Santhy Agatha's Blog, page 5
June 27, 2013
The Vague Temptation Part 5
[image error]
PS : maaf buat yang melihat perdana kalau menemukan banyak typo td tidak sengaja terpublish sebelum di dedit T__T ini sudah dikoreksi semoga tidak ada lagi ya
Dua orang tunangan??
Siapa pula yang ingin memiliki dua tunangan di dunia ini? Satu saja Alexa tidak pernah membayangkan, apalagi sampai dua...
Alexa menatap ke wajah-wajah di seluruh ruangan itu, dan merasa bingung. Semua mata menatap ke arahnya, dan Alexa seakan didesak untuk memilih, belum lagi mata abu-abu Daniel menatapnya dengan ancaman yang tersirat.
Daniel pasti mencoba mengingatkan Alexa bahwa dia harus membalas budi kepada Daniel karena Daniel telah memberikan uang yang begitu banyak di rekeningnya....
Tetapi Alexa juga teringat kata-kata Nathan, bahwa dia harus bersikap adil kepada Nathan, bahwa Nathan berhak diberi kesempatan untuk bersaing secara fair....
Wajah Alexa semakin pucat, bingung. Kalau dia memilih, bukankah itu berarti dia memilih untuk masa depannya? Dia harus menikah dengan lelaki pilihannya itu bukan?Tunggu dulu! Apakah tidak ada kesempatan bagi Alexa untuk menolak pertunangan ini? Dia tidak mungkin mau begitu saja menerima perjodohan ini bukan? Alexa kan berhak menentukan calon suaminya sendiri?
"Apakah... apakah saya tidak bisa menolak pertunangan ini saja?" gumam Alexa akhirnya, merasakan tatapan tajam menusuk punggungnya dari si mata abu-abu.
Albert Simon langsung menggelengkan kepalanya,
"Sayangnya tidak bisa, Alexa, aku benar-benar menganggap serius janjiku kepada Samantha, dan aku bahkan sudah memasukkannya ke dalam surat warisanku secara sah, siapapun yang menikahimu, akan menjadi penerusku, pemimpin utama keluarga Simon." Mata Albert Simon yang ramah, tiba-tiba saja berkilat penuh ancaman, "Dan aku sudah mendapatkan persetujuan ayahmu secara tertulis, di atas kertas bermaterai yang sah oleh hukum."
Alexa ternganga. "Persetujuan dari ayahku?"
Lalu Daniel terkekeh di belakang Alexa, menatap mencemooh kepada semua orang di ruangan itu,
"Jangan remehkan kakekku Alexa, ketika dia punya mau, maka dia akan melakukan segala cara agar semua yang diinginkannya." Daniel bahkan tidak peduli dengan wajah Sang Kakek yang memerah karena malu, Daniel lalu menuang kembali minumannya dan bergumam dingin, "Sekarang lebih baik segera kau tentukan pilihanmu, sehingga kami semua dapat kembali melanjutkan hidup masing-masing."
Suara itu dingin, datar dan menyimpan kebencian yang amat mendalam di sana. Alexa jadi bertanya-tanya kenapa ada kebencian di sana. Apakah Daniel membencinya? karena perjodohan yang dipaksakan ini? Atau benci kepada kakeknya karena memaksakan persaingan dengan saudara tirinya? dan kenapa pula Alexa harus terlibat di dalam masalah keluarga yang sangat pelik seperti ini?
Alexa menelan ludah....
Memilih? dia harus memilih siapa? Memilih Daniel terasa menakutkan karena dari pertemuan pertama merekapun, Daniel selalu bersikap kasar dan jahat kepadanya, memilih Nathan terasa lebih baik karena lelaki itu bersikap baik dan ramah kepadanya. Tetapi memilih Nathan terasa tidak benar karena itu seperti merenggut harga diri Daniel, kalau desas-desus itu benar, Daniel adalah cucu sah dari keluarga Simon bukan? bukankah dia yang berhak menjadi penerus kakeknya?
Alexa menatap Albert Simon dengan bingung, orang macam apakah yang tega membuat kedua cucunya bersaing seperti ini? Apa maksudnya sebenarnya?
Tiba-tiba saja Nathan berdehem, memecah keheningan yang menyesakkan itu.
"Kakek... aku rasa kita tidak bisa memaksa Alexa menjawab sekarang, ini terlalu cepat untuknya dan dia pasti kebingungan....kita harus memberinya waktu." Nathan menatap ke arah kakeknya dengan senyumnya yang tenang, "Lagipula... Alexa belum mengenal kami berdua, kakek harus memberi kesempatan Alexa untuk lebih mengenal kami, sebelum memutuskan memilih yang mana."
Albert Simon termenung, sementara Alexa menarik napas lega dan melemparkan tatapan penuh terimakasih kepada Nathan, yang disambut Nathan dengan anggukan penuh pengertian.
Suasana hening, tampaknya semua menunggu keputusan Albert Simon. Bahkan Daniel di belakangpun tampak menunggu.
Sampai kemudian Albert Simon menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepada Nathan,
"Pemikiranmu betul juga Nathan." Albert Simon melirik ke arah Daniel yang memasang ekspresi jijik penuh penghinaan, "Aku tidak mungkin memaksa Alexa memilih begitu saja, Alexa harus mengenal dulu kalian berdua dengan lebih baik sebelum memilih calon suaminya." Senyum Albert Simon melebar, "Sudah kuputuskan., kalian bertiga akan tinggal di mansion ini bersamaku, aku akan memberi waktu tiga bulan sampai kau bisa memutuskan, Alexa."
Alexa ternganga... Apa?? DIa mencoba menelaah kembali kata-kata Albert Simon, memastikan bahwa lelaki tua itu tidak sedang bercanda, "Tinggal bersama?"
Albert Simon menganggukkan kepalanya lagi. "Ya Alexa. supirku akan mengantarmu kembali ke rumah, kemasi barang-barangmu, mulai hari ini sampai tiga bulan ke depan, kau tinggal di rumah ini bersama Nathan dan Daniel." Albert Simon melirik ke arah Daniel dan tersenyum lebar, tidak mempedulikan tatapan membunuh yang dilemparkan cucunya kepadanya, "Pasti kau bersedia pindah kemari kan Daniel? Apakah kau ingin supir yang mengambil barang-barangmu?"
"Tidak usah repot-repot." Suara Daniel setajam silet, "Aku bisa mengambil barang-barangku sendiri." bahkan Alexa merinding mendengar nada penuh kebencian di dalam suara Daniel.
Tetapi kemudia Alexa teringat ayahnya, dia tidak mungkin meninggalkan ayahnya bukan? lagipula, ide untuk tinggal di mansion keluarga Simon adalah konyol, Alexa tidak mungkin melakukannya.
"Saya tidak mungkin melakukannya, ayah saya di rumah dan saya harus mengurusnya, lagipula ... rasanya tidak benar kalau saya tinggal di rumah ini...."
"Aku akan mengurus ayahmu, aku tahu kondisinya Alexa, dia semakin hancur sejak kematian ibumu, tenggelam dalam mabuk dan judi...kau tidak bisa menolongnya, jadi biarlah kulakukan itu untukmu, aku akan membiayai ayahmu masuk ke asrama rehabilitasi paling bagus di negara ini, di sana ayahmu akan diterapi dan direhabilitasi sehingga kecanduannya pada alkohol sembuh.... perlu waktu minimal tiga bulan untuk sembuh, bahkan lebih jika kondisi ayahmu lebih parah." Mata Albert Simon menatap Alexa tajam, "Dan sebagai ganti kesembuhan ayahmu, kau tinggal di sini, hanya tiga bulan yang kuminta Alexa, kau bisa menggunakannya untuk mengenal kedua cucuku sebelum menentukan pilihanmu nanti."
Alexa masih ragu, "Bukankah untuk mengenal tidak harus tinggal bersama?" Alexa melirik ke arah Nathan dan Daniel yang lebih memilih diam dan membiarkan Albert Simon yang terus berbicara.
Tetapi Albert Simon langsung menggelengkan kepalanya, "Cucu-cucuku adalah orang yang sibuk, mereka memegang dan mengendalikan banyak cabang perusahaan di tangannya, kadang-kadang kesempatan untuk bertemu dan mengenal mereka hanyalah di pagi hari sebelum bekerja dan larut malam ketika mereka pulang. Kau harus tinggal di rumah ini." Mata Albert Simon tiba-tiba tampak sedih, "Lagipula aku ingin mengurus cucu Samantha, cucu Samantha adalah cucuku juga."
Dan selesailah sudah, dengan kalimat penutup itu, kemauan Albert Simon sudah tidak terbantahkan lagi.
***
Alexa diantarkan pulang dan memasuki pintu rumahnya yang hening. Dia berhasil meminta waktu kepada Albert Simon sampai dengan besok pagi sebelum menyetujui untuk pindah ke mansion, dia harus berbicara kepada ayajnya dulu.
Suara dengkuran ayahnya terdengar sampai di ruang tamu, Alexa melangkah hati-hati ke ruang tengah dan berdiri di sofa tempat ayahnya tertidur pulas, kaleng-kaleng bir berserakan di meja, ayahnya minum-minum lagi rupanya.
Dengan diliputi perasaan sedih, Alexa mengguncangkan bahu ayahnya mencoba membangunkannya,
"Ayah... bangunlah.. aku ingin bicara..." dengan lembut Alexa mengguncangkan bahu ayahnya lagi. Lama dia mencoba sampai kemudian ayahnya membuka matanya. Dia ingin membicarakan tentang persetujuan ayahnya seperti yang dikatakan oleh Albert Simon tadi, benarkah ayahnya sudah membuat perjanjian sah secara hukum untuk mengatur pertunangan Alexa dengan cucu dari Albert Simon?
Ayahnya tampak tidak fokus, menatapnya dengan tatapan nyalang,
"Sandra...." suara ayahnya terdengar serak, dan yang dipanggil oleh ayahnya adalah nama ibunya. Rupanya ayahnya benar-benar mabuk, lelaki itu menatap Alexa dengan sedih, "Sandra... kau kemana saja... aku merindukanmu."
Jantung Alexa terasa berdenyut oleh rasa sakit menyadari betapa ayahnya masih mencintai ibunya, "Ini Alexa, ayah... bukan ibu..." gumamnya, mencoba menyadarkan ayahnya.
Tetapi rupanya sang ayah tidak mendengar, dia tiba-tiba duduk dan meraih pundak Alexa, "Sandra.. Sandra sayang, aku mencintaimu..." Tiba-tiba sang ayah berusaha menciumnya, membuat Alexa memekik kaget, dengan refleks dia mendorong ayahnya sekuat tenaga, membuat ayahnya yang masih mabuk itu terdorong ke belakang, sempoyongan menabrak bantalan sofa.
Lalu secepat kilat, Alexa berlari, menuju ke kamarnya dan kemudian menguncinya rapat-rapat, masih terdengar di luar sana ayahnya yang mabuk memanggil nama 'Sandra' dengan nada suara pilu.
Alexa menyandarkan tubuhnya di pintu, napasnya terengah dan setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
Dia tidak bisa membiarkan ayahnya semakin parah dalam kesedihan. Ayahnya harus masuk ke pusat rehabilitasi yang ditawarkan oleh Albert Simon untuk menyembuhkan diri, dan sebagai gantinya, Alexa akan masuk ke mansion keluarga Simon selama tiga bulan, sesuai keinginan lelaki tua itu.
***
"Kau senang bukan, bisa mengulur waktu? Seharusnya Alexa langsung memilihku." Daniel bergumam garang kepada Nathan yang berdiri di depannya dengan senyum tenang. Kakek mereka telah masuk ke kamar untuk beristirahat, meninggalkan Daniel dan Nathan hanya berdua di ruangan itu.
Nathan mengangkat alisnya, menatap Daniel mengejek, "Alexa tidak bisa memilih, dia kebingungan tadi. Dan perilakumu menyogok dan mengancamnya dengan uang sehingga memilihmu sangat memalukan. Menurutku Alexa berhak memilih kita secara adil, dan keputusan kakek untuk memberinya kesempatan Alexa supaya mengenal kita cukup baik."
"Menurutku kau lebih baik ke neraka." Daniel mendesis marah,, melemparkan tatapan mengancam kepada Nathan, "Alexa adalah tunanganku. Sedari awal dia memang diperuntukkan untuk menikah denganku, bukan dengan anak haram macam kau. Dia adalah tunanganku!"
"Tunangan yang kau tolak mentah-mentah sebelumnya, bukan Daniel?" Nathan melemparkan senyuman mengejek, "Kenapa sekarang kau jadi bersemangat mengejar Alexa? Apakah kau takut kehilangan posisimu sebagai putera mahkota di keluarga ini?"
Daniel tertegun, tetapi kemudian matanya membara ketika menatap Nathan,
"Aku mempertahankan Alexa, karena aku ingin menyelamatkan keluargaku dari manusia pendendam sepertimu. Kakek mungkin tertipu dengan sikap baikmu, tetapi aku tidak. Aku bisa melihat seorang yang penuh dendam, yang mencoba masuk untuk menghancurkan keluarga ini. Kau licik Nathan, tetapi kau tidak bisa mengalahkanku, sekarang ataupun tiga bulan lagi tidak akan ada bedanya, Alexa akan memilihku."
Nathan menatap Daniel dengan angkuh, "Kita lihat saja nanti, kau punya waktu tiga bulan untuk membuktikan kata-katamu."
Dan bendera perangpun telah dikibarkan. Bukankah semua sah dalam perang dan cinta?
Bersambung ke Part 6

PS : maaf buat yang melihat perdana kalau menemukan banyak typo td tidak sengaja terpublish sebelum di dedit T__T ini sudah dikoreksi semoga tidak ada lagi ya
Dua orang tunangan??
Siapa pula yang ingin memiliki dua tunangan di dunia ini? Satu saja Alexa tidak pernah membayangkan, apalagi sampai dua...
Alexa menatap ke wajah-wajah di seluruh ruangan itu, dan merasa bingung. Semua mata menatap ke arahnya, dan Alexa seakan didesak untuk memilih, belum lagi mata abu-abu Daniel menatapnya dengan ancaman yang tersirat.
Daniel pasti mencoba mengingatkan Alexa bahwa dia harus membalas budi kepada Daniel karena Daniel telah memberikan uang yang begitu banyak di rekeningnya....
Tetapi Alexa juga teringat kata-kata Nathan, bahwa dia harus bersikap adil kepada Nathan, bahwa Nathan berhak diberi kesempatan untuk bersaing secara fair....
Wajah Alexa semakin pucat, bingung. Kalau dia memilih, bukankah itu berarti dia memilih untuk masa depannya? Dia harus menikah dengan lelaki pilihannya itu bukan?Tunggu dulu! Apakah tidak ada kesempatan bagi Alexa untuk menolak pertunangan ini? Dia tidak mungkin mau begitu saja menerima perjodohan ini bukan? Alexa kan berhak menentukan calon suaminya sendiri?
"Apakah... apakah saya tidak bisa menolak pertunangan ini saja?" gumam Alexa akhirnya, merasakan tatapan tajam menusuk punggungnya dari si mata abu-abu.
Albert Simon langsung menggelengkan kepalanya,
"Sayangnya tidak bisa, Alexa, aku benar-benar menganggap serius janjiku kepada Samantha, dan aku bahkan sudah memasukkannya ke dalam surat warisanku secara sah, siapapun yang menikahimu, akan menjadi penerusku, pemimpin utama keluarga Simon." Mata Albert Simon yang ramah, tiba-tiba saja berkilat penuh ancaman, "Dan aku sudah mendapatkan persetujuan ayahmu secara tertulis, di atas kertas bermaterai yang sah oleh hukum."
Alexa ternganga. "Persetujuan dari ayahku?"

"Jangan remehkan kakekku Alexa, ketika dia punya mau, maka dia akan melakukan segala cara agar semua yang diinginkannya." Daniel bahkan tidak peduli dengan wajah Sang Kakek yang memerah karena malu, Daniel lalu menuang kembali minumannya dan bergumam dingin, "Sekarang lebih baik segera kau tentukan pilihanmu, sehingga kami semua dapat kembali melanjutkan hidup masing-masing."
Suara itu dingin, datar dan menyimpan kebencian yang amat mendalam di sana. Alexa jadi bertanya-tanya kenapa ada kebencian di sana. Apakah Daniel membencinya? karena perjodohan yang dipaksakan ini? Atau benci kepada kakeknya karena memaksakan persaingan dengan saudara tirinya? dan kenapa pula Alexa harus terlibat di dalam masalah keluarga yang sangat pelik seperti ini?
Alexa menelan ludah....
Memilih? dia harus memilih siapa? Memilih Daniel terasa menakutkan karena dari pertemuan pertama merekapun, Daniel selalu bersikap kasar dan jahat kepadanya, memilih Nathan terasa lebih baik karena lelaki itu bersikap baik dan ramah kepadanya. Tetapi memilih Nathan terasa tidak benar karena itu seperti merenggut harga diri Daniel, kalau desas-desus itu benar, Daniel adalah cucu sah dari keluarga Simon bukan? bukankah dia yang berhak menjadi penerus kakeknya?
Alexa menatap Albert Simon dengan bingung, orang macam apakah yang tega membuat kedua cucunya bersaing seperti ini? Apa maksudnya sebenarnya?
Tiba-tiba saja Nathan berdehem, memecah keheningan yang menyesakkan itu.
"Kakek... aku rasa kita tidak bisa memaksa Alexa menjawab sekarang, ini terlalu cepat untuknya dan dia pasti kebingungan....kita harus memberinya waktu." Nathan menatap ke arah kakeknya dengan senyumnya yang tenang, "Lagipula... Alexa belum mengenal kami berdua, kakek harus memberi kesempatan Alexa untuk lebih mengenal kami, sebelum memutuskan memilih yang mana."
Albert Simon termenung, sementara Alexa menarik napas lega dan melemparkan tatapan penuh terimakasih kepada Nathan, yang disambut Nathan dengan anggukan penuh pengertian.
Suasana hening, tampaknya semua menunggu keputusan Albert Simon. Bahkan Daniel di belakangpun tampak menunggu.
Sampai kemudian Albert Simon menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepada Nathan,
"Pemikiranmu betul juga Nathan." Albert Simon melirik ke arah Daniel yang memasang ekspresi jijik penuh penghinaan, "Aku tidak mungkin memaksa Alexa memilih begitu saja, Alexa harus mengenal dulu kalian berdua dengan lebih baik sebelum memilih calon suaminya." Senyum Albert Simon melebar, "Sudah kuputuskan., kalian bertiga akan tinggal di mansion ini bersamaku, aku akan memberi waktu tiga bulan sampai kau bisa memutuskan, Alexa."
Alexa ternganga... Apa?? DIa mencoba menelaah kembali kata-kata Albert Simon, memastikan bahwa lelaki tua itu tidak sedang bercanda, "Tinggal bersama?"
Albert Simon menganggukkan kepalanya lagi. "Ya Alexa. supirku akan mengantarmu kembali ke rumah, kemasi barang-barangmu, mulai hari ini sampai tiga bulan ke depan, kau tinggal di rumah ini bersama Nathan dan Daniel." Albert Simon melirik ke arah Daniel dan tersenyum lebar, tidak mempedulikan tatapan membunuh yang dilemparkan cucunya kepadanya, "Pasti kau bersedia pindah kemari kan Daniel? Apakah kau ingin supir yang mengambil barang-barangmu?"
"Tidak usah repot-repot." Suara Daniel setajam silet, "Aku bisa mengambil barang-barangku sendiri." bahkan Alexa merinding mendengar nada penuh kebencian di dalam suara Daniel.
Tetapi kemudia Alexa teringat ayahnya, dia tidak mungkin meninggalkan ayahnya bukan? lagipula, ide untuk tinggal di mansion keluarga Simon adalah konyol, Alexa tidak mungkin melakukannya.
"Saya tidak mungkin melakukannya, ayah saya di rumah dan saya harus mengurusnya, lagipula ... rasanya tidak benar kalau saya tinggal di rumah ini...."
"Aku akan mengurus ayahmu, aku tahu kondisinya Alexa, dia semakin hancur sejak kematian ibumu, tenggelam dalam mabuk dan judi...kau tidak bisa menolongnya, jadi biarlah kulakukan itu untukmu, aku akan membiayai ayahmu masuk ke asrama rehabilitasi paling bagus di negara ini, di sana ayahmu akan diterapi dan direhabilitasi sehingga kecanduannya pada alkohol sembuh.... perlu waktu minimal tiga bulan untuk sembuh, bahkan lebih jika kondisi ayahmu lebih parah." Mata Albert Simon menatap Alexa tajam, "Dan sebagai ganti kesembuhan ayahmu, kau tinggal di sini, hanya tiga bulan yang kuminta Alexa, kau bisa menggunakannya untuk mengenal kedua cucuku sebelum menentukan pilihanmu nanti."
Alexa masih ragu, "Bukankah untuk mengenal tidak harus tinggal bersama?" Alexa melirik ke arah Nathan dan Daniel yang lebih memilih diam dan membiarkan Albert Simon yang terus berbicara.
Tetapi Albert Simon langsung menggelengkan kepalanya, "Cucu-cucuku adalah orang yang sibuk, mereka memegang dan mengendalikan banyak cabang perusahaan di tangannya, kadang-kadang kesempatan untuk bertemu dan mengenal mereka hanyalah di pagi hari sebelum bekerja dan larut malam ketika mereka pulang. Kau harus tinggal di rumah ini." Mata Albert Simon tiba-tiba tampak sedih, "Lagipula aku ingin mengurus cucu Samantha, cucu Samantha adalah cucuku juga."
Dan selesailah sudah, dengan kalimat penutup itu, kemauan Albert Simon sudah tidak terbantahkan lagi.
***
Alexa diantarkan pulang dan memasuki pintu rumahnya yang hening. Dia berhasil meminta waktu kepada Albert Simon sampai dengan besok pagi sebelum menyetujui untuk pindah ke mansion, dia harus berbicara kepada ayajnya dulu.
Suara dengkuran ayahnya terdengar sampai di ruang tamu, Alexa melangkah hati-hati ke ruang tengah dan berdiri di sofa tempat ayahnya tertidur pulas, kaleng-kaleng bir berserakan di meja, ayahnya minum-minum lagi rupanya.
Dengan diliputi perasaan sedih, Alexa mengguncangkan bahu ayahnya mencoba membangunkannya,
"Ayah... bangunlah.. aku ingin bicara..." dengan lembut Alexa mengguncangkan bahu ayahnya lagi. Lama dia mencoba sampai kemudian ayahnya membuka matanya. Dia ingin membicarakan tentang persetujuan ayahnya seperti yang dikatakan oleh Albert Simon tadi, benarkah ayahnya sudah membuat perjanjian sah secara hukum untuk mengatur pertunangan Alexa dengan cucu dari Albert Simon?
Ayahnya tampak tidak fokus, menatapnya dengan tatapan nyalang,
"Sandra...." suara ayahnya terdengar serak, dan yang dipanggil oleh ayahnya adalah nama ibunya. Rupanya ayahnya benar-benar mabuk, lelaki itu menatap Alexa dengan sedih, "Sandra... kau kemana saja... aku merindukanmu."
Jantung Alexa terasa berdenyut oleh rasa sakit menyadari betapa ayahnya masih mencintai ibunya, "Ini Alexa, ayah... bukan ibu..." gumamnya, mencoba menyadarkan ayahnya.
Tetapi rupanya sang ayah tidak mendengar, dia tiba-tiba duduk dan meraih pundak Alexa, "Sandra.. Sandra sayang, aku mencintaimu..." Tiba-tiba sang ayah berusaha menciumnya, membuat Alexa memekik kaget, dengan refleks dia mendorong ayahnya sekuat tenaga, membuat ayahnya yang masih mabuk itu terdorong ke belakang, sempoyongan menabrak bantalan sofa.
Lalu secepat kilat, Alexa berlari, menuju ke kamarnya dan kemudian menguncinya rapat-rapat, masih terdengar di luar sana ayahnya yang mabuk memanggil nama 'Sandra' dengan nada suara pilu.
Alexa menyandarkan tubuhnya di pintu, napasnya terengah dan setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
Dia tidak bisa membiarkan ayahnya semakin parah dalam kesedihan. Ayahnya harus masuk ke pusat rehabilitasi yang ditawarkan oleh Albert Simon untuk menyembuhkan diri, dan sebagai gantinya, Alexa akan masuk ke mansion keluarga Simon selama tiga bulan, sesuai keinginan lelaki tua itu.
***

Nathan mengangkat alisnya, menatap Daniel mengejek, "Alexa tidak bisa memilih, dia kebingungan tadi. Dan perilakumu menyogok dan mengancamnya dengan uang sehingga memilihmu sangat memalukan. Menurutku Alexa berhak memilih kita secara adil, dan keputusan kakek untuk memberinya kesempatan Alexa supaya mengenal kita cukup baik."
"Menurutku kau lebih baik ke neraka." Daniel mendesis marah,, melemparkan tatapan mengancam kepada Nathan, "Alexa adalah tunanganku. Sedari awal dia memang diperuntukkan untuk menikah denganku, bukan dengan anak haram macam kau. Dia adalah tunanganku!"

