Bandung, December 24th 2012 Part 6Aku pernah mencintaimu sampai terasa sakit luar biasa. Sampai di titik sakitnya sudah tidak terasa lagiYang Tersisa cuma cinta, yang terasa cuma cinta....Meski akhirnya yang aku dapat hanyalah pengkhianatan... Kevin mengemudikan kendaraannya dengan kencang, mengumpat-umpat jika terkena kemacetan dan lampu merah, tetapi selain itu perjalanan lancar. Sambil mengemudi Kevin melirik ke arah Nessa, yang meremas-remas tangannya dengan cemas sambil memandang ke depan. "Apakah Marcell serius dengan kata-katanya?" Nessa menoleh menatap Kevin yang sudah mengalihkan pandangannya lagi ke jalan, "Dia... dia terdengar gila dan putus asa." Kevin menghela napas pendek, "Pasti gara-gara pernikahan kita ya?", lelaki itu mendengus kesal, "Dasar laki-laki tidak punya otak." "Jangan mengata-ngatai orang." Kevin menatap Nessa marah, "Aku tidak salah bukan? dia memang tidak punya otak, tidak punya hati dan pengecut luar biasa. Dulu ketika ada kesempatan dia tidak memperjuangkanmu, sekarang ketika jelas-jelas dia kalah yang dilakukannya hanya merajuk dan mengancam bunuh diri, benar-benar lelaki tak punya otak!", Kevin mengencangkan laju mobilnya, Nessa terdiam, tidak bisa membantah kata-kata Kevin karena semuanya mengandung kebenaran. Marcell dulu tidak berbuat apa-apa untuk memperjuangkannya. Lelaki itu hanya diam dan mencampakkannya dalam kehancuran. Sekarang, ketika baginya Nessa sudah termiliki oleh lelaki lain, Marcell menggila. Kenapa Marcell melakukan ini semua? benarkah ini didasari cinta Marcell yang masih tersimpan untuknya? atau ini hanyalah estimasi cemburu buta yang merenggut kewarasan lelaki itu? ***Taman kota tampak lengang, begitu Kevin memarkir mobilnya di sana, Nessa langsung keluar diikuti oleh Kevin. "Ke arah mana?" Tanya Kevin sambil mensejajari langkah Nessa. Nessa memandang ragu, sudah dua tahun berlalu sejak dia terakhir kali kemari. Terakhir kali dia kesini adalah di tengah hujan, saat Marcell mencampakkannya dua tahun lalu. Setelah itu jangankan kemari, memikirkannyapun Nessa tidak berani. Saat ini taman kota sudah berubah hingga Nessa hampir tak mengenalinya. Di mana tempat dia dan Marcell sering menghabiskan waktu dulu...? "Nessa?" Kevin menggeram, tak sabar. Nessa menelan ludah dan mengambil keputusan. "Ke arah sana." gumamnya sambil tergesa ke arah kanan, dengan Kevin mengikutinya. *** Marcell ada di sana, masih berpegang pada pagar kayu di jembatan itu. Jembatan setinggi lima meter di udara, yang menghubungkan jurang dalam dengan aliran sungai berbatu di bawahnya. Salah satu keunggulan taman kota ini adalah pemandangan di atas jembatan ini. Dengan gemericik sungai dan air terjun buatan yang cukup mempesona, bagaikan harta karun alam tersembunyi ditengah hiruk pikuk polusi dan kesibukan kota. Tetapi sekarang Nessa tidak sempat mengagumi pemandangan indah itu, matanya terpaku pada Marcell dan tampak cemas. "Marcell." serunya dalam bisikan tertahan, takut kalau suaranya terlalu keras akan mengagetkan lelaki itu dan membuatnya