah ketegangan kakak beradik itu.

Nessa langsung berdehem, mencoba menyelamatkan suasana,

"Mungkin kau bisa menunda kepulanganmu sebentar, Delina.", suara Nessa jadi tertelan ketika dia merasakan Kevin menoleh dan melemparkan tatapan mengintimidasi kepadanya, "Aku... aku ingin bicara dengan kakakmu dulu."

"Bicara apa?" sela Kevin sambil memiringkan kepalanya dan menatap Nessa menantang.

Dengan marah Nessa mengangkat alisnya, "Tidak di sini, mari ikut aku ke teras samping."

***

Kevin mengikuti Nessa melangkah ke teras samping yang menghadap kebun bunga, yang ditanam dan dirawat sendiri oleh Nessa. Teras itu kecil, tetapi cukup indah. Nessa senang sekali duduk-duduk di sana, di bangku kayu yang tersedia, sambil menatap kebun bunganya di sore hari.

Dia lalu duduk di bangku kayu itu dan menatap Kevin yang memilih bersandar di pilar kanopi sambil bersedekap dan menatap Nessa.

"Well? mau bicara apa?"

Nessa mendengus,

"Aku tidak mau bicara apa-apa denganmu, aku hanya memberi mereka kesempatan berduaan tanpa gangguanmu."

Kevin terkekeh, "Kau juga memberiku kesempatan berduaan denganmu."

Tatapan Nessa langsung berubah waspada,

"Memangnya kau mau apa?"

Mata Kevin menajam, seperti serigala yang berhasil memperangkap mangsanya, tetapi tidak berniat membunuhnya melainkan ingin memain-mainkannya dulu sebelum dimakan.

"Kenapa kau begitu takut kepadaku Nessa? kau selalu waspada ketika aku mendekat, menyentuhmu..... kau harus berlatih terbiasa dengan sentuhanku kalau kau ingin sandiwara ini berhasil."

Terbiasa dengan sentuhan Kevin? Tiba-tiba buku kuduk Nessa meremang.

"Aku tidak takut padamu. Aku cuma tidak suka dengan kedekatanmu yang kau paksakan."

"Hm.... kau tidak terbiasa berdekatan dan disentuh lelaki ya? aku paham, mengingat kekasih terakhirmu benar-benar lelaki yang tidak pantas disebut lelaki."

Pipi Nessa memerah, teringat kata-kata Kevin bahwa lelaki itu sudah menyelidiki keseluruhan kehidupannya, tidak bisa dibantah, Kevin pasti sudah tahu kisahnya dengan Marcell

"Jangan sebut-sebut nama Marcell di sini."

"Penyelidikku bilang kau patah hati dan hancur ketika Marcell mencampakkanmu, lelaki itu tidak bisa melawan permintaan ibunya yang masih menganut sistem feodal. Seharusnya kau bersyukur tidak jadi dengannya." Kevin menatap Nessa penuh perhitungan, "Aku bisa membantumu membalaskan dendam kepadanya."

"Aku tidak butuh membalas dendam kepada siapapun!", Nessa berdiri dengan emosi dan menatap Kevin dengan tatapan marah yang meluap-luap, "Sebelumnya, aku pikir bekerjasama denganmu adalah jalan yang terbaik, tetapi lama-kelamaan aku sadar bahwa aku salah! Aku tidak mau bersandiwara sebagai pasangan denganmu, membayangkannya saja aku muak."

Mata Kevin menyala, kalau Nessa lebih mengenal Kevin, dia seharusnya sadar bahwa dia harus mundur, tetapi sayangnya Nessa tidak tahu.

"Muak katamu? Kenapa kau muak kepadaku?"

"Karena kau lelaki kaya yang merasa bisa memainkan orang lain seperti boneka! dan kau suka merendahkan orang miskin!"

Kevin berdiri mendekat melangkah di depan Nessa, lalu mencengkeram pundaknya,

"Aku menawarkan perjanjian kerjasama itu demi adikmu juga. Seharusnya kau berterimakasih padaku." desisnya geram.

Nessa mencibir,

"Demi adikku? demi adik kita? bohong. Kupikir kau terlalu egois untuk berkorban demi seseorang, menurutku kau menawarkan sandiwara ini agar bisa terbebas dari kewajiban membalas budi kepada mamamu, padahal kau tak ingin menikahi Delina." Nessa menatap Kevin menantang, "Benar bukan? semua rencana ini, hanya demi kepentinganmu."

Kali ini api di mata Kevin makin membara,

"Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu..."

Lalu tanpa di duga, lelaki itu tiba-tiba menarik pundak Nessa mendekat dan mendorong belakang kepalanya dengan sebelah tangannya ke arahnya, bibir Nessa berada dekat sekali dengan bibir Kevin, dan hanya beberapa detik kemudian, bibir Kevin melumatnya, dengan begitu ahli, sementara Nessa hanya terpaku kaget.

Setelah itu dengan santai Kevin melepasnya dan mengecup dahinya dengan lembut.

Dengan Lembut? Nessa termangu masih terlalu shock atas perbuatan Kevin yang tiba-tiba itu, lalu dia melirik ke belakang punggung Kevin dan melihat Ervan bersama Delina sedang berdiri terpaku di lorong, tak kalah kaget melihat adegan Kevin dan Nessa.... jadi itu alasannya. Kevin menoleh dan aktingnya kagetnya ketika melihat Ervan dan Delina yang berdiri di lorong teras begitu bagus hingga Nessa mencibir benci melihatnya,

"Ah... Delina, Ervan... kalian sudah lama di sini?"

Ervan dan Delina saling berpandangan, salah tingkah.

"Kami baru saja ke sini, Delina ingin pulang jadi kami kesini dan..." suara Ervan tertelan, dan dia menatap ragu ke arah Nessa, Ervan sangat mengenal kakaknya, sejak dicampakkan oleh Marcell kakaknya itu jadi menutup diri terhadap semua lelaki, khususnya lelaki kaya. Tetapi kenapa sekarang kakaknya berpelukan dan berciuman dengan Kevin? sosok lelaki yang sudah pasti masuk ke kriteria yang dibenci kakaknya?
Sementara itu Delina menatap ragu ke arah Kevin. Dia juga sangat mengenal kakak lelakinya yang satu ini. Kevin tidak pernah suka menjalin komitmen dengan siapapun, karena itulah dia selalu menjalin hubungan dengan perempuan modern dan bebas yang bersedia menjalin hubungan tanpa status dengannya. Tetapi sekarang, Kevin dengan kak Nessa?
 Kevin berdehem, kemudian merangkul Nessa dalam lengannya dan merapatkan tubuh Nessa ke arahnya,

"Karena kalian sudah melihat kami, mungkin kami harus menjelaskan," Kevin menoleh dengan tatapan mesra yang palsu pada Nessa, "Kita jelaskan saja pada mereka ya sayang?"