Daniel tertegun, tetapi kemudian matanya membara ketika menatap Nathan,
"Aku mempertahankan Alexa, karena aku ingin menyelamatkan keluargaku dari manusia pendendam sepertimu. Kakek mungkin tertipu dengan sikap baikmu, tetapi aku tidak. Aku bisa melihat seorang yang penuh dendam, yang mencoba masuk untuk menghancurkan keluarga ini. Kau licik Nathan, tetapi kau tidak bisa mengalahkanku, sekarang ataupun tiga bulan lagi tidak akan ada bedanya, Alexa akan memilihku."
Nathan menatap Daniel dengan angkuh, "Kita lihat saja nanti, kau punya waktu tiga bulan untuk membuktikan kata-katamu."
Dan bendera perangpun telah dikibarkan. Bukankah semua sah dalam perang dan cinta?
Bersambung ke Part 6
Published on June 27, 2013 07:32
Another 5% Part 13

Marco membawanya ke sebuah lapangan yang luas dan sepi. Entah darimana lelaki tua itu bisa menemukan tempat ini. Marco tampak misterius. tetapi entah kenapa Rolan merasa bisa mempercayainya. Lelaki ini sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk membantunya.
"Kenapa kau membawaku ke lapangan luas seperti ini?"
"Karena saya akan membantu anda membangkitkan kekuatan anda. Kekuatan otak yang saat ini ada di dalam tubuh anda, yang dilimpahkan oleh tuan Matthias kepada anda, belum terbangkitkan sepenuhnya, sifat alaminya memang akan membuat tubuh anda sembuh dan memperbaiki dirinya sendiri dengan cepat...." Dan kemudian, tanpa diduga, dengan gerakan secepat kilat, Marco menghujamkan pisau yang entah diambilnya darimana ke dada kiri Rolan.
Rolan terbelalak, pucat menatap Marco, merasakan nyeri yang menghujam ke jantungnya. Dia menunduk dan melihat ke arah pisau yang menancap di dadanya, membuat darah segar langsung merembes ke kemejanya,
"Apa yang kau...." sebelum Rolan menyelesaikan kalimatnya, dengan dingin dan tanpa ekspresi, Marco mencabut pisau itu dari dada Rolan, sebuah gerakan yang cepat dan menyakitkan.
Rolan mengerang ketika darahnya menyembur dari jantungnya, keluar dari lubang menganga yang ditinggalkan oleh bekas tusukan pisau itu.
Kenapa Marco menusuknya? dan kenapa sekarang lel;aki itu hanya berdiam diri saja dan mengamatinya? dan kenapa.........Rolan tidak merasa sakit?
Rolan menunduk, menyentuh dadanya, kemejanya basah dan lengket oleh darah yang bebau anyir, tetapi dadanya tidak sakit. Dengan penasaran Rolan membuka kemejanya, memeriksa lukanya.... dan dia terpana.
Di balik darah yang membasahi dadanya, tidak ada apa-apa di sana. tidak ada bekas luka setitikpun. Padahal jelas-jelas dia merasakan pisau itu menembus dadanya dan darahnya menyembur keluar....tetapi di balik darah itu, tidak ada apapun di kulit dadanya, tidak ada luka apapun, seakan tubuhnya menyembuhkan diri dengan begitu cepatnya.
Rolan masih ternganga sambil menatap ke arah Marco, sekarang dia mengerti kenapa Marco menusuk dadanya tiba-tiba, lelaki tua ini ingin menunjukkan secara langsung betapa kuatnya tubuh Rolan sekarang.
"Inilah kekuatan anda tuan Rolan, karena itulah anda sembuh dari penyakit anda. Tuan Matthias tidak melanggar aturan semesta dengan membuat anda sembuh, karena kesembuhan anda bukan berasal dari kekuatan tuan Matthias, kesembuhan anda dikarenakan tubuh anda memperbaiki diri sendiri setelah kemapuan otak anda diaktifkan hingga maksimal 95%. Anda tidak bisa terluka, anda tidak bisa sakit... bahkan anda tidak bisa mati, umur anda akan berhenti di usia tigapuluh tahun.."
Berhenti di usia tiga puluh tahun....? Tunggu dulu ! Jadi bagaimana dengan Selly? apakah beberapa tahun nanti, Selly akan menua, sementara dia berhenti di usia tiga puluh tahun??
Marco sepertinya tahu apa yang ada di benak Rolan, "Itu mungkin bisa disebut takdir sang pemegang kekuatan. Sebagai ganti kekuatan yang sangat besar, sang pemegang kekuatan harus rela menanggung hidup sendiri, tetap muda dan melihat orang-orang yang dikenalnya menua, lalu mati satu persatu."
Mara Rolan menajam, "Aku tidak mau mengalami itu, Marco."
Marco membalas tatapan Rolan, sama sekali tidak mundur, "Anda harus menanggungnya tuan Rolan, karena anda sudah menerima kekuatan itu dari Tuan Matthias. Apakah anda tidak pernah berpikir? Kalau saja otak anda tidak diaktifkan hingga 95% oleh Tuan Matthias, mungkin anda sudah mati duluan dan meninggalkan orang-orang yang anda cintai?"
Dua pilihan. Rolan tertegun. Selalu ada dua pilihan ketika kita mencintai seseorang, dua pilihan yang muncul karena semua manusia pasti mati. Pilihan itu adalah meninggalkan atau ditinggalkan, Seorang kekasih yang mencinta, pasti akan lebih memilih meninggalkan lebih dulu jika menyangkut kematian, sehingga dia tidak akan menanggung kepedihan karena ditinggalkan oleh yang tercinta.
Tetapi... meskipun begitu, tidak bisakah Rolan menjalani kehidupan normal bersama Selly? Bersatu dalam pernikahan, lalu menua dan mati bersama?
"Anda bisa memikirkan tentang hal itu nanti." Sekali lagi, Marco tampaknya bisa membaca pikiran Rolan, "Mari, saya akan ajarkan anda cara membuka kekuatan ini, pertama-tama akan terasa sedikit menyakitkan, tetapi saya akan membimbing anda untuk bisa menguasainya."
***
Angin itu berhembus kencang dari arah utara, menggoyangkan pepohonan di sekitarnya...
Gabriel yang sedang berada di lantai paling atas gedung tinggi itu membuka matanya, tersenyum setelah mendapatkan pengelihatannya.
"Dia sudah membuka kekuatannya." gumam Gabriel pada Carlos yang berdiri tenang di sebelahnya. "Saatnya akan segera tiba."
"Anda belum bisa menantangnya sekarang Tuan Gabriel, apakah anda lupa, Tuan Rolan memiliki Selly sebagai cinta sejatinya, itu berarti kemungkinan dia lebih kuat daripada anda."
Gabriel tersenyum dingin, "Kita lihat saja nanti.."
***
Selly merasa badannya sedikit meriang, kepalanya pusing dan tenggorokannya sakit untuk menelan. Tetapi tadi dia sudah meminum vitamin c untuk daya tahan tubuhnya. Mungkin ini karena semalam dia terlambat tidur, dan terbangun di pagi buta. Yang diinginkan Selly adalah segera tidur, dan berharap ketika bangun nanti, kondisinya sudah lebih baik.
Sayangnya, ini masih jam kantor dan Selly harus bertahan kira-kira empat jam lagi. Gabriel saat ini sedang tidak ada di ruangannya, katanya sedang mengurus pekerjaannya di cabangnya yang lain, jadi Selly bisa sedikit bersantai dan menenangkan tubuhnya yang bergolak karena sakit.
Dia menuju ke dispenser dan menuangkan air panas ke dalam cangkir, dan menyeduh teh celup ke dalamnya. Kemudian Selly duduk dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dari Rolan.
"Sayang?" Rolan berseru dari seberang, suaranya tampak ceria, "Maukah kau makan malam denganku nanti malam untuk menggantikan malam kemarin?"
Selly tersenyum lemah, dikondisinya yang tidak enak ini, mendengarkan suara Rolan bagaikan obat untuknya. Tentu saja dia mau.
"Kapan?"
"Nanti aku akan menjemputmu di kantor sepulangmu dari kantor, kita langsung berangkat dari sana saja, tunggu aku ya."
Tanpa sadar Selly mengangguk, meski kemudian dia sadar bahwa Rolan tidak bisa melihatnya, "Oke Rolan, aku tidak sabar menantinya. Terimakasih sayang."
Rolan terkekeh, "Aku akan menebus semuanya, kau akan sangat bahagia nanti."
Setelah itu pembicaraan terputus, dan Selly memeluk ponselnya sambil tersenyum. Semua kekecewaan, semua kesedihannya semalam seolah pupus begitu saja dengan tebusan makan malam Rolan untuknya ini.
Bahkan senyum lebarnya itu tetap ada ketika Gabriel memasuki ruangan dan mengangkat alisnya,
"Sepertinya suasana hatimu sedang baik." sapa Gabriel lembut.

Gabriel mengernyitkan keningnya.
Kenapa kekuatannya tidak mempan kepada Selly? Apakah benar itu disebabkan oleh karena Selly adalah cinta sejati musuhnya? Cinta sejati Rolan?
"Pasti kau punya rencana bagus malam ini, kencan dengan calon suaminu?" Gabriel menebak pada akhirnya, menyerah karena dia tidak bisa membaca pikiran Selly.
Pipi Selly yang merona sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Gabriel, "Dia akan menjemput saya nanti sepulang kerja, kami berencana menebus malam yang gagal kemarin."
Ekspresi Gabriel tidak terbaca, "Bagus untukmu." gumamnya sambil lalu, dan kemudian melangkah meninggalkan Selly kembali ke mejanya.
***
"Kau bilang aku bisa membaca pikiran orang, bahkan jika aku melakukannya dari jarak jauh, aku tinggal membayangkan orang tersebut dan tahu." Rolan menutup ponselnya, menatap Marco sambil mengerutkan keningnya. "Tetapi kenapa aku tidak bisa melakukannya pada Selly?" Rolan tadi iseng mempraktekkan kekuatannya kepada Selly, dan ternyata dia tidak mendapatkan apa-apa, dia ternyata tidak bisa membaca pikiran Selly.
Mereka masih ada di tengah lapangan itu, dan kemeja Rolan yang penuh darah sudah disingkirkan, Marco sepertinya sudah merencanakan semuanya karena dia sudah membawakan kemeja pengganti yang masih baru, yang sekarang dikenakan oleh Rolan.
Marco telah membuka kekuatannya. Dunia sekarang tidak sama lagi bagi Rolan, dia bisa mendengar suara-suara dari jarak yang begitu jauh, bahkan bisa mengetahui suara-suara tergelap dari benak seseorang. Tangannya bisa mengeluarkan api dan es, menggerakkan benda-benda, berpindah secepat kilat, dia bisa melakukan segala yang dia mau. Luar biasa pengaktifan 95% kekuatan otak ini benar-benar membuatnya nya sangat kuat dan nyaris bisa melakukan segalanya.
Marco mengatakan bahwa ada aturan semesta yang harus disepakati, bahwa sang pemegang kekuatan harus dibatasi, karena kalau tidak mereka akan berbuat semena-mena. Kekuatan dan kekuasaan yang besar biasanya membuat manusia lupa diri. Bagi sang pemegang kekuatan, hal itu sudah diantisipasi dengan adanya buku aturan semesta, yang memuat kutukan-kutukan mengerikan bagi yang melanggar aturan, dan tugas sang pendampinglah, seperti Marco untuk menjaga tuannya agar selalu ada di jalan yang benar.
Marco hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah datar mendengar pertanyaan Rolan,
"Memang. Saya pernah mendampingi para pemegang kekuatan yang lain selama beberapa periode yang lalu." Ya. Marco adalah manusia abadi, mungkin bisa dikatakan dia bukanlah manusia, dia hanyalah mahluk Tuhan yang ditakdirkan untuk mendampingi sang pembawa kekuatan, sama seperti saudara kembarnya. "Sayangnya, dari mereka semua, hanya sedikit yang beruntung bisa menemukan cinta sejatinya." Marco berdehem, " Setahu saya, sang pemegang kekuatan tidak akan bisa menggunakan kekuatannya kepada cinta sejatinya. Sang cinta sejati adalah satu-satunya manusia yang kebal atas kekuatan anda, di alam semesta ini."
***
Rolan berjalan mengitari lorong rumah sakit, dia hendak menengok Sabrina dan mencari cincinnya yang hilang, pelajarannya dengan Marco tadi sedikit mengubah rencananya. Untunglah setelah latihan yang melelahkan untuk mengendalikan kemampuannya mendengar dan mengatur seluruh inderanya yang menjadi amat sangat tajam, Marco mengatakan bahwa latihan mereka cukup untuk hari ini dan akan dilanjutkan besok.
Hari itu Rolan mencoba kemampuannya berpindah tempat secepat kilat, dia memejamkan mata, memusatkan pikirannya pada tempat yang ingin ditujunya. Dan.... hanya dalam beberapa detik, dia muncul kembali, seperti sihir, di bekas kamarnya di rumah sakit yang masih kosong.
Setelah melihat sekeliling, Rolan menyadari bahwa tidak bijaksana dia memilih tempat ini sebagai tujuannya, untung saja kamar ini masih kosong, bayangkan kalau sudah ada pasien di sini, dia pasti akan terkejut setengah mati melihat Rolan yang muncul secara tiba-tiba. Besok-besok dia harus muncul di tempat yang benar-benar sepi untuk menghindari adanya saksi mata.
Rolan menghela napas panjang, berusaha bersikap biasa, lalu dengan hat-hati melangkah keluar dari bekas kamarnya itu, untunglah suasana sepi sehingga dia tidak perlu memberi penjelasan kepada orang lain kenapa dia bisa tiba-tiba saja keluar dari kamar itu.

Ya. Rolan hendak menengok Sabrina dulu, memastikan kondisi perempuan itu baik-baik saja. Tadi pagi, dia meninggalkan Sabrina tanpa pamit karena tidak tahan memikirkan Selly, dan sekarang dia merasa tidak enak. Rolan sudah berjanji kepada Sabrina, dan dia mengingkarinya.
Selain itu ada cincin yang perlu dia tanyakan kepada Sabrina, karena dia yakin cincin itu jatuh di kamar Sabrina. Setelah semua urusan beres, Rolan akan menjemput Selly, mengajaknya makan malam mewah untuk meneebus kesalahannya kemarin, dan kemudian menutup malam mereka dengan lamaran romantis.
Bibir Rolan masih tersenyum ketika memasuki kamar Sabrina, tetapi dahinya langsung berkerut melihat Sabrina sedang duduk dengan wajah muram, dengan tatapan mata menerawang dan wajah pucat pasi,
"Sabrina?"
Sabrina menoleh pelan, tetapi ekspresinya sedikit sedih ketika melihat Rolan. perempuan itu hanya menganggukkan kepalanya, tampak lesu.
Rolan duduk di sebelah ranjang, menatap Sabrina dengan menyesal. "Maafkan aku meninggalkanmu tadi pagi tanpa pamit, tidurmu pulas sekali, jadi aku memutuskan pergi."
Mata Sabrina tampak berkaca-kaca, "Kenapa kau pergi Rolan? Kau bilang kau tak akan pergi? aku terbangun sendirian dan mencarimu." air mata bergulir dari pipi Sabrina, membuat Rolan sangat menyesal, disentuhnya jemari Sabrina dan digenggamnya lembut.
"Maafkan aku.... tetapi aku harus menemui Selly tadi pagi..."
"Selly?" Sabrina mengerutkan keningnya.
"Ya." Rolan tersenyum menyesal, "Kemarin itu sebenarnya adalah hari ulang tahun Selly, dan aku membatalkannya karena menungguimu di rumah sakit. Jadi tadi pagi aku ke sana untuk meminta maaf kepadanya."
"Oh...Astaga...." jemari kurus Sabrina menutup mulutnya dengan kaget, wajahnya tampak sangat terkejut, tatapannya benar-benar menyesal, "Ya Ampun, Rolan... maafkan aku.. aku benar-benar tidak tahu... astaga.. astaga.. maafkan aku, aku telah merusak ulang tahun Selly." air mata mulai menetes di pipinya.
Rolan tersenyum, "Selly tidak apa-apa kok, dia mengerti, dia wanita yang baik dan dia berharap kondisimu semakin baik... lagipula aku akan menebusnya malam ini."
"Malam ini?" mata Sabrina melebar.
"Ya... aku akan melamar Selly sebagai kejutan." Senyum Rolan tampak bercahaya, "Dan ngomong-ngomong tentang melamar, aku sepertinya kehilangan cincinku di sini, apakah kau tahu?"
"Cincin?" Sabrina mengerutkan keningnya.
"Ya. Cincin, dalam kotak kecil berwarna hitam sepertinya aku menjatuhkannya di sini."
"Tidak ada cincin." Sekelebat ingatan muncul di benak Sabrina, tentang Gabriel yang menunduk mengambil sesuatu yang misterius di kamarnya. Apakah cincin itu yang diambil oleh Gabriel, "Maafkan aku Rolan, tetapi aku seharian di sini dan tidak turun dari ranjang, tetapi setahuku kalaupun ada cincin jatuh di sini, pasti perawat menemukannya."
"Ah. Ya, benar juga ya." Rolan menggosok rambutnya dengan kecewa. Jadi besar kemungkinan cincin itu hilang, atau mungkin ditemukan orang, dan tidak dikembalikan... kalau begitu Rolan harus ke toko perhiasan dulu untuk mencari cincin pengganti sebelum melamar Selly nanti malam. "Kalau begitu aku harus mencari cincin untuk melamar Selly nanti malam, tidak apa-apa kan aku meninggalkanmu dulu Sabrina? Aku janji aku akan menengokmu lagi bersama Selly besok."
Sabrina tersenyum meskipun senyumnya tampak lemah, "Tidak apa-apa... pergilah Rolan,semangat ya, semoga sukses... cepat sana pergi." Dengan lembut Sabrina melambaikan tangannya tanda pengusiran karena Rolan masih tampak ragu meninggalkan Sabrina.
Rolan tersenyum lebar, membayangkan betapa indahnya malamnya nanti bersama Selly. Dengan impulsif, didorong oleh rasa bahagianya, dia membungkuk dan mengecup dahi Sabrina dengan lembut.
Seketika itu juga, Sabrina terbatuk-batuk parah.
Rolan menundukkan kepalanya dan terkejut, ketika Sabrina terbatuk makin parah, dan memuntahkan darah segar yang begitu banyak dari mulutnya, membasahi kemeja Rolan.
***
Selly melirik jam tangannya, hujan turun dengan derasnya di luar, dan kondisi badannya makin menurun, dia memegang dahinya sendiri dan terasa panas, tenggorokannya juga terasa semakin sakit.
Saat ini dia sedang duduk di tempat duduk bagian depan di lobby kantor. Ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, karyawan terakhir tampak meninggalkan kantor, membuat suasana cukup sunyi, hanya ditemani oleh seorang satpam yang duduk di dekat pintu masuk.
"Menunggu seseorang?" Satpam itu menyapa, mungkin karena melihat bahwa Selly sudah duduk menunggu sejak jam lima sore tadi dan tidak beranjak dari sana meski semua karyawan sudah pulang.
Selly menganggukkan kepalanya, tersenyum malu, "Ya... saya menunggu jemputan."
"Hujan di luar sangat deras, mungkin yang menjemput terjebak macet." gumam si satpam sambil menatap keluar.
Selly menganggukkan kepalanya, dan menatap cemas ke arah hujan yang cukup deras, satpam itupun kembali lagi ke mejanya di dekat pintu, meninggalkan Selly termenung sendirian.
Dengan bingung Selly memencet kembali nomor Rolan, hal yang sudah dilakukannya berkali-kali selama dua jam terakhir ini.... tetapi tetap sama, nomor itu tidak aktif....
Kemanakah Rolan? Kenapa dia tak muncul juga? Tiba-tiba Selly merasa pusingnya semakin menyakitkan.
Hujan makin turun deras di luar, begitupun dengan hujan di hati Selly.
***"Anda tidak bisa ke rumah sakit sekarang." Carlos bergumam ketika Gabriel keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan masih memakai jubah mandinya.
Gabriel mengerutkan keningnya, "Ada apa? bukankah aku harus memberikan darahku untuk Sabrina? aku sengaja menghukumnya tadi dengan memberikan setengah dari yang seharusnya, malam ini dia pasti sudah cukup merasakan kesakitan dan kemudian sadar untuk tidak ikut campur lagi dengan urusanku."
"Sabrina mengalami serangan, dan si pemegang kekuatanterang ada bersamanya." Jawab Carlos datar.
Ekspresi Gabriel mengeras seketika, dia memejamkan matanya sejenak, memastikan kata-kata Carlos. Dan setelah dia melihat visualisasi di rumah sakit, Gabriel langsung memberikan isntruksi kepada Carlos,
"Siapkan pakaianku, aku akan kembali ke kantor."
Rahang Gabriel mengeras.
Sekali lagi, dengan bodohnya, Rolan membiarkan Selly menunggunya sampai lama.
Bersambung Ke part 14
Published on June 27, 2013 05:46
June 26, 2013
-Not- The Sweetest Love Part 1

