Santhy Agatha's Blog, page 12

April 10, 2013

Crush in Rush : Prolog


PS : ada typo di postingan awal yah, pengetikan nama Joshua jadi Jeremy :)) terimakasih buat koreksiannya yah all ^_^ sebenernya karakter awalnya namanya Jeremy ttp dengan berbagai pertimbangan diganti jadi Joshua heeee.... dengan ini typonya langsung dikoreksi yah dear ;)

Sinopsis  :
Joshua dan Kiara. Dua mahluk yang bertolak belakang, yang seharusnya tidak pernah bersinggungan. Tetapi kehidupan mempertemukan mereka ke dalam pusaran nasib yang tidak terelakkan. 

Joshua meletakkan peralatan kerjanya, dan memutar kursinya ke arah jendela. Dia merenung menatap pemandangan di bawah sana, dari kamar penthousenya yang terletak di lantai paling tinggi gedung itu, mobil-mobil di bawah hanyalah tampak bagaikan titik-titik berwarna-warni yang bergerak lalu lalang.Pemandangan yang tidak menarik.
Joshua membunuh rokoknya di asbak dan mendengus, hidup sungguh membosankan. Dia memang bisa dikatakan lelaki yang sangat beruntung. Di usia yang ketigapuluh, Joshua bisa dikatakan sudah mencapai puncak kehidupannya, sebagai seorang arsitek jenius, dia tidak perlu mencari pendapatan, semua orang berlomba-lomba untuk menggunakan jasanya, bisa dikatakan dia hanya tinggal duduk dan uang datang kepadanya. Yah, dan yang lain-lain kemudian mengikuti datang kepadanya karena dia punya uang.
Joshua berdiri dari kursinya dan mengambil jaketnya, dia memutuskan akan keluar dan mencari secangkir kopi di kedai yang buka hingga tengah malam. Insomnia ini seolah sudah menjadi sahabatnya, dan yang bisa dilakukannya hanyalah duduk merenung dalam kesendiriannya.
Begitu turun dari lift di lantai paling bawah, Joshua melangkahkan kakinya di lobby, penjaga pintu di depan tersenyum kepadanya, dia sudah biasa melihat Joshua keluar tengah malam, berjalan kaki menuju cafe terdekat dan baru pulang hingga menjelang pagi. 
Dengan langkah tenang, sambil menyulut kembali rokoknya untuk melawan udara dingin yang langsung menyergapnya, Joshua menuju ke cafe di ujung jalan yang selalu menjadi tempat nikmatnya untuk merenung dan menyesap secangkir kopi yang harum dan lezat, dia memilih tempat duduk favoritnya, di pojok yang sedikit tersembunyi, membuatnya leluasa duduk dan berpikir sepanjang malam sambil menyesap kopinya. Seorang pelayan yang sudah sangat familiar dengan kedatangannya langsung mendekatinya dan menawarkan buku menu, meskipun dia sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Joshua, secangkir espresso yang kental dan menguarkan aroma kopi yang tajam. Joshua akan memesan setidaknya tiga cangkir sampai menjelang dia meninggalkan cafe itu ketika dini hari.
Lalu dia melihat perempuan itu, sedang membersihkan sebuah meja berminyak sisa pengunjung sebelumnya. Joshua selama ini sering melihat perempuan mungil itu mengambil shift malamnya sebagai pelayan cafe ini, sepertinya dia khusus di bagian bersih-bersih mengingat sebagaian besar pekerjaannya adalah membersihkan segala sesuatunya, piring kotor, meja, bahkan mengepel lantai. Tanpa sadar Joshua mengernyit, seberapa sulitkah hidup perempuan itu sampai dia mengerjakan pekerjaan berat macam ini di shift malam pula? Joshua hampir tidak pernah merasakan hidup berkekurangan, karena itulah dia merasa tidak bisa memahami apa yang terpampang di depannya.
Perempuan itu sangat mungil, jemarinya kelihatan rapuh untuk bekerja sekeras itu, dan tiba-tiba saja pikiran Joshua berkelana ke masa lalunya, kepada tubuh mungil yang dulu pernah ada di pelukannya, yang sekarang sudah tidak bisa lagi digapainya. Benaknya menggelap dalam kemuraman, bayangan masa lalu itu adalah satu-satunya hal yang ingin dilupakannya sekarang.
Perhatiannya teralih lagi ketika melihat perempuan itu membawa begitu banyak piring dan gelas dalam satu nampan, lengan kecilnya tampak rapuh, membuatnya sedikit oleng dan terhuyung-huyung. Joshua berdecak tak senang, menyadari bahwa pelayan lain, yang notabene laki-laki, tidak ada satupun yang bergerak untuk membantu perempuan ini.
Dengan jengkel dia berdiri, dan kemudian dengan gerakan mulus dan tegas, mengambil nampan itu dari tangan si perempuan,
"Kau akan menjatuhkan dan memecahkan semua piring dan gelas ini kalau kau membawanya sekaligus seperti itu." Joshua bergumam dingin, menatap ke bawah, ke arah perempuan itu yang mendongak menatapnya sambil ternganga kaget.
Seorang pelayan pria yang melihat kejadian itu langsung tergopoh-gopoh menghampiri, melemparkan tatapan marah kepada si perempuan, lalu mengambil nampan yang penuh itu dari tangan Joshua sambil meminta maaf,
"Maafkan pelayan kami Tuan, merepotkan anda.'
Joshua melemparkan pandangan mencemooh ke arah pelayan pria itu, dia lalu mengangkat bahunya tidak berkata apapun. Dia menatap perempuan mungil yang menatapnya dengan gugup itu, 
"Terimakasih." suara perempuan itu terdengar pelan dan takut-takut, seketika membangkitkan perasaan asing dalam benak Joshua.
"Tidak masalah." gumamnya parau, lalu membalikkan badan dan kembali ke kursinya, Dia merasakan perempuan mungil itu masih menatapnya sebelum kemudian terbirit-birit masuk ke bagian belakang cafe.
Joshua duduk lagi dan menyesap espressonya, merenung. 
Malam ini terasa begitu panjang setelahnya.
*** 
Kiara meletakkan tas ranselnya dan membanting tubuhnya di ranjang kecil itu dengan lelah. Jam tujuh pagi dan dia baru sampai di rumah setelah menyelesaikan shift malamnya di cafe tempatnya bekerja. Hidup memang keras terhadapnya, sebatang kara di dunia ini, dia harus berjuang sendirian bahkan hanya untuk bisa makan setiap harinya.
Kiara dibesarkan di panti asuhan selama tujuh belas tahun lamanya, hingga kemudian ketika penjaga asrama panti, seorang laki-laki tua yang mesum menyadari kecantikan di balik tubuhnya yang mulai bertumbuh, Kiara merasakan dorongan kuat untuk pergi dari panti itu. Sampai akhirnya, sang penjaga panti berusaha berbuat tidak senonoh kepadanya, dengan menjebaknya masuk di ruang kerjanya yang sepi di siang hari. Untunglah sebelum penjaga panti itu sempat berbuat yang tidak-tidak kepadanya, orang-orang datang, membuat penjaga panti itu melepaskannya sambil mengancamnya untuk tidak mengatakannya kepada siapa-siapa karena kalau Kiara berani mengadupun, tidak ada yang akan percaya kepadanya. Penjaga panti itu terkenal sangat baik dan sayang anak-anak, semua orang percaya dan menyukainya, sedangkan Kiara waktu itu hanyalah remaja tujuhbelas tahun yang ketakutan, apalah dayanya?
Sejak kejadian itu, Kiara selalu didera rasa takut dan was-was, dan kemudian dia memutuskan lebih baik dia meninggalkan panti itu. Suatu malam dengan berbekal baju seadanya, ijazah SMU dan sedikit uang tabungan dari kerja part timenya di kantin sekolah, Kiara melarikan diri dari panti itu, tidak menoleh ke belakang lagi.
Kiara berpikir bahwa hidup akan lebih bersahabat di luar panti untuknya, nyatanya tidak. Kiara harus berjuang keras di awal-awal pelariannya, ternyata mencari pekerjaan tidak semudah itu, pada awalnya, Kiara diterima bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah cafe, dengan gaji duapuluh ribu rupiah sehari. Sisa uang tabungannya dipakainya untuk menyewa kamar yang sangat kecil berukuran satu kali dua meter untuk tempatnya bernaung setiap malam. 
Tetapi pada akhirnya Kiara menyadari bahwa dia tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai tukang cuci piring, uang itu hanya cukup untuk makan, sedangkan di akhir bulan, Kiara harus mempunyai uang untuk membayar sewa kamarnya, ditambah dengan kebutuhan lain-lain yang harus dipikirkannya. Ijazah SMUnya ternyata tidak memberikannya keberuntungan karena banyak peminat pekerjaan dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan standar gaji yang sama yang menjadi saingannya dalam memperebutkan peluang pekerjaan. Jadi Kiara mencoba bertahan, siang dia bekerja sebagai tukang cuci piring, malamnya dia bekerja lagi di sebuah cafe 24 jam menjadi tukang bersih-bersih. Untunglah pada akhirnya rumah makan yang mempekerjakannya menaikkannya menjadi waitress dengan gaji yang lebih memadai, sehingga Kiara tidak perlu bekerja dobel lagi. Kiara melepaskan pekerjaan malamnya sebagai tukang bersih-bersih restoran dan mengambil pekerjaan sebagai waitress shift malam di cafe tempatnya bekerja.
Pekerjaan sebagai waitress shift malam cukup melelahkan, karena tamu cafe kebanyakan datang di malam hari, juga tidak ada pembedaan gender pejerja, sehingga Kiara harus mampu melakukan pekerjaan yang biasa dipegang oleh waitres laki-laki, karena itulah dia selalu pulang bekerja dengan keadaan remuk redam. Tetapi wakalupun begitu, setidaknya dia tidak perlu melakukan dobel pekerjaan dan tidak perlu cemas memikirkan uang sewa kamarnya. Kiara mendesah dan menatap langit-langit kamar sempitnya yang menguning. Sekarang usianya sudah delapan belas tahun, dan selama itulah Kiara menyadari bahwa dia tidak punya siapa-siapa.
Adakah orang lain yang dilahirkan untuk sendirian seperti dirinya? Kiara meringis pedih. Kadangkala dia sering melihat keluarga yang datang untuk makan bersama di cafe, tampak bahagia bersama, terikat satu sama lain. Perasaan iri yang pedihpun akan langsung menyeruak di dadanya, membuatnya bertanya-tanya bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga? Dan kepedihannya akan makin dalam ketika dia menyadari bahwa dia tidak akan punya kesempatan untuk merasakannya.
Tidak sekarang, tidak juga nanti.
Dia bukan siapa-siapa. Tidak ada ibu yang memeluknya dan memberikan nasehat-nasehat keibuan kepadanya, tidak ada ayah yang menjaganya sebagai anak perempuan tersayang. Semua kebahagiaan itu adalah milik orang lain, bukan miliknya.
Dengan pedih Kiara bergelung di atas ranjang, seperti posisi janin yang baru lahir. Mencoba menenggelamkan pikiran-pikiran menyedihkan yang selalu mengganggunya.
Setidaknya dia masih bisa hidup, bernafas dan menghirup udara pagi dengan tubuh dan jiwa yang sehat. Itu adalah anugerah yang harus selalu disyukurinya.
Setelah menghela napas panjang, Kiara mencoba tidur, melemaskan urat-uratnya yang pegal, mempersiapkan untuk masuk bekerja lagi malam nanti.

Bersambung ke Part 1



1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 10, 2013 04:05

E-book (PDF) colorful of love

Dear All

ini link download untuk ebook untuk set colorful of love yah ( 4 judul)
selamat menikmatiiii ^___^

PS : ebooknya baru available versi pdfnya yah, yang versi e-pub belum jadi dear hiks

oh ya bagi yang mau pesan bukunya, silahkan kirim email PO langsung ke email : admin@nulisbuku.com yah


Perjanjian Hati
Link Download Perjanjian Hati
http://www.4shared.com/office/E2sWqEX...

Sweet Enemy
Link Download Sweet Enemy
http://www.4shared.com/office/F_K4SIZ...

You've Got Me From Hello
Link download You've Got Me From Hello
http://www.4shared.com/office/XDqVtnH...

Pembunuh Cahaya
Link Download Pembunuh Cahaya
http://www.4shared.com/office/RRNjbZh...


1 like ·   •  2 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 10, 2013 03:02

April 7, 2013

Project Novel 2013 [still revisi cover]

Dalam tahun 2013 , ada beberapa project novel yang jadi PR buat dikerjain :)ini bocoran usulan covernya,  untuk sinopsisnya belum di share yah karena novel masih dalam progress  :D#1st : Project untuk Portalnovel [ erotic, deep passion]"The Dark Partner Series"








1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 07, 2013 05:07

Menghitung Hujan Part 8



Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya
Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu           [
Afgan -Jodoh Pasti bertemu]
Begitu sampai di rumah, Diandra langsung melemparkan buku-buku yang dibelinya ke meja depan. Dia melirik sedikit dan dadanya berdenyut ketika melihat sampul buku berjudul 'Jane Eyre' itu. Langsung terbersit di benaknya wajah Nana yang bercahaya ketika menerangkan tentang buku itu. Nana tampak bahagia, cantik dan ceria, seakan tidak menanggung beban apapapun di benaknya.
Itukah perempuan yang telah merenggut hati Reno darinya?
Diandra mengambil buku itu dan menggenggamnya erat di jemarinya, benaknya berkelana, tiba-tiba saja membayangkan bagaimana jika Reno tersenyum lembut kepada Nana, bagaimana ketika dua anak manusia itu berjalan bersama-sama dan tampak begitu cocok. Visualisasi itu membuat dada Diandra terasa sesak dan sakit.
*** "Aku ingin mengajakmu." Nana menatap Reno yang sedang duduk di depannya dengan senyuman setengah cemas.
Reno menyesap kopinya, menatap Nana dari atas cangkirnya, 'Kemana?"
Nana menghela napas, lalu membulatkan tekad, "Ke makam Rangga."
Tangan Reno yang hendak meletakkan cangkir itu membeku di udara, tampak terkejut, Sementara itu, Nana menatap Reno dengan tatapan cemas, 
"Kau mau ikut?"
Reno termenung, lalu mengangguk dan tersenyum, "Tentu saja.... kapan?"
"Hari minggu, biasanya di minggu kedua aku mengunjungi makam Rangga, mengantarkan bunga dan berbicara tentang kehidupanku." Mata Nana tampak sendu, "Aku sudah menceritakan tentangmu kepada Rangga.... aku...... entah bagaimana, Rangga masih merupakan bagian penting dalam hidupku.... kuharap kau mengerti."
Jemari Reno terulur dan menyentuh jemari Nana, meremasnya lembut, "AKu mengerti sayang..."
*** 
Lama setelahnya Reno termenung sendirian di rumah dan menatap dirinya sendiri di kaca, dia telanjang dada, hanya mengenakan celana piyama warna abu-abu yang menggantung rendah di pinggangnya.
Matanya terpaku di sana, menatap ke arah dadanya, bekas jahitan itu, tempat jantung milik Rangga disematkan di sana, untuk menyelamatkan hidupnnya.
Mengunjungi makam Rangga...... 
Reno mengernyitkan keningnya, makam lelaki itu.. lelaki yang sangat mencintai Nana, bahkan ketika jiwanya sudah tidak ada di dunia ini, jantungnya masih berdenyut penuh cinta untuk Nana. Lelaki yang juga amat sangat dicintai oleh Nana...
Reno mendesah, jemarinya meraba bekas jahitan itu dan benaknya langsung bertanya-tanya, akan jadi apakah kisahnya dengan Nana nanti? Apakah hanya akan menjadi kisah cinta lanjutan antara Nana dengan Rangga, yang jantungnya terselubung di dalam tubuhnya? Ataukah menjadi kisah cinta baru, cinta Nana dan Reno?
Untuk pertanyaan yang satu itu..... Reno tidak tahu jawabannya.
*** 
"Kenapa kau tidak memanfaatkan hari-harimu di Bandung untuk berbelanja dan menikmati wisata kuliner?" Axel menghempaskan diri di sofa, di samping Diandra yang membaca novelnya.
Diandra mengangkat alisnya dan menatap Axel dengan sebal, "Hujan terus setiap hari, bagaimana aku bisa keluar? untuk menuju tempat FO aku harus naik angkot dua kali." ditatapnya Diandra dengan pandangan menuduh, "Dan kau... kau yang harusnya mengantarkanku malahan sibuk setengah mati dengan band-mu."
Axel tergelak, " Sekarang aku sudah bebas dan siap sedia mengantarmu tuan puteri."
Diandra mengangkat alisnya, "Sekarang aku sedang malas."
"Aku tahu tempat makan yang enak dan tempat mencari baju yang bagus." Axel tidak menyerah, "Kau pasti akan suka."
Rupaya kata-kata Axel membuat Diandra tertarik, setelah pertemuannya dengan Nana kemarin, Diandra tidak keluar rumah lagi. DIa ragu, ragu dan takut menghadapi kenyataan kalau harus melihat sendiri cinta Nana dan Reno. Dia masih berusaha menyiapkan hati. Tetapi mungkin ajakan Axel ada gunanya juga untuk mengisi waktu luangnya dan mengatasi kebosanannya di rumah,.
Ditutupnya novel di tangannya dan menatap Axel dengan tertarik, "Tempatnya jauh?"
"Lumayan, tetapi aku tahu jalan supaya kita tidak perlu menembus kemacetan." Axel berdiri, sudah yakin kalau Diandra akan mengikutinya, "Ayo berangkat sekarang."
*** 
Mereka memasuki factory outlet yang besar itu, yang katanya merupakan pioner Factory Outlet yang didirikan di jalan Riau, dan kemudian menghidupkan wisata FO di kawasan jalan Riau Bandung, terletak di depan kantor pos besar Jalan Riau, dua bangunan yang bertolak belakang tetapi terletak dalam satu ruang. Yang satu adalag gedung Herritage, dengan gaya kolonial belandanya yang khas, dan masih merupakan cagar budaya kota bandung, dan yang satunya lagi adalah gedung Cascade dengan gayanya yang modern dan kolam air yang indah di depannya. Dua bangunan itu bertolak belakang, tetapi entah kenapa tampak cocok ketika disandingkan.
Axel melangkah turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Diandra, "Ayo, kita makan dulu. Di sini es cendolnya enak.... dan ada mie Tuna yang sangat lezat, kau pasti akan suka begitu mencicipinya. Setelah itu aku akan mengantarkanmu berbelanja pakaian. Disini koleksi pakaiannya bagus-bagus, kau pasti suka."
Diandra terkekeh sambil turun dari mobil dan berjalan di sisi Axel, "Tidak biasanya, kau baik sekali kepadaku, setahuku kau paling sebal kalau diajak menemani perempuan berbelanja."
Axel tersenyum dan menatap Diandra dengan tatapan menyesal. "Nenek memarahiku karena sibuk sekali dengan band-ku akhir-akhir ini, sampai-sampai aku tidak bisa menemanimu, dan nenek ada benarnya juga, kau kan jarang-jarang datang ke bandung, seharusnya di waktu yang sempit ini, aku bisa membuat setiap detiknya bermakna." Axel mengedipkan matanya, "Jadi sekarang kau tuan puterinya...."
"Dan au pelayannya." Diandra tergelak, tidak mempedulikan wajah cemberut Axel. Dia melangkah setengah mendahului sepupunya itu, tetapi kemudian langkahnya berhenti dan membeku.
Dahinya mengerut dengan sedih. Kenapa? Kenapa di seluruh tempat di Bandung ini, di seluruh waktu yang ada di dunia ini, dia harus berpapasan dengan Reno dan juga Nana?
Di depannya, ada Reno yang sedang menggandeng Nana, Reno yang dirindukannya tampak tertawa dengan ceria, tampak sehat dan bahagia, jauh sekali dari kenangan Diandra akan Reno dulu, yang selalu murung dan lemah di atas ranjang rumah sakit. Sekarang Reno-nya tampak ceria dan begitu sehat, seolah-olah seluruh energi yang dulu direnggut darinya karena sakitnya telah kembali,
Pertanyaan itu langsung mengiris hatinya kembali. Apakah dia menginginkan Reno yang tanpa jantung baru itu? yang lemah, sakit dan tidak berdaya, tanpa harapan hidup lama... tetapi masih menjadi miliknya? masih mencintainya? Ataukah dia bisa menerima Reno yang sekarang dengan jantung barunya itu, yang begitu sehat, penuh vitalitas dan bisa tertawa lepas... tetapi sudah tidak mencintainya dan sudah tidak dimilikinya?
Pasangan itu rupanya tidak menyadari keberadaan Diandra di depannya, Sampai kemudian Reno yang menyadarinya duluan, matanya berkilat tidak percaya, kemudian berlumur keterkejutan yang luar biasa ketika mendapati ada Diandra yang berdiri di depannya.
Langkahnya setengah tertahan dan dia hampir bersuara. Tetapi rupaya Nana sudah menyadari kehadiran Diandra, dia langsung teringat perempuan itu yang ditemuinya di toko buku dan langsung tersenyum lebar,
"Hai Dian.." Sapa Nana ramah, "Tidak disangka kita bertemu lagi di sini." Sapanya ceria dan terkejut, "Bagaimana Novelnya? sudah dibaca, baguskah?"
Diandra berusaha tidak mempedulikan wajah Reno yang berkerut, juga tubuh Axel yang menegang di sebelahnya.
"Sudah kubaca, bukunya bagus, tapi aku baru sampai di tengah-tengah buku, jadi aku belum tahu rahasia gelap apa yang tersembunyi, meskipun aku mulai menebak-nebak semua misterinya."
Nana tertawa, "Kau pasti akan terkejut, sangat layak untuk dibaca sampai akhir."
"Aku juga merasa begitu." Diandra tiba-tiba menggandeng lengan Axel, "Eh aku harus buru-buru, maaf ya, semoga ada kesempatan lain buat kita bertemu." Dengan cepat ditariknya Axel yang tampak bingung meninggalkan Reno dan Nana.
Ketika mereka sudah jauh, Axel melepaskan pegangan Diandra dengan tatapan tajam,
"Itu tadi Reno, tunanganmu, sedang bersama perempuan lain dan kau bersikap seolah-olah tidak mengenalnya. Ada apa ini Diandra? Adakah yang tidak kau ceritakan kepadaku?"
Diandra menghela napas panjang, "Maafkan aku Axel... sebenarnya aku ingin menyimpan masalahku sendiri... tapi....", napas Diandra terasa sesak tiba-tiba ketika bayangan kebersamaan Reno dan Nana menghantui benaknya, "Bisakah kita duduk dulu? aku akan menceritakan semuanya kepadamu."
Axel mengangguk dan menatap Diandra galak, "Ceritakan semuanya sedetail mungkin." gumamnya,
*** 
Sementara itu, Nana masih menatap ke arah kepergian Diandra sampai menghilang, lalu menoleh menatap Reno yang entah kenapa tampak begitu tegang,
"Itu tadi kenalanku, kami bertemu di toko buku."
"Kau kenal dia?" suara Reno terdengar tajam.
Nana terkekeh, "Bukan kenal sekali sih.... kami tidak sengaja bertabrakan di toko buku dan dia sedang membeli novel yang aku tahu, jadi kami bercakap-cakap sejenak mengenai Novel....tadi adalah pertemuan kedua kami."
Reno menghela napas panjang, Hatinya dipenuhi pertanyaan. DIandra ada di Bandung? Kenapa? Dan kenapa perempuan itu sampai bisa bertemu dan mengenal Nana? apakah itu hanya kebetulan, ataukah Diandra sudah merencanakannya?
Apakah Diandra belum menyerah tentangnya?
Reno mendesah, merasa sedih. Yang paling diinginkannya adalah Diandra bisa segera melupakannya dan menemukan cinta yang baru, kenapa Diandra tidak mau menyerah? Kenapa perempuan itu lebih memilih menyakiti dirinya sendiri dengan membangun harapan tanpa akhir dan patah hati yang sudah di depan mata?
Reno harus menemui Diandra lagi, dan mencoba untuk menyadarkannya. Diandra harus bisa menerima bahwa apapun yang dilakukannya, tidak akan ada lagi cinta Reno untuknya.
Bersambung ke Part 9

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 07, 2013 02:05

You've Got Me From Hello Part 10 - End


“Di dalam hatimu yang penuh cinta, ada aku yang sedang menenun kebahagiaan.”