terlompat. Marcell yang semula menatap kosong ke bawah, menoleh perlahan dan menemukan Nessa dan Kevin di ujung jembatan. Matanya membara penuh tekad, "Jangan mendekat!" serunya keras, "Atau aku akan lompat." Nessa berseru frustrasi, bingung harus berbuat apa. Taman kota ini nampak sepi, disiang yang lengang ini. Syukurlah, kalau tidak pasti sudah ada keramaian menghebohkan di sini. "Lompat saja kalau berani, aku pikir itu akan membuat Nessa puas." Kevin bergumam tenang tetapi cukup keras untuk di dengar Marcell Seketika Nessa dan Marcell menatap Kevin dengan keget, "Kevin..." Nessa mendesis mencoba memperingatkan lelaki itu agar tidak memperkeruh suasana, tetapi Kevin hanya mengedikkan bahunya tak peduli, lelaki itu menatap Marcell yang tengah menatapnya dengan senyum mengejek. "Lompat saja Marcell, aku menunggu di sini, untuk melihat sampai dimana keberanianmu." dengan sinis Kevin tersenyum, "Kau pikir kau lompat atau tidak akan berpengaruh pada Nessa? kau terlalu percaya diri. Nessa kemari mencegahmu karena dorongan hatinya yang terlalu baik, tapi kenyataannya kau sudah tidak ada lagi di kehidupannya. Kau mau mati atau hidup, tidak ada untung ataupun ruginya bagi dia.... aku pribadi merasa terganggu dengan tingkahmu yang kekanak-kanakkan dan merepotkan ini, jadi cepat lompat saja dan mati sekalian, biar semua kerepotan ini usai." Marcell menatap Kevin marah, napasnya terengah-engah, penuh ketersinggungan, "Kau... kau tidak ada urusannya untuk mengomentari hubunganku dengan Nessa, semua ini antara aku dan Nessa, kau tidak berhak ikut campur!". serunya emosi Kevin mengangkat alisnya, "Tidak berhak ikut campur?" dengan sengaja dia merangkul Nessa supaya merapat padanya, "Nessa isteriku. Dan jika ada lelaki gila yang mengganggu dan mengancam-ancam akan bunuh diri karenanya, maka aku berhak ikut campur." Tatapan Kevin menajam dengan jahat, "Aku menyelidikimu Marcell, aku tahu pasti masa lalumu dengan Nessa, dimana kau mencampakkan gadisku ini dengan kejam.
Well.... sebenarnya masa lalu itu urusan kalian berdua, tetapi kalau sampai masa sekarang, kau masih merecoki Nessa, aku akan turun tangan. Dan ketika aku turun tangan, itu berarti kehancuran bagi kau dan keluargamu" Marcell menatap Kevin, menelan ludah dan tampak meragu, rupanya baru menyadari situasinya. "Jadi silahkan kalau kau mau bunuh diri dan mampus di bawah sana. Tetapi jangan ikut-ikutkan isteriku dalam permasalahanmu. Jangan pernah berani-benarinya lagi kau mengganggu isteriku." Kevin membalikkan badan, dan menyeret Nessa bersamanya, "Ayo Nessa, kita pergi. Yang penting kita sudah mengutarakan maksud kita. biarkan bajingan itu mengambil keputusannya sendiri." Dengan sedikit memaksa Kevin menyeret Nessa agar mengikuti langkahnya. Nessa mencoba memberontak dan melepaskan pegangan Kevin, tetapi lelaki itu mencengkeramnya dengan begitu kiat sampai terasa sakit, sampai akhirnya Nessa menyerah dan mengikuti langkah Kevin, Sempat dia menoleh ke belakang dan melihat Marcell masih termenung di jembatan.
