Santhy Agatha's Blog, page 9

May 27, 2013

Embrace The Chord Part 2

   Anak Kecil? Dalam sekejap Rachel merasa tersinggung. Apakah lelaki itu memanggilnya 'anak kecil' untuk menghinanya? Di usianya yang ke delapan belas tahun, tubuh Rachel memang kecil, mungil dan tidak seperti seluruh keluarganya yang bertubuh tinggi, Rachel pendek, kurus dengan bola mata nan lebar dan bening. Sekarang dia mengenakan celana pendek warna hitam dipadu dengan t-shirt biru muda yang sedikit kedororan. dari jauh penampilannya seperti anak lelaki.  Pantaslah lelaki itu memanggilnya 'anak kecil'. Mungkin dia mengira Rachel adalah salah satu murid kelas yunior akademi yang tersesat. Ya, Rachel memang murid di akademi ini, tetapi dia adalah murid senior yang sudah lulus enam bulan yang lalu, sekarang dia dan mamanya, serta Calvin sahabatnya, datang ke akademi ini untuk mengambil formulir pelatihan khusus.  Pemain biola itu meletakkan biolanya, kemudian melangkah mendekat. Ketika dia makin dekat, Rachel langsung terpana. Astaga.... lelaki itu tampan sekali hingga mendekati cantik. Rambut hitamnya yang lurus dibiarkan memanjang sampai menyentuh kerah bajunya, bibirnya... matanya... semuanya sempurna. Mungkin jika lelaki ini kehilangan pekerjaannya sebagai pemain biola, dia bisa menjadi aktor atau model sempurna.  Jadi inilah dia penampilan langsung Jason, si pemain biola jenius yang begitu terkenal. Rachel sering melihatnya bermain di video-video latihannya, sering mendengarkan rekamannya yang brilian di sela-sela belajarnya bermain biola, tetapi rupanya, penampilan lelaki ini secara langsung benar-benar berkali-kali lebih mempesona daripada gambarnya di video-video itu.Tapi ekspresi lelaki itu tampak tidak senang. Dia mengerutkan keningnya dan menatap Rachel dengan tatapan yang tidak bersahabat? "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" Rachel tergeragap mendengar gumaman ketus itu. Pertanyaan apa? dia bahkan lupa akan kata-kata Jason barusan, selain bahwa lelaki itu menyebutnya sebagai  'anak kecil'. Benaknya sedang berkelana akan betapa beruntungnya dirinya, bisa mendengarkan permainan sang maestro secara langsung, dan bisa melihatnya secara langsung pula. Calvin pasti akan sangat terkejut kalau Rachel bercerita tentang keberuntungannya. Karena Rachel hanya terdiam, Jason makin mendekat, mengerutkan kening dan menatap curiga. Anak ini ternyaa anak perempuan yang cantik.... batinnya dalam hati, mengawasi pipi Rachel yang memerah dan mata besar yang dipayungi bulu mata yang sangat lentik. Usianya mungkin baru dua belas atau tiga belas tahun. Mungkin dalam beberapa tahun lagi, dia akan tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik yang akan dipuja oleh banyak lelaki. Jason tersenyum masam. Tiba-tiba merasa aneh pada dirinya sendiri karena membatin kecantikan anak-anak seperti ini. "Apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau tersesat?" Anak perempuan itu tampak ketakutan, jadi Jason meredakan ekspresi marahnya dan merubahnya menjadi datar. Rachel menggelengkan kepalanya, "Aku mendengarkan permainan biolamu." ada kebahagiaan di matanya ketika membicarakan permainan biola. Senyumnya mengembang, "Luar biasa sempurna, itu  "Introduction et Rondo Capriccioso", bukan? Kau memainkan dengan luar biasa indahnya." Anak ini mengerti musik. Jason membatin. Mungkin dia memang salah satu murid di akademi ini, yang sedang tersesat. "Ya. Aku sedang berlatih memainkannya sebelum kau datang dan mengganggu konsentrasiku." Jason tidak terbiasa membahas musik bersama orang asing, pun dengan perempuan kecil di depannya ini, "Apakah kau tersesat?" dia mengulang lagi pertanyaannya, langsung menyimpulkan meskipun anak itu tadi menggelengkan kepalanya, "Kau bisa keluar dari lorong ini dengan melalui jalanmu masuk tadi." Mata anak perempuan itu menyinarkan protes, "Perlu kau tahu, aku tidak tersesat. Dan aku bukan anak kecil." Dagunya mendongak dengan angkuh, "Usiaku sudah delapan belas tahun, permisi." perempuan itu membungkukkan tubuhnya, seolah mengejek, lalu secepat kilat berbalik pergi, dengan langkah ringan seperti langkah peri. Jason masih termangu di ambang pintu, mendengarkan langkah-langkah kecil yang menjauh pergi itu. Kemudian tersenyum masam. Delapan belas tahun... tebakannya meleset jauh, padahal dia sangat ahli dengan perempuan. Tetapi dengan tubuh semungil itu dan wajah polos serta mata bening tanpa dosa, wajar saja kalau Jason salah tebak.  ***  "Kemana saja kau Rachel? mamamu mencarimu dengan cemas karena kau menghilang lama tadi." Calvin berpapasan dengan Rachel di ujung koridor, dia langsung menjajari langkah Rachel dan tersenyum lembut, "Kau pasti menjelajah lagi tanpa izin." Pipi Rachel memerah. Calvin adalah temannya dari kecil karena kedua orang tua mereka bertetangga dan bersahabat. Lelaki itu mungkin menganggap Rachel sebagai adiknya, tetapi bagi Rachel, Calvin lebih dari itu..... Calvin selalu ada untuknya, dan Rachel mungkin menyimpan perasaan lebih kepadanya, sayangnya, Calvin sepertinya masih memperlakukan Rachel sebagai anak kecil, sebagai adiknya... dan itulah salah satu hal yang membuat Rachel membenci penampilannya yang seperti anak kecil ini. "Aku bertemu dengan Jason .... si pemain biola itu." Langkah Calvin langsung terhenti, dia menatap Rachel kaget dan membelalakkan matanya, "Kau bertemu dengannya? dengan Jason? Dimana?" Calvin seperti sudah siap untuk berlari, tapi Rachel menahan tangannya.  "Dia sedang berlatih di ruangan khusus di sayap ujung akademi ini, sepertinya dia sedang badmood, mungkin karena tadi aku muncul tiba-tiba tanpa sengaja dan mengganggu permainannya." Rachel menatap Calvin dengan tatapan penuh permintaan maaf, "Jangan ke sana Calvin, kalaupun dia masih ada di sana dia pasti sedang marah besar." Calvin menundukkan kepalanya menatap Rachel yang jauh lebih pendek darinya, lalu menghela napas panjang,  "Kau sungguh beruntung.... tapi yah sudahlah, mungkin memang belum saatnya aku bertemu dengan Jason." gumamnya lalu tersenyum dan menepuk pundak Rachel penuh sayang, "Nanti kita pasti akan bisa bertemu dengannya, kita kan sudah mengisi dan memasukkan formulir audisi untuk masuk sebagai murid khusus Jason. Ayo kita cari mamamu." Setiap tahun sekali, Jason sang pemain biola jenius yang sangat terkenal itu, akan menyempatkan waktunya untuk memberikan kelas khusus hanya untuk siswa akademi senior atau alumni yang terpilih, semuanya dibatasi berusia minimal delapan belas tahun dan maksimal berusia dua puluh tahun. Pendaftaran dibuka sebebas-bebasnya, tetapi pada tahap awal kualifikasi, hanya ada dua ratus orang terpilih yang berhak mengikuti audisi khusus yang dihadiri langsung oleh Jason. Kelas itu hanya diikuti oleh beberapa orang yang terbaik, dan Jason sendiri yang memilihnya. Mereka harus mengisi formulir, kemudian mengikuti audisi, perbandingan antara yang lolos dengan tidak lolos mungkin satu dibanding sepuluh siswa audisi. Ini adalah kesempatan pertama Rachel, sedangkan Calvin yang dua tahun lebih tua darinya, akan mencoba keberuntungannya untuk ketiga kalinya, dia gagal di percobaan dua kali sebelumnya. Dari dua ratus orang yang ikut audisi hanya akan dipilih sejumlah maksimal dua puluh orang, akan diberikan pelatihan di kelas khusus selama tiga bulan dengan mentor utama Jason sendiri. Memang waktu pelatihan yang singkat, tetapi banyak sekali ilmu yang bisa mereka dapat karena sang maestro sendiri yang turun tangan mengajari mereka, selain itu kalau beruntung, Jason bahkan bermain biola di kelasnya, suatu kesempatan luar biasa mendengarkan Jason bermain biola secara langsung, karena lelaki itu lebih banyak mengadakan konsernya di luar negeri, sehingga para murid akademi ini hanya bisa mendengarkan permainannya dari rekaman video untuk berlatih.  Yang pasti, kelas khusus Jason ini sangat eksklusif dan siapapun yang ingin lolos audisi, harus berebut dengan dua ratus siswa akademi sekaligus alumni lainnya yang lolos kualifikasi tahap awal. Audisi ini begitu ketatnya sehingga Calvin yang notabene anak direktur akademi musik ini, diperlakukan sama seperti yang lain. Dia harus mengambil formulir, mengisinya sesuai prosedur dan mengikuti test audisi bersama yang lain. Hanya Jason yang bisa menentukan siapa yang akan dia latih. Calvin dan Rachel adalah salah satu dari sekian banyak siswa yang berharap memperoleh keberuntungan ini, diajar langsung oleh Jason. Calvin terutama, adalah penggemar berat Jason, dia pada mulanya berlatih piano, ayahnya adalah salah satu pemilik dan direktur di akademi musik ini sehingga bakat Calvin sudah terasah sejak kecil.  Kemudian tanpa sengaja dia mendengarkan acara konser solo Jason- sang jenius biola, salah satu lulusan akademi yang sama dengannya,  yang waktu itu baru berusia dua puluh satu tahun - di televisi. Dia terpana, takjub akan kemampuan Jason membawakan biolanya dengan begitu sempurna,  dan seketika itulah dia memutuskan bermain biola. Jason adalah salah satu motivasi terbesarnya bermain biola. Sementara itu, Rachel.... yah bisa dikatakan dia hanya ikut-ikutan. Rachel dan Calvin memang dilahirkan dari keluarga pemusik, kedua orang tua mereka dulu bersahabat di akademi musik Vienna, dan sama-sama berkarir di sebuah orkestra besar di Italia, sebelum akhirnya orang tua Calvin yang memutuskan pulang ke indonesia lebih dulu dikarenakan ayah Calvin harus meneruskan perusahaan papanya, yang meninggal dunia, salah satunya adalah akademi musik milik keluarganya. Beberapa tahun kemudian, ketika Rachel berusia delapan tahun, ayah Rachel meninggal dunia karena sakit, mama Rachel akhirnya memutuskan untuk pensiun dari karier musiknya di Italia dan membawa Rachel pulang ke indonesia. Dan kemudian, mama Calvin jugalah yang membantu mereka, mencarikan rumah yang nyaman untuk mereka tempati dan memberikan pekerjaan kepada mama Rachel sebagai salah satu guru di akademi ini.  Rachel bisa bermain musik apa saja, dan dia memainkan semuanya, dia bahkan tidak mengkhususkan diri pada satu alat musik, sesuatu yang diprotes oleh mamanya. Kata mamanya, kalau kita tidak men-spesialisasikan diri pada satu alat musik, maka kemampuan kita akan mengambang, tidak bisa sepenuhnya fokus. Mama Rachel selalu mendorong Rachel untuk mengembangkan bakat musiknya ke satu titik khusus, tetapi memang tidak ada dorongan bagi Rachel untuk melakukannya. Dia memang berbakat dalam bermusik tetapi tidak berambisi. Sampai kemudian dia melihat Calvin begitu fokus bermain biola, dan Rachel berpikir, kalau dia bermain biola juga, mungkin dia bisa semakin dekat dengan Calvin. Rachel tersenyum pahit, yah.... Jason adalah motivasi Calvin bermain biola, sedangkan Calvin adalah motivasi Rachel bermain biola. ***  "Terimakasih kau selalu menyempatkan waktumu untuk mengajar murid-murid kami setiap tahunnya."  Jason duduk di ruang tamu direktur, dijamu dengan teh dalam poci ala inggris dan kue-kue yang tampak nikmat di piring, dia duduk berhadapan dengan direktur itu sendiri. "Akademi ini pernah melatihku dan sedikit banyak membantuku menjadi seperti sekarang ini, aku tidak keberatan mengajar mereka di sela waktu rehatku." gumam Jason tenang. Matanya menelusuri ke arah pintu. Dia tidak suka dengan pertemuan formal ini dan ingin melarikan diri cepat-cepat, tetapi tentu saja itu tidak sopan. "Dan antusiasme anak-anak benar-benar meluber tahun ini, apalagi setelah konser solo terakhirmu di Austria yang sangat sukses." direktur itu tersenyum, menatap Jason senang, "Anakku akan ada di audisi ini lagi tahun ini, aku tidak akan memberitahukanmu yang mana karena hal itu mungkin akan mempengaruhimu, tetapi aku berharap dengan kemampuannya dia bisa lolos dari audisi. Dia sudah mencoba dua kali sebelumnya dan gagal." Direktur itu menuang tehnya dan mempersilahkan Jason untuk minum teh bersamanya. Jason tersenyum. Dia tahu bahwa direktur ini dulu punya karier bermusik yang cemerlang di Italia, sebelum menjadi direktur akademi ini, direktur itu adalah seorang pemain piano profesional. Jason tidak mengira bahwa anaknya lebih memilih bermain biola. Bahkan sebelumnya, direktur ini sangat jarang menyebut tentang anaknya. Lelaki di depannya ini memang sangat teguh pada peraturan dalam bermusik, sepertinya dia tidak ingin anaknya diperlakukan dengan istimewa, mau tak mau Jason merasa kagum kepada prinsip yang dianut sang direktur, kalau orang lain, mungkin akan menggunakan segala cara agar anaknya memperoleh hak istimewa. "Anak anda bermain biola?" gumam Jason mempertanyakannya langsung. Direktur itu mengangkat bahunya, "Semua orang pasti mempertanyakan itu mengingat aku adalah pemain piano. Yah, aku sudah berusaha mengajari anakku itu bermain piano sedari dini. Dan kemudian dengan keras kepala dia berubah halauan, bermain biola." Matanya menatap Jason dengan dalam, "Kau adalah motivasinya bermain biola." Jason menyesap tehnya dan mengangkat alis, lalu tersenyum samar. "Kalau anak anda benar-benar berbakat, dia pasti akan menemukan jalannya untuk masuk ke kelas khususku." ***  Jason pulang ke apartemennya, dia memang punya apartemen pribadinya sendiri jikalau ingin menyepi sendirian.  Ini adalah apartemen lamanya yang tahun kemarin sempat ditinggalkannya begitu lama untuk melarikan diri dari mamanya. Natalie, mama angkatnya mengejar-ngejarnya untuk segera menikah, dia menawarkan berbagai macam calon isteri untuk Jason yang tentu saja ditolak Jason mentah-mentah, dan membuatnya melarikan diri dari rumah dengan alasan pelatihan intensif untuk beberapa lama, padahal Jason terpaksa menumpang di rumah salah satu sahabatnya. Untunglah setelah itu Jason harus segera berangkat ke Austria kali ini benar-benar untuk persiapan konser solo dan sebagai violinist tamu di konser bersama orkestra besar di austria, sehingga membuat mamanya tidak bisa mengejar-ngejarnya lagi. Ketika Jason pulang ke negaranya, mamanya sepertinya sudah sadar bahwa sia-sia saja dia  mencoba memaksakan Jason untuk menikah, perempuan yang sangat menyayangi Jason itu lalu melupakan usahanya, dan membuat Jason merasa nyaman kembali untuk pulang. Jason memang sering menghabiskan waktunya di rumah, kadang beberapa hari seminggu dia tidur di sana, tetapi selain itu, dia pulang ke apartemen pribadinya. Apartemen ini berada di lantai paling atas, sebuah hunian eksklusif yang sangat menjaga privacy, Jason mengubah seluruh interiornya sendiri, dan memasang dinding kedap suara, yang memungkinkannya berlatih siang malam, tanpa mengganggu orang lain.  Lelaki itu duduk dalam kegelapan, dasinya sudah terlepas dan matanya dingin. Besok adalah hari audisi. Jason tak sabar menantinya. Banyak sekali hal-hal baru, bakat-bakat baru yang sebelumnya belum pernah muncul yang bisa ditemukannya di saat audisi, dan Jason tentunya akan memilih yang terbaik.  Karena dia hanya mau melatih yang terbaik. ***  "Ayo cepat." Calvin berlari-lari kecil menuju ruangan aula besar akademi, tempat audisi berlangsung, sementara Rachel mengikutinya, sama-sama panik. Kemarin mereka mendapatkan pemberitahuan bahwa mereka berdua termasuk salah satu dari dua ratus peserta audisi yang beruntung. Dan sekarang mereka hampir terlambat karena mobil mereka terjebak macet dan sempat membuat panik karena takut kehilangan kesempatan. Tetapi untunglah Calvin menemukan jalan tikus yang meskipun sempit tapi lancar, dan membuat mereka hanya terlambat beberapa menit. Ketika mereka sampai di pintu aula, suara alunan biola sudah terdengar. Berarti audisi sudah dimulai. Untunglah panitia audisi masih ada di depan pintu sehingga Calvin dan Rachel bisa mendapatkan nomor audisi, meskipun mereka harus mendapatkan nomor terakhir untuk hari ini. Satu orang mendapatkan jatah waktu hanya tiga menit untuk memainkan bagian lagu yang telah mereka pilih, memamerkan bakatnya sebaik mungkin. Sementara itu, Jason beserta dua mentor senior di akademi, duduk diam dan mendengarkan di sebuah kursi yang telah disediakan di sudut depan aula, tepat di depan peserta audisi dan tampak mengintimidasi Para peserta lain yang mengantri tampak menunggu dengan sabar di kursi-kursi yang telah disediakan dan terisi penuh sehingga beberapa harus berdiri di sisi samping aula, semua menunggu dengan setia berharap menjadi peserta yang beruntung.  Rachel dan Calvin akhirnya bisa mendapatkan posisi berdiri di samping yang paling dekat dengan bagian depan aula. Mata Rachel melirik ke arah Jason yang duduk dengan tenang di kursinya, tampak luar biasa tampan dengan celana jeans dan kemeja hitamnya. Mata lelaki itu serius, tanpa ekspresi sehingga tidak bisa terbaca apakah dia menyukai permainan biola yang dimainkan oleh salah satu peserta di depannya atau tidak. Di tangannya ada kertas, kadang-kadang lelaki itu mencatatkan sesuatu di sana. Rachel melirik beberapa peserta perempuan lain di sekitarnya, mereka semua sama, tampak begitu terpesona akan ketampanan Jason. Bahkan kemudian Calvin menyenggolnya dan tersenyum, "Dia luar biasa tampan bukan?" Calvin bergumam menggoda, membuat pipi Rachel memerah. Ya. Jason memang luar biasa tampan, tetapi bagi Rachel, tidak ada lelaki yang setampan Calvin di dunia ini. "Bermain di depannya terasa sangat mengintimidasi." sambung Calvin sambil mendesah. "Apalagi kita tidak pernah bisa membaca apa yang ada di balik tatapan mata dinginnya itu. Dua kali kemarin aku gagal sepertinya lebih karena gugup, semoga sekarang ada kesempatan untukku." Rachel tersenyum dan menyentuh lengan Calvin dengan sayang, "Kau pasti berhasil Calvin, dan kali ini jangan gugup. Aku akan mendoakanmu." ***  Malam sudah menjelang, tetapi dua ratus siswa itu tampak setia, belum ada satupun yang pulang. Karena hasil audisi akan diumumkan sendiri oleh Jason setelah proses audisi selesai. Sudah tinggal beberapa peserta yang maju. Dan kemudian giliran Calvin. Calvin tampak begitu tampan dengan kemeja birunya yang tampak sesuai dengan rambutnya yang kecoklatan. Lelaki itu menghela napas panjang, dan kemudian memainkan biolanya. Alunan musik nan merdu langsung mengalun di seluruh penjuru aula. Dan Rachel menatap lelaki itu dengan kagum. Calvin tampak begitu tampan, seperti pangeran yang memainkan biola untuk kekasihnya. Perasaan Rachel dipenuhi dengan cinta. Alunan musik yang dimainkan oleh Calvin begitu menghangatkan hati, membuat mata Rachel berkaca-kaca. Teknik Calvin tidak dipertanyakan lagi, begitu sempurna dan luar biasa. Bakat itu memang ada di diri lelaki yang dipujanya itu. Ketika Calvin selesai, beberapa siswa bahkan ada yang tak bisa menahan diri untuk bertepuk tangan, dan Rachel memandang penuh harap ke wajah Jason. Lelaki itu masih memasang wajah tanpa ekspresi. Rachel langsung harap-harap cemas, dia berdoa sepenuh hati agar kali ini Calvin lolos. Ini adalah kesempatan terakhir Calvin karena dia sudah berusia dua puluh tahun. Calvin akan sangat kecewa kalau gagal di kesempatan terakhirnya ini. Dan Rachel tidak akan tahan melihat Calvin kecewa. Setelah Calvin membungkuk ke arah Jason dan dua mentor senior akademi yang berada di depannya, dia berlari-lari kecil ke arah Rachel yang menunggu di bagian samping tempat duduk.  "Bagaimana permainanku tadi?" Wajah Calvin tampak berseri-seri hingga mau tak mau membuat Rachel tersenyum lebar.  "Bagus sekali Calvin. Kau memainkannya dengan sempurna!" Rachel menjawab sambil tertawa, ketika Calvin memeluknya layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Peserta nomor terakhir dipanggil, dan itu nomor Rachel. Calvin mengacak rambut Rachel dengan sayang,  "Ayo Rachel, bersemangatlah!" gumamnya riang, menepuk pundak Rachel hangat sebelum Rachel melangkah ke depan. Rachel berjalan dengan tenang dan tanpa beban, meskipun dia merasa semua mata peserta memandang ke arahnya. Ini adalah audisi perdananya dan ternyata beginilah rasanya bermain di hadapan banyak orang. Dia menghela napas panjang, yah dia akan bermain sesuai kemampuannya. Lagipula dia datang kemari tanpa beban, dia hanya ingin bersama Calvin. Dan kalaupun nanti dia tidak lolos, dia sudah cukup bahagia jika bisa melihat Calvin lolos. Rachel berdiri di tengah ruangan, menghela napas panjang, memasang biolanya di pundaknya dan kemudian menggesekknya. ***  Hari hampir menjelang malam, dan Jason lelah. Dia juga bosan. Telinganya terasa berdenging mendengarkan permainan biola ratusan siswa-siswa yang antusias. Dan kebosanannya muncul karena banyak sekali siswa yang memilih lagu yang sama, jenis musik populer karya Mozart seperti symphony 35 atau 40 yang paling sering dimainkan. Mungkin mereka semua sengaja memilih musik populer agar lebih familiar di telinganya. Tetapi Jason tidak butuh yang familiar, dia butuh sesuatu yang berbeda, sesuatu yang istimewa. Ada beberapa siswa yang istimewa tentu saja, dan Jason sudah mencatat mereka di lembar kertasnya. Ketika peserta terakhir dipanggil, Jason sudah skeptis. Tinggal satu lagi, dan dia bisa membuat pengumuman kemudian pulang untuk beristirahat. Kemudian matanya menatap peserta terakhir yang melangkah seperti tanpa beban ke depan mereka. Itu anak kecil itu... oh bukan, itu perempuan itu. Jason mengoreksi dalam hati sambil duduk tegak di kursinya. Apakah dia juga seorang pemain biola? Jason menatap perempuan itu dengan tertarik. Sekarang setelah melihat lebih seksama, Jason sadar bahwa perempuan itu memang bukan anak kecil. Dengan gaun warna putihnya yang melebar di bagian bawah, dan berkibar setiap dia bergerak, dia tampak cantik dan menawan, berbeda dengan celana pendek serta t-shirt kebesaran yang dulu dipakainya di pertemuan tanpa sengaja mereka. Gaun itu menunjukkan lekuk tubuhnya, lekuk tubuh perempuan yang beranjak dewasa - meskipun tentu saja Jason tidak tertarik untuk merayu perempuan yang jelas-jelas lebih muda ini, dia bilang usianya delapan belas tahun, berarti perempuan ini delapan tahun lebih muda darinya. Jason lebih suka berpacaran dengan perempuan yang sudah matang. Perempuan ini jelas jauh sekali dibawah kriterianya, masih remaja, ditambah lagi penampilannya seperti anak kecil. Jason sudah mencoret perempuan itu sejak awal dari daftar korbannya. Kalau begitu kenapa dia terus menerus memikirkannya? Jason mengernyit, membuat gerakan mencoret tanpa sadar di kertas yang dipegangnya. Dia melirik daftar musik yang akan dimainkan oleh peserta audisi. Peserta nomor dua ratus, namanya Rachel - Jason mencatat dalam hati, Rachel memilih memainkan Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35. Pilihan yang tidak biasa untuk siswa semuda itu. Jason menatap tajam, tertarik. Lalu perempuan itu menghela napas panjang, meletakkan biola di pundaknya dan menggeseknya. Seketika itu juga, alunan musik yang indah, membahana memenuhi aula. Bersambung ke part 3  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 27, 2013 03:13