Azka sudah ada di sana menunggunya, ekspresinya tampak cemas. Lelaki itu setengah berdiri ketika melihat Sani mendekat.
“Sani.” Gumam Azka menatap Sani dengan penuh kerinduan. Tiba-tiba Sani merasa kasihan kepada lelaki ini, lelaki yang begitu kuat dan berkuasa. Tetapi sekarang tampak begitu lelah dan berantakan, apakah itu karena dirinya?
“Sani.” Azka menatap Sani dalam ketika perempuan itu duduk di depannya, “Terima kasih sudah mau bertemu denganku dan memberiku kesempatan kedua. Aku.. aku ingin menjelaskan semuanya padamu..”
Sani tersenyum lembut pada Azka, “Aku sudah tahu semuanya, Azka.”
“Sudah tahu semuanya?” Azka mengerutkan keningnya“Iya.” Sani menganggukkan kepalanya, “Keenan memberitahuku semuanya tentang kisah pertunanganmu dengan Celia. Dia meluruskan semua kesalahpahaman.”
Itu adalah salah satu hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Azka. Keenan memberitahu Sani? Semuanya? Apa maksud Keenan? Selama ini Azka masih menyimpan kecurigaan dan mengira bahwa Keenan juga menyukai Sani. Tetapi dengan memberitahu Sani dan meluruskan semua kesalahpahaman, bukankah Keenan sama saja membantu Azka?“Apa yang Keenan beritahukan kepadamu?”
“Semuanya.” Sani menatap Azka dengan lembut, merasa tidak tega ketika menemukan kepedihan di mata itu. Dia yang menyebabkannya. Kemarahannya waktu itu, ketika dia tidak mau menerima penjelasan Azka telah membuat lelaki itu menderita.
“Dan apakah dia mengatakan bahwa aku tidak mencintai Celia sama sekali?” suara Azka menjadi serak.
Sani menganggukkan kepalanya, “Maafkan aku Azka atas semua kesalahpahamanku kepadamu. Aku mengataimu lelaki jahat, aku menganggapmu sama brengseknya dengan Jeremy. Ternyata kau hanyalah lelaki yang terlalu baik hati.”
Azka mengernyit pedih. “Dan kebaikan hatiku ternyata membuatku tersiksa. Dulu aku mengira bisa menjalaninya bersama Celia. Toh pada awalnya aku mencintainya, aku pikir aku bisa menerima dan memaafkan... Tetapi kemudian seperti katamu, mudah memang untuk memaafkan, tetapi sulit untuk melupakan...” Azka mendesah, “Setiap melihat Celia aku merasa muak, membayangkan harus menjalani hidupku bersamanya membuatku sangat tersiksa... Tapi janji sudah diucapkan dan harus ditepati, aku bertekad untuk menjalankannya.” Mata Azka menatap Sani dalam-dalam, “Sampai akhirnya aku bertemu denganmu.”
Sani membalas tatapan Azka dan membiarkan lelaki itu meraih jemarinya dengan lembut,
Azka lalu melanjutkan. “Aku tidak pernah menyapa pelanggan manapun sebelumnya, apalagi seorang perempuan, sama sekali tidak pernah... Tapi kau membuatku tidak bisa menahan diri, kau dengan tubuh mungilmu dan ekspresi seriusmu ketika menghadap laptop membuatku melupakan semua aturanku. Aku menyapamu dan kau membalas sapaanku.” Azka menatap Sani dengan penuh cinta, “Detik itu juga, ketika kau mengucapkan ‘hello’ kepadaku, kau sudah memiliki hatiku.”
Sebuah pernyataan yang sangat indah. Mata Sani tiba-tiba terasa panas. Lelaki ini sungguh tak disangka telah menumbuhkan cinta yang begitu dalam dan tulus kepadanya. “Maafkan aku karena tidak mempercayaimu.” Bisik Sani lemah.
Azka mengangkat bahunya, “Situasinya seperti itu, aku tidak menyalahkanmu. Aku sendiri juga salah, tidak menceritakan keadaanku dari awal padamu. Aku pikir aku bisa melepaskan diri dari masalah ini.”
“Melepaskan diri?”
“Ya. Aku sedang berencana melepaskan diri dari Celia.” Azka tampak malu, “Rupanya aku tidak sebertanggungjawab yang kau kira. Ketika aku jatuh cinta, aku rela melakukan apapun demi memiliki kekasihku.” Azka tersenyum sedih, “Kau mungkin merasa aku lelaki yang rendah.”
Bicara tentang Celia membuat Sani teringat akan kata-kata Keenan, wajahnya berubah serius,
“Keenan.. dia melakukan sesuatu untuk melepaskanmu dari Celia.”
Azka tampak terkejut, “Melakukan apa?”
“Dia bercerita bahwa sebenarnya yang diincar Celia adalah dirinya.”
“Ah ya.” Azka tersenyum, “Celia mengejarnya setengah mati, tetapi kau tahu Keenan. Dia tidak serius menanggapi Celia, hingga Celia berpindah padaku. Aku waktu itu kesepian, masih memendam kesedihan karena harus meninggalkan sekolah kokiku. Dan Celia menghujaniku dengan perhatiannya, pada akhirnya aku menerima bahwa dia adalah wanita yang akan berada di sisiku.”
“Keenan menceritakan pengkhianatan Celia kepadaku.” Gumam Sani dengan wajah prihatin.
“Ya. Itu juga.” Wajah Azka tampak serius, “Karena itulah aku memahami penderitaanmu. Bagaimana sakitnya ketika kita dikhianati oleh orang yang kita percayai. Aku paham sekali bagaimana rasanya, tetapi mungkin aku tidak sesakit dirimu karena pada akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak mencintai Celia sedalam itu. Dan kurasa Celia juga tidak mencintaiku, mungkin aku hanyalah pelariannya dari Keenan.”
“Keenan mengetahui itu  Azka, dan dia sudah bertekad untuk melepaskan Celia dari dirimu. Dia mendatangi Celia dan melamarnya.”
“Apa?” Azka terperanjat, menatap Sani dengan kaget, “Apa katamu?”
“Keenan merasa bahwa ini adalah waktunya dia yang bertanggung jawab untukmu. Dia berkata bahwa dia sudah begitu egois selama ini, dan membiarkanmu menanggung semuanya.”
“Keenan mengatakan itu kepadamu?” Azka sungguh tidak menyangka Keenan yang begitu tidak peduli kepada apapun mau melakukan ini untuknya.
“Ya Azka. Dan Celia menerima lamaran Keenan, dia akan membatalkan pertunangannya denganmu.”
“Oh Astaga.” Azka tidak tahu bagaimana perasaannya. Di sisi lain dia merasa sangat lega karena bisa melepaskan diri dari Celia. Tetapi di sisi lain perasaan bersalah yang amat dalam memukulnya karena itu berarti dia membuat Keenan yang terjebak bersama Celia selamanya, berakhir bersama orang yang tidak dia cintai. Keenan akan sangat tersiksa, dan Azka tidak mungkin membiarkan Keenan menanggung semuanya.⧫⧫⧫
Azka mengetuk pintu apartemen Keenan dengan keras, dan butuh sepuluh menit dia menunggu sampai Keenan membuka pintunya. Adiknya itu tampaknya baru terbangun dari tidurnya,
“Ada apa kakak? Kenapa kau kemari tengah malam?” Keenan mengangkat alisnya dan meminggirkan tubuhnya, memberi jalan Azka untuk masuk.
Azka melangkah masuk lalu berdiri di tengah ruangan dan menatap Keenan dengan tajam.
“Aku sudah mendengarnya dari Sani, kau melamar Celia.”
Tidak ada ekspresi apapun di wajah Keenan, “Oh. Ya kakak, maafkan aku belum memberitahumu. Tetapi aku dan Celia berencana untuk datang ke kantormu besok pagi dan mengatakan semuanya.”
“Jangan berbuat bodoh demi diriku, Keenan.” Azka bergumam pelan, ada kesedihan dan kesakitan di wajahnya, “Aku tahu kau sama  sekali tidak mencintai Celia, kau akan menyiksa dirimu seperti yang kulakukan selama ini. Jangan lakukan Keenan, Jangan lakukan demi diriku.”
Keenan tersenyum, lalu menepuk pundak kakaknya, “Jangan memohon kepadaku seperti itu kak. Aku tahu kau melakukan segalanya untuk memikul tanggung jawab atas diriku, dan kurasa kini saatnya aku yang membalas budi.”
“Kau adikku, dan aku tidak mungkin menjerumuskanmu dalam penderitaan seperti ini.” Sela Azka keras.
Keenan mengangkat bahunya, “Dan kau kakakku, aku tidak akan rela kau kehilangan cinta sejatimu hanya karena sebuah tanggung jawab.”
Azka kehabisan kata-kata mendengar kata-kata Keenan. Dia tersentuh. Selama ini dia mengira Keenan egois, berniat menjalani hidup sesukanya dan tidak  memikirkan orang lain. Adiknya ini ternyata sangat menyayanginya.
“Meskipun aku berterima kasih, aku tetap tidak akan membiarkan kau berakhir dengan Celia.” Gumam Azka akhirnya.
Keenan menatap Azka dengan bingung, “Tidak ada cara lain kakak, inilah satu-satunya cara. Pulanglah, milikilah Sani, dan berbahagialah. Dan aku akan berusaha menjalankan peranku dengan sebaik-baiknya. Kalau dipikir-pikir Celia tidak terlalu buruk.” Gumam Keenan sambil tersenyum masam.
Azka menggelengkan kepalanya, “Kau tidak tahu, aku merencanakan menjauhkan Celia dengan menggunakan Eric.”
“Eric? Sahabatmu dari sekolah memasak itu?”
“Ya. Eric yang itu, aku menyuruhnya untuk mendekati Celia dan merayunya dengan segala pesonanya.” Pipi Azka tampak merona, sedikit malu, “Yah, memang aku menggunakan cara pengecut di sini, menusuk Celia dari belakang. Tetapi cara ini juga bisa menjadi bukti untukku apakah Celia benar-benar setia dan mencintaiku. Dia pernah mengkhianatiku sekali, dan aku ingin melihat, jika ada kesempatan, akankah dia mengkhianatiku lagi?”
“Dan ternyata?” Keenan bertanya  meskipun sepertinya dia sudah tahu jawabannya.
“Dan dia mengkhianatiku, dia menjalin hubungan dengan Eric, bahkan Eric bilang Celia tidak menolak ketika dia  menciumnya. Celia mengira aku tidak tahu karena itu dia tetap memaksa melanjutkan pernikahan ini sambil terus mengungkit rasa tanggung jawabku.”
“Dasar perempuan jalang.” Keenan mengumpat kasar, lalu mengangkat bahunya meminta maaf ketika Azka melemparkan pandangan memperingatkan kepadanya, “Maafkan aku kak, aku sudah sejak awal tidak menyukainya, apalagi ketika pada awalnya dia mengejarku, lalu mengejarmu, dan kemudian mengkhianatimu.”
Azka tersenyum lembut, “Dan kau dengan sukarela mau mengorbankan hidupmu untuk berakhir dengannya, hanya demi kakakmu ini.”
“Bukan ‘hanya’. Kaulah satu-satunya keluargaku yang tersisa di dunia ini. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia.” Gumam Keenan pelan.
Mata Azka berkaca-kaca, “Dan aku akan melakukan semuanya juga, untuk membuatmu bahagia, Keenan.”
Kedua kakak beradik itu berpelukan, lalu Azka melepaskan pelukannya dengan canggung, karena sudah lama sekali dia tidak memeluk adiknya. Dia mengangkat alisnya dan menatap Keenan ingin tahu, “Tantangan untuk memperebutkan Sani dulu itu, kau sengaja ya?”
Keenan terkekeh, “Aku hanya ingin sedikit mendorongmu.”
“Sudah kuduga.” Azka mencibir, “Walaupun aku sempat sangat marah padamu, kau pandai sekali berakting.”
“Dan kau sangat pencemburu, aku hampir tidak kuat untuk menyembunyikan tawa geliku waktu melihatmu marah dan mulai mengancamku.” Keenan akhirnya tertawa.
Azka tersenyum malu, “Lakukan semua seperti rencanamu Keenan, kurasa aku akan menggunakan Eric untuk menyelamatkanmu.”
“Bagaimana caranya?” Keenan menatap Azka bingung.
“Kita akan menemukan cara.” Azka menghela napas panjang. Dia harus menemukan cara, karena dia tidak mungkin tega membiarkan Keenan menanggung semuanya untuknya.⧫⧫⧫
“Keenan mengorbankan diri untukmu? Sungguh tidak terduga,” Eric terkekeh, “Bersyukurlah Azka berarti kau sangat disayangi.”
Azka melemparkan pandangan serius kepada Eric, “Tetapi aku masih membutuhkanmu untuk menyelamatkan Keenan, bagaimana hubunganmu dengan Celia akhir-akhir ini?”
Wajah Eric tampak masam, “Dia menghindariku akhir-akhir ini, kurasa dia mulai serius dengan Keenan.” Eric mengangkat alisnya menatap Azka, “Sepertinya kali ini dia sungguh-sungguh ingin memiliki Keenan.”
Gawat. Azka menghela napas panjang, kalau begini caranya, rencananya untuk menggunakan Eric sebagai senjata tidak dapat digunakan.
“Tetapi aku punya satu pemikiran untukmu.” Eric bergumam misterius, membuat Azka langsung memperhatikaannya. “Pemikiran yang mungkin harus kau selidiki Azka, karena kupikir Celia membohongi kalian semua.”
“Membohongi kami?” Azka mengernyitkan keningnya, “Apa maksudmu?”
“Aku punya seorang nenek yang sudah tua di panti jompo, dia tidak dapat berjalan dan harus berada di kursi roda. Beliau hidup bersama kami di rumah keluarga kami dan aku menghabiskan banyak waktuku untuk merawatnya.” Eric memajukan tubuhnya, “Dari pengalamanku itu, sepatu atau sandal yang dipakai oleh orang yang lumpuh biasanya solnya masih bagus seperti baru, karena sama sekali tidak pernah dipakai. Tetapi... kau tahu aku sering berkunjung ke tempat Celia, dan dia memakai sandal rumahnya di dalam... aku beberapa kali menggendongnya dan membantunya berpindah tempat. Dan aku sempat melihat, sol sandalnya sudah tidak seperti baru lagi dan sedikit aus... seperti sering dipakai berjalan-jalan.”
Azka tertegun, pemikiran itu sama sekali tidak pernah terbersit olehnya. Dia mendengar sendiri diagnosa dari dokter rumah sakit bahwa Celia akan lumpuh selamanya. Dan dia mempercayainya sampai saat ini. Tetapi mungkinkah Celia membohonginya? Batinnya langsung mengiyakan, yah, mungkin sekali Celia membohonginya, kelumpuhan itu adalah satu-satunya pengikat rasa tanggung jawab Azka terhadap Celia. Dan jika Celia tidak lumpuh lagi, sudah pasti Azka akan meninggalkannya.
“Mungkin kau bisa menghubungi dokter pribadi Celia dan meminta informasi.” Eric bergumam memberi usul.
Azka sudah pasti akan melakukannya, dan jika sampai dokter itu berbohong, dia pasti akan menyesalinya. Azka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kebenaran.⧫⧫⧫
Untunglah ketika resepsionisnya mengabarkan bahwa Keenan datang mengunjunginya bersama Celia, Eric sudah meninggalkan kantor itu. Kalau tidak semuanya akan berubah menjadi drama yang buruk di antara mereka.
Azka mempersilahkan dua orang itu masuk, berakting sebaik-baiknya seolah-olah dia tidak tahu apa-apa.
“Hai kakak.” Keenan masuk sambil mendorong kursi roda Celia, sempat-sempatnya dia mengedipkan mata kepada Azka, membuat Azka tersenyum masam.
“Hai Keenan.” Azka menatap Keenan dan Celia bergantian, “Kau tidak bilang akan kemari, Celia, dan sungguh tidak disangka aku melihat kalian berdua datang bersama. Apakah kalian memang datang bersama, atau kalian bertemu di depan?”
“Kami memang datang bersama, Azka.” Celia tampak gugup, Azka tampak begitu mendominasi di ruangan kantornya yang formal ini, dan tiba-tiba Celia merasa takut. Dia sudah pernah mengkhianati Azka sekali dan dia melakukannya lagi, bahkan kali ini dengan adik kembar Azka sendiri. Tetapi Keenan sudah meyakinkannya bahwa Azka tidak akan marah, karena dia tahu pasti bahwa Azka tidak mencintainya. Dan lagipula, Celia berpikir bahwa dia berhak memiliki cinta sejatinya. Keenanlah cinta sejatinya, lelaki yang sangat diimpikannya sejak dulu, dan sekarang ketika akhirnya bisa memiliki Keenan di tangannya, Celia tidak akan pernah melepaskannya.
“Kami datang untuk mengatakan sesuatu kepadamu. Dan kami harap kau tidak marah.” Keenanlah yang angkat bicara, lalu dia meremas pundak Celia dengan lembut dan menenangkan Celia. “Katakan kepada Azka, Celia.”
Azka menatap Celia dan Keenan berganti-ganti, “Mengatakan apa?”
Celia meletakkan kotak cincin di meja di dekat Azka, dia merasa mantap sekarang. “Aku ingin mengembalikan cincin pertunangan ini.” Gumamnya.
Azka mengangkat alisnya, “Mengembalikan cincin pertunangan? Apa maksudmu, Celia?”
Celia melirik ke arah Keenan dan tersenyum ketika melihat Keenan menatapnya penuh cinta dan memberi semangat, “Aku tidak mencintaimu Azka, kurasa aku tidak pernah mencintaimu. Ketika Keenan melamarku, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya menganggapmu sebagai pengganti Keenan.”
Kurang Ajar. Meskipun sudah tahu, tetap saja Azka tidak bisa menahan diri untuk mengumpat dalam hatinya. Celia menganggapnya sebagai pengganti tetapi dia dengan egoisnya menahan Azka untuk dimilikinya. Bahkan Celia bertekad membawa hubungan mereka ke pernikahan. Wanita ini memang egois dan licik... sangat licik dan Azka harus berhati-hati menghadapinya. Dia harus memikirkan informasi Eric tadi dengan baik dan bertindak dengan hati-hati pula. Kalau memang yang dikatakan Eric benar, itu akan menjadi senjata besar untuk menyelamatkan Keenan.
“Kau melamar Celia?” Azka berpura-pura terkejut, menatap Keenan yang tampaknya berusaha menyembunyikan senyum gelinya,
“Aku melamarnya kak. Karena aku tahu kau tidak mencintainya, dan Celia tidak mencintaimu. Celia mencintaiku dan aku pikir dia berhak untuk bahagia bersamaku.”
“Aku sangat mencintai Keenan, Azka. Aku harap kau mengerti.” Celia menyela dengan bersemangat, “Aku ingin menikah dengan Keenan dan hidup bersamanya selamanya.”
Azka tidak melewatkan ekspresi muak yang sempat terlintas di wajah Keenan, tetapi kemudian adiknya itu menutupinya dengan baik.
Well kurasa kalian berdua serius, aku bisa berbuat apa?” Azka mengangkat bahunya, “Kurasa aku harus mengucapkan selamat.”
Celia hampir memekik kegirangan karena jawaban Azka itu. Dia lalu mendongak dan menatap Keenan dengan senyuman penuh kemenangan.⧫⧫⧫
