Santhy Agatha's Blog, page 17

January 22, 2013

Kuis Sweet Enemy Berhadiah Novel :)

KUIS CLOSED KARENA SUDAH JAM 12 : 00 YAH :)

saatnya aku baca-baca jawabannya dulu yaaaah  :)
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 1 Februari 2012
Plus bab di Sweet Enemy ( kira-kira bab berapa ya? hehehehe) yang akan mengungkapkan semua rahasia

Terimakasih atas partisipasinya yah all

Salam hangat dan peluk erat
Santhy Agatha


Dear All readers, setelah baca Sweet Enemy part 3 pasti pada bertanya-tanya, siapakah 'anak lelaki kecil' yang ada di dalam mimpi Keyna? Karena banyaknya yang bertanya, aku mau membuat kuis berhadiah. Hadiahnya kecil2an aja yah huhuhuhu maafkan aku yang tidak bermodal :p tapi semoga suka yah :) Hadiahnya 1 Hardcopy novel Unforgiven Hero + Tandatangan asli penulisnya,  untuk 1 pemenang dengan jawaban terbaik dan paling akurat
 Pertanyaan Kuisnya :  "Menurut kalian, siapakah anak lelaki kecil yang memeluk Keyna dalam mimpinya?"  Tulis jawaban kalian di kolom komentar pada postingan di blog ini
(kecuali yang ada kendala teknis ga bisa komen, boleh lewat mention di twitter yah tapi tentu saja kalau lewat twitter penjelasan alasannya terbatas. Ingat penilaian berdasarkan kelengkapan alasan dan keakuratannya dengan cerita aslinya yaa)  beserta alasan kalian dan jelaskan panjang lebar sesuai imaginasi kalian :) jawaban yang paling mendekati kebenaran-lah yang akan dipilih menjadi pemenangnya oh ya waktu menjawab, dimulai Hari ini selasa tanggal 22 Januari 2013 dimulai dari pukul 17:00 sore, dan ditutup besok hari Rabu tanggal 23 Januari 2013 pukul 12:00 siang Pemenang akan diumumkan pada tanggal 1 Februari 2013 dan hadiah akan langsung dikirimkan aku tunggu jawaban kalian yah :) *salam sayang dan peluk erat*  Santhy Agatha
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 22, 2013 01:56

Sweet Enemy Part 3

  Tidurnya begitu lelap. Davin menggumam dalam hati. Duduk di tepi ranjang dan mengamati Keyna. Dan dia nampak begitu polos, seperti anak kecil.  Lelaki itu lalu mengangkat alisnya dan mengalihkan pandangannya ke bagian bawah tubuhnya dengan kesal. Kalau memang baginya Keyna seperti anak kecil, kenapa dia bisa terangsang seperti ini? Davin menatap Keyna lagi dan menggeram kesal. Kesal pada dirinya sendiri.  Terlalu berbahaya berada di sini. Dia takut lupa diri dan menyerang Keyna dalam tidurnya. Lalu menyesalinya. Dengan hati-hati, dilepaskannya pegangan jemari Keyna di jemarinya, dan berdiri dari ranjang. Dia lalu membungkuk untuk menyelimuti Keyna. Wajah Keyna begitu dekat dengannya, napasnya berembus ringan dan teratur. Dan Davin tidak dapat menahan diri. Dikecupnya bibir Keyna lembut. Sebelum kemudian melangkah pergi, meninggalkan kamar itu, meninggalkan Keyna yang masih tertidur pulas. ***
 Setidaknya sudah tidak ada guntur..... Keyna terduduk dan menyadari selimutnya melorot ke pinggang. Dia meraih selimut itu dan menaikkannya lagi ke dadanya karena hawa dingin langsung menyengatnya. Selimut itu tadinya terpasang rapi di tubuhnya. Siapa yang telah menyelimutinya ketika tidur? Ingatan Keyna berputar, dan kemudian pipinya langsung terasa panas ketika mengingat kejadian kemarin malam, ketika dia menghambur ke dalam pelukan Davin tanpa malu.  Oh Ya Ampun! dengan begitu saja dia memeluk Davin Jonathan yang sangat angkuh dan terkenal galak itu - meski sekarang Davin tidak pernah bersikap buruk padanya, tetap saja imiage itu melekat pada pembawaannya - Dan anehnya, Davin tidak menolaknya. Dia sangat ingat bahwa Davin membalas pelukannya, menenangkannya, membawanya kembali ke ranjang dengan lembut dan menemaninya sampai dia tertidur..... Kenapa Davin begitu baik kepadanya? *** "Kau takut dengan petir?" Sefrina menatap Keyna sambil tersenyum geli, dia lalu menyesap cangkir cokelatnya berusaha menyembunyikan tawanya, "Keyna, hanya anak kecil yang takut dengan petir." "Yah, aku sebenarnya malu dengan ketakutan tidak wajarku itu." Keyna tersenyum sambil menatap perempuan cantik di depannya. Oh astaga, Sefrina memang benar-benar cantik. Kulitnya memang agak pucat, tetapi Sefrina pernah cerita bahwa dia menderita sakit yang lama sehingga harus terus di dalam rumah. "Sepertinya aku punya trauma masa lalu di waktu kecil." "Trauma apa?" Sefrina menyipitkan matanya dan meletakkan cangkirnya di meja. Mereka berdua sedang duduk di cafe kecil di sudut jalan, sebuah cafe elegan dengan gaya italia yang menyediakan kopi untuk mereka berdua. Sefrina ternyata penggemar kopi, katanya kopi bisa membuatnya lebih segar menghadapi hari. Karena itulah dia mengajak Keyna menemaninya siang ini. "Entahlah..." Keyna berusaha mengingat-ingat, "Aku dulu sering bermimpi. Hujan badai, petir, dan teriakan-teriakan keras ... aku bersembunyi di lemari ketakutan....", Keyna menarik napas karena usahanya mengingat itu membuat kepalanya sakit, "Aku tidak tahu apakah itu mimpi atau kenyataan. yang pasti aku selalu mengasosiasikan hujan petir dengan rasa takut yang amat sangat." "Mungkin kau harus mencoba hipnotis untuk mengembalikan ingatanmu." "Apa?" Sefrina terkekeh, "Aku pernah melihatnya di film, ada seseorang yang begitu takut akan darah, dia lupa kenapa, sesuatu terjadi di masa kecilnya tetapi dia tidak bisa mengingatnya, seolah-olah otaknya membentengi ingatan itu dan hanya menyisakan trauma. Dia datang ke ahli hipnotis dan alam bawah sadarnya dibimbing untuk mengingat semuanya. dan Hasilnya mengejutkan." Sefrina tersenyum misterius, "Mungkin kau harus mencobanya." "Mencoba menonton film itu ? atau mencoba datang ke ahli hipnotis?" Sefrina tertawa lagi, "Dasar. Tentu saja ke ahli hipnotis, siapa tahu kau seperti tokoh di film itu, otakmu memblok ingatanmu, dan kau punya hal mengejutkan yang kau lupakan." "Oh ya, mungkin aku harus mencobanya. Setidaknya aku tidak harus menahan malu lagi kalau bertemu dengan Davin nanti." Tatapan Keyna menerawang dan pipinya memanas lagi mengingat kejadian semalam. "Kenapa harus menahan malu kepada Davin?" "Karena semalam aku melemparkan diri ke dalam pelukannya karena ketakutan." Keyna mengusap pipinya, berusaha menghilangkan rasa panas di sana. "Tetapi setidaknya Davin berlaku baik padaku, dia menenangkanku dan menjagaku sampai aku tertidur. Mungkin itu ya rasanya memiliki seorang kakak lelaki." Ekspresi wajah Sefrina tak terbaca. Tetapi kemudian dia tersenyum lembut, "Iya Keyna, beruntung sekali dirimu."  ***  Keyna berjalan sendirian di trotoar, tadi Sefrina sudah dijemput supir pribadinya dan mengajak Keyna menumpang mobilnya, tetapi Keyna menolak karena sebelum pulang dia  ingin mengunjungi toko buku tua di sudut kota. Sekarang setelah berhasil membawa beberapa buku hasil buruannya, dia ingin segera pulang karena tanpa disadarinya, waktu sudah beranjak sore. Mama Davin, Nyonya Jonathan menyediakan supir dan mobil untuk mengantar jemput Keyna, tetapi Keyna menolak fasilitas itu dengan halus, selama ini Keyna selalu menggunakan bus untuk pulang dan dilanjutkan dengan jalan kaki. Keyna ingin segera sampai ke halte bus, dia tidak ingin ketinggalan bus, karena kalau sampai terlambat, dia harus menunggu bus berikutnya dua jam lagi. Itu berarti dia harus menunggu di halte sendirian sampai malam.  Tiba-tiba sebuah mobil berjalan lambat di sampingnya, semula Keyna tidak memperhatikan, tetapi ketika mobil itu semakin mengikutinya, Keyna menoleh dan menatap waspada. Mobil itu berwarna hitam legam, jenis mobil sport yang cukup bagus, dengan kacanya yang gelap. Apakah ini penculikan? Mobil itu mirip mobil mafia-mafia di film. Kadang Keyna kesal dengan imaginasinya sendiri yang membuatnya ketakutan. Lalu kaca mobil itu terbuka sebelum Keyna sempat panik lebih jauh. Yang ada di balik kemudi adalah Jason. Lelaki yang memainkan biola waktu itu. Keyna tak akan pernah lupa wajahnya. Langkahnya langsung terhenti. Jason ikut mematikan mobilnya dan tersenyum lembut, "Aku pikir aku tadi salah orang, ternyata kau benar-benar Keyna. Kenapa kau berjalan sendirian di sini Keyna?" "Aku... eh... aku sedang menuju halte bus." "Menuju halte bus? Memangnya tidak ada mobil dan supir yang menjemputmu?" Jason mengerutkan kening, tampak tidak suka dengan ide Keyna berjalan sendirian dan pulang dengan naik bus. Keyna tersenyum, "Bukan Jason, bukannya tidak ada, mama Jonathan menyediakannya untukku, tetapi aku menolaknya..... kupikir terlalu berlebihan kalau harus diantar jemput setiap hari." Jason mengangkat alisnya, "Tidak terlalu berlebihan, apalagi untuk seseorang yang sudah menjadi bagian dari keluarga Jonathan. Sangat berbahaya berjalan sendirian, karena banyak orang dengan pikiran negatif yang bisa saja memutuskan menculikmu demi uang." Kata-kata Jason membuat Keyna takut, dia menatap sekelilingnya dengan waspada, "Tetapi aku bukan bagian dari keluarga Jonathan...." gumamnya pelan, "Mereka tidak akan tertarik menculikku." Jason mengangkat bahunya, "Yah, siapa tahu. Banyak orang putus asa dan nekad di dunia ini." Lelaki itu membuka pintu mobilnya, "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."  Sejenak Keyna berdiri ragu. Dia teringat akan kata-kata Davin kemarin kepadanya, kalau dia harus berhati-hati dan jangan terlalu dekat kepada Jason, karena Jason adalah penghancur perempuan dan membenci perempuan. Tetapi dilihat dari manapun, dia pasti bukanlah tipe yang diincar oleh lelaki sekelas Jason, jadi tidak mungkin dia dijadikan target oleh lelaki itu. Lagipula Jason tampak baik dan tulus kepadanya, tidak apa-apa mungkin kalau dia ikut lelaki itu. Setelah menghela nafas ragu untuk terakhir kalinya. Keyna melangkah masuk ke mobil Jason. ***  "Kau duduk dengan begitu tegang. Tenanglah Keyna, aku tidak akan memakanmu." Jason akhirnya bergumam dengan geli setelah beberapa lama mereka berdua dalam keheningan. Keyna merasa begitu malu, apakah ketegangannya sangat terbaca? Dia dipenuhi kekhawatiran akibat peringatan Davin kemarin, padahal Jason sepertinya benar-benar berniat baik kepadanya. "Maafkan aku." gumam Keyna pelan, mengalihkan pandangannya ke arah jendela luar. Langit malam sudah makin menggelap, dan kemacetan di jalan raya membuatnya semakin terlambat pulang. Ponselnya mati karena kehabisan baterai dan dia tidak bisa menghubungi mansion. Tetapi sepertinya mansion juga tidak akan menunggunya pulang. Nyonya Jonathan sedang berada di luar negeri dan Keyna yakin Kevin sedang sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memikirkan kepulangan Keyna. "Aku mengerti kok. Suasana memang terasa canggung karena kita belum begitu kenal." Jason terkekeh, "Dan mungkin kau mendengar tentang reputasi jelekku. Reputasiku memang jelek kepada beberapa perempuan, tetapi sepertinya berlebihan kalau aku dikatakan suka membuat patah hati perempuan. Aku menjalin hubungan dengan beberapa perempuan dan tidak berhasil. Itu saja." Perkataan Jason itu seolah menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Keyna, meskipun Keyna bertanya-tanya dalam hatinya, Jason sahabat Davin bukan? Kalau begitu kenapa Davin memperingatkannya tentang Jason? Bukankah para sahabat biasanya saling mendukung? "Aku tidak mempertanyakan reputasimu." Keyna bergumam pelan, "Aku juga tidak takut kepadamu. Aku hanya cemas karena pulang terlambat." "Pulang terlambat bersamaku." Jason tertawa geli, "Mari kita lihat bagaimana reaksi Davin." Davin tidak akan peduli, gumam Keyna dalam hati. Lagipula kenapa Davin harus peduli? *** Sepertinya Davin memang peduli. Itu yang ada di benak Keyna ketika melangkah turun dari mobil Jason dan menemukan  Davin bersandar di pilar teras mansion itu. Gaya tubuhnya tampak santai, tetapi tidak bisa menipu. Tatapannya terasa membakar. Lelaki itu marah. Batin Keyna dalam hati. "Darimana saja kau Keyna?" suara Davin berdesis lirih. "Dan kenapa ponselmu mati?" Keyna menatap Davin penuh rasa bersalah, lelaki itu memperlakukannya seperti ayah memarahi anaknya yang masih kecil. Keyna bukan anak kecil lagi bukan? Seharusnya Davin tidak memperlakukannya seperti itu. "Aku... tadi pulang kuliah aku bersama Sefrina, lalu aku mampir ke toko buku di sudut kota sampai lupa waktu.... aku.. aku terlambat pulang jadi..." "Dan bagaimana kau bisa pulang bersama Jason?" Davin mengangkat alisnya mengamati Jason yang menyusul dengan tanpa rasa bersalah di belakang Keyna. "Eh... aku bertemu Jason di..." "Sudahlah Davin. Keyna tidak harus diintimidasi seperti itu. Tadi aku kebetulan berpapasan di jalan dengannya, jadi aku menawarkan untuk mengantarnya pulang karena hari sudah malam. Itu saja." Tatapan Davin tampak tajam kepada Jason, "Di antara sejuta kesempatan setiap detiknya, dan kau kebetulan  bertemu Keyna?" Jason mengangkat bahunya, "Mau bagaimana lagi? memang begitu kejadiannya. Ya kan Keyna?" Keyna menatap Davin dan Jason berganti-ganti dengan gugup, lalu menganggukkan kepalanya.  "Ya... memang begitu kejadiannya." Davin menghela napas kesal, "Lain kali kalau kau pulang terlambat, telepon aku. Mengerti?" Keyna sebenarnya ingin membantah. Davin tampak begitu arogan dan memaksakan kehendaknya, dan Keyna tidak suka diperlakukan seperti itu, Tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Lelaki di depannya ini tampak begitu marah, entah kenapa. Seakan-akan sudah siap meledak kalau dipancing. Keyna pikir lebih baik dia diam dan membirkan Davin mereda dengan sendirinya. "Mengerti, Keyna?" "Mengerti Davin." Jawab Keyna datar kemudian setengah terpaksa. Davin tentu saja mengetahui nada terpaksa itu, tetapi dia tidak mempedulikannya. ***  "Jangan dia Jason." Davin membanting tubuhnya di sofa dan menyesap minuman di gelas kristal bening yang dipegangnya, dia tampak begitu frustrasi. Jason yang sedari tadi duduk sambil membaca buku di sofa seberangnya mengangkat kepalanya,  "Apa?" "Jangan. Jangan Keyna." Jason terkekeh dan meletakkan buku di tangannya, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku sedang mengincarnya?" "Tatapanmu. Kau tidak melepaskannya dari pandanganmu." Jason mengusap rambutnya pelan dan menatap Davin penuh spekulasi, "Lalu kenapa kau melarangku?" "Karena," Davin menghela nafasnya frustrasi. "Karena aku sudah berjanji akan menjaganya. Dia adalah satu-satunya gadis yang tak akan kubiarkan untuk kau hancurkan." "Kalau aku tidak mempedulikan peringatanmu?" nada suara Jason tampak tenang dan tidak terpengaruh oleh tatapan Davin yang menajam, seolah ingin membunuhnya. "Maka kau akan berhadapan denganku." Jason tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.  "Kenapa kau ini Davin, sebelumnya kau tidak peduli dengan sepak terjangku dengan siapapun. Dan tentang Keyna, dulu kau membencinya dan ingin mengusirnya. Lalu tiba-tiba saja kau membawanya kembali ke rumah ini dan bertingkah seperti malaikat penjaganya." "Sebenarnya itu bukan urusanmu." "Ah ya." Jason tersenyum santai, "Itu memang bukan urusanku.... tetapi setidaknya bisa menjadi pertimbanganku untuk tidak mengincar Keyna." "Dia bukan tipemu." "Aku tidak punya tipe khusus. Kau sudah berteman denganku sejak lama, kau pasti tahu kalau aku tidak pilih-pilih." Davin mengacak rambutnya kesal, "Kau sahabatku. Dan aku tidak suka harus bertentangan denganmu. Tetapi Keyna adalah pengecualian. Kau tidak boleh mengganggunya, kau dengar itu? Dan kalau kau bertanya-tanya kenapa, itu adalah karena aku punya hutang yang sangat besar kepadanya." "Hutang?" Jason mengerutkan keningnya, ekspresinya tidak lagi bercanda. "Bagaimana mungkin seorang Davin Jonathan mempunya hutang kepada gadis biasa seperti Keyna?" "Bukan hutang uang. Aku berhutang nyawa kepada Keyna, ah bukan.... kepada ayah Keyna." "Apa maksudmu?" "Kau seorang pemain biola profesional, mungkin kau pernah mendengar namanya, Robert Samuel? itu nama panggungnya dulu kalau tidak salah." Jason mengetuk-ngetukkan jemarinya, tampak berfikir, "Ah, ya... aku ingat...Robert Samuel adalah pemain biola yang sangat hebat dulu, Guru-guru musik kami menyebutnya jenius. Terakhir dia menerima tawaran yang sangat menarik di Austria. Tetapi entah kenapa ternyata dia batal mengambil tawaran itu lalu menghilang begitu saja. Sejak itu dia tak pernah muncul seolah-olah ditelan bumi." Jason terkekeh, "Guru biolaku adalah salah satu penggemarnya, dia selalu mengulang-ngulang kisah tentang Robert Samuel yang jenius dan betapa sayangnya karena dia menghilang. Sebuah kehilangan besar di dunia musik klasik, katanya." "Dia menghilang karena dia tidak bisa bermain biola lagi."  "Apa? Kenapa kabar itu tidak pernah terdengar?" Jason menatap Davin tajam, "Dan darimana kau tahu?"  "Karena aku yang menyebabkan dia tidak bisa bermain biola lagi. Lelaki itu menyelamatkanku dari penculikan waktu aku masih kecil, dan melukai tangannya. Luka itu mengenai saraf pentingnya dan dia tidak bisa bermain biola lagi." Davin mengatupkan kedua jemarinya di bawah dagu, "Dan dia mempunyai seorang puteri." Jason mengamati ekspresi Davin lalu wajahnya memucat ketika menemukan kebenaran di depannya, "Keyna....? Apakah maksudmu, putri dari Robert Samuel adalah Keyna?" "Ya." Kevin mendesah, "Orangtuaku berusaha mencari-cari Robert, dan mereka menemukannya memiliki seorang putri, hidup dalam kemiskinan. Putri dari Robert Samuel adalah Keyna." Davin menatap Jason letih, "Sekarang kau tahu kenapa aku harus menjaga Keyna." Jason menatap Davin dalam-dalam, "Dan apakah Keyna tahu kisah ini?" "Tidak." Davin mengangkat bahu. "Aku tidak ingin dia tahu. Mama sudah ingin memberitahu Keyna, tetapi aku melarangnya." "Kenapa?" Karena dia pasti akan langsung membenciku. Itulah yang dipikirkan Davin pertama kali. Tetapi dia menatap Jason dengan pandangan tanpa ekspresi. "Karena aku ingin menjaga supaya hubungan kami tetap seperti ini. Aku akan menjaganya dengan sepantasnya. Kau tahu, bisa saja begitu Keyna mengetahui bahwa kami mempunyai hutang budi kepadanya, Dia akan meminta lebih dan memanfaatkan kekayaan kami. Yah, aku tidak menuduh Keyna mata duitan. Tetapi hati orang siapa yang tahu?" Davin merasa mulutnya pahit mengucapkan kebohongan dan penghinaan kepada Keyna. Tetapi di tahannya perasaannya. Jason tidak boleh tahu kalau Davin sangat takut dibenci oleh Keyna. Jason menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa, "Well, tidak kupungkiri, kisahmu ini sangat mengejutkan." Dia memasang ekspresi kosongnya yang biasa. "Jangan khawatir kawan, kisahmu ini sudah pasti membuatku mengurungkan niat untuk merayu Keyna. Kau tidak usah khawatir." ***  Mimpi itu datang lagi. Keyna tahu kalau dia sedang bermimpi. Teriakan-teriakan keras, pertengkaran dan adu mulut panas terdengar di luar kamar, diselingi dengan hujan badai dan kilatan petir lengkap dengan suara guntur yang memekakkan telinga. Membuat Keyna merasa sangat ketakutan, dia masih kecil di mimpi itu, mungkin empat tahun, duduk di lantai sambil menutupi telinganya, memejamkan matanya. Mencoba tidak mendengarkan teriakan-teriakan itu Siapa yang berteriak-teriak itu? Kenapa? dimana ayahnya?   Lalu sebuah tangan meraihnya, lembut. Keyna kecil tersentak dan berseru ketakutan. "Sttt... jangan takut ini aku." Keyna kecil mengenail aroma itu, aroma menenangkan yang sangat akrab. Dan suara itu juga terdengar akrab. "Mereka akan berhenti bertengkar nanti. Sini biar kupeluk dirimu dan kunyanyikan lagu untukmu." Yang memeluknya adalah seorang anak lelaki. Lebih tua darinya. Tidak dikenalnya tetapi terasa akrab. Akrab tetapi dia tidak dapat mengingatnya. Kenapa dia tidak dapat mengingatnya? Anak lelaki itu bernyanyi, suaranya terdengar lembut. Dia bernyanyi untuk mengalihkan perhatian Keyna dari suara petir yang menggelegar di luar, mengalihkan Keyna dari suara teriakan-teriakan pertengkaran di luar  Lambat laun Keyna hanya mendengarkan suara nyanyian anak lelaki kecil itu. Tidak ada lagi suara guntur, tidak ada lagi suara teriakan pertengkaran. Kamar itu terasa begitu damai..... Hanya ada Keyna dan anak lelaki kecil itu... .......  Keyna terbangun kemudian, dengan tubuh basah kuyup dan napas terengah-engah. Mimpi itu sudah lama tidak datang. Dan sekarang datang lagi menghantuinya. Mimpi yang sama, kamar yang sama, anak lelaki yang sama.... Kenapa? *** Bersambung ke Part 4 Oneshoot : http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/sweet-enemy-special-one-shoot-by-request.html Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/sweet-enemy-part-1.htmlBaca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/sweet-enemy-part-2.html 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 22, 2013 00:41