Pipi Nessa memerah, dan dia hanya bisa mengangguk. Masih terbayang olehnya bibir Kevin yang panas melumatnya tanpa permisi. Kurang ajar lelaki itu!

"Kakakmu dan aku sebenarnya sudah mengenal sejak lama, Ervan .....  kalau boleh dibilang, aku yang mengejarnya." Kevin terkekeh, "Dan kakakmu sangat susah didapatkan... meskipun aku tidak menyerah untuk mendapatkannya." Senyum Kevin melebar, "Ketika mengetahui di pesta itu bahwa Nessa adalah kakakmu, aku sangat senang, tetapi Nessa menyuruhku berpura-pura tidak mengenalnya dulu, karena dia belum menjelaskan hubungan kami kepadamu....." dengan lembut Kevin mengeratkan pelukannya pada Nessa, "Barusan Nessa menerima pernyataan keseriusanku, aku terlalu bahagia sehingga tidak bisa menahan diri untuk menciumnya, dan ternyata kalian melihatnya sebelum kami sempat menjelaskan."

Ervan dan Delina tampak mencerna penjelasan Kevin yang sangat lancar itu, Kemudian Delina yang tersenyum duluan. Dia teringat tuntutan sang mama yang begitu membebaninya, dan menyadari bahwa kedekatan Kevin dengan Nessa adalah jalan keluar yang sangat tepat untuk menolak tuntutan mamanya tanpa menyakitinya atau mengganggu kondisi kesehatannya.

Dengan ceria dia melangkah mendekat, lalu memeluk Nessa yang masih diam tak bisa berkata-kata.

"Kak Nessa, aku turut senang, kuharap kita bisa menjadi keluarga yang sebenar-benarnya, kakak pasti sudah tahu, aku dan kak Kevin bukan saudara kandung, jadi kakak bisa menikah dengan kak Kevin nantinya dan aku dengan Ervan.", gumamnya dalam senyum.

Nessa hanya menganggukkan kepalanya, bingung harus berkata apa. Dengan cerdiknya Kevin sudah menempatkan di Nessa pada posisi tidak bisa mundur lagi.

"Sama-sama Delina.", bisiknya lembut, "Aku senang kau menjadi adikku."

Nessa melirik ke arah Ervan dan menilai ekspresinya. Kecurigaan di mata adik lelakinya itu sudah memudar, Nessa merasa lega.

Dan sekarang sudah terlambat untuk mundur, meskipun Nessa tidak yakin, apa yang akan terjadi nanti.

***

Nessa melihat lelaki yang berdiri di lorong TK itu dan mengernyit, Untuk apa Marcell datang ke sini?

Langkahnya melambat ketika makin mendekati Marcell, sedangkan Marcell yang semula berdiri santai langsung berdiri tegak ketika mereka berdiri berhadap-hadapan.

"Ada perlu apa?" tanya Nessa langsung.

Marcell tampak salah tingkah dan tersenyum,

"Apa kabar Nessa?"

Kenapa Marcell kemari? pertanyaan itu berkutat di benaknya, membuat dahinya berkerut.

"Kabarku baik, kau bisa lihat sendiri." Aku bisa bangkit tanpamu dan melanjutkan hidupku. Sambung Nessa dalam hati.

Marcell berdehem tampak salah tingkah,

"Aku terkejut melihatmu di pesta itu... apalagi mengetahui bahwa kau kekasih Tuan Kevin...", lelaki itu memandang sekeliling seolah menghindar, "Susan bercerita pada mama tentang pertemuannya denganmu, dan mama merasa cemas.... dia... dia menyuruhku kemari untuk memastikan bahwa tidak ada sakit hati antara kita di masa lalu, kau tahu... perusahaan keluarga kami merupakan mitra bisnis Tuan Kevin dan kemitraan ini sangat penting... Aku hanya ingin memastikan hubunganmu dengan Tuan Kevin tidak akan mempengaruhi kebijakannya atas perusahaan kami."

Hati Nessa terasa di gores-gores dengan cakar tajam mendengar perkataan Marcell. Lelaki ini datang kepadanya bukan untuk minta maaf karena telah mencampakkannya dengan kejam dua tahun lalu, karena telah memperlakukannya seperti sampah atas kemiskinannya. Lelaki ini datang hanya sebagai boneka mamanya, untuk kepentingan bisnis perusahaannya.

Kenapa dulu aku bisa jatuh cinta kepadanya? Kepada lelaki yang bahkan tidak bisa menghargai perasaan orang lain?  Hati Nessa terasa sakit. "Aku sudah melupakanmu Marcell, bahkan tidak terpikirkan sama sekali tentangmu. Tidak ada dendam masa lalu di hatiku, kau bisa tenang." Nessa bergumam, berusaha terdengar tegas.

Marcell menatap Nessa dalam-dalam. Apakah benar Nessa melihat sekilas ketersinggungan Marcell ketika Nessa mengatakan bahwa dia dengan mudahnya bisa melupakan Marcell?
 "Oh begitu.", Marcell tersenyum, "Kalau begitu aku akan menyampaikannya kepada mama, oh ya, kau dapat salam dari mama, kalau kau ada waktu, mainlah kapan-kapan ke rumah."

Nessa terkenang hari di mana Marcell membawa Nessa ke rumahnya. Mama Marcell adalah perempuan dingin berwajah aristrokat yang memandang Nessa dengan mencemooh, bahkan tidak mau menjabat tangan Nessa. Apakah hubungannya dengan Kevin menaikkan derajatnya di mata mama Marcell? sebegitu dangkalkah penilaian mama Marcell terhadap manusia? hanya berdasarkan hartanya?

"Ya. sampaikan salam kembali pada mamamu." Nessa melangkah hendak melewati Marcell, "Kalau begitu aku permisi dulu."

Tiba-tiba Marcell meraih lengannya, setengah mencengkeram,

"Tunggu dulu Nessa, ada yang ingin kukatakan... kau... apakah kau mencintai Tuan Kevin? sungguh-sungguh mencintainya dan sudah melupakan aku?"

"Tentu saja dia mencintaiku dan sudah melupakanmu. Aku tidak bisa dibandingkan denganmu."

Suara dalam yang khas itu membuat Nessa dan Marcell sama-sama kaget, pegangan Marcell ke tangan Nessa langsung terlepas,

Kevin entah kenapa sudah berdiri di sana dan menatap Mercell dengan tajam, lalu tersenyum palsu menatap Nessa,

"Hai sayang, maafkan aku terlambat menjemputmu ya, tadi aku terhambat sebentar di jalan." Kevin langsung melangkah mendekati Nessa, berdiri sedikit di depan Nessa, seolah menghalangi Marcell berdekatan dengan Nessa.

