Catatan Tentang Si Boy Part 2


"Boy, sini deh", aku membuka pintu ruanganku dan melambaikan tangan pada si Boy yang asyik menyapu di lobby kantor. Ruangan saat itu sepi, sudah jam setengah satu siang, pertengahan jam makan siang, jadi kebanyakan menghabiskan waktu istirahatnya dengan turun makan atau beristirahat sambil makan di ruang belakang ( pantry ) Si Boy dengan segera meletakkan sapunya sambil menghampiriku penuh dengan tatapan penuh tanya, "Ada apa ya bu ?", dia berdiri di ambang pintuku, satu tangan meremas tangan yang lain. gugup. Mungkin karena aku sama sekali nggak pernah memanggilnya. "Saya nitip makan ya" Matanya membelalak kaget, "Apa ? Ibu nitip makan ?", seperti biasa dia nggak pernah bisa menyembunyikan kebahagiaannya, wajahnya langsung berseri-seri senang, layaknya ajudan yang mendapatkan tugas penting dari sang presiden. Dengan sigap dia mengeluarkan kertas dan bolpoin yang selalu di bawa-bawanya. "Saya catat bu, mau pesen makan apa ?" "Nasi putih setengah, sama ayam goreng satu" Si Boy terperangah, tangannya yang hendak menulis terpaku, "Kenapa Boy ?", tanyaku kalem. Dia mengernyit dan dengan ragu-ragu bertanya, "Masak makannya begitu bu ? nggak pake sayur ?" Hmmmm rupanya masalah menu makananku yang aneh. Aku memang bukan penggemar sayur. Doyan. Tapi nggak begitu suka, dan sedapat mungkin menghindari memakannya, ha..ha....ha.... Mungkin bagi si Boy yang baru pertama kali mengetahui jenis makananku, terasa aneh. "Nggak usah Boy, gitu aja ya " Dengan murung si Boy memasukkan bolpoint dan kertas kembali ke sakunya, dia nggak jadi mencatat. Lalu setelah menerima uang dariku, dia pergi dengan wajah sedih. Kenapa lagi dia ? Aku penasaran dengan kemurungannya yang tiba-tiba, tapi kemudian aku kembali tenggelam dengan pekerjaanku dan lupa akan wajah sedih si Boy. Setengah jam kemudian si Boy datang, membawa piring dan sendok serta tas plastik hitam berisi titipan makananku, "Bu, ini uang kembaliannya. Nasinya tiga ribu, ayamnya lima ribu, jadi kembali dua ribu", dia meletakkan dua uang ribuan di mejaku. Lalu dengan sedikit ragu-ragu, dia meletakkan sebungkus plastik lagi di mejaku, dalam plastik itu berbentuk seperti gelas, "Apa ini ?", aku mengernyit karena nggak merasa pernah memesannya. Wajah si Boy langsung merah padam, "Itu bu.... itu juice alpukat", dia kelihatan takut-takut, "saya pikir kalau ibu nggak suka sayur, bisa diganti dengan jus buah- buahan, biar sehat bu.... ibu nggak usah bayar, itu tester, kan yang jualan teman saya, nanti kalau enak kan ibu bisa beli tiap hari", sambungnya gugup begitu melihat dahiku mengernyit. Tentu saja aku nggak percaya soal omong kosong tester itu. Mana mungkin ada pedagang yang memberikan tester satu porsi gratis ? Aku curiga bocah yang satu ini membelikannya untukku. Mungkin karena dia mencemaskanku yang nggak pernah makan sayur Pemikiran itu membuat hatiku terenyuh. "Berapa ? Saya bayar saja ya", pintaku lembut. Wajahnya langsung merah padam, "Nggak! nggak bu, itu tester kok ! gratis kok !", dia langsung mundur keluar dari ruanganku. "Eh bu, saya harus segera ke bawah, dipanggil bos", pamitnya dan setengah berlari buru-buru pergi meninggalkanku terperangah sendirian. Lama kemudian aku membuka bungkusan plastik berisi jus dalam gelas itu sambil geleng-geleng kepala. Penasaran, aku minum jus alpukat itu, Enak. Mau tak mau aku tersenyum, tersenyum atas perhatian seorang office boy pada perempuan yang nggak doyan makan sayuran, Ketika aku buka bungkusan makan siangku, aku dikejutkan sekali lagi, Isinya nasi setengah, ayam goreng pesananku......... plus tempe dan tahu goreng. Aku geleng-geleng kepala, Berapa dia habiskan uang demi membelikan makanan pengganti sayuran ini ? Uang itu mungkin bagiku nggak seberapa, tapi bagi dia uang itu pasti sangat berharga. Sekali lagi aku terenyuh, dadaku sesak oleh rasa terharu yang dalam. Sejak saat itu setiap pesan makanan aku selalu pesan jus, plus tempe tahu di menuku, biar dia nggak tombok uang lagi hanya demi menjagaku agar selalu memperoleh asupan gizi yang cukup.

