Santhy Agatha's Blog, page 6

June 21, 2013

The Vague Temptation Part 3



PS : Visualisasi si mata abu-abu diganti yang lebih cocok ya :) enjoy !

"Oh kalau begitu, maafkan saya." Alexa langsung tersadar bahwa lelaki di depannya ini bukan lelaki yang seharusnya ditemuinya. Dia harus menemukan pak Firman yang sekarang entah berada di mana,  "Sepertinya saya salah masuk ruangan." dengan gugup Alexa berdiri dari duduknya lalu setengah membungkukkan badan dengan sopan ke arah Nathan,  dan buru-buru membalikkan tubuhnya hendak melangkah pergi dari ruangan itu.
"Kau tidak salah masuk ruangan Alexa, memang kau seharusnya kemari. Aku sudah menyuruh pak Firman pergi tadi."  Kata-kata Nathan membuat langkah Alexa yang sudah di dekat pintu terhenti, dia lalu membalikkan tubuhnya dan menatap Nathan bingung,
"Anda menyuruh pak Firman pergi? jadi mutasi saya ada hubungannya dengan anda?"
Nathan tersenyum manis, "Mutasimu hanya digunakan sebagai alat supaya aku bisa menemuimu tanpa menimbulkan gosip. Bahkan atasanmu sekarang di bagian administrasipun tidak tahu menahu tentang hal ini. Aku menempatkanmu di bawah pengawasan pak Firman karena beliau adalah salah satu orang yang aku percaya di perusahaan ini." Nathan memberi isyarat dengan tangannya, "Kemarilah, duduklah dan akan kujelaskan semuanya."
Sejenak Alexa meragu, tetapi ini perintah dari sang presiden direktur bukan?  Akhirnya dengan pasarah dia menurut dan duduk di kursi yang disediakan di seberang meja yang luas itu.
*** 
"Mungkin gosip tentangku sudah tersebar bahkan sebelum kedatangannku." mata cokelat Nathan menatap Alexa dengan tajam, membuat Alexa menundukkan kepalanya tak berani menjawab. "Yah setelah kehebohan di keluargaku, memang pantas kalau gosip langsung tersebar di kalangan pegawai. Apalagi aku datang dengan tiba-tiba kemari, tentu saja menimbulkan banyak spekulasi, karena itulah aku harus bertindak ekstra hati-hati Alexa...."
Nathan mengawasi Alexa dari ujung kepala sampai ujung rambutnya, penampilan Alexa bisa dikatakan tidak istimewa, rambutnya digulung seadanya bahkan agak berantakan di tengkuknya, dan kacamata tebal yang bertengger di ujung hidungnya yang mungil semakin membuat penampilan Alexa tampak sederhana dan polos.
"Kau pasti bingung kenapa aku merasa perlu untuk menemuimu." Nathan bergumam setelah menyelesaikan pengamatannya, "Tetapi aku membutuhkan bantuanmu."
"Bantuan saya?" Alexa membelalakkan matanya, kata-kata Nathan membuatnya berada di puncak kebingungannya.
"Ya. Dalam waktu dekat akan ada seorang yang menjemputmu dan memintamu memilih, pada saat itu, aku ingin kau membantuku dan memilihku."
"Memilih anda?" kali ini benak Alexa berputar, tiba-tiba saja dia teringat akan kata-kata si mata abu-abu malam itu sebelum mengatakan bahwa dia telah mentransfer uang dalam jumlah banyak kepada Alexa, si mata abu-abu itu mengatakan bahwa Alexa harus membalas budi dengan memilihnya. Tanpa sadar dia mengutarakan apa yang ada di benaknya kepada Nathan, "Apakah anda.... apakah anda ada hubungannya dengan seorang lelaki bermata abu-abu?"
Ekspresi Nathan yang ramah langsung berubah seketika menjadi waspada, matanya menyiput tajam, membuat Alexa gugup,
"Apa?" suaranya berupa desisan, tetapi ada kemarahan yang tersembunyi di sana, seakan siap meledak jika ada yang menualahan sumbunya.
Alexa menelan ludahnya, menatap Nathan takut-takut.
"Seorang lelaki bermata abu-abu menemui saya... dia.. eh memberikan bantuan untuk saya, dan berpesan bahwa suatu saat saya harus membalas budi dengan memilihnya. Kata-katanya... hampir sama dengan yang anda katakan tadi, karena itu saya bertanya apakah mungkin ada hubungannya."
Nathan langsung tersenyum muram mendengarkan jawaban Alexa, "Rupanya dia selangkah lebih cepat." gumamnya tenang, membuat Alexa menatapnya ingin tahu. 
Apakah kata-kata Nathan itu berarti bahwa sang Presiden Direktur ini mengenal si mata abu-abu itu?
Nathan menatap Alexa, membaca keingintahuan di mata perempuan itu, lalu tersenyum tipis.
"Dia memberimu uang ya untuk menyelesaikan hutang-hutang ayahmu?"
Kali ini Alexa ternganga, bagaimana bisa sang presiden direktur mengetahui tentang permasalahan di rumahnya dan mengetahui tentang hutang-hutang ayahnya?
Tetapi di bawah tatapan mata tajam Nathan, tidak ada yang bisa Alexa lakukan selain menganggukkan kepalanya.
Nathan memajukan tubuhnya ketika melihat anggukan kepala Alexa, "Apakah kau sudah menggunakan uangnya?"
Alexa langsung menggelengkan kepalanya, "Tidak.. saya,.. saya berencana menemui  lelaki itu dulu untuk meminta penjelasan.. saya tidak bisa begitu saja menggunakan uangnya...." Alexa menelan ludahnya lagi, "Uangnya... jumlah uang yang diberikan di rekening saya... banyak sekali..."
Nathan tersenyum sinis, "Memang begitu cara dia bertindak, selalu menggunakan uang untuk menyelesaikan segalanya. Well Alexa, karena aku sudah jelas-jelas kalah cepat, maukah kau bertindak adil kepada kami?"
"Bertindak adil?" Alexa mengerutkan keningnya.
"Ya, aku minta jangan dulu gunakan uang itu. Akupun kalau mau bisa memberikan bantuan kepadamu sebanyak yang kau mau, tetapi rupanya aku kalah cepat. Karena itulah aku mohon kau bertindak adil. Jangan gunakan dulu uang itu sampai kau mengetahui keseluruhan ceitanya dan bisa memilih, kepada siapa kau akan meminta tolong."
Kata-kata Nathan semakin misterius saja, membuat Alexa semakin bingung,
"Sebenarnya ada apa? bisakah anda memberi penjelasan kepada saya?"
Nathan menggelengkan kepalanya, "Aku dilarang untuk melakukannya. Tetapi kau akan mendapat penjelasan, Alexa pada saatnya nanti. Sekarang kau bisa memindahkan barang-barangmu dulu ke bagian personalia, mulai sekarang kau ada di bawah pengawasan pak Firman, orang kepercayaanku."
*** 
Mobil sport warna merah itu berhenti di depan sebuah rumah besar yang memancarkan lampu kuning lembut membelah malam yang suram.
Lelaki bermata abu-abu keluar dari mobil itu dengan wajah muram, membanting pintu mobilnya dan melangkah dengan langkah lebar-lebar menaiki tangga teras, dia membuka pintu rumah itu dan melangkah masuk ke dalam lobby yang besar dan megah, dipayungi oleh tangga yang menjulang ke atas di kiri dan kanannya. 
Lobby ini adalah tempat kakeknya menerima tamu-tamunya. Matanya melirik ke arah jam di dinding, merasa kesal. Ya. Pergi ke rumah kakeknya yang mewah ini sangat dihindarinya, dia tidak suka kepada kakeknya yang telah menimbulkan kekacauan di keluarga ini dengan membawa anak haram itu masuk ke keluargamereka.
Dan ayahnya... si mata abu-abu mencibir dalam hati, ayahnya hanyalah boneka yang lemah, setelah membawa skandal ini, sekarang yang dilakukan si ayah adalah bersembunyi di bawah perlindungan kakeknya, lupa bahwa dia telah menyakiti hatinya dan hati mamanya.
Dia langsung teringat pada mamanya yang rapuh dan tatapan sedihnya. Meski berusaha tersenyum di depannya, dia tahu sang mama selalu menangis di malam-malamnya menjelang tidur. Mata yang sembab dan bengkak tidak bisa menyembunyikan semuanya. Sejak pengkhianatan ayahnya terhadap keluarga mereka terbongkar, dengan ditemukannya si cucu haram yang tiba-tiba dibawa masuk ke keluarga ini oleh kakeknya, hati mamanya tentu saja hancur lebur. Ya, pasti sangat berat bagi mamanya ketika mengetahui bahwa suami yang dinikahinya berpuluh-puluh tahun ternyata mengkhianatinya sampai menghasilkan seorang anak haram, belum lagi harus menghadapi gunjingan di seluruh keluarga besar mereka. 
Tentu saja lebih banyak yang membela mereka daripada si cucu haram itu, tetapi tetap saja, dalam keluarga besar ini, dukungan sang kakek adalah yang utama. 
Dia sudah tidak bisa mengharapkan ayahnya lagi, jadi sekarang yang bisa dilakukannya hanyalah mencoba mendapatkan hati kakeknya.
"Pasti kau merasa sangat puas Daniel"  suara itu membuat mata abu-abu Daniel menyala dan langkahnya terhenti, dia menoleh dan mendapati Nathan sedang bersandar di dinding, tersenyum santai ke arahnya.
Nathan... saudara tirinya, anak haram ayahnya, lelaki yang masuk ke keluarga mereka dan merusak semuanya. Tetapi bagaimanapun juga, Daniel berhak merasa terancam. Nathan benar-benar saingan yang sempurna, lelaki itu lulusan MBA di sebuah universitas ternama di inggris, di usianya yang masih begitu muda, dia sudah berpengalaman menjadi CEO dua perusahaan besar di inggris dan membawanya ke dalam kesuksesan, tingkah lakunya sempurna, penampilan dan sikapnya menawan...dan hal itulah yang membuat kakeknya terpesona kepadanya ketika menemukan sang cucu haramnya ini, hingga begitu percaya kepadanya.
Posisi sebagai presiden direktur di perusahaan itu seharusnya milik ayah Daniel... ayah Nathan juga, tetapi sang kakek telah mencabut posisi itu sebagai hukuman untuk ayah mereka, dan kemudian tanpa diduga malahan mengangkat Nathan sebagai presiden direktur di sana, alih-alih memilih Daniel yang seharusnya lebih berhak. Hal itulah yang menimbulkan kehebohan di keluarga mereka beberapa waktu terakhir ini, semua keluarga langsung memprotes keputusan itu, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh kakeknya yang keras kepala.
Semua usaha Daniel, untuk menjadi anak yang sempurna, semuanya musnah ketika Nathan muncul dalam kehidupan mereka, dan Daniel tidak akan memaafkan Nathan karenanya, demi dirinya, demi mamanya, dia tidak akan pernah mengakui Nathan sebagai saudaranya.
"Puas tentang apa?' Daniel hampir menggeram, menatap Nathan dengan dingin.
Nathan mengangkat bahunya, "Karena berhasil satu langkah di depannku... kau menemui perempuan itu lebih dulu, bukan?"
Ada kilasan kepuasan di mata Daniel ketika melihat Nathan. Ya, walaupun tersenyum, Nathan tampak gusar, rupanya lelaki itu tidak terbiasa dikalahkan, mungkin sekarang Nathan akan menyadari bahwa Daniel adalah lawan yang seimbang.
"Dia milikku, Nathan." Daniel mendesis sinis. "Kau mungkin bisa masuk kemari dan merebut perhatian kakek dan ayahku, tetapi dalam hal yang satu ini, dia sudah pasti menjadi milikku."
Mata cokelat Nathan menyala penuh ejekan, "Hal itu belum dipastikan, Daniel. Kau tidak bisa menyorakkan kemenanganmu sebelum perempuan itu memilih."
"Dia akan memilihku."
"Karena uangmu?" Nathan tertawa, "Jangan lupa aku punya uang yang banyak juga, dan semua hasil dari jerih payahku bekerja, bukan warisan dari keluarga ini, karena sebenarnya aku tidak menginginkan sepeserpun uang keluarga ini."
Daniel melangkah mendekati Nathan dengan tatapan mengancam, "Jadi kalau bukan uang, apa yang kau inginkan, Nathan?"
Nathan tersenyum, sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan sikap Daniel, "Menghancurkan kau dan keluargamu. Apakah kau tidak tahu bahwa ayahmu, ayah kita sudah menghancurkan hidup ibuku dalam patah hati ketika meninggalkannya dan memilih kalian? Kalian pantas merasakan apa yang kami rasakan."
Mata Daniel menyala, "Kau sudah menghancurkan hati dan perasaan mamaku. Selamat, sepertinya kau sudah setengah berhasil, tetapi aku akan memastikan, Nathan, bahwa semua rencamu itu akan hancur pada wektunya, dan aku yang akan menghancurkannya." Dengan dingin Daniel membalikkan badannya, melangkah menaiki tangga untuk menemui kakeknya dan meninggalkan Nathan di sana.
*** 
Kekeknya duduk di meja besarnya yang biasa, tersenyum ketika melihat Daniel masuk ke ruangannya,
"Daniel, duduklah akhirnya kau datang juga, kakek sudah menantimu." dengan isyarat tangannya dia menyuruh Daniel duduk. "Di mana Nathan?'
Mata Daniel menyipit, "Tidak tahu kakek, mungkin dia menyusul di belakangku."
Sang Kakek mengamati ekspresi dingin Daniel dan menghela napas panjang, "Daniel, kakek tahu masuknya Nathan ke keluarga ini mengguncangkan keluargamu, tetapi kuharap kau mengerti, kakek hanya berusaha melakukan apa yang kakek anggap benar. Selama ini Nathan hidup terlunta-lunta bersama ibunya, dicampakkan oleh ayahmu, putera kakek sendiri yang bertingkah begitu memalukan.... untungnya Nathan berhasil menembus tempaan hidupnya dan menjadi sukses. Dia mungkin tidak membutuhkan harta kakek, tetapi yang kakek inginkan, kakek harus menebus apa yang seharusnya Nathan dapatkan dari keluarga ini."
Daniel membuang muka mendengar penjelasan kakeknya, "Apakah ketika kakek melakukannya, kakek tidak memikirkan perasaan mamaku yang juga hancur? kakek berusaha menebus kesalahan kakek dengan menghancurkan hati banyak pihak."
Wajah kakeknya seolah ditampar ketika mendengarkan kata-kata Daniel, lelaki tua dengan rambut dan kumis yang memutih seluruhnya itu menghela napas panjang,
"Kakek tahu berat bagi mamamu untuk menghadapi kenyataan. Pada mulanya kakek juga marah besar kepada ayahmu atas sikap tidak bertanggunghawabnya di masa mudanya. Tetapi kemudian kakek melakukan apa yang harus dilakukan,kuharap kau mengerti Daniel, Nathan berhak menjadi bagian dari keluarga ini."
Ketika itulah pintu terbuka dan Nathan masuk. Daniel tentu saja mendengarnya tetapi dia tidak peduli dan terus bergumam,
"Dengan membawa anak haram itu masuk ke keluarga ini, kakek telah menghancurkan keluarga kami, dan aku tidak akan pernah memaafkan kakek karenanya."
Sejenak suasana hening dan kaku. Lalu sang kakek berusaha memecah suasana dengan tersenyum ke arah Nathan, "Masuklah Nathan, duduklah di sebelah kakakmu."
Kata-kata sang kakek membuat ekspresi Daniel mengeras, dia bahkan tidak menolehkan kepalanya ketika Nathan duduk di kursi di sebelahnya di depan kakeknya.
"Kakek rasa, kalian masing-masing telah menemui Alexa."
Nathan dan Daniel hanya terdiam menatap kakeknya, tetapi tidak ada bantahan di sikap mereka , membuat sang kakek tersenyum simpul,
"Dia cantik bukan?"
Daniel mengerutkan keningnya, "Bisakah kakek langsung saja? Kapan kakek akan menjelaskan kepada perempuan itu?"
Sang kakek tampak tidak terpengaruh dengan sikap ketus daniel, lelaki itu tersenyum misterius,
"Sebentar lagi , Kakek sudah menyuruh orang menjemputnya dan kemudian menjelaskan semua di depannya."
Kali ini Daniel dan Nathan saling melempar pandang penuh tantangan.
*** 
Alexa pulang ke rumahnya dan menemui ayahnya sedang makan mie goreng dan tersenyum lebar kepadanya.
"Hai Alexa, ayo makan dulu." Sang ayah menoleh sekilas, lalu sibuk melahap mie gorengnya
Alexa mencoba tersenyum, tetapi senyumnya pudar ketika melihat botol-botol minuman di meja di depan ayahnya. Ayahnya menghabiskan hari dengan minum-minum lagi.... dan tidak ada sesuatupun yang bisa dilakukan Alexa untuk mencegahnya... semakin lama ayahnya semakin terpuruk dan Alexa tidak berdaya untuk menyelamatkan ayahnya, hal itu menghancurkan hati Alexa sedikit demi sedikit...
Suara ketukan di pintu membuat Alexa mengerutkan keningnya. Tidak biasanya ada tamu malam-malam. Alexa langsung was-was... apakah itu preman-preman yang dikirim untuk menagih hutang ayahnya? Tetapi periode pembayaran masih hari minggu nanti bukan? 
Alexa melangkah ke pintu dengan hati-hati dan melihat seorang lelaki yang tidak pernah dilihatnya, lelaki itu mengenakan seragam rapi seperti seorang supir.
"Siapa?"
"Nona Alexa, saya dikirim oleh Tuan besar keluarga Simon untuk menjemput anda."
Kerluarga Simon adalah keluarga besar pemilik perusahaan tempat Alexa bekerja. Jantung Alexa berdebar. Apakah ini ada hubungannya dengan kata-kata sang presiden direktur tadi siang? bahwa akan ada seseorang yang menjemputnya dan menjelaskan semuanya kepadanya?