Ah. Ya Tuhan... semoga Marcell tidak melompat. Desahnya dalam hati sambil memejamkan mata. *** Kevin membukakan pintu untuk Nessa lalu membanting pintu itu setelah Nessa masuk dan dengan sigap melangkah ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya, membawa Nessa meninggalkan taman kota itu. "Kupikir kau mengembut mengantarku ke taman kota tadi untuk membantuku mencegah Marcell melompat." desis Nessa kesal, ketika mereka sudah memasuki jalan raya yang ramai, "Tak kusangka kau malah datang untuk menyuruhnya lompat." Kevin terkekeh dan mengedikkan bahunya ke arah Nessa, "Dia pantas menerimanya." Nessa menelan ludah. "Ba... bagaimana kalau dia benar-benar melompat?" Tawa Kevin makin keras, meremehkan. "Marcell?
melompat? aku berani bertaruh dia tidak akan mampu melakukannya, dia terlalu pengecut untuk itu. Yang dia lakukan hanyalah menggertak. Dia hanya ingin kau datang, lalu dia akan mengancam, dia akan membuatmu memohon kepadanya agar tidak melompat, pada akhirnya, kau akan berjanji menuruti semua kemauannya." Kevin mendengus kesal. "Aku tahu persis tipikal lelaki pengecut macam dia Nessa, kau harus berhati-hati." Jeda sejenak, kemudian Kevin bertanya, "Apakah kau masih mencintai dia?" Nessa tertegun. Apakah dia masih mencintai Marcell? Melihat Marcell di jembatan tadi, rapuh, tak berdaya dan putus asa, membuat hati Nessa serasa diremas. Tetapi apakah itu cinta? ataukah itu hanya rasa kasihan? Nessa tidak tahu. dia tidak bisa menjawab. Dan Kevin sepertinya juga tidak mengejar jawaban darinya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya lagi ke jalan dan melajukan kendaraannya pulang. *** "Mau kemana?" Nessa hampir saja terlonjak kaget ketika mendengar suara Kevin muncul dari kegelapan lorong. Dia hendak keluar bersama Aya, teman mengajarnya di TK. Mereka berdua seumuran dan sama-sama suka membaca buku, biasanya di hari sabtu sore mereka keluar berdua untuk makan, bersantai dan berburu buku-buku bekas di pasar buku yang sangat sering mereka datangi. Sejak Nessa menikah, mereka tidak melakukannya lagi, tapi tadi Aya menelepon dan mengajaknya, dan karena rumah sedang sepi karena Delina sedang mengajak mamanya kontrol dirumah sakit, Nessa memutuskan untuk pergi bersama Aya. Biasanya Kevin belum pulang jam-jam segini. Lelaki itu selalu pulang larut dari pekerjaannya, jam sembilan atau jam sepuluh malam baru sampai ke rumah, sementara sekarang masih jam lima sore. Nessa menatap Kevin yang tampak lelah. Lelah tetapi tampan, dia masih mengenakan setelan jas dengan dasi sudah dilonggarkan dan rambut yang sedikit acak-acakan. "Eh... aku ada acara dengan temanku." Jawab Nesa segera setelah debar dihatinya mereda melihat ketampanan Kevin. Lelaki itu mengangkat alisnya, "Acara? Malam minggu?
dengan laki-laki?" Nessa merasa tersinggung, sebenarnya lebih mudah kalau dia langsung menjelaskan kalau dia pergi dengan teman perempuannya. Tetapi nada arogan di suara Kevin membuat harga dirinya tergelitik. Lelaki itu tidak berhak mengatur-atur dengan siapa dan kapan dia akan menghabiskan waktunya. "Apa bedanya kalau dengan laki-laki atau perempuan?" "Tidak boleh kalau dengan laki-laki." Suara Kevin datar, tapi mengancam. Hal itu malah membuat Nessa semakin tersulut kemarahannya. "Aku berhak pergi dengan siapapun yang aku mau. Kau memang suamiku, tetapi hanya di atas kertas. Kau tidak punya hak-hak sebagai suami yang semestinya kepadaku, karena pernikahan kita hanya sebatas perjanjian!" "Hati-hati dengan perkataanmu Nessa, jangan mengancamku. Kau akan menyesal kalau aku sampai marah."