"Aduh !", Dengan marah aku menatap gelasku yang terguling ke meja, untung tidak mengenai berkas-berkas yang bertebaran di sana. Tetapi isinya teh manis.... dan bisa dibayangkan betapa lengketnya meja yang dilapisi kaca itu. Seperti punya radar, si Boy sudah muncul disana, membawa lap basah dan cairan pembersih, dengan cekatan dia bersihkan genangan teh di mejaku. "Ibu saya perhatikan kok ceroboh banget ya", gumamnya sambil menahan senyum. Aku merona. memang aku sangat ceroboh, suka menumpahkan apapun di mejaku, pernah aku menumpahkan saos disana, pernah juga gula dan yang paling sering, teh manis, hahahahaha..... "Bawaan bayi kali ya Boy, saya nggak pernah melewatkan satu haripun tanpa menumpahkan sesuatu", dalihku. Dan si Boy tersenyum, "Ibu kok nggak punya tissue ya ", Rupanya dia memperhatikan juga bahwa tidak ada tissue di mejaku. Sebenarnya bukan hanya di meja, Aku memang tidak pernah menyediakan tissue di manapun. Tidak juga di rumah ( kecuali di toilet hahahaha ). Karena aku alergi tissue. Kertas tipis berwarna putih itu bisa menimbulkan rasa panas menyiksa di hidungku, serbuk lembut yang di hasilkan oleh kertas tissue itu bisa menyiksaku sampai satu hari penuh, hingga hidungku berwarna merah seperti badut. Tapi tentu saja si Boy tidak tahu tentang alergiku kan ? Suatu pagi, saat aku sudah melupakan insiden itu, aku menemukan segulung tissue yang masih tersegel di mejaku yang sudah tertata rapi. Aku mengernyit dan langsung tahu siapa pelakunya. Dan menilik dari merek tissue-nya, ini adalah tissue yang disediakan oleh perusahaan outsourcing kebersihan si Boy untuk persediaan tissue toilet ( hahahahaha... how ironic ) Ketika si Boy datang untuk menyapu dan mengepel ruanganku pagi itu, dia tersenyum malu-malu mendapati aku menatapnya dengan alis di angkat. "Eh.... anu... itu bu, buat jaga-jaga lap meja, kalau kebetulan saya pas nggak ada di sini. Saya cemas memikirkan ibu menumpahkan sesuatu pas saya nggak ada untuk membersihkan", gumamnya malu-malu, menjelaskan tanpa di minta. Ah, dasar si Boy, aku jadi nggak tega menjelaskan kalau aku ini alergi tissue
( setelah kejadian itu, aku selalu memasang tissue di mejaku, tidak pernah dipakai memang, tapi setidaknya si Boy tidak perlu mengambil persediaan perusahaan outsourcing yang sedianya untuk tissue toilet, demi aku, hehehehehe..... )

Aku melepaskan pandanganku dari layar komputer yang penuh dengan deretan angka-angka dan memejamkan mata. Kusandarkan tubuhku di kursi dan berdiam diri, sepertinya otakku ingin istirahat. Sudah satu jam aku berkutat dengan rekonsiliasi yang tidak ketemu di mana selisihnya. Saat itulah si Boy masuk dan mengelap jendela ( Biasanya jadwalnya adalah menyapu dan mengepel di pagi hari, lalu siangnya mengelap jendela dan sorenya menyapu lagi sambil mengambil sampah ) Iseng-iseng aku memulai percakapan dengannya, "Boy rumahnya jauh ya dari sini?" Tangan si Boy yang sibuk mengelap jendela terpaku sejenak, mungkin kaget karena aku tidak pernah mengajaknya ngobrol sebelumnya, "Iya bu ", dia menyebutkan sebuah daerah yang cukup jauh dan macet dipinggiran kota Bandung, "Kalau berangkat dari rumah jam berapa ?", tanyaku lagi, mulai ingin tahu. Buat seorang aku, yang selalu berangkat 15 menit sebelum jam kantor, lalu sampai di kantor sangat mepet, atau bahkan sering terlambat, pengalaman Boy cukup menarik untuk