Santhy Agatha's Blog, page 14

March 11, 2013

Pembunuh Cahaya Part 3



“Apa?” Andre hampir berteriak di seberang sana ketika mendengar seluruh cerita Saira yang diucapkan sambil menahan tangisnya. “Apa yang ada di otak Leo?”
Saira menghela napas panjang, “Aku hanya tidak tahu kenapa dia bersikap seperti itu, Andre. Dia sungguh berubah, tidak seperti yang kita kenal. Dia... aku hampir yakin kalau dia.. membenciku.”

“Membencimu?” Andre mendesah pelan, Saira hampir bisa membayangkan lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya di seberang sana, “Aku sungguh tidak bisa membayangkan kalau dia membencimu Saira, sikap lembutnya, kebaikannya, tatapan penuh cintanya kepadamu waktu itu, semuanya tampak tulus.” Suara Andre berubah prihatin, “Kau tidak apa-apa Saira? Perlukah aku menjemputmu?”
“Jangan Andre.” Saira berseru cepat, “Pada awalnya kupikir kalau Leo cemburu kepadamu, kepada kita.”
“Itu konyol.... kau seharusnya memberitahunya kalau aku...” “Yah, dia memang belum tahu Andre... dan hari itu ketika aku mengunjungimu setelah pernikahan, dia ada di rumah ketika aku pulang dan menungguku. Dia tampak marah besar, mengata-ngataiku sebagai perempuan yang tidak menghormatinya karena langsung mengunjungi kekasihnya setelah pernikahan. Dia mengira kita sepasang kekasih.”
“Apakah kau tidak menjelaskan semuanya kepadanya?”
“Aku tidak punya kesempatan.” Saira mendesah pedih, “Dia tidak memberiku kesempatan.”
Hening lama, seolah Andre sedang berpikir keras.
“Leo sungguh keterlaluan.” Andre menggeram, tampak marah, “Dia memperlakukanmu seperti ini, sama seperti dia sedang menghinaku. Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, Saira, keluargaku. Kalau Leo bersikap keterlaluan kepadamu, dia harus menghadapiku.”***Leo membanting tubuhnya di sofa kantornya. Dia tidak tahu harus kemana. Dia tidak bisa berada di rumah dan memancing terus menerus konfrontasi dengan Saira, yang membuatnya lelah. Dia juga tidak bisa datang ke rumah tempat Leanna dirawat, melihat kondisi Leanna yang seperti itu makin lama makin membuat luka di dalam hatinya yang sudah parah semakin menganga.
Satu-satunya tempat yang bisa membuatnya nyaman dan sendirian adalah kantornya di hari Minggu. Satpam perusahaannya tampak bingung melihat kedatangan bosnya tiba-tiba di hari Minggu, tetapi Leo memasang tampang datar dan tidak peduli.
Benaknya berkelana tanpa arah, memikirkan tercapainya tujuannya. Semua rencananya sudah mengarah ke arah yang diinginkannya. Pernikahannya dengan Saira semakin mempermudah rencananya.
Leo pada akhirnya berhasil menikahi Saira dan menjalankan rencana balas dendamnya. Pada akhirnya dia akan menahan Saira dalam pernikahan ini dan terus menerus menyakitinya tanpa Saira sadari. Tetapi... semua keberhasilan ini tidak membawa kepuasan kepada dirinya. Entah mengapa. Apakah karena batinnya sendiri menyadari bahwa dia telah membalas dendam kepada orang yang tidak tahu apa-apa?
Tidak! Leo menggelengkan kepalanya dengan keras. Saira pantas menerima pembalasan ini. Dia sedikit banyak telah berkontribusi dalam penderitaan yang dialami Leanna.... kesakitan yang dialami Leanna.... Belum lagi kepedihan yang ditanggung oleh keluarganya selama ini. Semuanya sangat sepadan dengan pembalasan dendam ini.
Leo mendesah dan berdiri dengan gelisah, menatap dari jendela kaca di ruang kerjanya ke arah langit yang gelap dan mendung.
Saira. Perempuan itu, dengan keluguannya telah dengan mudahnya jatuh ke dalam cengkeraman Leo. Sebenarnya Leo bisa saja menghancurkan hidupnya tanpa harus menikahinya. Tetapi entah kenapa di saat terakhir Leo memutuskan bahwa dengan menikahi Saira, dia akan lebih mudah mengikat perempuan itu. Dan lebih leluasa membalaskan dendamnya. Hal itu juga mencegah Saira kabur meninggalkannya sebelum pembalasan dendamnya usai.
Dia teringat kepada Andre yang tampak begitu dekat dengan Saira, dan mencibir. Perempuan itu bahkan dengan mudahnya melompat meninggalkan Andre dan menghambur ke pelukannya, benar-benar watak perempuan gampangan, seperti yang dibayangkannya selama ini. Tetapi bagaimanapun juga hubungan Andre dengan Saira yang begitu dekat, bahkan setelah Saira menikah dengannya terasa begitu mengganggu. Ingatannya akan Saira yang langsung mengunjungi Andre dihari pertama pernikahan mereka membuatnya marah dan terhina.
Dia mengernyit, Saira pasti akan langsung menghambur kepada Andre karena sikap Leo. Tiba-tiba dia sadar. Diraihnya kunci mobilnya dan bergegas keluar.***Pada akhirnya Saira tidak tahan harus terus berdiam diri di rumah Leo yang begitu besar dan lengang, apalagi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Leo akan pulang hari ini. Dia akhirnya memutuskan untuk mengambil resiko, karena dia sangat butuh melepaskan semua permasalahannya di rumah kaca. Dari dulu, Saira sudah terbiasa, kabur dan merenung di rumah kaca, ketika pikirannya kalut. Kadangkala Saira menghabiskan waktunya dengan merawat tanaman-tanamannya, mencurahkan kasih sayangnya dan mengalihkan perhatiannya.
Ketika sedang diperjalanan, ponselnya berbunyi tiba-tiba membuat Saira tersentak dari lamunannya, diangkatnya ponsel itu ketika tahu bahwa Andre yang menelepon,
“Halo Andre.”
“Katamu kau akan segera datang kemari, dan aku cemas karena kau belum tiba juga.”
“Aku sudah di jalan.” Jawab Saira sambil tersenyum miring.
“Oke Saira, lekaslah datang, dan aku ingin kau menceritakan semuanya secara langsung.”***Andre sudah menunggu. Meskipun tampak santai, lelaki itu tegang dan kelihatan sekali sangat mencemaskan Saira,
“Bagaimana keadaanmu?” Andre menarikkan kursi bagi Saira untuk duduk, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
“Aku baik-baik saja.” Saira berusaha tersenyum tegar, “Tetapi perasaanku tidak.” Lanjutnya serak.
Andre menatap Saira dan mengernyitkan keningnya, “Kau baru dua hari menikah dan Leo sudah bersikap seperti ini. Kalau begini aku jadi menanyakan motivasinya menikahimu.” Andre menatap Saira hati-hati, “Apakah mungkin dia sedang berusaha menjebakmu dalam pernikahan ini Saira?”
“Menjebakku?” Saira menatap Andre dengan bingung, “Tetapi kenapa? Demi alasan apa?”
“Aku tidak tahu.” Andre mengangkat bahunya, “Semula aku sempat curiga dengan sikap Leo yang mendekatimu dengan begitu intens dan cepat, bahkan kemudian melamarmu padahal hubungan kalian baru semumur jagung.” Lelaki itu duduk di kursi depan Saira dan menghela napas panjang, “Tetapi aku melihat betapa kau mencintainya, dan aku berpikir bahwa kau sudah menemukan belahan jiwamu.”
Hati Saira terasa sakit mendengar kata-kata Andre, itu sama seperti yang dikatakan Leo kepadanya dulu sebelum menikahinya. Bahwa Saira adalah belahan jiwanya, bahwa Leo tidak perlu berlama-lama lagi menunggu untuk menikahinya karena dia tahu pasti dia sudah menemukan belahan jiwanya,
Tetapi tentunya seseorang tidak akan bersikap kasar dan penuh kebencian kepada belahan jiwanya bukan?
“Aku akan mencari tahu Saira. Aku tidak rela kau diperlakukan begini tanpa tahu alasannya.”
Saira menghela napas panjang, “Tetapi jangan berkonfrontasi dengan Leo, Andre, dia... dia sepertinya menuduh kita menjalin affair di belakangnya.”
“Itu konyol.” Andre menghela marah, “Kalau dia tahu yang sebenarnya dia akan malu karena pernah menuduhmu.”
Saira memalingkan muka, menahan tangisnya yang hampir tak terbendung, “Aku mencintainya, Andre... sangat mencintai Leo, tidak pernah aku merasakan perasaan ini sebelumnya kepada lelaki manapun... tapi...aku...” Suara Saira serak, dia menelan ludah dengan susah payah, menahan sesak di dadanya, sebutir air mata bergulir dari matanya, tanpa dapat dia tahankan,
Andre menatap Saira yang menangis, lalu mendekatinya, dan berdiri di sebelah Saira, lalu memeluk Saira yang masih duduk di kursi, tampak begitu rapuh dan lelah dengan kesakitannya.
“Oh sayangku.. kasihan sekali dirimu, sayang.” Andre memeluk Saira, dan Saira menumpahkan segala tangisannya di sana, di pelukan lelaki yang sudah dikenalnya sejak kecil, yang sudah dianggapnya sebagai saudara kandungnya sendiri.***“Oh. Jadi inilah yang selalu kalian lakukan kalau berduaan.”
Suara dingin itu membuat Saira terlonjak kaget dan langsung melepaskan dirinya dari pelukan Andre. Dia menoleh ke pintu masuk dan memucat ketika melihat Leo berdiri di sana, tampak luar biasa marah.
“Leo?”
“Aku muak melihat bukti ketidaksetiaanmu ini Saira.” Leo menggeram marah, “Ayo pulang.”
Dengan kasar Leo merenggut lengan Saira, menariknya berdiri dari duduknya.
Andre langsung meradang, dia merenggut sebelah lengan Saira yang bebas dan menahannya,
“Kau tidak boleh memperlakukan Saira seperti itu.” Andre menarik Saira dari cengkeraman Leo dan menyembunyikannya di belakangnya. “Ada apa denganmu Leo?”
Leo menatap Andre dengan tatapan tajam dan jijik, “Ada apa? Kau pikir aku harus diam saja melihat affair yang kalian lakukan terang-terangan untuk menghinaku?” tatapan tajam Leo beralih kepada Saira, yang tampak ketakutan dan pucat pasi, bersembunyi di belakang punggung Andre, “Pulang Saira. Kalau tidak kau akan menyesal karena aku akan menghancurkan kekasihmu ini berikut semua bisnis dan juga rumah kacamu.”
Ancaman itu mengena. Karena Leo adalah seseorang yang berpengaruh terhadap klien-klien besar rumah kaca Saira, dan lelaki itu sangat berkuasa. Dari tatapan matanya yang menyala, Saira tahu bahwa Leo akan berbuat apapun untuk mewujudkan ancamannya.
Saira gemetar, takut menghadapi kemarahan Leo, tetapi dia harus memberanikan diri. Mungkin dengan begini dia bisa menemukan jawaban atas sikap Leo yang sangat kejam ini.
Setelah menghela napas panjang untuk menenangkan diri, Saira melangkah keluar dari lindungan Andre dan maju mendekati Leo,
“Aku akan pulang.” Gumamnya pelan.
“Saira!” Andre berteriak dengan serak, “Jangan!”
Saira menoleh, menatap Andre dengan lembut, meski matanya berkaca-kaca, “Aku akan baik-baik saja.”
Dan kemudian Leo merenggut lengannya dengan kasar, setengah menyeretnya keluar dari rumah itu.***Perjalanan itu ditempuh dalam suasana yang hening dan mengerikan. Leo terdiam dan beberapa kali terlihat menggertakkan gerahamnya, menahan marah. Sementara itu Saira begitu tegang menantikan luapan kemarahan Leo.
Baru beberapa hari mereka menikah dan Saira sudah begitu takut menghadapi kemarahan Leo. Oh, Leo tidak memukulnya, sama sekali tidak ada yang mengarah kepada kekerasan ketika Leo marah, satu-satunya tindakan kasar yang dilakukan Leo adalah menarik dan mencengkeramnya tadi, yang membuat pergelangan tangannya sakit. Saira entah kenapa yakin Leo tidak akan memukulnya atau melakukan kemarahan fisik kepadanya. Tetapi yang ditakutkan Saira adalah serangan verbal Leo. Bagaimanapun juga Saira mencintai Leo, dan kata-kata kasar Leo kepadanya mempunyai efek yang berpuluh-puluh kali lebih menyakitkan.
Dia menoleh ke arah Leo yang sedang menyetir dan bertanya dengan takut-takut,
“Kenapa kau begitu membenciku Leo? Andre bilang kau sebenarnya tidak mencintaiku dan sedang berusaha menjebakku ke dalam pernikahan, entah karena apa.”
Leo melirik sinis ke arah Saira, lalu berucap tak kalah sinis. “Hebat sekali kekasihmu itu memberikan analisa tentang diriku.”
Saira menghela napas panjang mendengar tuduhan Leo, “Sudah kubilang Andre bukan kekasihku, tidak akan pernah dan tidak akan bisa, dia seorang gay.”
Kalimat itu membuat Leo mengerem mobilnya secara refleks karena kaget. Dia tertegun, lalu kemudian menjalankan mobilnya seperti semula dan bergumam ketus,
“Alasan yang sangat bagus, Saira. Tapi aku tidak percaya.”
“Kau bisa menanyakan sendiri kepada Andre, dia mengatakan kepadaku bahwa dia gay dan dia merahasiakannya sudah sejak lama.”
Leo menatap Saira dengan tajam, “Kalian mungkin saja sudah berkomplot untuk membodohiku, mengira bahwa aku tidak akan curiga ketika tahu bahwa Andre gay. Tetapi maaf saja Saira, aku tidak sebodoh itu sehingga begitu mudahnya kau tipu.”
“Kenapa kau jadi seperti ini Leo?” Air mata mulai mengalir di sudut mata Saira, duduk di sini dan melihat suaminya tampak begitu membencinya benar-benar menyakiti hatinya.
Leo mengetatkan gerahamnya, tidak berkata-kata lagi, dan mengabaikan ucapan Saira. Membiarkan perempuan itu terisak-isak selama perjalanan mereka pulang.
Dan ketika itu juga, di benak Saira muncul suatu keputusan bulat. Buat apa mempertahankan perkawinan yang sepertinya sudah hancur sebelum dimulai ini?***Ketika Leo memarkir mobil di depan, dia langsung keluar dan memutari mobilnya, lalu membuka pintu penumpang di sebelah supir, sebelum Saira sempat keluar.
Sekali lagi dia mencekal lengan Saira dan memaksanya keluar,
“Ayo.” Gumamnya marah.
Saira berusaha melepaskan diri dari pegangan Leo, tetapi cekalan tangan lelaki itu begitu kuatnya,
“Sakit Leo!” Saira berteriak ketika Leo menyeret lengannya menaiki tangga, tetapi Leo tampaknya sudah mengeraskan hatinya sehingga tidak mempedulikan kesakitan Saira.
Mereka menuju kamar Saira, bukan kamar utama, Leo membuka pintu kamar itu dan mendorong Saira masuk, lalu menutup pintu di belakangnya dan menguncinya.
Tiba-tiba perasaan terancam menyelubungi benak Saira, dia menatap suaminya yang berdiri dengan marah di dekat pintu dan merasa takut, takut akan tekad kuat yang menyala-nyala di mata suaminya.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Leo membuka jasnya dan melemparnya begitu saja, lalu melonggarkan dasinya.
“Menurutmu apa?”
Saira langsung mundur beberapa langkah menjauhi Leo, apakah lelaki ini akan melakukan apa yang ditakutkannya? Mungkinkah Leo sekejam itu?
“Kumohon jangan.” Saira bergumam, ketika menyadari bahwa Leo benar-benar akan melakukannya.
Leo tersenyum sinis, “Aku tahu di kepalamu penuh dengan pemikiran licik, berputar mencari jalan untuk bercerai. Tetapi aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkanmu melenggang bebas dengan bahagia.” Leo maju selangkah membuat Saira langsung mundur selangkah ketakutan, “Kau istriku, dan aku suamimu, sepertinya aku harus membuatmu menyadari posisimu.”
“Jangan Leo.” Saira bergumam lagi, berusaha menyadarkan lelaki itu yang entah kenapa tampak begitu marah dan tidak bisa menahan diri.
Tetapi Leo tidak mempedulikannya, dia merenggut Saira, dan mendorongnya ke ranjang, ketika Saira mundur dan hendak bangkit dari ranjang, Leo mencengkeramnya dan menindihnya.
Saira berteriak sekuat tenaga, berusaha menyingkirkan Leo, tetapi tubuh lelaki itu terlalu berat, terlalu kuat, dan apalah dayanya, seorang perempuan lemah dibawah kuasa lelaki yang sedang penuh kemarahan?
Pada akhirnya pertahanan Saira berubah menjadi air mata, air mata sakit hati dan penderitaan. Ketika suaminya akhirnya merenggut kesuciannya dengan kasar dan tanpa perasaan, tidak mempedulikan kesakitan dan tangisan permohonannya.
Ini adalah malam pertama yang sama sekali tidak pernah diimpikan oleh Saira. Penuh pemaksaan, dirinya direndahkan bagaikan seorang pelacur, dan penuh rasa sakit, luar dalam.Dan ketika lelaki itu selesai melampiaskan kemarahannya, lalu berdiri dengan tergesa memakai pakaiannya kembali, dan melangkah pergi meninggalkan Saira yang terbaring dengan kondisi yang sangat mengenaskan, dengan pakaian setengah robek dan acak-acakan, dan penuh air mata, hati Saira hancur seketika.
Ingatannya melayang kepada ibunya yang penuh kasih dan selalu mendoakan kebahagiaannya suatu saat nanti, mendoakan agar Saira menemukan suami yang penuh kasih dan bisa menjaganya.
Saira menggingit bibirnya, tersengal atas tangis yang pekat.
“Ibu.... aku diperkosa....” rintihan itu diselingi tangis, dan Saira memanggil nama ibunya, merindukan pelukan ibunya dan elusannya yang menenangkan, dan begitu kesakitan ketika menyadari kenyataan bahwa dia sendirian dan sebatang kara.
BERSAMBUNG KE PART 4
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 11, 2013 11:25