May 26, 2013

Embrace The Chord Part 1




"Kau memang jahat!" Perempuan berambut pirang panjang itu berdiri setengah menggebrak meja, menatap ke arah Jason yang hanya bersedekap tenang dan dingin. Mata perempuan itu berkaca-kaca, hampir menangis. Sementara itu Jason malahan melirik tak peduli. "Aku memang jahat." lelaki itu tersenyum manis, wajahnya tampan tetapi sekarang terlihat penuh kebencian, "Kalau kau sudah puas melampiaskan kemarahanmu, kau boleh pergi." Sebuah tamparan dari jemari lentik berkuku merah berkilauan itupun melayang, mengenai pipi Jason dengan kerasnya, luapan emosinya akibat perlakukan kejam Jason kepadanya. Jason menerimanya dengan tenang, dia sudah terbiasa. Perempuan-perempuan emosional biasanya akan berusaha menyakiti lawannya ketika dia disakiti, itu memberikan kepuasan, rasa yang sepadan bagi mereka.Mata Jason berkilat, dan setengah tersenyum kepada perempuan di hadapannya, "Sudah puas?" Perempuan itu tidak bisa berkata-kata lagi, air matanya berlelehan di pipinya, tak tertahankan. Kemudian dengan tangis terisak-isak, perempuan itu pergi setengah berlari meninggalkan Jason. Jason mengusap pipinya yang terasa panas, menyadari beberapa mata terarah kepadanya di cafe itu. Yah, orang-orang itu pasti tertarik dengan kejadian dramatis seperti syuting drama di depan mata mereka. Jason tahu, Kendra pasti marah ketika dia memutuskannya dengan kejam, tetapi Jason tidak pernah mengira Kendra akan bersikap sedramatis itu, kalau saja Jason tahu, dia pasti akan memilih tempat yang lebih pribadi untuk melakukannya. Dengan tenang, Jason menjentikkan jarinya, memberi isyarat kepada pelayan yang langsung tergopoh-gopoh mendatanginya, "Kopi hitam, jangan pakai gula. Satu." gumamnya tenang lalu duduk menunggu. Seperti kebiasaannya, setelah mematahkan hati perempuan, Jason akan meminum satu cangkir kopi hitam, untuk menghormati momennya. Lama kelamaan ini jadi kebiasaan. Jason mengernyit. Sepertinya Jason tidak akan pernah bisa menjalin hubungan dengan perempuan, tanpa dia tergoda untuk menyakiti perempuan itu. Dan pada akhirnya, itulah yang memang selalu dilakukannya.  Oh, jangan ditanya, Jason adalah kekasih yang baik hati dan mempesona. Dia akan memperlakukan semua kekasihnya seperti ratu, mereka akan dimanjakan dengan penuh kasih sayang, diberikan prioritas waktunya dan pasti akan merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.... hingga akhirnya Jason menghempaskannya ketika dirasa waktunya sudah tiba.  Kopi hitamnya datang. Jason menyesapnya dan mengernyit merasakan kepahitan dan asam khas kopi yang kental. Dia lalu merenung. Semua perempuan itu seperti tidak pernah jera, mereka selalu datang dan datang lagi, mengharapkan cintanya. Padahal reputasi Jason sebagai ladykiller sudah begitu terkenal, mereka malahan menganggap Jason sebagai hadiah yang harus dimenangkan, merasa bisa menaklukkan Jason pada akhirnya.  Senyum sinis mengembang di bibir Jason. Huh! Mereka semua bermimpi.  Jemari Jason mencengkeram gelasnya dengan erat, terbawa perasaannya. Kebenciannya kepada ibunya telah menyeruak, jauh begitu dalam ke dasar jiwanya yang kelam. Apa yang dilakukan ibunya kepadanya, kepada ayah dan adiknya, memisahkan mereka begitu saja, itu adalah dosa yang tak termaafkan, Jason tidak akan pernah memaafkan ibunya untuk hal yang satu itu. Tidak akan pernah! Karena kalau ibunya tidak merenggutnya lalu meninggalkannya begitu saja, Jason seharusnya masih mempunyai kesempatan untuk melewatkan hari-harinya bersama  ayahnya. Ayah yang kemudian tidak pernah bisa ditemuinya lagi bahkan sampai hari terakhir ayahnya hidup di dunia.  Setidaknya, pada akhirnya Jason dipertemukan kembali dengan adik kandungnya, Keyna setelah bertahun-tahun terpisahkan tanpa jejak. Entah itu takdir Tuhan, atau memang Tuhan selalu mendengarkan doa Jason setiap malamnya, adiknya itu yang sekarang sudah dewasa dan cantik, secara kebetulan menjadi anak asuh dari mama sahabatnya, mereka dipertemukan tanpa sengaja, tetapi dari pandangan pertama, Jason langsung tahu. Meskipun Keyna tidak bisa mengingatnya karena ketika mereka terpisah usia Keyna masih sangat kecil, Jason langsung mengenali adiknya itu. Siapa pula yang bisa melupakan wajah lucu yang menatapnya dengan tatapan mata memuja, menguntitnya kemana-mana dan selalu meneriakkan namanya dengan bahagia di kala mereka kecil itu? Sayangnya takdir yang sama tidak menyentuh Jason dan ayahnya. Dari kisah Keyna, Jason tahu, kehidupan ayahnya begitu sulit bersama Keyna, ayahnya - seorang pemain biola kelas dunia yang begitu terkenal yang kemudian terpuruk karena cacat di tangannya - bahkan sampai harus bekerja menjadi tukang bangunan untuk menghidupi dirinya. Pada saat yang sama, Jason hidup berkelimpahan dengan keluarga angkatnya. Rasa bersalah itu terus menyeruak semakin dalam ke dalam jiwanya, semakin dalam dan kelam, membuatnya merasa pahit dan penuh penyesalan.

Seharusnya Jason ada bersama ayahnya meskipun mereka harus hidup susah, Jason anak laki-laki, setidaknya dia bisa bekerja membantu ayahnya. Dan penyesalan Jason yang paling mendalam....... seharusnya dia bisa memeluk ayahnya di saat terakhirnya, mengantarkan jasadnya ke persemayaman terakhirnya. Itu semua tidak bisa dia lakukan dan itu membuatnya merasa pilu. Pilu dan benci, benci kepada ibunya yang telah membuatnya kehilangan semua saat berharga yang seharusnya bisa dirasakannya. Ibunya sekarang sudah menerima ganjarannya. Akibat usaha penculikan amatirnya demi mendapatkan harta, ibunya itu harus mendekam di penjara selama beberapa lama. Yah. Tempat yang paling cocok untuk perempuan seperti itu memang di penjara. Jason mengernyit. Kehidupan sudah mengarah ke jalan yang tenang sekarang, Keyna sudah hidup bahagia dengan suaminya yang begitu memujanya, Jason sendiri seharusnya sudah bisa meletakkan dendamnya yang berkepanjangan. Tetapi dia tidak bisa. Dendam itu masih membara, kepada semua perempuan yang mengejar-ngejarnya hanya karena melihat ketampanannya, atau melihat harta dan kemampuan bermain biola. Jason tidak menyukai mereka semua. Mereka pada akhirnya akan sama saja seperti ibunya. Mungkin nanti, ketika Jason kehilangan kemampuannya bermain biola, kehilangan harta dan ketampanannya, para perempuan itu akan mencampakkannya, sama seperti ketika ibunya mencampakkan ayahnya. ***  "Bagimana konsermu di austria?"

Mr. Isaac, salah satu mantan mentornya ketika dia masih belajar di akademi ini tersenyum menatap Jason yang baru saja datang berkunjung. Jason adalah muridnya yang paling brilian. Lelaki ini membawa bakat jenius permainan biola ke dalam tangannya, seorang pemakin biola berbakat alami yang diimbangi dengan teknik tingkat tinggi.

Ketika kedua orangtuanya, yang merupakan sahabat Mr. Isaac membawa Jason kepadanya, semula Mr. Isaac sama sekali tidak punya bayangan apa-apa. Yang datang kepadanya adalah seorang anak lelaki kurus dan cantik - Mr. Isaac semula mengira dia anak perempuan - berumur sekitar enam atau tujuh tahun, memeluk sebuah biola berwarna merah gelap yang sepertinya kebesaran untuk anak seumurannya.

Tetapi ketika anak kecil itu memainkan biolanya, Mr. Isaac terpana. Dia langsung tahu, anak kecil ini bisa disebut 'prodigy' dalam permainan biolanya. Anak sekecil itu, dengan biola yang kebesaran, tetapi memainkan biola bukan hanya dengan teknik yang sempurna, tetapi cara bermain yang mempesona. Tidak ada duanya, apalagi untuk ukuran anak sekecil itu!

Tanpa pikir panjang Mr. Isaac langsung mengajukan diri untuk membimbing Jason secara khusus. Dia adalah seorang komposer, mantan pemain biola dan guru musik di Akademi ini, dia punya banyak sekali kenalan orang-orang terbaik di dunia musik klasik. Maka, Jasonpun masuk ke dalam akademi ini, ke dalam kelas bimbingan khusus, dalam sesi-sesi tertentu, untuk mengembangkan bakatnya, Jason dikirim ke sekolah-sekolah musik terkenal di berbagai negara, dan itu membuatnya semakin terkenal.

Ketika lulus, Jason semakin sering menghabiskan harinya di luar negeri, mengikuti konser dengan berbagai orkestra terkenal dan juga melakukan konser solo. Lelaki itu sangat sukses dalam bermusik, dan tentu saja hal itu karena permainan biolanya yang jenius.

Dan pantas saja, ternyata Jason adalah anak kandung dari seorang pemain biola jenius lainnya, yang dulu begitu terkenal tetapi menghilang begitu saja tanpa jejak, sebuah kehilangan besar di dunia musik. Lelaki itu ternyata menurunkan bakatnya kepada anak lelaki sulungnya ini.

"Seperti biasa, melelahkan." Jason menyandarkan tubuhnya di sofa dan tersenyum tipis, "Bolehkah aku menggunakan ruanganku yang biasa untuk berlatih?"

Mr. Isaac sudah menganggap Jason seperti anaknya sendiri, dan dia adalah salah satu orang istimewa di akademi ini. Ada sebuah ruangan khusus di ujung sayap kiri akademi yang tersembunyi dan tertutup yang selalu digunakan oleh Jason untuk berlatih diam-diam. Ruangan itu tentunya selalu ada untuk Jason meskipun sudah lama sekali Jason tidak menggunakannya karena perjalanannya ke luar negeri. Dan karena sekarang sepertinya Jason memilih untuk beristirahat beberapa lama dari konsernya yang melelahkan, lelaki itu pasti akan sering memakai kembali ruangan itu.

"Kau bisa ke sana kapan saja, Jason."

Jason meletakkan tehnya, dan menganggukkan kepalanya, "Aku akan ke sana, terimakasih Sir."

***

Jason berjalan dalam diam. Melalui lorong di sayap paling sepi Akademi musik terbesar itu, dan menghela napas panjang.

Sepi.

Sepi itu menyayat jauh ke dalam jiwanya. Yah. Dia kesepian. Kadangkala dia merindukan tubuh hangat untuk dipeluk, seorang perempuan yang tidak jahat, seorang perempuan yang tidak hanya mencintai bagian luarnya.... seorang perempuan yang tidak seperti ibunya.

Tetapi apakah perempuan seperti itu ada? Jason tersenyum pahit. Kalaupun ada, perempuan-perempuan itu bukanlah jodohnya, karena sampai sekarang Jason belum pernah menemukannya.

Dia sampai di ruangan berlatih khususnya. Sebuah ruangan besar, dengan jendela kaca di semua sisinya, memantulkan cahaya matahari yang redup, karena sekeliling luar ruangan itu adalah pepohonan yang rimbun dan sangat besar.

Jason berdiri di tengah ruangan, dan kemudian membuka tempat biolanya. Dia menghela napas dan memejamkan mata, lalu memainkan biolanya, dalam nada yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

***

Suara alunan biola yang menyayat dengan penuh keahlian itu mengalun melewati lorong aula akademi musik itu. Rachel mengenali nada itu bahkan ketika dia mendengarkannya samar-samar, Itu "Introduction et Rondo Capriccioso", dimainkan dengan sangat ahli di gesekan setiap nadanya, membawa perasaan ke dalam naik turunnya gesekan biola itu...... dan siapapun yang memainkannya, dia pasti sangat brilian. 
 
Rachel berjalan mengernyitkan keningnya, mengikuti arah suara itu. Dia merasa terbawa ke alam lain, dalam keheningan diiringi alunan musik yang membawakan emosi yang aneh dan naik turun, ada kepedihan di sana, ada kesakitan... ada kesepian dan yang terutama... ada kemarahan di sana, semua emosi itu dibalut dengan indah dalam teknik bermain biola yang mendekati jenius.... menghasilkan nada yang luar biasa.

Dia melangkah dengan hati-hati ke ujung lorong akademi itu. Menyadari bahwa jantungnya berdebar kencang... seharusnya dia tidak boleh jalan-jalan sendirian sampai ke tempat ini. Mamanya pasti akan mencarinya dan kebingungan. Tapi suara alunan biola ini menariknya tanpa dapat ditahankan, membawanya ke area terlarang - Disebut area terlarang karena katanya, di akademi ini sedang kedatangan seorang pemain biola kenamaan, yang dalam usia semuda itu, begitu sukses dalam setiap konsernya di luar negeri dan begitu diakui di sana. Sang pemain biola terkenal ini sekarang sedang beristirahat setelah masa konsernya yang panjang di Austria, dan menikmati waktu pribadinya di sudut khusus akademi ini, tempat dia biasa berlatih - Dan karena dia adalah alumni yang sangat istimewa, maka pihak akademi menyediakan tempat khusus untuknya, dimana tidak ada seorangpun yang boleh mengganggu.

Suara alunan biola itu semakin keras, semakin menyentuh hingga ke dalam dada. Rachel terus berjalan, dengan hati-hati berpegangan kepada dinding, melangkah pelan, hingga akhirnya dia sampai di sebuah pintu, di dalam ruangan itulah nada yang begitu indah berasal....tanpa sadar, Rachel berdiri di ambang pintu itu dan terpaku.

Sang pemain biola tampaknya selama beberapa lama tidak menyadari kehadirannya, tetapi lama kelamaan dia menyadari keberadaan Rachel, alunan biola yang indah itu berhenti begitu saja, membuat Rachel mengerutkan keningnya karena kehilangan nada-nada indah yang sempurna itu.

"Mainkan lagi." Tanpa sadar Rachel meminta. Alunan biola itu begitu indahnya sehingga menciptakan rasa seperti 'ketagihan' bagi pendengarnya.

Sang pemain biola menghentikan permainannya, suara yang dikeluarkannya kemudian sangat tajam dan ketus, sangat bertolak belakang dengan permainan biolanya yang indah,

"Apa yang kau lakukan di sini gadis kecil? Tidak tahukah kau bahwa ini area terlarang?"


Bersambung ke Part 2
  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2013 22:06

May 25, 2013

Crush In Rush Part 12





William masih ternganga akan kata-kata vulgar Kiara, sementara Carmila melemparkan pandangan jijik kepada Kiara. Kiara sendiri tidak peduli, dua orang di depannya itu sudah menganggapnya sebagai kelas rendahan hanya karena dia bukan bangsawan dan tidak jelas asal usulnya, jadi biar sama mereka berpikiran semakin buruk kepadanya.
“Kau membuatku tak sabar untuk masuk kamar.” Joshua berbisik mesra, tangannya semakin memeluk pinggang Kiara dengan posesif, sengaja memberikan isyarat di sana agar tamu mereka malu.
Tetapi rupanya Carmila bukanlah perempuan yang mudah menyerah. Tentu saja, dia tidak akan diangkat menjadi CEO perusahaan multinasional yang sekarang kalau dia menyerah dengan begitu mudahnya.
“Aku ingin kau memberiku kesempatan.” Gumamnya tegar, membuat Joshua mengerutkan keningnya sambil menatap Carmila. “Kesempatan untuk apa?”
Carmila tersenyum manis, “Kesempatan untuk mengenalku. Rasanya tidak adil bagiku kalau aku datang jauh-jauh kemari hanya untuk diusir dengan kasar, tanpa kau memberi kita kesempatan untuk saling mengenal.” Carmila lalu melemparkan tantangan kepada Joshua, tahu bahwa ego seorang lelaki akan tertantang jika dipancing seperti itu, “Aku ingin kau mencoba mengenalku dengan intens selama seminggu penuh... dan kalau setelah itu tidak ada ketertarikan yang tumbuh darimu untukku, aku akan pergi dengan kepala tegak, puas karena sudah mencoba.”
Joshua terdiam, menatap perempuan di depannya. Oh ya. Joshua tahu persis Carmila bukan perempuan biasa, dia bukanlah perempuan bangsawan inggris yang lemah dan lembek, bisa diusir dengan mudahnya.
Satu-satunya jalan adalah dengan cara menerima tantangan Carmila. Setelah itu perempuan itu pasti akan pergi dengan terhormat dan tidak mengganggu mereka lagi. Itu juga merupakan salah satu cara untuk membuat ayahnya kalah karena tidak punya senjata lagi untuk mencoba menguasainya.
“Oke. Satu minggu.” Joshua tersenyum, “Dan setelah itu, kau bisa mengemasi barang-barangmu, Carmila.”
Carmila mengulurkan tangannya dan Joshua menjabatnya, lalu perempuan itu terkekeh,
“Jangan yakin dulu Joshua, jangan-jangan kau yang akan berkemas nanti dan mengikutiku pulang ke London.” Mata Carmila beralih ke Kiara, “Kau dengar sendiri Kiara? Kekasihmu setuju untuk menjadi milikku selama seminggu penuh.” Gumamnya dalam bahasa inggris yang sekali lagi dilambat-lambatkan seolah mengejek kemampuan bahasa inggris Kiara.
***
Sepeninggal kedua orang itu, Joshua menutup pintu dan kemudian tersenyum kepada Kiara.
“Kalimat yang sangat hebat, aku tidak menyangka kau bisa menggunakan kosakata ‘mencemari’ dengan begitu baiknya.” Mata Joshua tampak menggoda, “Membuatku bertanya-tanya darimana kau belajar tentang hal itu.”
Pipi Kiara merah padam. Mengingat ulang kata-katanya dan menyadari bahwa kata-katanya begitu vulgar,
“Aku mempelajarinya di sinetron yang aku tonton.” Jawab Kiara seadanya, dan langsung membuat Joshua mengerutkan keningnya,
“Sudah kubilang Kiara, jangan terlalu suka melihat sinetron, itu akan menenggelamkanmu dari dunia nyata.” Lelaki itu lalu terkekeh, “Lagipula apa gunanya aku memasang TV kabel di kamarmu kalau kau hanya memakainya untuk menonton sinetron?”
Joshua berhasil membuat Kiara merasa malu, tetapi perempuan itu memilih tidak menanggapinya, dia malahan teringat akan tantangan Carmila yang diterima oleh Joshua tadi dan seketika merasa cemas,
“Apakah menurutmu bijaksana memberi kesempatan kepada Carmila selama seminggu? Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya?”
“Dia memintanya dengan begitu baik, dengan tantangan yang membuatku mau tak mau harus menerimanya, Kiara. Kalau tidak aku akan tampak seperti pengecut.” Jawab Joshua cepat, “Jangan kuatir, aku tidak akan dikalahkan olehnya.”
Tetapi walaupun Joshua bicara begitu, tetap saja Kiara merasa luar biasa cemas. Ada perasan takut dibenaknya, takut kalau perempuan itu akan mengambil Joshua....
Ah, Kiara menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran itu dari benaknya. Dia tidak boleh berpikiran seperti itu, mungkin dia hanya terlalu terbawa peran yang dimainkannya....
***
“Seharusnya kau tidak menerima tantangannya.” Jason bersandar santai di sofa, dia tentu saja mendengar semua adegan itu dari kamarnya dan mengintip sekilas penampilan Carmila, “Perempuan itu penggilas perempuan, dia terbiasa membuat laki-laki berlutut di bawah kakinya, dan dia sangat licik. Dia akan menggunakan segala cara Joshua, dan alih-alih mengusirnya, kau malahan memberi kesempatan kepadanya untuk menguasaimu.”
Joshua menyesap kopinya dan mengernyit karena rasa pahit yang kental di sana. Jenis kopi kesukaannya, tanpa gula, tanpa campuran apapun.
“Apakah kau tidak percaya pada kemampuanku, Jason?” gumamnya setengah terhina.
Jason tertawa, “Tentu saja aku percaya, kau telah menaklukkan berpuluh-puluh perempuan, tetapi mereka semua tipe yang sama Joshua, kau harus ingat itu, semua perempuan yang kau pacari, mereka semua tergila-gila kepadamu, bersedia melakukan apa saja supaya bisa mencium kakimu.” Jason menatap Joshua dengan serius, “Perempuan yang ini beda, dia memang tergila-gila padamu, tetapi dia akan melakukan apa saja, supaya kau mencium kakinya. Hati-hati Joshua.”
***
Kiara menatap Joshua yang sudah berpakaian rapi di ruang tengah, dia tidak mengeluarkan pertanyaan, tetapi matanya sudah cukup mewakilinya, hingga Joshua tersenyum masam dan berkata,
“Aku akan pergi makan siang dengan Carmila. Kau ingat kan kesepakatan kemarin?”
Kiara menganggukkan kepalanya, tidak berkata apa-apa.
“Aku harus pergi dengannya.” Joshua bergumam lagi, mencoba menjelaskan, “Dia menantangku, Kiara dan aku harus menunjukkan siapa yang akan kalah di antara kami.”
Sekali lagi Kiara menganggukkan kepalanya. Toh dia harus bilang apa? Hak Joshua untuk pergi dengan perempuan manapun, dia kan hanya berakting menjadi kekasih Joshua kalau ada William dan Carmila. Selain itu dia kembali ke pangkat aslinya, pelayan Joshua.
“Kenapa kau hanya menganggukkan kepalamu?” Joshua tampak gusar, “Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu?”
Kiara mengerutkan kening, bingung dengan sikap Joshua, kenapa lelaki itu mendadak merasa terganggu dengan sikapnya? Salah apakah dia?
“Kau ingin aku mengatakan apa?” tanya Kiara akhirnya, menatap Joshua dengan mata besarnya yang polos.
Seketika itu juga Joshua tertegun, ekspresinya tampak marah, “Ah sudah, lupakanlah.” Dengan langkah-langkah marah, dia meraih kunci mobilnya dan melangkah pergi.
***
Di jalan Joshua masih saja berpikir keras, menahan bingungnya. Bahkan dia sendiri tidak bisa memahami sikapnya tadi. Kenapa dia merasa perlu menjelaskan segala sesuatunya kepada Kiara, sebelum dia pergi berkencan dengan perempuan lain?
Kiara bukan kekasihnya kan? Dia tidak wajib menjelaskan segalanya kepada perempuan itu. Joshua mendesah, tetapi dia tetap saja menjelaskannya, entah kenapa. Dan kemudian, ketika reaksi Kiara tidak seperti yang diharapkannya, Joshua marah.
Ya. Dia marah, amat sangat marah ketika Kiara hanya menganggukkan kepalanya tanpa ekspresi ketika Joshua bilang bahwa dia akan pergi berkencan dengan lelaki lain.
Seharusnya perempuan itu...... Joshua langsung tertegun dengan pikirannya sendiri, astaga....apakah dia ingin Kiara bersikap berbeda terhadapnya? Apakah dia ingin Kiara merajuk, cemburu atau bahkan membujuknya supaya tidak pergi?
Entahlah, Joshua bahkan tidak bisa menelaah perasaannya sendiri. Yang dia tahu, sikap apatis Kara membuatnya amat sangat kecewa.
***
Carmila sudah menunggu di lobby hotel untuk acara makan siang mereka. Perempuan itu meminta waktunya di siang sampai malam hari, menghabiskan waktu bersama-sama untuk saling mengenal,dan Joshua setuju.
Dan rupanya Carmila memang ingin mempesonanya dengan kekuatan penuh. Perempuan itu berdandan lengkap dengan gaun warna sampanye yang elegan dan indah, dan juga rambut yang diikat tingi di atas kepalanya, membuatnya tampak segar dan luar biasa cantik.
Carmila menghampiri Joshua dan tersenyum mesra,
“Terimakasih untuk tidak terlambat menjemputku, Joshua.” Gumamnya lembut, “Kita akan makan siang di mana?”
“Di tempatku biasanya makan siang.” Joshua sengaja memilihkan sebuah restoran biasa, bukan restoran kelas atas untuk Carmila, sambil berusaha melihat reaksi perempuan itu. Bangsawan wanita seperti Carmila pasti terbiasa makan di restoran kelas atas, dan akan jijik ketika diajak makan ke tempat biasa.
Tetapi rupanya dugaan Joshua salah, Carmilla sama sekali tidak protes ketika Joshua mengajaknya masuk ke restoran yang sederhana itu, perempuan itu malah memesan makanan dengan bersemangat, dan ketika makanan datang, dia melahapnya sampai habis.
Joshua tidak bisa mengalihkan pandangan dari Carmila ketika makan, menyadari bahwa perempuan itu adalah perempuan tangguh yang tidak akan menyerah dengan perlakukan sengaja Joshua.
Carmila mengelap mulutnya dengan tissue dengan  gaya yang elegan, lalu tersenyum manis menatap Joshua,
“Enak sekali Joshua, tak heran kau sering makan siang di sini, kalau aku tinggal di Indonesia aku juga pasti akan sering kemari untuk makan siang.” Gumamnya puas.
Dan Joshuapun tertegun, mengetahui bahwa rencanaya untuk mempermalukan dan membuat Carmila tak nyaman gagal total.
***
Kiara merenung sendirian di ruang tamu. Alunan biola terdengar dari kamar Jason, kali ini bukanlah alunan penuh kemarahan, melainkan sebuah lagu romantis nan syahdu. Yah. Mungkin Jason sedang melankolis. Batin Kiara dalam hati, sambil mengaduk-aduk teh di tangannya.
Lalu dia membayangkan Joshua. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Joshua belum pulang. Mungkinkah dia sedang bersenang-senang dengan perempuan itu? Mungkinkah Joshua pada akhirnya menyadari pesona Carmila selain kecantikannya yang luar biasa dan memutuskan bahwa ayahnya benar? Bahwa Joshua harusnya menikahi perempuan sesempurna Carmila?
Kiara merasakan dadanya berdenyut sakit. Sekali lagi dia menghela napas, berusaha menenangkan pikirannya. Gawat. Sepertinya Kiara benar-benar terbawa oleh perannya.
***
Pukul sebelas malam, Joshua membuka pintu apartemen dengan hati-hati. Carmila memintanya mengantarkannya ke sebuah club malam yang terkenal di Jakarta. Dan Joshua tidak menolaknya, dia butuh sedikit minum malam ini.
Tetapi kemudian Joshua sadar bahwa ini sudah terlalu larut, pada akhirnya dia bisa memaksa Carmila mengikutinya meninggalkan club dan mengantarkannya kembali ke hotel
Yah, diakuinya, perempuan itu memang tidak sedangkal yang dia duga. Carmila ternyata adalah wanita karier dengan posisi tinggi di perusahaannya, meraih nilai sempurna di dua jenjang pendidikannya dan merupakan salah satu figur wanita sukses modern yang tidak terikat oleh tradisi. Percakapan mereka sangat cocok, mereka bisa membahas apa saja, seolah-olah kotak pengetahuan mereka tak pernah habis. Carmila memang teman yang menyenangkan untuk menghabiskan hari.
Joshua mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan apartemen yang gelap. Matanya menelusuri seluruh penjuru ruangan yang sepi. Semuanya pasti sudah tidur.
Joshua melangkah melewati ruang tengah, hendak masuk ke kamarnya, tetapi kemudian di tertegun mendapati sesosok tubuh di atas sofa, berbaring meringkuk dengan posisi seperti janjin yang baru lahir...
Joshua mendekat, dan menyadari bahwa Kiara ada di sana, tertidur meringkuk di atas sofa. Segelas teh yang masih setengah nampak di meja. Membuat Joshua menyadari bahwa Kiara ketiduran di sini.
Apakah perempuan itu menunggunya? Apakah ketidak pedulian yang ditampilkannya tadi sebenarnya palsu? Apakah Kiara mencemaskannya yang pergi seharian bersama Carmila?
Perasaan itu tiba-tiba saja membuat dada Joshua terasa hangat, dia lalu membungkukkan tubuhnya, melingkarkan tangannya di punggung dan belakang lutut Kiara, lalu mengangkat tubuh mungil Kiara ke dalam gendongannya.
Kiara menggeliat, sedikit terganggu dari tidur pulasnya, membuat Joshua tersenyum sedikit,
“Bangun tukang tidur.” Bisiknya lembut. Tetapi kemudian yang dilakukan Kiara adalah menenggelamkan kepalanya dengan nyaman di dadanya. Membuat jantung Joshua tiba-tiba bergetar, dipenuhi oleh perasaan hangat.
Dengan langkah hati-hati dia menuju kamar Kiara, dan membuka pintunya, kemudian dia melangkah menuju ranjang, dan membaringkan tubuh Kiara dengan lembut di atas tempat tidur. Kiara langsung bergelung dengan nyaman ke arah Joshua.
Joshua sendiri duduk di pinggir ranjang, mengamati wajah damai Kiara yang tertidur pulas, jemarinya bergerak lembut, membelai dahi Kiara yang tertutup rambutnya. Dan kemudian didorong oleh perasaan yang tidak dimengertinya, Joshua menundukkan kepalanya dan mengecup dahi Kiara dengan lembut.
Setelah itu. Joshua melangkah keluar, menutup pintu kamar Kiara pelan-pelan. bersambung ke part 13  
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 25, 2013 19:43

