Santhy Agatha's Blog, page 11
May 5, 2013
Menghitung Hujan Part 11

Ternyata sesuatu yang sempurna pada akhirnya bisa terasa melelahkanTernyata sesuatu yang kukira kuat, bisa menjadi rapuh dan terlalu lemah untuk bertahan
Pantaskah untuk diperjuangkan kisahku ini?
Jika ternyata kusadari, bahwa harga sebelah jiwa...
Begitu mahalnya....
Yang dilakukan Diandra pertama kali adalah mendorong Axel keras-keras, sejauh mungkin. Napasnya terengah atas ciuman yang sama sekali tidak diduganya itu, dia menatap Axel bingung berlumur kemarahan,
"Kenapa kau lakukan itu Axel?" Diandra sendiri tak habis pikir. Oh astaga. Axel menciumnya! Itu adalah hal yang sama sekali tidak disangkanya. Axel adalah sepupunya! Saudaranya! Dari kecil mereka bersama, dan Diandra selalu menganggap Axel sebagai kakaknya. Tetapi lelaki itu barusan menciumnya, dan Diandra merasa pening yang amat sangat, Axel saudaranya bukan? Dan saudara tidak mungkin berciuman!
Diandra memundurkan langkahnya, menatap waspada ke Arah Axel, tangannya mengusap bibirnya yang masih terasa panas bekas ciuman lelaki itu.
Axel sendiri menatap Diandra dengan tatapan berlumur penyesalan, matanya meredup, ragu,
"Kau menciumku," Pipi Diandra merah padam, "Kenapa kau lakukan itu padaku? Apakah kau melecehkanku? Kita ini bersaudara. Dosa besar kalau kau melakukannya."
"Kita tidak bersaudara, bukan saudara sedarah." Axel mengucapkan kalimatnya dengan lirih dan hati-hati, menatap Diandra dalam-dalam.
Diandra tertegun. Kaget. Bukan saudara kandung? Axel jelas-jelas sepupunya, putra dari paman dan tantenya. Mereka sepupu dekat, darah mereka seperti saudara! Ataukah jangan-jangan... Axel anak angkat? memang wajah Axel yang begitu tampan seolah ada darah luar di sana membuatnya tampak sangat berbeda dengan kedua orang tuanya. Apakah benar bahwa Axel anak angkat?
"Apakah kau bukan anak kandung paman dan bibir?" Diandra menyuarakan pemikirannya. Menatap Axel dengan hati-hati. Tetapi kemudian ekspresi wajah Axel tampak kesakitan, lelaki itu seolah ingin berkata tapi menahan dirinya. Berkali-kali dia menahan napas seolah kesulitan berbicara,
"Bukan. Mereka berdua benar-benar orang tua kandungku." Mata Axel menelusuri wajah Diandra yang kebingungan.
Sementara Diandra makin tersesat dalam benang kusut itu, dia menatap Axel bingung,
"Jadi? Kenapa kita bukan saudara kandung? Apakah.... OH!" tangan Diandra menutup mulutnya ketika pemikiran itu menyeruak ke dalam benaknya, "Tidak mungkin!"
Axel tahu bahwa Diandra sudah tahu, dia meringis, berusaha mendekat dan meraih bahu Diandra, tetapi perempuan itu langsung melangkah mundur lagi, menghindari sentuhannya,
"Maafkan aku Diandra."
Mata Diandra berkaca-kaca. Axel tidak membantah. Oh Ya Tuhan? Oh Astaga? Benarkah apa yang dikemukakan oleh benaknya itu? Axel adalah anak kandung paman dan bibinya, tetapi dia dan Diandra bukan saudara sedarah..... itu berarti... Diandra bukanlah anak kandung kedua orang tuanya!
***
Reno datang ke rumah Nana dan memarkir mobilnya di sana lalu melangkah menuju teras rumah Nana, Nirina sudah ada di sana, tampak cemas, sudah hampir jam sembilan malam dan Nana belum juga pulang ke rumah. Mama Nana sendiri menunggu di ruang tamu, tampak cemas, dia ikut menyambut kedatangan Reno di depan,
"Bagaimana nak Reno, apakah Nana mungkin sudah menghubungimu? Mama berusaha menghubungi ponselnya, tetapi tidak ada yang mengangkat."
Reno menggelengkan kepalanya lesu, dia sudah mencari kemana-mana, ke toko buku tempat Nana biasana membeli buku, ke kampusnya, dan bahkan Reno ke makam Rangga, sambil membawa harapan yang sangat besar bahwa Nana akan ada di sana. Tetapi ternyata makam itu lengang, tidak ada siapa-siapa di sana. Nana tidak ke makam Rangga.
Lalu Reno dihadapkan dengan ketakutan yang amat sangat, karena dia sama sekali tidak memiliki bayangan akan keberadaan Nana sekarang.
Nana sudah mengetahui tentang jantung Rangga di dalam tubuhnya. Dia pasti sedih... dan juga kecewa pada Reno karena merasa dibohongi...
Mereka bertiga duduk di ruang tamu rumah Nana, ketiga-tiganya cemas,
Mama Nana menatap Reno dan menghela napas panjang,
"Apakah Nak Reno tahu apa penyebab Nana menghilang tiba-tiba seperti ini?"
Reno meringis perih, "Saya ada janji bertemu dengan Nana tadi siang, tetapi Nana tidak datang. Akhirnya saya menelepon Nirina menanyakan keberadaan Nana.... ternyata Nana bertemu dengan Axel di kampus."
"Kau mengenal lelaki yang bertemu dengan Nana tadi siang di kampus?" Nirina menyela tampak kaget.
Reno menghela napas panjang, lalu menganggukkan kepalanya, dia melirik mama Nana yang tampak kebingungan lalu menatap dengan pandangan mata menyesal,
"Ceritanya panjang, tetapi saya akan menceritakan rahasia ini." Reno mendesah, "Axel adalah sepupu dari mantan tunangan saya, Diandra."
Nirina dan Mama Nana saling melempar pandang ketika Reno menyebut nama mantan tunangannya itu, tetapi mereka tidak berkata apa-apa dan menatap Reno, menunggu kalimat selanjutnya.
"Axel menemui Nana untuk mengatakan sebuah rahasia yang telah saya sembunyikan sekian lama. Bukan maksud saya merahasiakannya kepada Nana, saya hanya menunggu waktu yang tepat." tatapan Reno lurus ke arah mama Nana, penuh permohonan maaf, "Sayangnya pada akhirnya Nana mengetahuinya dari orang lain, bukan dari saya...."
"Rahasia apa?" Nirina menyela, penuh ingin tahu.
Reno meletakkan jemarinya di dada kirinya, "Saya pernah sakit jantung, begitu parahnya hingga saya hanya bisa terbaring menunggu donor jantung bagi saya, ketika tidak ada donor jantung, maka kematianlah yang akan menjemput saya...." Reno menundukkan kepalanya, "Donor jantung itu akhirnya datang untuk saya... dan pendonor saya adalah.... Rangga, tunangan Nana yang sudah meninggal."
Mama Nana terkesiap, menutup mulutnya dengan jemari untuk menutupi kekagetannya, sedangkan Nirina tampak menahan napas dengan wajah shock.
"Rangga...? Rangga mendonorkan jantungnya?"
"Mungkin Rangga merahasiakan semuanya, saya tahu bahwa Rangga sama sekali tidak punya keluarga dari Nana. Yang saya tahu, Rangga sudah melakukan kesepakatan sukarela dengan pihak rumah sakit, bahwa jika terjadi sesuatu padanya, dia ingin jantungnya didonorkan kepada siapapun yang membutuhkan...."
Dan Renopun bercerita, bagaimana dia selalu memimpikan Nana bahkan sebelum dia bertemu dengan Nana. Bagaimana dia memutuskan meninggalkan tunangannya untuk mengejar Nana, perempuan yang selalu didebarkan oleh jantungnya, Bagaimana kemudian dia jatuh cinta kepada Nana, sepenuh hati dan jiwanya dan bukan hanya karena jantung itu.
"Saya mencintai Nana, dan saya tahu Nana pasti sangat membenci saya sekarang karena merahasiakan semua ini darinya, sekarang dia tahu... dan dia pasti tidak ingin menemui saya." Reno meremas rambutnya frustrasi. "Saya tidak tahu lagi di mana saya bisa menemukan Nana, semua tempat yang mungkin sudah saya datangi, bahkan sampai ke makam Rangga, tetapi Nana tidak ada..."
Secercah kesadaran tiba-tiba muncul di wajah Mama Nana, dia mengerutkan keningnya
"Mungkin ada satu tempat yang belum kamu datangi untuk mencari Nana, Reno..."
***
Diandra merasa kakinya lemas sehingga dia mundur dan terduduk di sofa itu, wajahnya pucat pasi membuat Axel cemas, dia langsung duduk di sebelah Diandra dan menggenggam tangannya, mencoba memberikan kehangatan kepada tangan Diandra yang tiba-tiba dingin seperti es - syukurlah Diandra tidak menolaknya.
"Maafkan aku harus menyakitimu seperti ini, Diandra..." Axel menatap Diandra dalam, hatinya terasa sakit melihat ada kepedihan di sana, di dalam mata Diandra ketika mengetahui kenyataan tentang dirinya. Oh ya Ampun, menyakiti Diandra adalah hal terakhir yang diinginkan Axel. Dia mencintai Diandra, yang diinginkannya hanyalah kebahagiaan perempuan itu. Tetapi untuk bisa mencintai Diandra tanpa dipersalahkan, Axel terpaksa membuka semuanya, meskipun itu mengoyak perasaan Diandra.
"Benarkah...?", Diandra mengernyitkan keningnya, "Aku bukan anak kandung mama dan papa?"
Jemari Diandra bergetar, membuat Axel menggenggamnya makin erat,
"Paman mengalami kecelakaan di masa muda sehingga tidak mampu menghasilkan keturunan..." Axel berucap dengan hati-hati, jemarinya meremas jemari Diandra dengan lembut, "Tante tidak mau melakukan program bayi tabung dari sperma lelaki lain, beliau memilih mengangkat seorang bayi perempuan dari panti asuhan. Bayi itu kau, Diandra. Dan meskipun kau bukan anak kandung mereka, kau selalu menjadi kesayangan mereka, kasih sayang yang mereka limpahkan kepadamu bahkan serupa dengan kasih sayang orang tua kandung kepada anaknya, kau sendiri menyadarinya bukan?" bisik Axel lembut, berusaha membesarkan hati Diandra.
Diandra tercenung, merasa pening tiba-tiba. Kenyataan ini tidak siap dihadapinya, dia ke Bandung untuk menenangkan diri, berusaha menguatkan hati dan membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan Reno... tetapi kenapa dia harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini? Kenapa Tuhan memberikan ujian yang begitu bertubi-tubi atas kekuatan hatinya?
"Diandra." Axel berbisik cemas ketika Diandra hanya diam saja dnegan tatapan mata kosong, "Kau tidak apa-apa?"
Diandra mengangkat matanya, menatap Axel.. saudara sepupunya... bukan. Axel bukanlah saudara sepupunya, Diandra hanyalah anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya yang diambil atas kebaikan hati kedua orangtua angkatnya. Tiba-tiba air mata Diandra menitik,
"Apakah kau tidak jijik berada bersamaku? Aku.... bahkan asal usulku ternyata tidak jelas, tidak tahu darimana..... pantas Reno meninggalkanku... pantas saja..." tangis Diandra pecah, tersedu-sedu.
"Sayang... sayangku." Axel meraih Diandra ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala perempuan mungil itu ke dadanya yang bidang, "Jangan berpikir seperti itu. Setiap orang picik akan selalu memandang dari mana sesorang berasa, padahal kebijaksanaan hanya akan perlu melihat ke mana seseorang melangkah, apakah ke jalan yang baik atau ke jalan yang buruk. Bagiku, darimanapun asal usulmu, kau adalah Diandraku, perempuan berjiwa kuat, perempuan dengan tawanya yang indah, perempuan baik hati yang selalu berusaha membahagiakan orang-orang yang dicintainya...." Axel mengangkat dagu Diandra, membuat wajah mereka berhadapan, "Dan juga perempuan yang kucintai." Dia lalu menunduk dan mengecup dahi Diandra dengan lembut.
***
Nana berdiri dengan ragu, menatap pintu yang sudah terkunci lama itu. Jemarinya menggenggam erat kunci pintu itu, sampai menimbulkan bekas di telapak tangannya, rasanya sakit dan menyengat tetapi bahkan Nana sudah tidak mampu merasakannya, hatinya terlalu sakit.
Dengan ragu dan perasaan perih luar biasa, Nana memasang kunci itu, dan membuka pintu ruangan itu. Aroma pengap karena ruangan yang tidak pernah dibuka lama menyemburnya, tetapi Nana tetap melangkah masuk, kemudian mengunci pintu di belakangnya.
Matanya berkelana, menatap sekeliling ruangan, seolah-olah sang waktu membawa tubuhnya ke masa-masa itu, masa-masa indahnya bersama Rangga.....
Meja dan kursi itu tetap di sana, dalam kondisinya semula menghadap ke jendela kaca yang besar, tempat Nana dan Rangga sering duduk bersama, menyesap secangkir minuman hangat dan menghitung hujan bersama.... Aromanya masih sama meskipun bercampur aroma pengap, harum kayu-kayuan dan musk yang berasal dari sisa-sisa pengharum ruangan yang masih terpasang di salah satu dinding.
Ini adalah apartemen Rangga. Tempat seluruh kebahagiaan Nana yang tertumpah bersama Rangga. Nana belum pernah kesini sekalipun setelah kematian Rangga, meskipun tempat ini diwariskan kepadanya. Dan tempat ini ditinggalkan sama seperti semula. Sama seperti ketika terakhir kalinya Rangga berangkat pergi dari sini, dan kemudian meninggal tak kembali lagi....
Air mata Nana membanjir oleh perasaan pilu yang meremas hatinya. Dia masih teringat janji Rangga di waktu itu, janji yang diucapkannya dengan sendu dan kelabu. Janji yang ternyata terus melingkupinya sampai saat ini.
"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
Tubuh Nana rubuh, ambruk ke lantai, dia jatuh berlutut dan membungkukkan tubuhnya, berguncang-guncang karena tangisan yang keras dan tak tertahankan. Sedu sedan Nana begitu keras sampai suaranya serak, menangisi janji yang ternyata selalu tertepati itu.
Jantung Rangga ternyata masih ada, masih selalu berdetak, hanya untuk Nana......
Bersambung ke Part 12
Published on May 05, 2013 21:39
Menghitung Hujan

Ternyata sesuatu yang sempurna pada akhirnya bisa terasa melelahkanTernyata sesuatu yang kukira kuat, bisa menjadi rapuh dan terlalu lemah untuk bertahan
Pantaskah untuk diperjuangkan kisahku ini?
Jika ternyata kusadari, bahwa harga sebelah jiwa...
Begitu mahalnya....
Yang dilakukan Diandra pertama kali adalah mendorong Axel keras-keras, sejauh mungkin. Napasnya terengah atas ciuman yang sama sekali tidak diduganya itu, dia menatap Axel bingung berlumur kemarahan,
"Kenapa kau lakukan itu Axel?" Diandra sendiri tak habis pikir. Oh astaga. Axel menciumnya! Itu adalah hal yang sama sekali tidak disangkanya. Axel adalah sepupunya! Saudaranya! Dari kecil mereka bersama, dan Diandra selalu menganggap Axel sebagai kakaknya. Tetapi lelaki itu barusan menciumnya, dan Diandra merasa pening yang amat sangat, Axel saudaranya bukan? Dan saudara tidak mungkin berciuman!
Diandra memundurkan langkahnya, menatap waspada ke Arah Axel, tangannya mengusap bibirnya yang masih terasa panas bekas ciuman lelaki itu.
Axel sendiri menatap Diandra dengan tatapan berlumur penyesalan, matanya meredup, ragu,
"Kau menciumku," Pipi Diandra merah padam, "Kenapa kau lakukan itu padaku? Apakah kau melecehkanku? Kita ini bersaudara. Dosa besar kalau kau melakukannya."