“Jadi begitu ceritanya.” Azka bergumam lembut kepada Sani. Mereka sedang berpelukan di sofa apartemen Sani, setelah memakan makan malam yang khusus dimasakkan Azka untuk Sani. Setelah itu mereka melewatkan malam dengan bersantai dan menonton TV. Azka bercerita panjang lebar tentang pertemuannya dengan Keenan, pertemuannya dengan Eric, dan kedatangan Keenan bersama Celia ke tempatnya untuk mengembalikan cincin pertunangannya.
Azka menunduk lalu mengecup dahi Sani yang meringkuk di dalam pelukannya dengan lembut, “Aku lelaki bebas sekarang Sani, Lelaki bebas yang bisa kau miliki.”
Sani menenggelamkan tubuhnya di dada Azka yang bidang dan memeluknya semakin erat,
“Aku senang bisa memilikimu, aku bahagia Azka.”
“Aku akan selalu menjadi milikmu Sani, sekarang ataupun nanti.” Azka mendongakkan dagu Sani, lalu mengecup bibirnya dengan lembut dan intens. “Dan semua impian kita akan terwujud, kau akan menjadi perempuan pertama yang kupuja di pagi hari ketika aku membuka mataku, dan menjadi yang terakhir kupeluk di malam hari ketika aku beranjak tidur.”
“Kau sangat romantis.” Sani terkekeh ketika Azka melepaskan kecupannya, “Dan aku suka.”
Azka tertawa, “Aku tidak pernah seperti ini dengan perempuan manapun. Kau tahu... semua orang menganggapku kaku.” Azka tersenyum malu, “Bahkan kadang aku merasa iri kepada Keenan yang dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata puitis untuk merayu seseorang.”
Sani tertawa, “Kau cukup puitis untukku kok.” Dia memeluk Azka dengan manja, lalu teringat sesuatu dan dahinya berkerut, “Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Azka?”“Mengenai Celia?” Azka mengangkat bahunya, “Well aku menganggap info dari Eric perlu ditindaklanjuti. Aku sudah menceritakan kepada Keenan dan dia setuju untuk bersama-sama menemui dokter pribadi Celia besok.”
“Kalau Celia memang berbohong, berarti dokter pribadi Celia ikut membantunya membohongimu.” Gumam Sani merenung.
Azka mendesah, “Mau bagaimana lagi, dokter itu adalah dokter pribadi Celia selama bertahun-tahun. Dia adalah sahabat dekat kedua orang tua Celia, mungkin persahabatannya itulah yang menjadi alasan utamanya membantu menutupi kebohongan Celia. Tetapi bagaimanapun juga, aku dan Keenan akan membuatnya bicara.”⧫⧫⧫
“Dari awal saya sebenarnya sudah tidak setuju dengan kebohongan ini.” Tanpa diduga dokter pribadi keluarga Celia langsung mengungkapkan semuanya tanpa menutupi apapun. “Tetapi ayah Celia memohon kepada saya, dia meminta saya tidak memberitahukan kepada anda, bahwa Celia sudah bisa berjalan... Dia menangis dan mengatakan bahwa Celia akan bunuh diri kalau sampai anda meninggalkannya.” Dokter itu mengangkat bahunya dengan menyesal. “Saya minta maaf atas kebohongan ini, saya memang bersalah. Tetapi pada waktu itu, saya memandang Celia seperti putri saya, dan saya tidak tega menghancurkan hidupnya.”
Keenan dan Azka saling melempar pandangan. Sekarang semua sudah jelas, Celia selama ini membohongi mereka dengan berpura-pura lumpuh.
Mereka bisa saja membawa semua bukti ini ke depan Celia, melemparnya ke mukanya, dan membuatnya malu. Tetapi itu tidak akan membuat Celia menyesal. Itu tidak akan membuat Celia membayar setimpal kebohongan yang telah dengan tega dilakukannya dengan kejam.⧫⧫⧫
Keenan menjemput Celia untuk makan malam bersama, Celia sudah berdandan secantik mungkin dan menunggu di kursi rodanya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, dan di mobil Celia menoleh kepada Keenan dengan tatapan manja,
“Memangnya kita mau ke mana Keenan?” tanyanya mesra.
Keenan tersenyum, matanya mengarah ke jalan di depannya, wajahnya tidak terbaca, “Kita akan makan di salah satu cafe milik Azka, kau tidak keberatan kan? Makanan di cafe itu sangat enak dan suasananya romantis.”
“Apakah Azka akan ada di sana?" Celia mengeryitkan keningnya. Pasti suasana makan malam yang romantis akan rusak kalau Azka ada di sana.
Keenan melirik sedikit dan tersenyum, “Cafe itu miliknya, mungkin saja dia akan ada di sana, mungkin juga tidak.”⧫⧫⧫
Mereka lalu memasuki Garden Cafe itu, sebuah cafe yang indah dengan pepohonan hijau yang memenuhi sekelilingnya. Dindingnya dibatasi oleh kaca bening yang menampilkan pemandangan taman yang luar biasa indahnya. Cafe itu cukup bagus, meskipun Celia sedikit kecewa.
Bukankah keluarga Azka dan Keenan memiliki banyak rumah makan bintang lima? Kenapa Keenan malah mengajaknya merayakan pertunangan mereka di cafe biasa seperti ini? Padahal dia sudah memakai gaun terbagusnya dan berdandan semewah mungkin karena mengira Keenan akan membawanya makan malam di hotel yang mewah. Celia mengenakan gaun berwarna putih dengan hiasan renda keemasan di kerah dan lengannya. Gaun ini sangat mahal, pesanan khusus, tetapi tentu saja gaun ini sangat pantas dipakai di perayaan pertunangannya dengan Keenan. Celia melirik cincin di tangannya dengan bahagia.
Cafe itu cukup ramai, kelihatan dari luar. Beberapa orang memilih duduk-duduk bergerombol dan bercakap-cakap. Beberapa orang duduk dan menikmati minumannya di bar yang kelihatan dari kaca yang bening.  Setelah membantunya turun dari mobil dan duduk di kursi rodanya, Keenan mendorong kursi roda Celia dengan hati-hati memasuki cafe.
Mereka memilih meja di sudut yang sepi, Keenan menyingkirkan kursi dan mengatur kursi roda Celia supaya pas di sana. Dan Albertlah yang melangkah mendekati mereka.
“Selamat malam Tuan Keenan, makan malam istimewa yang tuan minta sudah disiapkan.” Dengan sopan Albert menyalakan lilin di tengah meja, menampilkan cahaya temaram yang indah dan sangat romantis. Pipi Celia memerah karena bahagia dan dia menatap Keenan dengan penuh cinta.
“Kau menyiapkan makan malam istimewa untukku?” bisiknya mesra.
Keenan tersenyum misterius, “Tentu saja sayang, dan aku harap kau akan menyukai setiap detiknya.”
Makan malam berlangsung romantis dan nikmat, meskipun Keenan tampaknya tidak banyak bicara. Ketika saat terakhir, Keenan menawarkan kepada Celia,
“Kau mau kopi untuk penutup?”
“Apa?” sebenarnya Celia sudah kenyang, dan dia tidak menginginkan kopi, karena kopi membuatnya susah tidur di malam hari. Tetapi Keenan tampaknya punya maksud tersendiri.“Malam kita tidak hanya akan berakhir di makan malam ini Celia, aku punya rencana supaya kita menghabiskan malam di rumahku.” Keenan mengedipkan matanya, “Dan itu bukan untuk tidur. Jadi kurasa kau butuh kopi.”
Pipi Celia memerah ketika memahami maksud Keenan. Dia dan Keenan akan bermesraan, batinnya bersemangat. Memang Keenan berbeda dengan Azka, Azka sangat dingin. Jangankan bermesraan, lelaki itu jarang menyentuhnya kecuali hanya memegangnya lembut, atau memberinya kecupan di dahi. Padahal Celia sangat haus akan perhatian laki-laki. Karena itulah dia tidak menolak perhatian yang dilimpahkan Eric kepadanya. Bahkan ketika Eric menciumnya dulu, Celia tidak menolak dan malahan menikmatinya. Sayangnya Eric masih kalah kalau dibandingkan dengan Keenan, Celia akhirnya memilih menjauhi Eric karena tidak mau lelaki itu menjadi penghalang hubungannya dengan Keenan.
“Kurasa aku mau secangkir kopi.” Gumamnya malu-malu.
Keenan terkekeh, lalu memberi isyarat kepada Albert, “Dua cangkir kopi.” Gumamnya sambil mengedipkan mata, Albert menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi.
Tak lama kemudian Albert datang membawa nampan berisi dua cangkir kopi yang masih mengepul panas.
“Hmm kopi ini aromanya nikmat, Albert dan sangat panas, aku yakin aku akan menikmatinya.” Keenan bergumam ketika Albert mendekat, sementara itu Albert tertawa menanggapinya. Sayangnya karena tertawa dan terlalu memperhatikan Keenan, nampan di piringnya oleng dan gelas kopinya jatuh miring tumpah ke samping ke arah Celia,
Keenan langsung berteriak memperingatkan, “Celia! Menyingkir, kopinya sangat panas!” serunya.
Dan dengan gerakan refleks Celia menyingkir, menghela napas panjang karena lega ketika cairan kopi yang mengepul panas itu tidak mengenai dan melukainya, dia bergidik membayangkan luka bakar yang akan dideritanya kalau terkena cairan panas itu. Untunglah gerakan refleknya cukup bagus.
Celia menoleh untuk tersenyum lega kepada Keenan, ketika menyadari bahwa Keenan dan Albert sedang tertegun dan menatapnya dengan tajam.
Celia menundukkan kepalanya dan kemudian menyadari bahwa dia sudah berbuat kesalahan yang luar biasa fatal... Karena dia terlalu panik menghindari kopi panas itu, tanpa sadar dia sudah melompat berdiri dari kursi rodanya.
“Aku bisa menjelaskan..." Celia berseru panik ketika melihat ekspresi jijik muncul di wajah Keenan. Bahkan pelayan setengah baya sialan yang tidak bisa memegang nampan dengan benar itupun  ikut memandanginya dengan mencela.
“Menjelaskan apa Celia? Bahwa kau selama ini membohongi kami? Membohongi Azka, aku dan semua orang?’
“Bukan begitu....” Celia meninggikan suaranya, keringat dingin muncul di keningnya. Dia gugup dan ketakutan, tidak menyangka bahwa pada akhirnya dia akan ketahuan, “Aku melakukannya karena aku mencintaimu Keenan, aku mencintaimu, bukankah kau juga mencintaiku?”
Keenan bersedekap, menatap Celia dengan dingin, “Karena mencintaiku? Aku tidak percaya.” Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan jijik, “Kau melakukan kebohongan ini ketika kau masih bersama Azka. Jelas sekali bahwa kau berpura-pura lumpuh bukan karena mencintaiku, tetapi karena keegoisanmu ingin memanfaatkan rasa bersalah Azka, karena obsesimu untuk memiliki Azka.”
“Ya. Aku memang melakukannya!” Celia berteriak dengan frustrasi karena dia sudah kepalang basah, “Tetapi itu semua sudah tidak penting lagi. Kau mencintaiku dan aku mencintaimu. Tidakkah ini membuatmu bahagia? Aku yang bisa berjalan disisimu dan membuatmu bangga? Kita saling mencintai bukan, Keenan?” Celia mulai gemetaran, “Kita akan menikah dan berbahagia kan Keenan? Aku akan memilikimu, bukan?”
Keenan mencibir, “Kau hanya bisa memilikiku dalam mimpimu Celia.” Lalu lelaki itu melemparkan bom kejam itu kepada Celia, “Aku sama sekali tidak pernah mencintaimu. Aku melamarmu dan sebagainya karena ingin melepaskan Azka dari cengkeraman perempuan licik sepertimu. Kakakku itu terlalu baik hati untuk menyingkirkanmu secara langsung dan kau memanfaatkan kebaikan hatinya tanpa tahu malu. Sekarang kau harus menyingkir dari kehidupan kami, Celia.”
Air mata meleleh dari wajah Celia, dia menatap Keenan dengan shock dan sedih, “Kau tidak akan melakukannya kepadaku kan Keenan? Aku mencintaimu!!”
Keenan memalingkan mukanya dan berdiri, “Pergilah Celia sebelum aku marah dan lebih mempermalukanmu lagi. Kau dan keluargamu telah menipu kami. Aku dan kakakku bisa saja melakukan pembalasan kejam kepadamu dan keluargamu, tetapi kalau kau menyingkir sekarang, kami tidak akan melakukannya.”
“Keenan....” Celia berusaha memanggil dan memohon, tetapi wajah Keenan tampak dingin dan penuh kebencian.
“Supir di luar akan mengantarmu pulang, kau bisa mendorong kursi roda itu sendiri bukan?” Lelaki itu melirik Celia dengan tatapan merendahkan. “Dan omong-omong, cincin itu bisa kau tinggalkan sebelum pergi.”
Lalu Keenan melenggang pergi, meninggalkan Celia yang berdiri dan menangis histeris memanggil-manggil namanya.⧫⧫⧫
Azka berada di ruangan kerjanya yang berdinding kaca, mengamati semua kejadian itu. Ketika akhirnya Celia pergi ke luar dengan di antar Albert yang membantu mendorong kursi rodanya, menuju sopir dan mobil yang sudah menunggu, Azka memejamkan matanya dengan lega.
Selesailah sudah.
Tubuhnya menegang selama mengawasi Keenan datang dan mengajak Celia makan malam. Dia takut rencana mereka tidak akan berhasil, dia takut bahwa kopi itu akan menumpahi Celia yang memilih tidak bergerak dari kursi rodanya dan melukainya. Mereka mengambil resiko yang cukup besar dengan rencana ini. Dan itu semua sepadan. Celia sudah pergi dari kehidupan mereka selamanya. Dia dengan rencana licik egoisnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mengganggu kehidupannya.
Azka melangkah mundur dan langsung menghubungi Sani. Suara Sani yang menyahut lembut di seberang sana langsung menyejukkan perasaanya.
“Hallo?”
Azka tersenyum, “Semua sudah selesai, Sayang. Aku akan segera kesana.”⧫⧫⧫
Azka melihat Keenan yang sedang bercanda dengan Albert di bar ketika dia menuruni tangga. Dia mendekati mereka.
“Hai kak.” Senyum Keenan tampak lebar, “Kau melihatnya tadi?”
Azka menganggukkan kepalanya, “Terimakasih Keenan, kau membuat semuanya menjadi mudah untukku.”
“Aku akan mengirimkan tagihannya nanti.” Keenan mengedipkan sebelah matanya menggoda, “Mungkin aku akan meminta makanan gratis di sini setiap hari sebagai bayarannya.”
Azka melemparkan tatapan mata mencela, “Silahkan kalau kau tidak tahu malu.” Lelaki itu lalu terkekeh, sebuah tawa yang terdengar menyenangkan karena sekarang hatinya benar-benar ringan, “Aku akan ke tempat Sani.”
Keenan dan Albert saling bertukar pandang dan tersenyum penuh arti ketika melihat Azka berjalan dengan sedikit tergesa dan penuh kebahagiaan keluar dari cafe. Pundaknya tampak tegak tanpa beban, seakan semua kesakitannya yang berat telah disingkirkan dari dirinya.⧫⧫⧫
“Saat ini aku merasa begitu ringan.” Azka menatap Sani dan tersenyum lebar, “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
Sani menatap kekasihnya yang tampak begitu bahagia itu dengan terharu. Azka memang telah menanggung beban berat begitu lama, karena menanggung beban demi kebahagiaan orang lain. Dan sekarang, lelaki itu layak untuk bahagia. Sani berjanji dalam hati dia akan membahagiakan Azka sebisanya. Sedapat mungkin untuk menebus segala beban dan penderitaan yang selama ini ditanggung oleh Azka.
Dengan senang dia memeluk Azka yang langsung membalas pelukannya dengan sayang. Lelaki itu mengecup dahinya dan menatapnya lembut,
“Terimakasih Sani.” Bisiknya penuh cinta,
“Untuk apa?’
“Karena  muncul di hidupku dan mengubah segalanya untukku. Kau membuatku berani melanggar semua prinsipku dan mengejar kebahagiaanku. Kau memberiku kebahagiaan yang dulu bahkan tidak pernah berani aku impikan.” Mata Azka berkaca-kaca, lelaki itu mengungkapkan perasaannya dengan sepenuh hatinya.
Mata Sani sendiri terasa panas, menyadari betapa besarnya cinta yang diberikan Azka kepadanya. Lelaki ini benar-benar tulus kepadanya sejak awal, seorang lelaki yang dipenuhi kebaikan hati yang luar biasa. Dan Sani memilikinya, mereka saling memiliki.
“Aku mencintaimu Azka.” Sani berbisik pelan, menutup matanya yang penuh air mata, membiarkan kekasihnya itu mengecup sudut matanya yang basah, lalu dahinya, lalu ujung hidungnya dan kemudian bibirnya. Mereka berciuman dengan penuh cinta kemudian, bibir mereka bertaut mencicipi kemanisan satu sama lain.
Ketika Azka mengangkat kepalanya dia menatap Sani dengan serius,
“Kurasa aku tidak ingin berlama-lama lagi,”
“Berlama-lama untuk apa?” Sani mendongak, menatap Azka dengan penuh ingin tahu,
“Untuk menikah.” Lelaki itu mengeluarkan kotak cincin di saku celananya dengan gugup, “Aku.. eh aku membelinya sejak kemarin... “
Sani tertegun, kotak itu sudah pasti sebuah cincin, dan itu berarti Azka melamarnya. Dia tidak menyangka Azka akan melakukannya secepat itu. Tetapi apalagi yang perlu ditunggu? Mereka sangat pas bersama, mereka saling melengkapi satu sama lain, dan mereka sangat bahagia bersama.
Mata Sani kembali basah oleh air mata ketika Azka membuka kotak cincin itu dan berbisik parau kepada Sani,
“Maukah kau menikahiku sayang? Maukah kau menjadi yang pertama kulihat ketika bangun di pagi hari, dan menjadi yang terakhir kupeluk ketika aku menutup mata di malam hari?”
Tentu saja Sani mau, dia menganggukkan kepalanya, tidak mampu berkata-kata karena perasaan bahagia yang membuncah memenuhi rongga dadanya. Sani menganggukkan kepalanya sambil berurai air mata, dan Azka mengecup dahinya dengan lembut,
Lelaki itu lalu memasangkan cincin itu di jari manis Sani dan memeluk kekasihnya erat-erat. Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan daripada memeluk sang pujaan hati dalam rengkuhan lengannya, menyadari bahwa mereka akan bersama selamanya, menjelang hari demi hari sambil bergandengan tangan.
The end

