Santhy Agatha's Blog, page 16
February 11, 2013
Sweet Enemy Part 8

Berjalan bersama tiga lelaki tampan ternyata sedikit mengintimidasi......
Keyna melirik ketiga lelaki yang berjalan beriringan bersamanya, sibuk bercanda. Mereka melewatkan tatapan kagum para perempuan yang berpapasan dengan mereka di taman hiburan itu.
Dan beberapa perempuan itu, setelah menatap ketiga laki-laki tampan itu, lalu melemparkan tatapan 'siapa sih perempuan itu' kepada Keyna. Keyna memutar bola matanya. Hanya dia satu-satunya yang tampak tidak pas di gerombolan ini.
"Aku mau naik itu." Davin menunjuk ke sebuah wahana permainan yang tampak mengerikan. Sebuah tiang tinggi dengan kursi-kursi di ujung-ujung kicir angin, dimana kursi itu hanya dipakukan di satu titik.
Keyna langsung merinding. Mereka akan diputar ke segala arah kalau naik wahana itu.
"Aku tidak mau." memikirkannya saja sudah membuat Keyna mual karena takut.
Davin tertawa dan melirik Keyna dengan tatapan mencemooh, "Pengecut."
"Aku bukan pengecut, aku punya akal sehat." Keyna membelalakkan mata, "Silahkan naiki wahana itu dan buat dirimu muntah sesudahnya,"
Jason tertawa mendengar jawaban Keyna untuk Davin, membuat Davin langsung memelototinya. Lelaki itu menatap Keyna, seolah akan membantah, tetapi kemudian memutuskan menyerah.
"Oke kalau begitu, kita naik wahana yang membosankan saja. Mungkin kau bisa mencoba komedi putar di sana itu, sepertinya cocok dengan penampilanmu yang seperti anak SD."
Keyna menatap Davin dengan pandangan mencela, lalu memelengoskan muka dan berjalan menjauhi Davin. Jason buru-buru mengikuti Keyna, mengajaknya bicara tentang sesuatu sementara Davin mengamati mereka, lalu mau tak mau berjalan mengikuti Keyna dan Jason di belakangnya.
Erland mendekat ketika mereka berjalan mengikuti Keyna.
"Kenapa denganmu sobat?" Erland setengah berbisik
Davin mengernyitkan keningnya, "Kenapa apa? Apa maksudmu?"
"Kau. sikapmu aneh."
"Aneh? Aku biasa saja." Davin mengedikkan bahunya bingung.
Erland terkekeh, "Sikapmu kepada Keyna. Aku belum pernah melihatmu bersikap begitu kepada perempuan lain. Seolah-olah kau sedang.... kebingungan."
"Aku? Kebingungan menghadapi Keyna? itu tidak mungkin Erland. Memangnya apa yang dilakukan Keyna sampai bisa membuatku bingung?"
"Itu yang harus kau tanyakan pada dirimu sendiri. Ayolah Davin, aku temanmu sejak kecil. Kau seperti buku yang terbuka di depanku. Sikapmu itu sangat kontradiktif, kau seolah-olah ingin menarik Keyna mendekat tetapi sekaligus ingin mendorongnya jauh-jauh. Dan hal itu membuatmu tampak defensif di depan Keyna. Mungkin kau harus tentukan, sebenarnya apa yang kau rasakan untuk Keyna?"
Davin membeku. Menatap bagian belakang tubuh Keyna yang sedang berjalan di depannya. Lalu menghela napas. Bahkan dia sendiri bingung dengan perasaannya. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan Erland?
***
"Sepertinya Davin berperan sebagai kakak yang baik untukmu." Jason tersenyum lembut ketika mereka duduk di cafe di tengah taman hiburan itu. Mereka sudah naik roller coaster, mencoba wahana kereta gantung, dan juga rumah hantu. Sekarang mereka sedang makan siang, Cafe itu menyediakan makanan-makanan sederhanya untuk pengisi perut.
Keyna melirik Davin yang sedang berada di luar cafe bersama Erland, lelaki itu tadi melihat Keyna memandang terpesona kepada pedagang permen kapas berwarna pink yang lewat. Dan meskipun bersungut-sungut serta mengejek Keyna yang kekanak-kanakan, Davin akhirnya keluar dan membelikannya untuk Keyna.
Keyna tersenyum dan menatap Jason, "Dia berusaha bersikap sangat baik untukku." Keyna teringat betapa Davin sudah benar-benar merubah sikapnya kepadanya, dan itu membuat hatinya hangat.
Jason menatap Keyna dengan tatapan menyelidik, "Apakah kau pernah ingin punya kakak lelaki sebelumnya?"
"Tentu saja. Selama ini aku hanya hidup berdua dengan ayahku, kadang aku ingin tinggal di keluarga besar." Keyna menatap Jason, berpikir bahwa ini adalah saat yang tepat untuk bertanya mengenai lagu itu, "Jason.... aku ingin bertanya."
"Tentang apa?"
"Tentang lagu yang ada di pemutar musik milikmu yang kau berikan padaku di malam berhujan petir itu..." Keyna merasakan jantungnya berdegup, "Aku... aku pernah merasa mendengarnya dalam mimpiku."
"Mimpi?" Jason nampak tertarik.
"Ya... aku sering bermimpi... mungkin itu ingatan samar... atau entahlah... aku masih sangat kecil waktu itu dan aku mungkin menyimpan kenangan itu dalam-dalam karena terlalu menakutkan." Keyna menatap Jason dengan bingung, "Aku bahkan tidak tahu itu mimpi atau kenyataan."
"Mimpi tentang apa?"
"Tentang hujan badai dan petir.... aku menangis ketakutan, lalu ada seorang anak lelaki datang... dia... dia menyanyikan lagu yang sama dengan yang ada di pemutar musikmu.." Keyna menelan ludah, "Dan baru kusadari kalau mungkin saja mimpi itu adalah kenangan tentang kejadian nyata."
"Lagu di pemutar musikku adalah lagu klasik lama, Keyna, aku mencoba memainkannya dengan versi biola.. judulnya Lullaby.... "
Keyna menatap ragu, "Anak lelaki kecil di mimpiku juga menyanyikan lagu itu..."
"Itu semacam lagu pengantar tidur." Tatapan Jason tampak aneh. "Apakah kau sama sekali tidak ingat tentang anak lelaki kecil itu? Sama sekali?"
"Aku punya ingatan samar." Keyna mengangkat bahunya sedih, "Bahkan seperti kubilang tadi... aku tidak yakin apakah itu benar-benar ingatan samar, atau hanya mimpi..."
Jason tampak akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena Davin dan Erland datang mendekat.
Davin menyerahkan permen kapas yang sangat besar dan berwarna pink itu kepada Keyna, "Aku tahu kau menginginkannya." Davin bergumam kaku.
Keyna menerimanya dengan senang, ditatapnya Davin penuh rasa terimakasih, "Terimakasih Davin, aku senang sekali."
Davin hanya menggumam tak jelas, lalu duduk di sebelah Keyna,
"Permainan apa lagi yang akan kita mainkan?" dia melirik jam tangannya. "Kita masih punya banyak waktu."
Keyna menoleh ke sekeliling, lalu menunjuk permainan berperahu melewati wahana air terjun yang berkelak-kelok, "Sepertinya itu menyenangkan."
"Tapi kita akan basah." Kening Davin sedikit berkerut, tetapi kemudian lelaki itu tersenyum, "Tapi sepertinya itu layak dicoba."
***
"Mereka terus mengiringinya, kita harus menunggu sampai dia terpisah dari ketiga laki-laki itu."
Anak buahnya melapor kepadanya. Membuatnya mengkerutkan dahi. "Keyna bersama Davin, Jason dan Erland?"
"Ya."
Dia mengerutkan dahinya. Jason... terutama Jason. Lelaki itu sepertinya punya insting bahwa Keyna dalam bahaya. Dia telah sangat mengganggu rencananya dari kemarin, dengan menjemput dan menjaga Keyna ketika pulang kampus. Mungkin kalau ingin penculikannya terhadap Keyna berhasil, Dia harus menyingkirkan Jason duluan.
"Ikuti terus. Tunggu sampai semua lengah dan Keyna terpisah dari mereka."
"Baik," Anak buahnya membungkukkan tubuh dan melangkah pergi.
***
Mereka benar-benar basah akibat permainan itu. Air muncrat dimana-mana membasahi pakaian dan rambut mereka, tetapi permainan itu benar-benar menyenangkan hingga mereka tertawa-tawa ketika turun dari perahu.
"Aku harus ke kamar mandi." Keyna menoleh ke arah kamar mandi tak jauh dari situ. Ada area khusus untuk kamar ganti dan kamar mandi perempuan. "Di situ."
Davin masih berusaha mengusap rambutnya yang basah, begitupun Jason dan Erland yang sibuk menghenta-hentakkan sepatu mereka yang basah.
"Hati-hati Keyna, kami menunggu di sini ya." gumamnya sambil lalu.
Dan Keynapun berjalan ke arah kamar mandi itu.
***
Kamar mandi itu sepi. Mungkin karena sudah menjelang sore dan orang-orang sibuk bermain. Keyna berdiri di depan kaca besar dan mencuci tangannya di atas wastafel.
Seorang perempuan berpakaian rapi ada di sebelahnya. Keyna mengernyit, pakaiannya terlalu rapi untuk bermain ke taman hiburan... tetapi Keyna menggelengkan kepalanya dan mengusir pemikirannya. Setiap orang punya selera sendiri-sendiri, mungkin perempuan ini merasa nyaman berpakaian seperti itu.
"Nona?"
Sapaan perempuan berpakaian rapi itu membuat Keyna mengernyit, dia menolehkan kepalanya.
"Ya?"
Perempuan itu tersenyum, "Maaf ya."
Lalu sebuah jarum suntik di tusukkan di tubuhnya. Keyna masih sempat terperangah dan terkejut, sebelum kemudian matanya berkunang-kunang dan kesadarannya hilang.
***
Perempuan berpakaian rapi itu menarik kursi roda lipat yang sudah disiapkan di kamar mandi. Lalu meletakkan tubuh mungil Keyna yang tak sadarkan diri di sana. Dipakaikannya kacamata hitam besar, dan kain untuk menutup kepalanya, serta selimut untuk menutupi tubuhnya.
Dia mendorong kursi roda itu keluar, ke arah keramaian.
Tidak ada yang curiga. Dia melirik ke arah tiga lelaki yang bersama Keyna tadi. Ketiga lelaki itu sedang bercakap-cakap dan membelakanginya.