"Oh... selamat siang tuan Kevin." Marcell tampak gugup, menatap sekeliling, seolah-olah ingin segera lari dari situasi yang tidak mengenakkan ini, tiba-tiba wajahnya tampak cerah seolah mengingat sesuatu, dikeluarkannya amplop cantik nan elegan berwarna ungu dari saku dalam jas nya, "Saya hanya ingin menyerahkan undangan pernikahan ini untuk Nessa." di letakkannya amplop itu di tangan Nessa, "Untuk Tuan Kevin undangan sudah di sampaikan secara resmi melakui sekertaris anda.", Marcell mencoba tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu saya permisi dulu."

Nessa menatap punggung Marcell yang melangkah menjauh, kemudian menghela napas dan menatap undangan cantik di tangannya, pernikahan Marcell dan Susan yang akan berlangsung sebentar lagi.

"Kau akan mendampingiku datang di pesta itu." gumam Kevin datar, "Kau bisa datang dengan kepala tegak dan tunjukkan kepada laki-laki bodoh itu kalau kau terlalu baik untuknya."

Tanpa sadar Nessa tersenyum simpul mendengar kata-kata Kevin yang mirip seperti pembelaan untuknya. Dia menganggukkan kepalanya,

"Mungkin bisa dibicarakan nanti saja." desahnya, lalu menatap Kevin dan mengernyit bertanya-tanya kenapa Kevin tiba-tiba saja sudah ada di TK tempatnya mengajar tanpa pemberitahuan, "Kenapa kau kemari?"

Lelaki itu tersenyum dan mengangkat bahunya,

"Well waktunya sudah tiba, mama ingin bertemu denganmu. Aku harap kau sudah mempersiapkan aktingmu sebaik-baiknya."

***

Bersambung ke Part 4

Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.html
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 26, 2012 21:32

December 21, 2012

Untuk Perempuan yang Kupanggil : Ibu

Untuk dia, perempuan tegar yang pernah menggendongku dengan penuh kelembutan
Untuk dia, perempuan kuat yang pernah memelukku dengan penuh perlindungan
Untuk dia, perempuan yang menabung pengertian ketika mengandungku
Untuk dia, perempuan yang sudah memaafkanku bahkan sebelum aku berbuat kesalahan
Untuk dia, Perempuan yang kupanggil : ibu

Selamat hari ibu.
Terimakasih sudah menjadi ibu yang begitu baik
Hingga aku bisa tumbuh seperti sekarang ini

Selamat hari ibu juga untuk semua ibu di dunia, untuk  yang sedang berharap segera menjadi ibu, dan untuk para perempuan, calon ibu di masa depan :)
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 21, 2012 18:29