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 07, 2013 00:34

April 3, 2013

Pembunuh Cahaya Part 10 End


Note : Dear All, maafkan aku yang lama sekali nggak posting, seminggu ini benar-benar minggu yang sangat sibuk untukku, di pekerjaaan yang berlangsung sampai hampir jam 10 malam di kantor, membuatku tdk bisa membuka, email, twitter, dan update di blog. Semoga mulai besok sudah bisa rajin posting dan ngobrol2 lagi dengan all readers yaah ;))


Mereka memasuki rumah besar berpagar tinggi itu. Saira menatap rumah itu dan mengaguminya, bangunannya serupa bangunan kolonial belanda yang terawat dan mewah. Dan tamannya, taman depan yang menghampar luas itu sangat indah dan terawat. Saira melirik Andre, kalau memang Andre yang bertanggung jawab merawat taman ini, dia pasti merawatnya dengan sepenuh hati karena tamannya benar-benar luar biasa indahnya.
“Ayo.” Andre setengah mendahuluinya masuk ke rumah itu. Saira mengikuti dengan pelan di belakangnya, waspada. Benaknya berkecamuk. Seperti apakah perempuan bernama Leanna itu? Apa reaksinya ketika melihat Saira? Apakah dia akan marah dan melukai Saira? Ataukah dia akan sedih dan menangis seperti reaksi Saira pertama kali ketika mengetahui keberadaan Leanna? Apakah Leanna sudah mengetahui tentang Saira sejak lama? Atau dia sama seperti Saira? Tidak mengetahui keberadaan satu sama lain?Saira terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tidak menyadari betapa nyamannya Andre bergerak di rumah itu, seolah-olah lelaki itu sudah biasa menaiki tangga dan melangkah ke ujung lorong, menuju sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka.
Harusnya Saira merasa ragu karena bukankah Andre hanya ditugaskan mengurus taman di rumah ini? Kenapa dia sepertinya dengan mudahnya memasuki isi rumah, bahkan sampai menaiki tangga menuju area pribadi pemiliknya?
Andre membuka pintu dan senyumnya tampak aneh ketika menatap Saira, dia mempersilahkan Saira memasuki kamar itu,
“Silahkan Saira, temuilah Leanna.”
Apakah Leanna sudah menunggunya? Dia mengernyit menatap Andre, tetapi lelaki itu memasang ekspresi tidak terbaca.
Saira melangkah masuk dan tertegun.
***Leo menginjak gasnya kuat-kuat, mengumpat-umpat ketika kemacetan menghalanginya, dengan panik dia memutar balik, mencari jalan lain lewat jalur-jalur alternatif, dia harus bisa segera mencapai rumah pinggiran kotanya sebelum terlambat. Sebelum Saira terluka!
Leo melakukan penyelidikan singkat tadi mengenai Andre. Dan penyelidiknya mengatakan bahwa Andre dulu sangat akrab dengan Leanna sebelum kejadian percobaan bunuh diri itu.
Bahkan penyelidiknya mempunyai dugaan kuat, bahwa Andre adalah ayah dari bayi yang sempat dikandung oleh Leanna! Selama ini dia telah salah duga tentang lelaki yang menghamili Leanna!***
Perempuan itu duduk di sebuah kursi roda di sudut, tatapannya tampak kosong.  Tetapi selain itu dia luar biasa cantiknya. Rambutnya panjang terurai dan kulitnya putih bening, dia tampak seperti seorang peri yang muncul dari negeeri khayalan, begitu halus dan rapuh...
Saira memang menduga bahwa kekasih Leo secantik ini, tetapi dia tidak menduga bahwa Leanna duduk di kursi roda dan.... buta?Menilik dari mata kosongnya, perempuan itu buta. Oh astaga, teganya Leo menikahinya, menghamilinya dan mengkhianati perempuan ini?
Andre berdiri di belakangnya, dan mengunci pintu kamar itu tanpa sepengetahuan Saira. Dia lalu berjalan melewati Saira menuju ke arah Leanna.
Leanna yang menyadari kedatangan Andre yang mendekatinya langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya,
“Andre,” senyumnya lembut. Dan Andre menyambut uluran tangan itu, lalu mengecup jemari yang rapuh itu dengan penuh sayang,
Sementara itu Saira mengamati kejadian di depannya itu dengan terkejut. Dia memandang Leanna dan Andre berganti ganti dengan pertanyaan berkecamuk di dadanya. Andre mengenal Leanna? Dan kenapa bahasa tubuh mereka berdua selayaknya sepasang kekasih?
“Aku datang membawa dia untukmu, sayangku...seperti janjiku kepadamu.” Andre menatap Saira dengan kejam, “Dia ada di depanmu, perempuan yang membunuh anak kita, yang membunuh cahaya indah di matamu...”
Saira menatap Andre dengan bingung, tatapan Andre yang penuh kebencian kepadanya membuatnya memundurkan langkahnya secara refleks,
“Apa maksudnya ini Andre?”
Andre tersenyum sinis kepadanya, dia berdiri di sebelah Leanna dan dengan sayang meremas pundak perempuan itu, “Kasihan sekali Saira yang ternyata tidak tahu apa-apa.” Andre menunduk lembut dan menatap Leanna, “Kita jelaskan saja kepadanya sayang?”
Leanna menganggukkan kepalanya,
“Kau, Saira... adalah anak yang dilahirkan tanpa ayah... dan kau merenggut ayah Leanna, membuatnya menderita.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.” Saira merasa bingung dan tiba-tiba merasa takut, Andre yang ada di depannya tampak aneh, dia sangat berbeda dengan Andre yang dikenalnya sejak kecil, Andre yang baik dan seperti kakak baginya, apa yang terjadi? Dan Andre bilang kepada Leanna ‘anak kita’? bukankah Andre seorang gay?
“Mungkin aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar kepadamu, yang pasti aku membawamu kemari untuk membalaskan dendam Leanna... dendam kami berdua... kau adalah pembunuh cahaya hidup kami, kau membunuh calon anak kami dan juga membunuh cahaya di mata Leanna...” Andre mengeluarkan pistol di tangannya dan menodongkannya kepada Saira, “Aku akan membuatmu terjun dari balkon ini, dan kehilangan bayimu... sama seperti yang terjadi kepada Leanna...”
Oh Tuhan! Andre! Apa yang kau pikirkan?” Saira mundur ketakutan karena todongan pistol  itu sekaligus akan kata-kata Andre.
Ketika dia hendak memikirkan cara menyelamatkan dirinya dan bayinya, pintu kamar itu digedor dengan kuat,
“Andre!! Apapun rencanamu, lepaskan Saira! Aku membawa polisi di luar, mereka sudah mengepung rumah ini, kau tak akan bisa lolos!”
Itu suara Leo, ada kecemasan dan kepanikan di dalamnya, dia menggedor- gedor pintu itu sekuat tenaganya, Andre melirik ke arah pintu dan tersenyum sinis, menatap ke arah Leanna,
“Dengarkan itu Leanna, kakakmu yang pengecut dan pengkhianat.... dia meninggalkanmu demi perempuan ini, sama seperti ayahmu..dia juga harus mendapatkan ganjarannya.”
Saira tertegun. Semua terjawab sudah. Andre bilang bahwa Leo adalah kakak Leanna. Jadi Leo tidak pernah menduaka dirinya, tidak pernah ada perempuan lain. Semua ini adalah manipulasi Andre untuk membawanya ke rumah ini. Hati Saira terasa nyeri memikirkan semua tuduhan-tuduhannya kepada Leo.
Dia bersalah kepada Leo... akankah dia mempunyai kesempatan untuk meminta maaf kepada Leo? Diliriknya pistol yang masih diacungkan oleh Andre kepadanya, dan merasa ragu.
Sementara itu ekspresi Leanna tampak berubah, dia mengenali suara Leo yang sedang berteriak-teriak di luar pintu, “Leo...? kakak....?” dia tampak bingung dan menggapai-gapai, tetapi Andre memegang tangannya dan bergumam tegas, “Kau harus kuat Leanna, dia pengkhianat, dia bilang akan membalaskan dendam demi dirimu, tetapi kemudian dia jatuh cinta kepada Saira dan tidak bisa menahannya...”
Leo jatuh cinta kepadanya? Saira merasakan rasa bersalah menghujamnya.... “Kita harus membunuh Saira demi dendam anak kita, Leanna...” Andre terus bergumam untuk membunuh keraguan Leanna, ketika Leanna tampak tenang dan tidak panik lagi mendengar suara gedoran Leo di luar, Andre menatap dingin ke arah Saira, “Kau... melangkah ke sana.”
Saira mengikuti arah kepala Andre menoleh dan tiba-tiba gemetar, Andre menyuruhnya melangkah ke balkon.. apakah lelaki itu akan melaksanakan ancamannya untuk menyuruhnya terjun dari balkon? Setega itukah Andre kepadanya?
“Kau tidak benar-benar akan menyuruhku terjun bukan Andre?” Saira menatap Andre ragu dan ketakutan.
“Tentu saja aku akan melakukannya, aku bisa membalasmu dan Leo... kalian berdua harus menanggung penderitaan, sama seperti yang kami tanggung...” Ande menggerakkan pistolnya dan menyuruh Saira melangkah ke arah balkon, Saira melirik ke arah suara berdebum di pintu, tahu bahwa Leo dan beberapa polisi mencoba mendobrak pintu, dan dia berharap semoga Leo tidak terlambat.
Saira melangkah ke balkon dengan jantung berdebar, dia menghela napas ketika Andre terus menodongkan pistolnya dan menyuruhnya sampai ke pinggir. Andre tampaknya terpusat pada Saira dan tidak terpengaruh dengan suara dobrakan-dobrakan di pintu, dia menoleh ke arah Leanna dan tersenyum,
“Sayang kau tidak bisa melihatnya Leanna, saat-saat kemenangan kita tetapi aku akan menceritakan kepadamu bagaimana Saira melompat dan kehilangan bayinya, sama sepertimu...”
Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dan pintu itu didobrak dengan kencang sampai terjatuh. Leo berdiri di sana terengah-engah dengan beberapa polisi di belakangnya.
“Lepaskan isteriku, Andre!” Leo berseru dengan suara keras bercampur kecemasan, dia melangkah maju, tapi Andre melirik ke arahnya dengan benci,
“Tahan! Kalau kau maju sedikit lagi, aku akan menembakmu!” serunya, menodongkan pistolnya ke arah Leo.
Leo menatap Saira yang berdiri di balkon dengan cemas, kecemasan murni dari seorang lelaki yang mencintai. Kenapa Saira tidak menyadarinya?
“Tembak saja aku kalau itu memuaskanmu, tetapi jangan lukai Saira.”
Andre tertawa, “Tidak melukai Saira? Dia adalah tujuanku selama ini. Aku mencintai Leanna kau tahu? Aku mengenalnya ketika dia mencari-cari informasi tentang Saira. Aku yang memeluknya ketika dia menangis sedih ketika menyadari bahwa ayahnya lebih memilih Saira daripada dirinya.... sementara kau sebagai kakaknya malahan sibuk dengan urusanmu sendiri. Aku adalah ayah dari anak yang dikandung Leanna...dan karena ketidakbecusanmu menjaga Leanna, kau membuat kami kehilangan calon buah hati kami!”, napas Andre terengah, “Sekarang kami akan membalaskan dendam kepada kalian!”
Leo mengalihkan tatapannya kepada Leanna yang tampak bingung, dia tahu adiknya itu tidak bisa berpikir dengan sempurna dan Andre sedang memanfaatkan kelabilannya,
"Bagaimana kau tahu itu anakmu? Leanna tidak membantah ketika aku bertanya apakah lelaki bernama Edo yang terakhir tampak akrab dengannya,  adalah ayah dari anak yang dikandungnya."
Andre mencibir, "Leanna tidak membantah tetapi juga tidak mengiyakan bukan?" matanya menajam, "Bagaimanapun aku tahu pasti anak itu adalah anakku. Dan aku akan membalaskan dendam atas kematiannya yang sia-sia..."
“Kalau kau mau membalas dendam, balas dendamlah kepadaku.... aku yang bersalah.” Ditatapnya Andre dengan tajam, “Kau bukan? Yang membakar rumah dan rumah kaca Saira?”
Saira tersentak kaget, jadi Andre pelakuknya? Bukan Leo?
Andre sendiri tertawa keras mendengarkan kata-kata Leo, “Ya, aku yang melakukannya, karena dari Saira aku tahu bahwa kau mulai lembek, lemah dan mulai mengkhianati rencana balas dendammu... aku melakukannya supaya Saira menuduhmu sebagai pelakunya.”
Leo tampak jijik, tetapi dia lalu menatap Andre setengah membujuk, “Lepaskan Saira oke? Aku yakin bahwa Leanna juga tidak menginginkan semua ini... benar kan Leanna?”
Rupanya strategi Leo untuk menarik Leanna berhasil, perempuan itu tampak goyah lagi,
“Kakak...?”
“Aku disini sayang..” Leo menjawab lembut, “Kau tidak menginginkan semua ini kan sayang? Kau tidak menginginkan pembalasan sekejam ini kan Leanna?”
“Diam!” Andre menghardik dengan marah, “Jangan coba-coba mempengaruhi Leanna! Kau juga mengkhianatinya seperti yang lain! Kau tidak tahu apa yang diinginkan Leanna, akulah yang paling tahu!”
“Aku kakak Leanna, akulah yang bisa menjaganya!”
“Akulah penjaga sejati Leanna, karena aku satu-satnya yang tidak mengkhianatinya!” Andre menodongkan pistplnya dengan mengancam ketika melihat gerakan maju Leo, “Jangan maju lagi, aku akan menembakmu!”
“Kau tidak akan bisa, kalau kau menembakku polisi dibelakang akan menembakmu juga dan membunuhmu!” Leo bergumam parau, kemudian  menerjang maju,
Membuat Saira menjerit, dan Leanna tampak bingung.
Andre sendiri tidak mengira bahwa Leo akan maju dan menerjangnya, dia dengan reflek menarik pelatuknya dan menembak.
Suara tembakan keras terdengar, diiringi dengan tubuh Leo yang rubuh. Para polisi di belakang langsung menembak tangan Andre, membuat pistol itu terjatuh dari tangannya.
Saira menjerit keras, begitupun Leanna yang berteriak-teriak histeris.
Semua kejadian berlangsung begitu cepat setelahnya, semuanya tampak kacau balau dan membuat Saira seketika itu juga kehilangan kesadarannya.***
Ketika Saira membuka matanya, dia sudah berada di rumah sakit, ruangan itu serba putih dan bau obat, dia meraba perutnya dan langsung terduduk dengan cemas.
Sebuah tangan kuat menahannya,
“Tenang, Saira. Bayimu tidak apa-apa..”
Saira menoleh dan melihat Leo menahannya dengan sebelah tangannya, lelaki itu tampak pucat, dan sebelah ada perban di lengannya, rupanya tembakan Andre mengenai lengannya.
Leo mengikuti tatapan Saira ke lengannya dan meringis, “Tidak fatal kok, hanya menyerempet lengan...”
Saira menatap Leo dengan cemas, “Andre? Leanna?”
“Andre tertembak tangannya juga, oleh polisi. Dia sekarang di rawat dalam penjagaan polisi. Leanna baik-baik saja, dia di dalam bimbingan psikiaternya.”
Saira memikirkan tentang ibu dan adik-adik Andre dan tiba-tiba merasa cemas, “Bagaimana dengan keluarga Andre?”
“Polisi sudah menginformasikannya kepada mereka, mereka sekarang ada di kantor polisi.”
“Mereka pasti bingung...” Saira meringis sedih.
“Sama bingungnya seperti dirimu kan Saira? Aku juga tidak menyangka, aku terlambat mendapatkan informasi, maafkan aku seandainya aku lebih teliti, pasti insiden ini tidak akan terjadi.”
Saira menghela napas panjang, “Kau tidak pernah percaya bahwa Andre adalah seorang gay, dan kau benar.”
Leo mengangkat bahunya dan tersenyum, “Biasanya seorang lelaki mempunyai insting tersendiri mengenai hal itu.”
Saira menatap Leo dengan bingung, “Maukah kau menjelaskan semuanya kepadaku, kumohon? Semua ini... semua ini terlalu membingungkan untukku, aku tidak mengerti apa yang terjadi...”
Leo menggenggam tangan Saira menatapnya dengan lembut, “Aku mau... berbaringlah.”Dengan segera Saira mengikuti permintaan untuk berbaring, matanya masih menatap Leo dengan penuh rasa ingin tahu,
“Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu, dari awal... tetapi sebelumnya kuharap kau mau mendengarkanku..”
“Mendengarkan apa?”
“Bahwa aku mencintaimu, Saira. Dengan sepenuh hatiku, perasaan ini muncul di luar kendaliku, aku mencintaimu begitu saja. Bahkan di saat aku sedang berusaha bersikap kasar kepadamu, jauh di dalam hatiku aku tetap mencintaimu.”
Saira tertegun ,menatap Leo dan menyadari bahwa laki-laki itu tulus. Leo meremas jemari Saira dan meringis sedih, “Kelakuan kasarku di awal pernikahan kita memang sangat keterlaluan... aku harap, setelah mendengarkan penjelasan ini.. kau.. setidaknya kau bisa mempertimbangkan untuk memaafkanku, memberi kesempatan kepadaku untuk memperbaiki semuanya, memulai semuanya dari awal...”
Lalu kisah itupun mengalir dari bibir Leo, semua kebenaran itu, semua rahasia itu, semuanya terkuak satu demi satu, lapis demi lapis hingga menyisakan satu pengertian yang mendalam.***
“Begitulah kisahnya.” Leo mengakhiri kisahnya, “Aku memang mendekatimu karena dendam tersembunyi, tetapi aku tanpa sadar sudah mencintaimu. Bayi di kandunganmu... itu menyadarkanku bahwa aku amat sangat mencintaimu dan tidak bisa hidup tanpamu, aku mohon Saira, berilah aku kesempatan, aku akan menebus semuanya, aku akan menjagamu dan anak kita.” Leo menatap Saira dengan ragu, “Apakah setelah semua perlakukan jahatku itu... kau.. kau masih menyimpan setidaknya sedikit cinta untukku?”
Saira tertegun, mencoba menelaah semua kisah yang diceritakan Leo dengan sedalam mungkin. Semua terasa mengejutkan, kenyataan tentang ayah kandungnya, kisah cinta ibunya dan juga kisah Leanna yang menyedihkan.... pantas saja Leo menuduhnya bertanggung jawab, sama seperti Andre.... ah ya Tuhan, Andre pasti sangat mencintai Leanna dan calon anaknya.
Saira menatap Leo, sebenarnya dalam hatinya ingin sekali mempermainkan perasaan lelaki ini, berpura-pura sudah tidak mencintainya lagi, mengingat betapa kejamnya kelakuan lelaki itu di awal-awal pernikahannya dulu, tetapi rupanya perasaan cintanya terlalu besar kepada Leo. Cinta itu tetap ada, bahkan di masa-masa perlakukan terburuk Leo kepadanya.
“Kau sangat kejam kepadaku dulu.”
“Aku memang bersalah.” Leo meringis pedih, “Aku memang keterlaluan.”
“Kata-katamu juga kasar.”
“Itupun aku mengakuinya, maafkan aku Saira.”
“Kau membuatmu menangis setiap malam.”
“Maafkan aku..” Leo tampak tersiksa, “Aku tidak pernah menikmati tangisanmu, hatiku terasa pedih mendengarnya, tetapi saat itu aku tidak sadar bahwa dendam tidak ada gunanya, bahwa kau sebenarnya tidak bersalah.”
“Kau menyakitiku.”
“Tidak akan kulakukan lagi, aku bersumpah. Kalau kau memberiku kesempatan, aku akan berusaha sepenuh hati agar kau tidak tersakiti sedikitpun.”
Saira menggeleng, “Tidak.”
“Tidak?” Leo tampak cemas luar biasa, “Kau tidak mau memberiku kesempatan lagi?”
Saira menghela napas panjang, “Aku memang tersakiti sedemikian rupa tapi tidak..aku tidak apa-apa...” tiba-tiba dadanya terasa sesak dan air mata menetes dari sudut matanya, “Tetapi aku mencintaimu Leo... sepenuh hatiku, dan perasaan itu selalu ada.”
Oh Tuhan.” Leo menggunakan jemarinya untuk mengusap sudut mata Saira, menyingkirkan air matanya, “Maafkan aku Saira, maafkan aku.” Ketika Saira tidak menolak, Leo merengkuh Saira ke dalam pelukannya dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. “Aku mencintaimu, Saira, aku mencintaimu..”
Saira membalas pelukan Leo, menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan lelaki itu, lelaki yang sangat dicintainya. Ah ya Tuhan... dia sangat bersyukur karena jalannya seperti ini. Dulu dia memang sempat menderita dan bingung, mempertanyakan jalan Tuhan kepadanya. Tetapi ternyata mereka diberi ujung yang indah.
Jemari Leo menyentuh lembut perutnya dan mengusapnya, “Dia akan menjadi cahaya dalam kehidupan kita, anak kita... semoga aku bisa menjaga kalian berdua.”
“Kau sudah menjaga kami berdua.” Suara Saira serak oleh tangis, “Aku yakin kedepannyapun kau bisa menjaga kami berdua.”
Leo mengangkat dagu Saira, lalu mengecup bibirnya lembut, “Maafkan aku atas kekasaran dan sikap jahatku kepadamu, maafkan aku atas semua rahasia yang kusembunyikan kepadamu. Maafkan aku atas kelakuan burukku.... dan terimakasih karena masih mencintaiku, bahkan di saat aku begitu sulit untuk dicintai.”
Saira tersenyum kepada Leo, menatap mata Lelaki itu yang berkaca-kaca. Harapannya terkembang luas, akan masa depannya bersama Leo dan anak-anak mereka nanti. Dia percaya bahwa mereka bisa menyelesaikan semua permasalahan ini, meluruskan semua dendam, memaafkan semua kesalahan dan membangun hidup mereka bersama.
Saira percaya bahwa dia akan berbahagia bersama Leo, dan juga bersama buah cinta mereka yang akan lahir nanti
 THE END
PS : bagi yang menginginkan e-booknya nanti untuk e -book 4 judul colorful of love akan dibagai link downloadnya di blog ini yah. e -booknya sesuai dengan versi novel, jadi ada beberapa kisah yg tdk ada di blog, dan ada bonus epilognya. Segera setelah e-book available pasti aku updatekan di blog ^___^

