Santhy Agatha's Blog, page 20
November 22, 2012
Dua Perempuan di Sebuah Bar Yang Remang

Bar kecil itu sepi dengan nuansa pencahayaan remang-remang. alunan musik jazz mengalun lembut dari sudut ruangan. Katrin berdiri di pintu bar dan menatap ragu ke sekeliling, matanya mengernyit ketika menemukan apa yang dicarinya sedang duduk sambil termenung di sudut lain bar yang gelap. Dengan gugup Katrin membetulkan letak kacamatanya dan melangkah mendekat.
“Hai”
Rheana mendongakkan kepalanya, menatap sosok di depannya dengan teliti. Jadi inilah dia, gumamnya dalam hati. Inilah dia wanita yang juga dicintai oleh Alex.
“Hai juga”, tangannya terulur dan dengan sedikit canggung Katrin membalas jabatannya.
Rheana tidak bisa melepaskan pandangannya, pun ketika Katrin sudah duduk di hadapannya.
“Aku sudah memesan”, Rheana mengedikkan bahunya ke cangkir kopi di depannya, “Mungkin kamu ingin memesan dulu?”
Katrin mengangguk dan melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu memesan minuman. Selama itulah Rheana memanfaatkan kesempatan untuk mengamati Katrin lagi, perempuan yang sungguh cantik. Cantik, dengan kacamatanya yang elegan dan tampak begitu feminim. Pantas Alex menganggap perempuan itu begitu berharga baginya. Dan perempuan itu memiliki Alex. Sejenak rasa sakit menghantam dadanya, terasa menusuk sampai ke ulu hatinya. Tidak adil!. Teriaknya dalam hati, perempuan ini sudah memiliki segalanya, karier yang bagus, kecantikan wajah, masa depan yang cerah, dan dia memiliki Alex, Alexnya. Perempuan ini sudah memiliki segalanya dalam genggaman tangannya, dan dia masih juga memiliki calon suami yang sangat sempurna. Atau paling tidak, di mata Rheana, Alex adalah pasangan paling sempurna di dunia.
“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?”, Rheana memulai pembicaraan untuk memecah keheningan.
“Kamu tahu kenapa”
“Tidak, aku tidak tahu.”
“Ini tentang Alex”
Hening yang lama dan terasa menyesakkan
“Apa hubungannya dengan aku?”, Rheana memasang wajah sedatar mungkin, menenangkan diri. Katrin tidak mungkin tahu, Rheana tahu pasti Alex sedapat mungkin merahasiakan semuanya dari Katrin. Dia mencintai calon isterinya itu dan yang pasti tidak ingin melukainya.
Untuk pertama kalinya Katrin menatap mata Rheana dengan tajam, “Kau pasti sudah tahu apa hubungan semua ini denganmu ”, desis Katrin tampak menahan diri
Hening lagi. Kali ini lebih menyesakkan.
“Darimana kamu tahu tentang aku?”, Rheana mengalihkan kegugupannya dengan meneguk kopinya.
“Bukan urusanmu darimana aku tahu tentang dirimu”, suara Katrin setajam tatapannya, tatapan sakit hati seseorang yang dikhianati, “Bukan itu tujuan aku ingin menemuimu”
“Aku sudah meluangkan waktu untuk menemuimu secara baik-baik”, Rheana tidak tahan lagi menerima hujaman tatapan Katrin yang menusuknya , kenapa harus dia yang dihakimi? Bukankah dia juga berhak marah? Alex miliknya juga kan?, “Jadi Katrin, kalau kau bersikap seperti ini lebih baik aku pergi”, Rheana mulai beranjak dari duduknya
“Jangan.”
Satu kata. Menahan gerakan Rheana. Kedua perempuan itu saling menatap, sama-sama menunggu.
“Aku tahu tentangmu dari ponsel Alex.”
Kalimat singkat itu menjawab semuanya, membuat Rheana terdiam.
“Mereka memberikan dua ponsel Alex kepadaku, setahuku Alex hanya memiliki satu ponsel, tapi ada dua yang diserahkan kepadaku...”, suara Katrin tercekat, dia berdehem pelan, lalu ketika berhasil mengumpulkan suaranya lagi, terdengar sangat tajam, “Di dalam ponsel itu, tersimpan hampir enam ribu sms kalian berdua. Sejak kalian berkenalan, dua tahun yang lalu.”
Alex masih menyimpan sms-sms mereka? Sejenak hati Rheana terasa hangat. Tetapi sebelum kehangatan itu memancar di matanya, dia segera membunuhnya.
“Apakah kalian memulainya dua tahun yang lalu?”
“Apanya?”
“Kau tahu apa”
Rheana memalingkan muka, merasa jengah,
“Aku tidak harus menjawabnya”
“Kau harus menjawabnya!”, suara Katrin meninggi, dia mulai kehilangan kesabarannya, “Aku berhak untuk tahu sejak kapan perselingkuhan ini dimulai di belakangku!”
“Apa kau serius ingin tahu? Alex sangat ingin menjaga perasaanmu, dia tidak ingin kau tersakiti.”
“Dia tetap berselingkuh, itu sudah menyakitiku”
Rheana mendesah.
“Kami tidak pernah berencana untuk jatuh cinta satu sama lain.”
“Tapi kalian tetap saja tidak menahan perasaan kalian.”, Katrin menatap tajam, “Apakah pada saat pertama kau mengenal Alex, kau tahu bahwa dia sudah mempunyai calon isteri? Bahwa dia sudah berkomitmen untuk menikah denganku?”
“Ya, aku tahu. Alex tidak pernah menutup-nutupi statusnya yang sudah bertunangan.”
“Dan kau tetap melanjutkan hubunganmu dengannya, perempuan macam apa kau ini?”
Perempuan macam apa? Batin Rheana merintih galau. Yah perempuan macam apa dia? Mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya adalah hak milik perempuan lain, tetapi dengan sepenuh hati tetap saja melepaskan dirinya untuk mereguk cinta dari lelaki itu. Alex tidak pernah menjanjikan apa-apa kepadanya, dia tidak bisa. Tetapi meskipun Alex datang ke pelukannya dengan segala ketidak pastian itu, dia tetap merengkuhnya dan membiarkan dirinya jatuh hati. Sekarang ketika ditanya perempuan macam apakah dirinya, Rheana sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Perempuan gatal? Perebut kekasih orang? Perusak hubungan orang? Semua istilah-istilah buruk itu berkecamuk di kepalanya, merenggut sinar dari matanya.
“Aku mencintainya.”, Rheana menatap mata Katrin, memohon pengertian. Dia sudah lelah dengan segala penghakiman yang menciderai perasaannya selama ini. Dia hanya ingin mencintai. Salahkah dia?
Katrin memalingkan matanya, tidak tahan dengan tatapan memohon di mata Rheana, perempuan itu tampak menderita, dan astaga, dia merasa iba. Bagaimana mungkin dia bisa merasa iba kepada perempuan yang telah berselingkuh dengan tunangannya di belakangnya?
“Apakah..... Alex mencintaimu?”, suara Katrin bergetar, menahankan perasaannya.
“Maksudmu?”
“Apakah Alex pernah bilang kalau dia mencintaimu?”
Hening.
Ribuan kali. Pikiran Rheana melayang, rasanya setiap detik Alex selalu membisikkan kata-kata itu. “Aku mencintaimu, mungil”, Setelah mengucapkan kata-kata itu Alex pasti akan menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum lembut dan mengecup bibir Rheana dengan lembut. Rheana mempercayai kata-kata Alex dengan sepenuh hati.
Rheana mengangguk. Kesedihan langsung menghantam Katrin, tatapannya menerawang.
“Dia sering sekali mengatakan kalau dia mencintaiku”, gumam Katrin mengambang, “Setiap kami bertemu, setiap kami berbicara melalui telephone, dia selalu mengatakan kalau dia mencintaiku”
Seberkas rasa cemburu menusuk di dada Rheana,
“Oh ya? Bagus dong”, Rheana berusaha menahan ekpresinya tetap datar. Tapi Katrin merasakan kesakitan yang memancar dari Rheana.
“Terlalu sering, sampai aku merasakan kata-kata itu seperti sapaan biasa, seperti ucapan selamat pagi, selamat siang atau selamat malam”, sambung Katrin dengan senyuman miris, “Kini aku tahu kenapa.”
Tiba-tiba Rheana didorong perasaan untuk menghibur perempuan di depannya ini, entah kenapa. Padahal seharusnya dia membenci Katrin. Perempuan ini adalah perempuan yang dengan mudahnya memiliki posisi yang sangat diimpikan oleh Rheana, posisi sebagai perempuan pemilik Alex, perempuan yang berhak atas Alex. Tetapi entah kenapa Katrin tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang ada di depannya. Yah, bagaimanapun juga, mereka mencintai laki-laki yang sama. Hanya saja, Rheana mengetahui tentang keberadaan Katrin di hati Alex, sedang Katrin tidak tahu apa-apa. Apakah Rheana bisa dikatakan lebih beruntung di banding Katrin, dia sendiri tidak tahu.
“Alex mencintaimu”, bisik Rheana serak.
Kepala Katrin yang menunduk terangkat dengan segera, matanya tampak getir,
“Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan berselingkuh denganmu”
“Tidak, jangan berpikir begitu....aku.... aku bingung bagaimana menjelaskannya, tapi sebagai perempuan yang mencintai Alex, aku tahu kalau Alex mencintaimu, dia peduli padamu, perasaannya masih sama”
“Aku membaca sms-sms kalian. Bagaimana Alex berkata-kata lembut kepadamu, bagaimana Alex menyusun kata-kata romantis untukmu, dia tidak pernah begitu kepadaku, menyusun kata-kata romantis, begitu serius.... begitu puitis, seolah-olah ini adalah Alex yang berbeda”, Katrin menahankan matanya yang berkaca-kaca, “Alex tidak mungkin mencintaiku.”
“Dia mencintaimu”, suara Rheana meninggi untuk mempertegas maksudnya, “Mungkin dia memang tidak pernah bersikap romantis ataupun puitis untukmu, mungkin itu dilakukannya karena dia mengetahui kalau kau tidak akan nyaman dengan kasih sayang seperti itu, mungkin Alex memandangmu sebagai perempuan yang lebih bahagia dengan tindakan tulus daripada kata-kata. Jangan pernah berpikir kalau Alex tidak mencintaimu, aku tahu sekali, dia mencintaimu.”
“Aku tidak pernah berpikir sebelumnya kalau Alex tidak mencintaiku”, suara Katrin semakin bergetar, “Aku tahu kalau Alex mencintaiku... tetapi, kalau Alex mencintaiku dan kemudian tetap saja ada perempuan lain yang bisa membuat Alex berselingkuh.....bukankah itu...”, suara Katrin hilang, “Bukankah itu berarti... Alex lebih mencintai perempuan itu dibandingkan aku?”
Udara di antara mereka tiba-tiba terasa menyesakkan dada
Lalu Rheana tersenyum getir dan menggeleng,
“Tidak”, gumamnya.
“Tidak?”, Katrin memandang bingung.
“Tidak. Aku mungkin akan setuju ketika kamu bilang Alex mencintaiku. Tapi aku akan membantah keras-keras kalau kamu bilang bahwa Alex lebih mencintaiku daripada dia mencintaimu”
“Kamu nggak bisa bilang begitu, semua bukti sudah menunjukkan kepadaku”
“Percayalah, aku tahu”, Rheana memandang sedih, “Sesering apapun Alex menunjukkan kalau dia mencintaiku, aku tahu dia tidak akan pernah mau meninggalkanmu demi aku. Di matanya kamu adalah pelabuhan terahkirnya, tempatnya pulang, wanita yang akan dinikahinya dan akan selalu dicintainya”, setiap kata terasa mengiris bagi Rheana, tapi dia menahankannya, “Bagi Alex, kamulah yang nomor satu.”. Dan aku si nomor dua, sebuah suara berbisik, mengejek hati Rheana.
“Tapi tidak pernah ada bukti kalau...”
“Alex pernah dihadapkan pada posisi memilih antara aku dan kamu, dan dia memutuskan meninggalkanku demi kamu”, Rheana meringis, sungguh dia ingin melupakan kenangan itu kalau bisa, tetapi rasanya dia harus mengatakannya sekarang atau Katrin akan selamanya salah paham.
“Teruskan”, suara Katrin begitu lirih dan ragu-ragu
“Suatu hari aku mengalami kecelakaan, kakiku patah, aku ada di rumah sakit”, Rheana memejamkan matanya mencoba mengusir kepedihan yang menyeruak, “Alex menungguiku waktu itu, tetapi ada seuatu yang tampak mengganggu pikirannya, dia tampak tidak tenang disana. Aku tahu Alex sedang memikirkanmu, meski aku tidak pernah mengatakannya, aku tahu hari itu adalah hari ulangtahunmu, aku tahu Alex seharusnya menghabiskan waktu bersamamu”, Rheana tersenyum getir, “Tapi waktu itu aku kesakitan, kakiku patah dan obat penghilang sakit tidak bekerja dengan baik, aku demam, aku mual dan keegoisanku merajalela, aku ingin Alex bersamaku, bukan bersamamu”, mata Rheana mulai berkaca-kaca, “Saat itu aku menangis, aku memohon..... tetapi Alex meminta maaf, dan dia pergi, dia pergi untuk memenuhi janjinya, merayakan ulangtahunmu. Bersamamu, perempuan yang dicintainya di hari ulangtahunmu”
Hening. Udara terasa semakin berat.
Katrin ingat hari itu, di hari ulangtahunnya, Alex datang dengan senyum cerah dan sebentuk liontin emas sebagai hadiah ulangtahunnya. Mereka menghabiskan waktu berdua, makan malam istimewa lalu duduk berpelukan di sofa sambil menikmati es krim dingin. Katrin ingat dia mengatakan betapa dia mencintai Alex, betapa dia bahagia memiliki calon suami seperti Alex, betapa dia bersyukur kepada Tuhan karena memberikan pasangan sempurna seperti Alex, betapa dia berterimakasih karena hari ulang tahunnya terasa begitu indah. Dan Alex tersenyum, meraih kepala Katrin, menenggelamkannya di dadanya, dan memeluknya erat-erat. Malam itu adalah salah satu malam terindah yang akan selalu dikenang Katrin.
“Meskipun begitu... kamu tetap mencintai Alex?”, tanya Katrin hati-hati.
Rheana mendesah,
“Aku mencintai Alex semudah aku bernafas. Aku mencintainya, karena itulah aku mengerti kenapa dia tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadaku, kenapa dia memilih merahasiakan diriku demi menjaga perasaanmu, kenapa dia tidak bisa meninggalkanmu demi diriku, aku sungguh-sungguh mengerti.”, Rheana mencoba tersenyum kepada Katrin, “Perasaan yang ini.....mungkin semua orang akan mencaci-maki. Tetapi aku bangga karena aku punya perasaan ini”
Katrin terdiam dan menatap jalinan jemarinya di meja.
“Ya... aku tahu perasaan itu. Alex sungguh amat mudah dicintai, dan aku sangat mencintainya. Kau tahu, keluargaku dulu tidak menyetujui hubunganku dengan Alex, papaku sudah menjodohkanku dengan junior di tempat kerjanya, sesama dokter, tetapi aku begitu mencintai Alex, aku memperjuangkannya, Kalau aku tidak mencintai Alex, mungkin aku sudah menyerah dan meninggalkannya, tetapi aku terlalu mencintainya untuk melepaskannya”
Rheana terdiam. Membantah kata-kata Katrin dalam hatinya, terlepas dari cinta atau tidak, Alex memang lelaki yang berharga.
“Dia lelaki yang pantas diperjuangkan”, Rheana terpekur, tanpa sadar menyuarakan pikirannya.
“Ya”, Katrin menganggukkan kepalanya, setuju. Matanya tersenyum tanpa sadar.
Hening lagi, seolah-olah kedua perempuan itu tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Kenapa.... kenapa kau menghubungiku? Kenapa kau ingin bertemu denganku? Apa tujuan dari pertemuan ini sebenarnya?”, Rheana berpikir keras, tidak mungkin kan Katrin hanya ingin menyakiti dirinya sendiri dengan mengorek-ngorek kisah perselingkuhan Alex dengannya? Atau Katrin ingin menghakimi dan mencaci makinya? Tetapi kalau itu memang tujuannya, seharusnya Katrin sudah melakukannya dari tadi.
“Mungkin kau berpikir aku ingin mencaci makimu”, Senyum simpul muncul di sudut bibir Katrin, menertawakan dirinya sendiri, “Sejujurnya, itulah tujuanku pada awalnya, aku ingin mencaci makimu, menumpahkan kemarahanku, perasaan dikhianati ini begitu menyesakkan dada sampai-sampai aku hampir kehilangan kewarasanku...”
Rhena terdiam, menunggu.
“Tetapi kemudian aku sadar, aku cuma... aku cuma kaget ternyata ada kamu di tengah hubungan kami, dan aku hanya ingin melihat... apakah kamu.. benar-benar nyata”
“Aku nyata dan ada”, Rhenana mengangkat bahu.
“Ya, dan ketika aku menyadari itu, perasaanku hancur....”
“Perasaanku sudah hancur dari dulu”, Rheana menyela, “Kalau terus menerus memikirkan siapa yang lebih Alex cintai, kenapa Alex lebih memilihmu... aku pasti akan hancur, karena itu aku selalu berusaha tidak memikirkannya”, Rheana menatap Katrin dengan sedih, “Selama ini kamulah yang beruntung Katrin, kamu menerima cinta Alex dengan pengetahuan kalau cintanya hanya untukmu, sedangkan aku menerima cinta Alex dengan pengetahuan akan kenyataan bahwa ada kamu yang lebih dicintainya... posisimu lebih beruntung....”
“Apakah kalau kau boleh memilih, kau akan memilih tidak tahu apa-apa... seperti aku?”
Rheana terdiam. Apakah kalau boleh bertukar dia akan memilih berada di posisi Katrin? Sebagai kekasih yang dicintai dan dijaga hatinya agar tidak tersakiti, dan bahagia tanpa tahu kalau kekasihnya membagi cinta dengan perempuan lain? Rasanya posisi Katrin terasa indah dan aman, jauh dari kesakitan yang getir seperti yang dirasakannya setiap kali dia memikirkan Alex, tapi entah kenapa, Rheana tidak akan mau bertukar, bahkan meskipun dia diberi kesempatan. Baginya cara mencintai Alex seperti dia mencintai adalah cara terindah yang bisa dia lakukan. Mencintai tanpa meminta apa-apa. Hanya ingin mencintai dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Ini adalah pilihannya dan dia senang dengan pilihannya itu.
Rheana menggelengkan kepalanya dan Katrin mendesah,
“Yang paling menyedihkan... aku merasa lebih baik berada di posisimu.”, kata-kata itu bagaikan pengakuan yang diungkapkan Katrin dengan kesedihan yang mendalam.
Rheana mengernyitkan keningnya, bingung.
“Seiring berjalannya waktu, aku merasa Alex semakin lama semakin menjauh dariku”, sambung Kristin sambil tersenyum ironis.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu?”, Rheana menyela dengan gusar, teringat akan hari-hari yang dilewatkannya sendiri dengan kesakitan akan pengetahuan bahwa Alex sedang menghabiskan waktunya bersama Katrin, “Dia selalu bersamamu, dia selalu ada untukmu, seluruh prioritas waktunya diberikan untukmu”
“Ya, dia memang ada di sebelahku, aku bisa memeluknya, aku bisa menggenggam tangannya, aku bisa menciumnya, dia selalu ada disampingku kapanpun aku mau, kapanpun aku minta, Alex selalu memberikan waktunya untukku....”, Katrin mendesah lagi, “Tapi hatinya seperti tidak ada di sana, tubuhnya ada di sana, tapi keberadaannya terasa jauh... dulu aku tidak tahu kenapa, tapi sekarang aku tahu, tubuhnya ada di pelukanku, tetapi hatinya ada pada dirimu.”
Rheana ingat Alex pernah berkata kepadanya, “Kuberikan hatiku untukmu Rheana, seluruhnya untukmu”, saat itu dia hanya tersenyum dan menganggap kata-kata Alex hanyalah salah satu dari ungkapan puitisnya. Tetapi sekarang, ketika Katrin yang mengatakannya, entah kenapa, dia mempercayainya.
“Yah.... mungkin aku memang memiliki hatinya... tetapi tidak pernah bisa memeluk Alex, bahkan disaat aku sangat merindukannya, tidak pernah bisa memintanya ada bahkan di saat aku membutuhkannya, tidak bisa meminta seluruh waktunya, karena memang aku tidak berhak.... itu terasa sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada apapun...”
Hening lagi. Kedua perempuan itu terpekur. Memikirkan pilihan yang ada. Yang satu memiliki tubuh, yang satu memiliki hati. Sungguh dua pilihan yang sangat sulit. Memiliki tubuh tapi tidak memiliki hati, sama saja berpelukan dengan kehampaan yang dibalut kebahagiaan semu. Memiliki hati tetapi tidak bisa memiliki raga, sama saja memiliki sekuntum mawar paling indah di dunia, tetapi beracun, dan tidak bisa disentuh. Kedua-duanya sama-sama sulit, ditambah lagi dengan ketidak-mungkinan untuk bisa memiliki kedua-duanya sekaligus, hati dan jiwa.
Katrin menarik napas panjang, lalu menyesap cappucino pesanannya, setelah meletakkan gelasnya, dia menatap Rheana dan mencoba tersenyum meski guratan kelelahan tampak jelas di wajahnya,
“Yah... mungkin sudah saatnya aku pergi”, Katrin melirik jam tangannya, “Mereka semua pasti sudah menungguku”
Rheana menganggukkan kepalanya, tidak tahu harus berkata apa. Matanya mengawasi Katrin yang berdiri dan membenahi tasnya, perempuan itu nampak begitu pucat, tanpa sadar dia ikut berdiri,
“Kau tidak apa-apa Katrin?”, kata-kata itu terlontar di bibirnya sebelum sempat di tahannya.
Katrin tertegun, seolah tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari bibir Rheana, kemudian dia tersenyum,
“Aku.... entahlah...”, Katrin menghela nafas panjang, “Setidaknya aku bertahan”, senyumnya tampak begitu sedih.
Rheana menganggukkan kepalanya seolah salah tingkah,
“Baiklah kalau begitu, aku juga akan pergi”, Rheana mengulurkan tangannya, “Selamat tinggal”
“Selamat tinggal.”, Katrin membalas jabatan tangannya. Mereka lalu saling melepaskan jabatan tangan, sedikit salah tingkah, dan kemudian setelah menggumamkan ucapan perpisahan tak jelas Rheana melangkah pergi, meninggalkan bar mungil itu.
Lama Katrin terpaku menatap Rheana yang membalikkan tubuhnya dalam diam, matanya menelusuri punggung itu, melihat Rheana yang tampak lunglai terasa begitu menyentuh hatinya. Seharusnya dia membenci perempuan itu, tetapi entah kenapa, dia merasa tersentuh.
“Rheana ?”
Rheana membeku mendengar panggilan Katrin, pelan-pelan dia memutar tubuhnya dan menatap Katrin ragu,
“Ya?”
Katrin menelan ludah,
“Mungkin.... mungkin kau mau datang ke pemakaman besok pagi?”
Bibir Rheana menganga, tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir Katrin.
“Kau memintaku datang....?”, suara Rheana entah kenapa menjadi begitu parau, dia berdehem untuk menenangkan dirinya, “Aku.... benarkah? bolehkah aku datang ?”
“Tentu saja boleh. Kau juga berhak datang... lagipula... lagipula ....”, Katrin menghela nafas panjang, “Alex pasti akan bahagia kalau kau datang ke pemakamannya...”.
Rheana masih diam disana, terpaku dengan mata berkaca-kaca.
“Kau... kau tidak pernah datang di rumah sakit pada saat-saat terahkir Alex... jadi aku...”, Suara Katrin tertelan di tenggorokannya.
“Kau tahu aku tidak bisa datang”, suara Rheana bergetar.
“Ya... aku mengerti”
Katrin benar-benar mengerti. Seharusnya dia marah, tetapi entah kenapa dia bisa mengerti. Rheana hanyalah wanita yang ingin mencintai. Dia mencintai Alex dengan sepenuh hatinya, tetapi dia menderita. Mungkin memang Katrin lebih beruntung dibandingkan Rheana. Dia bisa selalu ada di sisi Alex, bahkan tadi siang di saat-saat terahkir Alex, dia bisa menggenggam tangan lelaki itu, membisikkan kata cinta untuk mengantar kepergian Alex selama-lamanya. Tetapi Rheana, perempuan itu pasti sangat ingin datang, tapi dia terikat disana, tidak bisa menengok lelaki yang dicintainya yang sedang terbaring sekarat di ranjang rumah sakit, Rheana pasti sangat menderita, dan Katrin bisa membayangkan bagaimana rasanya.
“Kalau kau bisa datang, datanglah besok.”
Mata Rheana tampak berkaca-kaca,
“Aku.. aku pasti akan datang....”, suara Rheana terdengar bahagia, “Terimakasih.”, hanya satu kata, tapi penuh dengan emosi yang meluap-luap, penuh dengan rasa syukur sesungguhnya yang melimpah.
Dua perempuan itu berdiri berhadapan, dipenuhi oleh perasaan yang menyesakkan dada.
Lalu tanpa kata, Rheana membalikkan badan dan pergi, air matanya berderai, tetapi hatinya penuh rasa syukur. Dia tidak bisa mengantarkan kepergian Alex di saat-saat terahkirnya, tetapi Tuhan begitu baik, memberinya kesempatan untuk mengucapkan salam terahkir kepada jenazah Alex sebelum lelaki itu dimakamkan ke peraduan terahkir.
Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....
Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....
Di belakangnya, Katrin melepas kacamatanya dan menyusut airmatanya, dia sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. Tangannya memeluk dirinya sendiri dan mendesah dalam kesedihan,
Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....
Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....
THE END
Published on November 22, 2012 18:02
November 20, 2012
KASIH

