Santhy Agatha's Blog, page 10

May 19, 2013

postingan crush in rush part 8 tertunda krn misua sakit

dear alk maapkaaan postingannya tertunda mungkin malaman yah ini harus antar misua dulu ke tukang pijit salah urat keseleo. drtd msh pijit buat sembuhin lama prosesnys dr siang
maafkan juga postingannya berantakan yah soalnya darurat paksi hp
sekali lg maap
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 19, 2013 02:23

May 18, 2013

Crush In Rush Part 7

PS : aku janjiin tiga part part 6, 7 dan 8... tapi part 8nya minggu agak siang2 yah dear... duh udah ngantuk banget soalnya ini ternyata mau posting lagi sudah ga kuat matanya udah buram hehehe....cuma kuat begadang sampe jam segini, tadi niatnya sampai jam enam pagi melek terus ternyata ga kuat .... huhuhu maapkan yaah, yang part 8 minggu siang yah :)) 

“Sudah berapa lama kau di situ?” suara Jason bahkan sedingin tatapannya. Tiba-tiba saja Kiara merasa takut. Kenapa Jason yang berdiri di depannya ini sangat berbeda dengan Jason yang ramah, yang tadi pagi berbelanja kepadanya?
“Eh... saya memanggil karena makanan sudah siap.” Kiara bergumam gugup bingung menghadapi tatapan mata Jason yang dingin dan penuh kemarahan. Sebenarnya lelaki itu sedang marah kepada siapa? Kenapa dia memainkan musik seperti itu? musik yang bergolak yang membuat siapapun yang mendengarkannya pasti tahu bahwa sang pemain biola sedang marah.
Tetapi kemudian Jason tampaknya bisa menguasai diri. Kemarahan tampak surut dari matanya, dan dalam sekejap ada senyum di sana. Ekspresi lelaki itu kembali penuh canda dan ramah seperti yang selalu ditampilkannya di depan Kiara sebelumnya, “Aku perhatikan, kau tetap saja menggunakan ‘saya’ dan ‘anda’ kepadaku, ini sudah ketiga kalinya aku mengingatkanmu.” Bibir lelaki itu menipis, “Awas kalau sampai ke empat kalinya, coba ulang kata-katamu dengan menggunakan ‘aku dan kamu’.” Jason mengangkat alisnya dan tampak keras kepala.
Kiara menatap lelaki itu dan menyadari bahwa dia seharusnya memberikan apa yang Jason mau karena sepertinya lelaki itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan keinginannya,
“Aku  kemari hendak memberitahumu kalau makanan sudah siap.” Gumam Kiara akhirnya dengan canggung, menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’ seperti yang Jason mau, dan kemudian dia ternyata menciptakan senyum mempesona yang melebar di bibir Jason.
OH astaga, lelaki ini memang tampan, dan ketampanannya naik berkali-kali lipat kalau dia tersenyum seperti itu. Kalau saja Kiara tidak merasa canggung dan malu, dia pasti sudah memegang ambang pintu dan menarik napas panjang, karena udara seakan tertarik dari paru-parunya, terpesona oleh ketampanan Jason.
“Bagus.” Jason tersenyum, lalu melangkah ke pintu dan melewati Kiara, “Ayo kita makan aku lapar!”
***
 
Ketika Kiara mengikuti Jason hendak melangkah ke dapur, pintu kamar Joshua terbuka dan lelaki itu muncul. Acak-acakan karena bangun tidur dan tampak cemberut, matanya menatap marah ke arah Jason.
“Kalau kau memang ingin tinggal di apartemen ini Jason, seharusnya kau menghormati jam tidurku, aku tidak suka berisik, dan alunan biolamu itu sampai menembus alam mimpiku, memaksaku bangun.” Gumamnya tajam.
Jason tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan Joshua, dia malahan tertawa,
“Maafkan aku, aku lupa kalau kau sangat sensitif terhadap bunyi-bunyian, dan kau punya mood yang sangat jelek ketika bangun tidur. Aku janji tidak akan memainkan biola di saat kau tidur lagi.”
Joshua terdiam, menatap Jason dengan tajam, lalu mengangkat bahunya,
“Oke aku pegang kata-katamu.” Gumamnya tak kalah tajam, lalu mundur dan setengah membanting pintu kamarnya itu, membuat Jason menatap dengan geli.
Sementara itu Kiara masih terdiam di sana agak bingung. Dua lelaki ini memang bersahabat, tetapi sepertinya mereka bersikap seperti anjing dan kucing. Kiara mengangkat bahu, lalu melangkah ke dapur, yah...dia kan perempuan, yang pasti dia tidak akan bisa memahani bagaimana persahabatan laki-laki.
***  
Malamnya, Joshua ikut bergabung bersama mereka untuk makan malam, lelaki itu sudah segar sehabis mandi, dan berpakaian rapi. Syukurlah. Kiara semula ketakutan kalau Joshua akan datang ke ruang makan dengan celana dan bertelanjang dada seperti kemarin.
“Sepertinya moodmu sudah baik.” Jason mengambil sepiring nasi dan memakannya dengan sup daging dan wortel buatan Kiara, caranya makan seolah begitu menikmati, tampaknya dia suka dengan apa yang dimakannya karena tiba-tiba Jason mengangkat matanya dan menatap Kiara – yang dipaksa untuk makan bersama – dengan tatapan puas dan menggoda,
“Enak Kiara, masakan rumahan memang paling enak, bahkan kokiku di rumah tidak bisa membuat makanan seenak ini. Rasanya sederhana tetapi murni, kurasa kokiku tidak bisa membuatnya karena dia terbiasa membuat rumit segala resep demi menunjukkan tekniknya.” Sambil menyuap sendok ke mulutnya Jason mengedipkan matanya, “Mungkin aku akan mensabotasemu dari rumah Joshua dan menjadikanmu tukang masak pribadiku.”
Pipi Kiara memerah mendengar pujian Jason yang dilemparkan secara langsung itu, dia menatap Jason dengan malu-malu,
“Terimakasih.” Gumamnya pelan, tiba-tiba merasa berdebar. Mimpi apa dia sehingga bisa makan bersama dengan dua lelaki yang sama-sama tampan ini?”
Joshua menyuap supnya, tetapi matanya menatap ke arah Jason dan kemudian berganti ke arah pipi Kiara yang merah padam. Jason telah menyebarkan rayuannya tentu saja, Lelaki itu memang perayu alami dan Kiara yang polos sepertinya telah tersihir oleh rayuan Jason,
“Jangan termakan rayuan Jason, Kiara.” Joshua bergumam lugas, memberi Jason tatapan penuh peringatan, “Aku sarankan kau hati-hati kepadanya, Jason memang perayu ulung yang tidak pandang bulu dan kau harus waspada.”
Pipi Kiara makin merah padam mendengarkan saran Joshua itu. Tetapi rupanya Jason malahan tertawa mendengarkan peringatan tentang dirinya yang diucapkan tetap di depan mukanya,
“Aku tidak akan mengganggu Kiara tentu saja.” Gumam Jason, mengedipkan sebelah mukanya kepada Kiara, “Kiara dan aku bersahabat, iya kan Kiara?”
“Iya.” Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya, meskipun dia tidak tahu bagaimana deskirpsi sahabat menurut Jason, mereka kan baru bertemu tadi pagi?
Joshua mencibir, menyuapkan sup itu ke mulutnya, dan dia kemudian menyadari kata-kata Jason. Sup buatan Kiara memang enak, rasanya ringan tapi penuh aroma. Tidak sia-sia Joshua menjadikan Kiara pelayannya, gumam Joshua dalam hati.
***
Ketika Kiara sedang mencuci piring di dapur dan Jason masuk ke kamarnya untuk berlatih biola lagi – mumpung Joshua sedang terbangun, katanya – Joshua berjalan ke arah ruang tengah dan duduk di sana, pekerjaannya hampir beres dan sepertinya akan tiba saat-saat dimana Joshua bisa sedikit bersantai.
Ponselnya berdering lagi, dan Joshua tidak bisa menahankan kemarahannya ketika melihat nomor di sana. Pengacara ayah kandungnya lagi! Kenapa mereka tidak pernah menyerah mengganggunya?
Karena tahu bahwa pengacara ayah kandungnya sangat gigih, Joshua akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu,
“Kenapa kau tidak berhenti menggangguku?” dia langsung menyapa dengan kasar, membuat pengacara tua di seberang itu tertegun,
“Aku tidak mengganggumu Joshua, aku hanya ingin menginformasikan kepadamu.”
“Menginformasikan apa?” rasa ingin tahu yang aneh menggelitik benak Joshua,
“Tentang ayahmu.” Pengacara ayah kandungnya berdehem, “Sebelumnya aku meminta maaf, selama ini aku berbohong kepadamu....” suara si pengacara tampak tersendat, “Aku selalu bilang bahwa ayahmu sakit dan sekarat serta menginginkanmu datang, sebenarnya itu hanya taktikku supaya aku bisa membujukmu datang kemari menengok ayahmu. Tetapi ternyata alasan itu tidak bisa meluluhkan hatimu, kau tetap keras dalam pendirianmu.” Suara si pengacara tampak menuduh, “Kenyataannya ayahmu sebenarnya sehat, meskipun jantungnya lemah karena usia, dia tidak dalam keadaan sekarat. Dan karena seluruh usahanya untuk membuatmu datang ke London tidak berhasil, beliau memutuskan untuk mengunjungimu ke Indonesia.”
Dasar tua bangka sialan. Joshua mengutuk, langsung mengeluarkan kata-kata kasar dalam benaknya, mengutuk ayah kandungnya dan pengacara liciknya yang sama-sama pembohong besar. Untung Joshua sama sekali tidak termakan oleh kebohongan itu dulu.
“Jadi si tua itu datang ke Indonesia?” Joshua bergumam sinis, “Apakah dia pikir aku mau menemuinya?”
“Ayah kandungmu sangat keras kepala, dia memutuskan akan datang mengunjungimu dan akan berangkat lusa segera setelah semua surat-suratnya beres, aku sudah mencegahnya mengingat penyakit jantungnya dan usianya, tetapi dia tidak mendengarkan aku.” Pengacara ayahnya menghela napas panjang, “Aku harap kau mau memberikan kesempatan untuk ayahmu, Joshua. Beliau sudah tua dan meskipun tidak sekarat, tetap saja penyakit jantungnya mengkhawatirkan.”
“Aku tidak peduli.” Joshua meradang lalu menutup ponselnya, memutus pembicaraan dengan kasar. Punya hak apa pengacara tua itu menyuruhnya mempedulikan kesehatan ayah kandungnya?  Kenapa pula dia harus peduli kepada seorang lelaki yang membuangnya begitu saja?
Sudah terlambat untuk menginginkannya sekarang. Joshua tidak akan membiarkan ayah kandungnya yang arogan itu mendapatkan apa yang dimauinya dengan mudah!
***
“Aku ingin kau besok siang ikut denganku.” Joshua muncul di ambang pintu dapur, menatap tajam ke arah Kiara yang sedang mengelap meja dapur sampai licin. Dia ingin semuanya bersih sebelum dia tidur nanti.
“Ikut kemana?” tatapan Kiara tampak bingung, bukankah Joshua biasanya tidur kalau siang?
Joshua tampaknya menyadari pertanyaan di benak Kiara,
“Aku tidak bekerja malam ini, jadi besok siang aku akan bangun. Kau ikut denganku aku akan membawamu.” Lelaki itu setengah membalikkan tubuhnya tak peduli.
“Ikut kemana?” Kiara mengulang pertanyaannya, buru-buru sebelum Joshua meninggalkan ruangan itu, kalau sampai tidak mendapatkan jawaban, mungkin Kiara akan tertidur malam ini dengan mata nyalang penasaran.
“Ke butik dan mall.” Joshua yang sudah membalikkan tubuhnya menatap Kiara setengah menoleh, “Kita akan berbelanja pakaian untukmu.” Dan kemudian Joshua pergi meninggalkan Kiara yang kebingungan.
Berbelanja pakaian? Apakah maksud Joshua seragam pelayan seperti yang dia lihat di buku-buku komik? Tapi apakah perlu memakai seragam?
Kiara tak henti-hentinya bertanya-tanya, bahkan sampai dia berbaring tidur di malam harinya
 
***
Rupanya Joshua serius dengan maksudnya, jam satu siang lelaki itu keluar dari kamarnya dan sudah berpakaian rapi, dia menatap tajam ke arah Kiara yang sedang membersihkan karpet dengan penyedot debu. Sementara itu Jason sedang menonton TV di ruang tengah, lelaki itu menoleh dan mengangkat alisnya melihat penampilan Joshua yang rapi.
“Mau pergi kencan?” godanya cepat.
Joshua menggelengkan kepalanya, “Bukan.” Matanya mengarah kepada Kiara, “Kenapa kau belum berganti pakaian?”
Karena Kiara mengira Joshua sudah lupa dengan ajakannya kemarin, atau lelaki itu sedang bercanda... tetapi ternyata lelaki itu serius.
“Sa... saya sedang membersihkan karpet...” jawab Kiara akhirnya.
“Tinggalkan itu, ganti bajumu, kita berangkat sekarang dan cepatlah!.” Gumamnya tegas tak terbantahkan, hingga Kiara terbirit-birit meletakkan pembersih debu di tangannya dan melangkah setengah berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Sementara itu, Jason yang masih duduk di sofa mengamati seluruh penampilan Joshua yang memilih berdiri, suaranya terdengar serius ketika berbicara, tidak penuh canda seperti yang ditampilkannya di depan Kiara,
“Apa yang sedang kau rencanakan, Joshua?” tanyanya datar dan menyelidik.
Joshua menatap ke arah kamar Kiara yang tertutup rapat dan kemudian menatap Jason tajam,
“Itu bukan urusanmu.”
Jason mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Apakah ini berhubungan dengan ayah kandungmu?”
Jason tentu saja tahu kisah tentang ayah kandung Joshua. Mereka memang bersahabat dekat karena memiliki kisah yang sama. Kiasah yang sama-sama tragis, mereka sama-sama dibuang oleh salah satu orang tua kandung mereka. Bedanya sekarang ibu kandung Jason yang jahat dan mata duitan telah mendekam di penjara, menerima ganjaran atas perbuatannya. Sedangkan ayah Joshua masih hidup dan seperti kata pengacara ayahnya tadi, masih lumayan sehat dan gigih mengejar apa yang dia mau, menjadi batu sandungan dan ganjalan bagi langkah Joshua.
“Ya.” Joshua mengangguk, percuma membohongi Jason, sahabatnya ini punya insting yang kuat, “Lelaki tua itu mau datang kemari.”
“Kemari?” Jason mengangkat alisnya, “Dia tidak mudah menyerah ya.”
“Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia mau, aku tidak akan pernah mengakuinya sebagai ayah di depannya dan membuatnya puas. Bagiku ayahku bukan dia.”
“Hati-hati Joshua.” Jason bergumam, “Sepertinya ayah kandungmu itu sama keras kepalanya denganmu, kalian sepertinya sama-sama berpegang kuat kepada pendirian kalian masing-masing.” Jason lalu melemparkan pandangannya ke arah kamar Kiara, “Dan akan kau gunakan sebagai apa Kiara nanti?”
Joshua tersenyum, senyum yang dalam dan penuh rencana,
“Kiara adalah tamengku. Tameng terbaik yang pernah ada. Alat pembalasan dendam yang paling hebat.”
Suara Joshua terdengar mantap, bergaung di ruang tengah apartemen itu.

