Santhy Agatha's Blog, page 7
June 13, 2013
Menghitung Hujan Part 16

Yang tertinggal hanyalah kau dan akuDalam senyum dan tatapan mata rinduBersenandung teriring debaran merduMelangkah maju dalam langkah-langkah terpadu.Kau dan aku adalah sepotong cinta yang tiba tanpa rencanaMembawa harapan baru yang penuh dengan doa
Semua mata langsung memandang ke arah Nana, membuat Nana merasa canggung luar biasa. Diandra sendiri tampak tenang, perempuan itu tersenyum dan menghampiri Nana,
“Ayo Nana, aku kenalkan kepada mama dan papa Reno.” Gumamnya cepat, meraih tangan Nana hingga Nana terlepas dari Nirina yang masih terduduk shock. Nana tersendat-sendat mengikuti langkah Diandra yang menarik lengannya,
“Mama, papa, ini Nana. Mama dan papa pasti sudah mendengar namanya dari Reno.” Diandra tersenyum ceria, kemudian menepuk bahu Nana, “Ayo, masuklah ke sana, dokter pasti akan mengizinkan kita menambah satu orang untuk membesuk Reno, apalagi kalau mengetahui itu akan memberikan efek yang bagus bagi kesembuhan Reno.”
Semua orang masih terpaku bisu dalam suasana yang canggung, kecuali Diandra yang memasang wajah ceria, seperti tidak ada hal yang aneh di balik suasana ini.
Papa Reno yang kemudian tersadar dan berusaha memecah suasana canggung itu,
“Saya papanya Reno.” Gumamnya mengulurkan tangan yang segera di sambut Nana dengan gugup. “Saya tahu Nana pasti sangat ingin menengok Reno, iya kan ma?”
Mama Reno yang masih menelusuri seluruh penampilan Nana dengan tatapan mata menyelidik tampak kaget karena namanya disebut.
Dia kemudian menganggukkan kepalanya meskipun tampak tidak rela.
“Silahkan, Reno pasti sangat ingin bertemu denganmu, Nana.”
Dengan Izin dari mama Renopun, Nana masih ragu-ragu, dia benar-benar kebingungan akan keadaan yang tidak diduga-duganya ini. Tetapi kemudian Diandra mendorongnya dan terkekeh ceria,
“Ayo, masuklah ke dalam sana.” Gumamnya setengah mendorong Nana, membuat Nana mau tak mau melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Reno terbaring.
***
Begitu Nana masuk dan menghilang di balik pintu, mama Reno langsung menyambar Diandra dengan pertanyaan,
“Kenapa kau lakukan itu Diandra?” tanyanya tajam.
Diandra menatap lembut ke arah mama Reno,
“Itu yang seharusnya dilakukan, mama. Kita tidak boleh memisahkan dua pasangan yang saling mencintai.”
“Tetapi Diandra... bagaimana denganmu? Kau...”
“Diandra tidak apa-apa, mama. Diandra sudah sampai di suatu titik untuk menyadari bahwa Reno mungkin memang bukan jodoh Diandra, banyak sekali kejadian sebelum ini yang menunjukkan kepada Diandra akan kenyataan itu.” sekilas Diandra melirik ke arah Axel yang segera tahu apa maksudnya. Semua kejadian sebelumnya.... kenyataan bahwa Diandra adalah anak angkat, kenyataan bahwa Diandra mempunyai kakak lelaki yang ternyata adalah Rangga....
Diandra meremas jemari mama Reno,
“Diandra sudah merelakan Reno, mama. Tetapi mama tidak usah kuatir, hal ini tidak akan merenggangkan sayang Diandra kepada mama, Diandra akan selalu menjadi puteri mama.”
Air mata bergulir dari mata mama Diandra, perempuan setengah baya yang masih cantik itu menangis, lalu memeluk Diandra erat-erat.
***
Axel menggenggam jemari tangan Diandra erat-erat dalam perjalanan mereka pulang dari rumah sakit, mereka sudah berada di tempat parkir. Dengan sopan Axel membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Diandra masuk, dia kemudian duduk di balik kemudi.
Diandra masih memasang ekspresi datar, tetapi kemudian dia menyadari bahwa Axel tidak segera menjalankan mobilnya, lelaki itu malahan menatap Diandra dengan intens, membuat Diandra mengerutkan keningnya,
“Kenapa kita tidak segera jalan Axel?” Diandra akhirnya bertanya dengan bingung.
Axel menghela napas panjang,
“Kita sudah di sini berdua, Diandra dan kau tidak perlu berakting lagi. Kau bisa menangis di depanku.” Bisiknya lembut.
Kata-kata Axel itu meluluhkan hati Diandra yang sejak tadi telah dipasangi benteng melingkar yang rapat, benteng itu runtuh seketika, bersamaan dengan air mata yang meleleh di pipinya.“Aku.... sesungguhnya aku masih tak rela aku selalu merasa bahwa cintaku kepada Reni yang paling kuat.....” suara Diandra tercekat oleh tangis, “Tetapi memang semua sudah seharusnya begitu... aku juga tidak mungkin bisa bersama Reno, apalagi setelah mengetahui bahwa jantung Rangga... jantung kakakku... yang ada di dadanya... sepertinya semua sudah diatur agar aku tidak berjodoh dengan Reno.” Diandra bergumam di antara tangisnya, di antara kepedihan yang meluap di dadanya.'
Benak Axel terasa diremas, dia langsung meraih Diandra ke dalam pelukannya, mengusap rambutnya dengan sayang dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut,
“Aku di sini untukmu Diandra, kau boleh menangis semaumu di dadaku. Gunakan aku Diandra, aku milikmu, aku sangat mencintaimu sayang.” Axel berbisik lembut di antara kata-kata penghiburannya, memeluk Diandra semakin erat, berusaha meredakan kepedihan perempuan itu, berusaha menyerap seluruh kepedihan dari diri Diandra.
Dia akan mendampingi Diandra dengan sepenuh hatinya, akan menunggu Diandra dengan setia sampai Diandra menyembuhkan diri dan mau membuka hati untuknya.
Saat itu mungkin akan tiba untuk Axel. Bahkan kalaupun nanti hati Diandra tidak tertambat kepadanya, sepenuh hatinya Axel rela. Tidak apa-apa. Yang penting dia bisa melihat Diandra yang berbahagia, yang tersenyum cerah dan menghangatkan hatinya, yang tidak digayuti kepedihan lagi.
Saat itu akan tiba pada akhirnya, karena waktu akan menyembuhkan segala luka.
***
Ketika menyadari siapa yang masuk, Reno hampir saja menegakkan tubuhnya, melupakan rasa nyeri yang menggayutinya.
“Nana?” suaranya serak, penuh kesedihan, melihat perempuan yang sangat dicintainya itu berjalan mendekat.
Nana mendekat dan menatap Reno dengan sedih,
“Maafkan aku Reno, maafkan aku atas kata-kata terakhirku sebelum kau pergi. Maafkan aku.” Setetes air mata bergulir di pipinya, membuat suaranya bergetar, “Aku bersikap egois dan tidak mempedulikan perasaanmu... aku berikap jahat... hingga... hingga kau jadi seperti ini.”
Reno tersenyum lembut dan mengulurkan tangannya kepada Nana, dengan lembut menyentuh jemari Nana,
“Semua bukan salahmu, dan semua bukan kesengajaan. Percayalah Nana, tidak pernah ada niat di benakku untuk mengakhiri hidupku dan bersikap tidak bersyukur kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan kedua. Aku ingin kau tahu bahwa itu adalah murni kecelakaan.”
Nana langsung merasakan kelegaan memenuhi sekujur tubuhnya. Syukurlah dugaan pahitnya tidak benar. Reno tidak sedang mencoba bunuh diri, ini adalah murni kecelakaan.“Setidaknya meskipun kakiku sakit, aku masih bisa bersyukur karena semua kejadian ini membuat kau datang kepadaku.” Reno tersenyum lembut, menatap Nana penuh cinta, membuat air mata Nana semakin mengalir deras,
“Nana...” Reno melanjutkan perkataannya, “Semua pertanyaanmu di apartemen Rangga waktu itu mungkin ada benarnya. Kalau aku jadi kau aku pasti akan bertanya-tanya juga. Pasti kau meragukan apakah aku mencintaimu karena ada jantung Rangga di sini, ataukah karena aku memang benar-benar mencintaimu? Pasti kau berpikir apakah jantung Rangga yang mencintaimu, ataukah Reno? Aku sendiri tidak bisa menjawabnya Nana...” Tatapan Reno meredup, penuh cinta. “Tetapi satu hal yang aku tahu pasti, ketika bersamamu aku merasa nyaman, kau membuatku merasa telah berlabuh, setelah berkelana sekian lama... kau membuatku merasa lengkap. Hanya itu saja. Aku tidak mau bertanya-tanya bagimana seandainya aku tidak mendapatkan jantung Rangga, bagaimana seandainya jantung orang lain yang ada di dalam dadaku, apakah semuanya akan berbeda? Semua itu hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Dipikirkan seperti apapun, toh yang terjadi sekarang adalah Reno memiliki jantung Ranga di dadanya dan itu adalah takdir yang tidak bisa diubah, salah satu rencana Tuhan.” Reno meraih tangan Nana dan menggenggamnya, “Yang aku tahu. Bahwa aku mencintaimu dan bahagia bersamamu, dan ingin bersamamu.”
Air mata Nana mengalir deras mendengar pengakuan cinta Reno itu, dadanya terasa sesak dipenuhi oleh rasa haru, syukur yang bercampur kepedihan. Tetapi ada satu rasa yang sangat menonjol di sana, rasa yang akhirnya mampu diakui oleh Nana, di antara isakannya, Nana bergumam lembut,
“Aku mencintaimu Reno.”
Reno... dan bukan Rangga.
***
Sementara itu kedua orang tua Reno tampak mengawasi Nana dan Reno dari balik kaca besar itu. Papa Reno memeluk mama Reno yang masih menatap semuanya dalam keheningan,
“Kurasa kita harus membiarkan anak kita berbahagia dan menentukan pilihannya.”
Mama Reno masih terdiam, mengamati wajah anak tunggalnya yang menatap wajah Nana dengan penuh cinta. Dia menghela napas panjang dan kemudian menghela napas panjang. Tidak tahu harus berkata apa.
***
Ketika Axel dan Diandra sampai di rumah, Axel masih memeluk pundak Diandra yang rapuh dengan hati-hati,
“Bagaimana dengan pengetahuanmu itu Diandra? Apakah kau akan membicarakan dengan orangtuamu?”
Diandra termenung kemudian menganggukkan kepalanya, “Kurasa aku akan memberitahukan kepada papa dan mama bahwa aku sudah tahu kenyataan diriku bukan anak kandung mereka. Aku tidak bisa menyimpannya terus..” desahnya pelan,.
Dalam hati Axel merasa lega. Kalau Diandra membuka kenyataan tentang dirinya kepada keluarga mereka. Akan terbuka kesempatan bagi Axel untuk mendekati Diandra secara terang-terangan. Semua akan lebih nyaman kalau seluruh keluarga tahu bahwa Axel dan Diandra sama sekali tidak berhubungan darah.
Kemudian Diandra mengangkat kepalanya dan menatap Axel dengan serius.
“Tetapi mengenai masalah Rangga adalah kakakku, aku ingin kita menyimpannya untuk diri kita sendiri Axel, cukup kita yang tahu, bahwa jantung yang ada di dada Reno adalah jantung kakak kandungku, bahwa Rangga dan aku mempunyai hubungan darah, aku ingin menyimpan semua itu sendiri dulu, sampai aku bisa menelaah semuanya.”
Axel menganggukkan kepalanya,
“Kau tahu aku sellau bisa menyimpan rahasia.” Gumamnya pelan. “Aku akan tetap diam sampai saatnya nanti kau siap untuk membuka semuanya.”
Diandra menghela napas panjang. Entah kapan dia siap. Kenyataan bahwa Rangga adalah kakak kandungnya masih membuatnya shock.
“Rasanya menyedihkan, mempunyai kakak kandung yang hubungan darahnya begitu dekat dengan kita, tetapi tidak menyadarinya.” Mata Diandra tampak sedih, “Bahkan aku tidak akan pernah dan tidak akan pernah bisa melihat kakak lelakiku dan bertemu dengannya.”
Axel tersenyum tipis, “Aku selalu bisa menjadi kakak lelakimu kalau kau mau.”
Diandra mencibir, “Seorang kakak lelaki tidak mungkin mencium adiknya sendiri.” Meskipun pipinya merona ketika mengungkit ciuman itu, tetapi Diandra merasa puas bisa menggoda Axel. Yah. Kehadiran lelaki itu yang menopangnya sedikit banyak telah membantu Diandra supaya tegar dan kuat. Bahkan dia bisa dengan gagah berani melepaskan Reno.
Dan ternyata setelah dia ikhlas melepaskan, semuanya jadi terasa lebih ringan. Batinnya terasa tenang dan ringan, tidak digayuti dengan berbagai kesedihan, kemarahan dan perasaan dikhianati... mungkin sudah sejak lama dia harus melakukan ini.
Apa yang sudah terjadi tidak bisa dibalik lagi. Sebagai manusia, dia hanya bisa terus melangkah dan menjalaninya.
Sementara itu pipi Axel tampak sedikit merona ketika mendengar godaan Diandra kepadanya. Axel tentu saja tidak sengaja bersikap impulsif, mencium Diandra seperti itu.. tetapi memang perasaan cintanya yang bertumbuh makin besar kepada perempuan di depannya ini sulit untuk dibendungnya.
“Aku tidak akan melakukannya lagi kalau kau tidak mau. Aku berjanji.” Gumam Axel sungguh-sungguh. Dia tidak mau ciuman itu menjadi batu sandungan kedekatannya dengan Diandra.
Kalau saat ini Diandra menginginkan keberadaannya sebagai kakak laki-lakinya, sepupunya atau apalah. Axel akan melakukannya, dia akan berusaha sedapat mungkin agar Diandra nyaman bersamanya.
Diandra sendiri hanya tersenyum simpul penuh rahasia.
“Siapa bilang aku tidak mau?” dan kemudian setengah menahan senyumnya, perempuan itu membalikkan badannya, dan masuk ke kamar, meninggalkan Axel yang masih terpaku mendengar kata-kata Diandra yang sama sekali tidak diduganya itu.
Apakah Diandra sedang bercanda, ataukah perempuan itu serius dengan kata-katanya?
Axel terpaku, tidak menemukan jawabannya. Matanya masih menatap pintu kamar Diandra yang tertutup rapat dengan sia-sia.
***
“Aku akan menunggu di rumah sakit.” Nana bergumam lembut kepada Nirina setelah di keluar dari ruangan Reno, sementara itu Nirina menatap Nana penuh perhatian,
“Kau tidak apa-apa? Semua baik-baik saja?”
Air mata Nana bergulir, tetapi itu bukan air mata kesedihan,
“Semua baik-baik saja.”
Jawaban Nana sederhana, tetapi Nirina mengerti, itu sudah cukup untuk mencakup semuanya. Nirina memeluk sahabatnya dengan lembut,
“Syukurlah kalau begitu, aku akan pulang ke rumahmu dan kembali kemari untuk membawakan baju ganti.”
“Kau tidak perlu repot-repot, Nirina.” Nana tersenyum sungguh-sungguh tidak mau merepotkan sahabatnya itu.
Tetapi Nirina menggelengkan kepalanya dan membantah perkataan Nana,
“Aku sahabatmu, jadi jangan pernah memikirkan akan merepotkanku. Kurasa akan datang saatnya nanti ketika akulah yang akan merepotkanmu.” Nirina tersenyum jahil. “Kalau begitu aku pergi dulu ya, nanti aku kembali lagi.”
Nana menganggukkan kepalanya dan masih menyimpan senyumnya sampai Nirina menghilang dari pandangan.
Kemudian dia menyadari ada orang yang berdiri di dekatnya. Dia menolehkan kepalanya dan mendapati mama Reno berdiri di belakangnya. Perempuan itu tampak canggung menatap Nana,
“Papa Reno sedang check in di hotel terdekat dari rumah sakit ini. Dan Reno sedang tidak boleh dibesuk, jadi saya pikir, kalau Nana ada waktu, kita bisa duduk di cafetaria dan berbicara.”
Jantung Nana berdebar, tiba-tiba saja merasa gugup.
***
“Saya pernah meneleponmu waktu itu, Nana. Dan maafkan saya karena pada akhirnya tidak datang menemuimu untuk menepati janji. Kau tahu, keadaan begitu rumit waktu itu dan Reno melarang saya.” Gumam mama Reno datar sambil menyesap tehnya.
Nana menganggukkan kepalanya, menangkupkan jemarinya di mug cokelat panas di depannya. Mereka duduk di sudut cafetaria besar yang ada di lantai dasar sayap rumah sakit itu.
Cafetaria itu dulunya mungkin adalah aula besar, dengan langit-langit yang tinggi dan kios-kios penjual makanan yang elegan di sepanjang sisi kanannya. Sementara itu di sisi kirinya berupa jendela kaca berukuran besar-besar yang menampilkan pemandangan taman yang hijau.
“Saya mengerti.” Gumam Nana lemah.
Mama Reno mengamati Nana, meneliti. Nana memang cantik, meskipun tidak secantik Diandra, ada kelembutan dalam pembawaannya. Meskipun begitu, mama Reno masih tidak yakin mengenai Nana, benarkah perempuan di depannya ini yang terbaik untuk anaknya?
“Masalah ini begitu rumit, dan kau mungkin sependapat denganku bahwa hal ini bahkan sulit dipahami oleh akal sehat.” Mama Reno menghela napas, “Bolehkah aku asumsikan bahwa kau sudah mengetahu segalanya tentang Reno? Tentang jantung itu?”
Nana menganggukkan kepalanya lemah,
“Ya, saya sudah tahu semuanya, dan saya sungguh-sungguh terkejut.”
“Tentu saja.” Mama Reno mendesah, “Memang tidak adil menyalahkanmu atas rusaknya hubungan Diandra dengan Reno.... karena Reno bahkan meninggalkan Diandra sebelum bertemu denganmu, kau memang tidak pernah menjadi orang ketiga di antara mereka. Pun ketika akhirnya kau mulai membuka hatimu untuk Reno, anak itu masih merahasiakan semuanya kepadamu. Karena itulah saya... tidak mungkin menyalahkanmu atas semuanya.” Tatapan mama Reno tampak dalam, menembus jauh ke dalam hati Nana,
“Maukah kau ceritakan kepadaku kisah tentang Rangga? Mungkin dengan begitu saya bisa lebih memahami kejadian ini, dan mencoba mengerti.”
Nana menganggukkan kepalanya. Dan kemudian mulai bercerita, semuanya, tentang kisahnya dengan Rangga, tentang kematian Rangga menjelang hari pernikahan mereka, tentang Reno yang datang kemudian, dan tentang kesadaran Nana bahwa dia mencintai Reno, tidak peduli jantung siapa yang ada di dadanya.
Mata mama Reno tampak berkaca-kaca setelah Nana bercerita, perempuan setengah baya itu menghela napas panjang berkali-kali dan kemudian menyusut air matanya dengan sapu tangan yang dibawanya.
“Saya rasa.... kalau kau memang benar-benar mencintai Reno, bukan hanya karena jantung di dadanya, saya bisa menerima bahwa kau mungkin perempuan yang bisa membuat Reno bahagia, apalagi mengingat betapa besarnya cinta Reno kepadamu.”
Nana menghela napas panjang, menatap mama Reno dalam senyuman tipis.
“Terimakasih.... saya.. saya akan mencoba sebaik mungkin membahagiakan Reno.”
Mama Reno menganggukkan kepalanya,
“Ya. Saya percaya kau akan bisa melakukannya, Nana.” Perempuan itu setengah beranjak dari duduknya, “Diandra memang akan selalu menjadi puteri kesayanganku, dan tak akan tergantikan. Tetapi mungkin aku bisa menambah satu puteri lagi.” Perempuan setengah baya itu berdiri, dan ketika Nana mengikutinya berdiri, tanpa diduga, Mama Reno memeluk Nana dengan lembut.
***
Meskipun kakinya masih di gips, Reno sudah bisa bergerak sekarang dan tidak tergantung pada infus. Pagi itu suster membantunya pindah ke kursi roda. Dan sekarang dia sedang berada di taman, menatap ke arah pemandangan rumput yang menghijau dan ditata dengan indah, dengan Nana berdiri di belakangnya,
“Aku senang semua akhirnya berlangsung dengan baik antara kau dan keluargaku.” Gumam Reno kemudian, memecah keheningan yang syahdu.
Nana terdiam, menatap keindahan di depannya, lalu menatap puncak kepala Reno dan tersenyum sendu.
Mereka sudah bisa bersama dan direstui sekarang. Keluarga Reno sudah menemui keluarga Nana, ada saling pengertian yang terjalin di antara mereka, pengertian bahwa kedua anak mereka memang benar-benar saling mencintai dan ditakdirkan bersama.
“Aku bersyukur semua baik adanya Reno.” Air mata Nana menetes, “Berjanjilah setelah ini kau akan berhati-hati kalau menyetir, bahwa kau akan menjaga dirimu untukku.”
Reno meraih jemari Nana yang berdiri di belakangnya dan mengecupnya,
“Aku berjanji sayang, dulu bahkan aku merasa tidak punya harapan hidup lagi, tetapi jantung Rangga di sini telah memberiku kesempatan kedua. Kesempatan untuk mencintaimu dengan sepenuh hatiku, dan aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Betapa aku mencintaimu Nana, di hatiku, di kepalaku. Aku mohon segera setelah aku sembuh, menikahlah denganku.”
Nana tertegun. Lamaran untuk menikah, diucapkan di taman rumah sakit yang indah. Sungguh romantis dan menggugah hati, meskipun tanpa cincin.
Reno mendongak, berusaha mencari wajah Nana yang terdiam dan kemudian, lelaki itu menatap Nana dengan ragu,
“Apakah kau mau menikah denganku, Nana?”
Air mata bergulir di pipi Nana, air mata kebahagiaan.
“Ya Reno. Aku mau. Aku mau menikah denganmu.”
Reno menatap Nana dengan tatapan mata berkaca-kaca, “Terimakasih Nana, aku.... bahagia.”
Dan kemudian dua anak manusia itu berpegangan tangan dengan eratnya, seperti halnya dua hati mereka yang terjalin penuh cinta dan kepercayaan.
Nana pernah patah hati, pernah hancur karena cinta, dan Renolah yang telah membawanya kembali, membuatnya berani untuk mencintai. Mungkin jantung Rangga di dalam sana memberikan pengaruh, mungkin juga tidak, Nana sudah tidak memikirkannya lagi.Yang terpenting sekarang, dia menyayangi Reno, dia membuka hatinya untuk Reno sekaligus membuka masa depan mereka untuk bersama. Mereka memang telah melalui segalanya, menyakiti satu sama lain dan kemudian dipersatukan lagi. Tetapi satu hal yang pasti Nana yakini. Reno mencintainya dengan tulus, setulus cinta Nana kepada lelaki itu.
Dan mereka akan menjaga cinta itu selama Tuhan mengizinkan mereka. Sampai di suatu titik jantung mereka akan berdebar satu sama lain untuk saling setia.
Bukan lagi jantung Rangga, tetapi jantung Reno. Bukan lagi mencintai kenangan, tetapi mencintai kesempatan yang dihadiahkan Tuhan kepada mereka berdua.
Bersambung ke Part 17 ( epilog) ---> story about Diandra & Axel
Published on June 13, 2013 01:00
The Vague Temptation Prolog
Karena "Crush In Rush" dan "Menghitung Hujan" tinggal beberapa bab lagi akan tamat, maka disiapkan cerita penggantinya untuk dinikmati di blog secara bersambung sebagai bacaan baru menemani "Embrace The Chord" dan "Another 5%" yang masih bersambung di blog ini :)
Semoga kalian semua suka yaa ^____^
Suara hiruk pikuk bar yang remang-remang itu semakin memekakkan telinga ketika waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, Alexa mencoba mencari tempat yang tidak tersentuh di tengah hiruk pikuk suasana itu, dan dia berhasil menemukan sebuah tempat di sudut, dekat area menuju toilet yang sedikit gelap dan sepi.
Sungguh, bukan keinginannya untuk berada di sini.
Tetapi apalah dayanya? Dia butuh uang, mereka semua butuh uang.
Ayahnya yang sembrono telah mempertaruhkan rumah mereka di meja judi, sehingga mereka semua terancam tidak akan punya tempat bernaung lagi. Minggu depan mereka harus bisa mengumpulkan uang untuk pembayaran cicilan awal, kalau tidak orang-orang jahat itu akan mengirimkan preman untuk mengancam Alexa dan ayahnya.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Alexa adalah menerima pekerjaan malam ini, pekerjaan yang ditawarkan oleh Gina, temannya. Alexa sama sekali tidak pernah menyangka akan menjalani pekerjaan ini, sebagai pramutama atau lebih tepatnya perempuan penuang bir yang melayani dan menemani minum para lelaki hidung belang menghabiskan minumannya, kalau perlu merayu mereka agar mereka mau terus dan terus menambah minumannya demi keuntungan pemilik bar.
Alexa tidak punya pengalaman merayu lelaki sama sekali! Meskipun sekarang dia memakai pakaian yang bertolak belakang dengan pengalamannya. Korset ketat warna hitam dan rok kulit super mini yang memamerkan kemolekan pahanya adalah seragam khusus pramutama bar ini, sengaja didesain untuk menggoda lelaki manapun yang ada.
Dan rok itu benar-benar mini, mempertontonkan separuh pahanya, membuat Alexa tidak nyaman, ketika berdiri dia berusaha menarik-narik rok itu supaya sedikit turun, sebuah usaha yang sungguh percuma. Ketika dudukpun Alexa harus repot karena mencoba menarik rok itu supaya tidak mempertontonkan pahanya secara vulgar.
Pekerjaan ini beresiko dan menginjak harga diri Alexa sebagai perempuan baik-baik. Tetapi Gina bilang kalau dia bisa menyenangkan pengunjung, tipsnya besar, bisa beberapa ratus ribu semalam, kata Gina, Alexa hanya perlu tersenyum lebar, menuangkan minuman ketika diminta dan menjaga gelas tamunya terisi penuh, paling kekuarangannya hanyalah ketika Alexa harus menghadapi beberapa pengunjung yang cabul dan nakal, tetapi kata Gina juga, Alexa tidak perlu cemas, ada banyak bodyguard penjaga yang tersebar di area bar ini, kalau salah satu tamu sudah keterlaluan, para bodyguard bertubuh kekar itu pasti akan menolong mereka untuk memperingatkan sang tamu.
Yah...kalau Alexa bisa bertahan untuk satu bulan saja, uang tips yang diterimanya bisa lebih besar dari gaji pokoknya sebagai seorang staff administrasi. Dan Alexa harus bertahan... dia harus bertahan demi ayahnya dan rumah mereka, satu-satunya harta mereka yang tersisa.
"Alexa." Denis si bartender menyentuh pundaknya, membuatnya tesentak dari lamunannya, Alexa menoleh dan menatap Denis bingung,
Denis bahkan tidak menunggu jawaban Alexa.
"Ada tamu yang datang dan meminta ditemani olehmu. Ayo, kau harus segera ke sana, kelihatannya itu tamu penting, dari pakaiannya dan penampilannya dia benar-benar membuat semua mata melirik kepadanya."
Alexa mengikuti langkah Denis yang tergesa sambil mengerutkan keningnya,
Tamu yang memesan khusus ditemani olehnya?
Alexa baru bekerja 5 hari di bar ini, selama beberapa malam itu dia menemani seorang lelaki gendut yang bahkan terlalu mabuk untuk berdiri dan beberapa lelaki lain yang sibuk mencoba merabanya membuat Alexa sibuk menepis tangan-tangan nakal itu dengan sopan, berusaha tidak menyinggung tamunya.
Apakah tamu malam ini salah satu dari tamunya yang kemarin? Alexa tidak keberatan menemani lelaki gendut yang pemabuk itu karena lelaki itu bahkan lebih tertarik kepada minumannya daripada kepada Alexa, tapi dia merasa was-was kalau harus menemani lelaki cabul yang mencoba meraba-rabanya kemarin....
Bagaimana dia bisa bertahan semalam lagi, dengan rasa malu jauh di dalam hatinya dan harga diri yang diinjak-injak seperti ini? Alexa mengernyit. Sungguh, seandainya bisa dia ingin melakukan pekerjaan lain. Tetapi gaji dari pekerjaannya di siang hari sebagai staff administrasi hanya cukup untuk membiayai dia dan ayahnya makan sehari-hari, belum lagi ketika ayahnya mulai kambuh berjudi, dan pulang membawa setumpuk hutang..... pekerjaan ini adalah satu-satunya tumpuannya untuk mendapatkan uang lebih bayak, demi membayar hutang ayahnya.
Denis mengantarkannya ke meja remang-remang di posisi yang paling sudut, tempat tamu itu menunggu, meja itu termasuk meja ekslusif karena privasinya terjamin dan lumayan jauh dari hiruk pikuk musik dan lantai dansa. Tamu itu haruslah orang kaya untuk bisa memesan meja ini.
"Maafkan kami lama Tuan, ini dia Lexa, yang anda pesan untuk menemani anda malam ini." Denis setengah membungkukkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan Alexa sendirian.
Alexa melangkah, ke depan lelaki yang duduk membelakanginya itu, berusaha tersenyum lebar dan ceria,
"Hai aku Lexa, terimakasih sudah memilihku untuk menemanimu..." suara Alexa otomatis langsung terhenti ketika bertatapan dengan mata itu, mata abu-abu yang paling dingin yang pernah dilihatnya.
Sorot mata lelaki itu tidak seperti lelaki lain yang berkunjung ke bar ini untuk bersenang-senang. Mata itu pucat, seperti salju di kegelapan malam, dan begitu dingin tanpa emosi di baliknya. Alexa mengamati penampilan lelaki itu dan semakin yakin bahwa lelaki itu jenis yang berbeda dengan semua pengunjung bar ini. Dia mengenakan setelan jas lengkap yang sangat rapi, menempel pas di tubuhnya yang atletis, seolah memang dijahit khusus untuknya.
Bagaimana pula lelaki itu bisa mengenalnya dan meminta khusus ditemani olehnya? Sudah jelas Alexa tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dia pasti ingat kalau dia pernah bertemu dengan lelaki itu, sorot mata sedingin itu pastilah tidak mudah dilupakan.
"Duduk." lelaki itu bergumam singkat, suaranya dalam dan tajam membuat Alexa sedikit takut, dia kemudian menurut, duduk di samping lelaki itu, tidak berani terlalu dekat karena lelaki itu sepertinya mengeluarkan aura gelap yang mengancam.
Lama kemudian mereka berdua hanya duduk tanpa percakapan dan gerakan apapun. Alexa tertunduk dan entah kenapa jantungnya berdegup kencang, apalagi ketika dia merasa bahwa lelaki itu mengamatinya. Tiba-tiba saja Alexa merasa malu dengan baju korset dan rok mininya yang ketat, apalagi dandanannya yang menor dengan lipstick merah menyala, membuatnya tampak seperti pelacur.
"Anda mau saya tuangkan minuman?" Alexa sedikit maju, berusaha memecahkan keheningan yang menyesakkan itu, jemarinya sedikit bergetar ketika hendak meraih botol minuman di meja,
Tetapi secepat kilat jemari kuat lelaki itu menepis tangan Alexa lalu mencengkeramnya, membuat Alexa mendongak dan menatap lelaki itu dengan kaget.
"Aku kemari bukan untuk minum." Tiba-tiba saja lelaki itu meraih tangan Alexa yang masih terperangah, menariknya begitu kuat sehingga menabrak dadanya yang bidang, dan kemudian dengan kasar melumat bibirnya.
Bibir lelaki itu dingin dan melumatnya dengan kejam hingga Alexa merasa sakit, dia memekik dengan suara yang tak bisa keluar karena bibirnya sedang dilumat, dan berusaha memberontak, meronta sekuat tenaga, meskipun gerakan tangannya tertahan oleh jemari lelaki itu yang mencengkeram kedua tangannya.
Alexa merasakan panas di matanya, ingin menangis dan menejerit kuat-kuat. Tidak ada yang bisa menolongnya kalau dia dilecehkan di sini, apalagi kursi yang mereka duduki merupakan tempat privat sehingga tidak banyak orang yang mendekat ke sudut ini. Alexa ingin mengutuki dirinya sendiri, ini semua salahnya, karena keputusasaannya mencari uang, dia sampai mengambil pekerjaan seperti ini. Dia tahu cepat atau lambat dia akan menerima penghinaan ini, dilecehkan oleh salah seorang tamu.
Lelaki itu kemudian melepaskan bibir Alexa, dan juga cengkeraman tangannya, membuat Alexa langsung beringsut mundur dan menjauh dengan tatapan mata ketakutan, seperti seorang kelinci kecil yang harus berhadapan dengan serigala buas.
Dia benar-benar takut, apalagi ketika mata dingin lelaki itu menatapnya dengan penuh kebencian.
Bibir Alexa terasa panas dan memar karena ciuman paksa yang tidak tanggung-tanggung itu. Dan di bibir lelaki itu terdapat bekas lipstick merah Alexa yang membekas di mana-mana.
Lelaki itu melirik Alexa dengan jahat, lalu mengusap mulutnya, kemudian dia berdiri, dan mengeluarkan setumpuk uang dari saku jas-nya.
"Ternyata kau hanyalah seorang pelacur rendahan." gumam lelaki itu muak, lalu melemparkan uang itu ke pangkuan Alexa, dan melangkah pergi.
Meninggalkan Alexa yang terpana tidak menyangka akan semua hal yang dialaminya.
Ketika bayangan lelaki itu menghilang di tengah hiruk pikuknya orang yang menikmati malam. Alexa menghapus cairan hangat di sudut matanya.
Ya. Dia memang pantas dihina. Meskipun pekerjaan ini bukanlah pekerjaan menjual diri, tetapi dia telah merendahkan dirinya sendiri dengan melakukan ini semua
Bersambung ke Part 1
Semoga kalian semua suka yaa ^____^