Bersambung ke Part 4
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 21, 2013 02:57

Info : Keterlambatan Pengumuman 10 nama teratas usulan Romeo's Lover

Dear All
Sehubungan dengan banyaknya yang berpartisipasi untuk mengusulkan nama Romeo's Lover, dimana sampai dengan saat ini email sudah mencapi 960an  email lebih dan masih akan bertambah mungkin mencapai 1000an email usulan nama  :D * waaa makasih yaaaaa*
Untuk Saat ini usulan nama Romeo"S Lover ( Pasangannya Romeo) sudah ditutup yaah
Mulai kemarin dan hari ini, aku + orang2 yang dikaryakan untuk membantu ( PS : suami, kakak, adik, sodara, teman2, ahli numerologi, ahli kecocokan nama dll hihihihihi) sedang memilah seluruh usulan nama yang masuk dan memilih berdasarkan kecocokan dengan kisah dan karakter pasangannya Romeo :) ----> sampai kelupaan posting cerita di blog, maafkan yaaa
Semoga paling lambat besok proses rekap dan pemilihan sudah beres yaa jadi sudah bisa diumumkan di blog untuk mulai proses voting... malam ini kami akan lembuuuurrr untuk mengerjakan proses rekap dan seleksinya yaaaa sehingga bisa keluar nama-nama yang benar-benar terbaik untuk pasangan Romeo ini
Oh ya untuk usulan nama yang lolos untuk diumumkan divoting ditambahkan ada 10 nama, dengan pertimbangan banyaknya usulan email nama yang masuk
Semoga Sabar menunggu yaaaa semuanyaa dan makasih atas partisipasinya, sungguh tidak menyangka kalau peserta lomba terus bertambah sampai mencapi angka 960an peserta lebiih ( waaa terharuu makasih yaaaa)
*membungkukkan badan dalam2*Salam hangat dan peluk erat dari yang mencintai kalian semua, 

Santhy Agatha

 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on June 21, 2013 01:34

June 19, 2013

Embrace The Chord Part 9



Jason baru bangun tidur ketika ponselnya berbunyi. Sambil menggerutu, tangannya menggapai-gapai ponsel yang terletak di meja di sebelah ranjangnya. Suara Arlene langsung terdengar ketika Jason mengucapkan sapaan pertamanya di ponsel,
“Pasti gara-gara Rachel bukan, kau meninggalkanku?”
Jason langsung mengerutkan keningnya. Suara Arlene tampak aneh... sepertinya perempuan itu sedang mabuk. Apakah karena dirinya?Yah memang ada berbagai macam reaksi perempuan-perempuan yang dihancurkan hatinya oleh Jason. Ada yang menangis terus menerus, ada yang marah dan mencaci maki, bahkan ada yang mengancam bunuh diri – yang akhirnya hanyalah berupa ancaman kosong. Arlene sendiri kelihatannya berbeda, perempuan itu tampaknya depresi. Yah dari semua perempuan yang pernah dipacarinya, Arlene memang yang paling tampak tergila-gila dan sangat posesif kepadanya.... mungkin karena dia memang wanita culas yang tamak.“Bukanlah sudah kubilang tidak ada hubungannya dengan Rachel, Arlene? Dan kau mabuk di pagi hari, sungguh memalukan, seperti tidak ada kegiatan lain saja.”
“Memalukan?” Arlene tertawa histeris, “Kaulah yang membuatku seperti ini. Hari-hariku selalu dipenuhi penantian untuk saat aku berjumpa denganmu, dan sekarang kau mencampakkan aku begitu saja seperti sampah!”
“Seharusnya kau tahu bahwa itu akan terjadi kepadamu ketika kau memutuskan mengambil resiko untuk memacariku.” Jason bergumam dengan suara dingin, “Perbaiki dirimu dan enyahlah dari hidupku!” Setelah dengan sengaja mengucapkan kata-kata yang cukup kasar tersebut, Jason memutuskan pembicaraan mereka.
***
Arlene menatap ponsel di tangannya dengan tatapan mata nanar. Ini bukan Jasonnya. Kenapa Jason bersikap begitu kejam kepadanya? Kenapa Jason berubah begitu cepat? Mencampakkan dan menyakitinya?

Ditenggaknya minuman berwarna keemasan dari botol kaca di meja riasnya. Minum adalah salah satu pelampiasannya untuk mempertahankan dirinya, kalau tidak mungkin dia sudah gila.Mata Arlene yang kuyu setengah mabuk menatap dirinya sendiri di cermin. Meskipun penampilannya berantakan, tidak mengenakan riasan dan masih mengenakan gaun tidurnya, Arlene tahu dia tetap cantik.
Arlene memang dilahirkan cantik jelita  meskipun dia merasa dirinya kurang beruntung karena dilahirkan di keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, ibunya yang memimpikan anaknya yang cantik bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik, sengaja membanting tulang untuk memasukkannya ke sekolah elite dengan harapan Arlene bisa menggaet salah satu lelaki kaya yang bersekolah di sana dan menjadikannya suaminya. Dan memang kecantikan Arlene membuat para lelaki tertarik kepadanya, sampai akhirnya Arlene memilih mangsa yang paling besar, seorang lelaki yang dua puluh tahun lebih tua darinya dan dijadikannya suaminya. Suaminya benar-benar membawa Arlene naik dalam kelas sosialnya, karena suaminya sangat kaya dan mempunyai pengaruh yang sangat besar di bidang musik.
Tetapi rupanya pernikahan mereka tidak bertahan lama, kelakuan Arlene yang suka mencari lelaki-lelaki muda untuk memuaskan sikap manjanya rupanya membuat suaminya muak dan menceraikannya. Untungnya Arlene punya pengacara yang cukup handal sehingga bisa menghasilkan banyak uang dari perceraiannya, toh suaminya masih saja kaya meskipun harus membayarnya dengan begitu besar. Saat ini Arlene hidup bermewah-mewah dengan harta bagian dari perceraiannya, bergonta-ganti pacar sesukanya dan menikmati masa menjandanya... sampai kemudian dia bertemu dengan Jason.
Jason... ah lelaki itu begitu mempesona, dengan sikap sopan dan senyumnya yang menawan... dan wajahnya itu.. kesempurnaan wajahnya mungkin bahkan telah membuat dewa dan dewi menangis karena iri....
Reputasi Jason sudah terkenal, Arlene bahkan mengenal salah satu dari perempuan yang dicampakkan Jason. Tetapi sikap Jason kepadanya sangat baik dan penuh kelembutan, membuat Arlene percaya bahwa Jason telah berubah, bahwa Jason telah membuka hati untuknya dan bahwa Jason benar-benar mencintainya, dan kemudian setelah sekian lama bersama Jason, Arlene terperosok semakin dalam mencintai lelaki itu, menyerahkan seluruh hatinya tanpa perlindungan sama sekali.
Matanya masih nanar menatap bayangannya di cermin.... disentuhnya pipinya, dirasakannya kelembutan di sana. Pipinya masih halus bukan? Biasanya Arlene selalu memeriksa setiap inci kulit wajahnya dengan teliti... di usianya yang sudah berkepala tiga, dia sadar bahwa dia harus benar-benar menjaga kecantikannya.... makanya setiap dia menemukan sedikit saja keriput, Arlene langsung panik dan menghubungi dokter ahli kecantikan langganannya untuk menyuntikkan botox ataupun melakukan apapun untuk menghilangkan keriput itu.
Dia ingin tampak muda, cantik dan menarik, apalagi ketika berjalan berdampingan dengan Jason yang luar biasa tampan. Dia ingin mereka tampak sebagai pasangan yang serasi.
Dan sebenarnya dia sudah berhasil selama ini.... sampai kemudian anak perempuan ingusan itu muncul.
Anak itu tidak cantik menurut Arlene, masih lebih cantik dirinya. Tetapi kemudaan dan kesegaran Rachel terasa mengancamnya, membuatnya merasa seperti perempuan tua yang sudah layu... apalagi kulit Rachel begitu mulus dan halus, memancarkan keranuman masa mudanya, membuat Arlene memendam rasa iri luar biasa.
Jason pasti berpaling kepada Rachel karena kemudaan dan keranuman Rachel. Perempuan ingusan itu mungkin membuat Jason tertarik karena berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah dipacari Jason sebelumnya, dan Arlene yakin kalau Jason meninggalkan dirinya karena Rachel.
Dia tidak boleh membiarkan Rachel memiliki Jason. Dia akan menghancurkan Rachel sebelum itu terjadi.
***
Jadi apa yang akan dilakukannya hari ini?
Hari ini masih libur panjang dan dengan menyedihkan dia hampir menggunakan seluruh waktunya untuk merenung sendirian di kamar, mempelajari literatur musik klasik yang sebenarnya sudah sangat dikuasainya.
Jason menatap dirinya di cermin dan menggerutu dalam hati. Baru kali ini dia sadar bahwa dirinya hampir tidak punya teman untuk sekedar menghabiskan hari libur bersama. Teman-temannya sudah berlabuh dan menemukan belahan jiwanya masing-masing sehingga memutuskan menghabiskan hari liburnya bersama pasangannya.
Tinggal Jason sendirian tanpa pasangan dan tanpa cinta dalam hidupnya. Bagaimanapun juga ini adalah jalan yang dipilihnya, jalan yang penuh dengan dendam dan kebencian masa lalu, melampiaskannya kepada semua perempuan yang dirasa pantas.
Tetapi entah kenapa hatinya tidak pernah bisa puas? Semakin dia menyakiti perempuan, semakin hatinya haus untuk menyakiti lagi dan lagi. Ternyata pembalasan dendam itu tidak selalu berujung memuaskan, yang ada, jiwanya malahan terasa semakin hampa dan kosong.
Tiba-tiba saja Jason merasa amat sangat kesepian... amat sangat kesepian.
Lelaki itu menghela napas panjang dan kemudian duduk di sofa sambil memilah-milah surat-surat yang masuk untuknya, beberapa hanyalah ucapan selamat atas kesuksesan konsernya di Austria, beberapa surat-surat penting dan kemudian dia menemukan sebuah undangan pesta perjamuan makan malam untuk nanti malam,  yang akan dilaksanakan di rumah salah seorang komposer terkenal yang merupakan sahabatnya.
Jason langsung mendapatkan ide.
***
“Kenapa kau tidak pergi bersama Anna?” Meskipun sakit, Rachel tetap bertanya kepada Calvin. Lelaki itu pagi-pagi sudah datang ke rumahnya dan sarapan bersama, ini sudah hampir jam sepuluh siang dan tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan pergi.Saat ini mereka sedang duduk bersama di bagian belakang rumah Rachel, duduk di sofa nyaman dengan bantal-bantal empuk dan membaca buku. Mama Rachel menyiapkan berbagai makanan kecil di piring dan sepoci limun dingin untuk mereka. Rasanya sudah lama sekali Rachel tidak menghabiskan hari dengan bersantai seperti ini bersama Calvin.
Oh, tentu saja Rachel berharap Calvin akan tinggal sampai penghujung hari, seperti yang selalu mereka lakukan bersama ketika libur panjang seperti ini. Tetapi hati kecilnya menyuruhnya bertanya. Rachel sudah terlalu sering terbanting harapannya atas Calvin, dan dia tidak mau mengalaminya lagi. Anna sepertinya semakin sering menyita waktu Calvin akhir-akhir ini hingga Calvin jarang punya waktu untuk Rachel. Yah, tetapi Rachel tidak bisa menyalahkan Calvin, Anna sangat cantik, feminim dan merupakan impian setiap lelaki akan perempuan idamannya, jauh bertolak belakang dengan Rachel yang tomboy dan seperti anak lelaki.
Calvin mencomot biskuit keju hangat buatan mama Rachel dan tersenyum,
“Aku akan berada di sini sampai sore.” Gumamnya, lalu mengangkat bahunya, “Anna harus mengantarkan ayahnya ke acara resmi sampai sore, rencananya kami baru akan bertemu malam ini.”
Jantung Rachel serasa diremas, jadi Calvin menghabiskan waktu bersamanya hanya karena dia tidak bisa menghabiskan waktu bersama Anna?
Calvin sendiri tampaknya melihat ekspresi Rachel yang murung, lelaki itu tertawa, kemudian merangkul Rachel ke dalam pelukannya,
“Hei maafkan aku ya, akhir-akhir ini aku tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersamamu, tapi kuharap kau mau mengerti ya Rachel, Anna tidak lama berada di indonesia, dia akan kembali ke sekolahnya akhir bulan nanti, dan kami terpaksa menjalin hubungan percintaan jarak jauh.”
“Percintaan?” satu kata itu langsung menempel di telinga Rachel, bagaikan belati yang ditusukkan di sana.
Calvin menganggukkan kepalanya, matanya tampak berbinar. “Sebenarnya aku mau menceritakan kepadamu nanti, tapi aku sudah tidak sabar membagi kebahagiaanku bersamamu.” Lelaki itu menggosok-gosokkan kedua jemarinya dengan penuh semangat, “Kemarin aku menyatakan perasaanku kepada Anna, dan dia menerimanya.”
Kalau saat itu ada petir menyambar di depan mereka, mungkin Rachel tidak akan seterkejut sekarang, mulutnya menganga dan wajahnya pucat pasi.
“Jadi kalian sekarang....?”
“Yap.” Calvin tertawa, “Akhirnya setelah penantian panjangku sejak dulu, perasaanku berbalas juga. Anna bilang sebenarnya sejak dulu dia sudah tertarik kepadaku, tetapi dia berpikir ulang karena dia akan segera bersekolah di luar negeri. Kemarin ketika pulang ke Indonesia, dia bertekad akan menemuiku dan menelaah perasaannya sendiri dan ternyata perasaan itu masih sama kuatnya. Kami akhirnya bertekad mencoba menjalani hubungan ini meskipun harus hubungan jarak jauh nantinya... “
“Bukankah Anna dan papanya sudah menetap di luar negeri? Mereka kan hanya pulang kemari jika ada liburan panjang dan acara penting menyangkut pekerjaan papanya? Akana seperti apa hubungan kalian nanti? Kalian hanya bisa bertemu minimal enam bulan sekali.” Setelah menelan ludah dan menguatkan diri, Rachel mencoba memberikan pendapat layaknya seorang sahabat.
“Kan sekarang teknologi informasi sudah semakin maju, hubungan jarak jauh semakin dimudahkan, mungkin nkami akan chatting setiap malam, mengobrol lewat web camera, itu sama saja kami bertemu setiap hari bukan? Lagipula kami bertahan seperti ini tidak akan lama..”
“Maksudmu?” jantung Rachel berdesir, selalu begitu ketika dia merasa akan menerima sebuah kabar buruk.
Calvin tidak memperhatikan ekspresi Rachel yang semakin pucat, matanya bersinar penuh tekad, memandang ke kejauhan,
“Aku sudah bilang pada papa, aku akan menyusul Anna melanjutkan pendidikanku di luar negeri.”
Seketika itu juga, seluruh harapan sesedikit apapun yang masih tersisa di benak Rachel, tercabut paksa seluruhnya hingga bersih, sampai ke akar-akarnya.
***
Lelaki itu tertidur.
Rachel mengamati dengan sayang Calvin yang tengah tertidur pulas di sofa. Dia sendiri duduk condong di depan Calvin, memuaskan diri untuk memandangi lelaki yang dicintainya itu selagi ada kesempatan.
Calvin begitu pulasnya sehingga tatatapan memuja Rachel ke arahnya tidak akan mengganggu tidurnya. Rachel mengamati wajah Calvin yang tampan, alis matanya yang tebal, bibirnya yang indah yang selalu digunakannya untuk tersenyum, menceriakan hari-hari Rachel....
Sejak dia pindah ke indonesia, Calvin selalu ada untuknya, menjaganya sejak kecil sampai sekarang. Calvin adalah pusat dunia Rachel. Dan sekarang, Calvin bilang dia akan pergi ke belahan dunia lain untuk mengejar wanita yang dipujanya, mengejar wanita beruntung itu.
Ah, betapa inginnya Rachel mengungkapkan perasaannya kepada Calvin, mengungkapkan kepada lelaki itu bahwa dia ada di sini, menunggu untuk dilihat, menunggu Calvin untuk menyadari cintanya. Tetapi di sisi lain Rachel merasa takut, Calvin begitu dekat dengannya dan sikapnya seperti menganggap Rachel sebagai adiknya sendiri, Rachel takut kalau dia mengungkapkan perasaannya, Calvin akan berubah sikap dan menjauhinya, apalagi jika Calvin memang tidak bisa membalas perasaannya, hubungan mereka pasti akan berubah menjadi kaku dan canggung...
Akan sanggupkah Rachel tanpa kehadiran Calvin di dekatnya?
Tiba-tiba saja dada Rachel terasa sesak. Matanya terasa panas..... dan kemudian, dengan nekad dan putus asa, Rachel menundukkan kepalanya, lalu mengecup dahi Calvin dengan lembut.
Detik yang sama sekilas sinar blitz menerpanya, membuatnya mengernyitkan kening, menolehkan kepalanya ke arah sinar itu, lalu membelalakkan matanya kaget.
Jason tengah berdiri di pintu penghubung ruang belakang dengan ruang tengah, lelaki itu bersandar santai di ambang pintu, tersenyum mengejek kepada Rachel dan dijemarinya tengah memegang ponsel, ponsel yang tadi dipakainya memotret Rachel yang diam-diam sedang mencuri  mencium dahi Calvin yang tengah tertidur pulas!
Rachel langsung berdiri dengan defensif, sebelumnya dia sempat melirik cemas ke arah Calvin, dan bersyukur dalam hati karena lelaki itu masih tertidur pulas. Kemudian dengan langkah lebar, Rachel mendatangi Jason dengan marah,
“Apa yang kau lakukan di sini dan kenapa kau mengambil fotoku?”
Senyum miring muncul di bibir Jason, “Mamamu menyuruhku masuk ke belakang dan mencarimu.” Matanya sengaja melirik ke arah ponselnya, “Wah sungguh foto yang menyedihkan, kau dengan penuh cinta mencium diam-diam sahabatmu... cinta bertepuk sebelah tangan, eh?”
Kata-kata Jason langsung menyulut amarah Rachel, dia langsung menyerang Jason, mencoba mengambil ponsel itu dari tangan Jason,
“Kemarikan ponsel itu!” Rachel mendesis, setengah terangah berusaha menggapai Jason yang dengan sengaja mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan ekspresi menahan tawa. Rachel melihat ekspresi Jason dan merasa jengkel luar biasa, lelaki itu pasti menertawakannya karena tubuhnya pendek seperti anak kecil, dan Jason bertubuh tinggi, merebut ponsel itu akan percuma bagi Rachel, apalagi kalau Jason mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti itu,
“Kau jahat! Kemarikan ponsel itu!”
“Percuma Rachel, kau tidak akan bisa mengambil ponsel itu dariku.” Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya menggoda, “Mungkin aku akan menghapusnya kalau kau mau melakukan sesuatu untukku.”
Rachel membelalakkan matanya, terkejut akan sikap tidak terpuji Jason, “Kau memerasku?”
“Bisa dibilang begitu.” Jason sama sekali tidak tampak malu, matanya sengaja melirik ke arah sofa tempat Calvin masih tertidur pulas, “Dan aku rasa kau tidak ingin Calvin melihat foto ini bukan? Disini wajahmu benar-benar penuh cinta, sungguh menyedihkan, mungkin Calvin akan kaget karena kau menyimpan perasaan lebih kepadanya, dan mungkin dia akan menjauhimu...”
“Oke.” Rachel tidak tahan lagi mendengarnya, dia tahu apa yang dikatakan Jason benar, dan dia takut itu akan terjadi, dijauhi Calvin karena perasaan canggung adalah hal terakhir yang diinginkannya, dia butuh bisa dekat dengan Calvin, dan kalau satu-satunya jalan adalah dalam posisi seperti saudara atau sahabatnya, maka Rachel tidak akan merusaknya. “Kau ingin aku melakukan apa?” Rachel menggertakkan giginya menahan marah, tetapi dia mencoba bersabar. Dia tidak bisa melawan Jason sekarang, lelaki itu memegang kartu AS untuk mengancam Rachel dan sekarang sedang berada di atas angin.
“Aku ingin kau menemaniku datang ke jamuan makan malam yang akan diadakan nanti malam, sebagai pasanganku. Aku akan memperkenalkanmu sebagai murid khususku dan mungkin kita akan berduet sedikit di sana.” Jason tersenyum, “Sebenarnya aku sudah mendapatkan izin ibumu, tetapi aku tahu kau akan menggunakan segala cara untuk menolak ajakanku, jadi menyenangkan sekali aku bisa memaksamu melakukan apa yang kumau mulai sekarang.” Tatapannya berubah sedikit menakutkan, “Lakukan apa yang aku mau, Rachel, dan mungkin aku akan berbaik hati menghapus foto ini dari ponselku.”
Bersambung ke Part 10  
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 19, 2013 07:22

