Embrace The Chord Part 11



Arlene melepaskan jemarinya dari pisau lipat kecil di tasnya.
Tidak. Dia tidak boleh terbawa emosi dan berbuat bodoh yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Arlene memang selalu membawa pisau kemana-mana sejak peristiwa percobaan perampokan yang pernah menimpanya. Pisau itu memberinya rasa aman, dan seharusnya hanya dipakai untuk melindungi dirinya. Arlene tidak akan menggunakan pisau itu untuk melukai Rachel. Kalau dia ingin mencelakakan Rachel maka itu tidak akan dilakukan dengan tangannya sendiri, tangannya harus benar-benar bersih...
Orang lainlah yang akan melakukan untuknya.
“Arlene.” Terdengar suara yang dalam dan tenang, Arlene bahkan bisa membayangkan senyum lebar orang diseberang sana.
“Andrew.” Setengah berbisik Arlene memanggil nama lawan bicaranya itu, “Aku ingin kau melakukan seuatu untukku nanti.”
***
Acara makan malam itu berlangsung elegan dan menyenangkan, banyak orang-orang penting dari dunia musik klasik yang datang, dan Rachel beruntung bisa berkenalan dengan beberapa di antara mereka. Tentu saja kalau dia tidak kemari bersama Jason, dia tidak akan mendapatkan kesempatan itu. Jason mengenal hampir semua orang di ruangan ini, dan bahkan dikenal oleh seluruh orang di ruangan ini.
Rachel melihat bahwa beberapa orang melemparkan tatapan kagum kepada Jason. Yah... lelaki ini tampak berbeda kalau berada di depan umum, Jason tersenyum sopan dan lembut kepada semua orang yang menyapanya, menanggapi setiap pertanyaan atau sapaan dengan penuh perhatian, bisa dikatakan lelaki ini tampak.. dewasa.
Selama ini yang ada di benak Rachel adalah Jason yang tukang memaksa, tukang cium sembarangan, tidak sopan dan suka memaksakan kehendaknya.,,,
Kalau begitu, manakah dari dua sisi yang ditampilkan Jason ini yang merupakan kepribadian aslinya?
“Kita akan tampil setelah makan malam.” Jason sedikit menundukkan kepalaya,  berbisik pelan di telinga Rachel. Dengan lengannya yang masih melingkari pinggang Rachel, mereka berdua terlihat benar-benar intim. Dan sayangnya mereka tidak menyadari ada dua pasang mata yang mengawasi mereka, sama-sama cemburu.
Tiba-tiba Rachel mengingat musik yang akan mereka mainkan dan mengerutkan keningnya,
“Kenapa di antara semua musik yang ada, kau memilih untuk memainkan itu?”
“Memilih apa?” Jason menganggukkan kepalanya kepada seorang tamu yang menyapanya dari kejauhan, lalu dia memfokuskan pandangannya kepada Rachel sambil mengangkat alisnya.
Pipi Rachel langsung memerah menerima tatapan itu, “Lagu itu... maksudku...”
Mata Jason langsung berbinar, “Itu adalah melodi yang indah, cocok untuk dimainkan di malam yang juga indah ini... apakah judulnya yang mengganggumu? Beethoven Violin Romance hmm? Kau tidak sedang berpikir bahwa aku sengaja membuat kita tampak seperti sepasang kekasih bukan?”
Sekarang pipi Rachel benar-benar merah padam.
“Aku... aku akan ke kamar mandi dulu.” Rachel melepaskan diri dari pegangan Jason dan terbirit-birit masuk ke kamar mandi.
***
Jason sedang meminum gelas anggur keduanya, bersandar di dekat jendela di salah satu sudut yang sepi, berusaha menghindari keramaian pesta sambil mengamati tamu-tamu yang berkerumun dan asyik bercakap-cakap satu sama lain.
Sebentar lagi mereka akan masuk ke ruangan besar untuk acara makan malam formal, dan setelah itu dia akan bermain biola bersama Rachel.