Suara hiruk pikuk bar yang remang-remang itu semakin memekakkan telinga ketika waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, Alexa mencoba mencari tempat yang tidak tersentuh di tengah hiruk pikuk suasana itu, dan dia berhasil menemukan sebuah tempat di sudut, dekat area menuju toilet yang sedikit gelap dan sepi.
Sungguh, bukan keinginannya untuk berada di sini.
Tetapi apalah dayanya? Dia butuh uang, mereka semua butuh uang.
Ayahnya yang sembrono telah mempertaruhkan rumah mereka di meja judi, sehingga mereka semua terancam tidak akan punya tempat bernaung lagi. Minggu depan mereka harus bisa mengumpulkan uang untuk pembayaran cicilan awal, kalau tidak orang-orang jahat itu akan mengirimkan preman untuk mengancam Alexa dan ayahnya.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Alexa adalah menerima pekerjaan malam ini, pekerjaan yang ditawarkan oleh Gina, temannya. Alexa sama sekali tidak pernah menyangka akan menjalani pekerjaan ini, sebagai pramutama atau lebih tepatnya perempuan penuang bir yang melayani dan menemani minum para lelaki hidung belang menghabiskan minumannya, kalau perlu merayu mereka agar mereka mau terus dan terus menambah minumannya demi keuntungan pemilik bar.
Alexa tidak punya pengalaman merayu lelaki sama sekali! Meskipun sekarang dia memakai pakaian yang bertolak belakang dengan pengalamannya. Korset ketat warna hitam dan rok kulit super mini yang memamerkan kemolekan pahanya adalah seragam khusus pramutama bar ini, sengaja didesain untuk menggoda lelaki manapun yang ada.
Dan rok itu benar-benar mini, mempertontonkan separuh pahanya, membuat Alexa tidak nyaman, ketika berdiri dia berusaha menarik-narik rok itu supaya sedikit turun, sebuah usaha yang sungguh percuma. Ketika dudukpun Alexa harus repot karena mencoba menarik rok itu supaya tidak mempertontonkan pahanya secara vulgar.
Pekerjaan ini beresiko dan menginjak harga diri Alexa sebagai perempuan baik-baik. Tetapi Gina bilang kalau dia bisa menyenangkan pengunjung, tipsnya besar, bisa beberapa ratus ribu semalam, kata Gina, Alexa hanya perlu tersenyum lebar, menuangkan minuman ketika diminta dan menjaga gelas tamunya terisi penuh, paling kekuarangannya hanyalah ketika Alexa harus menghadapi beberapa pengunjung yang cabul dan nakal, tetapi kata Gina juga, Alexa tidak perlu cemas, ada banyak bodyguard penjaga yang tersebar di area bar ini, kalau salah satu tamu sudah keterlaluan, para bodyguard bertubuh kekar itu pasti akan menolong mereka untuk memperingatkan sang tamu.
Yah...kalau Alexa bisa bertahan untuk satu bulan saja, uang tips yang diterimanya bisa lebih besar dari gaji pokoknya sebagai seorang staff administrasi. Dan Alexa harus bertahan... dia harus bertahan demi ayahnya dan rumah mereka, satu-satunya harta mereka yang tersisa.
"Alexa." Denis si bartender menyentuh pundaknya, membuatnya tesentak dari lamunannya, Alexa menoleh dan menatap Denis bingung,
Denis bahkan tidak menunggu jawaban Alexa.
"Ada tamu yang datang dan meminta ditemani olehmu. Ayo, kau harus segera ke sana, kelihatannya itu tamu penting, dari pakaiannya dan penampilannya dia benar-benar membuat semua mata melirik kepadanya."
Alexa mengikuti langkah Denis yang tergesa sambil mengerutkan keningnya,
Tamu yang memesan khusus ditemani olehnya?
Alexa baru bekerja 5 hari di bar ini, selama beberapa malam itu dia menemani seorang lelaki gendut yang bahkan terlalu mabuk untuk berdiri dan beberapa lelaki lain yang sibuk mencoba merabanya membuat Alexa sibuk menepis tangan-tangan nakal itu dengan sopan, berusaha tidak menyinggung tamunya.
Apakah tamu malam ini salah satu dari tamunya yang kemarin? Alexa tidak keberatan menemani lelaki gendut yang pemabuk itu karena lelaki itu bahkan lebih tertarik kepada minumannya daripada kepada Alexa, tapi dia merasa was-was kalau harus menemani lelaki cabul yang mencoba meraba-rabanya kemarin....
Bagaimana dia bisa bertahan semalam lagi, dengan rasa malu jauh di dalam hatinya dan harga diri yang diinjak-injak seperti ini? Alexa mengernyit. Sungguh, seandainya bisa dia ingin melakukan pekerjaan lain. Tetapi gaji dari pekerjaannya di siang hari sebagai staff administrasi hanya cukup untuk membiayai dia dan ayahnya makan sehari-hari, belum lagi ketika ayahnya mulai kambuh berjudi, dan pulang membawa setumpuk hutang..... pekerjaan ini adalah satu-satunya tumpuannya untuk mendapatkan uang lebih bayak, demi membayar hutang ayahnya.
Denis mengantarkannya ke meja remang-remang di posisi yang paling sudut, tempat tamu itu menunggu, meja itu termasuk meja ekslusif karena privasinya terjamin dan lumayan jauh dari hiruk pikuk musik dan lantai dansa. Tamu itu haruslah orang kaya untuk bisa memesan meja ini.
"Maafkan kami lama Tuan, ini dia Lexa, yang anda pesan untuk menemani anda malam ini." Denis setengah membungkukkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan Alexa sendirian.
Alexa melangkah, ke depan lelaki yang duduk membelakanginya itu, berusaha tersenyum lebar dan ceria,
"Hai aku Lexa, terimakasih sudah memilihku untuk menemanimu..." suara Alexa otomatis langsung terhenti ketika bertatapan dengan mata itu, mata abu-abu yang paling dingin yang pernah dilihatnya.
Sorot mata lelaki itu tidak seperti lelaki lain yang berkunjung ke bar ini untuk bersenang-senang. Mata itu pucat, seperti salju di kegelapan malam, dan begitu dingin tanpa emosi di baliknya. Alexa mengamati penampilan lelaki itu dan semakin yakin bahwa lelaki itu jenis yang berbeda dengan semua pengunjung bar ini. Dia mengenakan setelan jas lengkap yang sangat rapi, menempel pas di tubuhnya yang atletis, seolah memang dijahit khusus untuknya.
Bagaimana pula lelaki itu bisa mengenalnya dan meminta khusus ditemani olehnya? Sudah jelas Alexa tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dia pasti ingat kalau dia pernah bertemu dengan lelaki itu, sorot mata sedingin itu pastilah tidak mudah dilupakan.
"Duduk." lelaki itu bergumam singkat, suaranya dalam dan tajam membuat Alexa sedikit takut, dia kemudian menurut, duduk di samping lelaki itu, tidak berani terlalu dekat karena lelaki itu sepertinya mengeluarkan aura gelap yang mengancam.
Lama kemudian mereka berdua hanya duduk tanpa percakapan dan gerakan apapun. Alexa tertunduk dan entah kenapa jantungnya berdegup kencang, apalagi ketika dia merasa bahwa lelaki itu mengamatinya. Tiba-tiba saja Alexa merasa malu dengan baju korset dan rok mininya yang ketat, apalagi dandanannya yang menor dengan lipstick merah menyala, membuatnya tampak seperti pelacur.
"Anda mau saya tuangkan minuman?" Alexa sedikit maju, berusaha memecahkan keheningan yang menyesakkan itu, jemarinya sedikit bergetar ketika hendak meraih botol minuman di meja,
Tetapi secepat kilat jemari kuat lelaki itu menepis tangan Alexa lalu mencengkeramnya, membuat Alexa mendongak dan menatap lelaki itu dengan kaget.
"Aku kemari bukan untuk minum." Tiba-tiba saja lelaki itu meraih tangan Alexa yang masih terperangah, menariknya begitu kuat sehingga menabrak dadanya yang bidang, dan kemudian dengan kasar melumat bibirnya.
Bibir lelaki itu dingin dan melumatnya dengan kejam hingga Alexa merasa sakit, dia memekik dengan suara yang tak bisa keluar karena bibirnya sedang dilumat, dan berusaha memberontak, meronta sekuat tenaga, meskipun gerakan tangannya tertahan oleh jemari lelaki itu yang mencengkeram kedua tangannya.
Alexa merasakan panas di matanya, ingin menangis dan menejerit kuat-kuat. Tidak ada yang bisa menolongnya kalau dia dilecehkan di sini, apalagi kursi yang mereka duduki merupakan tempat privat sehingga tidak banyak orang yang mendekat ke sudut ini. Alexa ingin mengutuki dirinya sendiri, ini semua salahnya, karena keputusasaannya mencari uang, dia sampai mengambil pekerjaan seperti ini. Dia tahu cepat atau lambat dia akan menerima penghinaan ini, dilecehkan oleh salah seorang tamu.
Lelaki itu kemudian melepaskan bibir Alexa, dan juga cengkeraman tangannya, membuat Alexa langsung beringsut mundur dan menjauh dengan tatapan mata ketakutan, seperti seorang kelinci kecil yang harus berhadapan dengan serigala buas.
Dia benar-benar takut, apalagi ketika mata dingin lelaki itu menatapnya dengan penuh kebencian.
Bibir Alexa terasa panas dan memar karena ciuman paksa yang tidak tanggung-tanggung itu. Dan di bibir lelaki itu terdapat bekas lipstick merah Alexa yang membekas di mana-mana.
Lelaki itu melirik Alexa dengan jahat, lalu mengusap mulutnya, kemudian dia berdiri, dan mengeluarkan setumpuk uang dari saku jas-nya.
"Ternyata kau hanyalah seorang pelacur rendahan." gumam lelaki itu muak, lalu melemparkan uang itu ke pangkuan Alexa, dan melangkah pergi.
Meninggalkan Alexa yang terpana tidak menyangka akan semua hal yang dialaminya.
Ketika bayangan lelaki itu menghilang di tengah hiruk pikuknya orang yang menikmati malam. Alexa menghapus cairan hangat di sudut matanya.
Ya. Dia memang pantas dihina. Meskipun pekerjaan ini bukanlah pekerjaan menjual diri, tetapi dia telah merendahkan dirinya sendiri dengan melakukan ini semua
Bersambung ke Part 1
Published on June 13, 2013 00:43
June 12, 2013
Embrace The Chord Part 8

Luar biasa...
Bukan hanya ketampanannya saja yang mendominasi seluruh panggung, membuat seluruh perempuan yang berdiri di depan panggung, mayoritas utama penonton berteriak-teriak histeris di tengah hingar bingarnya musik.
Rachel bahkan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ternganga, karena ternyata kepandaian Jason bermain gitar tidak kalah dengan kehebatannya bermain biola. Rachel memang bukan ahlinya tentang permainan gitar, dia mungkin bisa menilai dengan mudah permainan piano atau biola seseorang, tetapi alat-alat musik di genre musik pop dan band sama sekali bukan keahliannya. Meskipun begitu Rachel bisa tahu bahwa permainan gitar Jason sangat bagus, lelaki itu memainkan musiknya dengan begitu mahir.
Lama kemudian Rachel terlarut dalam hingar bingarnya suasana, band terus memainkan musik yang penuh energi, membawa penonton ke dalam suasananya dan semuanya terhipnotis dengan kemampuan bermain gitar Jason yang berpadu dengan suara vokal David yang merdu.
Luar biasa.... Rachel tidak menyadari bahwa musik dengan aliran lain bisa seindah ini, dia selalu menganggap bahwa musik klasik adalah yang terindah... ternyata musik aliran lain, kalau dimainkan dengan sepenuh hati, akan menciptakan nada yang sama indahnya.
Lamunan Rachel tersentak oleh gemuruh tepuk tangan yang membahana, semua penonton berteriak-teriak histeris di bawah panggung, dan dilihatnya Jason dan rekan band-nya membungkukkan badan kepada seluruh penonton, membuat mereka semua semakin histeris.
Jason berjalan ke arah samping panggung, tempat Rachel masih berdiri dan terpaku, senyumnya melebar, lelaki itu hendak menghampiri Rachel ketika salah seorang penonton yang histeris nekad naik ke panggung,
"Jason!" teriak perempuan itu dengan tatapan mata memuja, lalu tanpa disangka-sangka, perempuan itu merangkulkan lengannya di leher Jason dan mencium bibirnya dengan sekuat tenaga.

"Bagaimana permainanku?" Jason masuk ke samping panggung, berdiri dengan begitu arogan seolah-olah Rachel wajib memujinya, sementara itu Rachel mengamati Jason dan mengernyitkan keningnya. Ada bekas lipstick di seluruh bibir Jason, bekas lipstick dari perempuan yang tadi menciumnya..... oh ya ampun, lelaki ini memang terbiasa sembarangan berciuman dengan siapa saja!
"Menurutku menarik." jawab Rachel sekenanya.
Jason mengangkat alisnya, "Menarik? hanya itu?"
Tatapan Rachel tampak tidak bersahabat, "Memangnya kau mengharapkan pujuan seperti apa? bukankah kau sudah banyak menerima pujian dari semua orang? masih belum puaskah?"
Jason tertawa, lalu menatap Rachel penuh makna, "Kenapa kau begitu membenciku Rachel? sejak awal mula sepertinya kau selalu terdorong untuk menentangku." lelaki itu berjalan ke area belakang panggung, langsung menuju pintu belakang, membuat Rachel terpaksa mengikutinya, dan tetap diam saja, mencoba pura-pura tidak mendengar perkataan Jason.
Ya, dia sendiri tidak tahu kenapa dia bersikap antipati kepada lelaki itu, mungkin karena kearoganan Jason, mungkin karena sikapnya yang tidak menghormati perempuan, atau mungkin juga karena aura lelaki itu terasa mengancam. Jason terlalu tampan, terlalu mempesona dan tidak segan-segan menguarkan seluruh pesonanya itu kepada perempuan manapun. Tetapi Jason berbahaya, dari seluruh reputasi yang didengar oleh Rachel dia menyadari bahwa Jason jahat kepada perempuan, dia selalu memainkan hati mereka, membuat para perempuan itu menyadari bahwa mereka sudah menaklukkan Jason, membuat para perempuan itu bermimpi sampai terbang tinggi, dan kemudian langsung menghempaskan mereka begitu saja dengan hati hancur. Dibalik sikap ramah dan pesonanya, Jason adalah seorang pembenci perempuan. Dan Rachel ketakutan akan menjadi salah seorang perempuan calon korban Jason, tergila-gila akan pesona lelaki itu hanya untuk dihancurkan begitu saja. Jadi, sikap ketus dan menjauhnya, mungkin adalah estimasi dari pertahanan dirinya terhadap lelaki itu.
Tetapi tentu saja Rachel tidak akan bisa menjelaskan hal itu kepada Jason bukan?
Jason sendiri melirik ke arah Rachel yang hanya diam sambil mengikutinya, dia lalu mengangkat bahunya dan tersenyum skepstis,
"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang." gumamnya sambil melangkah cepat-cepat menuju parkiran, membiarkan Rachel mengikutinya.
***
"Kau tahu kenapa aku mengajakmu melihatku bermain gitar bersama band?" Jason meliirik ke arah Rachel yang duduk di sebelahnya, dia melajukan mobilnya dengan tenang, menembus kegelapan malam yang semakin kelam.
Rachel mau tak mau menatap ke arah Jason, "Supaya aku tahu bahwa seorang pemain musik harus bisa memainkan musik apa saja?"
Jason terkekeh, "Tidak tepat seperti itu, Rachel. Aku hanya ingin mengajarkan kepadamu, bahwa musik yang indah tidak hanya dihasilkan oleh penguasaan teknik dan keahlian. Asalkan kau punya hasrat untuk memainkannya, dan kau bisa menghanyutkan perasaanmu ke dalam permainanmu, kau akan bisa menghasilkan musik yang indah, entah itu dengan biola atau sebuah gitar, entah itu di musik klasik atau aliran kontemporer."
"Apakah kau selalu seperti itu? hanyut dalam perasaanmu ketika membawakan musikmu?"
"Tentu saja." mata Jason berubah dalam, "Aku adalah pemain yang emosional, ketika aku marah biasanya aliran musikku akan terdengar penuh kemarahan, ketika aku sedih aliran musikku akan terdengar penuh kesedihan. Kau tahu, sebenarnya itu salah satu kelemahanku, dulu aku sangat hebat bermain biola, tetapi aku tidak mampu menjaga emosiku dalam permainanku sehingga nada yang dihasilkan tidak pernah benar." Jason tersenyum tipis, "Lalu aku bertemu dengan salah satu mentorku di italia, dia melatihku supaya membalikkan visiku, aku tidak memasukkan emosiku ke dalam musikku, tetapi aku harus bisa memasukkan emosi yang ada di musik itu ke dalam perasaanku." Tatapan Jason berubah serius, "Permainanmu semalam begitu penuh kesedihan, penuh emosi dan sakit hati, kau memasukkan perasaanmu ke dalam permainanmu, membuatnya terasa tidak pas dengan musik yang kau mainkan... sama persis dengan diriku di waktu lampau. Aku hanya ingin memperbaikimu Rachel."
Rachel terdiam, menyadari kebenaran kata-kata Jason. Emosi dan permainan musik memang sangat berkaitan, apalagi untuk permainan biola yang membawakan pesan emosi.... Rachel memang harus banyak berlatih....
Detik itulah Rachel sadar, bahwa di balik sikap arogan dan tidak menyenangkannya, Jason benar-benar serius ingin mengajarinya bermain biola dengan serius.
Yah,... mungkin Jason tidak sejahat yang Rachel kira. Mungkin semua kesan Rachel terhadap Jason selama ini salah..
***
"Kata mamamu kau pulang sampai tengah malam bersama Jason." Calvin bergabung bersama Rachel di sofa rumah Rachel sementara Rachel sedang sibuk melahap mie goreng untuk makan siangnya. Hari ini mereka libur latihan karena tanggal merah, dan Rachel juga merasa amat capek semalam, pulang begitu larutnya di malam hari hingga dia baru bangun tengah hari.
Mama Rachel menunggu dengan cemas ketika mereka pulang kemarin, sudah siap mengomel ketika akhirnya Rachel mengetuk pintu pukul dua belas malam. Tetapi kemudian Jason langsung muncul di belakang Rachel, dan seperti biasa menebarkan pesonanya ketika meminta maaf kepada mama Rachel dan menjelaskan bahwa mereka mengajak Rachel untuk menonton konser yang diharapkan bisa menambah pengetahuan Rachel. Dan seperti yang sudah diduga, mama Rachel langsung luluh dengan pesona Jason, bukannya memarahi Jason karena memulangkan anak gadisnya setelah larut malam, mama Rachel malahan mengucapkan terimakasih kepada Jason.
Bibir Rachel mengerucut tidak senang membayangkan sikap mamanya kemarin, membuat Calvin mengangkat alisnya,
"Rachel, kau mendengar perkataanku tadi?"
Rachel menoleh menatap Calvin tertarik dari lamunannya dan mengangkat alisnya, "Memangnya kau tadi bertanya apa?"
Calvin terkekeh, "Dasar." jemarinya dengan lembut mengusap kepala Rachel, seperti yang selalu dia lakukan sejak Rachel kecil, membuatnya merasa damai dan nyaman, "Aku dengar dari mamamu, kau pulang sampai larut tengah malam, mamamu sempat menelepon ke rumah menanyakan apakah kau bersama aku, tentu saja aku ikut cemas. Tadi pagi aku menelepon dan mamamu yang mengangkat, beliau bilang kau masih tidur karena semalam kau pulang lewat tengah malam bersama Jason." Tatapan Calvin tampak menyelidik, "Apa yang Jason lakukan kepadamu, Rachel?"
Rachel menatap Calvin bingung, "Apa maksudmu?"
"Maksudku.." Calvin tampak salah tingkah, "Well kau kan tahu reputasi Jason sebagai penakluk perempuan, dia kan berbahaya bagi perempuan manapun, dan kau kau masih terlalu muda dan polos dibanding Jason yang sudah dewasa dan berpengalaman, aku cemas dia akan mempermainkanmu." Kali ini wajah Calvin berubah serius, "Katakan padaku, dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh kepadamu, bukan?"
Rachel hampir saja tersedak mie yang dikunyahnya mendengar kata-kata Calvin, tetapi kemudian dia tertawa,
"Calvin... yang benar saja!" Rachel terkekeh, meletakkan piring mie-nya yang tiba-tiba saja terasa tidak menarik lagi, "Mana mungkin Jason mengincarku sebagai korbannya, kau tahu sendiri seleranya adalah perempuan-perempuan lebih tua, dari kelas atas dan kaya raya....mana mungkin dia melirikku anak ingusan yang baru berusia delapan belas tahun?"
"Tetapi semalam kalian pulang larut, bukankah idealnya latihan itu selesai jam sepuluh malam?" Calvin mengerutkan dahinya.
Rachel menatap Calvin dan tiba-tiba saja dadanya terasa hangat, Calvin begitu tampan, dan lelaki itu mencemaskannya. Yah, setidaknya dengan kehadiran Anna di antara mereka, lelaki itu tidak benar-benar melupakannya.
"Kami melihat konser Jason yang lain...." gumamnya tenang.
"Konser? maksudmu Jason mengadakan konser? Yang mana? kalau dia ada konser resmi pasti aku tahu?"
"Bukan konser biola." Rachel tersenyum, "Dia bermain gitar bersama band."
Calvin langsung terperangah, "Gitar? dia bermain gitar?" informasi itu pasti terasa mengejutkan buat Calvin. Lelaki itu bahkan sampai menggelengkan kepalanya, "Astaga itu sesuatu yang sama sekali tidak pernah kuduga, Jason pasti berhasil merahasiakan kegiatan sampingannya selama ini.... bermain gitar di sebuah band... astaga..."
"Dan permainan gitarnya sangat bagus." Rachel tersenyum simpul, tetapi kemudian mendapati Calvin menatapnya dengan sangat serius,
"Rachel, dia memberitahumu rahasia ini, entah kau ini murid istimewanya atau dia punya maksud lain... aku mau kau berhati-hati Rachel, jangan sampai jatuh ke dalam pesonanya..." dengan lembut, sekali lagi Calvin mengusap rambut Rachel, "Kau tahu aku sangat menyayangimu seperti adik kandungku sendiri, aku tidak mau terjadi sesuatu kepadamu, atau sampai ada yang mematahkan hatimu."
Kata-kata Calvin selanjutnya sudah tidak terdengar lagi di telinga Rachel. Hanya satu kata yang ditangkap oleh Rachel,
Adik..?
Bahkan hanya dengan kata-kata itu, tanpa disadari, Calvinlah yang telah mematahkan hati Rachel.
***
Jason meletakkan biolanya dan mengerutkan kening ketika mendengar ponselnya yang diletakkan dimeja berdering, dia mengerutkan bibirnya kesal melihat siapa yang menelepon, dan setelah menghela napas panjang, dia mengangkatnya,
"Ada apa Arlene?"
"Kudengar kau bersama perempuan ingusan itu sampai malam."
Ledakan kecemburuan lagi. Jason tersenyum sinis, sepertinya memang sudah waktunya dia menghancurkan Arlene. Perempuan itu mulai terlalu percaya diri, bukan hanya merasa bahwa Jason adalah miliknya, tetapi juga bersikap posesif yang keterlaluan. Jason pernah memergoki Arlene sedang memeriksa seluruh isi ponselnya.
Rasanya akan sangat nikmat ketika menghancurkan hati Arlene yang sudah begitu mencintainya sepenuh hati. Jason tersenyum jahat, membayangkan bahwa Arlene mungkin akan setengah gila kalau Jason memutuskannya begitu saja.
"Darimana kau tahu kabar itu Arlene? apakah kau menguntitku kemarin?"
"Tidak." Arlene tampak malu mendengar kata-kata Jason, "Bukan menguntitmu, aku semalam mencoba menghubungi ponselmu, tetapi kau tidak mengangkatnya, jadi aku berinisiatif menelepon kampus tempat kau mengajar kelas khusus. Penjaga kampus bilang kelasmu sudah selesai, dan dia melihat kau pergi bersama perempuan ingusan itu."
"Rachel. Dia punya nama Arlene, jangan menyebutnya dengan 'perempuan ingusan'." Jason menyela tajam, tetapi Arlene tidak mau menyerah,