January 17, 2013

Sweet Enemy Part 2

  Keadaan makin buruk ya." Sefrina duduk di sebelah Keyna di kelas sambil menatap ke sekeliling, beberapa orang tampak langsung berbisik-bisik melihat Sefrina mendekati Keyna. Keyna menoleh ke arah Sefrina dan tersenyum sedih, "Maafkan aku." "Tidak perlu minta maaf." Sefrina terkekeh, "Pendapat orang-orang yang picik dan dangkal sama sekali tidak mempengaruhiku. Aku senang dengan yang kulakukan, lagipula aku dulu sama sepertimu, tidak punya teman." Keyna menoleh ke arah Sefrina dan menatap dengan tertarik, "Benarkah?" Mana mungkin orang secantik Sefrina dan tampak jelas dari keluarga berkelas pula bisa merasakan tidak punya teman? "Aku dulu sering sakit-sakitan dan tinggal kelas. Pada akhirnya aku harus diam di dalam rumah dan menjalani perawatan." Mata Sefrian menerawang jauh, "Dan kemudian teman-temanku hanyalah para dokter dan perawat dan hilir mudik." 'Kau sakit apa?" "Bukan sakit yang penting." Sefrina memalingkan muka dan menatap buku di tangannya, "Sekarang aku sudah sembuh, dan aku masih tidak suka membicarakannya." Lalu perempuan itu menatap Keyna dengan mata bulatnya yang begitu bening, "Maafkan ya." Keyna langsung luluh dan tersenyum pengertian pada Sefrina, "Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah sembuh." "Ya. Aku senang bisa berteman denganmu Keyna." jawab Sefrina, setengah berbisik. ***
"Kau sedang apa?" Davin tiba-tiba saja muncul di dapur dan mendapati Keyna sedang memanaskan sesuatu dan mengaduk-ngaduknya di panci, lelaki itu tampak tertarik dan melangkah memasuki dapur, mendekat ke arah kompor, kemudian mengernyit, "Apa itu?" Keyna menoleh dan menatap Davin dengan malu, dia tidak menyangka akan dipergoki Davin di dapur selarut ini. "Ini biji vanila yang direbus bersama susu putih cair." "Untuk minuman?" "Ya." Keyna mengalihkan pandangan ke panci, airnya belum mendidih tetapi sudah tampak makin menghangat, Keyna harus mengaduknya karena kalau sampai airnya mendidih dan tidak diaduk busanya akan naik dan tumpah dari panci, "Aku biasa meminumnya kalau sedang tidak bisa tidur." "Kau bisa meminta pelayan membuatkannya untukmu." "Tidak." Keyna bergumam, "Ini sudah jam sebelas malam, mereka semua sudah beristirahat, aku tidak mau merepotkan." "Keyna." suara Davin berubah tajam, khas dikeluarkannya ketika dia merasa jengkel kepada Keyna, "Para pelayan di mansion ini dibayar untuk melayani majikannya. Dan kau adalah anggota keluarga ini, salah satu majikan mereka." "Ya... aku tahu... hanya saja aku tidak ingin mengganggu orang-orang yang sudah beristirahat malam." Davin menggeleng-gelengkan kepalanya atas sikap keras kepala Keyna. Dia melangkah, duduk di kursi kayu di depan meja kayu besar yang ada di dapur itu. susu itu sudah mengeluarkan aroma harum yang khas, aroma wangi vanila dan gurihnya susu menguar, memenuhi ruangan. "Kau bilang tadi kau tidak bisa tidur? Kenapa?" Kenapa Davin tidak pergi saja dan membiarkan Keyna memasak susu vanila hangatnya dengan tenang? Keyna membatin dalam hati. Tetapi kemudian menghela napas dan menjawab. "Kadang-kadang aku memang susah tidur, terjadi begitu saja. Tidak bisa dijelaskan kenapa." "Hmmm." Davin menaruh tanganya di meja, "Karena banyak masalah di kampus?" "Kenapa kau bilang begitu?" Susu di panci sudah mendidih dan Keyna mematikan kompor. Ketika akan menuang ke mug, dia menyadari bahwa isinya cukup banyak. "Mau?" tanyanya menawarkan ke Davin. "Mau. Kebetulan aku juga sedang susah tidur." Lelaki itu menjawab sambil tersenyum. Senyum tulus yang sangat jarang muncul di wajahnya yang angkuh itu. "Karena aku mendengar selain si Sefrina itu, tidak ada yang mau berteman denganmu." "Itu tidak masalah, aku kuliah bukan untuk berteman, tetapi menyelesaikan pendidikanku sehingga aku bisa segera mencari pekerjaan." Keyna menuang susu vanila itu ke dua mug, menyaring isinya supaya biji vanila tidak ikut masuk ke dalam mug.  satu untuknya dan satu untuk Davin. Dia lalu meletakkan mug itu di depan Davin. Lelaki itu langsung meraihnya dan menghirup aromanya, belum bisa mencicipinya karena masih panas sekali. "Duduklah." Davin menatap Keyna tak terbantahkan, meskipun sebenarnya Keyna sangat ingin kembali ke kamarnya sendirian, dia akhirnya duduk di kursi kayu itu, di depan Davin. "Dari kata-katamu, sepertinya kau ingin segera mencari pekerjaan." "Ya. Supaya aku bisa hidup mandiri dan tidak merepotkan Nyonya Jonathan lagi." Keyna tersenyum tipis, "Aku tahu kalau mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan Nyonya Jonathan kepadaku tidak mungkin, tetapi setidaknya aku ingin membalas budi, dengan uangku sendiri." "Tetapi kau bagian dari keluarga ini, menurutku." Davin menatap Keyna dan bertanya-tanya, apakah Keyna tidak tahu bahwa ayah Keyna-lah yang menyelamatkan Davin di waktu kecil? mengorbankan tangannya, mengorbankan keahliannya, dan mengorbankan masa depannya? Kalau memang benar Keyna tidak tahu, bagaimana kalau Keyna tahu nantinya? Akankah dia membenci Davin? Karena kalau Robert, ayah Keyna itu tidak menyelamatkan Davin, dia mungkin akan menjadi pemain biola yang sangat tersohor dan Keyna pasti hidup layak, tidak seperti yang dialaminya. "Lagipula sepertinya mama tidak mengharapkan pengembalian darimu, dia cukup puas kalau kau mencapai nilai tertinggi, seperti biasanya." Keyna tertawa pelan. "Ya. aku akan berusaha untuk poin nilai tertinggi itu. " Keyna mengamati Davin. Lelaki ini sungguh tampan, sekaligus terasa jauh, tak tersentuh, Keyna bahkan kadangkala merasa begitu canggung kepada lelaki itu, meskipun mereka tinggal serumah dan Davin melaksanakan janjinya untuk tidak mengganggu Keyna. Ngomong-ngomong... apa yang membuat Davin berubah pikiran secepat itu? Dari membencinya lalu berubah menerima kehadirannya di rumah ini? Bahkan lelaki itu sendiri yang menjemputnya. Apakah penyebabnya hanya karena penyesalan? Keyna sudah lama bertanya-tanya, tetapi tentu saja dia tidak berani menanyakannya langsung kepada Davin. Mereka duduk berhadap-hadapan dalam keheningan, di ruang dapur yang temaram itu. Keyna meniup susunya dan menikmati aroma vanilla segar yang menyeruak, membuatnya santai. "Ayahku dulu sering membuatkanku minuman ini di malam hari sepulang kerja. Aku akan meminumnya kemudian tertidur nyenyak dengan santai." Keyna menyesap minumannya dan tersenyum kepada Davin. Lelaki itu entah kenapa membalas senyumannya, lalu ikut meniup minuman di mugnya untuk kemudian mencicipinya. "Enak." suara Davin berubah serak, "Aku rasa aku akan tidur nyenyak juga malam ini." ***  Davin memarkir mobilnya di pelataran kampus. Kedatangannya di kampus Keyna ternyata memang mencolok. Beberapa orang tampak berkerumun dan mulai menatapnya dengan tertarik. Beberapa perempuan tampak tak malu-malu melemparkan tatapan mata memuja. Davin sudah terbiasa menerima tatapan semacam itu, dari tatapan kagum, tatapan iri, tatapan memuja dan banyak lain jenisnya. Dia sudah belajar untuk tidak mempedulikannya. Dengan tenang dia melangkah melalui pintu kaca besar di gedung kampus itu dan melangkah menuju hall depannya.  Kedatangannya rupanya sudah menyebar dengan cepat, karena salah satu petinggi kampus tampak turun dari tangga dan menyambutnya. Pengaruh mama Devin memang besar di kampus ini. Karena mama Devin adalah pemilik kampus swasta paling megah di kota ini. Meskipun itu tak menghentikan mereka membenci anak angkat mama. Batin Davin, mencibir dalam hati. "Tuan Davin, kenapa anda tidak mengabarkan  kedatangan anda sebelumnya?" Petinggi kampus itu menyambutnya dan menyalaminya. Davin menyambut uluran tangan itu dan tersenyum, "Saya bukan dalam kunjungan resmi menemani mama saya. Saya hanya kebetulan lewat dan sekalian mampir untuk menjemput adik saya." "Adik anda?" petinggi kampus itu mengerutkan keningnya, "Maksud anda, Keyna?"  "Yah. Siapa lagi." Davin melirik beberapa orang yang tampak begitu tertarik, menguping percakapannya dengan sang petinggi kampus ini. "Terimakasih atas sambutan anda, sekarang saya akan mencari adik saya dulu." "Eh... Apakah anda ingin duduk dan masuk di ruang tamu atas dulu, tuan Davin?" "Tidak. Mungkin lain kali." Davin menganggukkan kepalanya dan melangkah meninggalkan petinggi kampus itu. Dia menelusuri koridor demi koridor berlantai marmer itu dengan tenang. Seluruh bagian dari kampus ini sudah sangat dihafalnya, karena dulu dia juga bersekolah di sini sebelum melanjutkan magisternya di England. Dia melangkah menuju kelas Keyna, seharusnya, kalau Keyna belum pulang, dia ada di sana. Davin rupanya tidak salah. Dia menemukan Keyna sedang duduk di salah satu sudut kelas, sendirian dan membaca buku yang tampaknya sangat menarik baginya karena dia seperti larut di dalamnya, tak peduli dengan dunia luar. Rupanya perkuliahan sudah selesai dan sekarang para mahasiswa sedang berdiskusi santai sebelum pulang. Davin melangkah mendekat dan begitu orang-orang menyadari dia datang, suasana langsung berubah. Semua menatap ke arahnya, tetapi Davin tidak peduli, "Keyna." panggilnya lembut.  Keyna yang sedang menunduk mengangkat kepalanya, menatap ke arah Davin, lalu matanya membelalak, kaget. "Kenapa kau di sini?" suaranya setengah berbisik, setengah tercekik. "Menjemputmu. Aku kebetulan lewat." Keyna menoleh ke arah sekeliling. Davin benar-benar membuktikan kata-katanya. Dengan kedatangannya ke sini, terang-terangan menjemput Keyna, dia benar-benar ingin menunjukkan bahwa Keyna adalah bagian dari keluarga Jonathan yang harus dihormati, Davin terang-terangan menunjukkan bahwa Keyna harus diperlakukan sama seperti ketika mereka semua menghormati keluarga Jonathan. Semua orang memandang ke arah mereka. Dan ketika Keyna menatap orang-orang itu, semuanya mengalihkan pandangan. Tidak berani balas menatap. Well, ternyata kehadiran Davin cukup mengintimidasi di sini. "Aku tidak perlu kau melakukan ini semua." Keyna berbisik lirih, yang hanya bisa didengar oleh Davin saja. Hal itu membuat Davin terkekeh, "Aku cuma datang menjemputmu Keyna, jangan berpikiran terlalu rumit. Ayo kemasi barang-barangmu, ikut aku." Ketika itulah Keyna menatap kedatangan Sefrina dari pintu kelas. Tadi Sefrina bilang mau ke kamar kecil, dia mengajak Keyna untuk mampir ke toko roti di dekat kampus sebelum pulang dan Keyna sudah bilang iya. Jadi dia tidak mungkin mengikuti Davin pulang begitu saja, "Sefrina." Keyna memanggil Sefrina yang tampak ragu melangkah ketika menyadari sosok Davin yang berdiri menghadap Keyna, membelakangi Sefrina.  Davin yang menyadari nama Sefrina disebut langsung menoleh, penuh ingin tahu. Kata mamanya Sefrina adalah mantan tunangannya. Dan sejauh yang diketahui Davin, kedatangan Sefrina kemari, meninggalkan London, kota yang bisa dikatakan merupakan tempat dia menghabiskan sebagaian besar hidupnya masih misterius. Belum lagi alasannya mendekati Keyna yang masih dipertanyakan. Yang berdiri di depan Davon adalah seorang perempuan yang cantik. Dengan tubuh mungil yang tampak rapuh dan rambut panjang menjuntai. Sefrina tampak seperti peri yang sangat cantik. Aku mungkin harus memprotes mama karena membatalkan pertunangan itu, Davin bergumam dalam hati, tetapi kemudian menatap Keyna dan senyumnya semakin dalam, tetapi bagaimanapun juga Keyna terasa lebih menarik, entah kenapa. Mungkin karena mereka berasal dari latar belakang berbeda, sehingga Davin merasa akan terus menemukan hal-hal baru jika bersama Keyna.  Davin lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Sefrina, "Hai, aku sering mendengar namamu dari Keyna." Davin bersikap ramah, seolah-olah tak tahu kalau Sefrina adalah mantan tunangannya. Sefrina mengamati wajah Davin lama, sebelum kemudian tersadar dan menjabat uluran tangan Davin, "Aku Sefrina." "Terima kasih sudah mau berteman akrab dengan adikku. Keadaan sulit baginya di sini, dan aku senang dia bisa menemukan teman yang bisa mendukungnya." Sefrina tertawa, "Aku cuma mengikuti kata hatiku, dan tidak peduli dengan pemikiran dangkal orang-orang. Keyna sungguh teman yang baik." Keyna yang masih duduk di kursi kelasnya mengamati kedua orang di depannya itu. Mereka tampak sangat cocok ketika berhadap-hadapan seperti itu. Tampan dan cantik, dan berkelas, dan sudah pasti sama-sama dari keluarga kaya. Kalau mereka berpasangan pasti akan menjadi pasangan yang membuat iri orang-orang yang memandangnya saking cocoknya. "Keyna. Ayo kita pulang." 'Eh.. " Keyna tersadar dari lamunannya. "Tapi aku sudah berjanji kepada Sefrina untuk menemani ke toko roti..." "Lain kali saja Keyna, kasihan Davin sudah susah-susah menjemputmu kemari." Sefrina tersenyum manis, "Lagipula kita kan bertemu lagi besok, kita bisa kesana sepulang kuliah besok." "Oh. Oke. maafkan aku Sefrina." Keyna beranjak dari duduknya dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. " Aku tidak sabar menanti besok." Dia membiarkan Davin dengan gentle meraih tasnya dan membawakan tasnya. "Aku juga tidak sabar." Sefrina melambai, masih dalam senyum manisnya. Keyna lalu melangkah mengikuti Davin. Meninggalkan Sefrina yang berdiri diam, mengamati mereka berdua sampai menghilang. ***  Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Tak terkira, diiringi suara angin dan hujan. Sementara Keyna berbaring diranjangnya gemetaran. Mencoba menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai dengan kepala dengan selimut. Tetapi setiap suara guntur menggelegar dia terlonjak kaget lalu meringis ketakutan. Tidak ada yang tahu selain ayahnya. Tetapi Keyna memang takut dengan guntur.  Dulu sewaktu kecil kalau mendengar suara guntur, Keyna akan menangis meraung-raung. Dan ayahnya akan memasukkannya ke dalam selimut bersamanya. Ketika Keyna beranjak dewasapun sama saja, dia akan mengetuk pintu kamar Ayahnya dan minta izin untuk bersembunyi di balik selimutnya sampai badai guntur di luar reda. Ayahnya adalah satu-satunya tempat Keyna bergantung. Guntur berbunyi lagi, kali ini demikian kerasnya sampai membuat kaca-kaca dan kusen jendela bergetar menimbulkan bunyi yang tak kalah kerasnya. Keyna berusaha menahan ketakutannya, sambil menyusut air matanya. Ayah... ayahnya. Di saat seperti ini dia merasa amat sangat merindukan ayahnya, dan berharap ayahnya masih hidup. Tiba-tiba lampu mati, gelap gulita. Cahaya yang masuk hanyalah kilatan-kilatan guntur yang menembus kegelapan, menimbulkan bayangan bayangan menakutkan yang kemudian menghitam secepat kilat. Keyna makin gemetar, makin takut. Astaga. Kapan siksaan ini akan berakhir? Kapan hujan guntur itu akan berhenti? Keyna begitu takut, ketakutan yang tidak mampu dijelaskannya ketika mendengar suara guntur. Ketakutan yang menggelayutinya, entah kenapa, dan entah karena apa. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. "Keyna, kau tidak apa-apa? Lampu mati sebentar sepertinya ada pohon tumbang menimpa kabel listrik di luar, Tetapi sedang diperbaiki....." Itu suara Davin. Dan kemudian, tanpa mempedulikan rasionalitasnya, meskipun nanti kalau dia sudah tidak ketakutan Keyna pasti akan merasa malu, dia melompat dengan histeris dari ranjang, melemparkan selimutnya dan setengah berlari, lalu menubruk Davin dengan kerasnya, hingga tubuh lelaki itu sempat mundur sedikit, lalu memeluknya erat-erat. Pada saat yang sama guntur menggelegar lagi dengan kerasnya, dan seluruh tubuh Keyna mulai bergetar. "Keyna?" Davin tidak menolak pelukan Keyna. Dia balas memeluk perempuan kecil itu, berusaha menenangkan tubuh kecil yang gemetaran tenggelam di pelukannya. Ketika petir menggelegar lagi dan Keyna berjingkat kaget lalu makin erat memeluknya, Davin tahu, Keyna takut pada suara petir. "Sttttt.... " dia berbisik lirih, berusaha menenangkan Keyna. Perempuan ini memeluknya begitu erat sampai membuatnya susah bernafas, dan Keyna pasti melakukannya tanpa sadar. Davin tersenyum, kalau Keyna sadar, dia pasti tidak akan mau memeluknya seperti ini. Tiba-tiba Davin teringat, lalu tersenyum penuh syukur, untunglah hujan deras waktu itu, ketika dia menemukan Keyna setelah terusir dari mansion, hujan deras waktu itu tidak dihiasi oleh petir yang menggelegar seperti ini. Kalau tidak mungkin Keyna sudah melemparkan dirinya ke pelukan siapapun yang dia temukan, Davin tersenyum kecut, "Sttttt ... tenanglah sayang, jangan takut. Ada aku di sini. Lampu akan menyala sebentar lagi, Ayo akan kutemani kau sampai tertidur." Seluruh tubuh Keyna bergetar ketika Davin mengangkatnya seolah dia sangat ringan, lalu meletakkannya di ranjang, Davin duduk di tepi ranjang dan menyelimuti Keyna. "Tidurlah, aku akan ada di sini menemanimu." Keyna mengangguk, dan memejamkan matanya. Petir menyambar-nyambar di luar dan suara guntur menggelegar, tetapi kehadiran Davin rupanya membuat Keyna lebih tenang. Perempuan itu masih mencengkeram jemari Davin seolah takut di tinggalkan. Dan kemudian lampu menyala kembali, memenuhi kamar dengan nuansa kuning lampu tidur yang temaram. Hujan mulai reda pada akhirnya, lama kemudian, meskipun aliran airnya masih tercurah ke bumi. Keyna tampaknya sudah di ambang tidurnya, dia menatap Davin dengan mata setengah terpejam dan tersenyum, 'Terimakasih, Davin." gumamnya pelan sebelum larut di dalam tidurnya. Davin hanya menatap Keyna yang sudah terlelap itu. Dia lalu hendak melangkah berdiri, tapi tangan mungil Keyna ternyata masih menggenggam tangannya begitu erat. Lelaki itu lalu duduk lagi dan termenung di atas ranjang, kembali menatap wajah Keyna dalam-dalam. Bersambung ke Part 3Oneshoot   http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/sweet-enemy-special-one-shoot-by-request.htmlBaca Part 1           http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/sweet-enemy-part-1.html 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 17, 2013 23:43