Bibir Jason menyunggingkan senyum tipis penuh rasa ironi.
Ini gila.  Rasanya seperti dia ketagihan bermain biola bersama Rachel. Ketagihan berdiri di sana mengimbangi nada-nada indah yang dihasilkan oleh gesekan alami Rachel.
Dia sendiri tidak menyangka akan melakukan tindakan kekanak-kanakan seperti itu, mengancam Rachel dengan sebuah foto. Foto Rachel yang sedang mengecup dahi Calvin dengan penuh cinta.
Rachel yang bodoh dan bertepuk sebelah tangan, tidakkah dia menyadari bahwa dia membuang-buang waktunya dengan mengharapkan Calvin? Seorang lelaki yang bahkan tidak pernah melirik Rachel sebagai seorang perempuan.
“Kau datang dengannya.”
Suara itu tiba-tiba saa sudah muncul di sebelah Jason. Membuat Jason menoleh dan mengerang dalam hati. Sial. Dari semua orang yang ada, dia harus bercakap-cakap dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya, yah Jason seharusnya tahu bahwa Arlene pasti akan hadir di acara-acara makan malam seperti ini.
“Tentu saja.” Jason memalingkan wajahnya dan menatap ke arah para tamu, “Malam ini adalah malam perkenalan resmi Rachel sebagai murid khususku di hadapan tamu-tamu penting ini.”
“Apakah kau tidak sadar bahwa kau sama saja menampar mukaku di sini? Datang ke pesta sebagai pasangannya? Apa kau tidak sadar sudah berapa kali aku menerima tatapan kasihan dari semua orang karena datang kesini sendirian dan dicampakkan olehmu?”
“Kau sebenarnya tidak perlu datang ke pesta ini sendirian, Arlene. Itu pilihanmu sendiri untuk mempermalukan dirimu.” Jason bergumam dingin.
Arlene menghela napas panjang melihat ekspresi dingin Jason, “Dia sepertinya sangat istimewa bagimu, kau memperlakukan Rachel seperti anak emasmu.”
Jason melirik ke arah Arlene dan melihat perempuan itu membawa gelas anggur di tangannya, entah gelas yang ke berapa. Bagi Jason, Arlene tampak agak mabuk dan tidak fokus.
“Dia memang istimewa, kalau di asah dengan benar, permainan biolanya akan bisa menandingiku.” Jason menjawab datar dan hati-hati.
“Bagiku tidak akan pernah ada orang yang bisa menandingimu dalam bermain biola, Jason. Kaulah yang paling hebat.” Arlene menyela cepat, penuh keyakinan di matanya, kemudian dia mendongak menatap Jason tajam dan berusaha menarik perhatian Jason, “Apakah ketertarikanmu kepadanya hanya karena dia sangat berbakat dalam permainan biola?”
“Apa maksudmu?” Jason mengerutkan keningnya, kali ini dia benar-benar yakin bahwa Arlene mabuk. Perempuan itu bahkan tidak bisa berdiri tegak dan bersandar di sisi lain jendela, setengah sempoyongan. “Apakah kau masih berpikir bahwa aku mencampakkanmu karena Rachel?”
Arlene tersenyum sinis, “Setelah bertemu dengannya, kau meninggalkanku.” Mata Arlene menyala, “Aku jadi bertanya-tanya, kau selalu mengatakan bahwa kau tertarik kepadanya karena bakatnya, bagaimana jika dia kehilangan kemampuannya bermain biola?”
Jason langsung menoleh waspada, instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, “Apa yang kau rencanakan, Arlene?”
Mata Arlene bersinar penuh rahasia, “Pembalasan.”
Dengan geram Jason merenggut lengan Arlene dan menatapnya penuh ancaman. Sayangnya, Arlene terlalu mabuk untuk merasa takut kepadanya, perempuan itu malahan tersenyum lebar dengan tatapan mata bergairah, senang akan sentuhan Jason di tubuhnya.