Tanpa sadar Jason tersenyum tipis, tidakkah Arlene menyadari bahwa dia sendirilah yang tampak seperti remaja dengan emosi yang labil?
"Sudahlah." Tiba-tiba Jason sampai di keputusan bahwa waktunya untuk Arlene sudah berakhir, "Kau ada waktu untuk makan malam bersama nanti?"
"Tentu saja." Arlene setengah menjerit, tidak bisa menyembunyikan kegirangan dalam suaranya, "Jemput aku jam tujuh ya, aku akan berdandan secantik mungkin, dan setelah makan malam kau bisa tinggal di rumahku, aku akan memberikan hadiah spesial untukmu." suaranya menjadi seksi, rendah merayu dan penuh arti.
***
Mereka makan malam bersama di sebuah restoran romantis yang elegan. Jason tidak akan tanggung-tanggung memilih tempat untuk mematahkan hati perempuan, dia akan melambungkan perasaan Arlene dulu sebelum menghancurkannya.
Arlene berdandan secantik mungkin tentu saja, dengan gaun ungu gelapnya yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih dan berkilauan, rambutnya ditata kebelakang dan kalung permata di lehernya membuat penampilannya seperti puteri raja.
"Kau sangat cantik malam ini Arlene." Jason menyesap anggurnya, mereka sudah selesai makan malam dan memutuskan untuk duduk sebentar dan bersantai menikmati anggur.
Arlene tersenyum merayu kepada Jason, "Aku berdandan hanya untukmu Jason... dan seperti janjiku di telepon tadi, kau bisa menginap di rumahku kalau kau mau malam ini, aku akan memberikan malam yang luar biasa untukmu." suaranya rendah, merayu, penuh godaan.
Tentu saja Jason tidak tergoda. Dia hanya meletakkan anggurnya dan menatap Arlene dengan datar,
"Maafkan aku tidak bisa." Matanya menatap tajam, membuat Arlene tiba-tiba merasa cemas, Jason tidak pernah tampak seserius ini sebelumnya, "Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita Arlene."
Arlene ternganga mendengar kata-kata Jason, mulutnya membuka tetapi tidak ada suara yang keluar, wajahnya memucat.
"Apa maksudmu Jason?"
"Kau tahu jelas apa maksudku." Ada kilatan kejam di mata Jason. Kilatan yang selama ini berhasil disembunyikannya, meskipun sekarang tak perlu lagi. Jason sudah tidak bisa menyembunyikan perasaan muaknya ketika menatap Arlene.
Arlene tentu saja mengerti arti tatapan itu, dia shock, bingung dan semua perasaan sesak langsung memenuhi dadanya. Tatapan Jason kepadanya bukan tatapan lembut dan penuh cinta seperti sebelumnya. Itu tatapan kejam, penuh rasa muak dan kebencian?
Astaga... selama ini dia berpikir bahwa dirinya sudah berhasil menaklukkan Jason, membuat lelaki itu pada akhirnya berlabuh. Reputasi Jason sebagai penghancur perempuan memang menakutkan, tetapi bukankah selama ini Jason seolah sudah takluk kepadanya?
Atau jangan-jangan Jason sudah merencanakannya? Menjadikannya korban... sama seperti perempuan-perempuan lainnya?
"Kau mencampakkanku, Jason?" akhirnya Arlene berkata-kata, bibirnya bergetar hampir menahankan air mata.
Jason tersenyum, "Tepat sekali Arlene, waktuku untukmu sudah berakhir. Perlu kau tahu aku tidak pernah tertarik kepadamu, kau sama seperti perempuan lainnya, hanya menimbulkan rasa muak di hatiku."
"Tidak mungkin!" Arlene mencoba membantah, setengah menjerit, tidak mempedulikan beberapa orang di restoran itu yang menoleh kepada mereka, "Kau mencintaiku Jason, aku yakin itu, sikapmu kepadaku, pelukanmu, kelembutanmu ketika menciumku, itu semua penuh cinta!"
"Jangan mencoba menipu dirimu sendiri Arlene, kau tahu aku sangat pandai bersandiwara." Jason beranjak berdiri dan menatap Arlene dengan dingin, "Aku rasa kau bisa pulang naik taxi, dan karena hubungan kita sudah berakhir, jangan harap aku mau menjadi pendampingmu lagi." Dengan senyumannya yang terakhir Jason membalikkan badan meninggalkan Arlene.
"Ini semua karena perempuan ingusan itu bukan?" Suara teriakan Arlene itu menahankan langkah Jason, Jason membalikkan badan dan menatap Arlene gusar.
"Tidak ada hubungannya dengan Rachel. Namanya Rachel, Arlene." Bibir Jason menipis, "Aku tertarik kepadanya hanya karena dia sama sepertiku, jenius dalam bermain biola. Dia istimewa." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Jason membalikkan badan dan berlalu, meninggalkan Arlene duduk di sana, penuh rasa malu dan berurai air mata.
***
Arlene duduk di sana dengan mata membara. Dia masih tidak percaya Jason meninggalkannya begitu saja. Begitu kejamnya!!
Dan ini semua pasti karena perempuan itu. Jason memang membantah, tetapi Arlene yakin, sikap Jason kepadanya berubah setelah perempuan ingusan itu muncul.
Rachel istimewa karena dia pandai bermain biola, sama seperti Jason.
Tiba-tiba mata Arlene menyala jahat.
Baiklah. Dia akan menghancurkan keistimewaan Rachel itu, agar Rachel tidak menarik lagi di mata Jason!
Bersambung ke part 9
Published on June 12, 2013 23:43
June 8, 2013
Crush In Rush Part 14

Kiara tidak ada di mana-mana!
Joshua langsung menghambur ke luar, memeriksa penjuru ruangan, tetapi Kiara tidak ada. Jason mengikutinya dan kemudian bergumam, menarik kesimpulannya,
“Kurasa Kiara pergi dari rumah ini setelah lewat tengah malam.”
Mata Joshua menggelap, “Tapi dia kabur kemana? Dia tidak punya rumah, tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang. Dan tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Bahkan dia meninggalkan ponselnya!” Joshua melirik frustrasi kepada ponsel yang diletakkan Kiara dengan rapi di atas meja ruang tengah, bagaikan sebuah pesan bahwa Kiara tidak membutuhkan apapun pemberian Joshua.“Kita bisa bertanya kepada mantan rekan kerjanya di cafe, mungkin saja Kiara ke sana meminta pertolongan.”
Sebelum Joshua sempat menjawab, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia melirik nama yang ada di sana dan mengernyitkan dahinya, itu Carmila yang meneleponnya.
“Ya?” Joshua menjawab telpon itu dengan gusar,
“Sekedar mengingatkanmu sayang.” Carmila menjawab dengan suara lembutnya di seberang sana, “Aku akan siap kau jemput satu jam lagi, hari ini kita akan ke sebuah restoran yang direkomendasikan oleh pramutama hotelku, kau pasti akan menyukainya...”
Carmila terus berkata-kata tetapi Joshua sudah tidak mendengarkan lagi. Diakuinya bersama Carmila memang menyenangkan, tetapi Joshua menghabiskan waktunya bersama Karmila bukan karena menyukainya, sama sekali tidak tumbuh perasaan di hatinya menghabiskan waktu begitu lama bersama Carmila. Dia mendekati Carmila hanya untuk satu alasan khusus. Satu alasan yang kemudian malahan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
“Aku tidak bisa keluar bersamamu sekarang Carmila.”
“Kau sudah berjanji Joshua, satu minggu bersamaku, ingat?” suara Carmila agak meninggi, tetapi perempuan itu masih bisa menyembunyikan kegusarannya.
Joshua menghela napas panjang, “Memang. Tetapi sekarang aku sampai di satu titik dan menyadari bahwa aku tidak butuh waktu selama itu untuk tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik kepadamu. Dan tidak akan pernah tertarik!”
Sebelum Carmila sempat bertanya lagi Joshua menutup teleponnya dan kemudian mengalihkan pandangannya kepada Jason yang berdiri di sana sambil bersedekap.
“Ayo kita ke cafe tempat Kiara dulu bekerja.” Gumamnya tergesa.
***
Ternyata sia-sia. Entah Irvan berkata jujur, atau dia melindungi Kiara, lelaki itu mengatakan bahwa dia sama sekali tidak tahu dimana Kiara berada. Sejak pertemuan di supermarket itu, Irvan sama sekali belum pernah bertemu lagi dengan Kiara.
Joshua sudah bertanya dengan begitu serius, tetapi Irvan tetap menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki itu masih begitu terkejut karena didatangi oleh dua lelaki yang sangat tampan dan berpakaian elegan.
Yang satu tentu Irvan sudah pernah melihatnya ketika bertemu disupermarket beberapa waktu lalu.... lelaki yang sangat tampan hingga hampir bisa disebut cantik, sedangkan yang satunya lagi....itu adalah pelanggan tetap cafenya waktu itu yang sering datang ketika tengah malam hingga menjelang pagi. Yang secara kebetulan tidak pernah datang lagi setelah Kiara berhenti bekerja.... jadi ini semua bukanlah kebetulan?
Jason menatap Irvan yang kebingungan lalu mengernyit,
“Sudahlah Joshua, sepertinya dia benar-benar tidak tahu di mana Kiara, kita harus berpikir ulang. Siapa kira-kira yang akan didatangi Kiara di saat dia butuh bantuan. Dan siapa kira-kira yang menginginkan Kiara menghilang.”
***
Carmila langsung menemui William yang kebetulan suite hotelnya ada di sebelahnya, dia mengetuk pintu kamar itu dengan marah dan kesal. William yang baru bersantai sehabis mandi, membuka pintu dan menatap terkejut ke arah Camilla, yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah gusar.
“Hai Carmila, kenapa kau masih ada di sini? Bukankah kau ada acara dengan Joshua?” William tersenyum senang, “Aku lihat kau telah berhasil menjeratnya, kalian pasti melewatkan banyak waktu bersama untuk bersenang-senang. Dan aku yakin apa yang kau katakan akan terwujud, Joshua akan mengepak kopernya dan mengikuti kita pulang ke London dalam seminggu ke depan, dan kita akan merencanakan pernikahan mewah dan besar-besaran.”
Wajah Carmila merah padam, teringat kembali di benaknya kata-kata Joshua ketika menolaknya tadi. Kurang ajar. Lelaki itu berkata akan memenuhi tantangannya selama satu minggu, membuat Carmila merasa dia punya banyak kesempatan dan waktu, tetapi kemudian Joshua mencampakkannya begitu saja. Tidak pernah ada laki-laki yang mencampakkan Carmila sebelumnya, tidak akan pernah!
“Perempuan jalang itu, perempuan murahan yang tinggal bersama Joshua, dia benar-benar pengganggu.” Carmila mendengus menahan marah, “Pagi ini Joshua menolakku, pasti ada hubungannya dengan perempuan itu. Aku tidak akan pernah bisa mendapatkan Joshua kalau perempuan itu masih ada, Papa.”
Ada senyum misterius muncul di wajah William, dan lama kelamaan senyumannya berubah menjadi seringai,
“Tenang saja Carmila, mulai hari ini perempuan itu sudah dibereskan.” Suaranya begitu misterius, membuat Carmila menatap William penuh tanda tanya,
“Apa maksud papa?”
William membuka pintunya lebar dan mempersilahkan Carmila masuk, kemudian menutup pintu suitenya dan menatap Carmila yang sudah duduk di sofa dengan senyuman bangga,
“Well aku sudah bergerak duluan untuk menyingkirkan perempuan itu, aku sudah menduga sejak lama perempuan rendahan itu hanya akan menjadi pengganggu rencana kita. Jadi kemarin aku menyuap salah satu petugas teknisi listrik di apartemen, dia berhasil menyusup masuk ke apartemen itu di malam hari dan menculik perempuan murahan itu. Dan sesuai instruksiku, perempuan itu mungkin sudah diselundupkan ke luar negeri sebagai pelacur. Cocok dengan profesinya sekarang ini.”
“Oh ya?” mata Carmila melebar indah, kemudian dia tersenyum lebar, “Kalau begitu sudah tidak ada lagi yang menghalangi kita?”
William menuangkan anggur ke gelasnya, semuanya berjalan lancar. Joshua akan dengan segera melupakan perempuan rendahan itu dan berpaling kepada Carmila. Carmila ada di pihaknya, dan dengan begitu dia bisa dengan mudah menguasai Joshua, anaknya itu memang sulit dikendalikan dan membencinya. Tetapi dengan adanya Carmila, William yakin, Joshua akan menurut padanya, seperti seharusnya seorang anak menurut kepada ayahnya.
*** Kiara membuka matanya dengan terkejut, mengetahui bahwa dia berada di ruang sempit yang gelap. Dia langsung panik mengetahui getaran-getaran yang ada di bawahnya.
Astaga! Dia ada di dalam bagasi mobil!
Tangannya diikat di belakang punggungnya, membuatnya pegal, tetapi kakinya tidak. Kiara berguling, megap-megap mencari napas, bagasi itu sempit dan gelap, dan Kiara merasa sesak napas. Dia memukul-mukul bagasi itu sekuat tenaga, menendang-nendangnya sekencang mungkin, tetapi percuma, mobil itu tetap melaju kencang, tak peduli dengan semua usahanya. Sampai akhirnya Kiara terdiam, dengan napas makin terengah dan lemas kelelahan.
Oh Tuhan! Dia langsung teringat tatapan kebencian William, ayah kandung Joshua kepadanya. Apakah ini direncanakan oleh William untuk menjauhkan dirinya dari Joshua?
Joshua... tiba-tiba air mata Kiara mengalis, dia megap-megap lagi berusaha mencari napas, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Lalu semuanya gelap, dan sebelum kesadarannya hilang, Kiara sempat berpikir bahwa mungkin dia tidak punya kesempatan untuk bertemu Joshua lagi.
*** “Petugas apartemen mengatakan melihat sesuatu yang mencurigakan tadi dini hari, dia melihat salah seorang teknisi membawa kotak yang sangat besar......dia sempat curiga, tetapi karena teknisi itu adalah petugas apartemen ini yang sudah bekerja cukup lama, dia menghapus kecurigaannya.”