Semua yang ada di ruangan itu tampak tegang, wajah-wajah kelelahan yang tidak tidur semalaman, dan sekarangpun mereka belum bisa tidur. Pram terdiam, menatap lampu di atas ruangan operasi. Lampu itu masih menyala merah, pertanda operasi masih berlangsung. Delapan jam operasi yang melelahkan, dan Lena, mungkin masih terbaring pucat disana, membiarkan para dokter membelah perutnya yang rapuh itu. Bayangan itu membuat perutnya bergolak dan Pram merasa mual. Tentu saja, dia tidak makan apa-apa sejak tadi, hanya secangkir kopi yang sempat mengisi perutnya, dan semua ketegangan ini membuat asam lambungnya naik.
Segalanya terasa baik-baik saja tadi, bahkan Pram tidak pernah memimpikan saat-saat ini akan ada. Mereka pasangan yang bahagia, mereka menikah setahun yang lalu, setelah masa pacaran yang panjang. Pram dan Lena seperti sudah menjadi sepasang kekasih seumur hidupnya. Mereka mengenal sejak kecil, menghabiskan waktu bersama sejak kecil, dan saling mencintai sejak kecil. Mereka dibesarkan dengan pengetahuan bahwa mereka akan menikah suatu hari nanti, dan itulah yang terjadi, pernikahan yang bahagia, pasangan yang saling mencintai, dan berkah yang luar biasa besar dengan kehamilan Lena hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Pada awalnya semua sangat membahagiakan, sampai saat Lena mengalami pendarahan-pendarahan yang makin lama makin parah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya. Plasenta bayinya terletak di tempat yang tidak semestinya, sehingga kondisi janin sangat rapuh, hal itu juga mempengaruhi kondisi sang ibu, yang semakin pucat dan lemah seiring dengan perutnya yang semakin besar. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, Lena harus berbaring seharian di tempat tidur, aktivitas seringan apapun bisa memacu pendarahan yang membahayakan bayinya, dan dirinya.
Pram sangat cemas, tetapi Lena sangat optimis, dia begitu bersemangat, dia begitu mencintai sang calon bayi dan selalu berusaha menenangkan ketakutan-ketakutan Pram akan kondisi Lena. Setiap malam, di tempat tidur mereka, ketika Pram memeluk Lenadengan perutnya yang mulai membuncit. Lenaakan mengelus pipi Pram dengan senyumnya yang teduh,
“Aku baik-baik saja sayang”, dengan lembut jemari itu menyentuh alis Pram dan kerutan di dahinya, berusaha menghilangkan kerutan itu, “Kau harus percaya kepadaku, kami berdua baik-baik saja di sini”
Pram mendesah, dia tidak mencemaskan bayi itu, dia mencemaskan Lena, bayi itu lebih baik tidak ada kalau dia membahayakan kesehatan Lena. Tapi Pram memilih untuk tidak mengungkapkan pemikirannya, itu hanya akan membuat Lena terluka karena Lena sangat menyayangi bayi dalam perutnya itu, dan pemikiran bahwa Pram sama sekali tidak keberatan kehilangan bayi itu asalkan Lena baik-baik saja pasti akan sangat melukai isterinya.
“Kau lebih sering mengalami pendarahan ahkir-ahkir ini, dan dokter menyuruhmu berbaring seharian di tempat tidur, bagaimana mungkin aku tidak mencemaskanmu?”, bisik Pram serak.
Lena tersenyum dan menyentuhkan jemarinya ke bibir Pram, membiarkan Pram mengecupnya,
“Aku tidak keberatan berbaring seharian di ranjang demi anak kita”.
Dengan putus asa Pram mencoba mempererat pelukannya kepada tubuh rapuh itu,
“Aku tidak akan bisa tahan kalau harus kehilanganmu Lena…”, suaranya menghilang ditelan emosi, membuat Lena segera merengkuhnya lembut,
“Aku akan baik-baik saja Pram, kau tidak akan kehilanganku, aku berjanji.”
Dan sekarang Pram mulai meragukan janji itu. Kemarin sore, ketika akan ke kamar mandi, Lena terpeleset, jatuh di lantai kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat, pembantu menemukannya hampir setengah jam setelah Lena terjatuh, terbaring tak sadarkan diri di sana dan kehilangan banyak darah.
Seperti orang gila Pram menyusul ke rumah sakit, hanya untuk menemukan bahwa Lena sudah masuk ke ruang operasi dan dia tidak boleh melihatnya,
“Anda tunggu saja di sini, kami akan berusaha menyelamatkan bayinya”, Seorang dokter senior yang sudah mengenakan pakaian operasi menepuk bahunya, berusaha menenangkan Pram yang tampak begitu pucat pasi,
“Aku tidak peduli dengan bayinya !!! selamatkan isteriku !! dia harus hidup !!”, Pram berteriak seperti orang gila, mengiringi dokter itu masuk ke pintu ruangan operasi yang segera tertutup di belakangnya.
Sudah delapan jam berlalu, dan pintu operasi itu masih belum terbuka.
Pram menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap lelah ke sekelilingnya, kedua orang tuanya duduk disana, berikut kedua orang tua Lena, mereka tampak sama menyedihkannya dengan Pram, pucat, kusut dan penuh kecemasan luar biasa. Dengan sedih Pram menatap ke langit-langit, berusaha menyingkirkan ketakutan-ketakutan yang mulai membayangi pikirannya.
Lalu pintu ruang operasi itu terbuka, seketika itu juga Pram berdiri, diikuti seluruh keluarganya, Dokter operasi yang sebelumnya masuk dengan wajah segar dan optimis kini tampak lelah dan tak bersemangat, dia menyalami Pram dengan lembut,
“Selamat Tuan Pram, Puteri anda lahir dengan selamat meskipun prematur, dia bayi yang sangat cantik dan begitu kuat”,
Pram tidak peduli, bukan itu yang ingin didengarnya.
“Bagaimana dengan isteriku?”
Bahkan sebelum dokter itu mengucapkannya, dia sudah tahu, hanya dengan melihat sorot kesedihan di mata dokter itu, dia sudah tahu…
“Maafkan kami Tuan Pram, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi isteri anda tidak dapat diselamatkan, dia kehilangan banyak darah, kami lalu memfokuskan untuk menyelamatkan nyawa kecil di dalam perutnya, sebelum kami kehilangan kedua-duanya, maafkan kami…..”
Dokter itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena Pram menghantamnya dengan keras, tubuhnya merangsek maju dengan brutal, sehingga dua perawat pria yang dibantu petugas keamanan langsung meringkusnya
Pram meronta-ronta seperti orang gila, berusaha menyerang dokter itu, matanya nyalang penuh keinginan membunuh,
“Kenapa tidak kau selamatkan isteriku ?? aku tidak butuh anak itu !! aku butuh isteriku !! Lebih baik kau bunuh saja bayi itu, karena aku tidak menginginkannya, dia membunuh isteriku !!!”
***
Pram menatap ke balik kaca, sosok bayi kecil yang tertidur dalam kotak inkubator. Pram sudah tenang sehingga ibunya membiarkannya menengok ke ruang bayi, berharap agar Pram mengubah pikirannya tentang si bayi.
“Dia bayi yang kuat bukan?”, Ibunya menatap ke balik kaca, ke arah cucunya dengan penuh kasih.
Pram hanya terdiam, tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana bisa monster pembunuh yang begitu kejam bersembunyi dibalik sosok yang begitu lemah? Bayi itu sangat mungil, dia tidak cantik, kulitnya keriput dan matanya terpejam. Sosok itu tampak rapuh, tapi Pram tahu, dibalik kerapuhan itu, tersembunyi kekuatan besar yang telah merenggut nyawa Lena, isteri yang sangat dicintainya.
Ibumu sangat mencintaimu. Tetapi kau begitu tega merenggut nyawanya dengan kehadiranmu.
Pada saat Pram membawa pulang jenazah isterinya dan memakamkannya, dia berdiri di depan tanah yang masih merah itu, mengucapkan sumpah dalam hatinya.
Lena, kau selalu hidup di dalam hatiku, dan kini saat kau meninggalkan dunia ini, hatiku akan ikut mati bersamamu. Kau bisa pegang sumpahku ini.
***
Tujuh tahun telah berlalu dan si bayi prematur itu telah tumbuh menjadi anak yang cantik, dia diberi nama Kasih, nama yang sudah disiapkan ibunya lama sebelum dia dilahirkan. Kasih tinggal bersama kakek dan neneknya yang sangat mencintainya. Namun begitu, sebuah pertanyaan selalu muncul di dalam hatinya, sebuah pertanyaan bocah kecil yang polos, yang hanya menginginkan kejujuran,
“Kenapa Papa tidak pernah menengokku, nenek? Apakah dia tidak merindukanku?”
Dan sang nenek akan memandangnya dengan pedih, lalu memalingkan muka.
“Papamu orang yang sangat sibuk sayang, dia sering berpergian ke luar negeri dan jarang pulang, nanti kalau dia sudah bisa menyisihkan waktu, dia pasti akan menengokmu”, rasa bersalah muncul di hati sang nenek setiap kali dia membohongi kasih dengan harapan semu, tetapi Kasih masih terlalu kecil untuk menanggung kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri sangat membencinya, dan menyalahkannya atas kematian ibunya, sang Nenek menenangkan hati bahwa apa yang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kasih dari luka hati,
Kasih menatap foto kedua orang tuanya di pigura kecil berbentuk hati, pigura foto itu selalu dibawanya kemana-mana karena dia memang tidak pernah merasa memiliki orang tua yang sesungguhnya. Mama yang dia ketahui, hanyalah dia kenal lewat foto-foto dan cerita kenangan dari kakek dan neneknya. Sedangkan Papanya, Kasih bahkan hanya mempunyai sedikit ingatan tentangnya, sosok lelaki dingin yang tidak mau melihatnya, dan kunjungan singkat sang papa yang begitu kaku, sama sekali tidak membantunya untuk membuat ingatan kenangan tentang Papanya, bahkan hari-hari ulang tahunnya berlalu tanpa ucapan dari sang papa. Kasih tidak tahu bahwa hari ulang tahunnya merupakan peringatan paling menyakitkan dari Pram. Itu adalah hari dimana isteri yang sangat dicintainya direnggut paksa dari sisinya. Kasih sama sekali tidak paham itu, dia hanyalah seorang anak, dengan pemikiran anak-anak, yang hanya ingin dicintai oleh orangtuanya. Dan seminggu lagi, kasih akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh, seperti impian-impian sebelumnya yang tidak pernah terkabul, ia hanya ingin papanya datang di hari ulang tahunnya.
“Nenek, apakah papa akan datang di hari ulang tahunku nanti?”, Kasih tahu pertanyaannya mengganggu sang nenek, karena ekspresi wajah neneknya langsung berubah sedih. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Sang Nenek mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya dan mengusap rambut Kasih dengan lembut,
“Nenek akan berbicara dengan papamu, semoga dia bisa meluangkan waktunya ya”
Pancaran bahagia yang berkilauan di mata Kasih membuat hati sang nenek mencelos, karena dia tahu, pancaran mata itu akan hilang begitu dia dikecewakan seperti tahun-tahun sebelumnya, dan anehnya itu tidak pernah membuat Kasih berhenti berharap. Setiap tahun Kasih masih terus memohonkan kehadiran papanya di hari ulang tahunnya, dengan kepolosan anak-anak yang tidak mengerti kenapa sang Papa tidak menginginkannya,
***
“Ibu mohon, sekali ini, hadirlah di pesta ulang tahun Kasih, dia sangat mengharapkanmu”, Liana menatap Pram dengan penuh permohonan. Hari ini dia menyempatkan diri mengunjungi Pram di kantornya. Itulah satu-satunya cara menemui putra semata wayangnya ini sekarang, karena Pram jarang sekali ada di rumah, dia selalu berpergian ke luar kota untuk keperluan bisnisnya, seolah-olah putranya itu tidak tahan berada satu kota dengan Kasih. Dan jika Pram ada di rumah, maka sudah pasti dia tidak mau mengunjungi rumah kedua orang tuanya. Tujuh tahun sudah berlalu, tetapi Pram menghindari Kasih seperti menghindari wabah cacar yang menular, dan itu sangat menyedihkan, bukankah Kasih adalah anak kandungnya? Anak semata wayangnya, buah cintanya dengan isteri yang sangat dicintainya? Selama ini Liana diam saja melihat perlakuan Pram kepada Kasih, berharap naluri kebapakan Pram akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tetapi harapannya itu tidak pernah terwujud, bukannya bisa mengubah sikap menjadi menyayangi Kasih, anaknya itu malahan semakin lama semakin menjauh dan menghindari putri kandungnya sendiri.
Pram duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan memandang sang ibu diseberangnya dengan dingin,
“Bukankah aku sudah mengirimkan uang untuk merayakan pesta ulangtahunnya secara besar-besaran setiap tahun? Tidakkah itu cukup untuknya?”
Liana memperhatikan bahwa Pram bahkan menghindari untuk menyebut nama anaknya, dan itu terasa sangat menyedihkan,
“Dia menginginkan kehadiran papanya, Pram. Dia sudah semakin besar dan sudah bisa berpikir kenapa Papanya tidak pernah menemuinya, kau pikir ibu tidak sedih ketika dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentangmu?”
Rahang Pram mengeras, dia tidak suka di desak, dia tidak suka membicarakan tentang Kasih. Dia ingin semua keadaan tetap seperti ini dimana dia dan Kasih sebagai individu yang terpisah, tidak perlu berhubungan sama sekali. Oh, bukannya dia tidak ingin tahu, pernah suatu kali rasa ingin tahu mendorongnya melakukan perbuatan yang disesalinya, pernah dia mengemudikan mobilnya diam-diam dan parkir di sudut tak terlihat di depan sekolah Kasih, lalu dia melihat anak itu, sialnya, Kasih bagaikan pinang dibelah dua dengan Lena, semua yang ada di diri kasih mengingatkannya kepada Lena, dan itu menyakiti hatinya sampai ke dasar. Siang itu Pram pulang ke rumah, mabuk-mabukan, merasakan hatinya dihancurkan untuk kesekian sekalinya. Lalu dia bersumpah, dia tidak akan membiarkan dirinya tergoda untuk melihat Kasih lagi, sudah cukup hatinya hancur terberai, tak akan dibiarkannya kesakitan yang sama menderanya lagi. Pram membenci Kasih, anak itu seharusnya tidak pernah dilahirkan. Kalau saja Pram tahu bahwa kehamilan Lena akan membunuhnya, Pram tidak akan pernah membiarkan Lena hamil. Lebih baik dia hidup tanpa anak, daripada kehilangan Lena.
“Jangan paksa aku ibu, aku tidak bisa”, suara Pram terdengar dingin dan dia berpura-pura menyibukkan diri dengan tampilan data di layar komputernya.
“Pram, kau tidak bisa selamanya seperti ini. Kasih adalah putri kandungmu, kau adalah ayahnya, kau bisa menyangkal segalanya, tetapi garis darah adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal, ibu ingin kau menyadari ini, menghilangkan semua kebencianmu dan berusaha menyayangi Kasih seperti seharusnya seorang ayah menyayangi puterinya, kau tidak bisa terus menyalahkan Kasih atas kematian Lena, kematian Lena adalah takdir yang digariskan Tuhan, dan kau tidak akan pernah bisa menyangkal takdir”.
“Aku akan melakukan apapun yang aku mau. Lagipula Apa tidak cukup aku memberikan pembiayaan yang melimpah untuk mencukupi kehidupan anak itu? Dan itu sudah melebihi batas toleransiku, aku tidak bisa melakukan lebih, seperti yang ibu harapkan”
“Pram !”, suara Liana meninggi menanggapi kekerasan hati anak laki-lakinya, “Kasih sangat mencintaimu, ingatlah itu, meskipun perlakuanmu begitu kejam kepadanya, dia mencintaimu… dia….”
“Ibu”, suara dan ekspresi Pram tampak begitu tersiksa, hingga Liana menghentikan kata-katanya, “Tolong jangan paksa aku, aku tidak bisa… aku tidak akan tahan lagi”, kepedihan dalam suara Pram menyuarakan hatinya yang sudah terkoyak hancur sehingga mau tak mau Liana merasa terenyuh. Kematian Lena sudah tujuh tahun berlalu, dan putranya itu masih patah hati.
“Maafkan ibu Pram, ibu mencintai kalian berdua, karena itu ibu melakukan ini, ibu hanya ingin kalian berdua bahagia”
“Kalau begitu biarkan keadaan tetap seperti ini”, gumam Pram dengan suara memohon, sekaligus menutup pembicaraan.
Malam itu Pram berkemas, dia menugaskan dirinya sendiri untuk melakukan perjalanan bisnis ke Jepang selama dua minggu. Pergi jauh-jauh dari anak itu dan hari ulang tahunnya. Hari dimana anak itu membunuh Lena, isterinya.
***
“Jadi papa tidak akan datang?” , kesedihan di suara kekanak-kanakan itu mengiris hati Liana, dia mengelus kepala cucu perempuannya itu, semakin bertambah umurnya, Kasih semakin menyerupai Lena, mungkin itu juga yang membuat Pram tidak tahan melihatnya, tetapi Kasih adalah pribadi yang berbeda dengan Lena, dia lebih ceria, dan dia lebih lincah, senyumnya seperti matahari yang membawa kebahagiaan dimana-mana. Seandainya saja Pram sadar, bahwa luka hatinya mungkin akan tersembuhkan ketika dia mau menerima kehadiran Kasih,
“Tapi papa bilang dia akan mengirimkan hadiah untukmu”, Liana mendesah dalam hati. Pram tidak pernah lupa mengirimkan hadiah. Tetapi hadiah itu tidak pernah diberikan secara personal. Pram selalu memberikan uang kepada Liana, dan Lianalah yang membelikan hadiah untuk Kasih dan menuliskan nama Pram di kartunya. Sangat menyentuh ketika melihat binar bahagia di mata Kasih ketika menerima hadiah yang dikiranya dari papanya.
Kasih memeluk neneknya erat-erat.
“Kasih ingin bertemu papa, nek… kenapa semua anak lain bisa selalu bersama papanya, tetapi Kasih bahkan tidak bisa bertemu papa Kasih sendiri?”
Liana memeluk Kasih erat-erat, dan mengecup puncak kepala cucu kecilnya itu,
“Bersabarlah nak, semoga papamu akan punya waktu untukmu suatu saat nanti…”, suaranya tercekat ketika merasakan betapa dinginnya tubuh Kasih, anak itu sudah setengah lunglai di pelukannya,
“Astaga Kasih, badanmu dingin sekali…. Kau sakit..???”, suara Liana berubah menjadi teriakan panik dan ketakutan.
***
Pram sedang duduk di sofa hotelnya setelah pertemuan yang melelahkan dengan mitra bisnisnya. Dia menatap pemandangan ke luar jendela, musim gugur sudah hampir berahkir di Jepang dan udara mulai dingin di luar, sedingin hatinya. Hari ini adalah hari ulang tahun anak itu. Pram sudah berusaha melupakannya, tetapi entah kenapa dia selalu mengingatnya. Hatinya yang penuh dendam selalu mendorongnya untuk mengingat hari ini sebagai hari pembunuhan yang dilakukan anak itu kepada isterinya. Tetapi entah kenapa selalu ada suara berbisik di sisi lain hatinya, mengatakan kebenaran yang tak terbantahkan. Hari ini adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia seharusnya ada di sisi anaknya, ikut merayakan bersamanya.
Tetapi bisakah dia ? Pram memikirkan kemungkinan itu dan perasaannya terasa pedih, bisakah dia merayakan hari kelahiran anak itu? Bukankah itu sama saja dengan merayakan hari kematian isterinya?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Pram meliriknya dan melihat nama ibunya di LCD. Dia mendesah, apa yang ada di pikiran ibunya? Menelfonnya pada saat ini? Apakah ibunya akan memaksanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anak itu?
Pram membiarkan ponsel itu berdering tanpa mengangkatnya, tetapi ibunya di sana rupanya sangat keras kepala, sejenak Pram tergoda untuk mematikan ponselnya, tapi dia lalu sadar kalo hal itu terkesan kekanak-kanakan untuk lelaki seumuran dia. Dengan enggan diangkatnya telephone itu.
”Ibu?”
Suara panik disana bahkan tidak menunggu Pram menyelesaikan sapaannya,
“Kau harus pulang sekarang, Kasih masuk rumah sakit. Kondisinya kritis, katup jantungnya bermasalah. Kau harus pulang sekarang Pram, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu melihat putrimu, kau akan menyesal kalau tidak melakukannya”, suara tangis ibunya terdengar makin keras di seberang sana, dan hubungan telephone tertutup.
Sepuluh menit kemudian, Pram masih duduk disana, menatap layar ponselnya seperti terhipnotis, berusaha mencerna kata-kata ibunya. Dan ketika dia mengerti semuanya, jantungnya berdegup begitu kerasnya. Apakah mungkin ini salah satu taktik ibunya agar dia mau menemui anak itu? Tapi tidak, ibunya tidak pandai berakting, dan tangis yang didengarnya tadi benar-benar tangis panik yang penuh kesedihan. Lagipula ibunya tidak akan berbohong untuk hal-hal segenting ini.
Kemudian, didorong oleh kekuatan yang tidak diketahuinya, Pram menekan nomor telephone sekertarisnya,
“Iya Pak Pram?”
“Carikan aku penerbangan pertama ke Jakarta sekarang juga!, putriku sakit parah”
***
Lorong rumah sakit yang sama, dan Pram melangkah dengan hati-hati. Setiap langkah seperti membawa kepedihan ke dalam hatinya. Sejak kematian Lena, Pram selalu menghindari Rumah Sakit. Dan ini adalah rumah sakit yang sama tempat Lena meregang nyawanya saat itu, hanya sekarang Pram diarahkan ke bagian anak-anak.
Kedua orang tuanya ada disana, juga orang tua Lena. Wajah-wajah cemas yang sama seperti malam itu, sejenak Pram merasakan keironisan yang menggelikan. Kenapa Tuhan mengumpulkan mereka di tanggal yang sama dan tempat yang sama seperti malam itu?
Liana langsung menghambur ke pelukan Pram begitu melihat anaknya, tangisnya tak tertahankan.
“Katup jantungnya bermasalah Pram. Kita sudah tahu ketika pertama kali Kasih dikeluarkan dari incubator, bahwa katup jantungnya tidak normal, tetapi selama ini Kasih tampak baik-baik saja, dan tadi dokter mengatakan bahwa kondisi Kasih sangat mengkhawatirkan”, suara Liana pecah, “Dia… dia mungkin tidak akan bertahan… anak sekecil itu…”
Pram menatap ke arah kamar tempat Kasih dirawat tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya dia senang? Mungkin Tuhan memberikan pembalasan dendam yang terbaik untuknya, anak itu, yang telah membunuh isterinya, akan mati. Tetapi mengapa jantungnya serasa diremas sampai ngilu? Kenapa rasanya begitu sakit memikirkan anak itu akan dicabut nyawanya dari dunia ini?
Dengan tenang dia melepaskan diri dari pelukan Ibunya, dan melangkah masuk ke dalam kamar perawatan itu. Semuanya membiarkannya, seakan-akan memberikan kesempatan kepada Pram untuk berdua saja dengan Kasih. Kesempatan yang mungkin menjadi saat pertama dan terahkirnya.
Pram duduk di tepi ranjang, matanya masih tidak berani menatap ke arah ranjang anaknya, tatapannya terpaku kepada tangan mungil itu, yang ditusuk dengan jarum infus dan selang selang lain yang terhubung dengan alat elektronik yang memonitor detak jantungnya. Tangan itu kurus sekali, dan terlihat begitu rapuh, dengan takut-takut, Pram menyusuri pandangannya dari tubuh mungil yang terbungkus selimut itu, naik ke wajah kecil yang terpejam itu.
Seketika itu juga dadanya terasa ditinju.
Itu adalah versi mungil dari Lena, yang dicintainya. Versi mungil yang lebih montok dan lebih kekanak-kanakan, tetapi sudah jelas menunjukkan kalau dia adalah anak Lena…. dan anaknya. Bibir itu jelas-jelas diturunkan darinya. Bibir penuh yang menipis tegas kalau marah. Anak ini adalah putrinya, darah dagingnya.
Pikiran Pram melayang ke masa-masa sebelum anak itu lahir. Masa ketika dia memeluk erat Lena dan menciumnya berkali-kali setelah mendengar diagnosa positif hamil dari dokter, masa dimana dia dengan manja meletakkan kepalanya di perut Lena, memejamkan mata dengan damai, dekat dengan bayinya dan menikmati elusan tangan Lena di kepalanya. Masa dimana dia menciumi perut Lena dan menangis bahagia ketika merasakan tendangan pertama sang bayi. Masa dimana dia dan Lenaberbaring bersama, dengan segenap impian calon orang tua, mencari-cari nama bayi, membayangkan bagaimana mereka akan mendidik anak mereka nanti. Anak itu diciptakan dengan penuh cinta dalam pelukannya dengan Lena, anak itu dikandung dalam kebahagiaan dan cinta kasih semua orang tua yang menantikan kehadiran calon bayinya. Anak itu adalah hasil dari cinta yang tulus antara dia dengan isterinya, dan dia dengan kejam menolaknya, tidak mau melihatnya, tidak mau mengakui hubungan darahnya. Salah apakah anak ini sampai dia tega menghakiminya atas perbuatan yang tidak dia lakukan? Demi Tuhan!, anak ini baru berusia tujuh tahun!
Tangan Pram gemetar ketika dia menggenggam jemari Kasih yang begitu rapuh,
“Kasih”, nama itu terucap di bibirnya bagaikan mantra, nama yang selama ini bagaikan sesuatu yang tabu dan terlarang untuk terucap dari bibirnya selama tujuh tahun, dan sekarang ketika dia berhasil mengucapkannya, nama itu seolah mengalir tak mau berhenti, “Kasih… Kasih”, air mata mengalir dari mata Pram, membasahi bibirnya yang gemetar. “Kasih, ini papa nak, ini papa….”, Pram menyadari betapa dia akan menanggung penyesalan seumur hidupnya kalau sampai dia tidak punya kesempatan lagi untuk melihat mata anaknya terbuka, untuk memeluk tubuh mungil itu, untuk meminta maaf kepadanya, untuk membiarkan bibir mungil itu memanggilnya ‘papa’
“Maafkan Papa nak, selama ini papa tidak pernah ada untukmu. Kau adalah buah cinta dari mamamu, dan papa menelantarkanmu”, Pram meremas tangan kasih, “Berjuanglah nak, beri papa kesempatan untuk menebus semuanya, papa akan berusaha sekuat tenaga agar kau sembuh, ada dokter-dokter di luar sana yang pasti bisa menyembuhkanmu, papa tahu itu. Tetapi sekarang papa mohon kepadamu untuk berjuang, bertahanlah, sadarlah nak, berilah papa kesempatan untuk menyayangimu, yang tidak pernah bisa papa lakukan selama tujuh tahun ini…”
Pram menatap Kasih penuh kesempatan, tetapi putri mungilnya itu tetap terbaring pucat tak bergeming, seperti puteri tidur yang tak ingin bangun lagi.
Sebuah tangan meremas bahunya lembut, Pram mendongak dan melihat Liana berdiri di sampingnya, wajahnya penuh air mata, tetapi senyumnya penuh dukungan.
“Dia tidak mau bangun ibu”, suara Pram pecah, “Mungkin dia bahkan tidak mengenali suaraku”
Liana menggelengkan kepalanya,
“Dia pasti mendengar suaramu, meskipun dia tidak sadar Pram, hanya kaulah yang disayanginya selama ini, kau tahu, dia selalu membawa-bawa fotomu, kisah tentangmu adalah dongeng pengantar tidurnya, dia mencintaimu dengan sepenuh hatinya”
Pram meremas tangan mungil yang lunglai itu, hatinya teriris mendengar kata-kata Liana, Sungguh tidak adil, selama ini dia menolak putrinya sendiri, memperlakukannya seperti musuh, dan gadis kecil ini tetap mencintainya, sungguh dia tidak pantas dicintai seperti itu. Tuhan memang pantas menghukumnya, tetapi bukan dengan mengambil Kasih darinya, dia tidak akan tahan kalau harus kehilangan Kasih sebelum dia bisa menunjukkan kepada anak itu betapa dia mencintainya.
“Kau anak yang kuat Kasih”, Pram mengecup jemari mungil itu, “Waktu itu kau terlahir dengan bobot kurang dari bayi normal, kulitmu keriput dank kau jelek sekali”, Pram tertawa di antara tangis, “Tapi kau anak yang kuat, kau bertahan dan kau mengalahkan semuanya, kau bahkan mengalahkanku….. dan untuk sekarang ini, papa mohon, berjuanglah nak, bertahanlah, papa berjanji akan melakukan apapun untuk membuatmu sehat lagi”
Pram menatap Kasih, dan anak itu tetap terdiam tak bereaksi, tangisnya pecah dan dia membenamkan kepalanya ke pinggiran ranjang, hatinya hancur dan dia hanya bisa meratap.
Sampai kemudian dirasakannya tangan rapuh itu menyentuh kepalanya, dengan takut-takut Pram mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan mata bening itu. Mata yang sama dari perempuan yang dulu pernah dicintainya sepenuh hati, mata putri semata wayangnya,
“Papa?”,
Suara lemah itu bagaikan alunan musik ditelinganya, dan hati Pram meledak dipenuhi oleh rasa syukur dan bahagia.
Terimakasih Lena, terimakasih telah meninggalkan malaikat kecil ini untuk kucintai. Aku akan menjaganya. Kau boleh pegang sumpahku ini.
The End
Published on November 20, 2012 17:56
November 18, 2012
Cinta dan Buah Mangga
Silakan beli Tuan...
Mangga dapat petik sendiri
walaupun dari kebun orang
tapi hamba bertaruh nyawa untuk mengambilnya
Silakan beli Nyonya
Mangga matang di pohon
persis seperti kupinang istriku dulu
dijamin asli tanpa menipu
Silakan coba saudara
jika mangga tak manis seperti janjiku
kau boleh bilang aku penipu
Kujual mangga untuk nyawa
berdelapan kepala sedang menunggu
penuh harap agar semua laku
penuh cemas supaya aku tak dipenjara
aku bukan penipu
walau mungkin aku pencuri
aku hanya penjaja mangga untuk cinta
(dari : Irawan )
Mangga dapat petik sendiri
walaupun dari kebun orang
tapi hamba bertaruh nyawa untuk mengambilnya
Silakan beli Nyonya
Mangga matang di pohon
persis seperti kupinang istriku dulu
dijamin asli tanpa menipu
Silakan coba saudara
jika mangga tak manis seperti janjiku
kau boleh bilang aku penipu
Kujual mangga untuk nyawa
berdelapan kepala sedang menunggu
penuh harap agar semua laku
penuh cemas supaya aku tak dipenjara
aku bukan penipu
walau mungkin aku pencuri
aku hanya penjaja mangga untuk cinta
(dari : Irawan )
Published on November 18, 2012 12:30
November 13, 2012
Catatan Tentang Si Boy Part 2