“Jika sampai terjadi sesuatu kepada Rachel dan kau adalah dalangnya, aku akan membuatmu menyesal seumur hidup, Arlene.”
Arlene terkekeh, “Sayangnya sepertinya sudah terlambat, Jason sayang.” Jemari lentik Arlene dengan kuku yang dicat merah darah menyentuh pipi Jason penuh hasrat, “Kalau aku tidak bisa memilikimu, Jason. Maka tak seorangpun bisa.”
Jason langsung melepaskan pegangannya dari Arlene, setengah mendorong perempuan itu dengan jijik, tidak dipedulikannya Arlene yang masih terkekeh mabuk, dia langsung melangkah menuju area toilet tempat Rachel menghilang tadi.
Rachel sudah terlalu lama berada di kamar mandi... Jantung Jason berdebar cemas.
***
Rachel sedang mencuci tangannya di wastafel dan menatap bayangan dirinya di kaca. Pipinya masih merona merah. Ya ampun, bodoh sekali dia bertanya seperti itu kepada Jason dan lelaki itu langsung menyambarnya untuk mempermalukannya.
Setelah menghela napas panjang, Rachel melangkah keluar dari kamar mandi, yah dia hanya perlu melalui malam ini dengan baik dan berharap Jason segera menghapus fotonya yang sedang mencium dahi Calvin dari ponselnya....
Satu langkah Rachel keluar dari pintu area toilet yang kebetulan berada di lorong yang sepi, sebuah tangan kekar dan kuat mencengkeramnya dengan kasar. Rachel memekik tetapi sebelah tangan sosok kasar yang menyergapnya itu langsung menutup mulutnya. Di pinggangnya Rachel merasakan benda keras yang menekan dan tajam, dia melirik dan mengernyit cemas, sebuah pisau!
“Diam kalau kau mau hidup.” Suara lelaki yang menyergapnya itu mendesis kasar, membuat Rachel tak berdaya mengikuti kemauan si penyergap, dia bisa apa? Sebuah pisa yang mengerikan sekarang menempel di pingangnya!
Si penyergap itu setengah menyeret Rachel menuju ujung lorong ke arah tangga darurat menuju ke bagian luar rumah. Jantung Rachel berdebar kencang, apa yang akan terjadi kepadanya? Siapa lelaki ini? Kenapa melakukan ini kepadanya?
Langkah-langkah si penyergap semakin cepat seakan ingin segera keluar dari rumah besar itu, Rachel bisa mendengar napas lelaki itu terengah di atas kepalanya, dia ingin melirik wajah lelaki itu, bukankah itu yang selalu dikatakan polisi? Jika terjadi sesuatu kepadamu, hapalkan wajah penjahatnya seteliti mungkin. Tetapi ternyata tubuh Rachel yang pendek menghalanginya melihat wajah lelaki itu, lelaki itu tinggi dan besar, setinggi Jason tetapi lebih kekar dan mengerikan, dan sekarang kaki Rachel mulai terasa pedih karena sepatu hak tingginya terseret-seret mengikuti langkah si penyergap itu.
“Rachel?” sebuah teriakan terdengar dari ujung atas tangga, di pintu keluar dekat area toilet. Si penyergap sudah menyeret Rachel sampai ke tangga bagian bawah, sebentar lagi mereka akan mencapai pintu keluar. Rachel dan si penyergap sama-sama terkesiap mendengar suara panggilan itu. Rachel mengenali suara itu.. itu suara Jason!
Rachel langsung meronta sekuat tenaga merasakan ada harapan, tetapi kemudian ujung pisau yang tajam itu menusuk ke pinggannya sedikit, membuatnya merasa perih dan ngeri.
“Jangan coba-coba.” Lelaki itu mendesis tajam, “Ayo!” dengan gerakan kasar, si penyergap menyeret Rachel kali ini lebih terburu-buru, dan kemudian membuka pintu tembusan ke luar rumah itu.
Sementara itu, suara Jason masih memanggil-manggil di ujung tangga.