Memangnya siapa dia sampai aku harus ketakutan kepadanya?? Nessa berseru dalam hati, dilumuri oleh rasa marahnya. Meskipun tidak dapat disangkal, ada sebersit ketakutan yang muncul jauh dalam hatinya mendengarkan ancaman Kevin itu. "Aku tidak peduli kau marah atau tidak. Aku manusia bebas dan kau tidak berhak melarangku!", Nessa menghentakkan kakinya dan berjalan melewati Kevin, tetapi lelaki itu dengan cepat meraih siku Nessa dan mencengkeramnya, "Katakan dulu kau pergi dengan laki-laki atau perempuan." "Bukan urusanmu." "Aku berhak tahu, aku suamimu." "Kau cuma
suami sandiwara!", Nessa meronta mencoba melepaskan cengkeraman Kevin di sikunya, tetapi pegangan itu begitu eratnya hingga usaha Nessa sia-sia, "Lepaskan aku!" "Tak akan kulepaskan hingga kau menjelaskan dengan siapa kau pergi dan apa keperluanmu." "Aku pergi dengan teman sekantorku, Aya! dia perempuan!
Puas?!", Nessa menjerit, dipenuhi rasa frustrasi atas sikap kasar dan arogan Kevin. Dalam sedetik, lelaki itu melepaskan pegangannya, membuat Nessa bisa berputar secepat kilat dan melemparkan telapak tangannya ke pipi Kevin, mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di sana.
PLAK! Kevin terdiam. Sejenak suasana hening. Antara Nessa yang menunggu penuh antisipasi dan Kevin yang seolah tertegun karena tamparan itu. Lalu pelan lelaki itu melemparkan pandangan menusuknya ke arah Nessa, "Berani-beraninya kau menamparku." desis Kevin geram, membuat Nessa gemetar tetapi bertahan. Dia tidak boleh takut pada lelaki ini, Kevin adalah tipe penindas, sekali Nessa mundur, lelaki itu akan mendesaknya sampai di titik Nessa akan menyerah dan menuruti semua kemauannya. Nessa tidak mau berakhir seperti itu. Kevin harus sadar bahwa dia tidak bisa memperlakukan Nessa sama seperti orang lain. "Karena kau harus disadarkan." seru Nessa berusaha setegas mungkin, "Kau tidak punya hak apapun atas diriku. Pernikahan ini hanya sandiwara, begitu pula dengan hak dan kewajiban yang menyertainya!" Kevin menatap Nessa dengan tatapan membunuh, lalu mensedekapkan tangannya, "Terserah kepadaku mau memperlakukanmu seperti apa. Selama kau masih tercatat sebagai isteriku, kau harus mengikuti aturan-aturanku." "
Persetan denganmu!", Nessa membalikkan badan dengan marah dan segera melangkah pergi meninggalkan Kevin berdiri di sana. *** Sengaja malam itu Nessa pulang larut dan mematikan HPnya. Biar saja Kevin marah besar kepadanya! Diliriknya jam tangannya, sudah jam sepuluh malam. Dengan hati-hati Nessa memasuki pintu rumah itu. Tidak biasanya suasana ruang tamu gelap, dan sepi. Begitupun ruang keluarga. Biasanya sampai malampun, sudah terang benderang.
Apakah semua orang sudah tidur? Nessa melangkah memasuki kamarnya dan Kevin, kamar itu kosong, tidak ada tanda-tanda orang di sana. Dengan ragu dia meletakkan tasnya, kemudian meraih hp yang dia matikan. Sambil menghela napas panjang Nessa duduk di ranjang, perasaannya terasa tidak enak, dinyalakannya HP itu. Layar putih itu tampak berkedip-kedip kemudian memunculkan pemberitahuan. bahwa dia telah dihubungi hampir tiga puluh kali nomor Kevin dan mendapat dua puluh pesan sms selama hpnya tidak aktif. Sambil mengernyitkan keningnya Nessa membuka pesan itu, dasar lelaki maniak, gerutunya memikirkan sempat-sempatnya lelaki itu mengganggu acaranya dengan mengirimnya pesan dan memiscallnya berkali-kali. Tetapi kemudian kernyitannya berubah menjadi panik ketika menyadari bahwa semua pesan Kevin bertuliskan hal yang sama.