May 24, 2013

Embrace The Chord [ Prolog }

  Perempuan itu racun. Perempuan itu jahat. Mungkin mereka tampak cantik dan lembut di luar, tetapi siapa yang tahu betapa kejinya jiwa yang tertanam di sana. Itulah yang tertanam di benaknya, di hari itu, hari yang dingin dan berkabut, ketika ibunya membangunkannya di dini hari. Waktu itu dia masih menghabiskan malam-malamnya dengan menangis, menangis karena sudah hampir dua minggu dia dipisahkan dari adik kesayangannya, dari ayahnya yang lembut dan baik hati. Sekarang dia terpaksa tinggal bersama ibunya, yang membawanya pergi begitu saja dari rumah dan kemudian tinggal di rumah teman laki-lakinya. Meskipun dia masih kecil, tetapi dia bisa membaca kalau pria itu bukan hanya sekedar teman bagi ibunya. Ibunya memeluk pria kaya itu dengan mesra, membiarkannya mencium pipinya di depan umum. Dan ibunya tidur di kamar pria itu, sementara dia ditempatkan di sebuah kamar yang dingin dan sepi, sendirian. Dia masih kecil. Tapi dia sudah tahu pasti kalau ibunya tidak mencintainya. Perempuan itu merenggutnya dan membawanya, bukan karena menginginkannya tetapi lebih karena ingin menyakiti ayahnya. Dengan tega ibunya memisahkan dia dari orang-orang yang disayanginya. Dia benci ibunya, benci sekali! Masih dini hari ketika ibunya membangunkannya, jemarinya yang lentik dengan pewarna kuku merah menyala, menyentuh pundak kecilnya, mengguncangnya terburu-buru, "Bangun, bangun, kau harus segera bangun, ibu akan mengantarmu." Dia terbangun, mengucek matanya bingung,  "Kita mau kemana ibu?" suaranya yang mungil dan lemah masih serak, matanya susah dibuka karena sembab, menangis semalaman. "Ibu akan mengantarmu. Kau tahu, ibu ada pekerjaan di luar negeri dan ibu tidak bisa membawamu, jadi ibu akan menitipkanmu sementara di rumah teman ibu." Dia langsung duduk, masih kebingungan, dan hanya menurut ketika ibunya mengantarkannya ke kamar mandi, menyuruhnya mencuci muka. Ketika dia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah mengatur pakaiannya ke tas ransel kecilnya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Bawa biolamu sendiri, ayo kita berangkat." Ibunya membawa tas ranselnya keluar, sementara dia terburu-buru mengikuti, sambil meraih tas berisi biola berat dan besar berwarna merah gelap. Biola ini milik ayahnya, seorang pemain biola terkenal yang karena suatu hal, tidak bisa bermain biola lagi. Itulah yang menjadi penyebab perpisahan ayah dan ibunya, yang menyebabkan ibunya meninggalkan ayahnya dan keluarga mereka tercerai berai. Tetapi bagaimanapun juga, biola itu adalah hartanya yang paling berharga. Milik ayahnya, ayahnya yang baik dengan jemarinya yang besar yang selalu mengusap kepala kecilnya, ayahnya yang dengan senyum lembutnya selalu memeluknya dengan sayang, menaikkan dirinya kepangkuannya setelah sesi-sesi berlatih biola bersama yang menyenangkan. Seandainya dia bisa memilih, dia ingin bersama ayahnya. Dia tahu ayahnya punya cinta yang tulus, dia tahu ayahnya benar-benar menginginkannya. Sayangnya, dia hanyalah anak kecil yang harus tunduk kepada keputusan orang-orang yang lebih tua, karena dia masih tidak punya daya apa-apa. Dia memeluk biola itu erat-erat dan kemudian mengikuti ibunya yang sudah melangkah keluar rumah, di sana sebuah mobil sudah menunggu, Ibunya masuk lebih dulu ke dalam mobil, dan dia tak punya pilihan lain selain mengikuti ibunya masuk ke dalam mobil. Mobil itupun melaju membelah jalan, dan mereka melewatkannya dalam keheningan. Ibunya terdiam menatap lurus ke depan, sementara dia duduk di ujung terjauh di kursi, menatap kosong ke arah jendela, dan bertanya-tanya dimanakah ayah dan adiknya sekarang? Apakah mereka baik-baik saja? Apakah dia bisa menemui mereka lagi? ***  Mobil itu memasuki pintu gerbang putuh di sebuah rumah yang sangat indah. Ibunya turun lebih dahulu dan membiarkan dia mengikutinya. Pintu rumah terbuka, dan sepasang suami isteri setengah baya membuka pintu. Sepertinya mereka adalah salah satu teman ibunya, karena mereka langsung tersenyum ketika melihat ibunya. Dia dan ibunya lalu dipersilahkan masuk, dan duduk di ruang tamu yang sangat megah. Suami isteri itu menatapnya dengan lembut, dan si isteri mendekatinya dan mengenalkan diri, "Kenalkan, aku Natalia.... kau bisa memanggilku mama Natalia, semoga kau kerasan di sini ya nak." Jemari mungilnya yang begitu lembut mengelus kepalanya, membuatnya teringat kepada ayahnya. Seketika itu juga dia tahu, bahwa perempuan setengah baya di depannya ini baik  hati dan tulus. Dia akan diperlakukan dengan baik ketika tinggal di sini - sampai ibunya menjemputnya lagi. Lalu dia disuruh ke ruangan lain sementara para orang dewasa bercakap-cakap, seorang pelayan yang baik hati membawanya ke ruang bermain di sebelah ruang tamu, di sana ada banyak sekali mainan yang sepertinya masih baru, beberapa bahkan masih terbungkus plastik. Pelayan itu sudah menyiapkan segelas susu putih hangat dan sepiring kue cokelat yang menggiurkan, dan dengan sayang menyuruhnya bermain sesukanya. Tetapi tentu saja dia tidak berani. Mainan-mainan itu tampaknya masih baru, dan tentunya ada yang punya bukan? Mungkin saja pemiliknya adalah anak dari pasangan suami isteri setengah baya yang baik hati itu. Dia takut merusakkan mainan itu dan dimarahi. Dia duduk dikursi kecil yang disediakan, dan meminum susunya dengan haus, ternyata dia lapar. Semalam dia tidak bisa menelan makanannya karena menahan rasa ingin menangis akibat kerinduannya pada ayah dan adiknya, sekarang perutnya menagih minta makan. Dia juga memakan sepotong kue manis yang sangat enak itu. Setelah menghabiskan satu potong kue dan meneguk sisa susu hangatnya, tiba-tiba dia mendengar deru mobil melaju meninggalkan rumah itu.  Apakah itu mobil ibunya? Apakah ibunya telah pergi? Kenapa ibunya tidak berpamitan kepadanya? Dia langsung berlari keluar, dan menubruk Natalia, perempuan setengah baya yang meminta dipanggil mama. Natalia setengah berlutut, lalu memeluknya dengan mata berkaca-kaca entah kenapa, perempuan itu lalu mengusap rambutnya dengan sayang, "Ibumu sudah pergi dia begitu terburu-buru dan tidak sempat berpamitan, tidak apa-apa ya nak, mulai sekarang kau tinggal di sini ya...kami semua akan merawatmu dengan baik, kau jangan sedih." Natalia kemudian menggandeng tangan mungilnya dengan lembut, "Kemari sayang, biar kutunjukkan kamarmu." Sebelum pergi, mata Natalia melirik ke arah mainan-mainan di ruang bermain itu yang tidak disentuh olehnya dan tersenyum lembut, "Jangan takut memainkan semuanya, semua itu baru dan dibeli khusus untukmu, semua itu milikmu." Dia lalu di antar ke sebuah kamar yang begitu indah. Kamar khusus anak-anak, yang sepertinya baru dicat dan di dekor ulang. Dindingnya biru dengan pola pesawat yang indah, tempat tidurnya juga bersprei biru muda, berbagai mainan juga ada di sana, seolah-olah menjaga agar dia tidak kesepian. "Istirahatlah di sini dulu sayang, nanti kalau sarapan sudah siap, mama akan memanggilmu." Natalia menyebut dirinya sendiri sebagai mama, berbisik lembut dan membantunya naik ke ranjang,  dia memang masih mengantuk akibat terlalu dini dibangunkan oleh ibunya tadi. Natalia menyelimutinya dengan selimut tebal, kemudian mengecup dahinya lembut sebelum pergi. Setelah Natalia keluar dan menutup pintu di belakangnya, dia merasakan ada yang basah di dahinya. Air mata? Kenapa Natalia menangis? Karena penasaran, dia bangun lagi dan turun dari ranjang, mencoba mengintip keluar. Di sana dilihatnya Natalia menangis sesenggukan di pelukan suaminya. "Sudahlah Natalia, jangan terbawa perasaanmu, nanti anak itu melihatnya dan kebingungan." suaminya, lelaki setengah baya yang berwajah lembut tampak menghibur Natalia. "Tapi aku sedih sekali tiap melihatnya, anak sebaik dan setampan itu, dibuang begitu saja oleh ibunya hanya demi segepok uang untuk membiayai kehidupan berfoya-foyanya di luar negeri. Dia sungguh ibu yang jahat." Natalia mengusap air matanya, tampak begitu sedih. "Tapi kau sekarang yang menjadi ibunya, Natalia. Ibu kandungnya sudah menyerahkan anak itu, dan dia sama sekali tidak berniat kembali. Anak itu memang anak yang malang, tetapi dengan kasih sayang kita, dia akan baik-baik saja. Kita akan menyayanginya, dan membuatnya melupakan ibunya." Dia yang masih mengintip di ujung pintu kamarnya terpaku, membeku mendengar percakapan itu. Dia memang masih kecil, tetapi sedikit banyak dia mengerti.  Ibunya telah meninggalkannya di sini, bukan menitipkannya untuk menjemputnya dikemudian hari, tetapi menjualnya. Ya ibunya telah membuangnya, menjualnya untuk segepok uang. Air matanya meleleh, dan dia berlari naik ke ranjang, menangis sesenggukan sampai matanya perih, Dia ingin bersama ayahnya, dia ingin bersama adiknya.  Kalau memang ibunya mau membuangnya, kenapa dia tidak ditinggalkan saja bersama ayah dan adiknya? Ibunya memang jahat. Ibunya tidak punya hati, menyakiti ayahnya, menyakiti adiknya, menyakiti dirinya. Mungkin semua perempuan berjiwa jahat seperti ibunya.  Semua perempuan memang jahat! Dan lama kelamaan, karena terlalu lelah menangis, dia tertidur, tubuh kecilnya tengkurap di atas ranjang itu, dengan pipi penuh bekas air mata. Sampai kemudian sebuah jemari lembut membelai rambutnya, dan membuainya ke dalam pelukan. Dia terbangun, dan menyadari tubuh mungilnya ada di pelukan Natalia. "Tidurlah dengan tenang sayang, kau aman di sini bersama kami. Aku menyayangimu anakku." lalu Natalia bersenandung lagu nina bobo. Dia memejamkan lagi, mata merasa tenang, sebelum terlelap jauh, dia berpikir bahwa mungkin Natalia termasuk perempuan yang tidak jahat. Dia merasa bisa mempercayainya. Mulai sekarang, Natalia adalah mamanya. Dia akan melupakan ibu kandungnya, perempuan jahat yang membuangnya tanpa hati. Tetapi ternyata cinta Natalia tetap tidak bisa menyembuhkan kepedihannya, sampai dewasa, dia masih menyimpan luka itu....  Luka yang menciptakan kebencian mendalam kepada mahluk yang bernama 'perempuan' 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 24, 2013 22:00