Bersambung ke Part 8

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 13:14

Crush In Rush Part 6




PS : Untuk siapapun yang sedang begadang, semoga kisah ini bisa menemani minggu pagimu yang pasti indah :)
  Jason berdiri disana dengan senyum lebarnya dan tatapan mata tidak berdosanya, sama sekali tidak menyadari kalau Irvan hampir saja melotot melihat penampilannya.
Tentu saja, Kiara yang dikenal oleh Irvan pastilah tidak mungkin dekat dengan pria-pria berpenampilan elegan semacam ini. Kiara yang dikenal irvan sangat sederhana lugu dan pemalu, sangat bertolak belakang dengan lelaki tampan itu, yang dengan santainya melingkarkan lengannya di pundak Kiara.
Apakah lelaki ini majikan Kiara yang diceritakan sebagai pemilik apartemen tempat Kiara bekerja? Tetapi seorang majikan mana mungkin merangkulkan lengannya dengan akrab seperti itu? atau jangan-jangan lelaki ini pacar baru Kiara? Kalau begitu beruntung sekali Kiara bisa mendapatkan pacar lelaki yang jelas-jelas berasal dari kalangan atas itu.... tapi kalau begitu kenapa Kiara masih bekerja sebagai pembantu? Kalau memang pacarnya kaya bukankah Kiara tidak perlu bekerja lagi? Tiba-tiba pikiran buruk melintas di benak Irvan, berpikiran jangan-jangan Kiara berbohong padanya, Kiara pasti tinggal di apartemen itu bukan sebagai pembantu, mungkin dia bekerja sebagai simpanan!
Tiba-tiba Irvan merasa sedih dan tak yakin, merasa pedih kalau memang benar Kiara sampai jatuh di jurang kehinaan seperti itu... Yah bagaimanapun juga Irvan tahu hidup Kiara begitu pas-pasan sampai kadang Irvan merasa kasihan, dan godaan harta pastilah terasa begitu menarik....
***
Sementara itu Jason mengamati ekspresi Irvan yang berubah-ubah sambil menahan tawa. Ekspresi lelaki itu seperti buku yang terbuka, pertama-tama terlihat tercengang, lalu curiga, lalu marah dan terakhir sepertinya sedih. Jason berani bertaruh bahwa di benak lelaki ini pasti sudah dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang aneh-aneh tentang dirinya dan Kiara.
“Temanmu, Kiara?” dengan sopan Jason mengulurkan tangannya ke arah Irvan, matanya masih tetap menatap Kiara, menunggu jawaban. Apakah lelaki ini teman biasa Kiara, ataukah pacarnya? Kalau lelaki ini pacar Kiara, mau tak mau Jason harus berusaha menjelaskan keadaan sebenarnya kepada lelaki ini dan mengusir seluruh pikiran buruk di benak lelaki ini. Jason terbiasa melakukannya, banyak sekali pria yang cemburu kepadanya, yah mau bagaimana lagi, keadaannya memang seperti ini, bukan salahnya kalau dia bertampang mempesona bukan?
“Iya ini teman saya.” Kiara bergumam cepat, tiba-tiba merasa canggung, apalagi melihat keterkejutan yang begitu  nyata di mata Irvan karena Jason bersikap akrab kepada Kiara. Kiara tidak tahu kenapa Jason begitu mudah bersikap akrab, mungkin memang sudah wataknya begitu meskipun mereka baru bertemu tadi pagi.
‘Jason langsung menyela Kiara, “Sudah kubilang jangan menyebut ‘saya’ dan ‘anda’.” Gumamnya dalam tawa, lalu mengalihkan kembali tatapannya ke arah Irvan yang masih ragu menerima uluran tangannya, “aku Jason.”
Irvan menyambut uluran tangan Jason dengan sopan, mencoba tersenyum meskipun tatapan curiga masih tampak di sana,
“Saya Irvan, teman Kiara di cafe tempat Kiara dulu bekerja, cafe di seberang situ.”
Jason tahu cafe itu, dia memang belum pernah kesana, tetapi setiap dia mengunjungi Joshua dia melewatinya, dan Joshua sering bilang kalau dia terbiasa menghabiskan paginya di sana.
“Saya teman majikan Kiara, kebetulan saya bosan, jadi saya menguntit Kiara berbelanja di supermarket.” Lelaki itu tersenyum sopan kepada Kiara. “Aku akan naik duluan, mungkin kau ingin bercakap-cakap dengan temanmu itu?”
Jason rupanya berbaik hati, lelaki itu melangkah menjauh, berpura-pura sangat tertarik pada botol-botol bumbu yang tertata rapi di rak.
Kiara mengalihkan pandangan ke arah Irvan dan tersenyum meminta maaf,
“Aku harus naik dan memasak.” Gumamnya lembut, “Mungkin kita bisa bertemu nanti di sini ya...kalau tidak aku akan ke cafe.”
“Aku akan menunggu.” Irvan menunjukkan belanjaannya, “Dan aku juga harus cepat-cepat kembali. Kabari aku ya kalau kau sudah punya ponsel atau sudah bisa dihubungi.”
“Pasti.” Kiara tersenyum, menganggukkan kepalanya, lalu melambai ketika Irvan menggumamkan ucapan perpisahan dan pergi.
Tiba-tiba saja Jason sudah berdiri di sampingnya lagi, mengamati sosok Irvan yang menjauh,
“Pacar?” tanyanya lagi, kali ini ada nada menggoda dalam suaranya.
“Bukan, kami bersahabat di tempat kerja yang dulu.” Pipi Kiara merah padam. Tentu saja Irvan adalah sahabatnya, Kiara selalu memandang Irvan sebagai orang yang baik, tidak pernah sedikitpun terlintas di benak Kiara untuk berpikiran lebih apalagi menyangkut asmara terhadap lelaki itu.
Jason melangkah menjajari langkah Kiara menuju kasir, dan kemudian bergumam lembut,
“Hati-hati Kiara, aku laki-laki, dan aku bisa membaca jika ada seorang laki-laki yang memendam cinta. Kalau kau memang tak bisa memberi lebih, jangan pernah memberi harapan kepada mereka.” Setelah berkata begitu, dengan santai Jason melenggang mendahului Kiara melewati kasir dan menunggu di depan supermarket, membuat Kiara mengernyitkan keningnya.
Apa maksud Jason berkata seperti itu? dan siapa yang dimaksud Jason dengan lelaki yang memendam cinta?
***
Apartemen masih tetap sepi ketika mereka pulang, dan kamar Joshua masih tertutup rapat. Ketika melangkah masuk, Jason dan Kiara saling melempar pandang, lalu mengangkat bahu. Yah bagaimanapun juga gaya hidup Joshua yang terbalik dan seperti vampir itu harus dimaklumi. Apalagi dia bosnya, pemilik apartemen ini, Kiaralah yang harus menyesuaikan diri dengan gaya hidup Joshua.
Cuma dia tidak mengira akan ada lelaki lain yang tinggal di sini, dengan gaya hidup yang berbeda pula. Kiara menatap Jason,
“Anda ingin makan siang apa?”
Jason mengangkat bahunya lalu melangkah ke arah kamarnya, “Apa saja, aku pemakan segalanya. Aku akan berlatih dulu ya, panggil aku kalau makanan sudah siap.”
Berlatih? Kiara tiba-tiba teringat akan kotak biola dari bahan kulit keras yang dibawa Jason kemarin. Lelaki itu pasti pemain biola.
Setelah Jason masuk ke kamarnya, Kiara bergegas  ke dapur dan membongkar belanjaannya. Uang belanja yang diberikan oleh Joshua banyak sekali, dan dengan uang itu Kiara bahkan bisa membeli bahan makanan untuk satu minggu. Dia memenuhi kulkas dengan berbagai macam sayur mayur, buah dan berbagai bumbu. Untuk persediaan daging, ikan dan telur, Kiara meletakkannya di tempat khusus di atas.
Setelah selesai mengatur semuanya, Kiara menatap kulkas yang penuh itu sambil tersenyum puas. Ini benar-benar seperti di sinetron-sinetron yang pernah dilihatnya, kulkas yang penuh bahan makanan, tak perlu mencemaskan akan makan apa esok hari.
Sambil bersyukur, Kiara mulai mengambil bahan-bahan masakannya, dia akan menyiapkan makan siang untuk Jason sekaligus menyiapkan makan malam untuk Joshua. Untuk makan siang, dia akan membuat yang ringan saja, karena toh mereka akan makan tanpa Joshua. Kalau makan malam, Kiara akan membuat menu yang sedikit berat karena mereka semua akan makan malam.
Kiara memasak nasi, kemudian memutuskan untuk membuat ayam goreng saus inggris. Bumbunya sangat mudah dan tinggal menyiram ayam yang sudah digoreng renyah dengan saus inggris. Tiba-tiba Kiara merasa sangat bahagia, dia sangat suka memasak, di panti asuhan dulu, Kiara selalu kebagian tugas mengurusi dapur, memasak makanan untuk anak-anak panti. Mereka semua bilang masakan Kiara enak, dan memasak untuk anak-anak panti bukanlah suatu beban untuk Kiara, dia bahagia melakukannya. Bahkan dulu dia sempat membuat kliping dari berbagai resep masakan yang diambil di tabloid-tabloid langganan ibu panti. Dia akan menggunting setiap resep dengan hati-hati, dan menempelkannya di buku besar yang dia miliki, buku itu hampir penuh, seluruh isinya adalah resep makanan. Kiara suka membalik-balik kliping buku resep itu, membacanya dengan harapan dia akan bisa mempraktekkannya suatu saat nanti.
Tetapi ternyata takdir berkata lain, Kiara harus meninggalkan panti karena hal yang tidak menyenangkan itu, dan dia terpaksa meninggalkan kliping buku resepnya karena terlalu berat untuk dibawanya.
Ah... kenangan buruk itu. Dengan cepat Kiara mencoba menghapuskannya. Itu semua masa lalu. Pada akhirnya Tuhan telah begitu baik kepadanya, membuatnya sampai di titik ini.
Kiara menata ayam goreng yang tampak renyah keemasan itu di piring saji, dia lalu mengambil saus yang sudah dibuatnya dengan rempah-rempah dan tentu saja bahan utamanya saus inggris yang harum dan khas, lalu menuang saus itu ke atas ayam. Ayam itu akan menyerap saus itu sampai ke dalam, hingga rasanya khas.
Kiara menatap puas ke arah masakannya, lalu dia menengok nasi nya yang sudah matang.
Kiara lalu teringat kalau Jason minta dipanggil kalau masakan sudah siap. Dengan tenang, Kiara melangkah keluar kamar, hendak mengetuk kamar Jason dan memanggilnya.
***
”Bawakan aku oleh-oleh yang banyak.” Jason memasang wajah cemberut sambil memandang ke arah  layar, Adiknya yang sedang video chat bersamanya kini ada di belahan bumi yang lain, sedang menghabiskan masa bulan madunya bersama suaminya di sana.  wajah Keyna, adiknya di sana  sedang tertawa. Yah setelah menikah dengan Davin sahabatnya, Keyna makin tampak ceria dan bahagia, Jason sangat beryukur akan hal itu. Kebahagian adiknya membuatnya tenang, dan juga, adiknya telah dijaga oleh sahabatnya yang terbaik.
“Pasti kakak, kami baru akan pulang minggu depan.” Keyna menatap ke background gambar Jason yang sedang bercakap-cakap dengannya, “Itu bukan kamarmu, kau ada dimana kakak? Benarkah apa yang dikatakan mama kalau kau sedang pelatihan musik dan harus dikarantina?”
Jason terkekeh, mama yang mereka bicarakan ini adalah mama angkat mereka, meskipun begitu Jason dan Keyna sangat menghormati mama angkat yang ini, lebih daripada ibu kandung mereka yang telah membuang mereka, dan bersikap jahat kepada mereka yang menyebabkan sang ibu kandung dipenjara sampai sekarang.
“Aku melarikan diri dari mama.” Jason tertawa, “Kau tahu sendiri kan, sejak kau menikah dia mengejar-ngejarku untuk menyusulmu, dia bahkan sudah menyiapkan calon isteri untukku, anak dari nyonya Andrew sahabat mama.”
“Dia cantik.” Keyna tertawa di layar, “kenapa kau tidak mencobanya kakak?”
“Karena aku tahu pasti kalau hatinya tidak cantik.” Mata Jason tampak dingin, yah bukankah semua perempuan mau kepadanya karena wajahnya yang tampan dan kekayaannya?
Keyna menatap ekspresi Jason dan tiba-tiba merasa sedih menyadari bahwa  kakaknya ini belum lepas dari  kebencian dan prasangkanya terhadap perempuan. Ibu kandung mereka memang jahat, egois dan tega membuang mereka demi keuntungan pribadinya, tetapi seharunya Jason bisa menyadari bahwa tidak semua perempuan sejahat ibu mereka. Keyna tidak sabar menunggu saatnya ada perempuan yang bisa membuat kakanya tersadar.
Tiba-tiba layar di depan Jason tampak bergoyang, Jason mengerutkan keningnya ketika ada wajah Davin, suami Keyna sekaligus sahabatnya yang muncul di sana.  
“Minggir Davin, aku sedang bicara dengan adikku.” Gumamnya dengan ketus.
Davin mengangkat alisnya,
“Kau sudah berbicara terlalu lama dengannya. Ini bulan madu kami jadi maaf aku menginterupsi.” Mata Davin bersinar jahil dan penuh tawa, “Bye Jason.”
Lalu tiba-tiba saja layar gelap dan Keyna sudah log out.
Jason menatap layar komputer dengan kesal, tetapi kemudian merasa geli. Davin memang sangat posesif kepada Keyna... dan Jason memang sengaja mengganggu bulan madu mereka dengan sengaja mengajak Keyna mengobrol lama-lama.
Lama kemudian, Jason masih menatap layar komputer yang kosong itu. Dia lalu mengehela napas panjang dan berdiri, meraih biolanya.
Keyna memintanya mencoba memberi kesempatan kepada perempuan. Tetapi Jason tumbuh dengan kebenciannya yang luar biasa kepada perempuan. Dia sangat benci kepada ibu kandungnya, semua perempuan sama saja, semuanya penipu, jahat, licik dan hanya mengincar harta. Perempuan itu iblis, yang menggunakan kekuatan pesonanya untuk menjatuhkan lelaki ke dalam jeratnya sebelum kemudian melemparnya ke penderitaan. Well bukan semuanya mungkin, adiknya Keyna dan mama angkatnya masuk ke dalam pengecualian.
Jason tidak akan pernah jatuh ke dalam pesona perempuan manapun. Dia akan lebih dulu menyakiti dan menghancurkan perempuan sebelum mahluk itu menghancurkannya.
Diraihnya biolanya, dan setelah memejamkan mata dan menghela napas, dia memainkannya. Nada yang keluar adalah nada yang menyanyat sekaligus mengancam, ungkapan kebencian Jason kepada mahluk bernama perempuan di muka bumi ini.
Jason benci sekali, sangat benci!
***
Kiara mendengarkan musik itu ketika melangkah ke ruang tengah. Berarti betul dugaannya, Jason sedang berlatih memainkan biola.
Langkah Kiara mendekat ke arah kamar Jason, tiba-tiba merasa merinding mendengarkan lagu yang dimainkan di sana.
Ini bukanlah jenis musik romantis yang dimainkan orang direstoran ketika seorang lelaki memutuskan melamar kekasihnya, ini juga bukan musik yang menyayat hati dan penuh kesedihan..... ini lebih seperti... kemarahan...
Kiara mengerutkan keningnya dan melangkah ke arah kamar Jason yang setengah terbuka, musik itu terdengar makin jelas di sana. Dari pintu yang terbuka, Kiara melihat Jason yang sangat serius memainkan biolanya, matanya terpejam dan mulutnya merapat. Dan seperti nada musik yang dimainkannya, ekspresi Jason benar-benar penuh kemarahan, seolah-olah ada bara kemurkaan yang siap meledak di sana.
Kiara jadi ragu untuk mengetuk pintu dan memberitahukan keberadaannya... dia hanya berdiri mematung di situ, mengamati ekspresi Jason dan musiknya yang makin bergolak akan kemarahan... sampai kemudian mata Jason yang indah membuka dan kemudian langsung menatap Kiara dengan tajam.
bersambung ke part 7

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2013 11:48

May 16, 2013

Menghitung Hujan Part 13


Kalimat-kalimatmu seindah hujan di pagi hari, sehalus ungkapan hati yang tak bertepi.Dan hatiku hanyalah setetes embun sisa hujan di malam hari, menggayutkan mimpi bisu, menunggu matahari mengeringkannya.Hanya.....Ragaku sendiri bukan raga yang sama, dan cintaku sendiri bukan cinta yang mudah.Akankah aku bisa membuatmu bertahan.Atau haruskah aku memendam perih lagi,Menatap punggungmu yang berlalu dan kemudian pergi?
 
 “Mungkin saya akan menjelaskan tentang orangtuamu sebelumnya, Diandra.” Ibu Dewi tersenyum lembut, meminta Diandra untuk bersabar, “Saya harap itu bisa membantumu menerima semuanya nanti.”
Diandra hanya bisa menganggukkan kepalanya menunggu, meskipun hatinya penasaran setengah mati.
“Tidak seperti anak-anak lain kebanyakan di sini, sebenarnya kau cukup beruntung. Sebagian besar yang ada di sini merupakan anak buangan, tidak bisa melacak asal usulnya lagi, benar-benar tidak bisa menemukan asalnya. Tetapi aku bisa memastikan asal-usulmu.” Ibu Dewi melanjutkan, “Orangtuamu sebenarnya sangat menyayangimu,  mereka memang tidak kaya tetapi mereka berusaha mencukupimu, itulah yang kutangkap dari petugas dinas sosial ketika mengantarkan bayimu kemari, sayangnya umur mereka tidak panjang dan mereka tidak punya sanak keluarga, sama-sama sebatang kara. Karena kejadian itu, para tetangga menemui dinas sosial dan diputuskan untuk menitipkanmu di sini. ”
“Orang tua saya sudah meninggal?” Diandra merasakan dadanya ditonjok keras-keras. Meskipun sudah menduga hal ini sebagai kenyataan yang paling buruk, tetap saja informasi ini menghentak batinnya.
“Ya Diandra, maafkan saya harus menceritakan kenyataan ini kepadamu. Tetapi setidaknya kau bisa merunut asal-usulmu, kau bukan anak buangan yang tidak jelas siapa asal usulnya. Mereka mengalami kecelakaan dan meninggal, saat itu usiamu tiga bulan, dan kau selamat dari kecelakaan itu.”
Ibu Dewi lalu berdiri, dan melangkah ke laci besi besar yang ada di sudut ruangan,
“Sebentar, sepertinya arsip lamapun masih tersimpan dengan rapi di sini.” Perempuan setengah baya itu tersenyum, “Saya selalu menjaga setiap arsip sebaik mungkin supaya ketika ada yang datang dan bertanya saya bisa membantu.”
Diandra dan Axel saling bertukar pandang, Axel yang mengetahui kesedihan yang menohok hati Diandra mengulurkan jemarinya dan meremas jemari Diandra dengan lembut, Diandra mendongakkan kepalanya dan menatap Axel, lalu tersenyum.
Meskipun pahit, Diandra bersyukur ada Axel yang mendampingi dan menopangnya di sini.
Memerlukan beberapa menit untuk mencari arsip lama itu, sampai kemudian Ibu Dewi mengeluarkan sebuah map yang berwarna biru dan membawanya ke meja.
“Ini arsip tentangmu Diandra, di sana ada foto dan nama orang tua kandungmu.”
Jemari Diandra bergetar ketika menerima map itu, dan kemudian dia membukanya. Matanya terpaku pada copy akte kelahiran lamanya, yang kertasnya sudah menguning dimakan usia.
Namanya Diandra, sama seperti namanya sekarang, rupanya orangtuanya... orangtua angkatnya memutuskan untuk tidak mengganti namanya.
Kemudian matanya menatap foto itu, foto yang tak kalah tuanya.... di sana ada ibu kandungnya yang sedang menggendongnya dalam senyuman, juga ayahnya yang merangkul ibunya.....
Kemudian Diandra mengernyit, di dalam foto itu, ayahnya merangkul anak lain.
Diandra mengangkat matanya dan menatap ke arah Ibu Dewi dengan berlumur pertanyaan.
Ibu Dewi juga menatap foto itu, lalu menghela napas panjang,
“Ya Diandra, kabar yang waktu itu membuatku menghubungi orangtuamu, kabar itu menyangkut kakakmu. Kau mempunyai seorang kakak,  anak di dalam foto itu adalah kakakmu.”
Wajah Diandra langsung pucat pasi dan kebingungan. Axel meremas tangannya lembut, dan jemari Diandra yang menatap foto itu makin bergetar.
Dia... punya seorang kakak?
***