[....Ke rumah sakit. Mama sudah kritis.....]
Nessa langsung meraih kembali tas-nya dan berlari menuruni tangga. *** Langkah-langkah kaki Nessa terdengar jelas di lorong rumah sakit yang sepi itu. Dia sampai di ruang iccu dan menemukan Delina sedang menangis terisak-isak di pelukan Ervan. "Kak, kemana saja." Ervan langsung berseru ketika melihat Nessa, 'Kami semua mencoba menghubungimu, tetapi tidak bisa." "Maafkan aku." permintaan maaf Nessa terucap dari lubuk hatinya. Ah, berapa bodohnya dia! Perbuatan kekanak-kanakannya karena marah kepada Kevin ternyata merepotkan semua orang. "Bagaimana mama?" Ervan mengetatkan pelukannya kepada Delina yang terisak semakin keras dan menggeleng sedih, "Mama sudah meninggal setengah jam yang lalu." Dan detik itu, hati Nessa dipenuhi penyesalan yang mendalam, mencengkeramnya dan mengancam akan menenggelamkannya ke ujung dunia. *** "Kak Nessa." Delina mendekati Nessa ketika mobil mereka memasuki gerbang rumah, dia kelihatan sedih dan pucat. Tentu saja, siapa yang tidak sedih ketika kehilangan mamanya? "Iya Delina?" Nessa berusaha selembut mungkin, mengingat berapa rapuhnya Delina saat ini. Mereka ada di kursi belakang mobil Ervan yang sedang mengemudi. Sementara Kevin masih di pemakaman, menyelesaikan semua urusan sebelum nanti menyusul pulang. "Kak Kevin,,, aku harap kakak bisa membantunya." Nessa mengernyitkan keningnya, Membantu Kevin? dalam hal apa? Lelaki itu tampak begitu tegar, Bahkan kemarin ketika dia akhirnya melihat Nesaa menyusul kerumah sakit, lelaki itu hanya mengangkat alisnya, dengan wajah datar seperti batu. Dan wajah itu yang terus dipakai Kevin sampai sekarang hingga proses pemakaman usai. Tidak ada air mata, tidak ada emosi dan ekspresi apapun yang menyiratkan kepedihan. Wajahnya keras, seperti batu yang kosong. "Dia memang tampak tegar di luar." Delina bergumam, seperti bisa membaca pikiran Nessa, 'Tetapi dia rapuh kak.... dia selalu begitu ketika terpuruk, selalu membangun benteng kokoh di sekelilingnya supaya tidak ada orang lain yang bisa memasuki dan melihat jiwanya yang rapuh.", Delina meringis, "Mungkin kak Nessa belum tahu, kalau kak Kevin sebenarnya pernah hancur karena pengkhianatan." Nessa menoleh dan menatap Delina penuh ingin tahu, "Pengkhianatan?" Delina menganggukkan kepalanya, "Ya... Dulu kak Kevin punya seorang kekasih, kekasihnya adalah perempuan yang sangat dicintainya. Namanya Rika. . Mereka sudah berpacaran lama dan sangat cocok. Kakak tampak sangat bahagia waktu itu, beda dengan yang sekarang, dia banyak tertawa, jahil, suka bercanda." Delina tersenyum, tampak mengenang. "Lalu kak Kevin memutuskan untuk memperkenalkannya kepada papa kami." Delina mendesah, "Papa kami adalah seorang pebisnis yang sangat pandai dan arogan, meskipun dia papa yang baik bagi keluarganya. Di makan malam perkenalan itu, dengan lantang papa mengajukan penawaran kepada Rika. Jika kak Kevin menikahi Rika, maka kak Kevin akan kehilangan seluruh hak warisnya dan diusir dari rumah papa, Tetapi jika Rika mau meninggalkan kak Kevin, maka dia akan diberikan cek oleh papa senilai seratus juta rupiah...." Delina menghela napas, 'Tentu saja papa hanya menggertak, beliau tidak mungkin mengusir kak Kevin dari rumah, beliau sangat sayang kepada Kevin, penawaran itu sebenarnya hanyalah ujian bagi Rika..." Nessa menatap mata Delina yang sedih, ingin tahu apa yang terjadi kemudian. Ervan yang sedang menyetir di depanpun tampak memasang telinga, mendengarkan. "Sayangnya yang terjadi kemudian tidak kami duga. Rika menerima cek itu dan akhirnya meninggalkan kak Kevin." Nessa menelan ludah. Pengkhianatan semacam itu dan dilakukan di depan keluarganya pula. Pantas saja mengubah Kevin menjadi orang yang begitu pahit, dia masih ingat perkataan Kevin siang itu ketika lelaki itu menawarinya perjanjian sandiwara ini.