2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2013 05:27

March 25, 2013

Pembunuh Cahaya Part 9



“Dia membangun rumah kaca untukmu?” reaksi pertama Andre ketika Saira menceritakan apa yang dilakukan Leo adalah terkejut luar biasa, “Benarkah itu Saira ?”
“Sekarang rumah kaca itu sudah jadi, dan dia menawarkan untuk mengantarkanku membeli beberapa varietas unik untuk mengisi rumah kaca itu.” Saira menahan napas ketika matanya melirik ke keindahan rumah  kaca yang sekarang berdiri dengan tegak dan mewah, memantulkan cahaya matahari sehingga membuatnya berkilauan.
Andre tampak termenung di seberang sana, “Kau yakin bahwa Leo melakukannya dengan tulus tanpa ada maksud apapun di baliknya?” “Aku tidak tahu.” Saira sendiri merasa ragu, tetapi sejauh ini, Leo benar-benar bersikap baik kepadanya. Lelaki itu menjaganya, selalu menanyakan kondisinya, dan tidak ada lagi kata-kata kasar yang menyakitkan hati. Tiba-tiba Saira menyadari bahwa Leo serius dengan perkataannya bahwa karena kehadiran calon bayi mereka, dia akan merubah sikap.
Meski sikapnya tidak kembali ke sikap penuh cinta yang ditunjukkannya sebelum menikahi Saira, setidaknya Leo sudah menghargai Saira dan bersikap baik kepadanya.
“Kau sudah tidak mencurigainya membakar rumah kacamu ya?” Andre bergumam, memecah lamunan Saira.
Apakah dia mencurigai Leo? Saira berpikir, bertanya kepada dirinya sendiri. Ah, bahkan dia sendiri tidak tahu jawabannya. Dia sungguh-sungguh tidak tahu.
“Aku tidak tahu, Andre.” Saira menjawab jujur, sesuai dengan apa yang ada di benaknya.
Di seberang sana Andre mendesah keras, “Jangan jatuh lagi ke dalam tipuannya, Saira. Dia sudah pernah menipumu satu kali, jangan sampai dia melakukannya untuk kedua kalinya.”***
Lelaki itu membawa mobilnya memasuki pintu gerbang rumah mewah itu. Petugas keamanan membiarkannya karena lelaki itu memang biasa datang untuk mengantarkan tanaman dan memperbarui varietas tanaman dan bunga-bungaan di rumah mereka.
Setelah memeriksa taman belakang dan mencatat apa saja yang perlu diperbaiki, lelaki itu melangkah ke teras yang sudah sangat di kenalnya, di teras itulah biasanya Leanna duduk dan memandang taman dengan tatapan matanya yang hampa, begitu cantik, namun sekaligus begitu rapuh.
Lelaki itu berlutut di depan Leanna dan meletakkan sekuntum bunga lily yang harum ke genggaman tangannya. Leanna langsung tersenyum, dan mengulurkan tangannya dengan lembut, menyentuh pipi lelaki itu,
“Andre....” bisiknya penuh kasih sayang yang nyata. ***
Usia kandungan Saira sudah empat bulan, dan dia menjalani harinya dengan lebih baik. Sejak kehamilannya, hidupnya menjadi lebih mudah, karena Leo semakin lama semakin bersikap baik kepadanya.
Lelaki itu sudah tidak menyekapnya di rumah dan mengawasinya ketika berpergian, sepertinya hari-hari Leanna sebagai tawanan sudah berakhir. Leo juga melakukan apa yang dijanjikannya, dia mengantar Saira dengan sabar berburu varietas tanamannya, memenuhi rumah kaca barunya sedikit demi sedikit sehingga makin lama makin penuh dan sempurna, Bahkan lebih lengkap dan lebih indah daripada rumah kacanya yang lama.
Sekarang mereka sedang menghabiskan waktu di dalam rumah kaca, seharian ini Saira mengatur pot-pot kecil tanaman di susunan rak, dengan Leo mengawasinya. Lelaki itu baru pulang kerja dan menyusul Saira ke dalam rumah kaca. Bahkan sekarang Leo selalu pulang kerja lebih awal, dan menghabiskan sorenya bersama Saira.
Saira sedang menyusun potnya di rak yang tinggi dan agak terhuyung ke belakang ketika tubuhnya membentur dada keras Leo yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya,
“Hati-hati.” Leo berbisik lembut di belakangnya. Membuat Saira menolehkan kepalanya dengan gugup, menyadari Leo sangat dekat dengannya, Saira mencoba melepaskan diri, tetapi Leo memegang kedua pundaknya dengan lembut, lelaki itu menatapnya dalam, sejenak tampak sulit berkata-kata, dia kemudian berdehem. “Lain kali kalau ingin memasang sesuatu di tempat yang tinggi minta tolonglah kepadaku, atau kepada pelayan di rumah ini, jangan melakukannya sendiri, ingat, kau sedang hamil.”
Pipi Saira memerah entah kenapa mendengar nasehat Leo. Dan hal itu tidak lepas dari pengamatan Leo, matanya melembut mengamati Saira dan makin lembut ketika melihat perut Saira yang sudah mulai menonjol,
“Perutmu sudah semakin besar ya.”
Saira menundukkan kepalanya dan melihat perutnya, lalu  tersenyum tipis, “Ya... dan akan semakin besar.”
Leo tampak ragu, tetapi kemudian dia menyentuhkan jemarinya di perut Saira, lalu mendongakkan kepalanya dan menatap Saira dengan takjub, “Dan terasa keras.”
Senyum Saira makin melebar, “Memangnya kau pikir perutku akan seperti apa?”
Leo menyeringai bingung, “Aku tidak tahu, kupikir akan lembek dan lembut.” Jemarinya mengusap lembut perut Saira, “Ternyata cukup keras untuk melindungi bayinya.”
Saira menganggukkan kepalanya, tanpa sadar ikut menggerakkan jemarinya menyentuh perutnya. Tetapi kemudian jarinya bersentuhan dengan jari Leo, dan Leo menggenggamnya.
Saira tertegun dan menatap mata Leo, lelaki itu tengah menatapnya dengan tajam, kemudian tanpa di sangka-sangkanya, Leo menundukkan kepalanya dan mengecup bibir Saira dengan sebuah ciuman yang lembut.
“Maafkan aku atas semua yang pernah kulakukan kepadamu.” Bisiknya serak, lalu tanpa memberikan kesempatan kepada Saira untuk berkata-kata, lelaki itu memeluknya erat-erat.
Mereka berpelukan dalam keheningan rumah kaca yang penuh nuansa harum dan menyenangkan.***
Saira berbaring miring di ranjangnya dan memikirkan kejadian tadi sore. Tanpa sadar jemarinya menyentuh bibirnya. Bibir yang tadi sore dicium lembut oleh Leo tanpa disangka-sangkanya.
Kenapa Leo menciumnya?
Leo bersikap lembut kepadanya, penuh kasih sayang, bahkan sekarang lelaki itu sudah bisa tertawa bersamanya, sikapnya berubah makin lama... dan semakin mirip dengan Leo yang itu, Leo yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati.
Apakah Leo benar-benar telah berubah menjadi Leonya yang dulu? Apakah masih ada kesempatan untuk pernikahan mereka dan untuk masa depan mereka bersama bayi ini?
Saira mengelus perutnya dengan lembut, kalau iya, berarti anak ini memang ada untuk mempersatukan kedua orangtuanya.***
Siang itu, ketika Leo berangkat bekerja, seperti biasanya Saira menghabiskan hari-harinya di rumah kacanya dan merawat berbagai tanamannya, ketika dia sedang menggunting daun dari tanaman yang dia kembangkan sebagai bonsai, memberi kesempatan agar batangnya bisa tumbuh besar, ponselnya berbunyi.
Saira melirik ke arah ponselnya dan mengernyit, itu nama Andre.... Saira baru menyadari bahwa makin lama dia makin jarang berhubungan dengan Andre, apalagi sejak rumah kacanya hangus terbakar dan sikap Leo semakin baik kepadanya.
Dia masih sempat berhubungan intens dengan Andre ketika mengurus asuransi untuk rumah kacanya yang terbakar karena hal itu menyangkut bisnis mereka berdua. Andre masih menjalankan usaha tanaman hias dan bunga mereka, tetapi sekarang sebagian besar dia menerima pasokan dari luar.
Lalu kemudian, seiring berlalunya waktu, ketika Saira mulai sibuk dengan rumah kaca barunya dan Andre sibuk membangun bisnisnya kembali, mereka makin jarang berhubungan, telepon merekapun semakin jarang, biasanya mereka selalu bercakap-cakap setiap malam, kemudian berkurang menjadi tiga hari sekali, dan pada akhirnya, seminggu sekali.
Dan sekarang ketika menatap ponselnya, Saira sadar bahwa sudah hampir dua minggu dia tidak bercakap-cakap dengan Andre, jadi kalau Andre meneleponnya, pasti ada sesuatu yang penting.
“Hallo Andre?” Saira mengangkat teleponnya dan bergumam dengan ceria, berada di dalam rumah kaca memang membuat hatinya selalu ceria.
“Tampaknya kau baik-baik saja,” suara Andre di sana terdengar penuh senyum, “Syukurlah.”
Ada sesuatu di dalam nada suara Andre yang membuat Saira mengerutkan keningnya. “Ada apa Andre?”
Hening sejenak, kemudian Andre menghela napas panjang.
“Bagaimana hubunganmu dengan Leo?” tanyanya tiba-tiba.
Saira tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika membayangkan tentang Leo, Leo yang semakin baik dan semakin lembut kepadanya.
“Kami baik-baik saja. Leo memperlakukanku dengan baik dan lembut Andre, kurasa kami bisa memperbaiki perkawinan ini.”
Andre mendesah di seberang sana, “Aku minta maaf kalau harus memberitahumu hal ini dan mengecewakanmu.”
“Ada apa Andre?” Saira tiba-tiba merasa cemas ketika mendengar nada serius di dalam kata-kata Andre,
“Ini tentang Leo, aku mendapatkan informasi dari pemasok tanaman baruku. Dia mempunyai langganan menghias bunga untuk sebuah rumah mewah di pinggiran kota dan melimpahkan pelangannya itu untukku. Aku ke sana Saira, dan barulah aku mengetahui bahwa rumah itu adalah atas nama Leo.”
“Apa?” Saira tertegun, Leo punya rumah di pinggiran kota? Saira tidak pernah mendengarnya, tetapi... bukankah wajar orang sekaya Leo memiliki rumah banyak?
“Ya Saira, dan bukan masalah rumahnya yang ingin kuberitahukan kepadamu. Ini tentang penghuni rumahnya.”
Penghuni rumahnya? Rumah Leo di pinggiran kota ada penghuninya? Tiba-tiba jantungnya berdenyut oleh firasat buruk,
“Penghuninya seorang perempuan muda bernama Leanna.” Andre menghela napas panjang, “Untuk apa Leo memelihara perempuan muda di rumah pinggiran kota dan disembunyikan darimu, Saira? Aku ... maafkan aku, tetapi aku berpikir bahwa perempuan bernama Leanna itu adalah simpanan Leo.”
Saira terperangah, dunia seolah berguncang dan berputar keras seketika di sekelilingnya, membuatnya limbung dan harus berpegangan pada salah satu rak besi di sebelahnya.
Apa? Leo memiliki perempuan simpanan yang disembunyikannya di sebuah rumah rahasia? Benarkah itu? Saira ingin tidak mempercayai info itu, tetapi info ini berasal dari Andre dan Andre tidak mungkin membohonginya.
Dan  tiba-tiba Saira teringat tentang kunjungan mama Leo waktu itu, mama Leo sepertinya sempat menanyakan apakah Leo pernah mengenalkannya dengan Leanna, atau sesuatu seperti itu. Ingatannya samar, tetapi dia merasa nama Leanna familiar ketika Andre mengucapkannya, dan dia yakin itu berasal dari mama Leo. Dan dia juga ingat betapa mama Leo berusaha mengalihkan pembicaraan dan tampak gugup ketika menyadari bahwa Saira tidak tahu apa-apa tentang Leanna.
Napas Saira terasa sesak oleh air mata. Teganya Leo kepadanya!
“Apakah kau bisa mencuri waktu untuk menemuiku, Saira? Kalau bisa mungkin aku bisa lebih enak menjelaskan semua informasi yang kuperoleh kepadamu.”
Saira tercenung, masih bingung, tetapi kemudian dia mengambil keputusan. Dia harus bisa mengetahui kebenaran tentang perempuan bernama Leanna itu. Setidaknya dengan begitu dia bisa mengetahui posisi dirinya di dalam kehidupan perkawinannya bersama Leo.
Apa maksud Leo dengan perkawinan ini? Apa pula maksud Leo ketika dia berubah sikap menjadi begitu baik dan perhatian kepadanya? Membuatnya berpikir bahwa mungkin saja masih ada harapan untuk pernikahan mereka?
“Aku akan mencoba mencari cara untuk menemuimu, Andre.” Gumam Saira akhirnya, menyadari bahwa Andre masih menunggu jawabannya di sana.
“Bagus. Kabari aku secepatnya. Kau tidak boleh membiarkan masalah ini terus berlarut-larut, Saira.”***
Saira masih merenung dengan hati pilu ketika mendengar suara mobil Leo diparkir di depan. Akhir-akhir ini Leo sering pulang cepat, menghabiskan waktu bersamanya. Itu dimulai sejak dia hamil, sedangkan pada masa-masa sebelumnya, Saira masih ingat ketika Leo sering pulang larut, bahkan tidak pulang. Apakah waktu itu Leo menginap bersama Leanna di rumahnya yang lain?
Air mata merembes di matanya. Dia masih bisa menoleransi seluruh kekasaran sikap Leo kepadanya, apapun itu, dia masih bisa menerima, karena jauh di dalam hatinya, cintanya kepada Leo begitu besar dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja dengan sikap kasarnya. Tetapi..... kalau menyangkut perempuan kedua, Saira tidak bisa terima. Bukan karena kecemburuan, tetapi lebih karena dia berpikir bahwa ketika Leo sudah membagi cintanya maka sudah tidak ada harapan lagi untuknya. Saira selalu berpikir bahwa cinta sejati tidak bisa dibagi, cinta sejati selalu utuh, satu dan hanya ditujukan untuk satu belahan jiwa.
Dan kalau perempuan bernama Leanna ini benar-benar kekasih atau simpanan Leo... maka Saira membulatkan tekadnya untuk pergi, jauh dari kehidupan Leo. Selamanya dan mengubur semua harapannya untuk memperbaiki kehidupan pernikahan mereka.
Leo memasuki teras dan mengangkat alis ketika melihat Saira, dia tersenyum lembut, senyum yang akhir-akhir ini sering sekali muncul di bibirnya,
“Hai.” Leo mendekati Saira dan duduk di depannya, “Tidak di rumah kaca?”
Saira menggelengkan kepalanya lemah, membuat Leo mengerutkan keningnya dan menatap cemas,
“Kenapa? Kau sakit Saira?” Leo bertanya lembut, dan hal itu membuat hati Saira terasa sakit. Kenapa Leo begitu baik sekarang kepadanya? Kenapa Leo membuat Saira berharap bahwa mungkin masih ada cinta di antara mereka? Hal itu membuat  semuanya terasa sulit bagi Saira.
“Siapakah Leanna itu?” Akhirnya Saira memberanikan diri bertanya, mengawasi Leo dalam-dalam dan melihat bahwa Leo terperanjat.
Lelaki itu menatap Saira dengan kaget, dan ketika kemudian dia berkata, suaranya tercekat di tenggorkan,
“Darimana kau tahu tentang dia?” tanyanya tajam.
Saira menghela napas panjang, “Tidak penting darimana aku tahu tentang Leanna. Yang aku tahu, kau punya sebuah rumah yang dihuni oleh seorang perempuan bernama Leanna, siapakah dia, Leo? Apakah dia .... apakah dia perempuan lain? Perempuan lain dalam pernikahan kita?”
“Sudah kubilang tidak ada perempuan lain.” Leo mengerutkan keningnya lalu menyadari bahwa kata-katanya salah. Leanna memang adik kembarnya, bukan kekasihnya, tetapi bisa dibilang bahwa Leanna adalah perempuan lain dalam pernikahannya dengan Saira, dan akan selalu menjadi perempuan lain.
Saira sendiri mengawasi perubahan ekspresi Leo yang menentang kata-katanya sendiri, membuat air mata turun dari sudut matanya,
“Aku berusaha menahan diri biarpun kau memperlakukanku dengan buruk, juga membenciku dengan alasan yang aku tidak tahu.” Diusapnya air matanya dengan sedih, “Tetapi aku tidak bisa tahan kalau kau memiliki perempuan lain, Leo. Bagiku itu adalah tindakan paling kejam yang pernah kau lakukan atas pernikahan ini. Aku menyerah atasmu Leo, aku tidak sanggup lagi.” Saira membalikkan tubuhnya, berlari cepat, dan tidak peduli akan suara Leo yang memanggil-manggil namanya.
Cukup sudah! Pernikahan ini sudah berakhir!***
Saira mengunci pintunya dan mencoba menulikan telinganya dari Leo yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dan memanggil namanya, membujuknya untuk berbicara dengannya. Di tutupnya kedua telinganya dengan bantal. Mengeraskan hati. Sampai lama kemudian, dia membuka bantalnya dan menyadari suasana sudah hening. Leo rupanya sudah menyerah untuk mengajaknya berbicara. Lama Saira menunggu sampai suasana benar-benar hening dan dia yakin bahwa Leo sudah masuk ke kamarnya. Lalu dia menelepon Andre,
“Aku akan mencoba keluar besok pagi setelah Leo berangkat ke kantor dan menemuimu.” Gumam Saira setengah berbisik di telepon.
Andre tampak puas di seberang sana, “Bagus aku akan menunggumu.” Jawabnya.
Lama kemudian, Saira berbaring dengan mata nyalang menatap ke kegelapan, menahankan air mata yang meleleh di pipinya.***
Pagi harinya Leo terbangun, mandi dan bersiap ke kantor. Dia tertegun di depan kamar Saira yang tertutup rapat. Dia ada meeting penting hari ini yang tidak bisa ditinggalkannya, padahal jauh di dalam hatinya, dia sangat ingin menunggu di sini, menunggu pintu Saira terbuka dan kemudian dia bisa menjelaskan semuanya kepadanya.
Tidak ada perempuan lain, dalam arti kisah asmara. Leo memang menyayangi adiknya, dia sangat mencintai Leanna dan menanggung rasa bersalah seumur hidupnya karena kondisi Leanna yang begitu menyedihkan sekarang, tetapi bahkan dengan perasaannya itu, Leo tetap tidak bisa menahan dirinya untuk mencintai Saira.
Ya. Dia mencintai Saira dengan sepenuh hatinya, jauh di masa lalu, bahkan sebelum dia menyadarinya.
Cintanya kepada Saira membuatnya memutuskan untuk menghilangkan seluruh dendamnya, dan menjaga Saira. Memutuskan untuk memohon ampun kepada Leanna karena dia tidak bisa menyakiti Saira lagi, karena dia sudah mengkhianati adiknya demi Saira, persis seperti yang dilakukan ayah mereka.
Leo menatap pintu kamar Saira dan menghela napas panjang, ditahannya keinginan untuk menggedor pintu kamar itu. Saira mungkin butuh waktu untuk menenangkan dirinya, sementara itu dia akan ke kantor, menjalani meeting pentingnya sekaligus mencari tahu darimana Saira mendapatkan informasi tentang Leanna.
Ada seseorang yang mengkhianatinya dengan memberikan informasi tentang Leanna kepada Saira. Leo mengerutkan keningnya, tetapi siapa? Seluruh pegawainya di rumah Leanna adalah pegawai kepercayaannya yang sudah tahu bahwa menjaga kerahasiaan tentang keberadaan Leanna sangatlah penting. Kenapa informasi tentang Leanna bisa bocor ke telinga Saira?
Leo harus membereskan semuanya dulu, mencari tahu siapa yang melakukan itu. Setelah itu dia akan menemui Saira, berharap perempuan itu sudah bisa menenangkan pikirannya dan bisa mendengarkan seluruh penjelasan, pengungkapan seluruh rahasia yang akan diungkapkan oleh Leo. Dan semoga setelah Saira mendengarkan semuanya, dia akan mengerti.***
Segera setelah mobil Leo keluar rumah, Saira menelepon Andre,
“Leo sudah pergi, aku akan keluar dengan supir pribadi dengan alasan membeli beberapa varietas tanaman untuk rumah kaca, lalu kita bisa bertemu."
“Oke. Hati-hati Saira,” Andre bergumam singkat lalu menutup teleponnya.***
Saira minta diantar ke toko bibit dan tanaman langganannya untuk membeli beberapa varietas tanaman,
“Kau bisa meninggalkanku sebentar, aku mungkin akan lama memilih-milih, sementara itu kau bisa pergi beristirahat dan makan siang.” Saira bergumam, berharap supir itu akan menerima sarannya.
Supir itu tercenung. Dulu di awal-awal pernikahan Tuan Leo dengan nyonya Saira, tuan Leo dengan keras mengatakan bahwa dia harus mengawasi dan mengikuti kemanapun nyonya Saira pergi. Tetapi sejak kehamilan nyonya Saira, tuan Leo benar-benar melonggarkan peraturan yang dibuatnya, bahkan tuan Leo pernah berpesan agar dia membiarkan nona Saira bersantai, menikmati waktunya sendirian. Satu-satunya pesan tuan Leo adalah bahwa dia harus melaporkannya kepada tuan Leo kalau-kalau Saira bertemu dengan Andre. Tetapi tampaknya tidak ada tanda-tanda tuan Andre di sini, dia mungkin hanya akan berkeliling sebentar dan kemudian kembali mengawasi nyonya Saira didepan toko ini,
“Baiklah nyonya, saya akan meninggalkan nyonya sebentar untuk bersantai, mohon telepon saja jika nyonya sudah membutuhkan saya. Saya akan berada di sekitar-sekitar sini.” Gumamnya kemudian.
Saira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, lalu melangkah memasuki toko itu.
Tetapi kemudian Saira duduk di area teduh dengan tempat duduk yang disediakan di ujung toko itu, menunggu supir itu pergi, setelah itu dia langsung mengirim pesan kepada Andre, dan Andre bilang akan datang dalam hitungan menit, dan rupanya itu memang benar, kurang dari lima menit kemudian lelaki itu datang, tersenyum lebar ketika melihat Saira dan duduk di depannya,
“Hai Saira.” Matanya melirik ke arah perut Saira yang buncit, “Kau tampak sehat dan bahagia, apakah karena Leo memperlakukanmu dengan baik?”
Saira tersenyum sedih, “Kebaikan yang ternyata semu.” Dia mendesah dengan sedih, “Apakah benar yang kau katakan, Andre? Tentang wanita lain itu? Seorang perempuan yang tinggal di rumah Leo di pinggiran kota dan ditemui Leo diam-diam?”
“Kau masih mencintai Leo ya.” Andre menatap Saira dengan sedih, “Maafkan aku memberikan informasi ini kepadamu, tetapi kupikir kau harus tahu bukan? Daripada nanti kau tahu belakangan saat semua sudah terlambat?”
Saira menganggukkan kepalanya, “Terima kasih Andre.” Bisiknya lemah, “Aku sudah menduga ada sesuatu yang dirahasiakan Leo, sesuatu yang salah.... sesuatu yang tersembunyi jauh.... tetapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa sesuatu itu adalah keberadaan perempuan lain yang dirahasiakan dariku.” Saira menyusut air matanya, “Aku... padahal aku sudah berharap bahwa kami berdua bisa memperbaiki semuanya dan menjalankan pernikahan ini dengan baik...”
Andre menggenggam jemari Saira lembut, “Aku yakin perempuan bernama Leanna itu adalah simpanan Leo.... aku mengobrol dengan pelayan rumah itu ketika aku memasok bunga-bunga dan tanaman untuk taman di sana, katanya Leo sering mengunjungi nona Leanna siang-siang, bahkan sering menginap di malam-malam sepulang dia kerja... dan aku mencocokkan tanggal.... beberapa saat sebelum kau menikah dengan Leo, dia masih tinggal bersama perempuan bernama Leanna di rumah itu ... kemudian Leo membeli rumah baru, yang ditempatinya bersamamu. Leo membohongimu sejak awal Saira, dia mengejar dan mendekatimu padahal waktu itu dia menjalin hubungan dan tinggal bersama Leanna ...”
Saira merasa dadanya sesak. Pernikahannya benar-benar sudah berakhir. Dia masih ingat ekspresi wajah Leo yang tidak bisa menyangkal bahwa ada perempuan lain dalam pernikahan mereka.
Andre menatap Saira tajam, mengamati kesedihan di wajah Saira, “Aku bisa mengantarmu ke rumah itu.”
Saira langsung menoleh dan menatap Andre dengan terkejut, “Apa?”
“Aku bisa mengantarmu ke rumah itu, rumah Leo tempat perempuan bernama Leanna itu tinggal. “
“Aku tidak ingin menemui perempuan bernama Leanna itu.” Bagaimana mungkin Saira bisa menemui Leanna? Hatinya pasti akan hancur lebur ketika bertatapan dengan perempuan dimana Leo membagi cintanya.
“Kau harus menemui perempuan bernama Leanna itu dan menjelaskan semuanya, kalian bisa bercakap-cakap. Mungkin kau jadi bisa menyibak rahasia apa yang disimpan oleh Leo selama ini. Apakah kau tidak ingin tahu?”
Saira ingin tahu. Sangat ingin tahu. Dia selalu bertanya-tanya, kenapa pada awalnya Leo mengejarnya dan melamarnya, lalu berubah sikap menjadi begitu jahat.... dan kemudian setelah dia hamil, lelaki itu berubah sikap menjadi lembut kembali, seperti Leo-nya yang dulu... seakan lelaki itu ingin memperbaiki semuanya, memulai semuanya dari awal...***
Leo menelepon mamanya dan memintanya datang ke kantor, dan karena mamanya sedang berada di dekat-dekat situ, dia bisa menemui Leo. Leo mengamati mamanya yang cantik dan tampak elegan, tentu saja. Kalau tidak bisa tampil cantik, akan sia-sia mamanya merawat diri seperti itu.
“Salah seorang pegawaiku mengatakan bahwa mama sempat mengunjungi Saira beberapa bulan yang lalu.”
Clara mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Leo, “Kupikir kau sudah tahu itu sejak lama, kenapa kau baru menanyakannya sekarang?”
“Dulu aku tidak berpikir hal itu penting.” Leo menatap tajam ke arah Clara, “Apakah mama menemui atau berhubungan dengan Saira sesudahnya, akhir-akhir ini?”
Clara menatap Leo dengan bingung, “Aku tidak melakukannya.... aku memang berniat ingin menghubungi Saira di waktu-waktu dekat ini... tetapi belum punya waktu, kenapa kau menanyakan itu?”
Tatapan Leo masih sama tajamnya, “Apakah mama memberitahu tentang Leanna kepada Saira?”
Clara tampak terperanjat, “Tidak.. aku tidak pernah memberitahukannya.”  Dia tampak berpikir sejenak, “Tetapi aku sempat tidak sengaja menyebut nama Leanna dalam percakapan kami di kunjungan pertama.”
“Mama menyebut nama Leanna?” Leo langsung menyipitkan matanya.
“Aku tidak sengaja, aku pikir Saira mengetahui tentang Leanna, aku bertanya apakah kau sudah mengenalkannya kepada Leanna, tetapi ketika melihat ekspresi bingungnya, aku sadar bahwa Saira sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Leanna, jadi aku mengalihkan pembicaraan dengan mulus sehingga Saira tidak curiga.” Kali ini Clara yang menatap Leo dengan tajam, “Kenapa kau merahasiakan tentang adikmu, Leo? Apakah kau malu akan keberadaannya?”
“Tidak.” Leo memalingkan muka, mamanya memang sama sekali tidak tahu tentang rencana balas dendamnya, semuanya dia rahasiakan. Tetapi Leo lelah menanggung rahasia, dia memutuskan untuk menceritakan semuanya.
“Dia adalah putri dari Sarah, aku tahu nama itu punya arti untuk mama.”
Clara terperangah, wajahnya memucat. “Maksudmu Sarah yang itu?” Ya. Leo benar, nama Sarah sangat berarti baginya, Sarah adalah perempuan yang sangat dicintai oleh suaminya. Amat sangat cinta dan perempuan itu tidak pernah lepas dari pikiran suaminya. Hal itu sebenarnya tidak mengganggu Clara, karena dia juga tidak mencintai suaminya, pernikahan mereka adalah karena perjodohan dan Clara sendiripun memiliki kekasih sendiri... seorang kekasih yang pada akhirnya menanamkan benih di tubuhnya.... membuahkan anak kembar, Leo dan Leanna.
“Jadi apa maksudmu menikahi Saira? Untuk membalas dendam demi Leanna?”
Leo menganggukkan kepalanya, “Itu yang ingin kulakukan pada awalnya, keberadaan Saira membuat Leanna menderita, karena ayah sama sekali tidak pernah menoleh kepadanya dan hanya terpusat kepada Saira. Hal itulah yang membuat Leanna menderita dan menghancurkannya hingga kondisinya seperti itu.”
“Itu bukan sepenuhnya kesalahan Saira.” Clara tampak sedih. “Aku menduga, kau pasti sudah tahu tentang test DNA itu, yang menyatakan bahwa kalian bukanlah anak kandung ayah kalian.” Clara menghela napas panjang, “Kami berdua menikah bukan atas nama cinta, itu bisa dikatakan perkawinan bisnis keluarga kami, kami sama-sama tidak bisa lepas dari cinta masa lalu kami, terutama aku... hubunganku dengan kekasihku sudah jauh dan aku mengandung kalian, semula aku tidak mengaku kepada ayah kalian, karena kupkir aku tidak akan ketahuan, apalagi usia kandunganku pas dengan usia perkawinanku. Tetapi ternyata setelah kalian lahir, ayah kalian menyimpan rasa curiga yang ditahannya. Karena dari garis keluarga kami, tidak pernah ada anak kembar. Kau pasti tahu kalau kembar alami itu diturunkan secara genetika.... dan itu berasal dari ayah kandungmu. Diam-diam ayahmu melakukan test DNA dan mengetahui bahwa dia bukan ayah kandung kalian, dia marah besar, menganggapku tidak menghormati perkawinan ini, sementara dari sisi dirinya, dia rela meninggalkan Sarah kekasih yang sangat dicintainya demi menghormati perkawinannya denganku. Aku sangat menyesal, kau tahu, apalagi kemudian ayah kandung kalian ternyata lelaki brengsek yang hanya memanfaatkan tubuh dan uangku. Aku berusaha memperbaiki semuanya, karena toh kami tidak bisa bercerai, ayahmu seorang pejabat yang cukup terkenal dan perceraian bisa merusak reputasinya.... Sayangnya ayahmu kemudian melampiaskan kekecewaannya kepada kalian berdua, dia tidak bisa menutupi kebenciannya kepada kalian berdua.” Clara menghela napas, “Pada akhirnya dia bertemu lagi dengan Sarah dan menjalin hubungan singkat yang membuahkan Saira, aku mengetahui itu semua tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.... tetapi Sarah kemudian meninggalkan ayahmu dan memilih memulai hidup dengan lelaki lain yang bisa menerimanya bersama Saira, membuat ayahmu menderita karena patah hati. Ayahmu tidak pernah bisa membuka hatinya untukku... dia hanya mencintai Sarah sampai mati.”
Leo termenung mendengarkan penjelasan Clara, baru kali ini dia punya kesempatan untuk menanyakan semua kepada Clara dan mendengarkan kisah dari sisi mamanya. Selama ini mamanya lebih sering berada di luar negeri dari pada di rumah. Leo sebenarnya sudah menyelidiki keberadaan ayah kandungnya, dan menemukan bahwa lelaki itu sudah meninggal.
“Leanna..... dia terlalu memuja ayahmu entah kenapa padahal ayahmu sama sekali tidak menunjukkan perhatian kepadanya..dan hal itu mengganggu ayahmu, kami pernah membawa Leanna ke psikiater di waktu kecil dan kata psikiater dia mungkin menderita “oedipus complex” atau karena dalam kasus Leanna dia terlalu memuja ayahnya, maka psikiater menyebutnya “father complex”
“Apa itu?” Leo tentu saja pernah mendengarnya, tetapi dia masih tidak yakin.
Clara menghela napas, “Kau tahu kisah oedipus dalam mitologi? Dia jatuh cinta kepada ibunya sendiri.... kasus hampir sama terjadi kepada Leanna, dia menderita gangguan psikologi sehingga memuja dan terobsesi kepada ayahnya....”
“Leanna tidak mungkin sakit jiwa!” Leo menyangkal dengan keras, “Dia memuja ayah karena ayah sama sekali tidak pernah memperhatikannya, dia hanya seorang anak yang haus kasih sayang orang tua!”
Clara mengusap lengannya dengan lelah, “Tetapi itu yang dikatakan psikiaternya... dan memang itu semua juga karena kesalahan ayahmu, perlakuan buruk ayahmu kepada Leanna membuatnya tertekan dan pada akhirnya menumbuhkan penyimpangan pemikiran seperti itu... kami sudah berusaha menyembuhkannya dengan terapi-terapi.. tetapi tetap tidak berhasil.” Clara menatap Leo dengan sedih, “Apa yang terjadi kepada Leanna, itu bukan hanya kesalahan Saira, Leo. Kau tidak bisa menimpakan semua ini kepada Saira. Dia hanya seorang anak yang tidak tahu apa-apa.”
Leo mengernyit dengan pedih. Selama ini dia menimpakan semua kesalahan kepada Saira. Dan hal itu lebih untuk melindungi dirinya sendiri karena dia sendiri menyimpan rasa bersalahnya... Leanna waktu itu bunuh diri karena dia berkata kepada Leanna, bahwa sampai matipun Leanna tidak akan bisa mendapatkan cinta ayahnya. Kalau memang Leanna menderita ‘father complex’ Hal itu pasti akan membuatnya terguncang luar biasa. Karena cinta dari sang ayah adalah pusat hidup sang penderita. Sekarang Leo mengerti kenapa Leanna bisa senekad itu melakukan tindakan bunuh diri.
Tetapi siapa yang mengatakan kepada Saira informasi tentang Leanna? Apalagi informasi itu sangat spesifik...  Itu masih menjadi pertanyaan untuknya, karena jelas-jelas mamanya tidak memberikan informasi kepada Saira.
Jadi siapa?
“Aku dengar peristiwa kebakaran itu...aku membacanya di berita, pertama kali aku tidak tahu bahwa itu adalah rumah kaca milik Saira.... tetapi kemudian namanya tertulis di berita...”
“Ya, itu rumah kaca milik Saira, dia menjalankan bisnisnya dengan seorang temannya, tetangganya.”
“Ah ya. Andre pria yang baik dan ramah.”
Leo langsung tersentak dari duduknya,
“Mama mengenal Andre?”
“Tentu saja. Lho memangnya kau tidak kenal? Andre kan pengurus taman untuk rumahmu yang ditempati oleh Leanna, mama beberapa kali bertemu dengannya ketika menengok Leanna.”
Leo menatap mamanya dengan kaget. Andre mengetahui tentang rumahnya dan Leanna? Dia pasti mengetahui tentang Leo juga bukan? Tetapi kenapa lelaki itu tidak mengatakan apa-apa? Sementara itu Leo bahkan tidak tahu bahwa Andre menangani taman rumahnya.... selama ini para asistennya yang mengurus hal-hal seperti itu seperti perawatan dan pemeliharaan rumahnya...
Leo hendak meraih teleponnya dan menanyakan perihal Andre kepada salah seorang asistennya, ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi.
“Halo?” Leo mengerutkan keningnya ketika mengetahui bahwa supirnya yang menelepon. Dia menugaskan supirnya untuk menjaga dan mengawasi Saira ketika keluar rumah, dan selama ini supirnya tidak pernah menelepon.
“Saya kehilangan nyonya Saira, Tuan Leo.”
“Apa?” Leo hampir berteriak mendengar kata-kata supirnya, “Bagaimana bisa?”
Supirnya itu tampak gugup, “Nyonya Saira meminta saya meninggalkannya di sebuah cafe dan saya pergi untuk makan siang. Ketika saya kembali nona Saira sudah tidak ada. Kata pelayan cafe dia pergi dengan Andre...”***
“Kau baik-baik saja Andre?” Saira menoleh dan menatap Andre yang sedang menyetir dengan cemas, dia mengawasi Andre daritadi dan lelaki itu tampak tegang, tak ada senyum di wajahnya seperti biasa.
Andre menoleh menatap Saira, tatapannya tampak nyalang, “Aku tidak apa-apa Saira.” Lelaki itu tersenyum, tetapi lebih tampak sebagai seringai.
Saira tiba-tiba merasa agak cemas, apakah Andre baik-baik saja? Kenapa lelaki itu tampak berbeda?
bersambung ke part 10