Crush In Rush Part 11


 Mata Joshua tampak menggelap mendengar kata-kata arogan Wiliam, bibirnya menipis menahan marah,
“Berani-beraninya kau menghina calon isteri pilihanku.” Gumamnya gusar, “Keluar dari rumah ini sekarang.”
William tampak kaget diusir dengan tidak sopan seperti itu. Dia terbiasa dihormati, orang-orang terbiasa membungkuk hormat kepadanya. Dan sekarang dia diusir oleh anak kandungnya sendiri? Sungguh penghinaan yang menyinggung harga diri William, tetapi dia menahankannya. William membutuhkan Joshua. Hanya anak itulah satu-satunya laki-laki keluarga Sinclair yang masih hidup. Selama berapa dekade ini, keluarganya telah dikutuk selalu melahirkan anak perempuan yang tentu saja tidak bisa diandalkan untuk meneruskan nama gelarnya. Lalu penyakit jantungnya yang menyebabkannya tidak bisa mempunyai keturunan meyerangnya. Membuatnya tergantung hanya kepada Joshua. William akan rela menahankannya. Tidak apa-apa, asalkan gelar dan nama keluarga selamat di masa depan.
Dia kemudian beranjak dari duduknya dan bergumam geram, “Aku akan pergi sekarang. Tetapi aku akan kembali lagi, dengan membawa calon isterimu, Joshua. Calon isteri yang sangat berkelas dan cocok untukmu.” Setelah mengucapkan kata-kata angkuh itu, William melangkah pergi meninggalkan apartemen itu.
Lama kemudian Joshua masih termenung, dengan marah menatap ke arah pintu, tempat William menghilang, matanya menyala nyaris menakutkan.
“Lelaki tua bangka tak tahu diri.” Desisnya, ”Seenaknya dia membuangku dan sekarang dia ingin memilikiku? Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!” Sinar kebencian memancar di mata Joshua, membuat Kiara beringsut menjauh, gerakan Kiara itu tampaknya menyadarkan Joshua, lelaki itu langsung melepaskan pegangannya di pinggang Kiara, dan menatapnya dalam,
“Aktingmu tadi bagus sekali meski awalnya sedikit kaku.” Gumam Joshua ringan, “Kau mungkin harus sedikit berusaha membiasakan diri dengan sentuhanku.”
Dan kemudian, tanpa disangka-sangka, Joshua menarik pinggang Kiara lagi, dan menciumnya. Membuat Kiara ternganga kaget ketika bibirnya dilumat oleh Joshua tanpa ampun. Dia hendak memekik, tetapi kemudian, sentuhan bibir Joshua berubah lembut, menyesap bibirnya seolah begitu menikmatinya, dan juga jemarinya bergerak lembut, menelusuri lengan Kiara, naik dan turun.
“Wow.”
Itu suara Jason yang baru keluar dari kamar. Membuat Joshua dan Kiara terperanjat. Secepat kilat, saat itu juga, Joshua langsung mendorong Kiara hingga hampir terjungkal di sofa. Jason sendiri tampak menikmati sekali wajah-wajah gugup di depannya. Lelaki itu tampaknya sudah bangun lama, tetapi memilih tidak keluar selama ayah kandung Joshua bertamu tadi. Sekarang Jason dengan sengaja melemparkan tatapan mata penuh arti dan berganti-ganti ke arah Joshua dan Kiara, “Jadi yang barusan kulihat tadi apakah....” suaranya penuh spekulasi, dan Joshua langsung menyahut ketus,
“Itu tadi latihan supaya Kiara lebih terbiasa dengan sentuhanku.” Mata Joshua menatap Kiara tajam, “Benar bukan Kiara?”
Ditatap setajam itu, dengan tatapan yang sangat mengancam, Kiara tidak bisa melakukan hal lain selain menganggukkan kepalanya. Meskipun sekarang bibirnya terasa panas membara. Joshua telah merenggut ciuman pertamanya!
“Kau boleh pergi Kiara, siapkan makanan, aku ingin makan.” Joshua mengalihkan pandangan seolah tak peduli. Dan Kiara yang ingin segera melarikan diri dari suasana canggung yang menyesakkan itu langsung bangkit dan setengah berlari menuju dapur.
***
Jason mengambil tempat duduk di sebelah Joshua, melirik lelaki itu yang berpura-pura memusatkan pandangannya kepada televisi.
“Kenapa kau menciumnya?” tanya Jason langsung dengan lugas, membuat Joshua membelalakkan matanya marah kepada sahabatnya itu,
“Kenapa kau bertanya lagi? Aku kan sudah bilang untuk latihan.”
“Menurutku latihan terbiasa menyentuh tidak perlu dengan ciuman semacam itu, apalagi ciuman yang amat sangat bergairah, kau seperti sudah akan melumatnya habis-habiskan kalau aku tidak keluar tadi.”
“Diam!” Joshua menggeram, tidak mau lagi mendengar analisa dari Jason. Sementara itu benaknyapun berkecamuk oleh berbagai pertanyaan. Kenapa dia mencium Kiara? Benarkah hanya karena latihan? Kenapa dia begitu impulsif menarik Kiara ke dalam pelukannya dan menciumnya habis-habisan?
***
Perempuan cantik itu menuju ke tempat penjemputan dan menunggu, sambil menunggu dia mengeluarkan ponselnya dan menatapnya dalam senyuman. Ada foto Joshua di sana. Calon suaminya yang sangat tampan. Yah, mereka memang sepadan. Carmila adalah puteri ke empat dari bangsawan yang menjadi sahabat Wiliam Sinclair. Dan ketika lelaki itu melamarnya kepada ayahnya, untuk menjadi calon isteri anak lelakinya yang berada di negara yang jauh, semula Carmila menolak dan ragu.
Yah, dia adalah perempuan berpendidikan tinggi, meskipun berdarah bangsawan, Carmila tidak berpandangan kuno seperti ayahnya. Dia menjadi CEO perempuan yang sangat disegani di perusahaan tempatnya bekerja, dan otaknya sangat encer dengan jenjang pendidikan yang sangat tinggi.
Perjodohan adalah pilihan terakhirnya, tetapi kemudian, ketika dia melihat foto Joshua, yang ditunjukkan kepadanya. Carmila langsung jatuh hati seketika itu juga. Dan ketika seorang Carmila jatuh hati, maka dia harus memiliki. Tidak pernah ada orang yang bisa menolak pesona Carmila Stuart sebelumnya. Dan Carmila yakin, Joshua akan takluk dalam pesonanya.
Dia datang sesuai dengan permintaan William, anak hilangnya itu memang sangat keras kepala dan menolak perjodohan ini, dan itu pasti lebih disebabkan karena dia tidak mengetahui bahwa calon isterinya secantik dan sesempurna Carmila.
Tubuhnya tinggi semampai dengan lekukan yang sangat indah dan berisi, rambutnya panjang dan pirang keemasan, membingkai wajahnya yang keseluruhannya cantik dan sempurna. Orang-orang di bandara ini bahkan selalu menoleh dua kali ketika melihatnya.
Carmila tersenyum penuh percaya diri. Joshua pasti akan terpesona dengannya. Lelaki itu akan bertekuk lutut di kakinya. Mereka memang sudah seharusnya bersama, darah bangsawan  di tubuh mereka memang sudah seharunya menyatu.
“Carmila.” Suara dalam dan berat itu membuat Carmila mengangkat kepalanya. William calon ayah mertuanya sudah berdiri di sana.
“Hai papa.” Carmila bahkan sudah memanggil William dengan sebutan ‘papa’ sesuai permintaan lelaki itu sendiri, yang begitu yakin bahwa Carmila akan menjadi anak menantunya.
“Aku senang kau datang tepat waktu, mari ke mobil, aku sudah menyewakan kamar suite di hotel terbaik di kota ini.” William menghelanya dengan sopan dan dengan langkah anggun. Carmila mengikuti langkah lelaki itu.
Mereka masuk ke dalam mobil hitam besar yang telah menunggu di luar, di dalam mobil, Carmila menatap wajah William yang tampak gusar,
“Kenapa papa? Apa yang mengganggumu?”
William mendengus, “Joshua. Dia mempunyai kekasih, seorang perempuan yang seperti lintah pengisap harta, perempuan murahan dan anak lelakiku yang bodoh itu tergila-gila karena nafsunya.” Mata William menggelap, tetapi kemudian dia menatap ke arah Carmila dan tersenyum puas,  “Tetapi sekarang kau sudah di sini Carmila, begitu Joshua melihatmu, dia akan menyadari betapa bodohnya dirinya. Kau akan menyelamatkannya.”
“Tentu saja papa. Lihat saja nanti, aku tidak sabar untuk bertemu Joshua dan juga kekasihnya yang murahan itu.” Tawa merdu terdengar dari bibirnya, tawa yang penuh percaya diri.
Ya. Carmila yakin, begitu bertemu dengannya, Joshua pasti akan bertekuk lutut di kakinya. Semua lelaki selalu bereaksi sama terhadap pesona Carmila.
***
“Selamat pagi.” Keesokan harinya, tidak seperti biasanya, Joshua sudah bangun dan rapi. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dapur, menatap Kiara dengan canggung, “Buatkan sarapan untukku juga ya.”
“Iya, sebentar lagi siap.” Kiara menjawab tak kalah canggung. Ciuman Joshua kemarin, membuat Kiara salah tingkah sepanjang hari. Dia berusaha menghindari Joshua sejauh mungkin, menjauhkan kontak mata dan bersembunyi dari lelaki itu. Kiara bingung dan ketakutan dengan perasaannya sendiri. Dia tidak pernah berciuman dengan lelaki manapun sebelumnya, dan ciuman Joshua kemarin menumbuhkan perasaan yang tidak diketahuinya. Perasaan aneh yang membuatnya susah tidur semalaman, menatap langit-langit kamar dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
“Aku ingin minta maaf.” Tiba-tiba Joshua bergumam, membuat Kiara terlonjak karena kaget, dia menyangka Joshua sudah pergi sejak tadi.
“Maaf tentang apa?” Kiara bergumam santai, berusaha fokus pada masakannya dan seolah-olah tidak diberatkan oleh sesuatupun mengenai Joshua.
“Tentang ciuman kemarin.” Mata Joshua menatap tajam, bergumam tanpa basa basi yang langsung membuat pipi Kiara merah padam. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukannya, mungkin aku terbawa perasaan setelah bertemu ayah kandungku, aku marah dan kemudian melampiaskannya kepadamu. Itu tidak adil untukmu, maafkan aku.”
Kiara tercenung, bingung harus menjawab apa. “Tidak apa-apa.” Gumamnya lemah, kemudian.
Joshua tampaknya masih belum selesai, dia berdiri di sana menatap Kiara dengan tatapan tajam, “Dan jangan menghindariku Kiara, aku tahu kemarin seharian kau menghindariku seperti wabah. Sandiwara kita ini belum selesai, aku tahu ayah kandungku tidak akan menyerah begitu saja, jadi untuk mempersiapkannya kau harus membiasakan diri ada di dekatku.”
Kiara hanya bisa menganggukkan kepalanya, mencoba menghindari kontak mata dengan Joshua. Lelaki itu tampaknya kesal dengan sikap Kiara tetapi memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, setelah mendesah, Joshua menghentakkan kakinya pergi, membuat Kiara langsung menghela napas panjang dan merasa lega luar biasa.
***
Kali ini Kiara harus menghadapi Jason yang usil. Lelaki berwajah tampan itu menatap Kiara dengan tatapan menyelidik, seolah-olah berusaha menelanjangi hati Kiara.
“Jadi bagaimana?” Jason bertanya sambil melahap roti bakarnya, dia akhirnya mengeluarkan suara setelah lama mengamati Kiara yang berpura-pura tidak menyadari bahwa dia sedang diamati dengan begitu intens.
“Bagaimana apa?”
“Ciuman itu.” Jason tersenyum lambat-lambat, “Aku yakin itu adalah ciuman pertamamu.”
Pipi Kiara langsung merah padam. “Kau tidak bisa yakin.” Jawabnya setengah ketus, meletakkan secangkir kopi panas di depan Jason.
“Aku yakin.” Kali ini Jason terkekeh, “Aku sangat ahli mengenai perempuan, Kiara. Dan dengan melihatmu sekali saja aku tahu bahwa kau tidak berpengalaman, ciuman kemarin pasti sangat mengejutkanmu.”
Memang. Begitu mengejutkan hingga Kiara merasakan jantungnya hampir lepas. Kiara menghela napas panjang, menatap Jason memohon
“Bisakah kita tidak membahas itu, please?”
Jason mengangkat alisnya, “Terserah padamu Kiara, tetapi perlu kau ingat, aku akan selalu ada kalau kau ingin bertanya...” senyumnya mengembang, “Atau kalau kau ingin praktek, aku akan siap sedia. Aku yakin ciumanku akan lebih nikmat daripada yang bisa diberikan oleh Joshua.”
Kiara melempar lap yang sedang dipegangnya ke arah Jason dengan marah, kesal karena Jason keterlaluan menggodanya, lelaki itu bukannya tersinggung dilempar lap, malahan tertawa. Lama-lama Kiara ikut tersenyum juga dengan malu, yah bagaimanapun juga, sikap Jason yang penuh canda ini sedikit menghibur Kiara.
“Jangan marah padaku.” Jason bergumam lembut kemudian, “Aku cuma menggodamu kok, tentu saja gadis lugu dan polos sepertimu tidak akan pernah masuk kriteriaku.” Jason mengedipkan sebelah matanya, “Sebagai orang yang berpengalaman, aku hanya bisa memintamu untuk berhati-hati, Kiara. Hati-hatilah dengan hatimu. Kadangkala perasaan itu sudah ada bahkan sebelum kau menyadarinya.” Sambil mengucapkan kalimat misterius itu, Jason berjalan pergi, membawa cangkir kopi di sebelah tangannya dan melangkah keluar dari dapur.
***
Ketika bel berbunyi lagi, Joshua, Kiara dan Jason sedang duduk di sofa dan menonton televisi dalam keheningan, mereka kemudian saling melempar pandang, dan tanpa mengintip-pun, mereka tahu siapa yang datang.
“Kau masuk ke kamar, Jason. Dan Kiara.... gantilah bajumu dengan gaun yang sedikit seksi.”
Kiara dan Jason sama-sama melangkah ke arah kamar masing-masing, dengan Jason yang terkekeh menggoda Kiara yang merah padam karena disuruh memakai baju seksi oleh Joshua.
Kiara masuk ke kamar, dan berdiri di depan lemari pakaiannya, bingung akan memilih gaun yang mana. Deliah selalu bilang jika ingin tampil seksi, pakailah warna hitam. Mata Kiara menelusuri gaun-gaun yang tergantung di lemari pakaiannya, lalu tangannya menyentuh gaun sutera warna hitam itu, dengan korset yang ketat di dadanya, kemudian bagian bawahnya mengembang sempurna sampai di bawah lutut. Gaun ini tampak cukup seksi sekaligus pantas dikenakan di rumah pada malam hari, putusnya.
Kiara memilih memakai gaun itu, dia menatap ke arah cermin, mengagumi betapa gaun itu begitu pas ditubuhnya dan begitu cocok dengan rambut hitamnya yang berkilauan. Setelah menghela napas berkali-kali, Kiara melangkah ke arah ruang tengah itu.
Dan kemudian tertegun bingung mendapati selain William, ada tamu lain di sana, tamu lain yang sangat cantik bagaikan bidadari, duduk di sofa dengan tatapan penuh godaan kepada Joshua.
***
“Dan itu pasti Kiara.” Perempuan cantik itulah yang pertama kali menyadari kehadiran Kiara, dia tersenyum ramah dan tampaknya sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan penampilan Kiara. Tentu saja, dengan kecantikan seperti dewi begitu, Kiara pasti tidak akan dianggapnya sebagai sesuatu yang penting.
“Kemarilah Kiara.” Joshua tersenyum, senyum pura-pura penuh cinta yang meyakinkan, “Biar kukenalkan pada teman William.”
Joshua mengamit tangan Kiara dan kemudian menariknya mendekat dengan posesif,
“Kenalkan Kiara, ini Carmila Stuart yang jauh-jauh datang ke mari untuk William.” Joshua menatap William dengan puas, “Kau sungguh tega membawa wanita secantik ini kemari hanya untuk pulang dengan sia-sia.”
Kata-kata Joshua itu benar-benar membuat Carmila terkejut, dia datang ke mari dengan keyakinan penuh, bahwa Joshua akan langsung bertekuk lutut di kakinya ketika melihat penampilannya. Bahwa lelaki itu akan langsung tergila-gila kepadanya. Tetapi rupanya pengaruh pelacur berbadan mungil di sebelahnya itu sangat besar. Carmila merengut marah ke arah Kiara. Apa yang bisa diberikan oleh pelacur itu yang tak bisa diberikannya?
William bahkan mengatakan bahwa asal usul perempuan itu tidak jelas. Carmila begidik ketika berpikir bahwa mungkin saja Kiara anak pembunuh atau mungkin malah pelacur – yang menunjukkan kenapa Kiara bertingkah seperti pelacur sekarang – Dan Joshua akan mencemari darah bangsawannya kalau sampai memberikan benihnya ke perempuan ini.
Dengan cepat Carmila memasang wajah penuh godaan, menutupi keterkejutannya, dia memandang Kiara dengan mencemooh, menelusuri gaunnya dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.
“Hmmmm.... gaun yang sangat..... elegan.” Dengan lembut dia berucap dalam bahasa inggris, yang dilambat-lambatkan seperti ketika berbicara dengan anak kecil. Matanya menatap Kiara penuh ejekan, membuat seketika itu juga Kiara merasa ingin bersembunyi karena malu.
Tetapi pegangan Joshua di pinggangnya, sekali lagi menyelamatkan dan menopangnya, lelaki itu menunduk dengan sayang, dan menghadiahi Kiara kecupan lembut di pelipisnya,
“Tentu saja gaun yang sangat elegan dan seksi.... membuatku tak sabar menanti kami bisa berduaan sendirian di sini.” Matanya menatap penuh sindiran ke arah William, “Ada hal lain yang ingin kau katakan padaku, William? Kalau tidak mungkin kau bisa segera berkemas dan pulang, serta bawalah seluruh harapanmu itu karena aku tidak akan pernah mau menyandang namamu.”
Wajah William pucat pasi mendengar kata-kata langsung Joshua itu. Bahkan Carmila yang semula duduk tenang di sebelahnyapun tampak kaget.
“Aku kemari membawa calon isterimu, Joshua. Carmila adalah perempuan yang sederajat denganmu, isteri yang paling cocok. Darah bangsawannya akan melengkapi keningratanmu dan mencegahmu tercemar oleh darah yang tidak diketahui asal-usulnya.” Matanya sengaja melirik menghina ke arah Kiara, dan tiba-tiba saja Kiara merasa dadanya panas, sejak tadi lelaki tua di depannya ini menatapnya dengan mencemooh, juga perempuan yang secantik dewi itu. Dan semua itu karena apa? Semua itu hanya karena Kiara anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya. Apakah kalau dia yatim piatu maka sudah pasti dia berdarah kotor? Kelas rendahan?
Harga diri Kiara menyeruak, memberikan dorongan semangat untuk memberi pelajaran kepada manusia-manusia sombong di depannya itu.
“Siapa yang mencemari siapa Joshua?” Kiara tersenyum genit kepada Joshua, membuat lelaki itu agak kaget karena tidak menyangka Kiara bisa berakting sebagus itu, untunglah dia bisa menutupinya dengan tatapan mata bergairah kepada Kiara, “Aku rasa William tidak perlu mencemaskan itu, toh kau sudah mencemariku sejak lama.”
Bravo. Joshua bersorak dalam hati, kalau tidak ada William dan Carmila di depannya, Joshua pasti sudah bertepuk tangan memuji dan sangat puas akan kata-kata Kiara itu, kata-kata Kiara yang seolah bagaikan cambuk yang dilecutkan, tepat di muka ayahnya. Bersambung ke Part 12
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 24, 2013 05:03