"Kau akan terkejut mengetahui berapa banyak yang akan menyambar umpan itu mentah-mentah." Begitu ucap Kevin waktu itu, dengan nada pahit yang sekarang baru disadari Nessa artinya. "Hal itulah yang membuat kak Kevin menutup hatinya seperti sekarang ini kak.", sambung Delina parau, "Ketika kak Kevin akhirnya membuka hatinya untuk kak Nessa dan menikahi kak Nessa, aku sangat bahagia, aku tahu betapa baiknya kak Nessa, dan betapa kak Nessa bisa membahagiakan kak Kevin....." Delina mendesah, "Cuma aku sedikit cemas, setelah mama meninggal, sikap kak Kevin sama persis seperti dulu ketika dikhianati Rika, dia memasang topeng datar dan dingin di wajahnya, di hatinya, membuat kita tidak bisa mendekatinya." Delina menyusut air matanya, "Aku sangat mencemaskannya kak..." Nessa memeluk Delina yang terisak-isak ke dalam rangkulannya. Hatinya terasa hangat karena menerima pemahaman baru, bahwa Kevin juga pernah merasakan sakitnya dikhianati, sama seperti dirinya. *** "Aku membawakan sup hangat untukmu." Malam sudah sepi dan semua orang sudah masuk ke kamar tidurnya. Nessa mengintip ke ruang kerja Kevin, lelaki itu sepulang pemakaman, langsung menenggelamkan dirinya di sana dan tidak keluar untuk makan malam. Kevin mendongak dari berkas-berkas di meja kerjanya dan mengerutkan kening, "Aku sedang tidak ingin makan apapun." Nessa meletakkan nampan di meja, bersikeras, "Tetapi kau harus makan Kevin, aku tidak melihatmu makan apapun dari pagi. bahkan sejak pemakaman tadi." Kevin memasang tampang paling dingin dan menyatukan telapak tangannya di bawah dagunya, "Kenapa kau repot-repot memikirkanku eh?" gumamnya sinis Lelaki ini menyerangnya demi melindungi dirinya. Nessa menghela napas, mencoba memahami, dia harus sabar menghadapi lelaki ini. Kevin sedang sedih meskipun sekarang dia sedang bersandiwara sebagai seorang bos yang arogan dan jahat. Lelaki ini menutupi kesedihannya dengan semua itu. "Karena aku mencemaskanmu." "Hm... kejutan. Seorang Nessa mencemaskanku. Apakah kau cemas aku akan terpuruk dalam kesedihan, sayang." dengan gerakan halus, lelaki itu meluncur berdiri dan tiba-tiba sudah ada di dekat Nessa, menjebaknya ke tembok, "Mungkin aku tidak akan terlalu bersedih kalau kau bersedia menghiburku...", disusurkannya jemarinya dengan lembut di pipi Nessa, "Aku tidak akan menghiburmu dengan cara tidak senonoh!", suara Nessa sedikit meninggi, antara takut, marah dan sedikit gelenyar panas yang mengaliri tubuhnya merasakan usapan sensual Kevin di pipinya, Untunglah lelaki itu memutuskan tidak mendesaknya lebih jauh, Kevin hanya terkekeh, lalu melepaskan Nessa, meskipun masih berdiri di dekatnya, "Aku tidak butuh simpati darimu." gumam Kevin sambil mengacak rambutnya, "Terutama darimu...." tiba-tiba suara laki-laki itu hilang seakan tertelan. Kevin memalingkan mukanya, dan melangkah menjauh dari Nessa, 'Pergilah!" "Kevin...."