"Boy, sini deh", aku membuka pintu ruanganku dan melambaikan tangan pada si Boy yang asyik menyapu di lobby kantor. Ruangan saat itu sepi, sudah jam setengah satu siang, pertengahan jam makan siang, jadi kebanyakan menghabiskan waktu istirahatnya dengan turun makan atau beristirahat sambil makan di ruang belakang ( pantry ) Si Boy dengan segera meletakkan sapunya sambil menghampiriku penuh dengan tatapan penuh tanya, "Ada apa ya bu ?", dia berdiri di ambang pintuku, satu tangan meremas tangan yang lain. gugup. Mungkin karena aku sama sekali nggak pernah memanggilnya. "Saya nitip makan ya" Matanya membelalak kaget, "Apa ? Ibu nitip makan ?", seperti biasa dia nggak pernah bisa menyembunyikan kebahagiaannya, wajahnya langsung berseri-seri senang, layaknya ajudan yang mendapatkan tugas penting dari sang presiden. Dengan sigap dia mengeluarkan kertas dan bolpoin yang selalu di bawa-bawanya. "Saya catat bu, mau pesen makan apa ?" "Nasi putih setengah, sama ayam goreng satu" Si Boy terperangah, tangannya yang hendak menulis terpaku, "Kenapa Boy ?", tanyaku kalem. Dia mengernyit dan dengan ragu-ragu bertanya, "Masak makannya begitu bu ? nggak pake sayur ?" Hmmmm rupanya masalah menu makananku yang aneh. Aku memang bukan penggemar sayur. Doyan. Tapi nggak begitu suka, dan sedapat mungkin menghindari memakannya, ha..ha....ha.... Mungkin bagi si Boy yang baru pertama kali mengetahui jenis makananku, terasa aneh. "Nggak usah Boy, gitu aja ya " Dengan murung si Boy memasukkan bolpoint dan kertas kembali ke sakunya, dia nggak jadi mencatat. Lalu setelah menerima uang dariku, dia pergi dengan wajah sedih. Kenapa lagi dia ? Aku penasaran dengan kemurungannya yang tiba-tiba, tapi kemudian aku kembali tenggelam dengan pekerjaanku dan lupa akan wajah sedih si Boy. Setengah jam kemudian si Boy datang, membawa piring dan sendok serta tas plastik hitam berisi titipan makananku, "Bu, ini uang kembaliannya. Nasinya tiga ribu, ayamnya lima ribu, jadi kembali dua ribu", dia meletakkan dua uang ribuan di mejaku. Lalu dengan sedikit ragu-ragu, dia meletakkan sebungkus plastik lagi di mejaku, dalam plastik itu berbentuk seperti gelas, "Apa ini ?", aku mengernyit karena nggak merasa pernah memesannya. Wajah si Boy langsung merah padam, "Itu bu.... itu juice alpukat", dia kelihatan takut-takut, "saya pikir kalau ibu nggak suka sayur, bisa diganti dengan jus buah- buahan, biar sehat bu.... ibu nggak usah bayar, itu tester, kan yang jualan teman saya, nanti kalau enak kan ibu bisa beli tiap hari", sambungnya gugup begitu melihat dahiku mengernyit. Tentu saja aku nggak percaya soal omong kosong tester itu. Mana mungkin ada pedagang yang memberikan tester satu porsi gratis ? Aku curiga bocah yang satu ini membelikannya untukku. Mungkin karena dia mencemaskanku yang nggak pernah makan sayur Pemikiran itu membuat hatiku terenyuh. "Berapa ? Saya bayar saja ya", pintaku lembut. Wajahnya langsung merah padam, "Nggak! nggak bu, itu tester kok ! gratis kok !", dia langsung mundur keluar dari ruanganku. "Eh bu, saya harus segera ke bawah, dipanggil bos", pamitnya dan setengah berlari buru-buru pergi meninggalkanku terperangah sendirian. Lama kemudian aku membuka bungkusan plastik berisi jus dalam gelas itu sambil geleng-geleng kepala. Penasaran, aku minum jus alpukat itu, Enak. Mau tak mau aku tersenyum, tersenyum atas perhatian seorang office boy pada perempuan yang nggak doyan makan sayuran, Ketika aku buka bungkusan makan siangku, aku dikejutkan sekali lagi, Isinya nasi setengah, ayam goreng pesananku......... plus tempe dan tahu goreng. Aku geleng-geleng kepala, Berapa dia habiskan uang demi membelikan makanan pengganti sayuran ini ? Uang itu mungkin bagiku nggak seberapa, tapi bagi dia uang itu pasti sangat berharga. Sekali lagi aku terenyuh, dadaku sesak oleh rasa terharu yang dalam. Sejak saat itu setiap pesan makanan aku selalu pesan jus, plus tempe tahu di menuku, biar dia nggak tombok uang lagi hanya demi menjagaku agar selalu memperoleh asupan gizi yang cukup.