Menghitung Hujan Part 3

  Mencintaimu itu sama seperti bernapasTerjadi begitu saja, tak tertahankanBahkan sebelum aku menyadarinyaAku sudah jatuh cinta padamuDan aku mau menungguAku mau menunggu untukmuMeskipun itu berarti : Selamanya     "Aku harus pergi." Reno menatap sedih ke arah Diandra, yang sedang merapikan pakaian-pakaian Reno dan memasukkannya ke dalam tas.  Jemari Diandra berhenti sejenak, kemudian melanjutkan memasukkan pakaian-pakaian Reno, kali ini jemari itu bergetar, "Mencari perempuan itu?" Reno menghela napas panjang, "Maafkan aku Diandra." "Tidak." Suara Diandra pecah oleh tangis, "Bagaimana mungkin aku memaafkanmu? Kau meninggalkan aku untuk mengejar perempuan lain, seorang perempuan yang bahkan belum pernah kau temui hanya karena mimpi-mimpimu." "Mimpi-mimpi itu nyata Diandra, dan perempuan itu juga, begitu juga jantung yang sekarang berdetak di dadaku ini." Diandra mengusap air matanya dan menatap Reno dengan pilu, "Tidakkah kau mencintaiku Reno? Tidakkah kau mengenang masa kita bersama dulu? Aku selalu mencintaimu, bahkan sejak kita kecil. Aku selalu mendampingimu, di saat-saat sulit sekalipun, percaya bahwa masih ada masa depan untuk kita.... apakah kau tega membuang itu semua?" suara Diandra terisak-isak tak kuasa menahan perasaannya. Hal itu membuat Reno mengernyitkan napas, mencoba menekan rasa bersalahnya. Perempuan ini tidak terbantahkan adalah pasangan yang sempurna, sangat tulus mencintainya dan selalu bersamanya di saat dia sakit. Tentu saja Reno merasakan rasa bersalah yang luar biasa karena mencampakkannya seperti ini, dia bukannya tidak punya perasaan, masalahnya... jantung ini... jantung ini tidak menginginkan Diandra, dan selalu memanggil-manggil perempuan lain, perempuan itu, yang selalu muncul di dalam mimpinya. "Aku tidak tahu harus berkata apa." Reno meremas rambutnya frustrasi, "Aku tidak bisa berkata apapun selain maaf..." "Katakan kalau kau mencintaiku Reno..." tatapan Diandra penuh permohonan, penuh air mata. Diandra tahu itu, matanya terpejam berusaha menahankan rasa sakit yang memenuhi dadanya. Tidak pernah disangkanya dia dan Reno akan berujung seperti ini. "Setiap malam, ketika menggenggam tanganmu di rumah sakit, aku selalu berdoa semoga Tuhan memberikan jantung baru untukmu, supaya kau bisa sehat, supaya kita punya masa depan bersama, supaya kita bisa menua bersama, menatap anak-anak kita nanti dengan bahagia." Rasa sakit di suara Diandra terdengar nyata, "Aku sangat bahagia ketika kau mendapatkan donor jantung itu... sangat bahagia..... tapi ternyata aku salah." Diandra menutup tas Reno di atas ranjang dan melangkah mundur, menatap Reno yang hanya bisa diam membatu. "Kalau saja aku tahu bahwa jantung itu akan merenggutmu dariku, lebih baik kau tidak pernah mendapatkan donor jantung." Dan dengan kata-katanya yang penuh dengan kesakitan, Diandra melangkah pergi, berurai air mata. ***  Ketika malam mulai temaram dan senja beranjak menjadi gelap. Reno duduk menghadap mamanya dan menceritakan semuanya. Mamanya hanya menatapnya dengan sedih. "Jadi begitu saja? Kau tinggalkan Diandra begitu saja?" Reno mendesah sedih, "Aku tahu semua orang akan menyalahkanku karena perlakuan jahatku kepada Diandra... tapi kuharap mama bisa mengerti aku. Aku... jantung ini.. jantung ini menginginkan perempuan lain." "Bagaimana mungkin Reno? Apa yang kau rasakan itu tidak bisa dijelaskan dengan logika, mama bingung dengan sikapmu. Mama sedih melihat Diandra, Reno. Dia sangat kecewa, dia hancur, dan bukan hanya itu, persahabatan mama dan papa dengan kedua orangtua Diandra menjadi rusak karena masalah ini, mereka tidak mengerti." Sang mama menghela napas sedih, "Tetapi mama percaya kepadamu nak. Mama sudah melalui saat-saat dimana mama hampir kehilanganmu, berkali-kali." Perempuan itu menyusut air matanya, "Jantung itu membuat mama tidak akan cemas kehilanganmu lagi, dan......kalau kau bilang jantung itu mencintai perempuan lain, mama akan berusaha mendukungmu, karena kalau yang kau bilang itu benar, mama berhutang budi kepada perempuan itu. Perempuan yang jantungnya didonorkan untukmu." Reno langsung memeluk mamanya. Erat. Menahan resapan air mata yang sedari tadi berusaha menyeruak keluar. Semua orang boleh membencinya, tetapi asalkan mamanya mendukung, Reno bisa melangkah maju. "Terimakasih mama." Suara Reno serak oleh emosi, dipeluknya mamanya, wanita tua bertubuh kecil yang begitu tegar berjuang untuk anak tunggalnya yang sakit. Reno sangat menyayangi mamanya. "Jadi, kemana kau akan mencari perempuan itu?" "Bandung, aku sudah mendaftar untuk mengambil magisterku di sana." ***  Pertama kalinya Reno melihat Nana adalah ketika perempuan itu keluar dari toko kelontong di ruko itu, dan melangkah di trotoar. Saat itu mendung sudah menggelap, mengirimkan pesan bahwa dia akan menjatuhkan muatannya ke bumi. Reno sudah menyelesaikan segala urusannya untuk tinggal di Bandung, administrasi perkuliahannya sudah beres, dan dia sudah menemukan tempat tinggal baru, sebuah rumah mungil di kompleks perumahan Bandung atas yang dingin dan rimbun oleh pepohonan tua yang menjulang ke langit, mengarahkan batangnya bagaikan lengan-lengan terentang yang ditumbuhi dedaunan dan menyejukkan sukma. Setelah itu, dia menelusuri alamat rumah Rangga, mencari informasi sedapat mungkin dari para tetangga. Dia mendapatkan informasi cukup penting, bahwa Rangga meninggal dunia sehari sebelum pernikahannya dengan Nana. Kesedihan seperti apa yang mungkin ditanggung oleh Nana ketika itu? Reno tak berani membayangkannya. Butuh waktu dua hari sampai akhirnya Reno menemukan alamat kampus Nana. Oleh salah seorang teman kampusnya, dia diberitahu bahwa Nana sedang mencari bahan tekstil untuk sampling kegiatan perkuliahan mereka di kawasan belakang pasar baru. Reno memutuskan memarkir mobilnya dan berjalan menelusuri kawasan itu.  Hampir dua jam Reno menelusuri jalan-jalan kawasan kota lama itu, yang masih kokoh memeluk kenangan mereka tentang masa lalu, peninggalan jaman kolonial belanda, hingga tak terasa dia sudah melangkah begitu jauh. sampai akhirnya dia menemukan sosok itu. Reno hanya pernah melihat Nana sekilas di sebuah foto hasil pencariannya di internet. Tetapi dia yakin bahwa perempuan yang berjalan tergesa seolah dikejar mendung di seberangnya itu adalah Nana. Dia tahu. Jantungnya tahu. Jantungnya berdegup kencang memanggil perempuannya. Dorongan pertama Reno adalah menghampiri Nana dan memperkenalkan diri, tetapi ketika baru satu langkah berjalan dia berhenti. Apa yang akan dikatakannya kepada Nana? Apakah dia akan datang dan dengan santainya berkata : "Hai aku Reno, aku adalah orang sakit yang beruntung mendapatkan donor jantung dari kekasihmu, Rangga." atau mungkin dia akan berkata : "Hai aku Reno, kau mungkin akan menganggapku aneh, tetapi aku mencintaimu. Jantung kekasihmu, Rangga yang sekarang menjadi jantungku masih berdebar untukmu." Debaran jantung itu makin mengencang, dan Reno tersenyum, menepuk dadanya pelan, "Hei. Aku tahu kau tidak sabar bertemu perempuanmu. Tetapi kita tidak bisa menerobos masuk tanpa perhitungan dulu. Aku harap kau sabar." Lalu Reno terkekeh sendiri, dia benar-benar seperti orang gila, berbicara sendiri dengan jantungnya sambil berdiri di trotoar seperti ini Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi kepalanya, butirannya makin lama makin membesar seolah langit meminta agar para manusia menyingkir sehingga dia bisa menumpahkan muatan kelabunya ke bumi. Reno melempar pandangannya kepada Nana, perempuan itu tampak berdiri bingung ketika hujan juga mulai menimpanya, lalu dia memasuki cafe itu. Cafe tua dengan sebutan Warung Kopi Purnama di papan namanya. Sementara itu Reno tetap berdiri di sana, entah berapa lama dia tidak tahu. dia berdiri bagaikan orang idiot, bingung harus bagaimana. Hujan makin membesar, dan tetesannya mulai membasahi rambut dan mengalir turun ke bahunya, membasahi pakaiannya. Lalu dia menelan ludah, menyeberang jalan dan melangkah memasuki cafe itu. Sejenak berdiri meragu di depan pintu, kemudian melangkah masuk. Nana duduk di sudut sana, matanya mencuri pandang. Tepat saat Nana mengangkat kepalanya dan mengadu tatapan dengannya. Dengan gugup Reno memalingkan muka, mencoba bersikap acuh, lalu memilih tempat di sudut yang lain memesan kopi, lalu duduk kebingungan memikirkan bagaimana dia bisa mendekati Nana. Dan rupanya dia terlalu lama berpikir, karena sejenak setelah hujan sedikit mereda, Nana berdiri dan meninggalkan cafe itu. Meninggalkan Reno dalam kekosongan. Jantungnya yang tadinya berdebar penuh semangat kini terasa hampa. ***  Sejak itu Reno selalu datang. Di jam yang sama, memilih tempat duduk yang sama sambil menatap cemas ke arah pintu dengan setia. Hanya satu hari dia terlambat datang, dan di satu hari itu, entah kenapa  Tuhan membuat Nana datang kesana, meninggalkan bukunya. lalu perkenalan itu terjadilah, mengalir begitu saja. Pun ketika Nana tidak kunjung datang lagi ke cafe itu sesuai janjinya, Reno tetap menunggu. Dan ternyata penantiannya tidak sia-sia. Nana akhirnya datang menemuinya, membuat Reno yakin bahwa sadar atau tidak Nana merasakan panggilan dari jantung ini untuknya. Mereka terus bertemu dan semakin dekat. Tetapi kemudian pertemuan-pertemuan mereka diisi oleh kisah kenangan Nana bersama Rangga. Membuat Reno merasakan sesuatu yang membakar di dalam dadanya. Sebuah perasaan yang bisa dideskripsikan sebagai : Cemburu. Ya. Reno cemburu. Sangat cemburu kepada Rangga. Pria sempurna di mata Nana, yang kini jantungnya berdegup di dalam rongga dadanya. Reno mencintai Nana, itu pasti. Perasaan cintanya tidak bisa dideskripsikan dengan logika, tidak bisa dianalisa dengan kata-kata.  Perasaan cintanya ada begitu saja, memenuhi rongga dadanya, menjajah hatinya. Sementara yang dicintai Nana adalah Rangga. Selalu Rangga. Dan dengan bodohnya Reno memicu pertengkaran itu. Membuat Nana makin menjauh darinya. Disesapnya kopinya dengan sedih. Dia masih duduk di sini., di sudut yang sama, tempat yang sama, waktu yang sama, menunggu dengan setia seperti yang selalu dia lakukan. Tapi kali ini Nana tak kunjung datang, dan Reno meragu apakah Nana akan datang kali ini. Kalau Nana tak mau datang, aku akan hancur oleh patah hati. Reno merasakan jantungnya berdenyit menimbulkan rasa nyeri di rongga dadanya. ***  Nana melangkah dengan ragu di depan cafe itu. Masih cafe yang sama, bangunan tua yang sederhana tetapi menyimpan banyak sejarah di dalamnya, konon cafe ini adalah warung kopi tertua di Bandung, yang berdiri tahun 1920, tahun demi tahun berlalu, dan cafe ini masih menyajikan menu yang sama, seluruh hidangan kopinya berasal dari bahan kopi pilihan khas Bandung, Kopi Aroma yang pabriknya terletak di sudut lain kota lama Bandung, kopi yang sangat terkenal dengan proses pembuatannya yang juga tidak berubah dari tahun ke tahun, mempertahankan rasanya. Dan juga mempertahankan kenangannya, bagi beberapa orang. Nana mendesah. Kenapa dia ada di sini? apakah itu berarti memberi kesempatan kepada Reno untuk mengalihkan perhatiannya kepada Rangga? Tetapi Nirina bilang, dengan menerima Reno bukan berarti dia membuang Rangga. Rangga akan selalu ada dan akan selalu hidup di dalam hatinya. Tetapi tidak terbantahkan, Nana juga menyayangi Reno. Perasaan itu tumbuh entah kapan. Mungkin sejak Reno memperkenalkan dirinya, mungkin juga sejak pertemuan rutin mereka di cafe itu dari waktu ke waktu. Nana tidak tahu. Yang pasti sekarang dia ingin mencari jawaban. Mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayuti benaknya. Nana lalu melangkah masuk ke cafe itu. Dan mendapati Reno duduk di sana, di sudut yang sama tempat mereka biasanya duduk berdua. Lelaki itu tampak merenung, tidak melihat ke arah pintu, tetapi kemudian entah kenapa dia langsung menyadari kedatangan Nana. Kepalanya langsung tegak dan dia setengah berdiri ketika melihat Nana, "Nana..." Nana melangkah mendekati Reno, berdiri dengan ragu. "Aku... aku mau minta maaf karena membentakmu di pertemuan kita terakhir waktu itu." Reno tersenyum lalu duduk kembali, "Duduklah Nana, aku akan memesankan pesananmu yang biasa." ***  Kopi dan roti pun dihidangkan, menu tetap mereka selama pertemuan mereka di sana. Reno menatap Nana dengan senyumnya yang tulus, "Aku minta maaf, aku yang terlalu memaksamu. Percayalah Nana, mulai sekarang aku tidak akan mendesakmu lagi. Aku akan selalu ada, entah sebagai sahabatmu, entah sebagai saudaramu, entah sebagai apapun. Aku akan selalu ada untukmu."  Nana menundukkan kepalanya, lalu menatap Reno dengan senyum sedihnya, "Terimakasih Reno... aku.. aku tidak bisa menjanjikanmu apa-apa, tetapi kau masih begitu baik untukmu." "Karena aku mencintaimu." suara Reno tercekat menahan rasa, menahan debaran jantungnya yang makin mendera, Tidak apa-apa kalau ternyata Nana tidak bisa membalas cintanya. Ternyata tidak apa-apa, ternyata cukup baginya bisa duduk di sini dan menatap perempuan itu. Ada, dan menghirup napas yang sama dengan dirinya. Tidak apa-apa ternyata mencintai, dan hanya ingin mencintai, entah cintanya itu berbalas atau tidak.... ***  Reno baru saja pulang dan membaringkan badannya di ranjang, matanya menatap nanar ke langit-langit kamar, membayangkan Nana. Hanya membayangkan perempuan itu, senyumannya, tawanya, caranya berbicara saja bisa membuatnya tersenyum, dipenuhi oleh perasaan cinta, Kemudian ponselnya berkedip, sekali. dua kali. Akhirnya Reno meraihnya. Nama yang tertera di layar ponsel itu membuatnya menegang. "Ya Diandra?" Sejak perpisahan di rumah sakit itu Diandra memutuskan kontak dengannya. Sama sekali. Dan Reno terima, karena dia memang tidak pantas memohon maaf dari Diandra. Dan mungkin Diandra lebih baik dalam kondisi seperti ini. Reno terima kalau Diandra membencinya dan dia berharap dengan begitu Diandra akan mudah membuka hatinya untuk yang lain. Suara di seberang sana penuh dengan isak tertahan. "Reno... Reno... Aku sangat membutuhkanmu... aku tak kuat tanpamu.... " Diandra menangis tersedu-sedu di seberang sana, penuh dengan kesakitan tanpa ampun, membuat hati Reno terasa nyeri, "Pulanglah Reno.... aku mohon pulanglah kemari...." *** Bersambung ke Part 4Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-1.htmlBaca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-2.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 17, 2013 03:42