Dengan cepat dia mendorong kursi roda itu dan membawa Keyna menjauh,
Begitu berada di tempat aman dan tidak terjangkau, dia mengangkat ponselnya dan menelepon.
"Ya?" suara di seberang sana menyahut cepat.
"Aku sudah mendapatkannya."
"Bagus." Ada senyum di suara itu. "Bawa ke tempat yang sudah ditentukan."
***
Ketika mereka lama menunggu dan Keyna tak kunjung keluar, Davin mulai curiga. Dia melirik Jason dengan gelisah. Melempar tatapannya ke arah kamar mandi perempuan itu.
Orang-orang lalu lalang dan keluar masuk, tetapi tidak ada Keyna di sana.
Jason sendiri mulai menyadari ada yang tidak beres. Tatapannya menajam. "Kita sudah menunggu terlalu lama." gumamnya,
"Mungkin Keyna sedang sakit perut atau apa?" Erland berusaha menenangkan teman-temannya.
Tapi Davin menghela napas tak sabar, dia mengambil ponsel dan menelepon nomor Keyna. Wajahnya memucat. "Ponselnya tidak aktif."
Dengan gerakan cepat dia melangkah ke arah kamar mandi perempuan itu. Tidak dipedulikannya seruan-seruan para perempuan yang sedang ada di sana.
"Maafkan saya." Davin menatap panik ke sekeliling ruangan. "Adakah yang melihat adik saya di sini?"
Tetapi Keyna tidak ada. Pintu kamar mandi itu terbuka. Kosong. Dan hanya ada dua orang perempuan tak dikenal di depan wastafel, menatapnya mencela karena berani-beraninya melongok ke kamar mandi khusus perempuan.
Davin bergegas keluar, menghampiri Jason dan Erlan, jantungnya berdebar kencang,
"Keyna tidak ada di kamar mandi itu. Dia tidak ada di mana-mana!"
***
Tubuh Keyna yang tak sadarkan diri dibaringkan di atas ranjang.
Dia mengamati Keyna, lalu menoleh ke arah anak buahnya. "Kapan dia akan sadar?"
"Mungkin sekitar satu atau dua jam lagi."
Dia tersenyum, "Bagus. Kau tunggui dia di sini. Begitu dia sadar, hubungi aku. Aku ingin ada di sini ketika dia membuka matanya."
***
Bersambung ke part 9
Published on February 11, 2013 23:30
Satu Perempuan yang Mencintai, Sendiri....
[Ini adalah "Dua Perempuan di Sebuah Bar yang Remang", Sidestory]

Rheana menoleh ke arah sahabatnya dan menghela napas panjang.
"Apakah menurutmu dia mencintaiku?"
Nadia yang sedang asyik mengaduk-aduk supnya mengangkat kepalanya dan menatap Rheana hati-hati, "Aku tidak tahu. Cintakah itu kalau dia tidak mau memberimu apa yang kamu mau?"
"Dia bukannya tidak mau...dia tidak bisa." Rheana menghela napas, memandang jauh ke jendela. "Kamu tahu dia tidak bisa."
"Dia tidak bisa tapi kau tetap memberinya."
"Memberinya apa?"
"Cintamu." Nadia melanjutkan kata-katanya dengan tajam, tepat menohok jantung Rheana, "Kamu memberinya cintamu tanpa batas, tanpa tendensi, tanpa meminta apapun. Dan yang dia berikan kepadamu hanyalah keegoisan tanpa janji apapun."
"Apakah itu berarti aku orang bodoh?" Rheana meringis.
"Sangat," Nadia menghela napas, "Tetapi beberapa orang memang menikmati menjadi orang bodoh. Aku tidak bisa menyalahkanmu."
Termasuk aku, aku tahu aku bodoh. Tetapi aku bertahan. Demi dia. Dia yang kucintai sepenuh hati. Rheana bergumam dalam hati. Mengusir sesak yang menghancurkan hati.
***
Rheana tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Tidak pernah dikatakannya kepada Alex, bahwa dia sudah siap sejak jam enam sore tadi, berdandan, dan menunggu. Hanya untuk kemudian menerima telepon dari Alex bahwa lelaki itu akan datang terlambat karena ada urusan penting.
Rheana tahu urusan penting itu apa. Tetapi dia tidak bertanya. Pertanyaan hanya akan menyakiti hatinya, melukainya terlalu dalam. Dia mencoba tersenyum dan berpura-pura ceria, seolah keterlambatan Alex tidak mengoyak hatinya.
"Wow, ini toping kesukaanku." Rheana mengambil sepotong pizza yang masih hangat itu dan melahapnya, "Terimakasih Alex."
Alex menatap Rheana dengan sayang, lalu mengacak rambur Rheana dengan lembut, "Kau lapar ya, aku menahan makan malammu karena kau menungguku, Maafkan aku ya."
"Kau tidak perlu minta maaf, aku mengerti,"
Ya. Rhena mengerti. Dia selalu mengerti. Meskipun berkali-kali Alex selalu menjadikannya nomor dua, Rheana tidak pernah protes. Karena pada kenyataannya, dia adalah nomor dua,
Setelah perempuan itu....
***
"Kamu tidak bisa terus-terusan begini." Nadia menatap sahabatnya dengan sedih, "Kamu terlalu berharga untuk menjadi wanita kedua."
Tapi Rheana rela. Demi cintanya pada Alex. Sejak awal mereka berhubungan, Alex sudah menjelaskan kepadanya bahwa dia sudah terikat dengan perempuan lain. Sudah bertunangan dengan perempuan lain dan akan menikah. Alex bilang dia mencintai perempuan itu, Tetapi dia juga mencintai Rhenana.
Dan Rheana percaya itu. Percaya dan terus berharap, bahwa dia masih punya kesempatan bersama Alex, meskipun sekejap, sebelum lelaki itu terikat secara resmi dengan tunangannya.
"Tunangan Alex tidak pernah tahu kau ada bukan?"
Rheana tersenyum pahit, "Tidak. Alex selalu menjaga perasaan Katrin, dia tidak akan tega menyakiti Katrin."
"Tetapi dia tega menyakitimu, sangat dalam."
Rheana menghela napas panjang, "Aku yang merelakan diriku berada di posisi ini, dengan segala konsekuensinya."
"Lalu akan kamu bawa kemana perasaanmu itu? Tidakkah kamu sadar kalian tidak akan berujung bersama?" Nadia menggumam, tahu bahwa dia menyakiti perasaan sahabatnya, tetapi tetap melakukannya, agar Rheana sadar.
"Aku tahu. Aku tahu cepat atau lambat ini akan berakhir, aku hanya menipu diriku sendiri dan terus berharap bahwa aku punya sedikit waktu."
"Kalau begitu, ambilah keputusan. Sebelum rasa sakitnya terlalu merusak untuk disembuhkan." Nadia menggumam, merasakan kepedihan Rheana.
***
"Aku mencintaimu." Alex memeluk Rheana, dalam gelap yang sendu, di atas sofa hijau tua itu, "Maafkan aku membuatmu jadi seperti ini."
Rheana mengenggelamkan wajahnya di dada Alex. Merasa lelah. Lelah menahan tangis dan pilu. Lelah berusaha tegar di depan Alex. Tetapi dia harus, demi Alex.
"Aku tidak apa-apa Alex, bukankah dari awal aku sudah tahu konsekuensinya?"
Alex menangkup wajah Rheana dalam kedua tangannya, "Kau tidak tahu bertapa berterimakasihnya aku karena kau sudah mengambil resiko itu. Resiko untuk bersamaku. Saat-saat bersamamu tidak akan kulupakan. Aku sangat bahagia."
"Aku juga Alex. Aku juga."
Pernahkah kau menangis di saat bahagia? Rheana mendesah dalam hati. Di satu sisi hatinya dipenuhi cinta, terpuaskan dengan kehadiran Alex, tetapi di sisi lain luka itu terus membesar, mengucurkan darah dan luka yang makin mengancam.
Tidak pernah terpikirkan bagi Rheana sebelumnya bahwa dia akan menjadi perempuan kedua, dan menjalaninya dengan sukarela. Alex selalu menyembunyikannya dari kehidupannya, Rheana tidak pernah berjumpa dengan teman-teman Alex, dengan keluarganya dan dengan semua hal yang berhubungan dengan hidup Alex. Dia seakan diletakkan di satu sisi, dalam gelembung tak terlihat, mati suri dan hanya hidup ketika Alex bergabung bersamanya dalam gelembung itu.
Ini harus diakhiri. Rheana mendesah, ketika kesadaran itu, kesadaran yang sudah lama berbisik di benaknya namun selalu dia hempaskan, mulai berbisik lagi... makin lama makin keras.
Ini harus diakhiri....
***
"Tidak berhasil." Rheana menatap pilu ke arah Nadia dan mengernyit, "Aku sudah mencoba berbagai cara dan tidak berhasil."
"Berbagai cara?" Nadia menatap ingin tahu.
"Ya. Berbagai cara. Aku pernah bertingkah buruk, berkata kasar, bersikap tidak menyenangkan, bahkan mengusirnya pergi." Rheana menarik napas panjang, "Pada akhirnya kami terus bertemu dan tak bisa berhenti berhubungan."
"Kamu belum mencoba cara yang itu." Nadia mengingatkan dengan hati-hati
"Aku takut." Rheana menahan pahit di dadanya.
Nadia menghela napas, lalu menepuk pundak Rheana lembut, "Ketakutanmu tidak akan terjadi. Lakukanlah. Aku yakin cara yang satu itu pasti berhasil."
***
Mereka bertemu seperti biasa, di sofa warna hijau tua. Tempat mereka berpelukan dan mencurahkan rasa. Alex selalu mencuri waktu sepulang kerja, untuk bersama Rheana. Waktu rahasia untuk mereka berdua. Lelaki itu tersenyum sambil menatap Rheana yang datang membawa nampan, dua gelas kopi hangat untuk mereka berdua.
"Kenapa sayang? kau tampak pucat."
Rheana meletakkan nampan itu, tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, dia lalu duduk di sebelah Alex dan menanti.
Lelaki itu mengambil cangkir kopi dan menyesapnya, lalu tersenyum setelah meletakkan cangkirnya di meja, ditatapnya Rheana dengan sayang, "Kopi buatanmu adalah yang paling enak. Mungkin karena dibuat dengan cinta." Ekspresinya berubah, mengernyit karena menatap Rheana yang begitu serius memandangnya. "Kenapa sayang?"
"Tinggalkan dia." Rheana berucap tegas. Walau dalam hatinya dia hanya ingin bersama Alex, tanpa tendensi apapun, tanpa menuntut apapun. Tetapi cintanya kepada Alex membuatnya mampu mengatakan itu, "Tinggalkan dia, dan pilihlah aku."