"Aduh !", Dengan marah aku menatap gelasku yang terguling ke meja, untung tidak mengenai berkas-berkas yang bertebaran di sana. Tetapi isinya teh manis.... dan bisa dibayangkan betapa lengketnya meja yang dilapisi kaca itu. Seperti punya radar, si Boy sudah muncul disana, membawa lap basah dan cairan pembersih, dengan cekatan dia bersihkan genangan teh di mejaku. "Ibu saya perhatikan kok ceroboh banget ya", gumamnya sambil menahan senyum. Aku merona. memang aku sangat ceroboh, suka menumpahkan apapun di mejaku, pernah aku menumpahkan saos disana, pernah juga gula dan yang paling sering, teh manis, hahahahaha..... "Bawaan bayi kali ya Boy, saya nggak pernah melewatkan satu haripun tanpa menumpahkan sesuatu", dalihku. Dan si Boy tersenyum, "Ibu kok nggak punya tissue ya ", Rupanya dia memperhatikan juga bahwa tidak ada tissue di mejaku. Sebenarnya bukan hanya di meja, Aku memang tidak pernah menyediakan tissue di manapun. Tidak juga di rumah ( kecuali di toilet hahahaha ). Karena aku alergi tissue. Kertas tipis berwarna putih itu bisa menimbulkan rasa panas menyiksa di hidungku, serbuk lembut yang di hasilkan oleh kertas tissue itu bisa menyiksaku sampai satu hari penuh, hingga hidungku berwarna merah seperti badut. Tapi tentu saja si Boy tidak tahu tentang alergiku kan ? Suatu pagi, saat aku sudah melupakan insiden itu, aku menemukan segulung tissue yang masih tersegel di mejaku yang sudah tertata rapi. Aku mengernyit dan langsung tahu siapa pelakunya. Dan menilik dari merek tissue-nya, ini adalah tissue yang disediakan oleh perusahaan outsourcing kebersihan si Boy untuk persediaan tissue toilet ( hahahahaha... how ironic ) Ketika si Boy datang untuk menyapu dan mengepel ruanganku pagi itu, dia tersenyum malu-malu mendapati aku menatapnya dengan alis di angkat. "Eh.... anu... itu bu, buat jaga-jaga lap meja, kalau kebetulan saya pas nggak ada di sini. Saya cemas memikirkan ibu menumpahkan sesuatu pas saya nggak ada untuk membersihkan", gumamnya malu-malu, menjelaskan tanpa di minta. Ah, dasar si Boy, aku jadi nggak tega menjelaskan kalau aku ini alergi tissue
( setelah kejadian itu, aku selalu memasang tissue di mejaku, tidak pernah dipakai memang, tapi setidaknya si Boy tidak perlu mengambil persediaan perusahaan outsourcing yang sedianya untuk tissue toilet, demi aku, hehehehehe..... )