March 7, 2013

Pembunuh Cahaya Part 2

Saira melangkah mengikuti Leo memasuki kamar tidur mereka, tiba-tiba merasa takut kepada suaminya. Leo benar-benar terasa asing, seperti bukan dirinya. Dan Saira merasa tidak nyaman dengan Leo yang sekarang menjadi suaminya ini.
“Kenapa engkau marah-marah kepadaku, Leo?” Saira memberanikan diri bertanya, mencoba bersikap lembut kepada suaminya, bukankah dulu Leo berkata bahwa dia sangat menyukai kelembutan Saira?
Tetapi Leo tetap bersikap dingin, sama sekali tidak tersentuh dengan kelembutan Saira, ditatapnya Saira dengan sinis, “Suami mana yang tidak marah ketika isterinya malahan mengunjungi lelaki lain di hari pertama setelah mereka menikah, seolah tidak tahan untuk segera menghambur ke pelukan lelaki itu?”
Wajah Saira memucat mendengar tuduhan Leo, tetapi dia mencoba membela diri, “ Kau yang meninggalkanku untuk bekerja di hari pertama pernikahan kita, dan aku bingung tidaj tahu harus bagaimana, lagipula aku ke sana bukan untuk menemui Andre, aku ingin menengok rumah kacaku.”
“Alasan.” Leo menatap Saira dengan merendahkan, “Dari awal aku sudah curiga ada sesuatu yang lebih di antara kalian. Dan jangan mencoba melempar kesalahan dengan menyalahkanku karena pergi bekerja, aku berkerja kau pikir untuk siapa? Untuk menghidupi isteriku juga. Kau juga menerima keuntungan dari rumah mewah, pakaian mahal dan makanan enak yang akan selalu disediakan untukmu, jadi kuharap kau menghargainya dan jangan menjadi perempuan cengeng hanya karena aku pergi bekerja.”
Kata-kata kasar Leo sekali lagi telah membuat hari Saira terasa teriris, dia sampai mundur satu langkah, menjauhi suaminya, menatap Leo dengan wajah tidak percaya,
“Leo..?” suaranya bergetar, “Ada apa sebenarnya...?” tanyanya lirih. Menagan perasaan.
Leo tampaknya tidak tersentuh melihat ekspresi Saira, dia menatap dingin, “Tidak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba aku menyesali keputusan bodohku untuk menikahi seorang perempuan kampung dari kelas rendahan yang tidak tahu terimakasih dan malahan sibuk menjalin affair dengan lelaki lain.” Mata Leo tampak kejam menatapnya, “Dan kupikir aku terlalu muak untuk tidur sekamar denganmu, keluar dari kamarku, dan tidurlah di salah satu kamar kosong di rumah ini. Dimanapun itu, carilah yang paling jauh dari kamarku.”
“Leo?” kali ini Saira tidak mampu menahan air matanya, dia merasa sangat bingung,
Leo melangkah ke pintu, sebelum ke luar dia menoleh dengan dingin, “Aku akan pergi keluar, dan aku harap ketika aku pulang, kau cukup tahu diri untuk memindahkan seluruh barangmu dari ruangan ini.”
***
Saira tidak tahu harus berbuat apa, ini adalah hari pertama pernikahannya. Dan Leo sudah memperlakukannya dengan begitu kejam.
Sebenarnya ada apa dengan leo? Apa salah Saira sehingga Leo setega itu dan sekasar itu kepadanya? Benak Saira berpikir keras, tetapi dia tidak menemukan pertanda apapun. Bahkan setelah pesta pernikahan itu sebelum Saira masuk ke kamar, Leo masih bersikap lembut kepadanya, memeluknya mesra di dansa pengantin mereka sambil berbisik betapa bahagianya dia ketika pada akhirnya bisa menikahi Saira.
Sambil mengusap air matanya, Saira mengemasi pakaiannya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukannya, diusir seperti ini dari kamar suaminya dan direndahkan karena disuruh mengemasi pakaiannya sendiri dan berpindah tempat.
Tetapi harga dirinya menuntutnya melakukannya, dia tidak mau ketika Leo pulang nanti dan menemukan dirinya masih ada di kamar ini, Leo akan semakin merendahkannya.
Apa yang harus dia lakukan? Nuraninya menjerit, memintanya melarikan diri saja dan kabur dari rumah ini, kembali ke lindungan rumah kacanya yang nyaman. Tetapi Saira adalah perempuan dewasa, bukan remaja lagi yang bisa kabur kalau menemukan permasalahan yang tidak sanggup untuk dia hadapi. Saira harus bisa berbicara dengan Leo dan meluruskan semuanya, mungkin saja Leo memang benar-benar cemburu dan salah paham tentang hubungannya dengan Andre? Saira akan menjelaskan bahwa Andre adalah gay dan Leo tidak perlu mencemaskan hubungannya dengan Andre, begitu ada kesempatan.
***
Leo memasuki rumah mewah itu, yang terletak dipinggiran kota yang tenang dan sepi. Sontak seorang pelayan membukakan pintu untuknya dan membungkuk memberi hormat, Leo menatapnya tenang,
“Bagaimana keadaannya?”
“Nona Leanna sangat baik kondisinya sekarang, tuan. Beliau bahkan bisa meminum obatnya tanpa perlawanan seperti biasanya.”
“Apakah dia mau makan?” Leo bertanya cemas, karena dia tahu persis, Leanna sering menjerit-jerit mencarinya dan tidak mau makan, dia akan melemparkan makanannya ke segala arah dan mengamuk, yang bisa menenangkannya hanyalah Leo. Leanna kebanyakan hanya mau makan kalau disuapi oleh Leo.
Sang pelayan menganggukkan kepalanya dengan bersemangat, “Nona sangat tenang hari ini, beliau meminum obatnya dengan patuh dan kemudian mau memakan sup dan nasinya ketika pelayan menyuapinya.”
Bagus, dengan langkah tergesa Leo melangkah menaiki tangga menuju lantai atas, ke ruangan yang terletak di ujung, dengan pemandangan indah ke arah taman yang menghijau. Leo membuka pintu dengan hati-hati, kamar itu temaram seperti biasa. Suasana kesukaan Leanna, meskipun sebenarnya tidak ada bedanya bagi Leanna, batin Leo dengan sedih.
Leana sedang duduk di atas kursi rodanya seperti biasanya. Termenung menatap ke arah pemandangan balkon. Suasana sudah menggelap, tetapi apakah Leanna merasakan perbedaannya? Leo kadang-kadang bertanya-tanya ketika dirinya selalu menemukan Leanna sedang duduk termenung menghadap pemandangan di arah balkon, seolah-olah perempuan itu sedang menikmati pemandangan. Padahal Leo persis bahwa tidak ada pemandangan apapun yang bisa dinikmati oleh Leana dengan kedua matanya yang buta.
Dengan lembut Leo meremas pundak Leanna dan berdiri di belakangnya.
“Hai sayang, kata pelayan kau sangat baik hari ini, aku bangga padamu.”
Seulas senyum tampak hadir di bibir Leanna ketika merasakan kehadiran Leo.
“Leo? Bisiknya lemah, jemarinya dengan lembut meremas tangan Leo di pundaknya, “Kangen.”
“Aku juga merindukanmu, Leanna, sangat, tapi kau tahu terkadang aku harus pergi bukan? Untuk membuat hidup kita semakin baik?” dengan lembut Leo memutar dan berlutut di depan kursi roda Leana, “Aku senang kau bersikap baik hari ini, tidak memecahkan apapun dan membuat pelayan kerepotan, kau membuatku sangat bangga.”
Ada secercah kebahagiaan di mata Leanna ketika menunduk menatap Leo yang berlutut di bawahnya, “Aku senang membuatmu bangga.” Bisiknya lemah.
Leo menatap Leanna dengan penuh sayang dan keharuan. Leanna adalah perempuan yang sangat cantik, dulunya. Sekarang dia begitu rapuh dan kurus, tampak begitu lemah hingga seolah kalau Leo salah memegangnya, Leanna akan hancur berkeping-keping.
Seperti biasanya, Leo merebahkan kepalanya di pangkuan Leana, membiarkan perempuan itu mengusap kepalanya, memberinya secercah kedamaian.
Leo memejamkan matanya. Saatnya makin dekat.... saat yang dia tunggu-tunggu sudah menjelang...
***
Saira pindah ke kamar tamu yang berada di ujung lorong, dengan malu, karena semua pelayan tampak kaget dengan kepindahannya. Tetapi Saira menegarkan hati, mengatakan bahwa ini adalah keputusannya sebagai nyonya rumah yang tidak dapat diganggu gugat. Seumur hidupnya Saira tidak pernah menjadi nyonya rumah, tetapi ternyata menjadi isteri Leo ada untungnya juga di rumah ini, karena semua pelayan takut dan tunduk kepadanya tanpa berani membantahnya.
Kamar itu sama bagusnya dengan kamar-kamar yang lain di rumah itu, dan Saira mengatur pakaiannya yang hanya sedikit di dalam lemari yang sangat besar itu.
Setelah itu dia duduk dengan ragu, dan menunggu Leo pulang. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah keputusanya mengikuti perintah Leo tadi dengan pindah dari kamar utama sudah benar? Ataukah ini hanya memperburuk keadaan?
Haruskah Saira bertahan saja di kamar itu dan memaksa Leo menjelaskan semuanya kepadanya? Tetapi bagaimanapun juga Saira tidak sanggup kalau harus menerima penghinaan dan sikap kasar Leo kepadanya.
Mungkin ini adalah keputusan yang tepat, ketika mereka berpisah kamar mungkin Leo bisa berpikir dengan lebih tenang dan menyadari bahwa dia terlalu berlebihan dalam kecemburuannya kepada Andre, dan setelah Leo tenang, Saira akan menjelaskan semuanya kepada Leo, kenyataan tentang Andre dan bahwa Leo sebenarnya tidak perlu cemburu kepada Andre.
Tetapi ternyata penantian Saira sia-sia. Malam itu ternyata Leo tidak pulang ke rumah.
***
 Saira bangun dengan mata bengkak dan sembab, semalam setelah menunggu berjam-jam dan menyadari bahwa Leo tidak pulang ke rumah, Saira menghabiskan waktu dengan menangis dan meratapi diri, larut dalam kebingungan yang menakutkan. Dia tidak tahu apa yang terjadi, dia tidak tahu kenapa Leo memperlakukannya seperti ini.
Dan dia merasa sangat sendirian, benar-benar sendirian di rumah ini. Sambil menghela napas, Saira melangkah ke kamar mandi dan mencuci mukanya di wastafel, ketika menatap ke arah kaca dia mengernyit menatap matanya yang bengkak dengan lingkaran hitam di sekitar matanya.
Ini bukanlah penampilan seorang pengantin yang sedang berada di masa bulan madunya. Tidak akan ada pengantin berbahagia yang bangun tidur dengan kepala pening dan mata sembab, tidak mengetahui keberadaan suaminya...
Saira merasa matanya kembali panas, ingin menumpahkan air mata di sudut-sudutnya, tetapi dia kemudian menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Masalah tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan menangis.
Saira harus mencari tahu kenapa Leo tiba-tiba berubah menjadi orang yang tidak dikenalinya. Leo yang menjadi suaminya bukanlah lelaki lembut yang begitu penuh kasih sayang yang dicintainya. Dan Saira tidak mau diam saja, dia tidak mau diperlakukan kasar tanpa tahu apa kesalahannya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Saira melangkah keluar dan menuju ruang makan. Sarapan lengkap sudah disiapkan di sana. Dan tiba-tiba perut saira berbunyi ketika mencium harumnya omelet dan nasi goreng yang tersedia di sana. Tidak bisa dipungkiri, meski perasaannya berkecamuk, tubuhnya berteriak mengirimkan alram yang mengatakan bahwa dia lapar, karena semalam, setelah Leo pergi, tidak ada sama sekali nafsunya untuk malan.
Perutnya terasa perih dan melilih, dan meskipun Saira tidak selera makan, dia mengambil piring dan mengisinya dengan sedikit omelet dan sayuran untuk mengganjal perutnya. Saira tidak boleh jatuh sakit hanya karena dia kelaparan. Entah kenapa dia merasa bahwa dirinya harus tetap kuat dan bertahan.
Karena yang lebih buruk mungkin akan datang.
Leo pulang beberapa saat kemudian, ketika Saira sudah berhasil menyelesaikan makannya yang dipaksakan dilakukannya karena dia tidak berselera. Suara khas mobil Leo yang memasuki halaman rumah yang luas itu membuat Saira menegang, meletakkan sendoknya dan duduk menanti dengan cemas di meja makan.
Langkah-langkah Leo tampak tergesa menaiki tangga, Saira mendengarnya dengan waspada sampai kemudian mendengar suara lelaki itu membanting pintu kamarnya, lalu kemudian menarik napas lega.
Lama kemudian ketika tidak ada tanda-tanda Leo akan keluar dari kamarnya, Saira melangkah menuju ruang tengah, duduk di sudut sofa cokelat muda yang nyaman dan merenung, Kenapa dia jadi takut menghadapi pertemuannya dengan Leo? Apakah karena penghinaan Leo begitu menggores hatinya sehingga membuatnya trauma bahkan hanya untuk berbicara dengan lelaki itu?
Tetapi perempuan mana yang tidak trauma ketika dilamar dengan penuh cinta, dinikahi dengan keyakinan bahwa dia telah menemukan belahan jiwanya yang akan menyayangi dan menjaganya, hanya untuk kemudian menemukan suaminya telah berubah seperti pria lain yang begitu kasar, menghinanya dan bersikap sangat jahat kepadanya?
Sebuah gerakan dipintu mengalihkan perhatian Saira dan membuatnya terkesiap. Leo berdiri di sana, dengan wajah dingin dan tak terbacanya, menatap Saira dengan tajam. Rambutnya basah karena lelaki itu sepertinya habis mandi. Ini hari minggu jadi sepertinya Leo tidak akan pergi ke kantornya.
Jantung Saira berdegup kencang, Apakah ini saatnya mereka berbicara dan meluruskan semua salah paham atau entah apapun itu yang seolah membuat Leo sangat marah dan membencinya?
Ekspresi Leo tidak tetap tidak terbaca ketika dia melangkah memasuki ruang baca dan bersedekap menatap Saira,
“Kau pindah dari kamar.”
Saira mendongakkan dagunya, berusaha tampak tegar di bawah tatapan Leo yang tajam, “Ya. Sesuai permintaanmu.” Batin Saira melanjutkan bahwa permintaan Leo, dilakukan dengan merendahkan dan menghina Saira, tetapi tentu saja dia tidak mengeluarkannya dalam kata-kata, dia tidak mau memperkeruh keadaan.
“Bagus,” Suara Leo sangat dingin hingga Saira terkesiap dan menatap terkejut ke arah Leo, tidak menyangka bahwa jawaban seperti itu yang keluar dari bibir suaminya.
“Kenapa kau bersikap seperti ini kepadaku, Leo?” Saira mengernyit menatap suaminya, mencoba mencari kelembutan dan kasih sayang di sana, yang biasanya terpancar ketika suaminya itu menatapnya. Tetapi tidak ada apapun di ekspresi Leo yang datar dan dingin, yang ada malahan seulas sinar kejam di sudut matanya,
“Karena aku kecewa kepadamu.” Leo menyipitkan matanya. “Karena setelah menikahimu aku baru sadar bahwa aku tidak pernah mencintaimu.”
Kata-kata Leo bagaikan petir  yang menyambar hati Saira, langsung menghanguskannya tanpa ampun. Tetapi Saira bukanlah perempuan yang lemah, dia tegar. Kalau memang hal ini adalah kenyataan, dia akan menerimanya. Leo bisa saja menghancurkan hatinya dan membuatnya menangis di kamar karena hatinya hancur. Tetapi di depan Leo, Saira akan berjuang supaya bisa tegar, tidak akan dibiarkannya dirinya tampak lemah di depan Leo.
“Kalau begitu kau bisa membatalkan pernikahan kita. Kau belum menyentuhku dan kita baru dua hari menikah. Aku rasa kita bisa mengajukannya ke pengadilan.” Jawab Saira tenang.
Kali ini giliran Leo yang menyipitkan matanya, dia menatap Saira dengan pandangan menyelidik,
“Kenapa kau bisa semudah itu mengatakan tentang perpisahan?” kata-katanya tajam menusuk, setajam ucapannya, “Apakah kau memang tidak mencintaiku dan hanya mengincar hartaku, jadi kau merasa senang ketika aku mengajukan perceraian?” Leo mendekat dengan mengancam, membuat Saira otomatis memundurkan langkahnya, “Apakah kau sudah merencanakan ini bersama Andre kekasihmu? Kau pikir kau bisa membodohiku?”
“Andre bukan kekasihku.” Saira menegaskan nada suaranya, berusaha terdengar tegar meskipun bergetar, “Dan kenapa kau memutarbalikkan fakta Leo? Bukankah kau yang mengatakan menyesal menikahiku dan tidak menginginkan pernikahan lagi?”
Lama Leo terpaku, menatap Saira dengan tatapan terpaku, “Perempuan cerdik.” Gumamnya kemudian, “Kau pikir aku akan menceraikanmu semudah itu? Kalau aku membatalkan pernikahan ini, aku harus memberikan kompensasi kepadamu, kalau aku menceraikanmu, kau akan mendapat bagian yang tak sedikit dari hartaku kepadamu, semua hal itu menguntungkanmu, dan aku tidak akan membiarkannya,” Mata Leo menyipit, “Tidak akan ada perceraian.” Desisnya, “Tidak sampai aku bisa membuktikan perselingkuhanmu sehingga kau bisa kuceraikan tanpa membawa apapun yang bukan hakmu.”
Lalu seperti yang sebelumnya, Leo membalikkan badannya dan meninggalkan Saira sendirian.
***
Saira sudah tidak tahan lagi, air matanya sudah tumpah tak karuan di kamar luas yang sepi itu. Sementara setelah pertengkaran tadi, Leo pergi lagi entah kemana. Sepertinya lelaki itu sengaja pulang hanya untuk menyakitinya.
Sejak tadi Saira sudah menahan diri untuk tidak menghubungi Andre, dia tidak mau sahabatnya itu cemas, selain itu jauh di dalam dirinya, Saira masih berharap kalau semua ini hanyalah mimpi, kalau sebenarnya semuanya baik-baik saja, kalau dia tinggal membuka matanya dan kemudian mendapati Leonya yang dulu sudah kembali.
Ada apa dengan Leo? Itulah pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di benak Saira. Kebingungan yang menyakitkan, membuat air matanya tumpah karena dirinya merasa disalahkan atas sesuatu yang tidak pernah dia perbuat.
Ada yang lebih besar dari kecemburuan Leo kepada Andre, hanya sesuatu yang besarlah yang bisa menyebabkan sinar kebencian yang tiba-tiba menyeruak begitu besar di mata Leo.  Apapun itu Saira harus tahu, karena dia tidak tahan berdiam diri di sini, penuh air mata dan tak tahu harus berbuat apa.
Saat ini hanya satu orang yang bisa membantunya, sahabatnya yang paling mengerti dirinya di atas segalanya. Saira mengambil resiko menyulut kemarahan Leo yang lebih besar dengan menghubungi Andre, tetapi bagaimanapun juga Leo toh sudah marah besar tanpa alasan kepadanya, jadi tidak ada gunanya Saira sibuk memikirkan menjaga perasaan Leo sementara lelaki itu tidak mempedulikannya.
Di pencetnya nama Andre di ponselnya, dengan penuh tekad, lalu Saira menunggu. Pada deringan ke tiga Andre mengangkat teleponnya,
“Saira?” suara Andre yang lembut terdengar di seberang.
Saira menghela napas panjang, menahan rasa tercekat yang dalam ketika tangisnya mulai menyeruak lagi,
“Andre...”
*** Bersambung ke part 2  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 07, 2013 05:43

March 6, 2013

Pembunuh Cahaya Part 1




Pernikahan mereka luar biasa mewah dan sangat indah, sayangnya mama Leo tidak bisa hadir karena kata Leo, sang mama sedang berobat di luar negeri. Kondisi pernikahan mereka yang mendadak membuat mama Leo tidak bisa mengatur ulang jadwalnya. Tetapi kata Leo sang mama kirim salam dan segera setelah pulang dari luar negeri, dia akan menengok mereka berdua sambil membawa kado pernikahan.