"Kita tidak bersaudara, bukan saudara sedarah." Axel mengucapkan kalimatnya dengan lirih dan hati-hati, menatap Diandra dalam-dalam.
Diandra tertegun. Kaget. Bukan saudara kandung? Axel jelas-jelas sepupunya, putra dari paman dan tantenya. Mereka sepupu dekat, darah mereka seperti saudara! Ataukah jangan-jangan... Axel anak angkat? memang wajah Axel yang begitu tampan seolah ada darah luar di sana membuatnya tampak sangat berbeda dengan kedua orang tuanya. Apakah benar bahwa Axel anak angkat?
"Apakah kau bukan anak kandung paman dan bibir?" Diandra menyuarakan pemikirannya. Menatap Axel dengan hati-hati. Tetapi kemudian ekspresi wajah Axel tampak kesakitan, lelaki itu seolah ingin berkata tapi menahan dirinya. Berkali-kali dia menahan napas seolah kesulitan berbicara,
"Bukan. Mereka berdua benar-benar orang tua kandungku." Mata Axel menelusuri wajah Diandra yang kebingungan.
Sementara Diandra makin tersesat dalam benang kusut itu, dia menatap Axel bingung,
"Jadi? Kenapa kita bukan saudara kandung? Apakah.... OH!" tangan Diandra menutup mulutnya ketika pemikiran itu menyeruak ke dalam benaknya, "Tidak mungkin!"
Axel tahu bahwa Diandra sudah tahu, dia meringis, berusaha mendekat dan meraih bahu Diandra, tetapi perempuan itu langsung melangkah mundur lagi, menghindari sentuhannya,
"Maafkan aku Diandra."
Mata Diandra berkaca-kaca. Axel tidak membantah. Oh Ya Tuhan? Oh Astaga? Benarkah apa yang dikemukakan oleh benaknya itu? Axel adalah anak kandung paman dan bibinya, tetapi dia dan Diandra bukan saudara sedarah..... itu berarti... Diandra bukanlah anak kandung kedua orang tuanya!
***
Reno datang ke rumah Nana dan memarkir mobilnya di sana lalu melangkah menuju teras rumah Nana, Nirina sudah ada di sana, tampak cemas, sudah hampir jam sembilan malam dan Nana belum juga pulang ke rumah. Mama Nana sendiri menunggu di ruang tamu, tampak cemas, dia ikut menyambut kedatangan Reno di depan,
"Bagaimana nak Reno, apakah Nana mungkin sudah menghubungimu? Mama berusaha menghubungi ponselnya, tetapi tidak ada yang mengangkat."
Reno menggelengkan kepalanya lesu, dia sudah mencari kemana-mana, ke toko buku tempat Nana biasana membeli buku, ke kampusnya, dan bahkan Reno ke makam Rangga, sambil membawa harapan yang sangat besar bahwa Nana akan ada di sana. Tetapi ternyata makam itu lengang, tidak ada siapa-siapa di sana. Nana tidak ke makam Rangga.
Lalu Reno dihadapkan dengan ketakutan yang amat sangat, karena dia sama sekali tidak memiliki bayangan akan keberadaan Nana sekarang.
Nana sudah mengetahui tentang jantung Rangga di dalam tubuhnya. Dia pasti sedih... dan juga kecewa pada Reno karena merasa dibohongi...
Mereka bertiga duduk di ruang tamu rumah Nana, ketiga-tiganya cemas,
Mama Nana menatap Reno dan menghela napas panjang,
"Apakah Nak Reno tahu apa penyebab Nana menghilang tiba-tiba seperti ini?"
Reno meringis perih, "Saya ada janji bertemu dengan Nana tadi siang, tetapi Nana tidak datang. Akhirnya saya menelepon Nirina menanyakan keberadaan Nana.... ternyata Nana bertemu dengan Axel di kampus."
"Kau mengenal lelaki yang bertemu dengan Nana tadi siang di kampus?" Nirina menyela tampak kaget.
Reno menghela napas panjang, lalu menganggukkan kepalanya, dia melirik mama Nana yang tampak kebingungan lalu menatap dengan pandangan mata menyesal,
"Ceritanya panjang, tetapi saya akan menceritakan rahasia ini." Reno mendesah, "Axel adalah sepupu dari mantan tunangan saya, Diandra."
Nirina dan Mama Nana saling melempar pandang ketika Reno menyebut nama mantan tunangannya itu, tetapi mereka tidak berkata apa-apa dan menatap Reno, menunggu kalimat selanjutnya.
"Axel menemui Nana untuk mengatakan sebuah rahasia yang telah saya sembunyikan sekian lama. Bukan maksud saya merahasiakannya kepada Nana, saya hanya menunggu waktu yang tepat." tatapan Reno lurus ke arah mama Nana, penuh permohonan maaf, "Sayangnya pada akhirnya Nana mengetahuinya dari orang lain, bukan dari saya...."
"Rahasia apa?" Nirina menyela, penuh ingin tahu.
Reno meletakkan jemarinya di dada kirinya, "Saya pernah sakit jantung, begitu parahnya hingga saya hanya bisa terbaring menunggu donor jantung bagi saya, ketika tidak ada donor jantung, maka kematianlah yang akan menjemput saya...." Reno menundukkan kepalanya, "Donor jantung itu akhirnya datang untuk saya... dan pendonor saya adalah.... Rangga, tunangan Nana yang sudah meninggal."
Mama Nana terkesiap, menutup mulutnya dengan jemari untuk menutupi kekagetannya, sedangkan Nirina tampak menahan napas dengan wajah shock.
"Rangga...? Rangga mendonorkan jantungnya?"
"Mungkin Rangga merahasiakan semuanya, saya tahu bahwa Rangga sama sekali tidak punya keluarga dari Nana. Yang saya tahu, Rangga sudah melakukan kesepakatan sukarela dengan pihak rumah sakit, bahwa jika terjadi sesuatu padanya, dia ingin jantungnya didonorkan kepada siapapun yang membutuhkan...."
Dan Renopun bercerita, bagaimana dia selalu memimpikan Nana bahkan sebelum dia bertemu dengan Nana. Bagaimana dia memutuskan meninggalkan tunangannya untuk mengejar Nana, perempuan yang selalu didebarkan oleh jantungnya, Bagaimana kemudian dia jatuh cinta kepada Nana, sepenuh hati dan jiwanya dan bukan hanya karena jantung itu.
"Saya mencintai Nana, dan saya tahu Nana pasti sangat membenci saya sekarang karena merahasiakan semua ini darinya, sekarang dia tahu... dan dia pasti tidak ingin menemui saya." Reno meremas rambutnya frustrasi. "Saya tidak tahu lagi di mana saya bisa menemukan Nana, semua tempat yang mungkin sudah saya datangi, bahkan sampai ke makam Rangga, tetapi Nana tidak ada..."
Secercah kesadaran tiba-tiba muncul di wajah Mama Nana, dia mengerutkan keningnya
"Mungkin ada satu tempat yang belum kamu datangi untuk mencari Nana, Reno..."
***
Diandra merasa kakinya lemas sehingga dia mundur dan terduduk di sofa itu, wajahnya pucat pasi membuat Axel cemas, dia langsung duduk di sebelah Diandra dan menggenggam tangannya, mencoba memberikan kehangatan kepada tangan Diandra yang tiba-tiba dingin seperti es - syukurlah Diandra tidak menolaknya.
"Maafkan aku harus menyakitimu seperti ini, Diandra..." Axel menatap Diandra dalam, hatinya terasa sakit melihat ada kepedihan di sana, di dalam mata Diandra ketika mengetahui kenyataan tentang dirinya. Oh ya Ampun, menyakiti Diandra adalah hal terakhir yang diinginkan Axel. Dia mencintai Diandra, yang diinginkannya hanyalah kebahagiaan perempuan itu. Tetapi untuk bisa mencintai Diandra tanpa dipersalahkan, Axel terpaksa membuka semuanya, meskipun itu mengoyak perasaan Diandra.
"Benarkah...?", Diandra mengernyitkan keningnya, "Aku bukan anak kandung mama dan papa?"
Jemari Diandra bergetar, membuat Axel menggenggamnya makin erat,
"Paman mengalami kecelakaan di masa muda sehingga tidak mampu menghasilkan keturunan..." Axel berucap dengan hati-hati, jemarinya meremas jemari Diandra dengan lembut, "Tante tidak mau melakukan program bayi tabung dari sperma lelaki lain, beliau memilih mengangkat seorang bayi perempuan dari panti asuhan. Bayi itu kau, Diandra. Dan meskipun kau bukan anak kandung mereka, kau selalu menjadi kesayangan mereka, kasih sayang yang mereka limpahkan kepadamu bahkan serupa dengan kasih sayang orang tua kandung kepada anaknya, kau sendiri menyadarinya bukan?" bisik Axel lembut, berusaha membesarkan hati Diandra.
Diandra tercenung, merasa pening tiba-tiba. Kenyataan ini tidak siap dihadapinya, dia ke Bandung untuk menenangkan diri, berusaha menguatkan hati dan membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan Reno... tetapi kenapa dia harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini? Kenapa Tuhan memberikan ujian yang begitu bertubi-tubi atas kekuatan hatinya?
"Diandra." Axel berbisik cemas ketika Diandra hanya diam saja dnegan tatapan mata kosong, "Kau tidak apa-apa?"
Diandra mengangkat matanya, menatap Axel.. saudara sepupunya... bukan. Axel bukanlah saudara sepupunya, Diandra hanyalah anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya yang diambil atas kebaikan hati kedua orangtua angkatnya. Tiba-tiba air mata Diandra menitik,
"Apakah kau tidak jijik berada bersamaku? Aku.... bahkan asal usulku ternyata tidak jelas, tidak tahu darimana..... pantas Reno meninggalkanku... pantas saja..." tangis Diandra pecah, tersedu-sedu.
"Sayang... sayangku." Axel meraih Diandra ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala perempuan mungil itu ke dadanya yang bidang, "Jangan berpikir seperti itu. Setiap orang picik akan selalu memandang dari mana sesorang berasa, padahal kebijaksanaan hanya akan perlu melihat ke mana seseorang melangkah, apakah ke jalan yang baik atau ke jalan yang buruk. Bagiku, darimanapun asal usulmu, kau adalah Diandraku, perempuan berjiwa kuat, perempuan dengan tawanya yang indah, perempuan baik hati yang selalu berusaha membahagiakan orang-orang yang dicintainya...." Axel mengangkat dagu Diandra, membuat wajah mereka berhadapan, "Dan juga perempuan yang kucintai." Dia lalu menunduk dan mengecup dahi Diandra dengan lembut.
***
Nana berdiri dengan ragu, menatap pintu yang sudah terkunci lama itu. Jemarinya menggenggam erat kunci pintu itu, sampai menimbulkan bekas di telapak tangannya, rasanya sakit dan menyengat tetapi bahkan Nana sudah tidak mampu merasakannya, hatinya terlalu sakit.
Dengan ragu dan perasaan perih luar biasa, Nana memasang kunci itu, dan membuka pintu ruangan itu. Aroma pengap karena ruangan yang tidak pernah dibuka lama menyemburnya, tetapi Nana tetap melangkah masuk, kemudian mengunci pintu di belakangnya.
Matanya berkelana, menatap sekeliling ruangan, seolah-olah sang waktu membawa tubuhnya ke masa-masa itu, masa-masa indahnya bersama Rangga.....
Meja dan kursi itu tetap di sana, dalam kondisinya semula menghadap ke jendela kaca yang besar, tempat Nana dan Rangga sering duduk bersama, menyesap secangkir minuman hangat dan menghitung hujan bersama.... Aromanya masih sama meskipun bercampur aroma pengap, harum kayu-kayuan dan musk yang berasal dari sisa-sisa pengharum ruangan yang masih terpasang di salah satu dinding.
Ini adalah apartemen Rangga. Tempat seluruh kebahagiaan Nana yang tertumpah bersama Rangga. Nana belum pernah kesini sekalipun setelah kematian Rangga, meskipun tempat ini diwariskan kepadanya. Dan tempat ini ditinggalkan sama seperti semula. Sama seperti ketika terakhir kalinya Rangga berangkat pergi dari sini, dan kemudian meninggal tak kembali lagi....
Air mata Nana membanjir oleh perasaan pilu yang meremas hatinya. Dia masih teringat janji Rangga di waktu itu, janji yang diucapkannya dengan sendu dan kelabu. Janji yang ternyata terus melingkupinya sampai saat ini.
"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
Tubuh Nana rubuh, ambruk ke lantai, dia jatuh berlutut dan membungkukkan tubuhnya, berguncang-guncang karena tangisan yang keras dan tak tertahankan. Sedu sedan Nana begitu keras sampai suaranya serak, menangisi janji yang ternyata selalu tertepati itu.
Jantung Rangga ternyata masih ada, masih selalu berdetak, hanya untuk Nana......
Bersambung ke Part 12
Published on May 05, 2013 21:39
May 1, 2013
Another 5% [ Prolog ]
Note penulis : karena Menghitung hujan sudah hampir tamat, maka dipostinglah cerita ini sebagai persiapan penggantinya. Cerita ini adalah cerita lama, dengan genre yang agak berbeda dari semua kisah santhy agatha. Semoga kalian semua tetap bisa menikmatinya yah ^__^
Bagaimana jika kau bisa mengaktifkan kekuatan otakmu hingga 95% ? Bagaimana jika kau mempunyai kekuatan hampir setara kekuatan Tuhan? Bagaimana jika kehancuran dunia ini ada dalam genggamanmu? dan bagaimana jika pilihannya adalah memiliki kekuatan tak terbatas, atau kehilangan kekasih yang sangat kau cintai?
PROLOG : ANOTHER 5%

"Aku pulang dulu sayang, nanti sore aku kembali lag.i"
Rolan memejamkan mata ketika dengan lembut Selly mengecup dahinya, seperti biasa, ketika mereka akan berpisah. dan seperti biasanya pula, Selly akan menyempatkan diri membelai seluruh wajah Rolan dengan jemarinya,
"Kau akan baik-baik saja kan kutinggalkan?"
Dengan susah payah, meskipun tersenyum adalah hal terahkir yang diinginkannya, Rolan tersenyum, demi Selly, demi kekasihnya,
"Aku akan menunggumu datang kembali nanti sore," suaranya serak dan lemah. Rolan benci itu.
Sekali lagi Selly mengecup dahinya, seolah enggan beranjak menjauh,
"Aku pasti kembali," bisiknya pelan sebelum menghilang di balik pintu ruang perawatan intensif berwarna putih itu.
Pintu yang sangat dibenci Rolan karena selalu menelan bayangan Selly, menghilang, menjauh darinya. Pintu yang menjadi satu-satunya pemandangan Rolan selama hampir 6 bulan terahkir ini. Enam bulan yang menyiksa, penuh dengan obat-obatan. kemotherapy yang menyakitkan, suntikan-suntikan tiada henti, pemeriksaan-pemeriksaan yang mengganggu, hanya untuk menemukan bahwa dia akan mati 3 bulan lagi, hanya untuk menemukan bahwa dia sudah tidak punya harapan hidup lagi. Hanya untuk menemukan bahwa kesempatannya bertahan untuk melihat dunia ini hanyalah tiga persen dari 100 orang yang menderita penyakit sama dengannya, kanker otak yang sangat ganas, kanker otak stadium ahkir.
Rolan tidak mau mati. Bukan, bukan karena dia mencintai dunia ini. Tetapi lebih karena Selly. Ya, Selly, belahan jiwanya, satu-satunya perempuan yang bisa membuat Rolan menyerahkan hatinya dengan sukarela. Rolan masih punya mimpi yang ingin diwujudkannya bersama Selly, Dia ingin mengubah dunia, dia ingin mewujudkan dunia yang indah, dunia yang penuh dengan kebaikan, dunia yang tidak hancur dan semrawut seperti sekarang. Dan itu semua demi Selly.