June 18, 2013

The Vague Temptation Part 2





Alexa membelalakkan matanya kebingungan ketika lelaki bermata abu-abu itu menyeretnya, melalui lorong tembusan dari toilet menuju ke pintu belakang bar. Tidak ada seorangpun di sana dan tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Biasanya memang ada bodyguard yang berjaga di bagian belakang bar, tetapi karena malam ini bar cukup ramai oleh pengunjung, semua bodygyard bertugas di depan.
Pada akhirnya Alexa hanya bisa pasrah, membiarkan lelaki itu setengah menyeretnya dengan langkahnya yang lebar-lebar, tetapi ketika pada akhirnya langkah lelaki itu terhenti, Alexa langsung menyentakkan tangannya dan melepaskan diri dari lelaki itu. Lelaki itu membiarkannya lepas dengan mudah, tetapi masih berdiri di depannya seakan mencegah Alexa lari.
Tiba-tiba saja Alexa merasa ketakutan.... bagaimana kalau lelaki ini berniat jahat kepadanya? mencoba memperkosanya? Di sini sepi dan teriakannya pasti akan terkalahkan oleh dentaman musik yang sangat kencang di depan.
Ekspresi ketakutannya pasti terbaca karena senyum dingin langsung muncul di bibir si mata abu-abu.
"Jangan mimpi. Aku tak akan menyentuhmu.." matanya menelusuri tubuh Alexa dengan tatapan mencemooh, "Tapi akan kupertimbangkan kalau kau sudah mandi bersih dan menghilangkan bau bir dan rokok dari dalam."
Alexa langsung beringsut mundur. Tetapi punggungnya menabrak tembok, wajahnya berubah pucat pasi tidak karuan, apalagi ketika lelaki yang berdiri di depannya itu membungkuk ke arahnya, semakin merapatkan tubuhnya dan kemudian kedua lengannya membentang dengan telapak menempel ke tembok di kiri dan kanan Alexa.
Hidung lelaki itu hampir bersentuhan dengan hidung Alexa, ketika berbicara suaranya setengah mendesis.
"Periksa rekening bankmu. Aku sudah mengisi uang lebih dari cukup untuk membayar hutang ayahmu. Dan sekarang kau harus pulang, tinggalkan tempat ini dan jangan pernah kembali lagi." Bibirnya sangat dekat dengan bibir Alexa, "Dan ingat baik-baik wajahku, aku ingin pada saatnya nanti kau membalas budi dengan memilihku."
Lalu seperti yang dilakukannya malam kemarin, lelaki itu membalikkan badan begitu saja dan meninggalkan Alexa sendirian.
Alexa berdiri tegang, menunggu sampai tubuh si mata abu-abu itu menjauh pergi, kemudian setelah yakin bahwa lelaki itu tak akan kembali, tubuh Alexa seolah kehilangan daya, kakinya tidak bisa menahan tubuhnya sehingga dia langsung merosot lemas di tanah.
Apa kata laki-laki itu tadi? Uang di rekeningnya?
Darimana lelaki itu tahu nomor rekeningnya? Dan darimana lelaki itu tahu bahwa Alexa bekerja di tempat ini untuk membayar hutang ayahnya?
*** 
"Tunggu sebentar ya." Alexa tersenyum meminta maaf kepada rekan-rekannya yang berada dalam satu mobil, dia telah meminta supir untuk berhenti sebentar di depan atm di tepi jalan dengan alasan ingin mengambil uang.
Malam sudah menunjukkan pukul dua. Gelap semakin pekat dan suasana sangat sunyi, hampir tidak ada satu orangpun di jalanan. Kalau saja tidak ada teman-teman kerjanya di dalam mobil yang menunggu di tepi jalan, Alexa pasti ketakutan harus memasuki ruang atm sendirian.
Dengan ragu, Alexa memasukkan kartu atmnya, dan memilih informasi saldo.
Beberapa detik kemudian, angka informasi saldonya keluar, membuatnya ternganga......
Alexa ingat sekali saldo atmnya hanya satu juta sekian, sisa tabungannya yang selalu terambil dan habis untuk kebutuhan sehari-hari, dan juga untuk membayar hutang judi ayahnya. 
Sekarang... setidaknya ada sembilan digit angka di saldonya yang datangnya entah dari mana.....
Jadi benarkah yang dikatakan si mata abu-abu itu? Kalau memang dia yang memberikan uang ini kepada Alexa, apa untungnya buat dia?
"aku ingin pada saatnya nanti kau membalas budi dengan memilihku"
Kata-kata itu langsung terngiang-ngiang di telinga Alexa, membuatnya bertanya-tanya...
*** 
Pagi harinya ketika bekerja di kantor, Alexa masih membawa pertanyaan itu di benaknya. Dia belum berani mengambil uang itu, meski sekarang dia menyimpan kartu atm-nya baik-baik supaya selalu aman. Jantungnya bahkan berdebar setiap mengintip kartu atm itu di dompetnya, membayangkan betapa banyaknya uang yang berada di rekeningnya.
Mungkinkah semalam hanya mimpi? Apakah jangan-jangan ketika dia memeriksa saldonya nanti, ternyata uang itu tidak pernah ada di rekeningnya dan hanyalah sebuah halusinasi?
Alexa harus memastikan sekali lagi, dan setelah yakin bahwa uang itu benar-benar ada dan tidak hilang dari rekeningnya, barulah dia akan memikirkan langkah lebih lanjut.
"Hari ini si cucu haram datang." 
Rosa tiba-tiba saja berbisik di telinganya, membuat Alexa terlonjak karena kaget. 
Dia mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata Rosa, lalu teringat percakapan mereka kemarin tentang 'presiden direktur' mereka yang baru dan akan datang hari ini.
"Kau harus berhenti memanggilnya seperti itu Rosa, atau kita akan dipecat." entah kenapa Alexa ikut berbisik, membuat Rosa tertawa dan mengedipkan sebelah matanya,
"Katanya dia sangat tampan."
Alexa hanya menganggukkan kepalanya dan mencoba fokus kembali pada pekerjaan di layar komputernya. Rosa tidak akan berhenti bergosip karena dia sangat penasaran dengan wajah presiden direktur baru mereka, dan bahkan setelah dia berhasil melihat wajah presiden direktur mereka, perempuan itu pasti juga akan tetap bergosip kali ini dengan topik yang berbeda.
"Alexa." suara panggilan yang tegas itu membuat Alexa mendongakkan kepalanya, dia mengerutkan keningnya ketika Pak Hanan, kepala bagian administrasi muncul dari pintu ruangannya dan memanggilnya.
Seketika itu juga Alexa berdiri, "Iya pak?"
"Kemari sebentar."
Pak Hanan tidak pernah memanggil staffnya, untuk komunikasi dengan anak buahnya, dia selalu melakukan dengan supervisor-supervisor yang berada di atas Alexa. Panggilan ini tentu saja sedikit mengejutkan dan membuat jantung Alexa berdebar, takut kalau dia melakukan kesalahan....bahkan Rosapun menatapnya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu ketika Alexa melangkah memasuki ruangan pak Hanan. Alexa harus memberikan penjelasan kepada Rosa nanti, karena dia tahu perempuan itu tak akan berhenti mencecarnya sebelum mendapatkan gosip yang paling hangat. Tapi itu nanti, sekarang Alexa harus menghadapi pak Hanan dulu.
Dia mengetuk pintu ruang kaca pak Hanan dengan gugup, kepala bagiannya itu memberi isyarat tangan supaya Alexa masuk.
"Duduklah." gumamnya dengan suara berat, matanya mengamati Alexa dengan tajam membuat Alexa semakin gugup.
Alexa menurut dan duduk, lalu terdiam di hadapan pak Hanan. Menunggu.
Kepala bagiannya itu membetulkan letak kacamatanya, lalu menatap Alexa dengan serius.
"Saya mendapatkan instruksi dari atas tentang mutasimu." Pak Hanan mengambil kertas di mejanya dan menyerahkan kepada Alexa, "Rupanya perusahaan memutuskan untuk memindahkanmu ke bagian personalia, terus terang saya tidak tahu alasannya, karena keputusan ini datang langsung dari atas. Jadi sekarang kamu menghadap dulu ke kepala bagian personalia untuk urusan surat-surat dan mutasimu. Jangan lupa bawa surat ini." Pak Hanan mengangsurkan surat itu kepada Alexa yang menerimanya dengan kebingungan luar biasa, "Cepatlah, kau ditunggu di sana." gumam pak Hanan kemudian setengah mengusir.
Alexa langsung berdiri, masih memeluk surat itu di tangannya. "Terimakasih pak." gumamnya sebelum keluar, sementara pak Hanan sudah sibuk kembali menekuri pekerjaannya.
Rosa langsung menyambutnya ketika Alexa menuju mejanya.
"Ada apa? tidak biasanya pak Hanan memanggil staf seperti kita ke ruangannya?"
"Aku di mutasi." Alexa menjawab cepat, mencoba menghindari pertanyaan Rosa. Tetapi tentu saja Rosa tidak menyerah,
"Di mutasi? tapi bagaimana bisa? kenapa? ke bagian mana? Kau mau kemana Alexa?" Rosa setengah berteriak ketika Alexa melangkah ke luar ruangan divisi administrasi.
Alexa menoleh sedikit, merasa malu karena Rosa berteriak-teriak memanggilnya, dia tersenyum meminta maaf kepada staff yang lain, 
"Ke bagian personalia, untuk urusan surat-surat mutasi, aku juga dipindah ke bagian personalia." jawabnya ringkas sambil cepat-cepat pergi sebelum Rosa memberondongnya dengan berbagai pertanyaan lagi.
*** 
Ruang personalia lengang di lantai empat gedung kantor besar itu sunyi, beberapa pegawai tampak serius menekuri pekerjaannya di depan komputer, bahkan tidak ada yang menoleh ketika Alexa membuka pintu ruangan itu dan berdiri kebingungan di depan pintu.
"Cari siapa?" seorang perempuan yang kebetulan mejanya berada di dekat pintu bergumam ketika melihatnya, Alexa tidak mengenalnya. Yah gedung ini memang sangat besar dan menampung ratusan pegawai, sehingga Alexa tidak mengenal semuanya kecuali yang berhubungan dengannya dalam hal pekerjaan.
"Eh saya Alexa, katanya diminta menemui kepala bagian personalia?"
Perempuan itu mengerutkan keningnya, "Pak Firman maksudmu?"
Alexa menganggukkan kepalanya. 
"Pak Firman ada di ruang meeting besar di sebelah, tadi dia berpesan kalau ada staff bernama Alexa mencarinya, disuruh langsung ke sebelah," Dan kemudian dengan tidak peduli, perempuan itu kembali menekuri pekerjaannya dan mengabaikan Alexa.
Setelah menganggukkan kepalanya gugup - yang tidak mendapatkan tanggapan dari perempuan itu - Alexa keluar lagi dari ruangan personalia dan berdiri bingung di lorong. 
Ruang meeting besar yang dikatakan perempuan tadi apakah ruangan yang ada di balik pintu besar yang ada di ruang sebelah divisi personalia ini?
Alexa berdiri sejenak ragu-ragu di depan pintu. Tetapi setelah menghela napas panjang, dia memutuskan mengetuk pintunya.
"Siapa?" Terdengar suara yang dalam di sana. Alexa berdehem gugup mendengarnya dan langsung menjawab.
"Pak Firman? Maafkan saya... ini Alexa, staff dari bagian administrasi..."
"Masuklah." sebelum sempat Alexa melanjutkan perkataannya, suara di dalam sudah menyahut menyuruhnya masuk hingga mau tak mau Alexa memberanikan diri membuka pintu ruangan meeting besar itu.
Ketika pintu ruangan terbuka, hanya ada satu orang yang duduk di sana, tepat langsung di hadapannya yang berdiri di tengah ambang pintu. 
Dan lelaki itu bukanlah pak Firman.
*** 
"Kau pasti terkejut, maafkan aku. Duduklah Alexa." Lelaki itu mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, "Dan tutup pintunya."
Alexa mau tak mau menuruti perkataan lelaki itu, pelan-pelan masuk dan menutup pintu di belakangnya. Setelah meragu sejenak, dia akhirnya melangkah duduk di kursi besar itu di depan meja besar tempat lelaki itu duduk di baliknya.
Lelaki itu sangat tampan dengan mata cokelat muda yang indah, tekstur wajahnya lancip dan elegan dengan bentuk bibir yang bisa dibilang sensual... astaga... kenapa Alexa malahan memikirkan bibirnya? Selain itu lelaki di depannya ini tampak pandai dan berwibawa... usianya mungkin di atas Alexa karena penampilannya sangat dewasa dan elegan.
Dilihat dari pakaiannya ... sepertinya lelaki itu memegang kedudukan tinggi di perusahaan ini, tetapi kenapa Alexa tidak pernah melihatnya? Dan kenapa lelaki itu mengetahui namanya serta seolah memang ingin bertemu dengannya?
Lelaki itu tersenyum menyadari pengamatan Alexa, dia lalu menyandarkan dirinya di kursinya yang besar dan menyilangkan lengannya,
"Kenalkan aku Nathan, aku adalah presiden direktur yang baru di perusahaan ini."
Mulut Alexa menganga..... ini... si cucu haram yang dikatakan oleh Rosa itu? ah salah, Alexa tidak boleh menyebutnya begitu....dengan cepat Alexa mengkoreksi dirinya sendiri. 
Jadi inilah presiden direkturnya yang baru?
Lalu apa maksudnya dia menemui Alexa seperti ini?