January 16, 2013

Menghitung Hujan Part 2

  Jantungku ini berdetak untukmu. Kau dengar itu kekasih?Setiap degupnya meneriakkan namamu.Setiap detaknya memanggil-manggil dirimu.Aku merindukanmu.Dimanakah kau, kekasih?Aku rindu menikmati helaan napas dan irama jantung yang berpadu.Kau dan aku. Satu.    "Namanya Rangga." Nana tersenyum mengenang. "Dan aku akan selalu mencintainya." Mereka duduk di sudut warung kopi yang biasa, hujan di luar tidak deras, hanya rintik-rintik yang menyenangkan untuk dipandang. Nana merenung sambil memandangi tetes demi tetes hujan yang membentuk gumpalan serupa air mata di kaca, menghitungnya dengan seksama. Hari itu Nana bercerita tentang masa lalunya, tentang Rangga, kekasih sejatinya yang direnggut sehari sebelum pernikahannya. Reno mengamati Nana, "Aku ikut sedih atas kehilanganmu Nana." "Tidak apa-apa. Rangga akan selalu hidup di sini." Disentuhnya rongga dadanya, tempat jantungnya berada. Rangga memang sudah meninggal, jantungnya sudah tak berdetak lagi untuk Nana seperti janjinya. Tetapi jantung Nana masih berdetak untuk Rangga, semoga selamanya. ***Itu Reno. Sang pangeran hedonis itu berdiri di sana, seolah-olah tidak sadar kalau dia menimbulkan kehebohan karena penampilannya yang mencolok. Lelaki itu memakai cardigan cokelat tua dan celana jeans yang tampak pas membungkus tubuhnya, berdiri sambil bersandar di mobilnya yang berwarna orange cerah. Penampilannya luar biasa tampan, apalagi untuk standar di kampus Nana yang dipenuhi para kutu buku dan mahasiswa-mahasiswa lugu. Reno tampak begitu modern dan berkelas. "Kenapa dia ada di sini?" Nana bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Bukannya kau memberitahukan kampusmu kepadanya?" Nirina tersenyum. "Ya dia bertanya, jadi aku beritahu." Nana mengernyit, "Tetapi aku tidak pernah menduga kalau dia akan menyusul ke kampus." "Mungkin Reno memutuskan bahwa dia ingin lebih mengenalmu, bukan hanya dari pertemuan-pertemuan singkat di warung kopi.... yang... sudah berapa kali Nana? Aku pikir sudah hampir tiga bulan kalian rutin bertemu di warung kopi." Tepatnya Tiga bulan tiga belas hari. Gumam Nana dalam hati. Dan dua kali seminggu, mereka bertemu di suatu sore yang singkat, kebanyakan sambil diiringi hujan, membahas segala hal, membuat mereka semakin dekat. Ya Nana dan Reno semakin dekat seiring dengan semakin seringnya pertemuan mereka, tetapi Nana tidak berani melangkah lebih jauh. Di dalam hatinya selalu ada Rangga. Kekasihnya itu sudah mengambil sebuah tempat permanen di hatinya, tak akan tergantikan oleh lelaki manapun. Dan meskipun Nana merasa nyaman dan hangat bersama Reno, dia menahan hatinya, tak mau melangkah lebih. "Kau tidak mau mengenalkan aku kepada Reno? dilihat dari penampilannya, dia memang sesuai dengan apa yang kau deskripsikan Nana, seorang pangeran Hedonis." "Tapi pangeran Hedonis yang ini sangat suka membaca komik Naruto dan Novel-novel petualangan fantasi, ayo, kukenalkan kau dengannya, kau pasti menyukainya." Nana meraih tangan Nirina, mendekati Reno. Lelaki itu langsung menegakkan tubuhnya ketika melihat Nana. "Hai." gumamnya sambil tersenyum manis. "Hai juga." entah kenapa Nana kehilangan kata-kata. Astaga, kenapa dia ini? Dia baru tersadar ketika Nirina menyenggol pinggangnya dengan siku. "Eh.. kenapa kau ada di sini?" Reno mengangkat bahu, "Kuliahku selesai lebih awal, dan kita janji bertemu di Purnama sore ini, aku pikir tidak ada salahnya aku menjemputmu dulu, toh kampusmu sejalan denganku." "Oh..", Nana termangu lalu menoleh ke arah Nirina, "Ini.. ini temanku Nirina." Reno menatap Nirina lalu tersenyum manis dan mengulurkan tangannya, "Hai Nirina, Nana sering cerita tentangmu." "Benarkah." Nirina membalas uluran tangan Reno dan tersenyum, "Kuharap dia bercerita yang baik-baik." Reno tertawa, "Sebagian besar." Nirina sengaja melirik jam tangannya, "Oh baiklah, aku harus segera pulang, kalau tidak mama akan mencariku, sampai jumpa besok Nana. Bye Reno." "Kau tidak ikut dengan kami?" Reno menawarkan, membuat Nirina menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih Reno, aku bawa motor, diparkir di belakang." Dan Nirina-pun melangkah pergi, meninggalkan Nana berdiri sendirian, berhadap-hadapan dengan Reno. "Semoga kau tidak marah aku lancang menjemputmu di kampus ini." Nana memutar bola matanya, mendapati beberapa pasang mata penuh ingin tahu menatapnya dan Reno. "Tidak, tapi sungguh, kau sangat menarik perhatian di sini." Nana tersenyum, "Bisakah kita pergi dari sini?" ***  "Aku merasa sangat nyaman bersamamu." Reno menatap Nana lembut, lalu menghela napas, "Bersamamu selalu menyenangkan." Nana menghela napas panjang. Bersamamu selalu menyenangkan... itu kalimat yang sama, yang diucapkannya kepada Rangga.  "Terimakasih Reno. Kuharap kita bisa berteman seperti ini seterusnya. Aku juga senang menghabiskan waktu bersamamu." Wajah Reno sedikit memucat, dia lalu tersenyum miris,  "Hanya sebagai teman. Itukah yang kau inginkan?" "Ya." Nana tersenyum, mencoba terdengar mantap. "Kau tahu aku tidak bisa lebih dari itu." "Karena Rangga?" "Kumohon Reno." "Tetapi benar kan? Karena Rangga? Aku melihatmu waktu itu, ketika kau bercerita tentang tragedi sebelum pernikahanmu. Matamu yang kosong, seolah sudah kehabisan air mata... dan aku sadar, dia belum mati bagimu." "Dia memang belum mati bagiku. Rangga akan selalu ada di sini." Nana menunjuk dadanya, menahan tangis. "Dan kemudian bagaimana kau akan melanjutkan hidupmu? Seperti ini terus menerus? mencoba menjaga kenangan tentang Rangga di hatimu itu, sementara dunia terus berjalan, meninggalkanmu menangisi kekasihmu yang telah meninggal?" "Hentikan." "Tidak. Kau harus sadar Nana, Ranggamu sudah meninggal. Ya, kau memang mencintainya. Lalu kenapa? Hidup Rangga sudah berhenti, tetapi hidupmu masih berlanjut, mau tak mau kau harus menjalaninya, kalau tidak kau akan berdosa kepada sang pemberi kehidupan." "Kau tidak berhak mengatur-ngatur kehidupanku. Aku ingin tetap seperti ini. Hidup bersama kenanganku tentang Rangga." "Aku memang tidak berhak. Siapalah aku ini." Reno tersenyum sedih. "Tetapi ketahuilah, aku mencintaimu Nana.." "Tidak." "Ya! Aku mencintaimu!" Suara Reno sedikit meninggi, membuat beberapa pengunjung yang sedang menikmati kopi menoleh ke arah mereka dengan penuh ingin tahu. "Dan hatiku sakit melihatmu seperti ini. Jantungku serasa diremas melihatmu tak pernah bisa bangkit dari kesedihanmu..." "Cukup. Aku tidak mau mendengar lagi." Nana berdiri menyusut airmatanya, "Aku pikir engkau mengerti. Tetapi ternyata memang tak ada yang mengerti." "Nana." Reno mencoba memanggil, tetapi Nana sudah tidak mau mendengarnya. Sambil menahan tangis dia berlari pergi. Dan hujanpun turun, seakan mengiringi tangisnya. ***  "Jadi kau akan terus berlaku kekanak-kanakan dan menghindari Reno?" Nirina berkacak pinggang sambil menatap Nana yang begitu muram, duduk memeluk lututnya di sudut ranjang. "Dia jahat, menyuruhku melupakan Rangga." "Dia tidak jahat. Dia hanya ingin kau bangkit di dunia nyata. Melangkah lagi, menikmati hidupmu." "Dengan melupakan Rangga?" "Kau tidak harus melupakannya. Kau tetap bisa menyimpan kenangan tentangnya di dalam hatimu. Tetapi kau tidak boleh berkubang dalam kenangan itu. Kau harus melangkah maju, Nana." "Gaya bicaramu sudah seperti Reno, aku curiga kalian berkomplot." Nirina tertawa, "Dengarkan sahabatku yang cantik, kami berdua meyayangimu. Dan karena kami menyayangimu maka kami berpikiran sama. Mungkin juga Rangga di sana juga akan berpikiran sama dengan kami." Nana tercenung, meresapi kata-kata Nirina dalam diam. ***  Waktu itu mereka sedang memilih cincin, dan mengukirkan nama masing-masing di cincin itu. Nana sangat bahagia, dan menatap Rangga dalam senyuman, "Kalau kita sudah menikah nanti, dan kau menyematkan cincin itu di jemariku, aku akan mengenakan cincin ini selamanya." Rangga, sepertia biasa menatap Nana dengan kelembutannya, "Aku juga Nana. Cincin itu tanda bahwa aku mengikatkan hati kepadamu." "Kita akan selalu seperti ini kan Rangga?" "Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Karena kebahagiaan ini terasa terlalu sempurna. Aku kadang-kadang takut semua direnggut dariku...." Rangga tertawa, merangkul Nana ke dalam pelukannya, "Jalan Tuhan tidak ada yang tahu. Yang penting kita mensyukuri saat ini, saat ketika aku dan kamu dipersatukan. Bukankah itu cukup?" "Ya itu cukup." Senyum Nana melebar, lalu ekspresinya berubah serius, "Tetapi kalau nanti aku meninggal duluan, kau boleh melepas cincin itu dan menikah lagi." Rangga terbahak, "Jangan berpikir yang bukan-bukan." dia lalu mengedipkan matanya menggoda, "Kalau aku yang meninggal duluan? Akankah kau menikah lagi?" Nana langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat mendengar pertanyaan Rangga itu, "Tidak! Aku akan menjanda selamanya." Dengan lembut Rangga menghela Nana ke dalam pelukannya, lalu mengecup lembut dahinya. "Jangan biarkan sebuah kenangan menghalangi langkahmu untuk maju sayang. Aku akan sangat sedih jika ternyata aku meninggal duluan dan kau menutup hatimu. Ketika hidupku berhenti dan hidupmu masih berlanjut, kau berhak untuk menemukan bahagiamu yang ada di depan sana. Berjanjilah padaku." "Tidak mau." Nana cemberut, "Lagipula kau tidak akan meninggal duluan, tidak ada yang akan meninggal. Bisakah kita membicarakan hal-hal yang menggembirakan saja?" Rangga tergelak, menggandeng tangan Nana dengan riang meninggalkan toko cincin itu. *** Ketika terbangun, wajah Nana penuh air mata. Mimpi itu... kenapa mimpi tentang kenangan percakapan itu muncul sekarang?  Apakah Rangga ingin menyampaikan suatu pesan kepadanya? Tentang Reno? Nana memejamkan matanya lagi, bingung setengah mati. ***  Reno ada di sana di kursinya yang biasa. Kali ini lelaki itu tidak membaca buku. Hanya secangkir kopi yang tampaknya tidak tersentuh di mejanya, dan lelaki itu sedang merenung, menatap hujan deras yang menghantam-hantam jendela kaca. Tampak sedih.  Seharusnya dia mengungkapkan semuanya kepada Nana dari awal. Semuanya. Kenyataan ini, yang selama ini disembunyikannya dari Nana. Bahwa jantungnya, berdegup untuk Nana, mencintai Nana. Sepenuh hati.  mata Reno lalu terpejam, mengenang masa lalu, setahun yang lalu ...... ***  "Mamamu bilang mereka sudah mendapatkan donor jantung untukmu." Diandra memeluk Reno dengan bahagia, "Ahkirnya Reno, penantian kita berujung." Reno tersenyum menatap tunangannya. Diandra-nya yang cantik. Gadis itu adalah teman masa kecilnya yang kemudian menjadi tunangannya. Diandra selalu setia menunggunya, meskipun masa depan mereka tak pasti, meskipun Reno bolak balik harus masuk rumah sakit karena kondisinya. Reno bahkan didiagnosa tidak akan bisa hidup lama kalau dia tidak segera mendapatkan donor jantung. "Syukurlah Diandra....  aku.. aku senang, setidaknya kalau operasi ini berhasil, aku bisa menjadi lelaki yang sempurna untukmu." "Operasi ini pasti berhasil." Diandra menatap Reno dengan mantap, "Dan bicara apa kau tentang lelaki sempurna? Entah kau berjantung sehat atau tidak, kau adalah kekasih sempurna untukku." "Tetapi aku takut. Aku takut ketika operasi berjalan, ternyata jantung itu tak cocok untukku." "Jantung itu cocok untukmu, mereka sudah mengetest-nya." "Bagaimana kalau terjadi komplikasi dan pada akhirnya aku tetap akan mati di meja operasi?" "Reno." Diandra menyela, mengingatkan. "Hidup dan mati itu Tuhan yang menentukan, yang penting kau semangat, dan berjuang. Tuhan pasti melihat betapa inginnya kau hidup. Betapa inginnya aku agar kau hidup." Dengan lembut Diandra mengecup dahi Reno, "Operasi itu pasti akan berhasil, percaya padaku." Reno tersenyum dan menggenggam jemari Diandra dengan lembut, "Terimakasih sayang, kau tahu, aku selalu mencintaimu." "Dan akupun demikian adanya, sayang." ***  Operasi itu berhasil. Jantung baru itu cocok dengan sempurna di rongga dadanya. Reno bisa merasakan detaknya yang kuat, penuh vitalitas, memompa darahnya ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa kuat. Siang itu Reno terbangun lagi, karena mimpi itu, mimpi yang selalu mengganggunya sejak dia dioperasi, mimpi tentang seorang gadis, dengan cincin dan gaun pengantin, yang sedang menangis. Menangis sejadi-jadinya. "Sayang." Diandra menggenggam jemarinya, mencoba menenangkan napas Reno yang memburu, "Kau mimpi buruk lagi?" Reno mencoba memfokuskan matanya, dan menemukan wajah Diandra yang cantik, sedang menatapnya dengan cemas. Dia lalu mengernyit. Diandra masih tetap sama, masih tetap cantik, masih tetap setia, masih tetap mencintainya sepenuh hati. Tetapi kenapa dia tidak bisa merasakan hal yang sama? Jantungnya sudah tidak berdebar penuh cinta ketika melihat Diandra, debaran itu tidak terasa lagi, hampir terasa hambar, hampir seperti Reno... sudah tidak mencintai Diandra lagi. Tetapi bagaimana bisa? Reno seharusnya tidak berubah secepat ini, tidak ada yang berubah darinya, kecuali..... Jantungnya. Ya. Meskipun tidak bisa dijelaskan secara logika. Jantung baru itu tidak berdebar untuk Diandra. Jantung itu hanya berdebar untuk seorang perempuan. Perempuan yang selalu ada di mimpinya.... "Apakah kau memimpikan perempuan itu lagi?" suara Diandra gemetar dan air mata menetes ketika Reno memalingkan muka tidak bisa menjawab. "Apakah aku... apakah aku akan kehilanganmu, Reno?" Hening. Bahkan Reno sendiri tidak mampu berkata. Hanya detak jantungnya yang berdegup di keheningan ruang perawatan itu, seakan-akan memanggil kekasihnya. ***  "Sebenarnya sangat tidak dianjurkan sang penerima donor mengetahui dari mana donornya." Dokter Sam, Dokter spesialis jantung, yang merupakan paman Reno sendiri mengernyitkan keningnya sambil membaca berkas di tangannya, "Tetapi karena pihak keluarga pendonor sendiri tidak meminta supaya dirahasiakan, kurasa kau tidak melanggar peraturan menanyakannya." "Siapa yang mendonorkan jantungnya untukku Paman?" "Kenapa kau sangat ingin tahu Reno? Bukankah kau sebaiknya tidak tahu? Jadi kau bisa menjalani hidupmu ke depan dengan baik, menata ulang hidupmu, karena setahuku jantung itu sangat sehat dan cocok untukmu." Reno memijit ujung atas hidungnya, merasa pening di kepalanya. Pertanyaan itu telah begitu menghantuinya, dan mimpi-mimpi itu selalu hadir setiap malam, sampai-sampai Reno merasa itu nyata. "Aku butuh tahu, karena alasanku sendiri." Sang Paman menghela napas,  "Apakah ini ada hubungannya dengan kau membatalkan pertunanganmu dengan Diandra? Kau membuat gadis baik itu begitu sedih." Reno meringis merasakan penyesalan yang amat dalam, "Aku sangat menyesal melakukannya, aku juga sedih. Tetapi Diandra berhak mendapatkan lelaki yang mencintainya." "Dan kau tidak? Selama ini yang paman lihat, kau mencintainya." "Sekarang tidak lagi." Reno menunjuk ke dadanya. "Entah paman percaya atau tidak, jantung ini mencintai perempuan lain." Sang paman menatap Reno lama, lalu menghela napas. Jelas sekali sang paman tidak percaya dengan kata-kata Reno. Dia seorang dokter dan secara medis, tidak mungkin jantung donor membawa kenangan tentang pemilik sebelumnya. Bagaimana mungkin?  Tetapi sang Paman tidak mau mengkonfrontasi Reno, lelaki itu belum sepenuhnya pulih dari operasinya. Dan dia berharap informasi ini bisa menghilangkan mimpi-mimpi yang mengganggu Reno setiap malam. "Jantung itu berasal dari seorang lelaki bernama Rangga." *** Bersambung ke Part 3 Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-1.html
 
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 16, 2013 01:51

January 15, 2013

Menghitung Hujan Part 1



Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun? , Menghitung tetes demi tetes yang tiada habisnya. Sendirian...Karena kau tak pernah ada. Karena kau tak pernah sadar. Karena kau selalu tiada.Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun? Menghitung tetes demi tetes, cintaku padamu yang mulai berhamburanBerhamburan jatuh dan menghilang ditelan bumi 
"Bersamamu selalu menyenangkan." Nana merebahkan kepalanya ke pundak Rangga. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."
Rangga tersenyum dan mengecup dahi Nana,
"Tidak akan."
"Apakah kita bisa begini selamanya?"
"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku."

"Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?"

Rangga tersenyum lembut,

"Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."

"Benar juga." Nana tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."

"Siapa bilang?" Rangga mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertama di pekerjaanmu."

Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun.

"Aku mencintaimu Nana. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
***



Kalimat itu terngiang ditelinga Nana sederan aliran hujan yang turun, sekarang, di depan makam Rangga dengan tanah merah yang masih basah. Apakah Rangga kedinginan di bawah sana? Pertanyaan itu menggayutinya, menghancurkan hatinya, membuatnya memeluk dirinya sendiri yang gemetaran. Nana tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Sampai dengan kemarin, yang terbentang di depannya adalah kebahagiaan, kebahagiaannya bersama Rangga. Tetapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekasihnya direnggut dari sisinya tepat sehari sebelum pernikahan mereka. Rangga meninggal karena kecelakaan, ketika mencari rangkaian buket bunga untuk pengantinnya di saat-saat terakhirnya. Mereka bilang jenazah Rangga menggenggam bunga itu ketika ditemukan.... bunga mawar putih dengan kelopaknya yang hancur berguguran terkena benturan....bunga itu tidak putih lagi, berubah merah, terpercik darah Rangga. Dan jantung Rangga sudah berhenti berdetak. Sudah tidak berdetak untuk Nana lagi, terkubur diam di sana, dalam tanah yang dingin, tidak terjangkau.
Apakah yang dipikirkan Rangga pada saat-saat terakhirnya? Nana mengernyit, tak mempedulikan hujan deras yang membasahi pakaian dan rambutnya sampai kuyup, dia berdiri dengan tegar, di depan makam itu, menatap nisannya dengan nanar. Apakah Rangga memikirkan dirinya? Pernikahan mereka? Air mata mulai menetes lagi di mata Nana, mata yang sudah kelelahan meneteskan kesedihannya. Bagaimana mungkin Rangga meninggalkannya seperti ini? Bagaimana mungkin Rangga tega? Nana berhak marah bukan? Tetapi apa gunanya dia marah? Rangganya sudah tidak ada, dan kesedihan sudah menelannya sampai remuk redam. Pelaminan itu kosong sekarang, tak akan pernah ditempati. Persiapan pesta berubah menjadi duka yang kelabu dan tumpahan air mata. Hati Nana hancur, hancur sejak Rangga pergi meninggalkannya, selamanya. ***
 Sepertinya hujan akan turun lagi. Nana mendesah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah langit. Ini masih jam dua siang, tapi mendung menggayut seakan terlalu berat membawa isiannya yang kelabu, membuat langit makin menggelap. Hujan yang turun pasti akan deras sekali. Nana menoleh ke kiri dan kanan dengan cemas, angkot yang ditunggunya belum tampak juga. Kalau sampai hujan deras turun dan dia belum dapat angkot, Nana akan kehujanan.  Dia harus mencari tempat berteduh. Putusnya ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi tubuhnya, menimpa kepalanya. Pandangannya terpaku pada sebuah cafe di sudut jalan. Cafe itu tampak nyaman, dengan kanopi hijau dan tulisan "Warung Kopi Purnama" dengan huruf  putih dan merah tebal berlatar hitam tergantung di ujung depan, seolah-olah memanggilnya. Itu warung kopi kuno, alih-alih seperti sebuah coffe shoop, malahan lebih mirip bangunan masa lampau yang salah tempat di tengah-tengah gedung-gedung ruko yang begitu tinggi.

Sejenak Nana merasa ragu, tetapi hujan turun makin deras, hingga dia akhirnya memutuskan masuk. Suasana tampak sepi, dan ternyata bagian dalam warung kopi itu lebih bagus daripada bagian luarnya. Seperti cafe jaman belanda, dengan dinding berwarna krem dan kursi meja yang terbuat dari kayu jati, dengan hujan yang turun deras di sana, suasana tampak lebih dramatis.

Ini adalah jenis cafe dimana Nana bisa duduk berjam-jam tanpa bosan. Nana duduk, lalu memesan secangkir kopi, dan roti bakar sebagai temannya. Sepertinya dia akan lama di sini menunggu hujan, jadi tidak ada salahnya dia memesan makanan. Nana menolehkan kepalanya ke sekeliling. Suasana Cafe cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati kopi di sana, mungkin berteduh, mungkin juga sedang bernostalgia.

Ketika pesanannya datang, Nana mengeluarkan buku, tetapi setelah beberapa lama mencoba berkonsentrasi membaca, dia menyerah. Hujan itu menghalau konsentrasinya, dia lebih tertarik menatap hujan, menghitung helaan buliran air yang menghempas tanah, dan mengenang Rangga. Hari itu juga hujan, ketika Rangga kecelakaan. Apakah hujan jugakah yang membunuh kekasih hatinya?

Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Nana dari hujan, dia mengernyit dan terpana menatap sosok yang memasuki pintu dengan rambut basah. Rangga?

Sejenak jantung Nana berdegup kencang. Tetapi kemudian kesadarannya kembali, itu sudah pasti bukan Rangga. Rangganya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dia sendiri yang menaburkan bunga terakhir ke sana sebelum mereka mengubur jenazahnya. Bagaimana bisa dia mengira orang ini sebagai Rangga?

Lelaki itu menatap ke arah Nana, lalu berkedip sejenak, kemudian mengalihkan matanya, dan melangkah menuju sudut lain di warung kopi itu, Nana terus mencuri-curi menatapnya, mencoba menemukan jawaban. Lelaki ini tidak mirip dengan Rangga, apalagi penampilannya berbeda. Rangga selalu rapi, sederhana dan tampan dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Sedangkan lelaki ini berbeda, lebih urakan, lebih santai sekaligus elegan dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat muda, hidung mancung dan bibir tipis yang sangat sesuai dengan keseluruhan wajahnya yang maskulin. Lelaki ini begitu tampan, seperti lukisan. Jenis lelaki yang sudah pasti dihindarinya, karena pasti seorang pemain perempuan.

Dengan gugup Nana meneguk kopinya, berusaha menenangkan diri. Kenapa dia begitu tertarik dengan lelaki ini, seolah tidak mampu mengalihkan pandangannya? Dan kenapa dia langsung teringat kepada Rangga? apa karena caranya memasuki ruangan? dengan rambut basah tapi tidak peduli, khas Rangga. Dan kenapa pula Rangga terus memenuhi pikirannya, bahkan ketika dia sudah ingin melangkah, meninggalkan masa lalu dan melupakan Rangga? Apakah ini pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan kekasihnya itu?

***

"Mungkin kau salah lihat, atau kau terbawa lamunan sehingga kau berpikir lelaki itu tampak mirip dengan Rangga." Nirina melirik ke arah sahabatnya yang begitu murung setelah bercerita.

Nana menghela napas, "Masalahnya lelaki itu tidak mirip dengan Rangga. Dia lebih seperti pangeran hedonis yang salah tempat di warung kopi itu."

"Kalau kau sebegitu penasarannya,  kenapa kau tidak mendekati laki-laki itu?"

Nana mengerjapkan matanya, "Aku... aku takut..."

"Takut apa? Takut jadi korban pesona sang pangeran hedonis?" Nirina terkekeh

Bukan. Gumam Nana dalam hati. Aku takut kalau aku sudah gila dan mengira semua orang sebagai Rangga. Aku takut kalau ternyata aku hidup di dunia khayalanku selama ini.

Nirina menatap Nana dengan simpati, sahabatnya itu masih sering melamun dan tampak sedih, bahkan setelah setahun kematian Rangga. Ya, siapa juga yang tidak sedih, ditinggalkan kekasihnya sehari sebelum pernikahan mereka, kalau Nirina mungkin tidak akan bisa setegar Nana menghadapinya.

"Datanglah ke sana lagi."

"Apa?" Nana mendongakkan kepalanya, mengernyit.

"Datanglah ke warung kopi itu lagi, mungkin saja kau akan berjumpa laki-laki itu lagi, Entah dia memang mirip Rangga atau dia hanya halusinasimu, setidaknya kau tidak akan bertanya-tanya lagi."

***

Nana melangkah ragu memasuki warung kopi itu. Hari ini, tepat seminggu kemudian, pada jam yang sama, hari yang sama. Dia duduk dan memesan seperti biasa, lalu menunggu sambil mengeluarkan buku bacaan yang selalu dibawanya kemana-mana, terjemahan novel sastra inggris lama lama, berjudul Jane Eyre.

Hari ini juga sama, hujan turun begitu deras di luar, mendung membuat langit menghitam, sehingga suasana sore ini tampak seperti malam. Dan Nana menunggu. Menunggu laki-laki yang mirip Rangga itu.

Lama. Hampir satu jam Nana menunggu, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Mungkin dia tak akan datang lagi, Nana mendesah. Mungkin kemarin memang hanya halusinasinya. Halusinasi yang muncul kala hujan turun. Karena dia terlalu merindukan Rangga...

Warung kopi itu sudah hampir tutup karena sore sudah menjelang. Dan meskipun hujan masih turun dengan derasnya di luar, Nana mengemasi tasnya, kemudian melangkah pergi. Dengan gontai, dia berjalan menyusuri trotoar, berpayungkan payung kecil warna merah hati. Entah kenapa dia merasakan sebersit kekecewaan karena ternyata laki-laki itu tidak ada. Yah, lagipula apa yang diharapkannya? Mana mungkin sebuah kebetulan terjadi dua kali?

"Nona. Tunggu sebentar."

Langkah Nana terhenti ketika menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya. Kepada siapa lagi? Trotoar itu sepi karena semua orang memilih berteduh di dalam, menghindari hujan deras.

Dengan hati-hati Nana membalikkan badannya, dan untuk kesekian kalinya.... tertegun.

Lelaki itu. Dan memang tidak mirip dengan Rangga. Sedang melangkah tergesa mengejarnya, tanpa mempedulikan baju dan rambutnya yang basah kuyup di terpa hujan. Novel Jane Eyre-miliknya terlindung dalam lengan laki-laki itu.

***

"Kau meninggalkannya di meja ." Lelaki itu berdiri, begitu tinggi menjulang di atas Nana, membuat Nana harus mendongakkan kepalanya ketika menatapnya.

Ketika Nana tidak berkata apa-apa, lelaki itu terkekeh, "Aku biasanya mampir di warung kopi itu pukul empat, sepulang kuliah, tetapi hari ini terlambat, karena hujan deras membuat jalanan macet dan banjir, ketika aku datang cafe sudah hampir tutup dan aku melihat buku itu di meja, dan melihatmu melangkah di trotoar ketika aku masuk. Betul bukan ini bukumu?" Lelaki itu mengulurkan bukunya, suara laki-laki itu mengeras, mencoba mengalahkan derasnya hujan.

Nana masih terpana menatap sosok itu, kemudian mengerjap ketika mendapati lelaki itu menatapnya dengan bertanya-tanya, dia lalu menganggukkan kepalanya dan menerima buku itu, dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tasnya.

"Terimakasih."

"Sama-sama. Namaku Reno."

Nana menelan ludahnya,

"Oh...aku Nana." dengan gugup dia menghela napas. Sudah selesai. Lelaki ini sama sekali tidak mirip dengan Rangga, mungkin Nana memang sudah sedikit gila, mengira semua lelaki sebagai Rangga . Nana mencoba membalikkan tubuhnya, "Terimakasih, aku.. aku harus pergi."

"Nana." Reno menggenggam tangannya, menahan Nana, ketika Nana hanya terdiam dan melirik tangan Reno yang mencengkeram tangannya, lelaki itu langsung melepaskannya dan berdiri dengan gugup.

"Eh.. maaf, aku merasa, mungkin kita bisa lebih mengenal lagi. Aku juga suka membaca, meskipun sastra inggris kuno bukanlah kesukaanku." Reno tampak terkekeh lagi, begitu ceria. "Kau akan sering ada di warung kopi itu kan?"

Nana tercenung. Beranikah dia? Bertemu lagi dengan lelaki ini? Hening yang lama, kemudian dia mengangguk,

"Mungkin aku akan datang ke sana, ketika aku ingin menikmati secangkir kopi dan menghitung hujan." jawabnya pelan,

Reno mengangguk, "Menghitung hujan, istilah yang bagus, itulah yang sering kulakukan setiap sore di warung kopi itu. Semoga aku beruntung bisa menjumpaimu lagi di sana. Sampai jumpa Nana."

Dan kemudian lelaki itu membalikkan tubuhnya, berlari menembus hujan deras. Nana terpaku menatapnya, sampai bayangan lelaki itu tertelan kabut hujan.

***

"Jadi, kau tidak berani ke sana lagi?" Nirina menatapnya dengan mencemooh, "Kau menjanjikan sesuatu pada seseorang, lalu kau mengingkarinya."

Nana memalingkan muka, tidak kuat menanggung rasa bersalah, Memang dia pengecut. Sangat pengecut. Ini sudah satu bulan sejak pertemuannya dengan lelaki bernama Reno yang sangat mirip Rangga itu, dan Nana sama sekali tidak berani menginjakkan kakinya ke warung kopi itu. Dia... takut, entah kenapa.

"Untuk apa aku ke sana Nirina? toh aku hanya memandang lelaki itu sebagai pengganti Rangga, sebagai orang yang entah kenapa mirip dengan Rangga."

"Tetapi dia bukan Ranggamu, kau sendiri yang bilang kalau penampilan mereka berbeda."

"Dia tetap mirip Rangga. Bukan dari segi fisik, dia mirip dengan cara yang berbeda." Dan Jantungku berdebar setiap ada di dekatnya. Nana mendesah, putus asa.

Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nana. Kau tahu, aku sedih melihatmu terpuruk seperti ini. Sudah setahun sejak kematian Rangga, dan kau seharusnya sudah melangkah. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Mungkin Tuhan punya misteri dan rencana tersendiri mempertemukanmu dengan lelaki yang mirip Rangga, mungkin. Dan kau tidak akan mengetahui rencana apa itu, kalau kau takut melangkah."

"Jadi menurutmu aku harus menemui laki-laki itu?"

Nirina mengangkat bahunya, "Mirip atau tidak dengan Rangga. Setahuku, laki-laki itu adalah satu-satunya yang kau pikirkan selain Rangga. Temuilah dia."

***

"Hai." Nana berdiri gugup, di depan laki-laki itu yang sedang menundukkan kepala, tenggelam dalam bacannya.
Reno mendongakkan kepalanya. Sekejap dia mengerjapkan matanya, seolah terkejut, tetapi kemudian senyumnya terkembang,

"Nana." senyumnya makin melebar, "Duduklah."

"Kau ada di sini setiap sore?" Nana mengalihkan pandangan ke luar. Entah kenapa hujan turun lagi dengan derasnya, dan entah kenapa nana tidak kuat menghadapi pandangan tajam laki-laki itu.

"Setiap sore." Reno meletakkan bukunya, "Sepertinya kau sangat sibuk ya."

Nana menganggukkan kepalanya gugup. Dia tidak sibuk apa-apa. Dia cuma tidak berani datang dan menemui Reno,  tetapi kebohongan itu sudah meluncur mulus di bibirnya.

"Aku sibuk dengan kuliah dan pekerjaan rumahku bulan ini, jadi tidak sempat keluar-keluar,"

Reno menatapnya memaklumi. Meskipun Nana sadar, Reno jelas-jelas mengerti bahwa Nana sudah berbohong kepadanya.

"Aku senang pada akhirnya kau bebas dan bisa datang." Lelaki itu menunjukkan sampul buku yang dibacanya, "Lihat aku sudah menyelesaikan satu set buku ini sambil duduk di sini setiap hari.

Nana melirik ke sana. Bacaan itu tidak dikenalnya, bukan tipe bacaan yang disenangi Nana.

"Kau tidak tahu ya. Ini novel karangan Michael Scott, yang ada di tanganku ini adalah buku ke enam dari serial The Secret of The Immortal Nicholas Flamel, yang ini judulnya The Enchantress." Reno tetap menjelaskannya meskipun judul buku itu sudah tertera jelas di halaman depannya, membuat Nana tertawa.

"Kenapa kau tertawa?"

"Tidak." Nana menahan kekehan gelinya, "Hanya saja buku itu bukan tipeku."

"Ah tentu saja. Kau penggemar bacaan romansa gelap dari masa lalu, kisah pengasuh yang jatuh cinta kepada majikannya yang dingin, kejam dan tak berperasaan tetapi sebenarnya romantis." Reno mencibir, "Tipikal bacaan perempuan."

"Tapi kau tahu isi Jane Eyre, berarti kau membacanya."

Reno memutar bola matanya, "Aku ingin tahu, ketika melihat seorang perempuan meninggalkannya di meja sebuah cafe, jadi aku mencari tahu dan membacanya."

Nana terpana, lalu tersenyum. Hatinya terasa hangat, entah kenapa. Sudah lama sekali dia tidak merasakan kehangatan ini. Sama seperti dulu, ketika bersama Rangga, berdebat masalah buku di tengah hujan, perasaannya sama. Dan meskipun secara fisik Reno berbeda jauh, lelaki ini mengingatkannya kepada Rangga. Mengingatkannya kepada masa-masa bersama Rangga.

"Kau belum memesan. Aku rekomendasikan kau membeli roti Palm Suiker sebagai teman minum kopimu." Lelaki itu mengedipkan matanya ke arah buku menu.

Nana mengernyit. Biasanya dia hanya memesan roti bakar standar sebagai teman minum kopinya di sini, "Apakah enak?"

"Enak kalau sambil minum kopi diiringi hujan, sambil menyantap selembar roti sederhana yang ditaburi brown sugar dengan aroma harum yang khas."

"Kau membuat air liurku keluar." Nana tertawa, lalu memesan roti itu, dan secangkir kopi. "Sampai di mana kita tadi?"

"Sampai ketika aku bilang bahwa perempuan selalu menyukai tipikal penjahat romantis di buku-buku roman mereka."

Dan percakapan itu berlanjutlah. Di tengah hujan deras yang mengiringi di luar, diantara harumnya uap beraroma kopi dan harumnya roti yang baru keluar dari pemanggangan. Nana terlarut bersama Reno, di sebuah warung kopi yang temaram.

***

Bersambung ke Part 2  

Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/menghitung-hujan-part-2.html  PS : Dear all, maafkan yang sudah menunggu lama yah karena beberapa halangan dan kurang sehat beberapa hari ini aku jadi nggak bisa posting di blog dan nggak bisa online :) semoga all readers memaafkan yah :) *peluk sayang semuanya*