“Nana?” Reno memanggil dengan lembut, berusaha mengetuk pintu itu dengan pelan. Dia sudah memencet bel yang ada di samping pintu, tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Suasana tetap hening, membuat Reno bertanya-tanya dalam hatinya, apakah jangan-jangan Nana tidak ada di sini? Kalau Nana tidak ada di sini,  kemana lagikah Reno harus mencari Nana?
Lalu gerakan itu terdengar, suara langkah kaki yang lemah mendekati pintu. Harapan Reno langsung melambung tinggi.
“Nana, itukah kau sayang?”
Hening yang lama, kemudian suara Nana yang lemah menyahut dari dalam,
“Aku belum ingin berbicara denganmu, Reno.”
Reno menghela napas panjang, tahu pasti bahwa Nana akan sangat marah kepadanya,
“Nana... bagaimanapun juga kita harus berbicara.” Reno mendekatkan dirinya di depan pintu, “Izinkan aku masuk dan kita akan berbicara.”
“Tidak.” Nana menyahut tegas, dan tiba-tiba saja hati Reno terasa sakit. Apakah Nana tidak memperbolehkannya masuk karena marah akan kebohongannya, ataukah karena Nana tidak ingin kehadirannnya menodai kenangannya bersama Rangga?
“Kita harus bicara Nana, semarah apapun kau kepadaku, kau harus menghadapinya. Aku memang bersalah karena tidak menjelaskan semuanya kepadamu sebelumnya. Buka pintunya untukku Nana, aku mohon.”
Lama sekali tidak ada jawaban hingga Reno memutuskan untuk menyerah dan berbalik pergi, menerima kenyataan bahwa Nana mungkin belum siap untuk bicara kepadanya.
Setidaknya dia cukup lega mengetahui Nana berada di mana, dan bahwa kondisi Nana baik-baik saja....
Detik yang sama, ketika Reno memutuskan untuk pergi, terdengar suara handel pintu dibuka. Reno menunggu dengan penuh harap, dan pintu itupun akhirnya terbuka.
Nana berdiri di sana, menatapnya dengan mata sembab. Perempuan itu pasti sudah menangis begitu kuatnya. Tiba-tiba saja hati Reno terasa mencelos, perih. Dialah yang telah menyebabkan Nana menangis sampai seperti ini.
“Boleh aku masuk?” Tiba-tiba saja jantung Reno berdebar, mengantisipasi jawaban Nana.
Sebagai jawaban, Nana memundurkan tubuhnya dan memberikan kesempatan kepada Reno untuk masuk,
Reno melangkah memasuki ruangan itu, matanya mengitari seluruh ruangan. Udaranya masih terasa pengap, mungkin karena sudah sejak lama ruangan ini tidak dibuka. Tetapi Nana sepertinya sudah membuka tirai dan jendela sehingga sirkulasi udara segar sudah masuk, dan karena di luar sedang hujan, suasananya terasa sangat khas, suasana sendu yang kelabu.
Mata Reno melirik ke arah sofa besar yang sepertinya sengaja diarahkan supaya menghadap ke jendela. Dan tiba-tiba saja Reno tahu, dia tahu bahwa Nana dan Rangga sering menghabiskan waktu dengan duduk di sana, menghitung hujan bersama-sama.
“Boleh aku duduk?”
Nana menganggukkan kepalanya, kemudian memimpin langkah Reno menuju ke sofa lain, sofa yang berhadapan di bagian depan ruangan khusus untuk tamu. Reno kemudian duduk dan Nana mengambil tempat di seberangnya, membuat hati Reno sakit karena Nana memperlakukannya seperti orang asing.
“Pertama-tama aku ingin minta maaf Nana, maafkan aku karena menyimpan semua kebenaran ini darimu, maafkan aku karena membohongimu dan memilih untuk tidak mengungkapkannya sejak awal mula.....”
“Kau membohongiku.” Nana menyela, menatap Reno dengan mata penuh tuduhan dan Reno sendiri bahkan tidak bisa menyangkalnya, matanya menatap Nana dengan sedih,
“Memang, aku berbohong kepadamu, tetapi Nana, menurutmu apa yang harus kulakukan? Mana mungkin aku mendatangimu dan kemudian mengatakan, ‘Hai aku Reno, kau tahu tidak, aku menerima transplatasi jantung, dan coba tebak, jantung yang kuterima adalah jantung kekasihmu yang sudah meninggal.’ Tidak mungkin aku berkata begitu bukan?” Reno mengernyit, ekspresi wajahnya tampak kesakitan.
Nana tertegun, berusaha menelaah seluruh kata-kata Reno dan kemudian, mau tak mau dia menyadari kebenaran kalimat Reno. Tetapi bukankah setelah pertemuan mereka, dan kedekatan mereka kemudian, ada banyak sekali kesempatan bagi Reno untuk mengungkapkan kebenaran itu? bahkan Nana mengajak Reno ke makam Rangga bukan? Itu sebenarnya adalah momen yang tepat bagi Reno untuk bercerita.
“Aku tahu, kau pasti berpikir kenapa aku tidak mengungkapkannya lebih cepat, bahkan di saat kita begitu dekat dan bersama-sama.” Reno meremas rambutnya dengan frustrasi, “Aku bingung.”
Nana menatap Reno, dan kemudian mau tak mau matanya melirik ke arah dada kiri Reno.... menyadari bahwa di dalam situ ada jantung Rangga yang sedang berdetak di sana...
Oh Tuhan, kenapa kisah cintanya bisa sepelik ini?
Reno melirik ke arah Nana kemudian tersenyum pahit, jemarinya meraba dada kirinya, menghela napas panjang,
“Aku benar-benar kebingungan. Aku takut kalau aku mengungkapkan semuanya, kau akan bereaksi seperti ini, menjauh dariku dan pergi. Pada akhirnya aku memilih bersikap pengecut dengan tidak memberitahumu, mengulur-ngulur waktu dan berusaha menikmati kebersamaan kita, aku salah, maafkan aku.”
“Pengetahuan ini mengubah segalanya.” Ekspresi Nana tampak tegas, “Membuatku menyadari bahwa mungkin saja yang kucintai bukan dirimu, tapi Rangga. Aku mencintaimu karena melihat Rangga di dalam dirimu.”
Wajah Reno tampak pucat pasi ketika mendengar kata-kata Nana. Tentu saja. Kemungkinan itu selalu terlintas di benaknya, membuatnya selalu bertanya-tanya, menebak-nebak apakah Nana mencintainya, ataukah Nana mencintainya hanya karena jantung ini ada di dalam tubuhnya? Tetapi pada akhirnya Reno menyerah pada perasaannya,
“Aku tidak peduli. Satu hal yang harus kau tahu pasti, aku tidak peduli Nana. Jantungku ini meneriakkan namamu, tetapi bukan hanya itu, jiwaku ini, pikiranku ini, semuanya hanya berisi tentangmu, mungkin dulu aku tertarik kepadamu karena jantung ini, tetapi kau harus tahu, bahwa kemudian, ketika aku mengenalmu, semakin dalam dan semakin dekat, aku benar-benar mencintaimu, bukan hanya jantungku tetapi seluruh diriku, jiwa dan ragaku. Dan kalau kemudian kau hanya mencintai jantung ini, bagiku itu cukup. Cintaku kepadamu terlalu besar, cukup untuk menanggungkannya.”
Reno menatap Nana, berusaha membaca ekspresi Nana, tetapi perempuan itu hanya memasang ekspresi kosong. Dia kemudian melanjutkan.
“Kau tahu, aku sering berpikir, kalau kisah tentangku ini ditulis dalam bentuk buku, aku yakin bahwa aku akan dipandang sebagai tokoh antagonis, sebagai sosok yang dihujat semua orang... karena sikapku yang egois, meninggalkan tunanganku begitu saja, tunangan yang begitu setia dan tidak salah apa-apa.” Reno menghela napas panjang, “... aku tahu bahwa apa yang kulakukan memang tampaknya tidak bisa dijelaskan oleh nalar bagi kebanyakan orang... terlalu pelik, yang terlihat hanyalah keegoisanku, melukai hati orang lain hanya untuk mendapatkan yang kuinginkan.” Lelaki itu menyandarkan tubuhnya di sofa dan tampak pasrah, “Tetapi beginilah aku, inilah aku apa adanya, Reno yang jahat dan egois, Reno yang tak punya hati, meninggalkan tunangannya, menyakitinya sedemikian rupa tanpa alasan logis, hanya untuk mengejar perempuan yang didebarkan oleh jantungnya. Beginilah diriku Nana... entah kau menerimanya atau tidak. Aku Reno dan ada jantung Rangga di dalam tubuhku dan yang paling penting, aku mencintaimu.”
Nana tertegun mendengar ungkapan perasaan Reno itu, dia merasakan dadanya sesak, air matanya yang memaksa mengalir, membuat matanya terasa panas. Tetapi kemudian Nana menggelengkan kepalanya,
“Tetap saja semua ini tidak adil untukmu Reno. Semula aku berpikir bahwa aku bisa beranjak dari Rangga dan kemudian membuka hati untukmu, tetapi ternyata aku salah. Aku kembali lagi kepada Rangga, aku ternyata tidak pernah beranjak darinya, dan aku tak akan membiarkanmu merelakan diri sebagai pengganti Rangga.” Nana menghela napas panjang, sebutir bening mengalir dari sudut matanya, ke pipinya, “Pergilah Reno jalani kehidupanmu sendiri, kau memang membawa jantung Rangga tetapi kau bukan Rangga, kau adalah Reno. Kau harus bisa memisahkan kenangan lama dan kenangan baru. Aku yakin Reno memiliki cinta sejati yang ada di hatinya, dan aku yakin, jantung Rangga akan bisa mengikuti hati Reno dan kemudian menjadi jantung Reno.”
Wajah Reno makin pucat dan ekspresinya tampak kesakitan, seolah-olah Nana telah menorehkan garam di lukanya yang menganga,
“Aku pikir kau mengerti.... aku pikir kau yang paling mengerti...” senyum Reno tampak miris, menahankan kepedihannya, “Ternyata kau sama saja seperti yang lain, kau tidak mengerti atau mungkin kau tidak mau mengerti.” Reno tertawa pahit, dan kemudian beranjak berdiri, “Kurasa aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, kurasa aku memang ditakdirkan hanya untuk menyakiti orang lain dan kemudian melukai diriku sendiri. Kau akan mendapatkan yang kau mau Nana, dunia tanpa aku di dalamnya, dan aku akan membawa jantung Rangga pergi bersamaku.”
Tanpa menunggu jawaban Nana, Reno membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Nana dalam keheningan yang menyesakkan dadanya.
***
Sepeninggal Reno, Nana berpindah, duduk di sofa kesayangan itu sambil menatap tetes-tetes hujan yang mulai reda.
Ini yang terbaik, gumamnya meyakinkan dirinya sendiri. Suatu saat nanti Reno pasti menyadari bahwa apa yang diputuskan oleh Nana ini adalah demi kebaikannya.
Reno berhak menemukan perempuan yang mencintai dirinya yang sebenarnya, bukan perempuan yang bahkan tidak tahu siapa yang dicintainya sekarang.
Meskipun entah kenapa dadanya terasa sakit, perih dan sesak, seperti patah hati.
Nana mendesah, menyandarkan tubuhnya di sofa....
Lalu tiba-tiba kalimat terakhir Reno sebelum pergi terngiang di kepalanya, muncul begitu saja.
Kau akan mendapatkan yang kau mau Nana, dunia tanpa aku di dalamnya, dan aku akan membawa jantung Rangga pergi bersamaku......
Firasat buruk langsung menyergapnya begitu saja, membuatnya duduk tegak dengan mata membelalak, jantungnya langsung berdebar.
Dan kemudian, dengan langkah cepat, Nana meraih jaketnya dan berlari tergesa keluar apartemen, napasnya terengah dan air matanya mengalir.
Reno!
Nana memanggil, dengan seluruh kengerian yang menyelimuti benaknya.
***  

Reno mengemudikan mobilnya di jalanan yang sepi dan berliku itu, matanya basah, basah karena sakit dan patah hati.
Jantungnya berdenyut kencang, menyakitkannya.
Reno melirik ke arah dadanya dan kemudian tersenyum pahit,
Kau tidak mau mati lagi bukan Rangga? Aku sebenarnya juga. Tetapi buat apa kita bertahan kalau kita sudah tidak diinginkan?
Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, seberapapun putus asa menderanya, Reno memang tidak ingin mati. Dia sudah pernah merasakan bagaimana hidup tanpa harapan untuk bertahan, berdoa setiap malam supaya diberikan kesempatan menjalani hidup lebih lama, lebih panjang.
Dan Reno tidak akan pernah membuang kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya, dia tidak mau menjadi orang yang tidak tahu bersyukur, dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Meskipun terasa sakit, Reno akan bertahan. Meskipun jantung yang menjadi penyelamatnya ini membawanya kepada kisah cinta yang pelik, Reno akan berjuang. Mungkin saat ini dia kalah, tetapi bukan berarti dia menyerah.
Ketika benaknya berkelana, tiba-tiba saja dibalik tirai hujan, muncul sesosok mahluk kecil berkaki empat, mungkin kucing, yang tiba-tiba saja melompat ke jalan.
Reno kaget, dia membanting stir ke samping, malangnya karena jalanan licin, bannya selip dan Reno kehilangan kendali atas mobilnya.
Suara berdecit yang keras terdengar, dan suara tubrukan yang menggetarkan telinga menyusul kemudian.

Bersambung ke Part 14
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 16, 2013 04:25

May 15, 2013

Menghitung Hujan Part 12



 


...Itu untukku..itu bukan untukku...Dia untukku...dia bukan untukku...       “Aku mengetahuinya tanpa sengaja. Beberapa waktu yang lalu.” Axel menatap Diandra lembut, setelah lama akhirnya Diandra bisa sedikit tenang dan mendengarkan Axel, “Waktu itu ayah dan ibumu sedang berbicara dengan nenek di dalam, mereka membicarakan tentang adopsimu dan sebuah kabar dari panti asuhan tempatmu dulu di adopsi.... mereka tampak cemas... “ Axel menghela napas panjang, “Tentu saja aku terkejut luar biasa, aku kemudian diam-diam pergi  sehingga sampai sekarangpun, mereka tidak tahu bahwa aku tahu.”
Diandra terdiam menatap Axel, tiba-tiba merasa ingin tahu. Laki-laki ini, yang seumur hidupnya dianggap sebagai kakak kesayangannya, sepupunya yang paling dekat.... menciumnya. Apakah yang ada di benak Axel?
Axel rupanya sadar bahwa Diandra sedang menebak-nebak perasaannya, dia tersenyum dengan rasa bersalah yang kental, “Maafkan aku... sejak aku mengetahui kenyataan itu, aku.... aku melihatmu dengan cara berbeda, perasaanku tidak sama lagi, terlebih aku melihat betapa setianya kau merawat Reno... betapa kau akan menjadi isteri yang sempurna....dan betapa irinya aku kepada Reno.” Mata Axel bersinar redup, “Aku mencintaimu Diandra., mungkin aku terlambat menyadarinya, mungkin keadaan kita rumit karena bagaimanapun juga, secara hukum dan dalam pandangan masyarakat, kau adalah saudara sepupuku. Tetapi aku bahkan sudah berjanji dalam hati... waktu Reno masih sakit keras itu, dan waktu aku yakin bahwa usia Reno tidak akan lama lagi, aku berjanji dalam hatiku, ketika Reno meninggal nanti, aku bersedia menjadi penopangmu, akan kuserahkan dirimu untuk membahagiakanmu.”
Kali ini Axel tidak menutup-nutupi perasaannya lagi, dia menatap Diandra dengan tatapan yang lembut, penuh cinta yang meluap-luap, membuat Diandra merona dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ah. Apakah yang diharapkan Axel darinya? Diandra masih merasa canggung, masih merasa bingung, Dia tidak mungkin menumbuhkan perasaan itu, ini terlalu mendadak apalagi seumur hidupnya dia tumbuh dengan menganggap Axel sebagai saudaranya..... meskipun apa yang akan terjadi nanti, Diandra tentu saja tidak mengetahuinya.
“Aku tidak mengharapkan apapun darimu Diandra, aku tidak akan memaksamu membalas cintaku.” Axel sekali lagi, seolah bisa membaca apa yang berkecamuk di benak Diandra, “Sudah cukup bagiku bisa mencintai dan menyayangimu...” Lelaki itu lalu menghela napas panjang, “Kurasa itulah yang mendorongku untuk menemui Nana dan menjelaskan semuanya tanpa seizinmu. Ketika kau menceritakan semuanya aku merasa begitu marah kepada Reno, dia menyia-nyiakanmu, dia sungguh tidak menyadari betapa beruntungnya dirinya itu, maafkan aku Diandra atas sikap impulsifku.”
Diandra menatap Axel ingin tahu,
“Bagaimana reaksi Nana ketika kau menjelaskan semuanya?”
Axel mengangkat bahunya, “Dia terkejut luar biasa tentu saja, kurasa dia bahkan tidak pernah menduganya sama sekali, dan dia juga tidak tahu kalau kekasihnya mendonorkan jantungnya. Kurasa aku sedikit merasa kasihan kepadanya, Reno sama sekali tidak mengatakan apapun kepadanya, dia juga tidak tahu tentang dirimu.”
Tatapan mata Diandra menerawang, rasanya sakit ketika mengingat betapa Reno marah kepadanya tadi. Nana pergi... entah kemana. Diandra menghela napas panjang. Mungkin ini yang seharusnya terjadi, mungkin ini sudah diatur Yang di Atas sebelumnya, bahwa Nana harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya, bahwa Reno tidak bisa lama menyimpan seluruh kebenaran itu dari Nana.
Pikiran Diandra tiba-tiba teralihkan oleh sesuatu,
“Axel... kau bilang  pada waktu kau tahu bahwa aku anak angkat, kau mendengar mereka membicarakan tentang panti asuhanku.”
“Ya. Aku tidak tahu mereka membicarakan apa, yang aku tahu mereka menyebut-nyebut nama panti asuhanmu dan nama ibu pengurusnya, kalau tidak salah ibu Dewi, dan mendiskusikan sesuatu, aku rasa mereka sedang berdebat apakah mereka akan memberitahumu atau tidak.”
“Memberitahuku tentang apa?” Diandra tampak sangat tertarik, tetapi Axel menatapnya dengan menyesal,
“Aku tidak tahu Diandra, aku terlambat mencuri dengar, mungkin mereka ingin memberitahumu bahwa kau bukan anak kandung mereka?”
Kata-kata Axel itu, walaupun diucapkan tanpa maksud melukai hatinya, tetap saja membuat hati Diandra serasa diremas-remas. Axel menatap Diandra dan wajahnya tampak sedih,
“Maafkan aku Diandra, aku harap hal ini tidak membuatmu sedih, seperti yang aku bilang anak angkat atau bukan, kau tetap anak kesayangan orangtuamu, mereka mengasihimu seperti anak mereka sendiri. Dan dengan menjadi anak angkat, bukan berarti derajatmu turun, Diandra.”
Diandra menghela napas panjang,
“Tetapi bahkan aku tidak tahu asal usulku sendiri.”
“Kau tidak perlu terus-terusan menoleh ke masa lalu, bukankah yang terpenting adalah masa sekarang? Diandra yang sekarang adalah hasil didikan kasih sayang orangtuamu, tidak peduli darimana asal-usulmu.”
Diandra menggelengkan kepalanya,
“Tetap saja itu menjadikan sebuah lubang besar di hatiku.” Mata Diandra tampak pedih, membuat Axel ingin memeluknya dan mengambil semua kepedihan itu, “Axel, apa nama panti asuhan tempat aku diadopsi?”
Axel tampak ragu, “Kuarasa itu bukan keputusan bagus Diandra, mengorek-ngorek masa lalu hanya akan menambah luka batinmu.”
Diandra sekali lagi menggelengkan kepalanya, menatap Axel penuh tekad,
“Aku harus mengetahui asal-usulku Axel, kalau tidak aku akan hidup dengan bertanya-tanya, kenapa orang tua kandungku membuangku, kenapa aku berakhir di panti asuhan, anak siapakah aku?” Dia menatap Axel dengan tatapan mata mengancam, “Kalau kau tidak mau memberitahuku, aku akan mencari tahu sendiri.”
Axel menatap Diandra dan tahu betapa keras kepalanya perempuan ini, dia mendesah dan menghela napas panjang,
“Oke. Baiklah, asal kuberitahu, asalkan kau izinkan aku mendampingimu ke sana.”
***