***
Jason memanggil-manggil Rachel tanpa hasil. Dia bahkan melongok ke area toilet perempuan dan langsung merasa cemas ketika mengetahui bahwa tidak ada seorangpun di dalamnya. Buru-buru dia melangkah keluar dari area kamar mandi, dan kemudian kakinya menginjak sesuatu yang keras.
Jason membungkuk dan mengambil benda yang mengganjal sepatunya itu dan mengernyit ketika memegang sebuah kancing kecil... kancing kecil berwarna hijau... Rachel mengenakan baju hijau..
Matanya membara ketika menemukan bahwa di ujung lorong ada sebuah pintu kecil yang mengarah kepada tangga darurat di luar, dengan langkah cepat dia menuju ke pintu itu dan membukanya,
“Rachel?” Jason memanggil lagi, suaranya menggema di area tangga darurat itu, dan kemudian telinganya yang tajam mendengar suara pintu dibanting di bawah.
Ada seseorang membuka pintu di bawah!
Setengah berlari, Jason menuruni tangga darurat itu.
***
Sebentar lagi beres. Mereka sekarang berlari menembus kegelapan taman yang dipenuhi pohon-pohon besar. Si Penyergap rupanya berhasil menyusup masuk ke pesta melalui halaman belakang rumah. Ya. Ini adalah pesta untukn acara musik yang penuh persahabatan, jadi sama sekali tidak ada penjagaan keamanan berlebih kecuali dua orang satpam yang berjaga di pintu depan.
Tentu saja di penyergap tidak sebodoh itu melalui pintu depan, dia berhasil menemukan jalan masuk kecil melewati pintu belakang di tengah taman yang sepertinya digunakan khusus untuk membuang sampah.
Perintah Arlene sangat jelas. Lukai urat penting di tangan Rachel, dan buat rusak wajahnya, tetapi jangan bunuh dia, lalu tinggalkan.
Sepertinya tempat di halaman belakang yang penuh pohon ini cukup cocok untuk mengeksekusi korbannya. Andrew, si penyergap sebenarnya tidak suka melukai perempuan... tetapi ini adalah pekerjaan, dan bayarannya menggiurkan.
Ya.Dia harus buru-buru melakukan tugasnya dan kemudian bergegas pergi dari rumah ini, menghilang di kegelapan. Suara-suara yang memanggil di belakangnya tadi tidak main-main, dan kalau dia tidak cepat, pemilik suara itu akan mengejar mereka. Dia hanya perlu melakukan satu atau dua tikaman sebelum perempuan mungil ini sempat menjerit, kemudian dia bisa melompat melalui pintu belakang itu dan kabur dalam kegelapan.
Dengan kasar, Andrew membanting tubuh Rachel ke tanah, begitu keras hingga Rachel memekik kesakitan, sepertinya tingkah kasarnya telah membuat Rachel cedera, perempuan itu meringis, melirik ke arah kakinya yang terkilir.
“Apa yang kau lakukan? Siapa kau...?” suara Rachel berubah ngeri ketika pisau di tangan Andrew memantulkan cahaya bulan, tampak mengancam, “Kenapa kau melakukan ini kepadaku?” Suara Rachel ketakutan bercampur panik, dia berusaha beringsut menjauh, tetapi kakinya terkilir, amat sangat sakit dan membuatnya tak bisa berdiri, yang bisa dilakukannya hanyalah menyeret tubuhnya menjauhi sang penyergap.
Sayangnya itu tak berarti banyak, karena sang penyergap sekarang berdiri menjulang di atasnya, tubuhnya menghalangi bayangan bulan dan wajahnya hampir seperti siluet, tetapi Rachel bisa merasakan lelaki itu menyeringai,
“Maafkan aku cantik, sayangnya aku harus melukaimu.” Suara si penyergap serak dan mengerikan, dan pada detik itu, si penyergap mengayunkan pisaunya ke arah Rachel. Rachel sontak menjerit keras-keras, berusaha beringsut mundur dan menaruh tangannya di depannya untuk melindungi dirinya.