“Apakah kau curiga kotak itu berisi Kiara?” Jason duduk di depan Joshua, sementara petugas polisi ada di belakang mereka. Ya. Mereka sekarang ada di kantor polisi, melaporkan hilangnya Kiara.
Joshua mengangguk, “Tidak ada lagi yang mencurigakan setelah lewat tengah malam selain kejadian itu. Kiara pasti dibawa keluar di dalam kotak besar itu.”
Untunglah kesaksian petugas apartemen sangat membantu. Teknisi itu memiliki mobil yang tercatat, dan sekarang polisi sedang berusaha melacaknya,
“Sepertinya itu penculikan amatiran. Karena kalau benar pelakunya teknisi itu, dia bertindak gegabah dan bodoh, dan tidak berusaha menutup-nutupi jejaknya.” Jason mengerutkan keningnya, ingatannya melayang di masa itu, ketika adiknya diculik. Suasananya hampir sama, para polisi bergerak, mencoba mencari titik terang. Tanpa sadar Jason mengernyit, apakah perempuan-perempuan baik yang ada di sisinya haruslah selalu mengalami penculikan?
Kali ini Jason tidak mengetahui bagaimana kondisi Kiara. Dia hanya bisa berharap bahwa Kiara baik-baik saja. Diliriknya Joshua, lelaki itu tampak tenang dan memasang wajah datar, tetapi Jason tahu, Joshua gelisah dan ketakutan setengah mati.
Ada perasaan yang tanpa sadar ditumbuhkan Joshua kepada Kiara. Itu sudah pasti, dulu mungkin Joshua tidak menyadarinya, tetapi sepertinya lelaki itu sudah menyadarinya... Jason tersenyum sedih, dan jangan sampai Joshua terlambat... bagaimanapun juga mereka harus menemukan Kiara.
Seorang petugas polisi menghampiri mereka, mengatakan sesuatu kepada Joshua langsung berdiri, Jason menatap Joshua dengan bingung,
“Ada apa?”
“Polisi bisa melacak mobil itu, sekarang sedang mengarah ke pelabuhan. Sepertinya si penculik ingin menghilangkan jejak dengan menaiki kapal.” Joshua mengambil jaketnya dan mengenakannya, “Ayo, kata petugas kita bisa ikut salah satu mobil polisi, asal saat penyergapan nanti kita tidak keluar dan membahayakan misi, kita boleh ikut.”
***
Sepanjang jalan begitu menegangkan bagi Joshua, dia dan Jason duduk di jok belakang mobil polisi itu. Informasi yang didapat dari radio polisi, mobil yang menculik Kiara ditengarai masih ada di jalan tol, belum keluar menuju arah pelabuhan. Sepanjang jalan mereka melewati truk-truk besar pengangkut barang. Dan benak Joshua bergetar ngeri... kalau mereka tidak bisa menyelamatkan Kiara dengan cepat, akankah perempuan itu diselundupkan seperti ini? Di dalam truk yang penuh barang kemudian di bawa menyeberang pulau seperti ternak?
Joshua makin geram kepada William, dia merasa malu, berasal dari benih lelaki sombong dan licik itu. Penculikan ini, meskipun mereka belum bisa membuktikannya, sudah pasti didalangi oleh ayah kandungnya yang jahat itu. Dia sudah curiga. Dia sebenarnya sudah cemas ayahnya yang licik akan berbuat jahat untuk menyingkirkan Kiara. Dan semalam dia lengah, lengah karena kemarahannya sendiri. Joshua menghela napas dengan sedih. Kalau sampai Kiara tidak dapat diselamatkan, Joshua tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
Lalu tiba-tiba sirene polisi dibunyikan, lima mobil polisi mengerubuti sebuah sedan warna hitam yang langsung mengebut kencang, tidak mau berhenti. Mobil itu tancap gas, setengah zig zag, benar-benar nekat dan tetap tidak mau berhenti meskipun lima mobil polisi mengejarnya.
Kejar-kejaran berlangsung menegangkan. Yang ditakutkan Joshua adalah sedan hitam itu, yang mungkin ada Kiara di dalamnya, terlalu mengebut dan kehilangan kendali, membuat Kiara celaka. Joshua mengikuti pengejaran itu sambil berdoa dalam hati, berdoa semoga Kiara selamat.
Setelah pengejaran selama beberapa kilometer, sebuah mobil polisi berhasil menjajari sedan hitam itu dan memepetnya ke bahu jalan tol. Mobil yang lain mendahului dan menghadang tepat di depan. Membuat sedan itu terpaksa berhenti, dengan suara berdecit keras dan ban yang berasap.
Beberapa petugas polisi langsung keluar, menodongkan senjatanya dan memerintahkan supir sedan hitam itu turun. Sopir mobil itupun turun dengan tangan di atas kepala, kemudian dipaksa berlutut.
Setelah kondisi dipastikan aman, Joshua dan Jason boleh keluar dari mobil. Hati Joshua mencelos ketika polisi itu memeriksa tempat duduk dan memastikan tidak ada penumpang lain di sana.
Jadi di mana Kiara?
Lalu seorang polisi mencongkel bagasi dengan linggis, dan di sanalah, di dalam bagasi itu, terbaring Kiara yang sudah pingsan kehabisan udara.
***
“Shit!” William mengumpat ketika membaca berita di televisi berita tentang sebuah penculikan yang berhasil di gagalkan oleh polisi. Dan berdasarkan pengakuan si penculik amatir, dia dibayar oleh orang asing yang menyuruhnya menculik dan menjual perempuan itu ke sindikat perdagangan manusia untuk dijadikan pelacur.
Dengan marah William mengemas pakaiannya, dan kemudian menelepon untuk mendapatkan tiket penerbangan dengan jadwal yang paling cepat. Sayangnya semua penerbangan penuh dan harus menunggu enam jam lagi paling cepat.
Carmila juga sama paniknya setelah melihat berita itu, dia bolak-balik ke kamar William, ketakutan dan bingung. William menyuruh perempuan itu untuk diam, tetapi Carmila tetap mengomel-ngomel, menyalahkan William.
“Seharusnya papa memilih penculik yang lebih ahli, bukannya teknisi bodoh gila uang yang baru pertama kali menculik, pantas saja dia tertangkap dengan begitu mudahnya.” Sambil mondar mandir di dalam kamar William, membuatnya gila, Carmila terus menerus mengomel, “Kalau begini jadinya bisa gawat, nama kita bisa tercoreng....”
“Diam Carmila!” William membentak pada akhirnya, merasa frustrasi karena disalahkan.
Carmila terkejut dibentak sedemikian keras oleh calon papa mertuanya. Matanya melebar dan kemudian wajahnya merah padam penuh kemarahan,
“Aku tidak mau berurusan lagi denganmu!” teriak Carmila marah, “Aku tidak ada hubungannya dengan penculikan itu jadi kau tidak bisa melibatkanku, silahkan saja polisi menangkapmu, tapi aku tidak mau nama baikku cemar! Mulai hari ini tidak ada urusan di antara kita. Aku akan pulang ke London besok, aku telah membuang-buang waktuku dengan mencoba mengejar anak harammu yang berdarah separuh pelacur!”
Setelah meneriakkan kemarahannya, Carmila membalikkan badan dan pergi, tidak peduli William memanggil-manggil namanya.
William layak cemas, Papa Carmila adalah rekan bisnis sekaligus teman bangsawannya yang paling penting, kalau sampai masalah ini sampai ke telinga papa Carmila, William akan kehilangan banyak sekali keuntungan bisnisnya. William tidak akan bisa melibatkan Carmila dalam hal ini, sebagai gantinya, William berharap Carmila bijaksana dan tidak mengadu kepada ayahnya.
Sekarang dia hanya harus pergi dari negara ini secepatnya. Penerbangan ke London paling cepat enam jam lagi. Dia sudah selesai berkemas dan menenteng tas-nya untuk check out.
Sayangnya, Ketika dia membuka pintu, beberapa polisi berpakaian preman sudah berdiri di sana, siap menangkapnya, membuat wajahnya pucat pasi.
***
Di kantor polisi, William bertatapan dengan Joshua yang sedang membuat laporan di kepolisian. Mata mereka bertatapan. Dan terptri jelas kebencian dan rasa muak Joshua kepada ayah kandungnya.
Ketika William berada di dekatnya, Joshua berbisik puas.
“Aku akan menikahi Kiara segera. Dia akan menjadi istriku, dan kau tidak akan diundang ke pernikahan. Pergilah ke neraka bersama gelar, harta dan darah bangsawanmu itu.”
Kata-kata itu membuat wajah William pucat pasi, tetapi lelaki itu tidak bisa berkata apa-apa. Joshua sudah mengalahkannya, dia sudah kalah sepenuhnya.
Anaknya itu tidak akan pernah mau kembali kepadanya dan melanjutkan warisan gelarnya. Dan mungkin William tidak akan pernah bisa datang ke negara ini lagi.
Joshua dan Jason sama-sama menatap kepergian William ke ruang pemeriksaan.
“Begitu pengacaranya datang, dia akan dibebaskan dengan jaminan.... paling buruk dia akan dideportasi, tidak akan menerima hukuman setimpal.” Gumam Jason pahit, “Dia bangsawan dan orang kaya yang punya banyak koneksi.”
Joshua mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Tetapi setidaknya aku bisa memastikan dia tidak akan pernah kembali lagi ke negara ini.”
“Apakah sama sekali tidak ada rasa tersentuh di hatimu melihatnya?” Jason bertanya ingin tahu, “Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungmu?”
“Dia bukan ayah kandungku. Bagiku ayahku adalah Nathan yang merawat dan menyayangiku sampai aku dewasa.” Joshua menggelengkan kepalanya, “Mungkin benihnya memang menghasilkanku, tetapi selebihnya aku tidak mau punya ayah seperti dia.” Lelaki itu menandatangani laporannya dan menyerahkan kepada petugas polisi, “Ayo, aku harus ke rumah sakit, aku takut Kiara sadar dan aku tidak ada di sana.”
Bersambung ke Part 15
Published on June 08, 2013 14:22
Another 5% Part 9
Untuk Maggie yang sedang berulang tahun, hari ulang tahunmu sama dengan ibuku ^__^ selamat ulang tahun ya semoga kebahagiaan dan keindahan selalu menyertai kehidupanmu :)
Gabriel termenung di ruangannya, menatap kotak kecil bekal sederhana di mejanya. Dia hanya tercenung menatap makanan di depannya.
Dia sendiri tidak tahu kenapa secara impulsif dia meminta bekal itu dari Selly. Tetapi melihat kotak bekal itu... Mengingatkannya kepada ibunya di masa lalu, ibunya selalu membuatkannya kotak bekal kecil semacam ini ketika Gabriel berangkat ke sekolah....
Mungkin semua ini hanyalah karena dorongan otaknya untuk mengulang kembali kenangan itu, ke masa-masa hidupnya yang tidak rumit, sebagai bocah kecil yang punya banyak impian... Yang kemudian dihancurkan oleh beban kekuatan kegelapan yang menggerogoti hatinya sedikit demi sedikit.Jemari Gabriel bergerak pelan mengambil sendok dan mencicipi makanan buatan Selly. Dia lalu memejamkan matanya, mengenang....
"Anda memakan masakan perempuan itu?"
Gabriel tersentak, membuka matanya dan menatap tajam ke arah Carlos yang tiba-tiba saja sudah berdiri di pintu. Gabriel tidak pernah terkejut sebelumnya karena kedatangan siapapun, tetapi kali ini dia benar-benar terkejut. Pikirannya tenggelam di masa lalu sehingga tidak waspada.
"Seharusnya kau permisi dulu sebelum masuk, Carlos." Gumam Gabriel tak kalah tajam.
Carlos beringsut, sedikit takut.
"Saya hanya ingin menyampaikan kabar penting, tuan."
"Kabar apa?"
"Buku itu sudah sampai ke tangan Rolan, dan Marco sudah menemuinya."
Gabriel langsung tersenyum mendengar kabar itu, senyuman puas yang tampak buas.
"Bagus, berarti waktunya sebentar lagi. Biarkan bocah ingusan itu bermain-main dan berlatih dengan kekuatannya dulu, dan setelah itu dia harus menghadapiku."
***
"Jadi kau ingin merayakan di mana?" Rolan tersenyum, menarik pinggang Selly supaya mendekat dan mengecup dahinya.
Mata Selly berbinar,
"Aku tidak percaya kita akhirnya merayakan ulang tahunku di luar." Besok adalah hari ulang tahun Selly, selama beberapa tahun terakhir ini ulang tahun mereka, baik Selly maupun Rolan selalu mereka rayakan dengan sederhana di rumah sakit. Selly akan membawa kue sederhana dan mereka akan meniup lilin bersama, perayaan yang sedikit membawa kesedihan karena pada waktu itu hari ulang tahun seperti memperingatkan dengan sinis bahwa masa mereka bersama semakin sedikit.
Tetapi sekarang tidak begitu lagi, Rolan sudah sembuh, sehat dan bahagia dan mereka akan bisa merayakan ulang tahunnya dengan sepenuh hati, merayakan kebersamaan mereka.
"Ya, dan kita akan membuatnya istimewa. Semuanya. Aku akan memesan makan malam romantis dan kita akan menghabiskan waktu bersama."
"Terimakasih Rolan." Mata Selly berkaca-kaca. Membuat Rolan mengecup pipinya dan mengusap air matanya dengan lembut,
"Hei kenapa menangis. Ayo tersenyum, aku berjanji kita akan banyak tertawa nanti."
Rolan mungkin harus mencemaskan bagaimana melatih kekuatannya sebelum sang pemegang kekuatan kegelapan menyerangnya. Tetapi itu bisa dipikirkannya nanti, sekarang waktunya memikirkan untuk membahagiakan Selly.
***
Gabriel termenung di ruangannya, dia mengingat lagi puisi tentang pengorban sang cinta sejati, dan bertanya-tanya. Benarkah nyawa yang diminta untuk menggantikan 5% kekuatan itu? Jadi bagaimanapun Rolan tidak akan mungkin mengorbankan kekasihnya bukan?
Gabriel yakin Rollan tidak akan membiarkan Selly kehilangan nyawanya. Tetapi bagaimana kalau di saat mendesak nanti, Selly mengorbankan nyawanya dengan kemauan sendiri tanpa seizin dan tanpa sebisa ditahan oleh Rolan....? Hal itu mungkin saja terjadi bukan?
Kalau begitu semuanya tergantung pada Selly, dan Gabriel harus melakukan sesuatu.
***
"Jadi kita akan kemana?" Selly menenggelamkan tubuhnya dalam rangkulan Rolan.
Rolan mengecup pucuk kepala Selly, tersenyum lembut, "Aku akan mengajakmu ke restoran tempat pertama kita berkencan dulu, kau masih ingat?"
Tentu saja Selly ingat. Restoran itu bernama "Spring Season." terletak di pinggiran kota yang sejuk, dulu ketika Rolan masih sehat, dia membawa Selly makan malam di sana di kencan pertama mereka, dan di tempat yang sama itulah, Rolan menyatakan cintanya kepada Selly.
"Aku ingat." Selly tersenyum bahagia. Dia sudah lama sekali tidak ke restoran itu, sejak lama setelah Rolan sakit, otomatis Selly tidak pernah kemana-mana, seluruh waktunya dipakai untuk menjenguk dan menunggui Rolan di rumah sakit, tetapi dia sama sekali tidak menyesali seluruh waktu yang terlewatkan itu, karena dia menghabiskannya bersama Rolan, lelaki yang sangat dia cintai.
"Aku akan menjemputmu, besok malam kita makan malam di sana ya, kenakan gaunmu yang paling bagus, dan berdandanlah secantik mungkin." Rolan menunduk, menatap mata Selly yang bercahaya dan penuh cinta, dia tidak bisa menahan dirinya untuk mengecup bibir ranum kekasihnya itu, memujanya dengan penuh sayang.
***
"Kau tampak bahagia." Gabriel menatap Selly dan tersenyum, "Berbinar-binar."
Pipi Selly langsung merah padam. "Benarkah?" jemarinya menyentuh pipinya yang panas dengan gugup, Ya ampun, dia benar-benar tidak sabar menunggu makan malam romantis perayaan ulang tahunnya bersama Rolan nanti malam, dan mungkin hal itulah yang membuat Selly berbinar-binar.
"Ya. Dan aku tahu hari ini hari bahagiamu." Gabriel benar-benar tersenyum sekarang, "Selamat ulang tahun Selly."
Selly menatap Gabriel takjub, tidak menyangka bahwa bosnya itu mengetahui hari ulang tahunnya,
"Anda mengetahuinya?" dia mengungkapkan apa yang ada di benaknya.
"Tentu saja." Gabriel menjawab tenang, "Ada di data karyawan bukan?"
Selly menganggukkan kepalanya, ah iya, betapa bodohnya dia. "Terimakasih, Sir." Selly bergumam cepat, dan dia sungguh-sungguh berterimakasih atas perhatian bosnya itu kepadanya.
Gabriel tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Jadi, adakah acara perayaan ulang tahun yang meriah?'
Selly langsung menggelengkan kepalanya, "Tidak, hanya perayaan sederhana bersama calon suami saya." mata Selly berbinar penuh cinta ketika membayangkan Rolan, "Yah, anda tahu ini adalah saat bersama kami setelah sekian lama, ketika kondisi badan calon suami saya benar-benar sehat."
Ekspresi Gabriel tidak terbaca setelahnya, "Selamat." gumamnya datar, "Semoga malammu nanti menyenangkan."
***
Rolan menatap dirinya di cermin dan memasang jasnya. Dia menatap bayangan dirinya yang sehat dan tampak hidup serta penuh vitalitas, berbeda sekali dengan dirinya yang dulu.
Kata-kata Marco terngiang di benaknya, dan mau tak mau, melihat keadaannya sekarang ini, Rolan mempercayai Marco... sesiangan tadi lelaki itu membuatnya mempelajari buku aturan semesta itu, dan besok... Marco akan membimbingnya berlatih menggunakan kekuatannya dengan benar, untuk menghadapi Gabriel yang sangat berbahaya itu...
Tapi itu akan dipikirkannya besok. Rolan menatap kotak beludru kecil yang ada di dalam genggamannya, lalu memasukkannya ke saku dengan bersemangat.
Malam ini dia akan melamar Selly.
Sebuah lamaran yang pasti indah di hari ulang tahun kekasihnya itu, di restoran tempat mereka pertama berkencan dan saling menyatakan cinta. Dan mereka akan terikat dalam ikatan suci, hidup bahagia selamanya.
Rolan akan merengkuh Selly dalam pelukannya dulu, memilikinya. Baru setelah itu dia akan berpikir untuk menghadapi Gabriel yang jahat.
Sambil menahan debaran di dadanya, Rolan memasukkan cincin itu ke dalam saku jas-nya
Dan bersamaan dengan itu, ponselnya berbunyi, Rolan mengangkatnya dan mengerutkan keningnya,
Telepon dari rumah sakit?
Rolan mengangkatnya, dan suara dokter Beni yang sudah sangat dikenalnya langsung menyahut dengan panik,
"Rolan? Datanglah ke rumah sakit segera! Sabrina... Sabrina kritis, kondisinya parah, dan dia memanggil-manggil namamu.!"
***
Selly mematut dirinya di depan cermin, dia tersenyum dan pipinya merona. Ah ya, semoga saja Rolan memuji kecantikannya ini, dengan gaun warna peach yang baru dibelinya, khusus untuk acara makan malam bersama Rolan...
Tadi dia pulang cepat dari kantor - untunglah sedang tidak banyak pekerjaan - dan kemudian langsung pulang, berdandan dan mempercantik diri. Selly ingin tampil sempurna malam ini, khusus untuk Rolan.
Jantungnya berdebar sambil melirik jam di dinding kamarnya, sebentar lagi Rolan pasti akan datang menjemputnya...
Lalu tiba-tiba ponsel di mejanya berbunyi, Selly mengambilnya dan melihat nama Rolan di sana, dia tersenyum lebar dan mengangkatnya,
"Rolan? apakah kau sudah di depan? aku sudah siap...."
"Selly..." Suara Rolan tampak tegang, dari backsound suara di belakangnya, sepertinya lelaki itu sedang di jalan, "Kau... bisakah kau berangkat sendiri ke restoran? aku sudah melakukan reservasi untuk pukul tujuh. KIta bertemu di sana ya?"
Selly mengerutkan keningnya bingung, dia tidak keberatan datang ke restoran sendiri, tetapi kenapa Rolan merubah rencana mereka mendadak, "Tapi... kenapa Rolan? Ada apa?" pikiran buruk menyeruak di benaknya, apakah terjadi sesuatu? apakah Rolan sakit?
"Bukan apa-apa... aku akan mampir ke rumah sakit dulu sebelum ke restoran..."
"Apakah kau sakit Rolan?" Selly setengah berteriak panik.
"Bukan, bukan aku, tapi Sabrina." suara Rolan putus-putus karena sedang di jalan, lalu Klik. Percakapan mereka terputus begitu saja.
Selly masih terpaku dengan ponsel di telinganya, jantungnya berdebar kencang, tetapi kali ini dengan perasaan berbeda.
Sabrina....?
Rasa cemburu dan cemas yang sama menyeruak di benaknya. Tetapi Selly berusaha menyingkirkannya dengan segera, menyalahkan dirinya karena begitu tega mencemburui Sabrina yang sakit keras. Rolan sendiri sudah mengatakan kepadanya bukan bahwa dia mencemaskan Sabrina lebih karena empati karena pernah mengidap penyakit yang sama?
Dan Selly percaya kepada Rolan. Lelaki itu hanya mampir ke rumah sakit untuk menengok Sabrina, setelah itu dia pasti datang ke restoran dan memenuhi janji makan malam dan merayakan ulang tahun Selly bersama. Selly percaya bahwa Rolan akan menepati janjinya. Karena Rolan mencintainya.
Selly meraih tas tangannya, lalu menelepon taxi untuk menjemputnya ke rumah dan mengantarnya ke restoran tersebut.
Bersambung ke part 9

Gabriel termenung di ruangannya, menatap kotak kecil bekal sederhana di mejanya. Dia hanya tercenung menatap makanan di depannya.
Dia sendiri tidak tahu kenapa secara impulsif dia meminta bekal itu dari Selly. Tetapi melihat kotak bekal itu... Mengingatkannya kepada ibunya di masa lalu, ibunya selalu membuatkannya kotak bekal kecil semacam ini ketika Gabriel berangkat ke sekolah....
Mungkin semua ini hanyalah karena dorongan otaknya untuk mengulang kembali kenangan itu, ke masa-masa hidupnya yang tidak rumit, sebagai bocah kecil yang punya banyak impian... Yang kemudian dihancurkan oleh beban kekuatan kegelapan yang menggerogoti hatinya sedikit demi sedikit.Jemari Gabriel bergerak pelan mengambil sendok dan mencicipi makanan buatan Selly. Dia lalu memejamkan matanya, mengenang....
"Anda memakan masakan perempuan itu?"
Gabriel tersentak, membuka matanya dan menatap tajam ke arah Carlos yang tiba-tiba saja sudah berdiri di pintu. Gabriel tidak pernah terkejut sebelumnya karena kedatangan siapapun, tetapi kali ini dia benar-benar terkejut. Pikirannya tenggelam di masa lalu sehingga tidak waspada.
"Seharusnya kau permisi dulu sebelum masuk, Carlos." Gumam Gabriel tak kalah tajam.
Carlos beringsut, sedikit takut.
"Saya hanya ingin menyampaikan kabar penting, tuan."
"Kabar apa?"
"Buku itu sudah sampai ke tangan Rolan, dan Marco sudah menemuinya."
Gabriel langsung tersenyum mendengar kabar itu, senyuman puas yang tampak buas.
"Bagus, berarti waktunya sebentar lagi. Biarkan bocah ingusan itu bermain-main dan berlatih dengan kekuatannya dulu, dan setelah itu dia harus menghadapiku."
***

Mata Selly berbinar,
"Aku tidak percaya kita akhirnya merayakan ulang tahunku di luar." Besok adalah hari ulang tahun Selly, selama beberapa tahun terakhir ini ulang tahun mereka, baik Selly maupun Rolan selalu mereka rayakan dengan sederhana di rumah sakit. Selly akan membawa kue sederhana dan mereka akan meniup lilin bersama, perayaan yang sedikit membawa kesedihan karena pada waktu itu hari ulang tahun seperti memperingatkan dengan sinis bahwa masa mereka bersama semakin sedikit.
Tetapi sekarang tidak begitu lagi, Rolan sudah sembuh, sehat dan bahagia dan mereka akan bisa merayakan ulang tahunnya dengan sepenuh hati, merayakan kebersamaan mereka.
"Ya, dan kita akan membuatnya istimewa. Semuanya. Aku akan memesan makan malam romantis dan kita akan menghabiskan waktu bersama."
"Terimakasih Rolan." Mata Selly berkaca-kaca. Membuat Rolan mengecup pipinya dan mengusap air matanya dengan lembut,
"Hei kenapa menangis. Ayo tersenyum, aku berjanji kita akan banyak tertawa nanti."
Rolan mungkin harus mencemaskan bagaimana melatih kekuatannya sebelum sang pemegang kekuatan kegelapan menyerangnya. Tetapi itu bisa dipikirkannya nanti, sekarang waktunya memikirkan untuk membahagiakan Selly.
***

Gabriel yakin Rollan tidak akan membiarkan Selly kehilangan nyawanya. Tetapi bagaimana kalau di saat mendesak nanti, Selly mengorbankan nyawanya dengan kemauan sendiri tanpa seizin dan tanpa sebisa ditahan oleh Rolan....? Hal itu mungkin saja terjadi bukan?
Kalau begitu semuanya tergantung pada Selly, dan Gabriel harus melakukan sesuatu.
***
"Jadi kita akan kemana?" Selly menenggelamkan tubuhnya dalam rangkulan Rolan.
Rolan mengecup pucuk kepala Selly, tersenyum lembut, "Aku akan mengajakmu ke restoran tempat pertama kita berkencan dulu, kau masih ingat?"
Tentu saja Selly ingat. Restoran itu bernama "Spring Season." terletak di pinggiran kota yang sejuk, dulu ketika Rolan masih sehat, dia membawa Selly makan malam di sana di kencan pertama mereka, dan di tempat yang sama itulah, Rolan menyatakan cintanya kepada Selly.
"Aku ingat." Selly tersenyum bahagia. Dia sudah lama sekali tidak ke restoran itu, sejak lama setelah Rolan sakit, otomatis Selly tidak pernah kemana-mana, seluruh waktunya dipakai untuk menjenguk dan menunggui Rolan di rumah sakit, tetapi dia sama sekali tidak menyesali seluruh waktu yang terlewatkan itu, karena dia menghabiskannya bersama Rolan, lelaki yang sangat dia cintai.
"Aku akan menjemputmu, besok malam kita makan malam di sana ya, kenakan gaunmu yang paling bagus, dan berdandanlah secantik mungkin." Rolan menunduk, menatap mata Selly yang bercahaya dan penuh cinta, dia tidak bisa menahan dirinya untuk mengecup bibir ranum kekasihnya itu, memujanya dengan penuh sayang.
***

Pipi Selly langsung merah padam. "Benarkah?" jemarinya menyentuh pipinya yang panas dengan gugup, Ya ampun, dia benar-benar tidak sabar menunggu makan malam romantis perayaan ulang tahunnya bersama Rolan nanti malam, dan mungkin hal itulah yang membuat Selly berbinar-binar.
"Ya. Dan aku tahu hari ini hari bahagiamu." Gabriel benar-benar tersenyum sekarang, "Selamat ulang tahun Selly."
Selly menatap Gabriel takjub, tidak menyangka bahwa bosnya itu mengetahui hari ulang tahunnya,
"Anda mengetahuinya?" dia mengungkapkan apa yang ada di benaknya.
"Tentu saja." Gabriel menjawab tenang, "Ada di data karyawan bukan?"
Selly menganggukkan kepalanya, ah iya, betapa bodohnya dia. "Terimakasih, Sir." Selly bergumam cepat, dan dia sungguh-sungguh berterimakasih atas perhatian bosnya itu kepadanya.
Gabriel tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Jadi, adakah acara perayaan ulang tahun yang meriah?'
Selly langsung menggelengkan kepalanya, "Tidak, hanya perayaan sederhana bersama calon suami saya." mata Selly berbinar penuh cinta ketika membayangkan Rolan, "Yah, anda tahu ini adalah saat bersama kami setelah sekian lama, ketika kondisi badan calon suami saya benar-benar sehat."
Ekspresi Gabriel tidak terbaca setelahnya, "Selamat." gumamnya datar, "Semoga malammu nanti menyenangkan."
***

Kata-kata Marco terngiang di benaknya, dan mau tak mau, melihat keadaannya sekarang ini, Rolan mempercayai Marco... sesiangan tadi lelaki itu membuatnya mempelajari buku aturan semesta itu, dan besok... Marco akan membimbingnya berlatih menggunakan kekuatannya dengan benar, untuk menghadapi Gabriel yang sangat berbahaya itu...
Tapi itu akan dipikirkannya besok. Rolan menatap kotak beludru kecil yang ada di dalam genggamannya, lalu memasukkannya ke saku dengan bersemangat.
Malam ini dia akan melamar Selly.
Sebuah lamaran yang pasti indah di hari ulang tahun kekasihnya itu, di restoran tempat mereka pertama berkencan dan saling menyatakan cinta. Dan mereka akan terikat dalam ikatan suci, hidup bahagia selamanya.
Rolan akan merengkuh Selly dalam pelukannya dulu, memilikinya. Baru setelah itu dia akan berpikir untuk menghadapi Gabriel yang jahat.
Sambil menahan debaran di dadanya, Rolan memasukkan cincin itu ke dalam saku jas-nya
Dan bersamaan dengan itu, ponselnya berbunyi, Rolan mengangkatnya dan mengerutkan keningnya,
Telepon dari rumah sakit?
Rolan mengangkatnya, dan suara dokter Beni yang sudah sangat dikenalnya langsung menyahut dengan panik,
"Rolan? Datanglah ke rumah sakit segera! Sabrina... Sabrina kritis, kondisinya parah, dan dia memanggil-manggil namamu.!"
***