“Apartemen Rangga?”
Reno menatap mama Nana dengan ragu. Itu adalah informasi yang tidak pernah diberitahukan kepadanya oleh Nana.
Mama Nana melempar pandang ke arah Nirina, dan Nirina menganggukkan kepalanya,
“Itu adalah warisan Rangga untuk Nana..... hanya saja sejak kecelakaan itu, Nana sama sekali tidak pernah mengunjunginya, aku rasa dia terlalu sedih untuk ke sana, seluruh tempat itu menyimpan kenangannya dengan Rangga.” Lanjut mama Nana kemudian,
Reno tertegun. Tempat kenangan Nana dengan Rangga, dia lalu bertanya-tanya ke dalam benaknya sendiri. Bagaimana dengan dia? Mampukah dia datang ke sana? Kemudian melihat tempat kenangan Nana dengan Rangga? Tempat pribadi Nana dengan Rangga yang bahkan tidak dibagi Nana bersamanya?
Tiba-tiba saja Reno merasakan cemburu yang mengusik hatinya, perasaan cemburu yang membuatnya merasa seperti orang ketiga, disingkirkan di luar lingkaran, sendirian.
“Saya akan ke sana.” Reno beranjak berdiri, merasakan jantungnya berdenyut kencang, “Semoga Nana ada di sana.”
“Kabari kami ya.” Mama Nana ikut beranjak, mengantarkan Reno sampai ke depan.
Setelah mobil Reno, mama Nana dan Nirina saling berpandangan, lalu keduanya menghela napas panjang.
***
“Di sini tempatnya.” Axel menatap layar GPS di mobilnya kemudian menoleh ke arah Diandra di sampingnya.
Diandra menatap ke arah panti asuhan itu, lokasi panti asuhan ini cukup sejuk, di kawasan dekat pegunungan yang terkenal dengan udaranya yang bersih dan dingin. Bangunannya meskipun bangunan tua, tetapi terawat dan rapi. Halamannya sangat luas, dinaungi oleh rindangnya pepohonan, ada beberapa ayunan di halaman itu.
Setelah menghela napas panjang, Diandra membuka pintu mobil,
“Ayo.” Gumamnya sambil turun dari mobil.
Axel mengikuti dibelakangnya, lalu menjajari langkahnya ketika mereka menyeberangi halaman yang luas itu.
Mereka sampai di teras depan panti asuhan itu, suasana tampak lengang. Apakah ini karena sudah memasuki jam tidur?  Ada lonceng kuno di sebelah pintu, mungkin difungsikan sebagai bel, Diandra menarik rantainya dan membunyikan lonceng itu.
Setelah tiga kali bunyi lonceng, baru ada gerakan dari dalam rumah. Sesosok wajah mengintip dari balik gorden, lalu tampak mengernyit karena tidak mengenali tamunya, tetapi pada akhirnya pintupun di buka.
Seorang perempuan berpakaian rapi, dengan rambut digulung ke belakang membuka pintu itu, usianya mungkin sudah lebih dari setengah abad dengan sebagian rambutnya yang memutih, walaupun begitu perempuan itu tampak sehat.
“Ada keperluan apa?” suaranya berwibawa sekaligus ramah.
Diandra menoleh ke arah Axel, tiba-tiba saja merasa gugup dan bingung harus berkata apa. Untunglah Axel kemudian mengambil alih,
“Mohon maaf kami mengganggu kesibukan ibu.” Axel bergumam dengan sopan, “Kami ke sini untuk membahas sesuatu yang penting, mungkin akan panjang, bolehkah kami masuk?”
Ibu itu menatap Axel dan Diandra berkali-kali, benaknya memberikan firasat. Memang ada beberapa kali kejadian, selama berpuluh-puluh tahun dia menjadi ibu Panti Asuhan ini, bahwa ada beberapa anak yang sudah dewasa datang kembali ke panti asuhan ini untuk menelusuri akarnya. Kadangkala Ibu panti asuhan bersedia membantu dengan berbagai pertimbangan, kadangkala dia bahkan tidak punya data apapun sehingga terpaksa membuat kecewa.
Matanya menelusuri sosok Axel dan Diandra. Sungguh pasangan yang cocok, batinnya.
Apakah salah satu dari mereka sesuai dengan dugaannya? Datang kemari untuk menelusuri akarnya?
***


Nana duduk di sofa itu, tepat di saat hatinya begitu perih, hujanpun turun dengan derasnya. Airmatanya langsung mengalir lagi, membasahi matanya yang sudah sedemikian sembabnya.
Dia duduk di sofa itu sendirian dan mulai menghitung hujan yang tetes demi tetesnya menampar jendela kaca yang besar itu. Dia menghitung hujan sendirian.
Jemarinya tanpa sadar mengelus tempat kosong di sebelahnya di sofa. Dulu Rangga sering duduk di sana, menghitung hujan bersamanya.
Hati Nana terasa pedih dan perih. Ingin rasanya agar waktu berhenti dan dunia menelannya, sehingga dia bisa duduk di sini, tidak perlu menghadapi orang-orang, tidak pelu menghadapi segala permasalahan pelik yang menimpa dan menghancurkannya, dan kemudian selamanya berdiam di apartemen ini dengan kenangannya bersama Rangga.
Rangga... kalau memang lelaki itu ditakdirkan kembali kepadanya, kenapa harus dengan kisah yang seperti ini?
Kenapa Rangga mendonorkan jantungnya tanpa memberitahu Nana? Kenapa Nana harus menghadapi kebenaran akan Reno, bukan dari Reno sendiri melainkan harus dari orang lain?
Bahkan sekarang Nana bertanya-tanya akan perasaannya pada Reno, menelaah hatinya sendiri dan kebingungan. Apakah cintanya selama ini kepada Reno, hanya merupakan peralihan rasa cintanya kepada Rangga?
Apakah dia mencintai Reno karena ada jantung Rangga di dalamnya? Kalau begitu, jikalau keadaan berbeda, jikalau Nana dipertemukan dengan Reno, tanpa ada jantung Rangga di dadanya, akankah Nana mencintai Reno?
Dan pertanyaan lainpun menggelitik di benaknya. Jikalau bukan jantung Rangga yang didonorkan kepada Reno, akankah Reno mengejar dan mencintainya? Ataukah lelaki itu menjalani kehidupan yang seharusnya? Menikah dan hidup bahagia dengan tunangannya?
Semua itu begitu kompleks dan membuat kepala Nana pening. Tetapi kemudian dia menghela napas panjang, tidak. Hubungannya dengan Reno tidak mungkin dilanjutkan. Ini tidak adil bagi Reno karena Nana bahkan tidak tahu dia mencintai Reno ataukah mencintai Rangga yang ada di dalam diri Reno, pun dengan Reno yang pasti juga tidak bisa menelaah, apakah Reno pribadi yang mencintai Nana, ataukah itu semua hanya karena jantung Rangga di dadanya?
Dan itu tidak adil pula bagi Dian... Diandra...Mata Nana menerawang, membayangkan betapa cantiknya mantan tunangan Reno itu. Pasti amat sangat menyakitkan bagi Diandra waktu itu ketika mereka berpapasan dulu, ketika itu Reno sedang menggandeng Nana. Dari cerita Axel, Nana bisa menyimpulkan betapa cintanya Diandra kepada Reno....dan kemudian Reno berubah ketika berganti jantung.
Semua ini memang tidak bisa dinalar oleh akar pikirannya. Tetapi setidaknya Nana sudah memutuskan.
Dia harus menolak Reno dan membuat lelaki itu menjauh, meskipun sekarang dadanya berdebar kencang, merasakan jantung Reno memanggil-manggilnya.
***

Reno memarkir mobilnya di parkiran apartemen itu, lalu sekali lagi melirik alamat yang diberikan oleh mama Nana dan di catat di ponselnya, dia menatap tulisan yang menerangkan lantai dan nomor apartemen Rangga, lalu menghela napas panjang dan menaiki lift,
Ketika lift berhenti di lantai yang dimaksudkannya, Reno melangkah memasuki lorong yang sepi. Gema kakinya bergemerisik di karpet tebal yang melapisi lorong itu.
Dan kemudian Reno berhenti di depan pintu kamar itu, pintu apartemen Rangga, tempat Nana dan Rangga dulu sering menghabiskan waktu bersama.
Nana ada di dalam sana, entah kenapa Reno mengetahuinya. Dari jantungnya yang berdenyut kencang sampai terasa sakit, dari perasaannya yang tiba-tiba meluap-luap.
Reno akan menjelaskan semuanya kepada Nana, dan kemudian siap untuk memohon kepada perempuan itu agar mau menerimanya.
Nana adalah segalanya untuknya, perempuan yang didebarkan oleh jantungnya. Reno harap Nana mau mengerti.
***

Ibu Dewi sang ibu Panti asuhan mendengarkan penjelasan Axel dan Diandra yang bergantian. Dia mencatat nama dan seluruh informasi yang diberikan oleh pasangan itu dalam benaknya, kemudian menganggukkan kepalanya,
“Saya ingat tentangmu Diandra... dan kalau memang bisa membantu, Saya senang bisa memberitahukan informasi untukmu. Memang kadangkala ada aturan yang mengikat saya yang melarang saya untuk sembarangan memberikan informasi terlebih kepada mantan anak di panti asuhan saya... tetapi kadangkala dengan pertimbangan tertentu, saya mau memberikan informasi untuk membantu sanga anak menemukan jati dirinya dan tidak bertanya-tanya lagi tentang asal usulnya.” Ibu Dewi kemudian merenung, tampak mengingat sesuatu, “Dan sebenarnya, saya pernah menghubungi orangtuamu untuk memberitahu informasi penting menyangkut dirimu, saya pikir waktu itu kau berhak tahu... tetapi melihat kau sekarang, saya menyimpulkan bahwa orang tuamu memilih untuk tidak memberitahumu.”
Diandra mengeryitkan keningnya,
“Informasi tentang apa, ibu?”
  Bersambung ke Part 13  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 15, 2013 04:17

May 14, 2013

Crush In Rush Part 5



 Tampan Sekali. Kiara hampir saja tidak bisa menutupi rasa kagumnya akan ketampanan lelaki yang baru masuk itu. Luar biasa. Bahkan dia sebagai perempuan merasa dirinya kalah cantik dibanding lelaki itu. Meskipun wajahnya cantik tetapi tidak ada sikap yang mengarah ke arah feminim sama sekali dari penampilan lelaki yang dipanggil Joshua dengan nama Jason itu. Jason tampak maskulin dan sinar matanya tampak sedikit bandel, seperti anak lelaki kecil yang nakal. Detik ketika Jason masuk itulah dia menyadari kehadiran Kiara di sana, duduk di sofa ruang tengah, lelaki itu langsung melemparkan pandangan berganti-gani penuh arti ke Kiara dan Joshua, "Ah, maaf, aku tidak tahu kau sedang ada tamu." Jason tersenyum ramah, senyum yang mempesona kepada Kiara, "Johua biasanya tidak pernah menerima tamu di apartmennya, kecuali tamu yang memaksa seperti aku." Lelaki itu terkekeh sendiri, lalu melangkah mendekat, "Kau pasti perempuan istimewa." "Jangan ganggu dia, Jason. Dia pelayanku."Jason langsung tertegun. Wajahnya tampak tak percaya, dia melemparkan tatapan mencela ke arah Joshua,  "Kau memang tidak pandai bercanda. Mana mungkin kau memakai pelayan di rumahmu? Kau dengan kehidupanmu yang introvert itu?"  Jason melemparkan pandangan menyelidik kepada Joshua, menunggu lelaki itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya sedang bercanda, tetapi ekspresi wajah Joshua sama sekali tidak berubah, membuat Jason akhirnya mengambil kesimpulan. "Oh astaga, kau tidak sedang bercanda ya?" jemarinya menunjuk ke arah Kiara, "Gadis ini pelayanmu?" "Tentu saja." dengan santai Joshua melangkah melalui Jason dan duduk kembali di sofa tempatnya duduk, "Duduklah dan ceritakan pelan-pelan, apa yang terjadi padamu sampai kau harus mengemis tempat tinggal kepadaku? bukankah kau punya apartemen sendiri di tengah kota? kenapa kau tidak kesana?" Jason ikut duduk, di dekat Kiara yang terpaku, masih terpesona. "Mereka akan bisa melacakku kalau aku ke sana, kau tahu, ibu angkatku dan perempuan yang dijodohkan denganku itu sangat gigih mengejarku." Tanpa dipersilahkan, Jason menuang teh di meja dan  menyesapnya, "Hmm enak sekali, kau yang buat yah?" lelaki itu menoleh tiba-tiba ke arah Kiara, membuat Kiara gelagapan, "Eh... iyaa... saya yang buat." Sementara itu Joshua menatap ke arah Kiara dan mengernyit, perempuan itu terpesona tentu saja. Semua perempuan pasti akan terpesona kalau melihat Jason dan ketampanannya yang luar biasa. Tetapi penampilan bisa menipu, di balik sikap ramah dan baik hatinya kepada perempuan, Jason menyimpan racun yang menakutkan. Lelaki itu adalah penghancur perempuan, dalam arti yang sebenarnya. Entah sudah berapa perempuan yang dipermainkannya, diberi harapan, kasih saying dan perhatian dengan begitu indahnya, lalu dilemparkan dan dibuang dengan kejam, Ya. Jason cukup menakutkan kalau berhubungan dengan perempuan, entah kenapa Joshua berpikir kalau Jason membenci perempuan, tentu saja mama angkatnya dan adik kesayangannya yang baru dijumpainya setelah sekian lama itu tidak termasuk kategori yang dibencinya. Sekarang Kiara terpesona dengan Jason, dan Jason secara alami langsung menebarkan pesonanya pada Kiara. Joshua harus menghentikannya segera, sebelum semua berlanjut. Kiara adalah pelayan yang bekerja untuknya, dia harus menjaganya. "Kau bisa masuk Kiara." gumam Joshua tiba-tiba. Kiara merasa lega atas perintah Joshua itu, dia merasa canggung duduk di sofa di tengah percakapan kedua laki-laki yang sepertinya bersahaabat itu, dengan cepat dia berdiri dan mengucap salam, "Saya permisi dulu." dengan tak kalah sopan dia mengangguk ke arah Jason kemudian melangkah tergesa meninggalkan ruang tengah itu, masuk ke kamarnya. ***  Jason terus mengamati sampai Kiara menghilang dari pandangan, kemudian melemparkan tatapan penuh ingin tahu ke arah Joshua, "Kau? Membawa seorang pelayan untuk tinggal di rumahmu?" dia masih mengungkapkan pertanyaan yang sama, "Rasanya itu tidak mungkin terjadi Joshua, itu bukan Joshua yang kukenal." Ya. Joshua yang dikenal Jason adalah seorang penyendiri. Lelaki itu selalu menghabiskan waktunya sendirian dan kebayankan menutup hatinya dari hubungan apapun. Bahkan Jason sempat ragu meminta pertolongan Joshua agar mau menampungnya sementara, mengingat sikap Joshua yang cenderung introvert itu. "Aku menolongnya, karena dia butuh pertolongan, sama sekali tidak ada alasan lain." Mata Joshua menyipit, "Dan jika kau memang akan tinggal di sini, kau tidak boleh mengganggunya." Jason terkekeh mendengar nada ancaman di balik suara Joshua itu, "Oke. Sepakat, aku tidak akan mengganggunya, tetapi aku tidak bisa mencegah kalau dia yang menggangguku." Tawanya malahan makin keras ketika menerima tatapan membunuh yang langsung dilemparkan Joshua kepadanya, "Aku bercanda Joshua, gadis itu aman. Jadi kesimpulannya, kau mengizinkan aku tinggal di sini sementara?" ***  Keesokan paginya, Kiara bangun pagi-pagi sekali, dia ingin menyiapkan makanan untuk Joshua, lelaki itu bilang dia bekerja larut malam dan kemudian sarapan dulu di pagi hari sebelum tidur. Ruang tengah tampak terang benderang, dan Joshua sedang duduk, berkutat dengan wajah serius menggambar sesuatu seperti denah atau entahlah, di sebuah meja khusus di sudut ruangan, Kiara mengamati dalam diam dan kemudian menebak-nebak... meja itu adalah meja khusus arsitek. Jadi, Joshua seorang arsitek? Rupanya Joshua menyadari keberadaan Kiara, dia menolehkan kepalanya dan mengerutkan keningnya, "Kenapa kau bangun pagi-pagi sekali?" dilemparkannya pandangannya ke jam dinding, masih jam lima pagi. Kiara berdiri dengan gugup, "Aku... aku ingin membuat sarapan, kau bilang kau sarapan setiap pagi, baru setelah itu tidur." "Oh itu." Joshua tidak tega mengatakan kalau dia hanya sarapan roti tawar setiap pagi dan sebenarnya dia bisa menyiapkannya sendiri tanpa Kiara repot-repot. Tetapi dia mempekerjakan Kiara sebagai pelayannya, dan Joshua sendiri harus membiasakan diri untuk dilayani.  "Oke... terimakasih. Ada roti tawar di atas kulkas dan jeruk segar kalau kau ingin membuat jus jeruk. Nanti panggil aku kalau sarapannya sudah siap." gumamnya kemudian. Setelah melihat Joshua membalikkan badan dan sibuk kembali dengan pekerjaannya, Kiara melangkah ke dapur, dia melihat roti tawar itu, mengisinya dengan keju dan saus kacang yang sudah tersedia dan memanggangnya. Jeruk besar berwarna orange cerah itu menarik perhatiannya, Kiara mengambil beberapa buah dan memasukkannya ke juicer. Setelah itu dia mengatur makanan yang sudah siap di meja dapur. Biasanya untuk sarapan, Kiara selalu meminum susu satu gelas, tetapi dia ingat kemarin Joshua bilang dia tidak suka susu, dan sepertinya lelaki itu tidak punya susu di dapurnya. Setelah makanan siap, Kiara memanggil Joshua dengan canggung dari ambang pintu dapur, dan diberikan jawaban singkat oleh Joshua. Tak lama lelaki itu muncul di dapur, masih dengan pakaiannya yang sama, celana panjang dan tidak berkemeja. Kiara sepertinya harus membiasakan diri dengan penampilan Joshua yang indah ini. "Terimakasih Kiara." Joshua menyesap jus jeruknya, lalu mengunyah roti bakarnya dengan tenang, lelaki itu menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu menyesap jus jeruknya lagi, setelah itu menguap, "Aku akan tidur. Kau bisa siapkan satu sarapan lagi, Jason untuk sementara akan tinggal di sini. dan oh ya, uang belanjamu ada di meja." Kiara tertegun sambil menatap punggung Joshua yang berlalu. Jadi Jason, lelaki yang luar biasa tampan itu juga tinggal di apartemen ini? Kiara sepertinya harus menguatkan hatinya untuk tinggal bersama dua lelaki yang sangat mempesona itu. *** Pintu kamar Joshua masih tertutup rapat ketika giliran Jason yang bangun dari tidurnya. Lelaki itu ternyata tidak pernah tampil berantakan dan tidak pedulian seperti Joshua, Jason keluar kamar sudah mandi dengan aroma harum dan pakaian rapi.  Dia melongok ke dapur, ke tempat Kiara sedang mencuci gelas dan piring kopi sisa Joshua, "Wah aromanya enak." lelaki itu tersenyum dan duduk di meja dapur, kemudian mencomot satu roti bakar dan memakannya, "Mungkin keputusan Joshua menerima seorang pelayan di rumahnya sungguh tepat, dan aku juga ikut mendapatkan keuntungan." lelaki itu mengedipkan sebelah matanya menggoda, mau tak mau membuat Kiara tersenyum, "Semoga anda suka." gumamnya canggung, "Saya.. eh saya pamit dulu." setengah tergesa Kiara berjalan hendak keluar pintu dapur. "Mau kemana?" suara Jason mencegahnya, lelaki itu mengerutkan keningnya. "Saya hendak berbelanja bahan makanan di supermarket di basement.' "Aku ikut." dengan tak terduga Jason berdiri, meneguk gelas jus jeruknya dan tersenyum ke arah Kiara, "Aku bosan di sini, biarkan aku menemanimu berbelanja."  ***  Berbelanja bersama Jason berarti harus kuat menerima tatapan orang-orang ke arah mereka. Yah, ketampanan Jason terlalu mencolok, hingga membuat semua orang yang berjenis kelamin perempuan hampir pasti menoleh dua kali ke arah mereka,  Beberapa orang malahan memandang terang-terangan sambil mengangkat alis ke arah Kiara, seolah-olah mengatakan betapa tidak pantasnya Kiara bersanding di sebelah Jason, dan betapa beruntungnya Kiara karena bisa mendapatkan kesempatan itu. Jason sendiri tampaknya tidak peduli, lelaki itu sepertinya sudah biasa menerima tatapan kekaguman dari orang-orang, dia menoleh dan tersenyum ke arah Kiara dengan ceria, "Jadi, kita akan masak apa hari ini?" Kiara mengangkat bahunya, "Saya masih bingung... saya lupa menanyakan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Joshua." "Hmmm", Jason mengerutkan keningnya, "Kau jangan menggunakan 'saya' dan 'anda' kepadaku, pakailah 'aku' dan 'kamu, oke?" tatapannya menggoda, membuat Kiara mau tak mau menganggukkan kepalanya, "Dan mengenai Joshua sepertinya kau tidak perlu cemas, dia menyukai semua jenis makanan, setahuku yang tidak disukainya cuma susu putih." Jason melirik ke arah rak buah-buahan, "Aku akan mengambil buah pir itu, kau tunggu di sini saja ya," lelaki itu lalu melangkah sedikit menjauh dari Kiara. Sementara itu, Kiara langsung berpikir untuk membuat masakan laut, dia akan membeli udang dan cumi lalu membuat masakan bersaus dan lezat, semoga saja Joshua menyukainya. "Kiara?" suara lelaki yang familiar memanggilnya, membuat Kiara menolehkan kepalanya, dan melihat sosok yang dikenalnya berdiri di sana, sedang berbelanja, "Irvan?" Irvan adalah mantan rekan kerjanya di café tempatnya bekerja, lelaki itu satu-satunya rekan kerja yang bersikap baik kepada Kiara. "Kenapa kau ada di sini?" Lelaki itu menunjukkan keranjang belanjaannya yang berisi gula dan sirup, "Berbelanja untuk café, stok belanjaan belum datang dan ada beberapa barang yang habis, jadi aku disuruh berbelanja kemari, ini supermarket yang paling dekat dengan café, Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Bos bilang kau sudah tidak bekerja lagi di café, aku berusaha mencari tahu tentangmu tapi aku kehilangan jejak, apalagi kau tidak punya ponsel untuk dihubungi." Kiara menatap Irvan dengan tatapan menyesal, "Maafkan aku Irvan semua terjadi begitu cepat, tetapi aku baik-baik saja, sekarang aku bekerja sebagai pelayan di sebuah apartemen, yah kau tahu mirip pembantu rumah tangga." Senyumnya melebar, "Setidaknya aku dapat tempat tinggal dan makanan gratis." "Aku senang mendengarnya." Irvan menatap Kiara dengan tatapan mata lembut, "Kalau aku ingin bertemu denganmu lagi bagaimana caranya ya?" Kiara juga tampak bingung, "Aku juga tidak tahu caranya, aku tidak punya ponsel." "Hmm...kau bekerja di salah satu apartemen ini?" "Iya." "Apartemen nomor berapa? dengan tahu nomornya setidaknya aku tahu kau ada di mana." Kiara hendak membuka mulutnya ketika sosok lelaki tampan itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, merangkul Kiara dengan akrab, "Joshua akan sangat marah kalau kau sembarangan memberikan nomor apartemennya ke orang lain." Jason bergumam tiba-tiba, melemparkan senyum manis ke arah Kiara Sementara itu Irvan berdiri menatap mereka berdua, Kiara dan sosok Joshua yang penampilannya sangat luar biasa, lelaki itu terperangah, sekaligus bingung... Bersambung ke Part 6    
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 14, 2013 21:47

