Anak Kecil? Dalam sekejap Rachel merasa tersinggung. Apakah lelaki itu memanggilnya 'anak kecil' untuk menghinanya? Di usianya yang ke delapan belas tahun, tubuh Rachel memang kecil, mungil dan tidak seperti seluruh keluarganya yang bertubuh tinggi, Rachel pendek, kurus dengan bola mata nan lebar dan bening. Sekarang dia mengenakan celana pendek warna hitam dipadu dengan t-shirt biru muda yang sedikit kedororan. dari jauh penampilannya seperti anak lelaki. Pantaslah lelaki itu memanggilnya
'anak kecil'. Mungkin dia mengira Rachel adalah salah satu murid kelas yunior akademi yang tersesat. Ya, Rachel memang murid di akademi ini, tetapi dia adalah murid senior yang sudah lulus enam bulan yang lalu, sekarang dia dan mamanya, serta Calvin sahabatnya, datang ke akademi ini untuk mengambil formulir pelatihan khusus. Pemain biola itu meletakkan biolanya, kemudian melangkah mendekat. Ketika dia makin dekat, Rachel langsung terpana. Astaga.... lelaki itu tampan sekali hingga mendekati cantik. Rambut hitamnya yang lurus dibiarkan memanjang sampai menyentuh kerah bajunya, bibirnya... matanya... semuanya sempurna. Mungkin jika lelaki ini kehilangan pekerjaannya sebagai pemain biola, dia bisa menjadi aktor atau model sempurna. Jadi inilah dia penampilan langsung Jason, si pemain biola jenius yang begitu terkenal. Rachel sering melihatnya bermain di video-video latihannya, sering mendengarkan rekamannya yang brilian di sela-sela belajarnya bermain biola, tetapi rupanya, penampilan lelaki ini secara langsung benar-benar berkali-kali lebih mempesona daripada gambarnya di video-video itu.Tapi ekspresi lelaki itu tampak tidak senang. Dia mengerutkan keningnya dan menatap Rachel dengan tatapan yang tidak bersahabat? "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" Rachel tergeragap mendengar gumaman ketus itu.
Pertanyaan apa? dia bahkan lupa akan kata-kata Jason barusan, selain bahwa lelaki itu menyebutnya sebagai 'anak kecil'. Benaknya sedang berkelana akan betapa beruntungnya dirinya, bisa mendengarkan permainan sang maestro secara langsung, dan bisa melihatnya secara langsung pula. Calvin pasti akan sangat terkejut kalau Rachel bercerita tentang keberuntungannya. Karena Rachel hanya terdiam, Jason makin mendekat, mengerutkan kening dan menatap curiga. Anak ini ternyaa anak perempuan yang cantik.... batinnya dalam hati, mengawasi pipi Rachel yang memerah dan mata besar yang dipayungi bulu mata yang sangat lentik. Usianya mungkin baru dua belas atau tiga belas tahun. Mungkin dalam beberapa tahun lagi, dia akan tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik yang akan dipuja oleh banyak lelaki. Jason tersenyum masam. Tiba-tiba merasa aneh pada dirinya sendiri karena membatin kecantikan anak-anak seperti ini. "Apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau tersesat?" Anak perempuan itu tampak ketakutan, jadi Jason meredakan ekspresi marahnya dan merubahnya menjadi datar. Rachel menggelengkan kepalanya, "Aku mendengarkan permainan biolamu." ada kebahagiaan di matanya ketika membicarakan permainan biola. Senyumnya mengembang, "Luar biasa sempurna, itu
"Introduction et Rondo Capriccioso", bukan? Kau memainkan dengan luar biasa indahnya." Anak ini mengerti musik. Jason membatin. Mungkin dia memang salah satu murid di akademi ini, yang sedang tersesat. "Ya. Aku sedang berlatih memainkannya sebelum kau datang dan mengganggu konsentrasiku." Jason tidak terbiasa membahas musik bersama orang asing, pun dengan perempuan kecil di depannya ini, "Apakah kau tersesat?" dia mengulang lagi pertanyaannya, langsung menyimpulkan meskipun anak itu tadi menggelengkan kepalanya, "Kau bisa keluar dari lorong ini dengan melalui jalanmu masuk tadi." Mata anak perempuan itu menyinarkan protes, "Perlu kau tahu, aku tidak tersesat. Dan aku bukan anak kecil." Dagunya mendongak dengan angkuh, "Usiaku sudah delapan belas tahun, permisi." perempuan itu membungkukkan tubuhnya, seolah mengejek, lalu secepat kilat berbalik pergi, dengan langkah ringan seperti langkah peri. Jason masih termangu di ambang pintu, mendengarkan langkah-langkah kecil yang menjauh pergi itu. Kemudian tersenyum masam.