Mereka memasuki kamar pengantin yang sudah didekorasi dengan mewah oleh dekorator terkenal, tentu saja bunganya dipasok oleh rumah kaca Saira, beberapa sumbangan dari Andre sahabatnya yang sangat senang dengan pernikahan Saira. Andre memang sahabat dekat Saira, yang selalu membantunya kapanpun dia siap. Banyak yang mengira mereka berhubungan dekat, tetapi hanya Saira dan Andre yang tahu bahwa mereka tidak bisa lebih dari itu, Andre seorang gay dan dia tidak tertarik kepada perempuan. Saira masih menyimpan rahasia itu sendiri, dia belum mengatakannya kepada Leo, semula dia masih ragu karena Andre sendiri yang membuatnya berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapapun. Lelaki itu masih malu dengan kenyataan dirinya dan tidak ingin siapapun tahu, kecuali Saira sahabatnya. Tetapi Saira mempertimbangkan untuk meminta izin Andre supaya dia bisa memberitahu Leo. Leo suaminya dan Saira yakin Leo tidak akan menghakimi Andre. Lagipula Leo beberapa kali mempertanyakan kedekatannya dengan Andre dan tampak cemburu karenanya. Kalau Leo sudah tahu bahwa Andre adalah gay, mungkin lelaki itu akan tenang.
Setelah berganti pakaian dengan gaun tidur warna putih miliknya, Saira duduk dengan ragu di atas ranjang. Leo belum masuk dari tadi, karena masih banyak tamu di luar meskipun waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam, tamu itu kebanyakan rekan kerja Leo. Saira tadi masuk duluan karena dia kelelahan sejak pesta mewah tadi pagi, sedangkan Leo masih harus menemani tamu-tamunya demi kesopanan.
Sudah larut malam ketika Leo akhirnya masuk. Saira masih menunggu dengan terkantuk-kantuk duduk di tepi ranjang, dia mendongak ketika lelaki itu menutup pintu kamar pengantin mereka.
“Semua sudah pulang?”
Hening.
Leo menatapnya lama sekali, lalu menjawab singkat. “Sudah.”
Sekarang jantung Saira berdegup kencang, dia hanya berdua saja dengan suaminya sekarang. Saira tidak pernah berduaan di kamar dengan lelaki manapun sebelumnya. Leo adalah lelaki pertamanya dalam segala hal. Dan malam ini mereka adalah suami isteri. Pipi Saira merona, membayangkan bagaimana mereka akan melewatkan malam ini. Saira bagaimanapun juga menyimpan ketakutan kalau dia akan mengecewakan Leo yang sepertinya sudah bergitu dewasa dan berpengalaman di banding dirinya. Selisih usia mereka tujuh tahun, Saira baru dua puluh empat tahun, dan Leo tigapuluh dua tahun. Orang bilang usia mereka berdua adalah usia yang pas untuk hidup berumah tangga.
“Belum tidur?” Leo masih berdiri di dekat meja rias, dan mulai melepas dasi, jasnya sendiri sudah disampirkan secara sembrono di kursi rias.
Saira menggeleng, tersenyum malu-malu, “Belum, aku menunggumu.”
Mata Leo tampak menajam, lelaki itu tampak begitu misterius di balik cahaya lampu kamar yang kuning temaram.
“Seharusnya kau tidur duluan.” Gumamnya dingin, lalu melepas kemejanya dan melangkah masuk ke kamar mandi.
Saira masih tertegun, bingung akan perubahan nada suara Leo kepadanya. Lelaki itu tidak berkata-kata dengan nada suara sedingin itu kepadanya. Apakah mungkin Leo lelah?
Ketika Leo keluar dari kamar mandi, dia sudah  berganti memakai piyama hitam. Dia mengangkat alisnya ketika sudah berdiri di pinggir ranjang.
“Minggir ke sana.” gumamnya kasar, membuat Saira bergegas naik keranjang dan bergeser ke ujung lainnya, dengan perasaan bingung dan was-was.
Leo lalu naik ke ranjang dan berbaring di sana. Saira menoleh hendak bertanya, tetapi lelaki itu berbaring membelakanginya dengan nafas teratur seolah jatuh tertidur begitu saja.
Apakah lelaki itu tertidur? Kenapa dia bersikap begitu? Apakah Leo kelelahan? Ataukah lelaki itu marah kepadanya atas sesuatu yang tidak dia sadari? Mungkinkah Saira telah menyinggung Leo tanpa sadar? Tapi kapan? Kenapa?
Seluruh pertanyaan itu menggayuti benak Saira. Dia berbaring dengan mata nyalang, menatap punggung tegap Leo
Tetapi sepertinya pertanyaannya tidak akan terjawab malam ini. Leo tampaknya sudah tertidur pulas. Akhirnya dengan perasaannya yang berkecamuk bingung, Saira memaksakan dirinya memejamkan mata.
Malam pengantinnya berlalu dalam keheningan yang menyesakkan dada....***
Pagi hari ketika Saira membuka mata, dia masih merasa bingung akan keberadaannya. Sejenak dia agak kaget berada di dalam kamar yang tidak dikenalinya, tetapi kemudian dia mengumpulkan ingatannya. Pernikahannya, rumah Leo...
Dengan gugup Saira menegakkan tubuhnya, mencari Leo tentu saja. Tetapi sebelah ranjangnya kosong. Leo sudah tidak ada.
Diliriknya jam dinding tak jauh darinya, sudah jam tujuh pagi. Saira tidak pernah bangun sesiang ini sebelumnya, dia selalu bangun jam enam pagi, kemudian menuju rumah kaca dan merawat tanaman miliknya, Sekarang tanaman miliknya sedang dirawat dalam pengawasan Andre, lelaki itu katanya ingin memberi kebebasan kepada Saira untuk berbulan madu sementara.
Dengan canggung Saira melangkah berdiri dari ranjang. Apakah Leo ada di luar untuk sarapan? Kenapa Leo tidak membangunkannya? Apakah lelaki itu tidak mau mengganggu tidurnya?
Saira melangkah ke kamar mandi dan mandi dengan air hangat untuk menyegarkan dirinya dan tubuhnya yang terasa penat setelah pesta kemarin. Setelah itu dia melangkah ke luar kamar Leo.
Suasana rumah Leo tampak lengang. Kamar Leo berada di lantai dua, dan tidak ada siapapun di situ, dengan ragu Saira menuruni tangga melangkah turun, ada seorang pelayan di sana yang langsung membungkukkan tubuh hormat begitu melihatnya.
“Dimana suamiku?” tanya Saira pelan, masih merasa ragu mengklaim Leo sebagai suaminya.
Pelayan itu masih membungkuk hormat, “Tuan Leo sudah berangkat sejak pagi tadi, Nyonya.”
“Berangkat kemana?” Saira mengernyitkan keningnya.
“Berangkat bekerja.” Jawab pelayan itu singkat, lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya di belakang.
Bekerja? Hari ini adalah hari pertama mereka resmi menikah dan Leo berangkat kerja? Sebegitu sibukkah suaminya sehingga tidak bisa libur setelah pernikahan mereka? Tidak adakah bulan madu seperti yang dilakukan orang-orang biasanya? Setahu Saira, kebanyakan orang memilih melewatkan waktu bersama dengan tidak bekerja, tidak perlu harus berlibur ke suatu tempat, bahkan dengan hanya bersama-sama di rumah itupun sudah cukup.
Saira mengira Leo akan meluangkan waktu untuk mereka bisa bersantai berdua, apalagi mengingat hubungan mereka yang singkat sebelum menikah. Tidakkah Leo ingin lebih banyak mengenalnya seperti Saira yang sangat ingin mengenal suaminya lebih dalam?
Dan Leo juga berangkat bekerja tanpa berpamitan kepadanya. Saira masih bertanya-tanya akan sikap kasar dan dingin Leo semalam, tetapi pagi ini sikap Leo lebih membuatnya bertanya-tanya lagi.
Suami seperti apa yang meninggalkan pengantinnya setelah malam pertama mereka yang tidak tersentuh, hanya untuk pergi bekerja?
Saira termangu bingung. Matanya menatap keindahan rumah dengan segala interior mewahnya yang bergaya minimalis itu dengan bingung. Rumah itu terasa sangat asing baginya, dan tiba-tiba saja, Leo juga terasa sangat asing baginya.***
“Bagaimana malam pertamamu?” Andre langsung bertanya dengan menggoda ketika Saira mengangkat teleponnya.
Saira tersenyum lembut, “Kami belum malam pertama.” Bisiknya, dia memang selalu jujur kepada Andre dalam hal apapun, dan kenyataan bahwa Andre adalah gay membuatnya semakin nyaman di dekat lelaki itu,
“Apa?” suara Andre di seberang sana tampak terkejut, “Kalian belum melakukan malam pertama?’
Meskipun ada di seberang telepon, Saira tersenyum malu-malu, “Kami terlalu lelah, kemarin sampai jam sepuluh malampun masih ada tamu-tamu yang berdatangan.”
“Oh.” Andre tertawa, “Itulah resikonya menikah dengan seorang bos besar.” Candanya. “Jangan khawatir, semuanya akan ditebus di saat bulan madu kalian.
Sepertinya tidak akan ada bulan madu.Saira membatin dalam hati, tiba-tiba merasa ragu.
“Saira?” Andre bertanya di seberang sana, sepertinya dia sedang menanyakan sesuatu, tetapi karena sibuk dengan pikirannya, Saira tidak menanggapinya.
“Eh.. iya..apa?” gumam Saira gugup.
“Aku tadi bertanya, kemana rencana kalian akan berbulan madu.”
Sejenak Saira bingung harus menjawab apa, dia lalu berdehem karena gugup, “Eh... aku belum tahu.” Gumamnya pelan, “Leo belum memberitahuku rencananya.”
“Mungkin dia akan memberimu kejutan,” Ada nada menggoda di suara Andre, “Aku membayangkan dia akan membawamu ke pulau eksotis yang luar biasa indahnya, kabari aku ya Saira.”
Saira memaksakan senyum di suaranya, “Pasti Andre.” Mereka lalu bercakap-cakap sebentar mengenai rumah kaca Saira, batin Saira sedikit tenang ketika Andre mengatakan dia menyewa temannya untuk menghanddletugas merawat rumah kaca Saira, teman Andre itu dulu pernah melakukan hal yang sama ketika Saira sakit dan hasilnya memuaskan. Tanaman di rumah kacanya akan baik-baik saja.
Saira menghembukan napasnya setelah mengakhiri percakapan mereka, masih bingung akan sikap Leo sejak semalam. Apakah mungkin seperti yang dikatakan oleh Andre, bahwa Leo ingin memberinya kejutan? Di film-film yang dilihatnya, orang-orang kadang bersikap aneh dan membingungkan ketika ingin  memberi kejutan, semisal memberikan kejutan ulang tahun, orang-orang berkomplot untuk berpura-pura lupa dan tidak memberikan selamat, hingga membuat orang yang ulang tahun merasa sedih dan kecewa, lalu pada malam harinya mereka memberikan pesta ulang tahun kejutan yang membahagiakan, membuat kejutan mereka lebih bermakna.
Itukah yang sedang dilakukan oleh Leo? Apakah lelaki itu sedang memberikan kejutan untuknya?***
Sampai dengan siang hari, Saira terus menghabiskan waktunya dengan kesepian di rumah itu. Dia sama sekali tidak menyangka inilah yang akan terjadi pada dirinya. Ditinggalkan bekerja,  seorang diri di rumah satu hari setelah pernikahannya.
Dorongan untuk mengunjungi rumah kaca dan melarikan kebosanannya dan merawat tanamannya sangat kuat. Tetapi kalau dia ke rumah kaca, Andre pasti akan memberondongnya dengan sejuta pertanyaan, dan Saira pasti tidak akan bisa menjawab, karena dia sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi.
Diliriknya ponselnya. Sepi, tiak ada kabar satupun. Dulu sebelum mereka berpisah, Leo selalu mengiriminya pesan-pesan penuh perhatian kepadanya, bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan selamat pagi, menanyakan apakah dia sudah makan, atau juga kadang memberikan info tentang apa yang dilakukannya.
Tetapi sekarang berbeda, tidak ada satupun pesan dari Leo kepadanya, Apakah Leo sedang benar-benar sibuk?Saira sungguh tergoda untuk menelepon Leo, tetapi dia takut akan mengganggu Leo yang sedang berada di tengah rapat penting atau apa.Dengan pedih Saira menghela napas panjang. Dia harus keluar dari rumah ini, atau dia akan menjadi gila.
Dengan cepat dia berganti pakaian, meraih tasnya dan memanggil taxi. ***
Pada akhirnya Saira tidak tahan untuk tidak mengunjungi Andre, dia berdiri di rumahnya yang sekaligus menjadi kantor mereka dengan ragu. Rumah Andre sendiri persis menempel di sebelah rumah Saira, jadi lelaki itu sering sekali bolak balik antara kantor ke rumahnya, yang ditinggalinya bersama ibunya dan dua adik perempuannya.
Hubungan Andre dan Saira sangat dekat, lebih dari sahabat, lebih menyerupai adik kakak, keluarga Andre juga sangat menyayanginya. Ketika ibunya meninggal, otomatis keluarga Andre mengangkat dirinya menjadi anak angkat tidak resmi.
Ibu Andre selalu berharap lebih akan hubungan Saira dengan Andre, maklum ibu Andre tidak tahu jati diri yang disembunyikan Andre sebagai seorang gay. berkali-kali ibu Andre menyinggung akan senangnya jika mempunyai menantu seperti Saira. Tetapi kemudian ketika Saira merencanakan pernikahannya dengan Leo, ibu Andre akhirnya menerima kenyataan bahwa Andre dan Saira memang tidak ditakdirkan melebihi sahabat. Dan bahkan kemudian ibu Andrelah yang bersemangat membantu persiapan pernikahan Saira, membuat Saira terharu karena mendapatkan ibu yang baru yang sangat menyayanginya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” suara di belakangnya membuat Saira berjingkat karena kaget.
Saira menoleh dan melihat Andre berdiri di belakangnya, lelaki itu sepertinya tadi keluar untuk membeli makanan, karena ada kantong plastik berlogo sebuah fast food di tangannya, Saira melirik makanan yang dibawa Andre dan mencibir.
“Kau akan mati muda kena serangan jantung kalau tidap hari mengkonsumsi fast food semacam itu.” Gumamnya,
Andre tergelak lalu memutar bola matanya untuk mengejek pendapat Saira, dia melangkah mendahului Saira memasuki bagian depan rumah Saira yang sudah dialih fungsikan menjadi kantor mereka.
“Kenapa kau di sini?  Bukankah kau seharusnya menghabiskan hari yang indah bersama suamimu?’
Saira menjawab asal untuk mengihindari kecurigaan Andre, “Leo ada urusan pekerjaan sebentar di kantornya, jadi aku memutuskan untuk kemari dan menengok rumah kacaku.”
“Bekerja di hari pertama setelah pernikahan?” Suara Andre meninggi, “Sungguh keterlaluan.” Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dramatis.
Mereka sudah memasuki area kantor, dan Andre meletakkan kantong plastik yang dibawanya ke meja, dia menarik makananya dan memakannya dengan nikmat, diliriknya Saira yang memandang ngeri pada pesanna makanan Andre.
“Mau?” Andre menyodorkan makanannya, menggoda Saira, tahu persis bahwa Saira adalah maniak makan makanan yang sehat dan pasti akan menolaknya.
Dan seperti dugaannya, Saira menggelengkan kepalanya. “Aku sedang bingung.”
Andre menatapnya dan mengernyit, “Bingung kenapa?”
“Tentang Leo.” Pipi Saira memerah, “Dia...semalam sikapnya aneh..”
Andre tertawa, “Kebanyakan pengantin baru memang suka bersikap aneh, Saira....mungkin nanti kau akan menemukan banyak hal baru dari suamimu, sesuatu yang tidak pernah kau duga sebelumnya, tetapi memang itulah asyiknya perkawinan.”'
Saira mencibir, “Seperti kau sudah ahli dalam perkawinan saja.”
Andre tertawa, melahap makanannya dengan nikmat. “Aku memang belum pernah mengalami perkawinan, dan mungkin tidak akan pernah.” Wajahnya tampak sedih, tetapi dengan cepat dia mengubah ekspresinya menjadi ceria, “Tetapi aku banyak membaca dan mencari tahu, kau bisa datang padaku kalau kau ada masalah dengan perkawinanmu.”
Mereka tergelak bersama meskipun ada sedikit perasaan terenyuh di benak Saira, Andre sama sekali tidak berpenampilan seperti gay, dia tidak lembut atau bersikap seperti perempuan. Tubuhnya gagah dan penampilannya jantan seperti lelaki kebanyakan. Saira tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Andre harus berpura-pura dan mengingkari jati dirinya, apalagi mengingat bahwa ibu Andre sering sekali mendesak anak lelaki satu-satunya itu untuk segera menikah.
Berbicara tentang ibu Andre, Saira teringat akan ibunya, ibunya yang cantik dan begitu lembut, yang selalu Saira kenang dari ibunya adalah aroma wangi bebungaan yang menyelubunginya, hasil dari seharian menghabiskan waktunya di rumah kaca. Ah seandainya ibunya ada di sini, menghadiri pernikahannya, dia pasti akan sangat bahagia. Tetapi Saira meyakini dalam hatinya bahwa ibunya pasti berbahagia di atas sana, melihatnya pada akhirnya menemukan lelaki yang menjaganya.***
“Dari mana saja kau?” suara dingin Leo menyambut Saira di ruang tamu, membuat Saira mengernyitkan keningnya.
Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gugup, “Eh..  karena tidak ada pekerjaan, aku.. aku memutuskan untuk ke rumah kaca.”
“Ke rumah kaca?” Tatapan Leo menjadi tajam. “Menemui Andre?”
“Iya, dan juga menengok rumah kacaku, Andre mempercayakan perawatannya kepada seseorang, jadi aku mampir untuk mengevaluasi hasil..."
“Tidak bisakah kau melepaskan rumah kaca dan Andre dari pikiranmu? Aku muak kalau kau selalu menyebut-nyebutnya di rumah ini. Kalau kau memang mau menjadi isteri yang baik, fokuslah pada rumah ini, pada keluarga ini, bukan hanya melulu mengurusi rumah kaca itu!” dengan ketus Leo melangkah meninggalkan Saira yang terperangah kaget di ruang tamu.
Saira merasakan hatinya mencelos seperti di remas, matanya terasa panas, tetapi dia menahannya, seumur hidupnya, tidak pernah ada orang yang memarahinya dengan seketus itu. Apakah Leo cemburu kepada Andre dan juga kepada rumah kacanya?
Hati Saira meragu, tetapi... sepertinya dulu Leo sama sekali tidak keberatan akan itu semua?*** Bersambung ke Part 2
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 06, 2013 02:03

You've Got Me From Hello Part 5



Pagi harinya Sani masih tertidur dan meringkuk di atas ranjangnya ketika suara interkom pintunya berbunyi. Sani mengernyit, meraih jam beker di sebelah ranjangnya. Masih jam enam pagi. Siapa yang berkunjung sepagi ini?
Dengan susah payah Sani turun dari ranjang, matanya pasti bengkak karena dia menangis semalaman sampai ketiduran, dan kepalanya pening karenannya.