Alex membeku. Matanya menatap Rheana terkejut, "Apa?"
Kumohon. Jangan mewujudkan ketakutanku Alex.... Rheana berdoa dalam hati, berharap Alex tidak melakukan sesuatu yang ditakutkannya.
"Tinggalkan dia. Atau tinggalkan aku." Sekuat tenaga Rheana berjuang agar ekspresinya mantap. Menyembunyikan rasa sakit itu, yang mulai menggores-gores dadanya dengan keperihan tiada tara.
"Kau tidak serius kan sayang?" Alex mengubah posisi duduknya, bingung. "Bukankah kita sudah sepakat akan menikmati waktu kita sebisa mungkin? Hanya menghargai waktu kita bersama? Bahwa kau tidak akan memaksaku memilih karena aku tidak bisa?'
Rheana menggeleng, "Aku berubah pikiran. Aku ingin kau memilih. Tinggalkan dia atau tinggalkan aku Alex." diambilnya ponselnya dan digenggamnya. "Aku mau kau menentukan sekarang. Kalau kau mengizinkan aku menelepon Katrin dan menjelaskan tentang hubungan kita, berarti kau memilihku. Tetapi kalau kau melarangku meneleponnya, berarti kau harus pergi dari hidupku selamanya."
Alex membeku. Lama.
Rheana menunggu. Jantungnya seakan ingin meledak, penuh darah dan kesakitan.
Lalu lelaki itu meraih ponsel yang dipegang Rheana, dan meletakkannya di meja. Ekspresinya begitu kesakitan hingga Rheana merasakan dorongan untuk memeluknya. Tetapi dia bertahan.
"Maafkan aku Rheana." Alex berucap serak, matanya berkaca-kaca.
***
Rheana duduk di lantai, dalam kegelapan kamarnya, menangis keras-keras sebisanya, menumpahkan perasaannya yang begitu sakit, begitu luka.
Lalu dia meraih ponselnya dan menghubungi Nadia.
"Bagaimana?" suara Nadia langsung bertanya di seberang sana.
"Dia pergi." Rheana menelan ludah, berusaha supaya tangisnya tak menghambur keluar.
"Bagus, sesuai rencana." Nadia menghela napas lega, "Benar bukan? cara ini berhasil. Ketakutanmu tidak beralasan, kau takut kalau dia akan memilihmu dan meninggalkan tunangannya. Tapi aku tahu, Alex tidak akan melakukannya, dia terlalu berperasaan halus untuk tega meninggalkan tunangannya."
"Andai saja dia tidak berperasaan....." Rheana menangis, tidak bisa menahan perasaannya. Dia butuh menumpahkan air matanya, meski dia tahu semua ini akan terjadi. Alex pasti akan meninggalkannya kalau dia dipaksa memilih. Dan Nadia tahu satu-satunya cara Rheana bisa membuat Alex meninggalkannya adalah dengan memaksanya memilih. Rheana sadar, Alex harus meninggalkannya, demi kebaikan mereka semua. Demi kelegaan hati Rheana, kebebasan Alex, dan kebahagiaan perempuan bernama Katrin itu.
Rheana sudah tahu hasil akhirnya akan seperti ini. Tetapi tetap saja dia merasa sakit.
***
Rheana terlambat mengetahuinya.
Dia berlari ke Rumah Sakit itu. Menahan degup yang menyesakkan dada. Itu Alex! Alexnya yang sedang meregang nyawa di sana!
Mereka hampir sebulan tidak pernah bertemu, meski cinta itu masih ada. Rasanya sakit pada mulanya, dan tetap sakit sampai sekarang. Tetapi Rheana bertahan, Berpegang teguh bahwa ini semua adalah yang terbaik untuk mereka semua.
Dan sekarang Alexnya sedang meregang nyawa. Kecelakaan itu. Kenapa Alex begitu teledor dalam menyetir? Rheana mulai menahan tangis.
Langkahnya tertahan di ujung lorong.
Dia melihat perempuan itu. Perempuan bernama Katrin. Tunangan Alex. Perempuan itu baru saja keluar dari ruangan tempat Alex berada. Dan perempuan itu menangis. Terisak-isak oleh kesedihan yang dalam.
Dan Rheana langsung tahu. Dia tahu begitu saja.
Alexnya telah tiada. Meninggalkan mereka semua.... Alexnya telah pergi untuk selamanya.
Kakinya gemetar ketika tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Katrin begitu beruntung, bisa memegang jemari Alex di saat terakhirnya, melewatkan waktu bersamanya sampai detik terakhir. Sedangkan dia hanya bisa berdiri disini, terlambat datang dan hanya bisa mengintip dari kejauhan. Bahkan Rheana tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Alex.... perpisahan yang menyakitkan itu, ternyata benar-benar menjadi pertemuan terakhir mereka.
Hatinya hancur lebur, seakan air mata tidak bisa menyelamatkannya lagi. Kepedihannya luar biasa dan air mata tidak akan bisa menyembuhkannya.
Rheana berlari keluar dari rumah sakit itu, menghambur begitu saja, menabrak orang-orang. Sampai kemudian dia jatuh terduduk, dan menangis keras-keras. Tidak peduli akan tatapan orang-orang disekitarnya.
***
Ponsel itu berkedip. Rheana melirik. Matanya masih buram oleh air mata. Dia tak henti-hentinya menangis sejak tadi, mengurung diri di kamar gelap, meratapi Alexnya yang telah tiada.
Jantung Rheana berdegup kencang. Itu.... nomor yang digunakan Alex untuk berhubungan dengannya. Ada satu pesan masuk.
Saya ingin bertemu dengan anda Rheana. Katrin.
Rheana membeku. Untuk waktu yang lama waktu serasa berhenti di sekelilingnya.
Lalu dia mengetik sebuah pesan balasan di ponsel. Membalas pesan dari Katrin.
***
[ From Dua Perempuan di Sebuah Bar yang Remang ]
Bar kecil itu sepi dengan nuansa pencahayaan remang-remang. alunan musik jazz mengalun lembut dari sudut ruangan. Katrin berdiri di pintu bar dan menatap ragu ke sekeliling, matanya mengernyit ketika menemukan apa yang dicarinya sedang duduk sambil termenung di sudut lain bar yang gelap. Dengan gugup Katrin membetulkan letak kacamatanya dan melangkah mendekat.
“Hai”
Rheana mendongakkan kepalanya, menatap sosok di depannya dengan teliti. Jadi inilah dia, gumamnya dalam hati. Inilah dia wanita yang juga dicintai oleh Alex.
“Hai juga”, tangannya terulur dan dengan sedikit canggung Katrin membalas jabatannya.
END
Published on February 11, 2013 10:18
Menghitung Hujan Part 4

Jika cinta itu sama dengan hujanMaka kaulah tetes air yang mengalir ituMenerpa tubuhku, Membasahi hatikuMembuatku mampu bermimpi,Bahwa mungkin akan ada 'bahagia selamanya" untuk kau dan aku...
"Aku tidak bisa datang, maafkan aku Diandra." Reno mengeraskan hatinya. Diandra harus belajar kuat tanpanya. Kalau setiap Diandra lemah dan Reno datang, Diandra akan terus bergantung kepadanya, hatinya akan semakin sakit dan semakin menderita.
Reno menyayangi Diandra. Hanya itu. Pertunangan mereka bertahun lamanya, persahabatan mereka dari kecil hanya menyisakan satu hal di dada Reno : rasa sayang. Debar itu sudah tidak ada lagi untuk Diandra. Jantung itu sudah tidak lagi mengharapkan Diandra di sampingnya.
Suara isak Diandra mengalun perlahan, isak perempuan yang patah hati.
"Setega itukah kau padaku, Reno? Aku bagaikan sampah bagimu..."
"Aku hanya ingin kau kuat, Diandra."
"Kuat?" Diandra tertawa di sela isak tangisnya, "Dulu aku kuat, karena aku harus menopangmu. Kau sakit, dan aku berjuang supaya kuat, karena salah satu dari kita harus kuat untuk mendukung yang lain." Suara Diandra terdengar penuh kesakitan, "Lalu kau menghancurkanku."
Reno memejamkan mata, merasakan kesakitan memenuhi badannya. Diandra memang benar... tetapi dia bisa apa?
"Maafkan aku Diandra/"
"Tidak." Diandra bersikeras, "Aku tidak akan memaafkanmu Reno. Bertahun kuhabiskan hanya untuk mendampingimu. Karena aku mencintaimu. Tetapi kau membuangku begitu saja. Hanya karena jantung itu."
"Kau boleh membenciku semaumu. Aku pantas menerimanya. Kalau dengan membenciku kau bisa sembuh dan melangkah ke dalam kebahagiaan baru, aku rela kau benci." gumam Reno pelan.
Hening. Diandra termenung di seberang sana. Lalu ada helaan napas di sela isak tangisnya.
"Seharusnya waktu itu kau bunuh saja aku."
Teleponpun ditutup. Meninggalkan Reno yang termenung di tengah kegelapan kamarnya.
***
Malam itu Nana bermimpi, mimpi tentang Rangga, tentang kenangan-kenangan mereka bersama di masa lampau. Saat-saat bahagia itu....
Mereka sedang duduk di pantai yang mereka kunjungi waktu liburan masa lalu, di pasir tanpa alas. Menghadap ombak di bawah langit jingga yang siap menghantarkan matahari masuk ke peraduannya.
"Tidak ada yang namanya bahagia selamanya." Rangga bergumam sambil tersenyum lembut, melirik novel cinta yang sedang dibaca oleh Nana.
Nana mendongak dari novel itu. Cahaya makin temaram, membuat huruf demi huruf makin berbayang, dia menyerah dan menutup novelnya.
"Kenapa?"
"Karena hidup terus berputar, manusia yang bercinta harus menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi terkadang menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta." Rangga menatap Nana dengan mata teduhnya, "Dan karena ada kematian. Suatu saat manusia harus siap menghadapi kematian, dipisahkan satu sama lainnya."
Nana merenungkan kata-kata Rangga. "Kau tahu kenapa aku menyukai novel-novel percintaan?"
"Karena mereka semua selalu berakhir hidup bahagia selamanya?"
"Bukan." Nana menggeleng. "Karena novel percintaan itu selalu berakhir di saat mereka paling bahagia. Seakan hidup mereka berhenti di sana, setelah tulisan 'the end', di titik para tokohnya paling bahagia."
Rangga tertawa, "Kau ingin seperti novel-novel itu? berakhir di titik paling bahagia?"