Delapan belas tahun... tebakannya meleset jauh, padahal dia sangat ahli dengan perempuan. Tetapi dengan tubuh semungil itu dan wajah polos serta mata bening tanpa dosa, wajar saja kalau Jason salah tebak. *** "Kemana saja kau Rachel? mamamu mencarimu dengan cemas karena kau menghilang lama tadi." Calvin berpapasan dengan Rachel di ujung koridor, dia langsung menjajari langkah Rachel dan tersenyum lembut, "Kau pasti menjelajah lagi tanpa izin." Pipi Rachel memerah. Calvin adalah temannya dari kecil karena kedua orang tua mereka bertetangga dan bersahabat. Lelaki itu mungkin menganggap Rachel sebagai adiknya, tetapi bagi Rachel, Calvin lebih dari itu..... Calvin selalu ada untuknya, dan Rachel mungkin menyimpan perasaan lebih kepadanya, sayangnya, Calvin sepertinya masih memperlakukan Rachel sebagai anak kecil, sebagai adiknya... dan itulah salah satu hal yang membuat Rachel membenci penampilannya yang seperti anak kecil ini. "Aku bertemu dengan Jason .... si pemain biola itu." Langkah Calvin langsung terhenti, dia menatap Rachel kaget dan membelalakkan matanya, "Kau bertemu dengannya? dengan Jason? Dimana?" Calvin seperti sudah siap untuk berlari, tapi Rachel menahan tangannya. "Dia sedang berlatih di ruangan khusus di sayap ujung akademi ini, sepertinya dia sedang
badmood, mungkin karena tadi aku muncul tiba-tiba tanpa sengaja dan mengganggu permainannya." Rachel menatap Calvin dengan tatapan penuh permintaan maaf, "Jangan ke sana Calvin, kalaupun dia masih ada di sana dia pasti sedang marah besar." Calvin menundukkan kepalanya menatap Rachel yang jauh lebih pendek darinya, lalu menghela napas panjang, "Kau sungguh beruntung.... tapi yah sudahlah, mungkin memang belum saatnya aku bertemu dengan Jason." gumamnya lalu tersenyum dan menepuk pundak Rachel penuh sayang, "Nanti kita pasti akan bisa bertemu dengannya, kita kan sudah mengisi dan memasukkan formulir audisi untuk masuk sebagai murid khusus Jason. Ayo kita cari mamamu." Setiap tahun sekali, Jason sang pemain biola jenius yang sangat terkenal itu, akan menyempatkan waktunya untuk memberikan kelas khusus hanya untuk siswa akademi senior atau alumni yang terpilih, semuanya dibatasi berusia minimal delapan belas tahun dan maksimal berusia dua puluh tahun. Pendaftaran dibuka sebebas-bebasnya, tetapi pada tahap awal kualifikasi, hanya ada dua ratus orang terpilih yang berhak mengikuti audisi khusus yang dihadiri langsung oleh Jason. Kelas itu hanya diikuti oleh beberapa orang yang terbaik, dan Jason sendiri yang memilihnya. Mereka harus mengisi formulir, kemudian mengikuti audisi, perbandingan antara yang lolos dengan tidak lolos mungkin satu dibanding sepuluh siswa audisi. Ini adalah kesempatan pertama Rachel, sedangkan Calvin yang dua tahun lebih tua darinya, akan mencoba keberuntungannya untuk ketiga kalinya, dia gagal di percobaan dua kali sebelumnya. Dari dua ratus orang yang ikut audisi hanya akan dipilih sejumlah maksimal dua puluh orang, akan diberikan pelatihan di kelas khusus selama tiga bulan dengan mentor utama Jason sendiri. Memang waktu pelatihan yang singkat, tetapi banyak sekali ilmu yang bisa mereka dapat karena sang maestro sendiri yang turun tangan mengajari mereka, selain itu kalau beruntung, Jason bahkan bermain biola di kelasnya, suatu kesempatan luar biasa mendengarkan Jason bermain biola secara langsung, karena lelaki itu lebih banyak mengadakan konsernya di luar negeri, sehingga para murid akademi ini hanya bisa mendengarkan permainannya dari