"Apakah kau tersesat di sini?" Keenan memasang senyumnya yang paling mempesona, dan tanpa permisi duduk di depan perempuan cantik dengan penampilan tidak cocok itu, "Butuh bantuan?"
Mata perempuan cantik itu tampak waspada, apalagi mengingat penampilan Keenan yang benar-benar seperti berandalan, ditambah lagi dengan rambutnya yang sedikit panjang menyentuh kerah dan penampilannya yang begitu santai.
"Tidak. Saya hanya ingin menghabiskan malam saya tanpa gangguan." perempuan itu mengalihkan pandangannya seolah-olah ingin berakting bahwa Keenan tidak ada.
Tetapi tentu saja Keenan tidak mudah menyerah oleh karena penolakan sederhana itu. Penolakan malahan membuatnya semakin bersemangat.
"Mungkin aku bisa membantu dan menemanimu, kau tahu tempat semacam ini berbahaya untuk seorang perempuan duduk sendirian."
"Saya bisa menjaga diri saya sendiri." Perempuan itu tetap saja tidak menatap mata Keenan, dia mengabaikannya, seolah-olah Keenan tidak ada.
Aha..... Penolakan.... luar biasa dorongan adrenalin dan semangat yang dirasakannya karena merasa tertantang oleh penolakan seorang perempuan. Sudah lama sekali tidak ada perempuan yang menolaknya, Keenan memang memiliki pesona sendiri meskipun dia tidak rapi dan berjas seperti para eksekutif muda, penampilan santainya dan sikapnya yang menggoda biasanya menjadi daya tarik sendiri bagi semua perempuan.
"Namaku Keenan." tanpa tahu malu Keenan mengulurkan tangannya, dan kemudian menariknya kembali dengan senyum nakal ketika perempuan di hadapannya hanya melirik sedikit ke arah tangannya dengan marah, "Apa yang kau lakukan sendirian di tempat seperti ini, cantik?"
Panggilan nama 'cantik' itu membuat mata perempuan itu membara, dan dia tampak luar biasa cantik. Keenan membatin. Wow, baru kali ini dia tertarik begitu dalam pada seorang perempuan hanya dengan memandanginya.
Keenan memutuskan akan mengejar perempuan ini.
"Siapa namamu? apakah aku hanya boleh memanggilmu dengan sebutan 'cantik'?"
Perempuan itu tampak luar biasa jengkel dengan sikap tak mudah menyerah Keenan, dia lalu beranjak berdiri dan melemparkan tatapan jijik, lalu berkata dengan keras,
"Bukan urusan anda, saya hanya ingin sendirian di sini tetapi anda mengganggu saya. Permisi."
Dan kemudian tanpa sempat Keenan mengear, perempuan itu dengan gesit membalikkan badan dan setengah berlari keluar dari pintu bar, menghilang entah kemana.
Semua Keenan ingin mengejar, dorongan itu begitu kuat hingga dia hampir beranjak dari kursinya. Tetapi kemarahan perempuan tadi hampir terdengar ke seluruh penjuru ruangan dan sekarang seisi bar memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu.
Keenan menghela napas panjang, berusaha bersikap acuh. Yah mungkin dia memang tidak berjodoh dengan perempuan galak tapi cantik itu. Dengan senyum lebar, Keenan melangkah kembali ke bar untuk memesan minuman.
Si bartender tentunya melihat insiden itu sejak tadi, dan dia tak bisa menahan diri untuk menertawakan kegagalan Keenan,
"Kegagalan pertama?" si bartender mengeringai, setengah mengejek dalam canda, "Mungkin kau harus mengasah kembali kemampuanmu merayu perempuan, Keenan."
"Mungkin terlalu lama memakai jas dan dasi telah melunturkan pesonaku." Keenan tertawa, "Bagaimanapun juga selalu ada kegagalan pertama untuk setiap orang." dia melirik ke arah bartender dengan tatapan geli, "Buatkan aku minuman lagi, aku perlu melupakan patah hatiku." sambungnya yang disambung dengan gelak tawa si bartender.
***
Aurel menyandarkan tubuhnya di emperan toko tepat di trotoar yang membatasi arus pejalan kaki dengan sebuah butik yang elegan. Dia terengah-engah karena setengah berlari-lari kecil tadi, karena takut Keenan mengejarnya.
Dari penyelidikan seadanya tentang si kembar, Aurel tahu bahwa Keenan sering sekali datang ke bar itu, dia hanya ingin melihat dari dekat dan menilai bagaimanakah calon korbannya itu.
Tidak disangkanya Keenan akan begitu agresif dan menganggapnya menarik, padahal dia sudah berdandan setidak menarik mungkin.
Aurel menghela napas panjang. Jantungnya berdegup kencang... dan ini semua bukan karena Keenan, tetapi lebih pada ketakutannya terhadap laki-laki.
Ini memang gila dan bodoh. Bagaimana mungkin dia melakukan apa yang diminta Celia, kalau dia sebenarnya menyimpan ketakutan mendalam terhadap laki-laki?
Celia tentu saja tidak tahu trauma yang dirasakannya, dia hanya tahu bahwa Aurel memiliki kenangan buruk dengan mantan kekasihnya, yang dulu pernah tinggal di kota ini ketika kuliah. Aurel hampir diperkosa, di rumah kekasihnya sendiri yang sangat dipercayainya. Waktu itu mereka berdua sedang merayakan kelulusan mereka dan Radit mengajak Aurel ke rumahnya yang kebetulan sepi, Aurel begitu percaya dan mencintai kekasihnya, tidak menyangka bahwa yang diinginkan oleh Radit waktu itu hanyalah tubuhnya. Untungnya Aurel berhasil meloloskan diri, dengan menyiramkan kopi panas yang ada di meja kepada Radit, tak dipedulikannya Radit yang mengaduh-aduh kesakitan ketika dia berlari meninggalkan rumah terkutuk itu.
Setelah peristiwa itu, Aurel langsung mengemasi barang-barangnya dan pulang ke rumahnya, mengganti nomor ponselnya dan menghilangkan jejaknya dari Radit. Untunglah dia sudah menyelesaikan masa kuliahnya dan tidak perlu kembali ke kota ini lagi dan sepertinya Radit juga memutuskan untuk tidak mengejarnya, mungkin karena dia takut Aurel akan melaporkannya ke polisi. Tidak pernah ada yang tahu tentang insiden itu, begitupun kedua orang tuanya dan bahkan Celia. Semuanya mengira Aurel membenci kota itu karena dia patah hati akibat putus dengan kekasihnya. Sejak saat itu pula, Aurel tidak pernah mendengar berita tentang Radit, dia juga tidak sudi mencari tahu tentang keberadaan lelaki brengsek itu.
Tetapi meskipun bertahun-tahun berlalu, trauma itu tidak pernah meninggalkannya. Aurel sangat ingat betapa dia menolak dan memohon, tetapi Radit seolah-olah berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya, kejam dan pemaksa, tidak mempedulikan ketakutan Aurel. Lelaki ternyata bisa berubah menjadi buas dan menakutkan. Audrel sudah berhasil lolos sekali dari kebuasan lelaki, dan dia tidak ingin jatuh kedua kalinya ke dalam lubang yang sama.
Itulah yang membuat Aurel takut kepada lelaki, benci dan jijik pada setiap pendekatan yang dilakukan lelaki kepadanya....
Kalau begini caranya, bagaimana mungkin dia berhasil melakukan apa yang diminta oleh Celia kepadanya? dia bahkan tidak mampu menghadapi pendekatan Keenan yang agresif
Dan sialnya, dia tahu pasti bahwa dia besok harus bertemu dengan Keenan. Rencana sudah dijalankan, dan Aurel tidak bisa mundur lagi.
***
Keenan memasang dasinya dan mengernyit memandang dirinya di depan cermin, hari ini ada pertemuan penting dengan salah satu perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan perusahaan perhotelan mereka, perusahaan itu bergerak di bidang kertas, dan rencananya akan memasok kertas dinding untuk renovasi total seluruh kamar hotel mereka.
Keenan mengamati dirinya, dengan jas rapi dan ram but yang disisir ke belakang, dagu yang dicukur licin dan semuanya, seluruh penampilannya sedemikian miripnya dengan Azka, seolah-olah Keenan yang asli tenggelam dan sedang menyamar sebagai Azka, saudara kembarnya.
Yah. bagaimanapun juga, bisa dibilang dia sedang memerankan Azka bukan?
Keenan tersenyum, dia rela melakukannya karena sekarang saudara kembarnya itu sedang menikmati masa-masa bahagia bersama isterinya. Azka berhak untuk berbahagia, setelah semua sikap tidak egoisnya, menanggung beban semua orang di pundaknya. Azka berhak untuk bertingkah egois sementara ini.
Keenan mengambil kunci mobilnya, bersiap memulai rutinitasnya di kantornya yang membosankan.
***
Aurel gugup, amat sangat gugup, tetapi dia bisa menyembunyikan kegugupannya dengan begitu baik. Sekertaris itu mengantarkannya ke ruang rapat yang sangat besar di lantai delapan gedung kantor yang sangat mewah itu.
Dia berada di sini untuk bisnis, meskipun bisnis itu kebetulan memang diambilnya untuk memuluskan rencananya. Saat ini penampilannya begitu elegan, dengan blazer warna cokelat tua dan celana senada, dipadukan dengan kemeja emas yang indah. Rambut panjangnya yang indah seperti biasa digulungnya hingga membentuk bulatan rapi di atas tengkuknya, semua rambutnya disisir ke belakang mulus dan rapi. Itulah penampilan kesukaan Aurel, sederhana, tetapi kuat.
Semoga saja dia bisa mempertahankan penampilan kuatnya setelah ini.... Aurel mengernyit sambil menatap ke arah pintu ruangan rapat besar itu.
Kepala cabang perusahaannya mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya membahas berkas-berkas perusahaan dan aturan kerjasama mereka sambil menunggu, membuat Aurel bersyukur karena membahas masalah pekerjaan bisa menenangkan jantungnya yang berdebar.
Tetapi rupanya itu tidak bertahan lama, karena jantungnya kembali berdebar kencang lagi ketika pintu itu terbuka.
Sosok Pemimpin perusahaan - Pemimpin sementara, sementara pemimpin yang asli sedang liburan berbulan madu - muncul dari balik pintu, diantarkan oleh asistennya.
Itu Keenan. Aurel membatin setengah ternganga akan transformasi yang hebat itu. Keenan yang ada di depannya berbeda dengan Keenan yang ditemuinya semalam di bar. Keenan yang ini berpenampilan rapi, dengan jas yang menempel erat ditubuhnya dan dasi yang terpasang sempurna, rambut setengah panjangnya yang kemarin acak-acakan sekarang disisir rapi ke belakang.
Tetapi mata itu tetap sama..
Aurel langsung merasakan tatapan setajam silet ketika pada akhirnya Keenan menyadari kehadirannya. Senyum itu... senyuman sang pemangsa yang menemukan korbannya langsung muncul di bibirnya.
"Dan siapakah ini?" suara Keenan terdengar tenang, tetapi ada ancaman tersembunyi di dana.
Asistennya langsung memperkenalkan Keenan kepada tamunya,
"Ini nona Aurel Sagara, tuan Keenan, beliau adalah CEO perusahaan kertas yang bekerjasama dengan hotel kita. Beliau khusus datang langsung dari Jakarta untuk membicarakan perihal kerjasama ini."
Keenan langsung mengulurkan tangannya penuh arti, "Nona eh?" Keenan menyeringai ketika menyadari bahwa panggilan itu menunjukkan bahwa Aurel masih sendiri, "Senang bertemu dengan anda, saya harap anda tidak keberatan menerima jabatan tangan saya, eh?" kata-katanya menyiratkan bahwa Keenan mengingat Aurel serta insiden semalam ketika Aurel tidak mau membalas uluran tangan Keenan.
Aurel menatap jemari ramping dan kuat Keenan yang terulur kepadanya, dia menelan ludah dan tidak punya pilihan lain selain membalas uluran tangan Keenan. Genggamannya kuat, dan seolah sengaja, Keenan tidak segera melepaskannya, dia menggenggam tangan Aurel lebih lama dari yang seharusnya, membuat asistennya berdehem mengingatkan,
"Dan ini Tuan Adam beliau adalah kepala cabang perusahaan tersebut di kota ini."
"Oh. Oke. Terimakasih atas kedatangannya." Akhirnya Keenan melepaskan genggaman tangannya dari jemari Aurel, membuat Aurel menghela napas lega.tetapi rupanya dia terlalu cepat menarik napas lega, karena Keenan kembali memusatkan perhatian kepadanya.
"Nona Aurel, saya harap setelah pembicaraan kerjasama ini, anda bersedia menerima undangan makan malam dari saya sebagai penghormatan. Malam ini saya akan menjamu anda untuk makan malam berdua di restoran salah satu resor kami yang sangat terkenal akan kelezatan makanannya."
Semua mata memandang ke arah Aurel, dan tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerimanya bukan? Sepertinya Keenan sengaja mengajukan ajakannya di depan orang banyak, membuat Aurel tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya, dia menganggukkan kepalanya setelah melemparkan tatapan marah tersirat kepada Keenan.
"Terimakasih atas ajakannya, saya sungguh terhormat."
Senyum Keenan melebar, tampak puas. "Bagus, saya akan mengaturnya nanti. Kalau begitu, mari kita bahas kerjasama kita lebih lanjut."Keenan kembali bersikap formal, duduk di kepala meja rapat itu, diikuti yang lain yang segera duduk di kursi masing-masing, bersiap memulai pembahasan.
Aurel menganggukkan kepalanya sambil mengambil tempat duduknya, mencoba terlihat tenang meskipun sebenarnya dia mulai sesak napas. Dia terjebak rencananya sendiri dan sekarang dia harus mempersiapkan diri menghadapi makan malamnya nanti dengan Keenan.
Seharusnya dia senang karena rencananya berjalan lancar. Tetapi ini semua terlalu cepat, Keenan terlalu mendesak, dan Aurel mulai ketakutan.
Bersambung ke Part 2
Published on June 26, 2013 03:58
June 25, 2013
Embrace The Chord Part 11

Arlene melepaskan jemarinya dari pisau lipat kecil di tasnya.
Tidak. Dia tidak boleh terbawa emosi dan berbuat bodoh yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Arlene memang selalu membawa pisau kemana-mana sejak peristiwa percobaan perampokan yang pernah menimpanya. Pisau itu memberinya rasa aman, dan seharusnya hanya dipakai untuk melindungi dirinya. Arlene tidak akan menggunakan pisau itu untuk melukai Rachel. Kalau dia ingin mencelakakan Rachel maka itu tidak akan dilakukan dengan tangannya sendiri, tangannya harus benar-benar bersih...
Orang lainlah yang akan melakukan untuknya.
“Arlene.” Terdengar suara yang dalam dan tenang, Arlene bahkan bisa membayangkan senyum lebar orang diseberang sana.
“Andrew.” Setengah berbisik Arlene memanggil nama lawan bicaranya itu, “Aku ingin kau melakukan seuatu untukku nanti.”
***
Acara makan malam itu berlangsung elegan dan menyenangkan, banyak orang-orang penting dari dunia musik klasik yang datang, dan Rachel beruntung bisa berkenalan dengan beberapa di antara mereka. Tentu saja kalau dia tidak kemari bersama Jason, dia tidak akan mendapatkan kesempatan itu. Jason mengenal hampir semua orang di ruangan ini, dan bahkan dikenal oleh seluruh orang di ruangan ini.
Rachel melihat bahwa beberapa orang melemparkan tatapan kagum kepada Jason. Yah... lelaki ini tampak berbeda kalau berada di depan umum, Jason tersenyum sopan dan lembut kepada semua orang yang menyapanya, menanggapi setiap pertanyaan atau sapaan dengan penuh perhatian, bisa dikatakan lelaki ini tampak.. dewasa.
Selama ini yang ada di benak Rachel adalah Jason yang tukang memaksa, tukang cium sembarangan, tidak sopan dan suka memaksakan kehendaknya.,,,
Kalau begitu, manakah dari dua sisi yang ditampilkan Jason ini yang merupakan kepribadian aslinya?
“Kita akan tampil setelah makan malam.” Jason sedikit menundukkan kepalaya, berbisik pelan di telinga Rachel. Dengan lengannya yang masih melingkari pinggang Rachel, mereka berdua terlihat benar-benar intim. Dan sayangnya mereka tidak menyadari ada dua pasang mata yang mengawasi mereka, sama-sama cemburu.
Tiba-tiba Rachel mengingat musik yang akan mereka mainkan dan mengerutkan keningnya,
“Kenapa di antara semua musik yang ada, kau memilih untuk memainkan itu?”
“Memilih apa?” Jason menganggukkan kepalanya kepada seorang tamu yang menyapanya dari kejauhan, lalu dia memfokuskan pandangannya kepada Rachel sambil mengangkat alisnya.
Pipi Rachel langsung memerah menerima tatapan itu, “Lagu itu... maksudku...”
Mata Jason langsung berbinar, “Itu adalah melodi yang indah, cocok untuk dimainkan di malam yang juga indah ini... apakah judulnya yang mengganggumu? Beethoven Violin Romance hmm? Kau tidak sedang berpikir bahwa aku sengaja membuat kita tampak seperti sepasang kekasih bukan?”
Sekarang pipi Rachel benar-benar merah padam.
“Aku... aku akan ke kamar mandi dulu.” Rachel melepaskan diri dari pegangan Jason dan terbirit-birit masuk ke kamar mandi.
***
Jason sedang meminum gelas anggur keduanya, bersandar di dekat jendela di salah satu sudut yang sepi, berusaha menghindari keramaian pesta sambil mengamati tamu-tamu yang berkerumun dan asyik bercakap-cakap satu sama lain.
Sebentar lagi mereka akan masuk ke ruangan besar untuk acara makan malam formal, dan setelah itu dia akan bermain biola bersama Rachel.
Bibir Jason menyunggingkan senyum tipis penuh rasa ironi.
Ini gila. Rasanya seperti dia ketagihan bermain biola bersama Rachel. Ketagihan berdiri di sana mengimbangi nada-nada indah yang dihasilkan oleh gesekan alami Rachel.

Rachel yang bodoh dan bertepuk sebelah tangan, tidakkah dia menyadari bahwa dia membuang-buang waktunya dengan mengharapkan Calvin? Seorang lelaki yang bahkan tidak pernah melirik Rachel sebagai seorang perempuan.
“Kau datang dengannya.”
Suara itu tiba-tiba saa sudah muncul di sebelah Jason. Membuat Jason menoleh dan mengerang dalam hati. Sial. Dari semua orang yang ada, dia harus bercakap-cakap dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya, yah Jason seharusnya tahu bahwa Arlene pasti akan hadir di acara-acara makan malam seperti ini.
“Tentu saja.” Jason memalingkan wajahnya dan menatap ke arah para tamu, “Malam ini adalah malam perkenalan resmi Rachel sebagai murid khususku di hadapan tamu-tamu penting ini.”
“Apakah kau tidak sadar bahwa kau sama saja menampar mukaku di sini? Datang ke pesta sebagai pasangannya? Apa kau tidak sadar sudah berapa kali aku menerima tatapan kasihan dari semua orang karena datang kesini sendirian dan dicampakkan olehmu?”
“Kau sebenarnya tidak perlu datang ke pesta ini sendirian, Arlene. Itu pilihanmu sendiri untuk mempermalukan dirimu.” Jason bergumam dingin.
Arlene menghela napas panjang melihat ekspresi dingin Jason, “Dia sepertinya sangat istimewa bagimu, kau memperlakukan Rachel seperti anak emasmu.”
Jason melirik ke arah Arlene dan melihat perempuan itu membawa gelas anggur di tangannya, entah gelas yang ke berapa. Bagi Jason, Arlene tampak agak mabuk dan tidak fokus.
“Dia memang istimewa, kalau di asah dengan benar, permainan biolanya akan bisa menandingiku.” Jason menjawab datar dan hati-hati.
“Bagiku tidak akan pernah ada orang yang bisa menandingimu dalam bermain biola, Jason. Kaulah yang paling hebat.” Arlene menyela cepat, penuh keyakinan di matanya, kemudian dia mendongak menatap Jason tajam dan berusaha menarik perhatian Jason, “Apakah ketertarikanmu kepadanya hanya karena dia sangat berbakat dalam permainan biola?”
“Apa maksudmu?” Jason mengerutkan keningnya, kali ini dia benar-benar yakin bahwa Arlene mabuk. Perempuan itu bahkan tidak bisa berdiri tegak dan bersandar di sisi lain jendela, setengah sempoyongan. “Apakah kau masih berpikir bahwa aku mencampakkanmu karena Rachel?”
Arlene tersenyum sinis, “Setelah bertemu dengannya, kau meninggalkanku.” Mata Arlene menyala, “Aku jadi bertanya-tanya, kau selalu mengatakan bahwa kau tertarik kepadanya karena bakatnya, bagaimana jika dia kehilangan kemampuannya bermain biola?”
Jason langsung menoleh waspada, instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, “Apa yang kau rencanakan, Arlene?”
Mata Arlene bersinar penuh rahasia, “Pembalasan.”
Dengan geram Jason merenggut lengan Arlene dan menatapnya penuh ancaman. Sayangnya, Arlene terlalu mabuk untuk merasa takut kepadanya, perempuan itu malahan tersenyum lebar dengan tatapan mata bergairah, senang akan sentuhan Jason di tubuhnya.
“Jika sampai terjadi sesuatu kepada Rachel dan kau adalah dalangnya, aku akan membuatmu menyesal seumur hidup, Arlene.”
Arlene terkekeh, “Sayangnya sepertinya sudah terlambat, Jason sayang.” Jemari lentik Arlene dengan kuku yang dicat merah darah menyentuh pipi Jason penuh hasrat, “Kalau aku tidak bisa memilikimu, Jason. Maka tak seorangpun bisa.”
Jason langsung melepaskan pegangannya dari Arlene, setengah mendorong perempuan itu dengan jijik, tidak dipedulikannya Arlene yang masih terkekeh mabuk, dia langsung melangkah menuju area toilet tempat Rachel menghilang tadi.
Rachel sudah terlalu lama berada di kamar mandi... Jantung Jason berdebar cemas.
***
Rachel sedang mencuci tangannya di wastafel dan menatap bayangan dirinya di kaca. Pipinya masih merona merah. Ya ampun, bodoh sekali dia bertanya seperti itu kepada Jason dan lelaki itu langsung menyambarnya untuk mempermalukannya.
Setelah menghela napas panjang, Rachel melangkah keluar dari kamar mandi, yah dia hanya perlu melalui malam ini dengan baik dan berharap Jason segera menghapus fotonya yang sedang mencium dahi Calvin dari ponselnya....
Satu langkah Rachel keluar dari pintu area toilet yang kebetulan berada di lorong yang sepi, sebuah tangan kekar dan kuat mencengkeramnya dengan kasar. Rachel memekik tetapi sebelah tangan sosok kasar yang menyergapnya itu langsung menutup mulutnya. Di pinggangnya Rachel merasakan benda keras yang menekan dan tajam, dia melirik dan mengernyit cemas, sebuah pisau!
“Diam kalau kau mau hidup.” Suara lelaki yang menyergapnya itu mendesis kasar, membuat Rachel tak berdaya mengikuti kemauan si penyergap, dia bisa apa? Sebuah pisa yang mengerikan sekarang menempel di pingangnya!
Si penyergap itu setengah menyeret Rachel menuju ujung lorong ke arah tangga darurat menuju ke bagian luar rumah. Jantung Rachel berdebar kencang, apa yang akan terjadi kepadanya? Siapa lelaki ini? Kenapa melakukan ini kepadanya?
Langkah-langkah si penyergap semakin cepat seakan ingin segera keluar dari rumah besar itu, Rachel bisa mendengar napas lelaki itu terengah di atas kepalanya, dia ingin melirik wajah lelaki itu, bukankah itu yang selalu dikatakan polisi? Jika terjadi sesuatu kepadamu, hapalkan wajah penjahatnya seteliti mungkin. Tetapi ternyata tubuh Rachel yang pendek menghalanginya melihat wajah lelaki itu, lelaki itu tinggi dan besar, setinggi Jason tetapi lebih kekar dan mengerikan, dan sekarang kaki Rachel mulai terasa pedih karena sepatu hak tingginya terseret-seret mengikuti langkah si penyergap itu.
“Rachel?” sebuah teriakan terdengar dari ujung atas tangga, di pintu keluar dekat area toilet. Si penyergap sudah menyeret Rachel sampai ke tangga bagian bawah, sebentar lagi mereka akan mencapai pintu keluar. Rachel dan si penyergap sama-sama terkesiap mendengar suara panggilan itu. Rachel mengenali suara itu.. itu suara Jason!
Rachel langsung meronta sekuat tenaga merasakan ada harapan, tetapi kemudian ujung pisau yang tajam itu menusuk ke pinggannya sedikit, membuatnya merasa perih dan ngeri.
“Jangan coba-coba.” Lelaki itu mendesis tajam, “Ayo!” dengan gerakan kasar, si penyergap menyeret Rachel kali ini lebih terburu-buru, dan kemudian membuka pintu tembusan ke luar rumah itu.
Sementara itu, suara Jason masih memanggil-manggil di ujung tangga.
***
Jason memanggil-manggil Rachel tanpa hasil. Dia bahkan melongok ke area toilet perempuan dan langsung merasa cemas ketika mengetahui bahwa tidak ada seorangpun di dalamnya. Buru-buru dia melangkah keluar dari area kamar mandi, dan kemudian kakinya menginjak sesuatu yang keras.
Jason membungkuk dan mengambil benda yang mengganjal sepatunya itu dan mengernyit ketika memegang sebuah kancing kecil... kancing kecil berwarna hijau... Rachel mengenakan baju hijau..
Matanya membara ketika menemukan bahwa di ujung lorong ada sebuah pintu kecil yang mengarah kepada tangga darurat di luar, dengan langkah cepat dia menuju ke pintu itu dan membukanya,
“Rachel?” Jason memanggil lagi, suaranya menggema di area tangga darurat itu, dan kemudian telinganya yang tajam mendengar suara pintu dibanting di bawah.
Ada seseorang membuka pintu di bawah!
Setengah berlari, Jason menuruni tangga darurat itu.
***
Sebentar lagi beres. Mereka sekarang berlari menembus kegelapan taman yang dipenuhi pohon-pohon besar. Si Penyergap rupanya berhasil menyusup masuk ke pesta melalui halaman belakang rumah. Ya. Ini adalah pesta untukn acara musik yang penuh persahabatan, jadi sama sekali tidak ada penjagaan keamanan berlebih kecuali dua orang satpam yang berjaga di pintu depan.
Tentu saja di penyergap tidak sebodoh itu melalui pintu depan, dia berhasil menemukan jalan masuk kecil melewati pintu belakang di tengah taman yang sepertinya digunakan khusus untuk membuang sampah.
Perintah Arlene sangat jelas. Lukai urat penting di tangan Rachel, dan buat rusak wajahnya, tetapi jangan bunuh dia, lalu tinggalkan.
Sepertinya tempat di halaman belakang yang penuh pohon ini cukup cocok untuk mengeksekusi korbannya. Andrew, si penyergap sebenarnya tidak suka melukai perempuan... tetapi ini adalah pekerjaan, dan bayarannya menggiurkan.
Ya.Dia harus buru-buru melakukan tugasnya dan kemudian bergegas pergi dari rumah ini, menghilang di kegelapan. Suara-suara yang memanggil di belakangnya tadi tidak main-main, dan kalau dia tidak cepat, pemilik suara itu akan mengejar mereka. Dia hanya perlu melakukan satu atau dua tikaman sebelum perempuan mungil ini sempat menjerit, kemudian dia bisa melompat melalui pintu belakang itu dan kabur dalam kegelapan.
Dengan kasar, Andrew membanting tubuh Rachel ke tanah, begitu keras hingga Rachel memekik kesakitan, sepertinya tingkah kasarnya telah membuat Rachel cedera, perempuan itu meringis, melirik ke arah kakinya yang terkilir.
“Apa yang kau lakukan? Siapa kau...?” suara Rachel berubah ngeri ketika pisau di tangan Andrew memantulkan cahaya bulan, tampak mengancam, “Kenapa kau melakukan ini kepadaku?” Suara Rachel ketakutan bercampur panik, dia berusaha beringsut menjauh, tetapi kakinya terkilir, amat sangat sakit dan membuatnya tak bisa berdiri, yang bisa dilakukannya hanyalah menyeret tubuhnya menjauhi sang penyergap.
Sayangnya itu tak berarti banyak, karena sang penyergap sekarang berdiri menjulang di atasnya, tubuhnya menghalangi bayangan bulan dan wajahnya hampir seperti siluet, tetapi Rachel bisa merasakan lelaki itu menyeringai,
“Maafkan aku cantik, sayangnya aku harus melukaimu.” Suara si penyergap serak dan mengerikan, dan pada detik itu, si penyergap mengayunkan pisaunya ke arah Rachel. Rachel sontak menjerit keras-keras, berusaha beringsut mundur dan menaruh tangannya di depannya untuk melindungi dirinya.
Lalu detik berikutnya berlangsung cepat, pisau si penyergap tidak mengayun kepadanya, tubuh si pernyergap terbanting kesamping, ada seseorang yang menerjangnya dari belakang.
Itu Jason!
Jason datang menolongnya! Dan sekarang kedua lelaki itu sedang bergulat di tanah, tetapi si penyergap membawa pisau dan Jason hanya memakai tangan kosong!
Rachel menjerit, mencoba memanggil bantuan, mencoba berteriak agar siapa saja yang mungkin mendengar bisa datang dan menolong mereka. Dia menatap cemas dan ketakutan ke arah dua lelaki yang masih bergulat dengan keras itu. Yang satu berusaha mengalahkan yang lain, pukulan-pukulan dilayangkan dan Jason berusaha menangkis tikaman-tikaman pisau dari si penyergap, membuat Rachel mengerutkan keningnya ketakutan dan semakin menjerit keras sampai suaranya serak.
Kemudian terdengar langkah-langkah kaki berderap yang mendekati mereka, membuat si penyergap panik dan membabi buta untuk melepaskan diri dari pergulatannya dengan Jason. Lelaki itu mengayunkan pisaunya dengan keras dan kejam ke arah Jason, hanya beberapa detik hingga Jason tidak bsia menghindar, darah mengucur deras dari tubuh Jason dan seketika tubuh Jason tumbang ke tanah, membuat Rachel memekik.
Kesempatan itu digunakan si penyergap untuk melepaskan diri dari Jason, dia langsung bangkit dan berlari secepat kilat menuju ke arah pintu belakang dan tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Rachel menyeret kakinya yang terkilir setengah merangkak mendekati Jason, seluruh gaun hijaunya berlumuran tanah, tetapi dia tidak peduli. Dia berhasil mendekati Jason yang terbaring setengah meringkuk membelakanginya, dia meraih tubuh Jason, membalikkannya dan langsung membelalakkan matanya.