"Saat ini aku bahagia." Nana menatap Rangga dan tersenyum penuh cinta, "Tapi aku belum ingin ini berakhir... masih ada saat-saat panjang di depan kita, dan aku ingin menikmatinya."
"Meskipun nanti kadangkala ada tangis berganti tawa dan sebaliknya?" Rangga bertanya.
"Itu cukup berharga untuk dilalui kalau dilewatkan bersamamu."
Rangga tersenyum mendengar jawaban Nana. Matahari makin lelap di peraduannya, beristirahat barang sejenak di ujung sana, menyembunyikan sinarnya. Gelap sudah membayang, membuat tampilan Rangga bagaikan siluet gelap yang merenung menatap bayang cakrawala yang mulai menghilang.
"Kalau begitu musuh kita hanyalah kematian." gumamnya kemudian, "Seandainya bisa aku ingin mati sebelum dirimu, supaya aku tidak perlu mengalami kesakitan karena kehilanganmu."
...............
Nana terbangun. Membuka matanya yang seperti biasanya, penuh air mata. Kata-kata Rangga itu membuatnya ingin menangis. Rangga egois... dia memang meninggalkan Nana lebih dahulu dan membiarkan Nana mengalami kesakitan karena kehilangannya.
***
"Diandra sakit." sang mama menelpon keesokan paginya, nada suaranya sedih, membuat Reno mengernyit sesak,
"Sakit apa ma?"
Mamanya menghela napas, "Sejak kau tinggalkan dia menderita, dia tak mau makan.... dia hanya memangis, kondisi tubuhnya menurun. Semalam dia dibawa ke rumah sakit."
"Apakah kondisinya parah?"
"Sangat." suara mamanya bergetar, "Mama menengoknya, Reno. Dia begitu kurus, dia begitu sedih. Mamanya Diandra bahkan memohon kepada mama, sambil menangis agar mama bisa membujukmu datang. Kau tahu betapa sedihnya mama? Mamanya Diandra itu sahabat mama... dan Diandra... dia sudah seperti anak mama sendiri."
Reno merenung, rasa bersalah dan bingung berkecamuk di benaknya. Teringat semalam dia menolak Diandra yang meminta perhatiannya.
"Lalu aku harus bagaimana ma?"
"Pulanglah Reno. Mama mohon. Demi masa-masa yang telah Diandra relakan demi mendampingimu di kala kau sakit."
Kata-kata sang Mama menohok benaknya. Membuat Reno semakin merasa tak berdaya.
"Aku tidak bisa, ma." Reno mengerang.
"Kenapa?"
"Mama tahu jawabannya."
"Karena perempuan bernama Nana itu? yang dipanggil oleh jantungmu?" Suara mamanya menajam. "Apakah jantungmu itu membuatmu menjadi begitu egoisnya sehingga tidak mempunya empati sama sekali?"
"Mama! bukan begitu. Aku hanya tidak ingin membuat Diandra semakin lemah dan terus berharap kepadaku.... kalau aku datang, sama saja aku memberikan harapan baru kepadanya."
"Yang diinginkan Diandra hanya kehadiranmu di saat dia sakit." Suara mamanya mencela. "Dan kau bisa melakukannya. Mama harap kau berpikir dan mengingat masa-masa dulu, dimana Diandra selalu setia mendampingimu."
Reno menghela napas panjang. Merasa sesak oleh rasa bersalah yang mendalam/
***
Seperti biasa, Reno menunggunya di kedai kopi itu. Senyumnya mengembang begitu melihat Nana,
"Kau basah." Reno menatap rambut Nana yang memercik butiran air berkilauan, "Kenapa tadi tidak mau kujemput?"
"Karena kau harus memutar jauh kalau menjemputku." Nana tersenyum dan duduk di depan Reno, "Lagipula aku hanya perlu naik kendaraan umum satu kali untuk tiba di sini."
"Hmm" Reno mengedipkan mata kepada Nana, "Jadi apa kabarmu hari ini?"
Nana mengangsurkan sebuah novel dari tasnya, "Buku pesananku baru sampai semalam." Nana menunjukkan buku dengan latar sampul berwarna putih itu kepada Reno, "Aku membacanya sampai pagi, dan aku senang."
Reno melirik novel yang ditunjukkan Nana dan tersenyum, "Novel percintaan lagi?"
"Yep. Kisah perempuan tak berdaya yang melawan lelaki berkuasa, dan kemudian dipersatukan oleh cinta." Mata Nana berbinar, membuat Reno tergelak geli.
"Dasar kalian perempuan." gumam Reno masih tergelak, "Tidak adakah yang dipikirkan perempuan selain romantisme cinta?"
"Tentu saja ada." Nana mengedipkan matanya, "Kami juga memikirkan kehidupan nyata kok, tetapi kadang kami, para perempuan merasa sangat bahagia bisa menenggelamkan diri dalam kisah percintaan yang menyentuh hati."
"Karena happy ending?"
"Salah satunya karena itu." Nana tersenyum, "Membaca kisah yang berakhir bahagia bagi tokoh2 di dalamnya, membuat kami percaya bahwa ada ujung yang bahagia untuk kami para perempuan suatu saat nanti."
Pelayan datang membawa menu pesanan mereka yang biasa. Kopi yang panas dengan aroma yang harum, sangat cocok dengan aroma hujan di kala deras, membuat hati hangat di suasana yang dingin.
Reno menyesap kopinya, lalu menatap Nana serius, "Jadi kau percaya dengan akhir bahagia selamanya?"
"Itu hanya ada di dongeng-dongeng." Nana menjawab, "Tetapi aku percaya bahwa setiap perempuan pasti akan menemukan kebahagiaannya masing-masing."
"Tetapi tidak ada yang bisa bahagia selamanya, Karena hidup terus berputar, manusia yang bercinta harus menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi terkadang menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta." Reno menatap Nana sendu, "Dan karena ada kematian. Suatu saat manusia harus siap menghadapi kematian, dipisahkan satu sama lainnya."
Kata-kata itu membuat Nana tertegun dan membeku. Hening.
Reno mengernyitkan keningnya, "Kenapa Nana?'
Kata-kata itu, sama persis dengan kata-kata Rangga. Nana membatin, lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Tidak. tidak ada apa-apa." Nana tersenyum sedih, "Hanya saja aku pernah mendengar kata-kata yang tepat seperti itu sebelumnya."
Reno tersenyum pahit, "Rangga?"
Nana menganggukkan kepalanya.
Reno langsung mengalihkan pandangannya, menjaga supaya kepahitannya tidak terbaca oleh Nana. Perasaannya berkecamuk. Jikalau nanti Nana mencintainya, apakah perempuan itu akan mencintai dirinya seutuhnya, ataukah dia akan mencintai jantung yang saat ini berdetak di rongga dadanya?
***
"Nana." sang mama memanggil dari luar kamar, membuat Nana yang sedang tenggelam di dalam novelnya menolehkan kepalanya.
"Ya ma?" ditatapnya sang mama yang berdiri di ambang pintu.
"Ada telepon untukmu, di ruang makan."
Nana mengernyit. Siapa yang meneleponnya ke telepon rumah? Teman-temannya biasanya akan menelepon langsung ke ponselnya. Dengan ingin tahu dia beranjak dari ranjang, dan melangkah ke ruang makan.
Diangkatnya gagang telepon yang terbuka di meja itu, "Hallo?"
Suara perempuan setengah baya yang lembut terdengar di sana.
"Nana?" Perempuan itu bertanya, lalu bergumam hati-hati, "Nana, maafkan saya. Saya mamanya Reno, bisakah kita bertemu? Saya mohon bantuan Nana untuk meluluhkan hati Reno."
"Meluluhkan hati Reno?" Nana mengernyit bingung. Telepon dari mama Reno ini sungguh tidak disangkanya.
"Iya Nana, bolehkah kita atur waktu untuk bertemu, tapi saya mohon jangan sampai Reno tahu, saya akan menjelaskan semuanya.
Nana berdehem, bingung, "Kalau boleh saya tahu... ini tentang apa ya?"
Suara di sana agak ragu, tetapi lalu berkata. "Tunangan Reno sedang sakit keras. Dan Reno tidak mau pulang untuk menjenguknya. Saya pikir..... ini semua disebabkan oleh kau, Nana."
Dunia Nana langsung bergetar keras di bawah kakinya. Membuat napasnya terasa sesak dan menyakitkan.
***
Bersambung ke Part 4Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-1.htmlBaca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-2.htmBaca Part3 http://anakcantikspot.blogspot.com/20...