Dengan getir Rolan menatap langit-langit kamar di atasnya. Impian bodoh. Dia punya mimpi seluas langit di angkasa, tetapi dia terjebak dalam tubuh ini. Tubuh sialan yang lemah, yang sakit parah dan hampir mati. Tubuh yang sama sekali tidak bisa digunakan dan hanya merepotkan orang lain, bahkan merepotkan Selly, wanita yang dicintainya,wanita yang tidak meninggalkannya bahkan setelah Rolan menjadi invalid dan hanya bisa tergolek lemah dirumah sakit, sepenuhnya tergantung kepada perawatan medis yang menunjangnya. Selly tidak pernah mau meninggalkan Rolan meskipun dia memaksanya, mengancamnya, bahkan mengusirnya dengan kata-kata kasar. Sampai kemudian Rolan luluh dan menerima semuanya, Selly mencintainya, kejam sekali jika dia memaksa perempuan itu menjauh dari lelaki yang dicintainya, apalagi mereka hanya punya waktu sempit. Sebelum tubuh Rolan ini menyerah dan kalah, sebelum raga ini mati dan nyawanya terenggut, terpisahkan selamanya, tidak akan pernah bisa bertemu lagi.
Tuhan.... tanpa sadar Rolan mendesahkan nama itu, mengingat Selly selalu mengingatkannya akan Tuhan. Tetapi bukankah memang cinta selalu menghubungkan jiwa dengan Tuhan? meskipun sekarang Rolan sudah muak memohonkan kesembuhannya kepada Tuhan. Dia tahu Tuhan sudah menggariskannya, Tuhan sudah menetapkannya untuk mati. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
"Sepertinya sore ini akan hujan," suara berat itu yang baru pertama kali di dengarnya membuat Rolan menoleh kaget.
Teman sekamarnya, baru masuk kemarin malam dan langsung tertidur pulas karena pengaruh obat, sepertinya sudah bangun, menatapnya dari ranjang seberang, matanya tampak teduh, entah kenapa.
"Mungkin kita akan bersama beberapa saat," lelaki tua itu tersenyum dan sedikit menegakkan duduknya, dia tampak susah payah, tubuhnya tampak renta, tapi entah kenapa ada kekuatan yang terpancar dari dirinya,
'Mungkin, kalau saya bisa bertahan lebih lama," Rolan menjawab pelan, tidak bisa menyembunyikan nada pahit dalam suaranya.
Lelaki itu mengernyit dan berdehem,
"Kenapa? apakah kau divonis akan mati?"
Kali ini Rolan yang mengernyit mendengar kata-kata lelaki itu, Pertanyaan apa itu? Ruangan ini adalah ruangan intensiv untuk penderita kanker stadium ahkir yang sudah tidak punya harapan hidup lagi. Tentu saja dia akan segera mati, dan sepertinya lelaki tua itu juga, karena dia dimasukkan ke ruangan yang sama untuknya.
"Dalam waktu tiga bulan," jawab Rolan datar.
Lelaki tua itu terkekeh,
"Itu vonis dari dokter, manusia biasa. Mungkin Tuhan bisa berkehendak lain, siapa tahu?"
"Tuhan?" Rolan mengusap rambutnya, yang mulai menipis dan rontok karena kemoterapi tiada henti, "Saya bahkan sudah lama tidak menyebut namaNya."
"Apakah kau tidak lagi percaya padaNya?"
"Bukan", Rolan menggeleng, "Saya masih percaya, hanya saja... saya merasa percuma memohonkan mukjizat kesembuhan kepadaNya, Dia sudah pasti ingin saya segera mati."
Lelaki tua itu terkekeh lagi,
"Begitu sinis...." tiba-tiba tawanya terhenti, "Ada kalanya kita bersyukur karena kita diberi kemudahan, mati dengan mudah, mati tanpa pilihan..... daripada tak bisa mati, tak bisa mengendalikan diri, dan kemudian ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat kau cintai," suaranya berubah serak dan tampak sedih.
Rolan terdiam, mencoba menelaah kata-kata lelaki tua itu, tetapi tak bisa memahami maksudnya.
"Orang yang kaucintai....", lelaki tua itu berkata serak, "Perempuan yang barusan pergi tadi, apakah dia orang yang kau cintai?"
"Anda melihatnya?"
Senyum lelaki tua itu mengembang, seolah terkenang,
"Aku melihat cinta yang begitu dalam, kau beruntung anak muda, dicintai seperti itu."
"Ya, saya beruntung," Rolan tidak membantah, perasaan hangat membanjiri dadanya.
"Kalau saja... kalau saja kau diberi kesempatan untuk memilih....pilihannya kau bisa memilih kehidupan, demi perempuan yang kau cintai itu, tetapi kau harus menanggung konsekuensi berat di balik pilihan itu, akankah kau bersedia?"
Rolan mengernyit, makin tak mengerti akan arah pembicaraan lelaki tua teman sekamarnya itu, tetapi tak urung dia menjawab juga,
"Tentu saja, sekecil apapun kesempatannya, jika saya bisa memilih kehidupan, demi kekasih saya, saya akan memilihnya, tak peduli seberat apapun resiko yang harus saya tanggung nantinya."
"Jika pilihan pertama adalah kau mati sesuai takdirmu, tetapi dunia akan berjalan baik pada ahkirnya tanpamu, kekasihmu itu pada ahkirnya akan bahagia dengan manusia baru yang digariskan Tuhan dengannya, dunia akan berjalan sebagaimana adanya dan baik-baik saja.... Pilihan kedua adalah kau diberi kesempatan melawan takdir, kau tersembuhkan, kau bisa hidup, bisa mencintai kekasihmu, tetapi konsekuensinya, beban akan dunia ini, apakah dunia ini akan berahkir baik ataupun berahkir dalam kehancuran dibebankan di pundakmu, mana yang akan kau pilih?"
"Saya akan memilih kehidupan", Rolan menjawab mantap.
"Dengan beban akan ahkir dunia di pundakmu?"
Rolan mengangguk, tak tergoyahkan.
"Dengan konsekuensi jika kau gagal menguasai dirimu, kau akan kehilangan orang yang kaucintai?"
"Saya tidak mungkin gagal menguasai diri saya sendiri," jawab Rolan yakin.
Lelaki tua itu tersenyum. sedih.
"Muda, idealis, dan tak tergoyahkan... seperti aku dulu, sampai kekuatan tak terbatas dan kekuasaan tanpa ahkir menghancurkan semuanya... membuatku kehilangan orang-orang yang kucintai, membuatku sebatang kara dan sendirian, hanya menggenggam kehancuran," suara lelaki itu tampak makin samar, "katanya kita sebagai manusia seumur hidup hanya menggunakan 10 persen dari kekuatan otak kita."
Rolan bingung dengan perubahan topik yang tiba-tiba itu,
"Saya dengar juga begitu.” Jawabnya pelan
"Hanya menggunakan 10 persen dari kekuatan otak kita, dan manusia bisa menjadi parasit yang paling berkuasa di bumi ini, menguasai semuanya, alam, mahkluk hidup lain, menciptakan kehancuran, menciptakan senjata, merasa seperti Tuhan." Lelaki tua itu melanjutkan.
Rolan mengangguk-angguk, dan kemudian mengemukakan pendapatnya,
"Tetapi anda hanya melihat sisi negatifnya saja, dengan hanya menggunakan 10% dari kemampuan otaknya saja, manusia bisa menciptakan keindahan-keindahan yang luar biasa, patung-patung berharga, bangunan-bangunan indah, musik yang menghibur jiwa, kemajuan-kemajuan yang memudahkan....."
Lelaki tua itu terkekeh lagi,
"Memang, selalu ada sisi positif dan negatif dari semua segi," tiba-tiba tatapannya berubah tajam, "menurutmu apa yang akan terjadi kalau manusia bisa mengaktifkan sampai maksimal kinerja otaknya? katakanlah sampai 95 persen dari fungsi otaknya."
Terpana dengan pertanyaan itu, Rolan tertegun sejenak, tapi kemudian dia tersenyum, dia suka percakapan ini, akan membunuh kebosanannya menanti di kamar, sampai Selly datang nanti sore,
"Maka manusia itu akan bisa menyamai kekuatan Tuhan, begitulah yang saya baca, dia akan bisa melakukan apa saja yang dia mau, dia bisa terbang, dia bisa membaca pikiran orang lain, dia bisa memindah waktu, menggerakkan benda-benda, bahkan mungkin dia bisa menjadi penyembuh, dengan kata lain dia akan mempunyai kekuatan tidak terbatas, dia akan menjadi manusia super."
Lelaki tua itu mengangguk-angguk setuju,
"Dan menurutmu, apa yang akan terjadi kalau manusia yang terpilih untuk bisa mengaktifkan 95% kinerja otaknya itu adalah manusia dengan sifat yang jahat dan keji?"
"Maka dunia akan menuju kehancuran."
"Betul," lelaki tua itu menghela nafas panjang, "Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna, hampir menyerupai kesempurnaannya, tetapi dia memberikan pembatas itu, bukan karena dia tidak ingin manusia menyaingi kekuatanNya, tetapi lebih karena dia menyayangi ciptaanNya.... seberapapun sempurnanya manusia, meskipun kekuatannya nanti sama dengan Tuhan, tetapi dia tidak akan bisa menyerupai Tuhan, karena manusia berbeda dengan Tuhan, manusia adalah mahluk yang tercipta dengan kelemahannya, hati manusia mudah tergoda, mudah berubah, mudah terpengaruh oleh sesuatu yang jahat.... dan ketika manusia yang lemah hati ini mampu mengembangkan kekuatan yang sama dengan Tuhan, maka kehancuran adalah jawaban yang sudah pasti."
Rolan menganggukkan kepalanya tidak membantah.
"Kalau kau tiba-tiba saja tersembuhkan dari kanker otakmu, bukan hanya sembuh, tetapi kau juga diberkahi anugerah istimewa, bisa mengaktifkan sampai 95% dari kekuatan otakmu, apakah kau akan membawa dunia kepada kehancuran?"tanya lelaki tua itu.
Pikiran Rolan melayang, terbang. itulah yang pertama melintas di pikirannya, kalau dia bisa terbang, dia akan mengajak Selly terbang, duduk di atas awan yang seputih kapas, dipenuhi perasaan hangat mendengar suara tawa bahagia Selly, Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah dia bisa hidup, bersama Selly, mencintai Selly, dan mungkin bahkan dia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dunia baru bagi Selly, dunia yang indah, dan kehancuran tidak akan pernah ada dalam masa depannya.
"Saya hanya akan menciptakan keindahan dunia untuk kekasih saya, sekuat tenaga saya akan menghindarkan kehancuran dari dunia ini, dengan kekuatan yang saya punya, jika memang saya bisa memilikinya."
Lelaki tua itu tersenyum, dan wajahnya tampak begitu teduh,
"Istirahatlah nak, entah aku harus memberimu selamat atau menangisimu, entah kau ini beruntung atau sangat sial, kau akan terbangunkan sebagai manusia baru, dan semoga hatimu dikuatkan."
Suara lelaki tua itu semakin lama semakin sayup dan kehilangan kesadaran tiba-tiba menyergap bagaikan kabut yang melingkupi Rolan, menelan pertanyaan terahkir yang muncul di benak Rolan,
Bagaimana lelaki tua itu bisa tahu bahwa dia mengidap kanker otak?
***
"Rolan,"
Usapan yang sangat lembut itu, suara yang sangat dikenalnya itu lamat-lamat menusuk ketidaksadarannya, menggugahnya dari kegelapan yang menyelubunginya.
Rolan berusaha bangun, berusaha menyingkap selubung itu, merobeknya, mengembalikan kesadarannya, dan matanya terbuka.
Selly duduk di sebelah ranjangnya, dengan tatapan penuh cintanya yang biasa, tetapi entah kenapa Rolan merasa berbeda, dia merasa luar biasa, sudah lama dia tidak merasa seperti ini....
Ingatannya melayang kepada lelaki tua yang bercakap-cakap dengannya tadi, dengan segera dia menoleh ke ranjang seberang, dan terperangah ketika melihat ranjang itu kosong, rapi, seolah tidak berpenghuni sebelumnya.
"Kenapa sayang?" Selly tampak bingung melihat perubahan ekspresi Rolan,
"Lelaki tua yang disebelah.... dia pindah kemana...?" tanya Rolan gamang,
"Lelaki tua? tidak ada orang lain di kamar ini, sama seperti 6 bulan lalu, kau ditempatkan sendirian di kamar ini, sayang."
Tetapi ingatannya tentang lelaki tua itu bukan mimpi, bukan main-main, dia masih ingat setiap patah katanya. dan Rolan yakin dia dalam kondisi sadar ketika bercakap-cakap tadi, tetapi Selly juga tampak serius dengan kata-katanya...
Rolan memegang tengkuknya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya,
"Apakah aku sudah lama tertidur?"
"Dari satu jam sejak aku datang tadi, tidur pulas, seperti bayi." ada senyum dalam suara Selly.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Karena kau tampak sangat damai dan lelap sayang, sudah lama kau tidak tidur seperti itu, biasanya kau begitu gelisah... dan kesakitan." suara Selly bergetar, membayangkan kesakitan yang ditanggung Rolan dan ketidakmampuannya untuk membantu lelaki yang dicintainya, "Aku tidak mau mengganggumu."
"Aku merasa sangat sehat." Dan Rolan tidak berbohong, dia merasa seolah-olah semua kesakitannya hilang, rasa nyeri di kepalanya tidak ada lagi, tubuhnya yang lemas, kakinya yang lunglai seakan-akan begitu kokoh, kuat...
Selly tersenyum, tampak bahagia,
"Aku bisa melihatnya, dari pancaran wajahmu, dari matamu, kau memang tampak sehat."
Tetapi bukan hanya sehat. Rolan merasa sembuh. sembuh sepenuhnya. Dan bahkan terasa lebih sehat daripada yang pernah dirasakannya seumur hidupnya. Ada yang aneh dalam dirinya, ada yang berubah tetapi Rolan masih belum tahu kenapa... apakah ini berhubungan dengan percakapan tadi siang yang entah khayalan atau kenyataan itu?
Bahwa seandainya dia disembuhkan.... bahwa seandainya dia bisa mengaktifkan kekuatan otaknya hingga 95%.....
Rolan tidak berani membayangkannya. Tetapi dia memutuskan untuk menguji dirinya sendiri.... nanti kalau dia sudah sendirian
***
Sementara itu di luar kamar Rolan, seorang lelaki tampan berpakaian hitam-hitam bersandar di tembok, mendengarkan percakapan Rolan dan Selly sambil tersenyum. Dia setengah mencibir, membayangkan lelaki tua itu akhirnya menemukan penerusnya dan menyelamatkan kekuatannya.
Rolan.... lelaki itu sekarang tampak lemah dan bodoh, tetapi beberapa saat lagi dia akan menjadi lawan yang tangguh, dan dia tidak sabar menunggu saatnya tiba. Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dengan kekuatannya, dia akan bisa mengalahkan Rolan sama seperti dia bisa mengalahkan lelaki tua yang tidak berguna itu.
“Tuan Gabriel.” Seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam menyadarkannya dari lamunannya. Gabriel mengangkat alisnya, menatap pelayannya itu dengan galak.
“Ada apa? Kenapa kau menggangguku?” gumamnya tajam.
Sang pelayan tua menatap tuannya dengan gugup, “Mobil anda sudah siap, tuan.”
Gabriel mendengus lalu menegakkan tubuhnya, tanpa berkata-kata berjalan melewati lorong rumah sakit itu.
Biarkan kali ini Rolan menikmati kebersamaannya dengan Selly, sebelum Gabriel akan datang lagi dan menghancurkan Rolan, lalu merenggut Selly, dan menjadikan perempuan itu “lima persen”nya....
Bersambung ke part 1
Published on May 01, 2013 08:57
April 23, 2013
Suatu Hari di Tengah Hujan Deras

"Jangan sampai terlambat lagi." Nayla menatap Rendy dengan tatapan mata merajuk, "Kemarin aku bengong lama di halte dan sudah hampir digoda preman."