Dia memijit tombol interkom yang berhubungan langsung dengan resepsionis di depan.
“Ya?” gumamnya dengan suara yang masih serak.
“Nona Sani, ada tamu untuk anda.”
Sani langsung waspada, apakah Jeremy masih belum menyerah juga?
“Siapa?” “Tuan Azka meminta akses untuk naik dan menemui anda.”
Jantung Sani langsung berdebar, teringat akan kecupan lembut di dahinya malam itu. Kenapa Azka datang menemuinya pagi ini?
“Nona Sani?” resepsionis di bawah memanggilnya lagi karena dia terdiam lama.
“Eh iya. Iya, perbolehkan beliau naik.”
Setelah mematikan interkom, dalam sekejap Sani melompat ke kamar mandi, menggosok gigi, dan mencuci mukanya. Dia mengernyitkan kening ketika menatap wajahnya di cermin, ada lingkaran hitam di matanya, bengkak seperti panda. Rasanya malu menemui Azka dengan penampilan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi. Kedatangan Azka sama sekali tidak diduganya. Dia selesai mengganti baju tidurnya dengan kaos longgar dan celana jeans yang nyaman ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dengan gugup Sani membuka pintu itu.
Azka berdiri di sana, tampak luar biasa tampan dengan kemeja warna hitam dan celana jeans abu-abu. Lelaki itu membawa kantong plastik di tangannya. Dan tiba-tiba saja Sani merasa malu ketika membayangkan penampilannya yang berantakan ini dihadapkan dengan penampilan Azka yang begitu sempurna.
“Selamat pagi.” Azka menyapa dengan lembut.
Sani sejenak hanya terpaku, terpesona dengan senyum itu, “Se...selamat pagi juga.”
“Aku membawakan sarapan.” Azka menunjukkan plastik di tangannya, “Boleh aku masuk.”
Saat itulah Sani sadar bahwa dia hanya berdiri terpaku sambil menatap Azka. Dia langsung memundurkan langkahnya, memberi jalan bagi Azka untuk melangkah masuk.
Lelaki itu tampak nyaman, tidak canggung sama sekali ketika memasuki apartemen Sani,
“Di mana aku meletakkan makanan ini? Kau punya meja makan?”
Apartemen Sani adalah apartemen model kecil dan sederhana, dengan ruang tamu, menyambung ke dapur yang menyatu dengan meja makan kecil,  satu kamar mandi, dan satu kamar tidur di ujung ruangan. Azka hanya tinggal berjalan sedikit untuk menuju dapur.
“Di sebelah sana ada meja makan, tapi mungkin lebih baik kita duduk di sini saja.” Sani yang merasa canggung di sini, tidak pernah sebelumnya dia berduaan dengan seorang lelaki apalagi di dalam apartemen yang cukup privat.
“Aku meminta Albert untuk menyiapkan makanan kita.” Azka meringis, “Omelet dan sup dari cafe, juga cokelat panas andalan kami. Ada untungnya juga menjadi pemilik cafe.” Azka lalu duduk di sofa itu sementara Sani berdiri canggung di dekat pintu, membuat Azka mengerutkan keningnya,
“Sini, icipilah omelet buatan kokiku, ini menu andalan cafe untuk sarapan. Oh ya ambilkan piring ya.”
Sani ke dapur menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengambil piring dan sendok, lalu melangkah pelan, dan akhirnya duduk di sofa samping Azka. Lelaki itu membuka kantong-kantong kertas makanannya, dan memindahkan omelet yang beraroma sangat harum itu ke dalam piring.
Sani hampir meneteskan air liur mencium aroma yang sangat enak itu. Azka lalu menyerahkan piring itu ke tangan Sani.
“Cicipilah.” Azka menatapnya sambil tersenyum, seolah-olah menyadari ekspresi lapar Sani dan kemudian merasa geli. Sani menerima piring itu dan membelah gulungan omelet yang tampak begitu lembut. Begitu dibelah isian keju yang masih panas bersama sayuran yang dicacah meleleh keluar, menebarkan aroma yang makin harum.
Sani menyendok omelet itu dan memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang begitu gurih meleleh di mulutnya. Oh astaga, makanan ini enak sekali.
Ketika dia membuka mata dia menyadari bahwa Azka mengamatinya, pipinya langsung memerah membuat Azka terkekeh.
“Enak ya.”
Sambil mengambil suapan kedua, Sani mengangguk.
“Percayakah kau kalau kubilang aku yang memasaknya?”
Sani ternganga, “Kau bilang kokimu yang memasaknya.”
“Kalau dari awal kubilang aku yang memasaknya, mungkin kau tidak mau memakannya.” Azka tertawa, suaranya terdengar menyenangkan memenuhi ruangan.
“Jadi kau bisa memasak?” Omelet itu meskipun sederhana terasa begitu nikmat, kelembutan dan rasanya seolah semua sudah diukur dengan ahli.
Azka tampak merenung ketika menjawab pertanyaan Sani, “Impianku adalah menjadi seorang koki profesional.  Aku sempat bersekolah di Prancis menjalani impianku untuk menjadi seorang koki. Tetapi kemudian aku dipanggil pulang.”
“Kenapa?”
“Karena ayahku meninggal, dialah yang selama ini mengendalikan perusahaan kami. Dan Keenan... kau sudah bertemu dengan Keenan kan?” Azka menatap Sani tajam, mengamati ekspresinya. Dia menatap Sani mengangguk dengan ekspresi biasa, dan hatinya lega, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dirasakan oleh Sani ketika membicarakan tentang Keenan. Dia lalu melanjutkan,
“Keenan tidak bisa diandalkan karena hasratnya adalah di bidang seni, dan karena itulah dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang ditinggalkan ayah kami. Seseorang harus bertanggung jawab.”
“Jadi kaulah yang mengambil tanggung jawab itu?”
“Ya.” Azka tersenyum sedih, “Kutinggalkan impianku di Prancis, dan aku pulang untuk menjadi seorang bisnisman.”
“Bukankah kau diwarisi cafe itu? Seharusnya kau bisa mengembangkan impianmu sebagai koki di sana.” Sani mengamatinya dengan lugu hingga Azka tersenyum. Sani tidak tahu bahwa perusahaan ayahnya menyangkut jaringan luas di beberapa kota besar, di bidang kuliner dan perhotelan, dan beberapa resor besar adalah milik perusahaan ayahnya. Sani mungkin berpikir bahwa bisnisnya hanyalah cafe itu, dan mungkin sebaiknya Sani tetap berpikir begitu. Azka tidak mau membuat Sani menjauh dan kaku ketika menyadari bahwa dia adalah seorang miliarder.
“Perusahaan ayahku mencakup cafe itu dan beberapa hal lain.” Jelas Azka berusaha menyederhanakan semuanya, “Dan beberapa hal lain itu membuatku tidak bisa bekerja sebagai koki.”
“Oh.” Sani tampak termangu, lalu menatap Azka dengan penuh rasa ingin tahu, “Apakah kau bahagia?”
“Apa?”
“Kau memilih meninggalkan impianmu dan memilih memikul tanggung jawab, apakah kau bahagia?”
Apakah dia bahagia? Pertanyaan itulah yang sering dia tanyakan berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Dan dia tahu pasti jawabannya, hatinya terasa kosong.
Sama seperti ketika dia memilih untuk memikul tanggung jawab terhadap Celina. Hatinya terasa hampa.
“Aku merasa tenang.” Azka tersenyum pahit menjawab pertanyaan Sani, “Tetapi, apakah aku bahagia? ...Tidak... aku tidak bahagia. Kadang aku ingin bertindak egois, seperti Keenan memilih mengejar impiannya dan tidak peduli pada yang lain. Jauh di dalam hatinya dia pasti menemukan kebahagiaan sejati.” Azka tersenyum lembut, “Mungkin aku memang tidak diciptakan untuk menikmati itu.”
Azka tampak begitu murung, begitu gelap, dan begitu kesepian. Hingga entah kenapa hati Sani merasakan kepedihan. Tanpa dapat ditahannya dia menyentuhkan jemarinya di lengan Azka, membuat lelaki itu terbangun dari lamunan murungnya dan menoleh menatap Sani,
“Kau memilih melakukan apa yang menurutmu benar.” Sani bergumam lembut, “Setiap orang berbeda-beda, ada yang bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, tetapi kau tidak bisa melakukannya. Kau terlalu bertanggungjawab untuk melakukannya.”
Azka tersenyum, “Ya. Terkadang melelahkan menjadi orang yang bertanggungjawab.” Lelaki itu lalu menatap Sani dengan hangat, “Aku iri kepadamu.” Gumamnya.
“Kenapa?”
“Karena kau bisa melakukan apa yang menjadi hasratku.”
“Menjadi hasratku?”
“Menulis.” Azka tersenyum, “Kau hidup dari menulis. Dan aku yakin menulis adalah hasratmu, hobimu.”
Sani tertawa, “Menulis adalah hobiku. Aku menulis sejak lama. Kalau kau mau tahu, di dalam benakku itu penuh dengan fantasi dari berbagai tokoh dan kisah.”
“Kisah romantis?”
“Iya.”
Azka tertawa, “Pantas kau begitu kesulitan menulis akhir-akhir ini,” Matanya melembut, “Karena masalahmu dengan Jeremy?”
“Ya. Penerbit dan editorku sudah mengejar-ngejarku karena aku jalan di tempat akhir-akhir ini. Aku kehilangan hasrat dan kemampuan untuk menulis kisah romantis. Ketika semua tulisanku jadi, mereka bilang tidak ada roh dalam tulisanku, tidak seperti yang dulu.”
Tatapan Azka berubah redup, “Mungkin kau hanya perlu mengalami pengalaman romantis lagi untuk bisa mendapatkan kemampuan menulismu.” Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Sani dengan lembut, lalu tanpa diduga-duga lelaki itu menunduk dan menciumnya.Bibir Azka terasa lembut menempel di bibirnya, semula begitu hati-hati dan lembut, memberi kesempatan kepada Sani untuk menolak. Kemudian ketika tidak menemukan penolakan apapun dari Sani, Azka melumat bibir Sani dengan lebih berani, mencicipi kemanisan bibir itu dan mencecapnya dengan penuh perasaan. Mata Sani  terpejam menghirup aroma maskulin yang begitu menggoda dan melingkupinya.
Mereka berciuman cukup lama, saling menikmati, dan mengenali satu sama lain. Dan ketika bibir mereka berpisah, napas mereka terengah, hidung dan bibir mereka masih menempel dan mata mereka bertatapan dengan redup. Azka mencium bibirnya sekali lagi dengan kecupan lembut sebelum kemudian menjauhkan kepalanya dan tersenyum,
“Maafkan aku karena melakukannya.”
Sani langsung memundurkan tubuhnya menjauh, tanpa sadar mereka sudah berpelukan dekat sekali. Pipinya merah padam, dan jantungnya berdebar keras, merasakan perasaan yang tidak pernah dirasakannya.
Malu, bingung, dan semua perasaannya bercampur menjadi satu. Dan dia tidak tahu harus berkata apa.
“Aku juga minta maaf.” Sani akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata meskipun terdengar serak dan tercekat, “Sepertinya aku terbawa suasana...”
Azka menghela napas panjang, menyentuh pipi Sani dengan lembut, “Aku tidak bermaksud untuk merendahkanmu atau apa. Ini semua terjadi begitu saja.”
Sani menghela napas panjang, “Mungkin kau harus pergi.”
“Baiklah.” Azka tersenyum penuh pengertian, “Aku tahu kau mungkin membutuhkan waktu sendiri.” Lelaki itu lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu, “Aku pergi dulu, habiskan makanannya ya.”***
Sani memeluk bantal dan merenung, menatap ke jendela kaca luar yang memantulkan pemandangan langit yang biru. Merenungkan kejadian tadi.
Selama ini dia selalu membawa prinsipnya dengan ketat, tetapi ketika bersama Azka seakan dia menabrak semua hal yang diyakininya. Dia tidak pernah memasukkan laki-laki ke dalam tempat pribadinya, dia tidak pernah membiarkan dirinya disentuh dengan begitu mesra, dan membiarkan dirinya dicium. Padahal tidak ada ikatan apapun di antara mereka.
Dengan sedih Sani menyentuh bibirnya. Apakah karena patah hati dia berubah menjadi perempuan murahan? Perempuan murahan yang membiarkan dirinya disentuh oleh seorang laki-laki tanpa ikatan?
Dengan kesal Sani melempar bantal itu ke lantai, mendesah keras. Tidak. Ini bukan dirinya, perasaannya kepada Azka tidak dapat dideskripsikan dengan nalar. Sani tidak pernah begini sebelumnya, bahkan dengan Jeremy sekalipun.***
Dengan dingin Azka mengamati berkas laporan di depannya, itu adalah report lengkap dari pegawainya di kota asal Sani tentang kehidupan Sani dan juga Jeremy. Dia sedang berada di kantor pusat perusahaannya, di lantai paling atas di gedung paling mewah dalam kawasan resor paling elit di kota itu. Azka berpakaian seperti penampilannya yang biasa ketika bekerja. Rambut disisir ke belakang dan setelan tiga potong berwarna hitam dengan dasi kelabu. Penampilannya secara keseluruhan tampak dingin dan kaku, sangat berbeda dengan penampilan informalnya ketika sedang berada di cafe ataupun di depan Sani.
Azka membaca semuanya dengan cepat, dan langsung mendapatkan semua informasi, tentang ayah dan ibu Sani, tentang keluarganya, sekolahnya, dan kehidupan masa kecilnya. Dan dia menyimpan dalam ingatannya yang jenius. Ya, Azka memang memiliki kelebihan khusus dalam hal kemampuan otak. Keenan dilahirkan dengan bakat seni yang luar biasa, sedangkan Azka dengan kemampuan otak yang di atas rata-rata.
Setelah itu Azka mengambil berkas tentang Jeremy, setelah mencermatinya sejenak, dia menemukan sesuatu.
“Jeremy bekerja di salah satu anak cabang kita.” Gumamnya, yang disambut dengan anggukan pegawainya.
“Minta sekretarisku menghubungi GM kita di sana, bilang aku ingin pertemuan darurat.”***
Keesokan harinya hanya dalam waktu satu hari setelah Azka memberi perintah, GM itu datang menghadapnya. Dia dibawa langsung ke ruangan Azka. Pemilik perusahaan misterius yang jarang sekali terlihat, tetapi keputusan bisnisnya yang jeniuslah yang telah menggerakkan seluruh jaringan perusahaan ini sehingga bisa menjadi semakin maju. Bahkan berkali lipat lebih maju daripada ketika perusahaan ini dipimpin oleh almarhum ayahnya.
Dia dipanggil untuk sebuah meeting penting yang tidak tahu mengenai apa, dan diharapkan bisa datang secepat mungkin. Hari itu masih pagi ketika GM itu memasuki ruangan besar pimpinan tertinggi sekaligus pemilik perusahaan dan mengernyit ketika melihat ruangan itu kosong. Hanya ada dirinya dan sang pemilik perusahaan di sana. Bagaimana mungkin? Karena begitu urgentnya status panggilannya, dia menyangka bahwa rapat darurat yang dimaksudkan adalah rapat yang dihadiri seluruh pimpinan cabang.
Azka yang duduk di kursinya tersenyum melihat kebingungan sang GM.
“Silahkan duduk.” Azka menunggu sampai GM itu duduk dan memulai percakapan,  “Anda pasti bingung kenapa anda dipanggil kemari sendirian.”
GM itu mengangguk dan mulai tampak gugup, membuat Azka tersenyum geli dalam hati. Dia mengeluarkan berkas tentang Jeremy di mejanya.
“Orang ini .... ” Azka menunjukkan foto Jeremy yang tampak jelas, “Bekerja di perusahaan kita.”
GM itu menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia mengenali wajah itu, itu adalah Jeremy, Manager Pemasaran mereka. “Dia adalah Manager Pemasaran untuk cabang yang saya pegang,” GM itu memberikan informasi meskipun yakin bahwa sang pemilik perusahaan sudah tahu.
“Aku merasa terganggu dengan orang ini,” gumam Azka dingin. “Bisa dikatakan dia mengusik ketenangan orang yang aku sayangi.”
GM itu mengernyit. Jeremy melakukannya? Pasti lelaki itu melakukannya karena tidak tahu bahwa Azka adalah pemilik perusahaan mereka. Kalau sudah begini dia tidak akan bisa apa-apa untuk membantu Jeremy.
“Anda ingin saya memecatnya?” gumamnya, mencoba menebak apa keinginan Azka yang saat ini memandangnya dengan tatapan kelam dan misterius.
Azka menggelengkan kepala, “Tidak. Aku hanya ingin dia tersingkir jauh dan tidak bisa menjangkau ke dekat-dekat sini.” Matanya bersinar tajam, “Bilang padanya bahwa dia berprestasi, lakukan apapun untuk meyakinkannya, kau mendapatkan izinku. Setelah itu berikan dia promosi tetapi tempatkan dia ke anak cabang kita yang paling jauh dari sini.” Azka nampak berpikir, “Cari tempat di mana dia sulit untuk sering-sering berkunjung ke area sekitar sini.”
GM itu hanya bisa menganggukkan kepalanya. Gosip itu ternyata benar. Mereka bilang bahwa pemilik perusahaan mereka yang misterius sangat tampan tetapi kejam. Betapa tidak beruntungnya orang-orang yang berani mengusiknya. Karena lelaki itu tidak segan-segan memberikan pembalasan yang lebih menyakitkan. Seperti halnya pada kasus Jeremy, Azka rupanya tak segan-segan memberikan kedok promosi hanya agar Jeremy menyingkir dari kehidupannya dan Sani.***
Sani sedang mengetikkan adegan romantis di tengah hujan, jemarinya mengalir lumayan lancar untuk mengetik kisah itu. Mungkin karena didukung suasana hujan di luar yang membuat kamarnya temaram dan syahdu.
Lalu ponselnya berkedip-kedip. Sani tersenyum ketika melihat nama ibunya di sana.
“Kau pasti tidak akan percaya.” Gumam ibunya bahkan sebelum Sani mengucapkan salam.
“Tidak percaya apa?”
“Jeremy.” Ibunya menyebutkan nama Jeremy dengan hati-hati, “Dia tadi kemari, untuk berpamitan.”
“Berpamitan?”
“Ya. Dia bilang dia mendapatkan promosi yang sangat bagus di tempatnya bekerja, jabatannya naik tiga tingkat. Tetapi dia harus pindah ke tempat yang jauh.” Sang ibu menyebutkan tempat yang sangat jauh dari tempat mereka sekarang, “Kasihan dia, Sani. Ibu memang jengkel kepadanya, tetapi dia, meskipun mendapatkan promosi yang harusnya membahagiakan, dia tampak kurus dan sedih.... mungkin itu semua karena dirimu.”
“Itu karena salahnya sendiri dan dia yang harus menanggungnya.” Sani mencoba bersikap kejam. Dia harus begitu, kalau tidak kelemahannya akan dimanfaatkan oleh Jeremy lagi.
Setelah bercakap-cakap dengan ibunya di telepon sejenak, Sani mengakhiri percakapan dan menutup telepon, tiba-tiba merasakan kelegaan yang luar biasa.
Jeremy sudah pindah ke tempat yang jauh, itu berarti Jeremy tidak akan bisa mengganggunya lagi. Sekarang dia bisa fokus untuk menyembuhkan dirinya, dan menata kehidupannya yang baru.***
Malam itu Sani menatap cafe itu dengan ragu. Sejak kejadian ciuman tak disengaja itu, Sani tidak pernah datang ke cafe itu lagi. Dia takut. Ya, kedekatannya dengan Azka yang begitu cepat ternyata membuatnya ketakutan dan lari. Mungkin karena dia belum siap membuka hatinya untuk lelaki lain, mungkin juga karena dia masih belum sembuh dari prasangkanya bahwa semua lelaki itu sama, hannya akan menyakitinya.
Tetapi malam itu Sani berusaha memberanikan diri, dia harus bisa menghadapi Azka, dan menelaah perasaannya. Mencoba mencari tahu kenapa lelaki itu sangat sulit dikeluarkan dari benaknya.*** bersambung ke part 6
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 06, 2013 01:46

March 3, 2013

Prolog Pembunuh Cahaya

 “Hai.”