Aku melepaskan pandanganku dari layar komputer yang penuh dengan deretan angka-angka dan memejamkan mata. Kusandarkan tubuhku di kursi dan berdiam diri, sepertinya otakku ingin istirahat. Sudah satu jam aku berkutat dengan rekonsiliasi yang tidak ketemu di mana selisihnya. Saat itulah si Boy masuk dan mengelap jendela ( Biasanya jadwalnya adalah menyapu dan mengepel di pagi hari, lalu siangnya mengelap jendela dan sorenya menyapu lagi sambil mengambil sampah ) Iseng-iseng aku memulai percakapan dengannya, "Boy rumahnya jauh ya dari sini?" Tangan si Boy yang sibuk mengelap jendela terpaku sejenak, mungkin kaget karena aku tidak pernah mengajaknya ngobrol sebelumnya, "Iya bu ", dia menyebutkan sebuah daerah yang cukup jauh dan macet dipinggiran kota Bandung, "Kalau berangkat dari rumah jam berapa ?", tanyaku lagi, mulai ingin tahu. Buat seorang aku, yang selalu berangkat 15 menit sebelum jam kantor, lalu sampai di kantor sangat mepet, atau bahkan sering terlambat, pengalaman Boy cukup menarik untuk kuketahui. "Saya keluar dari rumah jam setengah lima pagi bu, naik motor", jawabnya malu-malu. Aku mengernyit, "Kok pagi banget berangkatnya ?", tak terbayangkan hawa dingin Bandung sepagi itu, apalagi sambil naik motor.... hiiiiiii aku merinding. "Kalau di Kantor sini, saya absen dan briefing jam tujuh bu, kan harus beres-beres semuanya dulu sebelum karyawan berdatangan, tapi saya harus berangkat pagi soalnya antar ibu saya dulu ke pasar" "Belanja?", selaku ingin tahu, "Bukan bu, ibu saya jualan nasi bungkus di pasar" "Ooooh", aku hanya mangut-mangut, tak bisa berkata-kata. "Kalau pulang macet dong ?" , sambungku lagi Si Boy tertawa, lalu menganggukkan kepalanya, "Kalau jam enam sore dari sini sih macet bu ke rumah, tapi saya kan pasti mampir ke situ", si Boy menyebutkan nama sebuah kampus swasta. "Hah ?? di situ ? kamu kuliah ?" Dengan malu-malu dan sedikit kebanggaan anak kecil si Boy menjawab, "Iya bu, saya ambil kuliah malam, bayarnya nyicil, nabung dari gaji saya" Sekali lagi, sebuah kenyataan tentang si Boy yang nggak pernah aku duga. "Ambil jurusan apa?", aku tak bisa menahan ingin tahuku. "Sastra Indonesia bu, saya pingin jadi guru bahasa indonesia", jawabnya jujur. Lalu dia bercerita tentang ayahnya yang meninggal sejak dia masih SMP, kemudian Boy bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah rumah makan sepulang sekolahnya untuk membiayai SMP dan SMU-nya, dia juga yang memodali ibunya untuk berjualan nasi di pasar untuk menambah pemasukan keluarga. Sekarang selain bisa membiayai kuliah, dia juga bisa membiayai adik perempuannya yang sekarang duduk di bangku SMU. "Saya pingin kami ini berpendidikan bu, biar kami bisa maju dan nggak selamanya menjadi orang yang dianggap bodoh. Bapak saya dulu cuma lulusan SD, cuma kuli pasar dan meninggal karena kelelahan. Saya nggak mau saya dan adik saya berahkir seperti itu", gumamnya mengahkiri ceritanya. Dan aku termenung, sedikit merasa malu. Betapa aku selama ini nggak menyadari bahwa aku begitu beruntung. Orangtuaku bisa membayari aku sekolah, aku bisa bebas belajar tanpa tanggungan mencari uang. Aku bisa menikmati masa-masa remajaku dengan bahagia. Saat membayar uang sekolah , ataupun kebutuhan sekolah yang lainnya, aku tinggal meminta. Tapi aku nggak pernah mensyukuri kelebihan itu. Aku menganggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang harus di syukuri. Dan aku semakin merasa malu ketika mengingat semuanya, keegoisanku, kemanjaanku. Aku malu dulu pernah merajuk kepada ayahku karena tidak dibelikan sepatu model terbaru seperti teman-teman kuliahku. Aku malu dulu pernah marah pada ibuku karena beliau melarangku membawa motor ke kampus, aku malu pernah mengomel pada orang tuaku karena mereka memilihkan aku kost yang sekamar dua orang, padahal aku ingin privacy sendirian.... dan masih banyak malu-maluku yang lain yang bermunculan dalam memoriku. membuat aku merasa sebagai manusia paling nggak punya syukur di dunia. Di siang yang panas ini, di sela-sela deadline yang mencekik, aku disadarkan oleh seorang Office Boy dengan kesederhanaan dan semangatnya dalam menjalani hidup. Betapa beruntungnya aku menjadi diriku yang sekarang...
Published on November 13, 2012 03:21
November 11, 2012
Catatan Tentang si Boy Part 1

Well, sebuah cerita yang nggak penting ternyata, tapi maafkan karena aku tergelitik untuk menceritakannya di sini, tentang office boy ku, pemuda tanggung berusia 19 tahun dengan kepribadian yang sangat menarik :) Di kantorku, ada seorang office boy yang khusus menangani lantai tempatku dan ruanganku, dia baru di sini. Kebetulan aku berada di satu ruangan terpisah oleh sekat kaca, sendirian di pojok pribadi ( sebutan kerennya pojok pribadi, tetapi teman-teman sekantor lebih sering menyebutnya aquarium kaca ha... ha.... ha ... )
Maafkan jika ceritaku ini membosankan, tetapi sekali lagi, aku tidak bisa menahan rasa untuk menuliskan tentang dirinya di sini. Dia adalah pemuda sunda asli, dengan logat yang masih kental dan kesopanan yang sangat luar biasa, panggil saja dia Boy ( hahahaha.... nama yang sangat tidak kreatif... dan jangan coba-coba membayangkan sosok playboy di film jadul 'Catatan Si Boy' !!! )
Di kantor aku terbiasa menyendiri, selain karena tuntutan profesionalisme pekerjaan, juga karena aku menikmati kesendirian, ditambah kenikmatan ketika mereka semua memandangku sebagai sosok yang terlalu misterius untuk di dekati. Tetap baik hati, tetap bersahabat, tetap penuh perhatian, tetapi seolah ada tembok pembatas yang kupasang agar mereka tidak mendekati aku lebih jauh.
Dan mereka memang tidak berani mendekati aku lebih jauh. Mereka tahu siapa aku di kantor, memahami pentingnya privacy pribadi dalam posisi pekerjaanku, menghormatinya sekaligus bertanya-tanya, seperti apa diriku jika diluar profesionalisme kerja ? ( yang sedapat mungkin kujaga agar mereka tidak akan pernah mengetahuinya, Sebab disini aku seorang diri, seorang audit yang bekerja seorang diri dengan tetek bengek independensinya, jadi tidak akan ada bocoran tentang kehidupan pribadi dari mulut ku ) Tembok pembatas itu tetap terpasang kokoh. Sampai kemudian si Boy ini dengan segala kepolosannya menembusnya, bahkan tanpa dia menyadarinya,
Pertama kali menyadari bahwa si Boy itu 'ada'

Aku mendongakkan kepala dari barisan angka di layar di depanku dan mengerutkan kening,
Berani sekali bocah yang satu ini, pikirku gusar
Tapi ketika aku mengangkat kepala, untuk melontarkan jawaban tajam yang pasti akan membuatnya bungkam seribu bahasa, mataku terpancang pada matanya, yang ramah, yang lugu, yang polos dengan keingintahuan alami, dan aku merasa malu.
Hey.... menggelikan sendiri kalau aku sampai merasa gusar. Dia hanya ingin tahu San, dan kau memang tidak pernah makan siang pada jam-jam yang seharusnya. Sudah sepantasnya dia bertanya-tanya. Memang aku selalu makan pada jam-jam sesukaku, kadang jam dua siang, bahkan kadang jam 4 sore baru aku turun makan, sisanya aku habiskan di dalam 'aquarium kaca' itu berkutat dengan angka-angka yang membosankan.
"Kalau ibu malas turun ke bawah untuk membeli makanan ( kantorku ada di lantai 4 ) saya bersedia membelikan", sambungnya lagi dengan tulus karena aku nggak segera menjawab.
Aku kehabisan kata-kata. bocah ini nampak begitu tulus. Jadi aku menyunggingkan senyum tulus juga,
"Terimakasih, nanti kalau saya mau nitip, saya bilang ya", jawabku waktu itu.
Dan si Boy pergi dengan senyum lebar di wajahnya, penuh dengan rasa bangga. Kebanggaan yang sederhana. Kebanggaan yang polos.
Pertama kali meminta tolong si Boy

Pernah suatu hari, seorang teman membawakanku kue tart dalam wadah tupperware, Jam 10 pagi, setelah aku menghabiskan kue itu, aku bingung, bagaimana mungkin aku mengembalikannya dalam kondisi kotor ?
Akirnya aku putuskan untuk meminta tolong pada si Boy,
"Mas, tolong cuciin ya ", kataku setelah memanggilnya masuk ke ruanganku.
Si Boy hanya diam terpaku. Sehingga aku mengernyitkan kening, Kenapa lagi ini bocah ?
"Mas, tolong cuciin wadah kotor ini', ulangku lagi jengkel.
Bocah itu tampak terperanjat, lalu segera meraih wadah tupperware itu sunguh-sungguh,
"Baik bu, akan saya cuci sampai bersih!", gumamnya penuh semangat sambil setengah berlari menuju pantry, meninggalkanku yang masih termangu. Kenapa dia kelihatan senang sekali ? apa karena baru kali ini aku meminta tolong kepadanya ?
Aku masih sedikit bertanya-tanya ketika dia datang 15 menit kemudian, sedikit terengah-engah, sambil membawa wadah tupperwareku yang sudah bersih,
"Ini bu, sudah saya cuci", gumamnya penuh semangat, menyerahkan wadah itu ke tanganku.
Aku menerimanya, dan dia masih berdiri di situ, memandangku penuh rasa ingin tahu.
Bocah ini pasti ingin mengetahui pendapatku tentang hasil pekerjaannya, pikirku
Maka kusunggingkan senyumku yang paling manis setelah pura-pura mengawasi wadah itu,
'Terimakasih ya, bersih sekali"
Dan saat itu aku baru menyadari bagaimana sebuah pujian kecil yang disertai dengan senyum, bisa membuat wajah seseorang menjadi begitu berseri-seri bahagia.
Si Boy pergi sambil tersenyum senang karena merasa berguna. Dan aku berdiam diri sambil menggeleng-gelengkan kepala,
Si Boy...si Boy...kan aku nggak meminta kamu mencuci wadah ini seketika, kan bisa kamu serahkan nanti sore.....
Donor darah dan segelas teh manis panas

Pernah suatu ketika ada acara donor darah di kantorku. Karena aku bergolongan darah AB yang kata orang langka dan sangat dibutuhkan, maka aku merasa berkewajiban memberikan kontribusi dalam acara ini ( sok banget, padahal sebenarnya aku 'sedikit' tertarik dengan snack yang diberikan gratis setelah donor hahahahaha... )
Sedikit memaksakan diri memang, karena aku hanya sarapan secangkir kopi dan tidur larut pagi ( karena sudah lebih dari jam 00.00 malam, aku tidak menyebutnya larut malam)
Waktu itu pak dokter yang mengecek tekanan darahku menatap dalam-dalam,
"Sudah sarapan ? "
Aku segera memasang tampang jujurku yang paling polos, biasanya berhasil untuk menipu kaum laki-laki hehehhehehe....
"Sudah barusan ", jawabku cepat, sedikit gugup karena dokter itu mengernyitkan keningnya. Hey... jangan buru-buru menuduhku pembohong. Bagiku, secangkir kopi adalah 'sarapan', aku tidak peduli kalau dokter itu mempunyai persepsi yang berbeda tentang 'sarapan'.
"Semalam tidur jam berapa ? ", dokter itu bertanya lagi.
Pertanyaan aneh. Aku hampir saja tertawa geli. Kenapa dia mengurusi jam tidurku ??? Tapi kemudian aku pikir, bapak di depanku ini pasti punya pertimbangan tersendiri menanyakannya.
"Jam dua belas ", jawabku tegas..... kali ini kuakui aku berbohong, aku baru tidur jam tiga pagi. Tapi saat itu aku sudah mulai berpikir, 'masa bodo' lah, kalo memang nggak boleh donor ya silahkan, lha wong mau disumbang kok nggak mau ( pemikiran orang bodoh, ya gitu.... hahahahaha.... nggak mikir sama sekali kalo sebenarnya pertimbangan dokter itu ya demi keselamatan dan kesehatanku sendiri)
Dokter itu tampak mangut-mangut sebentar, kelihatan nggak yakin. Tapi kemudian dia mengamatiku.
Tekanan darahnya sih kacau, tapi orangnya kayaknya sehat gini, pake senyam-senyum ga jelas lagi....Itulah terjemahan bebasku tentang kemungkinan yang dipikirkan si dokter ketika melngamati aku. Nggak tahu terjemahan bebasku itu benar atau nggak, yang jelas ahkirnya aku lolos untuk menyumbangkan beberapa cc darahku.
Mungkin aku kena batunya... Pikirku kemudian, 15 menit setelah kembali ke ruanganku selesai mendonorkan darah. Kotak snack, bonus dari donor darah ada di mejaku, tapi aku tiba-tiba mual, jangankan memakannya, memikirkan akan memakannya pun aku mual. Ruangan tampak berputar-putar dan aku mulai pusing,
Makanya San, jangan sok heroik, udah tau nggak makan apa-apa and kurang tidur, sok-sok'an aja donor darah, kutukku pada diri sendiri.
Tiba-tiba, si Boy masuk, mengantarkan kiriman dokumen dari kantor pusat ke ruanganku, dan dia mendapati aku sedang terpejam, tanganku memegang pangkal hidungku, mengernyit.
"Ibu kenapa ? " , tanyanya cemas.
"Pusing", jawabku tanpa membuka mata.
'Ibu pasti belum sarapan ya, padahal tadi donor darah. Aduh bu mukanya pucet gitu, makanya kalau nggak sarapan jangan donor darah dong bu",
Omelannya itu membuat mataku terbuka, hendak menatapnya tajam. Siapa dia hingga berani-beraninya mengomeli aku ?
Tapi aku tercekat menemukan bola matanya dilumuri kecemasan yang pekat.
Seumur-umur aku selalu dikelilingi oleh perhatian-perhatian basa basi, senyum-senyum palsu, kata-kata manis penuh kebohongan, jadi aku terbiasa untuk selalu berusaha menembus sampai dalam, mencoba mengetahui apakah ada kepalsuan di balik perhatian orang lain.
Bocah ini benar-benar mencemaskanku.....
Aku mencoba tersenyum lemah
"Saya ndak papa kok"
"Bu.... saya buatkan teh panas ya ? ", gumamnya menawarkan.
Tawaran yang sangat menggoda hingga aku tak kuasa menolak.
"Boleh, makasih ya ", jawabku, masih tersenyum lemah.
Dia mengangguk penuh semangat, lalu pergi keluar dengan dada terbusung layaknya tentara maju berperang.
Sepuluh menit kemudian dia datang membawakanku segelas teh manis panas. Meletakkannya di mejaku sambil mengingatkan aku untuk segera meminumnya selagi tehnya masih panas . Dan ketika dia membalikkan badan dan pergi dari ruanganku sambil menutup pintu di belakangnya. Aku tertawa terbahak-bahak.
Aku tergelak tanpa dapat kutahan, aku tertawa keras sekali, lupa kalau suaraku sampai keluar ruangan. Tapi aku tidak bisa menahan tawaku. Aku terus tertawa sampai perutku sakit, sampai air mata keluar dari sudut-sudut mataku, sampai aku bahkan hampir melupakan pusing yang menderaku.
Apa yang kutertawakan ?
Apakah aku menertawakan si Boy ? bukan!, dia biasa-biasa saja. Apakah aku menertawakan teh manisnya ? bukan! buat apa aku menertawakan teh manis ?
Lalu apa yang kutertawakan? ada yang salah dengan minuman yang di bawakan si Boy ? Bukan !
Minumannya.... minumannya biasa-biasa saja, teh manis panas warna kemerahan dengan aroma melati yang menggoda, tetapi...... tetapi......tetapi...... gelasnya... Oh Tuhan ..... Gelasnya !!! Aku tidak bisa menahan tawa,
Dia membuatkanku teh dalam gelas kaca yang sangat besar. Gelas terbesar yang pernah aku lihat. Lebih besar dari ukuran pot bunga !!!
ha...ha...ha.... si Boy... si Boy... Kau pikir perutku sebesar apa hingga membuatkanku minuman sebanyak ini ??
*to be continued
Published on November 11, 2012 21:04
Toples isi Pelukan