“Jason? Oh astaga... Jason??” Jemari Rachel bergetar menyentuh pipi Jason yang dingin.
“Kau tidak apa-apa Rachel?” Suara Jason tampak lemah dan matanya tidak fokus, tetapi dia sepertinya menyadari Rachel yang membungkuk di atasnya, “Ini sakit sekali... aku lelah.”
Dan Jason-pun memejamkan matanya.
Rachel langsung panik, dia berusaha mengguncangkan tubuh Jason, tetapi tidak ada reaksi. Suara derap kaki semakin mendekat, tetapi sepertinya mereka kebingungan menemukan Jason dan Rachel karena suasana begitu gelap. Rachel akhirnya berteriak-teriak di kegelapan sampai suaranya serak...
Bantuan itupun datang, ternyata itu adalah dua orang satpam di depan yang sedang berpatroli dan kebetulan mendengarkan jeritan Rachel tadi. Mereka segera memanggil ambulance. Dan kemudian, ketika bantuan paramedis berdatangan, dan tubuh Jason yang lunglai diangkat untuk dinaikkan ke ambulance. Rachel kehilangn kesadarannya.
Yang diingatnya terakhir kali adalah darah itu... darah yang mengucur deras dari telapak hingga pergelangan tangan Jason.
Tangan yang digunakannya untuk menggesek biolanya......
Bersambung ke part 12
Published on June 25, 2013 22:28
June 24, 2013
The Vague Temptation Part 4

Alexa membuka pintu rumahnya dan langsung bertanya,
"Apa hubungannya keluarga Simon dengan saya?" Alexa masih menatap waspada kepada pria berpakaian supir itu.
Supir itu tampak bingung harus menjawab apa, dia kemudian mengeluarkan sebuah foto dan amplop surat dari kertas indah berwarna keemasan.
"Saya tidak tahu nona. Tuan Albert Simon menyuruh saya untuk memberikan ini kepada anda, kata beliau, setelah anda melihat ini, anda pasti mau ikut saya ke rumah kediaman keluarga Simon." jawabnya sambil mengangsurkan amplop dan lembaran foto itu ke tangan Alexa.
Alexa menerima foto dan amplop surat itu, dibalikkannya foto yang telah menguning karena usia itu dan kemudian mengerutkan keningnya ketika melihatnya. Wanita di foto ini mirip dengan ibunya, tetapi tentu saja bukan ibunya karena melihat umur foto itu, ibunya tidak mungkin mencapai usia sedewasa ini beberapa dekade yang lalu.
Kalau begitu..... ini adalah neneknya di masa muda. Alexa langsung menyimpulkan. Ya orang-orang dulu selalu bilang bahwa ibunya sangat mirip dengan neneknya, bagaikan pinang dibelah dua. Alexa hanya pernah berjumpa dengan neneknya dalam keadaan masih hidup sampai usianya menginjak sepuluh tahun, setelah itu sanga nenek meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya. Nenek yang diingat Alexa adalah perempuan setengah baya dengan rambut memutih yang disanggul rapi dan senyuman yang menawan.Berbeda dengan wanita muda di foto ini, yang tampak muda dan tersenyum bahagia kepada seorang laki-laki di sebelahnya yang merangkul pundaknya dengan posesif.
Lelaki itu bukan kakeknya. Kakeknya adalah orang indonesia asli, sedangkan lelaki yang merangkul neneknya di usia muda ini adalah orang asing...dilihat dari rambutnya yang pirang terang dan seluruh ciri khasnya.
Dengan bingung Alexa membuka amplop surat berwarna keemasan itu, di dalamnya ada sebuah kertas dengan bahan yang tak kalah elegan dan ada tulisan yang sangat rapi di sana.
Alexa
Setelah melihat foto ini kau pasti menyadari bahwa Saya mempunyai hubungan dekat dengan Samantha, nenekmu di masa lalu. Saya harap kau mau mengikuti supir yang saya kirimkan, dia akan menjamin keselamatanmu. Saya ingin berjumpa dengan cucu dari Samantha dan menjelaskan semuanya, karena masih ada hitang janji yang harus saya bayar kepada Samantha.
Regards Albert Simon
Wajah Alexa memucat, kebingungan. Albert Simon, sang pemilik perusahaan tempat Alexa ada hubungannya dengan neneknya? Apakah ini juga ada hubungannya dengan surat panggilan kerja untuknya setahun yang lalu dari perusahaan milik Albert Simon ini yang membuatnya kemudian bekerja sebagai staff administrasi di sana?
Mata Alexa menatap ke arah pria berseragam supir itu yang tampak menunggu tanggappannya. Supir itu tampaknya bisa dipercaya, dan surat ini tampaknya asli.
Alexa menelan ludahnya dan menganggukkan kepalanya,
"Baiklah, saya akan ikut anda ke kediaman keluarga Simon." gumamnya, "Tunggu sebentar saya bersiap-siap dulu." Alexa mengangguk sopan kepada supir itu, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
"Siapa?" ayahnya yang sekarang tengah bersantai sambil tiduran dan menonton TV melirik ke arahnya, membuat Alexa tertegun. Haruskah dia menceritakan semuanya kepada ayahnya? Tetapi bahkan dia sendiri belum mendapatkan penjelasan bukan?
Mungkin nanti setelah dia mendapatkan penjelasan, dia akan berterus terang kepada ayahnya.
"Itu mobil jemputan untuk pekerjaan malamku ayah." Alexa berbohong, sebenarnya tadi dia sudah menelepon ke bar tempatnya bekerja bahwa dia tidak akan datang lagi. Alexa tidak mau mengambil resiko si mata abu-abu yang kasar dan misterius itu mengawasinya di bar, dan marah besar ketika tahu bahwa Alexa tidak mengikuti ancamannya dan tetap masuk bekerja.
"Oh." ayahnya tampak tidak tertarik, matanya mengarah kembali ke televisi, "Hati-hati kalau begitu."
Sekali lagi Alexa menghela napas panjang melihat ketidakpedulian ayahnya, dia kemudian masuk ke kamar, mengambil jaket dan tas mungilnya, lalu melangkah ke luar lagi.
"Aku pergi dulu ayah." gumamnya berpamitan.
Tidak ada jawaban dari ayahnya seperti biasa, Alexa keluar dan melihat supir itu masih menunggu di teras rumahnya,
"Saya siap berangkat." gumamnya kepada si supir.
***

"Tentu saja." Albert Simon, kakek dari Daniel dan Nathan tersenyum lebar, "Gadis itu adalah penentu segalanya." matanya menyipit ke arah Daniel dan Nathan, "Dan aku harap kalian bersikap fair dalam persaingan ini."
Daniel mendengus, lalu berdiri dan melangkah ke arah bar yang tersedia di sudut ruangan, "Bukankah Alexa seharusnya milikku, kakek? Kenapa sekarang kau menawarkannya kepada Nathan?"
Albert berusaha memunculkan wajah datar di hadapan cucunya itu. "Sebelum Nathan datang, kau menolak mentah-mentah perjodohan ini, Daniel. Apakah kau sudah lupa?"
Daniel tidak lupa. Ketika kakeknya mengatakan bahwa dia terikat janji perjodohan dengan seseorang di masa lalunya, Daniel marah besar ketika mengetahui bahwa dirinyalah yang dijodohkan, dia tidak percaya masih ada perjodohan di jaman sekarang ini, dan karena dia dibesarkan untuk mennjadi pemberontak, Daniel menentang habis-habisan perjodohan itu.
Sekarang keadaannya berbeda. Perjodohan itu penting. Karena kalau sampai Alexa direbut oleh Nathan, maka si anak haram itu akan memegang posisi kunci di hati kakeknya dan juga di keluarga mereka. Daniel tidak akan membiarkan Nathan yang menang, dia akan mencegah hal itu terjadi dan membuat menghalangi Nathan menguasai segalanya.
Matanya menatap tajam ke arah kakeknya, penuh kemarahan bercampur tududhan, "Kita lihat saja nanti, kakek." gumamnya setengah menggeram.
***
Mobil itu berhenti di sebuah mansion mewah dengan gaya kolonial penuh dengan pilar-pilar yang kesemuanya bercat putih bersih. Di bagian depan ada tangga marmer yang mengantarkan ke teras yang dipayungi kubah bulat dengan lampu-lampu kekuningan yang tampak indah di tengah gelapnya malam.
Supir itu turun dari mobil, kemudian membukakan pintu untuk Alexa. "Silahkan nona, kepala pelayan sudah menunggu anda di pintu depan, beliau akan membawa anda ke ruangan tuan Albert, mereka sudah menunggu anda di sana."
Mereka?
Alexa mengerutkan kening ketika turun dari mobil, dan kemudian melangkah ragu menaiki tangga marmer, kenapa supir itu menyebut kata 'mereka' seolah-olah ada lebih dari satu orang yang menunggunya? bukankah yang ingin menemuinya hanyalah Albert Simon? atau dia salah duga?
Di depan pintu telah menunggu seorang kepala pelayan berpakaian resmi, dia menganggukkan kepalanya sopan ketika melihat Alexa.
"Mari nona. saya akan mengantar anda." lelaki itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat supaya Alexa mengikutinya. Dia diantar menaiki tangga yang menjulang dan berkarpet rawna cokelat hangat itu, dan kemudian melalui lorong-lorong yang penuh dengan lukisan-lukisan indah. Sampai kemudian mereka sampai di sebuah pintu besar di ujung lorong.
Kepala pelayan itu mengetuk pintu dengan sopan. "Saya datang membawa nona Alexa, Tuan Albert." gumamnya sopan di balik pintu.
"Masuklah." ada jawaban dari dalam, sebuah suara yang berwibawa.
Kepala pelayan itu lalu membuka pintu besar itu dan mempersilahkan Alexa masuk.
Dengan ragu Alexa masuk ke dalam ruangan yang terang benderang itu, lalu kepala pelayan menutup pintu di belakangnya.
Ruangan itu sangat besar, penuh dengan rak-rak tinggi berisi buku-buku dan perabot mewah yang terkesan hangat. Tetapi Alexa tidak sempat mengagumi keindahan ruangan itu, matanya terpaku kepada sosok manusia yang membalas pandangan matanya.
Di balik meja besar itu duduk seorang lelaki tua dengan wajah ramah dan rambut yang telah memutih seluruhnya, itu sudah jelas lelaki yang berfoto bersama neneknya....benarkah dia adalah Albert Simon? kemudian ada nathan, yang duduk di sebuah kursi sambil tersenyum ramah kepada Alexa, mata cokelatnya tampak bercahaya dan menenangkan. Tiba-tiba Alexa merasakan pandangan tajam yang menusuknya dari sisi lain, dia menoleh ke samping, dan menemukan seseorang yang tadi dilewatkannya.
laki-laki itu sedang berdiri dengan sikap mencemooh, bersandar di pane sisi bar dengan segelas minuman berwarna keemasan di tangannya.
Alexa ternganga..... itu si mata abu-abu!
Apa hubungannya si mata abu-abu dengan semua ini?
***