rekaman video untuk berlatih. Yang pasti, kelas khusus Jason ini sangat eksklusif dan siapapun yang ingin lolos audisi, harus berebut dengan dua ratus siswa akademi sekaligus alumni lainnya yang lolos kualifikasi tahap awal. Audisi ini begitu ketatnya sehingga Calvin yang notabene anak direktur akademi musik ini, diperlakukan sama seperti yang lain. Dia harus mengambil formulir, mengisinya sesuai prosedur dan mengikuti test audisi bersama yang lain. Hanya Jason yang bisa menentukan siapa yang akan dia latih. Calvin dan Rachel adalah salah satu dari sekian banyak siswa yang berharap memperoleh keberuntungan ini, diajar langsung oleh Jason. Calvin terutama, adalah penggemar berat Jason, dia pada mulanya berlatih piano, ayahnya adalah salah satu pemilik dan direktur di akademi musik ini sehingga bakat Calvin sudah terasah sejak kecil. Kemudian tanpa sengaja dia mendengarkan acara konser solo Jason- sang jenius biola, salah satu lulusan akademi yang sama dengannya, yang waktu itu baru berusia dua puluh satu tahun - di televisi. Dia terpana, takjub akan kemampuan Jason membawakan biolanya dengan begitu sempurna, dan seketika itulah dia memutuskan bermain biola. Jason adalah salah satu motivasi terbesarnya bermain biola. Sementara itu, Rachel.... yah bisa dikatakan dia hanya ikut-ikutan. Rachel dan Calvin memang dilahirkan dari keluarga pemusik, kedua orang tua mereka dulu bersahabat di akademi musik Vienna, dan sama-sama berkarir di sebuah orkestra besar di Italia, sebelum akhirnya orang tua Calvin yang memutuskan pulang ke indonesia lebih dulu dikarenakan ayah Calvin harus meneruskan perusahaan papanya, yang meninggal dunia, salah satunya adalah akademi musik milik keluarganya. Beberapa tahun kemudian, ketika Rachel berusia delapan tahun, ayah Rachel meninggal dunia karena sakit, mama Rachel akhirnya memutuskan untuk pensiun dari karier musiknya di Italia dan membawa Rachel pulang ke indonesia. Dan kemudian, mama Calvin jugalah yang membantu mereka, mencarikan rumah yang nyaman untuk mereka tempati dan memberikan pekerjaan kepada mama Rachel sebagai salah satu guru di akademi ini. Rachel bisa bermain musik apa saja, dan dia memainkan semuanya, dia bahkan tidak mengkhususkan diri pada satu alat musik, sesuatu yang diprotes oleh mamanya. Kata mamanya, kalau kita tidak men-spesialisasikan diri pada satu alat musik, maka kemampuan kita akan mengambang, tidak bisa sepenuhnya fokus. Mama Rachel selalu mendorong Rachel untuk mengembangkan bakat musiknya ke satu titik khusus, tetapi memang tidak ada dorongan bagi Rachel untuk melakukannya. Dia memang berbakat dalam bermusik tetapi tidak berambisi. Sampai kemudian dia melihat Calvin begitu fokus bermain biola, dan Rachel berpikir, kalau dia bermain biola juga, mungkin dia bisa semakin dekat dengan Calvin. Rachel tersenyum pahit,
yah.... Jason adalah motivasi Calvin bermain biola, sedangkan Calvin adalah motivasi Rachel bermain biola. *** "Terimakasih kau selalu menyempatkan waktumu untuk mengajar murid-murid kami setiap tahunnya." Jason duduk di ruang tamu direktur, dijamu dengan teh dalam poci ala inggris dan kue-kue yang tampak nikmat di piring, dia duduk berhadapan dengan direktur itu sendiri. "Akademi ini pernah melatihku dan sedikit banyak membantuku menjadi seperti sekarang ini, aku tidak keberatan mengajar mereka di sela waktu rehatku." gumam Jason tenang. Matanya menelusuri ke arah pintu. Dia tidak suka dengan pertemuan formal ini dan ingin melarikan diri cepat-cepat, tetapi