Bersambung ke Part 3

3 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 18, 2013 02:25

June 17, 2013

Another 5% Part 11

PS : maafkan minggu dan senin tidak posting dikarenakan satu dan lain hal T__T semoga bisa tertebus hari ini yaa :)

Selly masih termenung di sana menatap bosnya yang hanya memandanginya dengan datar. Mata Selly melirik gelisah ke arah luar, dari pintu kaca yang mengarah keluar, bisa dilihat bahwa badai hujan sedang hebat-hebatnya, hembusan angin membawa dedaunan bergulung-gulung dan pepohonan bergoyang-goyang menakutkan, belum lagi suara guntur yang terus menerus bersusul-susulan dengan kilat yang menyilaukan.
Ya. Mungkin benar kata Gabriel, diluar sana kemungkinan besar tidak ada taxi karena hujan deras ini. Yang bisa dilakukan Selly hanyalah duduk di dalam ruangan itu dan menunggu, yang berarti menerima ajakan makan malam Gabriel.
Sebelum Selly sempat memutuskan, seorang pelayan datang mendekati mereka dan menyerahkan menu,
"Apakah anda sudah ingin memesan?" gumamnya sambil menunduk sopan.
Gabriel menerima menu itu dan memesan makan malam lengkap dari hidangan pembuka sampai penutup kepada Selly, setelah itu dia menatap Selly sambil mengangkat alisnya, 
"Apakah kau keberatan dengan menu yang kupesan?"
Selly menggelengkan kepalanya pasrah, dia lapar. Ya. Tanpa sadar perutnya terasa perih, "Tidak."
Gabriel menganggukkan kepalanya, dan pelayan itupun pergi. 
Lama mereka berdua hanya duduk dan saling berpandangan.
"Maafkan aku." Gabriel duduk dengan tenang, bersandar di kursinya.
"Untuk apa?"
Gabriel tersenyum, "Karena menghakimi calon suamimu. Yah bagaimanapun juga aku tidak mengenalnya dan tentu saja tidak berhak menilainya." mata lelaki itu menatap Selly dengan ramah, "Kita lupakan saja itu dulu ya, dan menikmati makan malam ini."
Mau tak mau Selly menganggukkan kepalanya, dan kemudian Gabriel berdiri dari duduknya, 
"Tunggu sebentar, ada yang perlu kubicarakan dengan pelayan." Tanpa permisi lagi Gabriel berdiri meninggalkan Selly.
Pandangan mata Selly mengikuti arah perginya Gabriel, lelaki itu mendatangi kepala pelayan dan kemudian menggumamkan sesuatu. Penampilannya yang elegan mungkin telah mendapatkan perhatian si kepala pelayan karena dia mendengarkan perkataan Gabriel dengan serius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah itu Gabriel kembali lagi ke meja Selly dengan wajah misteriusnya, lelaki itu menyadari Selly bersikap canggung, karena itu dia tidak banyak berbicara. Ketika makanan pembuka mereka datang, Gabriel dan Selly menyantapnya dalam keheningan. Ketika menu makanan utama datang, Gabriel sedikit mengajak Selly bercakap-cakap mengenai pekerjaan juga membahas rasa masakan, suasanya sudah agak cair di antara mereka hingga kemudian mereka selesai menyantap makanan utama.
"Siap untuk makanan penutup?" Gabriel tersenyum misterius, lalu dia melirik ke arah kepala pelayan dan memberikan kode.
Koki utama keluar dari dapur, membawakan sebuh roti tart mungil berwarna putih dengan lilin-lilin warna-warni di atasnya. Seorang pemain musik mengikuti mereka, membawa biola dipundaknya dan memainkan nada "Happy Birthday To You" dengan indahnya.
Selly ternganga, tidak menyangka. Beberapa pengunjung menatap Selly dengan senyuman, mungkin berpikir bahwa Selly begitu beruntung karena pasangan makan malamnya begitu perhatian di hari ulang tahunnya.
Selly menatap ke arah Gabriel, terperangah, sementara Gabriel tersenyum. Kepala koki meletakkan kue ulang tahun itu di meja mereka, lalu membungkuk sambil mengucapkan selamat ulang tahun untuk Selly, dan kemudian berpamitan. Sang pemain biola masih memainkan nada musik ulang tahun untuk Selly sampai selesai, setelah itu dia juga mengucapkan selamat ulang tahun untuk Selly, Selly menganggukkan kepalanya, masih terperangah dan bingung akan kejutan yang tidak disangkanya itu.
Setelah mereka hanya berdua, Selly menatap Gabriel yang tersenyum manis,
"Happy Birthday Selly, ayo ucapkan permohonanmu dan tiup lilinmu."
Selly melakukannya, dia seolah terbawa sihir, terkejut dan masih bingung, ditiupnya lilin itu sampai padam, matanya terpejam, mengucapkan permohonan indah untuk dirinya dan Rolan, berharap mereka mempunyai masa depan yang bahagia. Ya.. tidak ada lagi yang perlu dimohonkannya bukan? Tuhan sudah begitu baik kepadanya, menyembuhkan Rolan dari penyakitnya, dan yang Selly inginkan hanyalah dia mendapatkan kesempatan untuk bersama Rolan di masa depan mereka yang panjang.
Setelah itu dia membuka matanya, dan langsung bertatapan dengan mata cokelat yang penuh perhatian itu. Dan entah kenapa tiba-tiba saja Selly merasa terharu. Tadinya dia berpikir akan menghabiskan malamnya dengan menangis, karena apa yang telah direncanakannya dengan begitu bahagia dari pagi berakhir dengan kekecewaan. Tetapi kemudian bosnya ini muncul dan dengan penuh perhatian membuatkan perayaan ulang tahun kecil untuknya. Hanyalah sebuah roti berhias lilin dan musik ulang tahun, tetapi itu sangat mengena di hati Selly.
"Terimakasih." Selly berbisik lirih, sungguh-sungguh. Matanya berkaca-kaca, penuh dengan rasa haru.
Gabriel masih tersenyum, dan menganggukkan kepala, "Sama-sama Selly, Wish you all the best."
*** 
Rolan menatap jam dinding yang berdetak pelan mengisi kesunyian ruangan. Dia merasa sangat tidak enak dan sedih. Memikirkan Selly.
Selly tampak begitu bahagia sampai menangis ketika mereka merencanakan makan malam bersama di hari ulangtahunnya, dan sekarang Rolan menggagalkannya begitu saja. Selly pasti amat sangat kecewa....
Perasaan bersalah menusuk diri Rolan. Tetapi apa yang harus dia perbuat? Sabrina yang pucat dan sakit, sama menderitanya seperti dirinya yang dulu sepertinya amat sangat membutuhkan dukungannya, dan Rolan sudah berjanji untuk menemani Sabrina.
Suara hujan dan gemuruh petir memenuhi penjuru ruangan, membuat Rolan menghela napas panjang, berharap Selly sudah sampai di rumah dengan selamat. Dia ingin menelepon Selly tetapi baterai ponselnya habis, dan tidak ada yang bisa dilakukannya selain duduk diam di sini, menunggu dalam keheningan.
Matanya menatap ke arah jemari pucat Sabrina yang masih menggenggam tangannya dengan begitu erat seolah takut ditinggalkan. Rolan menghela napas, menahankan dilemanya.
*** 
"Terimakasih." Selly menoleh ke arah Gabriel yang duduk di sebelahnya. Gabriel mengantarkannya pulang setelah makan malam dan sekarang supir Gabriel menghentikan mobilnya di depan bangunan yang didalamnya ada flat Selly.
Gabriel menganggukkan kepalanya, menyorongkan kotak berisi sisa roti tart ulang tahun Selly dengan lembut, "Jangan lupa membawanya." Lelaki itu tersenyum, "Sampai jumpa besok di kantor, Selly."
"Iya. Sampai jumpa besok." Selly menganggukkan kepalanya juga, tersenyum tulus, benar-benar penuh terimakasih, lalu supir Gabriel turun dan membawakannya payung, ketika Selly keluar dari mobil, lelaki itu mengantarkan Selly sampai ke teras, lalu membungkuk hormat dan melangkah pergi menembus hujan
Selly masih termenung di sana, menatap ke arah mobil Gabriel yang melaju pergi.
*** 
Perayaan ulang tahun... roti berwarna putih dengan lilin warna warni di atasnya....
Mata Gabriel mengeras ketika hentakan kenangan itu menusuk kedalam jantungnya, kenangan akan ibu yang sangat disayanginya......
[ Spanyol l5 tahun yang lalu....]
"Kenapa mama memberikan kekuatan ini kepadaku?" Gabriel yang masih berusia lima belas tahun menatap mamanya dengan bingung, beban kekuatan itu begitu berat, membuatnya gemetar. Dunia tidak sama lagi baginya, dunia yang sekarang begitu berisik penuh dengan suara-suara yang membuatnya pusing, dan kadang dia berteriak-teriak sendiri, menangis ketika semuanya tidak bisa tertahankan oleh tubuh mungilnya yang polos.
Sang mama yang masih nampak amat muda, karena kekuatan itu membuat umurnya berhenti di usia tigapuluh tahun, tetapi nampak begitu pucat dan kurus menatapnya penuh sayang, jemarinya menyentuh pipi Gabriel dan mengusap rambut anak lelakinya itu dengan sayang,
"Maafkan mama karena melimpahkan kekuatan ini sayang... hanya saja mama sudah tidak kuat lagi menanggung beban kekuatan ini, mama begitu menderita, hidup sekian lama hanya untuk melihat orang-orang yang mama sayangi meninggal.... begitupun ayahmu yang meninggal setelah kau dilahirkan."
Ayah Gabriel meninggal ketika mama Gabriel belum mendapatkan kekuatan kegelapan itu, pada saat yang sama, nenek Gabriel yang ternyata adalah pemegang kekuatan kegelapan selama beratus-ratus tahun mewariskan kekuatan itu kepada sang mama, membuatnya menanggung beban menjaga keseimbangan dunia di pundaknya... sama seperti yang dilakukan mamanya kepada Gabriel.
Mama Gabriel - Anabelle, menatap Gabriel dengan pedih, yah dia mungkin bersalah, Gabriel masih terlalu kecil untuk menanggung semua kekuatan ini, kadang dia menangis ketika mendengar Gabriel menjerit-jerit kelelahan karena kekuatan ini masih begitu sulit untuk ditampung oleh badannya yang masih kecil dan lemah. 

Tetapi kemudian dia teringat akan almarhum suaminya, ayah kandung Gabriel yang meninggal jauh sejak lama. Dia merasa lelah dan tak mampu, kekuatan itu memang membuat umurnya berhenti di usia tigapuluh tahun, tidak bisa menua dan tidak bisa mati, tetapi hatinya sendiri perlahan-lahan sudah mati rasa. Anabelle hanya ingin beristirahat dan meninggal seperti manusia biasa, yah ternyata dia tidak sekuat neneknya yang bisa menanggung kekuatan ini begitu lamanya.
Karena itulah di malam puncak keputusasaannya, Anabelle menyerahkan kekuatan itu kepada Gabriel, lupa akan segala konsekuensi yang harus ditanggung oleh anak lelakinya itu ketika harus memegang kekuatan yang begitu besar.
Dan sekarang tubuhnya melemah, tanpa kekuatan kegelapan yang menopangnya, penyakit yang dulu tak bisa menyerangnya mulai berdatangan, fisik luarnya tampak muda, tetapi bagian dalam tubuhnya menua beratus-ratus kali lebih cepat..... dan dia langsung tak berdaya karena kanker yang menyerangnya,
Kanker yang sama yang sekarang ada di tubuh puteri tunggalnya, Sabrina. Semasa dia masih memegang kekuatan, Anabelle menyerap kesakitan Sabrina dengan kekuatannya, sesuatu yang tak boleh dilakukannya. Sebagai pemegang kekuatan, ada buku aturan semesta yang membatasi sang pemegang kekuatan agar tidak bertindak semena-mena. 

Dan salah satu aturan di situ adalah mengenai menyembuhkan penyakit. Sang pemegang kekuatan hanya boleh menyembuhkan penyakit yang tidak berujung kepada kematian. Untuk penyakit yang berujung pada takdir kematian, Sang Pemegang kekuatan dilarang menyembuhkannya, karena hal itu melawan apa yang disuratkan oleh takdir Tuhan, karena meskipun memiliki kekuatan yang luar biasa, sang pemegang kekuatan bukanlah Tuhan yang berhak mengatur hidup dan mati seseorang. Masalah hidup dan mati sudah diatur oleh kekuatan yang jauh di atas mereka, dan mereka tidak boleh mengubahnya. 

Sang pemegang kekuatan diperbolehkan meringankan dan menghambat beberapa penyakit ganas dengan mencampurkan darahnya ke aliran darah si penderita penyakit, tetapi dilarang untuk menghilangkan rasa sakit yang diderita oleh si penderita penyakit. Konsekuensinya sangat berat ketika dilanggar, sama seperti yang dirasakan oleh Anabelle sekarang,
Jika sang pemegang kekuatan nekad menghilangkan rasa sakit penderita yang disumbangkan oleh darahnya, maka penyakit ganas yang diidap oleh si penderita penyakit akan mengendap di dalam tubuh sang pemegang kekuatan, berhibernasi, menunggu untuk menggeliat bangkit ketika kekuatan kegelapan sudah tidak ada lagi di tubuh sang pemegang kekuatan.
Anabelle sudah jelas tahu konsekuensinya, jika dia nekad menyembuhkan Sabrina, maka dia akan melanggar aturan semesta yang berujung pada kutukan mengerikan berupa kutukan hidup abadi dalam kesakitan, serta kematian seluruh keturunan dan orang-orang yang dicintainya. Hal itu tidak mungkin dilakukannya, karena dia sangat mencintai anak-anaknya. 

Jadi yang bisa dilakukannya adalah menyumbangkan darahnya kepada Sabrina, puterinya yang menderita... dan melanggar aturan semesta dengan menghilangkan rasa sakit Sabrina, dia adalah seorang ibu, mana ada ibu yang tega melihat anak perempuan kecilnya mengerang-erang karena rasa sakit yang diderita. Sekarang Anabelle menanggung konsekuensinya karena setelah kekuatan kegelapan tidak menopangnya lagi, sel-sel kanker yang diserapnya dari tubuh Sabrina menyerang dan menggerogoti tubuhnya...

Seharusnya jalan termudah adalah memberikan kekuatan kegelapan itu kepada Sabrina, karena itu akan langsung menyembuhkan penyakitnya.  Sayangnya, Sabrina masih terlalu kecil sehingga tidak bisa diwarisi kekuatannya..... selain itu, Anabelle sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dia memang egois dan sekarang keegoisannya yang tanpa pikir panjang itu, membuat anak lelakinya menanggung beban yang begitu berat di pundaknya, membuatnya menyesal setengah mati.

"Carlos." Anabelle memanggil pelayan setianya - yang sekarang sudah menjadi pelayan Gabriel -  Carlos bukan manusia, dia adalah mahluk berwujud manusia abadi, yang dikutuk untuk mengabdi kepada sang pemegang kekuatan, tugasnya adalah melayani sang pemegang kekuatan dan menjaga buku kuno yang berisi aturan semesta. Carlos sendiri memiliki saudara kembar bernama Marco, sama-sama manusia abadi sepertinya tetapi mengabdi kepada kekuatan terang. Anabelle tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu sampai-sampai Carlos dan Marco ditakdirkan berseberangan seperti itu. Yang dia tahu bahwa dia bisa mempercayai Carlos untuk menjaga dan mengajari Gabriel.

Carlos langsung muncul dari bayang-bayang kegelapan. Anabelle memang bukan tuannya lagi, karena dia telah memindahkan kekuatannya kepada Gabriel, anaknya yang masih kecil yang sekarang mau tidak mau menjadi tuan tempat Carlos mengabdi.

"Kumohon jagalah Gabriel, ajari dia menggunakan kekuatannya..." Bahkan kata-kata sederhana seperti itupun sudah bisa membuat napas Anabelle melemah, kondisinya sudah benar-benar memburuk.

Tubuh Gabriel menegang, dia menatap mamanya dengan cemas, berlinangan air mata, "Mama mau kemana?" digenggamnya jemari rapuh Anabelle, "Jangan tinggalkan Gabriel, mama... Gabriel tidak akan bisa tanpa mama.."

Anabelle mencoba tersenyum meskipun seluruh tubuhnya terasa sakit, ditatapnya Gabriel dengan lembut,

"Kau pasti bisa, sayang. Kau adalah anak yang kuat.... kau pasti bisa bertahan...."

*** 

Hari ini adalah hari ulang tahun Anabelle, dan Gabriel sudah menyiapkan kue ulang tahun berwarna putih, warna kesukaan mamanya, dengan lilin berwarna-warni di atasnya, sebuah usaha yang menyedihkan untuk menceriakan suasana.

Gabriel menatap kue tart yang diletakkan di meja dapur itu, dan matanya melirik ke arah Carlos dengan muram.

"Dia... dia akan segera meninggalkan dunia ini bukan?" Gabriel berusaha tenang ketika membicarakan mamanya, tetapi tetap saja suaranya bergetar.

Carlos menghela napas panjang, menyadari bahwa tuan barunya hanyalah seorang anak kecil, anak kecil yang dipaksa menanggung beban kekuatan yang besar, dan dipaksa menghadapi kematian mamanya yang begitu cepat prosesnya.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, tuan Gabriel...Anda memang memiliki kekuatan penyembuh, tetapi butuh waktu lama untuk menguasainya, dan karena anda masih kecil, waktu yang dibutuhkan bahkan lebih lama lagi.... anda masih belum bisa menyumbangkan darah anda untuk menghambat penyakit mama anda makin ganas..."

Gabriel menundukkan kepalanya sedih. "Tapi kita harus melakukan sesuatu, aku tidak bisa membiarkan mama meninggal begitu saja."

"Yang harus anda lakukan adalah melaksanakan amanat mama anda, belajar menguasai kekuatan kegelapan dengan sempurna lalu melaksanakan tugas anda untuk menjaga keseimbangan dunia ini..." sahut Carlos hati-hati.

"Tidak!" Gabriel menyela keras kepala, matanya bersinar penuh tekad ketika menatap Carlos, "Katamu ada pemegang kekuatan terang yang menjadi sisi terbalik kekuatan kegelapan... apakah dia juga bisa menguasai kekuatan penyembuh?"