Tadi dia pulang cepat dari kantor - untunglah sedang tidak banyak pekerjaan - dan kemudian langsung pulang, berdandan dan mempercantik diri. Selly ingin tampil sempurna malam ini, khusus untuk Rolan.
Jantungnya berdebar sambil melirik jam di dinding kamarnya, sebentar lagi Rolan pasti akan datang menjemputnya...
Lalu tiba-tiba ponsel di mejanya berbunyi, Selly mengambilnya dan melihat nama Rolan di sana, dia tersenyum lebar dan mengangkatnya,
"Rolan? apakah kau sudah di depan? aku sudah siap...."
"Selly..." Suara Rolan tampak tegang, dari backsound suara di belakangnya, sepertinya lelaki itu sedang di jalan, "Kau... bisakah kau berangkat sendiri ke restoran? aku sudah melakukan reservasi untuk pukul tujuh. KIta bertemu di sana ya?"
Selly mengerutkan keningnya bingung, dia tidak keberatan datang ke restoran sendiri, tetapi kenapa Rolan merubah rencana mereka mendadak, "Tapi... kenapa Rolan? Ada apa?" pikiran buruk menyeruak di benaknya, apakah terjadi sesuatu? apakah Rolan sakit?
"Bukan apa-apa... aku akan mampir ke rumah sakit dulu sebelum ke restoran..."
"Apakah kau sakit Rolan?" Selly setengah berteriak panik.
"Bukan, bukan aku, tapi Sabrina." suara Rolan putus-putus karena sedang di jalan, lalu Klik. Percakapan mereka terputus begitu saja.
Selly masih terpaku dengan ponsel di telinganya, jantungnya berdebar kencang, tetapi kali ini dengan perasaan berbeda.
Sabrina....?
Rasa cemburu dan cemas yang sama menyeruak di benaknya. Tetapi Selly berusaha menyingkirkannya dengan segera, menyalahkan dirinya karena begitu tega mencemburui Sabrina yang sakit keras. Rolan sendiri sudah mengatakan kepadanya bukan bahwa dia mencemaskan Sabrina lebih karena empati karena pernah mengidap penyakit yang sama?
Dan Selly percaya kepada Rolan. Lelaki itu hanya mampir ke rumah sakit untuk menengok Sabrina, setelah itu dia pasti datang ke restoran dan memenuhi janji makan malam dan merayakan ulang tahun Selly bersama. Selly percaya bahwa Rolan akan menepati janjinya. Karena Rolan mencintainya.
Selly meraih tas tangannya, lalu menelepon taxi untuk menjemputnya ke rumah dan mengantarnya ke restoran tersebut.
Bersambung ke part 9
Published on June 08, 2013 11:11
Another 5% Part 8
Untuk Maggie yang sedang berulang tahun, hari ulang tahunmu sama dengan ibuku ^__^ selamat ulang tahun ya semoga kebahagiaan dan keindahan selalu menyertai kehidupanmu :)
Sebuah buku....
Rolan menatap dengan tertarik sekaligus ingin tahu. Dia melirik lagi ke arah kotak paketnya dan membaca ulang nama pengirimnya. Ditatapnya nomor ponsel yang tertera di sana dengan penuh ingin tahu. Kemudian setelah berpikir sejenak, Rolan mengambil ponselnya dan menelepon. Ada nada sambungnya...... Deringan ke satu, deringan kedua, dan pada deringan ketiga. Sebuah suara yang berat menyahut di sana.
"Akhirnya anda menelepon." Suara itu tenang, seakan sudah menunggu lama Rolan meneleponnya.
"Siapa kau?" Rolan bertanya, mengerutkan keningnya.
"Saya adalah pelayan setia Tuan Matthias. Kalau anda benar-benar ingin tahu. Temui saya." Orang itu menyebut alamat sebuah cafe di pinggiran kota, "Dan jangan lupa, bawa buku yang sekarang ada di tangan anda."
***
Mereka berdiri berhadapan, Selly dan bu Sandra. Yang ada di benak Selly adalah kata-kata teman-temannya kemarin yang tidak sengaja didengarnya, bahwa bu Sandra adalah orang yang menyebarkan rumor jelek tentang dia dan Gabriel.... Memang bu Sandra sangat ketus ketika Selly berpamitan untuk pindah ruangan kemarin, tetapi Selly sungguh tidak menyangka bahwa bu Sandra akan menuduhnya seperti itu.
"Pagi bu." Selly menganggukkan kepalanya mencoba bersikap sopan dan ingin segera pergi dari situ.
"Pagi Selly, apakah ada waktu? Saya ingin bicara sebentar..."
Bicara? Tiba-tiba Selly merasa enggan dan menahankan dorongan untuk segera melarikan diri dari situ. Tetapi pada akhirnya dia terpaksa menganggukkan kepalanya,
"Baik bu."
"Ayo masuk dulu ke dalam." Bu Sandra membuka pintu ruangan accointing dan mengisyaratkan Selly untuk mengikutinya ke dalam.
Selly masuk ke sana dan langsung berhadapan dengan teman-temannya. Seperti biasa di pagi hari, sebelum jam kerja, suasana kantor adalah suasana santai, beberapa sibuk sarapan dan membuat kopi sambil mengobrol di meja khusus dekat dispenser di ruangan itu, beberapa berkumpul di meja yang lain sedang mengomentari artikel yang terpampang di komputer.
Semua yang ada di sana langsung mendongakkan kepala dan terpaku ketika melihat Selly muncul di belakang bu Sandra.
Selly sendiri berdiri salah tingkah ketika menerima tatapan-tatapan penuh spekulasi dari seluruh mantan rekan kerjanya di sana, beberapa bahkan memberikan tatapan mencemooh terang-terangan kepadanya.
Tiba-tiba Selly berdebar, pikiran buruk terlintas di benaknya, apakah Bu Sandra memintanya kemari untuk mempermalukannya di depan semua orang?
"Saya mengajak Selly kemari untuk meminta maaf." Kalimat bu Sandra yang pertama itu membuat Selly terkejut. Begitupun wajah-wajah rekannya di sana.
Tetapi bu Sandra tampaknya tak peduli, dia terus melanjutkan.
"Saya tahu Selly menjadi asisten Mr.Gabriel karena kemampuannya, bahkan saya sendiri yang merekomendasikannya." Bu Sandra tersenyum lebar dan kata-katanya makin membuat Selly terkejut, jadi bu Sandralah yang merekomendasikannya menjadi asisten Gabriel?
Bu Sandra lalu berbalik menghadap Selly menatap penuh permintaan maaf,
"Tetapi kemudian saya iri kepadamu Selly jadi saya menyebarkan rumor tak sedap antara kau dan Mr.Gabriel dan itu hal yang sangat salah,lama-lama saya menyadarinya..... Saya sungguh yakin bahwa hubunganmu dengan Mr.Gabriel adalah hubungan yang profesional, semua gosip dan rumor yang beredar itu adalah kesalahan saya, jadi sekarang, di hadapan semua orang, saya ingin meminta maaf kepadamu, Selly." Bu Sandra mengulurkan tangannya, tampak sungguh-sungguh serius.
Sementara itu Selly masih ternganga bingung. Wajah-wajah di ruangan itu juga sama terkejutnya...
Dan Selly menatap ke arah tangan bu Sandra yang terulur, lalu ke wajah bu Sandra yang tampak menyesal.
Tak ada yang bisa dilakukan Selly selain membalas uluran tangan perempuan itu
***
Pagi yang sangat mengejutkan.
Selly keluar dari ruangan accounting itu dengan langkah ringan, setidaknya hatinya tenang. Setelah menerima permintaan maaf dari bu Sandra tadi, teman-temannya ikut menyalaminya dan meminta maaf, lalu suasana menjadi cair, beberapa bersikap baik penuh canda seperti biasa. Beberapa masih sedikit kaku, mungkin karena masih merasa menyesal telah menuduh Selly yang tidak-tidak.
Dengan hati-hati Selly masuk ke ruang besar, diliriknya jam tangannya, masih jam delapan pagi. Kemarin-kemarin jam sepuluh siang Gabriel baru datang.
Tetapi rupanya hari ini Gabriel datang di pagi hari, lelaki itu sudah duduk dikursi besar di belakang mejanya, sedang mempelajari berkas-berkas. Dengan gerakan tak kentara, Gabriel mengangkat kepalanya dan menatap Selly yang masih berdiri canggung di pintu,
"Selamat pagi, masuklah Selly kalau kau sudah siap ada beberapa hal tentang berkas ini yang perlu kudiskusikan." Gabriel menyapa santai lalu sibuk menekuri berkas-berkas di tangannya.
Selly membalas ucapan selamat pagi Gabriel dengan canggung, lalu berjalan menuju mejanya, meletakkan tas dan jaketnya. Tiba-tiba dia teringat betapa tidak sopannya dirinya kemarin, melepaskan cekalan Gabriel dari tangannya, tidak menjawab pertanyaan Gabriel dan meninggalkan bosnya begitu saja. Apakah Gabriel mengingat itu dan akan memarahinya?
"Kau tampak senang pagi ini, ada yang menyenangkan?" Tentu saja Gabriel tahu akan kejadian tadi, dimana bu Sandra dan seluruh mantan rekan sekerja Selly meminta maaf, dia sendiri tersenyum puas di dalam hatinya.
Selly tergeragap dari lamunannya dan langsung menjawab gugup,
"Ah iya... Tadi saya berkunjung ke bekas ruangan saya di bagian accounting."
"Reuni eh? Sepertinya berjalan bagus karena kau tidak bisa menahan senyummu." Gabriel tersenyum tipis, "Bagaimana calon suamimu? Sudah di rumah dengan sehat?"
"Ya, dia sudah sehat.Dan kondisinya baik. " Selly tersenyum membayangkan Rolan.
Gabriel menatap ekspresi Selly dan matanya berubah serius,
"Hati-hati Selly, lelaki yang sehat biasanya mempunyai banyak penggemar." Gumamnya penuh arti, membuat Selly mengangkat alisnya bingung
Apa maksud Gabriel dengan kata-katanya?
***
Rolan memarkir mobilnya dan berjalan di sepanjang trotoar yang ramai dan melirik ke arah papan nama cafe itu. Cafe yang dibangun dengan gaya kolonial belanda, dengan dinding putih yang tebal dan khas, Rolan memasuki cafe itu dan terpaku di depan pintu, matanya mencari ditengah keramaian pengunjung cafe yang sedang menikmati makan siangnya. Lalu dia melihatnya, seorang lelaki yang duduk sendirian di sudut terlindung dan sedikit gelap, dan entah kenapa Rolan langsung tahu.
"Kau yang mengirimkan paket ini?" Rolan berdiri di dekat lelaki itu, meletakkan buku kuno itu di meja.
Lelaki tua itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum,
"Anda datang." Gumamnya puas.
"Tentu saja." Tanpa permisi Rolan duduk di depan lelaki itu, "Sekarang jelaskan karena aku bingung. Siapa Matthias itu? Kenapa mengirimkan aku buku ini? Untuk apa?"
Lelaki tua itu menatap Rolan penuh arti, dan tersenyum.
"Sabar, ceritanya sangat panjang dan membutuhkan waktu cukup lama, anda harus menahan kesabaran anda supaya anda mengerti."
***
Gabriel menatap Selly yang serius mengerjakan tugasnya di meja, dia lalu melirik jam tangannya,
"Kau tidak istirahat makan, Selly?"
Selly mendongak dan tampak terkejut,
"Ah ya, sudah jam duabelas." Selly tersenyum, "Hampir saja saya lupa waktu."
Gabriel menganggukkan kepalanya, "Istirahatlah."
"Baik Sir." Selly menganggukkan kepalanya, merapikan kertas-kertas di mejanya dan berdiri sambil membawa kotak bekalnya.
"Kau tidak beli makan di luar?" Gabriel mengerutkan kening. Matanya melirik ke arah kotak bekal yang dibawa Selly.
Pipi Selly memerah, "Eh tidak, saya memasak bekal sendiri Sir. Selain bisa menghemat, kesehataannya juga lebih menjamin." Tiba-tiba Selly merasa malu, Gabriel pasti tidak butuh penjelasan sepanjang itu.
Ekspresi Gabriel tidak terbaca, "Boleh aku melihatnya?"
"Apa?" Selly masih tidak yakin akan apa yang didengarnya.
"Aku ingin melihat bekalmu, bolehkah?" Gabriel membeli isyarat Selly untuk mendekat.
Sementara itu Selly masih berdiri bingung, terpaku di tempatnya. Untuk apa Gabriel melihat bekalnya?
"Selly." Gabriel mengangkat alisnya, "Kau dengar aku?"
"Oh Iya Sir." Selly melangkah mendekat ke meja Gabriel, meletakkan kotak bekalnya di meja, "Anda ingin melihat ini?"
"Ya bukalah kalau kau tidak keberatan."
Selly menatap wajah Gabriel dan sadar kalau lelaki ini serius dengan perkataannya. Dengan gugup, Selly membuka kotak makanan itu, dan tiba-tiba merasa malu karena menu makanannya yang sederhana.
Di dalamnya ada nasi, dengan ayam goreng yang dibuatnya tadi pagi, dan wortel serta buncis yang ditumis dengan bawang. Hanya itu.
Selly mengamati Gabriel yang terpaku menatap makanannya, dan menunggu ekspresi jijik ataupun mencemooh dari lelaki itu. Tetapi Gabriel malah mendongakkan kepalanya dan menatap Selly dengan serius,
"Maukah kau memberikan makanan ini untukku? Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya."
Kali ini Selly benar-benar shock. Apakah dia sedang berhalusinasi? Benarkah bosnya yang sangat kaya dan elegan ini baru saja meminta bekal makanannya yang sederhana itu?
"Kau bisa membeli sendiri makan siangmu. Aku akan memberimu uang untuk menggantikan makan siangmu." Gabriel bergumam ketika Selly tidak menjawab, dan kemudian mengeluarkan dompetnya hendak mengeluarkan uang.
Seketika itu juga Selly tersadar dan melangkah mundur dengan gugup,
"Tidak...tidak perlu diganti, makanan itu untuk anda saja. Saya akan membeli makanan sendiri untuk saya." Selly menganggukkan kepalanya sopan, lalu tergesa dia melangkah keluar dari ruangan besar itu sebelum Gabriel sempat memanggilnya.
Ketika menutup pintu di belakangnya, Selly tertegun di sana, benaknya dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Kenapa Gabriel meminta makanannya? Apakah lelaki itu kebetulan hanya iseng. Atau memang benar-benar ingin tahu tentang masakan negara ini?
***
"Pemegang kekuatan?" Rolan menatap tidak percaya seolah lelaki yang memperkenalkan namanya sebagai Marco ini gila.
Marco sendiri sudah menduga akan ditatap seperti itu, dia membalas tatapan Rolan dengan pandangan tajam dan menantang,
"Anda seharusnya sudah merasakannya, kekuatan yang sangat besar tersimpan di tubuh anda, kekuatan dari Matthias, tuan saya yang sebelumnya."
Rolan tahu dia tidak bisa membantahnya. Lelaki tua itu. Lelaki tua misterius yang mengajaknya berbicara di rumah sakit, di saat-saat sekaratnya.... Ternyata bernama Matthias, dan menurut keterangan Marco, dia adalah pemegang kekuatan kebaikan yang berkuasa, kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh Rolan, menunggu untuk digunakan.
"Kenapa Matthias memberikan kekuatan itu padaku? Untuk apa?" Rolan tetap bertanya biarpun sebenarnya Rolan masih belum bisa percaya seratus persen dengan apa yang dikatakan oleh Marco.
Marco sendiri menghela napas panjang, matanya tampak sedih.
"Tuan Matthias punya alasan sendiri memberikan kekuatan ini kepada anda, dia tentu saja menganggap anda yang terbaik..... Sayangnya tuan Matthias sekarang sudah tiada..."
"Sudah tiada?" Apakah maksud Marco, lelaki tua itu sudah meninggal?
"Ya." Kepedihan yang pekat tampak di mata Marco, "Saya sudah begitu lama mengabdi untuk Tuan Matthias, anda tahu kami yang ditakdirkan menjadi pelayan sang pemegang kekuatan akan berumur panjang, tetapi sebagai gantinya kami tidak bisa melepaskan diri dari tuan kami, harus tetap setia..... Tuan Matthias adalah tuan saya yang terbaik, sayangnya, pada akhirnya beliau dibunuh oleh Gabriel, lelaki jahat yang sama sekali tidak menghormati aturan semesta...."
"Gabriel?" Rolan menyela, nama itu membuat wajah Marco memucat, ada ketakutan di sana meskipun hanya dengan menyebut nama 'Gabriel'
"Ya. Gabriel adalah pemegang kekuatan kegelapan. Berseberangan dengan kekuatan kebaikan, dia adalah penyeimbang semesta."
Rolan tampak mulai bisa memahami, "Baik dan buruk, terang dan gelap, hitam dan putih....?" Gumamnya sinis.
Marco mengangguk, "Betul Tuan Rolan, di dunia ini, dalam ajaran apapun, anda pasti akan mendengar tentang keseimbangan. Ada Yin dan Yang dalam budha, dilambangkan dengan lingkaran yang terbelah hitam dan putih dengan seimbang. Ada dewa wisnu sang pencipta, dan dewa siwa sang perusak dalam hindu.... Dan banyak lainnya yang menunjukkan hal yang sama, Tuhan menciptakan terang untuk keseimbangan berpadu dengan gelap, Tuhan menciptakan siang dan malam." Matthias menatap serius, "Dan pemegang kekuatan gelap dan terang ini, diciptakan untuk keseimbangan."
Rolan mundur dari duduknya, menatap Marco dengan serius,
"Kalau memang beban ini begitu besar, kenapa Matthias melimpahkannya ke pundakku? Dan kalau memang dunia ini harus seimbang, kenapa kita mengkhawatirkan pemegang kekuatan gelap bernama Gabriel ini?"
"Karena Gabriel berbahaya. Amat sangat berbahaya." Mata Marco tampak serius, ada ketakutan di sana. "Lelaki itu tidak seperti ibunya, pemegang kekuatan terdahulu yang dengan teguh berusaha mematuhi keseimbangan semesta, Gabriel ingin menguasai dunia dan menghancurkannya. Dan dia sangat mampu melakukannya." Marco menunjuk buku kuno yang terletak di meja di antara mereka itu. "Buku ini berisi peraturan semesta. Diwariskan turun temurun kepada pemegang kekuatan. Saya akan menuntun anda untuk mendalami dan memahami setiap kata yang ada di sini, sesuai tugas saya." Marco menatap Rolan tajam, "Karena sekarang tuan Matthias sudah tiada, saya akan mengabdi kepada anda. Saya akan menjelaskan kepada anda nanti, betapa berbahayanya Gabriel.... dan anda harus benar-benar bersiap ketika dia memutuskan untuk menyerang anda."
Bersambung ke part 9

Sebuah buku....
Rolan menatap dengan tertarik sekaligus ingin tahu. Dia melirik lagi ke arah kotak paketnya dan membaca ulang nama pengirimnya. Ditatapnya nomor ponsel yang tertera di sana dengan penuh ingin tahu. Kemudian setelah berpikir sejenak, Rolan mengambil ponselnya dan menelepon. Ada nada sambungnya...... Deringan ke satu, deringan kedua, dan pada deringan ketiga. Sebuah suara yang berat menyahut di sana.
"Akhirnya anda menelepon." Suara itu tenang, seakan sudah menunggu lama Rolan meneleponnya.
"Siapa kau?" Rolan bertanya, mengerutkan keningnya.
"Saya adalah pelayan setia Tuan Matthias. Kalau anda benar-benar ingin tahu. Temui saya." Orang itu menyebut alamat sebuah cafe di pinggiran kota, "Dan jangan lupa, bawa buku yang sekarang ada di tangan anda."
***
Mereka berdiri berhadapan, Selly dan bu Sandra. Yang ada di benak Selly adalah kata-kata teman-temannya kemarin yang tidak sengaja didengarnya, bahwa bu Sandra adalah orang yang menyebarkan rumor jelek tentang dia dan Gabriel.... Memang bu Sandra sangat ketus ketika Selly berpamitan untuk pindah ruangan kemarin, tetapi Selly sungguh tidak menyangka bahwa bu Sandra akan menuduhnya seperti itu.
"Pagi bu." Selly menganggukkan kepalanya mencoba bersikap sopan dan ingin segera pergi dari situ.
"Pagi Selly, apakah ada waktu? Saya ingin bicara sebentar..."
Bicara? Tiba-tiba Selly merasa enggan dan menahankan dorongan untuk segera melarikan diri dari situ. Tetapi pada akhirnya dia terpaksa menganggukkan kepalanya,
"Baik bu."
"Ayo masuk dulu ke dalam." Bu Sandra membuka pintu ruangan accointing dan mengisyaratkan Selly untuk mengikutinya ke dalam.
Selly masuk ke sana dan langsung berhadapan dengan teman-temannya. Seperti biasa di pagi hari, sebelum jam kerja, suasana kantor adalah suasana santai, beberapa sibuk sarapan dan membuat kopi sambil mengobrol di meja khusus dekat dispenser di ruangan itu, beberapa berkumpul di meja yang lain sedang mengomentari artikel yang terpampang di komputer.
Semua yang ada di sana langsung mendongakkan kepala dan terpaku ketika melihat Selly muncul di belakang bu Sandra.
Selly sendiri berdiri salah tingkah ketika menerima tatapan-tatapan penuh spekulasi dari seluruh mantan rekan kerjanya di sana, beberapa bahkan memberikan tatapan mencemooh terang-terangan kepadanya.
Tiba-tiba Selly berdebar, pikiran buruk terlintas di benaknya, apakah Bu Sandra memintanya kemari untuk mempermalukannya di depan semua orang?
"Saya mengajak Selly kemari untuk meminta maaf." Kalimat bu Sandra yang pertama itu membuat Selly terkejut. Begitupun wajah-wajah rekannya di sana.
Tetapi bu Sandra tampaknya tak peduli, dia terus melanjutkan.
"Saya tahu Selly menjadi asisten Mr.Gabriel karena kemampuannya, bahkan saya sendiri yang merekomendasikannya." Bu Sandra tersenyum lebar dan kata-katanya makin membuat Selly terkejut, jadi bu Sandralah yang merekomendasikannya menjadi asisten Gabriel?
Bu Sandra lalu berbalik menghadap Selly menatap penuh permintaan maaf,
"Tetapi kemudian saya iri kepadamu Selly jadi saya menyebarkan rumor tak sedap antara kau dan Mr.Gabriel dan itu hal yang sangat salah,lama-lama saya menyadarinya..... Saya sungguh yakin bahwa hubunganmu dengan Mr.Gabriel adalah hubungan yang profesional, semua gosip dan rumor yang beredar itu adalah kesalahan saya, jadi sekarang, di hadapan semua orang, saya ingin meminta maaf kepadamu, Selly." Bu Sandra mengulurkan tangannya, tampak sungguh-sungguh serius.
Sementara itu Selly masih ternganga bingung. Wajah-wajah di ruangan itu juga sama terkejutnya...
Dan Selly menatap ke arah tangan bu Sandra yang terulur, lalu ke wajah bu Sandra yang tampak menyesal.
Tak ada yang bisa dilakukan Selly selain membalas uluran tangan perempuan itu
***

Selly keluar dari ruangan accounting itu dengan langkah ringan, setidaknya hatinya tenang. Setelah menerima permintaan maaf dari bu Sandra tadi, teman-temannya ikut menyalaminya dan meminta maaf, lalu suasana menjadi cair, beberapa bersikap baik penuh canda seperti biasa. Beberapa masih sedikit kaku, mungkin karena masih merasa menyesal telah menuduh Selly yang tidak-tidak.
Dengan hati-hati Selly masuk ke ruang besar, diliriknya jam tangannya, masih jam delapan pagi. Kemarin-kemarin jam sepuluh siang Gabriel baru datang.
Tetapi rupanya hari ini Gabriel datang di pagi hari, lelaki itu sudah duduk dikursi besar di belakang mejanya, sedang mempelajari berkas-berkas. Dengan gerakan tak kentara, Gabriel mengangkat kepalanya dan menatap Selly yang masih berdiri canggung di pintu,
"Selamat pagi, masuklah Selly kalau kau sudah siap ada beberapa hal tentang berkas ini yang perlu kudiskusikan." Gabriel menyapa santai lalu sibuk menekuri berkas-berkas di tangannya.
Selly membalas ucapan selamat pagi Gabriel dengan canggung, lalu berjalan menuju mejanya, meletakkan tas dan jaketnya. Tiba-tiba dia teringat betapa tidak sopannya dirinya kemarin, melepaskan cekalan Gabriel dari tangannya, tidak menjawab pertanyaan Gabriel dan meninggalkan bosnya begitu saja. Apakah Gabriel mengingat itu dan akan memarahinya?
"Kau tampak senang pagi ini, ada yang menyenangkan?" Tentu saja Gabriel tahu akan kejadian tadi, dimana bu Sandra dan seluruh mantan rekan sekerja Selly meminta maaf, dia sendiri tersenyum puas di dalam hatinya.
Selly tergeragap dari lamunannya dan langsung menjawab gugup,
"Ah iya... Tadi saya berkunjung ke bekas ruangan saya di bagian accounting."
"Reuni eh? Sepertinya berjalan bagus karena kau tidak bisa menahan senyummu." Gabriel tersenyum tipis, "Bagaimana calon suamimu? Sudah di rumah dengan sehat?"
"Ya, dia sudah sehat.Dan kondisinya baik. " Selly tersenyum membayangkan Rolan.
Gabriel menatap ekspresi Selly dan matanya berubah serius,
"Hati-hati Selly, lelaki yang sehat biasanya mempunyai banyak penggemar." Gumamnya penuh arti, membuat Selly mengangkat alisnya bingung
Apa maksud Gabriel dengan kata-katanya?
***
Rolan memarkir mobilnya dan berjalan di sepanjang trotoar yang ramai dan melirik ke arah papan nama cafe itu. Cafe yang dibangun dengan gaya kolonial belanda, dengan dinding putih yang tebal dan khas, Rolan memasuki cafe itu dan terpaku di depan pintu, matanya mencari ditengah keramaian pengunjung cafe yang sedang menikmati makan siangnya. Lalu dia melihatnya, seorang lelaki yang duduk sendirian di sudut terlindung dan sedikit gelap, dan entah kenapa Rolan langsung tahu.
"Kau yang mengirimkan paket ini?" Rolan berdiri di dekat lelaki itu, meletakkan buku kuno itu di meja.
Lelaki tua itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum,
"Anda datang." Gumamnya puas.
"Tentu saja." Tanpa permisi Rolan duduk di depan lelaki itu, "Sekarang jelaskan karena aku bingung. Siapa Matthias itu? Kenapa mengirimkan aku buku ini? Untuk apa?"
Lelaki tua itu menatap Rolan penuh arti, dan tersenyum.
"Sabar, ceritanya sangat panjang dan membutuhkan waktu cukup lama, anda harus menahan kesabaran anda supaya anda mengerti."
***

"Kau tidak istirahat makan, Selly?"
Selly mendongak dan tampak terkejut,
"Ah ya, sudah jam duabelas." Selly tersenyum, "Hampir saja saya lupa waktu."
Gabriel menganggukkan kepalanya, "Istirahatlah."
"Baik Sir." Selly menganggukkan kepalanya, merapikan kertas-kertas di mejanya dan berdiri sambil membawa kotak bekalnya.
"Kau tidak beli makan di luar?" Gabriel mengerutkan kening. Matanya melirik ke arah kotak bekal yang dibawa Selly.
Pipi Selly memerah, "Eh tidak, saya memasak bekal sendiri Sir. Selain bisa menghemat, kesehataannya juga lebih menjamin." Tiba-tiba Selly merasa malu, Gabriel pasti tidak butuh penjelasan sepanjang itu.
Ekspresi Gabriel tidak terbaca, "Boleh aku melihatnya?"
"Apa?" Selly masih tidak yakin akan apa yang didengarnya.
"Aku ingin melihat bekalmu, bolehkah?" Gabriel membeli isyarat Selly untuk mendekat.
Sementara itu Selly masih berdiri bingung, terpaku di tempatnya. Untuk apa Gabriel melihat bekalnya?
"Selly." Gabriel mengangkat alisnya, "Kau dengar aku?"
"Oh Iya Sir." Selly melangkah mendekat ke meja Gabriel, meletakkan kotak bekalnya di meja, "Anda ingin melihat ini?"
"Ya bukalah kalau kau tidak keberatan."
Selly menatap wajah Gabriel dan sadar kalau lelaki ini serius dengan perkataannya. Dengan gugup, Selly membuka kotak makanan itu, dan tiba-tiba merasa malu karena menu makanannya yang sederhana.
Di dalamnya ada nasi, dengan ayam goreng yang dibuatnya tadi pagi, dan wortel serta buncis yang ditumis dengan bawang. Hanya itu.
Selly mengamati Gabriel yang terpaku menatap makanannya, dan menunggu ekspresi jijik ataupun mencemooh dari lelaki itu. Tetapi Gabriel malah mendongakkan kepalanya dan menatap Selly dengan serius,
"Maukah kau memberikan makanan ini untukku? Aku tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya."
Kali ini Selly benar-benar shock. Apakah dia sedang berhalusinasi? Benarkah bosnya yang sangat kaya dan elegan ini baru saja meminta bekal makanannya yang sederhana itu?
"Kau bisa membeli sendiri makan siangmu. Aku akan memberimu uang untuk menggantikan makan siangmu." Gabriel bergumam ketika Selly tidak menjawab, dan kemudian mengeluarkan dompetnya hendak mengeluarkan uang.
Seketika itu juga Selly tersadar dan melangkah mundur dengan gugup,
"Tidak...tidak perlu diganti, makanan itu untuk anda saja. Saya akan membeli makanan sendiri untuk saya." Selly menganggukkan kepalanya sopan, lalu tergesa dia melangkah keluar dari ruangan besar itu sebelum Gabriel sempat memanggilnya.
Ketika menutup pintu di belakangnya, Selly tertegun di sana, benaknya dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Kenapa Gabriel meminta makanannya? Apakah lelaki itu kebetulan hanya iseng. Atau memang benar-benar ingin tahu tentang masakan negara ini?
***