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 15, 2013 23:45

January 9, 2013

Perjanjian Hati Part 9 - End

   Created On Bandung 28th December 2013Part 9Kadangkala cinta yang kau nantiSudah ada dalam genggaman tanganmuHanya saja kau belum menyadarinya :)           Nessa merasakan napasnya sesak ketika air laut mulai menenggelamkannya, asin yang panas memasuki tubuhnya, membuatnya megap-megap mencoba meminta pertolongan untuk terakhir kalinya, lalu semuanya hampir terasa gelap. Lalu lengan kuat itu mengangkatnya, menempelkan tubuh lemasnya ke dada telanjangnya yang keras. Aroma itu.. aroma parfum yang sangat dikenalnya...  Kevin? Nessa tersenyum dalam hati, menyadari Kevin telah menyelamatkannya. Lalu kesadarannya hilang. ***  Dia terbangun dan langsung terbatuk-batuk, membersihkan tenggorokannya yang terasa panas, Ibu Nessa berusaha menepuk-nepuk pundak Nessa untuk membantunya, sementara Ervan berlari keluar untuk memanggil dokter. Nessa menatap sekeliling ketika kesadarannya sudah kembali, dimana Kevin? itu yang terpikir olehnya pertama kali. Bukankah waktu itu Kevin yang menyelamatkannya? kenapa sekarang dia tidak ada? Tiba-tiba sebersit rasa kecewa memenuhi dirinya.  Ervan masuk kembali dengan dokter, dan Delina yang mengikuti dengan cemas di belakangnya . Dokter memeriksa Nessa sejenak lalu pergi dan  tampak becakap-cakap dengan ibu Nessa dan Ervan, sementara Delina duduk di tepi ranjang,   "Syukurlah kak Nessa, kakak sudah sadar, kami cemas sekali menanti di sini." Delina duduk di pinggiran ranjang dan menggenggam tangan Nessa. Nessa tetap memandang ke sekeliling, masih susah berbicara. Dimana Kevin? pikirnya. Delina sepertinya menyadari apa yang ada di benak Nessa, dia tersenyum. "Kak Kevin sedang membeli kopi di bawah. Kami yang memaksanya supaya menyingkir karena seharian dia seperti orang gila, mondar mandir di koridor, keluar masuk kamar, menunggumu sadar." Kevin mencemaskannya sampai seperti itu? benarkah? Sejenak dada Nessa membuncah oleh perasaan hangat. Lalu dia teringat akan kejadian sebelum dia tenggelam, kedatangan Paula, sikap acuh tak acuh Kevin ketika Paula terang-terangan menggodanya, dan kemudian kemarahan Nessa yang kekanak-kanakan. Astaga, kenapa dia marah? Kalau dia tidak mempunyai perasaan terhadap Kevin, dia tidak perlu semarah itu. Omong kosong kalau Paula memang tidak menghargai keberadaannya, seharusnya hal itu tidak akan mengganggunya kalau dia tidak mempunyai perasaan apa-apa kepada Kevin. Pipi Nessa memerah malu menyadari betapa kekanak-kanakan sikapnya sebelum tenggelam, Kevin pasti menertawakannya, karena dia seolah menunjukkan kalau dia cemburu berat kepada Paula. "Kak Kevin tampak sangat menyesal karena kak Nessa sampai tenggelam." Delina menyambung, tidak menyadari perubahan ekspresi Nessa. Lalu pintu terbuka dan Kevin masuk, lelaki itu langsung menghampiri Dokter dan bercakap-cakap dengannya, dan setelah dokter pergi, langsung melangkah mendekati ranjang. Delina, yang melihat ibu Nessa serta Ervan melangkah keluar, langsung ikut berpamitan keluar dulu, memberi kesempatan kepada Kevin berduaan dengan Nessa. Lelaki itu tampak letih. Nessa menyimpulkan. Apakah karena dirinya?   "Bagaimana perasaanmu?" Kevin menarik kursi mendekat dan duduk di samping ranjang, mengamati Nessa dengan cermat. "Aku baik." jawab Nessa pelan, suaranya masih serak dan tenggorokannya masih sakit. Tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. "Maafkan aku." suara Kevin berbisik, "Aku memaksamu berenang. Pada akhirnya aku tidak menjagamu." Karena aku yang lari darimu, karena aku cemburu dan kekanak-kanakan. Nessa mendesah dalam hati, tetapi kata-kata itu tidak bisa keluar dari bibirnya. Dia hanya menggeleng lemah. Kevin tersenyum tipis sambil menatap Nessa, lalu menghela napas. "Aku.. kau bilang pernikahan ini seperti di neraka." mata Kevin tampak muram, "Aku tidak menyadari kalau kau begitu tersiksa dengan pernikahan ini. Karena aku.. karena aku sendiri mungkin bisa dikatakan menikmatinya." Lelaki itu mendesah, lalu seolah tidak tahan duduk lama disitu dia berdiri dan memasukkan tangan ke saku celananya, "Nanti setelah kau sembuh, kita bicarakan perihal perceraian. Aku akan memikirkan cara terbaik untuk menjelaskan kepada semuanya. Memang tidak adil menahanmu ke dalam pernikahan sandiwara ini." Kevin mendekat ke tepi ranjang, lalu membungkuk dan tanpa dinyana, mengecup dahi Nessa dengan lembut. "Cepat sembuh ya." bisiknya pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan Nessa yang tertegun tanpa mampu berkata-kata. Perasaannya berkecamuk, dan dia bingung harus bagaimana. *** Perceraian. Nessa memejamkan matanya. Bukankah itu jalan keluar yang terbaik dari pernikahan sandiwara ini? dari awal mereka menikah untuk mencegah perjodohan yang dilakukan mama Kevin untuk Kevin dan Delina, demi kebahagiaan adik-adik mereka. Dan memang benar, setelah mama Kevin meninggal, tidak ada yang perlu dipertahankan dari pernikahan ini. Tetapi meskipun ini adalah jalan keluar yang terbaik, entah kenapa Nessa merasa ini tidak benar. Hatinya memberontak ketika mendengar kata perceraian, dan itu karena alasan yang tidak dia tahu. Kenapa? Kenapa dia tidak menginginkan perceraian? Apakah itu karena dia merasa nyaman menjadi isteri Kevin, dan ingin terus menjadi isterinya. Apakah sebenarnya.... tanpa disadarinya, dia telah jatuh cinta kepada lelaki itu? Nessa memejamkan matanya ketika gemuruh perasaannya membuat kepalanya terasa pening. Jatuh cintakah dia kepada Kevin? Nessa tidak berpengalaman dalam hal jatuh cinta. Dia hanya pernah satu kali menyerahkan hatinya kepada laki-laki. Kepada Marcell, dan itupun dia telah dilukai sedemikian rupa.  Perasaannya sekarang kepada Kevin berbeda, bukan perasaan berbunga-bunga, jantung berdegup kencang ataupun terasa melayang-layang ketika membayangkan Marcell seperti dulu. Perasaannya kepada Kevin  ini tumbuh dengan pelan seiring berjalannya waktu. Muncul ketika menyadari betapa sayangnya Kevin kepada adik dan mamanya, muncul ketika dia merengkuh Kevin yang rapuh menangis dalam pelukannya, muncul dari kebersamaan mereka ketika Kevin tanpa ragu menopangnya ketika dia butuh dorongan, muncul di setiap detiknya bersama laki-laki itu. Dan mungkin inilah cinta, karena dia merasakan cemburu luar biasa atas kehadiran Paula. Oh astaga. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada Kevin. Tapi bagaimana sekarang? Karena dorongan cemburu yang kekanak-kanakan, dia telah mengatakan kepada Kevin bahwa pernikahannya seperti di neraka. Padahal sesungguhnya, dia bahagia. Dia bahagia. Haruskah dia mengungkapkan semuanya kepada Kevin? Tapi perasaan Kevin kepadanya sangat misterius. Lelaki itu mengatakan bahwa dia menikmati pernikahan mereka. Tidak lebih. Belum lagi kejadian malam itu, yang menunjukkan bahwa ketertarikan Kevin kepadanya hanya sekedar nafsu.  Ataukah jangan-jangan.... Kevin memang menginginkan perceraian ini? Karena ada Paula? Karena dia merindukan kebebasannya bercinta dengan semua perempuan tanpa harus dibebani tanggung jawab kepada seorang isteri? Benak Nessa dipenuhi berbagai pikiran, membuat dadanya semakin sesak. *** Pagi itu Nessa pulang dari rumah sakit, Kevin yang menjemputnya di-jam makan siang, masih mengenakan jas kerja yang membuatnya tampak elegan dan begitu tampan. Mereka diam dalam perjalanan pulang.  Mereka masuk ke kamar dan Nessa duduk di pinggiran ranjang, menatap Kevin yang meletakkan tas-tas berisi pakaian Nessa ke depan meja rias, "Kau tidak berangkat kerja lagi?" Kevin menoleh dan tersenyum, "Tidak, aku tidak kembali lagi. Aku pikir mungkin kau perlu ditemani hari ini." Nessa mendesah, "Tidak apa-apa, aku bisa istirahat dan tidur seharian."  "Aku sudah memintakan izin ke TK tempatmu mengajar." Kevin termenung, "Kau akan bosan kalau berbaring seharian disini tanpa teman, jadi aku akan menemanimu. Delina masih kuliah sampai sore, dan aku juga sudah meminta ibu untuk sementara tinggal di sini menemanimu besok kalau aku bekerja dan rumah kosong sementara kau masih harus istirahat di rumah, beliau baru bisa menginap disini nanti malam, aku sudah menyuruh supir menjemput beliau." "Terimakasih Kevin." bisik Nessa dengan tulus. Kevin tersenyum, lalu duduk di sofa di sudut kamar, menatap Nessa dengan miris. "Kita harus mulai mempersiapkan bagaimana menjelaskan kepada mereka semua kalau kita akan berpisah." Kenapa kau tampak sangat ingin segera berpisah denganku? Hati Nessa dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya pedih, tetapi dia tidak mampu mengutarakannya. "Mungkin kita harus mengutarakan yang sebenarnya kepada mereka." gumam Nessa akhirnya. Kevin tersenyum, "Delina akan mengamuk kepadaku. Dia pasti berpikir aku sudah menodaimu, mengingat reputasiku selama ini." "Aku akan menjelaskan kepadanya." Nessa tersenyum, "Bahwa kau berlaku bagai malaikat terhadapku setiap malam."  "Malaikat?" Kevin menatap Nessa dengan pandangan misteriusnya lagi, seakan ingin berkata sesuatu tetapi tertahankan, "Aku sebenarnya tidak ingin perceraian ini terjadi, apalagi dalam waktu-waktu dekat." Janutung Nessa berdegup, merasakan harapan tumbuh di dalam dirinya. Kevin tidak menginginkan perpisahan dengannya? Apakah itu karena Kevin ingin bersamanya? Kevin... mencintainya?" "Kenapa?" suara Nessa serak oleh antisipasi. "Kalau kita bercerai kau akan menyandang janda di usia muda, diceraikan hanya dalam beberapa bulan pernikahan.... aku laki-laki, beban sosialku tidak akan seberat dirimu." Kevin mendesah, "Aku mencemaskanmu. Itulah alasanku menunda-nunda perihal pernikahan ini." Tetapi kau tidak mencintaiku. Nessa mendesah lagi dalam hati. Seandainya kau bilang kau tidak menginginkan perpisahan karena kau mencintaiku, aku akan mengaku kalau aku mencintaimu... "Aku tidak apa-apa. Aku sudah lelah dengan sandiwara ini." Nessa mendesah, akhirnya. "Kenapa kau begitu ingin perceraian?", Kevin menatapnya lurus-lurus, "Apakah kau tidak bahagia?" Bukankah kau yang menginginkan perceraian? Nessa menjerit dalam hati. Tetapi lalu memalingkan muka, bingung harus menjawab apa. "Aku minta maaf kalau sudah membuat hidupmu bagai di neraka. Sungguh aku tidak berencana menyiksamu seperti itu. Kau mungkin ingin bebas dan menemukan cinta sejatimu di luar sana, dan itu tidak akan terjadi kalau kau masih terikat sebagai isteriku." Kevin mendesah, "Aku tidak berhak menghalangi kebahagiaanmu." Nessa memejamkan matanya, tak sanggup lagi mendengar. "Kau tidak apa-apa?" Kevin tampak cemas melihat Nessa memejamkan matanya sambil mengerutkan dahi. "Aku hanya sedikit pusing." Jawab Nessa pelan. Pusing dan patah hati, pastinya. Kevin mengangkat bahunya dan beranjak pergi,  "Yah.. istirahatlah, kita bicarakan nanti kalau kondisimu sudah lebih baik. Kalau kau butuh apa-apa, aku ada di ruang kerjaku." Lelaki itu beranjak dan meninggalkan ruangan. ***  Nessa sepertinya sudah tertidur lama, karena merasa lemas ketika terbangun. Suasana rumah sunyi senyap, dengan pelan dia beranjak bangun dari ranjang dan melangkah keluar. Rumah tampak lengang, tidak ada siapapun di sana. Para pelayan mungkin sedang sibuk di dapur. Dan Kevin... mungkin ada di ruangan kerjanya. Nessa melangkah menuruni tangga dengan pelan, kemudian tertegun ketika berada di ruang tamu dan menatap ke luar jendela. Ada mobil warna kuning cerah yang diparkir di halaman. Apakah Kevin sedang menerima tamu? Nessa melangkah penuh ingin tahu ke ruang kerja Kevin, terdengar suara percakapan samar-samar di sana. Pintu ruang kerja tidak tertutup sepenuhnya sehingga suara di dalam masih bisa keluar. Itu suara perempuan... suara Paula!  Oh Ya ampun! Bahkan perempuan itu masih mengejar kemari, di rumah Kevin. Saat dia ada di rumah! Sungguh keterlaluan!  Tetapi kemudian, percakapan yang terdengar olehnya membuatnya tertegun. *** "Apakah tujuanmu pada akhirnya tercapai?", itu suara Paula dengan ciri khas genit dan bercampur logat kebarat-baratannya. "Tidak. Belum. Dan aku masih membutuhkan bantuanmu." Itu suara Kevin, terdengar tegas dan dingin. "Ah, Kevin yang keras hati ternyata masih membutuhkan bantuanku." Paula terdengar terkekeh geli, lalu suaranya merendah sensual, "Seperti malam itu, ketika kau menyusuhku menyusul ke cottage tempatmu berada, tepat setelah kau bertengkar dengan Nessa..... ternyata aku masih berguna juga untuk menyenangkanmu." Kevin yang menyuruh Paula menyusul ke cottage itu? Jadi bukan Paula yang menyusul dengan inisiatifnya sendiri karena obsesinya terhadap Kevin? Wajah Nessa memucat. Astaga, betapa keterlaluannya Kevin. Pada satu titik dia merayu Nessa karena terdorong nafsu di atas ranjang, dan ketika Nessa menolaknya, dengan mudahnya Kevin memanggil perempuan lain untuk memuaskan nafsunya! Nessa mungkin telah salah menilai Kevin, lelaki ini bermoral bejat, dia tidak seharusnya mencintai Kevin! "Nessa?" suara Kevin membuat Nessa yang berdiri terpaku di pintu terlonjak dari lamunannya, "Sudah sejak kapan kau ada di situ?" Suara Nessa bergetar karena emosi, "Sudah sejak aku mendengar betapa tidak bermoralnya dirimu!" Ditatapnya Kevin yang terpaku dengan tatapan cemas dan Paula yang memandangnya dengan senyuman aneh berganti-ganti, "Aku menginginkan perceraian. Segera." Air mata mulai membuat matanya terasa panas. Tidak! Kevin tidak boleh melihatnya menangis! Dengan segera, dia membalikkan badan, hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi Kevin bergerak cepat dan meraih tangannya, menahannya dengan keras. "Tunggu dulu!" serunya marah, "Kau salah paham! Biar aku jelaskan." "Menjelaskan apa?" Kali ini Nessa tidak bisa menahan air matanya, "Aku mendengar sendiri, ternyata kau yang menyuruh Paula menyusulmu ke pantai itu. Bukan Paula yang mengejarmu! Aku jijik kepadamu Kevin! Aku tidak menyangka kau tidak bisa menahan nafsumu, padahal status kita masih suami isteri. Setidaknya kau harus menghormatiku, meskipun pernikahan ini hanya sandiwara!", Nessa berteriak tidak peduli ada Paula di sana, mendengar semuanya. Toh pernikahan ini akan berakhir bukan? "Kau salah paham! Aku tidak menyuruh Paula menyusul untuk menidurinya!", Kevin berseru setengah emosi, "Aku menyuruhnya untuk membantuku! Untuk membuatmu cemburu!" Apa? Nessa tertegun. Pernyataan terakhir Kevin.. apakah dia tidak salah dengar? Kevin meminta Paula membantu membuatnya cemburu? Kenapa Kevin melakukannya? Ditatapnya Paula yang melihat pertengkaran mereka sambil mengangkat alis dan senyum menghiasi bibirnya yang berlipstick merah menyala itu. "Wah..wah, sepertinya ini pertengkaran pribadi suami isteri, dan aku tidak berhak ikut campur." Paula meraih tasnya yang tergeletak di meja, "Seharusnya kau berbangga hati Nessa, seorang Kevin, yang tidak pernah peduli pada seorang perempuan, sampai memohon bantuanku, hanya untuk membuatmu cemburu." Paula mengedipkan sebelah matanya sebelum melangkah pergi, "Dulu aku dan Kevin memang kekasih, tetapi sekarang tidak lagi. Kami hanya bersahabat, aku sudah menikah secara rahasia dengan kekasih sejatiku, bahkan Kevin yang menjadi saksi pernikahan kami. Aku berutang kepada Kevin, karena itulah aku setuju untuk membantunya." Paula lalu melempar senyum kepada Kevin, "Sepertinya sampai di sini aku bisa membantumu, Kevin sayang. Semoga kau bisa membereskan masalah rumah tanggamu dengan baik dan berujung bahagia." lalu perempuan itu melangkah pergi meninggalkan ruangan. ***  Nessa tertegun, menatap kepergian Paula, lalu berbalik menatap Kevin dengan marah, dihempaskannya tangan Kevin yang masih menahan tangannya, kali ini Kevin menyerah dan melepaskannya. Mereka berdiri berhadap-hadapan di depan ruang kerja Kevin. "Apa maksud semua ini." Kevin mengacak rambutnya frustrasi, lalu melangkah memasuki ruangan kerjanya, "Duduklah, dan aku akan menjelaskan semuanya." Tanpa suara Nessa mengikuti Kevin dan duduk di sofa ruang kerja itu, di depan Kevin. "Jelaskan padaku." gumam Nessa dengan suara bergetar ketika Kevin tetap tidak bersuara. Lelaki itu memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafasnya. "Seperti yang kau bilang tadi, aku meminta bantuan Paula untuk membuatmu cemburu." "Kenapa?" sela Nessa cepat. Kevin menatap Nessa dengan tajam, "Karena aku ingin kau cemburu kepadaku." "Lalu apa tujuanmu? Apakah untuk memuaskan ego lelakimu ketika isterimu cemburu kepadamu?" gumam Nessa jengkel. Sialan! semua ini direncanakan dan dia terpancing dengan mudahnya. Mungkin Kevin dan Paula menertawakan sikapnya diam-diam di belakangnya. Pemikiran itu membuat hatinya terasa sakit. "Bukan, astaga Nessa, kenapa kau selalu berpikiran buruk kepadamu?" gumam Kevin marah, "Aku ingin kau cemburu kepadaku karena aku mencintaimu." Kali ini Nessa benar-benar ternganga, itu tadi.. apakah itu pengakuan cinta Kevin kepadanya? Kevin melirik Nessa yang terpaku, lalu tersenyum kecut. "Yah, semua karena aku mencintaimu, mau dibilang bagaimana lagi. Kau mungkin tidak percaya. Tetapi aku sudah menyimpan perasaan kepadamu sejak di pesta itu, ketika aku melihatmu pertama kali, berdiri dengan cantiknya di sana sendirian. Lalu dengan angkuhnya menolak rayuanku. Aku menyelidiki masa lalumu lebih karena aku ingin tahu tentangmu, bukan karena kau adalah kakak Ervan. Dan aku semakin mencintaimu ketika tahu kisahmu, masa lalumu bersama Marcell, segalanya..." Kevin mendesah frustrasi, "Kau mungkin tidak akan percaya, tetapi bahkan aku menawarkan perjanjian sandiwara gila itu lebih karena aku terdorong oleh perasaanku, daripada akal sehatku. " Ketika Nessa tetap tidak berkata-kata, Kevin melanjutkan. "Seiring berjalannya waktu perasaanku semakin dalam. Pernikahan ini adalah saat paling membahagiakan dalam hidupku. Ketika aku bangun di pagi hari dan menyadari kau sedang bergelung mencari kehangatan di tubuhku, ketika aku bergegas pulang dari kantor karena tidak sabar bertemu denganmu. Ketika aku menatapmu dan bergumam dalam hati, memanggilmu sebagai isteriku. Aku merasa terlalu bahagia, sehingga menyimpan harapan konyol bahwa pernikahan  ini akan berlangsung selamanya." Kevin menatap Nessa lekat-lekat, matanya tampak sedih, "Tetapi aku tidak bisa membacamu. Aku tidak bisa menebak perasaanmu, karena itulah aku meminta Paula membantuku, untuk melihat apakah kau cemburu kepadaku." Kevin mendesah, "Cara kau memarahi Paula di makam itu membuatku bahagia luar biasa, kau dengan gigih mempertahankanku. Karena itulah malam itu aku berharap lebih, terlalu percaya diri, aku memutuskan untuk merayumu...." Kevin mengerjapkan matanya, "Tetapi kau tahu hasilnya seperti apa bukan? bukannya merayumu, aku malah menunjukkan kepadamu bahwa aku hanyalah bajingan yang menyimpan nafsu tak bermoral kepadamu." Nessa menggelengkan kepalanya, tetapi tak bisa berkata-kata. "Malam itu aku begitu marah." gumam Kevin, "Aku ingin membuatmu menunjukkan  kalau kau juga menyimpan perasaan yang sama kepadaku. Dalam kemarahanku aku menelepon Paula, untuk menyusul ke pantai, untuk memancing cemburumu lagi. Mungkin dengan kehadiran Paula kau bisa menyadari bahwa kau sebenarnya juga tertarik kepadaku." Kevin tertawa pahit, menertawakan dirinya sendiri, "Pada akhirnya kau malahan mengatakan kepadaku bahwa pernikahan kita bagaikan di neraka untukmu. Dan kemudian aku malahan membuatmu celaka... Oh astaga padahal yang kuinginkan hanyalah mengetahui perasanmu kepadaku. Aku akan sangat senang kalau kau juga mencintaiku, tetapi kalau kau belum mencintaikupun aku bertekad akan membuatmu mencintaiku." "Bukan salahmu kalau aku tenggelam..." desah Nessa cepat. Kevin mengangkat bahu, "Jangan membelaku, semua salahku. Aku yang memaksamu mencoba berenang di laut, aku berjanji untuk menjagamu tetapi pada akhirnya kau malah tenggelam. Aku tidak ingin membuatmu menderita, karena itulah aku menyerah. Kau akan kuberikan perpisahan yang sangat kau inginkan itu. Tetapi... aku hanya ingin kau tahu, aku mencintaimu Nessa, dan aku tidak peduli kau membalas cintaku atau tidak. Aku ingin kau tahu, kau memiliki hatiku, bahkan nanti ketika kita sudah bercerai. Seandainyapun kau memberiku kesempatan, aku ingin menunjukkan bahwa aku mencintaimu, lebih dari yang pernah kau tahu." Mata Nessa mulai berkaca-kaca. Semua informasi ini terlalu mendadak, sekaligus terlalu membahagiakan. Nessa tidak pernah menyangka kalau Kevin menyimpan perasaan kepadanya. Bahwa lelaki itu memupuk perasaannya pelan-pelan, diam-diam dan semakin dalam selama pernikahan mereka. "Tetapi aku tidak ingin bercerai." gumam Nessa pelan. Kevin mengerutkan keningnya mendengar jawaban Nessa, "Tetapi kau bilang kau tidak bahagia, karena pernikahan ini seperti di neraka?" Nessa berdehem, jantungnya berdegup liar, "Itu semua luapan perasaan kekanak-kanakanku, karena aku cemburu." "Apa?" suara Kevin menjadi dalam, dan was-was, "Apa Nessa?" "Aku mengatakan itu karena aku cemburu." kali ini suaranya lebih mantap. "Dan itu karena...?" Suara Kevin semakin tegang, Nessa bisa merasakan jantung Kevin berdegup liar, sama sepertinya. "Karena aku sepertinya juga menyimpan perasaan kepadamu." "Nessa!" Kevin berseru, lalu melangkah cepat ke arah Nessa dan menariknya berdiri menghadapnya, "Katakan sekali lagi! Apa maksudnya itu?" "Karena aku juga mencintaimu." Kali ini Nessa tersenyum lebar, "Dan terimakasih kepada Paula, dia memang membantumu, karena kalau tidak ada dia, aku tidak akan menyadari perasaanku." Kevin berseru pelan, lalu memeluk Nessa erat-erat. "Ah. Ya Tuhan Nessa." suara lelaki itu bergetar, "Kau tidak menyadari betapa seringnya aku mencoba membaca hatimu, menebak-nebak apa yang ada di dalam kepala cantikmu itu. Aku tidak pernah merasa begini kepada wanita lain sebelumnya. Tidak pernah!" Dengan lembut, Nessa membalas pelukan Kevin, lelaki itu kini terasa lebih dekat, tanpa penghalang saat mereka sudah saling mengungkapkan perasaan masing-masing. "Jadi kita harus bagaimana." gumam Nessa dalam senyuman. Kevin menatapnya serius. "Tidak ada perceraian. sudah pasti tidak akan ada!", Kevin menjauhkan tubuhnya sedikit dari Nessa, lalu mengecup dahi Nessa, mengecup pipi Nessa, mengecup bibir Nessa dengan kecupan ringan yang lembut. "Suka atau tidak suka kau akan menjadi isteriku selamanya." Nessa terkekeh, "Kau sangat arogan, Kevin." Lelaki itu balas tersenyum, "Aku sudah memilikimu sebagai isteriku, dan akan kupertahankan." Mata Kevin bersinar sensual dan suaranya menjadi parau, "Mungkin sekarang kita bisa membahas masalah malam pertama." Nessa memukul lengan Kevin sambil tertawa, "Apakah hal itu tidak jauh-jauh dari otak kotormu selama ini?" Kevin tertawa, tawanya lepas, tampak bahagia. "Kau tidak tahu betapa susahnya untukku menahan diri tidak menyentuhmu di ranjang itu. Setiap pagi aku bangun dengan nyeri yang menyiksa. Tetapi saat itu kupikir semua sepadan, karena pada akhirnya aku akan memilikimu." "Tetapi kau menyerah untuk melepaskanku tadi." "Karena aku mencintaimu, karena aku ingin kau bahagia." Kevin menundukkan kepalanya, lalu mengecup bibir Nessa dengan lembut, "Sekarang setelah aku mengetahui perasaanmu kepadaku, jangan harap kau akan kulepaskan." Nessa membalas kecupan Kevin, sejenak mereka hanyut dalam ciuman yang panas, sampai Kevin mengangkat kepalanya dengan napas terengah, "Aku merencanakan bulan madu di Paris dengan suasana romantis, tetapi sepertinya aku tidak mau menunggu." matanya bersinar penuh pertanyaan, membuat Nessa terharu sekaligus merasa sangat dihargai. Ketika Nessa menganggukkan kepalanya dengan lembut, Kevin meraih Nessa dan menggendongnya, seolah Nessa begitu ringan di tangannya, "Kalau begitu sekarang." gumamnya penuh hasrat, lalu mengangkat isteri yang belum pernah disentuhnya, dan membawanya menaiki tangga menuju kamar. Nessa mengalungkan lengannya di leher Kevin dengan bahagia, tak pernah disangkanya pernikahan sandiwara karena perjanjian ini akan berakhir seperti ini. Berakhir menjadi penyatuan hati, menjadi perjanjian hati.  Nessa memejamlan matanya, tidak ini bukan akhir. Ini adalah awal segalanya, bisa dibayangkannya dia dan Kevin bergandengan di usia senja, menatap wajah anak cucu mereka dengan bahagia. Tuhan memang selalu memberikan skenario misterius bagi umatnya. Dulu dia pernah begitu mencintai Marcell hingga merasa tidak mampu mencintai lelaki lain. Tetapi kemudian Tuhan memberikan Kevin untuknya, yang dicintainya dengan begitu saja. Yang juga mencintainya dengan begitu saja. Dan dia yakin bahwa mereka akan bahagia sampai akhir. Karena mereka saling mencintai, dan hati mereka sudah saling berjanji. End  Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.htmlBaca Part 6 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-6.htmlBaca part 7 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-7.htmlBaca part 8 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-8.html  
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 09, 2013 03:30

posting perjanjian hati

dear

Buat semua yang nunggu
perjanjian hati part 9 End akan diposting jam 6, maksimal jam 6.30 yaa
aku baru selesai meeting seharian ini jd baru bisa buka draftnya huhuhu
ini diedit dulu dan disiapkan untuk posting ya
InsyaAllah jam 6 sd 6.30 sudah dipostingkan
maapkan yah telat :)