Ketika lelaki itu mendekatinya, Saira menatapnya dengan bingung, lelaki itu tidak seharusnya berada di sini. Dengan setelan serba hitam, rambut yang disisir rapi ke belakang dan penampilan yang luar biasa elegan , dia seharusnya berada di luar sana bersama para tamu yang berkelas itu. Tetapi entah tersesat atau bagaimana lelaki itu bisa menemukan jalannya kemari, di ruangan belakang dekat gudang tempat Saira membereskan pot-pot bunga dan berbagai macam tanaman serta beberapa karung tanah bersama pegawainya untuk dinaikkan ke dalam truck pick up mereka.
“Apakah anda tersesat?” Saira bertanya pelan, lalu menepiskan tanah dari bajunya, dia mengangkat beberapa pupuk tadi dan itu mengenai pakaiannya, penampilannya pasti sangat bau dan berantakan tetapi lelaki itu tampaknya tidak peduli, dia mengembangkan senyuman yang luar biasa manis.
“Aku sengaja ke bagian belakang untuk mencari siapa di balik tanaman indah yang membuat pesta ala taman terbuka untuk perusahaanku berhasil.
Perusahaanku?Oh oke, Jadi lelaki ini adalah pemilik perusahaan yang kebetulan menyewa mereka untuk menyediakan stok tanaman bagi dekorator taman terkenal yang mendekor pesta mewah ala taman terbuka milik perusahaan itu.
“Saya menyediakan tanaman sesuai spesifikasi yang diminta oleh dekorator anda, dan dia mempunyai standar yang tinggi dalam menentukan jenis tanaman apa yang harus  dia pasang di depan. Keindahan dekorasi di pesta di depan murni karena tangan emas dekorator anda.” Saira tersenyum merendah.
Sementara lelaki itu mengernyitkan matanya tampak tidak setuju. “Tidak, dekoratorku tidak akan berhasil kalau kau tidak menyediakan tanaman berkelas tinggi, aku bahkan masih terkagum-kagum akan keindahan varietas anggrek berwarna warni yang menghiasi bagian depan taman.”
“Anggrek memang salah satu produk andalan rumah kaca kami.” Mata Saira berbinar, matanya memang selalu berbinar kalau membicarakan tentang bunga anggrek, dia menumbuhkan tanaman itu dan merawatnya dengan tangannya sendiri, seperti seorang ibu yang menunggu dengan penuh kasih sang bayi tumbuh berkembang dan menjadi remaja yang cantik jelita
“Dan yang pasti dirawat dengan sepenuh hati.” Lelaki itu melemparkan tatapan memuji yang membuat pipi Saira memerah, Lalu dia mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku Axel Leonard, pemilik Green Enterprises. Teman-temanku memanggilku Leo.”
Saira menyambut uluran tangan lelaki itu, terpesona. “Saira Paramadina.” Jawabnya dengan suara pelan dan ragu.
Lelaki itu tampak ingin berkata-kata, tetapi kemudian salah satu pegawainya muncul di belakangnya. Dari percakapan mereka, Saira mendengar bahwa ada tamu penting yang sudah datang di pesta di depan. Lelaki itu lalu melemparkan tatapan penuh permintaan maaf kepada Saira,
“Maafkan aku, sebenarnya aku masih ingin bercakap-cakap denganmu, mungkin nanti di lain kesempatan.” Dia melemparkan senyuman yang sopan lalu membalikkan badan dan meninggalkan Saira.
Tanpa sadar Saira menghela napas panjang, aura lelaki itu tampak begitu mengintimidasi dan membuatnya tanpa sadar menahan napas dengan jantung berdebar. Dia lelaki yang tampan dan yang pasti luar biasa kaya. Green Enterprises adalah perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang cukup terkenal, mereka juga sudah mengembangkan diri menjadi penghasil produ-produk kemasan yang berbahan kelapa sawit.
“Saira, sudah semua?” rekan kerjanya sekaligus sahabatnya, Andre membangunkannya dari lamunannya, “Kalau semua sudah beres, kita bisa pulang sekarang.”
“Sudah beres semua.” Jawab Saira cepat, lalu mengibaskan kembali kotoran tanah dan pupuk dari bajunya, dan naik ke kursi penumpang di pick up mereka. Andre menyusul kemudian dan menjalankan mobilnya, pulang ke rumah Saira.
Rumah Saira adalah rumah mungil yang terletak di pinggiran kota yang dingin dan berbukit, tetapi memiliki halaman yang sangat luas, di sana Saira melanjutkan untuk merawat dan mengembangkan seluruh tanaman yang ada di rumah kaca warisan mamanya. Rumah kaca itu besar, dengan berbagai macam varietas tanaman dan bunga hias yang indah, anggrek adalah jenis yang paling banyak di sana, karena anggrek adalah bunga kesukaan mamanya.
Setelah lulus kuliah di bidang pertanian yang mendukung hobinya merawat tanaman dan bercocok tanam, Saira fokus untuk mengembangkan bisnis rumah kacanya, semula memang berat, karena mamanya dulu kebanyakan hanya menjual tanaman anggrek dan tanaman hias hasil dari rumah kacanya,  kepada sahabat-sahabatnya. Tetapi sejak mamanya meninggal, Saira berusaha mengembangkannya, dengan dibantu Andre, sahabatnya sejak kecil yang memiliki bakat di bidang pemasaran, mereka menawarkan pasokan tanaman ekslusif dan berkualitas  ke semua pihak. Pada akhirnya ada beberapa hotel besar, rumah makan dan butik-butik terkenal yang menerima pasokan tetap mereka setiap saat untuk menghias tempat mereka dan juga selalu mengambil tanaman dari mereka untuk taman-taman yang ada di sana. Bisnis Saira berkembang bukan hanya menjual tanaman hasil rumah kacanya, tetapi juga memasok bunga-bungaaan yang indah untuk hiasan hotel. Selain itu Saira juga menerima tender untuk memasok tanaman bagi even-even tertentu, seperti untuk dekorasi pernikahan, pesta dan sebagainya. Dan sekarang dia dan Andre sudah bisa menggaji beberapa pegawai untuk membantu mereka.
Seperti sekarang, mereka menerima tender untuk memasok tanaman yang dipesan oleh dekorator tanaman ternama untuk menghias acara pesta eklusif bertema taman terbuka yang diadakan oleh Green Enterprises.
Tak disangkanya sang pemilik perusahaan sendiri yang menemuinya karena kagum pada tanaman yang dihasilkan oleh rumah kacanya. Pipi Saira terasa memerah ketika membayangkan senyum Leo, tetapi kemudian dia menepuk pipinya, berusaha menyadarkan dirinya, Leo memuji tanamannya, bukan memuji dirinya, dia mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.
***
“Halo lagi Saira.”
Hampir saja Saira terlonjak dan menjatuhkan pot tanaman yang sedang dipegangnya, dia menoleh dan ternganga melihat Leo berdiri di sana, di pintu masuk rumah kacanya.
Lelaki itu masih tampak tidak cocok karena dia masih memakai jas hitam yang elegan dan menempel pas ditubuhnya, seolah dijahit khusus untuknya.
Apa yang dilakukan pria itu di sini?
“Aku tadi di depan dan menemui.... kekasihmu dan dia bilang aku bisa menemuimu di sini. Ada tawaran bisnis yang ingin kutawarkan kepadamu.”
“Andre bukan kekasihku.” Saira langsung membetulkan kata-kata Leo membuat lelaki itu mengangkat alisnya penuh arti, “Dan kalau masalah penawaran bisnis, anda bisa membicarakan dengan Andre.” Itu memang betul, kalau menyangkut tender dan sebagainya semua diatur oleh Andre, Saira hanya bertugas sesuai dengan hasratnya, menyediakan tanaman yang indah dan berkualitas, menikmati setiap saat yang bisa dihabiskannya di rumah kaca ini.
“Aku sudah membicarakan draft awal kesepakatan bisnis dengan Andre, tetapi aku tetap ingin menemuimu, karena kata Andre. kalau menyangkut tanaman kau yang paling ahli.”
“Boleh saja, anda ingin membahas tanaman apa?”
“Bisakah kita membicarakan sambil makan malam? Makan malam informal saja, kau dan aku membicarakan secara santai tentang bisnis kita dan pemilihan makanan.”
Pada akhirnya Saira menerima tawaran itu, dan tidak disangka pertemuan itu membawa mereka ke pertemuan-pertemuan berikutnya yang membuat mereka berdua semakin dekat.
***
“Aku sangat senang menghabiskan waktu denganmu.” Leo menatap Saira dengan lembut, ketika mereka makan malam bersama di akhir pekan.
Sudah hampir tiga bulan mereka berhubungan, sejak pembicaraan masalah bisnis yang berlanjut dengan tender kontrak selama lima tahun dari seluruh cabang perusahaan Leo dimana seluruh dekorasi kantor mereka dan taman mereka di pasok oleh rumah kaca Saira, mereka menjadi sangat dekat.
Bisa dikatakan hampir setiap hari sepulang kerja, selarut apapun Leo selalu mampir dan kemudian mereka makan malam bersama. Mereka sangat cocok dalam semua pembicaraan, baik menyangkut hal-hal serius seperti masalah politik negara ini, sampai ke hal santai seperti film dan musik. Setiap saat mereka bersama sangat menyenangkan dan terasa begitu cepat. Ketika mereka berpisah, Saira sudah langsung merindukan saat pertemuan mereka  selanjutnya.
Semula Saira tidak pernah berpikir bahwa Leo memiliki perasaan lebih kepadanya, dia mengira Leo benar-benar tertarik kepada tanaman hasil rumah kacanya dan kesepakatan bisnis mereka, tetapi kemudian Andre menggodanya, mengatakan bahwa kalau Leo tertarik dengan kesepakatan bisnis, dia bisa saja mengirim salah satu pegawai atau sekertarisnya untuk mengaturnya, tidak usah datang sendiri, apalagi sampai mengajak Saira makan malam hampir setiap hari.
Sekarang sudah tiga bulan mereka berkenalan, dan mereka sudah sangat dekat dan mengenal satu sama lain. Seperti halnya Saira, Leo juga sudah tidak mempunyai ayah. Tetapi ibu Saira meninggal karena sakit, enam bulan yang lalu, sedangkan Leo masih memiliki seorang ibu yang katanya tinggal di pinggiran kota di rumah besar milik keluarga mereka. Leo sendiri memiliki sebuah rumah di kompleks mewah di tengah kota.
Malam ini, entah kenapa Leo tampak misterius, lelaki itu banyak berdiam diri dan tidak penuh canda seperti biasanya, dan ketika mereka sampai di rumah makan, Leo telah mengatur sebuah makan malam resmi yang mewah, tidak seperti makan malam santai yang biasanya mereka lakukan setiap malam.
Dan sekarang lelaki itu menatap dirinya dengan tatapan mata serius dan penuh harap, suaranya ketika berkata-kata terdengar serak dan lembut.
“Aku mencintaimu Saira, kau mungkin tidak percaya cinta pada pandangan pertama, tetapi aku merasakannya. Semakin lama kita melewatkan waktu bersama, aku semakin merasa yakin. Aku ingin menjagamu Saira, aku ingin menghabiskan hidupku denganmu, menjadi tua bersamamu.” Lelaki itu mengeluarkan kotak hitam dari saku jasnya dan kemudian membukanya di depan Saira yang ternganga kaget, “Saira Paramadina, aku mencintaimu, maukah kau memberiku kehormatan dengan menikahiku?”
Mata Saira membelalak kaget melihat cincin berlian yang berkilauan itu, dia mengalihkan tatapan matanya ke arah Leo, melihat keseriusan yang terpancar di sana.
“Astaga Leo, apakah kau serius?”
Leo menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lembut, “Aku mencintaimu, Saira.”
“Tetapi kita.... kita belum saling mengenal lama...”
“Tidak perlu waktu lama untuk mengenali cinta sejatimu.” Jawab Leo mantap, “Kalau kau menerima lamaran ini, kau akan membuatku menjadi pria paling bahagia di dunia.”
Saira menelan ludah, perasaannya bergejolak, dia juga mencintai Leo tentu saja, kebersamaan mereka telah menumbuhkan benih-benih cinta yang makin lama makin kuat, dan lamaran Leo ini benar-benar membuat dirinya sungguh bahagia.
Tiba-tiba matanya terasa panas, air mata bahagia berdesakan menyeruak di sudut matanya, Saira menelan ludahnya lalu menghela napas panjang, mengambil keputusan terpenting dalam kehidupannya,
“Ya. Leo... aku mau menikah denganmu.”
Lelaki itu memejamkan matanya dengan penuh kelegaan, lalu mengecup jemari Saira lembut,
“Terimakasih Saira.” Bisik Leo serak, penuh cinta.
***
Perempuan itu duduk di kursi roda, dengan mata kosong, dalam kegelapan kamar yang temaram. Suasana kamar itu lengang, dan mewah.
Lalu pintu terbuka dan seorang lelaki memasuki kamar, dengan lembut lelaki itu berlutut di depan kursi roda perempuan itu, dan dengan lelah meletakkan kepalanya di pangkuan si perempuan, memejamkan matanya dan tidak mengucapkan apa-apa.
Jemari perempuan itu bergerak, membelai kepala lelaki itu, meskipun matanya tetap kosong menatap ke depan.
Suasana begitu sakral dan syahdu.... suasana kedekatan yang agung dan penuh kasih sayang.
*** Bersambung ke Part 1
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 03, 2013 01:57

March 1, 2013

You've Got Me From Hello Part 4


 “Keenan?”
“Ya ini aku.” Keenan terkekeh, apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku mengantar temanku.” Sani mendongakkan kepalanya, mencoba mencari tetapi Kesha sepertinya sudah ditelan keramaian jauh di depannya, “Dan sepertinya dia sudah hilang.” Gumam Sani, mendesah kesal.
     Keenan tertawa, “Begitulah kalau kau berjalan di baazar tahunan, keadaannya selalu seperti ini setiap tahun, selalu ramai.”
Sani masih menatap ke arah kepergian Kesha, berharap bahwa sahabat sekaligus editornya itu akhirnya menyadari bahwa mereka terpisah dan kemudian kembali untuk mencarinya.
“Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kepada Keenan kemudian ketika menyadari bahwa laki-laki itu tidak berniat untuk pergi.
“Aku?” Keenan tertawa. Lelaki ini benar-benar ceria dan banyak tertawa, jauh berbeda denga Azka, gumam Sani dalam hati, “Aku lelaki bebas, kudengar di sini ada keramaian jadi aku datang untuk melihat, itu saja.”“Sani!” itu teriakan Kesha, perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia terpisah jauh dari Sani, dia sedang berjuang menembus keramaian untuk menghampiri Sani yang sudah menepi bersama Keenan didekat stan sepatu.
Akhirnya Kesha berhasil mendekatinya, napasnya terengah-engah, “Fyuh ramai sekali di sana, kita bahkan tidak bisa menawar dengan nyaman....” lalu Kesha tertegun menyadari lelaki luar biasa tampan yang sedang berdiri bersama Sani, mulutnya bahkan ternganga.
“Hai.” Keenan tersenyum ramah, sepertinya lelaki itu sudah biasa dipandang dengan tatapan kagum oleh para perempua, “Aku Keenan, aku kenalan Sani.” Gumamnya mengulurkan tangannya.
Kesha membalas uluran tangan itu seolah terhipnotis, matanya menatap terpesona pada Keenan.
Keenan hanya melemparkan tatapan geli kepada Sani, lalu melangkah menjauh, “Sepertinya kau sudah menemukan temanmu.” Ditepuknya pundak Sani dengan akrab, “Lain kali hati-hati ya.” Gumamna lalu melambaikan tangan dan melangkah pergi.
Mata Kesha bahkan terpaku sampai Keenan menghilang dari pandangan matanya.
“Wow...” dia menatap terpesona, lalu menoleh kepada Sani dengan pandangan menuduh, “Katakan padaku dimana kau menemukan lelaki setampan itu, dia bilang dia kenalanmu bukan?”
Sani terkekeh melihat betapa tertariknya Kesha kepada Keenan, “Dia saudara kembar pemilik cafe yang kuceritakan kepadamu.”
“Setampan itu dan ada dua orang?” Kesha terperangah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hebat Sani, aku sudha bertahun-tahun di kota ini, belum pernah beruntung menemukan lelaki dengan penampilan fisik dan senyuman sesempurna itu, dan kau baru beberapa waktu disni, kau sudah berkenalan dengan dua.”
Sani tertawa tergelak, “Ah kau melebih-lebihkan.” Dia menatap cemas ke sekeliling yang mulai ramai, “Kita pulang saja yuk, aku lelah.”
Untunglah Kali ini Kesha tidak menolak.
***
“Aku bertemu dengan gadis itu.” Keenan baru saja datang berkunjung ke Garden Cafe, dan Azka menemuinya di apartementnya. Lelaki itu langsung waspada ketika Keenan menyebut tentang ‘gadis itu’.
Dan benar saja, Keenan langsung melemparkan pertanyaan yang sama sekali tidak disukai oleh Azka.
“Apakah dia alasan kau tidak pernah pulang ke rumahmu lagi dan selalu menginap di sini?”
Azka memasang wajah keras, “Apa maksudmu?”
“Yah. Kau bertingkah di luar kebiasaanmu, para pelayanmu di rumah bilang kalau kau tidak pernah tidur di sana dan selalu tidur di cafe ini. Dan kau juga menyapa gadis itu.” Keenan mengangkat bahu ketika Azka melemparkan tatapan tajam kepadanya, “Aku tahu info itu dari gadis itu ketika aku bertabrakan dengannya, katanya kau menyapanya ketika dia duduk di cafe itu, dia bilang mungkin itu budaya cafe ini, sang pemilik menyapa ramah pelanggannya.” Lirikan Keenan berubah penuh arti, “Tetapi kita tahu bahwa itu tidak benar bukan? Kau selalu menghindari semua pengunjung cafe dan hotelmu seperti mereka adalah hama, kau selalu bersembunyi di balik sosok pemilik perusahaan yang misterius, kau tidak pernah menyapa pelanggan sebelumnya, gadis itu adalah satu-satunya pelanggan yang kau sapa.”
“Bisakah kau bicara langsung saja dan tidak berputar-putar dengan analisa konyolmu?” Azka menyela dengan ketus, membuat Keenan terkekeh,
“Yah, kesimpulannya, kau tertarik kepada gadis itu, kepada Sani.” Keenan menatap Azka dengan waspada, “Begitu juga aku.”
Kemarahan langsung merayapi mata Azka, membakarnya, “Jangan Keenan.”
“Mau bagaimana lagi? Kita sepertinya selalu dianugerahi kutukan perasaan yang sama terhadap perempuan. Bagaimana kalau kita lakukan permainan seperti masa remaja kita dulu? Permainan ‘dia pilih kamu atau aku?’, sepertinya itu akan menyenangkan.” Gumam Keenan setengah tertawa.
Tanpa diduganya Azka bergerak secepat kilat, meraih kerah baju Keenan dan mendorongnya ke tembok dengan mengancam.
“Ini bukan permainan, Keenan dan aku serius, Kalau kau hendak main-main dengan Sani, kau harus menghadapiku dulu.”
Keenan membiarkan dirinya ditekan oleh Azka di tembok, dia menatap Azka dengan penuh perhitungan,
“Apa kau lupa Azka? Kau sudah punya Celia.”
“Itu tidak menghalangiku untuk memiliki Sani.” Sahut Azka keras.
Hal itu membuat Keenan tertawa terbahak-bahak, tidak peduli akan tatapan marah Azka,
“Tidak menghalangmu katamu?” Keenan melepaskan tangan Azka yang mencengkeram kerah bajunya dan melangkah menjauh, dia masih tertawa, “Tentu saja itu sangat menghalangi, kau punya tunangan dan kau akan menikah, atas pilihanmu sendiri karena rasa bertanggungjawabmu yang bodoh itu! Jadi kau tidak bisa menawarkan hubungan apapun, apapun! Kepada Sani.” Keenan menatap Azka dengan menantang, “Tetapi aku beda, aku lelaki bebas.”
“Jangan menantangku, Keenan. Kau tahu bukan apa yang akan aku lakukan kalau aku marah.”
“Aku tahu.” Keenan melirik waspada ke arah Azka, tetapi dia memutuskan untuk tidak mundur, “Tetapi Sani layak dicoba untuk diperjuangkan.” Keenan melangkah keluar dari apartement Azka, ketika sampai di tengah pintu, Keenan menoleh lagi dan tersenyum manis, “Sepertinya perang akan dimulai, kakak.”
Azka tertegun, menatap kepergian Keenan. Diacaknya rmabutnya frustrasi. Apa yang ditakutannya terjadi lagi, mereka bersaing untuk seorang perempuan.
Seakan beban masalahnya belum cukup berat saja....
***
Malam itu Sani pulang terlambat, dia membahas tentang novelnya di rumah Kesha dan mereka lupa waktu. Kesha menyuruhnya menginap saja, tetapi Sani memutuskan bahwa dia harus pulang. Tidur di kamarnya sendiri saja dia kesulitan, apalagi harus tidur di rumah orang. Bagaimanapun juga Sani merasa lebih nyaman beristirahat di tempatnya sendiri.
Ketika berjalan turun dari taxi dan hendak memasuki pintu putar menuju lobby apartemennya, Sani melirik ke arah Garden Cafe itu di seberang jalan, sudah dua hari dia tidak kesana. Apa kabarnya  Azka? Pikiran itu terus mengganggunya sepanjang hari ini. Otaknya selalu dipenuhi bayangan lelaki itu yang begitu tampan dan tampak begitu dewasa.
“Sani?”
Sani terperanjat kaget mendengar namanya disebut, dia langsung menoleh dengan waspada, wajahnya pucat pasi ketika menemukan Jeremy ada di sana. Lelaki itu tampak berantakan dan sedikit tidak fokus.
“Aku menunggumu lama sekali di sini, kau kemana saja?” nada suara Jeremy meninggi seolah tidak bisa mengontrol emosinya. Dan ketika Jeremy melangkah sedikit mendekatinya, dia langsung bisa menciumnya, aroma alkohol yang pekat dan memuakkan, seolah lelaki itu menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol murahan yang menguarkan bau khas.
Sani langsung merasakan jantungnya berdegup kencang, Jeremy sedang mabuk. Dan sepertinya dia mabuk berat. Bahkan dalam keadaan sadarpun, Sanitahu bahwa Jeremy sering kaii tidak bisa mengendalikan emosinya, apalagi dalam keadaan mabuk.
Mata Sani berkeliling waspada, memandang semua orang. Adakah yang bisa menolongnya di sini? Dia mulai panik ketika menyadari bahwa suasana sekeliling sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa pedagang rokok dengan lampu remang, itupun jauh di sudut sana, Sani tidak yakin kalau dia berteriak pedagang itu akan mendengarnya.
Mata Sani melirik ke  Garden Cafe di seberang jalan. Cafe itu buka tentu saja, meskipun sudah jam dua malam, tetap penuh pengunjung. Tetapi sayangnya para pengunjung itu berada di dalam, sedang dihibur oleh aliran musik slow yang menenangkan hati di sana.
Tidak ada yang bisa menolong Sani kalau Jeremy lepas kendali....
“Kenapa kau kemari lagi, Jeremy.” Tanya Sani hati-hati, berusaha mundur dan tetap menjaga jarak, meskipun lelaki itu terus mencoba mendekatinya.
“Kenapa?’ Jeremy tertawa, “Karena kau bodoh dan pendendam.” Suaranya meninggi lagi, “Kau membesar-besarkan masalah seolah-olah aku melakukan kesalahan yang sangat besar, kau menolak memaafkanku dan mengusirku seolah aku ini sampah.” Jeremy tersenyum sinis, “Mungkin jangan-jangan kau dulu tidak mencintaiku, karena kalau orang yang mencintaiku, tidak akan mungkin dia tidak bisa memaafkanku.”
Oh Astaga, lelaki ini sungguh tidak tahu malu. Membesar-besarkan masalah katanya? Perempuan mana di dunia ini yang bisa memaafkan kelakuan seperti itu dari tunangannya, di saat perkawinan mereka tinggal menghitung bulan?
“Aku rasa lebih baik kau enyah dari kehidupanku Jeremy, aku sudah sangat muak kepadamu, dan aku tidak mungkin mau kembali kepadamu.” Sani terpancing emosi sehingga nada penuh kebencian menguar dari suaranya.
Hal itu memancing Jeremy, tatapan lelaki itu membara, dipenuhi oleh alkohol yang diminumnya, dia tiba-tiba saya sudah melompat dan mencengkeram kedua lengan Sani dengan kasar hingga terasa menyakitkan.
“Tidak mau kembali kepadaku?” Jeremy terkekeh, suaranya menakutkan dan aroma alkohol kembali menguar dari sana, membuat Sani ketakutan dan berusaha meronta dengan panik, tetapi lelaki itu sangat kuat dan semakin Sani meronta, semakin kuat Jeremy mencengkeramnya, hingga terasa sakit.
“Sakit! Jeremy, kau menyakitiku!” Sani mencoba meronta, mulai menjerit.
Tiba-tiba tubuh Jeremy tertarik dengan kasar ke belakang sehingga hampir terjengkang, lengan yang menarik Jeremy itu lalu mendorong Jeremy dengan kasar hingga jatuh terbanting di trotoar.
Sani langsung mengenali penyelamatnya, itu Azka. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam-hitam sehingga bahkan Sani tidak menyadari kapan lelaki itu datang dan mendekat. Tetapi bagaimanapun juga, dia mensyukuri kehadiran Azka di saat yang tepat untuk menyelamatkannya.
“Kau lagi.” Meskipun mabuk, Jeremy rupanya mengenali Azka dari insiden siang itu. “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa selalu mengganggu urusanku dengan tunanganku?” Jeremy bangkit dari duduknya dan berdiri dengan posisi waspada, siap menyerang.
“Mantan tunangan.” Azka bergumam tenang, tubuhnya lebih tinggi dan lebih kuat daripada Jeremy, dan dia memegang sabuk hitam dalam ilmu bela diri, menghadapi Jeremy akan sangat mudah baginya. “Sebaiknya kau menyingkir dari sini dan tidak mengganggu Sani lagi, kalau tidak kau akan menghadapiku.”
Jeremy membelalakkan matanya marah, sejenak tampak berpikir untuk menyerang Azka. Tetapi kemdian dia memilih mundur ketika melihat nyala membunuh di maat Azka. Dia akan kalah kalau menghadapi lelaki ini, entah kenapa dia tahu.
Dengan lirikan sinis, dipandangnya Sani, “Ternyata kau begitu mudah melupakanku, baru beberapa lama kita berpisah dan kau sudah menemukan lelaki baru. Mungkin kau tidak sesuci apa yang kau tampilkan selama ini.” Setelah melemparkan tatapan merendahkan, Jeremy melangkah setengah terhuyung-huyung ke arah mobilnya.
Azka memastikan Jeremy memasuki mobilnya dan pergi sebelum menyentuh pundak Sani hati-hati. Sani tampak tegang dan ketakutan meskipun perempuan itu berusaha tegar,
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Sani baru merasakan seluruh tubuhnya gemetar ketika semua sudah berakhir, dia menatap Azka tak berdaya, “Aku tidak apa-apa.” Jawabnya serak, tetapi kakinya tiba-tiba lemas sehingga Azka harus menopangnya,
Lelaki itu merangkulnya dengan lembut tapi sopan.
“Ayo kuantar kau ke atas.” Gumamnya tenang, menghela Sani memasuki loby apartement itu dan melangkah ke dalam lift.
Di depan pintu kamarnya, barulah Sani menyadari kesalahannya. Dia tidak mungkin membiarkan Azka memasuki apartemennya, sekali lagi dia hampir bisa dikatakan tidak mengenal Azka dengan baik. Lelaki ini bisa saja psikopat yang mengincar perempuan-perempuan yang tinggal sendirian bukan?
“Aku.. eh, terimakasih..” Sani bersandar pada pintu, berusaha bersikap sopan dan melepaskan diri dari pegangan Azka di pinggangnya.
Azka mengangkat alis melihatnya, “Kau lemas dan gemetar.’ Gumamnya tenang, “Aku akan mengantarmu masuk.”
“Tidak!”Sani hampir berteriak dan merasa malu ketika Azka menatapnya seolah dia sedang kerasukan, “Aku.. aku bisa masuk sendiri, terimakasih.”
Dia mencari-cari kartu kunci pintunya di dalam tas, tetapi tidak bisa menemukannya. Dengan panik dia mengaduk-aduk tasnya. Dan tetap tidak menemukannya.
Azka masih menunggu di situ, menatap kepanikannya dengan tenang dan tanpa kata-kata.
Lama kemudian Sani mencari dan kemudian dia mengangkat kepalanya dengan panik, “Kuncinya tidak ada.” Gumamnya lemah dan ingin menangis, “Mungkin.. mungkin ketinggalan di rumah temanku...” airmata mulai membuat matanya terasa panas. Sebenarnya ini bukan masalah yang pelik, Sani tinggal menghubungi keamanan atau resepsionis di bawah untuk meminta kartu cadangan dan dia akan bisa membuka pintunya.
Sani hanya perlu alasan untuk menangis, perlakukan kasar dan merendahkan Jeremy kepadanya tadi sangat melukai hatinya, dan meskipun di depan dia berusaha tampil tegar, dia masih merasakan luka dan perih itu.
Tanpa kata, Azka meraih kepalanya dan meletakkannya di dadanya,
“Shh.... menangislah.” Bisiknya lembut dan seketika itu juga benteng pertahanan diri Sani bobol. Dia menangis sekuatnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, menumpahkan kepedihannya, menumpahkan kemarahan dan kebenciannya kepada semua hal yang terjadi antara dirinya dan Jeremy, dia menumpahkan semuanya di dada Azka, lelaki yang bahkan baru dikenalnya beberapa waktu lalu.
Dengan tenang Azka mengusap rambutnya, setelah merasa Sani sedikit tenang, dia menjauhkan pundak Sani dari padanya dan berbisik lembut,
“Sini tasmu, sepertinya kau terlalu panik ketika mencarinya tadi.”
Dengan patuh Sani menyerahkan tasnya, Azka mencarinya dengan hati-hati, dan dalam sekejap dia menemukan kartu kunci itu, terselip di bagian paling bawah tasnya.
Azka menggenggamkan kartu kunci ke dalam jemari Sani, dan tersenyum lembut,
“Masuklah dan beristirahatlah.” Bisiknya pelan.
Sani mengusap air matanya dan menatap Azka dengan sendu.
“Terimakasih.” Bisiknya serak.
Tanpa diduga, Azka menarik Sani kembali ke pelukannya, lalu mengecup dahinya lembut, “Sama-sama.” Lalu lelaki itu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Sani tanpa kata. BERSAMBUNG KE PART 5
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 01, 2013 07:40