tentu saja itu tidak sopan. "Dan antusiasme anak-anak benar-benar meluber tahun ini, apalagi setelah konser solo terakhirmu di Austria yang sangat sukses." direktur itu tersenyum, menatap Jason senang, "Anakku akan ada di audisi ini lagi tahun ini, aku tidak akan memberitahukanmu yang mana karena hal itu mungkin akan mempengaruhimu, tetapi aku berharap dengan kemampuannya dia bisa lolos dari audisi. Dia sudah mencoba dua kali sebelumnya dan gagal." Direktur itu menuang tehnya dan mempersilahkan Jason untuk minum teh bersamanya. Jason tersenyum. Dia tahu bahwa direktur ini dulu punya karier bermusik yang cemerlang di Italia, sebelum menjadi direktur akademi ini, direktur itu adalah seorang pemain piano profesional. Jason tidak mengira bahwa anaknya lebih memilih bermain biola. Bahkan sebelumnya, direktur ini sangat jarang menyebut tentang anaknya. Lelaki di depannya ini memang sangat teguh pada peraturan dalam bermusik, sepertinya dia tidak ingin anaknya diperlakukan dengan istimewa, mau tak mau Jason merasa kagum kepada prinsip yang dianut sang direktur, kalau orang lain, mungkin akan menggunakan segala cara agar anaknya memperoleh hak istimewa. "Anak anda bermain biola?" gumam Jason mempertanyakannya langsung. Direktur itu mengangkat bahunya, "Semua orang pasti mempertanyakan itu mengingat aku adalah pemain piano. Yah, aku sudah berusaha mengajari anakku itu bermain piano sedari dini. Dan kemudian dengan keras kepala dia berubah halauan, bermain biola." Matanya menatap Jason dengan dalam, "Kau adalah motivasinya bermain biola." Jason menyesap tehnya dan mengangkat alis, lalu tersenyum samar. "Kalau anak anda benar-benar berbakat, dia pasti akan menemukan jalannya untuk masuk ke kelas khususku." *** Jason pulang ke apartemennya, dia memang punya apartemen pribadinya sendiri jikalau ingin menyepi sendirian. Ini adalah apartemen lamanya yang tahun kemarin sempat ditinggalkannya begitu lama untuk melarikan diri dari mamanya. Natalie, mama angkatnya mengejar-ngejarnya untuk segera menikah, dia menawarkan berbagai macam calon isteri untuk Jason yang tentu saja ditolak Jason mentah-mentah, dan membuatnya melarikan diri dari rumah dengan alasan pelatihan intensif untuk beberapa lama, padahal Jason terpaksa menumpang di rumah salah satu sahabatnya. Untunglah setelah itu Jason harus segera berangkat ke Austria kali ini benar-benar untuk persiapan konser solo dan sebagai
violinist tamu di konser bersama orkestra besar di austria, sehingga membuat mamanya tidak bisa mengejar-ngejarnya lagi. Ketika Jason pulang ke negaranya, mamanya sepertinya sudah sadar bahwa sia-sia saja dia mencoba memaksakan Jason untuk menikah, perempuan yang sangat menyayangi Jason itu lalu melupakan usahanya, dan membuat Jason merasa nyaman kembali untuk pulang. Jason memang sering menghabiskan waktunya di rumah, kadang beberapa hari seminggu dia tidur di sana, tetapi selain itu, dia pulang ke apartemen pribadinya. Apartemen ini berada di lantai paling atas, sebuah hunian eksklusif yang sangat menjaga
privacy, Jason mengubah seluruh interiornya sendiri, dan memasang dinding kedap suara, yang memungkinkannya berlatih siang malam, tanpa mengganggu orang lain. Lelaki itu duduk dalam kegelapan, dasinya sudah terlepas dan matanya dingin. Besok adalah hari audisi. Jason tak sabar menantinya. Banyak sekali hal-hal baru, bakat-bakat baru yang sebelumnya belum pernah muncul yang bisa ditemukannya di saat audisi, dan Jason tentunya akan memilih yang terbaik.