"Ya, namanya Matthias dan saudara kembar saya, Marco mengabdi kepadanya." nada suara Carlos berubah suram, "Tetapi kalau anda punya pikiran untuk meminta pertolongan kepadanya, maka akan percuma.... penyakit mama anda sudah mengarah kepada kematian, dan saya yakin, bagi Matthias yang sangat memegang teguh aturan semesta, menyelamatkan mama anda merupakan sebuah pelanggaran bagi aturan semesta."

"Tetapi dia tidak perlu menyelamatkan mamaku...." Gabriel bersikeras, "Dia bisa saja memberikan darahnya kepada mamaku untuk mempertahankan hidupnya, dan sambil menunggu aku menguasai ilmu penyembuhan, setelah aku menguasai ilmu penyembuhan... akulah yang akan memberikan darahku untuk mama..." Mata Gabriel begitu penuh harap, "Lagipula dia pemegang kekuatan terang bukan? bukankah kekuatan terang adalah kekuatan kebaikan yang berarti dia adalah seorang penolong?"

Carlos menghela napas panjang, sepertinya tuan barunya ini amat sangat keras kepala, dan tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengantarkan Gabriel menemui Matthias, meskipun sebenarnya, dia sudah tahu hasilnya. Matthias sudah pasti akan menolak Gabriel mentah-mentah.

***

"Aku tidak bisa membantumu." Matthias menatap anak kecil di depannya tanpa ekspresi. "Aku memang menghormati mamamu, tetapi kematiannya sudah dekat, semua upaya sudah terlambat, mencoba menolongnya hanya akan mendorong ke arah pelanggaran aturan semesta."

"Aku mohon kepadamu." Mata Gabriel berurai air mata, "Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan dia begitu menderita, aku mohon dengan sangat berikan darahmu untuk mamaku, itu akan meringankan penyakitnya.....setidaknya dia bisa menikmati hari ulangtahunnya." Gabriel berusaha tegar ketika memohon, meskipun matanya terasa panas ingin menangis membayangkan keadaan mamanya di rumah. Matthias adalah  satu-satunya harapannya, dan penolakan lelaki itu menghancurkan hati kanak-kanakknya.

Matthias menatap ke arah Gabriel, menyadari bahwa anak kecil di depannya ini adalah penerus kekuatan kegelapan, tetapi kemudian dia tetap menggelengkan kepalanya. Takdir Anabelle sudah kelihatan, dia akan meninggal hari ini, sudah tidak ada cara apapun untuk menyelamatkannya....seandainya saja Gabriel datang beberapa waktu yang lalu, mungkin saja Matthias masih bisa menyumbangkan darahnya untuk Anabelle, sayangnya semua sudah terlambat sekarang.

"Pulanglah." Matthias memalingkan muka, "Tidak ada yang bisa kau lakukan, ajal Anabelle sudah dekat dan lebih baik kau menghabiskan waktu mendampinginya di saat-saat terakhirnya daripada di sini dan memohon tanpa hasil."

"Aku mohon padamu!" Gabriel setengah menjerit, air matanya sudah mengalir dengan begitu deras di  tengah keputus asaan yang menderanya, "Selamatkanlah mamaku, aku mohon!" Lalu tanpa di duga, Gabriel berlutut dan bersujud di depan Matthias.

Matthias terkejut sampai berjingkat mundur, begitupun Carlos, dia langsung mendekat dan menyentuh bahu kurus tuan mudanya yang keras kepala, berusaha mencegah tuannya merendahkan diri sedemikian rupa.

"Bagun Tuan... anda tidak boleh berbuat seperti ini." Carlos berusaha membujuk tuannya bangkit, tetapi dengan keras kepala, Gabriel tetap bersujud dan memohon.

Matthias sendiri malah membalikkan badannya.

"Maafkan aku. Tidak ada yang bisa kulakukan. Pulanglah!" kali ini suaranya sangat tegas, lalu Matthias melangkah pergi dan membanting pintu di belakangnya. Tidak menyadari bahwa pada detik itu, dia telah mengubah anak kecil berhati polos menjadi musuh kuat yang menakutkan.

Gabriel terbangun dari posisi sujudnya, masih berlutut, matanya menatap nanar ke arah pintu yang tertutup di depan mukanya.... rasa kecewa dan putus asa membuatnya remuk redam.

Ternyata kekuatan terang bukan berarti kekuatan kebaikan. Kekuatan terang ternyata tak punya hati dan belas kasihan sama sekali!

*** 

Gabriel meletakkan kue putih dengan lilin warna-warni itu dengan hati-hati di atas meja di samping ranjang Anabelle,

"Selamat ulang tahun mama." suaranya serak, menahankan perasaannya.

Anabelle membuka matanya pelan-pelan, tersenyum haru melihat kue yang disiapkan putera tunggalnya itu dengan susah payah.

"Terimakasih sayang." gumamnya dengan napas tersengal, "Maukah kau meniupkan lilin itu untuk mama?"

Dengan patuh, Gabriel meniup lilin itu sampai padam, air matanya mengalir lagi ketika menatap mamanya yang begitu rapuh dan lemah, "Mama ingin mengucapkan permohonan?"

Anabelle tersenyum, lalu mengerang sedikit ketika merasakan kesakitan menderanya. Ya, dia tahu bahwa waktunya sudah dekat...

"Mama mohon... ketika kau sudah menguasai kekuatan penyembuhanmu nanti, kau memang dilarang menyembuhkan penyakit adikmu karena itu melawan takdir Tuhan, tetapi mama mohon, berikanlah darahmu untuk adikmu Sabrina... darahmu akan memperlambat sel-sel kankernya menyebar... setidaknya dia bisa hidup lebih lama, karena mama ingin adikmu hidup sampai remaja, menikmati indahnya dunia ini.." air mata Anabelle mengalir, "Meskipun Sabrina harus hidup dalam kesakitan, tetapi dia tetap berhak hidup..." dengan gemetar Anabelle meletakkan jemarinya di atas jemari Gabriel, "Jangan kau mencoba menghilangkan rasa sakitnya, seperti yang mama lakukan kepada Sabrina selama ini, itu akan membuat kita menyerap penyakitnya, dan ketika kekuatan kegelapan tidak menopang kita, penyakit itu akan langsung membunuh kita....mama tidak mau nasibmu berakhir seperti mama...."

Gabriel mengangguk, mencondongkan tubuhnya dan mengecup dahi Anabelle dengan lembut, dia bisa merasakannya, merasakan kulit Anabelle yang semakin lama semakin dingin, menandakan bahwa kekuatannya semakin lama semakin surut.

"Aku berjanji akan melakukannya, kau bisa tenang, mama..."

Anabelle memejamkan matanya, setetes air mata bergulir di sana. "Kuasailah kekuatanmu dengan sempurna, jadilah pemegang kekuatan yang terbaik seperti nenekmu... menjaga keseimbangan dunia ini..." suara Anabelle hilang tertelan napasnya yang tersendat, "Aku mencintaimu, Gabriel... anakku, maafkan aku karena memberikan beban ini kepadamu...."

Lalu suara Anabelle melemah, napasnya tersendat-sendat dan Gabriel bisa merasakannya, merasakan bagaimana kehidupan meninggalkan tubuh sang mama pelan-pelan, hingga akhirnya tidak ada sama sekali.

Ditatapnya tubuh mamanya yang sudah tidak bernyawa itu dengan penuh air mata, suaranya bergetar ketika memanggil pelayan setianya.

"Carlos."

Carlos langsung muncul dari bayang-bayang kegelapan, "Saya turut berduka, tuan."

Gabriel menganggukkan kepalanya sedikit, ada api di matanya, "Aku akan belajar menguasai kekuatan kegelapan itu dengan sempurna...dan setelah itu, aku akan membunuh Matthias."

Pada detik itu Gabriel sudah membulatkan tekad untuk menghancurkan kekuatan terang. Kekuatan terang adalah musuhnya. Gabriel tidak akan pernah memaafkan Matthias dan semua kekuatannya. Dia akan menghancurkannya.

*** 

[ Kembali ke masa sekarang ]

"Kita sudah sampai Tuan." suara supirnya yang ragu-ragu itu membuat Gabriel tersentak dari lamunannya tentang masa lalu. Gabriel mengerjap dan menatap ke luar jendela mobilnya, mereka ternyata sudah sampai di lobby mansion tempat tinggalnya. Mereka sepertinya sudah berhenti lama di sini, dan karena Gabriel tampaknya terlalu larut dalam lamunannya, supirnya pada akhirnya memutuskan untuk menegurnya.

"Terimakasih." Gabriel menganggukkan kepalanya sedikit kepada supirnya, lalu membuka pintu mobil dan melangkah menuju lobby mansionnya. Hujan masih turun deras, seperti tirai kelabu yang basah dan dingin di luar sana. 

Kue tart dan semua perayaan ulang tahun tadi telah membawa Gabriel kepada kenangan lama yang sekian lama ingin dilupakan, kenangan akan hari kematian mamanya...

Ya... Kekuatan terang akan selalu menjadi musuh besarnya, Gabriel tidak akan berhenti sebelum bisa memusnahkan kekuatan terang yang munafik itu. Matthias memang sudah dibunuhnya, tetapi itu belum membuatnya puas, Gabriel tidak akan berhenti sampai semuanya habis.

Dan sekarang ada Rolan yang pasti sedang menyiapkan diri di bawah arahan Marco...

Gabriel tersenyum sinis, hatinya memang jahat, tetapi dia adalah seorang petarung yang adil, akan ditunggunya sampai Rolan menguasai kekuatannya, baru setelah itu akan ditantangnya lelaki itu. Selain demi keadilan, Gabriel akan kehilangan kenikmatan bertarung kalau harus menghadapi musuh yang terlalu lemah.

Yah... perang antara dirinya dan Rolan akan segera tiba, hanya saja, dia masih belum tahu bagaimana nantinya peran Selly di antara mereka. Mungkin memang akan ada pengorbanan nyawa, mungkin juga tidak.

Apapun itu, Gabriel benar-benar tidak sabar menunggu Rolan siap untuk melawannya...