Alexa melangkah mendekati kursi yang kosong di depan Albert Simon, mengangguk hormat kepada Nathan yang ada di kursi di sebelahnya dan kemudian menurut duduk di kursi itu,
Ada apa sebenarnya? kenapa ada Nathan di sini? dan siapakah si mata abu-abu itu? apakah ini ada hubungannya dengan kata-kata Nathan dan si mata abu-abu tentang memilih? Tetapi kenapa Andrea harus memilih?
"Aku menitipkan sebuah foto padamu." Albert memulai, membuat Alexa tergeragap dari lamunannya, dia buru-buru mengeluarkan foto itu dari saku kemejanya, dan menyerahkannya ke atas meja.
"Ah. Iya foto ini. Foto nenek saya, andalah yang ada di sebelahnya bukan?"
"Betul." mata Albert tampak meredup sedih melirik ke arah foto itu, "Aku mengenal nenekmu di masa muda, dia begitu cantik, ceria dan penuh vitalitas..." Albert menghela napas panjang, "Aku turut berduka karena dia meninggal, Alexa..."
Alexa mengamati Albert dan mengerutkan kening, lelaki tua ini tampaknya benar-benar menanggung kesedihan atas kematian neneknya. Ada hubungan apakah Albert Simon dengan neneknya?
"Aku dulu adalah kekasih Samantha." Albert Simon langsung menjawab pertanyaan Alexa yang diucapkan dalam hati itu, "Kami benar-benar saling mencintai dan tak terpisahkan. Samantha adalah cinta sejatiku..." Albert Simon menghela napas panjang, menatap Alexa dengan sayang, "Dan kau begitu mirip dengannya, begitu cantik."
Ibunyalah yang mirip dengan neneknya, begitu cantik. Alexa sendiri tidak merasa dirinya bisa secantik ibu dan neneknya...
Albert Simon mengatakan bahwa dia adalah kekasih sejati neneknya. Tetapi neneknya menikah dengan kakeknya bukan? dan bukankah Albert Simon juga punya isteri....?
"Kami tidak bisa bersatu." mata Albert Simon meredup, sekali lagi menjawab pertanyaan Alexa yang tersirat di dalam hatinya, lelaki tua itu tampak mengenang masa lalunya yang menyedihkan, "Pada masa itu, keluarga Samantha menganggap orang asing mengerikan, ayahnya melarang keras kami berhubungan dan kemudian dia dinikahkan paksa dengan kakekmu." Ekspresi Arlbert tampak muram, "kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan cinta kami... dan kemudian karena patah hati, aku kembali ke negaraku."
Alexa tertegun, menatap Albert Simon, dan menyadari bahwa lelaki itu tidak sedang bercanda. Tidak akan ada akting yang bisa menyamai kesedihan yang terpatri di sana. Seluruh gurat wajahnya yang menua, semuanya menunjukkan kepedihan yang dalam ketika menyebut nama neneknya...
"Tetapi kemudian, tahun-tahun berlalu, aku menikah dan melanjutkan hidup, dan berusaha melupakan Samantha.... aku pikir aku bisa melupakannya, tetapi ternyata tidak... rambutku sudah memutih dan tubuhku menua, tetapi kenanganku akan dia masih terpatri jelas,,,akupun mengirim surat kepadanya....dan tidak disangka Samantha membalas suratku. Dia sudah berbahagia katanya, suaminya baik kepadanya dan dia memiliki seorang puteri yang lucu....dia juga tahu bahwa aku sudah menikah dan kemudian mebgucapkan selamat." Albert menelan ludahnya, "Cinta itu masih tetap ada tentu saja, tetapi saat itu kami sudah memiliki pasangan masing-masing dan kehidupan sendiri-sendiri, jadi kami memutuskan bersahabat, terus berhubungan melalui surat menyurat. Sampai kemudian, Samantha mengatakan bahwa dirinya sakit... tubuhnya yang menua kalah oleh penyakitnya.... " Mata Albert berkaca-kaca, "Aku datang kembali ke negara ini setelah sekian lama aku berani kembali ke negara yang telah memberikan perih di hatiku ini, kau tahu aku punya perusahaan di sini tetapi aku bahkan tidak pernah berani mengunjunginya sebelumnya karena takut kenangan itu akan kembali.... dan sayangnya ketika aku mendapatkan kembali keberanianku untuk datang ke negara ini, semua sudah terlambat, Samantha sudah meninggal dunia...."
Albert tampaknya tidak malu mengeluarkan air mata, ya, cintanya kepada Samantha, kekasih yang tidak bisa dimilikinya sangat dalam sehingga baginya air mata yang ditumpahkan untuk kekasihnya adalah sebuah penghargaan. Matanya menatap tajam kepada Alexa.
"Sebelum meninggal, Samantha mengirimkan surat terakhirnya. Memintaku memenuhi keinginannya. Dia punya seoang cucu perempuan yang cantik, dan dia tahu aku punya cucu laki-laki. Dia ingin cucu kami meneruskan impian cinta kami yang tidak bersatu. Dia ingin cucu kami menikah."
Menikah? Apakah yang dimaksud adalah Alexa dan..... matanya menoleh ke arah Nathan yang sejak tadi diam saja, pun dengan lelaki bermata abu-abu itu.
"Semula kau dijodohkan dengan Daniel. cucuku" Mata Albert lurus ke belakang, membuat Alexa menoleh dan terkejut luar biasa.
Daniel...?
Jadi si mata abu-abu itu adalah cucu Albert Simon??
"Tetapi sekarang keadaan menjadi pelik. Kau pasti sudah mendengar kedatangan Nathan ke keluarga kami." Albert Simon tersenyum ke arah Nathan, "Bagaimanapun juga Nathan adalah cucuku juga." Mata Albert Simon menatap ke arah Alexa dalam-dalam, "Jadi sekarang, Alexa, kau mempunyai dua tunangan. Karena janjiku kepada Samantha adalah menikahkan kau dengan cucu lelakiku.... saat itu aku tidak tahu bahwa aku punya dua cucu laki-laki."
"Apa?" Alexa hampir saja terlompat dari kursinya mendengar pertanyaan Albert Simon bahwa dia punya dua tunangan. Benaknya berputar, mengingat semua hal yang terjadi kemarin, dan kemudian dia berhasil menelaah segalanya. Jadi inilah yang dimaksud oleh Daniel si mata abu-abu bahwa Alexa harus memilihnya, inilah yang dimaksud oleh Nathan bahwa Alexa harus bersikap adil kepadanya."Apakah maksud anda saya harus...." Alexa mencoba bertanya dan langsung disela oleh Albert Simon.
"Aku memintamu kemari untuk memilih, Alexa. Kau akan menikah dengan salah satu dari cucuku, Daniel atau Nathan, pilihan ada di tanganmu. Siapapun yang kau pilih menjadi tunanganmu, dia yang akan menjadi penerus utamaku."
Alexa membeku. Matanya melirik ke belakang, ke arah Daniel yang masih bersandar santai dengan ekspresi kaku dan tak terbaca, lalu ke arah Nathan yang duduk di sebelahnya dan tersenyum santai, seperti menikmati keadaan ini.
Suasana ruangan itu menjadi hening, seolah-olah semuanya menunggu jawaban Alexa.
Alexa bingung. Semua ini terlalu mengejutkan dan mendadak. Jangankan memilih, saat ini Alexa bahkan tidak tahu harus berkata apa.
Bersambung ke part 5
Published on June 24, 2013 03:00
June 23, 2013
Another 5% Part 12
PS : maafkan yah semuanya T__T di hari minggu biasanya aku gagal posting, soalnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga mingguan, nyuci, masak, seterika, dateng ke beberapa undangan pernikahan, iseng gangguin suami dan lain-lainnya hihihihihihi maafkaaaaaan.....
Selly duduk di ranjangnya, di kegelapan malam sambil memegang ponselnya. Berkali-kali dia berusaha menghubungi Rolan, tetapi nomor hp kekasihnya itu tetap tidak aktif.....
Apakah Rolan masih di rumah sakit? Bersama Sabrina? kenapa Rolan tidak menghubunginya?
Perasaan Selly terasa sedih, bergayut dengan rasa kecewa yang mendalam, diliriknya jam dinding di kamarnya, sebentar lagi lewat dari jam dua belas malam. Ulang tahunnya akan berakhir, dan Rolan bahkan belum memberikan satupun ucapan selamat ulang tahun kepadanya....
Setetes air mata bergulir dari sudut mata Selly ketika dia membaringkan tubuhnya ke tempat tidur, meringkuk miring dalam posisi janin yang baru lahir dan memejuamkan matanya.
*** Ketukan di pintu flatnya membuat Selly membuka matanya. Ketukan itu terdengar bersemangat dan semakin lama semakin kencang, hingga sampai ke kamarnya.
Selly terduduk, berusaha mengumpulkan kesadarannya setelah terbangun dari tidurnya, dan kemudian mengernyitkan kening, kembali melirik ke arah jam dinding.
Masih pukul empat dini hari, siapa gerangan yang bertamu sepagi ini?
Dengan hati-hati Selly meraih sweater yang tersampir di kursi di sebelah ranjangnya dan memakainya untuk melapisi gaun tidurnya, Dia kemudian melangkah ke luar kamarnya, sambil menyalakan lampu-lampu ruangan karena keadaan masih gelap.
Ketika sampai di depan pintu, Selly tertegun ketika mendengarkan suara itu.
"Selly, sayang, bukakan pintu, ini aku Rolan..."
Tanpa pikir panjang, Selly langsung membuka pintunya, jemarinya sedikit gemetar ketika melakukannya.
Rolan datang!
Pintupun terbuka, dan diambang pintu berdiri Rolan dengan wajah sedih dan menyesal. Lelaki itu tampak kusut, seperti tidak tidur semalaman.
"Maafkan aku sayang..." Suara Rolan begitu serak, lelaki itu melangkah maju, tampak ragu, tetapi kemudian karena tidak ada penolakan dari Selly, dia langsung bergerak dan merengkuh Selly ke dalam pelukannya, erat-erat sampai napas Selly terasa sesak.
***
Gabriel duduk termenung di kegelapan, di ruang kerjanya yang luas dan dingin. Matanya hanya tertuju kepada satu titik.
Sebuah foto.... foto mamanya, senyumnya lebar dan ceria... ketika itu penyakitnya belum sampai merenggut senyum itu dari wajahnya.
Dahi Gabriel mengerut.. kalau saja waktu itu Matthias memutuskan untuk menolong ibunya, apakah Gabriel akan menjadi orang yang berbeda?
Seluruh dirinya dipenuhi oleh dendam, kebencian yang mendalam kepada kekuatan terang dan keinginan kuat untuk menghancurkannya. Mungkin kekuatan kegelapan telah mempengaruhinya, dan membuatnya begitu kejam, tetapi Gabriel masih teringat rasa putus asanya ketika berlutut di depan Matthias dan memohon kepadanya demi nyawa mamanya, hanya untuk diabaikan.
Kekuatan terang bukanlah kekuatan kebaikan, tidak jika Matthias bahkan tega menolak permohonan seorang anak kecil - yang sangat mencintai mamanya - dan putus asa.
Gabriel mengernyit. Tiba-tiba merasa tekanan di dalam dirinya, tekanan yang tidak pernah dirasakannya. sebuah pertanyaan terus berkutat di benaknya,
Kenapa Rollan harus memiliki Selly sebagai cinta sejatinya?
***
"Sayangku, maafkan aku... maafkan aku...." Rolan mengucap kalimat itu berulang-ulang seolah-olah satu kalimat saja tak cukup untuk menebus kesalahannya, "Maafkan aku Selly, aku telah membuatmu kecewa." Lelaki itu memeluk Selly semakin erat, mengecup rambut dan pelipisnya.
Selly pada akhirnya tersenyum dan mendongakkan kepalanya, menatap Rolan dengan lembut,
"Sudah.. tidak perlu meminta maaf lagi, aku tidak apa-apa kok."
Rolan menatap wajah kekasihnya itu dengan sayang, "Kau begitu baik dan aku begitu jahat telah membuatmu kecewa di hari ulang tahunmu."
Ulang tahunnya sudah lewat tentu saja. Tetapi tidak apalah. Selly menghela napas panjang, setidaknya sekarang Rolan hadir di sini bersamanya, bukankah itu sudah cukup?
"Duduklah dulu, Rolan, kau tampak kusust dan lelah." Selly melepaskan diri dari pelukan Rolan, "Aku akan membuatkan teh hangat untukmu."
Rolan menurut, melepaskan Selly dari pelukannya dan melangkah ke sofa di ruang tengah sederhana di dalam flat Selly, beberapa saat kemudian, Selly datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring kue-kue kecil.
Mereka duduk bersama di sofa, Rolan meneguk teh-nya dan menghela napas panjang, sementara Selly menatapnya dengan prihatin,
"Bagaimana keadaan Sabrina?"
Rolan menggelengkan kepalanya, tampak sedih, "Buruk, kondisinya sama sekali tidak membaik, sungguh ajaib dia bisa bertahan selama ini, dokter bilang, tubuh Sabrina memiliki pertahanan yang sangat baik sehingga bisa memperlambat perkembangan sel-sel kanker itu... "Tiba-tiba ekspresi Rolan berubah serius, "Tapi aku di sini bukan untuk membahas masalah Sabrina, aku ingin minta maaf karena menghancurkan rencana makan malam kita di hari ulang tahunmu."
"Kau sudah minta maaf berkali-kali dari tadi." Sabrina tersenyum.
"Dan mungkin aku tidak termaafkan. Aku tahu betapa kau menginginkan makan malam romantis ini, di hari istimewa pula dan kau sungguh baik hati karena bahkan tidak marah kepadaku." Rolan sungguh-sungguh menyesal, dia benar-benar tidak menginginkan ini terjadi, padahal di makan malam romantis mereka itu, dia berencana untuk melamar Selly... tiba-tiba jemarinya meraba ke saku celananya, mencari kotak cincin mungil itu... dan tidak menemukannya.
Rolan mengerutkan dahinya kehbingungan. Cincin itu tidak ada! Apakah... apakah jangan-jangan jatuh di rumah sakit? di kamar Sabrina?
Selly mengamati ekspresi Rolan yang berubah-ubah dan menatap cemas, "Kau tidak apa-apa Rolan? Ada apa?"
Rolan berdehem bingung, tidak mungkin bukan kalau dia mengatakan bahwa dia kehilangan cincin yang sedianya akan digunakan untuk melamar Selly? Tidak, ini seharusnya menjadi kejutan untuk Selly, jadi Rolan lebih baik mencari cincin itu dulu dan kemudian melamar Selly di waktu lain yang tepat. Dia akan ke rumah sakit kembali untuk mencari cincinnya yang mungkin saja jatuh di kamar Sabrina..... itu nanti. Sekarang dia akan fokus kepada Selly.
"Eh.. bukan, mungkin aku agak sedikit lelah."
Selly tersenyum kembali dengan lembut, "Kau boleh istirahat di sofa ini kalau mau."
"Terimakasih Selly." Rolan menatap kekasihnya itu dengan serius, matanya berbinar. "Selamat ulang tahun Selly, bertahun kemarin ketika kita sakit, kita selalu merayakannya bersama di rumah sakit, di ruangan kamarku dalam kondisiku yang buruk. Sekarang ketika aku sehat, aku malahan mengacaukan segalanya." Jemari Rolan menyentuh pipi Selly dengan lembut, "Maafkan aku atas ucapan selamat ulang tahun yang terlambat ini." Rolan menundukkan kepalanya, lalu mengecup bibir Selly dengan penuh perasaan.
***
"Kudengar kau mengacaukan perayaan ulang tahun Rolan dengan kekasihnya." Gabriel baru saja memasukkan darahnya ke infus Sabrina, seperti biasanya. "Kenapa kau lakukan itu?"
Sabrina melirik Gabriel sedih, "Bukankah itu juga menguntungkanmu?"
Ekspresi Gabriel tidak terbaca, "Kenapa kau lakukan itu, Sabrina?" bibir Gabriel hampir tak bergerak, tetapi kata-kata yang didesiskannya meluncur dengan dingin membuat Sabrina merinding, itu adalah tanda bahaya, Sabrina harus jujur kalau tidak mau menyulut kemarahan kakaknya.
"Aku ingin merayu Rolan, sehingga dia mau menyembuhkan penyakitku. Penyakit yang kau tidak mau menyembuhkannya."
"Rolan masih belum bisa melakukannya. Dia belum bisa menggunakan kekuatannya secara maksimal, dan harus belajar banyak dari Marco, pendampingnya." sela Gabriel cepat.
"Aku tahu, dan itu malahan menguntungkanku, memberiku waktu untuk mengambil hatinya, dan nanti ketika dia punya kekuatan penyembuh itu, dia tidak akan bisa menolak permohonanku."
Permohonan. Gabriel langsung teringat betapa dia memohon kepada Matthias, pemilik kekuatan terang sebelumnya, dan ditolak. Yah. Kalau Marco berhasil membuat Rolan memahami buku peraturan alam semesta itu, dia yakin bahwa Rolan akan menolak Sabrina. Semoga saja Rolan tidak sebodoh itu bisa takluk dalam pesona Sabrina.
Gabriel menatap sinis, "Kau sudah tahu bukan bahwa menyembuhkan penyakit seseorang yang sudah berada di takdir kematian adalah hal yang terlarang dan akan menyebabkan kutukan pada sang pemilik kekuatan?"
"Aku tahu." Sabrina mengalihkan matanya, tak tahan ditatap Gabriel seintens itu, "Aku hanya berpikir, kalau aku bisa merayu Rolan untuk menyembuhkanku, dia akan menerima kutukannya. Dan kau akan menang."
Langkah kaki Gabriel yang mendekati ranjang Sabrina tampak mengancam, "Jangan pernah berpikir bahwa apapun bantuanmu akan membuatku senang. Jangan ikut campur Sabrina.... Kau seharusnya tahu bahwa aku ingin menang dengan caraku sendiri." Jemari Gabriel terulur, hendak menyentuh dahi Sabrina, membuat Sabrina beringsut ketakutan...
Tetapi kemudian langkah Gabriel terhenti ketika dia menginjak sesuatu yang keras di kakinya. Dia menunduk dan mengerutkan kening ketika melihat sebuah kotak berwarna hitam mungil yang terinjak di bawah sepatunya.
Gabriel membungkuk dan mengambil kotak itu dengan jemarinya. Sebuah kotak cincin.
"Apa itu?" Sabrina mencoba melongok meskipun takut Rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya.
"Bukan apa-apa." Gabriel menatap Sabrina tajam dan memasukkan benda itu ke sakunya, membuat Sabrina tidak berani bertanya-tanya lagi, "Ingat, jangan macam-macam Sabrina." gumamnya dingin sedetik sebelum bayangan gelap menelan tubuh Gabriel dan membuatnya menghilang dari ruangan itu.
***
Sebuah cincin... cincin yang indah dengan inisial nama R&S di bagian dalamnya....
Rolan ternyata berniat untuk melamar Selly...
Gabriel tersenyum sinis, jemarinya memegang cincin mungil itu dan menatapnya dingin. Sayangnya Rolan begitu bodoh dan menjatuhkan cincin itu, membuatnya yakin bahwa Rolan mengurungkan lamarnannya kepada Selly.
Dia harus memisahkan dua anak manusia itu.... bagaimanapun caranya, karena ikatan antara Rolan dan Selly tidak boleh menjadi kuat.
Cincin itu tampak memuai di tangan Gabriel, ditempa oleh panas yang tak terlihat, lalu dalam hidungan detik, cincin itu lebur menjadi abu berwarna keemasan yang bertebaran di udara, hancur tak bersisa.
***
Selly meletakkan tiga potongan kue tart berlapis gula putih yang baru dipotongnya dari kue tart pemberian Gabriel kemarin di meja yang bisa dijangkau dan seteko kopi dalam termos yang akan selalu hangat. Makanan itu disiapkannya untuk Rolan ketika lelaki itu bangun nanti. Dia kemudian melirik ke arah Rolan yang masih tidur meringkuk di balik selimut di sofa ruang tengahnya. Rolan memang menginap di rumahnya, dan tentu saja tidur di sofa,
Rolan tampak kelelahan, dan Selly tidak tega membangunkannya. Dia sendiri sudah berpakaian resmi hendak ke kantor dan sebentar lagi akan berangkat naik kendaraan umum.
Diteguknya kopinya sendiri, lalu dia meraih tasnya, dengan hati-hati dia berjalan mendekat ke arah Rolan yang masih terlelap. Dibungkukkannya badannya dan dikecupnya dahi Rolan dengan lembut,
"Aku pergi dulu sayang." bisiknya pelan, penuh cinta, lalu melangkah meninggalkan flatnya
***
Bertemu dengan Gabriel mungkin akan terasa canggung setelah peristiwa semalam. Selly membatin dalam hati ketika membuka pintu ruangan kantornya, dan kemudian menghela napas panjang karena Gabriel ternyata belum datang. Biasanya Gabriel akan duduk di balik meja besarnya itu dan sibuk dengan pekerjaan di depannya.
Selly teringat akan kebaikan Gabriel semalam,dan mau tak mau rasa terimakasih membanjiri benaknya oleh karena kebaikan dan perhatian yang diberikan oleh atasannya itu.
Dia sama sekali tidak menyangka, di balik ekspresi dingin dan misterius atasannya, tersimpan kebaikan hati yang tulus.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, dan lelaki yang sedang dibatin oleh Selly masuk. Gabriel seperti biasa tampak elegan dengan penampilannya yang rapi dan berkarisma, lelaki itu tersenyum ketika melihat Selly sudah duduk di balik mejanya,
"Selamat pagi." sapanya ramah, "Apa kabar?"
Selly menganggukkan kepalanya, "Baik, terimakasih Sir, dan selamat pagi juga."
Gabriel melangkah duduk di kursi besarnya dan bertanya sambil lalu, "Apakah kau dan calon suamimu sudah menyelesaikan masalah kalian berdua?"
Selly tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Semua baik-baik saja." Dia melemparkan senyum terimakasih kepada Gabriel, "Dan terimakasih untuk anda, Sir. Anda benar-benar menyelamatkan hari ulang tahun saya."
Senyum Gabriel melebar. Ekspresi yang sangat jarang ditampilkannya, garis-garis wajahnya ketika tersenyum lebar membuat Selly terpesona karena aura ketampanannya yang langsung memancar jauh, dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar.
"Sama-sama Selly, aku senang melakukannya." jawab Gabriel dengan nada misterius, lalu mengalihkan matanya ke pekerjaannya dan mengabaikan Selly.
Sementara itu Selly merenung, meskipun matanya berusaha memfokuskan diri pada berkas-berkas di mejanya, benaknya bertanya-tanya, pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Kenapa jantungnya berdebar?
***
Beberapa jam mungkin telah berlalu, dan sinar matahari yang menyelip dari gorden jendela mengenai matanya, membuat Rolan tesadarkan dari tidur pulasnya, dia menggeliat, kemudian membuka matanya sedikit, pada mulanya bingung dengan kondisi sekelilingnya, lalu ingatannya kembali dan sadar bahwa dia berada di flat Selly
"Selly?" Rolan memanggil dengan suara serak. Tetapi suasana hening, lelaki itu lalu melirik ke arah jam tangannya. Sudah jam sepuluh pagi, pantas saja, Selly pasti sudah berangkat kerja.
Rolan menggeliat, dan matanya menangkap potongan kue berlapir krim putih di piring dan termos minuman di sebelahnya,. bibirnya tersenyum. Selly begitu perhatian kepadanya, perempuan itu pasti akan menjadi isteri yang terbaik. Tetapi bibirnya mengerucut ketika melihat potongan kue di piring itu. Itu seperti potongan dari kue tart yang indah. Apakah Selly membeli kue tart untuk dirinya sendiri semalam? Mungkin dengan harapan dia bisa menipu lilinnya bersama Rolan? Ah.... perasaan bersalah menyeruak kembali ke benak Rolan, menyadari bahwa dia telah membiarkan Selly menghabiskan hari ulang tahunnya sendirian.
Rolan membuka termos itu dan aroma kopi yang harum menguar di udara, memenuhi ruangan. Sebuah mug diletakkan terbalik di nampan, Rolan meraihnya, dan menuang kopi itu, lalu meneguknya untuk memberikan kesegaran kepada tubuhnya. Dia berpikir untuk segera mandi dan menengok Sabrina ke rumah sakit, selain untuk mencari cincinnya, Rolan ingin dia ada di rumah sakit ketika Sabrina sadar, apalagi karena dini hari tadi, dia meninggalkan Sabrina tanpa pamit di saat Sabrina masih tidur pulas. Rolan tidak mau Sabrina mencari-carinya atau kecewa kepadanya yang akan berimbas kepada kondisi kesehatan. Sabrina begitu lemah, begitu menderita, dan Rolan akan melakukan apapun untuk membantu Sabrina.
Tepat setelah tegukan ketiganya, sebuah ketukan terdengar di pintu flat Selly, membuatnya mengerutkan kening.
Siapa yang bertamu ke flat Selly siang-siang? Orang-orang yang mengenal Selly pasti tahu kalau Selly sedang bekerja di jam-jam begini.
Dengan penuh rasa ingin tahu, Rolan meletakkan cangkir kopinya, lalu melangkah ke pintu dan membukanya.
Ternyata Marco yang berdiri di depannya. Rolan mengangkat alisnya,
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?"
Marco mengangkat bahunya, "Saya punya kemampuan khusus untuk melacak sang pemegang kekuatan." Lelaki itu menunjukkan buku tebal berisi aturan semesta kepada Rolan, 'Mari tuan, kita harus bergegas, anda harus belajar banyak dan mencoba menguasai seluruh kekuatan itu dengan sempurna. Waktu kita menipis, sebab saya sudah mulai merasakan kekuatan kegelapan yang semakin mengancam."
Bersambung ke Part 13

Selly duduk di ranjangnya, di kegelapan malam sambil memegang ponselnya. Berkali-kali dia berusaha menghubungi Rolan, tetapi nomor hp kekasihnya itu tetap tidak aktif.....
Apakah Rolan masih di rumah sakit? Bersama Sabrina? kenapa Rolan tidak menghubunginya?
Perasaan Selly terasa sedih, bergayut dengan rasa kecewa yang mendalam, diliriknya jam dinding di kamarnya, sebentar lagi lewat dari jam dua belas malam. Ulang tahunnya akan berakhir, dan Rolan bahkan belum memberikan satupun ucapan selamat ulang tahun kepadanya....
Setetes air mata bergulir dari sudut mata Selly ketika dia membaringkan tubuhnya ke tempat tidur, meringkuk miring dalam posisi janin yang baru lahir dan memejuamkan matanya.
*** Ketukan di pintu flatnya membuat Selly membuka matanya. Ketukan itu terdengar bersemangat dan semakin lama semakin kencang, hingga sampai ke kamarnya.
Selly terduduk, berusaha mengumpulkan kesadarannya setelah terbangun dari tidurnya, dan kemudian mengernyitkan kening, kembali melirik ke arah jam dinding.
Masih pukul empat dini hari, siapa gerangan yang bertamu sepagi ini?
Dengan hati-hati Selly meraih sweater yang tersampir di kursi di sebelah ranjangnya dan memakainya untuk melapisi gaun tidurnya, Dia kemudian melangkah ke luar kamarnya, sambil menyalakan lampu-lampu ruangan karena keadaan masih gelap.
Ketika sampai di depan pintu, Selly tertegun ketika mendengarkan suara itu.
"Selly, sayang, bukakan pintu, ini aku Rolan..."
Tanpa pikir panjang, Selly langsung membuka pintunya, jemarinya sedikit gemetar ketika melakukannya.
Rolan datang!
Pintupun terbuka, dan diambang pintu berdiri Rolan dengan wajah sedih dan menyesal. Lelaki itu tampak kusut, seperti tidak tidur semalaman.
"Maafkan aku sayang..." Suara Rolan begitu serak, lelaki itu melangkah maju, tampak ragu, tetapi kemudian karena tidak ada penolakan dari Selly, dia langsung bergerak dan merengkuh Selly ke dalam pelukannya, erat-erat sampai napas Selly terasa sesak.
***

Sebuah foto.... foto mamanya, senyumnya lebar dan ceria... ketika itu penyakitnya belum sampai merenggut senyum itu dari wajahnya.
Dahi Gabriel mengerut.. kalau saja waktu itu Matthias memutuskan untuk menolong ibunya, apakah Gabriel akan menjadi orang yang berbeda?
Seluruh dirinya dipenuhi oleh dendam, kebencian yang mendalam kepada kekuatan terang dan keinginan kuat untuk menghancurkannya. Mungkin kekuatan kegelapan telah mempengaruhinya, dan membuatnya begitu kejam, tetapi Gabriel masih teringat rasa putus asanya ketika berlutut di depan Matthias dan memohon kepadanya demi nyawa mamanya, hanya untuk diabaikan.
Kekuatan terang bukanlah kekuatan kebaikan, tidak jika Matthias bahkan tega menolak permohonan seorang anak kecil - yang sangat mencintai mamanya - dan putus asa.
Gabriel mengernyit. Tiba-tiba merasa tekanan di dalam dirinya, tekanan yang tidak pernah dirasakannya. sebuah pertanyaan terus berkutat di benaknya,
Kenapa Rollan harus memiliki Selly sebagai cinta sejatinya?
***
"Sayangku, maafkan aku... maafkan aku...." Rolan mengucap kalimat itu berulang-ulang seolah-olah satu kalimat saja tak cukup untuk menebus kesalahannya, "Maafkan aku Selly, aku telah membuatmu kecewa." Lelaki itu memeluk Selly semakin erat, mengecup rambut dan pelipisnya.
Selly pada akhirnya tersenyum dan mendongakkan kepalanya, menatap Rolan dengan lembut,
"Sudah.. tidak perlu meminta maaf lagi, aku tidak apa-apa kok."
Rolan menatap wajah kekasihnya itu dengan sayang, "Kau begitu baik dan aku begitu jahat telah membuatmu kecewa di hari ulang tahunmu."
Ulang tahunnya sudah lewat tentu saja. Tetapi tidak apalah. Selly menghela napas panjang, setidaknya sekarang Rolan hadir di sini bersamanya, bukankah itu sudah cukup?
"Duduklah dulu, Rolan, kau tampak kusust dan lelah." Selly melepaskan diri dari pelukan Rolan, "Aku akan membuatkan teh hangat untukmu."
Rolan menurut, melepaskan Selly dari pelukannya dan melangkah ke sofa di ruang tengah sederhana di dalam flat Selly, beberapa saat kemudian, Selly datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring kue-kue kecil.
Mereka duduk bersama di sofa, Rolan meneguk teh-nya dan menghela napas panjang, sementara Selly menatapnya dengan prihatin,
"Bagaimana keadaan Sabrina?"
Rolan menggelengkan kepalanya, tampak sedih, "Buruk, kondisinya sama sekali tidak membaik, sungguh ajaib dia bisa bertahan selama ini, dokter bilang, tubuh Sabrina memiliki pertahanan yang sangat baik sehingga bisa memperlambat perkembangan sel-sel kanker itu... "Tiba-tiba ekspresi Rolan berubah serius, "Tapi aku di sini bukan untuk membahas masalah Sabrina, aku ingin minta maaf karena menghancurkan rencana makan malam kita di hari ulang tahunmu."
"Kau sudah minta maaf berkali-kali dari tadi." Sabrina tersenyum.
"Dan mungkin aku tidak termaafkan. Aku tahu betapa kau menginginkan makan malam romantis ini, di hari istimewa pula dan kau sungguh baik hati karena bahkan tidak marah kepadaku." Rolan sungguh-sungguh menyesal, dia benar-benar tidak menginginkan ini terjadi, padahal di makan malam romantis mereka itu, dia berencana untuk melamar Selly... tiba-tiba jemarinya meraba ke saku celananya, mencari kotak cincin mungil itu... dan tidak menemukannya.
Rolan mengerutkan dahinya kehbingungan. Cincin itu tidak ada! Apakah... apakah jangan-jangan jatuh di rumah sakit? di kamar Sabrina?
Selly mengamati ekspresi Rolan yang berubah-ubah dan menatap cemas, "Kau tidak apa-apa Rolan? Ada apa?"
Rolan berdehem bingung, tidak mungkin bukan kalau dia mengatakan bahwa dia kehilangan cincin yang sedianya akan digunakan untuk melamar Selly? Tidak, ini seharusnya menjadi kejutan untuk Selly, jadi Rolan lebih baik mencari cincin itu dulu dan kemudian melamar Selly di waktu lain yang tepat. Dia akan ke rumah sakit kembali untuk mencari cincinnya yang mungkin saja jatuh di kamar Sabrina..... itu nanti. Sekarang dia akan fokus kepada Selly.
"Eh.. bukan, mungkin aku agak sedikit lelah."
Selly tersenyum kembali dengan lembut, "Kau boleh istirahat di sofa ini kalau mau."
"Terimakasih Selly." Rolan menatap kekasihnya itu dengan serius, matanya berbinar. "Selamat ulang tahun Selly, bertahun kemarin ketika kita sakit, kita selalu merayakannya bersama di rumah sakit, di ruangan kamarku dalam kondisiku yang buruk. Sekarang ketika aku sehat, aku malahan mengacaukan segalanya." Jemari Rolan menyentuh pipi Selly dengan lembut, "Maafkan aku atas ucapan selamat ulang tahun yang terlambat ini." Rolan menundukkan kepalanya, lalu mengecup bibir Selly dengan penuh perasaan.
***