May 23, 2013

Crush In Rush Part 10


  Hari masih pagi ketika Kiara bangun dan menyiapkan sarapan, kamar Jason dan Joshua masih tertutup rapat, kalau Joshua, Kiara sudah maklum karena lelaki itu selalu menggunakan waktu paginya untuk tidur karena semalaman hampir tidak tidur. Tetapi rupanya Jason juga bangun kesiangan pagi ini. Kiara mengernyitkan keningnya karena tidak biasanya Jason kesiangan.
Setiap hari lelaki itu selalu bangun pagi, sudah mandi dan rapi dengan aroma segar yang menyenangkan lalu duduk di meja dapur, makan sarapannya bersama Kiara.
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak Jason datang untuk tinggal di apartemen ini. Dan dalam dua minggu itu, banyak sekali kejadian, dan perubahan, terutama bagi Kiara. Selama dua minggu kemarin, Joshua selalu bangun pagi sarapan bersama Kiara dan Jason, kemudian dia mengantar Kiara ke tempat Deliah, di sana Kiara menghabiskan waktunya seharian.
Semula Kiara agak canggung ketika berduaan dengan Deliah, apalagi Kiara mengetahui bahwa Deliah dulunya laki-laki sebelum berubah menjadi perempuan. Tetapi Deliah memang memiliki sifat yang sangat ramah dan baik.
Setiap hari ketika Kiara datang, dia akan membuat seteko teh mint yang harum dan sepiring kue cokelat yang baru keluar dari panggangan, kemudian mengajak Kiara mengobrol dan mencairkan suasana. Dari mengobrol itulah Deliah megajarkan banyak hal kepada Kiara, semua pengetahuannya tentang dunia fashion di tularkannya, tak lupa dia mengajari cara berjalan, table manner di acara makan malam resmi, cara berbicara, dan bahkan cara memadu padankan pakaian supaya tampil cantik.
Deliah selalu menekankan bahwa dia harus berperan sebagai wanita penggoda nanti ketika ayah kandung Joshua sudah muncul. Pipi Kiara selalu merona merah ketika Deliah mengatakan bahwa Kiara harus melemparkan tatapan sensual penuh ajakan kepada Joshua setiap saat, juga senyuman nakal, bibir yang merekah penuh godaan.
Deliah memang sudah mengajari Kiara semua caranya, dan Kiara menyerapnya, juga belajar sendiri di cermin, memonyong-monyongkan bibirnya, atau bahkan mencoba mengedip-ngedip genit kepada bayangannya sendiri di depan cermin, yang membuatnya tertawa sendiri di kamar.
Bagaimanapun juga, Kiara masih tidak mampu membayangkan bagaimana caranya dia melakukan itu semua pada Joshua. Pipinya selalu merona dan wajahnya terasa panas kalau membayangkan akan mengedip genit kepada Joshua, atau menyapukan jemarinya sambil menatap sensual penuh ajakan kepada Joshua. Ah, Ya ampun, bagaimana mungkin dia melakukannya?
Kiara menyiapkan sarapan itu dengan pipi memerah. Kemudian pikirannya berkelana lagi, Deliah sudah menyerahkan Kiara kepada Joshua kemarin, dan mengatakan bahwa Kiara sudah siap. Yah mungkin secara teori Kiara sudah siap.... tetapi prakteknya nanti? Entahlah. Yang pasti Kiara akan berusaha sebaik mungkin, dia tidak ingin mengecewakan Joshua yang sudah berharap banyak kepadanya.
Cara berpakaian Kiara pun sudah berubah, tiba-tiba saja lemari pakaiannya sudah penuh dengan pakaian-pakaian mahal dari butik ternama, ada rak sepatu khusus yang dibelikan oleh Joshua untuk menampung koleksi sepatunya yang tiada duanya, belum lagi susunan aksesoris, tas dan semua perhiasan yang diberikan Joshua kepadanya.
Lelaki itu benar-benar boros dan membuang-buang uang. Kiara berpikir akan dikemanakan semua barang itu kalau semua sandiwara ini sudah selesai. Tentu saja semua barang ini hanya pinjaman dan bukan untuk Kiara bukan?
Karena itulah Kiara sangat berhat-hati memakai semua barang itu, berusaha supaya nanti ketika barang itu dikembalikan, kondisinya masih bagus dan sempurna. Kiara benar-benar berhati-hati apalagi mengingat betapa mahalnya harga barang-barang itu.
Pagi ini Kiara mengenakan gaun satu potong yang ringan dan elegan, bahannya sifon dengan warna ungu lavender yang lembut dan menjuntai sampai ke tengah betisnya. Tampak sangat indah dipakai olehnya, membuat tubuhnya yang mungil tampak berisi.
Deliah bilang Kiara terlalu kurus dan harus menambah berat badannya, dan sepertinya selama dua minggu ini, Kiara berhasil menambah berat badannya beberapa kilo sehingga bagian-bagian yang seharusnya terisi penuh, mulai terisi dengan indahnya.
Kadangkala Kiara masih sering terpaku menatap dirinya di cermin dan tidak mengenali dirinya sendiri. Lalu dia tersenyum dan kemudian mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepadanya.
Bahkan sekarang Kiara punya ponsel. Joshua membelikan Kiara ponsel canggih dengan fitur-fitur yang Kiara sendiri tidak tahu cara memakainya, sementara nomor di ponsel itu hanya menyimpan nomor telepon Joshua saja, meskipun kemudian Kiara mengingat tentang Irvan yang dulu sempat menanyakan nomor ponselnya. Kiara sangat ingin mengunjungi Irvan di cafe, meskipun dia harus memikirkan caranya menemui Irvan tanpa harus berurusan dengan Pak Sonny yang setiap hari ada di cafe itu. Bagaimanapun juga, Irvan adalah satu-satunya orang yang bersikap baik kepadanya di sana, sahabatnya. Dan Kiara tidak mungkin melupakan kebaikannya. Tetapi karena setiap pagi Kiara harus ke tempat Deliah dan baru pulang menjelang malam, tidak ada kesempatan baginya untuk mengunjungi Irvan.
Mungkin besok dia bisa kesana... gumamnya dalam hati, sambil menaburkan bumbu ke masakannya,
Ketika Kiara menuang bacon panas yang beraroma harum dan menata kentang goreng di piring. Bel pintu apartemen berbunyi, membuat Kiara mengernyitkan keningnya.
Mereka hampir tidak pernah menerima tamu di apartemen ini. Hanya Jason satu-satunya tamu yang pernah datang kemari sejak Kiara tinggal di sini, dan kemudian menetap di sini.
Kalau begitu siapa?
Dengan langkah ragu, Kiara mengintip melalui kaca cembung untuk mengintip di pintu apartemen. Dia mengernyit, tidak mengenali lelaki bule tua berbadan besar itu yang sedang berdiri dengan ekspresi tidak sabar di depan pintu.
Otaknya berputar cepat, dan kemudian langsung menyadari bahwa mungkin saja saatnya sudah tiba. Mungkin saja lelaki itu adalah ayah kandung Joshua yang datang untuk mengunjunginya!
Kiara meragu, takut untuk membuka pintu. Bel pintu berbunyi lagi, tetapi Kiara tetap menahan diri untuk menahan pintu. Mungkin saja lelaki itu ayah kandung Joshua, tetapi mungkin saja tidak bukan? Kiara harus berhati-hati membuka pintu untuk orang asing.
Dia harus membangunkan Joshua.
Jantungnya berdebar, menyadari betapa buruknya mood Joshua kalau dibangunkan paksa di pagi hari. Tetapi bagaimana lagi? Kiara tidak bisa duduk diam dan membiarkan bel itu terus berbunyi dan menunggu sampai tamu itu menyerah lalu pergi bukan?
Siapa tahu itu tamu penting...?
Dengan ragu, Kiara mengetuk pintu kamar Joshua. Pelan... sekali, dua kali, dan kemudian sedikit lebih keras. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Kiara akhirnya memberanikan diri memegang handel pintu yang ternyata tidak dikunci itu. Dari celah pintu yang terbuka sedikit, Kiara bisa melihat Joshua tengah tertidur pulas, terbaring terngkurap di atas ranjang berukuran besar. Selimut polos berwarna gelap tampak menggumpal di kakinya, sementara seperti biasanya, lelaki itu tidur hanya mengenakan celana panjang piyama dan bertelanjang dada.
Kiara melangkah masuk, berdiri ragu di depan pintu kamar, kemudian memanggil Joshua,
“Joshua?” suaranya agak keras, berharap bisa membangunkan lelaki itu dari jarak jauh, tetapi rupanya usahanya sia-sia karena Joshua tampak pulas bahkan tidak bergerak dari posisinya.
Ragu, Kiara melangkah mendekat lagi, menelan ludahnya ketika sudah berdiri di sisi ranjang, menatap punggung telanjang Joshua yang berotot dan indah.
“Joshua?” Kiara setengah membungkuk di dekat lelaki itu. Tetapi panggilannya hanya mampu menghasilkan sedikit kerutan di alis Joshua.
Sambil menghela napas, Kiara meletakkan jemarinya di pundak telanjang Joshua, merasakan dirinya merona ketika kulit hangat itu menempel di telapak tangannya.
“Joshua?” Kiara mengguncang pundak Joshua.
Seketika itu juga, jemari kuat Joshua menarik Kiara yang mungil, membuat Kiara memekik ketika lelaki itu membanting tubuh Kiara ke atas ranjang dan kemudian setengah menindih tubuhnya.
Kiara berusaha meronta, tetapi pegangan Joshua kepada dirinya sangatlah kuat. Mata lelaki itu setengah terpejam, sepertinya masih setengah tidur, dan senyumnya begitu sensual, senyum yang tidak pernah ditunjukkannya kepada Kiara sebelumnya.
“Kau ingin menggodaku di pagi hari sayang?” Joshua berbisik serak, lalu mengecup leher Kiara seringan bulu, membuat sekujur tubuh Kiara merinding. Dia langsung memekik dan mendorong tubuh Joshua sekuat tenaga, membuat lelaki itu tersentak dan kemudian membuka matanya, kali ini benar-benar sadar.
Joshua tampak mengerjap bingung, dia kemudian menunduk, menatap Kiara yang terbaring di bawah tubuhnya dan mengerutkan keningnya,
“Apa yang kau lakukan di bawah situ?”
Pipi Kiara merah padam, dia malu setengah mati. Di sini, berbaring di atas ranjang, di bawah tindihan tubuh Joshua yang telanjang dada. Astaga. Tidak pernah dipikirkannya sebelumnya akan terjadi begini ketika menyentuh pundak Joshua. Tahu begitu Kiara akan mengambil tongkat atau apa untuk menggoyang-goyangkan tubuh Joshua dari jarak jauh. Well ya, kalau nanti dia harus membangunkan Joshua lagi, dia akan menggunakan cara itu,
“Aku... aku berusaha membangunkanmu.. ada tamu.... aku menyentuh pundakmu dan kau membantingku ke ranjang.”
Ekspresi Joshua tidak terbaca, dia mengerutkan kening lalu secepat kilat melepaskan Kiara dari tindihannya, berguling ke samping dan kemudian meluncur berdiri di tepi ranjang,
“Lain kali hati-hati kalau membangunkanku.” Gumamnya dingin, “Dan kenapa kau membangunkanku? Tamu apa yang kau maksud?”
Kiara sendiri langsung bangkit dari ranjang ketika Joshua melepaskan tindihannya, wajahnya merah padam dan terasa panas hingga dia harus meletakkan tangannya di lehernya untuk meredakan panasnya,
“Tamu.... seorang lelaki tua asing.. aku pikir.. aku pikir akhirnya ayah kandungmu mengunjungimu.”
Ekspresi Joshua langsung berubah keras, sedikit menakutkan.
“Kau yakin?”
“Aku tidak tahu..” Kiara menggelengkan kepalanya, “Tetapi dia tamu pertama di apartemen ini, dia pria asing, berambut kelabu, sangat tinggi..... apakah kau tidak ingin mengintipnya dulu?”
“Tidak.” Bibir Joshua menipis, “Itu sudah pasti ayahku, aku tidak sedang menunggu tamu manapun. Aku akan mandi dulu sebelum menemuinya.” Lelaki itu menatap Kiara dengan serius, “Ingat peranmu mulai sekarang, Kiara. Kau adalah simpananku, perempuan penggoda, perempuan jalang yang tak jelas asal usulnya dan penggila harta, sementara itu aku tergila-gila kepadamu.” Lelaki itu terkekeh, “Aku tak sabar untuk melihat reaksi tua bangka itu. Persilahkan dia masuk dan menungguku.”
Kemudian Joshua membalikkan badan dan masuk ke kamar mandi.
***
Bel pintu sudah tidak berbunyi ketika Kiara keluar sehingga dia mengira tamu itu sudah pergi. Tiba-tiba dia menyesal jangan-jangan dia terlalu lama membangunkan Joshua tadi sehingga membuat lelaki itu pulang.
Tetapi ketika Kiara mengintip, dia masih melihat lelaki bule itu berdiri di pintu dan menunggu, dengan hati-hati Kiara membuka pintu, membiarkan rantai gerendelnya masih menempel di sana untuk berjaga-jaga.
“Mencari siapa?” Tanyanya hati-hati.
Lelaki tua itu langsung menegakkan tubuhnya ketika Kiara membuka pintu dan mengintip dari baliknya, matanya menelusuri Kiara, sepertinya tidak menyangka kalau Kiara yang membukakan pintu untuknya, lelaki itu melemparkan tatapan mata penuh spekulasi sebelum kemudian bergumam,
“Aku mencari Joshua. Anakku.” Suaranya berat dan dalam, penuh wibawa dengan bahasa indonesia yang terpatah-patah.
Jadi benar. Orang ini adalah ayah kandung Joshua.  Kiara teringat bahwa dia harus menjalankan perannya dengan baik, karena itulah dia tersenyum dengan gaya ceria yang sedikit menggoda, mengangkat alisnya dibuat-buat.
“Setahuku ayah Joshua sudah meninggal.” Kiara dengan berani menelusuri sosok lelaki di depannya, sengaja membuat lelaki itu jengkel, meskipun dalam hatinya dia gemetar setengah mati.
Dan usahanya berhasil, lelaki tua itu tampaknya termakan oleh usaha Kiara untuk bersikap sebagai perempuan menyebalkan. Wajahnya memerah meskipun lelaki itu masih berusaha bersikap sopan,
“Aku ayah kandung Joshua, sekarang buka pintu ini dan biarkan aku bertemu anakku.” Gumamnya tegas, menatap Kiara dengan mata menyala-nyala, membuat Kiara hampir saja mundur selangkah ketakutan.
“Biarkan dia masuk sayang.” Tiba-tiba saja Joshua sudah berdiri di belakangnya, memegang pundaknya dengan lembut dan begitu dekat di sana, sampai Kiara bisa mencium aroma sabun yang bercampur dengan after shave dan parfum beraroma maskulinnya.
Lalu jemari Joshua terlurur melewati Kiara dan membuka gerendel itu. Sebelah lengan lelaki itu merangkul Kiara dengan posesif dan kemudian mereka berdiri berhadapan dengan lelaki itu, ayah kandung Joshua.
“Kau tidak mempersilahkan aku masuk?” gumam lelaki tua itu datar.
Joshua menegang, Kiara bisa merasakannya meskipun lelaki itu tampak berusaha bersikap datar, tetapi sepertinya semua kemarahan dan kebencian terpupuk di sana, membuat seluruh tubuhnya menegang.
“Masuklah.” Lelaki itu menghela Kiara masih dalam rangkulan lengannya, kemudian mengajaknya duduk di sofa, “Pengacaramu sudah memberitahukan kedatanganmu, aku tidak menyangka kau sebodoh itu membuang-buang waktumu dengan datang kemari.”
Panggilan ber ‘aku’ dan ber ‘kamu’ yang dipakai Joshua kepada ayahnya sepertinya dilakukan dengan sengaja, untuk menunjukkan bahwa jelas-jelas Joshua tidak menganggap lelaki itu sebagai ayahnya. Sebuah penghinaan frontal yang disengaja dan rupanya efektif karena ekspresi ayah kandung Joshua memucat dan tampak tidak senang.
Lelaki itu duduk di sofa di depan Joshua dan mengamati sekeliling ruangan, dia mencoba berbasa-basi,
“Tempat yang bagus.” Gumamnya bersikap tak mendengar kata-kata Joshua tadi yang menyebutnya bodoh. Kali ini dengan memakai bahasa inggris, untunglah Kiara cukup mengerti bahasa inggris dari pelajaran SMUnya dan kursus singkat intensifnya bersama Deliah yang serba bisa.
Joshua mengangkat alisnya, jemarinya menelusuri pinggang Kiara sambil lalu, sebuah gerakan ringan tapi mesra, menunjukkan kepemilikan, membuat Kiara harus berusaha keras supaya tidak salah tingkah.
“Tentu saja, dan aku membelinya dari hasil kerja kerasku sendiri.”
Lelaki itu tersenyum dan menatap Joshua dalam-dalam, “Kau bisa menadapatkan beberapa kastil indah, lengkap dengan tanah pegunungan yang luas, kekayaan yang berlimpah sehingga kau bisa membeli puluhan apartemen seperti ini, sebanyak yang kau mau Joshua, kalau saja kau mau mendengarkan perkataan pengacaraku.”
“Aku tidak butuh hartamu.” Tatapan Joshua berubah dingin, dia lalu melemparkan senyuman sensual kepada Kiara, “Benar kan, sayang?”
Saatnya berakting. Kiara memutar bola matanya dengan genit, “Kalau ada kesempatan kau bisa lebih kaya dari sekarang, tentu saja tidak boleh kau tolak Joshua, itu akan menguntungkanku juga.” Gumamnya dengan nada genit yang meskipun sedikit kaku pada awalnya tapi tampak meyakinkan.
Joshua terkekeh dan kemudian menarik Kiara semakin rapat kepadanya, “Oh ya, aku belum memperkenalkanmu. Ini.... Wiliam.” Joshua dengan kurang ajarnya menyebut nama ayahnya langsung, “Dia seorang bangsawan... aku lupa gelarmu.”
“William Sinclair, Earl of Moray.” Sahut William dengan dingin. Seperti dugaan Joshua, masalah gelar dan darah bangsawan sangatlah sensitif bagi lelaki tua itu. Dan Joshua akan menggunakannya sebagai senjata.
“Yah begitulah namanya Kiara, aku sendiri susah mengingatnya, lagipula  nama gelar itu tidak ada artinya di negara ini.” Joshua sengaja melemparkan pandangan mencemooh, “Dan perkenalkan, ini adalah Kiara..... Kiara saja tanpa embel-embel nama lain sepertinya karena gadis ini sebatang kara sebelum aku memungutnya dari panti asuhan.” Joshua tertawa sendiri, “Kiara ini adalah calon isteriku.”
Wajah William langsung pucat pasi,  memandang Kiara dan Joshua berganti-ganti. Sikap dan kata-kata Kiara tadi, apalagi menyangkut kekayaan, sudah bisa membuat William mengetahui tipe perempuan seperti apa yang sekarang sedang menempel di tubuh anaknya seperti lintah penghisap darah.
Dan dari panti asuhan berarti tidak diketahui asal usulnya! William tidak bisa menerima itu. Bagaimanapun juga, Joshua menyimpan darah Sinclair di tubuhnya, darah bangsawan yang murni dari miliknya yang diturunkan oleh nenek moyangnya yang terhormat. Dan sekarang Joshua akan menikahi perempuan yang tidak jelas asal usulnya? Akan seperti apa keturunan mereka nanti? Perempuan itu akan menodai kemurnian darah Sinclair mereka, darah terhormat yang sekarang hanya ada di tubuh Joshua. Dia harus menyelamatkan darah bangsawan itu. Joshua harus menikah dengan perempuan bangsawan yang terhormat, supaya keturunan Sinclair berikutnya berasal dari darah murni. Bukan dari perempuan yang tidak jelas seperti ini.
“Aku datang kemari untuk membicarakan warisan gelarmu.” William memulai, pura-pura tidak mendengar perkenalan Joshua tentang Kiara tadi, “Kau adalah anakku satu-satunya, satu-satunya Sinclair murni yang tersisa.”
“Dan apakah pengacaramu tidak mengatakan kepadamu bahwa aku menolaknya? Aku tidak butuh hartamu, gelarmu atau bahkan warisan darahmu. Kalau saja aku bisa membuangnya, akan aku buang dari tubuhku semua jejak yang menghubungkanku padamu,” Mata Joshua menggelap, “Kedatanganmu sia-sia Pak Tua, Aku menikmati hidup di sini, bersama kekasihku yang menggairahkan dan tawaranmu sama sekali tidak menggodaku.”
“Kau tidak boleh menikahinya.” Tiba-tiba William terpancing emosi, menatap Kiara dengan penuh kebencian, membuat Kiara sedikit beringsut dari duduknya. Untunglah jemari Joshua di pinggangnya menguatkannya, lelaki itu memeluknya makin erat seolah akan menjaganya.
“Kenapa tidak boleh? Kami saling mencintai dan saling memuaskan, aku sudah tinggal bersamanya selama beberapa bulan dan percintaan kami sangat memuaskan, benar kan sayang?”
Nada suara Joshua penuh siratan makna, membuat pipi Kiara merona, tetapi dia menganggukkan kepalanya, mengimbangi kata-kata Joshua dengan kedipan genit menggoda, “Benar sayang. Dan aku tidak sabar menunggu kita menikah dan kemudian mendapatkan cincin dengan berlian raksasa yang kau janjikan itu.” Ide untuk mengatakan hal-hal semacam itu sebenarnya berasal dari Deliah, Deliahlah yang mengarahkannya untuk selalu menyinggung uang dan perhiasan.
Joshua terkekeh, “Kau akan mendapatkannya nanti sayang.”
Wiliam rupanya sudah tidak tahan lagi, lelaki itu langsung berseru, “Kau tidak boleh menikahinya, Joshua. Darah keluarga Sinclair akan tercemar kalau kau menikahi perempuan dengan asal usul tidak jelas, aku sudah memilihkan calon isteri untukmu, perempuan bangsawan, berpendidikan tinggi, modern dan sempurna untukku, dia sedang dalam perjalanan menyusulku kemari untuk menemuimu. Segera setelah kau melihatnya, kau akan sadar bahwa kau sudah membuat pilihan buruk!
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 23, 2013 04:10

Another 5% Part 1

Dahulu kala diciptakanlah dua kekuatan yang saling menyeimbangkanMasing-masing memiliki 95% kekuatan otak yang telah diaktifkan, mendekati sempurna. Kekuatan tak terduga yang diserahkan kepada dua anak manusia yang terpilih, kekuatan yang bertolak belakang. Yang satu hitam dan yang satu putih, saling menyeimbangkan. Karena dunia hanya bisa seimbang jika ada lawannya. Jahat dan baik.... hitam dan putih.,derita dan bahagia, gelap dan terang....Dua kekuatan itu ditakdirkan sama hebatnya, demi keseimbangan dunia.Seharusnya dua kekuatan itu berjalan selaras dan damai, seharusnya dua kekuatan itu saling menghargai dalam kediaman yang sunyi...Sayangnya ketika dua kekuatan itu harus saling bertentangan, satu-satunya cara memenangkan pertarungan adalah dengan mendapatkan keunggulan 5% yang tersisa....
  
"Bagaimana keadaan anda, Tuan Rolan?" Dokter Tony, dokter setengah baya yang menangani Rolan itu tersenyum ramah kepadanya. Yah Rolan sudah begitu lama di rumah sakit ini hingga setiap dokter mengenalnya dengan baik. Mereka selalu melemparkan tatapan ramah dan iba.... iba karena umur Rolan mungkin tidak akan lama lagi. "Saya baik-baik saja dok." Rolan tidak berbohong. Dia merasa amat sangat sehat, tidak ada lagi rasa sakit yang menderanya, rasa pusing yang membuat kepalanya terasa dipukul-pukul oleh palu pun sudah menghilang, rasa nyeri di sekujur tubuhnya, menjalari aliran darahnya sebegitu seringnya hingga membuatnya terbiasa, sekarang sudah tiada. Rolan merasa aneh, hampir terlalu lama dia merasakan rasa sakit itu hingga terasa begitu familiar, dan sekarang begitu rasa itu tidak ada, dia merasa aneh.... aneh yang menyenangkan.  "Apakah kau tidak merasa pusing dan mual lagi Rolan? Biasanya efek pengobatan membuatmu mual berhari-hari." Rolan tersenyum, "Tidak ada rasa apapun dokter, aku merasa sehat." Dan memang demikian adanya. Dokter Tony makin mengerutkan keningnya, "Kita akan melakukan pengecekan regular seperti biasa Rolan, kami akan memindai otakmu dengan  MRI dan CAT untuk mengetahui bagaimana perkembangan penyakitmu." Rolan menganggukkan kepalanya, dia sudah terbiasa dengan semua jenis pemeriksaan atas dirinya, semua suntikan itu, semua obat yang lama-lama terasa memuakkan, semuanya telah dilaluinya. Ketika dokter Tony pergi dan menjadwalkan suster untuk mengantarnya melalui proses MRI, Rolan merasakan jantungnya berdebar. Mungkin hasil pemeriksaan akan memperlihatkan apakah pertemuannya dengan lelaki tua itu hanyalah mimpi atau kenyataan. *** Setelah selesai pemindaian, Rolan diantar kembali ke kamarnya. Dokter Tony akan menemuinya besok untuk konsultasi dan membicarakan hasil prosedur pemeriksaan seperti biasanya. Sementara itu, Rolan harus menunggu, di kamarnya yang dingin dan sepi.  Jam besuk masih lama, mungkin Selly masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Rolan menghela napas panjang, bagaimanapun sibuknya kekasihnya itu, Selly tidak pernah melewatkan satupun kunjungan di jam besuk Rolan. Perempuan itu begitu setia, memberikan semangat hidup pada Rolan, memberikan cinta tanpa pamrih yang membuat Rolan merasa punya pegangan, punya tujuan hidup. Ketika kesakitan menderanya sampai hampir tidak tertahankan lagi, Rolan selalu memikirkan Selly, memikirkan kekasihnya yang akan menjenguknya di jam besuk, dan itu memberinya kekuatan untuk berjuang dan bertahan sampai saat ini. Sekarang Rolan sendirian, yang ingin dilakukannya pertama kali adalah mencoba turun dari ranjangnya. Dulu kegiatan itu akan sangat berbahaya dilakukan, karena kaki Rolan sudah melemah, hampir tidak bisa menopang tubuhnya yang kurus dan lemah.  Tetapi sekarang Rolan merasa dirinya berbeda. Semuanya berbeda. Seluruh inderanya seakan berfungsi dengan begitu sempurna... masih samar-samar tetapi jelas-jelas menunggu untuk dibangunkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Rolan menegakkan ranjangnya, melirik ke arah lengannya yang terhubung ke sambungan infus, dengan berhati-hati agar infus tersebut tidak lepas, Rolan menegakkan tubuhnya. Sesuatu yang hampir mustahil dilakukannya dulu tanpa bantuan suster atau Selly. Sekarang tubuhnya terasa ringan dan kokoh, dia menegakkan tubuhnya dengan mudah. Membuatnya terperangah. Jantungnya berdebar, dan kemudian pelan-pelan dia menggerakkan kakinya turun. Kakinya itu terasa kuat dan kokoh, ketika Rolan mengayunkannya terasa begitu ringan dan mudah. Lelaki itu lalu duduk miring di ranjang, termenung dan ragu. Kemudian Rolan menjejakkan dirinya dan menapakkan kakinya ke lantai. Dan sama seperti sebelumnya, tidak ada rasa sakit, tidak ada tulang yang terasa lemas, tidak ada rasa lemah dan tak berdaya, Rolan berdiri dengan sama sehatnya seperti orang yang kuat dan tegar. Tiba-tiba dia merasakan kebenaran itu. Tidak ada yang memberitahunya, tetapi dia tahu begitu saja. Dia tahu bahwa penyakitnya sudah musnah. Sudah hilang. Seluruh tubuhnya sampai ke sel tubuhnya yang paling kecil sekalipun bekerja dengan vitalitas yang luar biasa. Semuanya luar biasa, dan Rolan merasa seperti manusia super. ***  Selly berjalan tergesa-gesa setengah berlari sambil membawa kantong kertas berisi jeruk di dalam pelukannya. Tadi dia sudah hampir separuh perjalanan di dalam angkutan umum hingga menyadari bahwa jeruk manis yang dibawanya khusus untuk menjenguk Rolan tertinggal di rumah. Selly terpaksa turun dari angkot dan kembali pulang untuk mengambil jeruk itu yang sekarang sudah ada di dalam pelukan lengannya, dan naik angkot kembali menuju rumah sakit. Setelah turun dari angkot di pemberhentian terdekat dari rumah sakit, Selly harus menempuh kira-kira 200 meter berjalan kaki menuju rumah sakit. Inilah yang dilakukannya setiap hari secara rutin sejak Rolan masuk ke rumah sakit dan tidak bisa keluar lagi karena kondisinya yang terlalu lemah. Untunglah  kakek kekasihnya itu  orang penting di rumah sakit tersebut dan Rolan juga berasal dari keluarga kaya, sehingga mereka tidak perlu mencemaskan biaya perawatannya. Selly sudah bertekat untuk selalu mendampingi Rolan di rumah sakit selama dia dirawat, cintanya kepada Rolan begitu besar, membuatnya kadangkala merasa kasihan kepada Rolan yang sebatang kara dan kesepian.  Kedua orangtua Rolan sudah meninggal dunia. Satu-satunya keluarga Rolan adalah kakeknya yang kaya raya, pensiunan dokter bedah terkenal dan memiliki beberapa rumah sakit di pusat kota, salah satunya adalah rumah sakit tempat Rolan dirawat. Kakek Rolan sendiri sudah tentu tidak bisa menengok Rolan setiap hari, usianya yang hampir mencapai 80 tahun menghalanginya untuk selalu bisa mendampingi cucunya yang sakit parah. Karena itulah Selly bertekat menjadi pendamping Rolan dan menjaganya. Ah, dia teringat betapa cintanya Rolan dulu kepadanya betapa lelaki itu menghormati dan menghargainya meskipun status mereka berbeda jauh. Rolan dan Selly telah saling mengenal hampir seumur hidup mereka. Yah, Selly adalah anak dari pelayan di keluarga Andreas, keluarga Rolan. Sejak kecil Selly hidup dan dibesarkan di rumah besar Rolan. Dan sudah mengagumi tuan mudanya itu. Rolan tidak pernah memperlakukannya sebagai pelayan, sejak mereka kanak-kanak, Rolan selalu menjaganya seperti adiknya sendiri. Bahkan di masa remaja, ketika Rolan bersekolah di asrama elit dan Selly bersekolah di SMU biasa, Rollan tetap menjaga Selly, tanpa malu-malu bahkan sering muncul menjemput Selly di waktu luangnya, membuat semua teman Selly ternganga karena Rollan datang dengan mobil mewah berwarna merah cerah.  Selly kemudian bisa kuliah di Universitas Negeri, berkat bantuan keluarga Andreas juga. Sementara itu Rolan melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Setelah lulus, Rolan pulang ke indonesia, melihat Selly untuk pertama kalinya sejak mereka terpisah hampir lima tahun lamanya, dan langsung merasakan ada yang berbeda. Mereka langsung saling jatuh cinta. Begitu saja, seakan sudah ditakdirkan sebelumnya. Tentu saja percintaan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena perbedaan status mereka yang mencolok, Selly yang memaksa Rolan merahasiakannya karena dia tidak mau ada pertentangan di keluarga Andreas, meskipun Rolan setiap hari mendesaknya untuk mengakui cinta mereka kepada keluarganya.  Selly masih merasa ragu, dia takut akan penghakiman orang-orang di sekeliling mereka, dia hanyalah anak seorang pelayan, ayahnya adalah supir pribadi keluarga Andreas dan ibunya pelayan di rumah itu, mereka tinggal di paviliun kecil di area kebun belakang rumah keluarga Andreas. Kedua orang tua Rolan sangat baik kepadanya, membiayai pendidikannya dan memperlakukannya bagaikan anaknya sendiri. Selly begitu takut, kalau Rolan membuka hubungan mereka, ayah dan ibu Rolan akan memandang rendah kepadanya, menyebutnya tidak tahu terimakasih dan mungkin saja, seperti pandangan masyarakat pada umumnya, jika perempuan miskin menjadi kekasih tuan muda yang sangat kaya, dia hanyalah pengincar harta. Tentu saja Selly tidak pernah sekalipun memikirkan tentang harta Rolan. Dia tidak butuh harta, dia bisa menghidupi dirinya sendiri. Setelah lulus kuliah, Selly diterima bekerja sebagai staff akunting di sebuah perusahaan manufacture dan setelah merasa gajinya cukup, Selly keluar dari rumah keluarga Andreas, menempati flat mungil yang disewanya dengan harga murah dan belajar hidup mandiri. Kedua orang tua Selly masih hidup dan menghabiskan masa pensiun mereka di rumah keluarga Andreas, berniat mengabdi sampai mereka tua. Dan sayangnya, pada akhirnya, Rolan dan Selly tidak sempat mengakui perihal hubungan mereka kepada kedua orang tua Rolan. Kecelakaan pesawat ketika kedua orang tua Rolan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri telah merenggut nyawa mereka, meninggalkan Rolan sebatang kara di dunia ini, hanya memiliki kakeknya yang sudah berusia lanjut, dan memiliki Selly. Sejak saat itu kebahagiaan seolah-olah direnggut dari mereka. Rolan- yang memang sering merasa pusing dan mual sepanjang hidupnya, dan kemudian hanya menganggapnya sebagai kurang darah biasa - mulai merasa ada yang serius dengan penyakitnya. Dia pernah merasa pusing dengan begitu kuatnya hingga kehilangan kesadaran. Selly yang mencemaskannyapun mendorongnya untuk memeriksakan diri ke dokter.... dan kemudian hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Rolan menderita kanker otak. Selly selalu berusaha menopang Rolan, pun ketika kondisi Rolan makin memburuk, makin melemah sehingga memaksanya terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dalam waktu yang cukup lama.  Selly bisa merasakan semakin lama, kekasihnya itu makin kehilangan semangat hidup, makin pahit menatap masa depan. Bahkan ketika Selly meminta Rolan untuk berserah kepada Tuhan mengharapkan setitik mukjizat kepadanya, Rolan hanya tersenyum kecut dan bilang bahwa dia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Karena Tuhan seolah-olah tidak pernah ada untuknya. Sepanjang pengetahuan Selly, semangat hidup sangat berperan dalam kekuatan daya tahan penderita kanker, dan dia akan berjuang keras agar Rolan selalu bersemangat, agar Rolan kuat.... agar Rolan tidak meninggalkannya..... karena Selly tidak akan tahan jika tidak ada Rolan di dunia ini. Lengan Selly memeluk kantong kertas berisi jeruk manis di dadanya, Rolan pasti akan menyukainya. Lelaki itu sangat suka makan jeruk yang menyegarkan mulutnya yang pahit akibat efek obat-obatan yang diminumnya. Kadangkala Selly suka mengoleskan air jeruk ke bibir Rolan yang kering, pucat dan pecah-pecah,  mencoba membuatnya berwarna lagi. Lalu tiba ada sosok berlawanan arah yang melangkah tergesa dan kemudian tanpa dapat dicegah, menabraknya.  Tubuhnya terbentur oleh sebuah lengan yang keras, membuatnya terjungkal dan terjatuh duduk di trotoar,  lengannya yang memeluk kantong kertas itu terbuka, membanting kantong kertas itu ke trotoar dan menyebarkan jeruk berwarna orange menggiurkan itu kemana-mana. "Ya ampun." Selly yang masih terduduk di trotoar, menatap jeruk-jeruk yang bergelindingan ke berbagai arah itu dengan panik, dia merangkak meraih jeruk yang terdekat, lalu mencoba berdiri untuk menyelamatkan jeruk-jeruk yang lain. Untunglah trotoar masih sepi karena jam pulang kantor belum berakhir, kalau tidak mungkin jeruk-jeruknya sudah terlindas dan tergilas oleh injakan sepatu para pejalan kaki yang berduyun-duyun dan berhamburan menuju halte untuk pulang. "Biar aku saja." sebuah suara yang dalam dan tenang tiba-tiba terdengar di depannya. Itu adalah sosok bertubuh keras yang menabraknya tadi.  Selly mengangkat kepalanya dan langsung bertatapan dengan wajah paling dingin sekaligus paling rupawan yang pernah dilihatnya. Lelaki itu hanya melempar tatapan datar, lalu berdiri dan mengambil jeruk-jeruk yang berserakan itu dalam satu lengan, dia mendekati Selly yang juga sudah berdiri, memegang kantong kertas yang tinggal berisi beberapa jeruk itu di tangannya. Lelaki itu melangkah mendekat, lalu tersenyum, senyum tipis yang samar yang langsung merasuk ke dalam jiwa. "Maafkan aku menabrakmu tadi, aku kurang hati-hati." suaranya bahkan terdengar dalam dan mempesona. Selly masih ternganga ketika lelaki itu memasukkan jeruk-jeruk di tangannya ke dalam kantong kertas di pelukan Selly. Ketika lelaki itu selesai, Selly tersadar, dia tersenyum malu karena tidak bisa menahan diri ternganga menatap lelaki yang sangat tampan itu. "Ah... iya, maafkan aku, aku juga melamun tadi dan tidak berhati-hati." Lelaki itu tersenyum tipis, melirik ke arah jeruk di tangannya, "Mau membesuk?" posisi mereka sekarang  memang berada di dekat rumah sakit, sehingga wajar saja lelaki itu mengambil kesimpulan seperti itu.  Selly menganggukkan kepalanya, "Iya. Terimakasih atas bantuannya." Tiba saja tatapan intens dan dalam di wajah itu membuat Selly menjadi gugup,  "Kalau begitu saya permisi dulu." gumamnya cepat. Lelaki itu menganggukkan kepalanya, "Hati-hati." senyum tipis masih menghiasi bibirnya dan kemudian dia melangkah pergi berlalu melewati Selly menuju arah yang berlawanan. Selly masih tertegun sambil menolehkan kepalanya, menatap punggung lelaki yang bertubuh tinggi semampai, dengan rambut hitam gelap yang dibiarkan menyentuh kerahnya, dan pakaian hitam dari ujung kemeja sampai ke sepatunya yang elegan.  Lelaki itu tampak memasuki sebuah mobil hitam berkilat yang seperti sudah menunggu di dekat trotoar, dan setelah lelaki itu masuk, mobil itupun melaju pergi. Selly menghela napas panjang dan melangkah kembali menuju ke arah rumah sakit, lelaki setampan itu biasanya hanya ada di cerita-cerita novel, mungkin saja dia seorang artis atau model  terkenal yang Selly tidak tahu, yah.... dia memang buta akan dunia mode. Selly melirik jam tangannya dan tiba-tiba merasa panik. Dia akan terlambat membesuk Rolan! Lelaki itu pasti sedang menunggunya. Dengan cepat Selly berlari-lari menuju ke rumah sakit. ***  Rolan tahu. Bahkan sebelum Selly mendekat, dia tahu. Itu langkah-langkah kekasihnya, berlari-lari kecil melalui koridor menuju ke kamarnya, bahkan dengan memejamkan matanya, Rolan bisa melihat dengan jelas visualisasi Selly berlari sambil memeluk kantong kertas berisi jeruk manis segar di tangannya. Aroma jeruk yang segar itu bahkan sudah tercium olehnya, pun dengan aroma khas Selly yang seperti bedak bayi..... Dan benarlah, beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Selly masuk dengan napas terengah, memeluk kantong kertas berisi jeruk di lengannya. "Maafkan aku Rolan, tadi jeruknya ketinggalan, jadi aku pulang lagi, aku....." Selly menatap Rolan dan terperangah kaget, "Rolan? Astaga! kau.... kau bisa berdiri sendiri?  Bersambung ke part 2   
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 23, 2013 03:54