May 13, 2013

Crush In Rush Part 4


 Kiara melirik ke arah Joshua dengan takut-takut, mendadak merasa tidak nyaman berada di dalam mobil itu, apalagi ekspresi Joshua tampak sangat marah, sedikit menakutkan.
Lelaki itu mencengkeram kemudi kuat-kuat dan kemudian sedikit mengebut, untunglah mereka ada di jalan tol yang lengang, sehingga mereka sedikit aman. Tetapi walaupun begitu, jantung Kiara serasa berpacu ketika Joshua semakin dalam menginjak gas mobilnya, membuatnya berpegangan pada sabuk pengamannya dan berdoa dalam hati karena ketakutan.
Kalau gaya Joshua menyetir seperti ini, dia tidak akan mau pergi semobil berdua dengan laki-laki itu lagi. Kiara berjanji dalam hati,  melirik ekspresi lelaki itu yang sangat gusar.
Kenapa Joshua tampak begitu marah? Telepon siapa itu tadi?
*** Mereka sampai di apartement Joshua dan lelaki itu masih membisu, membuat suasana tidak enak, lelaki itu lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilahkan Kiara masuk,
“Silahkan, anggap seperti rumah sendiri.” Joshua bergumam memecah keheningan, dia lalu masuk di belakang Kiara dan membanting tubuhnya di sofa, menyalakan televisi.
Lama kemudian suasana tetap hening sehingga Joshua menoleh ke belakang dan mengangkat alisnya ketika melihat Kiara masih berdiri di sana dengan gugup di dekat pintu sambil meremas-remas jemarinya.
“Kenapa kau masih berdiri di situ?” Joshua tampak terkejut menatap Kiara.
Pipi Kiara merah padam, dia tampak malu, “Eh... aku... aku tidak tahu harus kemana...”
Joshua menghela napas panjang menghadapi kepolosan Kiara, perempuan ini luar biasa polosnya hingga Joshua merasa menjadi serigala yang sedang berusaha menerkam gadis kecil bertudung merah yang tidak tahu apa-apa.
Dengan sedikit gusar Joshua berdiri, merasa agak menyesal karena suasana hatinya yang buruk membuat Kiara terkena imbasnya. Ya. Telepon pengacaranya tadi benar-benar merusak moodnya. Joshua langsung menutup telepon setelah mengucapkan penolakan yang kasar, tidak memberi kesempatan pengacara ayahnya untuk berbicara.
Dasar lelaki tua yang kurang ajar. Meskipun tahu itu salah, Joshua terus menerus mengutuki ayahnya. Seenaknya saja dia berusaha kembali mengatur kehidupan Joshua setelah dulu dia meninggalkan Joshua dan ibunya, apakah dia pikir Joshua adalah manusia yang tertarik dengan gelar dan harta? Tidak! Lelaki tua itu seharusnya tahu betapa puasnya Joshua karena menolak permintaannya, Joshua bahkan akan sangat senang kalau lelaki itu memohon dan menyembah-nyembahnya dan dia akan tetap menolak permintaan lelaki tua itu dengan puas.
Setelah menghela napas panjang, Joshua menatap Kiara yang tampak kebingungan dengan ekspresinya yang berubah-ubah. Kasihan juga gadis ini. Harinya sudah buruk dan Joshua yakin demamnya masih belum begitu reda, sekarang harus menghadapi emosinya pula.
“Sini, kutunjukkan kamarmu. Sebenarnya ini kamar yang sama yang kau tempati ketika sakit tadi.” Walaupun begitu Joshua tidak bisa menahan suaranya yang terdengar ketus, “Lain kali jangan bersikap canggung di sini, kita hanya berdua dan sikap canggungmu membuat suasana tidak enak. Lakukan apa yang kau suka, anggap saja rumah sendiri, kalau kau ingin menonton televisi silahkan, kalau kau ingin membuat makanan silahkan, lakukan apa saja yang kau suka, nanti kita akan membahas beberapa aturan, apa yang boleh dan tidak boleh di rumah ini, tapi sekarang kau boleh beristirahat dulu. Aku juga lelah, mau tidur siang.” Sambil terus berbicara, Joshua mendahului Kiara yang terbirit-birit mengikutinya melangkah ke kamar kedua di apartemen yang cukup luas itu, Joshua membuka pintu kamar itu dan melirik ke arah Kiara, “Masuklah dan istirahatlah dulu, nanti sore kita bicara.”
Setelah itu, tanpa melirik sedikitpun pada Kiara, Joshua berlalu.
“Te...terimakasih...” Kiara berseru gugup, entah Joshua mendengarnya atau tidak karena lelaki itu sudah melenggang kembali ke ruang tengah.
***
Kiara memasuki kamar itu, kamar yang sama tempatnya di rawat ketika demam. Dia terperangah ketika melihat luasnya kamar itu. Semuanya lengkap, dari ranjang busa yang besar di tengah, lemari berwarna krem yang elegan dan meja rias yang dilengkapi dengan kaca minimalis yang begitu bening. Ada sebuah televisi besar di dinding, televisi layar datar yang hanya pernah Kiara lihat di televisi.... dan juga AC.....tentu saja kamar ini ada ACnya, Kiara tersenyum merasa malu karena sadar dia benar-benar kampungan.
Di kamar kontrakannya tidak ada AC, bahkan kipas anginpun tidak ada karena Kiara tidak mampu membelinya. Pernah dia membawa tabungannya yang berhasil disisihkan dari uang makannya, sejumlah tujuh puluh lima ribu rupiah ke sebuah supermarket yang di dalamnya juga menjual barang-barang elektronik. Pada akhirnya Kiara keluar dengan tangan kosong, menggenggam uang tabungannya itu di tangannya. Ketika sudah melihat-lihat berbagai merek kipas angin, dia mendapati bahwa yang termurah, dengan ukuran paling kecil dan merk menengah adalah seharga sembilan puluh ribu rupiah. Ada beberapa dengan merk tidak terkenal masih mematok harga tujuh puluh ribuan. Tetapi bukan hanya harga yang membuat Kiara batal membeli, benaknya tiba-tiba memutuskan bahwa dia bisa bertahan tanpa memakai kipas angin, bahwa uang itu sebaiknya disimpan untuk keperluan lain yang lebih penting, seperti membeli sabun mandi atau shampo dan berbagai keperluan rumahan lainnya. Alhasil Kiara harus melalui lagi malam-malam di panasnya Jakarta dengan udara lembab dan lengket, dengan nyamuk yang tak kalah galaknya. Tetapi setidaknya hatinya tenang karena dia masih memegang uang simpanannya sebagai pegangan di kala perlu.
Dan sekarang, melihat AC itu kiara tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya, dia mengucapkan selamat tinggal kepada malam-malamnya yang panas dan penuh keringat. Dengan ingin tahu, Kiara menyalakan AC itu, memejet tombol ON. Kiara tahu cara menyalakan AC karena dia sering menyalakan dan mengatur suhu AC di cafe tempatnya bekerja dulu. Dan kemudian, ketika AC itu menyala, udara sejuk langsung menghembusnya. Membuat senyumnya makin lebar.
Setelah yakin pintu kamarnya tertutup dan Joshua tidak bisa melihatnya, Kiara duduk di ranjang itu, menepuk-nepuknya dan sekali lagi tersenyum senang, ranjangnya empuk. Tidak seperti ranjang lembek dan keras entah dengan usia berapa lama di kamar kontrakannya yang penuh dengan serangga tak terlihat, kadang terasa menggigit kulitnya dan menimbulkan ruam-ruam di kulitnya. Ranjang yang ini pasti tak ada serangganya... pikir Kiara sambil menepuk-nepuknya lagi, dan ranjang ini empuknya luar biasa.
Puas menikmati empuknya ranjang itu, Kiara meraih tas-nya dan mulai berbenah. Di bukanya lemari empat tingkat berwarna krem itu dan mulai memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, ketika selesai dia tersenyum masam dan merasa malu, keseluruhan pakaiannya bahkan tidak bisa memenuhi satu tingkat yang paling atas di lemari itu, lemari itu jadi tampak kosong dan menyedihkan. Tetapi tidak apa-apa, Kiara tidak malu dia hanya punya sedikit pakaian, setidaknya dia masih bisa berganti pakaian setiap hari dan bersih serta wangi, biarpun pakaiannya sedikit, Kiara tidak pernah memakai pakaian yang sama selama beberapa hari, setiap dia memakai baju, ketika mandi, dia selalu mencuci pakaiannya sehingga ketika keesokan harinya pakaiannya sudah kering dan wangi lagi. Untuk menyeterika dia bisa meminjam seterika ibu kontrakannya, dan membayar biaya listriknya dengan sekalian menyeterika cucian ibu kontrakannya yang setumpuk banyaknya, karena ibu kontrakan selain memiliki suami yang berbadan besar, juga memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Bisa dibayangkan Kiara membutuhkan waktu seharian penuh di hari liburnya untuk menyeterika semuanya.
Kiara lalu mengatur kosmetiknya dimeja rias yang besar dan lagi-lagi meja itu tampak kosong dan menyedihkan karena Kiara hanya punya satu bedak tabur, satu lipstick, deodoran dan satu splash cologne murahan yang dibelinya di minimarket, serta satu sisir kecil, Kiara menambahkan sambil tersenyum, kosongnya meja rias itu tidak mengganggunya, malahan membuatnya terkikik geli, menertawakan dirinya sendiri. Ya ampun. Kamar ini begitu bagusnya, terlalu bagus dan sempurna untuk dirinya!
Setelah puas memandang suasana kamarnya yang sejuk, Kiara melongok ke arah kamar mandi. Ada kamar mandi pribadi di dalam kamar ini! Lagi-lagi Kiara membayangkan ketika tinggal di kamar kontrakan dimana dia harus berbagi kamar mandi dengan ibu kontrakan dan keluarganya, serta empat orang penyewa kamar kontrakan lainnya.
Kiara melihat sabun, shampoo yang telah tersedia dalam wadah khusus di dinding, dia menambahkan sikat giginya dan tersenyum bahagia.
Sambil bersenandung, Kiara membanting tubuhnya di ranjang matanya tersenyum menatap langit-langit kamar itu.... bahkan langit-langit kamarnyapun indah.... hatinya dipenuhi rasa syukur. Alangkah baik hatinya Joshua memberkan tempat tinggal untuknya, tempat seindah ini yang sama sekali tidak dibayangkannya. Kiara berjanji dia akan menjadi pelayan yang terbaik untuk Joshua.
***
Ketika terbangun, mata Kiara langsung terarah ke arah jam besar di dinding, dia sedikit terperanjat dan langsung duduk. Rupanya dia ketiduran akibat suasana kamar yang begitu nyaman. Dan sekarang sudah jam lima sore. Astaga... betapa malunya Kiara, dia telah berjanji dalam hati akan menjadi pelayan yang baik, tapi yang dilakukannya malahan tidur begitu lama.
Setengah melompat, Kiara masuk ke kamar mandi, dan mandi. Merasa takjub bahwa air di kamar mandi itu bisa disetel panas ataupun dingin. Setelah selesai, Kiara memakai pakaiannya dan membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Suasana tampak lengang, ruangan apartemen remang-remang, dan hanya terdengar suara TV yang sayup-sayup, Kiara melangkah ke ruang tengah dan mendapati Joshua sedang tidur tengkurap di sofa, lelaki itu telanjang dada, hanya mengenakan celana panjang santai dan tampak sangat lelap. Pipi Kiara memerah ketika mengamati punggung telanjang Joshua yang berotot, dia melangkah dengan sangat hati-hati melewati Joshua dan kemudian melangkah menyeberangi ruang tengah menuju dapur.  

Kiara akan memasak makan malam dan membuat teh hangat, setidaknya ketika Joshua bangun, makanan sudah tersedia.
Di dapur, Kiara melihat sebuah kulkas besar berwarna hitam, dengan hati-hati Kiara membuka kulkas itu dan sedikit merenung melihat isinya. Joshua rupanya tidak suka memasak, yah dia kan lelaki bujangan yang tinggal sendirian, buat apa repot-repot memasak kalau bisa membeli atau pesan antar makanan? Kiara melihat bahan makanan yang seadanya di sana. Ada sosis di freezer, dan di kotak sayuran di bagian bawah ada wortel dan brokoli. Kiara memutuskan membuat sup sederhana.
Karena tidak ada kaldu, Kiara merebus sebagian sosis dengan potongan besar hingga airnya berminyak, lalu memasukkan bawang yang sudah ditumisnya dengan mentega ke sana – untunglah Joshua mempunyai beberapa siung bawang putih yang sudah setengah mengering di kulkasnya – Aroma harum langsung tercium ke seluruh penjuru dapur. Kiara lalu memasukkan wortel yang sudah di potong-potongnya, sementara brokolinya akan dimasukkan belakangan setelah air mendidih. Setelah itu, Kiara membumbui supnya dan mencicipinya. Rasanya lumayan, meskipun dengan bumbu dan bahan yang lebih lengkap, sup ini akan terasa lebih enak.
Tidak ada nasi, tetapi ada kentang di kulkas, Kiara memutuskan membuat kentang tumbuk. Beberapa kentang yang sudah dikupas, di kukus sampai empuk, lalu dihancurkan dengan dicampur sedikit garam, krim kental dan susu tawar kental. Selain itu Kiara membuat scramble eggs sebagai lauknya. Dan jadilah masakannya itu.
Ketika Air mendidih dan Kiara menyeduh teh, tiba-tiba sosok Joshua sudah berdiri bersandar di ambang pintu dapur.
“Baunya enak.”
Kiara memekik, hampir menjatuhkan teko teh-nya. Untunglah dia sigap menahannya, kalau tidak Kiara mungkin harus masuk rumah sakit karena tersiram air panas yang baru mendidih. Dengan gugup Kiara menatap Joshua dan tersenyum,
“Aku memasak dengan bahan seadanya di kulkas, kuharap kau tidak marah karena aku lancang.”
Joshua mengangkat bahunya, masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana santainya yang sedikit melorot di pinggang, dia tampaknya tidak terganggu dengan pipi Kiara yang memerah karena penampilannya, lelaki itu duduk di kursi tinggi di meja dapur, dan bertopang dagu,
“Sini ambilkan aku makanan, aku lapar.”
Kiara langsung mengambil mangkuk dan menyendokkan sup yang masih panas di sana, dia juga mengambil kentang tumbuk di piring bersebelahan dengan scramble eggs yang dia  buat.
Dengan was-was Kiara mengamati Joshua makan, takut kalau lelaki itu memuntahkan makanannya karena tidak menyukai rasanya. Tetapi yang ditakutkan Kiara tidak terjadi, lelaki itu makan dengan lahap dan cepat, dan ketika di tengah makan, Joshua mengangkat kepalanya dan mengernyit,
“Kenapa kau tidak ikut makan?” Tanyanya.
Kiara meremas-remas kedua tangannya, kebiasaannya jika merasa gugup dan bingung,
“Aku... eh... bukankah pelayan tidak makan bersama majikan? Biasanya seperti di sinetron-sinetron, pelayan makan di dapur setelah majikannya makan.”
Joshua terkekeh, tawa yang mencairkan wajah dinginnya yang tampan,
“Memangnya kau hidup di jaman feodal apa? Lain kali kurangilah nonton sinetron yang penuh intrik palsu itu Kiara, ayo makanlah!”
Karena perintah Joshua terdengar begitu tegas, Kiara akhirnya menyerah dan memutuskan makan bersama Joshua, dia lalu mengambil makanannya, tak henti-hentinya berucap syukur atas makanan yang tersedia begitu mudah untuknya tanpa perlu mencemaskan hari esok lagi. Dan kemudian melahap makanannya dengan senang, ternyata dia lapar.
Joshua hanya tersenyum menatap Kiara, mereka lalu menyelesaikan makannya dan Joshua melompat berdiri, melirik ke arah teko teh yang sudah disiapkan Kiara. Teh melati yang harum mengepul dengan aroma yang menggoda selera. Joshua sebenarnya lebih memilih kopi. Tetapi sepertinya Kiara harus diajari untuk menggunakan mesin kopi, menggiling bijinya dan menciptakan takaran kopi hitam sesuai seleranya, perempuan itu pasti hanya bisa membuat kopi instan.
“Bawa teh-nya ke ruang tengah, ayo kita bicara sambil minum teh.” Gumamnya sambil berlalu.
Dengan segera, Kiara mengambil nampan dan meletakkan teko teh beserta beberapa cangkir di sana, lalu mengikuti Joshua ke ruang tengah.
Joshua sudah duduk di sofa, matanya mengarah ke televisi besar yang sedang menayangkan pertandingan basket, dia lalu menatap Kiara yang meletakkan nampan itu di meja, dan berdiri ragu-ragu di sana,
“Duduklah, kau tidak akan duduk di lantai seperti pelayan-pelayan di jaman feodal bukan?” gumam Joshua ketika lama Kira tidak juga duduk, dalam hati dia menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja gadis ini ditindas oleh atasannya yang jahat itu, dia benar-benar lemah dan polos.
Kiara duduk di ujung sofa dengan ragu, menatap Joshua yang bersila dengan santai sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke televisi,
“Kau mungkin perlu berbelanja, di lantai basement apartement ini ada supermarket yang menjual sayuran dan bahan makanan, kau bisa memenuhi kulkas dengan berbelanja di sana, belilah apapun yang kau perlukan untuk memasak, aku akan memberimu uang belanja.”
Kiara menganggukkan kepalanya, menyimpan rasa kagumnya pada apartemen ini yang bahkan mempunyai fasilitas supermarket di lantai bawahnya. Orang kaya memang selalu dimudahkan dalam segala hal... batinnya.
“Dan kita akan tinggal bersama di sini, aku sebenarnya tidak punya aturan ketat, hanya ada beberapa yang harus dihormati. Pertama, aku tidak begitu suka suara bising, jadi kalau kau mau menyalakan televisi atau apa, atur suaranya supaya tidak berisik. Kedua, aku tidak suka susu putih, kecuali di campur dengan kopi, jadi jangan memberikanku itu... Ketiga aku biasanya bekerja di malam hari, mulai jam sembilan malam, dan karena itu aku membutuhkan tidur yang lama di pagi harinya, biasanya aku bekerja jam sembilan malam sampai jam lima pagi lalu aku akan sarapan dan tidur jam sembilan pagi sampai sore dan aku tidak suka diganggu....”
Sampai di situ Kiara mengernyit, berusaha memahami gaya hidup Joshua tetapi tetap saja tidak paham. Lelaki ini seperti vampir, bekerja di malam hari dan tidur ketika ada matahari.
“Kau mendengarkan?” Joshua menegurnya, membuat Kiara tergeragap.
Ketika sudah mendapatkan perhatian Kiara, Joshua melanjutkan, “Sampai di mana tadi? Hmm Oh ya.. keempat....”
Tiba-tiba terdengar suara bel di pintu, membuat Joshua mengernyit karena merasa terganggu.
“Siapa yang bertamu tanpa pemberitahuan itu?” gerutunya, melangkah ke arah pintu dan mengintip. Ketika tahu siapa yang berdiri di depan pintunya, Joshua mendesah kesal, tetapi tetap membuka pintunya itu,
“Apa yang kau lakukan di sini, Jason?”
Seorang lelaki yang amat sangat tampan melangkah dengan senyum lebar, memasuki ruangan. Kiara terpesona, karena lelaki itu... sungguh terlalu tampan sampai bisa dikatakan cantik. Ada sesuatu di tangannya, lelaki itu memegang wadah biola dari bahan kulit kaku berwarna cokelat gelap. Lelaki itu pemain biola?
Dan kemudian, Jason masuk menatap Joshua masih dengan senyumannya, tidak mempedulikan tatapan kesal Joshua,
“Aku butuh bantuanmu teman. Ada seorang perempuan yang dijodohkan ibuku untukku dan dia terus memaksa meskipun aku menolaknya mentah-mentah. Ibuku mengatakan karena adikku Keyna sudah menikah dengan si brengsek Davin yang beruntung itu, aku tidak boleh terlalu lama menunda pernikahan. Parahnya... perempuan yang dijodohkan oleh ibuku itu mengejar-ngejarku sampai nyaris menakutkan.” Jason mengangkat bahunya, “Jadi aku melarikan diri dari rumah, mengatakan harus menjalani pelatihan intensif yang tidak bisa diganggu, dan sepertinya aku harus merepotkanmu, aku tahu kau punya apartemen tiga kamar dengan dua kamar yang masih kosong, jadi izinkanlah aku menumpang sementara di sini.”
Bersambung ke Part 5
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 13, 2013 09:00