Sabrina melirik Gabriel sedih, "Bukankah itu juga menguntungkanmu?"
Ekspresi Gabriel tidak terbaca, "Kenapa kau lakukan itu, Sabrina?" bibir Gabriel hampir tak bergerak, tetapi kata-kata yang didesiskannya meluncur dengan dingin membuat Sabrina merinding, itu adalah tanda bahaya, Sabrina harus jujur kalau tidak mau menyulut kemarahan kakaknya.
"Aku ingin merayu Rolan, sehingga dia mau menyembuhkan penyakitku. Penyakit yang kau tidak mau menyembuhkannya."
"Rolan masih belum bisa melakukannya. Dia belum bisa menggunakan kekuatannya secara maksimal, dan harus belajar banyak dari Marco, pendampingnya." sela Gabriel cepat.
"Aku tahu, dan itu malahan menguntungkanku, memberiku waktu untuk mengambil hatinya, dan nanti ketika dia punya kekuatan penyembuh itu, dia tidak akan bisa menolak permohonanku."
Permohonan. Gabriel langsung teringat betapa dia memohon kepada Matthias, pemilik kekuatan terang sebelumnya, dan ditolak. Yah. Kalau Marco berhasil membuat Rolan memahami buku peraturan alam semesta itu, dia yakin bahwa Rolan akan menolak Sabrina. Semoga saja Rolan tidak sebodoh itu bisa takluk dalam pesona Sabrina.
Gabriel menatap sinis, "Kau sudah tahu bukan bahwa menyembuhkan penyakit seseorang yang sudah berada di takdir kematian adalah hal yang terlarang dan akan menyebabkan kutukan pada sang pemilik kekuatan?"
"Aku tahu." Sabrina mengalihkan matanya, tak tahan ditatap Gabriel seintens itu, "Aku hanya berpikir, kalau aku bisa merayu Rolan untuk menyembuhkanku, dia akan menerima kutukannya. Dan kau akan menang."
Langkah kaki Gabriel yang mendekati ranjang Sabrina tampak mengancam, "Jangan pernah berpikir bahwa apapun bantuanmu akan membuatku senang. Jangan ikut campur Sabrina.... Kau seharusnya tahu bahwa aku ingin menang dengan caraku sendiri." Jemari Gabriel terulur, hendak menyentuh dahi Sabrina, membuat Sabrina beringsut ketakutan...
Tetapi kemudian langkah Gabriel terhenti ketika dia menginjak sesuatu yang keras di kakinya. Dia menunduk dan mengerutkan kening ketika melihat sebuah kotak berwarna hitam mungil yang terinjak di bawah sepatunya.
Gabriel membungkuk dan mengambil kotak itu dengan jemarinya. Sebuah kotak cincin.
"Apa itu?" Sabrina mencoba melongok meskipun takut Rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya.
"Bukan apa-apa." Gabriel menatap Sabrina tajam dan memasukkan benda itu ke sakunya, membuat Sabrina tidak berani bertanya-tanya lagi, "Ingat, jangan macam-macam Sabrina." gumamnya dingin sedetik sebelum bayangan gelap menelan tubuh Gabriel dan membuatnya menghilang dari ruangan itu.
***
Sebuah cincin... cincin yang indah dengan inisial nama R&S di bagian dalamnya....
Rolan ternyata berniat untuk melamar Selly...
Gabriel tersenyum sinis, jemarinya memegang cincin mungil itu dan menatapnya dingin. Sayangnya Rolan begitu bodoh dan menjatuhkan cincin itu, membuatnya yakin bahwa Rolan mengurungkan lamarnannya kepada Selly.
Dia harus memisahkan dua anak manusia itu.... bagaimanapun caranya, karena ikatan antara Rolan dan Selly tidak boleh menjadi kuat.
Cincin itu tampak memuai di tangan Gabriel, ditempa oleh panas yang tak terlihat, lalu dalam hidungan detik, cincin itu lebur menjadi abu berwarna keemasan yang bertebaran di udara, hancur tak bersisa.
***
Selly meletakkan tiga potongan kue tart berlapis gula putih yang baru dipotongnya dari kue tart pemberian Gabriel kemarin di meja yang bisa dijangkau dan seteko kopi dalam termos yang akan selalu hangat. Makanan itu disiapkannya untuk Rolan ketika lelaki itu bangun nanti. Dia kemudian melirik ke arah Rolan yang masih tidur meringkuk di balik selimut di sofa ruang tengahnya. Rolan memang menginap di rumahnya, dan tentu saja tidur di sofa,
Rolan tampak kelelahan, dan Selly tidak tega membangunkannya. Dia sendiri sudah berpakaian resmi hendak ke kantor dan sebentar lagi akan berangkat naik kendaraan umum.
Diteguknya kopinya sendiri, lalu dia meraih tasnya, dengan hati-hati dia berjalan mendekat ke arah Rolan yang masih terlelap. Dibungkukkannya badannya dan dikecupnya dahi Rolan dengan lembut,
"Aku pergi dulu sayang." bisiknya pelan, penuh cinta, lalu melangkah meninggalkan flatnya
***

Bertemu dengan Gabriel mungkin akan terasa canggung setelah peristiwa semalam. Selly membatin dalam hati ketika membuka pintu ruangan kantornya, dan kemudian menghela napas panjang karena Gabriel ternyata belum datang. Biasanya Gabriel akan duduk di balik meja besarnya itu dan sibuk dengan pekerjaan di depannya.
Selly teringat akan kebaikan Gabriel semalam,dan mau tak mau rasa terimakasih membanjiri benaknya oleh karena kebaikan dan perhatian yang diberikan oleh atasannya itu.
Dia sama sekali tidak menyangka, di balik ekspresi dingin dan misterius atasannya, tersimpan kebaikan hati yang tulus.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, dan lelaki yang sedang dibatin oleh Selly masuk. Gabriel seperti biasa tampak elegan dengan penampilannya yang rapi dan berkarisma, lelaki itu tersenyum ketika melihat Selly sudah duduk di balik mejanya,
"Selamat pagi." sapanya ramah, "Apa kabar?"
Selly menganggukkan kepalanya, "Baik, terimakasih Sir, dan selamat pagi juga."
Gabriel melangkah duduk di kursi besarnya dan bertanya sambil lalu, "Apakah kau dan calon suamimu sudah menyelesaikan masalah kalian berdua?"
Selly tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Semua baik-baik saja." Dia melemparkan senyum terimakasih kepada Gabriel, "Dan terimakasih untuk anda, Sir. Anda benar-benar menyelamatkan hari ulang tahun saya."
Senyum Gabriel melebar. Ekspresi yang sangat jarang ditampilkannya, garis-garis wajahnya ketika tersenyum lebar membuat Selly terpesona karena aura ketampanannya yang langsung memancar jauh, dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar.
"Sama-sama Selly, aku senang melakukannya." jawab Gabriel dengan nada misterius, lalu mengalihkan matanya ke pekerjaannya dan mengabaikan Selly.
Sementara itu Selly merenung, meskipun matanya berusaha memfokuskan diri pada berkas-berkas di mejanya, benaknya bertanya-tanya, pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Kenapa jantungnya berdebar?
***

"Selly?" Rolan memanggil dengan suara serak. Tetapi suasana hening, lelaki itu lalu melirik ke arah jam tangannya. Sudah jam sepuluh pagi, pantas saja, Selly pasti sudah berangkat kerja.
Rolan menggeliat, dan matanya menangkap potongan kue berlapir krim putih di piring dan termos minuman di sebelahnya,. bibirnya tersenyum. Selly begitu perhatian kepadanya, perempuan itu pasti akan menjadi isteri yang terbaik. Tetapi bibirnya mengerucut ketika melihat potongan kue di piring itu. Itu seperti potongan dari kue tart yang indah. Apakah Selly membeli kue tart untuk dirinya sendiri semalam? Mungkin dengan harapan dia bisa menipu lilinnya bersama Rolan? Ah.... perasaan bersalah menyeruak kembali ke benak Rolan, menyadari bahwa dia telah membiarkan Selly menghabiskan hari ulang tahunnya sendirian.
Rolan membuka termos itu dan aroma kopi yang harum menguar di udara, memenuhi ruangan. Sebuah mug diletakkan terbalik di nampan, Rolan meraihnya, dan menuang kopi itu, lalu meneguknya untuk memberikan kesegaran kepada tubuhnya. Dia berpikir untuk segera mandi dan menengok Sabrina ke rumah sakit, selain untuk mencari cincinnya, Rolan ingin dia ada di rumah sakit ketika Sabrina sadar, apalagi karena dini hari tadi, dia meninggalkan Sabrina tanpa pamit di saat Sabrina masih tidur pulas. Rolan tidak mau Sabrina mencari-carinya atau kecewa kepadanya yang akan berimbas kepada kondisi kesehatan. Sabrina begitu lemah, begitu menderita, dan Rolan akan melakukan apapun untuk membantu Sabrina.
Tepat setelah tegukan ketiganya, sebuah ketukan terdengar di pintu flat Selly, membuatnya mengerutkan kening.
Siapa yang bertamu ke flat Selly siang-siang? Orang-orang yang mengenal Selly pasti tahu kalau Selly sedang bekerja di jam-jam begini.
Dengan penuh rasa ingin tahu, Rolan meletakkan cangkir kopinya, lalu melangkah ke pintu dan membukanya.
Ternyata Marco yang berdiri di depannya. Rolan mengangkat alisnya,
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?"
Marco mengangkat bahunya, "Saya punya kemampuan khusus untuk melacak sang pemegang kekuatan." Lelaki itu menunjukkan buku tebal berisi aturan semesta kepada Rolan, 'Mari tuan, kita harus bergegas, anda harus belajar banyak dan mencoba menguasai seluruh kekuatan itu dengan sempurna. Waktu kita menipis, sebab saya sudah mulai merasakan kekuatan kegelapan yang semakin mengancam."
Bersambung ke Part 13
Published on June 23, 2013 23:49
June 22, 2013
Pengumuman 10 Nama yang masuk Nominasi Voting Romeo's Lover
Dear All, selamat pagi, maafkan ya posting pagi-pagi hehehe karena pekerjaan rekap dan seleksi baru selesai detik ini dan hasil seleksi baru saja disampaikan kepada penulis beberapa detik yang lalu hehehehe :D
Setelah satu team bekerja siang malam dan begadang untuk merekap, membalas semua email yang masuk, memilah-milah nama, kemudian menghitung numerologi serta kecocokan nama jika dipadankan dengan nama Romeo Marcuss ( kayaknya lebih ribet daripada milih nama buat anak nih ya hehehe ).....
Maka munculah sepuluh nama dengan skor nilai teratas berdasarkan sistem seleksi team, ada beberapa nama yang sama yang dikirim oleh lebih dari satu peserta, tetapi dengan fair seluruh nama peserta tetap dimasukkan semuanya ya ke dalam nominasi hadiahnya
Beberapa peserta mengirimkan nama lengkap keseluruhan nama, tetapi demi kemudahan voting, yang diumumkan di sini adalah nama utama ( diambil hanya satu nama penting) yang akan sering disebut di dalam novel Romeo's Lover, mengenai nama lengkapnya nanti akan menyesuaikan :)
Jadi.... maafkan kami yang telah membuat seluruh peserta yang ikut berpartisipasi menunggu lama yaa T__Tsebelum diumumkan, akan direfresh kembali hadiah yang akan didapatkan
1. Hadiah utama untuk peserta yang mengusulkan nama :
Hadiahnya 1 buah buku Embrace The Chord dan 1 buah buku Another 5%, nama peserta akan masuk ke dalam daftar ucapan terimakasih penulis di novel Romeo's Lover atas kontribusinya menyumbangkan nama untuk tokoh utama perempuan cerita ini
2. Hadiah tambahan Untuk Peserta yang akan berpartisipasi dalam voting
3 voters yang beruntung akan mendapatkan 1 buah novel Embrace The ChordAkan dipilih tiga peserta voters secara acak setelah sistem voting ditutup dan diumumkan di blog, Mohon setelah voting silahkan meninggalkan jejak dengan meninggalkan komen di postingan pengumuman pemenang ini, sehingga bisa dihubungi kembali ketika ternyata beruntung terpilih sebagai 3 Voters beruntung.
Okeee setelah menunggu ( lagi ) hehehe berikut 10 nama yang terpilih untuk masuk votingan, Jangan lupa yaa Votingnya jangan melalui komen di postingan ini, melainkan melalui Link Voting yang sudah disiapkan di bagian atas blog ini, Caranya : readers tinggal klik pada nama yang dipilih ya dan sistem komputer akan menghitungkan otomatis
Perlu diketahui, penulis sama sekali tidak ikut campur dalam pemilihan 10 nama yang lolos voting ini demi menghindari unsur subyektifitas atau kecintaan penulis pada satu nama tertentu. Seluruh proses seleksi, pemilihan dan perhitungan numerologi nama dan pencocokan dengan unsur karakter yg dideskripsikan penulis serta kecocokan nama dengan Romeo Marcuss, dilakukan oleh team yang membantu penulis yang bekerja dengan sukarela membantu penulis :)
Voting dibuka mulai hari ini dan ditutup tanggal 30 Juni 2013
Pengumuman pemenang usulan nama + 3 Voters yang beruntung dilakukan tanggal 1 Juli 2013
10 Nama Teratas yang terpilih :
1. ALINA by Margareta Asegaff dan Alina Sekar 2. IVANA by Lila Kurnia Wardani, Dhea Thiningrum 3. MEYRA by Mega Ary Ramadhan 4. EMILY by Rika Purnama Sari, Anisah Ryndini 5. MIA by MIa Octavianie 6. ALEANA by Rena Septiana Onggat 7. TANIA by Caroline Margaretha 8. SIENNA by Fonny Hendrawati, Visensia Candra 9. VERONA by Ria Andriana, Sarah Zakila10. VIENNA by Ria ayu Resnani
Terimakasih sebanyak-banyaknya, sungguh benar-benar terimakasih tak terhingga atas partisipasi semuanya, benar-benar tidak menyangka begitu banyaknya yang berpartisipasi hingga mencapai seribu lebih email yang masuk, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya bagi yang belum terpilih namanya, setiap email kalian aku baca dan aku mengagumi nama-nama indah yang kalian masukkan, kalau boleh memilih pasti aku pilih semuanya hihihihi tapi pada akhirnya keputusan seleksi ada di tangan team, semoga nanti di lain waktu akan ada kesempatan untuk membagi keberuntungan yaaa
*peluk erat semuanya**bungkukkan badan dalam-dalam**menatap semuanya dengan terharu dan mata berkaca-kaca*
Salam sayang dari hati teramat dalam,
Santhy Agatha
Published on June 22, 2013 11:59
-Not- The Sweetest Love Prolog
PS : Halo semuanyaaa :D aku membawakan sebuah kisah terbaru lagi yah buat all readers, ini dikarenakan Menghitung Hujan dan Crush In Rush ( kurang epilognya saja ) sudah tamat.
Jadi setelah ini, demi kenikmatan membaca dan pengalaman menjelajahi cerita yang memuaskan bagi para readers, akan ada empat cerita bersambung yang bisa dinikmati di blog ini :) rencananya postingannya akan dilakukan secara teratur selang-seling sebanyak dua kisah setiap harinya, Enjoy!
NOT THE SWEETEST LOVE
Keenan melepaskan jaketnya dan menyampirkannya dengan semberono ke sofa, sebuah ponsel terjepit di antara pundak dan telinganya,
"Jadi kau tidak akan pulang sebelum akhir Januari?" Keenan mengerutkan keningnya, dia sedang bercakap-cakap dengan Azka kakaknya yang saat ini sedang berbulan madu bersama isterinya di Perancis, pasangan itu sepertinya memutuskan untuk memperpanjang masa bulan madu mereka sampai melewati musim dingin yang indah.... dan meninggalkan Keenan sendiri dengan pekerjaan kantoran yang tidak disukainya.Suara Azka di seberang sana tampak tenang dan dalam, memberikan instruksi-instruksi yang khas, membuat Keenan tersenyum masam, bahkan di masa berbulan madunya, kakak kembarnya itu tetap begitu ahli dalam pekerjaannya.
Setelah hanya mengangguk-angguk dan menanggapi seadanya, Keenan mengucapkan salam perpisahan kepada kakaknya, "Aku mau melakukan ini karena aku tahu kau sedang berbahagia di sana, segera setelah kau pulang gantian aku yang akan mengambil libur dan jalan-jalan ke luar negeri." gumamnya mengancam.
Azka tergelak di sana menanggapinya, membuat Keenan tersenyum. Kakaknya itu memang jadi mudah tertawa setelah pernikahannya. "Bye. Titip Salamku untuk Sani." Sani adalah kakak iparnya, isteri tersayang Azka.
Setelah itu Keenan meletakkan ponselnya dan membanting tubuhnya ke sofa, jemarinya dengan santai meraih remote control dan menyalakan televisi besar di ruang tengahnya. Dia menghela napas panjang, selama Azka berbulan madu, Keenanlah yang harus mengambil alih kendali perusahaan, sebenarnya ini bukan bidangnya, dia adalah seorang seniman dan pelukis terkenal yang bisa hidup enak dengan menjual lukisannya. Tetapi demi kakaknya, Keenan bersedia membantunya, toh Azka telah mengajarinya dengan begitu baik dan selalu siap membantu kalau-kalau ada meliputi pekerjaan yang tidak dipahaminya.
Meskipun saudara kembar, Keenan dan Azka sangatlah bertolak belakang. Azka tentu saja sangat kalem, elegan dan dewasa dengan penampilannya yang selalu rapi, kebanyakan dalam setelan jas kerja atau kemeja yang diseterika rapi. Sedangkan Keenan benar-benar 180 derajat sebaliknya, dia suka memakai jeans belel dan t-shirt lecek yang tidak diseterika, rambutnya bahkan dibiarkan panjang sampai melewati kerah bajunya, memakai setelan jas rapi - seperti yang terpaksa dilakukannya ketika menggantikan Azka - terasa amat menyiksanya, apalagi memakai dasi amat sangat mengganggunya, seakan dasi itu hendak mencekik lehernya.
Malam ini dia bosan, dan untunglah besok sudah hari sabtu yang berarti libur untuknya dimana dia bisa istirahat sejenak dari kebosanan berpenampilan formal dan urusan bisnis yang menyesakkan pikirannya.
Benaknya tiba-tiba melayang kepada kakak kembarnya dan Sani isterinya. Mereka pasangan luar biasa yang pada akhirnya bisa berujung bahagia, akanlah Keenan bisa menemukan kebahagiaan seperti mereka? Ataukah selamanya dia akan seperti ini? Terus menjadi Keenan yang bersantai dan tak punya seseorang penting dalam hidupnya?
Pikiran-pikiran itu membuatnya lelah, dan kemudian matanya terpejam. Membawanya ke alam mimpi.
***
"Aku dipermalukan sedemikan rupa, dianggap sampah!" Celine menangis sesenggukan di pelukan Aurel, sepupunya yang hanya bisa merangkulnya bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Aurel menatap Celine dengan kasihan, sepupunya itu gagal melaksanakan pernikahannya yang sudah di depan mata, ditinggalkan begitu saja oleh tunangannya. Pada mulanya Aurel memang agak bingung, semula Celine bertunangan dengan Azka, tetapi kemudian tiba-tiba saja Celine berpaling hati dan mengumumkan ke seluruh keluarga bahwa dia sudah bertunangan dan akan menikah dengan Keenan, yang notabene adalah saudara kembar Azka.... dan kemudian kabar menyedihkan itupun menyeruak, pernikahan Celine batal, baik Azka maupun Keenan meninggalkannya.
Aurel tentu saja masih belum jelas akan permasalahan di antara ketiga manusia ini. Yang dia tahu, Azka meninggalkan Celine demi seorang perempuan lain yang sekarang sudah dinikahinya, dan Keenan meninggalkan Celina karena Celine berbohong kepadanya.
Aurel menatap sepupunya yang cantik itu dan mendesah dalam hati. Yah sebenarnya dia juga tidak respek dengan cara Celine mencoba mengikat tunangannya. Azka yang malang merasa bertanggung jawab atas kecelakaan yang kebetulan dialaminya bersama Celine, yang menyebabkan Celine mengalami kelumpuhan... dan ternyata, kelumpuhan Celine selama ini hanyalah pura-pura. Hanyalah sebuah cara licik untuk terus menerus mengikat Azka.
Aurel tidak bisa menyalahkan kalau Azka dan Keenan sama-sama marah atas penipuan yang dilakukan Celine, tetapi Aurel tidak setuju dengan cara si kembar menangani Celine, entah bagaimana caranya, Azka mengumpankan Keenan untuk merebut hati Celine, bahkan menurut Celine, Azka juga menyuruh Eric yang ternyata adalah sahabat Azka untuk merayu Celine. Mereka semua kemudian membuat Celine terjebak sehingga ketahuan kebohongannya, mempermalukan diri Celine habis-habisan.
Celine memang licik, egois dan manja, tetapi seharusnya si kembar bisa menempuh cara yang lebih baik daripada mempermalukan sepupunya itu dan seperti kata Celine tadi - membuangnya seperti sampah.
"Jadi apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Celine?" Aurel mencoba mengembalikan Celine pada kenyataan, hingga Celine berhenti menangis dan meratapi diri.
Celine mengusap matanya yang bengkak dan penuh air mata. "Aku tidak tahu, rasanya aku sudah tidak ingin hidup lagi, aku benar-benar malu, pada semua keluarga, pada teman-teman... apalagi setelah Azka dengan tanpa hati menikah begitu saja dengan perempuan itu, perempuan yang bahkan tidak aku ketahui keberadaannya sebelumnya! Azka sudah mengkhianatiku di belakangku, jauh sebelum aku menerima rayuan Keenan dan Eric!" Mata Celine berapi-api, tampak penuh dendam, tiba-tiba dia menatap Aurel dengan serius, "Aku butuh bantuanmu, Aurel, kau adalah sepupuku yang paling dekat denganku, jadi aku sangat mengharapkan bantuanmu."
"Bantuan apa?" Aurel mengernyitkan keningnya, menatap Celine dengan bingung.
"Aku ingin kau mendekati mereka, mendekati orang-orang yang pernah menghancurkanku. Aku tahu kau perempuan kuat, tidak seperti aku. Kumohon Aurel, hancurkan Azka dan isterinya, hancurkan juga Keenan, aku ingin membuat mereka terpuruk seperti sampah, sama seperti yang pernah mereka lakukan kepadaku!"
"Apa?" Aurel ternganga, tidak menyangka kalau pikiran itu yang ada di benak Celine, "Apakah kau gila Celine? Aku tidak mungkin melakukan itu!"
"Kenapa tidak?" Celine berurai air mata kembali, "Kau adalah orang yang tepat untuk rencana ini, apalagi Azka dan Keenan, mereka tidak pernah melihatmu dan tidak tahu kau adalah sepupuku, itu semua karena alasan khususmu tidak mau mengunjungi kota tempat kami tinggal. Jadi karena mereka tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya, akan mudah bagimu mengatur rencana dan mendekati mereka tanpa diwaspadai." napas Celine terengah dan bersemangat, "Kumohon lakukanlah itu untukku Aurel, atau setidaknya kau bisa mencoba, kalau memang kau merasa tidak mampu, aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau mundur.... "
***
Ini gila.
Aurel memasang kacamata hitamnya di siang yang terik itu, tampak kontras dengan kulitnya yang putih dan pucat. Dia menarik koper kecilnya melalui lobby bandara menuju tempat penjemputan. Pakaiannya efisien tetapi tetap elegan, celana panjang hitam dan blazer modis yang pas ditubuhnya, membuatnya terkesan berwibawa. Ya, Aurel memang harus selalu tampil berwibawa terkait dengan pekerjaannya.
Dia pasti sudah gila karena mau menerima permintaan Celine untuk mencoba menghancurkan si kembar yang jahat itu. Tetapi Celine begitu penuh air mata dan memohon kepadanya, mengancam ingin mati saja kalau Aurel tidak mau membantunya... jadi Aurel bisa apa?
Dan di sinilah dia, di sebuah kota yang sudah lebih dari lima tahun lalu dikunjunginya. Ya sedapat mungkin Aurel menghindari mengunjungi kota ini, karena kota ini menyimpan pengalaman menyedihkan yang tidak ingin diingatnya lagi. Tetapi sekarang demi Celine, Aurel bersedia datang kembali kemari meskipun kenangan itu langsung menggoresnya, mengorek-ngorek kembali lukanya yang sudah hampir tertutup rapat.
Aurel menatap ke sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya. Kemudian matanya mengenali sosok yang pernah dilihatnya hanya melalui foto itu, dan mendekat ke arahnya,
"Pak Adam?" Aurel menyapa dengan suaranya yang lembut dan berwibawa.
Lelaki yang dipanggilnya itu menoleh mendengar panggilannya dan langsung membungkukkan badannya dengan hormat,
"Nona Aurel. Selamat datang di kota kami. Mari, kami telah menyiapkan mobil untuk anda."
Aurel hanya menganggukkan kepalanya, dan kemudian mengikuti pak Adam ke mobil.
Begitu mobil dijalankan, Aurel memajukan tubuhnya, bertanya kepada Pak Adam yang duduk di sebelah supir.
"Apakah pihak kantor cabang sudah tahu kedatangan saya?"
"Kami sudah menginformasikan kepada semuanya bahwa anda akan datang, segenap direksi kantor cabang sudah siap besok untuk meeting penting dengan anda."
"Bagus." Aurel menganggukkan kepalanya puas dan menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi mobil yang nyaman. Pekerjaan sebenarnya bukanlah prioritas penting baginya. Ya, diusianya yang masih sangat muda, Aurel berhasil menggantikan ayahnya yang terpaksa mengundurkan diri sebagai CEO karena kondisi kesehatannya yang melemah. Perusahaan keluarga mereka yang bergerak di bidang konversi kertas itu memang telah berkembang pesat dan menjadi pemimpin di barisannya, dan Aurek sebagai puteri tunggal sang pemilik perusahaan, ikut andil di dalam kesuksesannya. Dia sangat pandai berbisnis, mewarisi kemampuan ayahnya, dan semua orang mengakui bahkan segan kepadanya.
Urusannya ke kantor cabang ini sebenarnya bsia dia wakilkan kepada anak buahnya, tetapi sekarang, demi Celine, Aurel datang sendiri ke kota ini dan menggunakan urusan pekerjaan sebagai kamuflasenya.
Nanti, begitu sampai di hotel, Aurel akan mengatur strategi untuk bisa menjalankan rencananya atas si kembar itu, Azka dan Keenan. Dia menghela napas panjang membayangkan kesulitan yang akan dihadapinya ke depannya. Tetapi dia sudah mengatakan kepada Celine, hanya akan mencoba, kalau nanti dia merasa tidak mampu, Aurel akan mengundurkan diri dari rencana ini dengan segera.
***
"Lama sekali kau tidak pernah kemari, Keenan." bartender itu mengedipkan sebelah matanya kepada Keenan yang baru saja duduk di kursi bar yang tinggi, "Biasanya kau kemari dan berburu perempuan."
Keenan terkekeh, dia datang mengenakan baju santai, rambut setengah panjangnya yang acak-acakan, dagu kasar karena belum dicukur dan seluruh penampilan yang mencerminkan kebebasannya. Ya, Keenan yang ada sekarang bukanlah Keenan pengganti direktur yang sedang berbulan madu, Keenan yang sekarang adalah si seniman yang sedang menikmati hidup.
"Rasanya aku hampir lupa cara berburu perempuan." Keenan bergumam dengan nada suaranya yang malas, "Berikan aku double scoth murni dengan es."
Sang bartender tersenyum lebar, "Berminat menikmati malam ini, eh?" lelaki itu segera menyiapkan pesanan Keenan dan meletakkan di meja bar tempat Keenan duduk.
Keenan menghabiskan minumannya dalam beberapa kali teguk, sedikit mengernyitkan kening karena rasa panas yang membakar tenggorokannya. BIasanya setelah ini dia akan mendekati perempuan yang dirasa cocok di bar dan merayunya, kalau dia beruntung, mereka akan terlibat hubungan asmara singkat yang menyenangkan, tanpa ikatan, tanpa beban dan saling menguntungkan satu sama lain.
Matanya beredar ke sekeliling bar, mencari mangsa. Sampai kemudian dia terpaku kepada sosok yang baru masuk.
Perempuan itu tidak cocok berada di sini.
Itulah yang pertama kali muncul di benaknya ketika melihat penampilan perempuan itu. Perempuan itu mencolok dalam arti yang berbeda, dan itu yang membuat mata Keenan terpaku terus dan tak mau lepas.
Senyum sinis terkembang di bibir Keenan, Perempuan mana yang datang memasuki bar menjelang malam dengan pakaian seperti jas laki-laki yang difeminimkan begitu? belum lagi rambutnya yang disisir halus ke belakang dan digulung kaku di atas tengkuknya layaknya penjaga perpustakaan kutu buku seperti yang dilihatnya di film-film, Keenan bahkan berani bertaruh bahwa dari dekatpun, tidak akan ada sehelai rambutpun yang berantakan di gulungan rambutnya itu.
Tetapi dibalik penampilannya yang seperti kutu buku, mata Keenan yang tajam bisa menemukan kecantikan alaminya, bibir itu berwarna merah muda dan berkilauan ranum membuat Keenan ingin melumatnya seketika itu juga, dan kulit perempuan itu yang pucat, tampak rapuh, begitu kontras dengan pakaiannya yang serba hitam.
Senyum lebar langsung muncul di bibir Keenan. Malam ini sepertinya akan menarik untuknya, dengan rayuan yang tepat, mungkin dia bisa mendapatkan pasangan sesaat yang unik dan menyenangkan.
Bersambung ke Part 1
NOT THE SWEETEST LOVE