May 22, 2013

Crush In Rush Part 9


 Kiara benar benar terkejut dan tak menyangka kalau Deliah bukanlah perempuan tulen, oh ya ampun tiba-tiba saja Kiara merasa malu, bagaimana bisa Deliah yang bukan perempuan tulen tampak begitu cantik? Apalagi kalau dibandingkan dengan dirinya......
Joshua sendiri mengamati reaksi Kiara dan tersenyum geli,
"Jangan merasa rendah diri, Deliah memang selalu berusaha lebih cantik dari perempuan manapun di dunia ini, tapi dia sahabat yang baik dan dia akan membantumu."
"Membantuku?"
"Ya. Akan kujelaskan nanti, yang jelas, beberapa hari ini kau akan sering bertemu dengannya."
Kiara menatap Joshua, tetapi lelaki itu tampaknya sudah menghentikan pembahasan mereka tentang Deliah. Pada akhirnya Kiara hanya terdiam, menyimpan pertanyaan dalam benaknya.
Nanti. Gumamnya dalam hati, nanti pasti Joshua akan menjelaskan kepadanya. Dam sekarang seperti yang diminta Joshua. Kiara akan menuruti rencana Joshua, dia bertekad menjadi pelayan yang baik untuk Joshua.
*** Tanpa disadari oleh Kiara, Joshua beberapa kali melirik penampilan perempuan itu, lalu tidak bisa menahan kepuasan dalam hatinya atas penampilan Kiara. Perempuan itu cantik tentu saja, hanya tidak terpoles. Kecantikannya lugu dan polos, lebih seperti anak kecil yang membuat siapapun ingin melindunginya...
Joshua mengerutkan keningnya, Kenapa dia berpikiran seperti itu? Ingin melindungi Kiara? Lelaki itu langsung berusaha membuang pikirannya dan mencoba fokus. Dia harus tetap pada rencananya semula, dia akan menggunakan Kiara sebagai tameng sekaligus sebagai alat pembalasan dendam kepada ayah kandungnya.
Dengan tenang Joshua membelokkan mobilnya menuju salah satu pusat perbelanjaan terbaru di pusat kota, yang katanya terbesar di asia tenggara. Setelah membantu Kiara turun, Joshua menyerahkan mobilnya kepada petugas valey parkir. Mereka lalu berjalan bersisian memasuki pintu utama pusat perbelanjaan itu.
Joshua melirik Kiara dan sekali lagi tidak bisa menahan senyumnya melihat perempuan polos itu hampir saja ternganga melihat keindahan tempat yang mereka kunjungi. Se,uanya memang begitu besar, dari pilar dan tembok-tembok yang sangat tinggi sampai tanaman palem raksasa di dalam pot elegan yang ada di sudut-sudut tertentu.
"Kita ke salon yang itu dulu." dengan lembut Joshua menghela Kiara dan membawanya ke sebuah salon terkenal. Joshua jarang ke salon, tetapi dia tahu mana salon yang baik mana yang tidak. Mantan-mantan kekasihnya dulu kebanyakan selalu membicarakan salon-salon langganan mereka, ada yang bilang salon A bagus sayang finishing touchnya jelek, ada yang bilang salon B pelayanannya tidak memuaskan dan sebagainya. Pada akhirnya, Joshua bisa menarik kesimpulan salon mana yang bisa dipercaya untuk mengubah model rambut Kiara.
Oh sebenarnya tidak ada yang salah dengan model rambut Kiara, perempuan itu cukup beruntung memiliki rambut yang hitam, sehat dan halus dan panjang. Tetapi tidak ada model khusus untuk rambutnya. Hanya panjang dan lurus, dipotong rata. Joshua yakin stylist di salon ini bisa sedikit membuat gaya rambut Kiara lebih modern.
Ketika mereka masuk, salah satu pegawai salon berseragam hitam langsung menyambut mereka dengan ramah, Joshua mengatakan apa maksudnya kepada pegawai itu dan kemudian Kiara dihela masuk ke bagian dalam, sementara Joshua sendiri duduk di ruang tunggu, menunggu hasilnya dengan penasaran.
***
"Rambut anda sangat indah, halus dan hitam, sayang potongannya rata, jadi kesannya tipis dan membosankan." seorang stylist laki-laki yang agak gemulai menyentuh helaian rambut Kiara dari belakang, lelaki itu sekarang duduk di kursi tinggi di belakang Kiara yang duduk di kursinya sendiri dan menghadap kaca yang sangat besar. Dengan posisi kaca itu, Kiara bisa menatap mata sang stylist,
"Di salon mana anda dulu memotongnya?" tampaknya karena baju Kiara yang mahal dan indah, dan karena Kiara datang bersama seorang lelaki tampan yang sangat elegan, stylist itu mengira Kiara mungkin salah satu pelanggan salon lain yang sekelas dengan salon ini.
Tetapi tentu saja bukan, dengan polos Kiara menjawab,
"Saya memotongnya sendiri."
Stlylist itu benar-benar tampak terkejut dengna jawaban Kiara, jemarinya yang sedang memegang rambut Kiara membeku di sana.
"Memotongnya sendiri?" gumamnya memekik ngeri, menatap Kiara dengan tak percaya.
"Ya" Kiara menganggukkan kepalanya mantap. Memangnya apa yang salah dengan memotong rambutnya sendiri? Rambut Kiara panjang, tentu saja memudahkannya untuk memotong sendiri, dia tinggal menarik rambutnya ke depan, lalu gunting di tangannya pun beraksi, yang penting rambutnya tampak rata dan rapi dari belakang bukan?
"Tidak!" tiba-tiba saya sang stylist berseru membuat Kiara kaget, "Jangan pernah memotong rambutmu sendiri, cantik. Itu mengerikan untuk dibayangkan." Stylist lelaki itu begidik, "Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli, bahkan aku sendiri masih tidak percaya diri melakukannya. Jadi kau harus berjanji tidak akan melakukannya? Oke?
Kiara menatap mata stylist gemulai itu dari cermin, setengah mengernyit, bingung kenapa masalah seperti itu tampaknya begitu penting bagi si stylist. Tetapi kemudian, Kiara menganggukkan kepalanya untuk memuaskan si stylist.
"Oke" Jawabnya, dan si stylist tampak puas dengan jawabannya. Senyumnya melebar, jemarinya bergerak lagi dengan ahli di rambut Kiara, sebelum mengayunkan guntingnya, lelaki itu mengedipkan sebelah matanya kepada Kiara,
"Aku akan membuat rambutmu sedemikian cantiknya, penuh tekstur dan tampak penuh. Pacar gantengmu yang di depan itu pasti nanti akan sangat terkejut melihat penampilan barumu."
Yang dimaksud pacar gantengnya pastilah Joshua. Tetapi Joshua bukan pacarnya. Kiara terdiam, menatap kaca, ke arah si stylist yang mulai menggarap rambutnya. Yah sudahlah. Yang penting dia melakukan apa yang diinginkan Joshua. Matanya terus bergerak. Mengawasi gunting itu yang memotong rambutnya helai demi helai.
***
Ketika Stylistitu selesai, model rambutnya masih belum kelihatan, seorang petugas lain membawanya dan mencuci rambutnya dengan shampo yang sangat harum. Setelah itu dia dibawa kembali kepada sang stylist. Lelaki itu sudah siap dengan hair dryerdan sisir di tangannya. Jemarinya yang lentik dan ahli langsung memilah-milah rambut Kiara yang basah, dan kemudian mengoleskan sesuatu yang basah dan lengket di sana.
“Diapakan?” Kiara bergumam bingung, takut karena tidak tahu apa yang dilakukan stylist itu ke rambutnya. Sementara lelaki gemulai itu tersenyum dan menatap Kiara penuh arti,
“Aku akan memberikan kilau para rambutmu, jadi ucapkan selamat tinggal pada warna hitam gelap yang membosankan.”
***
Beberapa saat kemudian, rambutnya selesai, setelah menunggu beberapa lama, lalu rambutnya dicuci lagi, dikeringkan lagi dan di blow.
Kiara menatap takjub kepada rambutnya setengah terpana. Itu dia yang sama yang didepan cermin, tetapi amat mengejutkan bahwa perubahan potongan dan warna rambut bisa merubah penampilan seseorang.
Kiara yang ada di sana sangat cantik, rambutnya masih tetap panjang tentu saja, tetapi potongannya bertingkat, membuat volume rambutnya tampak penuh dan segar. Begitu juga warnanya yang sekarang tampak berkilauan sehat.
Astaga..... ternyata pekerjaan stylist itu tidak main-main. Kiara merasa seperti artis-artis sinetron yang penampilannya seperti baru keluar dari salon. Tiba-tiba saja dia merasa ingin terkikik sendirian ketika menyadari bahwa dia juga baru keluar dari salon.
“Nah ayo sayang, kau begitu cantik, tunjukkan kecantikanmu kepada pacar gantengmu di depan itu, dia pasti terpesona setengah mati.”
Lelaki gemulai itu menghela Kiara ke depan, tempat Joshua sedang mengerutkan keningnya sambil menatap ponsel yang dibawanya. Lelaki itu menyadari kehadiran Kiara dari batuk sengaja sang stylist sebelum meninggalkan Kiara berdiri sendirian di sana, dan kemudian mendongakkan kepalanya, dan terpana.
Beberapa detik Joshua memandang penampilan baru Kiara dalam keheningan, sampai kemudian dia mengerjap dan memasang wajah datar,
“Bagus sekali.” Gumamnya tanpa ekspresi, membuat Kiara bingung apakah lelaki itu menyukai penampilan barunya atau tidak.
Joshua lalu beranjak berdiri, dan memberi isyarat Kiara supaya mengikutinya, mereka keluar dari salon itu dan melangkah ke arah lain, Kiara berusaha menjajari langkah Joshua dan bertanya,
“Kita akan kemana lagi?”
“Membeli beberapa sepatu, koleksi di butik Deliah belum cukup banyak karena memang dia tidak spesifik menjual sepatu. Ayo.” Mereka melangkah beberapa jauh dan kemudian masuk ke sebuah toko sepatu yang begitu elegan, penuh dengan kaca-kaca yang berkilau seakan tembus pandang, memantulkan suasana indah ruangan yang berwarna sampanye berpadu dengan karpet merah tebal yang indah.
“Ada yang bisa saya bantu tuan dan nona?” Pramuniaga langsung menyambut mereka dengan sopan di depan.
Joshua mengedikkan bahunya ke arah Kiara,
“Dia butuh sepatu, yang banyak dan terbaru, keluarkan semua koleksi terbaru kalian.”
Dan kemudian banyak sekali waktu yang dihabiskan untuk mencoba sepatu-sepatu yang seakan tidak ada habisnya. Joshua akan duduk di sana, meminta Kiara berjalan di depannya, dan ketika tidak merasa cocok, lelaki itu akan berkata tidak, sedangkan ketika merasa cocok, dia akan memberi isyarat kepada pramuniaga yang langsung membawa kotak sepatu itu ke kasir.
Pada akhirnya, Kiara kelelahan mencoba berbagai macam sepatu itu. Oh memang benar, bisa masuk ke toko semewah ini dan memilih sepatu mungkin tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan Kiara yang biasa, dan dia bersyukur bisa mengalami pengalaman ini. Tetapi kalau begitu banyak sepatu yang harus dicobanya seperti ini, lama-lama Kiara merasa lelah dan bosan.
Ketika memasang kaitan sepatunya yang entah untuk kekebrapa kalunya, Kiara mendesah dan mulai merasa ingin melarikan diri dari tempat itu segera.
Joshua melihatnya, dan menemukan keengganan di mata Kiara ketika dia meminta perempuan itu mencoba sepatu, sungguh, Kiara benar-benar berbeda dengan perempuan lain yang pernah bersamanya. Perempuan-perempuan lain pasti akan merasa berada di surga, diajak berbelanja sepatu ataupun pakaian sekian lamanya, yah bagaimanapun Kiara perempuan yang berbeda.
Dengan lembut dan penuh senyum dia lalu mendekat berjongkok ke arah Kiara yang duduk di kursi khusus untuk mencoba sepatu, kemudian jemarinya meraih kaitan sepatu Kiara dan memakaikannya,
“Lelah ya?” Sikap Joshua dan jemarinya yang sedang memegang pergelangan kaki Kiara nampak begitu lembut dan penuh perhatian, membuat pipi Kiara memerah karenanya. Kiara pada akhirnya hanya mampu menganggukkkan kepalanya, tidak mampu berkata-kata atas sikap lembut Joshua.
Joshua tersenyum dan menghela napas panjang, “Kalau begitu, setelah ini kita pulang saja, aku rasa masih banyak waktu untuk berbelanja yang lain.”
***
Ketika mereka pulang, hari sudah beranjak malam. Kiara melihat Jason sedang duduk di sofa ruang tengah dan menonton televisi sambil menyantap sesuatu yang seperti mie instan. Tiba-tiba saja Kiara merasa bersalah karena tadi tidak sempat memasakkan makan malam.
“Kalian sudah pulang rupanya.” Jason mengalihkan pandangannya dari mie yang sedang dimakannya, dan menoleh. Matanya melebar ketika melihat Kiara, lalu lelaki tampan itu tersenyum penuh arti, “Kau tampak cantik sekali dengan potongan rambut baru dan gaun manismu itu, Kiara.” Serunya memuji, membuat pipi Kiara merona.
Joshua menoleh, menatap pipi Kiara yang memerah, kemudian dia melemparkan tatapan penuh peringatan kepada Jason,
“Jangan ganggu dia Jason, dia milikku.”
Mungkin maksud Joshua adalah Kiara pelayan miliknya. Tetapi entah bagaimana kalimat yang diucapkan secara lugas itu membuat jantung Kiara berdebar.
Sementara itu Jason mengamati reaksi Joshua dengan geli, lalu bergumam setengah mengejek,
“Mulai posesif Joshua?”
Kata-katanya itu membuat wajah Joshua merah padam, lelaki itu menghela Kiara lembut, berusaha tidak mempedulikan Jason,
“Ganti dengan pakaian rumahan dan kita akan bicara.”
Joshua selalu mengucapkan perintahnya dengan begitu tegasnya, membuat Kiara langsung terbirit-birit ke kamar untuk menurutinya.
Sepeninggal Kiara, Jason menatap Joshua dengan pandnagan menyelidik.
“Kau membawa Kiara ke Deliah ya?” Jason tampak tidak suka, membuat Joshua merasa aneh. Jason selalu bersikap sebagai pembenci perempuan, tetapi ternyata dia juga membenci mahluk yang bertingkah laku sebagai perempuan, entah karena Jason paranoid atau memang dia berpandangan konservatif.
“Aku tidak suka nada suaramu, Jason. Bagaimanapun juga Deliah sahabatku.”
Jason tersenyum, “Oke.. oke. Kenapa kau ini Joshua? dari awal kau masuk rumah ini, sikapmu seperti akan menyerangku.”
Joshua tertegun dan kemudian menghela napas panjang ketika menyadari kebenaran kata-kata Jason. Entah kenapa dia seperti ingin menyerang Jason, apalagi setelah Jason memuji Kiara dengan terang-terangan, rasanya Joshua tidak rela.
Dia mengacak rambutnya dengan frustrasi, apakah benar kata Jason tadi? Bahwa dia memendam rasa posesif dan bahkan cemburu kepada Kiara?
“Maafkan aku.” Gumam Joshua kemudian, ‘Kurasa aku hanya sedikit lelah.” Joshua menyusul duduk di sofa, dan kemudian menuang jus jeruk dari teko dingin yang ada di meja, meneguknya dengan haus.
“Tapi kuarasa itu sepadan.” Gumam Jason dalam senyuman, “Dia berubah cantik sekali, seperti puteri dalam kisah dongeng cinderella.”
Lagi. Joshua merasakan sengatan rasa itu lagi, perasaan tidak suka ketika Jason memuji Kiara dengan terang-terangan.
Ada apa dengannya ini?
Joshua tidak sempat menelaah perasaannya karena Kiara sudah keluar dari kamar, berjalan canggung setengah takut ke arah mereka, itu menjadi catatan bagi Joshua karena nanti, kalau mereka harus berhadapan dengan ayah kandungnya yang licik itu, Kiara harus bersikap percaya diri dan pemberani di depannya.
“Duduklah.” Joshua menggeser duduknya, lalu menatap Jason dengan galak, “Aku ingin bicara empat mata dengan Kiara, akankah kau tetap di sini?”
Pengusiran terang-terangan Joshua itu ternyata sama sekali tidak menyinggung Jason, lelaki itu malah tertawa, membawa mangkok mienya tanpa kata dan melangkah pergi dari ruang tengah itu.
Lalu hening. Joshua tampak sedang berusaha menyusun kata-kata sementara Kiara menunggu.
Lalu Joshua berdehem, “Aku punya ayah kandung di London. Ayah kandung yang jahat. Dulu dia mengusir ibuku dalam kondisi hamil dan tak bertanggung jawab, ibuku pulang ke Indonesia, menanggung malu dan cemoohan karena mengandung anak haram, mengandung aku.” Joshua langsung membuka penjelasannya dengan kalimat pahit itu, membuat Kiara terkesiap dan merasa iba.
Rasa ibanya itu mungkin terpancar jelas di matanya karena Joshua menatapnya garang, “Jangan mengasihani aku, sedikitpun aku tidak pernah menyesal karena ayah kandungku membuangku jauh-jauh.” Lelaki itu menghela napas marah, “Dan itulah yang kuinginkan sampai saat ini, jauh-jauh dari lelaki munafik dan jahat itu, sayangnya dia tak tahu malu dan punya pemikiran lain, ayah kandungku mulai datang dan merecokiku, menggunakan kebohongan bahwa dia sekarat dan sakit keras dan mengira dengan begitu bisa meluluhkan hatiku dan membuatku mau menemuinya. Tentu saja cara itu tidak berhasil kepadaku. Dia tidak pernah ada dalam kehidupanku, lalu kenapa aku harus mencemaskan kesehatannya?”
Kiara menghela napas mendengar perkataan retoris itu, dia bingung harus berkata apa. “Mungkin... mungkin ayahmu menyesal dan ingin berbaikan denganmu? Bagaimanapun juga kau adalah anaknya.”
“Lelaki jahat itu tidak akan pernah menyesal.” Joshua membantah dengan sinis, “Dia hanya menginginkan pewaris seluruh kekayaannya, baginya kekayaannya hanya boleh diwariskan kepada orang yang mempunyai darah ningrat yang dimilikinya.” Joshua tersenyum sinis, “Aku sudah menolaknya, bagiku harta darinya adalah sampah, tetapi ayah kandungku tidak tahu malu, dia bahkan merencanakan pernikahan untukku dengan gadis berdarah bangsawan, demi menjaga kemurnian darah keturunannya. Tentu saja aku menolaknya mentah-mentah.” Joshua tampak semakin marah, “Dan kemudian dia mengatakan akan datang ke Indonesia, untuk membujuk dan memaksa aku melakukan apa yang dia mau.”
“Beliau akan datang ke Indonesia?” Kiara terkejut, tak menyangka ayah kandung Joshua ini akan bertindak sejauh itu.
“Ya. Karena dia lelaki arogan pemaksa yang tidak akan menyerah sebelum mendapatkan kemauannya.” Mata Joshua menatap Kiara dalam-dalam, “Dan karena itulah aku membutuhkanmu, Kiara.”
Jadi dia akan berperan sebagai apa? Kiara jadi teringat akan betapa banyaknya pakaian, sepatu dan berbagai macam hal lainnya yang diberikan Joshua kepadanya, dari kata-kata laki-laki itu di salon, semua untuk memberikan Kiara peran sebagai perempuan jahat. Apakah semua ini untuk ayah kandungnya?
“Aku ingin kau berperan sebagai kekasihku, terang-terangan di hadapan ayahku. Tetapi kau harus bersikap bukan sebagai kekasih yang baik-baik. Aku sudah menyelidiki ayah kandungku, aku tahu seperti apa wataknya, dia sangat menjunjung darah ningratnya. Mengetahui aku tergila-gila kepada perempuan yang tidak jelas asal-usulnya, yang baginya tidak sederajat dan jelas-jelas perempuan yang hanya mengincar hartaku akan membuatnya gila.” Joshua terkekeh, “Pada akhirnya dia akan pulang dengan kekalahan yang menyakitkan.”
Kiara menatap Joshua dan tiba-tiba merasa sedih. Dia tidak punya ayah, Dan dulu ketika di panti asuhan, betapa dulu dia sangat menginginkan memiliki keluarga, memiliki ayah yang menyayanginya. Dan sekarang di depannya, ada seorang lelaki yang masih memiliki ayah kandung, tetapi memikirkannya dengan penuh dendam. Tetapi Kiara tidak bisa menyalahkan Joshua, lelaki itu mengetahui masa lalunya dengan pedih dan menumbuhkan kebencian di dadanya sejak lama, lagi pula sepertinya ayah kandung Joshua memang kejam karena membuang ibu Joshua yang sedang mengandung darah dagingnya sendiri, dan kemudian tiba-tiba ketika dia membutuhkan Joshua, dengan arogannya lelaki itu ingin mendekati Joshua kembali. Setelah memikirkan segalanya, Kiara bisa memaklumi apa yang ada di benak Joshua.
Lelaki itu mengamati ekspresi Kiara dan kemudian tersenyum, “Aku ingin kau berlatih dengan Deliah, selama beberapa hari ini, dia akan mengajarimu bagaimana menjadi perempuan penggoda. Meskipun bukan perempuan tulen, Deliah punya banyak pengalaman dengan perempuan-perempuan semacam itu, jadi dia bisa mengajarimu.” Joshua terkekeh, kemudian menatap Kiara dengan tatapan serius, “Aku akan memberikan gaji tambahan untuk tugasmu ini Kiara, jadi kau tidak perlu cemas, yang aku minta adalah kau melakukan pekerjaanmu ini dengan sebaik-baiknya.”
Kiara terpekur kebingungan. Sebenarnya dia tidak membutuhkan gaji tambahan lagi. Apa yang diberikan Joshua kepadanya saat ini sudah lebih dari cukup. Makanan setiap hari, tempat bernaung yang luar biasa indahnya. Kiara tidak ingin meminta apa-apa lagi, yang dia inginkan adalah membantu Joshua sekuatnya. Lelaki itu adalah penolongnya dan Kiara akan melakukan apa saja untuk membalas budi.
 Bersambung ke Part 10
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 22, 2013 01:23