2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2013 07:05

Memaafkan Diri Sendiri




Sepertinya aku sedang menangis di kereta api yang melaju kencang, ketika Ayahku pergi untuk selamanya. 
Dan sepertinya aku sedang mengetik, atau mungkin nonton film drama komedi romantis ketika sahabatku terbaikku pergi juga untuk selamanya ....dan anaknya mungkin sedang tidur. Istrinya sedang tidur, ....entahlah. Setiap orang mungkin ingin menggenggam tangan orang terkasihnya, sebelum dia pergi dan tak kembali. Setiap orang pasti ingin mengantar orang terkasihnya untuk terakhir kali.

Tapi kalau kita tidak seberuntung itu bisa mengantar yang terkasih untuk terakhir kali.......mungkin kita bisa memaafkan diri sendiri. Merangkul diri sendiri, lantas membisiki diri sendiri dalam bisikan menghibur hati  :  Bukankah kau masih bisa mendoakannya setiap hari? Kita tidak bisa melukis masa depan dengan tepat persis sama seperti yang kita harapkan, dan mengoreksi masa lalu pun sama susahnya.

Jadi yang bisa kita lakukan hanyalah terus melangkah dan melanjutkan hidup.( PS : Ayah, meski saat yang terakhir itu aku tidak ada di sana untuk menggenggam tanganmu, kusebut namamu di setiap sujudku )
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2013 06:45

You've Got Me From Hello 9



Azka meninggalkan rumah Celia dengan marah. Marah besar. Berani-beraninya Celia mengancamnya seperti itu, padahal Celia sendiri telah mengkhianatinya bersama Eric. Apakah Celia pikir Azka tidak akan tahu? Apakah Celia pikir Azka begitu bodohnya?
Dengan kencang dia mengendarai mobilnya, dia butuh bertemu dengan Sani. Di saat kemarahannya menggelegak seperti ini, hanya Sani yang bisa menenangkannya.