Rendy menatap Nayla menyesal, "Maafkan aku Nayla. Suer tidak akan telat jemput lagi." Dengan lucu lelaki itu menyilangkan jarinya di depan Nayla, meluruhkan seluruh kejengkelan Nayla dan membuatnya tidak bisa menahan senyum.
Rendy tersenyum juga ketika menyadari kemarahan Nayla sudah reda, "Sudah tidak marah lagi kan?"
Nayla menggelengkan kepalanya meskipun jengkel, siapa pula yang bisa marah lama-lama kepada Rendy? kekasihnya yang begitu baik hati dan lembut? Nayla tidak akan tega marah kepada Rendy lama-lama. Meskipun semalam Rendy sudah begitu keterlaluan kepadanya. Bayangkan, lelaki itu terlambat menjemputnya dua jam! Hampir dua jam Nayla menunggu sepulang dari tempat kerjanya di sebuah departement store yang buka sampai jam sembilan malam. Sebenarnya setelah satu jam menunggu, Nayla sudah hendak menghentikan taxi, tetapi kemudian dia merasa ragu dan takut, sudah jam sepuluh lebih dan dia sendirian, berita-berita tentang berbagai tindakan kriminal di atas taxi yang menimpa perempuan yang sedang sendirian terasa menakutkannya. Pada akhirnya, Nayla memutuskan untuk menunggu, sambil berusaha menghubungi telepon Randy yang tidak aktif.
Dan kemudian Randy baru muncul pukul setengah sebelas malam, dengan wajah pucat dan cemas luar biasa.
Tetapi kemudian lelaki itu datang pagi-pagi sekali keesokan harinya, dan seperti biasanya berhasil mengambil hati mamanya untuk membujuknya supaya turun dan menemui Rendy. Dan seperti biasanya, Rendy berhasil meluluhkan hatinya, mereka berbaikan lagi.
Dan pagi itu ketika Rendy mengantarkannya ke tempat kerjanya seperti biasanya, Nayla berkali-kali berpesan kepada Rendy supaya jangan terlambat datang.
"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.
Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?" dia terkekeh, seperti biasa menganggap remeh ancaman Nayla karena tidak pernah terwujud. Nayla tidak mungkin marah lama-lama kepada Rendy. Cinta Nayla begitu besar kepada lelaki itu, begitupun sebaliknya, meskipun Rendy kadang teledor dan terlalu cuek karena pembawaannya memang begitu.
"Selamanya." Nayla berusaha serius, menatap Rendy dengan tatapan tajam, "Malam ini kesempatan terakhirmu."
Rendy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum meluluhkan hati, "Oke tuan puteri, aku akan menunggu di sini nanti malam, bahkan sebelum kau keluar dari tempat kerjamu."
***
Ternyata omongan lelaki memang tidak bisa dipegang. Nayla menggigit bibirnya yang gemetar, menahankan tangisannya. Hujan turun dengan derasnya mengguyur tubuhnya, tetapi Nayla tidak peduli. Dia tetap berdiri di pinggir jalan, menatap ujung jalan yang lengang karena orang yang dinantinya tak kunjung datang. Dan Nayla terlalu marah untuk berteduh, pikiran bawah sadarnya menyuruhnya untuk membiarkan dirinya kehujanan, syukur-syukur dia sakit keesokan harinya, jadi dia bisa menyalahkan Rendy dan membuat lelaki itu benar-benar menyesal esok pagi.
Teganya Rendy! Malam ini dia membuat Nayla menunggu lagi, bahkan ini sudah lebih dari dua jam lamanya Nayla menunggu, hampir sama seperti kemarin. Nayla berusaha menghubungi ponsel Rendy, tetapi ponsel itu tidak aktif, hal itu benar-benar membuat Nayla marah, Rendy pasti ketiduran seperti semalam!
Oh astaga! Lama-lama kesabaran Nayla habis kalau harus terus-terusan menghadapi keteledoran dan ketidakpedulian lelaki itu. Nayla sudah berusaha bersabar selama ini, tetapi dia sudah tidak tahan lagi, apalagi sama sekali tidak tampak ada niat dari Rendy untuk berubah.
Dengan penuh emosi, dia menundukkan kepalanya, melindungi ponselnya dari guyuran hujan yang menerpa kepalanya,
== Kau memang jahat! Lelaki paling jahat dan paling tidak pedulian di dunia! Aku benci kamu! Benci sekali! Kita putus! Aku bahagia tidak usah bertemu denganmu lagi selamanya! ==
Kemudian Nayla menekan tombol sent dan menggeram kesal karena pesannya pending. Yah setidaknya lelaki itu akan membacanya ketika bangun nanti, dan Nayla bertekad tidak akan menyerah kepada permintaan maaf Rendy lagi. Cukup sudah! Kesabaran manusia ada batasnya!
Setelah mengirimkan sms itu, Nayla berjalan menembus hujan berusaha mencari taxi. Sampai kemudian dia melihat sebuah mobil mendekat, dia mengenali mobil itu. Itu mobil orangtua Rendy, kenapa Rendy datang memakai mobil? biasanya lelaki itu akan menjemputnya dengan motor kesayangannya.
Tetapi bagaimanapun juga, tidak akan ada maaf untuk lelaki itu. Enak saja datang menjemputnya setelah terlambat dua jam dan membiarkannya kehujanan!
Nayla sudah bersiap untuk menyemprot Rendy dengan kemarahannya, ketika mobil itu berhenti di depannya, pintu terbuka dan yang keluar bukanlah Rendy melainkan Kak Aldo, kakak Rendy.
"Kak Aldo?" semua kata-kata yang hendak tertumpah dari mulut Nayla terhenti seketika, dia menatap kak Aldo dengan kebingungan, kenapa malahan kak Aldo yang datang kemari? dimana Rendy?
"Nayla." Kak Aldo menatap Nayla dengan tatapan sedih, matanya berkaca-kaca, "Maafkan aku baru menjemputmu, aku... aku baru tahu kalau kau menunggu Rendy di sini."
"Maksud kakak?" Nayla kebingungan, tiba-tiba sebuah firasat menyergapnya, "Dimana Rendy?"
"Rendy mengalami kecelakaan tiga jam lalu Nayla... kami semua menungguinya di rumah sakit, dia sempat sadar sejenak dan kata-kata terakhirnya adalah "Menjemput Nayla.", aku baru menyadari bahwa sebelum kecelakaan, dia sedang dalam perjalanan menjemputmu."
Kaki Nayla berusaha bergetar, dia mencoba menelaah penjelasan kak Aldo, "Maksud kak Aldo?" Apa maksud kak Aldo dengan 'kata-kata terakhir'? apakah.....tidak! Nayla menggelengkan kepalanya, "Apakah Rendy ada di rumah sakit?"
Aldo menatap Nayla dengan pedih, menyadari bahwa dia akan menghancurkan hati Nayla... kekasih adiknya.
"Rendy sudah meninggal Nayla.... kami sudah mengambil jenazahnya dari rumah sakit, untuk diistirahatkan di rumah sebelum dimakamkan besok." Lelaki itu dengan sigap menahan pundak Nayla yang mulai limbung, hujan deras masih mengguyur tubuh mereka, tetapi mereka berdua bahkan tidak memperhatikannya, "Ayo Nayla." Aldo bergumam lembut sekali lagi ketika Nayla hanya berdiri di sana dengan wajah shock dan pucat pasi, "Kita pulang ke rumah. Aku sudah menghubungi ayah dan ibumu, mereka juga ada di sana, ayo kita mendoakan Rendy sama-sama."
Seketika itu juga, Nayla kehilangan ketegarannya dan air matanya mengalir, jebol bagaikan air bah. Hatinya hancur berkeping-keping dan penyesalan menyeruak ke dalam jiwanya yang perih, Nayla mengingat sms kasar yang barusan dikirimkannya di saat mungkin kekasihnya sedang meregang nyawa....di saat kata-kata terakhir kekasihnya adalah ingin menjemputnya.....
Rendy tidak terlambat menjemputnya malam ini, kekasihnya menepati janji.
Oh Astaga... Rendy... Rendynya... kekasihnya yang baik hati telah tiada untuk selamanya.....
Tubuh Nayla langsung limbung jatuh tak sadarkan diri.
Masih teringat jelas di benak Nayla percakapan mereka tadi pagi....
"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.
Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?"
Ternyata memang selamanya......
END
Published on April 23, 2013 09:51
Suatu hari di tengah hujan deras

"Jangan sampai terlambat lagi." Nayla menatap Rendy dengan tatapan mata merajuk, "Kemarin aku bengong lama di halte dan sudah hampir digoda preman."
Rendy menatap Nayla menyesal, "Maafkan aku Nayla. Suer tidak akan telat jemput lagi." Dengan lucu lelaki itu menyilangkan jarinya di depan Nayla, meluruhkan seluruh kejengkelan Nayla dan membuatnya tidak bisa menahan senyum.
Rendy tersenyum juga ketika menyadari kemarahan Nayla sudah reda, "Sudah tidak marah lagi kan?"
Nayla menggelengkan kepalanya meskipun jengkel, siapa pula yang bisa marah lama-lama kepada Rendy? kekasihnya yang begitu baik hati dan lembut? Nayla tidak akan tega marah kepada Rendy lama-lama. Meskipun semalam Rendy sudah begitu keterlaluan kepadanya. Bayangkan, lelaki itu terlamabat menjemputnya dua jam! Hampir dua jam Nayla menunggu sepulang dari tempat kerjanya di sebuah departement store yang buka sampai jam sembilan malam. Sebenarnya setelah satu jam menunggu, Nayla sudah hendak menghentikan taxi, tetapi kemudian dia merasa ragu dan takut, sudah jam sepuluh lebih dan dia sendirian, berita-berita tentang berbagai tindakan kriminal di atas taxi yang menimpa perempuan yang sedang sendirian terasa menakutkannya. Pada akhirnya, Nayla memutuskan untuk menunggu, sambil berusaha menghubungi telepon Randy yang tidak aktif.
Dan kemudian Randy baru muncul pukul setengah sebelas malam, dengan wajah pucat dan cemas luar biasa.
Tetapi kemudian lelaki itu datang pagi-pagi sekali keesokan harinya, dan seperti biasanya berhasil mengambil hati mamanya untuk membujuknya supaya turun dan menemui Rendy. Dan seperti biasanya, Rendy berhasil meluluhkan hatinya, mereka berbaikan lagi.
Dan pagi itu ketika Rendy mengantarkannya ke tempat kerjanya seperti biasanya, Nayla berkali-kali berpesan kepada Rendy supaya jangan terlambat datang.
"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.
Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?" dia terkekeh, seperti biasa menganggap remeh ancaman Nayla karena tidak pernah terwujud. Nayla tidak mungkin marah lama-lama kepada Rendy. Cinta Nayla begitu besar kepada lelaki itu, begitupun sebaliknya, meskipun Rendy kadang teledor dan terlalu cuek karena pembawaannya memang begitu.
"Selamanya." Nayla berusaha serius, menatap Rendy dengan tatapan tajam, "Malam ini kesempatan terakhirmu."
Rendy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum meluluhkan hati, "Oke tuan puteri, aku akan menunggu di sini nanti malam, bahkan sebelum kau keluar dari tempat kerjamu."
***
Ternyata omongan lelaki memang tidak bisa dipegang. Nayla menggigit bibirnya yang gemetar, menahankan tangisannya. Hujan turun dengan derasnya mengguyur tubuhnya, tetapi Nayla tidak peduli. Dia tetap berdiri di pinggir jalan, menatap ujung jalan yang lengang karena orang yang dinantinya tak kunjung datang. Dan Nayla terlalu marah untuk berteduh, pikiran bawah sadarnya menyuruhnya untuk membiarkan dirinya kehujanan, syukur-syukur dia sakit keesokan harinya, jadi dia bisa menyalahkan Rendy dan membuat lelaki itu benar-benar menyesal esok pagi.
Teganya Rendy! Malam ini dia membuat Nayla menunggu lagi, bahkan ini sudah lebih dari dua jam lamanya Nayla menunggu, hampir sama seperti kemarin. Nayla berusaha menghubungi ponsel Rendy, tetapi ponsel itu tidak aktif, hal itu benar-benar membuat Nayla marah, Rendy pasti ketiduran seperti semalam!
Oh astaga! Lama-lama kesabaran Nayla habis kalau harus terus-terusan menghadapi keteledoran dan ketidakpedulian lelaki itu. Nayla sudah berusaha bersabar selama ini, tetapi dia sudah tidak tahan lagi, apalagi sama sekali tidak tampak ada niat dari Rendy untuk berubah.
Dengan penuh emosi, dia menundukkan kepalanya, melindungi ponselnya dari guyuran hujan yang menerpa kepalanya,
= Kau memang jahat! Lelaki paling jahat dan paling tidak pedulian di dunia! Aku benci kamu! Benci sekali! Kita putus. Aku bahagia tidak usah bertemu denganmu lagi selamanya! ==
Kemudian Nayla menekan tombol sent dan menggeram kesal karena pesannya pending. Yah setidaknya setelah lelaki itu akan membacanya ketika bangun nanti, dan Nayla bertekad tidak akan menyerah kepada permintaan maaf Rendy lagi. Cukup sudah! Kesabaran manusia ada batasnya!
Setelah mengirimkan sms itu, Nayla berjalan menembus hujan berusaha mencari taxi. Sampai kemudian dia melihat sebuah mobil mendekat, dia mengenali mobil itu. Itu mobil orangtua Rendy, kenapa Rendy datang memakai mobil? biasanya lelaki itu akan menjemputnya dengan motor kesayangannya.
Tetapi bagaimanapun juga, tidak akan ada maaf untuk lelaki itu. Enak saja datang menjemputnya setelah terlambat dua jam dan membiarkannya kehujanan!
Nayla sudah bersiap untuk menyemprot Rendy dengan kemarahannya, ketika mobil itu berhenti di depannya, pintu terbuka dan yang keluar bukanlah Rendy melainkan Kak Aldo, kakak Rendy.
"Kak Aldo?" semua kata-kata yang hendak tertumpah dari mulut Nayla terhenti seketika, dia menatap kak Aldo dengan kebingungan, kenapa malahan kak Aldo yang datang kemari? dimana Rendy?
"Nayla." Kak Aldo menatap Nayla dengan tatapan sedih, matanya berkaca-kaca, "Maafkan aku baru menjemputmu, aku... aku baru tahu kalau kau menunggu Rendy di sini."
"Maksud kakak?" Nayla kebingungan, tiba-tiba sebuah firasat menyergapnya, "Dimana Rendy?"
"Rendy mengalami kecelakaan tiga jam lalu Nayla... kami semua menungguinya di rumah sakit, dia sempat sadar sejenak dan kata-kata terakhirnya adalah "Menjemput Nayla.", aku baru menyadari bahwa sebelum kecelakaan, dia sedang dalam perjalanan menjemputmu."
Kaki Nayla berusaha bergetar, dia mencoba menelaah penjelasan kak Aldo, "Maksud kak Aldo?" Apa maksud kak Aldo dengan 'kata-kata terakhir'? apakah.....tidak! Nayla menggelengkan kepalanya, "Apakah Rendy ada di rumah sakit?"
Aldo menatap Nayla dengan pedih, menyadari bahwa dia akan menghancurkan hati Nayla... kekasih adiknya.
"Rendy sudah meninggal Nayla.... kami sudah mengambil jenazahnya dari rumah sakit, untuk diistirahatkan di rumah sebelum dimakamkan besok." Lelaki itu dengan sigap menahan pundak Nayla yang mulai limbung, hujan deras masih mengguyur tubuh mereka, tetapi mereka berdua bahkan tidak memperhatikannya, "Ayo Nayla." Aldo bergumam lembut sekali lagi ketika Nayla hanya berdiri di sana dengan wajah shock dan pucat pasi, "Kita pulang ke rumah. Aku sudah menghubungi ayah dan ibumu, mereka juga ada di sana, ayo kita mendoakan Rendy sama-sama."