Bersambung ke Part 12

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 17, 2013 21:35

June 14, 2013

Another 5% Part 10



Jalanan cukup lancar, meskipun gerimis mulai deras di luar. Selly turun dari taxi dan membayar kepada supirnya, begitu keluar dari taxi Selly berlari-lari kecil menuju teras restoran yang terlindung dari gerimis. Rambutnya sedikit basah, tetapi tidak apa-apa, yang dicemaskan Selly adalah restoran mewah ini. Kalau Rolan tidak segera datang, Selly terpaksa harus menunggu sendirian di lobby sampai Rolan datang.
Diliriknya jam tangannya, Selly datang tepat waktu, jam menunjukkan pukul tujuh malam. Mungkin memang Selly harus menunggu sebentar, dia yakin begitu Rolan sampai di rumah sakit, lelaki itu pasti akan menghubunginya.
"Apakah anda ingin masuk?"
Sapaan itu membuat Selly menoleh, dan langsung bertatapan dengan pegawai restoran yang bertugas di depan. Pipi Selly memerah,
"Eh.. iya, saya sedang menunggu seseorang dulu." jawabnya cepat.
"Kalau anda sudah reservasi, anda bisa menunggu di dalam." pegawai restoran itu tersenyum ramah, "Apakah anda sudah melakukan reservasi?"
Selly ingat perkataan Rolan di telepon tadi bahwa dia sudah melakukan reservasi untuk makan malam pukul tujuh, "Saya.... pasangan saya bernama Rolan Andreas"
"Silahkan masuk dulu, sepertinya hujan akan turun deras di luar, saya akan memeriksa di daftar reservasi." Pegawai Restoran itu membuka pintu kaca besar yang berkilauan itu dan tersenyum ramah kepada Selly yang gugup.
Selly melirik ke arah langit, yang berkerjapan dengan cahaya-cahaya petir berkilauan. Benar kata lelaki petugas restoran itu, sepertinya hujan akan turun deras sebentar lagi dan mau tak mau, Selly harus berlindung ke dalam.
Dia masuk ke dalam ruang tunggu di lobby restoran yang hangat dibandingkan dengan di luar, dan menunggu. Tak lama kemudian, petugas restoran itu datang kepadanya bersama seorang pelayan,
"Mari nona, meja atas nama Rolan Andreas sudah kami siapkan. Pelayan kamu akan mengantarkan anda."
Kemudian pelayan itu menghela Selly memasuki ruang utama restoran, membiarkan Selly mengikuti langkahnya.
*** 
Gabriel sedang duduk dengan tenang di sofa ruang tengah rumahnya sambil membaca sebuah buku ketika Carlos memasuki ruangan.
"Ada apa Carlos?" Gabriel bergumam, tidak mengangkat matanya dari buku yang dibacanya.
"Saya ingin memberikan informasi baru tentang nona Selly dan Rolan, tuan."
"Informasi apa?" Gabriel mengangkat alisnya. Bukankah seperti yang dikatakan Selly tadi, saat ini dia akan menghabiskan waktunya untuk makan malam istimewa bersama kekasihnya? Sebenarnya sempat terbersit keinginan Gabriel untuk mengganggu keduanya, tetapi dia kemudian berpikir ulang dan membiarkannya, karena mungkin ini akan menjadi makan malam terakhir antara Selly dengan Rolan yang diliputi kebahagiaan, jadi biarkanlah mereka berdua menikmati kesempatan satu-satunya itu.
"Mereka sepertinya gagal untuk makan malam romantis malam ini."
Kata-kata Carlos menarik perhatian Gabriel, dia meletakkan bukunya di pangkuannya, "Kenapa?"
"Anda tahu, anda menugaskan saya untuk mengawasi nona Sabrina, malam ini dia mengalami serangan."
"Dan apa hubungannya dengan makan malam Selly bersama Rolan?"
"Saya tidak tahu nona Sabrina mempunyai rencana apa, tetapi dia mengalami serangan saat ini, kondisinya menurun drastis. Tetapi alih-alih memanggil-manggil nama anda seperti biasanya dan memohon dihilangkan kesakitannya, nona Sabrina memanggil-manggil nama tuan Rolan.... sepertinya nona Sabrina tahu hari ini hari istimewa dan ingin mengacaukannya dengan caranya sendiri."
Bibir Gabriel menipis. Sabrina.... adiknya itu benar-benar keras kepala dan tidak mempedulikan peringatan Gabriel untuk menjauh dari semua rencananya. Matanya bersinar kejam.
"Jadi Rolan datang ke rumah sakit?"
"Dan meninggalkan nona Selly menunggu di sebuah restoran."
"Hmm." Gabriel tidak bisa menahan senyumnya, keberuntungan ternyata berpihak kepadanya, kesempatannya datang begitu saja, dan itu semua bukan karenanya bukan? Rolan sendiri yang begitu bodoh dan mudah terpengaruh dengan semua rencana Sabrina.
"Aku tidak akan memberikan darahku untuk Sabrina malam ini." Mata Gabriel masih bersinar kejam, "Biar dia tahu, bahwa hukuman karena mencampuri urusanku adalah tidak mendapatkan darahku untuk menahan sel kankernya semakin ganas." Lelaki itu kemudian berdiri dan tersenyum kepada Carlos, "Siapkan mobil dan pakaianku, kurasa aku akan menghadiri makan malam, malam ini."
*** 
Rolan berlari melewati koridor rumah sakit, menuju ke ujung lorong tempat Sabrina dirawat, dan saking tergesanya, dia bertabrakan dengan dokter Beni yang melangkah keluar ruangan diikuti perawat-perawatnya.
"Rolan." dokter Benni menyapa, menoleh sedikit ke arah kamar Sabrina di belakangnya.
"Dokter? bagaimana kondisi Sabrina?"
"Dia sudah melewati fase kritis serangannya, tadi dia kejang-kejang hebat dan kehilangan kesadarannya, tetapi kami berhasil mengembalikannya. Sabrina kelelahan." dokter Benni tampak sedih, "Kau pasti tahu Rolan bagaimana rasanya. Dan dia memanggil namamu tadi."
"Bolehkah saya masuk dok?" Rolan tahu pasti rasanya, rasanya sakit sekali, dan setelah kejang usai, rasanya lebih sakit lagi, kelelahan luar biasa yang diikuti dengan rasa sakit disekujur tubuh. Dia sungguh beruntung karena terpilih untuk disembuhkan, sedangkan Sabrina rupanya tak seberuntung itu.
"Silahkan, tetapi jaga supaya pasien tetap tenang, jangan sampai dia lebih kelelahan lagi."
"Terimakasih dok." Rolan menganggukkan kepalanya, dan kemudian melangkah masuk dengan hati-hati ke dalam ruangan Sabrina.
Ruangan itu harum oleh aroma vanila yang manis, dan begitu sepi.... Rolan menoleh ke arah Sabrina yang terbaring lemah dengan mata terpejam di atas ranjang. 
Perempuan ini mungkin tertidur karena kelelahan....
Dengan pelan, Rolan meraih kursi dan duduk di dekat ranjang Sabrina, mengamatinya. Sabrina benar-benar pucat seputih kapas, dan sangat kurus, meskipun kecantikan masih tersirat di sana. Tiba-tiba saja Rolan teringat akan dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu, dan tahu pasti bahwa dulu kondisinya sama persis seperti Sabrina.
Bulu mata tebal Sabrina bergerak-gerak seolah mengetahui kehadirannya, perempuan itu lalu membuka matanya pelan-pelan, dan bibirnya tersenyum lemah ketika melihat Rolan sedang duduk di tepi ranjangnya dan mengamatinya.
"Rolan....?" Sabrina mendesah lemah, "Kau datang." Jemari lemah Sabrina terulur, seolah-olah ingin meraih Rolan.
Dengan lembut Rolan meraih jemari Sabrina, menggenggamnya, "Aku ada di sini, Sabrina."
Wajah Sabrina tampak sedih, "Tahukah kau bahwa penyakit ini sudah menyerang seluruh inderaku? Aku.. aku bahkan tidak bisa melihat segala sesuatunya dengan jelas, semuanya tampak samar-samar... dan aku takut..." air mata Sabrina menetes bening di pipinya, membuat Rolan tersentuh. Dia pernah mengalami rasa takut yang sama seperti Sabrina, ketika dia hampir kehilangan pendengaran dan pengelihatannya karena kanker otaknya, tidak mampu berjalan lagi karena tubuhnya seakan mati rasa, Rolan pernah merasakan ketakutan yang sama, bahkan ketika malam menjelang dan dia hendak tidur, dia sangat ketakutann, takut kalau-kalau ternyata esok hari dia sudah tidak bisa membuka matanya lagi.
"Jangan menangis Sabrina, kau kelelahan dan bingung, istirahatlah, aku akan menemanimu."
Sabrina meremas tangan Rolan dengan lemah, "Kau tidak akan meninggalkan aku bukan?"
Rolan menganggukkan kepalanya mantap, "Aku akan di sini Sabrina." Hujan turun dengan derasnya di luar, sepertinya malam ini akan badai, karena suara guntur sudah menggemuruh, membuat jendela kaca ruangan itu bergetar beberapa kali karena begitu kerasnya suaranya.
Rolan mengamati Sabrina, dan sedikit merasa tenang karena Sabrina sudah tidur pulas, tiba-tiba saja dia teringat pada Selly dan melirik jam tangannya, sudah jam delapan malam lebih, tadi dia minta Selly menunggu di restoran sejak pukul tujuh. Kekasihnya itu pasti cemas. Rolan harus segera ke sana..
Dengan hati-hati Rolan mencoba melepaskan pelan-pelan pegangan tangan Sabrina di jemarinya, dia akan meninggalkan Sabrina diam-diam, karena dia yakin perempuan itu akan tertidur pulas sampai esok pagi, apalagi setelah tubuhnya menyerap pengaruh obat yang diberikan dokter kepadanya.
Tetapi mata Sabrina terbuka kembali, berkaca-kaca dan penuh air mata dalam proses Rolan melepaskan jemarinya, perempuan itu terisak-isak histeris,
"Kau bohong Rolan, kau akan pergi...Kau akan meninggalkanku..." Sabrina setengah menjerit di tengah isakannya. Sementara itu Rolan teringat pesan dokter untuk selalu membuat Sabrina tenang. Sabrina sudah kelelahan karena serangan kejangnya dan dia bisa kehilangan kesadaran kalau terlalu lelah.
Sambil menghela napas panjang, Rolan duduk di pinggir ranjang, dan menghapus air mata Sabrina, "Maafkan aku, aku cuma ingin ke toilet."
Isakan Sabrina sedikit mereda, "Jadi kau bukannya akan meninggalkanku?"
"Bukan." Rolan meringis karena harus berbohong, tetapi dia harus melakukannya bukan? di depannya terbaring seorang perempuan lemah yang sepertinya sangat bergantung kepada kehadirannya, dan Rolan yang pernah mengalami kesakitan yang sama, tidak akan tega menyia-nyiakan perempuan ini. "Tidurlah, aku akan menjagamu."
Jemari lemah Sabrina meraih jemari Rolan dan menggenggamnya erat-erat, "Terimakasih Rolan." bisiknya lembut, lalu memejamkan matanya lagi.
Rolan sendiri duduk dan mengamati jemarinya yang digenggam dengan begitu erat oleh Sabrina, lalu dia menghela napas panjang, diraihnya ponselnya sambil melirik cemas ke arah hujan deras yang menghujan diiringi gempuran petir di luas. Dia tidak bisa menelepon Selly di sini karena akan mengganggu istirahat Sabrina, akhirnya dia mengirimkan pesan sms singkat kepada kekasihnya itu.
-Sayang, maafkan aku. Aku tidak bisa meninggalkan Sabrina, kondisinya parah. Kita ganti makan malam ini esok hari ya? Mencintaimu selalu -
*** 
Sudah jam delapan malam lebih. 
Selly melirik ke arah jam tangannya dan memandang cemas ke sekeliling, sudah satu jam dia menunggu Rolan dan kekasihnya itu tidak datang juga. Pelayan sudah bolak balik datang dan menanyakan mejanya. Ya... meja di restoran ini selalu tereservasi penuh, banyak sekali pasangan atau keluarga yang mengantri untuk makan malam di restoran yang elegan ini. Dan Selly yang hanya menunggu di meja, tanpa memesan hidangan dan hanya meminum air putih tentu saja merupakan sebuah in-efesiensi bagi pelayanan meja restoran itu.
Selly tahu kalau pasangannya diharapkan segera datang, kalau tidak Selly harus membatalkan reservasi dan meninggalkan restoran itu, karena meja yang dia duduki sekarang bisa digunakan oleh pasangan lain yang mengantri.
Tetapi bagaimanapun juga Selly harus menunggu Rolan bukan? Rolan menyuruhnya menunggu, dan Selly yakin kalau Rolan akan datang....
Seorang pelayan datang lagi menghampirinya untuk ketiga kalinya, 
"Mohon maaf nona, apakah nona sudah mulai akan memesan?" Itu adalah pertanyaan sopan bernada pengusiran halus, dan Selly tidak bisa menyalahkan pelayan itu karena dia akan melaksanakan tugasnya.
Pada saat yang bersamaan, ponsel Selly berbunyi dan dia membelalakkan matanya penuh harap ketika mengetahui bahwa pesan itu berasal dari Rolan, segera dia membuka pesan itu dan membacanya.
-Sayang, maafkan aku. Aku tidak bisa meninggalkan Sabrina, kondisinya parah. Kita ganti makan malam ini esok hari ya? Mencintaimu selalu -
Seketika itu juga dada Selly seakan dihantam oleh godam yang sangat kuat, membuatnya merasakan rasa nyeri yang menyiksa di sana. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, hari ulang tahun pertama mereka bisa merayakan bersama-sama tanpa Rolan menderita sakit... dan Rolan malahan menghabiskannya bersama perempuan lain...
Mata Selly berkaca-kaca, dia tahu bahwa dia seharusnya tidak boleh sedih ataupun marah kepada Rolan. Rolan melakukan ini semua pasti ada alasannya, dan dia percaya kepada Rolan, pasti kondisi Sabrina benar-benar buruk di sana, dan dia membutuhkan Rolan, lebih daripada Selly membutuhkannya.
"Nona? Bagaimana? Apakah anda akan mulai memesan, ataukah anda masih akan menunggu?" pelayan itu bergumam, menarik Selly dari kesedihan di dalam benaknya.
Selly mendongak, menatap pelayan itu dengan mata sedih, hendak mengatakan bahwa dia akan pulang karena pasangannya tidak jadi datang. 
"Saya... saya akan pulang. Maafkan saya, pasangan saya tidak jadi datang."
Seketika itu juga Selly menerima tatapan iba dari pelayan itu, yang membuat hatinya bagaikan diiris sembilu. Pelayan itu pasti tahu betapa Selly datang dan menunggu lebih dari satu jam lalu dengan harapan berbinar-binar hanya untuk kemudian dipupuskan begitu saja setelah menunggu sekian lama. Tiba-tiba saja Selly malu bukan kepalang,
"Selly?" sebuah suara familiar tiba-tiba terdengar di belakang Selly, membuat Selly menoleh dan bertatapan langsung dengan mata cokelat Gabriel yang dalam. Penampilan lelaki itu luar biasa, dengan setelan yang sepertinya dijahit khusus untuknya, rambutnya agak basah, mungkin karena menembus badai di luar dalam perjalanannya memasuki restoran. 
Bahkan pelayan itu ternganga kagum akan penampilan Gabriel, untunglah dia segera menguasai diri, pelayan itu tersenyum lebar kepada Selly dengan penuh perhatian,
"Saya rasa pasangan yang anda tunggu pada akhirnya datang." Senyum pelayan itu tampak tulus, "Sebentar, saya akan mengambilkan menu untuk kalian berdua." dan kemudian pelayan itu bergegas pergi, tidak mendengarkan Selly yang berusaha memanggilnya.
Setelah pelayan itu pergi, Selly menatap Gabriel dengan malu,
"Maafkan saya Sir. Pelayan itu mengira anda sebagai pasangan makan malam saya. Tetapi sebenarnya calon suami saya membatalkan acara makan malam ini, jadi saya akan pulang...saya rasa anda juga sedang menunggu pasangan anda, jadi saya akan ke sana dan menjelaskan kepada kepala pelayan restoran..." dengan gugup Selly hendak berdiri, tetapi jemari Gabriel menahan lengannya dengan lembut,
"Duduklah dulu Selly, aku tidak sedang menunggu seseorang jadi kau bisa jelaskan pelan-pelan." Dengan santai Gabriel duduk di kursi di depan Selly, menatap Selly dari seberang di bawah bayang-bayang lilin di antara mereka. "Jadi calon suamimu membatalkan makan malam kalian? kenapa? dari yang aku dengar darimu tadi siang, kalian sudah merencanakan makan malam ini..."
Selly menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kesedihannya, "Dia.. dia ada kepentingan mendadak di rumah sakit."
"Apakah calon suamimu sakit lagi?" Gabriel mengangkat alisnya, dan Selly langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat,
"Tidak, bukan begitu, ada seorang temannya yang menderita sakit parah sama sepertinya mengalami serangan malam ini, dan dia membutuhkan calon suami saya untuk menemani."
"Lebih daripada kau membutuhkan kehadiran calon suamimu untuk menemanimu di hari ulang tahunmu, eh? Bukankah itu berarti calon suamimu lebih memilih temannya daripada dirimu?" kata-kata Gabriel terdengar tenang, tetapi langsung menusuk ke dasar jiwa Selly membuatnya mengernyit.
"Saya tidak akan berpikiran seperti itu terhadap calon suami saya. Saya tahu dia melakukan apa yang menurutnya terbaik dan saya mendukungnya."
"Dengan membiarkanmu menunggu sendirian di restoran? berapa jam, Selly? satu jam? dua jam?"
"Jangan mencoba membuat saya berpikiran buruk pada suami saya." Selly menyela, suaranya terdengar tegas hingga membuat Gabriel terdiam, "Mohon maafkan saya...." Selly bergumam kemudian, menyadari kalau dia telah membentak bosnya sendiri, "Saya.. saya rasa sebaiknya saya pergi."
"Makan malamlah denganku, Selly. Aku kebetulan tidak ada teman dan kebetulan pula bertemu denganmu di sini, lagipula kau belum makan bukan? dan di luar hujan deras serta tidak ada taxi kau harus menunggu lama di depan dan pasti kebasahan." Tatapan Gabriel tampak tak terbantahkan, "Kita bisa menunggu badai reda sambil makan malam bersama."
Selly terpaku di tempat duduknya..... meragu. 
Apakah dia akan tinggal, ataukah dia akan pergi?

Bersambung ke Part 11

4 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 14, 2013 22:08

Crush In Rush Part 15





Ketika Kiara membuka matanya, Joshua ada di sana menatapnya. Semula Kiara membelalak ketakutan, merasa bahwa dirinya ada di dalam bagasi yang gelap, sesak dan tanpa udara. Tetapi kemudian Joshua memegang tangan Kiara yang panik dan menekannya lembut. Membuat Kiara menoleh kepadanya, menyadarkan dia ada di mana.
“Kemarin kau diculik Kiara, tetapi polisi menyelamatkanmu sebelum kau di bawa lebih jauh. Kau sekarang ada di rumah sakit, kau sudah selamat.” Joshua berbisik lembut, berusaha meredakan ketakutan Kiara, “Kau baik-baik saja Kiara.”
Kiara menatap Joshua dalam-dalam. Ingin rasanya dia menghambur ke pelukan lelaki itu dan menangis, tetapi kemudian seketika dia teringat akan kata-kata kejam Joshua kepadanya. Sebelum Kiara diculik, Joshua telah melecehkan dan merendahkannya. Dan sekarang apa yang dilakukan lelaki itu di sini? Akankah dia merendahkan Kiara lagi?“Aku tahu kata-kataku malam itu menyakitkan.” Gumam Joshua ketika Kiara berusaha menarik tangannya, membuat Joshua harus menahannya, “Maafkan aku Kiara. Aku menyesal, aku mengucapkannya karena aku marah...dan cemburu...”
Cemburu? Kali ini Kiara tertarik dengan perkataan Joshua, dia mengangkat matanya dan menatap Joshua dengan bingung. Cemburu? Joshua cemburu? Kepada siapa? Kepadanya?
“Ya. Aku cemburu kepadamu dan Jason... Aku...” Lelaki itu tampak salah tingkah dan kesulitan berkata-kata, “Aku sebenarnya menyimpan perasaan lebih kepadamu, entah sejak kapan yang pasti aku sadar ketika aku merasa tidak suka saat kau biasa-biasa saja ketika mengetahui aku akan keluar bersama Carmila.” Senyum Joshua tampak pahit, “Aku ingin kau marah, aku ingin kau setidaknya mengungkapkan kecemburuanmu. Tetapi kau bersikap datar kepadaku, membuatku sulit menebak apa yang sebenarnya kau rasakan.”
Bagaimana mungkin Kiara menunjukkan kecemburuannya kepada Joshua? Bagaimana mungkin dia berani? Joshua adalah majikannya, penolongnya, bagaimana boleh dia yang hanya seorang pelayan menunjukkan perasaan lebih kepada majikannya?
“Dan kemudian itu mendorongku untuk bersikap sedikit kekanak-kanakan.” Pipi Joshua tampak sedikit merona, laki-laki itu jelas-jelas merasa malu, “Tujuanku pergi bersama Carmila, menghabiskan waktu dengannya dan memperlihatkan ketertarikan kepada Carmila adalah untuk memancing rasa  cemburumu, aku ingin kau merasa cemas aku pergi dengan perempuan lain, aku ingin bisa menebak perasaanmu.” Joshua mengacak rambutnya dengan frustrasi, “Pada akhirnya, aku malahan yang menjadi korban kecemburuanku sendiri. Aku pulang mendapati rumah kosong, mencemaskanmu setengah mati hanya untuk mendapati kau pulang bersama Jason, tertawa-tawa dan berangkulan. Nampak begitu gembira, aku langsung menarik kesimpulan bahwa usahaku sia-sia. Aku pergi dengan Carmila seharian dan kau bahkan tidak memikirkanku sama sekali, malahan pergi bersenang-senang dengan Jason, hal itulah yang memancing kemarahanku.” Joshua menatap Kiara sungguh-sungguh.
“Kata-kataku kasar Kiara, dan yang pasti sangat menyakitkan, aku tahu kau akan sulit memaafkanku.” Joshua melanjutkan sambil menghela napas panjang, “Tapi satu yang harus kau tahu Kiara, semua perkataan itu hanyalah manifestasi kemarahanku, tidak ada satupun yang berasal dari hatiku. Bagiku kau adalah perempuan sempurna, lugu, polos, pekerja keras, mandiri, bisa bertahan dalam kesulitan dan terlebih lagi kau telah menyentuh hatiku yang paling dalam.” Dengan lembut Joshua mengecup jemari Kiara, “Mungkin ini akan terdengar sangat klise, dan mungkin kau tidak akan mempercayainya, tetapi aku mencintaimu Kiara.”
Kiara ternganga, kaget dan tak percaya. Joshua mencintainya? Mencintainya?
Apakah dia bermimpi? Kiara menyentuh pipinya yang terasa hangat, tiba-tiba merasa malu, bagian mana dari dirinya yang bisa dicintai oleh lelaki sesempurna Joshua? Bagaimana  mungkin Joshua bisa jatuh cinta kepadanya? Seorang pelayan udik yang kadang-kadang mempermalukannya?
“Dan aku tidak pernah bisa membaca perasaanmu.” Gumam Joshua lembut, “Matamu begitu polos dan aku berusaha mencari-cari makna cinta di baliknya, yang tidak pernah aku temukan.” Joshua menghela napas panjang, “Maka katakanlah padaku Kiara, bagaimana perasaanmu kepadaku?”
Wajah Kiara merona, memerah karena malu atas pertanyaan Joshua, atas tatapan matanya yang begitu intens kepadanya. Bibirnya gemetar ketika mencoba berbicara, sementara benaknya menelaah dirinya sendiri.
Bagaimanakah perasaannya kepada Joshua?
Kiara mulai sering membayangkan Joshua di malam-malam sebelum tidurnya, mulai merasa rindu jika lama tidak melihat Joshua, dan dia selalu merasa bahagia jika ada Joshua di dekatnya.
“Aku... Ketika kau pergi bersama Carmila, aku sebenarnya merasa sedih...dan murung, karena itulah Jason berbaik hati mengajakku ke taman hiburan.” Kiara bergumam pelan. Bingung bagaimana menjelaskan perasaannya.
Tetapi sepertinya itu sudah cukup untuk Joshua, lelaki itu mengangkat alisnya dan menatap Kiara tajam.
“Apa maksudmu kau merasa sedih ketika aku pergi bersama perempuan lain? Apakah kau...cemburu?”
Apakah Kiara cemburu? Apakah perasaan sakit seperti jantung diremas ketika membayangkan Joshua berdekatan dengan Carmila, menggenggam  tangannya dan merangkulnya itu adalah perasaan cemburu? Tiba-tiba Kiara menyadari kebenaran perasaannya, dia menganggukkan kepalanya.
Seketika itu juga Joshua bangkit dan memeluknya yang sedang terduduk di ranjang, lelaki itu duduk di tepi ranjang, tepat di hadapannya.
“Kalau begitu apakah kau mencintaiku?”
Lama, Kiara mengerutkan kening dan berpikir, menyiksa Joshua, membuat lelaki itu ingin mengguncangkan bahu Kiara, membuatnya berkata ‘ya’.
Tetapi kemudian bibir indah Kiara tersenyum dan perempuan itu menatap Joshua dengan lembut.
“Ya Joshua.”
“Ya apa?” Joshua masih tidak puas rupanya.
Kiara menelan ludahnya, “Ya Joshua, aku mencintaimu.”
Senyum lebar merekah di bibir Joshua membuat wajahnya berseri dan tampak begitu tampan.
“Dan aku juga mencintaimu Kiara.” Tatapan Joshua tampak mesra, “Dan kita akan menikah jadi kau bisa tinggal di apartment itu tanpa masalah?”
“Menikah?”
“Ya. Menikah. Kau mencintaiku, aku mencintaimu. Harus menunggu apa lagi? Kita harus segera menikah.”
Kiara tersenyum, “Lalu bagaimana dengan menjadi pelayanmu?”
Joshua menatap Kiara mesra, lalu mengerutkan keningnya menggoda, “Kau masih tetap menjadi pelayanku, tapi perkerjaanmu akan bertambah, karena kau juga akan melayaniku di kamar.”
Pipi Kiara langsung merah padam mendengar godaan Joshua itu, membuat Joshua terkekeh geli, dan kemudian meletakkan kepala Kiara ke dadanya.
Kiara memejamkan matanya, menenggelamkan diri di kenikmatan aroma Joshua yang maskulin dan menyenangkan. Mensyukuri diri bahwa lelaki yang memeluknya ini adalah lelaki yang mencintai dan dicintainya.
Kiara mengawali kehidupannya dengan pahit, menjadi anak yatim piatu yang tidak tahu asal usulnya, kemudian kejahatan orang lain membuatnya melarikan diri, mencoba hidup mandiri, memulai dari bawah dengan gigih dan mencoba bertahan di antara semua kesulitan. Sampai kemudian Tuhan mempertemukannya dengan Joshua, lelaki penyendiri yang baik hati dan menolongnya. Lelaki penyendiri yang kemudian membuatnya jatuh cinta.
Kiara tidak pernah menduga kehidupannya akan menemui jalan yang begitu membahagiakannya, pasti Tuhan begitu menyayanginya sehingga memberikan kekasih yang begitu sempurna, kekasih yang tidak pernah berani dibayangkannya sebelumnya.
Jemari mungil Kiara melingkari pinggang Joshua, dan lelaki itu makin mempererat pelukannya yang penuh cinta kepada Kiara.
Nanti, pada saatnya nanti masih ada banyak waktu terbentang di depan mereka untuk berpelukan setiap saat. Joshua akan memiliki Kiara di rumahnya, menjadi milik pribadinya, saling memiliki dengannya.
***
Jason yang berdiri diam di depan pintu hanya tersenyum melihat kedua sejoli itu berpelukan. Dia menghela napas panjang. Setidaknya, sahabat-sahabatnya telah bertemu dengan perempuan yang benar-benar baik.
Tiba-tiba benaknya bertanya-tanya kapan saat itu tiba untuknya? Akankah dia menemukan perempuan yang benar-benar baik? Ataukah dia akan selalu terkalahkan rasa takut dan traumanya yang membuatnya membenci dan berprasangka kepada perempuan?
Matanya melirik kearah Joshua yang sekarang mengecup dahi Kiara lembut dan mengernyit.
Dan kenapa setiap perempuan baik, yang tidak menyalakan alarm Jason selalu diambil oleh sahabatnya?
“Cemburu?” Sebuah suara lembut dan feminim membuat Jason tersadar dari lamunannya. Jason mengangkat kepalanya dan makin mengerutkan keningnya ketika melihat Deliah berdiri di depannya. Jason memang masih menganut aliran konvesional, dia masih belum bisa menerima ada seseorang yang tidak menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya dan kemudian mengubahnya, dengan kekuatan manusia. Itu hampir-hampir seperti bentuk kesombongan manusia kepada Tuhannya...
“Deliah.” Jason menyapa kaku, kemudian menegakkan tubuhnya, “Tentu saja aku tidak cemburu. Apa yang kau lakukan di sini?’
“Aku segera kemari setelah melihat berita televisi, bagaimanapun juga, meskipun baru sebentar bersama Kiara, aku peduli kepadanya.” Deliah mengintip hendak masuk, tetapi kemudian tidak jadi ketika melihat Joshua sedang tertawa dan bergumam mesra kepada Kiara, dia mengangkat alisnya dan bergumam kepada Jason, “Akhirnya Joshua kita mengakui perasaannya eh?”
Jason mengangkat alisnya, “Kau sudah tahu sejak lama perasaan Joshua kepada Kiara?”
“Aku sudah tahu bahkan sebelum Joshua menyadari perasaannya sendiri.” Deliah terkekeh, “Ketika dia membawa Kiara ke butik, tanpa sadar dia bersikap begitu posesif, matanya mengawasi Kiara seperti elang menunggu mangsa. Ketika itu aku sadar bahwa tinggal menunggu waktu saja sampai Joshua mengakui perasaannya.”
“Dan mereka pun bahagia bersama.” Jason tersenyum.
Deliah mengangguk, “Kapan giliranmu Jason?”
“Apa?”
“Aku dengar kau pembenci wanita. Bagaimana kalau dengan wanita yang ini?” Deliah menyulurkan jemarinya menyentuh lengan Jason.
Seketika itu juga Jason berjingkat mundur, menatap Deliah dengan wajah shock.
“Kau tidak sungguh-sungguh dengan rayuanmu bukan?” Jason bergidik.
Deliah tergelak melihat reaksi Jason.
“Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh.” Matanya menelusuri Joshua dan mencibir, “Aku sudah tentu akan menghindari lelaki yang wajahnya lebih cantik dariku.” Dan kemudian, sambil menebarkan aroma parfumnya yang wangi, Deliah berlalu meninggalkan Jason yang masih tertegun bingung.
Lama kemudian, Jason menyadari candaan Deliah dan tertawa. Dasar! Makhluk ajaib yang satu itu ternyata menggodanya.
Mata Jason melirik lagi ke arah dua sejoli yang tampaknya begitu diliputi cinta itu, lalu tersenyum simpul.
Waktunya sendiri akan tiba. Dia percaya akan menemukan perempuan baik hati, yang tidak jahat dan hanya menginginkan materi dan fisiknya, yang hanya diciptakan untuknya.
Keyna dan Kiara telah menyadarkannya bahwa tidak semua perempuan berhati jahat, masih ada di sana, tersembunyi di antara semua yang mencolok, perempuan berhati baik yang menunggu untuk ditemukan.