Published on February 11, 2013 02:46
February 9, 2013
Colorful Of Love ( Book Set by Santhy Agatha )

Colorful Of Love [Book Set] by Santhy Agatha Brown Afternoon "Perjanjian Hati"Grey Morning "Sweet Enemy"Red Night "You've Got Me From Hello"Green Daylight "Pembunuh Cahaya" Genre : Romance Versi cerbungnya tetap akan diposting secara bersambung di blog :))[Versi novel sedikit lebih lengkap] Enjoy All *peluk* Berikut Versi Cover dan Sinopsisnya :




Published on February 09, 2013 10:46
February 8, 2013
Sweet Enemy Part 7

Published on February 08, 2013 08:44
February 5, 2013
Sweet Enemy Part 6

Keyna membawa nampan berisi mangkuk sup dagingn dan telur serta kentang panggang. Lalu mengetuk pintu kamar Davin sambil berusaha menyeimbangkan mangkuk itu di tangannya. Davin sendiri yang membukakan pintu kamarnya, lelaki itu tampak pucat, tetapi kondisinya sudah membaik. Davin mengangkat alisnya melihat Keyna, lalu meraih nampan makanan itu dari tangan Keyna, "Biarkan aku saja yang membawanya." Lelaki itu masih memakai piyama, dia melangkah masuk ke kamarnya dan meletakkan nampan itu di meja. Keyna mengikuti masuk, lalu berdiri canggung di tengah ruangan kamar. Tidak ada orang lain di kamar itu, hanya ada Davin "Kemana Jason?" "Sudah pulang." Davin duduk di kursi, "Duduklah Keyna, kau sudah makan?" "Aku sudah makan di bawah sana." Keyna berusaha mengatasi kekecewaannya karena Jason sudah pulang, padahal tadi dia sangat berharap bisa mendapatkan keterangan dari Jason. Sekarang dia bahkan tidak bisa menghubungi Jason karena dia tidak punya nomor kontaknya. Yang bisa dia lakukan adalah menunggu Jason menemuinya. "Bagaimana kondisimu." Keyna bertanya kepada Davin yang mulai mencicipi supnya. "Lapar." Davin mengernyit sambik menatap supnya, "Tetapi tidak bisa menikmati makanan, aku tidak bisa mencium aroma apapun." Keyna tertawa, lalu duduk di kursi di depan Davin. "Tetapi kondisimu sudah jauh lebih baik. Kau sudah bisa berdiri, kemarin jangankan berdiri, bangun dari ranjang saja sepertinya kau kesakitan." Davin tersenyum, "Yah.... aku harus mengucapkan terimakasih kepadamu Keyna." "Sama-sama." Davin agak tercekat, "Maafkan aku, sikapku buruk kalau sedang sakit." "Kalau sedang sakit?" Keyna mengangkat alisnya menahan geli, membuat Davin menatapnya dengan kesal. "Oke sifatku memang buruk, sepanjang waktu. Mau apa lagi? begitulah aku." "Aku tidak protes kok." Keyna tersenyum, "Benarkah?" Davin membalas senyum Keyna ketika perempuan itu mengangguk, "Keyna, malam kemarin ada petir. Aku tahu kau ketakutan. Aku ingin menolong tetapi tidak bisa bangun dari tempat tidur. Aku meminta bantuan Jason, apakah Jason menolongmu?" "Ya." Keyna tersenyum. "Dia memasangkan ini ditelingaku." Keyna menunjukkan earphone dan pemutar musik itu kepada Davin, semula dia ingin mengembalikannya kepada Jason, tetapi karena Jason tidak ada, dia memutuskan untuk menyimpannya dulu sampai nanti dia bisa bertemu Jason lagi. "Jason tidak kembali ke kamar sampai lama." Pandangan Davin berubah menyelidik, "Apakah dia memelukmu dan tidur di kamarmu?" Pipi Keyna memerah menerima tatapan menyelidik Davin, "Dia memelukku." Keyna mengangkat bahunya, "Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi, musik di sini memenuhi telingaku, aku tidak mendengar apa-apa lagi, bahkan suara petir sekalipun, dan sepertinya aku langsung jatuh tertidur." Davin menarik napas panjang. Menahan dorongan cemburu membayangkan adegan Jason yang memeluk Keyna. "Kenapa kau begitu takut petir Keyna?" "Aku tidak tahu." Keyna tersenyum malu. "Begitu mendengar pertir seakan semua mimpi burukku berkumpul jadi satu, aku mulai gemetaran dan tubuhku kaku tidak bisa bergerak lagi." "Mungkin ada trauma di masa kecilmu?" "Aku tidak ingat." Keyna mendesah frustrasi, "Seandainya saja aku bisa mengingatnya, mungkin bisa membantuku menyembuhkan ketakutanku." *** Keyna takut petir. Jason membatin sambil mengelus biolanya dalam kegelapan kamarnya. Sepertinya kenangan malam itu telah membawa trauma buruk bagi Keyna, malam perpisahan itu. Mereka ada di rumah. Ibunya sedang berteriak-teriak kepada ayah mereka yang telah menghancurkan semua rencana masa depan mereka. Ayahnya telah kehilangan kesempatan menjadi orang terkenal dengan menyelamatkan anak orang kaya dari penculikan. Saraf utama di tangan ayahnya luka permanen, sehingga dia tidak bisa bermain biola lagi. Jason yang waktu itu masih kecil, mendengarkan percakapan kedua orangtuanya yang penuh pertengkaran dan maki-makian kasar.... Well sebenarnya yang mendominasi makian kasar adalah ibunya. Ibunya menghina ayahnya, mengatakan tidak mau hidup miskin selamanya bersama ayahnya, dia sudah muak dan lelah, dibebani oleh dua orang anak, dan hidup serba pas-pasan. Kesempatan karier ayahnya di luar negeri terlanjur membuatnya senang membayangkan bahwa mereka akan kaya. Tetapi ternyata kesempatan itu hancur begitu saja. "Aku akan meninggalkanmu. Aku lelah hidup miskin bersamamu!" begitulah teriakan ibunya waktu itu. Kemudian hujan turun dengan derasnya, diiringi suara guntur yang menakutkan. Jason teringat akan adiknya yang tertidur di kamar. Ditinggalkannya kedua orang tuanya yang masih sibuk berperang mulut, masuk ke kamar mencari adiknya. Saat itulah dia melihat adiknya sedang duduk gemetaran di lantai, menutup kedua telinganya dan menangis. Suara guntur dan petir telah bercampur dengan jeritan pertengkaran kedua orang tua mereka, membuatnya berpadu menjadi melodi yang mengerikan. Adiknya ketakutan.... Jason langsung memeluknya, membisikkan kata-kata menghibur dan membujuknya agar tidak menangis lagi. Jason sangat mencintai adiknya. Hanya Keyna satu-satunya harta yang dimilikinya. Tetapi bujukannya tidak berhasil, Keyna tetap menangis. Dan kemudian Jason menyanyikan lagu itu, sebuah lagu kanak-kanak yang diajarkan oleh pengasuh mereka. Dan selalu Jason nyanyikan untuk Keyna sebelum Keyna tidur. Keyna selalu mengantuk kalau Jason menyanyikan lagu itu. Dan rupanya lagu itu berhasil, Keyna mulai mengantuk di dalam pelukannya. Tetapi kemudian pintu itu terbuka dan seluruh mimpi buruk itu terjadi. Ibunya masuk dan merenggut tangan Jason, hendak membawanya pergi. Keyna terbangun dan menangis lagi. Dia memegang tangan Jason erat-erat, berteriak-teriak memanggil-manggil kakaknya, memohon supaya tidak dipisahkan. Tetapi sayang ibu dengan kasar merenggut pegangan Keyna dan menghempaskan adik kecilnya itu ke lantai, dengan kasar mengatakan bahwa Keyna harus ikut ayahnya, dan Jason ikut dia. Ibunya lalu setengah menyeret Jason pergi, tidak mempedulikan permohonan Jason yang menangis tidak mau pergi. Tidak mempedulikan teriakan-teriakan Keyna kecil di lantai yang mernegek-rengek ingin bersama kakaknya. Mereka dipisahkan dengan begitu kejam, di bawah hujan dan suara petir yang menggelegar. Tidak heran kalau Keyna takut dengan suara petir. Jason mengernyitkan dahi dengan suara pedih. Hujan yang berpadu dengan petir, penuh dengan kenangan buruk bagi mereka berdua. Sejak perpisahan itu, Jason tidak pernah mendengar kabar tentang Keyna dan ayahnya. Mereka telah pindah ke luar kota. Sementara itu, ibunya ternyata memilih membawa Jason bukan untuk merawatnya. Jason punya bakat biola sejak kecil, dan sang ibu melihatnya sebagai aset berharga. Ibunya melakukan tindakan keji. Menjualnya kepada keluarga kaya, yang mengetahui bakat bermain biola Jason, dan bersedia memberikan uang pengganti kepada ibunya karena mereka tidak bisa mempunyai anak kandung sendiri. Ibunya menerima uang dalam jumlah yang banyak. Lalu pergi entah kemana, yang pasti sang ibu tidak pernah muncul lagi. Keluarga angkat Jason memperlakukannya dengan baik. Mereka berasal dari kalangan pemusik handal, dan mereka sangat menyayangi Jason. Apalagi mereka tidak punya anak kandung sendiri. Tetapi Jason tidak pernah memaafkan tindakan ibunya yang begitu keji, memisahkannya dari adik dan ayahnya, untuk kemudian menjualnya hanya demi kekayaan dan segepok uang. Kebenciannya kepada ibunyalah yang menyebabkan dia begitu benci kepada perempuan. Dia selalu mempermainkan perempuan, terutama yang silau akan hartanya, Kemudian menghancurkannya begitu saja. Dia akan sangat puas ketika para perempuan itu menangis di kakinya, memintanya untuk tidak meninggalkan mereka. Pertama kali dia melihat Keyna dia tahu. Tetapi dia ragu. Namanya sama. Tetapi mereka sudah lama sekali tidak bertemu. Jason bahkan hanya bisa mengingat samar-samar wajah adiknya karena waktu itu dia sendiri masih kecil. Tetapi kemudian Davin menceritakan hutang budinya kepada Ayah Keyna, kepada ayahnya. Membuat Jason mengetahui semuanya. Keyna adalah adik kandungnya. Dan Davin adalah anak itu, anak lelaki kaya yang diselamatkan oleh ayahnya, yang bertanggung jawab terhadap hancurnya keluarga mereka. *** "Aku senang akhirnya kau masuk, aku merindukanmu." Sefrina tersenyum girang ketika melihat Keyna datang. Keyna tersenyum, "Davin sudah baikan, jadi aku bisa kuliah lagi." "Syukurlah." Sefrina menatap Keyna, "Kau pasti kerepotan merawatnya sendirian." "Tidak juga." Keyna tertawa. "Banyak pelayan yang membantuku, dan ada Jason juga." "Jason datang?" Sefrian menatap Keyna penuh arti, "Tampaknya dia sedang berusaha mendekatimu Keyna, kau harus berhati-hati. Jangan-jangan dia sedang mengincarmu sebagai korban berikutnya." "Tidak mungkin, aku bukan selera Jason." Keyna tertawa lagi, "Setahuku deretan mantan kekasih Jason semuanya cantik-cantik." "Kau juga cantik Keyna, hanya saja kau tidak menyadarinya." Sefrina tersenyum lembut, "Menurutmu apakah Jason akan menjemputmu lagi sore ini? dia bilang dia akan terus menjemputmu sampai kau mau menggunakan jasa sopir pribadi bukan?" "Aku rasa Jason tidak perlu repot-repot." Keyna menghela napas, "Aku sudah bilang kepada Davin, seperti usulanmu waktu itu, aku menggunakan jasa supir pribadi." Safrina tertegun, lalu mengangguk-anggukkan kepala setuju, di tepuknya pundak Keyna sambil memuji, "Keputusan bagus. Setidaknya keamananmu terjamin Keyna." "Yah, meskipun aku ragu apakah ada orang yang mau menculikku." Sefrina tertawa, "Kau akan terkejut Keyna, mungkin banyak orang yang ingin menculikmu, kau adalah orang yang paling dekat dengan keluarga Jonathan." "Tetapi aku bukan bagian dari mereka." "Tetapi orang-orang jahat itu mungkin berpikir kalau mereka menahanmu, keluarga Jonathan akan menolongku." Sefrina mengangguk-anggukkan kepalanya, "Dan menurutku, kalau ada yang menculikmu Davinlah yang pertama kali akan berusaha menyelamatkanmu. Dia tampaknya sangat menyayangimu, kau beruntung Keyna." Pipi Keyna memerah mendengar kata-kata Sefrina, "Jangan mengarang. Davin tidak mungkin menyayangiku. Dia hanya merasa bersalah karena telah memperlakukanku buruk dulu." Sefrina tertawa, "Tetapi pipimu memerah." gumamnya menggoda. "Tidak... pipiku tidak merah." Keyna membantah, "Ayo masuk, kita sudah terlambat ke kelas." Merekapun berjalan melalui lorong menuju kelas perkuliahan. *** Sepertinya rencananya harus dimodifikasi. Dia mengamati sore itu. ketika Keyna sepulang kuliah keluar dari gerbang dan memasuki mobil pribadi yang menjemputnya. Keyna memutuskan memakai mobil dan supir pribadi untuk menjemputnya, itu berarti dia tidak akan bisa melakukan usaha penculikannya dari tempat kuliah Keyna. Dia harus bisa memancing Keyna supaya bisa berada di tempat yang rentan, dan dia bisa dengan leluasa menculik gadis itu..... *** Bersambung ke Part 7
Published on February 05, 2013 04:35
February 1, 2013
Pengumuman Pemenang Lomba Kuis Sweet Enemy
Dear all readers maafkan aku baru muncul sekarang :)
aku sudah membaca berbagai jawaban dari komentar di blog, mention di twitter dan juga lewat email.