Dear All

Dear all readers semuanyaa

maafkan akuuu aku belum balas semua komennya, tetapi aku tetep baca semuanya kook T--T
soalnya ada koneksi yang agak2 amburadul jd mau balas satu komen lamaaa bangeett huaaa
besok yah semoga koneksi sudah lancar pasti aku balas semuanya :D hihihihii

untuk sementara sebagai pengobat rasa, aku uploadkan You've Got Me From Hello yaah
selamat menikmatii :D

Salam hangat dan peluk erat,

Santhy Agatha
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 01, 2013 07:36

You've Got Me From Hello Part 3


 Sani mengernyit melihat kehadiran Azka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Jeremy, pegangan Jeremy di tangannya melemah, membuat Sani bisa menyentakkan tangannya dan melepaskan diri.
“Sani.” Jeremy masih berusaha mengikuti Sani, tetapi dengan cepat Sani melompat, bersembunyi di belakang punggung Azka yang bidang, dan dengan penuh pengertian pula Azka langsung berdiri melindunginya.
 “Saya rasa Sani tidak mau berbicara lagi dengan anda.’
Mata Jeremy memancar marah menatap ke arah Azka, “Saya tidak tahu anda siapa.” Desisnya geram, “Tetapi Sani adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara dengannya.”
“Mantan tunangan.” Sani menyela dari punggung Azka, “Dan aku tidak mau berbicara denganmu.”
“Anda dengar bukan?” Azka melemparkan pandangan mencemooh ke arah Jeremy, “Saya rasa lebih baik anda meninggalkan Sani sendirian.”
Kemudian dengan sikap tegas, sebelum Jeremy bisa berbuat apa-apa, Azka menggiring Sani memasuki mobilnya, meninggalkan Jeremy yang terperangah dengan muka masam di sana.
***
“Dia mantan tunanganku.” Sani melirik gelisah ke arah Azka, setelah dia berada di dalam mobil dan Azka melajutkan mobilnya, Sani baru menyadari bahwa dia telah begitu saja masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali tidak dikenalnya.
Azka melirik sedikit ke arah Sani, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak,  “Mantan?” tanyanya tenang.
Sani menganggukkan kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak berjalan sebaik semestinya, aku memutuskan hubungan dan rupanya Jeremy masih belum terima.” Sani menatap ke pinggir jalan, “Bisakah aku turun di depan sana?”
Azka mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”
Dan kenapa pula aku tidak boleh turun? Sani membatin, lagipula dia tidak tahu mobil ini akan dibawa kemana oleh Azka, dia harus tetap waspada meskipun Azka tampaknya baik dan tidak berniat jahat kepadanya.
“Aku hendak ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal naik angkutan umum se arah sana.” Sani berkata jujur, dia memang hendak naik angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Jeremy yang mencegatnya di jalan tadi.
“Aku akan mengantarmu.” Dengan tangkas Azka membelokkan mobilnya ke arah tikungan yang dimaksud Sani.
Sani mengernyitkan keningnya, penampilan Azka seperti orang yang akan berangkat kerja, dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah selain memiliki cafe lelaki ini juga bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.
“Kau tidak berangkat bekerja?” Akhirnya Sani memberanikan diri untuk bertanya.
Azka terkekeh, “Aku bisa datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Sani terdiam dan menebak-nebak.
Mobil lalu berhenti di parkiran supermarket itu, Sani membuka pintu dan turun dengan segera.
‘Terimakasih sudah mengantar, dan terimakasih sudah menyelamatkanku dari Jeremy.” Gumamnya pelan.
Azka menatap Sani dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa ditebak apa artinya, lalu lelaki itu tersenyum lembut,
“Sama-sama Sani.” Suaranya terdengar lembut dan menggetarkan. Lalu Azka memutar mobilnya dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Sani.
***
Dia tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu.
Bahkan sekarang di saat dia sudah di rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke dalam kulkas. Ingatan tentang Azka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di benaknya.
Sani berusaha melupakan Azka, dengan cara mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Jeremy sekaligus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru, tetapi benaknya tidak mau berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat kepada Azka.
***
Malam itu Sani berjalan dengan was-was menyeberang dari arah apartementnya menuju Garden Cafe, dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan Jeremy ataupun mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,
Mungkin Jeremy telah menyerah untuk sementara.
Sani lalu memasuki pintu Cafe itu, seperti biasa, Albert yang sedang ada di dekat bar menyambutnya,
“Mencari suasana bagus untuk menulis nona Sani?” sapanya ramah,
Sani mengangguk dan tersenyum lembut,
Ketika dia melangkah menuju tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok lelaki yang tiba-tiba melintas cepat di sana.
“Oh. Maaf.” Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”
Sani mendongakkan kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Azka bagaikan pinang dibelah dua, tetapi meskipun begitu Sani tahu kalau lelaki ini bukan Azka, penampilan mereka berdua yang pasti sangat berbeda, lelaki yang ada di depannya ini berambut setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara Azka berpotongan rapi. Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Sani ingat ketika bertemu Azka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki yang formal dan sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang elegan, sementara lelaki yang ada di depannya ini mengenakan celana jeans yang sangat pudar hingga hampir putih dan kaos longgar yang sedikit kusut.
Keenan menatap Sani yang masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti mengira aku adalah Azka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku Keenan, saudara kembar Azka.”
Saudara kembar, pantas saja mereka begitu mirip, batin Sani masih kaget, lalu dia tergeragap dan menyambut uluran tangan lelaki itu dan menyebutkan namanya. Keenan menggenggam tangannya dengan erat dan bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Azka yang halus dan elegan ketika mereka berkenalan waktu itu.
“Kau temannya Azka?” Keenan menatap Sani dengan menyelidik, ada nada ingin tahu di dalam suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.
Sani menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa disebut teman Azka bukan?
“Bukan. Saya bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.”
“Oh. Dan kau mengenal Azka?”
Sani menganggukkan kepalanya, “Saya tahu Azka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia menyapa pengunjung cafe ini bukan?”
Keenan menyipitkan matanya, “Menyapa pengunjung cafe ini?” matanya bersinar misterius, “Mungkin saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi, senang bertemu denganmu, Sani.” Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya menggoda lalu melangkah pergi.
Sementara itu Sani masih mengamati kepergian Keenan dengan dahi mengerut, ketika Albert mendekatinya.
“Saya lihat anda sudah bertemu dengan tuan Keenan.” Gumamnya, mendahului Sani melangkah ke meja Sani yang biasanya, lalu meletakkan anggur dan cemilan pesanan Sani di meja, “Beliau saudara kembar tuan Azka tetapi anda lihat sendiri mereka sangat bertolak belakang.”
Seperti pinang dibelah dua, tetapi sangat bertolak belakang. Sani menyetujui dalam hati. Lalu keningnya berkerut ketika mengingat Azka. Lelaki itu tidak tampak di mana-mana. Sani mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu menghela napas panjang.
Ada apa dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan menyalurkan isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu Azka. Dengan cepat Sani membuka laptopnya, lalu mulai mengetik di file yang sudah disiapkannya. Lama setelahnya, Sani menyadari bahwa dia membohongi batinnya sendiri, bahwa dia amat sangat ingin melihat Azka meskipun hanya sedetik saja.
***
Celia tersenyum ketika menghidangkan makanan itu di meja, dibantu oleh beberapa pelayan dia meletakkan makanan-makanan itu untuk Azka. Ya. Celia khusus memasak untuk Azka malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi kesibukannya dan memutuskan untuk mengundang Azka mencicipi hasilnya.
“Aromanya enak.” Azka tersenyum lembut, “Sepertinya mereka mengajarimu dengan baik.” Azka mengambil makanannya dan mengicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan rasanya juga enak.”
Celia terkekeh, menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di seberang Azka, “Kau yakin kau tidak berbohong untuk menyenangkanku?”
“Tidak.” Azka mengunyah dengan bersemangat, “Masakan ini memang benar-benar lezat.”
“Nanti setelah kita menikah, aku akan memasakkan makan malam untukmu setiap malam.” Celia tertawa. “Aku akan memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak bosan.”
Azka langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa seperti pasir ketika Celia menyinggung pernikahan, hingga dia harus meminum air untuk membantunya menelan makanannya.
Dia berusaha menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Celia tidak menyadari perubahan suasana hatinya, dan rupanya Celia memang tidak menyadarinya, perempuan itu sedang menerawang membayangkan persiapan pernikahan mereka.
“Mama dan papa akan pulang dari Australia minggu depan, dan semoga kita bisa membicarakan persiapan pernikahan dengan lebih terperinci ya.” Mata Celia berkaca-kaca ketika menatap Azka. “Terimakasih Azka, atas cintamu yang penuh maaf, aku bersyukur karena bisa memilikimu.”
Azka mencoba tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak tertahankan.
***
Ketika mobil Azka berlalu, Celia menatap dari teras dengan keheningan yang menyesakkan.
Semakin lama Azka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Celia tahu insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Azka semakin jauh dari dirinya. Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya, berkomitmen supaya menjaganya, dan Celia sangat takut kehilangan Azka, dia tidak bisa hidup tanpa lelaki itu.
“Nona Celia mau dibantu?” seorang pelayannya menengok ke arah teras ke arahnya.
Celia tersenyum, “Tidak usah bi, aku bisa membawa kursi rodaku masuk sendiri kok.”  Dengan tenang dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
***
Ketika Azka sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang hampir tengah malam,  jalanan macet karena malam ini adalah malam libur sehingga Azka menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Dia melangkah masuk ke arah cafe, harap-harap cemas, ingin menemukan sosok Sani di dalam sana.
Tetapi perempuan itu tidak ada. Azka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di hatinya. Apakah malam ini Sani tidak menulis di cafe ini?
Albert yang melihat Azka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona Sani tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang, katanya dia mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai bereaksi kepadanya.” Albert terkekeh, “Ngomong-ngomong, nona Sani tadi berkenalan dengan tuan Keenan.”
“Sani berkenalan dengan Keenan? Bagaimana bisa?”
“Tuan Keenan tadi pulang tepat saat nona Sani datang, mereka berpapasan.”
“Oh.” Azka menghela napas panjang, menyembunyikan kecemasannya. Kalau sampai Keenan memperhatikan Sani, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para perempuan lebih menyukai Keenan yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya yang serius dan pendiam.
“Aku tidak ingin Keenan bertemu dengan Sani lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba dia merasakan firasat itu, meskipun dirinya dan Keenan bertolak belakang dalam segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.
Kalau Keenan tertarik pada perempuan, maka Azka akan mempunyai ketertarikan yang sama. Begitupun tentang Celia, Celia dulu tergila-gila kepada Keenan, tetapi karena Keenan tidak pernah serius dengan perempuan, Celia mengalihkan perhatiannya kepada Azka.
Apakah Keenan merasakan getaran yang sama, yang dirasakan olehnya ketika melihat Sani? Batin Azka bertanya-tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.
Sementara itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Azka, “Bagaimana caranya mencegah tuan Keenan bertemu dengan Sani? Tuan Keenan bisa datang dan pergi sesuka hatinya.”
“Kalau ada Sani di dalam, tahan Keenan dimanapun dia berada pokoknya jangan sampai mereka bertemu lagi.” Azka bersikeras. Dia lalu memijit dahinya yang mulai berdenyut pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”
Albert mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama nona Celia?” tebaknya dengan tepat, membuat Azka menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak juga mengiyakan.
***
“Hai.”
Sani menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Azka sedang bersandar di dekat pintu putar apartementnya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,
Benarkah? Sani mengernyitkan keningnya.
“Aku menunggumu dari tadi.” Azka langsung bergumam, menjawab keraguan Sani. “Bagaimana kabarmu? Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”
Sani tersenyum pahit, “Sepertinya dia memutuskan untuk menyerah sementara.”
“Apa yang dia lakukan sehingga kau tampak begitu membencinya, Sani?”
Sani tercenung, kenapa Azka ingin tahu? “Dia mengkhianatiku. Dengan sangat parah.” Suara Sani terdengar serak, selalu begitu setiap dia mengingat Jeremy, “Dan aku tidak bisa memaafkannya.”
Azka langsung terkenang akan pengkhianatan yang dilakukan Celia kepadanya, dia bisa memahami perasaan Sani, dan merasa Sani lebih beruntung, karena perempuan itu bebas membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.
“Tetapi sepertinya dia belum menyerah.” Gumam Azka kemudian, mengingat bagaimana Jeremy mencekal lengan Sani dan memaksa untuk berbicara.
Sani tertawa, “Dia memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain. Tetapi aku akan menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan lagi.”
“Karena kau seorang pendendam?” gumam Azka, tersenyum,
“Bukan.” Sani menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan pernah bisa melupakan.” Jawab Sani mantab.
Azka tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Celia? Bisa memaafkan segala kesalahan Celia di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?
“Kau mau kemana?” Azka menatap penampilan Sani yang lumayan rapi, dengan celana hitam dan kemeja formal berwarna krem.
Sani mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang bisa kulakukan, aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”
“Di mana?” tanya Azka.
Sani menyebut nama sebuah daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri sekarang,
“Mau kuantar?” Azka langsung menawarkan.
Sani langsung menggelengkan kepalanya tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan lelaki itu kepadanya, meskipun dia bertanya-tanya apa yang dilakukan Azka menunggunya di sini, “Tidak usah, terimakasih. Aku sudah memesan taxi.” Senyum Sani berubah lembut, “Sampai jumpa.”
“Oke. Sampai jumpa lagi.” Azka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Sani yang melangkah pergi menuju tempat taxinya menunggu. Dicatatanya dalam  hatinya bagaimana Sani mengatakan ‘sampai jumpa’, bukannya ‘selamat tinggal’ kepadanya.
***
“Kau sudah menemukan alamat pria bernama Jeremy itu?” Azka menelepon salah satu pegawa kepercayaannya di kantor cabang mereka di tempat asal Sani. Dia ingin menyelidiki tentang Jeremy. Well, setiap orang yang akan berperang harus mempelajari musuhnya masing-masing bukan?
Azka sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Sani sendiri sungguh sangat mengganggunya, dia tidak bisa melepaskan Sani dari pikirannya, seluruh batinnya tersita untuk Sani. Perempuan itu telah mendapatkannya dari pertama kali mereka saling menyapa.
“Dan setelah kau mendapatkan alamat Jeremy, apa yang akan kau lakukan?” Albert yang sedari tadi duduk di ruang kerja Azka di atas cafe itu mengernyitkan keningnya, “Menyingkirkannya?”
“Mungkin.” Mata Azka bersinar tajam, “Aku sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalanku.”
“Jalanmu?” Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap Azka yang tenang dan terkendali, dan hanya Albert pulalah yang berani membantah dan mempertanyakan semua keputusan Azka. Karena dia tahu jauh di dalam hati Azka, tersimpan kebaikan yang luar biasa besar, bertolak belakang dengan kekejamannya, buktinya laki-laki itu tidak tega membuang Celia begitu saja. “Jalanmu untuk apa, Azka? Untuk memiliki Sani? Bukankah kau tidak bisa memiliki Sani selama masih ada Celia?”
Ah iya. Celia.
Azka sendiri masih belum tahu apa yang akan dilakukannya kepada Celia. Apakah terlalu kejam meninggalkan Celia yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?
Tetapi Azka tidak bisa membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan begitu kuat kepada Sani.
“Akan kupikirkan nanti.” Gumam Azka sekenanya.
Albert langsung mengangkat alisnya, “Pernikahanmu dengan Celia hampir delapan bulan lagi, Azka.”
“Aku tahu.” Dan Azka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan dilakukannya selanjutnya.
Albert sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Azka, baginya Azka sudah seperti anaknya sendiri karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Azka memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Celia waktu itupun Albert sudah tidak setuju. Azka hanya didorong oleh rasa bersalah. Albert takut kalau pada akhirnya Azka bisa menemukan orang yang benar-benar dicintainya, dan dia terlanjut terikat kepada Celia?
Dan sepertinya, apa yang ditakutkannya sudah terjadi.
***
Sani menoleh ke arah Kesha yang sedang asyik memilih-milih hiasan rumit dari kerang di bazaar itu,
“Kau belum selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan begitu jauh mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Kesha mengajaknya ke tempat ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi, dan itu adalah sebuah kesalahan besar, karena begitu berbelanja, sepertinya Kesha tidak bisa berhenti.
“Aku masih ingin melihat pakaian di sebelah sana.” Kesha menunjuk sudut yang jauh, “Tadi ketika kita lewat, aku melirik ada satu baju yang warnanya lucu.”
Sani mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”
Kesha tampaknya tidak memahami kelelahan Sani, “Aku tadi masih ragu apakah aku menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya, “Sekarang aku memutuskan bahwa aku menginginkannya.” Kesha menyerahkan gelang yang dipilihnya kepada penjualnya, lalu menunggu gelang itu dibungkus dan dia membayarnya.
Setelah itu dia setengah menggandeng Sani ke arah lokasi penjual baju yang dimaksudkannya, “Yuk.” Gumamnya bersemangat.
Dengan menyeret langkah Sani mengikuti Kesha yang berjalan begitu cepat dan bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika menembus keramaian itu, seseorang sepertinya tanpa sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser kesamping, menabrak seseorang.
“Ups.” Gumam suara itu, sebuah tangan yang kuat menopangnya, Sani mengenali suara itu dan dia mendongakkan kepalanya,
“Sepetinya kau ditakdirkan untuk selalu menabrakku.” Wajah Keenan yang ada di depannya, dan lelaki itu tersenyum geli menatapnya.
BERSAMBUNG KE PART 4