Seketika itu juga, Nayla kehilangan ketegarannya dan air matanya mengalir, jebol bagaikan air bah. Hatinya hancur berkeping-keping dan penyesalan menyeruak ke dalam jiwanya yang perih, Nayla mengingat sms kasar yang barusan dikirimkannya di saat mungkin kekasihnya sedang meregang nyawa....di saat kata-kata terakhir kekasihnya adalah ingin menjemputnya.....
Rendy tidak terlambat menjemputnya malam ini, kekasihnya menepati janji.
Oh Astaga... Rendy... Rendynya... kekasihnya yang baik hati telah tiada untuk selamanya.....
Tubuh Nayla langsung limbung jatuh tak sadarkan diri.
Masih teringat jelas di benak Nayla percakapan mereka tadi pagi....
"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.
Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?"
Ternyata memang selamanya......
END
Published on April 23, 2013 09:51
April 22, 2013
Permohonan Terakhir

Malam mengalun lembut dan kegelapan mulai merasuki mimpi setiap orang. Aku mulai keluar dari persembunyianku dan berjalan dalam keheningan, menjaga langkahku sehalus mungkin hingga seolah melayang. Tatapanku menerawang, mengintip wajah-wajah polos yang tenggelam dalam tidurnya, lelah setelah menikmati cahaya terang.
Duniaku tentu saja berbeda dengan mereka, duniaku gelap dan pekat, tak ada cahaya. Kadangkala dalam kesepianku aku merindukan masa-masa itu, dimana aku bisa menikmati indahnya surga, yang penuh dengan alunan musik lembut menenangkan hati. Bahkan kadangkala jika aku memejamkan mata dan berusaha, masih bisa kunikmati aroma manis dan harum itu, aroma nirwana, tempat mereka yang beruntung bisa menari dan berbahagia selamanya.
Sekarang.... yang selalu kudengarkan hanyalah jeritan roh yang tercabik-cabik, dan kesakitan jiwa-jiwa yang dihukum.....mereka semua kotor... sekotor aku.
Malam ini tugasku menemui anak perempuan itu. Akhirnya. Hanya satu kata itu yang terucap dalam benakku ketika membaca daftar itu, hari ini jadwalku cuma satu nama. Malam ini aku harus berusaha cepat dan rapi seperti biasanya. Mungkin hal ini tidak sesulit yang kubayangkan.
Aku menelusuri lorong rumah sakit yang dingin dan senyap, dan kemudian aku melihat anak perempuan itu, dia terbaring dengan pucat dan membisu di atas ranjang rumah sakit. Penyakit kanker telah menggerogotinya begitu lama hingga dia menjadi terlalu rapuh untuk hidup.
Aku berdiri di ambang pintu, sejenak meragu. Tetapi entah karena aku bersuara, atau karena hembusan angin, anak perempuan itu tiba-tiba membuka matanya, dan menoleh, tatapannya terpaku kepadaku, dan tiba-tiba senyuman manis muncul di bibirnya.
Apakah senyuman itu untukku? Aku meragu, Meskipun tiba-tiba kurasakan semangat meluap-luap mengaliri tubuhku, semangat yang telah lama kukira hilang dan meninggalkanku.
"Hai... akhirnya kau datang juga." Sapanya ramah
Aku mengernyit, lalu melangkah masuk tanpa suara, berdiri di tepi ranjangnya,
"Kau tahu aku akan datang?"
Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya,
"Aku sudah lama menunggu-nunggumu." lalu dia tercenung dengan sedih, "Aku sudah berusaha kuat begitu lama, demi mama dan papa, tetapi ternyata ragaku tidak sekuat tekadku, ragaku sudah ingin menyerah...." suaranya bergetar, "Mungkin memang sudah saatnya aku menyerah."
"Apakah kau sudah siap menyerah?"
"Tidak pernah ada yang siap bukan?" tatapanya semakin sedih dibalik senyumannya, lalu dia memejamkan matanya, pasrah.
Aku termenung menatapnya. Tertahan. Kubayangkan masa dulu ketika aku menunggunya terlahir ke dunia ini. Betapa bahagianya aku dulu ketika Sang Maha Bijaksana menugaskan aku menjadi malaikat pelindungnya. Aku dengan sayapku yang putih dan lebar ini menjaganya dengan sekuat hati.... Sampai kemudian aku melakukan hal terlarang yang tidak boleh dilakukan oleh seorang malaikat pelindung. Aku jatuh cinta kepada anak perempuan itu.
Konsekuensi harus diterima, sayapku dilepas dan ketampananku dihapuskan, seluruh kesempurnaan ragawiku dicabut, berganti dengan wajah tengkorak, jubah hitam panjang yang kelam, dan sebuah tongkat sabit yang mengerikan. Kekelaman selalu mengikutiku sejak saat itu, menggerogoti hatiku sampai aku merasa sudah tak punya hati.
Dan ternyata hukumanku belum cukup. Aku tersenyum sinis. Apakah ini sebuah ujian bagiku? Kenapa aku ditugaskan mencabut nyawanya, lalu melemparkan rohnya ke dalam dunia gelap yang tak tertahankan? ini tidak adil baginya. Dia tidak berdosa.
Aku letakkan sabitku, dan benda itu tiba-tiba melebur, berubah menjadi asap dan menghilang. Kutundukkan tubuhku dan kukecup keningnya lembut, matanya masih terpejam dan aku senang seperti itu. Tak sedetikpun aku tega membiarkannya menatap wajah tengkorakku yang mengerikan terlalu dekat.
"Kau akan diselamatkan." bisikku parau. Lalu tanpa melihat reaksinya lagi, aku berbalik arah, melanggar tugasku dan menerima konsekuensi kedua yang sudah pasti akan kuterima. Seorang malaikat pencabut nyawa tidak boleh gagal, karena ketika dia gagal, maka seluruh suratan takdir akan berubah. Hukumannya berat, api akan membakar tubuhku. Neraka selamanya.
"Tak apa, asal Kau selamatkan dia." bisikku sebelum ragaku habis ditelan api. Memohonkan sebuah permohonan terakhir kepada Sang Maha Bijaksana yang aku tahu sedang mengamatiku dari atas.
...Dan kubayangkan betapa bahagianya orang tua anak perempuan itu ketika menemukan bahwa besok pagi, anak perempuan itu sudah sembuh sempurna. Kubuang kesedihanku karena tak sempat melihat anak perempuan itu menemukan cinta sejatinya, menimang buah hatinya yang aku yakin akan secantik dirinya, dan kemudian hidup bahagia selama-lamanya.....
END
Published on April 22, 2013 08:21
April 20, 2013
OPEN PO FOR NEW BOOK
deaar untuk 3 buku terbaru sudah mulai open PO yah :))
dear bisa pesen di onlineshop FB, di Fanpage Santhy Agatha di Facebook, atau pesen langsung via emailku : demondevile@gmail.com
Sertakan format Po :
Nama : .............
Alamat : .............
No HP : .............
Pesanan : ...........
Ada diskon khusus untuk 30 orang yang PO pertama ^____^V
Waktu PO dibuka tanggal 20 April sd 30 April 10 Hari
Buku akan dinaikkan PO tanggal 1 Mei 2013
Proses buku 10 hari kerja ( hari libur, sabtu dan minggu tidak dihitung karena kantor percetakan libur)
Dating With The Dark
harga resmi nulisbuku : Rp. 60.000
+- 255 halaman
Andrea mempunyai trauma masa lalu, kecelakaan yang dialaminya yang menewaskan ayahnya membuatnya selalu dibayangi oleh ketakutan dan teror. Tetapi dengan bantuan psikiaternya dia berhasil melewati rasa trauma itu dan melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Andrea ingin hidup normal, mengalami kisah cinta romantis seperti dalam novel, dan harapan itu mulai nyata dengan hadirnya Eric dalam kehidupannya.Tetapi ternyata semuanya tidak bisa diraihnya semudah itu.Lilin-lilin berwarna biru, dengan susunan rapi dan jumlah yang spesifik, sembilan buah. Mengirimkan pesan kepadanya, pesan yang tak mampu dicerna oleh logikanya, tetapi mampu menohok alam bawah sadarnya, mengirimkan teror yang lebih menakutkan daripada apa yang pernah dialami Andrea sebelumnyaDan kemudian... akankah Andrea mampu memberanikan diri menerima pesan dari sang kegelapan yang ternyata selalu mengintainya?
Crush In Rushharga resmi nulisbuku : Rp. 45.000+180 halaman
dua anak manusia yang seharusnya tidak pernah bersinggungan dalam perputaran dunia ini, dipertemukan oleh suratan takdir yan penuh sandiwara dan rencana.Kiara dan Joshua seharusnya tidak pernah bertemu, mereka ada di dua dunia yang berbeda sebelumnya Joshua merasa nyaman dengan kesendiriannya dan Kiara sibuk dengan masa lalunya yang kelam.Tetapi ketika takdir berkehendak, mereka tidak bisa menghindardan kemudian, Joshua mengambil kesempatannya bersama Kiara untuk menyusun sebuah sandiwara kejam, demi membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menyakitinya
Menghitung HujanHarga resmi nulisbuku : 45.000+- 180 halaman
Bagaimana jika jantungmu berdetak hanya untuk satu perempuan? Bagaimana jika jantungmu tetap setia bahkan ketika raga berganti?Reno tidak pernah menduga bahwa Nana akan hadir dalam kehidupannya, bahwa dia akan mencintai Nana sedalam itu, bahwa jantungnya akan terus memanggil-manggil nama Nana...Jadi, apa yang akan Reno lakukan? Melanjutkan masa depan indahnya yang sudah terencana bersama Diandra, ataukah berbalik arah dan mengejar Nana, sosok yang selalu dipuja oleh debaran jantungnya?Menghitung hujan akan membuatmu berpuisi juga merenungkan makna cinta sejati
PS :untuk PO passionate of love (Arsas,swtd,uh ftds ) dan Colorful of Love juga masih dibuka yah dear
ada diskon khusus juga ^__^ cara POnya sama email aja ke demondevile@gmail.com
dear bisa pesen di onlineshop FB, di Fanpage Santhy Agatha di Facebook, atau pesen langsung via emailku : demondevile@gmail.com
Sertakan format Po :
Nama : .............
Alamat : .............
No HP : .............
Pesanan : ...........
Ada diskon khusus untuk 30 orang yang PO pertama ^____^V
Waktu PO dibuka tanggal 20 April sd 30 April 10 Hari
Buku akan dinaikkan PO tanggal 1 Mei 2013
Proses buku 10 hari kerja ( hari libur, sabtu dan minggu tidak dihitung karena kantor percetakan libur)

Dating With The Dark
harga resmi nulisbuku : Rp. 60.000
+- 255 halaman
Andrea mempunyai trauma masa lalu, kecelakaan yang dialaminya yang menewaskan ayahnya membuatnya selalu dibayangi oleh ketakutan dan teror. Tetapi dengan bantuan psikiaternya dia berhasil melewati rasa trauma itu dan melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Andrea ingin hidup normal, mengalami kisah cinta romantis seperti dalam novel, dan harapan itu mulai nyata dengan hadirnya Eric dalam kehidupannya.Tetapi ternyata semuanya tidak bisa diraihnya semudah itu.Lilin-lilin berwarna biru, dengan susunan rapi dan jumlah yang spesifik, sembilan buah. Mengirimkan pesan kepadanya, pesan yang tak mampu dicerna oleh logikanya, tetapi mampu menohok alam bawah sadarnya, mengirimkan teror yang lebih menakutkan daripada apa yang pernah dialami Andrea sebelumnyaDan kemudian... akankah Andrea mampu memberanikan diri menerima pesan dari sang kegelapan yang ternyata selalu mengintainya?

Crush In Rushharga resmi nulisbuku : Rp. 45.000+180 halaman
dua anak manusia yang seharusnya tidak pernah bersinggungan dalam perputaran dunia ini, dipertemukan oleh suratan takdir yan penuh sandiwara dan rencana.Kiara dan Joshua seharusnya tidak pernah bertemu, mereka ada di dua dunia yang berbeda sebelumnya Joshua merasa nyaman dengan kesendiriannya dan Kiara sibuk dengan masa lalunya yang kelam.Tetapi ketika takdir berkehendak, mereka tidak bisa menghindardan kemudian, Joshua mengambil kesempatannya bersama Kiara untuk menyusun sebuah sandiwara kejam, demi membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menyakitinya

Menghitung HujanHarga resmi nulisbuku : 45.000+- 180 halaman
Bagaimana jika jantungmu berdetak hanya untuk satu perempuan? Bagaimana jika jantungmu tetap setia bahkan ketika raga berganti?Reno tidak pernah menduga bahwa Nana akan hadir dalam kehidupannya, bahwa dia akan mencintai Nana sedalam itu, bahwa jantungnya akan terus memanggil-manggil nama Nana...Jadi, apa yang akan Reno lakukan? Melanjutkan masa depan indahnya yang sudah terencana bersama Diandra, ataukah berbalik arah dan mengejar Nana, sosok yang selalu dipuja oleh debaran jantungnya?Menghitung hujan akan membuatmu berpuisi juga merenungkan makna cinta sejati
PS :untuk PO passionate of love (Arsas,swtd,uh ftds ) dan Colorful of Love juga masih dibuka yah dear
ada diskon khusus juga ^__^ cara POnya sama email aja ke demondevile@gmail.com
Published on April 20, 2013 07:35
April 19, 2013
Menghitung Hujan part 10

PS : Untuk Dilla, Admin FP di facebook yang saat ini sedang menunggui sang papa yang sedang sakit di rumah sakit, tetap semangat sayang, tabah dan semoga Allah memberikan kesembuhan, kudoakan selalu.
"Tentang Reno dan Diandra?" Nana mengernyitkan keningnya. Siapa itu Diandra? Nana berusaha mengorek-korek ingatannya tetapi dia tetap tidak menemukan ingatannya tentang seseorang bernama Diandra.
Axel menjawab dengan cepat, "Diandra... yang kemarin kita bertemu di depan Cascade."
Nana mengedipkan matanya, "Diandra.. maksudmu Dian?""Kalau begitu, Reno dan Diandra..... apakah maksudmu Reno mengenal Diandra?" Nana mengernyitkan keningnya. Kalau begitu kenapa kemarin Dian dan Reno bersikap tidak saling kenal? bahkan sepanjang ingatan Nana, mereka bukan hanya tidak saling menatap, tetapi juga tidak saling menyapa. Sampai kemudian setelah mereka pergipun, Reno sama sekali tidak mengindikasikan bahwa dia mengenal Diandra.....
Nana mengalihkan pandangannya dan menatap Axel dengan bingung. Lelaki ini tidak dikenalnya, datang menemuinya ingin menjelaskan tentang Reno dan Diandra, dari kesimpulan cepat Nana, mungkinkah lelaki ini adalah kekasih Diandra?
"Ceritanya sedikit kompleks dan panjang, bisa aku minta waktu Nana? mungkin kita bisa duduk di suatu tempat?"
Nana menatap Axel, penampilan lelaki ini tampaknya tidak mencurigakan, tetapi bagaimanapun juga Nana tidak kenal dengan Alex, apalagi penjahat-penjahat sekarang malahan kebanyakan berpenampilan meyakinkan agar tidak dicurigai.'
"Nana?" teguran Axel itu mengagetkan Nana dari lamunan liarnya, membuat pipinya memerah malu ketika menyadari bahwa dia melamun di depan Axel.
Dengan cepat, Nana mengambil keputusan paling aman.
"Kita bisa berbicara sambil duduk di kantin kampus."
***
Kantin kampus sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk melakukan pembicaraan serius karena suasananya biasanya ramai. Tetapi untunglah, karena menjelang jam pulang kampus, suasana kantin agak sedikit lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk mengobrol dengan tenang di berbagai sudut. Dan tempat ini merupakan tempat ideal bagi Nana karena tempat umum yang banyak orang merupakan tempat yang paling aman ketika berbicara dengan orang yang baru dikenalnya ini.