December 19, 2012

Perjanjian Hati Part 2

Created on Bandung, 15 Desember 2012



Part 2
Kalaupun demi cintamuKakakmu ini harus berkorbanAkan kulakukanAkan kulakukan...          Nessa membelalakkan matanya mendengar kata-kata Kevin. Sejenak dia mencoba mencerna apa yang barusan di dengarnya lagi, berharap ada kemungkinan dia salah dengar. Tetapi kemudian ketika dia menyadari bahwa apa yang dikatakan Kevin itu benar-benar seperti yang dimaksudkannya, wajahnya merah padam oleh kemarahan bercampur rasa terhina. "Saya tidak tahu kenapa anda melakukan penghinaan yang begitu besar kepada kami. Tapi yang perlu anda tahu, kami tidak butuh uang atau pemberian apapun dari anda, coba anda tanyakan ini ke Ervan dan mungkin dia akan menghajar anda." Kevin hanya diam di sana dan mengamati Nessa tajam, seolah-olah ingin menelanjangi seluruh isi hatinya. Lama kemudian lelaki itu tampaknya telah mengambil kesimpulan dan tersenyum, "Oke, jangan marah. Kata-kataku tadi hanyalah ujian, aku memang mengatakannya kepada siapapun, yang dekat dengan Delina." Nessa mengernyit, "Apa?" "Kau tahu, kata-kata itu tadi, bahwa aku akan membayar mereka dengan timbal balik mereka harus meninggalkan Delina." Wajah Kevin mengeras, "Kau akan terkejut mengetahui berapa banyak yang setuju untuk menyambar umpanku mentah-mentah." "Tidak semua orang miskin tidak punya harga diri." sela Nessa sinis.
 "Benarkah?" pertanyaan itu sepertinya tidak perlu jawaban, hanya sebuah retorika yang menyindir. Nessa menyadari bahwa berdasarkan pengalamannya, lelaki itu punya pandangan negatif kepada orang-orang tidak mampu. Dia tadi bilang banyak orang lain yang mau menerima penawarannya mentah-mentah. "Apakah urusan kita sudah selesai?" Nessa melirik gelisah ke lorong TK yang sepi. Lelaki ini membuatnya tidak nyaman, entah kenapa. Kevin menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar santai di pilar, "Belum." gumamnya tenang, "Dan aku bersikeras untuk mengajakmu ke suatu tempat, dengarkan dulu." serunya ketika melihat Nessa akan membantah keras kata-katanya, "Kau adalah kakak Ervan, kekasih adikku. aku berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang buruk kepadamu, demi adikku. Dan memang aku tidak punya niat buruk sama sekali, aku hanya ingin bicara." "Bukankah saya bilang anda bisa membicarakan semua yang perlu anda bicarakan di sini?" "Tolong jangan pakai istilah anda dan saya." Kevin mengerutkan alisnya, "Itu terlalu formal dan mengganggu. Aku ingin berbicara tentang Delina, penting." Nessa menatap wajah Kevin. Lelaki itu tampak serius. Benar-benar serius. Sejenak dia ragu. Beranikah dia mempercayakan dirinya untuk pergi bersama lelaki ini? Nessa menghela napas, "Baiklah, tetapi hanya sebentar, kalau lebih dari jam dua siang aku belum pulang, orang rumah akan bertanya-tanya." Kevin mengangguk, "Hanya sebentar, kita bicara di restoran langgananku di dekat-dekat sini." ***  Restoran itu bertema garden restaurant dengan ruangan-ruangan yang redup karena rimbunnya pepohonan dan taman dan lampu-lampu berwarna kuning hangat yang menentramkan, seluruh dindingnya adalah kaca bening yang besar-besar, memantulkan suasana hijau di sekelilingnya. Hari ini mendung, dan berada di restoran yang begitu hijau itu membuat Nessa merasa semakin sejuk. Dengan sopan, Kevin menarikkan kursi untuk Nessa, dan duduk di depannya, lalu memesankan makanan mereka kepada pelayan yang menunggu. Setelah itu menunggu pesanan datang, Kevin menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Nessa. "Aku sama sekali tidak menentang hubungan Nessa dengan Ervan." Kevin tersenyum lembut, "Kuharap kau mengerti. Aku hanya ingin menjaga adikku." Nessa mengerti perasaan Kevin. Rasa ingin melindungi yang dalam, sama seperti yang dia rasakan kepada Ervan, adiknya satu-satunya. "Ada yang harus kukatakan padamu." Kevin melanjutkan karena Nessa diam saja, "Sebelumnya kau perlu tahu bahwa aku sudah menyelidiki keluargamu, maafkan aku."  Kevin menatap Nessa dengan permohonan penuh permintaan maaf ketika melihat tatapan tersinggung dari Nessa, "Aku harus melakukannya supaya aku benar-benar yakin bahwa aku bisa mempercayai kalian." Nessa mengangkat bahunya, "Silahkan lalukan apapun sesukamu, toh kau tidak akan menemukan rahasia gelap keluarga kami, karena memang tidak ada." Kevin mengangguk dan tersenyum, bersamaan dengan pelayan yang mengantarkan minuman mereka. "Sejujurnya aku kagum ketika membaca berkas-berkas laporan tentang keluarga kalian. Tidak mudah tumbuh menjadi orang hebat ketika situasi keuangan keluarga tidak mendukung." Lelaki itu berdehem menyadari bahwa kata-katanya mungkin saja sudah menyinggung Nessa, "Kembali ke masalah tadi, setelah menerima laporan dari penyelidikku dan mempelajarinya, aku memutuskan kau adalah orang yang tepat untuk membantuku." Nessa mengernyit, Kenapa laki-laki ini dari tadi berbicara dengan berputar-putar? Apa sebenarnya yang ingin dikatakannya? "Perlu kau tahu, Delina dan aku bukan saudara kandung." Kevin menatap Nessa, menilai reaksinya, "Aku adalah anak pungut, yang diangkat dan dibesarkan oleh keluarga mereka dengan penuh kasih sayang dan tidak dibedakan sama sekali dari anak kandung mereka, Delina." Itu informasi yang sangat mengejutkan dan Nessa tertegun mendengarnya. Kevin adalah anak angkat keluarga kaya itu? Kenapa Kevin membagikan informasi sepenting ini kepadanya "Ya, mereka keluarga yang baik dan sangat menyayangiku. Sejak ayah kami meninggal lima tahu lalu akulah yang mengambil alih kendali perusahaan dan mengembangkannya dengan pesat sampai sekarang, sementara yang dilakukan mama kami adalah mencurahkan kasih sayangnya kepada kami dengan sepenuh hatinya. Tetapi kemudian ada satu masalah." Kevin menghela napas panjang, "Mama kami mempunyai ide yang menurutnya brilian, bahwa aku dan Delina, kami seharusnya menikah saja dan menjadi keluarga sejati." Kali ini Nessa hampir-hampir tersedak oleh minuman yang dihirupnya, Apa?? "Tentu saja ide itu konyol untuk kami. Karena kami sudah dibesarkan begitu lama sebagai kakak adik, tidak mungkin kami berdua mengembangkan perasaan lebih dari itu. apalagi saat mama mengutarakan maksudnya, Delina sudah mempunyai Ervan." "Mereka sepertinya saling mencintai." gumam Nessa ahkirnya. "Ya, dari sisi Delina aku tahu dia mencintai Ervan." Kevin tersenyum, "Mulanya aku skeptis dan tidak yakin ketika Delina menceritakan tentang Ervan dengan begitu bahagia kepadaku. Katanya dia menemukan cinta sejatinya, padahal menurutku mereka masih anak kuliahan, hidup mereka masih panjang dan kekasih sejati yang dia maksud itu mungkin masih menunggu di depan sana. Apalagi dengan pengalaman burukku pada lelaki-lelaki yang mendekati Delina, hampir keseluruhan dari mereka menerima tawaranku untuk memberikan uang agar mereka mau meninggalkan Delina." Kevin tersenyum pahit. "Aku minta maaf atas pengalaman pahitmu dengan orang-orang seperti kami." gumam Nessa ketus, "Tapi kau perlu tahu bahwa kami tidak seperti itu. Kalaupun kau memang ingin Ervan meninggalkan Delina, aku bisa berbicara dengan Ervan dan kami tetap tidak mau menerima sepeserpun darimu." Kevin terkekeh, "Sepertinya kata-kataku selalu menyinggungmu ya." Lelaki itu mengangkat bahu, "Maafkan aku." Hening, hening yang lama sampai kemudian pelayan datang mengantarkan makanan mereka. "Lalu apa maksudmu menceritakan semuanya kepadaku?" Kevin tercenung,  "Meskipun tidak setuju, Delina tidak berani membantah permintaan mama supaya dia menikah denganku. Dan aku juga tidak mau terjebak situasi pernikahan yang aneh, dengan adikku sendiri. Tetapi mama bukanlah orang yang mudah di bantah, dia bisa keras kepala kalau dia mau. Apalagi dia melihat kalau selama ini aku dan Delina belum berhasil dengan hubungan percintaan kami. Kau tahu, Delina belum berani mengenalkan Ervan kepada mama.", dengan tenang Kevin menatap Nessa, tajam, "Perlu kau tahu Nessa, mama menderita lemah jantung, kalau ada hal-hal yang menjadi beban pikirannya, atau membuatnya terkejut maupun sedih, kami khawatir akan berakibat fatal kepada kesehatannya. Belum