May 7, 2013

Membebaskan Dewi



Keisha mengerutkan keningnya memandang hutan karet yang terbentang di hadapannya, dia benar-benar tidak menyangka bahwa tempat KKN-nya benar-benar terpencil. Hampir 40 kilometer dari pusat kota, perjalanan harus ditempuh dengan jalur darat, melewati hutan yang gelap dan jalanan yang jelek tidak beraspal, membuat tubuh mereka berguncang-guncang di perjalanan, di dua konvoi mobil yang mereka naiki. Mereka satu team ada bersepuluh, Keisha sendiri dari Fakultas Ekonomi sedang teman-temannya yang lain berasal dari fakultas yang berbeda-beda.
Sekarang sudah hampir dua bulan Keisha di sini, masa KKNnya sudah hampir habis. Perasaan lega dan puas bercampur aduk di benaknya. Setidaknya dia telah melakukan sesuatu. Penduduk sekarang tahu cara pengolahan sampah organik menjadi kompos, mereka juga telah melakukan daur ulang sampah menjadi sesuatu yang berguna. Hanya satu yang masih mengganjal, penduduk sekitar sini masih kental aliran kleniknya, yang diwariskan turun temurun dari para tetua kepada penerusnya. Keisha masih sering melihat sesajen di bawah pohon-pohon besar ataupun di perempatan jalan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Dan ada satu lagi yang mengganggunya, penduduk desa kebanyakan baik dan ramah, mereka menganggap Keisha dan group KKNnya seperti keluarga sendiri, tetapi sayangnya.... ada bocah perempuan itu, bocah perempuan kecil berusia tujuh tahun yang dipasung di bagian belakang rumah kepala desa.
Keisha sangat sedih melihatnya. Kenapa pemasungan masih berlaku di sini? Kenapa memperlakukan manusia kecil itu layaknya hewan yang tak berguna? Ini sungguh tidak manusiawi, Ketika pertama kali mengetahui hal ini, Keisha sempat menemui kepala desa dan memprotes.
Kepala Desa hanya menatap Keisha dengan tegas,
"Anak itu, namanya Dewi. Dia dirasuki iblis.... dia ditemukan di atas mayat ibunya yang bersimbah darah, sambil memegang pisau. Kami menduga dia menusuk ibunya sendiri dengan pisau dan membunuhnya. Penduduk ketakutan padanya, dan karena tidak ada lagi keluarganya, penduduk menyerahkannya kepada saya dan meminta saya untuk memasungnya."
"Tetapi dia masih tujuh tahun! memangnya apa yang bisa dilakukan anak tujuh tahun? Lagipula kalian belum bisa membuktikan bahwa dia membunuh ibunya bukan? Bisa saja orang lain yang melakukannya lalu melemparkan dosanya kepada anak kecil yang tidak berdaya? Kalaupun dia membunuh ibunya, kalian tentu saja bisa menyerahkannya kepada yang berwajib biar dia mendapatkan perawatan yang baik bukannya malahan dipasung seperti ini! Ini sungguh tidak berperikemanusiaan! Saya tidak akan membiarkannya!"
Dan Keishapun bertindak, dia mengurus segalanya, menghubungi bagian-bagian terkait di kota untuk membantunya. Temannya di komisi perlindungan anak berjanji akan mengurus Dewi setibanya di kota dan kemudian mengevaluasi kondisi Dewi, kalau memang ada gangguan kejiwaan, Dewi akan mendapatkan perawatan yang terbaik.
Ketika masa KKNnya sudah hampir berakhir, Keisha menyampaikan kemauannya itu kepada kepala desa, semula kepala desa tidak setuju,
"Jangan non Keisha, Tidak baik membawa Dewi ke kota, sudah saya bilang dia dirasuki iblis, dia bisa membunuh siapa saja, bukan hanya ibunya. Biarlah dia dipasung di desa ini, kami yang akan menjaga dan mengurusnya supaya tidak melukai orang lain...."
"Saya bisa menuntut anda karena perlakuan tidak baik kepada anak kecil." Keisha menatap kepala desa penuh tekad. Dalam benaknya membayang tentang Dewi, anak kecil itu, dipasung di belakang rumah kepala desa dalam ruangan seperti kandang, bau pesing menyengat di sana, dan pakaian anak itu begitu lusuhnya seolah tidak pernah mandi. Tidak ada yang berani mendekati anak itu, hanya pengurusnya yang melemparkan makanan dan air, itupun dari jauh. Dewi benar-benar diperlakukan seperti hewan. Hati Keisha miris melihat betapa Dewi sebenarnya adalah anak yang cantik, di usianya yang tujuh tahun seharusnya dia bermain dengan teman-temannya, bersekolah atau apapun itu, bukannya malah terpasung hanya karena kepercayaan klenik penduduk desa yang tidak beralasan.
Kepala desa itu menatap tekad Keisha yang menyala-nyala, bahunya melorot dan menyerah,
"Baiklah non Keisha, anda bisa membawa Dewi keluar dari desa ini, tapi kami semua tidak mau bertanggung jawab akan apapun yang mungkin dilakukan Dewi di luar sana."
"Sepakat." Keisha menyalami kepala desa dengan kepuasan luar biasa. Dia akan membawa Dewi pulang ke kota, besok dan menyelamatkan anak itu.
Ketika dia keluar dari ruang kepala desa, para penduduk rupanya sedang berkumpul di sana, mereka memandang Keisha dengan ketakutan dan ngeri.
"Itu orang yang akan melepaskan anak iblis itu  ke kota!" seru salah seorang anak kecil sambil menunjuk-nunjuk Keisha. Para penduduk tampak ngeri, mereka semua berbisik-bisik penuh prasangka, tetapi Keisha tidak peduli, dia melangkah dengan gagah berani, menuju mess tempat groupnya tinggal.
David, pemimpin groupnya menyambutnya di sana dalam senyuman, mereka semua sedang mengemas barang-barangnya untuk kepulangan mereka besok pagi.
"Apakah kau berhasil?" tanya David
Keisha menganggukkan kepalanya, "Tentu saja."
David mengelus kepala Keisha dengan lembut, "Hebat. Aku yakin bisa mengandalkanmu. Kita harus membebaskan anak perempuan itu dari perlakukan yang tidak manusiawi.'
Dada Keisha mengembang akan perasaan bangga. Ini jugalah salah satu alasan Keisha mati-matian memperjuangkan pembebasan Dewi, dia merasa sangat senang ketika David memujinya.
David... pipi Keisha bersemu merah, selama beberapa bulan di desa ini, mereka telah begitu dekat, dan Keisha yakin ada percik-percik asmara yang berkembang di sana...
"Ayo bereskan bajumu, besok pagi2 kita mandikan anak itu supaya cukup pantas di bawa ke kota." Diana yang tiba-tiba muncul, salah satu anggota group KKN mereka menepuk pundak Keisha dan tersenyum.
Keisha menurut, dia mengemasi barang-barangnya bersama anak-anak lain, mereka semua tertawa dan bercanda, senang bahwa mereka akan pulang ke rumah setelah masa KKN yang menyenangkan ini.
*** 
Dewi ternyata cantik sekali, setelah Keisha dan teman-teman perempuannya memandikannya, kemudian memberinya baju ganti pinjaman dari Elisa, teman KKN Keisha yang bertubuh cukup mungil, perempuan kecil itu tampak normal dan cantik seperti anak kebanyakan.
Rok yang dikenakannya memang agak kedodoran, dan Keisha serta teman-temannya harus mengoleskan salep ke pergelangan tangan dan kaki Dewi yang lecet-lecet akibat dipasung terlalu lama. Mereka semua mendesah dan mengutuk perlakuan kejam penduduk desa kepada Dewi yang mungil ini.
Setelah semua siap, Keisha dan rombongannya membawa Dewi ke mobil. Semua penduduk tampaknya bersembunyi ketika tahu baha Dewi dilepaskan dari pasungannya, desa tampak lengang, bahkan tidak ada satupun orang ataupun anak-anak yang biasanya melewatkan hari di teras ataupun di jalanan, desa itu layaknya desa kosong tak berpenghuni.
Walaupun begitu, Keisha masih bisa melihat wajah-wajah ketakutan penuh ingin tahu mengintip dari jendela rumah ketika Keisha lewat bersama Dewi. Dalam hatinya Keisha mencibir, begitu dalamkah kepercayaan mereka akan klenik sehingga ketakutan dengan anak kecil yang lemah dan tidak berdaya ini? Sampai-sampai memasung anak tanpa dosa ini?
Hanya kepala desa yang berdiri di sana dan melepas mereka, dia melirik ke arah Dewi yang diam dengan pandangan kosong, lalu menatap takut-takut ke arah David,
"Kalian... eh... kalian tidak mengikatnya?"
Keisha langsung tersinggung, hendak menyemprot kepala desa itu, tetapi untunglah David menahan Keisha, dia bergumam duluan,
"Kami rasa dia tidak berbahaya pak." jawab David meyakinkan. Kepala desa itu mundur selangkah seolah takut terciprat tulah ketika Dewi lewat untuk memasuki mobil, dia ikut rombongan depan, duduk di sebelahku, sekali lagi Keisha mencibir melihat tingkah kepala desa itu.
*** 
Dua mobil rombongan team KKN itupun melaju meninggalkan desa terpencil itu. Semuanya mendesah lega antara penat dan bahagia karena sudah menyelesaikan tugas dan akan pulang untuk bertemu keluarga masing-masing. David menyetir dan tersenyum melihat Dewi yang setengah tertidur dalam pelukan lengan Keisha.
"Kasihan sekali dia ya." gumam David diikuti anggukan teman-teman yang lain yang ada di dalam mobil.
Keisha menghela napas panjang, melirik ke arah sosok mungil Dewi yang tertidur pulas dengan wajah polos. Hati Keisha ngeri membayangkan betapa kejamnya penderitaan yang harus dialami Dewi selama dalam pasungan.
"Yang penting kita sudah menyelamatkannya." gumam Keisha, mengelus lembut rambut panjang Dewi dengan penuh rasa sayang.
*** 
Karena sudah menjelang tengah malam dan perjalanan belumlah separuhnya, seluruh rombongan memutuskan untuk menginap di desa kecil yang mereka lalui. Beruntung, desa itu merupakan tempat wisata pemancingan dan permandian air panas, sehingga banyak penginapan tersedia. Lagipula ini bukan musim liburan sehingga banyak sekali kamar kosong karena tidak ada pengunjung yang datang.
Mereka memutuskan menyewa satu paviliun besar yang terdiri dari empat kamar. Di malam harinya bukannya tidur, malahan mereka berkumpul dan bercanda di ruang tengah paviliun, sambil bermain gitar dan menonton film di televisi. Selama itu, Dewi selalu ada di sebelah Keisha, dan mengekornya. Sampai kemudian Keisha melihat Dewi menguap berkali-kali.
"Aku akan mengantar Dewi tidur, kasihan dia sudah  mengantuk." Keisha beranjak sambil bergumam kepada teman-temannya yang masih asyik menonton film dan mengobrol. Dia lalu mengehela Dewi ke sebuah kamar yang tersedia.
Dengan lembut dibaringkannya Dewi ke atas ranjang, dia sendiri duduk di kursi di samping ranjang, mengelus dahi anak perempuan kecil itu, dan menyanyikan nina bobo. Mata Dewi lama-kelamaan meredup, dan kemudian terpejam, tenggelam dalam tidur yang pulas.
Keisha sendiri merasa mengantuk dan lelah. Dia merebahkan kepalanya ke pinggir ranjang dan terlelap.*** 
Keisha terbangun. Entah kenapa.
Sejenak mengernyit oleh suasana hening yang pekat. Tidak ada lagi suara tawa dan obrolan anak-anak, tidak ada lagi suara gitar yang dipetik dengan senandung yang ceria. 
Mungkin semua sudah tertidur pada akhirnya....
Keisha megerutkan keningnya ketika melihat betapa gelapnya kamar ini, juga bagian ruang tengah, semua gelap. Apakah mati lampu?
Ketika Keisha berdiri, dia semakin terkejut karena ranjang tempat Dewi tadinya berbaring kosong, kemana Dewi? 
Tiba-tiba Keisha merasa cemas, takut Dewi keluar sendirian untuk ke kamar mandi, lalu tersesat. Semoga Dewi sedang tidur bersama salah satu teman perempuannya.
Keisha melangkah keluar kamar, ruang tamu yang terang benderang sekarang gelap pekat, dia memincingkan matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan gelap itu. Untunglah pengelihatan perempuan lebih bagus dari pria di saat gelap, dalam sekejap Keisha bisa melihat bayangan teman-temannya yang tertidur di ruang tamu. Mungkin mereka terlalu kelelahan sehingga tidak tidur di kamar, melainkan langsung tidur di ruang tamu.
Empat teman perempuannya, Elisa, Diana, Nita dan Carla tampak tertidur sambil duduk di atas sofa besar di depan televisi. Sementara teman-teman lelakinya tertidur di lantai yang dilapisi karpet, bergelimpangan tak karuan , membuat Keisha geli, Dasar laki-laki! gumamnya dalam hati sambil mencari-cari sosok David di sana. 
Keisha menemukan David, lelaki itu bergelung di dekat tembok, dengan senyum, Keisha mendekat,  dia bisa pura-pura tidur di dekat David malam ini, besok pagi mereka pasti akan bangun berpelukan dan saling melempar senyum malu-malu. Keisha jadi  melupakan tujuannya untuk mencari Dewi dan berpikir anak kecil itu pasti ada di salah satu kamar dan tertidur lagi, mungkin dia bangun untuk ke kamar kecil dan masuk ke kamar yang salah.
Ketika ada di dekat David, Keisha berjongkok untuk mencari posisi yang nyaman, tangannya menyentuh karpet dan dia mengernyitkan kening.
Basah....
Keisha mendekatkan cairan yang membasahi tangannya ketika menyentuh karpet itu ke hidungnya dan langsung mengernyit, aroma khas menyentuh hidungnya, aroma amis seperti karat dan besi itu.... Darah!
Keisha panik, dia menyentuh pundak David dan mengguncangnya untuk membangunkannya, tetapi David tidak bangun juga, dengan keras Keisha mencoba membalikkan tubuh David yang meringkuk menghadap tembok, dan dia terpana....
David terbaring dengan mata membelalak, tubuhnya lunglai, dan diperutnya... ada luka menganga bersimbah darah yang membasahi seluruh bagian depan tubuhnya dan mengalir ke karpet. Keisha menjerit keras-keras di kegelapan, dia berlari ke arah teman-teman lainnya.
Semua teman laki-lakinya yang terbaring di lantai serupa dengan David, mereka terbaring mati dengan luka yang mengalirkan darah. Keisha berlari ke arah teman-temannya di sofa, dan dia menjerit lagi menemukan keadaan mereka tak kalah mengerikannya.
Semuanya mati, semuanya terluka di bagian perut, luka yang masih mengucurkan darah segar... luka itu.. bekas tusukan pisau berkali-kali...darah mengucur di mana-mana membasahi sofa, membasahi karpet...
Keisha berlari ke arah pintu, panik ketika menemukan pintunya terkunci, dia menggedor-gedornya berteriak meminta tolong tetapi suasana di luar begitu senyap.
Kenapa tidak ada yang menolongnya??
Keisha menjerit-jerit sampai suaranya serak, berusaha membangunkan siapapun yang berada di dekat penginapan ini.
"Sttttt..."
Lalu suara itu terdengar, membuat Keisha menolehkan kepalanya dengan takut, dalam kegelapan, dia melihat sosok Dewi berdiri di sana. Ujung jarinya di taruh di depan bibirnya, sebagai isyarat agar Keisha diam... dan... di sebelah tangannya yang lain, teracung pisau besar yang berkilat-kilat terkena cahaya bulan yang menembus jendela. 
Pisau itu berlumuran darah....
END
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 07, 2013 22:41