May 20, 2013

Menghitung Hujan Part 14



Kau dan aku lebih murni dari petikan sastra romantis, meski kisah kita tak seindah cinta dalam sejarah.Kita dan dua cangkir kopi, lalu menghitung hujan sambil mendengarkan debaran sendiriDua cangkir kopi berteman hujanDua cangkir kopi lebih indah dari simfoniJadi tetaplah ada.Kau dan aku, dan dua cangkir kopi.



“Ini adalah kakak lelakimu.” Ibu Dewi menunjuk ke anak lelaki kurus di foto itu, yang dirangkul oleh ayahnya, kemudian menatap Diandra dengan sedih, “Seandainya saya punya kesempatan untuk memberitahu tentangnya sejak awal Diandra, tetapi kau telah hidup dalam kehidupan baru yang bahagia, dan orangtuamu memutuskan untuk menjagamu dengan tidak memberitahukan informasi apapun, hal itu menahan saya untuk mengganggu kehidupanmu dengan informasi ini.”
Ibu Dewi menghela napas panjang lalu melanjutkan, “Kakak lelakimu berumur tiga tahun ketika kecelakaan yang menewarkan kedu orang tuamu terjadi, kalian berdua diserahkan di panti asuhan ini bersama-sama. Sayangnya, kakakmu terlalu besar usianya dan anak yang sudah terlalu besar biasanya jarang sekali diminati untuk diadopsi. Pada akhirnya kakakmu harus berpisah denganmu karena orangtua angkatmu memilihmu untuk diadopsi.” Ibu Dewi menatap Diandra lembut, “Meskipun terpisah, saya tahu kakakmu selalu mencintaimu. Dia tumbuh dan besar di sini, kami menyekolahkannya karena dia sangat pandai, di pagi hari dia bersekolah dan setelahnya dia membantu di panti asuhan ini, bekerja apapun yang bisa dilakukan untuk membantu kami. Dan ketika usianya 17 tahun, dia memutuskan bahwa dia sudah dewasa sehingga meninggalkan panti asuhan ini dan menjalani hidupnya sendiri. Dia sukses dalam kehidupannya, dan walaupun begitu kakakmu tidak pernah lupa mengunjungi kami, katanya dia menganggap panti asuhan ini adalah rumahnya, Saya ingat dia selalu datang di hari raya, membawakan makanan dan baju baru yang begitu banyak untuk anak-anak panti di sini.” Mata ibu Dewi menerawang.Diandra menatap perempuan setengah baya di depannya itu dengan penuh harap, informasi ini benar-benar mengejutkannya sekaligus membuatnya bertekad. Dia memiliki seorang kakak kandung, lelaki yang sukses kalau menurut kisah ibu Dewi ini. Jadi dimana dia bisa menemukan kakak lelakinya itu?
“Di mana saya bisa menemukan kakak saya, ibu?” Diandra menyuarakan pertanyaan  di benaknya, menatap ibu Dewi sepenuh rasa penasarannya.
Tetapi seketika itu juga ada mendung menggumpal di wajah ibu Dewi, mata perempuan itu tampak berkaca-kaca.
“Karena itulah tanpa mempedulikan semua aturan, waktu itu saya menghubungi orangtuamu Diandra.  Karena menurut saya kau harus tahu.” Ibu Dewi menatap Diandra dalam-dalam, “Rangga, kakak lelakimu sudah meninggal karena kecelakaan yang menimpanya.
Seketika itu juga Diandra dan Axel berpandangan, mata mereka menyuarakan pertanyaan yang sama,
Rangga??
***
Nana turun dari taxi di depan rumahnya dan langsung menghambur masuk, dia hampir saja bertabrakan dengan mamanya yang menyambutnya di depan, diikuti oleh Nirina yang masih menunggu di sana,
“Reno di sini?”
Nana bertanya dengan suara serak, ketakutan. Apakah ketakutannya benar-benar akan menjadi kenyataan? Apakah kata-kata Reno sebelum pergi tadi menunjukkan bahwa dia akan melakukan sesuatu yang nekat seperti bunuh diri?
Jantung Nana berdebar. Tuhan. Nana tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai terjadi sesuatu pada Reno. Dan itu murni... murni dia mencemaskan lelaki itu, bukan karena ada jantung Rangga di dalam tubuhnya!
Mama Nana menatap Nana yang panik sambil mengangkat alisnya,
“Tidak Nana, Reno tadi pergi untuk menemuimu di apartemen Rangga, apakah kau tadi ada di sana? Apakah kau bertemu dengannya?”
Wajah Nana pucat pasi,
“Ya aku bertemu dengannya di apartemen... kemudian aku..aku setengah mengusirnya.” Mata Nana tampak berkaca-kaca, “Lalu dia pergi dan mengucapkan kata-kata yang membuatku takut....”
“Nana.” Mama Nana memeluk pundak Nana dengan lembut,  “Ayo kita masuk dulu Nana. Tenang dulu...”
***
“Rangga?” Akhirnya Axel dan Diandra menyuarakan pertanyaan itu bersamaan, tiba-tiba saja napas Diandra terasa cepat dan kepalanya pening.
Tidak mungkin bukan? Tidak mungkin Rangga yang itu bukan?
Nama Rangga terpatri jelas di benak Diandra, itu adalah lelaki yang menyumbangkan jantungnya untuk Reno, memberikan kehidupan kepada kekasihnya, sekaligus merenggut cinta Reno untuknya.
Apakah mungkin Rangga yang itu? Bagaimana bisa suatu kebetulan berjalan seperti ini?
“Ya Diandra, Rangga adalah nama kakakmu, nama yang sama yang diberikan oleh orang tua kandungmu. Dia meninggal karena kecelakaan lebih dari setahun yang lalu.” Ibu Dewi menatap Diandra dengan menyesal, “Seandainya aku bisa memberitahumu lebih awal, tetapi Rangga sendiri juga tidak menyarankan untuk menghubungimu..”
“Rangga mengetahui tentang siapa diriku?” Diandra bertanya bingung, kalau begitu kenapa kakaknya tidak pernah menghubunginya?
“Ya, Rangga tahu tentu saja, dia bahkan selalu mengawasimu dengan diam-diam. Katanya dia tidak mau menunjukkan jati dirinya dan menghancurkan apa yang sudah kau percayai... yah orangtuamu tidak pernah mengatakan bahwa kau anak angkat, Rangga takut kalau kau tahu bahwa kau anak angkat, kau akan sedih...” Ibu Dewi tersenyum, rupanya kenangannya akan Rangga begitu indah, ‘”Karena itulah Rangga menahan diri, menatapmu dalam diam dan mengawasimu, dia bilang lebih baik dia menahan diri asal kau bahagia.”
Axel tampak tak sabar dengan pertanyaan yang menderanya,
“Rangga yang ini, apakah dia mendonorkan jantungnya setelah meninggal?”
Ibu Rahma menatap Axel tak kalah terkejutnya,
“Wah ternyata anda sudah tahu ya?”
Hening...
Hening yang lama dan tak terisi. Wajah Diandra pucat pasi.
***
“Tunggu, kau kan bisa menelepon Reno.” Nirina akhirnya memberi usul sambil membawakan air putih kepada Nana yang panik.
Mama Nana duduk di sebelah Nana, memeluk anaknya dan berusaha menguatkannya. Nana pasti benar-benar shock, mengingat pengetahuan yang diperolehnya mengenai jantung siapa yang ada di dada Reno. Apalagi setelah Nana merasa bisa melangkah dan menyimpan Rangga dalam kenangan lalu belajar mencintai Reno.
“Ah yaa...” Karena begitu paniknya, Nana sama sekali tidak memikirkan tentang menelepon Reno dengan ponselnya. Setidaknya dia bisa mencegah Reno kalau memang benar lelaki itu ingin bertindak nekat, dan setiaknya dia bisa tahu bahwa Reno baik-baik saja. Betapa bodohnya dia karena tidak sadar dari tadi.
Nana menelepon Reno, dan menunggu dengan jantung berdebar sampai nada sambung terdengar, satu kali, dua kali.... dan sampai lama tidak ada yang mengangkat di seberang sana, membuat Nana merasa sesak di dada.
Lalu setelah tiga kali mencoba, telepon itu diangkat, tetapi bukan suara Reno yang menjawab.....
***
“Jadi... Rangga kakak saya adalah Rangga yang juga mendonorkan jantungnya?” Diandra gemetaran tak terkendali, sudah mengetahui jawabannya meskipun dia sendiri tidak mampu menerima kebenaran itu.
“Ya. Dan ternyata kalian sudah tahu....., Rangga merahasiakan keputusannya itu. Pada suatu hari dia datang dan meminta tandatangan saya, sebagai keluarga yang akan mengurus seluruh izin karena dia menandatangani persetujuan untuk mendonorkan jantungnya ketika dia meninggal nanti. Waktu itu saya sempat bertanya kenapa dia berpikiran seperti itu. Sangat jarang ada manusia yang berpkiran untuk mendonorkan organ tubuhnya dengan pemikiran kalau dia mati nanti itu akan berguna untuk orang lain, apalagi seperti Rangga yang masih muda, semua tentu mengira bahwa usianya masih panjang.” Ibu Dewi mendesah, “Mungkin itu lebih seperti sebuah firasat....”
Darah Diandra seakan surut dari kepalanya hilang entah kemana, seluruh tubuhnya dingin, membuat Axel cemas dan meremas jemari Diandra lembut.
“Kau tidak apa-apa Diandra?” Axel menatap wajah Diandra yang pucat pasi.
Ibu Dewi juga melihat ekspresi Diandra dan cemas juga, mungkin perempuan di depannya itu terlalu shock mendapati kenyataan yang baru ditemukannya, dia lalu berdiri dan mengambilkan segelas air dari dispenser, Axel menerimanya dan membantu Diandra minum.
Setelah meminum dia tegukan, Diandra menghela napas panjang, berusaha menormalkan paru-parunya yang tadi terasa sesak.
Jadi benarkah? Benarkah Rangga, kakak kandungnya yang mendonorkan jantungnya untuk Reno?
“Kenapa Rangga tiba-tiba memutuskan untuk mendonorkan jantungnya, ibu?” Axel tiba-tiba bertanya.
Ibu Dewi tersenyum lembut,
“Karena Diandra.”
“Karena saya?” suara Diandra seperti tercekik.
“Karena Rangga selalu mengawasimu... dia melihat bagaimana kau berjuang setia kepada kekasih yang hidupnya hanya bersandar pada ada atau tidaknya donor jantung untuknya. Ya Diandra, Rangga mengetahui itu. Mungkin dia kemudian terinspirasi ketika mengetahui bahwa banyak sekali penderita penyakit jantung yang membutuhkan tranplatasi terkatung-katung, menunggu donor. Mungkin dia jadi berpikir untuk berpartisipasi ketika dia meninggal nanti. Aku yakin sekali Rangga tidak berkeinginan meninggal dengan begitu cepat, dia baru saja akan menapaki kebahagiaan rumah tangga, akan menikah dengan kekasihnya yang sangat cantik, Nana namanya, Rangga pernah menunjukkan fotonya kepada saya, dia bahkan belum sempat membawa Nana kemari untuk dikenalkan kepada saya, sungguh gadis yang malang.” Mata Ibu Dewi menerawang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin suatu saat kau bisa menemuinya Dianda, bagaimanapun dia pernah menjadi calon kakak iparmu, pernah begitu dicintai oleh mendiang kakakmu.”
Diandra tertegun. Tidak percaya akan semua kebetulan ini. Dia tidak tahu apakah harus tertawa ataukah menangis. Rangga adalah kakak kandungnya, lelaki itu mendonorkan jantungnya karena terinspirasi oleh keadaannya. Pasti tidak pernah terpikirkan oleh Rangga bahwa jantungnya akan begitu cocok dengan Reno, kekasihnya. Pasti tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa jantungnya akan membuat kekasih adiknya berpaling hati, meninggalkan Diandra dan mencintai Nana.
Dunia memang begitu rumit, penuh dengan kebetulan yang tak terbaca hati, membuat Diandra kebingungan setengah mati.
Di dalam dada lelaki yang sangat dicintainya... di dalam dada Reno... ada jantung Rangga kakak kandungnya.
***  
Mereka kemudian berpamitan. Dan karena ibu Dewi tampaknya benar-benar tidak tahu kepada siapa akhirnya jantung Rangga didonorkan, Axel dan Diandrapun tidak memberitahukan bahwa jantung itu telah menyelamatkan nyawa Reno, kekasih Diandra.
Mereka duduk di mobil, dalam keheningan, masih shock atas apa yang baru saja mereka lalui.
Tangan Axel ada di kemudi, tetapi dia tidak menjalankan mobilnya. Lelaki itu menoleh ke Diandra yang merenung dengan ekspresi kosong, kemudian jemarinya terulur, menyentuh rambut Diandra dengan lembut,
“Kau tidak apa-apa?”
Diandra mengangkat kepalanya, menatap Axel yang begitu tampan. Selama ini Diandra tahu bahwa Axel tampan, di masa SMU dulu, Diandra bahkan pernah membantu Axel membalas surat-surat cinta dari teman sekolahnya ketika dia berlibur ke Bandung. Axel selalu mempunyai banyak wanita yang mengejar-ngejarnya sejak dulu. Dan Diandra yakin penggemar Axel pasti banyak sampai sekarang, mengingat semakin bertambahnya usia, ketampanan Axel semakin matang, membuatnya menjadi magnet bagi perempuan manapun. Diandra sendiri tidak pernah terkena pengaruh magnet itu karena dia selalu menganggap Axel saudaranya.
Tetapi sekarang.... setelah dia tahu bahwa dia dan Axel tidak bersaudara, akankah dia..
Diandra menghela napas panjang, mengusir pikiran-pikiran yang memberatkan hatinya itu. Nanti. Semua akan dipikirkannya nanti, semuanya terasa terlalu berat kalau dipikirkan sekaligus, membuat dadanya terasa sesak.
“Aku tidak apa-apa.” Akhirnya Diandra bergumam serak, menatap Axel dengan lembut, “Antarkan aku ke makam Rangga ya.”
Ibu Dewi telah memberitahukan lokasi makam Rangga kepada Diandra. Dan Diandra ingin ke sana, setidak nya untuk meyakinkan hatinya, bahwa dia sebenarnya memiliki seorang kakak, yang selalu mencintai dan mengawasinya diam-diam.
Air mata Diandra menetes satu persatu membasahi pipinya. Seandainya Rangga memutuskan untuk menemuinya, akankah keadaannya menjadi berbeda? Seandainya Diandra punya kesempatan untuk menemui Rangga ketika kakaknya masih hidup, akankah kebahagiaan akan melingkupi mereka semua?
Kenapa dia ditakdirkan mengetahui punya seorang saudara kandung, ketika saudaranya itu telah meninggalkan dunia ini? Tanpa memberi kesempatan baginya untuk bertemu, untuk berkenalan atau bahkan untuk menyayangi?
Diandra menangis terisak-isak dan Axel menatapnya dengan sedih, lelaki itu lalu merangkul Diandra supaya dekat ke dadanya dan menangis di sana.
Ah, merasakan rapuhnya Diandra di pelukannya membuat jantung Axel terasa diremas. Betapa Axel ingin menanggung semuanya untuk Diandra.... betapa inginnya Axel agar Diandra tidak menangis lagi...
***
Mereka sampai di pemakaman sepi itu, pemakaman sepi yang indah dan tertata rapi. Axel turun lebih dulu dari mobil, kemudian menggandeng lengan Diandra untuk turun bersamanya, mereka berjalan dalam keheningan, mengikuti arah yang diberitahukan oleh Ibu Dewi, dan menemukan makam Rangga.
Lalu makam itu ada di sana. Dengan nisan bertuliskan nama Rangga, dan sebuah kutipan puisi perpisahan yang memilukan di sana.  

‘Kau dan aku- Kita. Lebih murni dari petikan sastra romantis,  meski kisah kita tak seindah cinta dalam sejarah, Tapi janji yang diiringi debaran jantung itu hanyalah milik kita. Dan meskipun debaran itu sudah tak ada, cinta ini akan selalu terjaga –  Mencintaimu selalu, Nana’
 Ini petikan perasaan Nana untuk Rangga. Tiba-tiba batin Diandra terenyuh, terasa begitu pedih. Rangga, kakak yang tidak pernah diketahuinya hingga saat ini memiliki kekasih yang sangat mencintainya.
Dan juga sangat dicintainya..... Diandra merenung, sangat dicintainya sampai membuat jantung Rangga tetap berdetak untuk Nana, bahkan  ketika jiwa Rangga mungkin sudah tidak ada di dunia ini.
“Kakak....” Diandra bergumam pelan, tiba-tiba merasakan kesedihan yang mendalam karena tidak pernah bisa memanggil nama Rangga ketika kakaknya itu masih hidup.
Axel melirik ke arah Diandra yang semakin lama semakin tampak rapuh, dia merangkul Diandra ke dalam pelukannya, memberinya kekuatan dan merasa sangat bahagia ketika Diandra tidak menolak pelukannya.
***  

“Reno?” Nana masih memanggil nama Reno meskipun dia tahu bahwa yang menjawab teleponnya bukan Reno.
“Halo? Siapa ini?” jawab seorang lelaki dengan sura berat.
“Ini sendiri siapa? Saya bisa bicara dengan Reno? Ini nomor HP Reno bukan?”
“Reno yang mengalami kecelakaan? Saya petugas rumah sakit, ponselnya masih saya pegang, saya sedang berusaha menghubungi orangtuanya...”
Telepon itupun jatuh dari tangan Nana.
***  
Ponsel Diandra bergetar di sakunya, membuat Diandra tersadar dari isak tangisnya dan mengerutkan kening. Diambilnya ponsel itu dari sakunya dan mengerutkan keningnya ketika melihat nama mama Reno di layarnya.
“Halo mama?” Diandra bergumam lemah, kenapa mama Reno meneleponnya? Dulu Diandra dan mama Reno sangat akrab, apalagi mengingat mama Reno tidak punya anak perempuan, Diandra selalu menjadi anak perempuan kesayangan mama Reno, mereka sering menghabiskan waktu bersama, bercakap-cakap, berbelanja bersama, bahkan ke salon bersama. Hubungan mereka memang agak renggang setelah Reno meninggalkan Diandra begitu saja. Yang pasti Diandra merasakan kecanggungan dari mama Reno setelahnya, tentu saja... mengingat betapa kejamnya perlakukan Reno kepada Diandra, pasti mama Reno merasa bersalah kepada Diandra.
Sejak kejadian itu Diandra jarang berhubungan dengan mama Reno lagi, bahkan hanya sekedar untuk mengirim kabar pun tidak pernah terpikirkan olehnya, dan sekarang mama Reno menghubunginya, pasti ada hal penting tentang Reno.
Tetapi kemudian yang terdengar di sana bukanlah seperti yang diharapkannya. Itu suara isakan, mama Reno menangis!
“Mama sedang dalam perjalanan ke Bandung, Diandra bersama papa.” Diandra memang memanggil mama dan papa Reno dengan sebutan ‘mama’ dan ‘papa’. “Reno....” suara mama Reno tertelan isak tangis, tersedu-sedu. “Reno kecelakaan Diandra, kami tadi menghubungi orang tuamu dan mereka ada di Bandung, semoga kau mau ke sana lebih dahulu Diandra...” mama Reno menyebut nama rumah sakit swasta terkenal yang terletak di pusat kota Bandung.
Jantung Diandra berdebar kencang, dia menatap Axel dengan panik, membuat Axel yang tidak bisa mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya dengan bingung,
“Ada apa?” Axel bertanya penasaran.
Diandra membalikkan tubuhnya, meninggalkan Axel begitu saja, membuat Axel mengejarnya dengan penasaran, lelaki itu akhirnya mengejar Diandra, mencekal lengan perempuan itu dan semakin mengerutkan keningnya ketika melihat air mata Diandra yang berderai,
“Diandra? Ada apa?”
Diandra memalingkan mukanya,
“Antarkan aku ke rumah sakit segera, Reno kecelakaan!”
***
Nana merasakan air matanya berderai, ketakutan. Kalau sampai terjadi apa-apa kepada Reno, maka kesalahan terbesar ada di pundaknya. Dia menolak Reno dengan kasar, tidak mau menerima apapun penjelasan lelaki itu, hanya mementingkan perasaannya sendiri, kebingungannya terhadap keberadaan jantung Rangga di dalam dada Reno.
Memangnya kenapa kalau ada jantung Rangga di sana? Harusnya Nana menyadari bahwa dia sudah bertekat meletakkan Rangga ke dalam kenangannya, sebuah kenangan indah yang akan selalu terpatri ke dalam  benaknya. Bukankah Nana sudah bertekad untuk mencintai Reno dan membuka hatinya kepada lelaki itu?
Bukankah dia dan Reno sekarang masih hidup dan mereka berhak untuk saling mencintai?
Seharusnya Nana memberi kesempatan untuk Reno, bukannya mengusirnya seperti itu, dengan kasar dan tidak memberinya harapan lagi.
Nana memegang pinggang Nirina erat-erat ketika Nirina meliukkan motornya mencoba menyelip di antara kemacetan kendaraan di lampu merah. Sahabatnya itu mengebut, mengantarnya ke rumah sakit dengan segera untuk melihat keadaan Reno.
Apakah Reno sengaja? Mengingat kata-kata terakhir Reno sebelum meninggalkan apartemennya... apakah lelaki itu sengaja dalam kecelakaan ini?
Tidak! Nana  langsung membantah pikirannya itu. Reno tidak akan melakukannya. Nana percaya Reno tidak akan membuang kesempatan kedua untuk menjalani kehidupannya.
Dan sekarang Nanalah yang memohonkan kesempatan kedua untuk dirinya dan Reno. Nana bersumpah dia akan berusaha mengubah segalanya jika Tuhan memberinya kesempatan kedua.
Oh Tuhan... selamatkanlah Reno.
***  Untunglah mereka menggunakan motor, karena mereka bisa menembus kemacetan dengan cepat. Setelah menemui resepsionis mereka diinfokan bahwa Reno masih ada di UGD. Nana setengah berlari ke sana diikuti Nirina.
Dia berjalan ke seluruh UGD, menoleh ke kiri dan kanan kemudian dia tertegun.
Dian... Diandra ada di sana. Sedang berbicara dengan dokter.   BERSAMBUNG KE PART 15
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 20, 2013 05:13