Penilaian di dasarkan pada ketepatan jawaban dan juga alasannya, semakin mirip/ bahkan sama persis faktanya, maka nilai semakin tinggi :)
Siapakah kakak laki-laki yang memeluk Elena dalam mimpinya itu?
Jawabannya : JASON
Yuppp!!! mengenai keterangannya, kalian akan menemukannya di Part Sweet Enemy yang akan diposting nanti
Sangat sulit untuk memilih pemenangnya, karena sebenarnya banyak yang menjawab dengan benar [ ayooo siapaa yang menjawab Jason angkat tangaaan hehehehe] Tetapi penilaian kemudian dilakukan dengan kriteria, panjangnya jawaban, dan tidak ada satupun fakta yang meleset dari jawaban tersebut :)
Dan ini dia pemenangnya dengan jawaban yang benar dan alasan yang paling mirip.
Selamat untuk pemenang :) kirimkan alamat lengkap dan Nama lengkap untuk pengiriman hadiah ke emailku yah, demondevile@gmail.com. Hadiah akan dikirimkan maksimal 10 hari kerja dari tanggal konfirmasi
Buat yang belum menang jangan sedih heeeeee nanti akan ada kuis-kuis lainnya yang bisa mencerahkan hari yaaaaa
*Peluk sayang semuanya*
Santhy Agatha
aku sudah membaca berbagai jawaban dari komentar di blog, mention di twitter dan juga lewat email.
Penilaian di dasarkan pada ketepatan jawaban dan juga alasannya, semakin mirip/ bahkan sama persis faktanya, maka nilai semakin tinggi :)
Siapakah kakak laki-laki yang memeluk Elena dalam mimpinya itu?
Jawabannya : JASON
Yuppp!!! mengenai keterangannya, kalian akan menemukannya di Part Sweet Enemy yang akan diposting nanti
Sangat sulit untuk memilih pemenangnya, karena sebenarnya banyak yang menjawab dengan benar [ ayooo siapaa yang menjawab Jason angkat tangaaan hehehehe] Tetapi penilaian kemudian dilakukan dengan kriteria, panjangnya jawaban, dan tidak ada satupun fakta yang meleset dari jawaban tersebut :)
Dan ini dia pemenangnya dengan jawaban yang benar dan alasan yang paling mirip.
Elizabhet Lucia 22 Januari 2013 20.13
Menurut Saya, anak laki-laki yang ada di mimpi Keyna adalah Jason.
Alasannya: Waktu Keyna bertemu dan berhadapan dengan Jason awalnya Keyna mengikutin alunan musik biola (musik yang Keyna kenal)yang Jason mainkan. Saat berhadapan dengan Jason, Keyna mencium aroma yang Dia rindukan(Part1).
Mimpi yang sudah lama tidak Keyna impikan, kembali Dia impikan setelah bertemu dan berbincang-bincang dengan Jason. Ketakutan Keyna akan hujan badai adalah trauma masa kecilnya. Masa waktu Keyna berumur 4 tahun dan hujan turun lebat disertai halilintar dengan suara pertengkaran orang tua yang menjadai satu sehingga membuat Keyna kecil sangat ketakutan lalu meringkuk disudut. Kemudian datanglah Kakak Keyna yaitu Jason yang menenangkan dengan memeluknya serta menyanyikan lagu. Waktu Keyna sudah merasa tenang, Mamanya menarik Jason (Jason meronta-ronta dan berteriak minta dilepaskan, menyebut nama adiknya (bukan nama depan Keyna tapi nama panggilan Keyna sebelum peristiwa itu)) dan membawanya pergi dari rumah disaat halilintar dan terdengar suara geluduk.
Keyna berteriak-teriak sambil dipeluk Papanya berjam-jam setelah Mama dan Kakaknya pergi... setelah itu Keyna jatuh tertidur. Pada saat paginya Keyna dan Papanya sudah meninggalkan rumah itu dan Sikap Keyna seperti biasanya sebelum peristiwa itu terjadi (karena Keyna terlalu SYOK dan memblokir ingatan tentang peristiwa itu hingga melupakannya). Papanya mencoba menjelaskan berkali-kali tapi Keyna tidak mau mendengarnya, Sehingga Papanya tidak berusaha menjelaskan peristiwa itu lagi.
Setelah peristiwa itu, Jason ditinggalkan Mamanya disebuah keluarga yang kaya raya. Karena pemikiran Mamanya, Jason yang mempunyai bakat bisa menjadi pemain biola yang terkenal dengan keluarga yang kaya yang bisa mengembangkan bakat Jason dengan mengikutkannya les biola. Karena Papa Jason punya bakat tapi tidak punya uang yang banyak (kaya). Apa lagi setelah Papanya mengalami cedera dan tidak mau menerima bantuan dari Papa Davin.
Selamat untuk pemenang :) kirimkan alamat lengkap dan Nama lengkap untuk pengiriman hadiah ke emailku yah, demondevile@gmail.com. Hadiah akan dikirimkan maksimal 10 hari kerja dari tanggal konfirmasi
Buat yang belum menang jangan sedih heeeeee nanti akan ada kuis-kuis lainnya yang bisa mencerahkan hari yaaaaa
*Peluk sayang semuanya*
Santhy Agatha
Published on February 01, 2013 02:18
Sweet Enemy Part 5

"Aku dengar kau tidak masuk kuliah. Tadi aku menjemputmu di kampus." Jason bergumam pelan sambil menaiki tangga, "Maaf aku cemas, jadi aku datang kemari."
Keyna menganggukkan kepalanya, "Untunglah kau datang Jason. Aku tidak bisa masuk karena aku merawat Davin."
Jason mengerutkan keningnya, "Davin sakit? Sakit apa?"
"Sepertinya dia sedang flu dan batuk.... dia sedang tidur di atas."
"Dokter sudah memeriksanya?"
"Sudah, dan aku juga sudah memberinya obat."
Lelaki itu menganggukkan kepalanya, "Jangan cemas Keyna, aku akan menginap di sini, untuk menemani kalian."
Keyna menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya kalau ada lelaki dewasa lain di rumah ini, dia bisa tenang kalau nanti Davin kenapa-napa. Jason adalah sahabat Davin dia pasti akan menjaganya.
***
"Kau datang kesini hanya untuk mengejekku?" Davin menatap tajam, terbatuk-batuk sebentar.
Jason terkekeh dan mengangsurkan segelas air kepada Davin untuk meredakan batuknya, "Wah, aku datang untuk menjagamu, kebetulan tadi siang aku mampir dan begitu masuk, Keyna datang dengan cemas mengatakan kalau kau sakit."
"Keyna mencemaskanku?" Davin bergumam, membayangkan Keyna. Tatapan lembut Davin itu tidak lepas dari pengamatan Jason yang tajam,
"Yah siapapun juga akan cemas kalau mendengar suara batukmu yang keras dan kering itu."
"Aku tertular salah satu staffku mungkin. " Davin mengerang, "Sial, mungkin aku lelah dan daya tahanku turun."
"Yang penting kau minum obatmu. Sakitmu akan sembuh kalau kau banyak istirahat."
***
"Aku memasak sup." Keyna mengintip di pintu, sambil membawa nampan.
Davin melirik Keyna dan mendengus. "Aku tidak mau sup-mu, rasanya pasti tidak enak."
Keyna berdiri mematung sambil membawa nampan dengan bingung. Lelaki ini memang sangat ketus, tetapi ketika dia sakit, sikap ketusnya berubah menjadi menjengkelkan, Keyna menghela napas panjang, dia harus sabar menghadapi Davin, lelaki ini sedang sakit.
Keyna memasak sup jagung, sosis dan ayam. Kuah kaldunya menguarkan aroma harus ke seluruh penjuru ruangan, membuat Davin merasakan perutnya keroncongan, tetapi dia memalingkan mukanya, berpura-pura bersikap dingin.
Jason yang melihat pemandangan itu tersenyum geli, dia berdiri dari kursinya dan menghampiri Keyna, mengambil nampan itu darinya,
"Tidak apa-apa Keyna, aroma supmu sangat harum, aku jadi lapar."
Keyna menatap Jason dengan menyesal, "Eh.. tapi aku hanya membuat satu mangkuk." Dia membuat sup itu khusus untuk Davin. Dia tidak berpikiran kalau Jason juga ingin karena di ruang makan, koki telah menyiapkan makan malam untuk Jason. Oh astaga dia sungguh tidak sopan kepada Jason...
Jason terkekeh melihat penyesalan di mata Keyna, dia meletakkan nampan itu di meja, "Tidak apa-apa. Toh Davin tidak menginginkannya, jadi aku pasti boleh mencicipinya. Benar kan Davin?" Jason melirik ke arah Davin yang tetap diam
Dengan gaya ala pencicip makanan, Jason menghirup aroma sup itu, "Hmm harum sekali, rasanya pasti seenak aromanya." diarihnya sendok hendak mencicipi.
"Jangan!" Davin berseru tiba-tiba, membuat gerakan Jason terhenti.
"Ada apa Davin?" Jason terlihat geli, Keyna bisa melihat itu di matanya.
"Aku harus minum obat, jadi kupikir aku akan memakan sup itu."