*peluk sayang semuanya
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 09, 2013 02:38

January 7, 2013

Perjanjian Hati Part 8

  Created on Bandung, 26th, December 2012
Part 8

Ketika kau mencintaiku,
aku akan selalu ada di hatimu
Pun ketika kau membenciku,
aku akan selalu ada di pikiranmu

Pada akhirnya,
Aku akan selalu ada







Nessa menatap kepergian Paula dengan langkah anggun dan dramatis itu, lalu menghela napas panjang. Di sisi lain Kevin malahan mengamati Nessa, lalu terkekeh geli, membuat Nessa melemparkan pandangan membunuh kepada lelaki itu, "Kenapa kau tertawa?" Kevin bahkan makin tergelak, "Kau. Kau membuatku tertawa. Caramu menjawab pertanyaan Nessa tadi membuatku sedikit bangga. Ternyata isteriku rela mempertahankanku dari rayuan perempuan lain." "Jangan salah paham. Aku cuma tidak suka sikapnya yang merayumu terang-terangan, padahal ada aku di sebelahmu.", Nessa melirik ke arah Delina dan Ervan yang juga tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka. Sialan Kevin! pasti sekarang Delina dan Ervan mengira dia cemberut dan marah-marah karena cemburu. Kevin mengikuti arah mata Nessa, menyadari bahwa Delina dan Ervan mendengarkan percakapan mereka. Dia lalu mengedipkan mata ke arah Nessa, mengirimkan isyarat bahwa percakapan ini belum selesai, kemudian melangkah menuju mobil. *** Langit tampak cerah, biru dihiasi awan putih berbagai bentuk, seakan-akan menyambut mereka dengan keindahan pemandangannya. Nessa berdiri tanpa alas kaki, menginjak pasir putih itu dan memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang hangat yang menerpa pipinya. Rasanya hangat dan mendamaikan, apalagi dengan alunan deburan ombak yang begitu menenangkan. "Senang?" suara Kevin yang dekat di sampingnya membuat Nessa hampir terlonjak kaget. dia menoleh dan melihat Kevin berdiri di sampingnya. Lelaki itu berpenampilan santai, dengan t-shirt putih dan celana pendek warna khaki dan kaki telanjang, sangat berbeda dari penampilan sehari-harinya yang resmi. Nessa berpikir untuk membantah perkataan Kevin, tetapi dia akan tampak tidak tahu terimakasih kalau melakukannya, setidaknya biarpun menjengkelkan, Kevin sudah mengajaknya bersama Ervan dan Delina untuk menghabiskan akhir pekan menyenangkan dan merayakan ulang tahunnya. "Senang." Nessa mencoba tersenyum, mengajak berdamai, "Terimakasih sudah mengajak kemari." Kevin membalas senyuman Nessa dengan senyuman tipis, lalu menatap ke arah laut, hembusan angin laut membuat rambutnya berantakan tertiup angin dan menerpa dahinya, mengubah penampilan kerasnya menjadi lebih santai. "Dulu kami sering berlibur kesini, sekeluarga, Aku, mama, papa dan Delina, waktu umur kami masih kecil." Pandangan Kevin menerawang, mengenang, "Kemudian tahun berganti dan papa menjadi semakin sibuk, mama semakin lemah.... kadangkala disaat aku lelah, aku melarikan diri kesini." Nessa mengernyit. Pasti Kevin membawa kekasih-kekasihnya kemari untuk menghabiskan malamnya, pikirnya dengan sinis. Tanpa diduga Kevin menatapnya dan bisa membaca apa yang ada di dalam benaknya, lelaki itu terkekeh, "Hentikan semua pikiran buruk yang ada di dalam kepalamu itu." gumamnya dalam tawa, "Sendirian. Aku selalu kemari sendirian. Resor pribadi ini, cottage ini, sisi pantai yang ini, semuanya khusus hanya untuk keluarga." Nessa mengernyit lagi, "Dan apakah kau pikir aku keluargamu?" Tatapan Kevin setelahnya begitu dalam dan misterius, tidak terbaca, "Kau isteriku." *** "Malam ini kita akan makan di restoran pinggir pantai." Delina duduk di ranjang Nessa dan tampak bersemangat, "Kak Kevin memesan kue tart dari dapur resort khusus untukmu." Delina mengedipkan matanya menggoda, "Dia tidak pernah seperhatian itu kepada siapapun." Pipi Nessa memerah, entah kenapa. Padahal dia tahu pasti, Kevin melakukannya karena ada Delina dan Ervan di sini. Semua ini hanya sandiwara.... Tetapi kalau memang hanya sandiwara, kenapa jantungnya berdegup tak karuan saat ini? Mereka menginap di resort mewah di pinggir pantai, dengan cottage indah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan dapur yang penuh dengan peralatan modern, dimana salah satu fasilitasnya menghadap ke arah pantai pribadi yang bisa di datangi langsung dari pintu belakang cottage mereka. Nessa tentu saja harus sekamar dengan Kevin, sedangkan Delina dan Ervan menempati kamar sendiri-sendiri. Malam ini mereka akan makan malam di restoran tepi pantai yang terkenal dengan masakan kepitingnya. Delina sedang menunggui Nessa berganti pakaian sambil bercerita tentang berbahgai hal, dan Nessa mendengarkannya sambil tersenyum. Tersenyum dan bersyukur, karena Delina sepertinya telah berhasil melalui kesedihannya dengan ketegaran jiwanya, "Aku sudah siap, ayo kita keluar, para lelaki pasti telah mengunggu kita dengan jengkel." gumam Nessa sambil mengajak Delina melangkah keluar kamar. Kevin duduk di sana sedang bercakap-cakap dengan Ervan, ketika Nessa dan Delina keluar, dia mengangkat alisnya dan tersenyum, "Sudah siap?" Nessa mengangguk dan Kevin langsung berdiri, menghelanya ke pintu. Mereka berjalan menyusuri pinggiran pantai, diikuti Delina dan Ervan di belakangnya. Restoran pinggir pantai itu benar-benar berada di piggir pantai, tempat makannya ada di paviliun paviliun kecil dari kayu dan beratapkan rumbia, dengan lilin-lilin yang ditata secara eksotis di sekelilingnya. Makanannya luar biasa nikmatnya, berbagai macam hidangan laut dan minuman kelapa yang menyegarkan. Mereka tertawa, mereka bercakap-cakap dalam suasana yang begitu santai, hingga Nessa hampir melupakan suasana permusuhan yang dibangunnya bersama Kevin. Kevin banyak tertawa malam ini, lelaki itu mengedipkan mata ketika seluruh hidangan dan piring kotor, serta meja mereka dibersihkan. "Saatnya untuk yang paling istimewa."  Sedetik setelah Kevin berkata-kata, seolah sudah diprogram sebelumnya, seorang pelayan datang membawakan kue ulang tahun berwarna putih dengan lilin-lilin cantik di atasnya, Pelayan itu meletakkan kue itu di meja, di depan Nessa, "Saatnya mengucapkan pengharapanmu." gumam Delina sambil bertepuk tangan bersemangat. Nessa memejamkan matanya, lalu mengucapkan doa singkat, bahwa dia ingin semua orang yang dicintainya berbahagia,  "Tiup lilinnya." gumam Ervan pelan. Nessa meniup lilin itu dan semua bertepuk tangan gembira. Suasana begitu membahagiakan, membuat Nessa menoleh ke arah Kevin dan tersenyum tulus, "Terimakasih Kevin." Tanpa diduga, lelaki itu mendekatkan tubuhnya, lalu mengecup dahi Nessa lembut, "Sama-sama, sayang." Delina dan Ervan tersenyum melihat keromantisan tulus yang ditampilkan Nessa. Tetapi Nessa duduk disana dengan jantung berdegup kencang, mencoba meyakinkan hatinya bahwa semua ini hanyalah sandiwara sempurna yang diperankan olehnya dan Kevin. ***  Malam itu ketika Nessa membaringkan tubuhnya di ranjang, dia merasa gugup. Rasanya aneh, padahal selama ini dia biasa saja jika tidur di ranjang ini, menantikan Kevin menyusulnya ketika hampir tengah malam setelah membereskan pekerjaannya, dan tidur di sebelahnya. Malam ini terasa berbeda, entah kenapa. Mungkin karena suasana kamar yang temaram dan romantis dengan nuansa kuning kecoklatan dan debur ombak di kejauhan. Mungkin pula karena nuansa yang dibangun dari pagi tadi sampai sekarang, semua terasa berbeda. dan jantung Nessa berdesir pelan ketika pintu kamar mandi terbuka, dan Kevin keluar, dengan rambut basah sehabis mandi. "Sudah mau tidur?", Lelaki itu berdiri di tengah ruangan, menatap Nessa dengan pandangan yang terasa misterius karena tertutup bayang-bayang kamar yang remang-remang. Nessa menatap Kevin dan tersenyum gugup, "Iya, aku lelah seharian ini." Kevin melangkah dan duduk di atas ranjang, mematikan lampu tidur hingga membuat suasana kamar gelap, hanya cahaya bulan yang menyusup dari balik jendela kaca yang tertutup gorden putih yang menyinari kamar, lalu Kevin  naik dan berbaring di sebelah Nessa, "Besok pagi kita melihat matahari terbit, kau pasti terpesona, indah sekali. Lalu kita bisa berenang di laut." "Kedengarannya menyenangkan." Suara Nessa tercekat, kenapa pula mereka melakukan pembicaraan basa-basi begini? Lalu hening, Nessa pura-pura tertidur, membalikkan tubuhnya membelakangi Kevin. Lama dia dalam posisi itu dan dia tidak bisa tidur, tubuhnya terasa pegal, dan pelan dia mengubah posisi tubuhnya, supaya tidak membangunkan Kevin yang diyakininya sudah tidur karena dia tidak mendengar suara apapun dari laki-laki itu. "Tidak bisa tidur?" suara Kevin mendadak terdengar, menembus keheningan dan membuat Nessa terlonjak karena kaget. Dia membalikkan badannya dan mendapati Kevin berbaring terlentang berbantalkan lengannya. "Kupikir kau sudah tidur." bisik Nessa lirih. Kevin menatap Nessa, lalu tersenyum, "Tidak, aku juga tidak bisa tidur." suaranya berubah parau. "Kenapa?" "Kau tahu kenapa." nafas Kevin terdengar berat, "Aku tidak bisa tidur setiap malam sejak aku menikah denganmu." "Karena kau tidur seranjang denganku?" Suara Nessa berubah cemas, apakah dia mendengkur dengan keras sehingga mengganggu istirahat Kevin, ataukah gaya tidurnya berantakan, seperti kemarin, menempel-nempel Kevin atau mungkin menendangnya dalam tidurnya? "Ya. Karena aku tidur seranjang denganmu." Kevin terkekeh, "Tidur seranjang denganmu dan tidak bisa menyentuhmu." Gumaman Kevin itu, biarpun pelan membuat Nessa langsung beringsut ke ujung ranjang dengan waspada, "Apa maksudmu." "Apakah aku harus menjelaskan maksudku dengan gamblang seperti menjelaskan kepada anak kecil?" Lelaki itu memiringkan kepala, menatap sinis ke arah Nessa yang menjauh ke ujung ranjang, "Kau pasti tahu pasti apa yang dirasakan lelaki dewasa ketika harus melewatkan malam demi malam dengan perempuan di ranjangnya, tanpa bisa berbuat apa-apa." "Memangnya kau mau berbuat apa?" kali ini suara Nessa benar-benar cemas. Kevin terkekeh lagi, terdengar meremehkan. "Tenang Nessa, tak perlu melonjak dan lari dari ranjang ini, sesuai janjiku kepadamu, aku tidak akan menyentuhmu." suara sensualnya kembali memenuhi ruangan, "Kecuali kalau kau mau kusentuh." "Aku tidak mau disentuh olehmu." jerit Nessa spontan. Sedetik kemudian Nessa menyadari bahwa dia salah bicara, karena gerakan tubuh Kevin tampak tegang, lelaki itu tersinggung, "Kenapa kau tidak mau kusentuh?" Kevin bergerak mendekat, dan sebelum Nessa bisa menyingkir dari ranjang, lengan Kevin dengan kuat merengkuhnya, merapatkan tubuhnya kepadanya. "Apakah aku menjijikkan untukmu?" Nafas Kevin terasa hangat di pipinya, membuatnya bergetar, " Nessa mencoba meronta, tetapi kedua lengan Kevin menahan punggungnya dan menjepit lengannya di kedua sisi, "Lepaskan aku." seru Nessa panik. "Kenapa kau tidak mau kusentuh?" kali ini suara Kevin berbisik di telinganya, membuat Nessa merasakan gelenyar geli merayapi tubuhnya, "Aku suamimu." Kemudian bibir itu melumat bibir Nessa, dengan panas dan penuh penguasaan, seolah berusaha menaklukkan dan mendominasi Nessa. Bibir kuatnya melumat kelembutan bibir Nessa tanpa ampun, membuat Nessa terengah, kemudian lidahnya mencicipi, mencecap kehangatan permukaan bibir Nessa yang lembut, ketika lidah itu ingin menjelajah masuk, Nessa mengatupkan bibirnya erat-erat, sekuat tenaga, "Ayo sayang, biarkan aku masuk." Suara Kevin berat dan parau, penuh hasrat, bibirnya menggoda tanpa ampun, menggelitik sudut bibir Nessa, hingga ketika Nessa membuka mulutnya untuk memekik, dengan lihai Kevin menelusupkan lidahnya, menjelajah masuk, berpesta pora di sana menikmati seluruh rasa Nessa, dengan teknik ciumannya yang begitu ahli dan tanpa ampun. Hingga ketika lelaki itu selesai melumatnya, Nessa terbaring megap-megap dalam pelukannya. Kevin menatap Nessa dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, membara, marah, sekaligus penuh kasih sayang. "Nanti, ketika kau menyerahkan diri kepadaku, akan kubuat itu menjadi malam yang tidak terlupakan olehmu." Lalu dalam sekejap dia melepaskan pelukannya dan meninggalkan ranjang, tergesa keluar, meninggalkan pintu berdebam di belakangnya, dan Nessa yang masih terbaring di sana dengan perasaan campur aduk. *** Kevin tidak kembali ke kamar malam itu, lelaki itu entah tidur di mana semalam, yang pasti, ketika Nessa keluar untuk sarapan, Kevin sudah duduk di sana, bercakap-cakap dengan Delina dan Ervan. Lelaki itu hanya menatap Nessa datar, lalu berdiri dan menarikkan kursi disebelahnya dengan sopan. Tidak ada indikasi sama sekali bahwa lelaki itu mengingat insiden ciuman paksanya di atas ranjang semalam. Nessa mencoba menahan rasa panas yang menjalari pipinya ketika melihat Kevin, mungkin bagi Kevin itu hal biasa, tetapi bagi Nessa hal itu sangat intim, sangat baru dan membuatnya teringat terus setiap detiknya. Tetapi, karena Kevin bersikap seolah semalam tidak terjadi apa-apa, Nessa berusaha bersikap sama. Tidak akan dibiarkannya Kevin tahu bahwa ciumannya begitu mempengaruhi Nessa. "Kata kak Kevin, kak Nessa bangun terlambat karena kelelahan." Delina tersenyum, "Sayang sekali, padahal tadinya kita ingin mengajak kak Nessa melihat matahari terbit." Nessa menatap Delina dengan pandangan menyesal, "Maafkan aku Delina, aku langsung tertidur lelap semalam, dan bangun-bangun sudah siang, mungkin aku memang benar-benar kecapekan." "Tidak apa-apa kak Nessa, kita masih bisa berenang di laut sekarang, kak Nessa bisa mencoba kembali berenang sambil ditemani kak Kevin, kata Delina kak Kevin sangat jago berenang melawan ombak." Nessa menoleh kepada Kevin yang tersenyum menggoda, "Kau tidak bisa berenang, Nessa?" "Kak Nessa takut air." jawab Ervan sambil mengangkat bahu, "Dulu waktu SD kami pernah berenang di kolam renang umum. Ketika mencoba menyelam, kaki kak Nessa kram, tetapi karena dia di dasar, tidak ada yang tahu kalau kak Nessa mulai tenggelam, dia sudah tenggelam beberapa lama dan mengalami serangan panik sampai kemudian salah satu orang tua menyadari dan menyelamatkannya. Sejak itu kak Nessa tidak mau berenang lagi." Kevin menatap Nessa penuh perhatian, "Jadi kau akan melewatkan kegiatan menyenangkan kita untuk berenang di laut pagi ini?" Nessa menghela napas, "Aku sangat menyesal, tetapi mungkin aku memang harus melewatkannya." "Tidak." Kevin berseru keras kepala, "Kau akan berenang, dan kau tidak akan tenggelam, aku akan menjagamu." "Aku tidak mau." Nessa mengernyit, meminta pertolongan pada Delina dan Ervan, tetapi keduanya hanya mengangkat bahu, tidak ada yang bisa membantah Kevin kalau lelaki itu memutuskan sesuatu. "Kau harus mau, titik." Kevin beranjak berdiri, "Sekarang ganti baju renangmu aku menunggu di depan." Ketika Kevin melangkah pergi, Nessa menatap punggungnya sambil mengucapkan berbagai macam cacian yang bisa diingatnya. Dasar lelaki arogan yang keras kepala! *** "Ayo." Kevin menggenggam lengannya setengah memaksa, "Aku akan menjagamu."  Kevin sudah berhasil memaksa Nessa ke tengah laut, masih ditepian tetapi sudah lumayan dalam, dengan ombak bermain di pinggang mereka, membuat kaki Nessa kadang-kadang terasa melayang-layang. Nessa mengikuti Kevin setengah terpaksa, "Kau memang suka memaksakan kehendakmu ya, kuharap kau puas." Kevin tertawa, tidak menutupi rasa puasnya, "Ya aku puas. Lagipula sekarang kau sadar bukan, ketakutanmu hanya ilusi. Kau bisa berenang dan air tidak akan mengalahkanmu." "Tidak kalau kau kram dalam kedalaman air lima meter dan tidak ada orang yang menyadari bahwa kau tenggelam." Nessa meringis ketika kenangan yang membuatnya sesak napas itu tergambar kembali di otaknya, membuatnya gemetar, Kevin menyadari itu, dia menggenggam lengan Nessa lembut, "Aku menjagamu. jangan takut." Entah kenapa kata-kata Kevin itu terdengar tulus, membuat Nessa hampir saja memaafkan kelakuan Kevin di  insiden semalam ketika lelaki itu menciumnya dengan paksa. "Kevin!" Suara itu familiar sekaligus membawa kenangan buruk bagi Nessa. Dia langsung menoleh dengan waspada, dan mendapati mimpi buruknya benar-benar terjadi, kenapa pula Paula ada di pantai pribadi ini? Ervan dan Delina tadi memutuskan keluar untuk berjalan-jalan dan membeli es krim, dan sekarang Nessa harus sendirian menghadapi perempuan yang merayu Kevin tanpa malu-malu dan tidak mempedulikan kehadirannya. "Boleh aku ikut bergabung bersama kalian?" Paula melepas handuk yang melilit pinggangnya dan melemparnya ke pasir, lalu mulai masuk ke air laut yang hangat, perempuan itu tersenyum manis sambil menatap Nessa, senyuman palsu yang penuh ejekan, "Oh, hai Nessa, kau ada di sini juga? kemarin aku memutuskan menyusul kalian ke sini, untung aku masih mendapat cottage di sebelah cottage kalian, jadi Kevin bisa dekat kalau memutuskan mampir malam-malam" diliriknya Kevin dengan tatapan menggoda, "Iya kan sayang?" Kevin tidak menjawab, hanya terkekeh geli, lalu mengarahkan Nessa untuk mencoba berenang ke tepian yang lebih dalam, "Ayo Nessa, berenanglah, aku akan berjaga di sebelahmu." Darah Nessa naik ke kepala. Kevin tampak tidak kaget melihat Paula menyusul kesini. Jangan-jangan semua yang dikatakannya bohong, jangan-jangan Kevin sering mengajak Paula ke sini untuk bermalam, melihat Paula begitu luwes dan tampak terbiasa memasuki bagian pantai pribadi di cottage yang selalu di sewa Kevin kalau mereka kemari. Dan semalam, Kevin tidak pulang ke kamarnya, apakah jangan-jangan lelaki itu menginap di tempat Paula? Suara Nessa bergetar ketika dia menghentakkan tangan Kevin dengan kasar, "Jangan dekat-dekat! aku bisa sendiri!" serunya kasar. Kevin berdiri di sana, menatap Nessa yang memalingkan muka tak mau menatapnya, "Kenapa Nessa? kau tampak marah, apakah karena Paula menyusul kemari? jangan pedulikan dia, dia memang suka mengikutiku kemanapun mengingat dia sangat terobsesi padaku." gumam Kevin pelan, mengedikkan bahunya ke arah Paula yang sudah mulai berenang ke tengah dengan elegan, melambaikan tangannya dan mengajak Kevin bergabung bersamanya. "Aku tidak peduli kalau kau mau menghabiskan waktu dengan simpananmu. Tetapi sungguh suatu penghinaan kalau kau mengajaknya ke sini, saat kau sedang bersamaku!" "Aku tidak pernah mengajaknya ke sini, dia sendiri yang bilang tadi menyusul kita kemari, dia menginap di cottage sebelah, lalu kau pikir aku harus berbuat apa? mengusirnya?" Kau bisa mengusirnya dari pantai ini! Nessa menjerit dalam hati, ingin rasanya dia memukuli dada Kevin dengan marah. Tetapi itu tidak dilakukannya, dia menahan dirinya sekuat tenaga, menghembuskan napasnya panjang-panjang. Rasa sakit itu mulai menyeruak ke dadanya, rasa sakit yang sama, rasa sakit yang menakutkan. "Aku sangat membencimu. Pernikahan ini seperti neraka untukku!", Nessa menggeram marah, meninggalkan Kevin yang tertegun mendengar perkataannya, lalu dengan nekat masuk ke air menyelam ke dalam lautan, dan berenang ke tengah, menjauhi Kevin. Semua biasa saja, Nessa merasakan berenang di laut ternyata sangat menyenangkan, berbeda ketika berenang di kolam renang. Disini dia harus bisa menyesuaikan diri dengan hempasan ombak yang membawa tubuhnya mengikutinya. Sejenak Nessa menikmatinya, senang ketika dia bisa menjauh dari pasangan tak tahu malu itu, Kevin dan Paula yang mungkin sedang bercengkerama di sana, dia berenang makin jauh, dan jauh....  sampai kemudian dia merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit menyengat di kakinya yang mulai terasa kaku. Kakinya kram lagi! Dengan panik Nessa berusaha menjejak, menyadari dia sudah berada jauh di tengah sehingga pasir sudah tidak bisa digapai oleh kakinya. Nessa mulai tenggelam dengan sebelah kaki kram dan sakit setengah mati. Tidak bisa berteriak. Kevin! Teriaknya panik dalam hati sebelum kegelapan menelannya. *** Bersambung ke Part 9Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 3 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4.htmlBaca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.htmlBaca Part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.htmlBaca Part 6 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-6.htmlBaca part 7 http://anakcantikspot.blogspot.com/2013/01/perjanjian-hati-part-7.html  
2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 07, 2013 04:35