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 01, 2013 07:34

February 27, 2013

You've Got Me From Hello Part 2


Ponsel Sani berbunyi sore itu, dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah mamanya,
“Sani?” mamanya langsung berbicara seperti kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”
“Memperingatkan apa mama?” Dahi Sani mengeryit dan langsung waspada, mamanya tidak pernah berucap dengan nada seserius ini sebelumnya.
  “Jeremy.” Suara sang mama setengah berbisik, “Dia datang kemari pagi ini dan memohon kepada mama untuk memberikan informasi di mana dirimu.”
“Mama tidak memberitahukannya kepadanya kan?” Sani langsung panik. Percuma dia pindah ke lain kota kalau pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.
“Tentu saja tidak sayang.” Sang mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia bilang pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan dimana dirimupun, dia akan tetap tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”Sani mengernyit kesal. Kalau Jeremy menghubungi kantor penerbitnya, tentu saja Jeremy akan tahu dimana dia berada. Dia mendesah kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, Sani hanya tidak menyangka kenapa Jeremy sekeras kepala ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Sani tidak bisa memaafkannya?
“Terimakasih sudah memperingatkanku mama, ada kemungkinan bahwa dia sudah tahu dimana aku berada, aku menginformasikan kepindahanku dan alamat baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy nekat dan mendatangiku.”
“Kau tidak apa-apa Sani?” suara mamanya tampak cemas di seberang sana, membuat Sani tersenyum haru.
“Tidak apa-apa, mama, aku bisa bertahan.” Jawabnya mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.
***
                Perempuan itu datang lagi malam ini, dan memesan segelas anggur untuk teman menulisnya. Azka mengernyit, dari info yang didapatnya dari Albert, Sani adalah seorang penulis novel romance. Tetapi sepertinya Sani sedang murung karena beberapa kali perempuan itu hanya menghela napasnya di depan laptopnya, lalu mengawasi layar laptop itu dengan tatapan mata kosong.
    Azka merasa seperti pengintip yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Sani selalu datang, dan setiap pukul sembilan lalu akan menulis sampai dini harin sebelum kemudian pulang ketika terang tanag menyentuh langi. Azka tidak bisa menahan ketertarikannya untuk mengintip ke bawah, menanti kedatangan Sani, dan sejauh ini, perempuan itu tetap datang.
Ada keinginan tertahannya untuk mendekati perempuan itu, tetapi dia menahan diri, dia takut kalau dia terlalu mengganggu, Sani akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.
“Perempuan itu datang lagi.” Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Azka bergumam sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Azka. “Kau sepertinya sangat tertarik kepadanya.”
“Kenapa kau bisa berpikiran begitu?” Azka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi kerjanya. Albert adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya, lelaki itu dulu adalah pegawai setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Azka meninggal dan dia mewarinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini, Albertlah yang selalu membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman, melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.
Karena itulah Azka menghadiahi Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya, dia hanya ingin tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe dan tetap ingin bekerja menjadi pelayan meskipun Azka sudah melarangnya. Tetapi Albert bilang bahwa menjadi pelayan cafe ini bisa membantunya tetap hidup, dia kesepian dan bercakap-cakap dengan para pelanggan bisa menyembuhkan sepinya, karena itulah Azka mengizinkan Albert menjadi pelayan di Garden Cafe ini.
Albert meletakkan kopi panas untuk Azka dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa pelanggan lain sebelumnya.”
Azka tersenyum kecut, rupanya dia terlalu mudah terbaca oleh Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik kepadanya.”
“oh ya?” Albert mengangkat alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya Albert, Azka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini,  tetapi dia memang jarang memakainya, karena dia selalu pulang ke rumahnya, kawasan hijau dan sejuk di perbukitan pinggiran kota, dekat dengan area resor hotelnya. “Dan aku hitung, sejak kau menyapa perempuan itu, kau selalu datang kemari setiap malam, tanpa absen.”
Azka terkekeh mendengar perkataan Albert, “Aku memang tidak bisa membohongimu ya.”
“Aku sudah mengenalmu sejak kecil.” Albert tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya dengan perempuan manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Celia.”
Azka tertegun ketika nama Celia disebut, wajahnya sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.
“Tetapi pada akhirnya semua akan tetap sama bukan?” gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak akan pernah bisa memilikinya.”
“Anda bisa memilikinya kalau anda mampu mengambil keputusan tegas.”
“Tidak.” Azka mengernyit seolah kesakitan, “Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”
Tuhan tahu dia sudah tidak mencintai Celia, tunangannya. Tetapi dia masih punya hati. Kesalahannya harus dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.
***
“Azka?” Suara lembut Celia menggugah Azka dari lamunannya, membuat Azka menoleh dan langsung tersenyum lembut,
“Iya sayang?”
Celia menyelipkan rambut panjangnya yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,
“Ada apa? Kau tampak begitu murung.”
Azka mendesah, “Ah..iya... mungkin aku sedikit tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia sungguh merasa tidak enak badan, dia tidak suka berada di sini. Tetapi dia harus, setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di sini, menghabiskan waktunya bersama Celia, tunangannya. Tetapi pikirannya mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Sani itu pasti sudah datang dan menulis di sana sampai dini hari.
Azka tidak sabar untuk segera pergi dari sini dan menuju Garden cafe, mengamati Sani dari kejauhan.
“Pulanglah.” Bisik Celia lembut, penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”
Celia selalu seperti itu, begitu lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Azka dia selalu mengerti. Apalagi yang sebenarnya Azka cari? Dia seharusnya berusaha keras untuk memaafkan dan kembali mencintai. Tetapi setiap melihat Celia, dia teringat akan pengkhianatan itu lalu merasa begitu getir. Ada beberapa hal yang bisa dimaafkan dalam hubungan percintaan, tetapi pengkhianatan bukanlah salah satunya....
Ditatapnya Celia dengan senyuman lembut, kemudian dia menarik Celia mendekat dan mengecup keningnya,
“Kau mau kuantar masuk?”
“Tidak Azka, pulanglah, aku bisa masuk sendiri.” Jawab Celia tanpa kehilangan senyumnya.
Azka menghela napas, lalu menyentuhkan jemarinya di rambut Celia dengan lembut, “Terimakasih Celia, sampai ketemu lagi besok ya.”
Celia mengangguk, memundurkan kursi rodanya dan memutarnya memasuki rumah, Azka menunggu sampai pintu rumah itu tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.
***
Dalam perjalanannya pulang dari rumah Celia, Azka merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Azka melabuhkan cintanya kepada Celia, dan memutuskan untuk melamarnya. Tetapi kemudian dia larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada perempuan itu.
Celia yang kehilangan cintanya, akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain, dan dia mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang bajingan.
Bajingan itu merenggut kegadisan Celia yang sedang rapuh karena diabaikan oleh Azka, lalu kemudian meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.
Masa-masa itu sangat menyakitkan bagi Azka, ketika Celia datang kepadanya dan mengakui semuanya, tentu saja Azka marah besar, mereka sedang berkendara di mobil, di tengah hujan deras ketika Celia mengakui semuanya kepada Azka, Azka marah, menginjak gas begitu kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya,  mereka lalu mengalami kecelakaan fatal, kecelakaan yang membuat Celia keguguran anak hasil hubungannya dengan Edo,  dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.
Azka sendiri hanya mengalami lecet-lecet, dia mendengar kenyataan bahwa Celia akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Celia menjadi lumpuh seumur hidup karena dirinya, karena dialah mereka mengalami kecelakaan parah itu. Padahal perselingkuhan Celia kalau ditelaah adalah karena kesalahannya, Azka terlalu sibuk dengan bisnisnya sehingga melupakan Celia, bahkan dia hampir tidak punya waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Celia sampai mengais perhatian dari lelaki lain.
Lalu Azka memutuskan bahwa dia harus bertanggung jawab, dan pagi itu pula ketika Celia sadarkan diri dari kecelakaan, menangis ketika mengetahui bahwa dia tidak bisa berjalan lagi, Azka memeluknya dan mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Celia selamanya, dia memaafkan kekhilafan Celia dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan yang lalu.
Azka mengira itu akan mudah. Toh dia mencintai Celia sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan dan kemudian menjalani keadaan mereka seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia merasakan perasaannya mulai terkikis dan musnah, setiap menatap perempuan cantik itu, lalu menyadari kenyataan bahwa Celia telah mengkhianatinya dan membiarkan dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.
Hari demi hari berlalu, sampai di titik cintanya musnah begitu saja, dia menjalani harinya dengan Celia hanya karena dia merasa harus melakukannya. Azka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya sudah mati rasa.
Sampai kemudian dia melihat Sani, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.
Albert memang benar, Azka tidak pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu memabukkan, membuatnya tak bisa memikirkan yang lain, membuatnya ingin mencoba mendekat bahkan meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.
Sejenak Azka ragu, dia berada di persimpangan jalan, satu menuju ke arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah Garden Cafe.Pada akhirnya Azka mengarahkan mobilnya ke arah Garden Cafe. Dia ingin melihat Sani.
***
Ketika dia memasuki pintu cafe itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan menemukan Sani. Perempuan itu sedang mengetik seperti biasa ditemani segelas anggur merah yang tinggal tersisa setengahnya.
Sejenak Azka ragu, tetapi kemudian dia mendekat,
“Aku heran kenapa kau belum tidur jam segini dan memilih untuk menulis.”
Sani langsung mendongak mendengar sapaannya, ada tatapan terkejut di sana ketika melihat Azka berdiri di depannya, tetapi kemudian dia tersenyum lembut.
“Aku punya penyakit susah tidur akhir-akhir ini"
Azka tersenyum, “Kalau kau ingin mengantuk, minumlah susu putih  aku dengar itu bisa membuat kita nyaman dan terlelap.”
“Susu putih?” Sani mengeryit, “Aku tidak suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang aneh di hidung, membuatku mual.”
Kali ini Azka benar-benar terkekeh geli, “Aku baru kali ini mendengarkan deskripsi yang begitu menarik tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang sedang kau tulis?” tanpa sadar Azka menarik kursi dan duduk di depan Sani.
“Roman percintaan.” Pipi Sani memerah, menyadari bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan mata cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi kemudian dia mengeraskan hati.
Semakin tampan seorang lelaki berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.
“Roman percintaan? Dan sepertinya kau sedang kehabisan ide?”
Bagaimana lelaki ini tahu?
Sani mengangkat bahunya, “Tokoh utama di ceritaku saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk membiarkannya seperti itu.”
Azka terkekeh, “Tetapi kau tidak bisa membiarkannya seperti itu?”
“Tidak bisa.” Gumam Sani penuh penyesalan, “Karena ini cerita roman, dan cerita roman karanganku harus berujung Happy Ending.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa harus Happy Ending?” Azka menatap ke arah Sani dengan tajam, membuat Sani sedikit salah tingkah.
“Karena di kehidupan nyata kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Sani langsung melayang kepada Jeremy dan dia tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku bisa menjadi pengobat luka hati.”
“Kau benar-benar penulis novel yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Azka sambil tersenyum, yang ditanggapi Sani dengan mengangkat bahunya.
“Aku hanya ingin menyajikan kisah yang indah untuk pembacaku.”
“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin itu bisa membantu semua orang, karena kadang di dunia nyata ini kita tidak selalu berakhir indah. Tetapi kau harus selalu mengingat, akan ada pelangi sehabis badai.” Azka bangkit dari duduknya dan menganggukkan kepala sopan, “Silahkan lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”
***
Azka sedang mengenakan dasinya untuk berangkat ke kantor pusatnya di area resor hotelnya ketika pintu apartement pribadinya di lantai dua cafe itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari masih pagi. Cafe di bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini, bahkan Albertpun tidak akan melakukannya.
Dengan jengkel sekaligus ingin tahu, Azka membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan Keenan berdiri di sana. Saudara kembarnya.
“Kenapa kau kemari pagi sekali?” Azka mengernyit, menatap adiknya ingin tahu. Meski mereka kembar tetapi Azka lebih dulu lahir 3 menit sebelum adiknya, karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak. Lagipula, secara kepribadian, dia memang lebih dewasa dibandingkan Keenan. Keenan terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah mereka dan memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Azka merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk merasa bebas dan lepas dari tanggung jawab.
Azka sendiri tidak bisa. Perusahaan ayahnya harus dikendalikan, dan karena Keenan tidak bisa diandalkan, maka dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.
Mungkin dia memang ditakdirkan untuk selalu memikul tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.
Sementara itu Keenan tampak tidak peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Azka dan membanting tubuhnya di sofa,
“Aku sedang menerima proyek melukis untuk desain kantor di dekat resor kita. Pekerjaan itu baru beres tadi pagi dan memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus menumpang tidur, tetapi kata pealayan sudah berhari-hari kau tidak ada di sana dan tidur di Garden Cafe.” Keenan merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”
Azka meraih jasnya dan melirik adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang, “Aku harus bekerja.”
“Kau tampak tidak sehat.” Gumam Keenan ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”
Mereka berdua memang sudah lama tidak bertemu, hampir enam bulan lebih, itu karena Keenan memutuskan ke belanda, untuk mengunjungi guru melukisnya di sana. Adik kembarnya itu baru pulang sebulan yang lalu, tetapi mereka sama-sama sibuk hingga sekaranglah pertemuan mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.
Azka sendiri mengamati adiknya yang tampak begitu segar dan tanpa beban, lalu mengernyit,
“Salah satu dari kita harus menjalankan perusahaan ini.”
“Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu itu.” Keenan memundurkan tubuhnya dan menyandarkan dirinya di sofa, “Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”
“Tetapi perusahaan ini tetap butuh seseorang yang mengendalikannya, Keenan.” Azka bergumam tajam. “Aku bukan orang bebas yang bisa melepaskan tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.
Keenan malahan tertawa, “Dan kaupun memikul tanggung jawab itu, ciri khas seorang Azka.” Wajahnya berubah serius, “Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Celia.”
“Aku tidak mau membicarakannya.” Azka langsung memalingkan muka, berusaha memutus percakapan. Mereka pasti akan berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Celia.
Keenan adalah salah satu orang yang menentang keras ketika Azka melanjutkan pertunangannya dengan Celia, dia tahu tentu saja tentang pengkhianatan Celia dan menganggap Azka bodoh karena memikul tanggung jawab terhadap Celia, padahal kecelakaan yang dialami Celia seharusnya bukanlah kesalahan Azka.
“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada jodohmu di luar sana?” Keenan terus mengejar, tidak peduli akan ekspresi membunuh yang dilemparkan Azka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? menanti untuk kau temukan? Kalau kau terus terpaku pada Celia, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan kehilangan kesempatanmu untuk menemukan jodohmu yang sesungguhnya.”
“Aku tidak menyangka kau bisa begitu puitus.” Azka berusaha menghindar dari bahasan tentang Celia. Dia sedang tidak mau memikirkannya.
“Aku seorang seniman, meskipun aku pelukis, tetap saja aku bisa puitis.” Keenan tertawa, “Berbeda dengan dirimu yang begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa dirimu, kak.”
Apakah sejelas itu?
Azka berusaha memasang wajah datar, “Kalau kau ingin aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”
‘Tidak.” Keenan langsung menjawab cepat, “Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku, aku bisa mati bosan kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia melangkah berdiri dan menuju kamar Azka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam kamar.
***
Sani sedang melangkah keluar dari pintu putar apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan sebagai pengisi kulkasnya ketika langkahnya membeku di trotoar.
Mobil warna biru itu dengan pelat nomor yang sangat dikenalnya.
Itu mobil Jeremy...
Dan benar saja, lelaki itu melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Sani,
“Hai Sani.” Sapanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.
Bisikan itu dulu pernah membuat hati Sani hangat, tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya dengan marah,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Jeremy mengangkat bahunya, “Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”
Tingkah kekanak-kanakannya, katanya?
Sani menahan dirinya untuk maju dan menampar Jeremy. Berani-beraninya lelaki itu muncul di depannya seolah tidak bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.
“Aku tidak mau bercakap-cakap denganmu. Minggir.” Gumam Sani marah, ketika Jeremy dengan sengaja menghalangi jalannya di trotoar yang sempit itu.
Tetapi Jeremy tidak bergeming, dia malahan semakin sengaja menghalangi Sani lewat,’
“Kita harus bicara Sani, ayolah hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”
“Aku rasa aku sudah mengambil keputusan dewasa dengan mengakhiri pertunangan kita, menyingkirlah Jeremy dan biarkan aku lewat.”
Sani berusaha mencari jalan melewati Jeremy, tetapi karena lelaki itu menghalangi jalannya, dia merengut kepada Jeremy dengan tatapann menghina, “Ah sudahlah!” gumamnya marah lalu membalikkan tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Jeremy.
Sayangnya gerakannya kurang cepat, Jeremy sudah meraih lengannya dan mencekalnya,
“Dengarkan aku dulu Sani, kau harus mendengarkan aku!” seru Jeremy mulai emosi, lelaki itu bahkan tidak peduli akan lirikan orang-orang di sekitar.
Sani malu, sungguh-sunggu malu, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan cekalan tangan Jeremy di lengannya, berusaha melepaskan diri dari Jeremy, dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak dengan laki-laki ini.
Di tengah usahanya melepaskan diri, sebuah mobil berwarna merah menyala menepi ke trotoar di dekat mereka. Azka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki itu mencengkeram lengan Sani dan Sani yang berusaha melepaskan diri. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk mendekat,
“Bisakah kau lepaskan perempuan itu? Tampaknya dia tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.
Membuat Sani dan Jeremy menoleh bersamaan.
BERSAMBUNG KE PART 3
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 27, 2013 04:11

February 25, 2013

You've Got Me From Hello Prolog-Part 1


Prolog
Ingatan akan kejadian itu masih terasa begitu menyakitkan baginya. Melihat dengan mata kepalanya sendiri akan pengkhianatan Jeremy, kekasih yang sangat dicintainya. Lelaki yang dia kira akan menjadi pasangan hidupnya, selama-lamanya sampai mereka menua. Apa yang dia lihat itu merupakan kehancuran bagi seluruh rencana masa depannya, pernikahan mereka, kehancuran bagi segalanya, bagi hati Sani, dan bagi kepercayaannya kepada semua laki-laki di dunia ini. 