Ketika sampai di depan cafe, Azka memarkir mobilnya dengan sembrono. Dia tergesa memasuki cafe itu, hendak mengambil beberapa makanan kecil untuk dibawa ke apartemen Sani, tadi dia sudah berjanji untuk datang jam sembilan malam ke sana.
Tetapi kemudian langkahnya tertegun, melihat ke kursi di bagian sudut, tempat favorit Sani ketika duduk, dan melihat sosok itu di sana.
Sani? Kenapa dia ada disini? Bukankah dia masih sakit?
Azka melangkah mendekat, kerinduannya meluap. Dia ingin memeluk gadis itu ke dalam pelukannya, untuk menenangkan hatinya dari kemarahannya terhadap Celia.
“Sani, kenapa kau ada di sini? Bukankah kita janji bertemu di apartemenmu?”
Sani mendongak dan Azka tercekat, tatapan mata Sani kepadanya penuh kemarahan... kemarahan yang dibalut dengan luka.
Seketika itu juga Azka menyadari bahwa Sani sudah tahu mengenai pertunangannya dengan Celia.
“Kau membohongiku.” Suara Sani bergetar meskipun dia tampak berusaha tergar, Azka melirik ke anggur merah yang dibawa Sani, dan mengernyit. Perempuan itu sudah menghabiskan lebih dari satu gelas.
“Aku bisa menjelaskannya kepadamu, Sani.”
“Tidak!” Sani menyela dengan keras, lalu tertawa ironis, “Ironis bukan? Aku meninggalkan tunanganku karena dia berselingkuh dengan perempuan lain, tetapi sekarang aku malah menjadi selingkuhan dari seorang lelaki yang sudah bertunangan.” Matanya menyala penuh kemarahan kepada Azka, “Kau sangat kejam, Azka melakukan ini semua kepadaku.”
“Aku bisa menjelaskannya Sani, semua ini tidak seperti yang kau kira....”
“Apakah perempuan bernama Celia itu benar-benar tunanganmu?”
Azka tertegun, lalu memejamkan matanya dengan pedih, “Ya.”
Air mata mengalir di mata Sani, menuruni pipinya. Dia tampak amat sangat terluka,
“Apakah... apakah... kau mencintainya?”
Mata Azka menajam. “Apakah aku mencintainya? Tidak. Kau pasti bisa merasakan itu, aku jatuh cinta setengah mati kepadamu, tidak mungkin aku mencintainya.”
“Apakah pertunangan yang kau lakukan dengan Celia dulu itu berlangsung atas nama cinta?” Sani bertanya lagi, berusaha menghapus air matanya dengan usapan tangannya.
Azka memandang Sani dengan pedih, tidak mampu berbohong, “Pada mulanya semua atas nama cinta... lalu.”
Hati Sani teriris perih, Azka sama saja dengan Jeremy, lelaki itu dulu menjalin pertunangan mereka atas nama cinta, kemudian mengkhianatinya begitu saja karena perempuan lain. Oh ya ampun! Teganya Azka melakukan ini semua kepadanya. Sani tidak mau mendengar apapun dari Azka, semua ini terlalu menyakitkan untuk dia tanggung,
“Cukup!” Sani menutup telinganya dengan tangan, tidak mau mendengar apapun yang diucapkan oleh Azka. “Sudah cukup, kau memang penjahat! Semua lelaki sama saja! Mereka semua jahat!” beberapa mata tampak melirik ke arah mereka, tetapi Sani tidak peduli. Dia terlalu marah dan sakit untuk peduli, dia beranjak pergi.
“Aku mencintaimu Sani!” Azka setengah berdiri, berusaha meraih lengan Sani dan menahannya. Tetapi Sani yang sudah begitu marah, meraih gelas anggur yang tinggal setengah dan menuang isinya ke wajah Azka,
“Pergi saja ke laut dan buang cintamu itu. Aku tidak pernah menerima cinta dari seorang pengkhianat!” Gumamnya marah, tanpa sadar dia menggenggam gelas itu dan melangkah pergi secepat kilat.
Meninggalkan Azka yang masih terpaku di sana, basah oleh anggur yang dituangnya.
“Aduh!” Suara perempuan itu mengagetkannya, begitupun benturan keras yang dirasakannya. Sani mendongak dan terpaku karena merasa bersalah, dia telah menabrak seorang perempuan karena kalutnya, dan gelas anggurnya yang basah, yang dipegang di tangannya menempel di gaun putihnya, menimbulkan noda di sana,
“Oh maafkan saya.” Perempuan yang menabraknya berucap dengan menyesal, mendongakkan kepala dan menatap perempuan itu. Perempuan itu sangat cantik, batin Sani dalam hati, dia pasti perempuan bahagia yang tidak pernah disakiti oleh laki-laki.
“Tidak apa-apa.” Gumam Sani lembut, menyadari bahwa Azka masih duduk di sana, menatapnya dari kejauhan, tetapi tidak berusaha mendekatinya
Perempuan cantik itu melirik noda di gaun Sani dan menatap Sani dengan tatapan bersalah, “Tapi… Noda di baju anda..”
“Tidak apa-apa. Bisa dibawa ke laundry, jangan dipikirkan.” Sani menganggukkan kepala kepada perempuan itu,  lalu mengucap permisi dan melangkah pergi.
Sebelum pergi dia meletakkan gelas kosong anggur itu di sebuah meja dekat pintu. Airmata mengalir di matanya ketika melirik cafe itu untuk terakhir kalinya sebelum  ia menyeberang menuju apartemennya. Hatinya hancur lebur, kali ini jauh lebih sakit daripada ketika Jeremy mengkhianatinya. Jauh lebih pedih dan menyakitkanKarena Sani sadar, bahwa dia sudah mencintai Azka dengan sangat dalam.⧫⧫⧫Albert datang membawakan handuk untuk Azka. Azka menerimanya dengan tatapan kosong, menggunakannya untuk mengelap wajah dan rambutnya yang basah oleh anggur.
“Tidak berjalan seperti yang seharusnya ya?”
Azka termenung pedih, “Tidak.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan setelahnya?”
Pikiran Azka bergejolak. Antara kemarahan yang makin menggelegak atas kata-kata Celia kepadanya tadi, bercampur pada kemarahan ke dirinya sendiri karena dia terlalu lambat dan membuat Sani mengetahui mengenai pertunangan itu sebelum waktunya,
“Aku akan berbuat sesuatu. Nanti.” Gumamnya dingin.
Malam itu, Azka duduk di cafe semalaman, menatap ke arah jendela, ke arah apartemen Sani.⧫⧫⧫Dia masih merenung di apartemennya ketika pintunya diketuk.
“Masuk.” Gumamnya tak bersemangat.
Pintu itu terbuka dan Keenan melangkah masuk dengan gaya santainya, dia mengangkat alis melihat Azka yang tampak begitu murung.“Tidak bekerja hari ini?”
Azka melirik Keenan dengan dingin, “Tidak.”
Keenan tersenyum dan mengambil tempat duduk di depan Azka, “Baru kali ini seorang Azka meninggalkan tanggung jawabnya, karena seorang perempuan.” Gumamnya ringan, membuat Azka melemparkan tatapan membunuh kepadanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku memang ingin mampir menengokmu, tetapi beberapa pelayan di bawah tampaknya sedang asyik membicarakan insiden semalam. Dimana seorang perempuan menumpahkan anggur dari gelasnya ke sang pemilik cafe.” Keenan terkekeh, “Tidak ada perempuan lain yang berani melakukan itu padamu, dan kau membiarkannya, Azka. Kecuali Sani.”
Azka hanya terdiam, meneguk kopinya dengan frustrasi.
“Apakah pada akhirnya Sani tahu tentang Celia?”
Azka mengganggukkan kepalanya, “Dia tahu sebelum saatnya.”
“Sebelum rencanamu untuk menyingkirkan Celia eh?” Keenan melemparkan tatapan mata penuh tanya, ingin tahu apa sebenarnya rencana Azka untuk Celia. Tetapi kemudian dia sadar bahwa Azka tidak ingin menjawab pertanyaannya, “Sudah kubilang kau sangat terkenal, dan sangat sulit menyembunyikan informasi semacam itu.”
“Aku tahu, aku pikir aku akan punya waktu lebih lama.” Azka meringis pedih, “Sani dikhianati oleh tunangannya, dan dia sekarang menganggap aku sama brengseknya dengan tunangannya itu. Aku sudah berusaha menjelaskan tetapi dia tidak mau mendengarkan aku.”
“Tunggu sampai dia tidak marah lagi.”
“Aku takut dia pergi Keenan, aku takut.... aku... aku tidak akan bisa hidup tanpanya.” Azka membungkuk, meremas rambutnya dengan frustrasi
Dan Keenan duduk di sana, mengamati dengan sedih, merasakan hatinya teriris. Baru kali ini Azka bersedia meninggalkan seluruh tanggung jawabnya, demi mengejar perempuan yang dicintainya. Dan saudara kembarnya itu sekarang harus menghadapi kemungkinan untuk patah hati.⧫⧫⧫Keenan berdiri di depan pintu rumah Celia, menunggu. Celia muncul beberapa saat kemudian dan mengernyit ketika mendongak dan melihat bahwa Keenan yang muncul di sana.
“Ada apa?” Celia tentu saja bingung, tidak pernah sekejappun dia menyangka bahwa Keenan akan datang menemuinya. Dia pernah berusaha mengejar Keenan dan ternyata lelaki itu tidak pernah serius kepadanya. Pada akhirnya Celia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya kepada Azka, toh wajah mereka sama... Meskipun jauh di dalam hatinya... dia lebih mencintai Keenan, Keenan yang mudah tertawa, Keenan dengan pakaian santai dan gaya menggodanya yang selalu membuat Celia berdebar, dan semua hal yang sangat bertolak belakang dari Azka. Azka terlalu serius, terlalu formal, dan terlalu datar.
Tetapi Keenan sepertinya tidak menyimpan perasaan yang sama. Sehingga Celia harus puas memiliki saudara kembarnya yang sangat mirip dengannya.
Keenan menatap Celia dengan serius, tatapan yang tidak pernah dilihat Celia sebelumnya karena Keenan selalu penuh canda.
“Aku selalu tahu bahwa kau tidak pernah mencintai Azka.” Keenan bergumam, membuka percakapan, menatap Celia dalam-dalam, membuat Celia mengernyit.
Ketika Celia bertunangan dengan Azka, Keenan hanya mengangkat alisnya waktu itu, tidak menolak tapi juga tidak menyetujui. Padahal waktu itu Celia mengharapkan setitik reaksi kecemburuan dari Keenan, sayangnya ternyata dia tidak tersimpan sedikitpun di hati Keenan. Lalu setelah kecelakaan itu, tatapan tidak peduli Keenan kepadanya berubah menjadi tatapan marah... Ah dia tahu tentang pengkhianatan Celia kepada Azka tentu saja, dan lelaki itu tampak jijik kepadanya serta berusaha menentang ketika Azka bersikeras melanjutkan pertunangan itu. Tentu saja Keenan tidak bisa berbuat apapun untuk menghalangi Celia dan Azka, sebentar lagi Celia akan menikah dengan Azka.
“Kau tidak pernah tahu apa yang kurasakan.” Celia bergumam, mendongak mentaap Keenan yang masih berdiri dan menunduk ke arahnya,
“Aku tahu.” Tiba-tiba saja Keenan berjongkok di depannya, membuat matanya sejajar dengan mata Celia, “Aku tahu persis bahwa akulah yang kau cintai.”
Pipi Celia memerah dan jantungnya berdebar mendengar kata-kata Keenan itu. Apa maksud Keenan sebenarnya?Keenan mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak kecil berwarna hitam dari beludru, dibukanya kotak itu. Isinya sebuah cincin berlian yang begitu indah dan berkilauan,
“Aku mencintaimu Celia, sudah sedari lama aku memendam perasaan ini. Tapi kau lalu memilih bertunangan dengan Azka. Aku menunggu lama dan pada akhirnya sadar bahwa kalian berdua tidak pernah saling mencintai. Aku yang mencintaimu, bukan Azka. Dan aku yakin kau juga mencintaiku.”
“Apa?” Celia benar-benar terkejut, bibirnya menganga, matanya berganti-ganti menatap cincin berlian itu dan beralih ke wajah Keenan. Tetapi yang ditemukannya di wajah Keenan adalah keseriusan yang dalam.
“Kalau kau bersedia, aku akan menghadap Azka dan mengungkapkan semuanya, bahwa kita saling mencintai, bahwa kita ditakdirkan bersama. Azka akan mengerti, apalagi aku sangat yakin bahwa dia tidak mencintaimu. Dia pasti akan memberikan restu kepada kita untuk bahagia bersama.”
Mata Celia tampak berkaca-kaca. Oh astaga. Keenannya! Lelaki yang dicintainya dari awal. Bagaimana mungkin dia bisa menolaknya? Batinnya sendiri sudah mengakui bahwa dia hanya menggunakan Azka sebagai pelarian, dia mencintai Azka karena lelaki itu bagaikan perwakilan dari saudara kembarnya, dan yang dicintai oleh Celia sesungguhnya adalah Keenan.
“Kau... kau tidak sedang mempermainkanku bukan?” Celia masih meragu meskipun hatinya langsung berbunga-bunga melihat senyum lembut Keenan kepadanya,
“Aku? Bercanda? Percayalah padaku, Celia, aku tidak pernah melakukan ini kepada perempuan manapun, tidak pernah sebelumnya. Hanya kau satu-satunya perempuan yang bisa membuatku berlutut dan menawarkan cincin. Dan aku akan mati karena patah hati kalau kau menolaknya.” Keenan menunjukkan cincin itu lagi dan berubah serius, “Nah, Celia, maukah kau memutuskan pertunanganmu bersama Azka dan kemudian bersumpah setia untuk menikah denganku?”
Air mata bahagia membanjiri mata Celia, “Ya!” serunya bersemangat, dia memajukan tubuhnya, memeluk Keenan erat-erat dan merasa begitu melayang ketika Keenan membalas pelukannya, “Ya. Keenan, aku bersedia! Aku akan menikah denganmu!”
Celia tidak melihat wajah Keenan yang begitu pedih ketika memeluknya. Keenan sudah terlalu sering berbuat egois, memanfaatkan kebaikan hati Azka, membiarkan kakaknya itu bertanggung jawab atas semua hal yang seharusnya mereka bagi bersama. Kini giliran Keenan membalas budi, setidaknya dia bisa mengambil salah satu tanggung jawab Azka yang paling berat. Pemandangan Azka yang begitu menderita telah mendorongnya untuk berbuat ini. Dia bisa dan dia mampu untuk menolong kakaknya.
Biarlah dia yang mengambil alih tanggung jawab terhadap Celia, dan membiarkan Azka bisa mengejar cinta sejatinya.⧫⧫⧫“Aku harus berbicara denganmu.” Keenan bergumam di pintu, menyadari Sani di dalam sana merasa ragu untuk membukanya.
Keenan berhasil naik ke atas karena resepsionis apartemen mengira bahwa dia adalah Azka, jadi dia membiarkannya masuk. Dan sekarang lelaki itu sudah berdiri di depan apartemen Sani, ingin memberikan penjelasan.“Apakah Azka yang mengirimmu kemari?” Tanya Sani dari balik pintu.
“Tidak. Saudaraku itu terlalu menderita untuk berpikir apapun, yang dia lakukan hanyalah mengurung diri di apartemennya dan merenung. Tidak makan, tidur ataupun bekerja, kalau terus-menerus begitu aku cemas dia akan mati.” Keenan mendesah, “Kumohon, biarkan aku bicara denganmu sekali saja, setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi.’
Sani tertegun, hatinya terasa pedih mendengar kata-kata Keenan tentang Azka, tetapi dia menguatkan hatinya, bukankah dia juga mengalami kepedihan yang sama? Dia tidak bisa makan, tidak bisa tidur dan terus-terusan menangis?
Setelah menghela napas panjang, Sani membuka pintu dan menatap Keenan dengan dingin, “Katakan apapun yang kau mau, lalu pergilah.”
Keenan meringis menerima sikap dingin Sani, “Bolehkah aku masuk? Ini akan sangat panjang.”
Sani menatap Keenan, lalu pada akhirnya dia memundurkan diri dan membiarkan mereka masuk.
Mereka duduk di sofa, dalam keheningan,
Well? “ tanya Sani setelah beberapa lama tampaknya Keenan belum ingin mengatakan apapun.
Keenan mendesah, “Aku masih bingung harus memulai dari mana... kita mulai dari Celia, tunangan Azka.” Keenan melirik dan menemukan luka di mata Sani ketika nama Celia disebut, “Celia dulu mengejarku dan ingin memilikiku. Tetapi tentu saja aku hanya main-main dengannya. Dan setelah sadar dia tidak bisa memilikiku, dia mengejar Azka. Azka waktu itu masih begitu rapuh sepeninggal orang tua kami, dan Celia menghujaninya dengan perhatian-perhatian hingga akhirnya Azka menerima Celia. Aku bilang ‘menerima’ karena aku yakin bahwa dari awal, Azka tidak pernah mencintai Celia. Dia hanya merasa dia bisa menerima Celia di sisinya, itu saja. Dan kemudian merekapun bertunangan.” Keenan mengangkat bahunya, “Aku sedikit terkejut ketika Azka mengambil langkah serius itu bersama Celia, tetapi kemudian aku sadar, Celia tahu betul kelemahan Azka, dia tahu Azka mudah merasa bertanggung jawab kepada seseorang dan dia memanfaatkannya. Mereka berduapun bertunangan. Dan semua tampak baik-baik saja. Sampai kemudian pengkhianatan itu terjadi.”
Pengkhianatan? Jantung Sani berdegup kencang, Apakah sebelumnya Azka juga pernah mengkhianati Celia?
“Celia yang mengkhianati Azka.” Keenan bergumam, memahami pertanyaan yang ada di mata Sani, “Azka sangat sibuk waktu itu, mengambil alih perusahaan yang diwariskan oleh ayah sehingga dia tidak punya waktu untuk memberikan perhatian kepada Celia yang manja. Celia yang manja dan haus kasih sayang akhirnya mencari pelarian kepada pria lain, seorang pria brengsek bernama Edo. Lelaki itu merusaknya dan meninggalkannya dalam kondisi hamil.”
“Apa?” Sani terkesiap, menutup mulutnya dengan jemarinya, tidak menyangka akan informasi itu.
“Ya. Dia hamil, dan dia ditinggalkan. Celia menangis, datang kepada Azka, berharap bisa memanfaatkan sikap tanggung jawab Azka. Tetapi dia memperoleh yang sebaliknya, dia marah besar, semua itu sudah berada di luar batas toleransi Azka. Sayangnya Celia memilih waktu yang salah ketika mengaku, dia sedang berada di dalam mobil bersama Azka, dan kemudian mereka mengalami kecelakaan.”
Sani teringat berita yang dibacanya, bahwa Celia adalah seorang model yang kemudian berhenti setelah sebuah kecelakaan...
“Celia keguguran. Dan kakinya dinyatakan lumpuh, tidak bisa berjalan lagi selamanya. Azka seperti yang kau tahu merasa sangat bersalah dan kemudian mengambil seluruh tanggung jawab terhadap Celia, dia melanjutkan pertunangan itu. Melanjutkan rencana pernikahan itu meskipun hatinya luar biasa pedihnya. Seluruh perasaan yang pernah dimilikinya bersama Celia tentu saja sudah musnah, tetapi dia tetap berusaha menjalani apa yang sudah dijanjikannya, dan dia berusaha tetap setia.”
Oh Ya ampun. Kasihan Azka. Itulah hal yang pertama terlintas di benak Sani. Kasihan Azka... lelaki itu sekali lagi memikul tanggung jawab yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Keenan tersenyum kecut melihat ekspresi Sani, “Kau merasa kasihan kepadanya bukan? Begitupun aku? Azka hidup dengan menanggung beban karena kebaikan hatinya dan aku selalu menentang pertunangannya dengan Celia karena aku tidak mau dia menderita.... Apalagi ketika kemudian dia bertemu kau, Sani.”
Keenan memajukan tubuhnya, “Kau pasti tahu dan merasakan bahwa Azka benar-benar mencintaimu, dia tidak pernah selembut itu dengan perempuan manapun. Dulu dia begitu dingin, tenang dan pandai menutupi perasaannya, tetapi kepadamu dia sepertinya tidak bisa menahan diri.” Keenan mengamati Sani, “ Kau pasti tidak tahu bahwa Azka mempunyai rumah sendiri, sebuah rumah mewah di daerah elite yang sangat sejuk dekat dengan kantor pusat perusahaannya. Tetapi sejak bertemu denganmu, dia memilih untuk selalu pulang ke apartemen di atas cafe yang sederhana yang jauh dari kantornya, selarut apapapun dia pulang dia selalu berusaha ke sana. Hanya supaya dia bisa berdekatan denganmu.”
Mata Sani terasa panas ketika dia mengingat kebaikan dan kelembutan hati Azka kepadanya, melihat betapa sedihnya lelaki itu ketika pertengkaran mereka di cafe. Oh astaga, dia tidak tahu kalau seperti ini kisahnya. Kalau saja dia tahu...
Kalau saja dia tahu dia akan berbuat apa? Tidak mungkin kan dia menerima cinta Azka dan membuat Azka meninggalkan Celia? Batin mereka berdua pasti akan sama-sama tersiksa, berbahagia di atas penderitaan perempuan lain.
Keenan menghela napas panjang, “Sekarang kalian sudah tidak perlu bingung lagi. Aku sudah mengatasi Celia.”
Sani menatap bingung ke arah Keenan, “Mengatasi Celia? Apa maksudmu?”
Keenan menatap Sani dengan pedih, “Aku sadar bahwa selama ini aku egois, membiarkan Azka menanggung semuanya, aku hampir sama jahatnya seperti Celia, mengetahui kelemahan Azka adalah kebaikan hatinya, dan aku memanfaatkannya... Tetapi ketika hari itu aku melihat betapa menderitanya Azka, aku tidak tahan. Aku ini adiknya dan adik macam apa yang bisa membiarkan kakaknya menderita padahal tahu bahwa dia bisa berbuat sesuatu?”
“Maksudmu....?” Sani bertanya-tanya, akan kemana arah dari kata-kata Keenan itu.
“Yang dicintai Celia sebenarnya adalah aku. Aku tahu persis itu sejak awal mula.” Keenan terkekeh, “Aku mendatangi Celia pagi ini dan menawarkan pertunangan, berpura-pura mencintainya dan memintanya meninggalkan Azka. Perempuan itu langsung menyambarnya bagaikan ikan hiu yang kelaparan.”
“Astaga Keenan? Kenapa kau melakukan itu?”
“Karena aku menyayangi Azka, sejak kecil dia selalu menjaga dan melindungiku, bahkan sampai dewasapun dia selalu melakukannya. Sekarang giliranku untuk membuatnya bahagia.”
“Tetapi kau tidak benar-benar mencintai Celia..”
“Tidak apa-apa.” Keenan tersenyum, “Aku sudah mengambil seluruh jatah kebahagiaanku di muka, sekarang giliran Azka yang mendapatkannya.”⧫⧫⧫*Sepeninggal Azka, Sani masih merenung kebingungan. Pada akhirnya dia memberanikan diri, menelepon nomor Azka.
“Halo Sani?” pada deringan pertama telepon itu langsung diangkat, seolah-olah Azka memang sedari tadi duduk merenung menatap ponselnya.
“Azka.” Sani memejamkan matanya, merasa  bersalah ketika mendengar nada letih di suara Azka, lelaki itu menanggung beban berat karenanya, “Aku... bisakah aku ke cafe? Aku ingin bicara.”
bersambung ke part 10