Keenan melepaskan jaketnya dan menyampirkannya dengan semberono ke sofa, sebuah ponsel terjepit di antara pundak dan telinganya,
"Jadi kau tidak akan pulang sebelum akhir Januari?" Keenan mengerutkan keningnya, dia sedang bercakap-cakap dengan Azka kakaknya yang saat ini sedang berbulan madu bersama isterinya di Perancis, pasangan itu sepertinya memutuskan untuk memperpanjang masa bulan madu mereka sampai melewati musim dingin yang indah.... dan meninggalkan Keenan sendiri dengan pekerjaan kantoran yang tidak disukainya.Suara Azka di seberang sana tampak tenang dan dalam, memberikan instruksi-instruksi yang khas, membuat Keenan tersenyum masam, bahkan di masa berbulan madunya, kakak kembarnya itu tetap begitu ahli dalam pekerjaannya.
Setelah hanya mengangguk-angguk dan menanggapi seadanya, Keenan mengucapkan salam perpisahan kepada kakaknya, "Aku mau melakukan ini karena aku tahu kau sedang berbahagia di sana, segera setelah kau pulang gantian aku yang akan mengambil libur dan jalan-jalan ke luar negeri." gumamnya mengancam.
Azka tergelak di sana menanggapinya, membuat Keenan tersenyum. Kakaknya itu memang jadi mudah tertawa setelah pernikahannya. "Bye. Titip Salamku untuk Sani." Sani adalah kakak iparnya, isteri tersayang Azka.
Setelah itu Keenan meletakkan ponselnya dan membanting tubuhnya ke sofa, jemarinya dengan santai meraih remote control dan menyalakan televisi besar di ruang tengahnya. Dia menghela napas panjang, selama Azka berbulan madu, Keenanlah yang harus mengambil alih kendali perusahaan, sebenarnya ini bukan bidangnya, dia adalah seorang seniman dan pelukis terkenal yang bisa hidup enak dengan menjual lukisannya. Tetapi demi kakaknya, Keenan bersedia membantunya, toh Azka telah mengajarinya dengan begitu baik dan selalu siap membantu kalau-kalau ada meliputi pekerjaan yang tidak dipahaminya.
Meskipun saudara kembar, Keenan dan Azka sangatlah bertolak belakang. Azka tentu saja sangat kalem, elegan dan dewasa dengan penampilannya yang selalu rapi, kebanyakan dalam setelan jas kerja atau kemeja yang diseterika rapi. Sedangkan Keenan benar-benar 180 derajat sebaliknya, dia suka memakai jeans belel dan t-shirt lecek yang tidak diseterika, rambutnya bahkan dibiarkan panjang sampai melewati kerah bajunya, memakai setelan jas rapi - seperti yang terpaksa dilakukannya ketika menggantikan Azka - terasa amat menyiksanya, apalagi memakai dasi amat sangat mengganggunya, seakan dasi itu hendak mencekik lehernya.
Malam ini dia bosan, dan untunglah besok sudah hari sabtu yang berarti libur untuknya dimana dia bisa istirahat sejenak dari kebosanan berpenampilan formal dan urusan bisnis yang menyesakkan pikirannya.
Benaknya tiba-tiba melayang kepada kakak kembarnya dan Sani isterinya. Mereka pasangan luar biasa yang pada akhirnya bisa berujung bahagia, akanlah Keenan bisa menemukan kebahagiaan seperti mereka? Ataukah selamanya dia akan seperti ini? Terus menjadi Keenan yang bersantai dan tak punya seseorang penting dalam hidupnya?
Pikiran-pikiran itu membuatnya lelah, dan kemudian matanya terpejam. Membawanya ke alam mimpi.
***
"Aku dipermalukan sedemikan rupa, dianggap sampah!" Celine menangis sesenggukan di pelukan Aurel, sepupunya yang hanya bisa merangkulnya bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Aurel menatap Celine dengan kasihan, sepupunya itu gagal melaksanakan pernikahannya yang sudah di depan mata, ditinggalkan begitu saja oleh tunangannya. Pada mulanya Aurel memang agak bingung, semula Celine bertunangan dengan Azka, tetapi kemudian tiba-tiba saja Celine berpaling hati dan mengumumkan ke seluruh keluarga bahwa dia sudah bertunangan dan akan menikah dengan Keenan, yang notabene adalah saudara kembar Azka.... dan kemudian kabar menyedihkan itupun menyeruak, pernikahan Celine batal, baik Azka maupun Keenan meninggalkannya.
Aurel tentu saja masih belum jelas akan permasalahan di antara ketiga manusia ini. Yang dia tahu, Azka meninggalkan Celine demi seorang perempuan lain yang sekarang sudah dinikahinya, dan Keenan meninggalkan Celina karena Celine berbohong kepadanya.
Aurel menatap sepupunya yang cantik itu dan mendesah dalam hati. Yah sebenarnya dia juga tidak respek dengan cara Celine mencoba mengikat tunangannya. Azka yang malang merasa bertanggung jawab atas kecelakaan yang kebetulan dialaminya bersama Celine, yang menyebabkan Celine mengalami kelumpuhan... dan ternyata, kelumpuhan Celine selama ini hanyalah pura-pura. Hanyalah sebuah cara licik untuk terus menerus mengikat Azka.
Aurel tidak bisa menyalahkan kalau Azka dan Keenan sama-sama marah atas penipuan yang dilakukan Celine, tetapi Aurel tidak setuju dengan cara si kembar menangani Celine, entah bagaimana caranya, Azka mengumpankan Keenan untuk merebut hati Celine, bahkan menurut Celine, Azka juga menyuruh Eric yang ternyata adalah sahabat Azka untuk merayu Celine. Mereka semua kemudian membuat Celine terjebak sehingga ketahuan kebohongannya, mempermalukan diri Celine habis-habisan.
Celine memang licik, egois dan manja, tetapi seharusnya si kembar bisa menempuh cara yang lebih baik daripada mempermalukan sepupunya itu dan seperti kata Celine tadi - membuangnya seperti sampah.
"Jadi apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Celine?" Aurel mencoba mengembalikan Celine pada kenyataan, hingga Celine berhenti menangis dan meratapi diri.
Celine mengusap matanya yang bengkak dan penuh air mata. "Aku tidak tahu, rasanya aku sudah tidak ingin hidup lagi, aku benar-benar malu, pada semua keluarga, pada teman-teman... apalagi setelah Azka dengan tanpa hati menikah begitu saja dengan perempuan itu, perempuan yang bahkan tidak aku ketahui keberadaannya sebelumnya! Azka sudah mengkhianatiku di belakangku, jauh sebelum aku menerima rayuan Keenan dan Eric!" Mata Celine berapi-api, tampak penuh dendam, tiba-tiba dia menatap Aurel dengan serius, "Aku butuh bantuanmu, Aurel, kau adalah sepupuku yang paling dekat denganku, jadi aku sangat mengharapkan bantuanmu."
"Bantuan apa?" Aurel mengernyitkan keningnya, menatap Celine dengan bingung.
"Aku ingin kau mendekati mereka, mendekati orang-orang yang pernah menghancurkanku. Aku tahu kau perempuan kuat, tidak seperti aku. Kumohon Aurel, hancurkan Azka dan isterinya, hancurkan juga Keenan, aku ingin membuat mereka terpuruk seperti sampah, sama seperti yang pernah mereka lakukan kepadaku!"
"Apa?" Aurel ternganga, tidak menyangka kalau pikiran itu yang ada di benak Celine, "Apakah kau gila Celine? Aku tidak mungkin melakukan itu!"
"Kenapa tidak?" Celine berurai air mata kembali, "Kau adalah orang yang tepat untuk rencana ini, apalagi Azka dan Keenan, mereka tidak pernah melihatmu dan tidak tahu kau adalah sepupuku, itu semua karena alasan khususmu tidak mau mengunjungi kota tempat kami tinggal. Jadi karena mereka tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya, akan mudah bagimu mengatur rencana dan mendekati mereka tanpa diwaspadai." napas Celine terengah dan bersemangat, "Kumohon lakukanlah itu untukku Aurel, atau setidaknya kau bisa mencoba, kalau memang kau merasa tidak mampu, aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau mundur.... "
***
Ini gila.
Aurel memasang kacamata hitamnya di siang yang terik itu, tampak kontras dengan kulitnya yang putih dan pucat. Dia menarik koper kecilnya melalui lobby bandara menuju tempat penjemputan. Pakaiannya efisien tetapi tetap elegan, celana panjang hitam dan blazer modis yang pas ditubuhnya, membuatnya terkesan berwibawa. Ya, Aurel memang harus selalu tampil berwibawa terkait dengan pekerjaannya.
Dia pasti sudah gila karena mau menerima permintaan Celine untuk mencoba menghancurkan si kembar yang jahat itu. Tetapi Celine begitu penuh air mata dan memohon kepadanya, mengancam ingin mati saja kalau Aurel tidak mau membantunya... jadi Aurel bisa apa?
Dan di sinilah dia, di sebuah kota yang sudah lebih dari lima tahun lalu dikunjunginya. Ya sedapat mungkin Aurel menghindari mengunjungi kota ini, karena kota ini menyimpan pengalaman menyedihkan yang tidak ingin diingatnya lagi. Tetapi sekarang demi Celine, Aurel bersedia datang kembali kemari meskipun kenangan itu langsung menggoresnya, mengorek-ngorek kembali lukanya yang sudah hampir tertutup rapat.
Aurel menatap ke sekeliling, mencari wajah yang dikenalnya. Kemudian matanya mengenali sosok yang pernah dilihatnya hanya melalui foto itu, dan mendekat ke arahnya,
"Pak Adam?" Aurel menyapa dengan suaranya yang lembut dan berwibawa.
Lelaki yang dipanggilnya itu menoleh mendengar panggilannya dan langsung membungkukkan badannya dengan hormat,
"Nona Aurel. Selamat datang di kota kami. Mari, kami telah menyiapkan mobil untuk anda."
Aurel hanya menganggukkan kepalanya, dan kemudian mengikuti pak Adam ke mobil.
Begitu mobil dijalankan, Aurel memajukan tubuhnya, bertanya kepada Pak Adam yang duduk di sebelah supir.
"Apakah pihak kantor cabang sudah tahu kedatangan saya?"
"Kami sudah menginformasikan kepada semuanya bahwa anda akan datang, segenap direksi kantor cabang sudah siap besok untuk meeting penting dengan anda."
"Bagus." Aurel menganggukkan kepalanya puas dan menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi mobil yang nyaman. Pekerjaan sebenarnya bukanlah prioritas penting baginya. Ya, diusianya yang masih sangat muda, Aurel berhasil menggantikan ayahnya yang terpaksa mengundurkan diri sebagai CEO karena kondisi kesehatannya yang melemah. Perusahaan keluarga mereka yang bergerak di bidang konversi kertas itu memang telah berkembang pesat dan menjadi pemimpin di barisannya, dan Aurek sebagai puteri tunggal sang pemilik perusahaan, ikut andil di dalam kesuksesannya. Dia sangat pandai berbisnis, mewarisi kemampuan ayahnya, dan semua orang mengakui bahkan segan kepadanya.
Urusannya ke kantor cabang ini sebenarnya bsia dia wakilkan kepada anak buahnya, tetapi sekarang, demi Celine, Aurel datang sendiri ke kota ini dan menggunakan urusan pekerjaan sebagai kamuflasenya.
Nanti, begitu sampai di hotel, Aurel akan mengatur strategi untuk bisa menjalankan rencananya atas si kembar itu, Azka dan Keenan. Dia menghela napas panjang membayangkan kesulitan yang akan dihadapinya ke depannya. Tetapi dia sudah mengatakan kepada Celine, hanya akan mencoba, kalau nanti dia merasa tidak mampu, Aurel akan mengundurkan diri dari rencana ini dengan segera.
***
"Lama sekali kau tidak pernah kemari, Keenan." bartender itu mengedipkan sebelah matanya kepada Keenan yang baru saja duduk di kursi bar yang tinggi, "Biasanya kau kemari dan berburu perempuan."
Keenan terkekeh, dia datang mengenakan baju santai, rambut setengah panjangnya yang acak-acakan, dagu kasar karena belum dicukur dan seluruh penampilan yang mencerminkan kebebasannya. Ya, Keenan yang ada sekarang bukanlah Keenan pengganti direktur yang sedang berbulan madu, Keenan yang sekarang adalah si seniman yang sedang menikmati hidup.
"Rasanya aku hampir lupa cara berburu perempuan." Keenan bergumam dengan nada suaranya yang malas, "Berikan aku double scoth murni dengan es."
Sang bartender tersenyum lebar, "Berminat menikmati malam ini, eh?" lelaki itu segera menyiapkan pesanan Keenan dan meletakkan di meja bar tempat Keenan duduk.
Keenan menghabiskan minumannya dalam beberapa kali teguk, sedikit mengernyitkan kening karena rasa panas yang membakar tenggorokannya. BIasanya setelah ini dia akan mendekati perempuan yang dirasa cocok di bar dan merayunya, kalau dia beruntung, mereka akan terlibat hubungan asmara singkat yang menyenangkan, tanpa ikatan, tanpa beban dan saling menguntungkan satu sama lain.
Matanya beredar ke sekeliling bar, mencari mangsa. Sampai kemudian dia terpaku kepada sosok yang baru masuk.
Perempuan itu tidak cocok berada di sini.
Itulah yang pertama kali muncul di benaknya ketika melihat penampilan perempuan itu. Perempuan itu mencolok dalam arti yang berbeda, dan itu yang membuat mata Keenan terpaku terus dan tak mau lepas.
Senyum sinis terkembang di bibir Keenan, Perempuan mana yang datang memasuki bar menjelang malam dengan pakaian seperti jas laki-laki yang difeminimkan begitu? belum lagi rambutnya yang disisir halus ke belakang dan digulung kaku di atas tengkuknya layaknya penjaga perpustakaan kutu buku seperti yang dilihatnya di film-film, Keenan bahkan berani bertaruh bahwa dari dekatpun, tidak akan ada sehelai rambutpun yang berantakan di gulungan rambutnya itu.
Tetapi dibalik penampilannya yang seperti kutu buku, mata Keenan yang tajam bisa menemukan kecantikan alaminya, bibir itu berwarna merah muda dan berkilauan ranum membuat Keenan ingin melumatnya seketika itu juga, dan kulit perempuan itu yang pucat, tampak rapuh, begitu kontras dengan pakaiannya yang serba hitam.
Senyum lebar langsung muncul di bibir Keenan. Malam ini sepertinya akan menarik untuknya, dengan rayuan yang tepat, mungkin dia bisa mendapatkan pasangan sesaat yang unik dan menyenangkan.
Bersambung ke Part 1
Published on June 22, 2013 03:11
Embrace The Chord Part 10

"Nanti malam kita akan bermain biola bersama. Pertunjukan duet khusus untuk memperkenalkanmu sekaligus menghormati sang tuan rumah." Jason sama sekali tidak mempedulikan ekspresi memberontak di mata Rachel, "Kita memainkan Beethoven Violin Romance no 2. Kau tentu sudah tahu musik itu dan mempelajarinya, siapkan untuk nanti malam."
Pada saat yang sama, tubuh Calvin bergerak di sofa, seakan hendak terbangun dari tidurnya. Rachel langsung menoleh waspada sambil menatap ke arah Calvin, dan sekejap kemudian, Calvin membuka matanya,
"Rachel?" Calvin terduduk, berusaha memfokuskan pikirannya, kemudian matanya membelalak ketika melihat Jason yang bersandar di pintu sambil tersenyum, "Jason?"
Rachel melemparkan tatapan penuh ancaman kepada Jason yang ditanggapi dengan senyuman geli, sebelum kemudian dia melangkah mendekati Calvin,
"Kau ketiduran." Disorongkannya gelas berisi air putih di meja, Calvin menerimanya dan meneguknya, lalu melirik jam tangannya,
"Aku tertidur cukup lama ternyata." senyumnya melebar, "Dan apa yang dilakukan Jason di sini?" dia melirik ke arah Jason dan tersenyum lebar, "Apakah kalian akan mengadakan sesi latihan khusus?'