Teganya Jeremy!! Tak henti-hentinya Sani meneriakkan umpatan kepada mantan tunangannya itu di dalam hatinya.

Semula diawali dari telepon itu, sebuah telepon dari nomor tidak dikenal, yang entah kenapa Sani angkat. Telepon itu dari seorang perempuan, yang menangis, mengatakan bahwa dia juga kekasih Jeremy dan mengatakan bahwa Jeremy telah meninggalkannya tanpa mau bertanggungjawab. 
Sani mau bertemu dengan perempuan yang menelepon itu, dengan tujuan awal ingin mengata-ngatai perempuan itu agar jangan memfitnah Jeremy, tunangannya yang sangat setia dan tampan. 
Tetapi kemudian, siang itu di sebuah café di ujung jalan, seluruh keyakinan Sani dijungkirbalikkan. Perempuan itu, Ana namanya, sudah mempersiapkan segalanya. Semua bukti yang diperlukan terhampar di hadapan Sani, seolah menamparnya keras-keras. 
Di sana ada foto-foto mesra Jeremy dan Ana, yang menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tentu saja! Seorang yang bukan kekasih tidak mungkin mencium pipi, berangkulan begitu erat dan saling memeluk seperti yang tergambar di dalam foto itu. Ana juga menunjukkan pesan pesan mesra mereka, dari nomor Jeremy. Bahkan Jeremy tidak pernah seromantis itu dengannya, pesan-pesan mereka penuh dengan kata-kata cinta dan janji-janji muluk yang menyakitkan. Lalu seakan semua bukti belum cukup menghancurkan hari Sani, Ana dengan tenang mengatakan bahwa kegadisannya sudah diserahkan kepada Jeremy, dan bahwa sekarang keluarganya akan menuntut kepada keluarga Jeremy. 
Hati Sani seakan dihancurkan oleh pengkhianatan yang begitu parah, bukan hanya karena Jeremy berselingkuh di belakangnya, tetapi juga karena Jeremy telah begitu saja menghancurkan seluruh keyakinan Sani tentang lelaki yang baik. 
Sani selalu menjaga dirinya sampai dengan usianya yang sekarang, duapuluh lima tahun dan masih perawan. Meskipun kadang dia membiarkan Jeremy mencium bibirnya, tetapi hanya sebatas itu. Tidak pernah lebih. 
Jeremy pernah suatu kali meminta lebih, tetapi Sani mengangkat alis dan mengatakan apa yang diyakininya, nasehat ibunya, bahwa seorang lelaki yang baik, akan menjaga perempuan yang dicintainya. Bukannya memaksa untuk merusaknya. Jeremy saat itu menerima penjelasan Sani dengan lembut, dan bersumpah bahwa dia benar-benar mencintai Sani, jadi tidak akan pernah merusaknya. Dan Sani sangat bersyukur mempunyai tunangan seorang lelaki yang bisa menjaga moralnya, seorang lelaki yang baik dan tidak berorientasi kepada hasrat duniawi semata. 
Semua pandangannya tentang Jeremy – dan semua laki-laki lainnya hancur seketika itu juga. Jeremy telah tidur dengan Ana, lebih dari pada yang seharusnya. Bagaimana mungkin Sani bisa memaafkan Jeremy? 
Malam itu Sani bertemu dengan Jeremy, dan memaparkan semuanya, bukti-bukti yang ada. Jeremy tampak sangat marah, kepada Ana, bukan kepada Sani. 
“Dan kau percaya apa yang dikatakan perempuan itu?”, tanya Jeremy waktu itu. 
Sani menatap lelaki itu. Yang dulu dicintainya, bahkan mungkin sekarang masih dicintainya meskipun cinta itu terasa menggores seluruh hatinya hingga terasa nyeri. 
“Dia menunjukkan semua bukti-bukti itu, foto-foto mesra kalian berdua, pesan-pesan mesra kalian, masihkah kau membantah semuanya?” 
Jeremy tercenung tampak ragu, lama kemudian, dia menatap Sani dengan pandangan memohon, 
“Maafkan aku sayang” 
Air mata pecah dari dasar hati Sani, sejak siang tadi Ana menemuinya, Sani bahkan tidak bisa menangis, dia terlalu marah. Tetapi sekarang, berdiri di sini, berhadapan dengan Jeremy yang mengakui segalanya membuatnya tak bisa menahan diri lagi, 
“Teganya kau melakukan itu kepadaku Jeremy, setelah pertunangan kita yang delapan tahun lamanya. Aku percaya padamu! Aku menghormatimu… aku…”, suara Sani tertahan oleh napasnya yang mulai sesak oleh luapan perasaannya. 
Jeremy memijit keningnya tampak kesakitan. 
“Maafkan aku Sani, aku… aku khilaf, tidakkah kau mengerti? Aku tidak pernah menginginkan berselingkuh dengan Ana dibelakangmu. Tetapi Ana… Ana, dia mengejarku, kau tahu dia juniorku di perusahaanku dan aku bertugas membimbingnya, dia… dia sangat tergila-gila dan terobsesi denganku, aku sudah berusaha menolaknya dengan berbagai cara, tetapi dia…. Dia tidak menyerah. Suatu malam, ketika hujan, dia mengetuk pintu apartementku, berkata bahwa mobilnya mogok di dekat situ dan dia kehujanan. Aku tidak punya kesempatan untuk menolaknya, dia… dia kemudian merayuku… dan aku….”, suara Jeremy terhenti ketika melihat ekspresi Sani, “Jangan… jangan sayang, jangan merasa jijik kepadaku… aku hanya laki-laki biasa, aku menyesali semuanya, aku memang tidak tahan godaan, aku harap kau mengerti semuanya….,” Jeremy mendekat, berusaha menyentuh tangan Sani, tetapi Sani menepiskannya dengan kasar. 
“Jangan sentuh aku”, desis Sani geram, “Kau bisa saja bilang itu ketidak sengajaan untuk kejadian pertama, tetapi kalian melakukannya lagi dan lagi….dan aku yakin itu bukanlah suatu ketidak sengajaan…” 
“Itu semua terjadi begitu saja!” seru Jeremy frustrasi, “Dia… dia selalu menyediakan diri, dan kupikir, semua tanpa komitmen, aku tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini, menyakiti kau dan aku, berusaha menghancurkan hubungan kita, kau tahu? Aku sebenarnya sudah akan meninggalkannya” 
“Aku sangat kecewa Jeremy.” Sani menyusut air matanya, semua kesedihannya berubah menjadi kemarahan, “Kau meniduri seorang perempuan dan menganggap itu hanya selingan sambil lalumu, pemenuhan kebutuhanmu…. Itu sangat tidak bermoral..” 
“Maafkan aku Sani, aku harap kau mau mengerti, lagipula pernikahan kita tinggal lima bulan lagi, kau tidak akan membiarkan ini menghancurkan semua rencana masa depan kita bukan? Aku akan membereskan semua masalah ini dan kita bisa melanjutkan semuanya.” 
“Tidak!”, Sani mundur selangkah, “Aku tidak mau melanjutkan apapun! Dan kurasa aku tidak akan pernah bisa! Kau… kau bukanlah lelaki yang kuinginkan untuk bersamaku sampai akhir hidupku. Ternyata aku salah selama ini Jeremy,” dengan kasar Sani melepas cincin emas itu dari jemarinya, cincin yang dipasangkan secara resmi oleh Jeremy di depan seluruh keluarga mereka ketika mereka baru lulus dari SMU, delapan tahun yang lalu. “Kukembalikan cincin ini dan kuminta hatiku kembali, silahkan jelaskan semuanya kepada orang tua kita, karena aku sudah muak kalau harus mengulang semua ini lagi.,” diletakkannya cincin itu ke telapak tangan Jeremy, “Selamat tinggal Jeremy.” 
Sani membalikkan tubuhnya, dan tidak menoleh lagi ke belakang. Meskipun Jeremy masih memanggilnya dengan lembut, mencoba membuatnya berubah pikiran. 
Kemudian Sani menjelaskan secara singkat keputusan bulatnya kepada kedua orang tuanya, menolak telepon-telepon dari orang tua Jeremy agar dia mau memaafkan Jeremy. Semua sudah selesai, babak hidupnya yang ini sudah musnah, bersama dengan cintanya, seluruh masa depannya dan rencana pernikahan mereka setahun lagi. Sani menghadapi segalanya dengan kepala tegak meskipun hatinya hancur bukan kepalang. 
Malam itu juga, Sani mengepak segalanya dan mengambil keputusan untuk pindah ke kota lain. Sani seorang penulis novel, dia bisa tinggal dimanapun dia mau, tidak terikat pada perusahaan manapun. 
Maka Sani memilih kota itu, kota yang menjanjikan penyembuhan, kota yang jauh, kota yang tak punya keterikatan apapun dengan masa lalunya. Sani sudah bertekad, persetan dengan semua laki-laki. Dia tidak membutuhkannya. Akan dia tunjukkan kepada dunia yang kejam ini, bahwa seorang Sani, bisa hidup tanpa harus meletakkan hatinya ke dalam genggaman mahluk jahat yang bernama Laki-laki. 
*** 
PART 1
Apartementnya masih berantakan, dia belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartement ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa dan dapur. Shani memutar bola matanya ketika menatap dapur itu, dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak. 
Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartementnya, Keisha, editornya yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartement yang siap pakai untuknya. Ya, Sani memang berangkat ke sini karena usul dari Keysha, selain sebagai editornya, Keisha adalah sahabatnya, meskipun mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Sani menceritakan pengkhianatan Jeremy dan rasa sakitnya, Keisha mengusulkan agar Sani pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang. 
Dia hanya berpamitan kepada kedua orang tuanya, dan tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Jeremy pasti akan mengetahuinya juga. Sani mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Jeremy dipenuhi rasa muak dan sakit hati. 
Ah ya ampun. Lelaki. Sani tidak akan pernah percaya laki kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan. 
Ponselnya berkedip-kedip dan Sani mengernyit, dia mengangkatnya ketika melihat nama Kesha di sana. 
“Halo?” 
“Aku sudah sampai rumah dan baru teringat.” Kesha berkata, “Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi, ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya.” 
“Aku akan melihatnya nanti.” Gumam Sani lemah, menyandarkan tubuhnya di sofa, “Saat ini aku lelah sekali.” 
“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit.” 
“Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?” Sani tersenyum 
“Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Sani, novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu, penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu.” Kesha tergelak, “Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku mencemaskanmu, jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang.” 
Mata Sani berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama sekali tidak tenang, “Terimakasih Keisha.” Gumamnya serak sebelum menutup pembicaraan. 
Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas panjang, Sani meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartementnya. 
*** 
Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, Sani begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai. 
Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang, suasananya sangat sejuk dan menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka duapulu empat jam. Dan Sani langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam, seakan-akan kehidupan terus berjalan di dalam sini. 
Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya, 
“Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?” 
Sani mendongak menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum, “Saya ingin steak yang ada di menu ini gumamnya pelan, lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan setelah mencatat pesanannya dan melangkah pergi. 
Sani membuka laptopnya dan mulai menulis, tetapi baru beberapa detik dia mendesah. Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak manusia yang saling mencintai. Sani dulu sangat lancar menulis novel percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya, tetapi sekarang, setiap dia akan menulis kisah cinta, hatinya mencemooh, ingatan akan Jeremy menyerbunya, membuat jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun. Ternyata menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan keindahan romansa, semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Jeremy kepadanya. 
“Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku akan mendengarkan musik.” 
Suara yang maskulin itu mengejutkan Sani dari lamunannya, dia mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan sosok tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah klasik yang misterius. 
Sani mengernyitkan keningnya, menoleh ke belakangnya, tidak ada orang lain di dekatnya, jadi memang benar lelaki ini sedang menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, bagaimana lelaki ini bisa mengetahui bahwa dia sedang menulis? 
“Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi.” Lelaki itu tersenyum, “Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja.” Dia mengulurkan tangannya, “Hallo, Aku pemilik cafe ini namaku Azka.” 
Sani tetap ragu, meskipun begitu, demi kesopanan dia menyambut uluran tangan lelaki itu, 
“Hallo....” Sani masih bingung harus berkata apa, “Aku Sani.” Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan lelaki di depannya. 
“Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan berkunjung kemari.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi. 
Sani masih terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati. 
Lelaki itu tampak baik, ramah dan sopan.... tetapi kemudian ingatan akan Jeremy menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini, meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun. 
*** 
“Dan dia sangat tampan.” Sani bercerita kepada Kesha sahabatnya, “Dia juga pemilik cafe yang indah itu.” 
Kesha mencomot roti bakar di piring Sani, mereka sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Sani, Kesha berkunjung untuk membantu Sani merapikan tempat barunya, 
“Cafe itu cukup terkenal di kota ini, sangat ramai karena menyediakan semua yang dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat, dan di malam hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik cafe itu sepertinya masih muda.” 
“Masih muda.” Sani merenung, masih muda dan sangat tampan batinnya. 
“Apakah dia sudah menikah?” tanya Kesha tiba-tiba. 
Sani tergelak, “Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah menikah atau belum?’ 
“Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Jeremy.” Kesha mengedipkan sebelah matanya, “Pemilik cafe itu menyapamu, dan dia masih muda, siapa tahu dia juga tampan.” 
“Dia tampan.” Gumam Sani akhirnya. 
“Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau bisa menyembuhkan lukamu.” 
“Tidak.” Sani mengernyitkan keningnya denga pedih, “Semua lelaki sama, Kesha. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati.” 
“Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Sani. Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia.” Kesha menghela napas panjang, “Seperti pemilik cafe yang tampan itu, dia tampaknya baik, dan dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu.” 
“Tidak.” Sani menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, “Mungkin itu memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya, bahkan pelayannya pun ramah-ramah.” Tatapan mata Sani lalu berubah serius, “Aku tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Kesha, aku sudah dikecewakan dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat.” 
Sani meyakini kata-katanya. Pengalamannnya dengan Jeremy sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan, karena dengan ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau bertekuk lutut di bawah kakinya. 
*** 
Tetapi malam itu Sani tidak bisa tidur lagi, dia sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk keluar di malam hari. 
Lagipula Cafe itu terletak begitu dekat, di seberang kompleks apartemennya.... 
Tanpa terasa Sani sudah berjalan ke sana, memasuki cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya, 
“Anda ingin pesan apa?” lelaki itu menyapa dengan ramah ketika Sani duduk di pojok yang rindang dengan dekorasi taman yang menyejukkan. 
Sani tersenyum, “Tidak, malam ini aku ingin kopi.” 
“Apakah anda akan bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan anda?” pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Sani di mejanya. 
Sani terkekeh, “Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline.” 
“Penulis?” Pelayan itu tampak tertarik, “Penulis novel?” 
Sani menganggukkan kepalanya, “Ya. Novel percintaan.” 
“Ah.” Pelayan itu terenyum penuh arti, “Saya sudah menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut.” 
“Terimakasih atas pujiannya.” Gumam Sani sambil tertawa, mulai membuka laptopnya di atas meja itu, “Mungkin aku akan di sini sampai pagi.” 
“Anda tidak tidur?” 
“Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadangan semalam dan tidur besok pagi.” Sani tergelak, “Semoga di sini diperbolehkan duduk sampai malam.” 
“Tentu saja.” Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya, “Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di sini selamanya.” Candanya sambil tertawa, “Saya akan mengambilkan pesanan anda, dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil saya Albert.” 
Sani tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu, “Terimakasih, Albert.” Gumamnya lembut. 
*** 
Hampir pukul tiga pagi dan Sani masih menulis di sudut yang sama, dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara dua tokohnya karena kesalahpahaman, dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang, karena itulah jemarinya mengalir lancar. 
Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuanya mengernyitkan kening. 
Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini? 
Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang tertera di sana. 
Jeremy... 
Sani meletakkan ponsel itu di meja dan membiarkannya. Tetapi ponsel itu terus bergetar tanpa henti, begitu mengganggunya. Sani mendesah kesal, mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Jeremy di layar itu. 
Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel itu terus menerus bergetar tak tahu malu, seolah Jeremy tidak akan menyerah sebelum dia mengangkatnya. 
Akhirnya setelah menghela napas panjang, Sani mengangkat ponsel itu. 
“Ada apa Jeremy?” gumamnya kesal. 
“Sani, akhirnya.” Suara Jeremy terdengar lega di seberang sana, “Aku datang ke rumahmu dan orangtuamu bilang bahwa kau pergi keluar kota. Kau kemana?” 
“Sudah bukan urusanmu lagi kan?” jawab Sani dingin. 
“Astaga Sani. Sebegitu kejamnyakah kau padaku? Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?” 
Kenapa pula Jeremy harus bertanya? Tentu saja Sani melakukannya karena Jeremy, dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah. 
“Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku.” Sani bergumam, “Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi.” 
“Sani... sayang... dengarkan aku... kau pindah kemana sayang? Orangtuamu tidak mau memberitahukan kepadaku, dan aku mencemaskanmu.” 
“Aku baik-baik saja.” Sani menguatkan hatinya, merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya. 
Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya, menatap hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan adalah membuat kisah tragedi, dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami. 
*** 
Azka memperhatikan Sani dari dalam ruang kerjanya. Tentu saja Sani tidak menyadarinya, ruang kerja Azka terletak di lantai dua, di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didisain satu sisi, dimana Azka bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar tidak akan bisa melihat menembus ke dalam. 
Azka tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu masuk, menatap keraguan perempuan itu, dan entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekati perempuan itu. 
Padahal penampilan perempuan itu sederhana, dia mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya, rambutnya dikucil kuda sekenanya, dan perempuan itu tidak berdandan, tetapi Azka tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu. 
Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Azka tidak pernah menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding kaca gelap yang misterius, hanya Albertlah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya. Azka memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe adalah favoritnya, tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman. 
Dan kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut hatinya, ketika berucap halo dan menyambut uluran tangannya, lalu mengatakan namanya. Sani. Azka mencatat nama itu dengan penuh rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.

BERSAMBUNG KE PART 2
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 25, 2013 18:52

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.