Mereka memilih duduk di sebuah sudut yang nyaman, cukup ada privasi untuk bercakap-cakap tapi tetap bisa dilihat dan melihat orang banyak. Pelayan menawarkan menu dan Axel memesan minuman jeruk sementara Nana memesan kopi kesukaannya. Axel mengangkat alis melihat pesanan Nana,
"Kopi siang-siang?" tanyanya penuh arti sambil tersenyum.
Nana membalas senyuman Axel. "Aku belum minum kopi hari ini. Biasanya sehari satu mug."
Axel terkekeh mendengarnya. Dia menatap Nana dan menyadari bahwa perempuan di depannya ini adalah perempuan yang menyenangkan. Seandainya tidak ada konlik yang melibatkan Diandra yang sangat disayanginya, mungkin mereka bisa berteman. Sekarang Axel didera perasaan bersalah karena harus mengungkapkan kenyataan.... kenyataan yang mungkin akan menyakiti hati Nana.
"Jadi?" Nana memandang Axel karena tampaknya lelaki itu malahan tercenung dan tampak ragu, "Ingin bicara tentang apa?"
Axel tergeragap, lalu menghela napas panjang.
"Sebelumnya aku minta maaf karena membahas kehidupan personal. Tetapi karena ini menyangkut Diandra... dia sepupuku dan aku sangat menyayanginya..."
Jadi Diandra adalah sepupunya. Nana mengerutkan keningnya, sayang sekali, karena ketika mereka berjalan bersama kemarin, mereka tampak sangat serasi.
"Mungkin hal yang kuberitahukan kepadamu ini akan mengejutkanmu. Tetapi aku harus mengatakannya. Ini tentang Reno.... kulihat kau akrab dengannya."
Pipi Nana memerah, dia tidak menjawab, tapi Axel tahu ada tatapan berbinar penuh cinta di sana ketika Axel menyebut nama Reno.
"Apakah kau tahu bahwa Reno pernah punya tunangan sebelumnya?" Axel bertanya hati-hati.
Nana mengerutkan kening, langsung teringat akan telepon aneh dari perempuan yang mengatakan bahwa dirinya adalah ibu Reno dan mengajak bertemu, mengatakan tentang Reno dan tunangannya... perempuan itu tidak muncul pada janji temu mereka, dan Reno mengatakan supaya Nana tidak usah memikirkannya lagi....
"Aku tahu, Reno menceritakan kepadaku bahwa dia sudah putus dengan tunangannya sebelum dia pindah ke Bandung."
Tatapan Axel makin intens, "Apakah kau tahu apa alasan Reno meninggalkan tunangannya?"
"Itu bukan urusanku kan?" Nana mulai merasa tidak nyaman. Apa yang menjadi permasalahan Reno sebelumnya dengan tunangannya bukanlah urusan Nana.... apalagi Nana baru bertemu dengan Reno setelah lelaki itu putus dengan tunangannya - seperti yang dijelaskan Reno kepadanya. Reno tampak enggan mengungkit-ungkit masa lalunya itu, dan Nana merasa tahu diri serta tidak mau bertanya-tanya.
"Mungkin kau merasa bahwa itu bukan urusanmu, tetapi sebenarnya itu terkait erat denganmu Nana, amat sangat terkait."
Apa maksudmu?" Nana semakin bingung, "Reno mengenalku setelah dia pindah ke Bandung, jauh setelah dia putus dengan tunangannya, aku tidak ada hubungannya dengan permasalahan Reno dan tunangannya."
"Ada hubungannya. Reno memutuskan pertunangannya karena dirimu, Nana."
"Karena aku? Tidak mungkin, bagaimana bisa...." Nana mulai membantah.
"Dengarkan aku dulu, biarkan aku menjelaskan..." Axel menyela sebelum Nana sempat berkata lain. Setelah Nana terdiam dan tampaknya mau menjelaskan, Axel memulai, "Tunangan Reno.... atau mungkin mantan tunangan Reno adalah Diandra."
Nana terperanjat, "Apa?"
"Ya..." Axel tersenyum tipis, "Dia sepupuku, aku sangat menyayanginya, bahkan ketika aku tidak setuju akan keputusan yang diambilnya untuk datang ke Bandung dan mengejar Reno."
"Mengejar Reno?" Nana mulai membeo setiap perkataan Axel, semua informasi ini terlalu mendadak dan bertumpuk-tumpuk di benaknya, membuat dadanya sesak.
"Aku mengerti kau bingung, aku akan menjelaskannya dari awal." Axel menghela napas panjang, "Dulu kondisi Reno sangat lemah... sejak kecil dia menderita kelainan katup jantung... hidupnya hampir sebagian besar dihabiskan di rumah sakit...... melalui operasi demi operasi, sampai akhinya dokter mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi, Reno harus melakukan operasi cangkok jantung untuk menyelamatkan hidupnya." tatapan Axel tampak sedih, "Diandra adalah teman masa kecil Reno... mereka... mereka saling mencintai. Hanya Diandra tempat Reno menyandarkan diri, dan semenjak dulu Diandra menempatkan dirinya sebagai penopang Reno...dia bahkan tidak peduli bahwa umur Reno dinyatakan tidak akan lama, bahwa seluruh penantian dan pengorbanannya akan sia-sia. dia tetap setia mendampingi Reno, mereka bahkan sudah merencanakan pernikahan....." Mata Axel tampak berkaca-kaca, "Kalau kau melihat mereka berdua saat itu, kau pasti juga akan menitikkan air mata... dua pasangan yang begitu saling mencintai, mencoba untuk berbahagia di waktu mereka yang sempit....."
Dada Nana bergemuruh, ini benar-benar informasi yang sangat mengejutkannya. Reno pernah menjelaskan bahwa dia pernah sakit, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak mau membahasnya lebih lanjut... Nana tidak pernah menyangka bahwa hubungan Reno dengan tuangannya begitu eratnya. Perempuan bernama Diandra itu... benak Nana melayang, tungan Reno itu sangat cantik, lembut dan feminim.... tetapi kalau memang cinta mereka berdua sedemikian besarnya... kenapa pertunangan mereka putus? Kenapa Reno semudah itu jatuh cinta kepadanya? Dan kondisi Reno saat ini bisa dikatakan sangat sehat bukan? Tidak selemah seperti yang diceritakan oleh Axel....atau apakah...
"Apakah Reno berhasil mendapatkan donor jantung dan berhasil dalam proses operasi cangkok jantungnya?" Nana mengungkapkan kesimpulan paling logis yang bisa diungkapnya, hanya itulah satu-satunya alasan Reno bisa sesehat ini.
"Ya." Axel menganggukkan kepalanya, bibirnya menipis, menatap Nana lekat-lekat, "Dia mendapatkan donor jantung yang sangat pas dengannya, jantung itu menyelamatkan hidupnya.... jantung itu berasal dari kekasihmu, Rangga."
Kalau semua informasi tadi terasa begitu mengejutkannya, informasi Axel yang terakhir ini bagaikan sambaran petir ke seluruh diri Nana, membuat tubuhnya gemetar tiba-tiba. Kenyataan ini terlalu.... terlalu tak tertahankan untuk dibayangkan..
"Apa?" Nana berseru lemah, matanya menyipit, mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi kekasihmu... Rangga... dia terdaftar sebagai donor jantung, jadi ketika dia meninggal karena kecelakaan itu, dokter mengambil jantungnya... dan Reno menerimanya sebagai donor yang paling cocok untuknya..."
"Aku... aku..." Jemari Nana, seluruh tubuh Nana gemetaran, "Aku harus pergi dari sini." Nana tidak bisa mendengar lagi penjelasan Axel. Membayangkan bahwa Rangga dikuburkan tanpa jantung, bahwa jantung itu sekarang berdetak di dalam dada Reno amat sangat tak tertahankan oleh batinnya, dia tidak kuat membayangkannya, dia harus pergi dan menenangkan diri kalau tidak dia akan pingsan.
Ketika Nana hendak berdiri, Axek meraih tangannya dengan tatapan meminta maaf
"Maafkan aku Nana karena menceritakan ini semua aku tahu ini menyakitkan tapi percayalah aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin kau tahu semua kenyataan yang ada. Jantung itu membuat Reno berubah, dia mengatakan bahwa jantungnya tidak berdebar untuk Diandra lagi, dia meninggalkan Diandra dengan kejam, lalu pindah ke Bandung untuk mengejar perempuan yang katanya didebarkan oleh jantungnya, untuk mengejarmu....."
Nana menghempaskan tangan Axel dengan sedikit kasar, dia melirik Axel dan bergumam pedih, "Maafkan aku, tapi aku harus pergi."
Setengah berlari Nana meninggalkan kantin kampus itu. Meninggalkan Axel yang masih duduk terpaku di sana, menatap Nana sampai perempuan itu menghilang dari pandangannya.
Lalu Axel menghela napas panjang,
Dia sudah menanam benihnya......sekarang entah bagaimana akan ada yang menuai hasilnya.
***
Reno menunggu sampai tiga jam lamanya, tetapi Nana tidak juga muncul di cafe kopi tempat mereka suka duduk bersama, menghitung hujan. Dia sudah beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Nana, tetapi ponselnya tidak aktif.
Langit semakin menggelap dan mendung, Reno mulai cemas. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, Reno menelepon Nirina, mungkin Nirina tahu kenapa Nana tidak datang ke pertemuan mereka - yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Halo?" suara Nirina tampak ceria di seberang sana. Syukurlah. Reno tersenyum, sepertinya Nana tidak apa-apa.
"Nirina? Kau tahu dimana Nana?"
Hening. Nirina tampak tercenung di seberang sana. "Lho.. bukannya Nana sedang bersamamu Reno? Tadi di kampus Nana bilang ingin segera ke cafe tempat kalian berjanji bertemu."
Jantung Reno langsung berdebar. "Nirina... Nana tidak datang ke tempat pertemuan. Aku sudah tiga jam menunggu di sini."
"Apa?" Nirina tampak benar-benar kaget, dia lalu tampak teringat sesuatu, "Oh ya, aku ingat.... sebelum aku pulang tadi, sebelum aku berpisah dengan Nana di kampus, ada seorang lelaki yang mencari-cari Nana... lelaki itu sempat memperkenalkan diri kepadaku yang baru keluar dari ruang kuliah dan mengatakan dia ingin menemui Nana... Nana lalu menemuinya di lobby kampus."
"Seorang lelaki? Apakah kau tahu ciri-cirinya, apakah kau pernah melihatnya? Apakah dia menyebutkan namanya?" Reno mulai panik.
Nirinya menghela napas panjang, "Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya... tetapi dia menyebutkan namanya kepadaku... kalau tidak salah namanya Axel..."
Axel! Sepupu Diandra! Oh Ya Tuhan! Apa maksud Axel menemui Nana? Apakah lelaki itu disuruh Diandra menceritakan semuanya kepada Nana? Oh ya Ampun... Nana! Apa yang dirasakan Nana ketika menerima kenyataan ini?
Reno mengernyitkan keningnya, mulai merasakan sakit menyerang kepalanya, "Terimakasih Nirina, kurasa aku mengenal pria bernama Axel itu."
"Kau mengenalnya? Jadi sekarang dimana Nana?"
"Aku tidak tahu." Reno mendesah, "Tetapi Axel priba baik-baik, yang pasti Nana menghilang bukan karena Axel, atau mungkin Nana sudah pulang ke rumah?" Reno berpikir kalau Axel benar-benar mengungkapkan semuanya pada Nana, sudah pasti Nana tidak akan mau menemuinya dulu. Mungkin Nana langsung pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya?
"Nana belum pulang ke rumah...." Nirina mengernyitkan keningnya, "Aku... sebelum kau menelepon aku menelepon rumah Nana, karena kalau dia sudah pulang, aku akan main ke sana, rencananya aku menginap di rumah Nana malam ini... tetapi kata mamanya, Nana belum pulang...." Nirina terengah, "Aku akan ke rumah Nana sekarang, menunggu di sana kalau-kalau Nana pulang, aku akan mengabarimu."
"Terimakasih Nirina..." Reno memejamkan matanya. Kalau begitu kau dimana Nana?
"Reno?" Nirina rupanya menangkap nada panik di dalam suara Reno, "Apakah semua baik-baik saja? Ada apa?"
Reno meringis, "Ceritanya sangat panjang dan kompleks, aku akan menceritakannya kepadamu nanti. Sementara ini aku akan mencari Axel dan juga mencari Nana."
"Oke. Kabari aku terus ya."
Setelah Nirina menutup telepon. Reno langsung membayar pesanan kopinya dan melesat pergi.
***
Diandra sedang duduk dan membaca buku-bukunya di sofa rumah neneknya yang damai dan tenang itu, langit yang gelap sudah terpecahkan, menjadi titik-titik hujan yang berhamburan menimbulkan suara gemericik dan aroma hujan yang khas.
Suasana ini sangat pas dengan suasana hatinya yang sedang pilu, senada juga dengan kisah novel yang dibacanya, Jane Eyre - meski dalam hatinya berniat tidak akan membaca buku itu, karena buku itu sangat direkomendasikan oleh Nana, perempuan yang merupakan duri dalam kisah cintanya, tetapi Diandra tidak bisa menahan diri, dia membaca dan tidak bisa berhenti, sampai sekarang dia tiba di bagian dimana tokoh utama dalam kisahnya gagal dari sebuah upacara pernikahan yang sudah di depan mata, yang hanya tinggal mengucapkan janji pernikahan, dan dihancurkan oleh kenyataan yang tidak disangka...
Jadi itulah sebuah rahasia yang merupakan jawaban dari semua misteri yang tersirat dari awal novel. Inilah kejutan yang diceritakan Nana untuk diantisipasinya. Diandra meletakkan novel itu di pangkuannya dan tersenyum tipis, mendadak merasa kagum pada novel dalam pegangan tangannya. Ini adalah novel buatan abad ke delapan belas, tetapi kisahnya benar-benar luar biasa....
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Diandra melirik dan mengernyit, ada nama Reno berkedip-kedip di sana lengkap dengan foto mereka berdua saling berpelukan menghadap kamera dalam tawa yang sepertinya akan tersimpan selamanya. Diandra mendesah, dia bahkan belum mampu mengganti foto profil Reno di phonebook ponselnya, tetap berpura-pura bahwa mereka akan selalu baik-baik saja. Tetap tersenyum seperti yang ditampilkan dalam foto itu..
Sejenak Diandra ragu, telepon Reno yang kemarin sungguh sangat tidak menyenangkan, membuatnya menangis semalaman dan begitu murung setelahnya. sekarang kenapa Reno meneleponnya lagi? Apakah lelaki itu akan menyakitinya lagi?
Ponsel itu berkedip-kedip tanpa menyerah meskipun Diandra mengabaikannya, akhirnya dia menguatkan hati dan mengangkatnya,
"Reno?"
"Kenapa kau lakukan itu Diandra?"
Diandra mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu Reno?"
"Jangan pura-pura. Kau menyuruh Axel menemui Nana hari ini kan? Apa maksudmu? Apakah kau menyuruh Axel menceritakan semuanya kepada Nana? Setega itukah kau kepada Nana, Diandra? Selama ini aku menjaganya supaya dia tidak tahu apa-apa, dan kau dengan rencanamu yang keji itu menghancurkan semuanya!"
Diandra terperangah mendengar rentetan tuduhan Reno itu, "Aku tidak menyuruh Axel melakukan apapun!" Diandra setengah berteriak menyela Reno, karena tampaknya lelaki itu masih akan melanjutkan semua tuduhannya.
Reno terdiam, lalu menghela napas dengan keras. "Kalau begitu sepupumu sudah bertindak di luar batas, mencampuri urusan kita." Suara Reno berubah dingin, "Sekarang Nana menghilang, tidak mau menemuiku. Dan kalau sampai terjadi sesuatu pada Nana.... aku akan mengucapkan selamat kepadamu Diandra, impianmu akan tercapai, kau ingin aku mati saja bukan daripada hidup dengan jantung yang tidak bisa mencintaimu? Maka kau akan mendapatkan keinginanmu. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Nana akibat tindakan ceroboh sepupumu... aku akan mati sesuai keinginanmu!"