May 19, 2013

Crush In Rush Part 8


PS : Hujan deras dan macet menghalangi jalanku pulang. Tetapi akhirnya bias pulang juga dan posting, semoga penantian all readers tidak sia-sia yah :))
     “Teganya kau memanfaatkan gadis sepolos itu sebagai tameng?” Jason mengernyitkan keningnya, “Dan tameng seperti apa maksudmu?”
Joshua mengangkat alisnya, menatap Jason setengah mencemooh, “Benarkah yang kudengar ini? Seorang Jason yang selalu menyakiti hati perempuan tanpa pandang bulu tiba-tiba mencemaskan kepolosan seorang perhempuan?”
Jason membalas tatapan mata Joshua dengan serius, “Aku sungguh-sungguh dengan perkataanku Joshua.... kau tahu semua perempuan yang pernah menjadi korbanku, mereka memang pantas mendapatkannya, tetapi Kiara.... dia benar-benar perempuan polos yang tidak tahu apa-apa, apapun yang kau rencanakan terhadapnya, kau akan bersikap kejam kepadanya.”
Joshua membeku, dia lalu mengangkat bahunya,
“Kiara adalah satu-satunya orang yang paling tepat untuk ini.” Jason berdiri, menatap Joshua dengan tatapan tajam, “Terserah Joshua, aku sudah memperingatkanmu. Rasa berdosa itu akan semakin dalam kalau kau memanfaatkan perempuan polos yang tidak tahu apa-apa.” Jason lalu melangkah dan meninggalkan Joshua, masuk ke kamarnya, setelah beberapa langkah sampai di depan kamarnya, lelaki itu seolah teringat sesuatu dan menolehkan kepalanya sedikit, “Oh ya, aku lupa mengatakan kepadamu, tadi pagi aku berbelanja dengan Kiara, dan kami bertemu teman Kiara.”
“Teman Kiara?” Joshua mengernyitkan keningnya, langsung tertarik.
“Yah, dia bilang dia teman Kiara, salah satu rekan kerjanya di cafe tempat mereka bekerja sebelumnya.” Jason menatap Joshua penuh arti, “Tapi aku tahu lelaki itu tidak menganggap Kiara sebagai teman. Dan kalau kau mau menjalankan rencanamu, apapun itu kau harus mempertimbangkan keberadaan orang-orang yang menyukai Kiara lebih dari yang seharusnya.” Jason sepertinya menebak kalau Joshua akan menjadikan Kiara sebagai kekasih pura-puranya. Joshua memang akan melakukan hal yang hampir mirip seperti itu, tetapi tentu saja dengan cara yang jauh berbeda. Dia akan membuat ayah kandungnya pulang ke negaranya dengan bahu terkulai kalah dan sangat sangat kesal.
“Aku akan mempertimbangkannya.” Jawab Joshua datar, “Terimakasih Jason.”
“Dan satu lagi, Kiara tidak punya ponsel. Kasihan sekali di jaman sekarang tidak punya alat komunikasi yang begitu penting. Kau mungkin bisa membelikannya satu.”
“Akan kulakukan.” Joshua mengangguk, menyadari bahwa hal itu luput dari perhatiannya. Nanti dia akan memastikan kalau Kiara mempunyai ponsel, hal itu memberikan manfaat baginya juga untuk berkomunikasi dengan Kiara kapanpun dia jauh.
***
Ketika Kiara keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian, Joshua berdiri di sana dan menatap Kiara dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya. Tatapannya setengah mencemooh setengah kasihan.
“Kau hanya punya baju ini?” lelaki itu mengamati blouse Kiara yang dulunya pasti pernah berwarna putih meskipun sekarang hanya menyisakan warna krem kusam yang tidak jelas. Dan perempuan itu mengenakan rok panjang hitam sebetisnya.
Blouse putih dan rok hitam! Demi Tuhan.... apakah perempuan ini tidak punya selera berpakaian yang lebih baik? Pakaiannya mengingatkan Joshua pada anak training di toko-toko. Padahal Joshua akan membawa Kiara ke butik kelas atas. Dia sendiri sebenarnya tidak peduli, tetapi dia tahu orang-orang di sana akan mencemooh Kiara, memandang Kiara seperti pertunjukan sirkus mahluk aneh yang salah tempat, dan dia tidak mau Kiara mengalami itu, dipermalukan seperti itu sementara Kiara berjalan di sisinya. Tidak boleh ada orang yang mempermalukan perempuan yang sedang bersama Joshua.
Pipi Kiara sendiri tampak merah padam. Malu. Dia tahu bahwa pakaiannya yang sederhana itu pasti tidak akan cocok dengan selera Joshua, pasti akan membuat lelaki itu malu. Tetapi mau bagaimana lagi, pakaian yang dikenakannya ini adalah pakaian terbaiknya.
“Aku... aku hanya punya pakaian ini.” Jawab Kiara menahan malu, sepertinya dia lebih baik mengurung diri di kamarnya saja daripada nanti mempermalukan Joshua, dengan sangat dia berdoa dalam hati supaya Joshua membatalkan acara keluar mereka.
Tetapi rupanya Joshua punya pikiran lain, lelaki itu menghela napas, tampak kesal, lalu meraih kunci mobilnya di gantungan dan melangkah mendahului Kiara ke pintu,
“Ayo.” Gumamnya, membuka pintu dan melangkah pergi, membuat Kiara terbirit-birit mengikutinya.
***
Mereka berkendara melalui kawasan elite di pusat kota, dan Joshua tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang dari papan nama di sana, merupakan sebuah butik, butik itu berupa rumah bercat putih dengan gaya belanda, dikelilingi pepohonan yang rimbun dan suasana yang asri
“Ayo turun, pemilik butik ini temanku, jadi kita bisa mencari pakaian yang lebih tepat untukmu sebelum kita pergi ke mall dan butik-butik di sana.” Joshua membuka pintu dan melangkah memutari mobil, lalu membukakan mobil untuk Kiara dengan sopan.
Mereka lalu berjalan setengah bersisian, dengan Joshua di depan dan Kiara di belakangnya. Mereka memasuki butik elegan bergaya lama itu melalui sebuah pintu putar kuno yang berlapiskan krom dan kaca.
Suasana di dalam butik itu sangat elegan, dengan lampu berwarna kuning terang yang menciptakan keindahan tersendiri terhadap pakaian berbagai warna yang digantung di berbagai sudut. Kiara tidak pernah masuk ke tempat seperti ini tentu saja, matanya melahap seluruh sisi dengan penuh ingin tahu, menahan keinginan untuk bergumam “oooh”, “waaaah”, atau “wooow”
Seseorang keluar dari bagian belakang butik dan bergumam,
“Mohon maaf, tidakkah anda melihat tanda di depan pintu? Kami baru buka pukul lima sore....” seseorang itu adalah perempuan yang sangat cantik, dengan kaos ketat berwarna biru gemerlap yang menunjukkan keseksiannya tubuhnya yang berkulit seputih susu, berkilauan bagaikan porselen. “Joshua?” perempuan itu memekik kesenangan, “Joshua!!” lalu perempuan itu menghambur, memeluk Joshua dengan erat, “Kemana saja kau sayangku? Lama sekali kau tidak kemari.”
Joshua membalas pelukan perempuan itu dengan canggung, “Aku sangat sibuk dengan pekerjaan akhir-akhir ini.” Lelaki itu memundurkan langkah dan dengan halus melepaskan diri dari pelukan perempuan itu, “Bagaimana kabarmu, Deliah?”
“Aku baik-baik saja.” Delilah bergumam ceria sambil mengedipkan sebelah matanya, “Dan aku sangat merindukanmu, Joshua. Dulu kau sering kemari sambil membawa pacar-pacar cantikmu itu..... jadi karena kau lama tidak kemari, aku pikir mungkin kau sedang tidak berpacaran?”, mata perempuan itu melirik ke arah Kiara yang berdiri gugup di belakang Joshua dan langsung mengangkat alisnya, “Atau kau berpacaran tapi sepertinya sudah merubah seleramu?” matanya mengamati Kiara dari ujung kaki ke ujung kepala, membuat Kiara malu setengah mati. Perempuan itu sangat modis dan sangat bergaya, dan sekarang mengamati Kiara dengan secercah rasa kasihan di matanya,
“Di mana kau menemukan gembel kecil ini?” gumamnya mendekati Kiara, dan kemudian menyentuh pundak Kiara tanpa permisi, lalu membalikkan tubuh Kiara yang sepertinya dianggapnya bagai boneka, dia mengamati tubuh Kiara dan kemudian menoleh ke arah Joshua lagi, “Kekasih terbarumu?” gumamnya tak percaya.
Joshua terkekeh, “Jangan terlalu mendekatinya Deliah, Kiara akan ketakutan kepadamu. Tidak. Dia bukan kekasihku. Tetapi segera, dia akan berperan sebagai kekasihku, dan aku ingin bantuanmu untuk melatihnya.”
“Apa?” Deliah dan Kiara berseru bersamaan, yang satu bersemangat dan penuh ingin tahu, sementara yang lain kaget luar biasa.
“Ya. Aku ingin kau mengajari Kiara semuanya, seluruh caranya. Aku ingin dia berperan sebagai kekasih yang jalang, mata duitan, pokoknya jenis perempuan yang paling menyebalkan di muka bumi ini.” Joshua menatap Deliah dan tersenyum manis, “Aku tahu dari pengalamanmu di butik ini, kau banyak pengalaman dengan jenis-jenis perempuan seperti itu.’
Deliah tertawa, tawa merdu yang enak di dengar, dia menepuk pundak Kiara lembut,
“Hai aku Deliah, dan sepertinya sahabatku yang tiba-tiba datang setelah sekian lama menghilang ini tanpa tahu malu langsung meminta bantuanku.” Sapanya lembut, membuat Kaira tersenyum malu-malu. Sepertinya memang Deliah sering mengucapkan kata-kata cemoohan, tetapi kemudian Kiara menyadari bahwa perempuan itu hanya menggunakan sebagai candaan, tidak ada maksud sama sekali dari Deliah untuk merendahkan lawan bicaranya. Mungkin memang gaya bicaranya seperti itu...
Tetapi Kiara sendiri masih bingung dengan maksud perkataan Joshua tadi. Apa maksudnya lelaki itu akan menjadikannya kekasihnya, atau berperan sebagai kekasih Joshua tetapi – kalau Kiara tidak salah dengar – harus bisa membawakan peran sebagai perempuan jahat?
“Aku bisa saja melakukannya, Joshua, meskipun tampaknya misi ini begitu berat.” Deliah menatap Kiara penuh arti, “tetapi kau harus menjelaskan semuanya kepadaku dari A sampai Z jadi aku tahu apa maksud semua rencanamu ini.” Deliah lalu memanggil pelayannya yang segera datang dari pintu belakang, “Buatkan minuman untuk kedua tamuku, kita akan bercakap-cakap sebentar.”
“Aku akan menjelaskannya kepadamu Deliah.” Joshua menganggukkan kepalanya setuju, lalu menatap Kiara, “Kiara, kau bisa menunggu di sini? Aku akan bicara dengan Deliah sebentar di dalam.’
Meskipun merasa sangat ingin tahu hingga mendorongnya memaksa ikut, Kiara tidak berani. Yang biasa dia lakukan hanyalah menganggukkan kepalanya, meskipun benaknya masih didera oleh semua pertanyaan.
“Pelayan akan membawakanmu minuman dan kue, kau boleh melihat-lihat pakaian di sini dan mencobanya, kalau ada yang menarik untukmu bilang saja, aku yakin Joshua dengan senang hati akan membelikannya untukmu.” Deliah mengedipkan sebelah matanya, lalu dengan genit menggandeng lengan Joshua, dan dua anak manusia itu kemudian masuk ke ruang dalam yang sepertinya bagian kantor dari  butik tersebut.
***
Kiara menghabiskan beberapa menit dengan hanya berdiri terpaku dan kebingungan harus berbuat apa. Matanya mengamati seluruh ruangan dan mengagumi interiornya yang indah. Mereka seperti berada di rumah-rumah bangsawan eropa dari jaman dahulu kala. Sepertinya memang Deliah sengaja membuat nuansa butiknya kuno tetapi elegan. Kursi-kursinya berukir dengan warna cokelat gelap, berpadu dengan tirai merah yang bersemburat emas, tampak sangat kontras dengan tembok yang dicat putih bersih dan atap plafon dengan ukiran indah yang semuanya berwarna putih bersih. Sementara itu di bawah kakinya, karpet mahal yang sangat tebal berwarna cokelat tua tampak sangat berpadu dengan keseluruhan ruangan.
Setelah lama berdiri, Kiara sadar, sepertinya Joshua akan lama di dalam sana. Seorang pelayan muncul dari dalam, membawa nampan, ada teko sepertinya berisi teh dan juga cangkir-cangkir indah bergambar bunga dengan gaya victorian. Lalu ada sepiring kue cokelat yang tampak lezat dengan krim di atasnya. Pelayan itu meletakkan nampan di meja, dan Kiara menyadari ada tatapan kaget di matanya ketika melihat penampilan Kiara yang sangat sederhana, tetapi pelayan itu berhasil menutupinya dengan cepat, dengan sopan dia mempersilahkan Kiara untuk menikmati hidangannya selama menunggu.
Dengan hati-hati Kiara duduk di kursi di samping meja kecil yang telah disediakan, dia menuang teh yang harum itu, dan kemudian menyesapnya pelan-pelan. Enak. Ada rasa pedas yang khas, aroma daun mint yang membuat rasa teh itu istimewa. Kiara lalu mengicipi kue yang sangat menggugah selera itu, dan kemudian mengunyahnya dengan nikmat. Kue itu enak sekali!
Mata Kiara melirik dengan penuh rasa bersalah ke beberapa kue yang masih tersisa di piring, pasti akan sangat memalukan kalau Kiara menghabiskan kue itu.... tetapi kue itu enak sekali.....
Mata Kiara memandang ke sekeliling, berusaha mengalahkan dorongan untuk menghabiskan kue yang enak itu, demi kesopanan. Akhirnya Kiara berdiri dan dengan hati-hati mendekat ke arah rak gaun –gaun itu.
Jemarinya menyentuh bahan sebuah gaun dari sutera halus yang begitu indah, warna gaun itu hijau yang teduh, dengan bros berwarna perak sebagai aksen di dadanya, iseng-iseng karena ingin tahu, Kiara melihat price tag yang menempel di gaun itu, dan kemudian membelalakkan matanya kaget.
Dua puluh juta rupiah untuk sebuah gaun?
Dengan ketakutan, Kiara melangkah mundur dari rak gaun berisi gaun-gaun indah yang digantung, Astaga, harga gaun itu mungkin cukup untuk Kiara hidup beberapa bulan.....
Dengan gugup, Kiara dudul lagi di kursinya, dia tidak berani memegang gaun-gaun itu setelah mengetahui harganya. Kalau sampai sentuhan tangannya membuat gaun itu rusak, bisa gawat, karena Kiara tidak mampu menggantinya.
Dengan cemas dan penuh rasa ingin tahu, Kiara menatap ke arah pintu kantor tempat Joshua dan Deliah menghilang tadi.
***
“Itu rencana yang sangat licik Joshua, dan murni kejam.” Deliah tidak bisa menahan diri mengucapkan kata-kata itu setelah Joshua selesai bercerita, perempuan itu lalu menatap ke arah butik tempat Kiara masih menunggu di sana, “Dan kalaupun aku mau membantumu, dari semua perempuan di dunia ini, kau bisa memilih perempuan yang berpengalaman, dengan sedikit polesan, dia akan lebih mudah dimasukkan dalam rencanamu, dan kenapa kau malahan memilih perempuan lugu, polos dan tidak tahu apa-apa itu?”
Joshua menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum tenang, “Perempuan yang berpengalaman akan berbahaya karena kadang kala mereka memberontak, menginginkan lebih, atau bahkan menggigit balik.” Mata Joshua ikut melirik ke arah butik, “Kiara tidak akan mengkhianatiku.”
Deliah menatap Joshua, mereka memang bersahabat sejak lama, sejak masa kuliah..... Joshua dulu pernah membantu Deliah melalui masa-masa sulitnya. Deliah pernah jatuh dan hancur, menerima semua cemoohan orang, dan dia kehilangan banyak orang yang semula dikiranya sebagai sahabat baiknya. Hanya Joshua yang tetap disisinya dan mendukungnya, bagi Joshua tidak peduli Deliah akan jatuh dan mempermalukan diri seperti apa, mereka berdua tetap bersahabat.
Dan kalau Joshua meminta pertolongan kepadanya, bagaimana dia bisa menolaknya?
“Aku akan melakukannya untukmu Joshua, meskipun sepertinya sulit, aku akan mengubah perempuan polos yang ada di depan itu menjadi seperti yang kau mau, mulai besok bawalah dia kesini setiap pagi, kau bisa menjemputnya di sore hari, dan aku akan melatihnya dengan intensif, gaya berjalan, gaya berpakaian bahkan gaya berbicaranya.”
Joshua tersenyum puas, “Aku tahu aku akan selalu bisa mengandalkanmu, Deliah.”
***
Joshua dan Deliah keluar dari ruangan itu beberapa saat kemudian, dan Kiara langsung berdiri. Deliah tersenyum manis kepada Kiara, lalu melemparkan tatapan bertanya kepada Joshua,
“Kalian akan kemana hari ini?”
Joshua mengangkat bahu, “Kami akan ke mall, memberi beberapa gaun dan perlengkapan. Dan tentu saja kami akan berbelanja di butikmu ini Deliah....” mata Joshua menatap penampilan Kiara, “Dia tidak boleh berjalan-jalan denganku dengan penampilan seperti itu.”
“Tentu saja tidak boleh.” Deliah berseru ceria, lalu menghampiri Kiara dan merangkulnya,
“Mari, akan kupilihkan pakaian yang pantas untukmu, kau pasti akan menyukainya.”
***
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Kiara menurut saja ketika Deliah menyerahkan pakain untuknya dan menyuruhnya berganti baju. Di dalam ruang ganti, Kiara mengintip kembali price tag baju yang ada di tangannya, dan mengerutkan keningnya. Harganya cukup tinggu untuk sebuah gaun terusan berwarna pink gelap.
Jemari Kiara bergetar ketika mencobanya, tetapi dia berusaha melakukannya. Setelah mengenakan gaun itu, Kiara bercermin dan mengagumi betapa pas gaun itu di tubuhnya, Deliah sepertinya punya insting bagus mengenai gaun. Kiara juga mengagumi betapa ringannya bahan gaun itu, menempel di tubuhnya. Tampak pas dan tampak cantik...
Ketikan di pintu ruang ganti membuat Kiara sedikit terperanjat,
“Apakah kau sudah selesai di sana?” suara Deliah terdengar dari depan pintu.
“Sudah...” Kiara buru-buru membuka pintu ruang ganti itu dan berhadapan dengan Deliah.
Deliah berdiri di sana dan tampak puas dengan penampilan Kiara, dia membawa sepatu berhak datar berwarna peach gelap yang sangat indah dan meletakkannya di lantai,
“Ini, pakailah ini, gaun itu seharusnya memang dipakai dengan sepatu ini.”
Kiara menurutinya dan sekali lagi merasa takjub dengan betapa pasnya sepatu itu di kakinya. Deliah menepuk pundak Kiara dan mengedipkan sebelah matanya,
“Bagus. Kau sudah siap untuk berjalan-jalan dengan Joshua.”
***
Reaksi Joshua melihat penampilan baru Kiara tidak terbaca, lelaki itu hanya mengangkat alisnya, dan kemudian mengamati Kiara dari ujung kepala sampai ujung kaki, kemudian menganggukkan kepalanya,
“Bagus Deliah. Aku ingin kau menyiapkan lagi beberapa gaun, sebanyak mungkin dari koleksimu yang cocok dengan tubuh Kiara, juga sepatunya, dan aksesorisnya. Aku tahu butikmu ini lebih banyak menjual gaun-gaun formal, karena itu aku akan ke mall dan memberi gaun-gaun untuk keperluan lainnya.”
“Hati-hati ya.” Deliah melepas kepergian mereka dalam senyum ramah, “Dan Joshua, jangan lupa membawa Kiara ke salon.” Serunya setelah Joshua dan Kiara dekat dengan mobil mereka.
Joshua hanya memnganggukkan kepalanya dan melambai kepada Deliah, dengan sopan dia membukakan pintu untuk Kiara dan kemudian memutari mobilnya, duduk di balik kemudi dan menjalankan mobilnya keluar dari butik itu.
Sepanjang jalan mereka terdiam, meskipun Kiara berkali-kali mencuri pandang ke arah Joshua, penuh pertanyaan. Kapan Joshua akan menjelaskan semuanya kepadanya?
Joshua sendiri tampaknya menyadari apa yang ada di benak Kiara, dia melirik sedikit dan tersenyum.
“Kau pasti bertanya-tanya ya. Nanti setelah di rumah aku akan menjelaskan semuanya. Sekarang kau ikuti saja aku. Yang pasti kau bisa tenang, aku tidak akan menyakitimu.”
Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya dan kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan, kalau tidak dia akan tersiksa akan rasa penasaran yang menderanya ketika harus menunggu Joshua menjelaskan segalanya ketika mereka pulang nanti.
“Butik yang sangat indah, dan Deliah... pemiliknya sangat cantik.”
Joshua tersenyum simpul, “Tentu saja, Deliah sangat cantik, dia sangat menjaga kecantikannya itu setelah dia mendapatkannya hampir lima tahun yang lalu.”
Mendapatkan kecantikan? Apa maksud Joshua?
Joshua sendiri terkekeh, “Semoga kau tidak menganggapku mantan pacarnya atau apa, kami bersahabat akrab sejak kuliah arsitek. Tetapi kemudian dia drop out karena mengejar hasrat sebenarnya di bidang desain pakaian, dan terbukti dia tidak sia-sia karena sekarang dia menjadi salah seorang perancang yang sukses dengan butik kelas satu yang sangat diminati.” Mata Joshua tampak geli ketika melempar kebenaran itu kepada Kiara. “Jangan tertipu dengan kecantikan dan sikap feminimnya Kiara, lima tahun yang lalu, Deliah adalah seorang lelaki, sampai kemudian dia memutuskan untuk mengikuti hasratnya untuk menjadi seorang perempuan.”
Apa? Kiara ternganga.... kaget sekaligus bingung. Astaga, jadi Deliah bukanlah perempuan tulen?
 Bersambung ke Part 9
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 19, 2013 08:58

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.