Karena dia hanya mau melatih yang terbaik. *** "Ayo cepat." Calvin berlari-lari kecil menuju ruangan aula besar akademi, tempat audisi berlangsung, sementara Rachel mengikutinya, sama-sama panik. Kemarin mereka mendapatkan pemberitahuan bahwa mereka berdua termasuk salah satu dari dua ratus peserta audisi yang beruntung. Dan sekarang mereka hampir terlambat karena mobil mereka terjebak macet dan sempat membuat panik karena takut kehilangan kesempatan. Tetapi untunglah Calvin menemukan jalan tikus yang meskipun sempit tapi lancar, dan membuat mereka hanya terlambat beberapa menit. Ketika mereka sampai di pintu aula, suara alunan biola sudah terdengar. Berarti audisi sudah dimulai. Untunglah panitia audisi masih ada di depan pintu sehingga Calvin dan Rachel bisa mendapatkan nomor audisi, meskipun mereka harus mendapatkan nomor terakhir untuk hari ini. Satu orang mendapatkan jatah waktu hanya tiga menit untuk memainkan bagian lagu yang telah mereka pilih, memamerkan bakatnya sebaik mungkin. Sementara itu, Jason beserta dua mentor senior di akademi, duduk diam dan mendengarkan di sebuah kursi yang telah disediakan di sudut depan aula, tepat di depan peserta audisi dan tampak mengintimidasi Para peserta lain yang mengantri tampak menunggu dengan sabar di kursi-kursi yang telah disediakan dan terisi penuh sehingga beberapa harus berdiri di sisi samping aula, semua menunggu dengan setia berharap menjadi peserta yang beruntung. Rachel dan Calvin akhirnya bisa mendapatkan posisi berdiri di samping yang paling dekat dengan bagian depan aula. Mata Rachel melirik ke arah Jason yang duduk dengan tenang di kursinya, tampak luar biasa tampan dengan celana jeans dan kemeja hitamnya. Mata lelaki itu serius, tanpa ekspresi sehingga tidak bisa terbaca apakah dia menyukai permainan biola yang dimainkan oleh salah satu peserta di depannya atau tidak. Di tangannya ada kertas, kadang-kadang lelaki itu mencatatkan sesuatu di sana. Rachel melirik beberapa peserta perempuan lain di sekitarnya, mereka semua sama, tampak begitu terpesona akan ketampanan Jason. Bahkan kemudian Calvin menyenggolnya dan tersenyum, "Dia luar biasa tampan bukan?" Calvin bergumam menggoda, membuat pipi Rachel memerah. Ya. Jason memang luar biasa tampan, tetapi bagi Rachel, tidak ada lelaki yang setampan Calvin di dunia ini. "Bermain di depannya terasa sangat mengintimidasi." sambung Calvin sambil mendesah. "Apalagi kita tidak pernah bisa membaca apa yang ada di balik tatapan mata dinginnya itu. Dua kali kemarin aku gagal sepertinya lebih karena gugup, semoga sekarang ada kesempatan untukku." Rachel tersenyum dan menyentuh lengan Calvin dengan sayang, "Kau pasti berhasil Calvin, dan kali ini jangan gugup. Aku akan mendoakanmu." *** Malam sudah menjelang, tetapi dua ratus siswa itu tampak setia, belum ada satupun yang pulang. Karena hasil audisi akan diumumkan sendiri oleh Jason setelah proses audisi selesai. Sudah tinggal beberapa peserta yang maju. Dan kemudian giliran Calvin. Calvin tampak begitu tampan dengan kemeja birunya yang tampak sesuai dengan rambutnya yang kecoklatan. Lelaki itu menghela napas panjang, dan kemudian memainkan biolanya. Alunan musik nan merdu langsung mengalun di seluruh penjuru aula. Dan Rachel menatap lelaki itu dengan kagum. Calvin tampak begitu tampan, seperti pangeran yang memainkan biola untuk kekasihnya. Perasaan Rachel dipenuhi dengan cinta. Alunan musik yang dimainkan oleh Calvin begitu menghangatkan hati, membuat mata Rachel berkaca-kaca. Teknik Calvin tidak dipertanyakan lagi, begitu sempurna dan luar biasa. Bakat itu memang ada di diri lelaki yang dipujanya itu. Ketika Calvin selesai, beberapa siswa bahkan ada yang tak bisa menahan diri untuk bertepuk tangan, dan Rachel memandang penuh harap ke wajah Jason. Lelaki itu masih memasang wajah tanpa ekspresi. Rachel langsung harap-harap cemas, dia berdoa sepenuh hati agar kali ini Calvin lolos. Ini adalah