January 4, 2013

Sweet Enemy Part 1

                  
"Bukan begitu caranya." Devin mengerutkan alis, dan dengan tidak sabar meraih tangan Keyna lalu memposisikan jemari Keyna dengan benar memegang garpu dan pisau itu, "Begini cara memegangnya, kalau kau salah memegang. Tuan dan Nyonya besar yang terhormat itu akan menyadarinya dan mempermalukanmu." "Aku tidak akan mempermalukan Keyna, meskipun aku termasuk di golongan Nyonya besar yang kau maksud Devin." Nyonya Jonathan yang sedang duduk membaca di sudut ruangan menyeletuk, sedari tadi dia hanya duduk di sana, geli memperhatikan Devin yang dengan tidak sabaran mengajari Keyna tata cara makan resmi di jamuan makan malam terhormat. Devin menoleh ke arah mamanya dan mengerutkan kening, "Mama mungkin tidak akan melakukannya. Tetapi teman-teman mama akan berbisik-bisik dengan hidung mereka yang angkuh dan memuakkan." Lelaki itu lalu menatap Keyna lagi, "Coba pegang garpu itu dengan lebih elegan, Keyna!" Devin tampak tidak sabaran, pemarah dan kaku sedangkan Keyna lebih tampak ketakutan dengan sikap Devin. Nyonya Jonathan tersenyum, anak laki-lakinya ini memang terbiasa bersikap kasar, bahkan meskipun tujuannya baik, Devin tetap membungkusnya dengan sikap kasar. Semoga saja Keyna menyadari dan terbiasa dengan sikap Devin. Devin sudah membuatnya terkejut dengan bersikap baik kepada Keyna selama ini, meskipun masih kaku dan kadang sinis, anak lelakinya itu tampak sudah menerima kehadiran Keyna sebagai bagian dari mansion ini. Dari malam itu, sejak Devin menjemput Keyna dengan penuh tekad pada malam berhujan itu, anak lelakinya benar-benar memegang teguh pendiriannya bahwa dia akan menjaga Keyna dan menjadi kakak yang baik. Meskipun mereka berdua tampak begitu serasi lebih dari pada kakak dan adik. Ditatapnya Devin yang begitu tampan, berdiri dan menggenggam jemari Keyna mengatur cara jemari Keyna menggenggam dengan baik, kemudian ditatapnya Keyna yang begitu cantik dibalik penampilan rapuhnya yang menyimpan kekuatan tersembuny itu. Mereka begitu cocok bersama, Nyonya Jonathan membatin, lalu tersenyum sendiri. Mungkin kalau tentang hal itu, lebih baik diserahkan kepada yang muda-muda saja untuk memutuskan... *** "Mereka menghebohkannya di kampusnya." Erland melirik ke arah Devin, "Adikku yang cerita. Banyak yang memusuhi dan merendahkannya karena menganggapnya tak sederajat." Devin mengalihkan pandangannnya dari buku yang dibacanya, "Siapa yang berani memusuhi Keyna di kampus?" "Hampir semuanya." gumam Erland, "Yah sudah biasa terjadi kalau anak-anak keluarga kaya, di kampus khusus keluarga kaya akan merasa terganggu kalau tiba-tiba ada anak miskin yang naik status menjadi bagian dari keluarga yang paling berpengaruh di antara mereka. Dulu Keyna hanyalah anak biasa yang mendapat beasiswa di sana, sekarang posisinya tentu berbeda, dia menjadi bagian dari keluarga Jonathan, tinggal di mansion ini.  Tentu saja permusuhan ini tidak terang-terangan, tetapi ada. Anak itu tidak punya teman sama sekali." "Dan bagaimana Keyna? Apakah adikmu bisa mengawasinya?" "Pamela tidak tahu." gumam Erland, menyebut nama adiknya, "Dia satu tingkat di atas Keyna jadi tidak bisa mengawasinya terus menerus, menurutnya, Keyna biasa saja menghadapi semuanya, tampaknya dia sudah terbiasa menghadapi perlakukan macam itu." Devin tercenung,  "Apakah menurutmu dia butuh bantuanku?" "Menurutku dia tidak butuh bantuan siapa-siapa." Erland tersenyum kagum, "Dia bisa menghadapimu dan mengalahkanmu, dan menurutku teman-teman di kampusnya tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu." ***  Keyna duduk sendirian di kantin itu, di bagian paling ujung, tempatnya biasa duduk. Tidak ada yang menemaninya, tidak ada yang menyapanya. Begitulah kesehariannya di kampus paling terkenal milik keluarga Jonathan ini. Tetapi tidak apa, dia sudah terbiasa. Dulu ketika masuk pertama kali ke sini dengan beasiswa dari mama Jonathan, dia sudah dimusuhi, tidak ada yang mau berteman dengan manusia yang mereka pandang dari kelas rendahan. Bahkan banyak yang tampak merasa jijik hanya dengan tersentuh olehnya.  Tetapi sekarang, ketika kabar bahwa dia tinggal dan diangkat anak oleh Nyonya Jonathan di mansionnya sudah menyebar. Aura permusuhan itu terasa lebih kental dan menguar di udara meskipun makin tertahankan. "Bolehkah aku duduk di sini?" Sapaan manis itu membuat Keyna mendongakkan kepalanya dengan kaget. Seorang perempuan. Perempuan yang sangat cantik dengan baju dan penampilan mahalnya, "Silahkan." Keyna mempersilahkan meskipun masih merasa bingung, siapa perempuan ini? kenapa dia tidak pernah mengenalnya selama berada di kampus ini? seharusnya perempuan secantik ini sangat terkenal di sini, apalagi dari penampilannya yang jelas-jelas berasal dari keluarga kaya. "Namaku Sefrina." perempuan cantik itu meletakkan piring makanannya di meja lalu duduk di depan Keyna dan tersenyum manis kepadanya, "Aku baru pindah kesini, sebelumnya aku kuliah di London, tetapi mama sakit sehingga aku memutuskan tinggal dekat dengannya." dia tersenyum manis, "Aku sudah mendengar tentangmu, Keyna dan tahu mereka memusuhimu karena alasan yang cukup konyol, jangan pedulikan mereka ya." Keyna menatap Sefrina yang tampak begitu tulus di depannya, dan kemudian tersenyum, "Aku tidak apa-apa, aku sudah terbiasa." gumamnya lembut. Sefrina menatap menantang kepada beberapa orang di kantin yang menatap mereka dengan sembunyi-sembunyi, "Aku akan menjadi temanmu di sini, supaya mereka menyadari betapa konyolnya memusuhi seseorang hanya berdasarkan kekayaan dan kemiskinan." Keyna tersenyum tertahan melihat kekeraskepalaan Sefrina,  "Terimakasih Sefrina, aku senang kau mau menjadi temanku." ***  "Bagaimana keadaan di sekolah?" Devin menyambut Keyna di ballroom mansion mereka, dengan gayanya yang elegan dan tetap tampan. Lelaki itu sekarang memegang beberapa cabang perusahaan Jonathan dan menjalankannya dengan baik. Karena kesibukannya, sangat jarang Devin berada di rumah sore-sore begini. Keyna menatap Devin dan mencoba tersenyum. Hubungan  mereka bisa dibilang baik. Devin benar-benar melaksanakan janjinya untuk bersikap baik kepada Keyna di rumah ini, meskipun kadang lelaki itu masih menyimpan arogansi dan sikap kasarnya. "Baik-baik saja." jawab Keyna pelan. "Aku dengar mereka memusuhimu." "Mereka memusuhiku sejak awal, tidak apa-apa, aku sudah terbiasa Devin." "Kau adikku." Suara Devin terdengar keras, "Mereka tidak boleh memusuhimu, itu penghinaan terhadap keluarga Jonatahan." Keyna meringis mendengar suara mengancam Devin, dia takut lelaki itu akan melakukan sesuatu yang mengerikan. Seperti memaksa semua orang berteman dengannya misalnya. Keyna berpikir itu bukan ide baik. Teman-temannya tidak bisa dipaksa menerimanya, ketika mereka dipaksa, yang timbul nanti malahan permusuhan yang lebih mendalam. "Jangan lakukan apapun atas nama keluarga Jonathan." Nessa menyela dengan waspada, 'Berjanjilah." Devin mengerutkan keningnya marah, "Kenapa aku harus berjanji kepadamu? Aku bisa melakukan apapun yang aku suka, tidak perlu diatur-atur olehmu." "Kau berhak melakukan apapun yang kau mau, selama itu tidak berpengaruh kepadaku." Keyna mengeluarkan senjatanya, menatap Devin dalam-dalam, "Kau sudah berjanji kepadaku Devin, tidak akan berbuat jahat kepadaku." Devin mengerutkan keningnya. Dia memang pernah mengucapkan janji itu, di malam yang berhujan, tetapi apa hubungannya dengan semua ini. "Aku toh tidak akan berbuat jahat kepadamu, malahan aku membantumu supaya tidak dimusuhi di kampus. Aku akan memperingatkan dewan sekolah supaya memperingatkan teman-temanmu atas perlakukan mereka kepadamu, mereka harus bersikap baik kepada adikku." "Kau hanya akan menghina mereka dan memaksa mereka melakukan sesuatu yang tidak mereka suka. Oh ya, mereka mungkin akan bersikap baik kepadaku, tetapi mereka akan semakin membenciku." Devin mengernyit, 'Kau harusnya tahu Keyna, kami para orang kaya tidak peduli apa yang ada di hati semua orang. Yang penting mereka bersikap baik dan menghormati kami." Keyna menghela nafas, "Tetapi aku bukan orang kaya Devin, aku tidak mau orang berbuat baik kepadaku dengan menjilat atau kebaikan palsu, tetapi di belakangnya menanam kebencian." Lalu Keyna teringat kepada Sefrina, 'Lagipula akhirnya aku punya seorang temam." "Siapa?" "Namanya Sefrina, dari keluarga Nathaniel, dulu dia sekolah di london, dan baru pindah kemari di awal bulan, dia berkata bahwa sikap semua orang yang memusuhiku hanya karena harta adalah konyol dan dia bersedia berteman denganku." Keyna terkekeh kembali mengingat kata-kata Sefrina dan kedekatan mereka setelahnya, mereka cocok mengobrol bersama dan sepertinya benar-benar bisa bersahabat, "Aku senang menemukan orang kaya yang tidak berpikiran sempit seperti Sefrina." "Aku juga orang kaya yang tidak berpikiran sempit." sela Devin sambil melipat tangannya di dada dengan santai "Oh ya?", Keyna menatap Devin menantang, "Kau adalah orang kaya yang berpikiran paling sempit yang pernah kukenal Devin Jonathan!" Devin terkekeh, mencoba kelihatan tersinggung, "Aku hanya berpikiran sempit kepada orang-orang tertentu saja." Keyna mendengus, "Oh ya, tentu saja." "Aku hanya ingin kau berhati-hati Keyna. Tentang Sefrina itu, kau harus memahami motif dibalik keputusannya menjadi temanmu." "Tidak, tidak perlu, aku tahu Sefrina orang yang tulus.", jawan Keyna yakin. Devin mengernyit menatap Keyna. Sefrina, kenapa nama itu terdengar tidak asing? ***  "Namanya Sefrina, dari keluarga Nathaniel yang terkenal itu. Pantas aku merasa dia tidak asing." Devin duduk di depan meja kantor mamanya yang besar. Sang mama yang dari tadi tampak menelusuri pekerjaannya terpaksa mengalihkan perhatiannya kepada anak laki-laki satu-satunya. "Dan kalau mama boleh tahu, kenapa kau tiba-tiba jadi  tertarik kepadanya?" Devin mengerutkan alis, "Karena dia satu-satunya orang yang mau berteman dengan Keyna di kampusnya." Sang mama menumpukan jemarinya di dagunya, "Dan menurutmu itu aneh? apakah kau tidak bisa berpandangan bahwa ada beberapa orang yang memang benar-benar tulus?" "Itu aneh karena dia tiba-tiba mucul setelah sekian lama." Nyonya Jonathan tersenyum, "Mungkin memang kebetulan yang aneh..." Sang mama melepas kacamatanya di meja dan menatap Davin, "Sefrina Nathaniel adalah perempuan yang pernah ditunangkan kepadamu sejak kau dilahirkan. Itu adalah salah satu janji antara kakekmu dengan kakek Sefrina." "Apa?" "Ya. Kau punya tunangan sejak kecil. Tetapi karena Sefrina tubuhnya lemah, dia dirawat di london dan bersekolah di sana sejak kecil. Dia seumuran denganmu, tetapi karena sakitnya dia terlambar bersekolah, mungkin karena itulah dia bisa setingkat dengan Keyna. dan karena dia sejak kecil di Londonlah, kau tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini." "Kenapa mama tidak pernah bercerita kepadaku tentang pertunangan ini?" "Karena hak itu sudah tidak penting lagi, sebab ketika usiamu  lima tahun setelah kejadian percobaan penculikan itu, papamu membatalkan kesepakatan itu. seperti mama bilang tadi, Itu adalah janji yang dibuat oleh kakekmu dengan kakek Sefrina, Mama tidak tahu alasan papamu membatalkannya, mungkin dia berpikiran kalai kesepakatan itu tidak relevan lagi di jalan sekarang, papamu adalah orang yang berpandangan modern.... kau bisa menanyakan alasan pastinya nanti kalau beliau sudah pulang dari eropa." Devin mengernyitkan keningnya makin dalam. Entah kenapa dia merasa bukanlah suatu kebetulan Sefrina muncul di kehidupan mereka dan menjadi sahabat Keyna. ***  Keyna melangkah di balkon sambil menghirup udara segar yang berhembus dari luar, rasanya dingin, menyejukkan dan menyenangkan. Rasanya begitu damai berdiri di sini. Dipegangnya kalung pemberian dari almarhum papanya dan tersenyum. Sang papa pasti senang melihatnya diurus di sini. Keyna tidak pernah menyalahkan papanya karena hidup miskin. Keyna tidak menyalahkan papanya karena kehilangan bakat di jemarinya yang membuatnya terpuruk menjadi seorang buruh bangunan. Mereka memang miskin, tetapi mereka bahagia, hidup dengan penuh cinta di rumah mereka yang kecil tetapi hangat. Tidak perlu takut akan niat lain di balik kebaikan orang-orang, karena mereka tidak punya apapun untuk diincar. Kehidupan di masa itu biarpun sulit dan berkekurangan, tetapi terasa menyenangkan karena kehangatan yang mereka miliki. Suara alunan biola membuat Keyna teralih dari lamunannya, suara itu terdengar dekat dari sini, dari ruang keluarga. Alunannnya begitu indah, memainkan musik yang menyayat hati, terbawa oleh hembusan angin merasuk hingga ke jiwa. Nessa berdiri dengan ragu di ruang keluarga, lalu melangkah masuk. Ada seorang lelaki sedang memainkan biola di tengah ruangan, lelaki yang tampan dan sepertinya seumuran dengan Devin. Siapa lelaki ini?  Lelaki itu menyelesaikan alunan lagunya dengan nada pedih yang semakin pelan, menyisakan kesesakan bagi yang mendengarkan, karena terbawa oleh kesedihan nadanya. Lalu berhenti, menghela napas, dan menatap Keyna, seolah baru menyadari kehadiran Keyna di sana. "Hai." lelaki itu meletakkan biolanya dengan anggun di meja, lalu tersenyum lembut, "Kau pasti Keyna, kenalkan aku Jason." dia mengulurkan tangannya. Dengan gugup Keyna membalas uluran tangan itu. "Aku sudah lama melihatmu, bahkan sejak kau datang pertama kali ke mansion ini, aku salah satu sahabat Devin." senyum lembutnya tidak pernah hilang dari wajahnya, "Tetapi baru sekarang aku berkesempatan berbicara langsung denganmu." "Di sini kau rupanya. aku sudah curiga kau tak tahan untuk memainkan biola dari koleksi papa." Suara Devin menyela di pintu, lelaki itu melangkah masuk, dan kemudian berdiri tertegun, mengernyit kepada Keyna dan Jason yang berdiri berhadap-hadapan. "Kenapa kau ada di sini Keyna?" Jason tersenyum kepada Devin, "Dia mengikuti alunan permainan biolaku dan masuk ke sini, ah, aku harus pergi." Jason melirik ke arah jam tangannya, "Terimakasih sudah meminjamiku biola itu Devin." sebelum keluar, Jason mengedipkan matanya kepada Keyna. Setelah pintu itu tertutup Devin menatap Keyna dengan tajam, "Jangan berhubungan dengan Jason, jangan melakukan kontak dengannya, pokoknya jangan sampai kau berinteraksi dengannya." Keyna menatap Devin dengan bingung, "Kenapa?" "Karena dia benci perempuan." Devin menatap Keyna dengan serius, "Dia dipanggil sebagai penghancur hati perempuan, semuanya. Tidak peduli tua atau muda, bersuami atau lajang, semua akan dihanyutkan dalam pesonanya untuk kemudian dihancurkan. Dia menyimpan kebencian yang mendalam kepada ibu kandungnya yang meninggalkannya, lalu melampiaskannya kepada semua perempuan. Jangan pernah dekati dia atau kau akan menjadi korbannya." Keyna menghela napas, sedikit merinding mendengar penjelasan Devin. Kalau memang benar deskripsi Devin tentang Jason, dia pasti akan menghindarinya. Tetapi entah kenapa ada perasaan aneh ketika dia melihat Jason tadi, perasaan aneh yang akrab, seolah-olah dia telah mengenal Jason sebelumnya. ***  Bersambung ke Part 2 Baca oneshoot Sweet Enemy http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/sweet-enemy-special-one-shoot-by-request.html  
2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2013 23:19

Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.