Marco sendiri sudah menduga akan ditatap seperti itu, dia membalas tatapan Rolan dengan pandangan tajam dan menantang,
"Anda seharusnya sudah merasakannya, kekuatan yang sangat besar tersimpan di tubuh anda, kekuatan dari Matthias, tuan saya yang sebelumnya."
Rolan tahu dia tidak bisa membantahnya. Lelaki tua itu. Lelaki tua misterius yang mengajaknya berbicara di rumah sakit, di saat-saat sekaratnya.... Ternyata bernama Matthias, dan menurut keterangan Marco, dia adalah pemegang kekuatan kebaikan yang berkuasa, kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh Rolan, menunggu untuk digunakan.
"Kenapa Matthias memberikan kekuatan itu padaku? Untuk apa?" Rolan tetap bertanya biarpun sebenarnya Rolan masih belum bisa percaya seratus persen dengan apa yang dikatakan oleh Marco.
Marco sendiri menghela napas panjang, matanya tampak sedih.
"Tuan Matthias punya alasan sendiri memberikan kekuatan ini kepada anda, dia tentu saja menganggap anda yang terbaik..... Sayangnya tuan Matthias sekarang sudah tiada..."
"Sudah tiada?" Apakah maksud Marco, lelaki tua itu sudah meninggal?
"Ya." Kepedihan yang pekat tampak di mata Marco, "Saya sudah begitu lama mengabdi untuk Tuan Matthias, anda tahu kami yang ditakdirkan menjadi pelayan sang pemegang kekuatan akan berumur panjang, tetapi sebagai gantinya kami tidak bisa melepaskan diri dari tuan kami, harus tetap setia..... Tuan Matthias adalah tuan saya yang terbaik, sayangnya, pada akhirnya beliau dibunuh oleh Gabriel, lelaki jahat yang sama sekali tidak menghormati aturan semesta...."
"Gabriel?" Rolan menyela, nama itu membuat wajah Marco memucat, ada ketakutan di sana meskipun hanya dengan menyebut nama 'Gabriel'
"Ya. Gabriel adalah pemegang kekuatan kegelapan. Berseberangan dengan kekuatan kebaikan, dia adalah penyeimbang semesta."
Rolan tampak mulai bisa memahami, "Baik dan buruk, terang dan gelap, hitam dan putih....?" Gumamnya sinis.
Marco mengangguk, "Betul Tuan Rolan, di dunia ini, dalam ajaran apapun, anda pasti akan mendengar tentang keseimbangan. Ada Yin dan Yang dalam budha, dilambangkan dengan lingkaran yang terbelah hitam dan putih dengan seimbang. Ada dewa wisnu sang pencipta, dan dewa siwa sang perusak dalam hindu.... Dan banyak lainnya yang menunjukkan hal yang sama, Tuhan menciptakan terang untuk keseimbangan berpadu dengan gelap, Tuhan menciptakan siang dan malam." Matthias menatap serius, "Dan pemegang kekuatan gelap dan terang ini, diciptakan untuk keseimbangan."
Rolan mundur dari duduknya, menatap Marco dengan serius,
"Kalau memang beban ini begitu besar, kenapa Matthias melimpahkannya ke pundakku? Dan kalau memang dunia ini harus seimbang, kenapa kita mengkhawatirkan pemegang kekuatan gelap bernama Gabriel ini?"
"Karena Gabriel berbahaya. Amat sangat berbahaya." Mata Marco tampak serius, ada ketakutan di sana. "Lelaki itu tidak seperti ibunya, pemegang kekuatan terdahulu yang dengan teguh berusaha mematuhi keseimbangan semesta, Gabriel ingin menguasai dunia dan menghancurkannya. Dan dia sangat mampu melakukannya." Marco menunjuk buku kuno yang terletak di meja di antara mereka itu. "Buku ini berisi peraturan semesta. Diwariskan turun temurun kepada pemegang kekuatan. Saya akan menuntun anda untuk mendalami dan memahami setiap kata yang ada di sini, sesuai tugas saya." Marco menatap Rolan tajam, "Karena sekarang tuan Matthias sudah tiada, saya akan mengabdi kepada anda. Saya akan menjelaskan kepada anda nanti, betapa berbahayanya Gabriel.... dan anda harus benar-benar bersiap ketika dia memutuskan untuk menyerang anda."
Bersambung ke part 9
Published on June 08, 2013 10:14
Embrace The Chord Part 7

"Apa yang kau lakukan di sini?" Rachel ternganga, benar-benar kaget akan kehadiran Jason di depan pintu rumahnya, dengan penampilan santai yang luar biasa tampan.
Jason tersenyum lebar, mengangkat kaca hitam yang dikenakannya dan menaruhnya di kepala, "Menjemputmu, kau pikir apa? Aku rasa murid khusus perlu diperlakukan istimewa."
"Tidak perlu, terimakasih." Rachel mengerutkan keningnya, masih teringat di benaknya kemarin lelaki itu menciumnya tanpa permisi. Jason bukan hanya merebut ciuman pertamanya, lelaki itu juga merebut ciuman keduanya! Dan setelah itu Jason berciuman dengan Arlene pula seolah ciuman bibir adalah hal biasa untuknya. "Aku bisa berangkat sendiri ke kampus."
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, penting." Jason masih tetap tersenyum, seolah tak peduli dengan sikap ketus Rachel.
Rachel membuka mulutnya hendak mengusir Jason, tetapi kemudian suara mamanya menginterupsi di belakangnya,
"Siapa itu Rachel?" mamanya sudah muncul di belakang Rachel, dan kemudian tertegun senyap. Rachel bisa membayangkan ekspresi mamanya yang ternganga dan dia tak perlu menoleh ke belakang untuk memastikannya.
"Jason?" suara mamanya penuh dengan rasa kaget, "Kenapa ada di sini pagi-pagi sekali?"

"Selamat pagi nyonya, saya hendak menjemput Rachel."
Mama Rachel langsung luluh tanpa ampun, "Wah astaga, kau menjemput Rachel sendiri? ayo.. ayo masuklah kau pasti belum sarapan, ayo sarapan dulu."
"Mama, Jason pasti sudah sarapan...."
"Wah menyenangkan sekali, kebetulan saya lapar." Jason menyela, melemparkan pandangan penuh kemenangan kepada Rachel yang menatapnya dengan cemberut dan kesal, lalu setengah geli berjalan mendahuli Rachel memasuki rumahnya.
Mereka duduk di dapur itu, dan mama Rachel dengan tergesa menghidangkan telur orak-arik khas buatannnya dan waffle keju yang disirap dengan sirup mapple yang manis.
Jason menerima piringnya dengan penuh rasa terimakasih, membuat Rachel mencibir karena menyangka lelaki itu berpura-pura hanya untuk mengambil hati mamanya. Tetapi kemudian Rachel melirik dan mengangkat alis melihat Jason melahap makanannya dengan lahap seolah memang sangat menikmatinya.
Lelaki itu benar-benar menghabiskan makanannya, lalu meletakkan sendoknya dan tersenyum senang,
"Sarapan yang luar biasa enak, terimakasih nyonya." gumamnya mempesona, dan Rachel mengamati ibunya, menyadari bahwa mama-nya benar-benar tersipu-sipu! Astaga! pesona Jason memang benar-benar tiada duanya!
***
"Kenapa kau begitu tidak menyukaiku?" Jason pada akhirnya berhasil memaksa Rachel berangkat bersamanya dan masuk ke mobilnya, apalagi dengan dukungan mama Rachel yang sangat antusias.
Rachel melirik sedikit ke arah Jason, kemudian langsung memalingkan muka. Astaga, meskipun dia tidak simpati dengan sikap pemaksa, arogan dan egois Jason, tetapi ketampanan lelaki itu yang luar biasa memang tak tertahankan, membuatnya sesak napas.
"Aku tidak membencimu...." gumam Rachel pelan, tidak rela mengatakannya, karena jauh di dalam hatinya dia memang benar-benar tidak menyukai Jason, di balik wajah tampannya, lelaki ini berbahaya, dia terkenal sebagai pematah hati perempuan. Oh ya, bakatnya bermain biola memang luar biasa dan begitu jenius, Rachel mengagumi kemampuan Jason, tetapi bukan berarti dia bisa menerima sikap buruk Jason.
Jason sendiri tersenyum sinis, seolah tak percaya dengan kata-kata Rachel, "Baguslah kalau begitu." gumamnya, "Karena aku akan menjadi mentormu, dan seorang murid yang sukses adalah murid yang menghormati gurunya."
Lelaki itu menatap lurus ke depan, menjalankan kemudi dengan lancar, suasana hening sejenak hingga Rachel melirik ke arah Jason, dan memberanikan diri bertanya,
"Katamu ada yang ingin kau katakan?"
"Apa?" Jason melirik sedikit.
"Tadi kau bilang kau menjemputku karena ada yang ingin kau katakan?"
"Oh itu." Tatapan mata Jason tampak misterius, "Aku berubah pikiran, nanti saja. Kau bisa melihatnya sendiri, akan kutunjukkan."
Rachel menatap Jason dengan kesal, menyadari bahwa sikap Jason memang seperti ini, suka berbuat seenaknya.
***
Ketika mobil mereka parkir di parkiran dan Rachel melangkah turun, Calvin kebetulan ada di sana dan sedang turun dari mobilnya.
Wajah dan senyum Rachel langsung cerah ketika melihat lelaki pujaan hatinya itu, dan itu tidak luput dari pengawasan Jason,
"Calvin!" Rachel memanggil Calvin dengan bersemangat, membuat lelaki itu menoleh, sementara Rachel berjalan cepat, mengejar Calvin dan meninggalkan Jason di belakangnya.
Jason meringis, menyimpan senyum pahit kepada dirinya di dalam hatinya. Baru sekali ini seumur hidupnya, seorang perempuan yang berjalan bersamanya meninggalkannya untuk mengejar lelaki lain. Rachel benar-benar tidak mempan dengan pesonanya rupanya.
"Rachel?" Calvin menghentikan langkahnya, tersenyum lebar, kemudian matanya menatap ke arah Jason yang berjalan tenang di belakang Rachel dan dia mengangkat alisnya, "Kau... kau datang bersama Jason?"
Rachel mendekati Calvin, menoleh sedikit ke arah Jason yang berjalan pelan di belakangnya, lalu berbisik, "Dia menjemputku tanpa peringatan ke rumah, mengambil hati mamaku sehingga mamaku mendorongnya ke mobilnya."
Calvin ternganga, "Jason....? dia menjemputmu sendiri? wah kau memang benar-benar istimewa Rachel." senyum Calvin melebar ketika Jason semakin dekat, dia menunduk sopan, "Selamat pagi Sir." sapanya tak kalah sopan.
Jason hanya mengangkat alisnya, mengamati Calvin yang begitu sopan dan kemudian berganti ke arah Rachel yang cemberut menatapnya, lalu tersenyum, "Selamat pagi, sampai bertemu nanti di kelas." lelaki itu menoleh ke arah Rachel, menatapnya dengan intens, "Jangan lupa, kau harus tinggal 3 jam untuk pelatihan khusus bersamaku, setelah pelatihan sesi kelas nanti."
Setelah mengucapkan kalimat arogan itu dan tanpa menunggu Rachel menjawab, Jason melangkah pergi.
***
Kelas khusus memang luar biasa, Jason benar-benar melatih dua puluh anak terpilih dengan metode yang pribadi, mengenali setiap siswa, mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan akurat hanya dengan sekali mendengarkan permainan, dan kemudian melakukan koreksi dan mengeluarkan bakat yang belum tergali.
Hanya dalam satu sesi, permainan murid-murid khusus di kelas itu menjadi lebih baik. Jason ternyata bukan hanya pemain biola yang jenius, dia juga mentor yang luar biasa.
"Aku baru menyadari bahwa posisi sikuku yang biasa menghambat gesekanku ketika mencapai nada tinggi." Calvin berbisik di telinga Rachel ketika sesi pelatihan mereka hampir selesai, "Luar biasa.... aku dan orang-orang di sekitarku bahkan tidak menyadarinya, tetapi dia langsung tahu apa yang kurang dari permainanku hanya dari beberapa menit mendengarkannya."
Calvin tampak benar-benar kagum kepada Jason, dan ketika Rachel hanya menganggukkan kepalanya, Calvin merangkul Rachel penuh sayang,
"Pelatihan sudah hampir selesai, dan hanya dalam satu sesi dia memperbaiki permaikanku menjadi luar biasa, kau benar-benar beruntung Rachel bisa mendapatkan sesi tambahan khusus bersamanya."
Rachel menatap Calvin mencoba tersenyum, yah semua orang terus dan terus mengatakan betapa beruntungnya Rachel, jadi yang bisa dilakukan Rachel hanya tersenyum dan mencoba bersikap seperti seseorang yang tahu terimakasih.
"Setelah ini kau akan kemana?" ini hari Senin, biasanya Calvin akan mengajak Rachel makan malam bersamanya setiap Senin, lalu mereka akan menonton film baru di bioskop. Ya, sejak dulu, hari Senin memang hari Rachel bersama Calvin.
Calvin menatapnya dengan menyesal, "Aku tahu Senin adalah hari kita bersenang-senang, tapi sekarang kau tidak bisa pergi karena masih ada sesi tiga jam bersama Jason..." senyum Calvin melebar, "Jadi aku mengajak Anna jalan, kami akan makan steak dan kemudian nonton."
Dan sekali lagi, Calvin mematahkan hati Rachel tanpa lelaki itu menyadarinya... tiba-tiba Rachel sangat ingin lari saja, kembali ke kamarnya lalu menangis keras-keras dan tidak perlu mengikuti sesi latihan 'keberuntungannya' bersama Jason.
***
"Hentikan." Jason bergumam tajam, menyuruh Rachel menghentikan permainan biolanya. Mereka sudah berdua saja sekarang di ruangan itu. Dan Jason menyuruh Rachel memainkan kembali Bach's Chaconne yang dimainkannya kembali bersama Jason, kali ini solo bukan duet.
Rachel menghentikan permainannya dan langsung bertatapan dengan mata tajam Jason.
"Apa yang mengganggu pikiranmu? Bach's Chaconne seharusnya membawa perasaan pemujaan, kenangan akan isteri tercinta, alunannya bisa membawa kita mengenang akan cinta sejati dua anak manusia. Tetapi yang kudengar dari permainanmu sekarang adalah sakit hati yang pedih dan menyanyat-nyayat, berbeda sekali dengan permainanmu kemarin." Jason berdiri di depan Rachel, menatap tajam ke arah Rachel yang terdiam, kemudian mengulurkan jemarinya dan meraih dagu Rachel yang menunduk, "Apa yang mengganggu pikiranmu, Rachel?"
Rachel memalingkan mukanya, melepaskan diri dari jemari Jason di dagunya, "Tidak.. bukan apa-apa, maafkan aku, kurasa aku hanya lelah."
"Lelah?" Jason mengangkat alisnya, "Ini bukan gara-gara Calvinmu bukan?"
Pipi Rachel langsung memerah dan Jason tidak memerlukan jawabannya, dia menghela napas panjang, tampak kesal,
"Anak remaja dan pencarian cintanya." lelaki itu bergumam menghina tidak mempedulikan pelototan tersinggung Rachel, "Aku hanya berusaha mengembangkan kemampuanmu dan kau malahan berkutat dengan cintamu yang bertepuk sebelah tangan." Jason membalikkan tubuhnya, "Kemasi biolamu, kurasa kita tidak akan bisa latihan malam ini."
Rachel terpaku, Apakah Jason menyuruhnya pulang? apakah pada akhirnya lelaki itu menyadari bahwa Rachel ternyata tidak berbakat dan melatihnya adalah hal yang sia-sia.
Tiba-tiba ada penyesalan yang mengganggu Rachel, tetapi dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan menghilangkan pikiran itu. Ini yang diharapkannya bukan? Bahwa Jason akan melepaskannya dan tidak memaksanya mengikuti pelatihan khusus yang sudah ditolaknya?
***
Ternyata Jason tidak membawanya pulang, mobilnya mengarah ke pinggiran kota, lalu berhenti di sebuah cafe yang ramai, di sana ada pertunjukan life music, konser mini band yang suaranya berdentam-dentam sampai ke luar.
Pengunjung cafe itu banyak sekali, beberapa adalah remaja seumuran Rachel, laki-laki dan perempuan, semua berdesak-desakan, meluber sampai ke luar pintu cafe,
"Kita ada di mana?" Rachel menoleh ke arah Jason, kebingungan.
Jason hanya tersenyum simpul, dan melirik ke arah Rachel, "Ini yang akan kutunjukkan kepadamu. Selama ini kau pasti mengira aku adalah pemain musik klasik yang kolot, yang arogan, sombong dan tidak menghargai kemampuan orang lain di bawahku. Mungkin dengan ini kau bisa melihat bahwa pemain musik klasik, khususnya pemain biola sepertiku, kadangkala bisa juga bersikap seperti manusia biasa." Senyumnya melebar, lalu turun dari mobil, "Ayo Rachel, turun."
Rachel masih menatap bingung, tetapi kemudian dia turun juga, dan tidak bisa menolak ketika Jason menggandeng tangannya. Mereka melangkah melalui pintu belakang yang dijaga, sepertinya mengarah khusus ke bagian belakang panggung konser mini itu.
Penjaga itu ternyata mengenali Jason, senyumnya melebar,
"Kau datang juga Jason." sapanya ramah.
Jason menganggukkan kepalanya dan tersenyum, "Tentu saja, aku tidak akan melewatkan acara ini. Apakah David sudah di dalam?"
"David dan semuanya sudah menunggu di dalam." Penjaga itu menoleh ke arah Rachel yang ada dalam gandengan Jason, kemudian mengangkat alisnya, "Selera baru, eh?"
Jason tertawa, mengedipkan sebelah matanya, "Kadang-kadang aku senang mencicipi daun muda." gumamnya dalam tawa, tidak mempedulikan pipi Rachel yang merah padam ketika lelaki itu setengah menyeretnya masuk ke dalam gedung itu.
***
"Jason." seorang lelaki tampan dengan tampilan anak band langsung menyambut Jason, "Kau datang juga, kami tidak sabar menanti pertunjukanmu yang spektakuler."
Pertunjukan Jason yang spektakuler?
Rachel mengerutkan keningnya. Apakah Jason akan bermain biola di sini? Tetapi.... tidak cocok untuk dimainkan di sini bukan? musik band yang keras dan berdentam di luar sana dan teriakan penonton yang antusias tentu saja jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka bukan penggemar musik klasik....
"Aku senang memiliki waktu untuk memberikan pertunjukan yang spektakuler di sini, David." Jason tersenyum, "apakah semuanya sudah siap?'
"Tentu saja kami selalu siap untukmu." Lelaki bernama David itu memberikan reaksi yang sama seperti penjaga di depan ketika melihat Rachel, mengangkat alisnya skeptis, "Selera baru Jason? tidak kusangka kau juga memangsa gadis-gadis muda."
Jason tertawa. "Jangan ganggu dia David, dia bukan korbanku, dia muridku, aku minta orangmu untuk menjaga dia selama aku tampil." Lalu tanpa berkata-kata, Jason melangkah masuk ke ruang musik, Rachel terbirit-birit mengikutinya, dia tidak mau tersesat di tempat yang tidak dikenalnya ini, tempat yang hingar bingar dan sangat ramai.
"Kau akan bermain biola?" tanya Rachel tergesa.
Jason menoleh, menatap Rachel dan mengangkat alisnya, "Biola? tentu saja tidak, aku akan bermain gitar." Lelaki itu lalu meraih gitar hitam pekat yang ada di kotak di sana, kemudian memasang ke tubuhnya.

Jason yang ada di depannya ini sekarang berpenampilan acak-acakan, santai, dan memasang gitar hitam di tangannya.... dan seorang pemain band!,
Sebelum Rachel sempat berkata-kata, ada suara riuh rendah di antara penonton di panggung depan. Jason tersenyum,
"Itu panggilan untukku, tetap di sini dan nikmatilah musikku, Rachel." Jason mengedipkan sebelah matanya, lalu melangkah ke luar panggung.
Begitu lelaki itu memasuki panggung, suara-suara histeris langsung terdengar, terutama dari para wanita. David yang rupanya vokalis band itu memperkenalkan seluruh anggotanya, diiringi teriakan-teriakan dan tepuk tangan yang riuh rendah.
Rachel berdiri di tepi panggung, menatap ke arah Jason yang tampak luar biasa tampan di bawah sinar lampu panggung. Ini Jason yang berbeda...sangat berbeda dari apa yang ditampilkannya.
Kemudian musik dimainkan, Jason memetik gitarnya dan Rachel ternganga...
Bersambung ke part 8
Published on June 08, 2013 10:01
June 5, 2013
Embrace The Chord Part 6

Rachel benar-benar terkejut. Dia ternganga menatap ke arah Jason. Sementara seluruh mata memandangnya.
Apa yang dikatakan Jason tadi? Apakah lelaki itu menjebaknya sehingga tidak bisa menolak di tengah begitu banyak orang?
Rachel melemparkan tatapan marah kepada Jason, tetapi lelaki itu hanya tersenyum simpul dan menatap Rachel dengan tak tahu malu.
Pada akhirnya, mau tak mau Rachel melangkah ke panggung penuh dengan dorongan untuk mencaci maki Jason di depan umum. Tapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya. Rasa frustrasi membuatnya menatap Jason dengan marah dan mengancam, tetapi Jason malah menatapnya dengan ekspresi geli,
"Apakah kau membawa biolamu?"
"Tidak." Rachel menjawab cepat sambil menggertakkan gigi.
Jason terkekeh, "Aku membawa dua, kau boleh pinjam punyaku." Jason mengedikkan kepala kepada pegawainya dan orang itu dengan tergoph-gopoh membawakan dua tempat biolanya kepada mereka.
Jason mengambil satu, sebuah biola warna cokelat kemerahan, membuat Rachel ternganga,
"Itu Stradivarius?" Rachel tetap menanyakan pertanyaan itu meskipun dia sudah tahu jawabannya, tentu saja dia tahu dia telah membaca semua artikel tentang biola ini dan sekarang melihat secara langsung biola ini di depan matanya membuatnya seolah bermimpi. Biola Stradivarius adalah biola yang amat sangat langka, tidak bisa diduplikasi, karena pembuatnya, Antonio Stradivari berhasil menerapkan teknik yang misterius dan rahasia, sehingga tidak akan pernah ada yang bisa meniru caranya,
Sang pembuat biola ini telah membakar habis semua dokumen-dokumen tentang cara-cara dan ramuan biolanya itu sebelum akhirnya dia meninggal dunia. Biola Stradivarius terkenal memiliki suara paling jernih dan volume terbesar, dengan nada yang paling murni yang membuat mereka terlihat hampir 'hidup' di tangan seorang maestro pemain biola. Dan sekarang, dari sekitar 1.100 instrumen musik karyanya seperti gitar, biola, viola dan cello, hanya 650 saja yang masih ada hingga saat ini, dan khusus untuk biola diperkirakan hanya tinggal 100 buah saja yang masih tersisa, dan Jason ternyata memiliki salah satu dari seratus itu.
Jason menganggukkan kepala seolah tidak peduli dengan ketakjuban Rachel,
"Ini warisan dari ayahku. Kau pakai yang satunya." Lelaki itu mengedikkan bahunya ke arah kotak yang belum dibuka. Dan Rachel dengan penuh rasa ingin tahu membuka kotak biola itu. Seketika itu juga dia sadar, bahwa itu adalah biola yang selalu dipakai oleh Jason. Rachel selalu melihat Jason memainkan biola ini di setiap rekaman video penampilan Jason. Itu adalah biola Paganini yang terkenal. Berbeda dengan Stradivarius yang menciptakan suara indah dengan sendirinya, biola Paganini sangat sulit dimainkan, karena ada perbedaan yang kontras antara nada tinggi dengan nada rendahnya.
"Kau membiarkanku memakainya?" Rachel ternganga, "Jemarinya menelusuri permukaan biola itu yang begitu halus. Ini adalah salah satu biola tua berumur hampir empat ratus tahun... Dan termasuk biola yang paling sulit dimainkan.
Bisakah dia menggunakannya?
Jason tersenyum, menarik perhatian Rachel.
"Aku yakin kau pantas menggunakannya. Ayo, kita harus memberikan pertunjukan yang luar biasa kepada orang-orang ini." Matanya menajam, "Bach's Chaconne, bisa?"
Rachel mengerutkan keningnya, Jason rupanya tak tanggung-tanggung, Bach's Chaconne adalah karya solo biola oleh Johann Sebastian Bach, Chaconne Partita in D minor for solo violin adalah bagian penutup dari keseluruhan musik, yang katanya ditulis untuk mengenang isteri pertama Johann Sebastian Bach yang telah meninggal sebelumnya. Musik ini penuh dengan nada yang sulit dan teknik tingkat tinggi, memaksa sang violinist menguasai seluruh aspek dalam bermain biola untuk memainkannya. Tetapi jika dimainkan dengan sempurna, hasilnya akan sepadan karena bisa membuat siapapun yang mendengarnya merasakan kesedihan itu, kenangan itu, dan hanyut dalam musik indah yang menyayat hati.
Rachel ragu, biarpun dia pernah mempelajarinya beberapa waktu yang lalu, dia masih ingat seluruh nadanya. Matanya melirik ke arah penonton yang menunggu, dan terpaku ke arah Calvin yang tersenyum lebar sambil mengedipkan persetujuan kepadanya.. Sementara Anna merapat erat di pelukannya dan sebelah lengan Calvin merangkul pinggang feminim Anna dengan intim.
Tiba-tiba Rachel merasakan dorongan semangat di benaknya, keinginan untuk menunjukkan kepada Calvin bahwa dia berharga, bahwa dirinya cukup menarik untuk dilihat dan dikejar... Bahwa Calvin seharusnya menyadari perasaan Rachel.
Rachel mengangguk ke arah Jason yang menunggunya, "Aku siap."
Jason tersenyum, melihat semangat yang menyala di mata Rachel. "Kalau begitu, mari kita buat mereka semua terpesona."