Kali ini Jason benar-benar tampak menahan tawa, "Kau mau disuapi siapa? Aku atau Keyna?"
Davin memandang Jason dan Keyna berganti-ganti dengan muram, lalu ,mendengus, "Tidak, aku bisa makan sendiri."
"Kalau begitu aku keluar dulu" Keyna tersenyum dan mundur ke pintu.
"Terimakasih Keyna." Gumam Jason pelan. Ketika Keyna melirik Jason, lelaki itu mengedipkan matanya dan tersenyum. Membuat Keyna membalas senyumannya dengan senyuman lebar.
***
Malam itu hujan turun dengan begitu derasnya. Dan petir menyambar-nyambar. Sambaran petir diikuti suara gemuruh membuat jendela kaca bergetar dengan begitu kerasnya.
Davin terbangun mendengar suara berisik itu, dan langsung teringat kepada Keyna, dia ingat betapa takutnya Keyna terhadap petir, betapa tubuhnya gemetaran seakan menanggung rasa sakit yang amat sangat.
Dengan panik, Davin mencoba bangun, tetapi kepalanya pening, membuatnya jatuh lagi ke atas ranjang. Dipanggilnya Jason yang tampaknya tertidur di sofa dengan suara keras, Jason mengenakan earphone di telinganya untuk mendengarkan musik, sehingga suara keras itu tidak langsung membuatnya bangun
"Jason! Jason Bangun!" Davin akhirnya berteriak dengan lebih keras, lengannya menggapai dan berhasil menyentuh Jason, mengguncangnya keras,
Jason menggeliat, setengah terjaga mendengar panggilan Davin, dia melepaskan earphone-nya dan mengerutkan kening bingung, tetapi kemudian langsung terjaga ketika petir menyambar lagi, menimbulkan suara yang luar biasa kerasnya,
Lelaki itu langsung tegak berdiri,
"Jason! Keyna! Keyna takut akan suara petir..."
"Aku tahu." Jason setengah melompat dan berlari keluar dari kamar Davin.
***
Petir datang lagi menyambar-nyambar, menimbulkan bayangan cahaya yang menakutkan di kamar. Keyna bersembunyi di pojok, bersandar di kaki ranjang, kakinya dilipat di atas karpet dan tangannya menutupi kedua telinganya. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya, membuatnya ingin pingsan.
Lalu suara petir menyambar lagi. dan lagi. dan lagi
Keyna memekik ketakutan setiap petir itu berbunyi. Dia mulai menangis. Oh Ya Ampun. Apa yang harus dia lakukan? Petir ini sepertinya tidak akan berhenti menyambar dalam waktu yang lama, karena hujan masih turun dengan derasnya. Kaki keyna terlalu lemah untuk berdiri, dan dia tidak bisa mengharapkan Davin datang kepadanya, memeluknya seperti malam itu.
Petir menyambar lagi. membuat Keyna menjerit kencang,
Pada saat itulah pintu terhempas dengan kasar, Jason berdiri di sana, terengah-engah karena setengah berlari. Dan mereka berdua bertatapan.
***
Kaki keyna terlalu lemas untuk berdiri menghampiri Jason, dia tetap menutup kedua telinganya ketika petir itu menyambar lagi dan lagi, menimbulkan suara keras yang memekakkan telinganya.
Jason melangkah pelan, dan berjongkok lembut di sebelah keyna,
"Hei... jangan takut, ada aku di sini."
Seluruh tubuh Keyna gemetaran dan berkeringat dingin, Keyna menangis dan Jason mengusap air matanya dengan lembut. Ketika petir menyambar lagi, Keyna memekik dan menenggelamkan wajahnya di dada Jason. Lelaki itu langsung memeluknya erat, mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya.
Jason mengecup puncak kepala Keyna lembut, lalu melepas earphone yang masih tergantung di lehernya. Dipakaikannya earphone itu ke kedua telinga Keyna.
Suara musik yang familiar mengalun di telinganya. Nadanya... ini nada yang dinyanyikan anak kecil itu di mimpinya.... ini.. ini adalah rekaman permainan biola Jason. Keyna merasakan aroma yang familiar itu melingkupinya. Dia mendongak dan menatap Jason dengan bingung.
Jason tersenyum kepada Keyna. Lalu memeluk Keyna erat-erat.
"Sekarang petir tidak akan menakutimu lagi." Dipeluknya Keyna dan dibuainya dalam pelukannya sampai Keyna tertidur lelap
***
Ketika bangun keesokan harinya, Keyna sendirian. Dia tertidur di karpet, tetapi selimut menyelubungi tubuhnya dan membuatnya hangat.
Di telinganya masih mengalun earphone yang mengalunkan lagi itu dari pemutar musik warna hitam yang tergeletak di lantai
Keyna tercenung. Lagu ini. Dia tidak mungkin salah, ini adalah lagu yang selalu muncul di dalam mimpi-mimpinya.
Apakah Jason anak lelaki kecil di mimpinya itu?
Tetapi kenapa? Bagaimana bisa?
Bersambung ke Part 6
Published on February 01, 2013 02:17
Sweet Enemy Part 4

"Pulang sendirian lagi?"
Keyna menoleh mendengar sapaan yang akrab itu. Dia mendapati Jason sedang bersandar pada mobil hitam legamnya, tersenyum menatapnya. Senyumnya lebar dan ramah, sama sekali tidak tampak kalau dia adalah penghancur wanita seperti yang dikatakan oleh Davin.
Kalaupun dia memang seorang penghancur wanita, sepertinya sah-sah saja, Keyna membatin, mengamati ketampanan Jason yang halus. Lelaki itu bisa dibilang sangat tampan sampai mendekati cantik. Matanya sendu tapi bening, seolah menarik siapapun yang tergoda untuk tenggelam bersamanya.
"Iya." Keyna menjawab dan mengerutkan keningnya, apa yang dilakukan Jason sore-sore begini di depan kampusnya?
"Kau harus membiarkan supir pribadimu menjemput, sudah kubilang, berbahaya kalau seorang perempuan berjalan-jalan sendirian malam-malam, apalagi kampusmu terkenal sebagai kampus anak-anak kaya. Siapa tahu ada yang mengawasi dan mencari kesempatan, lalu melihatmu sedang jalan sendirian? Kau akan diculik."
Jason mengulangi lagi peringatannya, sama seperti kemarin ketika berpapasan dengan Keyna di jalan. Lelaki itu begitu serius dengan kata-katanya sehingga Keyna merasa takut. Tetapi perkataan lelaki itu memang ada benarnya.
"Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?"
Jason mengangkat bahu dan tertawa, "Mungkin aku sedang mengawasi kampus ini, mencari kesempatan kalau-kalau ada anak orang kaya berjalan sendirian yang bisa kuculik." Lelaki itu membuka pintu mobilnya, "Mau masuk?"
Sejenak Keyna ragu. Tetapi Jason tampak begitu tulus. Dan dia kan sahabat Davin, meskipun Davin sudah memperingatkannya tentang kebencian Jason kepada perempuan. Keyna yakin dia bukan termasuk salah satu tipe yang Jason incar untuk dibuat patah hati.
***
Keyna menganggukkan kepalanya,
"Ya, waktu itu perwakilan yayasan Nyonya Jonathan menemuiku dan menawarkan beasiswa, waktunya tepat sekali karena kondisi keuangan kami sedang sulit." Keyna menatap Jason sambil tersenyum, "Ayahku seorang tukang bangunan, dan meskipun dia mengupayakan segala cara untuk menyekolahkanku, membiayai kuliahku akan terlalu berat untuknya."
Jason menoleh sebentar dan menatap Keyna dengan tatapannya yang bening,
"Lalu ayahmu meninggal ya? Aku turut berduka Keyna."
Suara itu benar-benar tulus sehingga Keyna melemparkan senyum lembut kepada Jason,
"Ya, ayah mengalami kecelakaan di tempatnya bekerja. Setelah ayah meninggal, Nyonya Jonathan menawariku beasiswa sepenuhnya dan aku boleh tinggal di rumahnya, jadi di sinilah aku sekarang."
"Kau tidak pernah curiga kenapa Nyonya Jonathan begitu baik kepadamu? Banyak anak lain yang juga cemerlang dan hidup dalam kemiskinan. Tetapi kenapa kau? Kenapa kau yang dipilih?" Tatapan Jason yang memandang jauh ke depan terlihat kelam dan misterius,
Keyna mengangkat bahunya,
"Yah... mungkin karena aku ada di saat yang tepat dan tempat yang tepat. Kebetulan seperti itu akan selalu ada kan?"
Jason tersenyum muram, "Tidak ada yang namanya kebetulan, Keyna. Semua hal terjadi pasti ada alasannya." Dia lalu menghentikan mobilnya. Mereka ternyata sudah sampai di ujung jalan dekat mansion keluarga Jonathan.
"Maaf. Aku menurunkanmu di sini." Jason tersenyum meminta maaf, "Davin melarangku mendekatimu. Yah. Kau pasti sudah diperingatkan tentang reputasiku." Senyumnya berubah serius, "Tetapi selama kau masih tidak mau menggunakan supir pribadimu itu, aku akan menjemputmu setiap hari sepulang kuliah."
"Aku tidak perlu dijemput setiap hari." Keyna menoleh kaget mendengar kata-kata Jason, "Aku baik-baik saja."
"Tidak. Aku sudah memutuskan. Kau terlalu polos dan menganggap semua orang di dunia ini baik hati. Kau akan mudah ditipu dan dimanfaatkan orang. Harus ada seseorang yang menjagamu."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri." Sela Keyna keras kepala, "Terimakasih sudah mengantarku." dengan sopan Keyna melangkah pergi dan berjalan menuju mansion.
Setelah beberapa langkah, dia merasa ingin tahu. Dengan sembunyi-sembuyi dia menoleh dan mendapati mobil Jason masih terparkir di sana, mengawasinya. Dan mobil itu baru pergi setelah Keyna memasuki gerbang rumah dengan aman.
***
"Dia bilang dia akan menjemputku setiap hari." Keyna setengah berbisik saat berbicara di ponselnya, Sefrina tadi meneleponnya dan mengatakan bahwa besok pagi dia belum bisa masuk karena sakit. Mereka bercerita-cerita tentang hari itu, dan Keyna pun teringat akan Jason.
"Aneh..." Sefrina tampak tercenung di seberang sana, "Kenapa dia repot-repot melakukan itu? Kau harus hati-hati Keyna, jangan-jangan dia mengincarmu sebagai korban berikutnya."