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2013 04:13

March 20, 2013

Pembunuh Cahaya Part 8


Note : Hadiah ulang tahun untuk yang lagi ultah ^___^V




Leo berdiri terpaku dan bingung ketika ditinggalkan oleh Saira. Perceraian. Pada akhirnya Saira pasti akan mengajukan itu kepadanya, dan dia tahu itu akan terjadi. Dia bahkan sudah merencanakan perceraian yang menyakitkan untuk Saira.
Tetapi sekarang dia tidak mungkin menerima perceraian itu, Demi Tuhan, Saira sedang mengandung anaknya, dan perempuan itu dengan mudahnya mengatakan bahwa dia menginginkan perceraian. Mau dia bawa kemana anak Leo nanti? Apakah dia akan lari ke pelukan Andre dan kemudian menjadiakan Andre ayah dari anaknya? Leo meringis dengan marah. Tidak! Tidak akan Leo biarkan Saira lari kembali ke pelukan Andre. Selama ini dia sudah menahan kebencian kepada lelaki itu, Andre, lelaki yang terlalu dekat dengan Saira. Dia tidak akan mengizinkan anaknya yang sekarang ada di perut Saira berdekatan dengan Andre.
Leo akan mempertahankan Saira dan anaknya mati-matian agar selalu berada di sampingnya.***
“Jadi kau akan pergi?”
Andre terdengar bersemangat ketika malam itu Saira meneleponnya, Saira menghela napas panjang dan tanpa sadar menganggukkan kepalanya, lupa kalau Andre tidak bisa melihatnya.
“Saira?” Andre bertanya lagi menunggu jawaban Saira.
“Ya Andre, aku akan pergi.” Saira cepat-cepat menjawab.
“Kapan?”
“Aku tidak tahu, aku akan mencari cara melarikan diri dari supir yang diperintahkan oleh Leo untuk selalu mengawasiku.” Gumam Saira pelan, takut terdengar dari luar.
Andre tampak berpikir di seberang sana, “Leo pasti akan langsung mengejarmu kemari, ke rumah kaca dan ke rumahku.” Suaranya berubah serius, “Kau tidak boleh pulang kemari, aku akan mencarikan tempat untukmu bersembunyi, tempat yang tidak diketahui oleh Leo.”
Saira memikirkan perkataan Andre dan tiba-tiba merasa takut ketika mengingat ancaman Leo kepada keluarga Andre,
“Aku takut Andre.” Gumamnya pelan, mulai ragu.
“Takut apa?”
“Leo...” suara Saira tercekat, “Leo pernah mengancam, kalau aku sampai melarikan diri atau menemuimu, dia akan menjadikan kau sasarannya, kau, mamamu dan kedua adikmu, dia akan menyerang mereka. Aku takut dia akan melaksanakan ancamannya dan melukai kalian.” Bisik Saira gemetar.
“Kami bisa menjaga diri kami sendiri.” Andre bergumam dengan suara tegas, “Jangan pikirkan itu, Saira, kau harus memikirkan dirimu dan anakmu. Leo memang berkuasa, tetapi dia tidak bisa berbuat semena-mena dan melukai kita. Aku akan menghadapinya.” Sambung Andre dengan yakin.
Saira memejamkan matanya berusaha meredakan ketakutanya. “Semoga Andre... semoga semua baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk pergi dari rumah ini, segera.”
“Kau harus benar-benar memikirkannya segera Saira. Tingalkan saja Leo!”
Saira mendesah, “Kau tahu aku masih mencintainya...”
“Bukankah kau takut padanya? Katamu dia pria kejam yang tidak segan-segan berbuat apapun untuk melaksanakan maksudnya.”
“Ya..aku tahu, aku memang takut kepadanya, aku ketakutan ketika dia mengancammu dan keluargamu... entah kenapa jauh di dalam hatiku aku selalu berharap bahwa Leo tidak sejahat itu.”
“Itu hanya harapan karena hatimu dilemahkan oleh cinta.” Andre tampak jengkel. “Cinta membuat matamu berkabut, membuatmu merasa bahwa masih ada kebaikan di benak Leo, padahal dia sangat kejam, banyak buktinya bukan? Kekejamannya dalam pernikahanmu, sikap kasarnya, siapa yang tahu apa yang dilakukannya untuk menyakitimu?”
“Entahlah Andre.” Saira mulai merasa lelah,
Tetapi Andre tidak membiarkannya, “Leo itu kejam, Saira. Sangat kejam. Cepat atau lambat kau harus menyadari bahwa dia adalah pria yang jahat. Dan aku harus menyadarinya sebelum semuanya terlambat.”***
Sementara itu, tanpa Saira sadari, Leo tengah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka sedikit, Tadi Leo memutuskan untuk menemui Saira dan berkompromi demi anak mereka, dia akan meminta maaf kepada Saira dan membuat Saira mau tinggal dan mempertahankan pernikahan mereka.
Tetapi ketika baru sedikit membuka pintu kamar Saira, dia mendengar percakapan itu, rencana melarikan diri Saira yang disusunnya bersama Andre.
Leo meradang, panas oleh kemarahan yang tidak dia sadari oleh karena apa. Berani-beraninya Saira merancang cara untuk pergi darinya dan tidak menghiraukan ancamannya? Dan juga perempuan itu menyusun rencananya dengan Andre? Apakah kecurigaannya benar? Bahwa Andre dan Saira sebenarnya menjalin hubungan lebih? Saira memang pernah mengatakan bahwa Andre adalah gay, tetapi Leo tidak mungkin percaya begitu saja. Apalagi dengan kenyataan di depannya bahwa Saira selalu menghubungi Andre diam-diam seolah-olah tidak bisa lepas darinya.
Dada Leo terasa panas. Dia harus melakukan sesuatu untuk memberi peringatan kepada pasangan itu!***
Hampir dini hari ketika ponsel Saira terus menerus berbunyi, tidak mau menyerah sampai Saira terbangun dan membuka mata.
Saira masih mengantuk, dia membuka matanya dengan lemah, dan meraba-raba ponselnya yang terus berbunyi dengan berisik, tanpa melihat siapa yang menelepon, Saira mengangkatnya sambil masih memejamkan matanya,
“Halo?” suaranya serak, tertelan oleh kantuk.
“Saira!” itu suara Andre, terdengar panik dan bingung, di belakangnya tampak riuh rendah suara manusia, “Rumah kaca... rumahmu... terbakar!”
Kata-kata itu sanggup membangunkan Saira begitu saja, bagaikan guyuran air es yang menyiramnya langsung, dia terduduk dengan pandangan nanar, “Apa?”
“Rumahmu terbakar, kami sedang berusaha memadamkannya dengan swadaya sambil menunggu petugas pemadam kebakaran...” napas Andre tampak terengah, “Apinya.. apinya sangat besar.”
“Oh Tuhan...” Saira membayangkan tanaman-tanaman kesayangan mamanya, yang dirawatnya dengan penuh cinta seperti anaknya sendiri, dan seperti anak Saira sendiri pula, dia membayangkan api yang melalapnya dan wajahnya pucat pasi.
“Aku.. aku akan kesana,” dengan panik Saira berdiri, merasakan perutnya sakit seperti di remas, tetapi dia berusaha mengabaikannya, dengan panik dia mencari-cari jaketnya dan memakainya, kemudian dia melangkah keluar hampir menangis.
Dia bingung harus bagaimana. Rumah besar ini tampak sunyi senyap, tanpa suara. Tetapi Saira begitu panik, dia kemudian memberanikan diri dan mengetuk pintu kamar Leo, semula tidak ada jawaban sehingga Saira mengubah ketukannya menjadi gedoran, sambil memanggil-manggil nama Leo,
Pintu terbuka tak lama kemudian, dan Leo yang sepertinya baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan, membuka pintu dengan wajah cemberut, “Ada apa?” gumamnya ketus, tetapi kemudian ekspresinya berubah ketika melihat Saira menangis dengan tubuh gemetaran, dipegangnya kedua pundak Saira menahan gemetaran gadis itu, “Ada apa Saira?” suaranya berubah cemas.
Saira mengangkat kepalanya dan menatap Leo dengan tatapan penuh permohonan, “Rumah kaca... “ gumamnya serak penuh tangis, “Rumah kaca terbakar... kebakaran...”
Leo mengerutkan keningnya, tetapi kemudian berhasil menarik kesimpulan. Dia langsung memutuskan,“Tunggu di sini. Aku akan segera mengantarmu ke sana.”
Hanya dalam hitungan menit, Leo sudah kembali dan tampak rapi, lelaki itu lalu menggandeng Saira, melangkah cepat ke mobil, dan melajukannya dengan segera, menuju rumah Saira.***
Mereka berdua sama-sama tertegun ketika mobil sudah mendekati rumah Saira. Api melahap dengan begitu besar, menimbulkan cahaya orange yang mengerikan. Hawa panas tersebar di sana, dan asap hitam membumbung ke langit. Sementara itu banyak orang berkumpul di sana, sebagaian hanya menonton dari kejauhan, sebagian tampak berusaha memadamkan api itu dengan swadaya. Mobil pemadam kebakaran sepertinya baru saja datang, dengan selang besarnya dan air yang memancar.
Tetapi sepertinya semua sudah terlambat, tidak ada lagi apapun yang tersisa untuk diselamatkan. Rumah Saira, rumah peninggalan ibunya, tempat semua kenangan masa kecilnya, sudah hancur dan hangus. Sementara itu yang tersisa dari rumah kacanya hanyalah kerangka bajanya yang masih berdiri tegak. Yang tertinggal hanyalah api dan kehangusan.
Saira masih tertegun shock, sehingga membiarkan dirinya berada dalam rangkulan Leo, yang juga menatap api itu dengan tertegun.
Tak lama kemudian, Andre datang berlari-lari menghampiri mereka, dia tampak berkeringat dan coreng moreng oleh noda hitam hangus di pipinya,
“Saira!” Andre berseru hanya menatap Saira dan sepenuhnya mengabaikan Leo, tampak sangat menyesal, “Kami sudah berusaha memadamkannya, tetapi pemadam  kebakaran terlambat datang karena kemacetan dan....Saira?” Andre bergumam panik ketika melihat tubuh Saira oleng dan jatuh, dia hampir menopang Saira, tetapi kemudian tertahan oleh Leo.
Lelaki itu menopang Saira ke dalam pelukannya dan melemparkan tatapan tajam kepada Andre,
“Biar aku saja.” Gumamnya dingin sambil menatap Andre dengan tatapan mengancam.
Andre masih tertegun menerima tatapan membunuh dari Leo, dan mengamati lelaki itu membopong Saira yang pingsan kembali ke mobil.***
“Sayang... bangunlah...” suara itu terdengar berbisik terus menerus di telinganya, dan kemudian ada harum aroma wewangian di hidungnya.
Saira menggeliat dan berusaha membuka mata, melepaskan diri dari kegelapan yang menelannya.
Ketika dia membuka mata, dia langsung berhadapan dengan Leo. Saira langsung mengernyitkan keningnya. Apakah Leo yang memanggilnya dengan sebutan ’sayang’ tadi? Ataukah dia hanya bermimpi?
“Kau pingsan tadi, apakah kau baik-baik saja?” tanya Leo pelan. Saira rupanya telah dibaringkan di kursi belakang mobilnya.
Dengan gugup Saira duduk, dan kemudian melemparkan pandangannya ke arah rumahnya, api sudah padam dan sekarang tinggal asap hitam sisa siraman air yang mengepul ke atas. Hatinya terasa perih dan teriris. Sedih luar biasa. Seakan semua kenangannya dihapuskan paksa oleh kebakaran itu.
Dengan sedih dia menahankan air mata yang mulai merembes di matanya, “Aku tidak apa-apa.” Gumamnya serak.
Leo menghela napas, tampak lega, “Bagaimana dengan perutmu? Kondisi bayimu? Kau tidak merasakan sakit?”
Saira meraba perutnya, memang terasa sedikit kram, tetapi itu mungkin karena Saira sedang tegang, dia lalu menggelengkan kepalanya,
Ada kelegaan di mata Leo, lelaki itu kemudian menoleh dan menatap ke arah kebakaran dan mengernyit, “Apakah kau ingin membereskan urusan ini sekarang? Kau tahu, urusan laporan dengan polisi, asuransi dan lain-lain? Atau kau ingin pulang dulu dan mengurus ini besok?”
Pulang. Saira termangu menatap rumahnya yang sudah hangus. Dulu rumah ini adalah tempatnya pulang. Sekarang semua sudah tidak ada lagi.... apakah rumah Leo sekarang menjadi tempatnya pulang?
Saira menatap Leo, dan ingin menanyakan keberadaan Andre, tadi dia ingat sedang berbicara dengan Andre sebelum dia pingsan. Tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Leo tampaknya sedang tenang dan Saira tidak ingin mengusiknya dengan mengatakan bahwa dia ingin berbicara dengan Andre.
“Ya Leo... kita pulang saja.”
“Oke.” Leo mengambil bantal di jok belakang dan meletakkannya di belakang Saira, “Kau berbaring saja di sana.” Lelaki itu lalu menutup pintu mobil dan masuk ke belakang kemudi, melajukan mobilnya tanpa kata-kata.
Sementara itu Andre mengamati dari kejauhan mobil Leo yang beranjak pergi membawa Saira dengan dahi berkerut gusar.***
Ketika mereka sampai ke rumah, pagi sudah menjelang karena matahari sudah mengintip di kaki langit, menampakkan semburat kuning yang memecah kegelapan langit.
Leo memarkir mobilnya di depan dan membukakan pintu belakang untuk Saira, membuat Saira yang tertidur selama perjalanan langsung terbangun, Saira meskipun mengantuk,  sudah mau turun dan berdiri ketika kemudian tanpa kata Leo mengangkat Saira ke dalam gendongannya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Hampir saja Saira tertidur kembali ketika terayun-ayun dalam gendongan Leo menaiki tangga. Dan kemudian mereka sampai di kamar Saira.
Leo melangkah pelan dan membaringkan Saira dengan lembut di atas ranjang. Saira yang masih mengantuk langsung memiringkan tubuhnya dengan nyaman.
Dia mungkin bermimpi karena dia merasakan kecupan lembut di keningnya, sebelum langkah-langkah kaki Leo berlalu dan meninggalkan kamar itu.***
Ketika Saira terbangun di pagi hari, dia masih memikirkan semua memorinya. Dadanya langsung terasa sakit ketika teringat kebakaran itu. Dia menghela napas panjang, berusaha meredakan rasa sesak di dadanya. Ketika itulah tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuatnya terkejut. Dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah Andre. Kemarin mereka meninggalkan tempat itu begitu saja, Andre pasti cemas.
Saira mengangkatnya dengan suara lemah,
“Andre?”
“Bagaimana keadaanmu Saira?”
Saira menelan ludahnya dengan pahit, “Aku baik-baik saja.” Dia mendesah pelan dalam kesedihan, “Tidak ada yang tersisa ya?”
Hening sejenak, lalu Andre berkata, “Maafkan aku....”
Saira menyusut air mata di sudut matanya, sekali lagi menghela napas panjang, meredakan napasnya yang sesak. Sekarang dia tidak punya tempat lagi untuk pulang, rumah tempat kenangannya, tempat dia bisa menumpahkan segala kebahagiaannya di rumah kaca itu telah tiada. Semuanya sudah musnah.
“Saira... kau masih di san?” Andre bertanya dengan ragu, menggugah Saira dari lamunannnya.
“Aku masih di sini Andre.” Gumam Saira cepat, “Kenapa?”
Andre tampak merenung, “Apakah kau pikir kebakaran ini tidak kebetulan?”“Apa maksudmu?”
“Katamu kemarin kau meminta perceraian dari Leo, dan kemudian malam harinya rumahmu terbakar? Apakah kau pikir Leo tidak terlibat dalam hal ini? Karena dari sudut pandangku, ini semua tampaknya terlalu kebetulan.”
Saira tertegun, wajahnya pucat pasi. Leo?Apakah benar yang dikatakan oleh Andre? Bahwa Leo adalah dalang dari kebakaran rumahnya? Bahwa ini semua bukanlah musibah atau kecelakaan biasa? Apakah Leo sekejam itu?
Saira masih teringat jelas betapa lembutnya Leo ketika menggendongnya tadi...... Leo... tampaknya kehamilannya telah membuat hati Leo melembut. Mungkinkah Leo tega melakukan itu semua?
“Aku pikir Leo pasti pelakunya, Saira. Waktunya terlalu bertepatan. Dan dia pernah mengancammu akan melakukan segalanya bukan?” Andre masih bergumam di seberang sana.
“Aku tidak tahu Andre...” Saira menelan ludahnya, “Sungguh aku tidak tahu.”
“Kau tidak boleh melemah dan kalah dari Leo, Saira. Kalau kau menyerah, maka dia berhasil melaksanakan maksudnya. Dia pasti membakar rumahmu, aku yakin itu, agar kau tidak punya tempat untuk pulang dan melarikan diri. Kau tidak boleh menyerah Saira. Tanpa rumahpun, aku masih bisa membantumu melarikan diri dari rumah itu. Oke?”
Saira bimbang dan bingung, dia hanya bisa meringis menahan kekalutannya.
Dia masih tidak percaya Leo sekejam itu, membakar rumah kaca dan rumahnya? Benarkah itu? Benarkah Leo sekejam itu?”***
Leo masih merenung di kamarnya pagi itu, dia ingin menengok Saira, tetapi dia ragu. Semalam, mendampingi Saira melihat rumah itu terbakar, kemudian menopang ketika Saira pingsan telah menggugah sesuatu di dalam dirinya.
                Sesuatu itu adalah rasa ingin melindungi dan menjaga Saira dan anaknya.
Seharusnya tidak seperti ini.... Leo meremas rambutnya sendiri dengan bingung. Seharusnya bukan seperti ini... Tetapi Leo telah kalah dengan perasaannya sendiri.
Pada akhirnya dia harus menyerah kalah dan mengakui bahwa dia mencintai Saira. Leo telah menipu dirinya sendiri dengan mengatakan pada hatinya bahwa semua demi pembalasan dendamnya. Kenyataannya, dia mengejar dan menikahi Saira karena dia mencintainya.***
Saira berpapasan dengan Leo ketika hendak berjalan ke ruang duduk, mereka berdiri dan bertatapan dengan canggung,
“Bagaimana keadaanmu?” Akhirnya Leo yang memulai percakapan, menatap Saira dari ujung kaki ke ujung kepala, menilainya.
Saira mengalihkan matanya dari tatapan Leo yang tajam, “Aku baik-baik saja.”
Benak Saira masih dipenuhi oleh pemikiran itu, pemikiran bahwa mungkin saja Leo adalah otak dibalik terbakarnya rumahnya. Bahwa Leo sangat kejam dan jahat kepadanya. Pemikiran itu menyakiti hatinya lebih daripada yang dia sangka. Karena Saira masih sangat mencintai Leo. Amat sangat mencintai lelaki itu..
“Polisi mungkin akan datang kemari menanyakan beberapa pertanyaan, yah karena kau adalah pemilik rumah itu, aku harap kondisimu cukup baik untuk menerima mereka.”
Saira menganggukkan kepalanya, “Aku baik-baik saja.” Dia merenung dengan sedih. Apa yang akan terjadi kalau dia mengungkapkan kecurigaannya kepada Leo ke polisi? Akankah polisi membantunya?
Tetapi menilik sikap Leo yang begitu tenang itu, Saira jadi berpikir bahwa Leo tentu sudah menyiapkan segalanya, Lelaki itu sangat pandai, jadi dia pasti bisa mengatur agar dia tidak ketahuan sebagai dalang kebakaran itu. Tidak ada gunanya memberitahu polisi, karena dia pasti akan terlihat seperti orang bodoh, seorang istri yang menuduh suaminya sendiri.***
Polisi itu sudah pulang setelah mengumpulkan data-data. Tidak banyak yang mereka tanyakan karena memang Saira sudah tidak meninggali rumah itu setelah mereka menikah.
Setelah mengantar kepergian polisi itu, Leo menatap Saira dengan tatapan datar,
“Kau boleh membangun rumah kaca di sini.”
Saira tertegun, tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir Leo, dia menatap mata Leo, mencari tanda-tanda bahwa Leo sedang bercanda dengan kejam padanya, tetapi mata Leo tampak tulus menatapnya,
“Apa?” Saira tidak bisa menahan diri untuk bertanya ulang, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Leo tidak bercanda.
Leo berdehem seolah-olah mengucapkan kata-kata itu sangat sulit baginya,
“Aku tahu bahwa kau sangat menyayangi tanaman-tanamanmu, dan kehilangannya pasti akan membuatmu terpukul, aku tidak mau kau berlarut-larut dalam kesedihan dan akan mempengaruhi kondisimu, dan juga bayimu. Besok aku akan mengirimkan orang untuk membangun rumah kaca di taman belakang untukmu. Taman belakang cukup luas untuk sebuah rumah kaca. Setelah rumah kaca itu selesai dibangun, kau bisa mengisinya dengan berbagai varietastanaman kesukaanmu.”
Saira menatap Leo dalam-dalam dan menemukan keseriusan di sana, lelaki itu tidak sedang bercanda rupanya, “Kau tidak perlu melakukannya untukku.” Saira bergumam lemah meskipun perkataan Leo membuat hatinya tersentuh.
Leo tersenyum lembut, senyum lembut pertamanya setelah entah kapan, Saira sudah tidak bisa mengingatnya lagi, karena setelah pernikahan mereka, Leo hampir tidak pernah tersenyum kepadanya.
“Aku tidak repot kok.” Lelaki itu lalu berlalu meninggalkan Saira dengan sejuta pertanyaan berkecamuk di benaknya.***
Leo tidak main-main dengan perkataannya. Keesokan harinya ketika Leo sudah berangkat kerja dan Saira sedang duduk di taman memandangi keindahannya dan kemudian tanpa sengata mengingat lagi akan rumah kacanya yang hangus, membuatnya merasa sedih, beberapa pekerja tiba-tiba datang, mereka bekerja dengan cepat dan sangat berpengalaman, sehingga ketika tengah hari Saira mengintip lagi, seluruh pondasi dan konstruksi rangka rumah kaca itu sudah jadi.
Jantung Saira berdebar, karena rumah kaca itu, dilihat dari rangkanya, jauh lebih besar daripada rumah kaca miliknya yang sudah hangus itu, tentu saja mengingat area taman belakang Leo berkali-kali lebih luas dari area kebun di rumahnya yang terbatas.
Saira membayangkan dia akan mengisi rumah kaca itu dengan berbagai varietas yang unik, membangun lagi keindahan tanaman dan koleksi bunganya yang hilang, memulai lagi sedikit demi sedikit...
Tiba-tiba Saira mengernyitkan keningnya ketika menyadari sesuatu.... kalau itu benar terjadi, berarti dia harus tinggal lama di rumah Leo, rumah kaca ini seolah menjadi pengikatnya dengan Leo.
Apakah itu memang yang direncanakan oleh Leo? Karena itukah lelaki itu membakar rumah kacanya? Supaya dia bisa mengingat Saira dengan rumah kaca barunya? Supaya Saira tidak bisa pergi lagi dari rumah ini?
Jadi itu semua bukan karena kebaikan hati Leo atau karena lelaki itu mencemaskannya?
Jantung Saira berdenyut kembali dengan pedih, entah sejak berapa lama, dia mengharapkan Leo melakukan sesuatu karena lelaki itu benar-benar mempedulikannya, bukan karena ada rencana keji di baliknya.***
Leo mengunjungi Leanna lagi hari itu karena kepala pelayannya menelepon dan mengatakan Leanna mengamuk, tidak mau makan dan tidak mau meminum obatnya. Hal itu membuat Leo merasa cemas dan dengan bergegas dia mengunjungi rumah tempat Leanna berada.
Ketika dia membuka pintu kamar Leanna, Leo mengernyit, kamar itu berantakan dengan segala barang berhamburan di lantai dan di mana saja, bahkan selimut dan bed cover ranjang juga tergeletak begitu saja di lantai, spreipun kondisinya sama menyedihkannya, seluruh sisinya sudah terlepas dari ranjang, menyisakan bagian kecil di tengah ranjang yang belum lepas, bagian kecil itu sekarang sedang ditiduri oleh Leanna yang meringkuk dan menangis seperti anak kecil.
Dengan hati-hati, Leo duduk di tepi ranjang Leanna, mengelus rambut adik kembarnya dengan pelan, berusaha selembut mungkin agar tidak mengejutkan adiknya.
Leanna sepertinya menyadari kehadiran Leo karena perempuan itu menangis semakin keras.
“Sayang... kenapa? Kenapa kau menangis terus dan tidak mau makan?” Leo bertanya dengan cemas. Tetapi tidak ada tanggapan dari Leanna, perempuan itu makin meringkukkan tubuhnya dan menangis tersedu-sedu, membuat perasaan leo semakin perih.
Leo menatap adiknya dengan perasaan sedih. Melihat kondisi Leanna ini membuat rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi. Apalagi sekarang, ketika dia memutuskan untuk menyayangi Saira dan tidak mencoba menahan perasaannya lagi kepada isterinya itu, Leo merasa seperti menjadi pengkhianat paling buruk di dunia.
Bakar.... bakar habis. Dia bilang bakar sampai habis..” Tiba-tiba Leanna bergumam dengan setengah mengigau.
Hal itu membuat Leo tertegun kaget. Apa kata Leanna tadi? Bakar?
Leo mencoba menunggu dan berharap Leanna mengulang kata-katanya, tetapi adiknya itu kembali menangis tersedu-sedu tanpa kata.
Kenapa Leanna mengatakan tentang pembakaran tepat setelah kejadian rumah dan rumah kaca Saira terbakar? Apakah ini berhubungan? Ataukah hanya kebetulan?
Leo tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya-tanya, otaknya berpikir keras... tetapi seharusnya Leanna tidak mengetahui tentang kebakaran itu, pegawainya menjaganya dengan begitu ketat sehingga menjaga Leanna dari semua informasi dari luar. Seharusnya Leanna tida tahu apa-apa.
Leo menghela napas panjang, mungkin memang ini semua hanya kebetulan...mungkin tadi tidak sengaja Leanna melihat api dan berkomentar tentang pembakaran.
Tetapi perasaan itu tetap ada, perasaan tergelitik di bagian belakangnya, yang biasanya merupakan firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Bersambung ke part 9

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 20, 2013 03:41

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.