kesempatan terakhir Calvin karena dia sudah berusia dua puluh tahun. Calvin akan sangat kecewa kalau gagal di kesempatan terakhirnya ini. Dan Rachel tidak akan tahan melihat Calvin kecewa. Setelah Calvin membungkuk ke arah Jason dan dua mentor senior akademi yang berada di depannya, dia berlari-lari kecil ke arah Rachel yang menunggu di bagian samping tempat duduk. "Bagaimana permainanku tadi?" Wajah Calvin tampak berseri-seri hingga mau tak mau membuat Rachel tersenyum lebar. "Bagus sekali Calvin. Kau memainkannya dengan sempurna!" Rachel menjawab sambil tertawa, ketika Calvin memeluknya layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Peserta nomor terakhir dipanggil, dan itu nomor Rachel. Calvin mengacak rambut Rachel dengan sayang, "Ayo Rachel, bersemangatlah!" gumamnya riang, menepuk pundak Rachel hangat sebelum Rachel melangkah ke depan. Rachel berjalan dengan tenang dan tanpa beban, meskipun dia merasa semua mata peserta memandang ke arahnya. Ini adalah audisi perdananya dan ternyata beginilah rasanya bermain di hadapan banyak orang. Dia menghela napas panjang, yah dia akan bermain sesuai kemampuannya. Lagipula dia datang kemari tanpa beban, dia hanya ingin bersama Calvin. Dan kalaupun nanti dia tidak lolos, dia sudah cukup bahagia jika bisa melihat Calvin lolos. Rachel berdiri di tengah ruangan, menghela napas panjang, memasang biolanya di pundaknya dan kemudian menggesekknya. *** Hari hampir menjelang malam, dan Jason lelah. Dia juga bosan. Telinganya terasa berdenging mendengarkan permainan biola ratusan siswa-siswa yang antusias. Dan kebosanannya muncul karena banyak sekali siswa yang memilih lagu yang sama, jenis musik populer karya Mozart seperti
symphony 35 atau 40 yang paling sering dimainkan. Mungkin mereka semua sengaja memilih musik populer agar lebih familiar di telinganya. Tetapi Jason tidak butuh yang familiar, dia butuh sesuatu yang berbeda, sesuatu yang istimewa. Ada beberapa siswa yang istimewa tentu saja, dan Jason sudah mencatat mereka di lembar kertasnya. Ketika peserta terakhir dipanggil, Jason sudah skeptis. Tinggal satu lagi, dan dia bisa membuat pengumuman kemudian pulang untuk beristirahat. Kemudian matanya menatap peserta terakhir yang melangkah seperti tanpa beban ke depan mereka. Itu anak kecil itu... oh bukan, itu perempuan itu. Jason mengoreksi dalam hati sambil duduk tegak di kursinya.
Apakah dia juga seorang pemain biola? Jason menatap perempuan itu dengan tertarik. Sekarang setelah melihat lebih seksama, Jason sadar bahwa perempuan itu memang bukan anak kecil. Dengan gaun warna putihnya yang melebar di bagian bawah, dan berkibar setiap dia bergerak, dia tampak cantik dan menawan, berbeda dengan celana pendek serta t-shirt kebesaran yang dulu dipakainya di pertemuan tanpa sengaja mereka. Gaun itu menunjukkan lekuk tubuhnya, lekuk tubuh perempuan yang beranjak dewasa - meskipun tentu saja Jason tidak tertarik untuk merayu perempuan yang jelas-jelas lebih muda ini, dia bilang usianya delapan belas tahun, berarti perempuan ini delapan tahun lebih muda darinya. Jason lebih suka berpacaran dengan perempuan yang sudah matang. Perempuan ini jelas jauh sekali dibawah kriterianya, masih remaja, ditambah lagi penampilannya seperti anak kecil. Jason sudah mencoret perempuan itu sejak awal dari daftar korbannya.
Kalau begitu kenapa dia terus menerus memikirkannya? Jason mengernyit, membuat gerakan mencoret tanpa sadar di kertas yang dipegangnya. Dia melirik daftar musik yang akan dimainkan oleh peserta audisi. Peserta nomor dua ratus, namanya Rachel - Jason mencatat dalam hati, Rachel memilih memainkan
Tchaikovsky, Violin Concerto in D major Op.35. Pilihan yang tidak biasa untuk siswa semuda itu. Jason menatap tajam, tertarik. Lalu perempuan itu menghela napas panjang, meletakkan biola di pundaknya dan menggeseknya. Seketika itu juga, alunan musik yang indah, membahana memenuhi aula.
Bersambung ke part 3