Lalu detik berikutnya berlangsung cepat, pisau si penyergap tidak mengayun kepadanya, tubuh si pernyergap terbanting kesamping, ada seseorang yang menerjangnya dari belakang.
Itu Jason!
Jason datang menolongnya! Dan sekarang kedua lelaki itu sedang bergulat di tanah, tetapi si penyergap membawa pisau dan Jason hanya memakai tangan kosong!
Rachel menjerit, mencoba memanggil bantuan, mencoba berteriak agar siapa saja yang mungkin mendengar  bisa datang dan menolong mereka. Dia menatap cemas dan ketakutan ke arah dua lelaki yang masih bergulat dengan keras itu. Yang satu berusaha mengalahkan yang lain, pukulan-pukulan dilayangkan dan Jason berusaha menangkis tikaman-tikaman pisau dari si penyergap, membuat Rachel mengerutkan keningnya ketakutan dan semakin menjerit keras sampai suaranya serak.
Kemudian terdengar langkah-langkah kaki berderap yang mendekati mereka, membuat si penyergap panik dan membabi buta untuk melepaskan diri dari pergulatannya dengan Jason. Lelaki itu mengayunkan pisaunya dengan keras dan kejam ke arah Jason, hanya beberapa detik hingga Jason tidak bsia menghindar, darah mengucur deras dari tubuh Jason dan seketika tubuh Jason tumbang ke tanah, membuat Rachel memekik.
Kesempatan itu digunakan si penyergap untuk melepaskan diri dari Jason, dia langsung bangkit dan berlari secepat kilat menuju ke arah pintu belakang dan tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Rachel menyeret kakinya yang terkilir setengah merangkak mendekati Jason, seluruh gaun hijaunya berlumuran tanah, tetapi dia tidak peduli. Dia berhasil mendekati Jason yang terbaring setengah meringkuk membelakanginya, dia meraih tubuh Jason, membalikkannya dan langsung membelalakkan matanya.
Jason sedang meringis menahan sakit, wajahnya pucat pasi hingga tampak begitu putih di kegelapan kebun belakang ini, dan meskipun sekeliling mereka gelap pekat, Rachel bisa melihat bahwa sebelah tangan Jason sedang menekan pergelangan tangannya yang lain.... dan darah segar mengucur di sana, begitu deras keluar dari sebuah luka sayatan yang menganga lebar dari telapak tangan Jason hingga melewati pergelangan tangannya.
“Jason? Oh astaga... Jason??” Jemari Rachel bergetar menyentuh pipi Jason yang dingin.
“Kau tidak apa-apa Rachel?” Suara Jason tampak lemah dan matanya tidak fokus, tetapi dia sepertinya menyadari Rachel yang membungkuk di atasnya, “Ini sakit sekali... aku lelah.”
Dan Jason-pun memejamkan matanya.
Rachel langsung panik, dia berusaha mengguncangkan tubuh Jason, tetapi tidak ada reaksi. Suara derap kaki semakin mendekat, tetapi sepertinya mereka kebingungan menemukan Jason dan Rachel karena suasana begitu gelap. Rachel akhirnya berteriak-teriak di kegelapan sampai suaranya serak...
Bantuan itupun datang, ternyata itu adalah dua orang satpam di depan yang sedang berpatroli dan kebetulan mendengarkan jeritan Rachel tadi. Mereka segera memanggil ambulance. Dan kemudian, ketika bantuan paramedis berdatangan, dan tubuh Jason yang lunglai diangkat untuk dinaikkan ke ambulance. Rachel kehilangn kesadarannya.
Yang diingatnya terakhir kali adalah darah itu... darah yang mengucur deras dari telapak hingga pergelangan tangan Jason.
Tangan yang digunakannya untuk menggesek biolanya......


Bersambung ke part 12



1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 25, 2013 22:28
No comments have been added yet.


Santhy Agatha's Blog

Santhy Agatha
Santhy Agatha isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Santhy Agatha's blog with rss.