Calvin ternganga, tentu saja dia tahu reputasi Jason, dan yang dia tahu pasti, Jason selalu membawa pacar-pacarnya sebagai partnernya di setiap undangan pesta dan makan malam yang dihadirinya, tetapi kali ini dia membawa Rachel, apa maksud Jason sebenarnya?
Jason tidak menunggu sampai Calvin mendapatkan jawaban, dia kemudian setengah membalikkan tubuhnya,
"Oke aku rasa urusanku sudah selesai di sini. Nanti malam aku akan menjemputmu, Rachel, pukul tujuh tepat." Jason mengedipkan matanya, membuat mata Rachel menyala karena marah, tetapi tentu saja dia tidak bisa berbuat apa-apa.
***
"Aku tidak menyangka kalian seakrab itu." Calvin melirik ke arah Rachel dengan tatapan spekulatif ketika Jason sudah meninggalkan mereka.
"Apa maksudmu?" Benak Rachel masih dipenuhi kejengkelan karena apa yang dilakukan Jason sehingga tidak begitu memperhatikan kilatan aneh di mata Calvin,
"Apakah kau tahu bahwa selama ini Jason selalu membawa pacar-pacarnya untuk menemaninya ke setiap undangan untuknya? Dan sekarang dia membawamu sebagai partnernya, tidakkah kau berpikir bahwa orang-orang mungkin akan salah paham kepadamu?"
"Aku?" Rachel terkekeh ketika menyadari maksud perkataan Calvin, "Maksudmu orang akan mengira aku pacar terbaru Jason?" kali ini kekehan Rachel melebar dan berubah menjadi gelak tawa, dia langsung teringat deretan pacar-pacar Jason yang elegan dan luar biasa cantik, seperti Arlene misalnya, "Bagaimana mungkin orang mengira bahwa aku pacar Jason? aku tentu saja tidak sebanding dengan kecantikan pacar-pacarnya sebelumnya."
"Kau cantik." Tiba-tiba Calvin tampak serius, "Jangan merendahkan dirimu sendiri Rache, aku rasa Jason juga menyadari kecantikanmu, karena itu dia mendekatimu."
Pipi Rachel memerah, Calvin tidak pernah memujinya secara frontal dan serius seperti itu, "Apakah menurutmu aku cantik?" dia memberanikan diri bertanya.
Tatapan Calvin melembut dan jemarinya menyentuh pipi Rachel dengan sayang, "Kau cantik Rachel, dan karena itulah selama ini aku selalu berusaha menjagamu, aku menyayangimu dan tidak ingin kau disakiti. Dan sekarang aku rasa kau perlu waspada kepada Jason.... mungkin aku salah paham dan Jason hanya tertarik padamu karena kemampuanmu bermain biola, tetapi aku lelaki, dan seorang lelaki bisa merasakan insting kalau lelaki lain mengincar seorang perempuan..." matanya semakin lembut, "Kau tentu tahu reputasi Jason sebelumnya, jadi ingatlah, kau harus berhati-hati."
Rachel tersenyum malu-malu, bagian peringatan Calvin kepada Jason sama sekali tidak didengarnya, dia hanya fokus kepada kata-kata Calvin, bahwa lelaki itu menyayanginya... bahwa lelaki itu peduli kepadanya.
Calvin lalu melirik kembali jam tangannya dan mengerukan kening, "Sudah sore ternyata, aku harus pulang dan bersiap sebelum menemui Anna." lelaki itu tidak menyadari perubahan ekspresi Rachel yang langsung disembunyikannya secepat kilat, dia menepuk pundak Rachel lembut dan tersneyum, "Ingat pesanku, Rachel, berhati-hatilah terhadap Jason." gumamnya sebelum pergi.
***
Arlene memandang lembaran undangan berwarna emas elegan itu di tangannya. Ini adalah undangan makan malam yang seharusnya dihadirinya bersama Jason... sekarang Jason bahkan tidak bisa dihubungi di mana-mana.
Apakah Arlene harus tetap datang? Sanggupkah dia menerima tatapan cemoohan dan kasihan dari orang-orang ketika mengetahui bahwa dia tidak datang bersama Jason lagi?
Tetapi mungkin saja Jason akan datang di pesta itu, mungkin saja Arlene bisa merayunya dan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan Jason lagi.
Ya. Pesta makan malam ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan Jason kembali... Arlene benar-benar mantap dan bertekad malam ini. Dia kemudian memencet nomor ponsel salon langganannya.
Arlene akan berdandan luar biasa cantik nanti malam, supaya Jason terpesona dan luluh kepadanya...
***
Malam itu kembali Rachel menatap bayangan dirinya di cermin. Penampilannya benar-benar feminim, apakagi rambut panjangnya digulung dengan gaya klasik di atas tengkuknya, memamerkan antingnya yang panjang dan eksotis. Mamanyalah yang mendandaninya hingga penampilannya secantik ini.
Tetapi Rachel cemberut dan benar-benar cemberut. Jason telah bertindak licik, mengancamnya dan memaksanya datang ke pesta itu menemaninya, dan tidak ada yang bisa dilakukan Rachel selain mengikuti kemauan Jason. Selama foto itu masih tersimpan di ponsel Jason, Rachel tidak bisa berbuat apa-apa..... hmmm tapi mungkin dia bisa mencari cara untuk mengambil ponsel Jason tanpa ketahuan dan menghapusnya diam-diam, setelah itu dia akan bebas merdeka dari ancaman Jason.
Mamanya tentu saja sangat senang karena Jason membawa Rachel ke pesta ekslusif dan penuh dengan orang-orang penting di dunia musik klasik. Sepertinya dalam penjelasannya yang mempesona kepada mama Rachel, Jason mengatakan bahwa pesta malam ini adalah kesempatannya untuk memperkenalkan Rachel sebagai murid khususnya.
Bahkan sang mama sama sekali tidak mengungkit-ungkit jam malam, seperti yang selalu diingatkannya ketika Racgel pergi bersama Calvin...
Rachel mencoba menghilangkan dahinya yang berkerut, tetapi dia tidak bsia menahannya ketika suara bel pintu berbunyi. Dari kamarnya dia mendengar suara pintu yang dibuka oleh mama Rachel dan sapaan mama Rachel yang bersemangat ketika menyapa Jason.
Gawat, sang mama rupanya sudah tersihir oleh ketampanan dan pesona Jason.
Tiba-tiba saja Rachel teringat akan kata-kata Calvin kepadanya sore tadi, bahwa dia harus berhati-hati kepada Jason. Tetapi Rachel tahu pasti bahwa Calvin sudah tentu salah, amat sangat menggelikan dan tidak bisa dipercaya kalau sampai Jason tertarik kepadanya. Dia sudah jelas-jelas bukan tipe Jason, dan lelaki itu tidak akan pernah meliriknya. Menurut Rachel, Jason benar-benar tertarik kepadanya karena permainan biolanya saja.
Pintu kamarnya diketuk dengan lembut dan mamanya memanggilnya karena Jason sudah siap menunggu di depan. Rachel melirik bayangannya di cermin untuk terakhir kali dan kemudian menghela napas panjang dan mengambil biolanya sebelum melangkah ke luar kamar.
Yah setidaknya dia harus bertahan untuk melalui malam ini.
***
"Pergi ke pesta makan malam?" Calvin mengerutkan keningnya sambil menatap Anna, 'Maksudmu pesta makan malam di rumah keluarga pemusik terkenal itu?"
"Iya. Sebenarnya papa yang mendapat undangan, tetapi dia tidak bisa hadir karena kondisi kesehatannya menurun, jadi dia memintaku mewakilinya. Pesta makan malam itu akan dihadiri oleh banyak orang penting dalam dunia musik, Calvin... kuharap kau mau menjadi pasanganku di pesta."
Calvin langsung teringat akan pesta yang dikatakan Jason tadi, dan dia yakin bahwa ini adalah pesta yang sama, setelah menarik napas panjang, dia mengambil keputusan bahwa dia akan menemani Anna datang ke pesta itu, toh dia bisa sekalian menjaga Rachel kalau-kalau dugaannya benar dan Jason bersikap macam-macam bukan?
Calvin memang mengagumi Jason, sangat mengagumi permainan biolanya dan menjadikan lelaki itu inspirasinya, tetapi bukan berarti dia menutup mata atas reputasi Jason sebagai penghancur wanita. Selama ini reputasi itu tentu saja tidak mengganggunya... tetapi sekarang, ketika Rachel yang sangat disayanginya terlibat, mau tak mau Calvin harus mewaspadai Jason. Apalagi sudah beberapa kali lelaki itu mencium Rachel tanpa izin..... melakukannya seolah itu hal yang sangat biasa, kenyataan tentang ciuman itu sebenarnya amat sangat mengganggu Calvin.
"Oke, beri waktu aku setengah jam untuk bersiap-siap, lalu aku akan langsung menjemputmu." gumam Calvin pada Anna, memutuskan bahwa dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengawasi Jason.
***

Setelah Jason berpamitan kepada mama Rachel, dengan lembut dia mengamit lengan Rachel dan membawanya ke mobilnya. Sikapnya sopan, bahkan dia membukakan pintu untuk Rachel sebelum masuk ke balik kemudi.
Setelah mobil dijalankan, Jason melirik ke arah Rachel.
"Kau sangat cantik dengan gaun itu, dan rambut yang ditata sangat feminim." Lelaki itu melemparkan pujiannya dengan lembut.
Rachel hanya melirik sedikit dan tak bereaksi, "Terimakasih. Mama yang mendandaniku."
"Jangan cemberut begitu, kau merusak penampilan cantikmu."
Rachel langsung menyambar, "Tidak ada yang bisa tersenyum kalau dipaksa datang ke sebuah pesta di luar kemauannya.'
Jason terkekeh, "Aku selalu bertanya-tanya kenapa kau begitu antipati kepadaku..."
"Karena kau licik dan pemaksa." jawab Rachel singkat, mengungkapkan semuanya.
Jawaban itu rupanya tidak membuat Jason marah, lelaki itu malahan tersenyum, "Ya. itu memang sudah sifatku, aku selalu berusaha mendapatkan apapun yang aku mau." Suaranya berubah serius, "Dan tentang dirimu, aku benar-benar serius Rachel, aku melihat diriku, kejeniusanku di dalam dirimu di masa depan, dan kalau aku berhasil melatihmu, kau akan sama hebatnya seperti aku."
Kali ini Rachel terdiam, baru kali ini dia mendengar pujian terang-terangan Jason kepada teknik bermain biolanya, matanya melirik ke arah Jason dan melihat bahwa ekspresi lelaki itu benar-benar serius.
"Benarkah permainanku sebaik itu?" tanyanya ragu,
Jason tertawa. "Tidak ada satupun orang yang pernah meragukan penilaianku, aku tidak pernah salah menilai bakat seseorang, Rachel. Dan percayalah padaku, kalau ada orang yang kemampuannya bisa menandingiku, itu adalah kau." Jason melirik ke arah Rachel, "Kau sudah menyiapkan apa yang akan kita mainkan nanti malam?"
Rachel menganggukkan kepalanya, mau tak mau ketika Jason mengatakan apa yang akan mereka mainkan nanti malam, Rachel langsung mempelajarinya. Beethoven violin romance no 2 adalah salah satu masterpiece karya Beetohoven yang dibuat sang maestro ketika dia berperang dengan penyakit tuli bertahap yang menyerangnya dengan kejam.. selama beberapa periode itu, sang maestro menciptakan musik-musik yang penuh gejolak, yang berisikan pertarungan batin, kesedihan serta penderitaannya. Tetapi kemudian munculah Violin Romance no 2 yang sama sekali tidak mengandung pergolakan batin dan kecemasan dari sang maestro, bahkan musik di dalamnya menimbulkan perasaan manis dan keindahan yang lembut seolah-olah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kata orang, Beethoven violin romance no 2 adalah wujud dari perdamaian Beethoven dengan penyakit tuli yang dideritanya.
"Itu adalah alunan musik yang indah, sangat indah ketika dimainkan dengan duet, dan aku percaya kau akan menyingkirkan semua permasalahan di antara kita dan brmain dengan baik, Rachel."
Rachel terdiam, menyadari kebenaran kata-kata Jason. Meskipun dia memang tidak menyukai kepribadian Jason, tetapi bisa berduet dengan lelaki itu, bahkan lebih dari satu kali, seharusnya merupakan anugerah yang didambakan oleh setiap pemain biola amatiran seperti Rachel.
***
Mereka turun dari mobil, dan dengan lembut Jason mengamit jemari Rachel, bersikap gentle sebagai pasangan resminya di pesta. Semua orang menyambut mereka - salah, semua orang menyambut Jason, dan Rachel hanyalah tempelan - dengan hormat, apalagi mereka sudah mendengar bahwa malam ini Jason akan memberikan penampilan khusus untuk berduet dengan murid khususnya yang sudah banyak di desas-desuskan di dalam dunia musik sehingga membuat orang-orang ingin tahu. Banyak sekali mata-mata para undangan yang menatap Rachel penuh spekulasi baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Untungnya penampilan Rachel cukup cantik malam ini, sebenarnya ini semua karena mama Rachel yang bersemangat, ketika menyetujui bahwa Jason akan membawa Rachel ke pesta elit di kalangan musik klasik, mama Rachel langsung menelepon temannya yang memiliki butik kecil tetapi menghasilkan gaun-gaun nan indah, yang langsung mengirimkannya untuk mereka. Untung juga Rachel memiliki tubuh yang mungil sehingga ukuran gaun itu cukup pas ditubuhnya, hanya kebesaran sedikit di bagian pinggang yang langsung dikecilkan mama Rachel dengan keahlian menjahitnya.
Jadi berdirilah Rachel di sini di sebelah Jason dengan penampilannya yang luar biasa feminim, dengan gaun berwarna hijau gelap yang sangat indah membungkus tubuh mungilnya dengan fantastik dan membuatnya tampak padat, berisi dan feminim. Gaun itu rendah di bagian depan, melebar di pundaknya menampilkan sedikit kulit pundaknya yang halus, lalu ketat di bagian pinggang dan pinggulnya sebelum kemudian melebar dengan indahnya sampai ke mata kaki. Dan gaun itu membuat penampilan Rachel benar-benar feminim.
Para tamu dipersilahkan menikmati hidangan pembuka di lobby yang penuh dengan pelayan-pelayan yang menbawa nampan berisi berbagai jenis minuman dan makanan kecil menawarkannya berkeliling kepada setiap undangan yang hadir. Tamu-tamu itu berkelompok-kelompok dan bersosialisasi tersebar di setiap penjuru lobby indah yang mewah itu, musik lembut mengiringi, mengalir samar-samar yang membuat suasana pesta semakin elegan.
Yah, setidaknya dia pantas berdiri di samping Jason yang penampilannya seperti biasa luar biasa tampannya. Mereka saat ini sedang berbasa basi dengan sang tuan rumah, dan Rachel berharap dia tidak mempermalukan dirinya sendiri di tengah orang-orang penting di kalangan musik klasik ini.
Hanya itu sebenarnya yang dipikirkan Rachel dan dia tidak menyadari bahwa ada dua pasang mata yang mengamatinya, dua pasang mata dengan benak berkecamuk yang berbeda.
***
Ketika Jason dan Rachel memasuki ruangan pesta itu, Calvin menatap Rachel dari kejauhan dan ternganga, menyadari bahwa perempuan itu entah bagaimana bertrransformasi menjadi perempuan dewasa yang snagat feminim dan cantik.
Dia tahu Rachel cantik tentu saja, tetapi selama ini Rachel selalu berpenampilan tomboi di depannya, dan Calvin hampir menganggapnya sebagai anak laki-laki, dan juga adik kesayangannya. Tetapi berdiri di sana, menebarkan senyuman lembutnya dalam penampilannya yang luar biasa..... Rachel benar-benar membuat Calvin terpesona.
Kenapa dia tidak menyadarinya sebelumnya?
Tiba-tiba mata Calvin menatap ke arah jemari Jason yang entah bagaimana bisa merangkul pinggang feminim Rachel dengan posesif, dan tiba-tiba, dorongan amarah melandanya, membuatnya ingin menerjang ke arah Jason dan memukulnya, mengancamnya untuk menjauhkan tangannya dari Rachel.
Cemburu....?
Calvin merasakan dadanya berdenyut, dia lalu melirik ke arah Anna, dengan penampilan cantik di balut gaun warna peraknya yang mewah. Tetapi entah kenapa, mata Calvin selalu tergoda untuk melirik ke arah Racahel yang bahkan belum menyadari kehadiran Calvin di sana.
Apakah Calvin terlambat menyadari perasaannya? perasaannya yang sesungguhnya?
***
Sementara itu, mata yang lainnya menatap pasangan Jason dan Rachel dengan kemarahan membara. Ya, Arlene berdiri di sudut, dengan penampilannya yang luar biasa cantik tetapi diliputi oleh perasaan terhina yang luar biasa.
Berani-beraninya Jason membawa perempuan itu sebagai pasangannya setelah mencampakkan Arlene begitu saja!
Jadi benar bukan? Jason meninggalkan Arlene karena tertarik pada kemudaan Rachel yang ranum?
Kalau dulu Arlene masih ragu-ragu, sekarang tekadnya makin membulat, dipenuhi oleh kemarahan dan kecemburuan yang melimpah ruah, memenuhi dadanya hingga terasa membakar.
Matanya mengamati Rachel yang tampil begitu feminim dan cantik dalam balutan gaun hijaunya yang indah, dan menyadari bahwa Jason mengamit pinggang Rachel dengan lembut.
Rachel... anak ingusan itu benar-benar mengganggu, Arlene akan melenyapkan semuanya dari Rachel, semua hal yang membuat Jason tertarik kepada Rachel akan dilenyapkannya! Arlene akan menghancurkan wajah cantik Rachel berikut kemampuannya bermain biola...
Jemarinya gemetar menahan marah, ketika masuk ke dalam tas mungilnya, dan merengkuh logam berkilat kecil yang selalu di bawa-bawanya di sana.
Sebuah pisau lipat kecil..... tampak kecil dan tak berbahaya tetapi sebenarnya tajam luar biasa....
Bersambung ke Part 11
Published on June 22, 2013 01:27
June 21, 2013
Menghitung Hujan The Epilog

Pelukan untukku dihari dingin hujan dan petir yang menyambar
Pagi yang cerah tempatku membuka mata dalam pelukan dan malam yang indah tempatku menutup mata dalam buaian.
Belahan jiwaku yang selalu menemaniku melangkah di setiap goncangan kehidupan.
Satu-satunya manusia yang bisa mengucap dengan sempurna kalimat “Aku cinta padamu.”
Bukan dengan kata-kata, namun dengan tatapan memuja dan pelukan yang tak pernah lelah.
Kau adalah segalaku. Dan aku adalah segalamu
EPILOG
Malam yang tenang dan syahdu, Diandra keluar dari ruang keluarga dan menatap Axel yang menunggunya di ruang tamu. Kedua orang tua Diandra, dan seluruh keluarga berkumpul di rumah sang nenek di bandung untuk acara temu keluarga yang diadakan rutin setahun sekali.
Dan Diandra memilih waktu yang tepat untuk membuka semuanya kepada orang tua dan seluruh keluarganya, bahwa dia sudah tahu kenyataan dirinya sebagai anak angkat.Ibunya menangis dan ayahnya cemas, takut Diandra akan berubah sikap kepada mereka, tetapi Diandra berhasil meyakinkan semuanya, bahwa dia tetaplah Diandra yang sama, entah dia anak kandung atau bukan. Bahwa dia tetaplah puteri mereka yang mencintai dan dicintai oleh mereka.
Acara keluarga itupun berlangsung dengan haru, dengan tangis dan peluk-pelukan yang memenuhi akhirnya.
Diandra menghela napas panjang, merasakan kelegaan memenuhi dadanya, bersyukur sepenuh hati bahwa dia memiliki keluarga yang selalu siap sedia mendukungnya... dan juga memiliki Axel.
Sudah beberapa bulan berlalu, dan Axel selalu setia menemaninya, seperti yang dijanjikannya. Lelaki itu dengan semangat mengunjungi Diandra kalau Diandra sedang di Jakarta, pun dia selalu menyambut dengan gembira kalau Diandra lebih banyak menghabiskan waktunya di Bandung, di tempat neneknya.
Hati Diandra sudah hampir sembuh, dia bahkan sudah tidak pernah memikirkan Reno lagi, bahkan ketika menerima kabar pernikahan Reno dengan Nana, Diandra sama sekali tidak merasa sakit hati, mereka semua diundang tentu saja, tetapi Diandra memutuskan tidak akan datang, karena dia tahu kehadirannya akan menimbulkan kecanggungan tersendiri.
Tetapi bukan itu yang penting, yang penting baginya adalah ketika dia benar-benar menyembuhkan luka hatinya, ketika kemudian dia bisa menelepon Reno dan Nana, mengucapkan selamat dengan tulus tanpa rasa pedih sedikitpun.
Ya, Diandra sekarang sudah sembuh, dulu dia pernah mencintai dengan sangat dalam. Tetapi kemudian cintanya tak tepat hati. Dan dengan tegar, Diandra berhasil menyembuhkan diri dengan sempurna. Dia telah benar-benar bisa berbahagia dan tak mengharapkan Reno lagi. Baginya, Reno hanyalah sebuah sejarah masa lalu yang bisa dijadikan pembelajaran.
Ada sebuah tawaran kerja di Bandung yang sesuai dengan bidang pendidikan Diandra, dan Diandra berpikiran untuk menerimanya. Bandung, kota ini memang membawa kesakitan untuk dirinya, kesakitan ketika kehilangan kekasihnya. Tetapi Diandra sudah jatuh cinta kepada kota ini, kota yang diselimuti mendung dan kesejukan, hujan alami yang kadang turun tanpa permisi, dan udara basah yang menyenangkan.
Dan juga... ada Axel di kota ini. Axel pasti akan senang kalau mengetahui rencana Diandra, tetapi Diandra bertekad akan menyimpannya dulu sebagai kejutan untuk lelaki itu.“Aku sangat bangga padamu Diandra.” Axel menatap Diandra dengan tatapan mata berbinar, memuji ketegaran perempuan itu ketika mengungkapkan semuanya di hadapan keluarga mereka. “Kau sangat kuat, tegar dan mengagumkan.”
Pujian Axel itu membuat pipi Diandra memerah karena malu,
“Kau berlebihan.” Gumamnya lembut, “Tetapi setidaknya hal ini membuatku lega.” Gumamnya pelan. “Ketika kita tidak menyimpan rahasia lagi, ternyata menyenangkan. Aku pikir hal ini juga membuat orang tuaku lega, bertahun-tahun mereka menyimpan rahasia ini dariku, demi menjaga perasaanku, sekarang mereka bisa bersikap bebas dan apa adanya.”
“Ya. Dan mereka tetap mencintaimu dengan tulus, tidak berubah setitikpun.” Axel mendekat, berdiri di sebelah Diandra yang merenung menatap ke luar ke arah jendela kaca yang memantulkan pepohonan besar di halaman rumah nenek mereka, “Dan akupun juga merasa sedikit lega.”
“Lega?” Diandra mengalihkan perhatiannya ke wajah Axel, menemukan kegugupan misterius di sana. Lelaki ini sungguh tampan. Sekali lagi Diandra menggumamkan kenyataan itu kepada dirinya sendiri.
“Ya, aku merasa lega.” Axel tersenyum, “Karena setelah seluruh keluarga tahu bahwa kita tidak sedarah, aku bisa mendekatimu dengan terbuka.”
Pipi Diandra memerah, “Kau juga harus menjelaskannya kepada masyarakat karena mereka semua berpikiran kalau kita sedarah.”
“Tidak masalah, aku sudah memikirkan semuanya, bahkan aku sudah berpikir untuk mengurus surat-suratnya kalau memang diperlukan supaya bisa mensahkan secara hukum.”
“Surat-surat?” Diandra mengerutkan alisnya dengan bingung, “Apa maksudmu, Axel?”
“Surat-surat. Kalau kita akan menikah nanti, ada surat-surat yang harus diurus. Kau tahu, mungkin akan sedikit repot karena kau diadopsi secara resmi dan dinyatakan sebagai anak yang sah secara hukum, itu berarti secara hukum pula aku adalah saudara sepupumu yang sah, yang membuat pernikahan kita akan dipertanyakan. Tetapi aku sudah berkonsultasi dengan ahli hukum dan dia mengatakan bahwa pernikahan ini masih bisa dilakukan, mungkin urusannya memang jadi lebih rumit dari pernikahan normal biasa, tetapi tetap bisa dilakukan.” Axel terus berbicara, tidak mempedulikan wajah terkejut Diandra.
“Pernikahan? Apa maksudmu, Axel....apa....” kata-kata Diandra terhenti ketika melihat Axel mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya, sebuah kotak. Dan ketika Axel membuka kotak itu, lalu menunjukkannya di depan Diandra, Diandra ternganga, luar biasa kagetnya.
“Diandra. Aku mencintaimu sudah sejak lama, bahkan mungkin sejak aku melihatmu dalam gendongan mamamu, bayi yang montok dan lucu, sejak itu aku bertekad menjagamu, ingin menjadi pangeranmu yang selalu siap untukmu.” Axel mendesah, “Meskipun ketika dewasa aku menyadari bahwa aku tidak boleh mencintaimu, karena kita bersaudara, aku tetap menyimpan cinta itu dan mengubahnya menjadi cinta saudara.”
Senyum Axel terkembang, penuh cinta, “Lalu Tuhan memberikan kesempatan kepadaku, dengan mengetahui bahwa kita tidak sedarah, dengan mengetahui bahwa aku masih punya kesempatan memperjuangkan cintaku. Dan aku akan memperjuangkannya Diandra, tak mungkin ada lelaki yang bisa mencintaimu sebesar aku, kau sempurna, kau yang paling indah, kau adalah segalanya bagiku. Dan seandainya kau mau menjadi isteriku, aku bersumpah akan membahagiakanmu dengan sepenuh hatiku.” Suara Axel tertelan di tenggorokkannya dan dia tampak gugup, “Diandra... aku membelikanmu cincin ini dengan harapan, untuk mengikatmu menjadi milikku dan memberikan diriku untuk menjadi milikmu, maukah kau mengabulkan harapanku ini dengan menerima lamaranku?”
Axel tampak begitu sungguh-sungguh dengan perkataannya, membuat mata Diandra berkaca-kaca, membuat bibirnya gemetar menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tidak pernah dia menyangka akan dicintai sedalam itu, semurni itu dan dengan sepenuh hati. Diandra pernah disakiti, pernah dilukai sampai akhirnya berusaha menyembuhkan dirinya sendiri, mengembalikan rasa percaya dirinya yang telah mati, dan sekarang Axel berdiri di depannya, mengatakan bahwa dia adalah wanita segalanya, bahwa dia adalah segalanya bagi Axel.
Dan tidak akan ada, tidak akan pernah ada lamaran seindah ini, selain dari Axel.
Jantung Diandra berdebar ketika dia menjawab dengan gemetar,
“Ya Axel... aku mau. Aku mau menjadi isterimu.” Jawabnya pelan, air mata bergulir dari sana, air mata haru dan bahagia.
Axel memejamkan matanya, mendesah penuh kelegaan,
“Terimakasih Tuhan.” Dan kemudian dia meraih jemari Diandra, memasangkan cincin itu di sana lalu mengecup jari Diandra dengan lembut dan penuh cinta,
“Aku mencintaimu sayang.” Lelaki itu menghela Diandra ke dalam pelukannya dan memeluknya erat-erat, “Aku akan menjagamu.”
Diandra membalas pelukan Axel dan memejamkan matanya yang penuh air mata di pundak lelaki itu,
“Terimakasih Axel, aku juga mencintaimu.”
Kedua sejoli itu berpelukan dengan begitu bahagia, tidak menyadari ketika orang tua mereka menengok dari ruang tengah dan melihat anak-anak mereka sedang berpelukan.
Papa Axel mengedipkan matanya kepada papa Diandra, lalu merangkul adiknya itu masuk kembali ke dalam supaya tidak mengganggu kedua sejoli yang sedang menumpahkan rasa itu.
“Kurasa, selain menjadi kakak adik, kita akan menjadi besan sebentar lagi.” Papa Axel terkekeh, yang disambut dengan gelak papa Diandra,
“Dan kita akan sibuk menjelaskan kepada semua orang karena mereka akan menganggap semua ini aneh.” Tawanya, “Tetapi tidak apa-apa, yang penting anak-anak kita bahagia.”
“Tentu saja.” Sahut papa Axel, “Tak ada yang paling diinginkan orang tua, selain kebahagiaan anak-anaknya.”
Dan kemudian mereka semua tersenyum dalam hati, mengucap syukur bahwa anak-anak mereka telah menemukan jodoh yang dicintai sepenuh hati.
End Of Epilog
Published on June 21, 2013 03:04
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