Crush In Rush Part 3



Menjadi pelayan?
Kiara mengerutkan keningnya dan seketika itu juga wajahnya pucat pasi, menjadi pelayan ini apakah menjadi pelayan seks dari Joshua? Kiara sering melihat kisah-kisah sinetron dan film dimana tokoh wanita yang miskin pura-puranya ditolong oleh lelaki kaya, tetapi kemudian dia disekap dan dijadikan budak seks.... Ya Ampun! Kiara harus menyusun rencana melarikan diri dari rumah ini!
Joshua yang melihat perubahan ekspresi Kiara langsung merasa geli. Dia sudah pasti bisa menebak pikiran apa yang lalu lalang di benak Kiara, ekspresi wajah Kiara yang polos mengungkapkan semuanya karena perempuan itu benar-benar seperti buku yang mudah dibaca. Joshua memutuskan akan menggoda perempuan ini,
"Jadi sebagai pelayanku kau harus berlatih untuk memuaskanku." Joshua tersenyum lebar sampai barisan gigi putihnya yang rapi terlihat, setengah mati menahan geli melihat ekspresi shock dan pucat pasi di wajah Kiara.
"Apa?" Kiara setengah berteriak, panik. Pandangannya mengukur jarak dari kasur ini ke pintu kamar. Bisakah dia melarikan diri dengan cepat tanpa ditangkap poleh Joshua?
Tetapi kemudian Joshua terbahak, membuat Kiara menatap lelaki itu dengan waspada, 
Kenapa lelaki itu tertawa? Apanya yang lucu?
Mata Joshua tampak tajam meskipun masih berlumur rasa geli,
"Sebaiknya kau buang semua pikiran bodoh yang ada di otakmu itu. Aku sama sekali tidak tertarik padamu secara seksual." matanya menelusuri tubuh Kiara dengan mencemooh, "Kau terlalu kurus, dan bukan termasuk tipeku, jadi kau bisa tenang."
Meskipun merasa tersinggung atas penghinaan terang-terangan dari Joshua itu, Kiara merasa sedikit tenang, setidaknya lelaki itu tidak tertarik padanya, jadi tidak mungkin lelaki itu memperkosanya. Kalau begitu, apakah istilah 'pelayan' yang dipakai oleh Joshua adalah "pelayan' yang sesungguhnya?
"Aku ingin mempekerjakanmu sebagai pelayan." Joshua mengangkat alisnya, "Pelayan sungguhan yang bersih-bersih rumah dan memasak."
"Apakah kau tidak punya pelayan sebelumnya?" Kiara mengedarkan pandangannya ke kamar tempat dia ditempatkan. Ini hanya satu kamar, tetapi luasnya mungkin lima kali dari kamar kontrakan Kiara saat ini, belum lagi bagian-bagian lain seperti ruang tamu, dapur dan kamar mandi, Tidak mungkin bukan Joshua membersihkan semuanya sendiri?
"Sudah kupecat." Joshua bergumam enteng, tidak menjelaskan bahwa sebenarnya dia memperoleh jasa kebersihan kamar gratis sebagai pelayanan VIP dari pihak apartemen. Baru saja dia menelepon pihak apartemen dan mengatakan dia tidak membutuhkan pelayanan gratis itu lagi.
"Kau pecat?" Kiara menghela napas, "Kau tidak memecatnya karena aku bukan?"
Tatapan Joshua tampak dingin dan mencemooh, "Jangan besar kepala, mana mungkin aku memecatnya karenamu?"
Pipi Kiara langsung merah padam, Betapa malunya dia, lagipula seharusnya dia sadar kalau Joshua tidak mungkin melakukan itu. Kiara hanya berada di waktu yang tepat di saat Joshua kehilangan pelayannya, sekarang Kiara kehilangan pekerjaannya, jadi betapa baiknya Joshua karena menawarkan pekerjaan ini padanya...
"Bagaimana? Kau mau mengambil pekerjaan sebagai pelayanku? Aku tinggal sendirian di sini tanpa keluarga, dan tanpa pengurus rumah yang membersihkan apartemen dan memasak aku sedikit kerepotan."
Kiara menatap Joshua, masih ragu,
"Jam berapa aku harus datang dan bekerja?"
"Datang dan bekerja? Tidak... kau tinggal di sini, itu akan lebih mudah bagiku."
"Tinggal di sini?" Kiara setengah berteriak, "Tidak! Aku tidak bisa!"
"Kenapa?" Joshua bersedekap dan mengangkat alisnya, "Bukankah sudah biasa seorang pelayan tinggal di rumah majikannya? jadi dia bisa melaksanakan tugasnya dari pagi sampai malam, memastikan seluruh rumah bersih dan seluruh kebutuhan majikannya terpenuhi. Dan tentu saja aku akan membayarmu dengan harga yang pantas."
Kiara mengerutkan keningnya. Tetapi kebanyakan yang mempekerjakan pelayan yang menginap itu bukanlah seorang bujangan yang tinggal sendirian seperti yang dikatakan oleh Joshua tadi. Bagaimana mungkin Kiara tinggal berdua dengan seorang laki-laki dalam satu rumah tanpa ada orang lain?
"Jangan berpikir yang tidak-tidak." Sekali lagi Joshua bisa membaca apa yang berkecamuk di dalam benak Kiara, "Setiap orang yang melihat aku dan kamu tidak akan melihat kita sebagai pasangan, mereka pasti bisa melihat bahwa aku adalah majikan dan kau pelayannya, jadi kau tak perlu cemas akan pandangan orang-orang." Dengan sinis lelaki itu memandang Kiara, "Segera setelah kau bisa jalan, akan kuantar kau ke rumahmu dan mengemasi barang-barangmu."
Kiara tercenung tidak bisa berkata apa-apa tertohok oleh kalimat penghinaan lelaki itu. Dan  ketika lelaki itu beranjak pergi dan meninggalkan kamar itu, Kiara berpikir keras tentang hidupnya. Dia terjepit, sekarang dia pengangguran dan tidak punya apa-apa. Tawaran kerja dari Joshua amat sangat dibutuhkannya saat ini dan sangatlah bodoh kalau dia tidak mengambil kesempatan itu...
Benaknya berkelana, kalau dia tinggal di sini sebagai pelayan, yang pasti dia bisa menumpang tempat tinggal gratis. Dan Joshua bilang tentang pekerjaan memasak, mungkin saja Kiara bisa menumpang makan. Kiara menghela napas panjang, mungkin semua ini sudah diatur, mungkin ini adalah anugrah baginya, setidaknya Kiara jadi bisa menabung untuk perbaikan hidupnya kelak.
Kiara menguatkan dirinya, Kalau memang Joshua menginginkannya menjadi pelayan, maka Kiara akan berusaha menjadi pelayan yang terbaik, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya.
***
"Jadi kau mengontrak kamar yang sedemikian jauhnya dari cafe tempatmu bekerja?" Ketika kondisi Kiara sudah baikan, keesokan paginya Joshua menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir apartemen, dia hendak mengantarkan Kiara dengan mobil hitam besarnya itu ke kamar kontrakannya untuk mengemasi barang-barangnya.
Semula Kiara menolak Joshua mengantarnya dan mengatakan akan menaiki kendaraan umum saja, tetapi Joshua mematahkan pendapatnya dan mengatakan akan lebih praktis kalau dia mengantar Kiara. Dan di sinilah Kiara, duduk dengan gugup di kursi empuk mobil yang terbuat dari kulit asli, merasa takut mengotorinya.
"Kenapa kau tidak memakai sabuk pengamanmu?" Joshua melirik, membelokkan mobilnya menuju ke jalanan.
Kiara menunduk dan melihat sabuk kulit yang terjuntai di bagian atas, dia menariknya kemudian kebingungan. Bagaimana memasang sabuk pengaman ini? Pipinya memerah, merasa sangat malu dan bingung. Joshua pasti menertawakannya dalam hati mungkin mencemooh betapa udiknya Kiara.
Tetapi di luar dugaan, Joshua meminggirkan mobilnya, 
"Kau belum pernah memakai sabuk pengaman sebelumnya ya." gumamnya lembut, penuh pengertian, lalu mencondongkan tubuhnya dan membantu memasangkan sabuk pengaman Kiara.
Kiara terdiam dengan pipi merona, menatap rambut tebal Joshua yang tertunduk di dekatnya. Aroma parfum Joshua menyentuh indera penciumannya dengan lembut, begitu maskulin, dan tiba-tiba saja membuat Kiara bergetar.
Mungkin Joshua selalu mengejek dan mencemoohnya, tetapi Kiara tahu... lelaki ini adalah penyelamatnya.
*** 
"Jauh sekali." 
entah sudah berapa kali Joshua mengomel sepanjang jalan. kamar kontrakan Kiara memang benar-benar berada di pinggiran kota... sangat jauh. Joshua membayangkan bagaimana Kiara harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk mencapai tempat kerjanya.  Hidup perempuan ini benar-benar keras, Joshua membatin tiba-tiba perasaan iba memenuhi nuraninya ketika melirik ke arah tubuh mungil yang sekarang sedang meremas-remas jemarinya sendiri dengan gugup.
"Maafkan aku.." Kiara bergumam lemah, merasa bersalah karena berkali-kali Joshua mengeluh bahwa tempat tinggalnya begitu jauhnya, lelaki ini pasti sangat jengkel karena harus menempuh kemacetan dan perjalanan panjang hanya untuk mengantarkan Kiara pulang. "Aku memilih tempat di pinggiran kota karena harga sewanya murah.... di sini ada banyak pabrik, yang berarti ada banyak buruh yang membutuhkan tempat tinggal. sehingga selalu tersedia kamar murah..."
Joshua mengernyitkan keningnya, "Bukankah sama saja kalau ongkos transportnya mahal?"
"Ongkos transportnya tidak mahal, kebetulan ada bus sekali jalan.. aku hanya tinggal berjalan kaki ke ujung sana...." Kiara menundukkan kepalanya ketika Joshua melemparkan tatapan iba kepadanya, dia tidak mau dikasihani, memang keadaannya pasti terlihat menyedihkan bagi lelaki kaya seperti Joshua. Tetapi inilah hidupnya, inilah yang dijalani Kiara, dan Kiara hidup dengan berjuang untuk masa depannya yang lebih baik.
Joshua masih mengernyitkan keningnya, dia sedikit mengerem ketika Kiara bergumam,
"Itu berhenti di situ." Kiara menunjuk ke area parkir di bawah pohon besar, di sekitarnya banyak ruko-ruko dengan berbagai macam usaha, ada penjual makanan di sana, pangkas rambut laki-laki, apotek dan beberapa yang digunakan seperti kantor. 
"Dimana kamar kontrakanmu?"
Kiara menunjuk ke sebuah gang kecil di sebelah kompleks ruko itu, "Harus masuk ke sana, mobil tidak bisa masuk... kau tunggu di sini yah."
"Aku ikut." Joshua membuka pintu mobilnya
"Jangan!" suara Kiara yang setengah berteriak itu membuat gerakan Joshua terhenti, dia menoleh dan menatap Kiara dalam,
"Kenapa Jangan?" tanyanya singkat.
Pipi Kiara memerah, " Di sana kotor dan mungkin tidak menyenangkan untuk orang sepertimu." Lelaki ini akan mengotori sepatu kulit mahalnya yang berkilau, gumam Kiara dalam hati, belum lagi pakaian lelaki ini yang tampak mahal serta penampilannya yang setengah orang asing pasti akan membuat orang-orang di sekitar tempat tinggal Kiara terpukau... yang pasti sosok seperti Joshua bukanlah sosok yang cocok untuk berada di sekitar tempat tinggal Kiara karena dia akan tampak berbeda dan terlalu mencolok.
Joshua mengamati Kiara kemudian bergumam keras kepala, "Aku akan mengantarmu. Setidaknya aku bisa membantumu membawakan barang-barangmu, jadi kau tidak perlu bolak-balik."
Lelaki itu memang tidak bisa dibantah, Kiara mendesah dan kemudian menganggukkan kepalanya, terserah kalau Joshua ingin memaksa masuk, tanggung sendiri akibatnya nanti.
*** 
Jalanan becek sehabis hujan semalam, dan semakin membuat gang sempit tempat masuk ke kamar kontrakan Kiara terasa kumuh, anak-anak kecil dengan pakaian kumal seadanya tampak bermain-main di tanah, tampak ceria dan seolah tidak terpengaruh oleh keadaan mereka. Kiara berjalan hati-hati melewati rumah-rumah kecil dengan ibu-ibu yang sibuk menjemur kerupuk dalam tampah besar dan beberapa yang lain sedang mencuci pakaian.
Tentu saja kehadiran Joshua yang berjalan di belakang Kiara tampak begitu mencolok, semua mata memandang ke arah Joshua, beberapa bahkan tak bisa melepaskan pandangannya dari lelaki itu, Kiara tiba-tiba merasa geli melihat seorang ibu yang ternganga dan seakan lupa mengatupkan bibirnya ketika melihat Joshua. Mungkin ibu itu mengira Joshua adalah artis sinetron yang menyasar ke tempat ini. Anak-anak kecil juga tampak tertarik dengan penampilan Joshua, mereka berbisik sambil cekikikan satu sama lain, sambil menyerukan kata 'bule' 'bule' dan menatap Joshua penuh ingin tahu, membuat ekspresi Joshua tampak masam
Akhirnya mereka tiba di kamar kontrakan Kiara setelah berjalan menembus perkampungan itu, Joshua mengernyit melihat penampilan kamar kontrakan Kiara yang reyot. Ketika Kiara membuka pintu kamar kontrakannya, kerutan di dahi Joshua semakin dalam. Bagian dalamnya bahkan lebih reyot lagi.
Kamar itu bersih, tampak sekali Kiara sangat rapi. Spreinya licin tanpa cacat, semua pakaiannya terlipat rapi di sebuah keranjang kecil di sudut. Dan kamar itu sangat sempit, dengan langit-langit yang rendah, membuat Joshua harus setengah menundukkan kepalanya di sini. Di sebuah sudut di meja kecil samping ranjang, ada sebuah pot bunga kecil yang berwarna ungu yang cantik. Sebuah usaha menyedihkan untuk membuat tampilan kamar ini lebih baik, dan ternyata kurang berhasil karena memang suasana kamar ini sudah tidak dapat diselamatkan.
"Silahkan duduk." Kiara bergumam gugup dan canggung, menyadari bahwa Joshua sedang mengamati kamarnya yang sangat sederhana itu. Ya ampun, lelaki itu pasti sekarang sedang merasa sangat kasihan kepadanya. Tetapi sekali lagi, Kiara tidak suka dikasihani, meskipun sederhana, Kiara sangat bersyukur dengan tempat tinggalnya ini, setidaknya dia punya tempat untuk pulang setiap malam, tidak kebasahan ketika hujan, dan bisa berlindung untuk beristirahat di malam  hari.
Joshua memandang sebuah kursi kayu yang tampak lapuk, lalu mengangkat bahu dan menariknya, dia duduk dan mengamati Kiara mengambil tas kain besar dari bawah tempat tidur dan mulai mengisinya dengan pakaiannya. Setelah selesai, Kiara mengemas barang-barang lainnya, beberapa buah buku, beberapa kosmetik standar sederhana, dan juga beberapa peralatan makannya, dua buah cangkir dan piring dari bahan melamin berwarna biru. 
"Tinggalkan itu." Joshua yang sejak tadi hanya duduk diam dan mengamati kegiatan Kiara tiba-tiba bergumam.
Kiara mendongakkan kepalanya, kegiatannya memasukkan peralatan makan itu berhenti karena perkataan Joshua,
"Apa?"
"Peralatan makan itu, kau tidak memerlukannya." Joshua melirik ke arah piring dan gelas melamin milik Kiara. Demi Tuhan, buat apa Kiara membawanya? di apartemenya penuh dengan peralatan makan kualitas terbaik, piring dan gelas kristal serta sendok garpu dari perak murni memenuhi lemari dapurnya, beberapa bahkan belum pernah dipakai sejak di beli,
Sejenak ekspresi Kiara tampak terhina dan ingin membantah. Tetapi lalu perempuan itu menarik napas panjang dan menurut. Diletakkannya peralatan makan itu, lalu berdiri dan menutup resleting tasnya.
"Baiklah, semua sudah siap."
Joshua melirik tas kain Kiara dan menatap takjub.
"Hanya itu barangmu?" Joshua pernah punya kekasih yang memiliki banyak sekali pakaian dengan berbagai warna, parahnya mantan kekasihnya itu bahkan menyesuaikan warna pakaiannya dengan tas dan sepatunya, jadi koleksi tas dan sepatunya sama banyaknya dengan pakaiannya hingga membutuhkan beberapa lemari dan rak khusus. Melihat Kiara yang bisa mengemas pakaiannya hanya dalam satu tas kain berukuran sedang membuat Joshua merasa miris.
"Hanya ini." Kiara melangkah keluar dari kamar itu, dan Joshua mengikutinya. Kiara lalu mengunci pintu kamarnya, 
"Tunggu ya, aku akan mengembalikan kunci kamar pada ibu pemilik kontrakan." Kiara menunjuk sebuah rumah yang hampir menempel dengan kamar kontrakannya, ibu kontrakannya pasti akan terkejut karena Kiara keluar tiba-tiba, Tetapi Kiara akan menjelaskan kalau dia mendapatkan pekerjaan baru di luar kota.
"Aku perlu ikut?" Joshua menggumam.
Kiara langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bisa gawat kalau Joshua ikut, yang ada ibu kontrakannya akan berpikir macam-macam,mungkin dia akan  berpikir kalau Kiara menjual dirinya, mana mungkin ibu kontrakannya akan percaya jika Kiara menjelaskan bahwa Joshua adalah majikannya? Majikan mana yang mau mengantar calon pelayannya sampai ke tempat tinggalnya yang jauh dan kumuh semacam ini,
"Aku akan ke sana sendiri. Tunggu di sini saja ya." Kiara langsung membalikkan badan dan berlari-lari kecil menuju rumah ibu kontrakannya, takut kalau Joshua mengikutinya.
*** 
Dalam perjalanan pulang, ponsel Joshua berbunyi, dia mengernyitkan keningnya ketika melihat itu adalah nomor dari pengacara ayahnya.
"Ada apa?" Joshua langsung menjawab dalam bahasa ayahnya, dengan nada gusar seperti biasa.
Pengacara ayahnya seperti biasanya sudah kebal dengan nada suara Joshua yang tidak menyenangkan itu,
"Ayahmu. Beliau ingin bicara langsung denganmu, Saat ini dia menunggu di sebelahku."
"Kenapa dia tidak menghubungiku saja langsung?"
Pengacara ayahnya menarik napas panjang, "Kau tahu kenapa Joshua...kalau dia menghubungimu langsung, kau tidak akan mengangkatnya."
Joshua mendengus, "Memang. Dan katakan padanya aku tidak tertarik."
"Joshua." suara pengacara ayahnya terdengar sabar, "Kau harus mendengarkan. Ini menyangkut masalah warisan gelas ayahmu. Beliau sudah mengatur pernikahanmu dengan seorang perempuan dari keluarga bangsawan yang sederajat denganmu."
Kiara hanya bisa mengerti sepatah-patah dari percakapan Joshua dalam bahasa inggris itu, Tetapi dia bisa melihat setelah  lawan  bicaranya berkata-kata, wajah Joshua tampak sangat geram dan marah. Begitu marahnya sampai nyaris menakutkan.
Bersambung ke Part 4