kuketahui. "Saya keluar dari rumah jam setengah lima pagi bu, naik motor", jawabnya malu-malu. Aku mengernyit, "Kok pagi banget berangkatnya ?", tak terbayangkan hawa dingin Bandung sepagi itu, apalagi sambil naik motor.... hiiiiiii aku merinding. "Kalau di Kantor sini, saya absen dan briefing jam tujuh bu, kan harus beres-beres semuanya dulu sebelum karyawan berdatangan, tapi saya harus berangkat pagi soalnya antar ibu saya dulu ke pasar" "Belanja?", selaku ingin tahu, "Bukan bu, ibu saya jualan nasi bungkus di pasar" "Ooooh", aku hanya mangut-mangut, tak bisa berkata-kata. "Kalau pulang macet dong ?" , sambungku lagi Si Boy tertawa, lalu menganggukkan kepalanya, "Kalau jam enam sore dari sini sih macet bu ke rumah, tapi saya kan pasti mampir ke situ", si Boy menyebutkan nama sebuah kampus swasta. "Hah ?? di situ ? kamu kuliah ?" Dengan malu-malu dan sedikit kebanggaan anak kecil si Boy menjawab, "Iya bu, saya ambil kuliah malam, bayarnya nyicil, nabung dari gaji saya" Sekali lagi, sebuah kenyataan tentang si Boy yang nggak pernah aku duga. "Ambil jurusan apa?", aku tak bisa menahan ingin tahuku. "Sastra Indonesia bu, saya pingin jadi guru bahasa indonesia", jawabnya jujur. Lalu dia bercerita tentang ayahnya yang meninggal sejak dia masih SMP, kemudian Boy bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah rumah makan sepulang sekolahnya untuk membiayai SMP dan SMU-nya, dia juga yang memodali ibunya untuk berjualan nasi di pasar untuk menambah pemasukan keluarga. Sekarang selain bisa membiayai kuliah, dia juga bisa membiayai adik perempuannya yang sekarang duduk di bangku SMU. "Saya pingin kami ini berpendidikan bu, biar kami bisa maju dan nggak selamanya menjadi orang yang dianggap bodoh. Bapak saya dulu cuma lulusan SD, cuma kuli pasar dan meninggal karena kelelahan. Saya nggak mau saya dan adik saya berahkir seperti itu", gumamnya mengahkiri ceritanya. Dan aku termenung, sedikit merasa malu. Betapa aku selama ini nggak menyadari bahwa aku begitu beruntung. Orangtuaku bisa membayari aku sekolah, aku bisa bebas belajar tanpa tanggungan mencari uang. Aku bisa menikmati masa-masa remajaku dengan bahagia. Saat membayar uang sekolah , ataupun kebutuhan sekolah yang lainnya, aku tinggal meminta. Tapi aku nggak pernah mensyukuri kelebihan itu. Aku menganggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang harus di syukuri. Dan aku semakin merasa malu ketika mengingat semuanya, keegoisanku, kemanjaanku. Aku malu dulu pernah merajuk kepada ayahku karena tidak dibelikan sepatu model terbaru seperti teman-teman kuliahku. Aku malu dulu pernah marah pada ibuku karena beliau melarangku membawa motor ke kampus, aku malu pernah mengomel pada orang tuaku karena mereka memilihkan aku kost yang sekamar dua orang, padahal aku ingin privacy sendirian.... dan masih banyak malu-maluku yang lain yang bermunculan dalam memoriku. membuat aku merasa sebagai manusia paling nggak punya syukur di dunia. Di siang yang panas ini, di sela-sela deadline yang mencekik, aku disadarkan oleh seorang Office Boy dengan kesederhanaan dan semangatnya dalam menjalani hidup. Betapa beruntungnya aku menjadi diriku yang sekarang...
Published on November 13, 2012 03:21
No comments have been added yet.
Santhy Agatha's Blog
- Santhy Agatha's profile
- 483 followers
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