Hingga ketika saya merasa 'lapar' dan membutuhkan pelukanmu nanti, saya tinggal membuka tutup toples itu, memasukkan tangan ke dalam toples, mengambil sedikit pelukan, dan menikmatinya. Tentu saja saya akan mengambil pelukan itu sedikit-sedikit, biar dia awet, biar saya punya persediaan pelukan di dalam toples dan tidak cepat habis isinya, agar ketika kamu tidak lagi ada disini untuk memeluk saya, saya punya toples pelukan yang bisa memuaskan kerinduan saya. Jadi, maukah kamu memasukkan pelukan penuh kasih sayangmu ke dalam toples untuk saya?
Kalau kamu mau, saya akan berusaha mencari toples kualitas terbaik, agar bisa menyimpan pelukanmu dengan sempurna, agar rasanya sama seperti aslinya, kehangatannya, kasih sayangnya, ketulusannya, kemanisannya, semuanya yang membuat dada saya terasa sesak oleh rasa cinta yang luar biasa.
PS : sayang, seandainya saja saya mampu melawan seluruh dunia untuk memilikimu, saya pasti tidak akan membutuhkan toples semacam itu :)
Published on November 11, 2012 20:22
November 9, 2012
Kekasihku dan Hujan Deras, sebuah catatan harian

Published on November 09, 2012 19:46
Flash Fiction : Coretan-coretan sore
-Coretan1 - Mimpi
Aku berguling kesana kemari, rasanya ranjang terlalu keras dan menonjol di semua sisi, seolah sengaja menggoda tulang belulangku agar terasa linu. Mata ini terasa memberontak tak bisa terpejam. Segala pikiran buruk menyerbu menyerbu datang berhamburan, berbondong-bondong tak tahu malu. Lalu bayangan itu datang, dia terbaring di aspal bersimbah darah. Merah dimana-mana, kerumunan orang berdiri ternganga tak tahu berbuat apa, dan aku menjerit memanggil-manggil nyawanya yang terlambat kugenggam. Berani sekali kau meninggalkan aku disaat aku masih mencinta !! Kembali pulang atau aku tak akan mencinta lagi ! jeritku menyayat mencoba mengancam yang tak terkembalikan. Tapi ternyata aku terlambat, nyawanya sudah menguap tanpa aku sempat berpamitan. Aku lalu menjerit sekuat tenaga, marah kepada Tuhan, marah pada keaadaan, marah kepada semuanya. Kalau mau Kau ambil, kenapa bukan aku saja ???! Tiba-tiba tangan lembut mengusap kepalaku, tangan dia yang sangat aku kenal, dan bisikan familiar terdesah meniup telinga, "ssshhh... tidurlah lagi semua baik-baik saja", dan tiba-tiba hatiku merasa tenang. Dia ada di sini, dia tidak jadi pergi. semua hanyalah mimpi. Tetaplah disini, jauhkan aku dari mimpi buruk. Biarkan aku terlelap sejenak saja di sampingmu -END-
-Coretan2 - Dia atau Aku
Segalanya baik-baik saja sebelum perempuan itu datang. Suaminya adalah suami yang baik-baik saja sebelum perempuan itu datang. Dia mencintai suaminya, lelaki yang ditakdirkan bersamanya -- sebelum perempuan itu datang. Lalu tiba-tiba saja perempuan itu muncul, merenggut suaminya dan mengalihkan dunianya. Sekarang dia kehilangan semua kehangatan suaminya, sekarang dia kehilangan semua waktu suaminya. Dan yang paling menyakitkan, dia kehilangan seluruh cinta suaminya yang dulu dinikmatinya sebebas-bebasnya, eksklusif menjadi hak miliknya. Lalu malam itu dia memutuskan. Pisau dapur yang dulu selalu digunakannya mengiris steak kegemaran suaminya di tangan kanan, tekad penuh membuncah di dada. Dan tubuh perempuan itu yang terkapar bersimbah darah di lantai. Dia atau Aku. Dan jika suaminya tidak bisa memilih, dia akan membantu mengambilkan keputusan. Dia atau aku. karena segalanya baik-baik saja sebelum perempuan itu datang. -END-
-Coretan3 - Selingkuh
Rasanya menyenangkan menunggu di kegelapan meskipun kau tahu kau hanya menjadi yang kedua baginya. Rasanya menyenangkan menunggu untuk menjadi tempatnya pulang meski kau tahu dirinya sedang bersama yang lain saat dirimu menunggu. Rasanya menyenangkan tergila-gila pada cinta yang terasa lebih berharga daripada bongkahan emas dan permata, karena kau tahu cinta itu tidak akan pernah bisa kau miliki. Dan sekarang semuannya mengatainya bodoh bodoh bodoh, jahat jahat jahat, dosa dosa dosa...bodohkan dia? jahatkah dia? dosakah dia? Rasanya menyenangkan mencintai seseorang dengan kesadaran penuh bahwa kau tak akan pernah bisa menjadi yang pertama baginya, tidak bisa mengakui mencintainya dan tidak bisa diakui dicintainya. Semua orang tak mau mengerti, betapa berharganya perasaan yang dipendamnya selama ini, sambil berdiri termangu di kegelapan, menelaah semua pertentangan yang ramai di benaknya, hanya untuk menemukan bahwa rasanya menyenangkan, jadi mengapa tidak? -END-
-Coretan 4 - Lihat, Aku Terbang
Mama tidak pernah percaya kalau aku bisa terbang, mata dewasanya tidak bisa melihat sayap transparan di punggungku. Aku percaya kalau aku ini malaikat, aku bukan manusia, aku punya sayap yang tidak bisa terlihat dan aku bisa terbang. Tapi mereka orang-orang dewasa itu, yang sudah kehilangan kepekaan terhadap impian dan harapan tidak pernah bisa mempercayai anak-anak seperti aku. "Anakmu terlalu suka berkhayal", bisik seorang tante kepada mama"jauhkan dia dari jendela", pelan papa berpesan sebelum berangkat ke kantorTapi aku bisa membuktikan, siang itu aku lari dari pengawasan bibi yang tertidur, naik ke atap di lantai tiga dan menengadah menatap matahari. Lihatlah!!! sayapku terbentang dan berkilauan, lihatlah !!!lalu jeritan mama memekakkan telinga, aku menunduk menatap wajah pucatnya di bawah, dan tersenyum girang,lihat mama, lihatlah aku bukan manusia, aku ini malaikatlalu aku melayang terbang dengan sayapku yang besar dan indahmenukik ke bawahlantai betondan darah di mana-manalihat mama, aku tadi terbang kan? - END-
-Coretan 5 - Pamali Nduk !!!
Jangan begini, jangan begitu nanti kamu begini nanti kamu begitu.
Suara ibuku memenuhi telingaku di sela-sela keringat yang mengalir deras di dahi"tarik napas dalam-dalam..." suara lembut mendesak terdengar samar dan aku mematuhinya sambil menahan kesakitan yang amat sangat"Jangan makan di atas ranjang, nanti anakmu susah lahir", suara familiar ibuku terdengar lagi dan samar terbayang jelas wajah jawanya yang bersahaja"Ibu memaafkanmu nduk, biarpun mbah-mbah dulu bilang kalau kau berani menyakiti orang tua sampai seperti ini kau akan merasakan sakitnya melahirkan, tapi ibu memaafkanmu nduk"aku mengejan penuh kesakitan yang dalamrasanya dadaku mau pecah, perutku sakit sekali, semuanya sakit-sakit dimana-manadan air mataku berleleran antara sakit dan kesedihan yang mendalam luar biasamengingat tubuh tua itu terbaring terbungkus kain kafan putih setelah malamnya menangis karena aku membentaknya"maafkan aku ibu", jeritku entah keluar entah tidak suaranya. Jika sesakit ini yang harus kau tanggung untuk mengantarkanku ke dunia ini, jika sebesar ini pengrobananmu, maka aku adalah anak yang tak tahu diuntung.Ketika suara tangis bayi itu pecah dan kelegaan luar biasa meliputiku, aku mengucapkan sumpah dalam hati, setelah ini kalau nyawaku masih menempel di tubuhku, aku akan bersimpuh di pusara ibu, memohon ampun -END-

-Coretan2 - Dia atau Aku

-Coretan3 - Selingkuh

-Coretan 4 - Lihat, Aku Terbang

-Coretan 5 - Pamali Nduk !!!

Suara ibuku memenuhi telingaku di sela-sela keringat yang mengalir deras di dahi"tarik napas dalam-dalam..." suara lembut mendesak terdengar samar dan aku mematuhinya sambil menahan kesakitan yang amat sangat"Jangan makan di atas ranjang, nanti anakmu susah lahir", suara familiar ibuku terdengar lagi dan samar terbayang jelas wajah jawanya yang bersahaja"Ibu memaafkanmu nduk, biarpun mbah-mbah dulu bilang kalau kau berani menyakiti orang tua sampai seperti ini kau akan merasakan sakitnya melahirkan, tapi ibu memaafkanmu nduk"aku mengejan penuh kesakitan yang dalamrasanya dadaku mau pecah, perutku sakit sekali, semuanya sakit-sakit dimana-manadan air mataku berleleran antara sakit dan kesedihan yang mendalam luar biasamengingat tubuh tua itu terbaring terbungkus kain kafan putih setelah malamnya menangis karena aku membentaknya"maafkan aku ibu", jeritku entah keluar entah tidak suaranya. Jika sesakit ini yang harus kau tanggung untuk mengantarkanku ke dunia ini, jika sebesar ini pengrobananmu, maka aku adalah anak yang tak tahu diuntung.Ketika suara tangis bayi itu pecah dan kelegaan luar biasa meliputiku, aku mengucapkan sumpah dalam hati, setelah ini kalau nyawaku masih menempel di tubuhku, aku akan bersimpuh di pusara ibu, memohon ampun -END-
Published on November 09, 2012 01:20
November 4, 2012
Verna dan Hujan Part 2
Created on 03rd December 2010