lagi sebuah beban berat di pundakku, karena aku anak angkat yang berhutang budi kepada mama, aku tidak bisa menolak idenya mentah-mentah begitu saja." Entah kenapa aku bisa mengerti dilema yang dirasakan Kevin. Batin Nessa. "Kemudian sebuah ide tercetus di benakku." sambung Kevin, "Mama tidak akan sedih kalau tahu bahwa kami masing-masing punya alasan untuk menolak pernikahan itu. Delina bisa menunjukkan kepada mama bahwa dia bahagia kepada mama, dan aku akan melakukan hal yang sama...., Masalahnya...." Kevin memajukan tubuhnya, dan menatap intens kepada Nessa, "Aku tidak punya wanita yang bisa kubawa kepada mama." Nessa mengernyit,  "Kau bisa membawa wanita manapun yang kau mau, begitulah yang kudengar." Kevin terkekeh, "Betul, sangat gampang mencari wanita yang mau denganku. Tetapi sangat susah membawa wanita yang bisa kubawa ke hadapan mama untuk kemudian diterimanya. Mama memiliki insting sangat tajam terhadap sesama wanita." Nessa terdiam, entah kenapa merasa penuh antisipasi. "Jadi Nessa, aku mengusulkan sebuah perjanjian untukmu. Maukah kau, berpura-pura menjadi kekasihku, calon isteriku untuk kubawa ke hadapan mama?" ***  Lelaki ini sudah gila rupanya. Menawarkan hal seperti itu kepadanya? "Kau sepertinya perlu memeriksakan otakmu ke dokter." Nessa menggeram marah lalu berdiri hendak meninggalkan meja mereka, "Sepertinya sudah cukup aku berada di sini." "Nessa." nada suara Kevin yang tenang itu entah kenapa berhasil membuat Nessa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kevin. "Kau harus pikirkan ulang sebelum menolak ide ini. Mamaku merencanakan pernikahanku dan Delina ahkir tahun ini. Kalau kita tidak bisa bekerja sama demi adik-adik kita, mereka akan patah hati." Nessa tertegun. Menyadari kebenaran perkataan Kevin, disini bukan hanya Kevin dan dirinya saja yang terlibat, ada kepentingan Ervan dan Delina di sini.  Entah apa yang akan terjadi nanti, tetapi yang pasti Nessa tahu bahwa perasaan yang dirasakan Ervan kepada Delina sangat kuat, Nessa yakin itu. Ervan tidak pernah secinta ini kepada seorang perempuan. Dan mengetahui bahwa Delina akan menikah dengan Kevin ahkir tahun ini pasti akan membuat Ervan terpuruk. Tetapi ide untuk berpura-pura menjadi pasangan Kevin, berpura-pura menjadi calon isterinya, masih terasa seperti ide gila yang sedikit menakutkan di benaknya. Dia sama sekali tidak mengenal lelaki ini selain sebagai kakak Delina dan sedikit membaca kesan penakluk perempuan pada auranya. Beranikah dia? "Aku berjanji, ketika permasalahan sudah beres dan mama bisa menerima bahwa aku dan Delina berhak menentukan cinta sejati kami masing-masing, kita bisa melepaskan ikatan di antara kita tanpa masalah, mungkin aku bisa bercerita bahwa kau dan aku pada ahkirnya tidak cocok. Tentang Delina dan Ervan, biarlah mereka menentukan masa depan mereka masing-masing." Perkataan Kevin terasa begitu menggoda, karena membuat semuanya tampak berjalan mudah. Nessa menghela napas panjang, "Tolong berikan aku waktu untuk berfikir." "Oke." Ervan menyerahkan kartu namanya kepada Nessa, "Hubungi aku di sini kalau kau sudah siap memberikan jawaban. Tapi ingat Nessa, jangan terlalu lama, waktu kita sedikit." ***  "Tadi aku menjemput kakak ke TK, tapi kepala sekolah bilang kakak sudah pulang, bersama seorang pria." Ervan menatap Nessa mengernyit, "Katanya pria itu naik mobil mewah," adiknya itu langsung menyambutnya ketika Nessa berjalan memasuki rumah. Tadi Nessa tidak mau pulang diantar oleh Kevin, syukurlah. Tidak terbayangkan bagaimana kagetnya Ervan kalau melihat Nessa di antar pulang oleh kakak Delina.  Mungkin Ervan akan lebih kaget lagi kalau pada ahkirnya Nessa menyetujui kesepakatan yang diajukan Kevin. Tetapi itu nanti, Nessa harus memikirkan segalanya dengan baik terlebih dahulu. "Kak?" Ervan mendesah ketika Nessa tidak menjawab pertanyaannya,  "Oh... yang pulang bersamaku? eh dia seorang teman kuliah kakak dulu, kami berjanji bertemu untuk membahas reuni angkatan kami." Jawab Nessa asal-asalan. Dan rupanya jawaban itu tidak memuaskan Ervan, "Pria itu bukan Marcell kan kak? aku tahu kita bertemu dengannya di pesta kemarin, dia adalah satu-satunya laki-laki yang pernah dekat denganmu, dan pernah menjemputmu dengan mobil mewahnya dulu..... maafkan pertanyaanku ini kak, aku cuma takut kau berhubungan lagi dengannya dan mengalami kesakitan seperti dulu lagi." Sejenak Nessa mencerna kata-kata Ervan, semula dia hendak marah karena Ervan seolah menuduhnya, kemudian hatinya menyadari bahwa Ervan sungguh menyayanginya dan mencemaskan Nessa. "Tidak Ervan, aku tidak pernah memikirkan Marcell lagi, meskipun hati ini masih sakit, tetapi perasaan itu sudah mati." Apalagi kemarin, setelah dia mengalami penghinaan oleh tunangan Marcell dan lelaki itu seperti tanpa daya tak mampu berbuat apa-apa. "Dan kau bisa tenang, yang menjemputku tadi benar-benar bukan Marcell." Ervan menarik napas lega, lalu merengkuh Nessa ke dalam pelukannya, "Syukurlah... aku sebenarnya mencemaskanmu kak, karena aku semalam ada di pesta itu, melihat sendiri kau bertemu dengan Marcell yang dulu pernah begitu kau cintai. Aku ingat betapa terpuruknya kau dulu, aku cuma takut kau, kakakku yang paling kusayangi disakiti lagi olehnya." Nessa tersenyum penuh haru dan membalas pelukan Ervan, "Aku sudah dewasa dan sudah kuat Ervan, tidak seperti dulu lagi, kau tidak perlu mencemaskanku seperti itu." Ervan menjauhkan wajahnya dan menatap serius, "Sebenarnya dari dulu aku sudah tidak suka dengan Marcell dari awal dia memang kelihatan seperti lelaki yang lemah, tapi waktu itu aku masih terlalu muda dan tidak berani berpendapat, apalagi ketika aku melihat kau begitu mencintainya, ketika kau dulu disakiti aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang aku juga sudah dewasa kak, kau bisa mengandalkanku. Kalau ada lelaki yang berani-beraninya mendekatimu, mereka harus melalui aku, dan kalau mereka menyakitimu, akan kuhajar mereka sampai babak belur." Nessa terkekeh geli dan tiba-tiba terlintas di benaknya, kalau dia benar-benar menerima kesepakatan dari Kevin, situasi antara mereka berempat, Nessa, Ervan, Kevin dan Delina pasti akan menjadi sangat lucu. "Bagaimana kabar Delina?" Nessa bertanya untuk mengalihkan pikiran tentang Kevin. Mendengar nama perempuan yang dicintainya itu, seketika itu pula tatapan Ervan berbinar. "Delina sungguh perempuan yang luar biasa." Ervan tertawa sendiri, "Dengan latar belakangnya yang seperti itu, dia sungguh nggak keberatan jalan-jalan dengan mobil butut kepunyaan kita, makan di warung bakso pinggir jalan, aku benar-benar jatuh cinta kepadanya kak. Semoga kemarin kesan kita ke kakak Delina bagus ya. Aku nggak bisa membayangkan kalau kami harus menghadapi ketidaksetujuan dari keluarga Delina, karena saat ini kami sungguh menghadapi setiap waktu dengan berbahagia." Ervan menggesek-gesekkan telapak tangannya dengan bersemangat, "Malam ini aku mengajak Delina supaya makan malam di rumah kita, agar dia bisa lebih mengenal ibu. Ibu juga senang sekali. Beliau sedang ke pasar untuk berbelanja untuk masakan makan malam." Nessa tersenyum, antara miris sekaligus tersentuh dengan kebahagiaan Ervan. Tiba-tiba sebuah keputusan sudah muncul di benaknya. Sambil beralasan ingin berganti pakaian, Nessapun melangkah memasuki kamarnya, Tetapi yang dilakukan pertama kali adalah duduk di tepi ranjang, dan mengeluarkan kartu nama Kevin dari saku bajunya. Saat ini, sebagai seorang kakak, mungkin inilah yang bisa dilakukannya demi kebahagiaan Ervan. Dikeluarkannya ponselnya dan di pencetnya nomor itu. Kemudian tegang menunggu hubungan tersambungkan.  Dalam deringan ketiga, ponsel diangkat dan suara Kevin yang dalam menyahut di sana. "Halo?" Nessa menelan ludah, suaranya terasa tercekat dan tenggorokannya terasa kering ketika akan menyatakan keputusannya itu, "Halo... ini Nessa.... aku... aku cuma mau bilang, aku akan melakukan kesepakatan yang kau bicarakan tadi."  ***  Bersambung Ke Part 3 Baca Part 1 : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 19, 2012 22:28