Lalu telepon ditutup dengan kasar. Meninggalkan Diandra terperangah tak bisa berkata-kata.
***
Begitu Axel datang, Diandra langsung menyemburnya dengan kemarahan,
"Apa yang kau lakukan Axel?"
Axel menatap Diandra yang penuh airmata, perempuan itu menangis habis-habisan, membuatnya mengernyit, "Apa Diandra?"
"Nana! Kau menemui Nana bukan? Kau menceritakan semua kepadanya? Sekarang Nana menghilang dan Reno melemparkan semua kebenciannya kepadaku!!" Apa maksudmu Axel? Kenapa kau lakukan itu? Aku tidak mau dibenci oleh Reno! Aku tidak mau!"
"Aku memang melakukannya Diandra, tetapi semua itu kulakukan demi dirimu, Nana juga harus tahu kenyataan yang ada. Selama ini dia buta karena Reno menyembunyikan semuanya darinya."
"Tetapi aku tidak mau kau melakukan itu! Itu tidak akan membuat Reno kembali kepadaku! Dia akan semakin membenciku!" Diandra berteriak histeris menghambur ke arah Axel dan mulai memukulinya.
Axel menangkis pukulan-pukulan feminim Diandra dengan tenang, "Aku memang tidak bermaksud membuat Reno kembali kepadamu."
Tiba-tiba Axel mencengkeram pergelangan tangan Diandra, menarik perempuan itu mendekat, dan mencium bibirnya.
Kejadiannya begitu mengejutkan hingga Diandra yang masih berlinangan air mata dan berseru histeris hanya bisa membelalakkan matanya kaget ketika dicium oleh Axel.
***
Bersambung ke part 11
Published on April 19, 2013 01:31
April 16, 2013
Crush In Rush Part 1

PS : Untuk yang sedang berulang tahun dan merequest kisah ini, Happy Birthday dear! ^__^
Kiara terlambat datang bekerja!
Dengan napas terengah Kiara setengah berlari menuruni bus kota itu sambil menyumpah-nyumpah mengutuki dirinya sendiri. Kalau saja tubuhnya tidak terasa begitu lelah, Kiara pasti tidak akan memutuskan tidur lagi siang tadi. Dia berpikir hanya tidur satu jam saja karena rasa mengantuk menderanya begitu kuat. Tetapi bodohnya dia lupa menyalakan alarm.
Ketika terbangun, matahari sudah menyembunyikan diri di balik cakrawala, membiarkan bulan menggantikan tugasnya. Kiara terlambat bekerja hampir satu jam.
Sambil mengerutkan keningnya cemas, Kiara membayangkan bagaimana marahnya sang manager cafe kepadanya. Manager cafe itu tidak pernah menyukainya, entah kenapa. Mungkin karena Kiara bertubuh kecil dan dianggapnya lemah, sama sejali tidakj bisa membantu jika ada pekerjaan berat. Selama ini dia selalu mencari-cari kesalahan Kiara, mencoba membuktikan bahwa seorang perempuan tidak cocok bekerja shift malam di sebuah cafe.
Setengah melompat Kiara terburu-buru menyeberangi jalan itu, tempat cafe itu terletak diseberangnya, sampai suara rem yang berdecit kencang dekat sekali dengannya membuatnya memejamkan mata, kaget dan panik.
Aku akan mati....
Desahnya di detik-detik terakhir, tetapi ketika dia tetap memejamkan matanya, tidak terjadi apapapun. Tidak ada rasa sakit di badannya, dan bahkan dia tidak terguling jatuh tertabrak entah apapun itu. Dengan hati-hati, Kiara membuka matanya,
Kumpulan orang berkerumun melihatnya. Kiara mengernyit, orang-orang memang selalu tertarik dengan kecelakaan, dan berkerumun. Dia menatap ke samping tubuhnya dan menemukan sebuah mobil warna hitam, dekat sekali dengan tubuhnya, tampaknya mobil itu di rem tepat pada waktunya sehingga tidak menyentuhnya meskipun hanya berjarak beberapa centi dari tubuhnya.
Pintu mobil terbuka, dan seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan kacamata hitam turun dari balik kemudi. Lelaki itu cemberut, dan ketika dia membuka kacamatanya, Kiara menyadari bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama yang membantunya semalam, salah satu pelanggan tetap cafe tempatnya bekerja.
"Dimana otakmu sehingga menyeberang terburu-buru seperti itu dan melupakan keselamatan dirimu?" Dahinya mengernyit, "Oh jangan lupa, keselamatan diriku juga, aku bisa saja membanting stir dan menabrak trotoar tadi kalau aku tidak bisa mengerem tepat pada waktunya."
Pipi Kiara memerah, malu dan gugup dimarahi di depan banyak orang begitu, meskipun banyak orang-orang yang berkerumun memutuskan pergi ketika menyadari bahwa Kiara baik-baik saja.
"Maafkan saya." Kiara bergumam lemah, sedikit gemetar tak tahan dengan tatapan tajam lelaki itu.
"Kau terluka?" tanya lelaki itu cepat, matanya menelusuri seluruh tubuh mungil Kiara.
Kiara menggelengkan kepalanya, "Tidak. Saya tidak apa-apa."
"Baguslah." Lelaki itu mendengus kesal, "Lain kali hati-hati!" dengan ucapan penutup yang sinis itu, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan memasuki mobilnya kembali, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Kiara yang mundur kembali ke trotoar sambil menatap mobil hitam itu melaju meninggalkannya hingga tertelan keramaian jalan raya.
Kiara menyeberang lagi, kali ini memutuskan untuk berhati-hati supaya kejadian mengerikan dan memalukan tadi tidak terulang kepadanya, lagipula dia sudah benar-benar terlambat sekarang. Kiara berdecak, manager cafenya akan berpesta pora dengan kesalahannya ini.
***
Ketika Kiara memasuki pintu belakang cafe itu, dia langsung berhadapan dengan Irvan, salah satu pelayan pria di cafe, lelaki itu mengangkat alisnya ketika melihat Kiara datang,
"Kami kira kau tidak datang hari ini." gumamnya dalam senyuman, Irvan memang termasuk salah satu pelayan cafe yang baik kepadanya, sementara pelayan yang lain bersikap datar dan tak peduli, "Pak manager sudah mengomel-ngomel dari tadi."
Kiara melongok ke balik punggung Irvan, mencari-cari sosok pak Sony, Manager cafe yang galak itu. Irvan tergelak melihat tingkah Kiara,
"Dia tidak ada, dia sedang di depan. Cepat ganti pakaianmu dan bekerja, berharap saja dia sudah lupa akan kemarahannya." Lelaki itu menepuk punggung mungil Kiara, memberi semangat, lalu melangkah pergi.
Kiara segera merangkapi kemejanya dengan baju pelayan, mengikat rambutnya dan kemudian melangkah dengan hati-hati ke depan. Dia sedikit mengintip dan berdebar ketika mendapati Pak Sony sedang berdiri di dekat meja kasir, sambil menghela napas panjang Kiara melangkah keluar.
Ya sudahlah... apa yang terjadi, terjadilah...
Baru beberapa langkah saja, rupanya mata pak Sony yang awas sudah langsung menangkapnya. Lelaki itu mengangkat alisnya dengan galak dan menghampiri Kiara,
"Kau pikir jam berapa ini? Kenapa kau baru menampakkan batang hidungmu heh?"
Kiara hampir saja terlompat mendengar bentakan pak Sony di belakangnya, dia membalikkan tubuhnya dengan hati-hati dan menatap takut-takut,
"Maafkan pak... saya... saya kesiangan." Kiara sendiri merasa tak enak ketika mengucapkan alasan yang paling tidak bertanggung jawab itu.
Sementara seperti yang sudah diduganya, pak Sony malahan semakin marah mendengar alasannya,
"Kau pikir perusahaan ini milik ayahmu sehingga kau bisa seenaknya datang terlambat dengan alasan kesiangan? Aku sebenarnya sudah tidak suka dengan kehadiranmu di bagian pelayan cafe ini, kau harusnya tetap berada di bagian belakang menjadi pencuci piring!"
Dan kemudian, Pak Sony memberinya hukuman mencuci piring sendirian, seluruhnya tanpa bantuan dari siapapun.
***
Setelah selesai mencuci entah ratusan piring dan panci, wajan serta peralatan masak lain yang berukuran besar dan lengket, Kiara menyandarkan tubuhnya di dinding belakangnya dan menghela napas panjang.
Entah berapa jam dia berkutat dengan kegiatan itu, ditatapnya kedua telapak tangannya dan mengernyit, kulit telapak tangannya sudah keriput karena terus-terusan terkena air dan di beberapa sisi mulai terasa pedih akibat kontak terlalu intens dengan sabun cuci.
Kiara menghela napas panjang, berusaha menyemangati dirinya sendiri dan menegakkan tubuhnya. Pekerjaannya masih banyak, dan dia harus semangat. Dia membutuhkan pekerjaan ini untuk hidupnya, Yang harus dia lakukan adalah bekerja lebih giat sambil berusaha mencari jalan untuk menemukan kesempatan yang lebih baik.
***
Ketika melihat tulisan di layar ponselnya, Joshua mengernyitkan keningnya. Itu telepon internasional, dari nomor yang sangat dikenalnya, pengacara ayahnya di London.
Joshua mendengus kesal, pengacara ayahnya sudah berkali-kali meneleponnya, membujuknya supaya mau berkunjung ke London, mengunjungi ayahnya yang katanya kondisi kesehatannya semakin memburuk.
Joshua sama sekali tidak tertarik menemui ayahnya, lelaki itu dulu membuangnya dan ibunya hanya karena mereka dianggap tidak sederajat dengan darah biru yang mengaliri tubuh ayahnya, apalagi mengingat ibunya seorang asia yang hanyalah seorang murid pertukaran beasiswa di kampus anaknya.
Kesalahan masa muda. .Begitu dulu komentar kakeknya..... Joshua tidak mau menyebut lelaki itu sebagai kakeknya, dia hanyalah lelaki tua aristrokat yang sombong dan tidak punya hati. Lelaki tua itu, begitu mengetahui 'kelalaian' ayahnya yang menghamili gadis asia yang dianggapnya tidak sederajat, langsung mengirimkan ayahnya bersekolah ke Amerika, dan kemudian memberi uang kepada ibunya dan mengatur kepulangan ibunya dengan paksa ke Indonesia. Ironisnya, ibunya hanyalah seorang wanita muda yang tidak punya siapa-siapa di London yang bisa membantunya melawan ketidakadilan itu, hingga pada akhirnya dengan pasrah, membawa bayi dalam kandungannya pulang ke Indonesia.
Pada masa itu, di tempat tinggalnya, hamil sebelum menikah merupakan aib tersendiri. Orangtua ibunya marah besar ketika ibunya pulang ke Indonesia dalam keadaaan hamil, dikeluarkan dari beasiswanya karena pengaruh kalangan atas di London, dan mempermalukan keluarga.
Beruntunglah seorang lelaki, sahabat ibunya di masa lalu yang sangat menyayangi ibunya memutuskan untuk bertanggung jawab kepada ibunya. Lelaki itu kemudian menikahi ibunya, menyelamatkannya dari aib keluarga dan dengan tegar tetap menopang ibunya ketika banyak pandangan mencemooh ketika ibunya melahirkan Joshua, anak lelaki dengan rambut cokelat keemasan dan mata berwarna biru.
Joshua lebih mengakui Nathan sebagai ayahnya, lelaki itu menyokong kehidupan ibunya, memperlakukan Joshua seperti anaknya sendiri, membiayai sekolahnya hingga menjadi arsitek yang sukses seperti sekarang. Sayangnya, sepertinya Tuhan terbiasa mengambil orang-orang berhati baik lebih cepat supaya bisa segera berada di sisinya. Lima tahun lalu, Nathan dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan Joshua benar-benar sendirian di dunia ini.
Ya. Dia sendirian. Ayah kandungnya di London tidak masuk hitungan. Dua tahun yang lalu, nama Joshua sebagai arsitek jenius dimuat dalam sebuah artikel bisnis di London, kabar tentang dirinya sampai ke telinga ayah kandungnya yang saat ini sudah memegang kerajaan bisnis besar mewarisi kakeknya yang sudah meninggal, ternyata menyadari bahwa dia berhubungan dengan Joshua, sepertinya lelaki itu menyewa detektif swasta karena beberapa lama kemudian, pengacaranya menelepon Joshua, mengatakan bahwa ayah Joshua mengharapkan kedatangannya ke London,
Joshua meradang. Punya hak apa lelaki itu sehingga tiba-tiba memasuki kehidupannya dan memaksa Joshua menerimanya? Joshua sudah tentu tidak butuh ayahnya, dia lelaki yang sukses dengan kemampuannya sendiri, dan sama sekali tidak membutuhkan apapun dari ayahnya yang tidak bertanggungjawab kepadanya dan ibunya di masa lampau.
Tetapi ponselnya berdering terus. Pengacara ayahnya di seberang sana rupanya tidak mau menyerah, dia pasti menyadari keengganan Joshua, karena itulah dia terus menerus memaksa. Dengan jengkel Joshua mengangkat telephone itu.
"Ayah anda sekarat." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh pengacara ayahnya dalam bahasa inggris berlogat kental ketika mendengar Joshua mengucapkan "halo".
Josua mengeluarkan suara decakan tidak peduli bergumam dengan bahasa ayahnya, "Memang sudah saatnya."
Hening. Pengacara ayahnya di seberang sana mungkin sedang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat betapa kejamnya Joshua kepada ayahnya. Dia lalu bergumam lagi tampaknya berusaha menyabarkan diri,
"Beliau tidak punya anak laki-laki, sementara itu warisan gelarnya harus diserahkan kepada anak laki-lakinya, kalau tidak warisan itu akan diambil oleh sepupu jauhnya. Ayah anda bersikeras untuk memberikan warisan gelar dan seluruh hartanya kepada anda."
"Aku tidak butuh gelar dan harta."
"Saya tahu itu." suara pengacara ayahnya melemah, "Yang perlu anda tahu, isteri ayah anda yang sekarang mempunyai dua orang anak perempuan yang dibawanya dari pernikahan sebelumnya, jadi anak itu selain perempuan, juga bukan merupakan darah daging ayah anda. Dan kalau anda mau tahu pendapat saya, lebih baik harta itu jatuh ke tangan anda daripada jatuh ke tangan nenek sihir itu. Dia akan menguras habis seluruh harta ayah anda begitu ada kesempatan, dan saya mohon kepada anda karena hanya andalah satu-satunya yang bisa menjaga warisan ayah anda."
***
Joshua memandang berkas-berkas yang pernah dikirimkan oleh pengacara ayahnya kepadanya. Berkas itu berisi inventarisir mengenai seluruh harta yang dimiliki ayahnya, mencakup saham mayoritasnya di perusahaan miliknya juga beberapa properti seperti rumah dan tanah.
Joshua bisa saja mengabaikan itu semua dan menjalani hidupnya dengan tenang. Toh dia tidak ada hubungannya dengan semua orang itu. Kalau memang harta ayahnya akan jatuh ke tangan isterinya yang tamak, itu mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk ayahnya.
Tetapi godaan untuk membalas dendam terasa begitu kuatnya. Ayahnya sekarang memohon agar dia mau menerima gelar dan warisannya, gelar yang dulu membuat dia dan ibunya ditendang dari kehidupan ayahnya. Ada kepuasan tersendiri ketika membiarkan lelaki tua itu memohon-mohon kepadanya.
Joshua tiba-tiba tersenyum sinis. Otaknya berputar mencari cara, menemukan jalan membalas dendam yang paling menyakitkan untuk ayahnya dan keluarga angkatnya di London.
***
Lelaki itu datang lagi. Kiara mengintip dari balik tirai yang membatasi areal dapur dengan bagian luar cafe. Lelaki itu tampak sangat misterius, selalu datang pada waktu dini hari, kadang hanya merokok dan menikmati secangkir kopi, kadang dia tampak sibuk berkutat dengan laptopnya, dan kemudian baru beranjak ketika pagi menjelang.