Jason memulai nada awal, Rachel menyusul untuk melengkapinya. Dia menggesek biola indah milik Jason dan terpana akan keindahan nada yang dihasilkannya, sangat berbeda dengan biola yang biasa dipakainya. Kemudian permainan biola Jason yang begitu indah membawa Rachel ke dalam dunia musik yang membius.
Semuanya menghilang, para penonton, panggung yang tinggi, ruangan yang penuh orang seakan menghilang semua. Rachel merasakan dirinya berdiri bersama Jason, di sebuah padang rumput yang luas, menatap pasangan yang sedang jatuh cinta duduk di rerumputan sambil berangkulan, dan mereka berdua memainkan musik yang indah itu, musik kenangan akan cinta sejati seseorang.
Rasanya begitu cepat, Rachel bermain biola sambil memejamkan matanya, dan kemudian Jason memainkan nada penutup, Rachel mengiringinya dengan sempurna. Dan kemudian..... selesai.
Jason berdiri dan memegang biola dengan sebelah tangannya, tersenyum menghadapi penonton. Sementara Rachel membuka matanya, napasnya sedikit terengah, dan langsung berhadapan dengan wajah-wajah takjub di sana, beberapa bahkan ada yang ternganga.
Lalu Jason tertawa, dia meletakkan biolanya dan bertepuk tangan. Tepuk tangan itu memecah keadaan, dan membawa tepuk tangan berikutnya yang susul menyusul, suasana riuh rendah oleh tepuk tangan yang membahana memenuhi ruangan.
Sementara itu Jason tertawa, tampak takjub sekaligus senang, dia mendekat ke hadapan Rachel, berdiri di sana,
"Kau sangat hebat!" gumamnya antusias, dan kemudian tanpa disangka Jason membungkuk dan meraih pinggang Rachel, sedikit mengangkat tubuh mungil perempuan itu, lalu mencium bibirnya!
Jason mencium bibir Rachel di atas panggung, di hadapan ratusan penonton yang masih diliputi ketakjuban akan permainan biola yang begitu indah dan sempurna. Suara tepuk tangan makin riuh rendah mengiringi ciuman mereka, sampai kemudian Jason melepaskan bibir Rachel, tidak peduli akan wajah Rachel yang bingung dan pucat pasi, lelaki itu masih merangkul pinggang Rachel dan tertawa, kemudian membawa Rachel membungkuk kepada seluruh penonton.
***
Jason menciumnya lagi!
Rachel masih setengah terpana setengah bingung ketika menuruni panggung. Orang-orang berebutan menyalami dan memberinya selamat karena mendapat kehormatan bermain dengan Jason serta diangkat sebagai murid bimbingan khususnya. Beberapa mengatakan betapa irinya mereka akan kesempatan yang diperoleh oleh Rachel itu.
Tetapi yang berkecamuk di benak Rachel adalah bibirnya yang panas dan membara akibat kecupan Jason yang tanpa ampun. Lelaki itu bersemangat dan melumat bibirnya tanpa permisi. Jason sudah merenggut ciuman pertamanya, dan sekarang bahkan dia juga mengambil ciuman keduanya!
Rachel merengut, merasa semakin kesal ketika menyadari bahwa Jason juga menjebaknya, dia sengaja mengumumkan kesediaan Rachel - yang sudah pasti dikarangnya - di depan umum, membuat Rachel sekarang tidak bisa menolaknya.
Well, ternyata Jason bukan hanya lelaki arogan dan bertemperamen buruk, tetapi juga pemaksa dan licik untuk mendapatkan keinginannya, terlebih lagi, lelaki itu tukang cium sembarangan!
Rachel masih mengerutkan keningnya ketika Jason mendekat ke arahnya, beberapa orang masih melirik ke arah mereka, mencoba mendengarkan percakapan mereka dengan penuh ingin tahu.
"Kau harus mempunyai waktu tiga jam sehari untuk berlatih bersamaku." gumamnya arogan dan memaksa.
Rachel membuka mulutnya dengan marah, hendak membantah, tetapi bersamaan dengan itu, interupsi datang menyela.
"Jason!" Arlene menghampiri mereka berdua dengan tergesa, "Astaga, bagus sekali sayangku, kau bermain dengan begitu indah, gesekan jarimu yang sempurna membuatku sangat bergairah." Lalu seolah sengaja, Arlene merangkulkan lengannya di leher Jason dan menciumnya.
Sementara itu Rachel menatap dengan jijik. Astaga, Jason mungkin sudah terlalu lama hidup di luar negeri sehingga menganggap sebuah ciuman itu bukanlah hal yang tabu dilakukan di depan umum. Apalagi mengingat beberapa waktu yang lalu, lelaki itu menciumnya di atas panggung dan sekarang dia berciuman di tengah pesta dengan kekasihnya. Rachel harus jauh-jauh dari Jason, kalau tidak lelaki itu mungkin akan merusak kepolosannya.
Jason sendiri membalas ciuman Arlene, dan ketika selesai, dia mengangkat alisnya menatap Arlene,
"Untuk apa ciuman itu Arlene?" Jason tersenyum,
Arlene melirik ke arah Rachel dengan penuh arti. Tentu saja ciuman itu untuk menunjukkan kepada anak ingusan yang beruntung menjadi murid istimewa Jason itu, bahwa Arlene memiliki Jason. Perasaan cemburu membuat Arlene lupa diri, cemburu dan waspada, karena Jason tidak pernah memberikani perhatian dan keistimewaan seperti yang diberikannnya kepada Rachel sebelumnya.
Dan Rachel menerima pesan dari Arlene dengan jelas, dia hanya mencibir. Kenapa perempuan itu sepertinya takut kepadanya? padahal dia sama sekali tidak berpikiran untuk mendekati Jason. Tidak selama bumi masih berputar!
"Untuk ucapan selamat sayang, kau hebat seperti biasanya dan membuatku tergila-gila." Arlene menyapukan jemari lentiknya ke pipi Jason, lalu dengan gerakan sengaja seolah melecehkan Rachel, dia menolehkan kepalanya, berpura-pura baru menyadari kehadiran Rachel dan mengangkat alisnya, "Dan selamat juga untukmu, kau harusnya bersyukur bisa menjadi murid Jason." gumamnya ketus setengah menghina.
Rachel mencibir, "Saya tidak pernah minta kok, terimakasih." Setelah menganggukkan kepalanya mencoba sopan, Rachel membalikkan badannya dan tergesa menjauh sejauh mungkin dari Jason.
Sementara itu mata Jason terus mengawasi sampai Rachel menghilang, hal itu tidak luput dari pandangan Arlene, membuat hatinya panas. Dia harus bisa menarik perhatian Jason lagi!
"Apakah kau tertarik padanya?" pada akhirnya Arlene tidak bisa menahan diri, dia mencoba mengalihkan perhatian Jason dengan bertanya.
Rupanya berhasil karena Jason menatap Arlene lagi, "Apa maksudmu?"
"Perempuan ingusan itu." Arlene memandang ke arah Rachel pergi, "Apakah kau tertarik kepadanya?"
Jason langsung tertawa. "Tertarik kepadanya? tentu saja Arlene, kau pasti tahu bahwa aku selalu tertarik dengan siapapun yang memiliki bakat besar di bidang musik, terutama biola. Anak itu adalah berlian yang belum terasah, dan di tanganku dia akan menjadi berkilauan." Jason melirik Arlene dan tersenyum, "Apakah kau cemburu?"
Arlene mengerucutkan bibirnya dengan manja, "Tentu saja, kau memperhatikannya terus dari tadi."
Jason tertawa lagi, mengecup bibir Arlene dengan ringan, "Jangan kuatir sayang, saat ini aku sepenuhnya milikmu." bisiknya dengan mesra, membuat senyum Arlene melebar dan matanya berbinar penuh cinta.
Saat ini aku sepenuhnya milikmu, jadi nikmatilah selagi bisa... Jason bergumam dalam hati, dan bibirnya tersenyum sinis membayangkan saatnya nanti dia menghancurkan hati Arlene, seperti yang selalu dilakukannya kepada perempuan-perempuan lainnya.
***
Rachel berhadapan dengan Calvin yang masih merangkul pinggang Anna dengan mesra, lelaki itu tersenyum lebar,
"Jadi Jason yang cerdik membuatmu mau tidak mau menerima tawarannya." gumamnya setengah geli.
Rachel langsung cemberut, "Dia lelaki licik." desisnya pelan.
"Kau tidak boleh berkata begitu tentangnya." Anna tiba-tiba menyahut, tampak tidak suka, "Seharusnya kau beruntung dia mau membimbingmu, banyak orang di sini yang mau melakukan apa saja supaya bisa menjadi murid bimbingan khusus Jason, dan kau seolah tidak menghargainya dan tidak tahu terimakasih."
Rachel memucat mendengar kata-kata ketus Anna kepadanya, dia juga menerima tatapan kebencian Anna kepadanya, dan sebelum bisa berkata apa-apa, Anna tib-tiba mendongak dan menatap Calvin penuh penyesalan,
"Kurasa aku harus segera pulang, papaku sudah memberi isyarat sejak tadi." gumamnya lembut, lalu mengecup pipi Calvin, "Terimakasih atas dansanya yang menyenangkan sayang."
Calvin menganggukkan kepalanya, mengecup jemari Anna sebelum perempuan itu melangkah pergi. Lelaki itu lalu menatap Rachel yang masih menatap kepergian Anna dengan bingung dan kemudian mengangkat bahu,
"Maafkan kata-kata ketusnya tadi." gumam Calvin lembut, "Kau tahu, Anna juga termasuk penggemar Jason, dia memang pemain piano dan dia memuja kejeniusan Jason, dia pernah bercerita salah satu impiannya adalah mendapatkan kesempatan untuk resital piano dan biola duet bersama Jason...." Calvin mencolek ujung hidung Rachel dengan menggoda, "Kau adalah orang paling beruntung di ruangan ini, hanya saja kau tidak menyadarinya."
Beruntung?
Rachel mengedarkan pandangannya dan menemukan Jason tengah mengecup bibir Arlene lagi dan lagi. Dia mengerutkan keningnya, apakah semua orang dibutakan oleh kejeniusan Jason sehingga tidak memperhatikan betapa buruknya sikap lelaki itu?
***
"Jadi kau akan menjadi murid khusus Jason, akhirnya." mama Rachel tersenyum puas, senang karena apa yang dia harapkan menjadi nyata.

Tiga jam berduaan bersama lelaki arogan itu... semoga Rachel bisa menahankannya. Dengan cepat dia meneguk susunya, berdiri, bersiap menghadapi semuanya.
Lalu ada suara mobil berderum di halaman depan rumah mereka. Rachel dan mama Rachel saling berpandangan.
Siapa yang bertamu sepagi ini?
Dan kemudian suara ketukan pintu terdengar, Rachel-lah yang duluan berdiri dan membuka pintu itu.
Dan kemudian dia terpana.
Jason berdiri di sana dengan ekspresi datarnya yang biasa.
Bersambung ke Part 7
Published on June 05, 2013 01:40
June 4, 2013
Another 5% Part 7

Senyum Gabriel tampak aneh dan menakutkan ketika menatap bu Sandra dan mempersilahkannya duduk. Dengan gugup, bu Sandra duduk di kursi di depan meja besar Gabriel, sedikit salah tingkah karena lelaki itu menatapnya dengan begitu intens,
"Saya mendengar beberapa rumor akhir-akhir ini..." Gabriel sengaja menggantung kalimatnya, membuat wajah bu Sandra pucat pasi,
"Rumor?" bu Sandra bertanya, pura-pura tidak mengerti, meskipun jantungnya berdebar menduga... apakah dia begitu sial sehingga rumor yang dia sebarkan tentang Gabriel dan Selly bisa sampai ke telinga Gabriel?"Ya, rumor." Gabriel tersenyum...... meski senyum itu tidak sampai ke matanya. "Rumor negatif, gosip tidak menyenangkan yang tersebar di kalangan karyawan, bahwa aku menjalin hubungan khusus dengan Selly."
Kali ini ketakutan muncul di ekspresi ibu Sandra,
"Eh... saya... saya belum mendengarnya... benarkah?" dia mencoba berkelit.
"Pembohong." Gabriel mendesis, "Apakah kau tidak tahu kalau aku bisa membaca pikiranmu? bahwa aku bisa mendengar sekarang jantungmu berdebar lebih kencang? aliran darahmu lebih deras dan kau mulai berkeringat.... itu adalah tanda fisik seorang pembohong."
Bu Sandra menatap Gabriel dengan terkejut dan bingung, Benarkah laki-laki ini bisa melakukan apa yang dikatakannya tadi? ataukah dia hanya menggertak?
Dan sebelum sempat Bu Sandra mengatakan apapun, tiba-tiba Gabriel mendekat, tanpa peringatan dengan tatapan mata tajam, membuat bu Sandra bagaikan hewan yang terpojok, terpaku di tempat duduknya.
"Aku sudah punya rencana besar, dan kau mengganggu dengan rumor yang kau sebarkan itu." Tiba-tiba Saja Gabriel sudah berdiri di depan bu Sandra, dan entah kenapa meskipun berusaha, bu Sandra tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Perempuan itu panik, dan nyala ketakutan semakin terlihat di matanya,
"Tolong.... to...long." suara bu Sandra terhenti ketika Gabriel menyentuhkan telunjuknya tepat di atas dahi bu Sandra, membuatnya mengernyit karena rasa panas yang teramat sangat di sana. Lalu rasa panas itu seolah-olah membakar pikirannya, menyedot jiwanya. Bu Sandra masih berusaha mempertahankan diri, tetapi kekuatan itu sangat kuat dan memaksa, hingga akhirnya jiwanya yang lemah menyerah, lalu tersedot habis... dan semuanya gelap.
Gabriel menatap sosok bu Sandra yang sekarang duduk dengan mata kosong. Dia melepaskan jarinya dari dahi bu Sandra dan bersedekap puas,
"Sekarang kau kembali ke sana, dan kau harus membersihkan namaku dan Selly. Kau yang menyebarkan rumor itu, dan kau yang harus menariknya kembali."
"Ya Tuan." bu Sandra menganggukkan kepalanya, patuh seperti budak.
Gabriel menatap sosok itu dengan sinis dan mengernyit tidak suka, "Oke. Pergilah."
Sama seperti tadi, dengann sikap patuh seperti robot, bu Sandrapun pergi dari ruangan itu, meninggalkan pintu tertutup di belakangnya.
***
Setelah ruangan itu sepi, Gabriel menoleh ke arah Carlos. Pelayannya itu berdiri di sudut yang gelap, dalam bayang-bayang, mengamati semuanya.
"Kenapa ekspresimu seperti itu, Carlos?"
Carlos tergeragap, berpikir untuk menutupi apa yang ada di benaknya, tetapi seketika merasa percuma karena dia tahu bahwa Gabriel bisa membaca apa yang ada di dalam hatinya kalau lelaki itu mau.
"Saya hanya heran anda tidak membunuh perempuan itu." Gabriel terasa berbeda. Gabriel yang dikenalnya selama ini pasti sudah menghancurkan perempuan itu menjadi abu karena menganggapnya seperti pembantu. Tetapi alih-alih membunuhnya, Gabriel malahan menjadikan perempuan itu sebagai salah satu budaknya.
Apakah memang ada belas kasihan di hati Gabriel? ataukah lelaki itu punya rencana lain yang lebih kejam?
Gabriel hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Carlos, lalu mengalihkan perhatiannya kepada berkas-berkas di depannya
"Semula aku berniat membunuhnya. Karena itulah aku menyuruhmu menunggu di sini, agar kau bisa membersihkan abu sisa tubuhnya setelahnya. Tetapi kemudian aku berpikir bahwa perempuan itu lebih bermanfaat untukku kalau hidup dari pada mati, jadi aku mempertahankannya." Gabriel menatap Carlos lagi, "Kau boleh pergi, Carlos."
Carlos menganggukkan kepalanya. Menghela napas panjang dan membatin dalam hati. Tuannya ini memang menakutkan, dan tak ada yang bisa dilakukannya selain menyimpan ketakutannya, lalu mengabdi dengan setia.
***
Selly tiba di lorong khusus itu, dan kemudian terkejut ketika melihat para suster dan dokter berlarian dengan panik ke arah ujung ruangan.
Jantung Selly langsung berdebar.... itu arah kamar Rolan!
Sellypun setengah berlari menuju ujung ruangan, benaknya terasa lega ketika melihat para dokter dan suster itu tidak masuk ke kamar Rolan.... tetapi mereka masuk ke kamar Sabrina...
Astaga, apakah terjadi sesuatu dengan Sabrina?
Selly mengintip dengan gelisah ke ujung pintu, dan melihat apa yang terjadi dari balik kaca.
Itu Sabrina, dokter sedang menanganinya, ada oksigen di pasang di wajahnya, dan dia tampak luar biasa pucat, ada Rolan di sebelah ranjang tampak panik dan menggenggam jemari Sabrina.
"Tadi dia tidak apa-apa." Rolan bergumam pada dokter Beni yang memeriksa Sabrina, "Kemudian dia merasakan pusing yang hebat....."
Dokter Beni menganggukkan kepalanya, kemudian meminta Rolan sedikit menjauh karena dia akan menangani Sabrina. Rolan menganggukkan kepalanya, dan kemudian dia berdiri hendak menjauh, ketika itulah dia melihat Selly yang masih mengintip di pintu.
"Selly." Rolan bergumam, lalu tergesa keluar dari kamar dan kemudian memeluk Selly erat-erat,
"Oh astaga... tadi aku bersama Sabrina, dan tiba-tiba dia mengalami serangan... dia mengeluh pusing dan kesakitan lalu kejang..."
Selly membalas pelukan Rolan erat-erat, dia mengerti, dia sungguh mengerti, hal ini pasti sangat mempengaruhi Rolan. Dulu ketika masih sakit, Rolan juga sering mengalami serangan kesakitan yang parah, saat itu yang bisa dilakukan Selly hanyalah menangis dan berdoa, merasakan jantungnya diremas ketika menyadari bahwa kekasihnya sedang menahankan kesakitan yang luar biasa.
"Semoga Sabrina baik-baik saja ya." Selly menepuk punggung Rolan yang masih memeluknya erat, membisikkan kata-kata penghiburan.
Rolan mengangkat kepalanya dan sedikit menjauhkan pelukannya, lalu mengecup dahi Selly dengan lembut, "Terimakasih sayang, kau sungguh menenangkanku, kejadian ini...." Rolan melirik ke arah Sabrina yang masih ditangani dokter, sepertinya kondisi perempuan itu sudah stabil, "Kejadian ini sungguh sangat mempengaruhiku, aku pernah mengalami sakit separah itu...."
"Tapi kau sudah sembuh." Selly memeluk Rolan erat-erat, mencoba membuat Rolan tidak mengenang kembali kepahitan dulu ketika dia sakit keras, "Dan yang bisa kita lakukan untuk membantu Sabrina adalah mendoakannya dan menemaninya....membuatnya ceria dan penuh harapan." Dia menatap Rolan penuh pengertian, "Kau mau menunggu sampai Sabrina sadar bukan? supaya kita bisa berpamitan padanya dan berjanji untuk sering-sering menengoknya?"
Rolan menganggukkan kepalanya, mengecup jemari Selly dengan sayang, "Terimakasih atas pengertianmu, Selly."
***

Perempuan itu langsung tersenyum ketika melihat Rolan ada di samping ranjangnya.
"Rolan." Sabrina tersenyum lembut, "Kau di sini..."
"Aku menunggumu sampai sadar. Kau kesakitan tadi."
Sabrina menghela napas panjang, "Aku... pusing sekali tadi, kepalaku sakit." perempuan itu mengalihkan matanya dan bertatapan dengan Selly, lalu tersenyum, "Selly, kau di sini."
Selly menganggukkan kepalanya, "Syukurlah sekarang kondisimu sudah stabil, Sabrina."
Sabrina menganggukkan kepalanya, "Terimakasih... terimakasih..." bisiknya lemah, lalu memejamkan matanya.
"Aku akan pulang dari rumah sakit hari ini." Rolan bergumam, membuat Sabrina membuka matanya perlahan, "Aku ingin berpamitan denganmu Sabrina."
Ekspresi Sabrina tampak luar biasa sedih, matanya berkaca-kaca, "Apakah kau akan sering-sering menengokku?" bibirnya bergetar ketika berkata.
Rolan tersenyum, "Tentu saja, aku sudah berjanji bukan?" lelaki itu merangkul Selly dengan sayang, "Aku dan Selly akan sering-sering datang dan menengokmu." Rolan menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum lembut pada Sabrina, "Kami pamit dulu ya, besok aku akan datang kemari dan menengokmu."
Sabrina mengangguk, tetapi ketika Rolan hendak membalikkan badan bersama Selly, Sabrina meraih jemari Rolan, dan matanya penuh air mata,
"Berjanjilah sekali lagi kepadaku Rolan, bahwa kau tidak akan membiarkan aku kesepian sendirian di sini." suaranya lemah di sela isak tangisnya.
Rolan menghela napas panjang, lalu melepaskan pelukannya dari Selly, melangkah kembali ke tepi ranjang, dan kemudian membungkuk, lalu mengecup dahi Sabrina yang dingin dan pucat,
"Aku berjanji Sabrina." bisiknya lembut.
***
"Kenapa sayang?" Rolan menoleh ke arah Selly yang tampak merenung di dalam taxi yang mereka tumpangi dalam perjalanan menuju rumah.
Selly tergeragap dari lamunannya, dia menatap Rolan dan menghela napas panjang, "Tidak apa-apa."
Rolan mengerutkan keningnya, "Oh ayolah, katakan padaku, sepertinya banyak yang kau pikirkan."
Sekali lagi Selly menghela napas panjang, "Aku... aku memikirkan Sabrina, tampaknya dia sangat terikat kepadamu.. dan kau... kau begitu lembut padanya."
Rolan langsung terkekeh, meraih Selly ke dalam pelukannya dan menunduk untuk mengecup bibirnya dengan lembut,
"Kau cemburu?" gumamnya senang.
Selly memukul lengan Rolan pelan, "Rolan! itu bukan untuk ditertawai." gumamnya cemberut, "Aku.. aku merasa malu kepada diriku sendiri karena menyimpan kecemburuan kepada Sabrina yang sedang sakit... tapi kau begitu lembut kepadanya, dan Sabrina sangat cantik... jadi aku..."

"Selly." kata-kata Rolan berubah serius, "Bagiku kau yang paling cantik. Hanya kau satu-satunya perempuan yang kucintai. Aku bersikap lembut kepada Sabrina hanya karena empatiku kepadanya, karena aku pernah mengalami apa nyang dia rasakan. Percayalah padaku ya. Dan jangan berpikir yang tidak-tidak."
Selly menganggukkan kepalanya. Lalu menenggelamkan dirinya di pelukan dada Rolan yang bidang. Rolan betul, tidak seharusnya dia membebani kebahagiaan mereka ini dengan pikiran yang aneh-aneh.
***
Gabriel muncul begitu saja di kamar Sabrina, menatap adiknya dengan dingin.
"Serangan sakit lagi?" Gumamnya sinis, "Kenapa kau tidak menyerah saja Sabrina?"
Sabrina terbaring lemah, lalu menatap Gabriel tajam, "Kau seharusnya bisa menyembuhkanku dengan kekuatanmu, Gabriel."
Gabriel terkekeh, "Tidak cukupkah aku memberikan darahku untuk memperpanjang umurmu? Dan tidak, aku tidak bisa menyembuhkanmu, Sabrina, karena kau seharusnya sudah mati sejak lama, hanya darahkulah yang bisa membuatmu tetap bertahan hidup selama ini. Tetapi darahku bukanlah untuk menyembuhkan penyakit, dia hanya untuk memperpanjang umur."
Air mata meleleh di pipi Sabrina, "Tetapi mama dulu selalu membuatku tidak merasakan sakit. Sedangkan kau..kau membiarkanku menahan kesakitan ini. Aku tahu kau punya kekuatan itu, kekuatan untuk menyembuhkanku dari sakitku."
Gabriel tersenyum sinis, "Ya, aku punya kekuatan itu dan bisa menggunakannya kalau aku mau. Kau kesakitan karena kau keras kepala dan tidak mau menyerah. Kau harusnya sadar Sabrina, kau melanggar takdirmu sendiri, kau seharusnya sudah mati sejak lama, tetapi kau menggunakan mama untuk membuatku bersumpah akan memberikan darahku kepadamu terus menerus agar kau bisa bertahan hidup, Kau menyiksa dirimu sendiri."
Gabriel menatap ke arah infus Sabrina, dan kemudian, dengan kekuatannya, infus itu berwarna merah, bercampur darah Gabriel, mengalir masuk ke dalam pembuluh darah Sabrina.
"Aku tetap memberikan darah untukmu, hanya demi sumpahku kepada mama kita. Dan hanya itu yang diminta mama, dia tidak pernah memintaku menyembuhkanmu, jadi jangan harap aku mau melakukannya." gumamnya dingin lalu menghilang kembali di telan kegelapan.
***

Dengan kekuatan itu, mamanya berumur panjang, menjaga kehamonisan dunia dengan keseimbangan kekuatannya masing-masing. Bahkan mamanya itu mampu menekan kekuatan jahat yang mendorongnya untuk merusak dan menguasai dunia, karena itulah ketika kekuatan kegelapan itu dipegang oleh mamanya, dunia seakan-akan damai dan seimbang.
Tetapi kemudian entah kenapa, mamanya lalu memindahkan kekuatannya kepada Gabriel, memberikan seluruh beban itu di pundak Gabriel, menyatakan dirinya sudah lelah menahan bebannya sendiri dan memilih untuk menyerah. Mamanya merasa hidupnya hampa, terus hidup dan kuat sementara orang-orang disekitarnya menjalani kehidupan dengan normal, lahir hidup dan kemudian mati sesuai takdirnya. Mamanya merasa muak dengan umur panjang dan kekuatannya.
Segera setelah kekuatan itu diserahkan kepada Gabriel, mamanya melemah oleh penyakit kanker yang menggerogotinya. Penyakit yang sama, yang menyerang Sabrina adik tirinya, hasil pernikahan mamanya dengan suami keduanya. Suami keduanya adalah lelaki yang sangat kaya, dan begitu sibuknya sehingga jarang sekali bertemu dengan Gabriel dan Sabrina. Gabriel bahkan tak habis pikir kenapa waktu itu mamanya menikahi lelaki itu. Dia curiga bahwa mamanya hanya ingin memiliki seorang anak lagi untuk disayangi. Gabriel yakin bahwa mamanya tidak pernah mencintai suami keduanya ini, karena mamanya pernah bilang bahwa satu-satunya cinta sejatinya, adalah suaminya, ayah Gabriel yang meninggal sejak lama, jauh sebelum mamanya diwariskan kekuatan kegelapan ini. Dan dia tahu, ketika mendapatkan kekuatan kegelapan ini, mamanya kehilangan kemampuan untuk mencintai laki-laki, sama seperti Gabriel sekarang yang tidak punya cinta di hatinya.
Sebelum meninggal, mamanya mengungkapkan bahwa dia memberikan darahnya kepada Sabrina terus menerus, untuk mempertahankan hidup anak perempuannya itu, dan kemudian memaksa Gabriel bersumpah untuk memberikan darahnya kepada Sabrina.... seterusnya dan mempertahankan Sabrina untuk bisa berumur panjang.
Sabrina seharusnya sudah mati bertahun lalu. Tetapi darah Gabriel mempertahankan kehidupannya. Gabriel memang jahat. Tetapi dia tidak akan pernah melanggar sumpah yang pernah dibuatnya.
***
"Aku akan menjemputmu sepulang kantor nanti ya." Rolan tersenyum dan mengecup dahi Sally, mereka ada di depan kantor Selly, Rolan sendiri yang menyetir dan mengantarkan Selly, dia benar-benar merasa sehat luar biasa.
Dan ada yang menggelitik di benaknya, dorongan untuk memakai kekuatan tubuhnya sampai ke tingkat yang lebih jauh. Hanya saja Rolan tidak tahu bagaimana cara melakukannya, jadi dia masih menahan kekuatan itu di tubuhnya.
"Terimakasih Rolan." Selly tersenyum lembut menatap kekasihnya itu, menganggukkan kepalanya dan keluar dari mobil. Dia lalu melambai ke arah Rolan sampai mobil kekasihnya itu berlalu.
Setelah itu Selly melangkah memasuki lobby kantornya dan menuju lift dan memasukinya menuju lantai paling atas, dia menghela napas panjang ketika ingatan akan perkataan dan tuduhan teman-temannya kemarin menyerang ingatannya. Rasa sakit dan terhina itu muncul kembali di benaknya, menyadari bahwa teman-temannya berpandangan negatif kepadanya. Memberinya tuduhan keji... amat sangat keji.
Selly lalu keluar dari lit melangkah hati-hati menuju lorong di ruangan besar di lokasi paling ujung. Dia harus melewati ruang kantornya yang dulu untuk menuju kantor itu. Langkahnya melambat melihat pintu ruangan accounting yang berlapis kaca bening.
Semua orang di sana mungkin berpandangan negatif kepadanya....
Selly menghela napas panjang dan memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Gosip memang sangat kejam, bahkan kalaupun dia mengklarifikasi semuanya, dugaan negatif tetap saja menyerangnya...
Tetapi kemudian pintu ruangan accounting terbuka dan bu Sandra keluar dari sana, mereka berdiri berhadap-hadapan.
***