December 18, 2012

Perjanjian Hati Part 1


Created On 14 December 2012

Part 1

Tak pernahkah kau mengerti? Hatiku ini sudah ada dalam genggamanmuLalu kau buang begitu saja.....Begitu saja....  










Nessa menangis, sungguh-sungguh menangis mendengarkan alunan lagu itu dari pemutas musik miliknya. Hujan turun dengan derasnya di luar, tetapi sederas apapun hujan itu, tak akan bisa mengalahkan derasnya darah yang mengalir dari hatinya yang remuk redam, dihancurkan begitu saja oleh kekasihnya, tanpa ampun. Ingatannya melayang pada sore yang berhujan, saat itu hanya ada dia, dan Marcell, kekasihnya. "Kita sudah tidak boleh bertemu lagi." Nesa mengernyit dan mendongak menatap Marcell yang lebih tinggi darinya,  "Apa maksudmu?" "Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi Nessa, maaf."

"Kenapa Marcell?", dia mulai gemetaran, menyadari bahwa semua ini benar-benar nyata.

"Kau tahu kenapa, aku sudah tidak kuat dengan desakan ibuku dan sebagainya. Maafkan aku Nessa, aku menerima pertunangan dengan Susan. Selamat tinggal." Hanya seperti itu, tanpa penjelasan apa-apa, tanpa pelukan perpisahan, dan Marcell pergi meninggalkan Nessa dengan hati hancur. ***  Suara bel di taman kanak-kanak yang indah itu berbunyi. Nessa segera mengatur agar semua murid-muridnya duduk dengan rapi dan berdoa. Sangat sudah mengatur anak-anak TK yang begitu aktif dan tak bisa duduk diam itu, tetapi Nessa senang, karena mereka adalah sekumpulan bocah tanpa dosa, yang penuh rasa ingin tahu dan kegembiraan murni dalam memandang dunia. Selesai berdoa, anak-anak berjalan dengan rapi menyalami Nessa, lalu berhamburan menuju orang tua masing-masing yang sudah menunggu di luar. Nessa merapikan tas-nya ketika ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Selamat siang ibu guru, jemputan sudah datang." Nessa tersenyum, menatap laki-laki yang berdiri di pintu ruang kelasnya dengan tatapan jahilnya,  "Selamat siang juga, apa yang kau lakukan di sini siang-siang Ervan?", sambil meraih tasnya, Nessa menghampiri sang adik yang telah tumbuh dewasa menjadi lelaki yang begitu tampan. "Aku tidak sengaja lewat sini sepulang mengantar teman kampus, dan menyadari bahwa aku lewat taman kanak-kanak tempat kakak mengajar, jadi kupikir ada baiknya aku menjemput kakak daripada kakak harus naik angkot." "Naik angkot sebenarnya juga tidak apa-apa.", Nessa berjalan menuju parkirian, diiringi oleh Ervan dan menghampiri mobil tua warna hitam, warisan dari Almarhum ayah mereka yang sekarang dipakai oleh Ervan ke kampusnya, Mereka masuk dan Ervan menjalankan mobilnya keluar dari halaman Taman kanak-kanak itu. "Aku ingin minta bantuan kakak." Ervan mengernyitkan keningnya sambil menatap ke arah jalanan yang ramai. "Bantuan apa?" "Tentang Delina." Nessa ingat tentang Delina. Perempuan itu adalah teman kuliah Ervan yang pernah diajak Ervan ke rumah beberapa hari yang lalu. Delina adalah perempuan cantik, dan tentu saja anak dari orang kaya, pikir Nessa pahit, berusaha menahan goncangan masa lalu yang tiba-tiba menusuknya, Tentu saja dia anak orang kaya, Delina datang ke rumah mereka dengan mengendarai mobil sport keluaran terbaru yang harganya mungkin saja mencapai sepuluh kali lupat harga jual rumah mungil keluarga Nessa. "Kenapa dengan Delina?", batin Nessa berteriak, dia sebenarnya tidak ingin Ervan berdekatan dengan Delina. Orang kaya selalu memandang rendah orang miskin, Itu fakta, itu pula yang dilakukan keluarga Marcell kepadanya dulu. Nessa hanya tidak mau Ervan mengalami kekecewaan seperti dirinya sesudahnya. Tetapi semua larangannya tertahan, dia tak tega mengatakan semua itu kepada adiknya yang sekarang sedang berbinar-binar matanya, mabuk kepayang kepada perempuan impiannya. "Delina dan aku, kami saling mencintai dan berniat menjalin hubungan serius.", Ervan mendesah, "Tetapi ada masalah dengan keluarganya.' Nessa mengernyit. Pasti akan selalu ada masalah, ketika keluarga kaya menemukan anaknya berpacaran dengan keluarga miskin, pasti akan selalu ada masalah. "Keluarganya mengundang kita dalam sebuah makan malam mewah di rumah mereka, pesta itu diadakan oleh kakak Delina, seorang pengusaha yang kaya raya... kakaknya, ingin bertemu denganku dan aku... aku agak ngeri karena desas desus yang berkembang, kakaknya itu sangat kejam dan jahat.", Ervan menatap Nessa dengan tatapan memohonnya, yang selalu berhasil digunakannya untuk meluluhkan hati kakaknya, "Kau mau menemaniku ke pesta itu kan ya?" "Kenapa harus denganku?", Nessa merengut, mencoba berkelit. "Karena kakaknya ingin bertemu dengan salah satu keluarga kita, kau kakakku satu-satunya, aku kan tidak mungkin mengajak ibu, penyakit rematiknya parah dan tidak bisa keluar malam." "Apa yang ingin dilakukan kakak Delina? Kenapa dia ingin bertemu dengan salah satu keluarga kita?", Nessa menerka-nerka dan sebuah pikiran pahit berkecamuk di benaknya, jangan-jangan si kakak itu ingin mencemooh dan menghina mereka di pesta itu? "Yah... aku adalah pacar Delina, kakaknya itu sangat protektif kepada Delina, mengingat sebelum-sebelumnya banyak lelaki yang mendekati Delina demi mengincar harta keluarga mereka, aku maklum kalau kakaknya ingin mengenal kita dan memastikan aku baik untuk Delina." Tentu saja Ervan baik untuk Delina. Nessa mengernyit, dialah yang akan maju pertama kali kalau ada yang meragukan kebaikan hati Ervan. Mereka berdua adalah anak yang dibesarkan dari seorang ibu yang berjuang seorang diri karena suaminya telah meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil. Ibunya berjualan kue basah dan menitipkannya ke warung-warung, Nessa masih ingat ketika dia dan Ervan sepulang dari Sekolah Dasar membantu sang ibu menarik wadah-wadah tiipan dari warung-warung tersebut sambil berjalan kaki.  Dan hidup dengan keprihatinan dan kesederhanaan telah membuat Nessa dan Ervan tumbuh menjadi pribadi yang bersahaja, mereka membantu sang ibu dengan bekerja sambilan untuk membiayai pendidikan. Ahkirnya setelah Nessa lulus dan menjadi guru sebuah TK, Ervan mendapatkan beasiswa di sekolah Teknik ternama di kotanya, dan kepandaiannya membuatnya mempunyai masa depan yang cukup cerah. Kepandaian otaknya, ketampanan fisiknya dan kebaikan hati Ervan membuat Nessa yakin bahwa adiknya adalah pasangan paling sempurna bagi siapapun. ***  "Selamat datang.", Delina menyambut Ervan dan Nessa dengan bahagia di pintu, pipinya bersemu merah dan matanya berbinar ketika melihat Ervan. Nessa mengamatinya dan mau tak mau tersenyum. Bagaimanapun  juga, Delina benar-benar tampak seperti perempuan yang baik dan sungguh-sungguh mencintai Ervan, "Terimakasih kak Nessa mau menemani Ervan kemari", dengan sopan dan ramah, Delina menyalami Nessa, "Mari silahkan masuk, pestanya sudah dimulai." Pesta itu benar-benar pesta mewah yang elegan, yang memang diperuntukkan untuk kelas atas. Semuanya berpakaian indah, dan syukurlah meski tidak mahal gaun hitam Nessa yang sederhana tampak begitu cantik dipakainya. "Sendirian di sini?", seorang lelaki tiba-tiba sudah ada di sebelahnya dan menyapanya, Nessa menoleh dan menemukan lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya. Dengan rambut disisir rapi, dagu yang sudah dicukur bersih, dan pakaian yang sepertinya dijahit khusus untuknya, lelaki muda itu tampak seperti pangeran dari negeri dongeng, "Tidak... saya bersama pasangan saya." Tiba-tiba Nessa merasa gugup. Penampilan lelaki itu dan aura yang dibawanya entah kenapa membuatnya merasa gugup dan tiba-tiba saja ingin melarikan diri.