Saat untuk kisah cintanya sendiri pasti akan segera tiba. Jason hanya perlu mencari perempuan itu. Perempuan baik hati yang akan menyentuh hatinya yang kelam ini.
Bersambung ke Epilog Crush In Rush ( bonus halaman di novel Embrace The Chord)

2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 14, 2013 04:50

The Vague Temptation Part 1


Alexa sampai di rumah pukul tiga pagi, untunglah pemilik bar cukup berbaik hati menyediakan mobil jemput dan antar untuk gadis-gadis pramutamanya, kalau tidak Alexa mungkin harus menunggu matahari terbit sampai bisa menemukan kendaraan umum pulang ke rumahnya. 
Lagipula, dia harus segera tidur. Pukul enam pagi dia harus bangun, mempersiapkan sarapan dan makan siang untuk ayahnya, kemudian berangkat kerja. Ayahnya yang pengangguran itu pasti masih tidur pulas ketika Alexa berangkat bekerja, tetapi setidaknya Alexa sudah meninggalkan makanan untuknya.
Dia begitu lelah, dan kurang tidur. Benak Alexa terasa berat memikirkan hari esok, seharian di kantor, pulang jam lima sore, lalu segera berdandan untuk berangkat kerja lagi menjadi pramutama bar. Sungguh, hari-harinya terasa begitu berat.
Tetapi dia harus kuat. Ayahnya bahkan tidak mampu menopang dirinya sendiri, jadi Alexa benar-benar sendirian di dunia ini dan harus berjuang sendirian.
Mata Alexa tiba-tiba melirik ke arah tas tangannya, sambil duduk di tepi ranjang, dia membuka tas itu, mengeluarkan segepok uang yang dilemparkan lelaki dingin dan misterius itu ke pangkuannya.
Itu uang merah seratus ribuan yang tersusun rapi segepok, jumlahnya sepuluh juta rupiah....
Manusia mana yang dengan ringannya melemparkan segepok uang tanpa beban apapun? apakah lelaki bermata abu-abu itu adalah lelaki yang sangat kaya? Ya. pasti seperti itu, uang sepuluh juta rupiah mungkin tidak berarti apapun bagi lelaki itu, tetapi bagi Alexa uang itu sangat berarti....
Mereka harus bisa membayar cicilan hutang judi ayahnya di akhir minggu ini, kalau tidak rumah mereka akan disita oleh preman-preman kiriman itu.... uang yang ada di genggaman tangannya ini akan sangat membantu Alexa.
Alexa menatap uang itu di tangannya, menimang-nimangnya, lalu memasukkan kembali uang itu ke dalam tasnya setelah menghela napas panjang.
Entah apa yang akan dia lakukan kepada uang itu nantinya... apakah dia akan mengembalikannya? tetapi bagaimana caranya? mungkinkah lelaki bermata abu-abu itu akan kembali lagi nantinya?
***
"Apakah kau sudah pernah melihat wajah presiden direktur kita?" Rosa mencolek punggung Alexa dari belakang sambil tersenyum lebar, membuat Alexa yang sibuk menekuri data administrasi di komputernya menoleh kaget.
Ya, sekarang dia sedang berada di tempat kerjanya. Memainkan peran kehidupannya yang biasa, sebagai seorang pekerja kantoran, Alexa selalu berusaha memisahkan kedua perannya. Tidak boleh ada yang mengetahui bahwa setiap malam dia bekerja di sisi yang bertolak belakang, sebagai seorang pramutama bar, kalau sampai ada yang tahu, teman-temannya mungkin akan memandangnya sebelah mata, atau bahkan menghinanya sebagai perempuan murahan.
Seperti yang dilakukan oleh lelaki bermata abu-abu semalam....
Tanpa sadar Alexa mengernyit, biasanya dia selalu mudah melupakan semua kejadian buruk yang terjadi di tempat kerjanya di bar. Gina yang mengajarkan itu kepadanya, pekerjaan ini memang beresiko, kadangkala beberapa lelaki tidak bisa menahan diri untuk melecehkan mereka. Tetapi mereka harus segera melupakan kejadian itu keesokan harinya, dan melanjutkan hidup, masuk bekerja lagi dengan tersenyum. Kata Gina tidak ada gunanya memikirkan kesakitan terhadap harga diri mereka, karena pekerjaan mereka memang membuang harga diri.
Tetapi entah kenapa hinaan lelaki bermata abu-abu kemarin terasa menyengat Alexa lebih dalam daripada yang dia kira. Mungkin karena hinaan itu diucapkan dengan rasa jijik dan muak sepenuh hati.
Lagipula Alexa masih bertanya-tanya... lelaki itu jelas-jelas meminta untuk ditemaninya secara spesifik, berarti adakah kemungkinan lelaki itu mengenalnya?
"Alexa?" Rosa kali ini menepuk bahunya, "Kau tidak apa-apa?"
Alexa membetulkan letak kacamatanya dan memutar kursinya, lalu tersenyum kepada Rosa,
"Aku tidak apa-apa Rosa, mungkin sedikit kurang tidur."
Rosa menatap wajah Alexa, lalu mengerutkan keningnya, "Kau memang tampak sedikit pucat." Lalu dalam sekejap dia melupakan pembahasan tentang kondisi Alexa dan membungkukkan badannya, siap bergosip, "Kau tahu tidak tentang gosip yang beredar akhir-akhir ini?'
"Gosip?" Alexa membelalakkan matanya, menatap bingung, "Tentang apa?"
Rosa mengerucutkan bibirnya, "Yah, berarti dari tadi aku berbicara panjang lebar kau tidak mendengarkan ya..." perempuan itu mengangkat bahunya, "Katanya kita punya presiden direktur baru. Presiden Direktur sebelumnya mengundurkan diri karena alasan kesehatan." suaranya merendah, "Yang perlu kau tahu, sepertinya keluarga owner perusahaan kita ini sedang heboh, karena yang ditunjuk untuk menjadi presiden direktur berikutnya adalah anak haram dari sang presiden direktur, alias cucu haram owner perusahaan."
"Cucu haram?" Alexa terkejut, tetapi lebih kepada pengetahuan Rosa akan gosip terbaru seputar pemilik perusahaan mereka. Rosa memang selalu menghabiskan waktu luangnya untuk mengorek informasi, lalu bergosip kesana kemari, karena itulah Alexa sebetulnya berusaha menjaga jarak terhadap Rosa, karena akan sangat menakutkan kalau Rosa mengetahui pekerjaan malamnya di bar. Bisa-bisa kabar itu tersebar sekaligus dilebih-lebihkan sampai ke seluruh penjuru kantor. Sayangnya, pada saat-saat tertentu Alexa memang tidak bisa menghindari Rosa karena mereka sama-sama staff administrasi dan berada di ruangan yang sama.
"Yap cucu haram. Presiden Direktur kita ternyata tidak sesuci yang ditampilkannya, dari gosip yang kudengar, dia mempunyai anak haram dari kekasih gelapnya, ketika kekasih gelapnya meninggal, dia membawa anak lelaki haramnya itu ke keluarganya, menimbulkan kehebohan... apalagi pak Presiden Direktur kita mempunyai anak lelaki dari isteri resminya yang sebaya. Bisa kau bayangkan bukan persaingan di antara mereka?"
Alexa mengangkat bahunya, "Kalau begitu si cucu haram sudah memenangkan persaingan, bukankah dia berhasil diangkat menjadi Presiden Direktur menggantikan ayahnya?"
"Belum tentu." Rosa tampak bersemangat, yah gosip memang selalu membuat perempuan itu bersemangat, "Sepertinya masih terjadi protes besar-besaran dari pihak keluarga mengenai keputusan itu, kita lihat saja nanti... cuma yang pasti, presiden direktur kita yang baru akan datang besok pagi, dan semua orang bertanya-tanya seperti apa wajah si anak haram yang tiba-tiba menjadi putera mahkota itu."
Alexa merendahkan suaranya, 'Hati-hati Rosa, kita bisa dipecat kalau menyebut bos kita sebagai anak haram."
Peringatannya itu bukannya membuat Rosa takut malahan membuatnya terkikik geli, dia merendahkan suaranya dan setengah tertawa, "Tentu saja aku tidak akan berani memanggilnya seperti itu di depannya, tetapi mumpung dia belum datang, akan kupuaskan diriku menyebarkan gosip ini ke semua orang."
Dan kemudian sambil bersenandung, Rosa meninggalkan Alexa. Alexa menatap kepergian Rosa dan menghela napas panjang. Percakapannya tadi benar-benar membuatnya semakin yakin, bahwa Rosa adalah penyebar gosip yang menakutkan dan Alexa harus berhati-hati kepada rekan kerjanya itu.
*** 
Tepat pukul enam sore Alexa tiba di rumahnya, dia membuka pintu rumahnya dan mengerutkan kening, 
Kenapa rumahnya gelap?
Biasanya ayahnya sedang duduk menonton TV dan memakan makanan yang ditinggalkan Alexa ketika dia pulang, tetapi kali ini suasana rumah gelap dan sunyi.
Dengan hati-hati Alexa melangkah masuk ke dalam rumah,
"Ayah?" dipanggilnya sang ayah, tetapi tidak ada sahutan sama sekali. Dengan was-was, Alexa menyalakan lampu rumahnya satu per satu, setelah rumah terang dan sedikit menenangkan, Alexa melongok ke kamar ayahnya.
Ternyata ayahnya sedang tidur pulas di kamar, Alexa menghela napas panjang dan menutup kembali pintu kamar ayahnya, lalu termenung sedih sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.
Dulu ayahnya tidak seperti ini, tetapi setelah kematian ibunya yang tragis, ayahnya larut dalam mabuk-mabukan dan berjudi, terjatuh dalam kubangan kepedihan yang pada akhirnya menggerogoti dirinya sendiri hingga tidak ada siapapun yang bisa menolongnya.
Hati Alexa selalu tersayat melihat kondisi ayahnya, merasa pedih yang luar biasa, tetapi apalah dayanya? dia tidak bisa melakukan apa-apa, ayahnya sendirilah yang menghancurkan dirinya sendiri dan apapun yang sudah Alexa lakukan, sang ayah sepertinya sudah tidak mau ditolong olehnya.
Dengan jemari gemetar, Alexa mengusap setetes bening yang mengalir tanpa sadar di sudut matanya. 
Dia tidak boleh menangis. Dia harus tegar.
Diliriknya jam di dinding, mobil jemputan yang akan mengantarkan dirinya dan pramutama bar yang lain akan datang setengah jam lagi, Alexa harus bergegas, berdandan dan juga meninggalkan makan malam untuk ayahnya.
Tidak ada waktu untuk bersedih bagi Alexa.
*** 
Setelah menuangkan sup panas ke mangkuk dan meletakkan ayam goreng di piring, Alexa menutup tudung saji ke atas makanan yang diletakkan dengan rapi di meja dapurnya itu.
Aroma harum memenuhi ruangan dapur, dan untunglah Alexa sempat makan semangkuk nasi berikut sup hangat yang cukup menyegarkannya.
Dia sempat batuk-batuk tadi, dan badannya terasa tidak enak, mungkin dia memang kelelahan dan juga paru-parunya protes karena tiap malam selalu disesaki oleh udara bar yang penuh dengan asap rokok.
Alexa menatap makanan yang disiapkannya di meja itu untuk ayahnya dan tersenyum puas, setidaknya setelah ayahnya bangun dari tidur, sudah ada makanan hangat yang menantinya...
Dengan hati-hati Alexa melangkah menuju ke kamarnya, dia harus bersiap-siap cepat sebelum mobil jemputan itu datang. Dengan gerakan gemulai, Alexa melepaskan ikatan rambut dan kacamatanya, lalu memasang contact lens di matanya. Tentu saja dia tidak bisa menggunakan kacamata ketika bekerja di bar, jadi sebagai gantinya Alexa memasang contact lens untuk membantu pengelihatannya, karena pandangannya cenderung kabur kalau tidak memakai kacamata.
Dioleskannya lipstick merah di bibirnya, diriasnya wajahnya dengan riasan yang sedikit tebal, setelah itu Alexa menatap wajahnya di cermin dan mengernyitkan keningnya.
Tidak ada lagi Alexa yang polos dan perempuan baik-baik yang bekerja sebagai staff administrasi di kantornya. Yang ada sekarang hanyalah Lexa, perempuan penuang bir yang akan menemani laki-laki minum di dalam bar.
Alexa menghela napas panjang, kemudian dia meraih tasnya, sedetik dia tertegun menyadari uang sepuluh juta itu masih ada di sana.
Akankah dia membawanya? Ataukah dia meninggalkannya? Tetapi ada kemungkinan lelaki bermata abu-abu itu akan kembali bukan?
Sejenak Alexa meragu, tetapi kemudian dia memutuskan untuk membawa uang itu. Dia bisa menyimpan tasnya di locker khusus karyawan yang aman. Setidaknya kalau lelaki bermata abu-abu itu kembali, Alexa bisa mengembalikan harga dirinya dengan melemparkan uang itu kembali ke muka lelaki itu.
Alexa memang butuh uang, sangat butuh. Tetapi dia tidak bersedia direndahkan hanya demi segepok uang.
*** 
Seperti biasa bar itu tidak pernah sepi, padahal bukan di akhir minggu. Pengunjung bar kebanyakan lelaki ataupun pekerja yang mencari waktu untuk bersantai dan melepas kepenatan.
Alexa berdiri di dekat bar, mengamati seluruh pengunjung berusaha mencari lelaki bermata abu-abu itu, tetapi dia tidak menemukannya.
"Kulihat pelayananmu kepada tamu yang memintamu khusus kemarin tidak berakhir baik." Denis, sang bartender tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya, ikut mengamati ke sekeliling bar, "Aku melihatnya pergi dengan wajah marah meninggalkanmu."
Alexa tersenyum dan menatap Denis. Lelaki itu cukup baik kepadanya dan pramutama bar, dia bersikap sopan dan tidak pernah melakukan hal-hal yang lebih. Sepertinya Denis menyadari bahwa semua gadis pramutama melakukan pekerjaan itu didorong oleh alasan ekonomi, sehingga dia tetap menghormati mereka. Karena itulah Alexa cukup nyaman bercakap-cakap dengan Denis, dia bahkan sudah menganggap Denis seperti kakaknya sendiri.
"Dia menciumku dengan paksa, memanggilku pelacur, melemparkan uang kepadaku dan pergi begitu saja." Alexa menghela napas panjang, "Dan seperti yang kau bilang, pelayananku tidak berhasil."
Mata Denis menyala, "Dia melecehkanmu? kalau begitu kenapa kau tidak memanggil bodyguard untuk membereskannya?"
Alexa mengangkat bahunya, "Kejadiannya begitu cepat, Denis, ketika aku menyadari bahwa aku dilecehkan, dia sudah menghilang dari pandangan."
"Lain kali hati-hati Alexa, aku melihat lelaki itu berpakaian seperti orang kelas atas, tetapi kita memang tidak bisa menilai orang dari penampilannya, kadangkala penampilan bisa menipu."
Alexa menganggukkan kepalanya. Dan kemudian matanya masih menatap ke arah kerumunan orang-orang yang memenuhi bar.
Lelaki itu tidak ada...
*** 
Malam beranjak semakin larut, dan Alexa pada akhirnya berhasil membebaskan diri dari lelaki mabuk yang ditemaninya tadi.
Lelaki itu sepertinya terlalu banyak minum dan mulai meraba-raba pahanya, dan Alexa langsung berdiri, berpamitan hendak ke toilet sebelum lelaki itu bertindak lebih jauh dan membuat keributan di dalam bar.
Dengan langkah tergesa, menahankan muak di dadanya ketika mengingat rabaan tangan kasar itu di pahanya, Alexa menembus kerumunan orang, menuju lorong samping ke area toilet.
Baru beberapa langkah dia berjalan di area yang sepi itu ketika sebuah jemari mencekal lengannnya, membuatnya memekik dan menoleh ketakutan terhadap siapapun yang bertindak kasar kepadanya. 
Mata Alexa membelalak, dia ternganga karena berhadapan kembali dengan lelaki bermata abu-abu itu. Tatapan lelaki itu masih sama, penuh kemarahan dan kebencian yang kental, serta rasa muak ketika menatap penampilan dan dandanan Alexa yang menor.
"Dasar pelacur kecil! Aku memberimu uang itu supaya kau berhenti merendahkan dirimu, tetapi ternyata kau tetap kembali lagi kemari." suaranya mendesis, sepertinya menahan marah, lalu tiba-tiba dia menarik Alexa setengah menyeretnya, "Ayo! Kau sudah tidak boleh lagi bekerja di tempat seperti ini!"