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 07, 2013 08:48

May 6, 2013

Crush In Rush Part 2



Joshua  menahan keinginannya untuk mendatangi cafe itu lagi. Perempuan pelayan cafe itu, di luar dugaannya sungguh sangat menarik perhatiannya. Membuatnya ingin melihatnya setiap hari. Joshua sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan kepada perempuan pelayan itu. Dia berhati dingin, jiwanya yang kejam adalah pembawaannya, sehingga dia  cenderung tidak peduli kepada orang lain. Tetapi perempuan pelayan itu begitu mungil, begitu tak berdaya dan harus menjalani pekerjaan yang begitu berat. Joshua bertanya-tanya apakah perempuan itu punya keluarga atau orang lain yang bisa mengurusnya.
Diluar kebiasaannya juga, Joshua memberikan uang kepada perempuan pelayan itu. Dia mengangkat bahunya dan sedikit merasa lega, mungkin perempuan itu bisa menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhannya. Uang sebesar itu hanyalah recehan bagi Joshua, tetapi dia tahu uang itu sangat berarti bagi perempuan itu.
Tiba-tiba Joshua tersadar... kenapa dia terus menerus memikirkan perempuan itu?Dengan marah Joshua meremas kertas pekerjaannya yang dari tadi tidak bisa diselesaikannya, dia menatap nanar ke arah bawah, ke arah pemandangan malam kota dari jendelanya. Tiba-tiba pikirannya melayang ke ayah kandungnya di luar sana. Dia menahan napas gusar. Rencana balas dendamnya sepertinya sangat menarik untuk dilakukan, dia hanya tinggal mengatur beberapa rencana, lalu semua akan terlaksana dengan baik.
Joshua melirik jam tangannya, tiba-tiba bertanya-tanya dalam hatinya, sudah dua malam dia tidak mengunjungi cafe tempat gadis pelayan itu bekerja, ini sudah hampir jam lima pagi, bukankah biasanya shift perempuan itu selesai jam lima pagi? Joshua tahu karena dia selalu berada di cafe antara jam dua sampai jam lima pagi, dan ketika sudah menjelang jam lima pagi, selalu terjadi  pergantian shift pelayan.
Sedetik dia berpikir, kemudian dengan gerakan cepat. Joshua meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartemen mewahnya itu.
*** 
Kiara merasakan kepalanya pening, dia menghela napas panjang. Gawat sepertinya virus salah satu pengunjung yang dari tadi bersin-bersin di dekatnya telah menularinya. Daya tahan tubuh Kiara sedang lemah sehingga dia mudah tertular. Sekarang selain pening di kepalanya, di bagian matanya terasa berdenyut-denyut dan seluruh permukaan kepalanya terasa nyeri. Kiara menuggu dengan lunglai di pinggir jalan. Udara pagi hari yang dingin terasa menerpa kulitnya, menyiksanya karena terasa menusuk sampai ke tulang.
Kiara merapatkan jaketnya yang terbuat dari bahan wol, jaket itu sudah menipis karena terlalu sering dipakai dan dicuci sehingga tidak membantunya mengatasi hawa dingin. Dia masih berdiri di tepi jalan yang masih lengang itu, hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang lalu lalang, dan taxi yang beberapa diantaranya memberi isyarat pada Kiara, membuat Kiara harus menggelengkan kepalanya. Dia tidak mampu pulang naik taxi, ongkosnya tidak akan cukup. Di pagi hari setelah shiftnya dari cafe, dia akan berjalan ke jalan besar sejauh dua ratus meter dan menunggu angkutan umum yang lewat untuk mengantarkannya ke dekat tempat tinggalnya 
Oh ya ampun, dan dia harus berdiri di tengah hawa dingin ini selama beberapa lama, angkutan yang melewati sekitar jalan ini biasanya baru datang jam enam pagi, membawa barang-barang milik pedagang pasar pagi, Kiara juga harus siap berdesak-desakan dengan para pedagang dan barang bawaannya nanti, sementara dia sudah merasa ingin pingsan.
Dengan langkah tertatih, Kiara berjalan menuju ke tempat duduk di halte tak jauh dari situ, dia sudah tidak kuat berdiri lebih lama lagi. Demamnya makin terasa, membuatnya hampir limbung, dan Kiara merasa cemas. Dia tidak boleh sakit.... dia tidak boleh izin dari pekerjaan karena itu bisa menjadi alasan pak Sony untuk memecatnya....
Mata Kiara mulai berkunang-kunang membuatnya berpegangan pada salah satu tiang halte itu, menyandarkan tubuhnya di sana. Sampai kemudian sebuah tangan yang terasa kuat menyentuh pundaknya, membuat Kiara hampir terloncat karena kaget.
"Kau tampak tidak sehat."
Itu lelaki penyendiri di cafe itu....tiba-tiba Kiara teringat, dia merogoh-rogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan berwarna merah yang sudah lecek tidak karuan. Entah berapa ratus kali Kiara tergoda untuk menggunakan uang itu. Kadang dia menaruhnya di pangkuannya dan menatapnya beberap lama, berpikir apa yang akan dia lakukan dengan uang sebanyak itu. Kiara ingin mencicipi tenderloin steak menu andalan cafe tempatnya bekerja, tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya, harga steak itu sendiri lima puluh ribu rupiah, dia akan menghabiskan setengah uang itu hanya untuk makanan. Lalu Kiara akan memikirkan cara lain, dia membayangkan membeli gaun yang sangat indah di toko baju yang sering dilewatinya kemarin... tetapi lagi-lagi Kiara membatalkan niatnya, dia masih belum butuh gaun, meskipun dekil dan jelek, gaun-gaunnya masih pantas dipakai, lagipula Kiara bekerja mengenakan seragam yang disediakan untuk cafe dan dia juga tidak punya teman yang akan mengajaknya keluar-keluar, jadi Kiara tidak membutuhkan gaun yang bagus. 
Pada akhirnya, Kiara akan membatalkan semua niatnya untuk menggunakan uang itu dan akan melipat uang itu, lalu meletakkannya dengan hati-hati di saku bajunya. Dia harus mengembalikan uang ini. Kiara tidak mengenal lelaki itu, yang memberinya uang ini. Siapa tahu apa maksud di baliknya? Jangan-jangan nanti lelaki itu kembali dan menagih uang ini atau meminta tubuhnya seperti di film-film itu? Kiara begidik ngeri, jangan sampai dia berakhir dengan menjual tubuhnya, semiskin apapun Kiara, dia akan menjaga tubuhnya tetap suci, untuk pangeran impiannya nanti... yang dia tidak tahu siapa dan sekarang entah berada di mana.
Kiara melewatkan dua malam ini dengan menunggu lelaki penyendiri itu datang dan menghabiskan waktunya di cafe seperti biasanya, tetapi dua malam berlalu dan lelaki itu tidak datang. Untunglah sekarang dia bisa bertemu lelaki itu di sini, jadi dia bisa mengembalikan uangnya.
"Apa?" lelaki itu menatapnya galak dan menatap uang lecek di telapak tangan Kiara.
"Kau tidak datang ke cafe jadi aku tidak bisa mengembalikannya...." Kiara menahan peningnya, mendongakkan kepalanya menatap lelaki yang berdiri di depannya itu, "Ini uangmu."
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak mengembalikannya?"
"Aku tidak mau menerimanya." Kiara menatap lelaki itu dengan tatapan keras kepala, mencoba membantah, tetapi tiba-tiba rasa pening yang amat sangat menerpanya, membuatnya mengerang kesakitan.
"Kau kenapa?" Lelaki itu menyentuh dahinya dan mengernyit, "Astaga, kau panas sekali!"
Itu adalah kata-kata terakhir yang didengar Kiara sebelum dia limbung dan kehilangan kesadarannya.
*** 
"Dia terjangkit flu dan kelelahan....." Dokter pribadi Joshua menemui Joshua setelah memeriksa perempuan pelayan itu, yang sekarang masih terbaring pingsan di atas ranjangnya, di dalam apartemen mewahnya. Joshua terpaksa membawa perempuan itu ke apartemennya karena dia tidak tahu harus membawanya ke mana.
"Oke, terimakasih dokter." Joshua menjawab sopan dan mengantar dokter itu ke pintu. Sampai di pintu, dokter itu menghentikan langkahnya sebelum pergi,
"Di mana kau menemukan perempuan itu, Joshua?" dokter itu sudah mengenal Joshua cukup lama karena dia dulu menjadi dokter keluarga sejak orang tua Joshua masih hidup, karena itu dia menganggap Joshua hampir seperti anaknya sendiri. 
"Memangnya kenapa dok?"
Dokter itu menghela napas panjang, "Tubuhnya lemah, jadi daya tahan tubuhnya lemah hingga mudah terjangkit penyakit... dan juga sepertinya dia kurang gizi."
Hati Joshua terenyuh mendengarnya. Pantas saja perempuan itu begitu kurus, ternyata dia kurang makan.
"Dia temanku, sayangnya nasibnya memang tidak beruntung, jangan kuatir dok, aku akan merawatnya." gumam Joshua sambil tersenyum.
*** 
Ketika Kiara membuka matanya, dia terperanjat menyadari bahwa dirinya berada dalam kamar yang tidak dikenalnya. Kamar itu indah dan semua barang di dalamnya mahal. Kiara mengernyitkan dahinya bingung, di mana dia? Ingatan terakhirnya adalah bertatapan mata dengan lelaki penyendiri langganan Cafe tempat dia bekerja itu. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Kiara menatap sekeliling lagi dengan waspada dan menghembuskan napas lega ketika yakin bahwa dia sendirian di dalam kamar ini. Kamar siapa ini? Apakah lelaki penyendiri itu yang membawanya ke mari? 
Kiara melirik tubuhnya dan mendesah lega sekali lagi karena menemukan dirinya berpakaian lengkap di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Yah, dia benar-benar demam ternyata, Kiara mendesah kecewa atas ketidakmampuan tubuhnya menahan virus yang menyerangnya. Kepalanya pening dan sekujur tubuhnya terasa nyeri, dia memijit kepalanya, berusaha meredakan rasa seperti berdentam-dentam di sana.
Tiba-tiba saja pintu terbuka, dan refleks, Kiara beringsut menjauh di atas ranjang ketika melihat lelaki penyendiri itu memasuki kamar, dengan nampan berisi air dan teko kaca besar di tangannya.
"Kau sudah bangun rupanya." Joshua meletakkan nampan itu di meja di sebelah ranjang, "Aku terpaksa membawamu ke sini, maafkan, kau pingsan di jalan begitu saja."
Lelaki ini menolongnya. Tiba-tiba saja Kiara merasa malu telah berprasangka buruk kepadanya, 
"Terimakasih." suaranya serak dan pelan, sepertinya tenggorokannya juga terserang virus karena sekarang terasa panas dan menyakitkan, terutama ketika dia menelan ludahnya.
Joshua menganggukkan kepalanya, lalu mengulurkan tangannya, 
"Kita belum sempat berkenalan, aku Joshua."
Kiara meragu sejenak. Kenapa lelaki kaya macam Joshua merasa penting untuk berkenalan dengannya? tetapi dia kemudian membalas uluran tangan Joshua,
"Aku Kiara."
"Kiara." Joshua mengulang nama Kiara lambat-lambat lalu tersenyum, "Kau harus minum obatmu, dokter memeriksamu tadi." Lelaki itu mengedikkan bahunya ke arah obat-obat yang diletakkan di meja yang sama dengan nampan berisi gelas air.
Kiara menoleh ke arah obat itu lalu menatap Joshua kembali
"Terimakasih, maafkan aku sudah merepotkanmu."
"Sama sekali tidak repot kok." Joshua menjawab tenang, masih tetap berdiri dan menatap Kiara dengan tatapan mata penuh arti, "Minumlah obatmu dan beristirahatlah."
Mata Kiara melirik ke arah jam dinding. Jam enam... 
"Apakah itu jam enam pagi, atau jam enam sore?"
Joshua mengikuti arah pandangan Kiara ke jam dinding itu, "Jam enam sore. Dokter menyuntikmu dengan obat dan itu membuatmu tertidur pulas, bagus untuk penyembuhanmu katanya karena kau butuh tidur dan beristirahat untuk pemulihanmu." Joshua memandang sekeliling kamar, "Memang susah membedakan pagi dan malam di kamar ini,  kamar ini memang sedikit gelap karena aku menutup jendela dan gordennya, aku pikir kau bisa beristirahat lebih nyaman kalau suasana kamar temaram."
"Oh Astaga." Kiara malahan terlompat dari posisi tidurnya, hampir tidak mendengar kalimat terakhir Joshua, dia mulai panij, melemparkan selimutnya dan berusaha berdiri, "Aku harus masuk kerja, bosku akan memarahiku kalau aku terlambat." Kiara berusaha berdiri, tetapi kakinya terasa lemah seperti agar-agar dan rasa pening yang amat sangat menyerangnya dengan begitu kuar, membuatnya kembali limbung. 
Joshua yang berdiri di dekatnya langsung menopangnya, 
"Kau ini bodoh atau apa? kau demam tinggi dan flu berat, bagaimana mungkin kau bisa bekerja dengan kondisi seperti ini? Shift malam pula!" dengan marah tetapi tetap berusaha lembut, Joshua setengah mendorong Kiara hingga tubuh perempuan itu kembali terbaring di ranjang.
Kiara mengerutkan keningnya, masih merasa panik meskipun di dera pusing yang amat sangat,
"Bosku akan memecatku kalau...."
"Shhh.." Joshua menghentikan kalimat Kiara, "Minum obat dan tidurlah, biarkan aku yang mengurus bos-mu. Ok?"
Kiara menahan air matanya karena merasa begitu tidak berdaya, "Ok."
Lalu dia membiarkan Joshua membantuya meminum obatnya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang nyaman itu, lelaki itu menyelimutinya sebelum melangkah pergi.
Kiara masih merasa panik atas pikiran akan kehilangan pekerjaannya. Pak Sony pasti akan marah sekali kalau dia tidak muncul untuk bekerja malam ini..... tetapi kemudian pengaruh obat membelit otaknya, membuatnya mengantuk dan kembali terseret ke alam mimpi.
*** 
Joshua setengah mengutuk dirinya sendiri karena mau-maunya melibatkan dirinya dalam urusan merepotkan menyangkut Kiara. 
Kenapa dia jadi mengurusi Kiara? Kenapa pula perempuan itu pingsan tepat di depannya?
Joshua mendengus marah, sekalian saja kalau begitu! perempuan itu telah mengetuk nuraninya, membuat Joshua merasa asing kepada dirinya sendiri. Dia tidak boleh terus-terusan didikte oleh nuraninya, dia harus melakukan sesuatu.
Yang pertama dilakukannya adalah menemui lelaki yang bernama Sony, manager restoran itu. Joshua setengah mengenalnya karena dia langganan cafe ini, dan lelaki gendut pemarah itu selalu memperlakukannya dengan sikap menjilat yang memuakkan.
"Kenapa anda ingin menemui saya, tuan Joshua?" Sony tentu saja tahu kalau Joshua adalah lelaki kaya salah satu penghuni apartemen mewah di area dekat mereka. Pelanggan kaya adalah raja, mereka harus diperlakukan dengan baik.
"Ini menyangkut Kiara."
Kiara? Sony mengernyitkan keningnya. Perempuan pelayan tak becus itu sepertinya terlambat datang lagi malam ini, dasar perempuan tak becus, Sony sebenarnya sudah lama ingin menyingkirkan Kiara, dia selalu menganggap Kiara lemah dan tak kompeten, dan sekarang Kiara menunjukkan betapa pemalasnya dirinya karena terlambat datang lagi. Kiara pasti ketiduran lagi! Awas saja! Sony sudah memikirkan hukuman berat untuk Kiara, mencuci seluruh piring dan peralatan masak kotor rupanya belum cukup berat bagi Kiara, mungkin dia akan menyuruh Kiara mengepel seluruh lantai cafe dengan tangan dan menggosok seluruh kamar mandi di area cafe. Mata Sony bersinar jahat, membayangkan kepuasan yang diperolehnya dengan menyiksa Kiara.
Joshua menatap sinar jahat di mata Sony dan tiba-tiba merasa marah. Lelaki ini adalah penindas perempuan pelayan cafe itu. Sungguh Kiara pasti tidak akan bisa melawan si jahat ini. Mungkin Joshualah yang harus membantu Kiara untuk membalas,
"Kiara tidak akan datang lagi." Joshua bergumam dingin, "Dia sekarang bekerja untukku." tanpa kata lagi, Joshua membalikkan badan dan meninggalkan Sony yang terperangah bingung dengan apa yang dikatakan oleh Joshua.
*** 
Kiara terbangun beberapa lama kemudian, dan mengerjapkan matanya. Obat itu seperti obat bius, membuatnya tidurnya amat pulas, tetapi juga membuat tubuhnya agak terasa enak. 
Ternyata Joshua sudah ada di dalam kamar itu, lelaki itu menatap Kiara dengan tatapan tak terbaca. Apakah lelaki itu benar-benar pergi untuk menemui bosnya?
"Bagaimana bosku?" Kiara bergumam pelan, dia berusaha duduk, "Maafkan aku merepotkanmu, terimakasih sudah merawatku, aku akan pergi sekarang, mungkin bosku masih mau menerima permintaan maafku karena terlambat datang... sekali lagi terimakasih, aku akan pergi..."
"Kau tidak akan pergi kemana-mana, Kiara."
Suara Joshua tenang dan pelan, tetapi mampu membuat Kiara menghentikan kata-katanya dan menatap Joshua sambil mengernyitkan dahinya.
"Apa maksudmu?" Kiara bertanya, bingung.
Joshua menatap Kiara dalam-dalam, "Kau sudah dipecat dari pekerjaanmu di restoran itu. Bosmu memang jahat dan kau harusnya bersyukur bisa terlepas darinya."
Kiara  langsung panik kembali. Dia dipecat? Dipecat? Oh ya Ampun, bagaimana dia bertahan hidup tanpa pekerjaan itu? Bagaimana dia makan nanti? bagaimana dia membayar sewa tempat tinggalnya?
Joshua mengawasi reaksi panik dan cemas Kiara, lalu bergumam,
"Tetapi kau tidak perlu cemas memikirkan hidupmu, ada pekerjaan baru untukmu."
"Pekerjaan baru?" ada secercah harapan di sana, Kiara menatap Joshua penuh harap, mungkin lelaki ini menemukan koneksi baru tempat dia bisa masuk sebagai pelayan? Kiara akan sangat berterimakasih kalau lelaki ini benar-benar melakukannya.
"Ya pekerjaan baru, di sini, sebagai pelayanku." Joshua melemparkan kata-kata itu dengan tenang, seolah menawarkan permen kepada anak kecil, yakin akan disambar secepat kilat.
Hening....... Kiara ternganga kaget mendengar perkataan lelaki itu sampai tidak bisa berkata-kata.....

Bersambung ke part 3

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 06, 2013 08:31

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.