"Perempuan-perempuan yang menjadi korban Jason adalah perempuan kaya dan semuanya cantik. Aku sama sekali bukan tipenya." Keyna membantah, "Lagipula aku merasa aneh, dia berkali-kali mengingatkanku tentang bahayanya berjalan sendirian karena aku bisa diculik, dia tampak serius dengan perkataannya."
"Tapi dia ada benarnya juga Keyna. Bahaya kalau kau selalu pulang sendirian. Kita tidak tahu siapa orang jahat yang mengincar di luar sana. Kami anak-anak orang kaya selalu diawasi setiap saat dengan ketat oleh kedua orangtua kami, supir pribadi kami dibelaki kemampuan bela diri juga, untuk menghindari insiden itu, karena dari pengalaman, banyak sekali kejadian penculikan itu." Sefrina tampak berpikir di seberang sana. "Demi keselamatanmu juga Keyna.... Kalau kau mau aman dan terhindar dari penculikan, sekaligus mengindari Jason, gunakan fasilitas supir pribadi yang diberikan oleh keluarga Jonathan."
Keyna termenung mendengar nasehat Sefrina. Mungkin memang ada benarnya juga...
***
Dia tadi mengawasi dengan kesal ketika lelaki itu ternyata menunggui Keyna pulang. Dia sudah menyiapkan pisau di tangannya, dengan beberapa pegawainya yang kekar dan ahli. Rencananya untuk menculik Keyna sudah hampir berhasil. Karena dari pengamatannya, Keyna selalu pulang dari kampus sendirian, tanpa ada supir pribadi yang menjemputnya. Perempuan bodoh! dia seperti mengumpankan dirinya kepada para penjahat. Lalu lelaki pengganggu itu muncul dan menjemput Keyna. Dan rencana penculikannya hancur berantakan. Lelaki itu sepertinya akan terus mengganggu. Dia harus mencari cara lain....
***
"Bagaimana harimu?" Davin mengetuk pintu kamar Keyna dan mendapati Keyna sedang belajar di mejanya. Dengan langkah elegan, lelaki itu duduk di pinggir ranjang Keyna. Davin masih memakai jas dan dasinya sudah dilonggarkan. Lelaki itu tampak lelah.
"Baru pulang kerja?" Keyna meletakkan buku pelajarannya dan mengernyit, Davin tampak pucat. "Kau tidak apa-apa Davin?"
"Sepertinya aku sedikit flu. Aku batuk-batuk dari tadi dan tenggorokanku sakit." Lelaki itu berdehem, "Tapi aku sudah minum obat flu, sebentar lagi juga sembuh."
"Oh." Keyna melirik Davin dengan cemas, "Sepertinya kau harus ke dokter."
"Tidak, aku tidak apa-apa." Tiba-tiba lelaki itu membaringkan tubuhnya di ranjang Keyna.
Keyna menoleh kaget, hampir berdiri dari duduknya,
"Davin??"
"Please. Jangan berteriak." Lelaki itu mengernyit, membuat Keyna tertegun, padahal dia sama sekali tidak berteriak, Davin berbaring dan menutup matanya dengan sebelah lengannya, "Kepalaku pusing seperti berdentam-dentam, biarkan aku berbaring sebentar di sini."
Keyna terdiam, merasa kasihan kepada Davin, sepertinya lelaki itu benar-benar sakit. Ya sudah, biarlah. Lagipula Keyna masih belum ingin tidur, dia harus belajar sampai larut malam untuk persiapan ujian minggu depan.
Waktu berlalu, dan Keyna larut dalam kegiatan belajarnya. Diiringi suara dengkuran halus Davin yang sepertinya jatuh lelap ke dalam tidurnya, mungkin karena pengaruh obat flunya.
Keyna menguap dan melirik jam di dinding, sudah jam dua pagi, dan dia mengantuk. Dengan bingung diliriknya Davin yang masih pulas di atas ranjangnya. Lalu dia harus bagaimana?
Dengan bingung Keyna memutar kursinya dan menghadap ke arah ranjang. Davin sedang tidur pulas. Dan ketika tidur lelaki itu tampak sangat tampan. Gurat-gurat sinis di wajahnya tidak tampak dan lelaki itu kelihatan begitu polos seperti bayi, bibirnya sedikit terbuka dan napasnya teratur.
Keyna larut dalam kenimmatan memandangi maha karya Tuhan di depannya. Tuhan pasti sedang tersenyum ketika menciptakan sosok ini.
Mata itu terbuka. Seketika itu juga langsung menatap tajam ke arah Keyna. Membuat Keyna berjingkat dari duduknya karena kaget.
Lelaki itu tampaknya tipikal orang yang langsung sadar ketika bangun, dia mengerutkan keningnya menatap Keyna.
"Kenapa kau menatapku?"
Keyna merasa pipinya memerah, "Aku tidak menatapmu." dipalingkannya wajahnya, tidak mampu menahankan tatapan tajam Davin kepadanya.
Lelaki itu beranjak duduk di ranjang, memandangi sekeliling dan menatap Keyna lagi,
"Kenapa aku tidur di kamarmu?" gumamnya menuduh.
Keyna menaikkan alisnya jengkel. "Kau yang datang kesini ketika aku sedang belajar lalu tiba-tiba tidur di ranjangku. Coba tanya dirimu sendiri."
"Oh." Davin tampak mencoba mengingat-ingat, "Maaf."
Lelaki itu tanpak sakit, Keyna menatapnya dengan cemas, "Kau tidak apa-apa Davin? bagaimana pusing dan flumu?"
"Aku masih pusing." Lelaki itu tampak terhuyung, "Aku akan kembali ke kamarku,"
Pintu tertutup di depan Keyna, meninggalkan Keyna yang menatap cemas.
***
Davin terserang flu keesokan harinya. Suara batuknya terdengar ke seluruh penjuru rumah saking kerasnya. Batuknya terdengar kering dan itu pasti menyakitkan. Keyna memutuskan untuk tidak masuk kuliah untuk menunggui Davin, Nyonya Jonathan sedang ada di luar negeri.
"Pergilah." Davin terbatuk-batuk dan mengusirnya, dokter sudah memeriksanya dan memberikan obat. Dan sekarang Keyna sedang mencoba membantu Davin meminum obatnya. Tetapi lelaki itu dengan kasar menolak bantuannya.
"Pergilah, kenapa kau tidak masuk kuliah?"
"Aku harus menungguimu, aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian dengan kondisi seperti ini."
"Aku sudah biasa seperti ini." Tatapan Davin tampak sedih, "Sakit sendirian dan hanya ditemani pelayan sementara kedua orang tuaku pergi entah kemana."
Elena menatap Davin dan menyadai kepedihan di mata lelaki itu. Kasihan lelaki ini, dia hidup bergelimang harta, tetapi kehilangan kasih sayang orangtuanya. Kini Keyna mengerti apa yang menyebabkan Davin selalu bersikap sinis dan penuh kebencian.
"Sekarang berbeda, kau mempunyai seorang adik, dan adikmu akan merawatmu." Keyna menyerahkan pil-pil obat dari dokter ke arah Davin bersama dengan segelas air putih, "Ini minumlah obatmu."
Davin menatap Keyna, tampak tertegun dengan perkataan Keyna tadi, sejenak dia ingin membantah, lalu dia menghela napas dan menerima obat itu dan meminumnya, ditatapnya Keyna dengan kesal setelahnya,
"Sudah kuminum. Puas?"
"Puas. Sekarang tidur."
Lelaki itu menggerutu, tetapi tidak membantah. Mungkin tubuhnya sudah terlalu sakit. Dia masuk ke dalam selimutnya, terbatuk-batuk sebentar, dan tak lama kemudian, mungkin karena pengaruh obat langsung tertidur pulas.
Keyna menghela napas panjang. Semoga obat itu bisa meredakan sakit Davin. Lelaki itu tampak begitu tersiksa ketika batuk, meskipun demikian tatapan sinis dan kejamnya tidak hilang, Keyna tersenyum, dasar Davin...
Suara bel dipintu mengalihkan perhatian Keyna, tampak pelayan membuka pintu dan terdengar percakapan-percakapan di sana.
Keyna beranjak dengan hati-hati, merapikan selimut Davin lalu melangkah keluar ruangan. Dia menengok ke lobby mansion di lantai bawah.
Jason ada di sana. Lelaki itu mendongak dan menatapnya dengan tatapan mata yang bening
Bersambung Ke Part 5
Oneshoot : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/sweet-enemy-special-one-shoot-by-request.html
Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/sweet-enemy-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/sweet-enemy-part-2.htm
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/20...
Published on February 01, 2013 01:38
January 28, 2013
Semoga mau menunggu :)
Dear All Readers yang kusayangi
karena kondisi kesehatan yg bener-bener drop 1 minggu ini ditambah dengan kejamnya, aku menularkan virusku ke si om he he he, sehingga dia juga ikut drop karena tertular.....
dan saat ini kami sama2 tepar ga bisa bangun dari ranjang akibart virus flu+batuk+radang+demam+(bronkitis = khusus aku ) -----> T_____T huhuhuhuhu
Jd aku minta maap sampai lama belum posting+balas komen dan pertanyaannya, yah all readers kepala masih kliyengan kalau buka layar komputer T____T
Semoga all readers mau menunggu yah. Aku pasti akan segera posting kisah yang dinanti2 all readers secepatnya begitu sudah sembuh dan kuat kembali
peluk sayang semuanya
Santhy Agatha
PS : buat yg nanyain versi cetak UH dan FTDS bisa dipesan tgl 3 feb di nulisbuku.com/ bisa titip aku. Untuk UH sendiri sudah mulai posting per bab di PN, FDTS menyusul :)
karena kondisi kesehatan yg bener-bener drop 1 minggu ini ditambah dengan kejamnya, aku menularkan virusku ke si om he he he, sehingga dia juga ikut drop karena tertular.....
dan saat ini kami sama2 tepar ga bisa bangun dari ranjang akibart virus flu+batuk+radang+demam+(bronkitis = khusus aku ) -----> T_____T huhuhuhuhu
Jd aku minta maap sampai lama belum posting+balas komen dan pertanyaannya, yah all readers kepala masih kliyengan kalau buka layar komputer T____T
Semoga all readers mau menunggu yah. Aku pasti akan segera posting kisah yang dinanti2 all readers secepatnya begitu sudah sembuh dan kuat kembali
peluk sayang semuanya
Santhy Agatha
PS : buat yg nanyain versi cetak UH dan FTDS bisa dipesan tgl 3 feb di nulisbuku.com/ bisa titip aku. Untuk UH sendiri sudah mulai posting per bab di PN, FDTS menyusul :)
Published on January 28, 2013 20:23
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