"Ada paket untuk anda Tuan." pelayan itu menatap ke arah sebuah kotak yang dibungkus rapi dan diletakkan di meja ruang tamu.
Rolan mengangkat alisnya dan menatap pelayannya bingung, "Paket? siapa yang mengantar?" Siapa yang mengirim paket kepadanya?
"Diantar menggunakan jasa pengantar paket biasa, Tuan." jawab pelayan itu sopan.
"Oke." Rolan menganggukkan kepalanya, "Terimakasih."
Setelah membungkukkan badannya hormat, pelayan itupun berlalu, sementara Rolan melangkah duduk di kursi ruang tamu dan mengamati paket yang terbungkus rapi itu di meja.
Dia mengangkat kotak yang sedikit berat itu dan melihat nama pengirimnya. Matthias... dan sebuah nomor ponsel. Hanya ada itu. Siapa Matthias? dia tidak pernah punya teman bernama Matthias sebelumnya...
Dengan penuh rasa ingin tahu Rolan membuka paket itu. Isinya sebuah kotak kulit yang terlihat sangat tua, tetapi terawat rapi. Dan kemudian Rolan membuka kotak kulit itu, lalu mengerutkan keningnya.
Itu sudah jelas sebuah buku. Buku yang besar, tebal dan amat sangat tua....
Bersambung ke part 8
Published on June 04, 2013 01:08
June 1, 2013
Menghitung Hujan Part 15

Menghitung hujan dengan percaya, bahwa suatu hari kan menemukan bahagiaKau aku dan mimpi untuk memeluk sang belahan jiwa.Yang dengannya jantung ini berdebar lebih kencangKau dan aku. Kita selalu bersama.Bangun sayang, lepaskan mimpimuAda aku di sini, di dunia nyataMenunggu untuk mencintaimu.
Langkah Nana langsung terhenti, dia tertegun dan kemudian menatap Diandra dengan pilu. Ada lelaki itu, Axel.. lelaki yang menemuinya di kampus dan mengungkapkan semuanya kepada Diandra. Lelaki itu sekarang berdiri di sebelah Diandra, lengannya merangkul perempuan itu seakan menopangnya.
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Tetapi pada detik yang sama, Diandra menoleh dan menatap Nana yang berdiri tertegun di ujung koridor, perempuan itu tampak sama terkejutnya dengan Nana, ekspresinya berubah jadi pucat pasi, sementara Nana sendiri berdiri di sana dengan bingung, tak tahu harus berbuat dan berkata apa.
“Dokter, apakah yang ada di sana Reno, teman saya?” Nirina bergumam cepat, menyela percakapan Dokter itu yang sepertinya sedang menjelaskan sesuatu kepada Diandra,
Dokter itu menoleh, menatap Nirina dengan bingung, sementara itu Nana berdiri di belakang Nirina dengan wajah merah padam, sedikit kebingungan.
“Oh... teman Reno.” Dokter itu tersenyum, “Reno tidak apa-apa nona, tetapi kaki kanannya patah sehingga untuk sementara setelah kami melakukan operasi, dia harus duduk di kursi roda, selain itu kami telah memeriksa seluruhnya, ada beberapa memar, tetapi tidak ada gegar otak.” Dokter itu lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah Diandra, “Kami akan menunggu kedatangan orang tua tunangan anda, untuk menjelaskan dengan lebih terperinci .”
“Ya, mama dan papa akan segera datang.” Diandra segera menjawab, berusaha tidak peduli akan keterkejutan di mata Nana ketika dokter itu menyebut Diandra sebagai tunangan Reno. Ya. Diandra memang memperkenalkan diri kepada dokter itu sebagai tunangan Reno, meskipun dia tadi merasa Axel sedikit menegang di sebelahnya ketika dia mengatakan itu.
Diandra lalu menyalami dokter itu, mengucapkan terima kasih dan kemudian dokter itu berpamitan pergi.
Sementara itu mereka berempat berdiri dengan canggung di ruangan itu, dalam keheningan. Dalam kamar yang berdinding kaca, nampak Reno yang masih tak sadarkan diri berbaring diam dalam ketidaksadarannya. Nirina sendiri menjadi canggung ketika mendengar dokter tadi menyebut perempuan di depannya itu sebagai tunangan Reno. Seketika Nirina sadar kalau perempuan itu adalah Diandra, tunangan yang ditinggalkan Reno demi mengejar Nana.
Lama sekali keheningan yang menyesakkan itu, Nana dan Diandra sama-sama membeku, dalam suasana yang canggung, sampai akhirnya Axel berdehem memecah suasana,
“Eh... kami rasa kami akan duduk di sebelah sana.” Axel setengah menghela Diandra ke arah kursi tunggu di ujung di dekat pintu kamar Reno. Mereka memang belum diizinkan masuk dan mengunjungi Reno karena lelaki itu masih dalam penanganan.
Mata Nana mengikuti ke arah Diandra, yang menghindari kontak mata dengannya dan ke arah Axel yang berjalan di sampingnya dan kemudian mengajaknya duduk di kursi itu.
Sampai kemudian Nirina menyenggol tangannya, mereka saling bertukar pandang penuh pengertian,
“Ayo kita duduk di sebelah situ.” Nirina mengajak Nana duduk di kursi tunggu lain yang agak jauh dari tempat Axel dan Diandra duduk.
Dalam hati Nana sungguh bersyukur karena tadi dia bersama Nirina, tak bisa dibayangkan betapa canggungnya dia tadi kalau datang ke sini sendirian, mungkin Nana akan benar-benar bingung dan membeku saja.
Sebelum duduk, Nana menoleh ke arah Reno yang terbaring di ranjang itu, dengan mata terpejam lelap. Rasa syukur membanjiri tubuh Nana, begitu lega rasanya melihat Reno masih ada di sana, masih hidup..... dan masih memberikan Nana kesempatan untuk menenbus kesalahannya.
Mereka kemudian duduk dalam diam, dan menunggu. Nana sibuk dengan pikirannya sendiri, dan merenung, kehadiran Diandra menyadarkannya, bahwa selain masalah Rangga, masih ada hubungan Reno dengan Diandra yang membuat Nana merasa ragu untuk melangkah. Dari kisah Axel, Nana tahu bahwa Reno telah sangat menyakiti Diandra, bahwa Reno telah bersikap tidak adil kepada perempuan itu. Bahwa Diandra seharusnya berhak mendapatkan kebahagiaan seperti yang diimpikannya...... sebelum semua keadaan berubah.
Nana mengernyit, tidak bisa membayangkan kalau dia yang berada di posisi Diandra, dia pasti akan hancur lebur dan tak kuat lagi. Nana masih beruntung, Rangga meninggalkannya karena takdir, setidaknya Rangga meninggalkannya dengan masih membawa cinta dan setianya, sementara itu Diandra ditinggalkan dengan alasan kejam bahwa Reno tidak mencintainya lagi.
Benar-benar... Nana sangat mengagumi ketegaran Diandra, perempuan itu masih kuat berdiri di sana, menunggui Reno, menjaga dan mengejar cinta sejatinya. Nana tidak akan pernah bisa sekuat dan setegar Diandra, dan mungkin juga, cinta Nana bahkan tidak akan bisa menyaingi besarnya cinta Diandra kepada Reno.
Dan perempuan itu bahkan tidak menyerangnya, melemparkan tatapan mata penuh kebencian atau mencacimakinya.... Nana menghela napas panjang, meskipun dia tidak bersalah langsung dalam hal ini karena sebelumnya dia tidak tahu apa-apa, tetapi tetap saja kehadiran Nana yang menjadi ganjalan, yang menjadi pemisah antara Nana dan Diandra.
Mungkin seharusnya Diandra memang mencacimaki Nana.... kalau saja Nana tidak ada di dunia ini, kalau saja dalam keputusasaannya waktu itu Nana memilih mengikuti Rangga, mungkin Diandra dan Reno akan baik-baik saja....
Sebutir air mata menetes dari sudut mata Nana, tetapi kemudian dia menyusutnya dalam diam yang pilu.
***
“Kau tidak apa-apa?” Axel berbisik pelan kepada Diandra, melirik sedikit ke arah Nirina dan Nana yang duduk agak jauh di seberang sana dalam diam.
Diandra menatap Axel penuh arti lalu menghela napas panjang,
“Aku tidak apa-apa. Aku lebih memikirkan Reno, karena dia belum sadar juga.”
“Reno pasti baik-baik saja, kau dengar kan kata dokter tadi?” Axel tampak merenung, tetapi kemudian dia bertanya, “Kenapa kau mengatakan kepada dokter itu bahwa kau tunangan Reno? Apakah kau.... “ Axel menelan ludahnya, “Apakah dalam hatimu kau masih merasa menjadi tunangan Reno? Masih berharap pertunangan kalian akan berlanjut?” Ada nada pahit di sana, di dalam suara Axel, setelah menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Diandra, Axel juga tidak menutup-nutupi kecemburuannya.
Diandra melemparkan tatapan tegas ke Axel.
“Dengan mengaku tunangannya..... dokter akan menganggapku keluarga, jadi dia akan memberikan informasi yang lebih mendetail.”
Axel menatap jawaban diplomatis Diandra dengan tatapan tak percaya,
“Bagaimana dengan pertanyaanku? Apakah jauh di dalam hatimu kau masih menganggap Reno sebagai tunanganmu?”
“Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu itu sekarang Axel, jangan sekarang.” Sela Diandra cepat, membuat Axel mengehela napas panjang.
Oke. Sekarang dia akan bersabar dengan Diandranya.
***
Reno bermimpi. Mimpi yang sangat dalam dan jauh. Dia sampai di taman itu dan duduk di sana kebingungan.
Lalu seorang lelaki asing tiba-tiba saja duduk di sebelahnya, semula Reno tidak menyadari siapa dia, tetapi ketika dia mengingat, wajah itu... dan foto sekilas yang pernah dilihatnya dari hasil penelusurannya....
Rangga....
Benarkah dia bertemu Rangga? Kalau begitu dia sudah mati?
Rangga tersenyum ke arah Reno dan kemudian bergumam tenang,
“Pulanglah Reno. Semua akan baik-baik saja.”
Reno tersentak, dan kemudian merasakan dirinya tersedot ke dalam gumpalan putih yang merenggut kesadarannya...
***
“Diandra!”
Itu suara mama Reno, perempuan setengah baya itu berjalan tergesa menghampiri Diandra, Diandra segera berdiri dan memeluknya,
“Bagaimana Reno?” air mata mama Reno berderai. “Kau sudah lama di sini sayang?”. Tadi Diandra berusaha menghubungi mama Reno setelah menerima kabar dari dokter, tetapi teleponnya tidak tersambung. Jadi pantas saja kalau mama Reno benar-benar panik sekarang.
“Reno tidak apa-apa mama, tidak ada gegar otak, memar-memar meamang ada di seluruh tubuhnya, dan kakinya patah.”
“Astaga.” Mama Reno terisak lagi, dan papa Reno menggenggam jemarinya dengan lembur memberi kekuatan, “Bisakah kita menengoknya?” mama Reno melangkah ke jendela kaca besar tempat Reno terbaring di atas ranjang di dalamnya, “Bisakah kita menengoknya?”
“Tadi masih belum boleh mama;” gumam Diandra pelan, “Kata dokter, Reno masih dalam penanganan dan persiapan untuk operasi pemasangan pen untuk tulangnya yang patah setelah kondisinya stabil. Dan juga Reno belum sadar, mungkin lebih baik kita menemui dokter sekarang, dokter bilang ingin bicara dengan mama dan papa untuk membahas kondisi Reno.”
“Oke kalau begitu kita ke sana.” Mama Reno merangkul Diandra, dan kemudian berjalan ke lorong dan melewati Nana yang duduk di sana.
Tidak sekalipun mama Reno menoleh ke arah Nana, hanya Diandra yang sedikit melemparkan pandangan tak tertebak ke arah Nana. Ketika mama dan papa Reno beserta Diandra dan Axel melangkah pergi, Nana menatap mereka semua sampai di ujung lorong dan benar-benar merasa seperti orang luar yang tak berhak berada di sana.
Ah Ya Tuhan, apakah memang ini bukan tempatnya?
***
Reno membuka matanya seketika itu juga dan megerang. Rasa sakit menderanya dan dia merasa pening. Reno memandang ke sekeliling ruangan dan menyadari dia berada di rumah sakit.
Ingatannya membayang mundur dan dia ingat, dia menyetir dengan kalut pulang dari apartemen Rangga setelah Nana menolaknya, dan kemudian kecelakaan itu terjadi.
Kakinya terasa sakit, dan berat, dengan hati-hati Reno mengangkat kepalanya dan melihat bahwa sebelah kakinya digantung dengan gips besar di sana.
Yah, dia telah berbuat bodoh, kurang hati-hati menyetir dan melukai kakinya sendiri. Reno membatin, dan kemudian tiba-tiba teringat akan mimpinya. Mimpi dengan Rangga di dalamnya.
Benaknya berusaha mencari jawaban, apakah itu benar-benar Rangga yang sesungguhnya yang muncul di mimpinya? Ataukah itu hanya manifestasi dari seluruh pikirannya yang berkecamuk? Mungkin di alam bawah sadarnya, Reno mengharapkan restu dari Rangga. Restu dari Rangga untuk mencintai Nana...
Nana..... tiba-tiba Reno merasa pusing di kepalanya, kalau Nana tahu dia mengalami kecelakaan, perempuan itu pasti mengira dia sedang berusaha berbuat bodoh dengan mencoba bunuh diri atau apa. Semoga Reno bisa segera menemui Nana dan menjelaskan semuanya....
Pintu terbuka dan seorang suster masuk, menyadari bahwa Reno sudah sadarkan diri,
“Anda sudah bangun rupanya.” Suster yang ramah itu tersenyum, “Anda harus benar-benar bersyukur karena selain kaki anda, tidak ada luka serius lain yang menimpa anda. Orang tua anda sudah datang dan sedang berkonsultasi dengan dokter, juga tunangan anda yang cantik. Saya akan memanggilkan mereka untuk menemui anda.”
Suster itu lalu pergi, tidak memberi Reno kesempatan untuk bertanya tentang satu pertanyaan yang menggayuti batinnya.
Suster itu tadi bilang tunangannya yang cantik menunggu di luar, dia hampir seratus persen yakin bahwa itu adalah Diandra.... tetapi benaknya mempertanyakan wanita lain, Nana... adakah Nana di luar sana untuknya?
***
“Kami sebenarnya ingin membawa Reno kembali ke Jakarta.” Mama Reno bergumam setelah mendengar penjelasan dari dokter. Mama dan papa Reno duduk di meja di depan meja dokter, sementara Diandra dan Axel duduk di kursi yang tersedia di belakang, menempel di tembok.
Dokter itu menggelengkan kepalanya,
“Saya rasa pasien harus tetap di sini sampai kondisinya pulih benar. Anda bisa membawanya pulang setelahnya.”
Mama Reno menghela napas panjang, dia amat sangat ingin membawa Reno pulang. Berada di kota ini sepertinya telah sangat membuat Reno jauh dari keluarganya, sejak kejadian dia memaksa Reno agar menerima Diandra, hubungannya dengan Reno menjadi renggang, putera satu-satunya itu menjauh, hampir tidak pernah menghubunginya kalau tidak benar-benar perlu.
Mama Reno tahu dia terlalu memaksakan hati Reno. Matanya melirik ke arah Diandra yang sedang duduk, tampak sama-sama cemas dengannya dengan saudara sepupunya yang menemaninya. Ya ampun, tidakkah semua mama di dunia ingin mempunyai menanti seperti Diandra? Menantu yang begitu cantik dan berhati baik? Mama Reno jelas-jelas menginginkan Diandra menjadi menantunya. Dia telah amat sangat mengenal Diandra karena perempuan itu adalah anak dari sahabatnya. Mama Reno bahkan sudah menggendong Diandra sejak anak itu masih kecil.
Perjodohan Diandra dengan Reno adalah impiannya, pada akhirnya dia akan menjadikan Diandra sebagai puteri kesayangannya. Mama Reno yakin Diandra adalah perempuan yang paling baik untuk Reno, karena mama Reno sangat mengenal Diandra.... jauh sekali dari perempuan tidak jelas itu, perempuan yang katanya didebarkan oleh jantung Reno dan dikejarnya setengah mati.... perempuan seperti apakah yang bernama Nana itu? Akankah dia menjadi yang baik? Dan lagipula, apakah dia perempuan baik-baik?
Dari yang diceritakan Reno, laki-laki bernama Rangga yang sekarang jantungnya ada di dada Reno itu adalah kekasih Nana, yang hampir membawanya ke jenjang pernikahan sebelum meninggal. Mama Reno tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya sejauh apa hubungan Rangga dengan Nana itu, dia dipenuhi ketidakyakinan, karena sebelum bertemu Reno, Nana sudah meletakkan hatinya kepada Rangga. Berbeda dengan Diandra, Diandra yang polos dan suci, yang sejak awal meletakkan hatinya hanya untuk Reno.
Seorang suster mengetuk pintu dan kemudian membawa kabar yang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh semuanya,
“Dokter pasiennya sudah sadarkan diri.”
***
Nana masih duduk di sana, merenung. Sebenarnya dia ingin berdiri dan mengintip ke dalam kamar tempat Reno berbaring, tetapi batinnya tak kuat. Perasaan sedihnya akan meledak kalau dia melihat lagi kondisi Reno yang terbaring tak berdaya di atas ranjang seperti itu.
Tiba-tiba rombongan itu datang lagi dari ujung lorong, Nana dan Nirina yang sejak tadi terdiam langsung menegang.
Apa yang terjadi?
“Kalian hanya boleh menemui pasien satu-satu. Dan jangan terlalu banyak, kalau bisa hanya dua orang saja ya, kondisi pasien masih lemah dan kami tidak ingin dia terlalu lelah.”
Mama Reno mengangguk, Nana melihat perempuan itu menyusut air matanya. Kelegaan memenuhi benak Nana, itu berarti Reno sudah sadarkan diri....
Mama Reno yang masuk pertama kali ke dalam sana, dan Nana menatap mereka semua, dorongan batinnya membuatnya ingin ke sana, memaksa ikut melihat Reno, tetapi dia tidak berani. Dia benar-benar seperti orang luar di sana, tidak bisa masuk ke dalam lingkaran keluarga itu.
Setelah agak lama, mama Reno keluar, tatapan matanya tampak tenang dan bahagia, tidak secemas tadi, dia kemudian meremas bahu Diandra dengan lembut,
“Masuklah Diandra.” Gumam mama Reno lembut. Diandra tampak terkejut, menatap ke arah papa Reno,
“Tapi... papa...?”
“Papa tidak apa-apa, kesempatan papa akan datang nanti setelah kondisi Reno lebih baik, lagipula papa sudah cukup senang melihat mamamu yang sekarang tampak tenang. Ayo masuklah Diandra, kami tahu kau pasti sangat ingin melihat Reno langsung.”
Diandra sangat ingin tentu saja, meskipun dia tidak tahu bagaimana reaksi Reno nanti. Dan juga, dia menerima tatapan mata tajam dan menusuk dari Axel di punggungnya.
“Baiklah, aku akan masuk.” Diandra memeluk mama Reno penuh rasa terimakasih, lalu membuka handel pintu dan melangkah masuk.
Sementara itu Nana memandang, berusaha menyingkirkan perasaan iri di benaknya. Ah ya ampun... betapa inginnya Nana menjadi seseorang yang berada di sana, bisa menengok Reno secara langsung, tetapi dia tidak berhak... dia sungguh tidak berhak....
Nirina memeluk pundaknya dan meremasnya, ketika Nana mendongak menatap Nirina dengan tatapan mata berkaca-kaca, Nirina memberinya tatapan penuh semangat. Nana akhirnya tersenyum dan menghela napas panjang.
Yah.. dia tidak boleh bersedih karena ini. Bukankah yang terpenting adalah Reno baik-baik saja dan sudah sadar di dalam sana?
***
Reno mengernyit ketika melihat Diandra masuk. Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangnya,
“Hai, bagaimana perasaanmu?”
Reno mencoba tersenyum meskipun sakit, “Pusing.” Gumamnya singkat. “Terimakasih telah menungguiku di sini, Diandra.”
Kali ini giliran Diandra yang tersenyum pahit,
“Aku tahu aku bukanlah orang yang kau inginkan untuk berada di sini. Tetapi aku ingin ada di sini Reno. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau tahu bukan bahwa aku sangat mencemaskanmu?.”
Reno menghela napas panjang, “Terimakasih Diandra... aku.. sepertinya aku baik-baik saja.”
“Kakimu patah dan di gips.” Diandra melirik ke arah kaki Reno yang dibalut gips besar.
Reno melirik ke arah yang sama dan menghela napas, “Yah, memang, kurasa aku harus membawa gips itu kemana-mana nantinya.”
“Kau tidak akan bisa kemana-mana.” Diandra setengah tersenyum, “Dokter bilang kau harus memakai kursi roda sementara sampai kakimu sembuh.”
Itu berarti Reno akan menjadi manusia invalid yang bergantung pada orang lain sampai dia bisa berjalan lagi. Reno mengernyit, tidak senang dengan ide itu.
“Aku bisa saja merawatmu kalau kau mau.” Diandra tersenyum, “Tapi sekali lagi aku tahu, bukan aku yang kau inginkan.”
Mata Reno menatap mata Diandra yang lembut itu dan kemudian tersenyum sedih.
“Aku sungguh beruntung dicintai perempuan sepertimu Diandra, sungguh-sungguh beruntung. Cintamu begitu tulus, bahkan setelah seluruh perlakuan kejamku kepadamu. Aku memang manusia jahat dan tak berperasaan, melupakan bahwa kaulah yang paling terluka di sini.” Reno mengernyit sedih, “Maafkan aku Diandra, sungguh mungkin aku tidak pantas memohon maaf kepadamu. Aku benar-benar berdosa kepadamu. Tetapi hanya itu yang bisa kukatakan kepadamu. Aku minta maaf.”
Diandra menatap Reno dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin dari awal aku sudah memaafkanmu.” Perempuan itu menghela napas panjang, “Hanya saja harga diriku terlalu tinggi untuk melepasmu begitu saja.” Suaranya bergetar, “Aku sudah menelaah jauh ke dalam hatiku Reno, dan kemudian aku merasakan sesuatu, perasaanku kepadamu mungkin bukanlah cinta yang sesungguhnya. Sejak kecil kedua orang tua kita telah mengkondisikan kita sebagai pasangan. Aku tumbuh besar dengan mengetahui bahwa kau akan menjadi suamiku. Aku kemudian mematrikan itu dalam benakku dan menjadikannya tujuan hidupku. Seluruh pengabdianku padamu itu karena aku menganggap bahwa aku akan melakukan segalanya untuk meraih tujuan hidupku itu, menjadi isterimu.” Diandra menatap Reno dengan tatapan mata kuat, “Segera setelah kau meninggalkanku, aku menyadari Reno, bahwa ternyata aku tidak mencintaimu sedalam itu, kau lebih seperti sebuah tujuan yang harus kuraih, sebuah obesi, bukan cinta. Jadi mungkin sekarang kau bisa tenang karena aku sudah melepaskanmu seutuhnya.”
Reno tercengang mendengar kata-kata Diandra yang tidak disangkanya itu, matanya melebar kebingungan.
“Benarkah apa yang kau katakan itu Diandra?” jadi selama ini Diandra tidak mencintainya?
“Ya Reno, jadi kau bisa tenang, dan ngomong-ngomong, orang yang sangat kau nantikan, dia ada di depan menungguimu di sana, sama cemasnya seperti kami. Mungkin nanti kau bisa bertemu dengannya.” Diandra bangkit, lalu mengecup dahi Reno dengan lembut, “Cepatlah pulih seperti sediakala dan raihlah kebahagiaanmu, Reno. Aku sendiri akan mencoba meraih kebahagiaan milikku.”
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan yang lembut, Diandra melangkah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Reno yang terpaku, tak bisa berkata-kata.
Reno tidak melihat betapa mata Diandra berkaca-kaca, terasa panas menangan tangis yang hendak merebak karena patah hati.
***
Ketika Diandra keluar dari ruangan, mama Reno masih berdiri di sana dan langsung tersenyum begitu melihatnya,
“Mama.” Diandra langsung bergumam sebelum mama Reno sempat berkata-kata, dia langsung mengedikkan kepalanya ke arah Nana, membuat mama Reno menoleh ke sana, menatap dua orang perempuan yang duduk di sudut yang hening dengan ekspresi cemas, “Yang di sana itu Nana, kurasa dia ingin menengok Reno juga.”
Ekspresi kaget tampak di wajah semua orang, tak terkecuali Axel, Nana sendiri dan Nirina.
Apa kata Diandra tadi?
bersambung ke part 16
Published on June 01, 2013 19:32
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