Apakah lelaki itu tidak pernah tidur?
"Mengintip apa?" tiba-tiba Irvan muncul di belakangnya, ikut melirik dari balik tirai dan membuat Kiara kaget setengah mati, dia hampir terlompat dan kemudian menatap Irvan dengan jengkel.
"Bisa tidak jangan muncul tiba-tiba di belakangku?" gumam Kiara setengah marah setengah tersenyum. Karena Irvan yang paling baik kepadanya di cafe ini, mereka cukup akrab untuk saling mengejek ataupun bercanda.
Irvan terkekeh dan mengedipkan matanya, menatap ke arah lelaki penyendiri itu,
"Kau mengintip lelaki itu ya?" bisiknya menggoda, "Karena dia sangat tampan?"
Kiara menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Aku hanya penasaran kenapa dia selalu duduk di situ sepanjang malam hingga pagi, apakah dia tidak tidur?"
Irfan mencibirkan bibirnya, "Kalau tida tidak tampan pasti kau juga tidak tertarik."
Pipi Kiara langsung merah padam, tidak bisa berkata-kata. Tidak bisa dipungkiri lelaki itu memang sangat tampan..... tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tersimpan dalam dan kelam. Dan Kiara memahaminya, batinnya bertanya-tanya, apakah lelaki itu memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan seperti dirinya?
"Jangan hanya berdiri di situ! Bersihkan meja-meja kotor itu!"
Suara Pak Sony yang galak mengagetkan Kiara dan Irvan, mereka bergegas menuju area cafe dan melaksanakan tugas, menghindar dari semprotan lelaki pemarah itu.
Dengan ragu, Kiara membersihkan meja kotor yang terletak di sudut, dekat dengan lelaki itu. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari laptopnya dan ada sinar di matanya ketika menatap Kiara.
"Kenapa perempuan sepertimu bekerja di shift malam seperti ini?" gumam Joshua dengan suara datar, menatap Kiara dengan seksama dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Mereka berada cukup dekat karena meja yang dibersihkan ioleh Kiara ada di dekat meja tempat Joshua duduk, karena itu Joshua bisa bergumam pelan dan bisa didengar oleh Kiara.
Kiara merasa tidak nyaman dengan tatapan yang menelanjangi itu, dan dia tidak menduga lelaki itu akan menyapanya, dia memalingkan mukanya,
"Karena memang hanya pekerjaan ini yang bisa saya lakukan."
Joshua kali ini benar-benar mengalihkan perhatiannya seluruhnya kepada Kiara, "Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan sepertimu."
Apakah lelaki ini adalah jenis lelaki mesum yang menawarkan pekerjaan mesum kepada perempuan lugu seperti dirinya?
Kiara memandang Joshua dengan was-was, "Hanya pekerjaan ini yang mau menerima saya. Saya memang lulusan sebuah SMU di desa, Ketika pergi saya membawa ijazah SMU dan harapan untuk hidup yang lebih baik, tetapi rupanya banyak yang tidak menghargainya di kota ini karena banyak saingan dengan pendidikan lebih tinggi tetapi mau digaji sama.."
"Pergi dari mana?" lelaki itu bertopang dagu, tampak tertarik, mungkin baginya Kiara adalah selingan menarik di sela-sela kegiatan bersantainya.
Kiara mendongakkan dagunya, "Dari panti asuhan." dia melirik tidak nyaman kepada Joshua, karena sungguh tidak lazim seorang pelanggan bercakap-cakap dengan pelayan cafe seperti ini, bahkan pak Sony tampak menatap mereka tanpa malu-malu. "Saya harus pergi."
"Tunggu." Joshua meraih tangan Kiara, dan menggenggamkan sesuatu di tangannya, "Jangan kembalikan, karena aku cukup kaya dan aku tidak butuh ini."
Kiara segera melepaskan diri dari cekalan tangan Joshua dan melangkah memasuki area belakang dapur, karena pak Sony menatapnya dengan tatapan mencemooh yang tajam, mungkin lelaki itu mengiranya sedang merayu pelanggan.
Ketika sampai di area belakang dapur yang sepi, dekat tempat cuci piring, Kiara membuka kepalan tangannya dan menatap sesuatu yang dijejalkan lelaki itu dalam genggaman tangannya.
Selembar uang merah seratus ribuan....
Kiara bergegas melangkah ke depan untuk mengembalikan uang itu. Lalu dia tertegun.
Kursi tempat lelaki itu biasa duduk sudah kosong. Lelaki itu sudah tidak ada....
Bersambung ke Part 2
Published on April 16, 2013 03:32
April 15, 2013
Menghitung Hujan Part 9

Kalau ada yang berani bertanya seberapa banyaknya cintaku...Akan kusuruh dia menghitung tetesan hujan yang turun
Axel setengah membanting gelas kopinya ke meja, tak bisa menahan emosinya. Mereka duduk di cafe kecil di lantai atas gedung itu, suara air gemericik sebenarnya cukup bisa menenangkan suasana, pun dengan air terjun buatan dengan kolam minimalis penuh ikan koi berukuran besar-besar yang bahkan cukup jinak untuk dielus kepalanya. Tetapi rupanya itu tidak mempan bagi Axel, dia marah besar kepada Reno dan caranya memperlakukan Diandra, sepupunya yang sangat dia sayangi.Meninggalkannya begitu saja dengan alasan yang tidak bisa diterima dengan nalar. Bahkan kalaupun alasan itu benar adanya, Reno masih tidak berhak meninggalkan Diandra begitu saja. Dia tahu persis meskipun tidak satu kota dengan Diandra, bahwa Reno dulunya begitu lemah karena penyakitnya dan Diandra dengan sepenuh hati selalu mendampinginya.
Meninggalkan Diandra karena jantungnya mencintai perempuan lain?? HUH!
Axel tanpa sadar mencibirkan bibirnya penuh penghinaan sambil membayangkan Reno.
"Jangan marah ya." Diandra bergumam pelan sambil mengamati ekspresi Axel yang berubah-ubah. "Aku sendiri sudah terlalu lelah untuk marah. Pada akhirnya aku hanya bisa sabar dan menerima."
"Kalau aku tahu kisah ini dari tadi, sudah kuhajar Reno."
Diandra menggelengkan kepalanya, "Kekerasan tidak akan menghasilkan apapun Axel....dan bahkan perempuan itu..." , ekspresi Diandra tampak sedih, "Perempuan bernama Nana itu sepertinya tidak tahu kisah yang sebenarnya."
"Kalau begitu perempuan itu harus tahu kisah yang sebenarnya, supaya dia sadar dia sedang berbahagia di atas penderitaan orang lain." sela Axel tegas.
"Haruskah aku melakukannya?" Diandra tampak ragu.
Axel menganggukkan kepalanya. "Bagaimanapun juga kalian mencintai lelaki yang sama, kalian mempunyai hak yang sama dalam memperjuangkan cinta kalian. Dan posisi kalian harus sama."
Diandra tercenung mendengar kata-kata Axel. Matanya menatap ke luar, ke arah hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya.
***
Suatu malam Rangga pernah menyeduhkan secangkir kopi untuk Nana di apartementnya, dia menyerahkannya kepada Nana sambil tersenyum lembut, Nana menerima kopi itu dan membalas senyuman Rangga, mengucapkan terimakasih dengan manis.
Hujan turun dengan derasnya di sebelahnya, dan Rangga menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah Nana, mereka menatap hujan yang turun dengan derasnya. Mereka hanya berdua di apartement Rangga ini, sendirian. Rangga memang sebatang kara di dunia ini, orang tuanya sudah meninggal dan dia tidak punya saudara, dia tinggal diapartement studionya yang penuh dengan jendela kaca lebar, memungkinkan mereka bisa menikmati memandang tetesan hujan sepuasnya.
Nana sangat suka bersantai di apartement Rangga ini, suasananya syahdu dan melankolis, membuat hati terasa tenteram, apalagi ketika hujan mulai turun dengan derasnya dan Rangga akan membuka tirai jendelanya lebar-lebar, membuka jendela kamarnya. Air bercipratan masuk dan suasana dingin menelusup, membuat kamar ini seakan menyerap suasana hujan di luar.
Dengan senang Nana menyandarkan kepalanya di bahu Rangga, dia sudah menyesap kopinya dan meletakkannya di mejanya,
"Aku bisa duduk di sini selamanya, menatap hujan bersamamu dan tak merasa bosan." gumam Nana, memecah suara derasnya hujan yang mendominasi ruangan.
Rangga terkekeh, "Aku juga." dia lalu mengecup dahi Nana dengan lembut, "Aku ingin selamanya bersamamu, Nana." Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya, kotak mungil berwarna hitam.
Nana membelalakkan matanya, menatap Rangga dengan ragu, ragu sekaligus berdebar.
Rangga membuka kotak itu, sebuah cincin mungil dari emas putih dengan berlian kecil di tengahnya, sederhana, tetapi cantik.
"Maukah kau menikah denganku Nana?" Suara Rangga terdengar serak dilatarbelakangi suara hujan yang romantis.
Mata Nana berkaca-kaca, dia menatap cincin itu, lalu mengalihkan matanya kembali, menatap Rangga, dan menemukan keseriusan di sana.
"Aku mau." suaranya bergetar penuh perasaan, "Aku mau Rangga."
...............
***
Mereka berdiri di depan makam Rangga, makam itu seakan terpaku sendirian di sana, di bawah sebatang pohon yang teduh. Rangga meninggal tanpa sanak keluarga, dan dia mewariskan seluruh miliknya kepada Nana. Apartement itu, seluruh barang-barangnya, rekening tabungannya, semua diserahkannya kepada Nana. Meskipun sampai sekarang Nana belum berani mengunjungi apartemen Rangga, apalagi melihat barang-barang Rangga yang masih tertinggal di sana, tertata persis seperti ketika Rangga meninggalkannya untuk terakhir kalinya sebelum kecelakaan itu.
Nana menahankan perasaan yang menyesakkan dada ketika menatap makam itu, dia lalu menatap Reno yang tampak merenung di sebelahnya,
"Ini Rangga." gumamnya serak.
"Hai Rangga." Reno bergumam pelan, "Aku Reno, dan aku hanya ingin mengatakan bahwa kau tidak perlu cemas, mulai sekarang, aku akan menjaga Nana.'
Jantung Reno terasa berdegup kencang. Membuat Reno memejamkan matanya, bergumam dalam hati untuk Rangga.
Ya Rangga.... kau bisa tenang. Kekasihmu kini sudah ada dalam pelukanmu lagi.... berdetaklah untuknya selalu...
***
"Kenapa kau ada di Bandung? Dan kenapa kau bisa mengenal Nana? Apa sebenarnya rencanamu? " Reno langsung memberondongkan pertanyaan itu ketika Diandra mengangkat teleponnya di seberang.
Diandra terpaku sejenak, tidak menyangka bahwa kalimat pertama yang diucapkan Reno setelah meneleponnya adalah kalimat penuh tuduhan
"Aku ke Bandung untuk menengok nenekku." gumam Diandra berusaha tenang, "Dan aku tidak sengaja bertemu Nana di toko buku." untuk jawaban kedua ini Diandra memang berbohong,
Reno terdiam, "Aku tidak percaya." gumamnya akhirnya, "Jangan berbohong padaku Diandra, apakah kau menyusul kemari karena kau belum berhenti berharap?" suara Reno tampak sedih, "Aku mohon, Diandra, aku mohon dengan sangat... lupakan aku, carilah cinta sejatimu, aku yakin kau akan menemukannya kalau kau bisa melepaskan aku."
Kata-kata Reno, yang diucapkan tanpa perasaan kepadanya itu bagaikan sembilu yang menyayat hati Diandra, teganya Reno mengucapkan hal itu kepadanya? Menyuruhnya melupakan Reno? Apakah Reno pikir hal itu demikian mudahnya dilakukan sementara selama ini, yang ada di hati Diandra hanya Reno, yang menjadi tumpuan dan tujuan hidupnya hanyalah bersama lelaki itu hingga ujung hidupnya. Bagaimana bisa Reno menyuruhnya melupakannya?
"Kau menyakitiku Reno." Suara Diandra bergetar penuh air mata, "Mungkin kau bisa dengan mudahnya melupakan aku, membuang aku dari hatimu. Tetapi maaf, aku tidak sedangkal itu. Aku akan berjuang untuk mendapatkan Renoku yang dulu!"
Kemudian, tanpa memberi kesempatan Reno untuk menjawab, Diandra menutup teleponnya dan menangis sejadi-jadinya.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, membuat Diandra menoleh. Axel berdiri di sana menatap miris wajah Diandra yang penuh air mata, lalu lelaki itu merengkuh Diandra, membiarkan perempuan itu menumpahkan tangis di dadanya.
***
"Kenapa kau bahkan masih mengharapkannya setelah perlakuan kejamnya kepadamu?" Axel mengernyitkan keningnya dengan gusar. Setelah Diandra tenang, mereka duduk berhadapan di kamar itu, dan Axel berhasil membuat Diandra bercerita tentang telepon dari Reno yang diterimanya barusan.
Diandra tercenung dan menatap Axel sedih, "Kau tidak akan bisa membayangkan bagaimana perasaanku."
"Sejujurnya aku bisa." Axel merenung, "Aku melihat sendiri bagaimana kau merawat Reno dengan setia, bahkan dengan kenyataan bahwa lelaki itu kemungkinan tidak bisa hidup lebih lama lagi. Perlu cinta yang luar biasa besar untuk melakukan itu semua." Axel menatap Diandra dengan hati-hati, "Tetapi yang sekarang terjadi, Reno sudah meninggalkanmu." Axel meringis melihat wajah Diandra yang tampak terpukul. "Maafkan aku harus mengatakannya tetapi kau harus menghadapi kenyataan Diandra, apakah.... bukankah lebih baik daripada menyiksa diri... kau melepaskan Reno dari hatimu dan mulai menyembuhkan diri? Mungkin di luar sana ada jodoh terbaik untukmu yang sedang menunggumu."
Wajah Diandra pucat pasi dan suaranya bergetar ketika berkata, "Aku tidak bisa berhenti, Axel. Kau sendiri yang bilang bahwa aku punya cinta yang luar biasa besar. Dan aku akan memperjuangkan cintaku sampai aku tak mampu lagi."
***
Lelaki muda itu ingin menemuinya, Nana mengernyitkan keningnya ketika mengawasi lelaki yang menemuinya di depan kampus itu. Tadi Nirina mengatakan bahwa ada lelaki yang mencari-cari dan ingin menemuinya. Semula Nana takut menemui lelaki yang tidak dikenal di depan kampusnya. Tetapi kemudian, lelaki itu masuk ke ruang depan kampusnya, dimana ada banyak mahasiswa yang lalu lalang, dan banyak yang akan menolong Nana kalau-kalau terjadi apa-apa yang tidak diharapkannya, karena itulah Nana mau menemuinya pada akhirnya
Lelaki itu melepas kacamata hitamnya dan tersenyum, lalu mengulurkan tangannya,
"Perkenalkan saya Axel."
"Apakah saya mengenal anda?" Nana bertanya segera karena kilasan ingatannya membawanya pada pertemuan kemarin dengan perempuan bernama Diandra, lelaki ini yang ada di samping Diandra waktu itu, yang hanya diam dan tidak berkata apa-apa.
Axel tersenyum, "Ya. Anda bertemu dengan saya kemarin. Saya memang tidak mengenal anda, tetapi saya mengenal orang-orang yang berhubungan dengan anda. Saya kemari untuk memberitakukan tentang hal-hal yang tidak anda ketahui."
"Hal-hal yang tidak aku ketahui?" kerutan di dahi Nana semakin dalam, kebingungan.
"Ya." Axel menghela napas panjang, "Mungkin ini akan mengejutkan bagi anda, Tetapi saya ingin mengungkap kenyataaan tentang Reno, dan juga tentang Diandra."
bersambung ke part 10
Published on April 15, 2013 00:42
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