Bersambung ke part 2
2 likes ·   •  2 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 14, 2013 04:48

June 13, 2013

Voting untuk usulan nama Romeo's Lover

Halo sayangku semuanya

Aku akan mengadakan voting lomba untuk usulan nama Romeo's Lover alias kekasihnya Romeo. Draft Romeo's Lover memang sudah hampir beres, tapi selama ini untuk kekasih Romeo sendiri masih menggunakan nama sementara hehehehe

Silahkan kirim usulan nama yang kalian ajukan ke :

Email :  anakcantik3@gmail.com -----> hanya email ini yang dibuka untuk lomba :)
Subject Email : Usulan Romeo's Lover
Isi email :
Usulan Nama  Romeo's Lover : [ boleh nama panggilan boleh nama lengkap ]
Nama + alamat pribadi ( untuk kirim hadiah )





Sertakan juga nama dan alamat masing-masing ya ^__^
akan aku pilih lima nama yang paling bagus untuk di voting all readers
Yang mendapatkan voting paling banyak akan mendapatkan hadiah khusus dariku yaitu :


*Sebuah Novel Embrace The Chord dan Sebuah Novel Another 5% yang sudah ditandatangani*
Email untuk usulan nama ditunggu sampai dengan tanggal 20 Juni 2013
Kemudian akan diseleksi lima nama yang terbaik, untuk kemudian di votingkan dari tanggal 21 Juni 2013 sampai dengan 30 Juni 2013 

Pemenang akan diumumkan tanggal 1 Juli 2013

Ayo kirimkan nama favoritmu untuk menjadi kandidat kekasih Romeo di buku Romeo's Lover ^__^ (kirim nama sendiri juga boleh xixixixi)

oh yaaa satu pengirim hanya boleh mengusulkan satu nama yaaa

Selamat mencari namaaaa

*penulis yg tidak bertanggung jawab dan meminta readersnya mencarikan nama, kabuuurrr duluuu hehehehe*


Salam hangat dan peluk erat
Santhy Agatha

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 13, 2013 03:23

Edisi Tanya Jawab Dengan Penulis

Ada beberapa pertanyaan untuk penulis yang masuk ke email, blog, twitter dll :) Sementara aku pilih 7 pertanyaan untuk dijawab di sini yaa, kenapa 7 pertanyaan.... eh kenapa ya biar pembacanya ga bosen aja yah takutnya kebanyakan hihihihihi  selamat membaca postinganku yang tidak jelas ini, kalau tertarik membaca silahkan klik link "Baca Selengkapnya" kalau kiranya ga suka langsung dilewati aja postingan ini hihihihi  ^__^

1. Mba Santhy kenapa setting tempatnya selalu samar-samar? Kenapa tidak pernah dijelaskan di kota A, kota B, misal kantornya di jalan Sudirman Jakarta, atau posisi lagi di Stasiun Gambir, atau penjelasan eksplisit lainnya tentang lokasi kisahnya? [ pertanyaan by adyia via gmail ]Jawab : Sebenarnya dulu aku mau menjadikan ciri khasku, jadi hampir tidak pernah ada penjelasan eksplisit tentang tempat kejadian perkara ( walaah kenapa TKP nyebutnya? hihihihi). Aku ingin semua readers bisa membayangkan bahwa kisah itu bisa terjadi di dekat mereka, bahkan di kota mereka masing-masing. Jadi mohon maaf ya karena aku hal ini membuat readers susah memvisualisasikan bayangan mereka tentang setting latar tempat :). Satu lagi alasanku, aku punya visi ketika novel-novelku ini dibaca generasi anak cucu beberapa puluh tahun mendatang ( mimpiii hihihihi) rasanya masih pas dan nggak terkesan kuno :D maka dari itu aku juga sama sekali tidak pernah menyebut merk elektronik, merk mobil dll karena mobilitasnya sangat cepat berganti seiring perkembangan waktu.



2. Mba Santhy kalau bikin satu novel waktu yang dibutuhkan berapa lama? [ pertanyaan by sinta via email blog ]Jawab :Tergantung hehehehe. Benar-benar tergantung mood, kondisi kesehatan dan waktu yang ada. Kalau lagi sehat dan ada waktu serta suasana mendukung bisa menghasilkan lima bab dalam satu malam :) kalau lagi ga fit bisa aja seminggu pun ga menghasilkan sepatah katapun hehehehe... tapi kalau pas lancar, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 bab ( semisal Dating With The Dark, format times new romans ukuran font 9 setebal 15 halaman words ) kira-kira 2 sampai 3 jam ( termasuk makan, minum, bikin kopinya) tapi ga bisa kalau ada TV atau suara-suara lain soalnya merusak konsentrasi, bahkan mendengarkan musikpun kalau musiknya ga pas juga bisa mengganggu. Butuh suasana yang hening buat menulis, biasanya sih malam minggu kalau sudah lewat tengah malam adalah waktu paling pas buat begadang dan menulis :)



3. Mba Santhy gimana caranya bikin novel tetapi nggak berhenti di tengah jalan, aku biasanya begitu pas di awal menggebu-gebu pas ditengah-tengahnya tiba-tiba malas dan terbengkalai. Trus kadang bingung juga mau bikin endingnya kayak gimana, kisah ceritanya kemana-mana. Tolong ajarin aku dong mba biar bisa nulis lancar...  [ pertanyaan by Vira lewat facebook ]Jawab :Tergantung. Kalau aku selalu memegang peraturan, untuk naskah yang akan diterbitkan dan jumlahnya lebih dari sepuluh bab, aku selalu membuat kerangka karangan untuk membantu, seperti di pelajaran bahasa Indonesia dulu dear, Kerangka karangan akan membantu kita menyusun plot, memberikan twist yang mengejutkan, membuat ending tiap babnya bikin kentang ( hihihihi) dan juga mencegah kisah kita berputar-putar atau melebar kemana-mana. Dan juga bikin kita lebih cepat lho dalam mengerjakan novel. Tapi ada beberapa novel yang aku sengaja nggak pake kerangka karangan, jadi tergantung suasana hati mau membawa alurnya kemana, beberapa kisah di blog ini dibuat tanpa kerangka karangan, contohnya Menghitung hujan :)



4. Mba Santhy kenapa sukanya bikin tokoh cowoknya yang kaya, yang bule atau berkuasa gitu? [ pertanyaan by cindy, eka dan desy via email demondevile ]Jawab : Hahahhaha kalo ditanya begini bingung jawabnya. Mungkin karena aku penulis manja ya, kalo cowonya kaya, kita ga perlu ribet menceritakan cowo itu kalo jemput pake mobil uangnya dari mana, cowo itu kalo ngajak makan di restoran uangnya dari mana. Memang kalau latarnya cowo kaya, akan lebih mudah membuat plot untuk menyenangkan tokoh ceweknya (kedip-kedipin mata) dan satu lagi, kalau tokoh cowonya kaya, akan lebih mudah juga menciptakan dan menarasikan sisi arogan dan dingin, kalau perlu kejam dari si cowo ------> karena tipe2 cowo arogan, nyebelin, begini adalah karakter kesukaanku untuk kutulis di novel hihihihi maapkan yaaaa....aku janji akan berusaha belajar untuk menciptakan karakter berbeda yang bisa juga disukai oleh pembaca



5. Bagaimana mba Santhy menanggapi kalau ada yang mengkritik, mencela atau bahkan menghujat tulisan mba Santhy? [ pertanyaan by Veronica Adnan : Via bbm ]Jawab :Dimana-mana memang lebih mudah menanggapi pujian daripada kritik :) Tapi bagaimanapun juga, semua orang berhak kok menghujat, mengkritik dan memaki karya yang tidak disukainya... hanyaaa ( ada hanya-nya ya) ketidaksukaan terhadap karya tersebut seharusnya ga usah dibawa ke emosi pribadi, misal jadi ga suka sama penulisnya, jd mencaci kepribadian penulisnya dst karena itu sudah diluar konteks kritik terhadap karya. Aku pribadi selalu memegang teguh keyakinanku, bahwa aku tidak akan pernah menghina, mencaci atau menjelek-jelekkan penulis lain, entah dalam sindiran, atau mengatakan tidak langsung atau dengan ungkapan-ungkapan yang tidak enak. Ada bedanya antara kritik yang membangun antara sesama penulis dengan kritik yang menjatuhkan dengan niat tidak baik :) Aku pribadi selalu menganggap setiap karya seseorang baik adanya, karena bagaimanapun juga itu merupakan buah karya yang dibuat sepenuh hati, kalaupun mengkritik pastilah akan diberikan kritik yang membangun, sebagai seorang penulis tidak perlu menjelek-jelekkan penulis lain hanya untuk menekankan bahwa dirinya lebih baik. Jadiii kalau aku menanggapi semua kritik, makian, cacian dll aku sambil senyum aja hihihihi yang kulakukan sama seperti kalau menanggapi pujian, karena semua adalah demi keseimbangan, ada dua pepatah yang selalu kupegang dalam menghadapi kritik :
"Pujian adalah untuk melambungkan kita setinggi langit, dan cacian adalah untuk menjejakkan kaki kita kembali ke bumi ketika kita sudah mulai lupa diri"
"Seorang kritikus yang baik adalah kritikus yang memberikan kritik demi membangun pihak yg dikirik supaya menjadi lebih baik =====> tanggapan : langsung instropeksi diriSedangkan kritikus yang mengkritik demi mencari-cari kesalahan dan menjatuhkan, apalagi ketika dipenuhi oleh emosi pribadi ====> tanggapan : sungguh kritikus yang menyedihkan, langsung diabaikan saja."
hihihihi semangaatttt ayo kita berusaha menghasilkan karya yang baik sekaligus menghargai karya orang lain ^__^



6. Menurut mba Santhy, tokoh dalam novel mba itu mana yang kepribadiannya paling mirip dengan karakter suami mba ( om Irawan )  [ pertanyaan by Rosy K via twitter ]Jawab :Azka!! hehehehehehe meskipun suamiku bukan pemilik restoran T__T tp tetep deh bagiku suamiku yang paling ganteng ( lhoo malah ngelantur ). Yappp Azka dalam "You've Got Me From Hello" adalah tokoh yang karakter dan kisah cintanya paling mirip denganku. Psstttt apakah kalian sadar bahwa Sani di "You've Got Me From Hello" adalah seorang penulis yang hobi begadangan?



7. Mba Santhy kenapa sudut pandang ceritanya selalu memakai orang ketiga? kenapa bukan sudut pandang orang pertama seperti twilight atau 50 shades yang pake "aku" ?Jawab :Hehehe memang karakter penulisannya seperti itu yaa... aku cukup susah kalau menulis karakter dengan sudut pandang orang pertama yaitu menggunakan kata "Aku". Kenapa? karena aku sangat suka memutar sudut pandang, contohnya di Arsas, sudut pandang bisa berputar dari sisi Serena, tiba-tiba berubah menjadi sudut pandang Damian. Berbeda dengan di Twilight Saga misalnya, semua sudut pandang berasal dari Bella, kita mengenali karakter Edward dll hanya dari pendapat atau dari mata Bella.Tahukah kalian bahwa sudut pandang orang ketika juga sering disebut sebagai "Sudut Pandang Tuhan?" karena ketika penulis menulis dengan sudut pandang orang ketiga, penulis bagaikan Tuhan, yang sedang memainkan kisah-kisah anak manusia di dalamnya, yang mengetahui rahasia hati terdalam setiap tokohnya, aku suka berperan sebagai 'dalang' yang menjadi orang luar dalam kisah dan sebagai pencerita masing2 karakter tokoh2ku  heheheTapi bagaimanapun juga, aku salut dengan setiap penulis yang berhasil menceritakan kisahnya dari sudut pandang orang pertama, menurutku mereka adalah penulis yang hebat dengan teknik yang luar biasa, karena sudut pandang orang pertama bagi aku pribadi lebih rumit dan susah lho dibanding dengan sudut pandang orang ketiga.
waaa sudah selesai 7 pertanyaan, terimakasih buat yang bertanya, semoga jawabannya memuaskan yaa. Buat all readers maafkan postinganku yang ga jelas ini *kabuuuuurrr hehehehe
*Salam hangat dan peluk erat*Santhy Agatha


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 13, 2013 02:47

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.