Verna terbangun dengan kepala pening dan pandangan mata berkunang-kunang. Dicobanya memfokuskan pikirannya, memfokuskan pandangan matanya, dan dia sadar bahwa dia sudah berada di kamarnya sendiri, terbaring di atas ranjangnya. Pikirannya berputar..... Tadi dia bertemu dengan Tanza di depan pintu kostnya, lalu semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
"Tanza...?", dengan pelan setengah mengerang, Verna memanggil nama sahabatnya itu, ketika tidak ada sahutan, Verna mencoba bangkit dan duduk, tapi langsung terbaring lagi ketika rasa nyeri yang amat sangat menghantam kepalanya.
Saat itulah pintu kamarnya terbuka, dan Tanza masuk, sedikit basah karena hujan masih turun dengan derasnya di luar,
"Verna! Lo udah bangun?", Tanza berseru cemas melihat Verna yang setengah terduduk, lalu dengan tergesa-gesa melangkah menghampirinya, "gue tadi keluar bentar buat beliin lo obat, lo demam dan mengigau dalam tidur lo", dengan lembut Tanza meletakkan punggung tangannya di dahi Verna.
Verna langsung memejamkan matanya, tangan itu terasa sejuk di dahinya yang terasa panas membara, menenangkannya.
Tanza mendesah makin cemas merasakan dahi Verna yang panas, dia mengeluarkan obat yang dibawanya, mengambilkan air lalu mencoba menarik perhatian Verna yang terpejam, setengah tertidur lagi,
"Minum dulu obatnya Verna, ini penurun demamnya, setelah itu baru tidur", bisik Tanza lembut
Verna membuka matanya dan mengernyit, mencoba duduk tapi tak mampu karena nyeri itu menyerangnya lagi,
"Biar gue bantu", gumam Tanza lembut dan menyangga punggung Verna dengan hati-hati, lalu membantu Verna meminum obatnya, setelah itu membaringkan Verna dan menyelimutinya.
Hati Verna terasa hangat ketika tangan Tanza dengan lembut mengusap-usap dahinya, dengan lemah dipegangnya tangan Tanza,
"Terimakasih Tanza, maaf gue selalu ngrepotin lo"
Tanza tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
"Ssshh... Ga usah minta maaf, gue nggak pernah ngerasa direpotin kok"
"Tapi gue selalu...."
"Shhh...", dengan lembut Tanza menyela ungkapan apapun yang ingin diucapkan Verna, "Tidurlah, biarkan obatnya bekerja, jangan pikirkan apa-apa lagi"
Jangan pikirkan apa-apa lagi..... Suara Tanza itu bagaikan pengantar tidur yang mendamaikan, yang menenangkan. Dan Verna menurut, tidak memikirkan apa-apa lagi, tenggelam dalam kedamaian.
***
Verna membuka matanya ketika mendengar denting cangkir beradu, pagi sudah datang meskipun masih temaram, sinar matahari menembus redup dari sela-sela jendela.
Tanza sedang memunggunginya, mengaduk sesuatu di cangkir, mungkin kopi. Dan Verna memuaskan ketidaktahuan Tanza bahwa dia sudah terbangun dengan mengawasi Tanza sepuas-puasnya, sebebas-bebasnya,
Ah.... Entah sejak kapan dia menyayangi sahabatnya itu. Perasaan sayang itu datang begitu saja. Dan berbeda dengan perasaannya kepada Bayu, dengan Tanza, tidak ada rasa cinta yang menggebu dan penuh gairah. Dengan Tanza, Verna merasa cukup puas bisa diberi kesempatan menyayangi Tanza, itu saja.
Seolah menyadari Verna menatapnyan tiba- tiba saja Tanza membalikkan tubuhnya, dan mereka bertatapan,
Segera Verna mengalihkan pandangan matanya, sedikit merona menyadari dirinya ketahuan sedang mengamati Tanza.
Tanza melangkah mendekat, dan duduk di pinggir ranjang, membawa cangkir yang masih mengepul itu ke dekat Verna
"Teh?", tawarnya lembut, "demam lo udah turun tadi pagi, gue lega"
Verna mencoba duduk, pertama-tama hati-hati karena takut rasa nyeri menyerangnya, kemudian ketika dirasanya nyeri itu tidak datang, Verna duduk dengan mantap
Tanza menyodorkan cangkir teh itu dan Verna menerimanya, menyesap isinya yang manis dan menyegarkan,
Setelah itu Tanza meletakkan cangkir itu di meja samping ranjang dan menyentuh dahi Verna sekilas,
"udah turun", gumamnya kepada diri sendiri, "Gue lega kita nggak perlu ke rumah sakit", tiba- tiba matanya menatap tajam ke arah Verna, "kenapa lo hujan-hujanan dan nangis kemarin?"
Verna langsung mengalihkan wajahnyan tak tahan ditatap setajam itu,
"Gue nggak nangis"
"Lo nangis, dan lo hujan-hujanan kayak orang bego, padahal gue tau lo selalu bawa payung di tas", sela Tanza dengan nada suara setajam tatapannya,
Verna diam dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela, sepertinya pagi ini akan jadi pagi yang mendung...
"Ada apa Verna?", Tanza bertanya lagi, lembut tapi mendesak ketika Verna tetap saja tak berkata-kata.
Verna menarik napas panjang, berkali-kali sebelum ahkirnya mampu menjawab,
"Bayu", gumamnya pedih. Ya Tuhan, ternyata hatinya memang belum sembuh, menyebut namanya saja membuat hatinya terasa begitu sakit.
"Kenapa dengan Bayu?", kejar Tanza, tidak puas dengan jawaban singkat Verna.
"Bayu...", Verna menelan ludah, "Gue ketemu Bayu di toko buku, dia... Dia... Dia kacau Tanza, dia bilang dia nggak bisa ngelupain gue, ternyata... Dia.. Dia ngawasin gue diam-diam selama ini"
Tanza terpaku mendengar kata-kata Verna,
"Dia ngawasin lo diam-diam selama ini?", desisnya geram, "kurang ajar"
"Tanza", Verna mengernyit ke arah Tanza, "Kenapa lo marah? Bayu nggak salah"
"Nggak salah kata lo?", suara Tanza meninggi, "Dia sudah menetapkan pilihan, harusnya dia ngejalaninnya sepenuh hati, bukannya masih ngerecokin lo sama perasaannya!!"
"Dia menetapkan pilihan dengan terpaksa Tanza !! Apa lo pikir hatinya nggak sakit juga ?!"
"Kenapa lo terus ngebela dia?!", Tanza setengah berteriak, terbawa emosi, "Dia bahkan nggak punya nyali buat memilih lo !! Dia nggak memperjuangkan lo !!"
"Karena gue berada di posisi yang salah, lo harusnya ingat itu Tanza !!", Verna balas berteriak, "Gue yang salah !! Gue yang harusnya nggak ngeganggu hubungan mereka !! Dan gue juga yang memaksa Bayu supaya tetap bersama Nadia !!, dia juga sakit, dia juga tersiksa !!"
"Apa dia sesakit lo ?? Apa dia semenderita lo ??", sela Tanza marah, "Gue sedih ngeliat lo tau, ngeliat lo nangisin laki-laki yang bahkan nggak memilih lo, kalo gue..."
"Jangan !!", sela Verna panik, sudah tau apa yang akan dikatakan Tanza.
"Kalo gue, gue akan rela ninggalin Dania demi lo !!"
"Jangan Tanza !!", Verna setengah berteriak mendengar kata-kata Tanza. "Jangan katakan itu, gue mohon.."
"Kenapa lo nggak mau denger Verna?", Tanza bergumam sedih, "Lo takut gue akan ninggalin lo kayak Bayu? Gue nggak akan. Gue akan perjuangin lo kalo lo mau buka hati buat gue, gue cinta lo Ver !!"
"Nggak!! Lo nggak cinta gue !!"
"Gue cinta ama lo !! Sejak pertama gue denger suara tawa lo, gue langsung jatuh cinta!!"
"Lo nggak boleh jatuh cinta sama gue!!'
"Gue tahu, tapi mau gimana lagi ? Gue nggak bisa nahan perasaan gue, gue tau gue udah punya Dania, tapi hati gue milih lo Verna !!", dengan tegas Tanza menggenggam tangan Verna, "dan gue beda dengan Bayu, gue akan buktiin cinta gue, gue akan tinggalin Dania demi lo !"
"Tidak!!", seru Verna setengah menjerit, "Jangan Tanza !! Gue gak butuh bukti dari lo, gue gak butuh cinta dari lo!! Gue gak butuh apa-apa dari lo !!"
Tanza tertegun mendengar kata-kata Verna, lalu tersenyum miris,
"Ah... Ternyata sebegitu nggak berartinya gue buat lo...", dengan menyedihkan dia memalingkan wajahnya, "Gue pikir... Gue pikir kedekatan kita selama ini sedikit banyak udah bikin lo buka hati buat gue... Tapi ternyata... Ah, sudahlah..", tiba-tiba Tanza membalikkan tubuhnya, "Minum terus obatnya sampai habis, banyak istirahat, gue akan datang lagi buat ngecek kondisi lo"
Lalu dengan cepat Tanza melangkah keluar dari kamar, tidak membiarkan Verna mencegahnya, menunggalkan Verna sendirian dengan perasaan yang campur aduk.
Verna termenung dan air matanya mengalir, mendengar pernyataan cinta Tanza kemudian menolaknya, entah kenapa juga menyakitinya. Apakah tanpa sadar dia telah membuka hatinya buat Tanza? Meskipun dia masih mencintai Bayu?
***
Hujan turun dengan derasnya siang itu dan Verna duduk di bingkai jendela menatapnya, demamnya sudah turun, tetapi perasaannya terasa belum membaik.
Dengan bimbang Verna menimang-nimang handphone di tanggannya, menarik napas panjang, lalu bimbang lagi. Begitu terus sampai saat yang lama.
Lalu setelah tarikan napas panjang yang kesekian kali, Verna ahkirnya memejet nomor itu. Memejamkan mata dengan jantung berdegup liar ketika nada sambung terdengar.
"Verna ?", suara Bayu langsung terdengar, lelaki itu mengangkatnya pada dering pertama.
Verna memejamkan matanya, ah... Ternyata mendengar suara Bayu memanggil namanya masih menghangatkan hatinya begitu rupa.
"Gue pingin ketemu", gumam Verna dengan suara tertelan.
Hening sejenak, Bayu tampak kehabisan kata-kata di seberang sana,
"Lo yakin?", suara Bayu terdengar takjub, tak percaya, "Lo yakin pingin ketemu gue? Gue gak lagi mimpi kan?"
"Gue pingin ketemu", ulang Verna lagi, kali ini terdengar mantap,
"Kapan?"
"Malam ini"
"Gue akan ke kost lo", gumam Bayu segera, seolah takut Verna akan berubah pikiran.
"Jangan"
"Jangan? Lalu dimana kita ketemuan?"
Verna menyebut nama sebuah cafe di pinggiran kota, tempat dia dulu sering melewatkan waktu di saat-saat kebahagiaannya yang egois bersama Bayu.
"Oke, gue ga perlu jemput lo?"
"Gue berangkat sendiri aja"
"Jam 7 tepat gue ada di sana"
"Oke"
Hening lagi, lalu Bayu berdehem agak salah tingkah,
"Verna ?"
"Ya?"
"Gue...", Bayu tampak kesulitan menyusun kata-kata, "Gue seneng lo nelpon gue, gue seneng lo ngajak ketemuan... Rasanya... Rasanya seperti mimpi..."
Mau tak mau Verna tersenyum mendengar kata-kata Bayu yang diucapkan dengan penuh perasaan,
"Gue juga Bayu, gue juga...."
***
Café itu tampak temaram, dan Verna melangkah masuk dengan langkah pelan dan hati-hati. Déjà vu, perasaan yang sama ketika saat-saat yang lalu di pertemuan rahasia mereka Verna melangkah masuk dengan hati-hati dan penuh antisipasi, bedanya dulu dia selalu diliputi oleh kebahagiaan yang meluap-luap. Sekarang, yang meliputinya adalah kesedihan dan penerimaan akan kenyataan yang tak tergoyahkan, kenyataan yang sangat menyakitkan.
Dan Bayu ada di sana, di tempat duduk biasanya, dengan tatapan penuh cinta yang sama, kerinduan yang sama, ah… betapa inginnya Verna berlari dan memeluk lelaki itu, seperti yang selalu mereka lakukan dulu, mengawali pertemuan mereka dengan pelukan, dan mengahkirinya dengan pelukan pula.
Tetapi sekarang yang dilakukan Verna hanya berdiri dan menatap Bayu. Lelaki itu serentak juga berdiri begitu menyadari kedatangan Verna,
“Hai”, sapa Verna lembut.
Bayu tersenyum sedih mendengar sapaatn formal itu, lalu menarikkan kursi untuk Verna,
“Hai juga, duduklah”
Dengan patuh Verna duduk.
Sejenak suasana hening dan mereka hanya saling bertatapan, tak bisa berkata-kata.
“lo tampak pucat”, Bayu bergumam pelan, menatap wajah Verna dengan lembut dan penuh perhatian hingga tanpa sadar Verna mengernyit, tatapan itu, perhatian penuh ketulusan itu, betapa dia merindukannya.
“Gue kehujanan”
Bayu langsung tampak cemas,
“lo demam ?”, tanpa canggung lagi Bayu meraih jemari Verna, menggenggamnya, “Suhu tubuh lo hangat Verna !, seharusnya lo berbaring dan istirahat, atau setidaknya kalau lo pingin kita ketemuan, lo bisa nyuruh gue datang ke tempat lo, Gue kan bisa…”
“Bayu”, Verna bergumam lembut, mendiamkan lelaki itu, “Gue nggak apa-apa”
“Tapi lo demam”
“Hanya sedikit demam, Gue udah minum obat dan badan gue terasa enak”, dengan lembut Verna mengamati wajah Bayu, menelusurinya pelan-pelan, menyimpannya dalam ingatan. Ah, betapa ternyata dia merindukan lelaki ini, lelaki yang tak boleh dimilikinya, “Dan lo… lo tampak kurus”
Kata-kata itu membuat Bayu tersenyum pedih,
“Nggak bisa berhenti mikirin lo Verna, kau lo mau tau”
Sejenak suasana hening, dan pengakuan Bayu itu seakan menggantung di udara,
Verna menggerakkan tangannya dalam genggaman Bayu,
“Gue pingin bertindak egois malam ini”
Bayu langsung mengangkat kepalanya, menatap Verna dalam kebingungan,
“Maksud lo ?”
“Gue pingin milikin lo buat malam ini – kalau lo bersedia – hanya kita berdua, menghabiskan waktu bersama-sama, melupakan seluruh dunia, melupakan segala halangan yang ada di antara kita, berpura-pura bahwa kita memang ditakdirkan untuk bersama, berpura-pura bahwa kita saling memiliki”
‘Tapi kau lo memang milikin gue”, bantah Bayu pedih, “Lo milikin gue, Verna, seluruh gue, hati gue, semuanya milik lo, Gue milik lo Verna”
Verna menggelengkan kepalanya,
“Gue bisa milikin lo….. tapi gue nggak diizinkan buat milikin lo, itu adalah kenyataan yang harus gue tanggung seumur hidup gue, mencintai lo tapi nggak diizinkan milikin lo”, Dengan lembut Verna melepaskan genggaman tangan Bayu, lalu menyentuh pipi Bayu, “Tapi hanya malam ini gue pingin melanggar semua rasionalitas gue, gue pingin bersama lo dan melupakan seluruh dunia…….. apakah lo bersedia ?”
Dengan penuh keyakinan, Bayu merengkuh tangan Verna di pipinya, lalu mengarahkannya ke bibirnya, dan mengecupnya,
“Gue akan mengambil apapun yang bisa lo tawarin, sesedikit apapun itu…… bahkan jika memang hanya beberapa jam yang bisa lo luangin buat gue
***
Pantai itu cerah, dengan bintang-bintang yang bertebaran dengan kekontrasan yang menghiasi langit. Titik-titik putih yang berkelap kelip tersebar berserakan di langit yang hitam pekat. Angin bertiup dengan kuatnya diiringi suara deburan ombak yang begitu keras. Verna tertawa sepuasnya ketika Bayu mengejarnya dan berhasil menangkapnya, mereka berpelukan, napas terngah-engah karena habis berlari, dan mereka tertawa seperti orang gila bersama-sama,
“Benar-benar seperti kelinci, susah ditangkap”, Bayu bergumam dalam tawa, membenamkan wajahnya di buraian rambut Verna yang berserakan tertiup angin,
Verna tertawa keras-keras, hatinya bahagia sekali, dengan ceria dia merapikan rambutnya dan mendongak menatap Bayu yang memeluknya,
“Mungkin lo yang terlalu lambat? Mengingat usia lo yang udah separuh baya ?”, candanya
Kata-katanya membuat Bayu tertawa geli dan mencubit hidung Verna,
“Gue masih muda dan bersemangat, tadi Gue pura-pura pelan dan nggak bisa ngejar biar lo senang”
Verna mencibir dan langsung membuat Bayu tertawa keras. Mereka berpelukan lagi, dan ketika tawa dan canda itu usai, mereka masih berpelukan erat, memejamkan mata, menikmati intensitas perasaan yang dihasilkan dari sebuah pelukan, dari sebuah kedekatan antara dua anak manusia yang saling mencintai.
“Gue bahagia”, desah Bayu memejamkan matanya dan mengetatkan pelukannya, “terimakasih karena sudah bikin gue bahagia”
Verna hanya diam, tidak menanggapi perkataan Bayu dengan kata-kata, tetapi pelukannya yang makin mengetat di punggung Bayu menunjukkan intensitas perasaannya, Bahwa dia mengalami hal yang sama, bahwa dia mengalami kebahagiaan yang sama.
“Seandainya saja waktu berpihak pada kita”
“stttt…”, Verna mendongak dan meletakkan jemarinya di bibir Bayu, membuat kata-katanya terhenti, “Manusia tidak akan pernah maju jika dia menghabiskan waktunya dengan berandai-andai, kita harus menerima apa yang ada dan menjalaninya. Semua pasti terjadi karena ada makna di baliknya, pertemuan kita, cinta kita yang terlambat, pasti ada makna di baliknya”
“Dan apa maknanya, kalau gue boleh tau ?”, sela Bayu membantah, “Karena selama ini gue cuma bisa menyesali kenapa kita terlambat bertemu dan kenapa gue nggak bisa milikin lo”