"Oh? benarkah, sepertinya aku tidak melihatnya." Lelaki itu menatap ke arah Nessa tajam meskipun bibirnya tersenyum, "Sungguh pasangan anda orang yang sangat ceroboh membiarkan perempuan cantik sendirian di sini."

Nessa mengernyitkan keningnya,

"Maaf... saya akan mencari pasangan saya."

Dengan buru-buru Nessa membalikkan badannya dan mencoba pergi, aura lelaki membuatnya gelisah tidak tertahankan lagi, cara lelaki itu menatapnya bagaikan harimau mengincar mangsanya.

"Nessa?"

Nessa langsung tertegun mendengar suara itu, suara yang dikenalnya, suara dari masa lalunya yang sudah bertahun-tahun berusaha dilupakannya. Suara Marcell.

Dengan gugup didongakkannya kepalanya, dan tertegun, itu memang benar Marcell yang sama, hanya sekarang lebih tampan, lebih dewasa. Dan hati Nessa luar biasa sakitnya mengingat kenangan itu, ketika Marcell meninggalkannya, begitu saja tanpa penjelasan apa-apa, karena dorongan keluarganya.

Nessa ingat sekali ketika itu ibu Marcell, seorang nyonya besar yang kaya raya tidak menyetujui hubungan Nessa dengan Marcell, karena Nessa hanyalah perempuan biasa, dari keluarga biasa, apalagi ibu Marcell sudah menyiapkan calon untuk Marcell, anak dari temannya, keturunan ningrat yang saat itu sedang menyelesaikan magisternya di australia, bernama Susan.

"Hai Marcell, apa kabar?", suara Nessa terdengar lemah, terlalu terkejut.

Marcell tersenyum miris.

"Kabar baik Nessa, kau sendiri? bagaimana kabarmu?"

"Aku baik.". tiba-tiba saja Nessa ingin menangis, kenapa dia harus bertemu Marcell di sini? Marcell adalah satu-satunya lelaki yang tidak ingin ditemuinya di dunia ini, "Dimana Susan?", tanya Nessa mencoba tegar.

"Ah, Susan...", Marcell tampak salah tingkah, "Dia ada di sana, sedang berbicara dengan temannya, eh.. kami sudah bertunangan, tanggal pernikahan kami ditentukan 2 bulan lagi, segera setelah Susan mengurus kepindahannya dari australi, aku harap kau mau datang."

Bagaimana mungkin Marcell tega mengucapkan kalimat menyakitkan itu tanpa rasa bersalah sedikitpun? Tidak ingatkah dia betapa dia telah menyakiti hati Nessa dengan begitu kejam, meninggalkannya tanpa perasaan? membuat Nessa ahkirnya tidak bisa mencintai lelaki lain?

"Aku... aku tidak bisa berjanji....aku..."

"Marcell, teman-temanku ingin berbicara denganmu dear." Perempuan cantik itu tiba-tiba datang dan menggayuti lengan Marcell dengan manja, dia lalu menatap Nessa dan mengangkat alisnya, "Eh... siapa ini?"

Marcell tampak gugup dan menelan ludah.

"Ini Nessa, teman kuliahku dulu, kami sudah lama tak bertemu dan kebetulan bertemu di sini."

"Oh", Susan menatap Nessa dari kepala sampai kaki dengan pandangan meremehkan, "Aku pernah dengar dari ibumu kalau kau dulu pernah punya kekasih bernama Nessa yang kau tinggalkan, hmmmm....", Susan tersenyum mencemooh, "Pantas saja kalau begitu, dia tidak selevel dengan kita, bukan begitu dear?"

Marcel tampak kehilangan kata-kata sedangkan Nessa berdiri dengan muka merah padam atas penghinaan terang-terangan yang diucapkan dengan lantang tersebut.

Sebelum mereka dapat berkata-kata, sosok pria tampan yang tadi menyapa Nessa tiba-tiba melangkah mendekat dan mengamit lengan Nessa dengan mesra.

"Kau tidak mengenalkan mereka kepadaku, sayang?"

Nessa mendongak, mengernyitkan alisnya sambil menatap lelaki tak dikenal itu, apa katanya tadi?

Tetapi kemudian perhatiannya teralihkan oleh wajah Susan dan Marcell dan memucat,

"Kau mengenal Tuan Kevin, Nessa?" tanya Marcell seolah tak percaya.