"Pergilah!" suara Kevin berubah menjadi bentakan keras, Nessa menghela napas panjang, hubungan mereka memang sudah tidak baik dari awalnya. Sudah terlambat untuk menunjukkan simpati dan niat baik, sesalnya dalam hati, dengan pelan, dia melangkah menuju pintu. "Jangan lupa dimakan supnya." Hening. Dan Nessa membuka handle pintu hendak keluar. Lalu isakan itu terdengar. Nessa menoleh dan mendapati Kevin berdiri membelakanginya, isakan itu terdengar darinya, lelaki itu menangis. Kali ini benar-benar menangis sepenuh hati, suaranya penuh kedukaan dan kesakitan, duka yang membuat bahunya berguncang dengan keras. Tanpa pikir panjang, didorong oleh hatinya, Nessa langsung melangkah mendekati Kevin dan merengkuhnya. Lelaki itu langsung memeluknya dengan erat, dan menangis dalam pelukannya, beban tubuhnya membuat Nessa terjatuh ke sofa, dengan Kevin menangis dipelukannya. Diusapnya bahu Kevin, rambutnya, berusaha meredakan kesedihannya. Berusaha membantu lelaki itu memnumpahkan apa yang ada di hatinya. Tiba-tiba perasaan lembut menyelemutinya, perasaan lembut yang sama ketika mengetahui sisi rapuh lelaki ini, yang tidak pernah ditampakkannya di depan orang lainnya. Nessa memeluk Kevin erat-erat, sampai lama kemudian isakan idu mereda, berubah menjadi napas yang tenang dan teratur, dan lelaki itu masih meringkuk dengan kepala tenggelam di bahu Nessa dengan mereka bergelung duduk di atas sofa. Lalu Kevin mengangkat tubuhnya daan menjauhkan kepalanya. 'Maaf." suaranya terdengar parau. Nessa tersenyum, "Tidak apa-apa Kevin, aku ... aku senang bisa membantu...." "Aku tidak pernah menangis di depan siapapun sebelumnya." "Aku tahu." "Aku tidak sengaja menangis tadi." "Itupun aku tahu." Senyum Nessa tertahan, 'Kau sedang sedih, dan aku sedang bisa membantumu. aku harap kau merasa sedikit ringan setelah menangis tadi." Kevin tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa sambil mengacak rambutnya frustrasi. Lama mereka bertatapan, lalu tatapan Kevin melembut. "Terimakasih." Nessa menganggukkan kepalanya, "Sama-sama Kevin." Lelaki itu menatap Nessa lagi dengan tajam, kemudian tersenyum kecut dan memalingkan kepalanya, "Tidakkah kau sadar? setelah kematian mama... kau dan aku tidak harus terikat lagi." Suaranya setajam tatapannya kemudian, "Kita bisa mengakhiri perkawinan ini." *** Bersambung ke part 7 Baca Part 1
http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.htmlBaca Part 2
http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.htmlBaca Part 3
http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4
http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5
http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.html