Verna tersenyum ceria, mengecup pipi Bayu penuh sayang,
“Mungkin agar kita bisa belajar bagaimana mencintai tanpa keegoisan, bagaimana kita bisa mencintai tanpa dorongan posesif untuk memiliki. Hanya mencintai dan tidak ingin apa-apa lagi. Hanya ingin mencinta dan tidak membutuhkan yang lain lagi…”
“Verna…”, Bayu mengerang penuh kepedihan dan merengkuh lagi Verna ke dalam pelukannya, “Gue cinta lo, sangat ! dengan intensitas yang mungkin akan bikin lo lari ketakutan kalau lo bisa mengukurnya”
Verna tersenyum di dada Bayu, menikmati pernyataan cinta Bayu itu dengan bahagia,
“Dan gue juga cinta lo. Dulu gue sering meratapi lo Bayu, menangisi ketika harus menerima kenyataan bahwa kita nggak bisa bersatu, bahwa gue nggak akan bisa milikin lo, tapi sekarang gue disadarkan, kalo yang namanya cinta itu nggak usah pake persyaratan bahwa nantinya gue harus dimiliki atau memiliki. Yang penting gue mencintai lo, itu udah cukup, dan ternyata Tuhan baik sama gue, dia bikin lo juga mencintai gue. Itu udah cukup, meskipun pada ahkirnya nanti lo bukan jadi milik gue, gue tetep bahagia dan bisa senyum”
"Verna", Bayu mengerang lagi, lalu mengetatkan pelukannya, "Lo selalu bisa bikin gue tetap bersyukur bahkan di waktu gue merasa pedih sekalipun"
Verna tersenyum lembut dan menatap Bayu penuh sayang,
"Gue pingin setelah ini lo bener-bener ngelepasin gue dan memusatkan diri buat bahagia bersama Nadia"
Bayu memalingkan mukanya,
"Gue nggak bisa janji", jawabnya pahit, "saat gue harus mengikat komitmen sama Nadia, itulah saat kematian buat hati gue"
"Bayu, lo nggak boleh gitu, gue nggak mau lo sebut-sebut mati atau apalah itu, gue mau lo bahagia, hidup dan bahagia"
Bayu meraih tangan Verna dan mengecupnya lembut,
"Gue akan hidup, tubuh gue akan terus hidup, tapi hati gue sama aja udah mati, seluruh hati gue udah gue kasih ke lo"
Air mata menggenangi mata Verna ketika mendengar kata-kata Bayu, dia menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Kalau gitu, gue nggak mau terima hati lo! Gue nggak akan terima hati lo kalau itu sama aja bikin lo seperti mati"
Dengan lembut Bayu menangkup pipi Verna dengan kedua tangannya, lalu menundukkan kepalanya dan mengecup air mata Verna,
"Verna, hati itu, kalau yang dituju nggak mau menerimanya, dia akan melayang-layang di udara, nggak bisa kembali ke yang punya hati lagi, karena yang punya hati sudah memberikannya, sudah melepaskannya dengan ketulusan", Bayu menarik napas panjang, "Lagipula orang nggak punya hati, dia masih bisa melanjutkan hidupnya kok, dia masih bisa tertawa, dia masih bisa berbahagia....", Bayu tersenyum sambil menarik napas, "Dan dia masih punya nafsu... Untuk modal reproduksi", sambungnya setengah tertawa ketika Verna memelototinya. Tapi dia lalu berubah serius lagi dan menatap Verna dalam-dalam, "Dia cuma nggak bisa mencintai lagi, karena katanya cinta itu cuma berasal dari hati"
Sejenak hening, dan mereka cuma bertatapan dalam. Mencari makna dibawah tatapan mata mereka, mencari pemahaman dibalik duka mereka, lalu Verna tersenyum.
"Kalo gitu, gue akan terima hati lo, akan gue taruh di tempat yang aman di hati gue, jadi hati itu nggak akan terkatung-katung di udara lagi",
Bayu tersenyum dan mengecup dahi Verna,
"Terimakasih udah nerima hati gue, jaga baik-baik ya"
Verna melingkarkan lengannya di tubuh Bayu, dan memeluknya erat-erat, dihela angin pantai yang meniup rambutnya dan deburan ombak yang mengiringi keheningan mereka,
"Lo harus janji ke gue bahwa lo akan bahagia", desah Verna lembut,
"Gue akan bahagia, asal gue yakin kalo lo bahagia", jawab Bayu cepat
"Bahagia lo yang paling penting"
"Enggak, bahagia lo yang penting buat gue"
Verna membuka mulutnya untuk membantah, lalu menahan diri dan tertawa,
"Gue rasa kalo gue lanjutin, perdebatan ini nggak akan ada selesainya", gumamnya di sela tawa, lalu berjinjit dan mengecup pipi Bayu, "Kalau begitu kita harus berjanji kepada kita, bahwa kita akan bahagia, meskipun kita nggak berujung bersama, dan nggak akan pernah ada 'kita' untuk sekarang ataupun nanti"
Tangan Verna meraih jemari Bayu, lalu mengaitkan kelingkingnya,
"Janji ya?", tanyanya ketika Bayu hanya diam saja.
Bayu menatap Verna sendu dan membalas tautan kelingking Verna,
"Janji", jawabnya pelan.
Mereka terdiam, saling bertatapan dalam kediaman yang syahdu, lalu Bayu mengajak Verna duduk di pasir, dan merangkulnya, menatap ombak dalam kegelapan, menatap langit yang penuh bintang. Menikmati saat-saat berharga itu sepuasnya, saat berharga, yang mereka berdua tahu, tidak akan pernah terulang lagi di masa depan,
"Verna", Bayu bergumam serak
"Ya?"
"Gua sangat sangat sangat cinta sama lo", bisiknya penuh perasaan.
Verna memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di bahu Bayu,
"Dan gue juga, sangat sangat sangat cinta ama lo", desahnya pelan, tersapu angin, terbawa suara debur ombak, melayang bersama mimpi-mimpi mereka, mimpi dua anak manusia yang saling mencintai, yang hanya ingin diizinkan untuk mencinta dan dicinta
***
Hati Verna terasa ringan ketika melangkah pulang ke tempat kostnya, dia dan Bayu, berpisah pagi itu dengan kebahagiaan luar biasa. Kebahagiaan yang diiringi penerimaan, bahwa meski tidak bisa saling memiliki, mereka sudah diberikan anugerah karena bisa saling mencintai.
"Lepaskan gue seperti gue telah ngelepasin lo", bisik Verna di telinga Bayu dalam pelukan terahkir mereka sebelum Verna melangkah keluar dari mobil Bayu
Dan Verna sekarang benar-benar melepaskan Bayu, saat-saat berharganya bersama Bayu semalam telah menyadarkannya dan mengobati semua luka hatinya. Penerimaan darinya dan penerimaan dari Bayu benar-benar membuat hatinya bebas dan lepas. Dulu setiap mengingat Bayu dia selalu ingin meratap, selalu ingin menangis, selalu merasa bersalah, padahal tidak ada yang salah dengan dia mencintai Bayu, tidak ada yang salah dengan cinta, karena cinta nggak pernah salah. Sekarang, Verna bisa mengenang Bayu sambil tersenyum, tersenyum dan bersyukur karena Tuhan sudah memberikan kesempatan padanya untuk mencintai seseorang dengan begitu dalamnya,
Langkah Verna melambat ketika melihat sosok Tanza yang terduduk di bangku di teras kost-nya,
"Tanza ?", Verna menyapa hati-hati ketika melihat Tanza tampak melamun, tidak menyadari kehadirannya.
Lelaki itu mendongak, kaget, tampak tidak menyangka menemukan Verna berdiri di depannya. Kemudian secepat kilat dia bangkit berdiri dan meraih pundak Verna dengan kedua lengannya, merengkuhnya,
"Verna", serunya dalam kelegaan luar biasa, "Ya Tuhan !! Lo kemana aja ?!!"
Verna masih terpana, tak menyangka akan dipeluk seerat itu, jantung Tanza berdegup tak beraturan di pipinya yang menempel di dada lelaki itu, dan Tanza memeluknya begitu kuat, seakan ingin meremukkannya.
"Gue kesini semalam, lo nggak ada, hape lo mati, gue cari lo kemana-mana, nggak ada yang ngeliat lo, gue cemas setengah mati !", seru Tanza berkejaran, lalu dia meraih pundak Verna, menjauhkannya, sedikit menunduk agar matanya sejajar dengan Verna, lalu dia menatap Verna dalam-dalam, "Kemana aja lo ? Dan sebaiknya lo punya jawaban yang bagus karena lo udah bikin gue hampir gila mencemaskan lo"
Ditatap sedalam itu Verna menelan ludah dengan gugup, otaknya berputar, tidak mungkin kan dia mengatakan bahwa dia menghabiskan semalaman di pantai bersama Bayu ? Tanza akan marah besar mengingat betapa antipatinya lelaki itu kepada Bayu.
"Verna ?", Tanza mengernyit, tatapannya semakin tajam ketika Verna tak kunjung menjawab.
Dengan gugup Verna mencoba membalas tatapan mata Tanza,
“Gue pulang”, jawabnya cepat, berdoa semoga semalam Tanza tidak kepikiran untuk mencarinya ke rumah.
“Pulang ?”, dahi Tanza berkerut, “Tapi lo kan selalu menghindari pulang ke rumah, kenapa ?”
“Gue…. Eh… gue kangen sama mama”, Verna bersyukur karena dengan cepatnya dia bisa menemukan jawaban dengan cepat.
Tanza termenung, sejenak menatap wajah gugup Verna dengan curiga, tapi lalu menghela nafas,
“Oh… begitu, tapi kenapa ponsel lo sama sekali nggak bisa dihubungi ?”
“Ponsel gue ketinggalan di kost, mungkin sekarang mati karena baterainya habis”, Verna tidak bohong karena memang dia tanpa sengaja meninggalkan ponselnya di kamarnya, “Maafin gue Tanza, gue sama sekali nggak berfikir lo bakalan nyari gue”
Lagi-lagi Tanza menghela nafas kemudian menangkup wajah Verna dengan penuh sayang,
“Nggak nyari lo ?. gue kesini buat nengokin kondisi lo cuma buat nemuin kamar lo kosong, lo nggak ada dimana-mana, lo nggak bisa dihubungi, padahal gue tau lo masih sakit dan perasaan lo lagi nggak enak, lo tau gimana perasaan gue ketika mencoba nelp ponsel lo dan nggak nyambung? Pikiran-pikiran buruk langsung menyerang gue, tapi gue ngerasa nggak berdaya, lo tau rasanya? Rasanya kayak mau mati aja”, dengan pedih Tanza memejamkan matanya, “Gue sayang banget sama lo Verna, tolong jangan lakuin hal kayak gini lagi sama gue”
"Tapi kemarin lo marah... lo pergi..."
"Gue memang marah, tapi bukan berarti gue nggak mencemaskan lo Verna !", sela Tanza tegas
Tenggorokan Verna terasa tercekat karena rasa haru,
“Lo… nungguin disini semaleman?”
“Semalem gue kemana-mana buat nyariin lo, ke kampus, ke temen-temen lo, ke tempat-tempat yang biasa lo datengin, tapi hasilnya nihil, ahkirnya gue sampe di keputusan buat nungguin lo di kost-an, setidaknya gue bakalan tau kalo lo pulang….”
“Tanza, maafin gue”
Dengan lembut Tanza membelai rambut Verna,
“Nggak apa-apa Verna, yang penting lo pulang dengan selamat dan nggak apa-apa, itu yang penting”
Jawaban itu membuat Verna dengan spontan langsung memeluk Tanza, dan lelaki itu membalasnya dengan memeluknya lebih erat lagi,
“Gue nggak berencana buat menyayangi lo sejauh ini”, desahan Verna tenggelam di dada Tanza, “Tapi iya, Gue terlanjur menyayangi lo”
Pelukan Tanza makin erat, seakan mau meremukkannya,
“Dan gue menyayangi lo juga Verna, lebih dari yang lo tahu”
“Gue tahu, maafin gue, kemarin lo marah sama gue”
“Karena lo bilang nggak butuh cinta gue, itu nyakitin gue Verna”
“Maafin gue….”, Verna memejamkan matanya pedih, “Gue nggak tahu harus jawab apa tentang perasaan lo Tanza, ini sama kayak déjà vu, seolah gue mengulang kesalahan yang sama di masa lalu, semuanya sama persis, dengan kondisi yang sama…..”
“Gue beda sama Bayu”, jawab Tanza mantap, “Dan Dania bukan sodara kembar lo, beban lo nggak seberat itu kalo sama gue”
Verna menggeleng-gelengkan kepalanya dan mendongakkan kepalanya untuk menatap Tanza,
“Ini bukan masalah Dania sodara kembar gue atau bukan, gue memang nggak dekat dengan Dania, tapi sama saja, Dania juga perempuan, sama seperti Nadia, dan gue ngerasa berdosa, hati nurani gue menolak kalau gue lagi-lagi harus berada di posisi orang ketiga, merusak hubungan orang lain yang sudah terjalin dengan begitu kuatnya, gue nggak bisa Tanza, gue nggak mau lagi”
“Lo mikirin perasaan Dania, tapi apa lo nggak mikirin perasaan gue?”, sinar kepedihan muncul di mata Tanza, “Gue nggak bisa membohongi perasaan gue Verna, gue cinta sama lo, cinta ini lebih besar dari cinta yang pernah gue rasain sama siapapun, dan lo sama sekali nggak salah kalo gue jadi cinta sama lo dan mengkhianati Dania, gue yang salah di sini, tolong pertimbangkan perasaan gue, Verna”
Verna menggelengkan kepalanya,
“Maafkan gue Tanza. Gue nggak bisa, gue nggak mau jadi penyebab putusnya lo sama Dania”, dengan pelan Verna melepaskan diri dari pelukan Tanza, “Gue sayang sama lo, lo ada disaat gue ngerasa ancur, lo yang bantu gue, entah sejak kapan gue jadi terbiasa bersandar sama lo, entah sejak kapan gue ngerasa gue sayang banget sama lo, tapi…. Untuk memiliki lo dengan menghancurkan hati perempuan lain…”< Verna menggelengkan kepalanya, “Gue nggak bisa, maafin gue Tanza”
Dengan pelan, Verna membalikkan tubuhnya dan melangkah ke teras kostnya,
“Verna”, Tanza memanggil, masih berdiri di tempatnya semula, tidak mencoba mendekati Verna, “Gue akan putus dengan Dania, sama aja, itu sesuatu yang nggak bisa dicegah biarpun lo nggak mau nerima gue”
Verna memejamkan matanya sedih,
“Gue nggak bisa Tanza, maafin gue….gue nggak bisa….”, kemudian dengan cepat dia membuka pintu kamar kostnya dan menutupnya di depan muka Tanza.
***
“Verna”, suara panggilan itu membuat Verna menoleh mendadak dengan wajah pucat pasi,
Nadia berdiri di depannya, Nadia yang sama persis dengannya, versi feminim dan lebih cantik dari Verna,
“Nadia”
Nadia mengangguk, wajahnya datar. Saat itu mereka berada di kantin kampus Verna, suasana sangat ramai karena itu jam istirahat sehingga Nadia mengernyit,
“Bisa kita bicara di tempat lain ? kita perlu bicara”,
Tentang apa ? jantung Verna berdegup kencang, terasa sesak. Selama waktu-waktu pelariannya, menjauhi Nadia, menjauhi Bayu, menjauhi keluarganya, seperti yang Nadia minta padanya dulu, saudara kembarnya ini sama sekali tidak pernah repot-repot menghubunginya. Dan sekarang Nadia ada di sini, untuk apa ?
“Kita bisa ke café seberang kalo lo mau”, Verna melirik ke sebuah Café kecil di seberang kampusnya, Café itu kecil dan nyaman, dan yang penting cukup tenang untuk tempat mereka berbicara. Hujan mulai turun, rintik-rintik dan langit begitu mendung, begitu gelap.
“Oke”, Nadia mengangguk, lalu melangkah mendahuli Verna berjalan ke sana, menembus hujan rintik-rintik, Verna mengikutinya di belakang dengan pedih, mereka berjalan dalam diam, dalam kecanggungan. Oh Tuhan, rasanya Verna ingin menangis saja, dulu mereka begitu akrab, Nadia dan Verna, saudara kembar yang tak terpisahkan, mereka adalah satu yang menjadi dua, dua yang menjadi satu, satu hati, kembar identik yang sangat saling menyayangi, mereka tidak pernah berjalan bersama tanpa bergandengan, tanpa berangkulan, tanpa tertawa bersama, tetapi entah kenapa sekarang hubungan mereka menjadi begitu canggung dan dingin,
Salah gue, putus Verna sambil memejamkan matanya, Dia yang salah karena meletakkan hatinya pada orang yang salah, pada tempat yang salah, pada waktu yang salah. Dan sekarang dia harus menanggung konsekuensinya,
Mereka memilih tempat duduk agak di pojok, dan dengan elegan, setelah mengibaskan titik-titik air yang sedikit membasahi rambutnya, Nadia memesan menu makanan untuk mereka berdua, Nadia tidak perlu bertanya apa yang diinginkan Verna untuk dimakan, dia sudah tentu tahu.
Kemudian Nadia menatap Verna dalam-dalam, mereka duduk berhadapan, dua wajah yang sama persis, yang satu merupakan versi feminim dari yang lain,
“Gue rasa lo yang berhak tahu kabar ini pertama kali”, gumam Nadia tenang.
Sekali lagi, jantung Verna berdegup penuh antisipasi,
“Tentang apa ?”, matanya bertanya, ingin tahu sekaligus takut mendengar apapun yang akan diucapkan oleh Nadia,
Nadia menatap Verna lurus-lurus, dan kata-kata itu kemudian terucapkan dari bibirnya. Kata-kata yang menghancurkan Verna hingga menjadi serpihan-serpihan kecil, hancur lebur tak bersisa sama sekali,
“Gue mau percepat nikahan gue sama Bayu. Bulan depan”
***
Bersambung ke Part 3
Published on November 04, 2012 18:06
November 1, 2012
Revisi Cover Novel Edisi Cetak
Published on November 01, 2012 10:35
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