Pria bernama Kevin itu semakin mendekatkan tubuhnya pada tubuh Nessa,

"Tentu saja, Nessa adalah kekasihku, dan sepertinya kalian mengenalku ya?"

"Keluarga kami menjalin hubungan bisnis dengan anda Tuan Kevin.", kali ini Susan yang menyahut sambil tersenyum manis, "Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dan bercakap-cakap langsung dengan anda di sini."

Kevin ganti menatap Susan dengan pandangan mencemooh,

"Hmmm.... kehormatan bagimu juga mungkin bisa berbicara dengan kekasihku yang luar biasa ini." Lalu Kevin tersenyum pada Nessa, tidak mempedulikan muka Susan yang memerah karena jawaban kasarnya itu, "Ayo sayang kita pergi, masih banyak tamu-tamu penting yang harus kita temui."

Kemudian Kevin membalikkan tubuh Nessa, membawanya dalam gandengan lengannya, meninggalkan Marcell dan Susan yang berdiri dengan terhina di sana.

***

"Kenapa kau membantuku?" Nessa berbisik pelan setelah mereka menjauh dari pasangan Marcell dan Susan.

Kevin tergelak dan kemudian melepaskan genggaman lengannya,

"Aku melihat seorang perempuan yang hampir dipermalukan oleh kekasih yang dengki, dan aku merasa harus turun tangan untuk membantu." kemudian lelaki itu mengulurkan tangannya, "Kita tidak sempat berkenalan tadi karena kau buru-buru kabur."

"Oh" pipi Nessa memerah, "Te... terimakasih atas bantuannya, aku....."

"Kakak?" kali ini suara Delina yang menyela. Kevin dan Nessa menoleh serentak, dan berhadapan dengan Delina yang sedang bersama Ervan

Delina tersenyum ceria ketika melihat Nessa,

"Ah... kulihat kakak sudah berkenalan dengan kak Nessa, kakaknya Ervan.... Kak Nessa ini kakakku yang kuceritakan ingin berkenalan."

Sedikit terkejut atas informasi baru itu, Nessa melirik ke arah Kevin. Sekilas Nessa menyadari rona wajah Kevin yang hangat berubah menjadi dingin. Apakah lelaki itu menjadi dingin ketika mengetahui bahwa Nessa adalah kakak Ervan? Nessa masih ingat cerita Ervan bahwa kakak Delina ini sangat mencurigai orang miskin sebagai pengincar harta mereka.

Apakah kisahnya bersama Marcell akan  terulang pada Ervan? dicemooh dan diremehkan hanya karena mereka berasal dari keluarga sederhana?

"Oh... ini Ervan yang kau ceritakan itu?" Kevin berucap lambat-lambat dan kemudian membalas uluran tangan Ervan, setelah selesai berjabat tangan, dia menoleh lagi kepada Nessa, "Dan kau Nessa, kakaknya Ervan.....senang berkenalan denganmu.", Lelaki itu mengulurkan tangannya kepada Nessa, dan mau tak mau Nessa menerima uluran tangan itu.

Seketika Kevin menggenggam tangannya yang mungil itu dengan kuat dan dominan, seperti mengisyaratkan sesuatu.

"Well, sepertinya kita akan banyak bertemu nanti Nessa." gumamnya penuh arti

Nada suaranya ramah, tetapi entah kenapa Nessa merasa ngeri.

***
Seperti biasa Nessa melangkah keluar kelas setelah memastikan semua muridnya benar-benar pulang dalam jemputan keluarga mereka.

Taman kanak-kanak itu tampak lengang, dan sepi. Yah biasanya yang membuat ramai adalah kehadiran murid-murid kecilnya yang berceloteh riang kesana kemari.

Sekarang tinggal guru-guru yang sibuk merapikan barang-barang mereka di ruang guru.

Nessa mendesah dan mengambil tasnya lalu melangkah ke lorong TK itu, entah kenapa sejak pesta itu batinnya kembali terasa sakit, sakit hati yang telah coba dilupakannya begitu lama. Sakit hari karena kepedihan ketika Marcell meninggalkannya dengan kejam, kini semua itu kembali lagi.

Mungkin ini semua karena di pesta itu dia bertemu kembali secara langsung dengan Marcell, melihat langsung bagaimana Marcell sudah melukapannya dan berbahagia dengan tunangannya.

Pernikahan mereka dua bulan lagi....

Tiba-tiba saja batin Nessa berdenyut dan terasa sakit. Kenapa hatinya sakit? apakah dia masih menyimpan cinta itu kepada Marcell? bahkan setelah dia dicampakkan dan dikhianati sedemikian rupa?

"Hati-hati, nanti kau tersandung."

Suara maskulin itu tiba-tiba muncul, tak disangka-sangkanya. Begitu mengejutkan hingga Nessa mengeluarkan suara pekikan kaget.

Dia mendongak ke arah suara itu, dan menemukan Kevin, kakak Delina, sedang bersandar di tiang lorong Taman kanak-kanak itu, masih mengenakan setelan jas kantornya yang elegan.

"Kenapa anda ada di sini?" tiba-tiba Nessa merasa waspada.

Kevin tersenyum misterius.

"Ada yang ingin kusampaikan kepadamu, kalau kau tidak sibuk."

"Darimana anda tahu tempat saya berkerja?", kali ini perasaan Nessa di dominasi oleh rasa curiga, jangan-jangan lelaki ini sudah membayar orang untuk menyelidiki Ervan dan keluarganya?

Kevin terkekeh melihat tatapan curiga Nessa,

"Jangan menatapku seoerti itu, aku tidak mengambil informasi lewat jalan belakang." dengan elegan dia mengangkat bahunya, "Aku mendapat informasi dari Delina bahwa kau bekerja di sini, dia sering bercerita tentang Ervam, tentang kau."

"Oh." Nessa tercenung, "Apa yang ingin anda sampaikan kepada saya?"

Mendengar pertanyaan Nessa, tatapan Kevin berubah serius.

"Mungkin kau bisa ikut aku ke suatu tempat untuk membicarakannya?'

Alarm peringatan langsung berbunyi di benak Nessa, mengingatkannya, Entah kenapa meskipun tersenyum ramah, aura Kevin tampak mendominasi dan menyimpan sesuatu yang misterius. Nessa tidak mau pergi kemanapun dengan lelaki itu.

"Kalau memang bisa kenapa tidak kita bicarakan di sini saja?"

Kevin menatap tajam, kemudian sekilas tampak geli melihat ketakutan Nessa yang berusaha disembunyikannya dengan baik.

"Oke kalau begitu, meskipun aku sebenarnya ingin membicarakannya di tempat yang lebih pribadi.", Tatapannya berubah serius dan dalam sekejap auranya berubah dingin, "Begini nona Nessa, aku ingin menawarkan sejumlah uang kepada keluargamu supaya kalian semua menjauhi Delina."

***

Bersambung ke Part 2
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 18, 2012 03:22

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.