Skylashtar Maryam's Blog: Mimpi dan Ilusi, page 15

January 8, 2014

Prinsip Ketenangan dalam Ekonomi Religiositas

Oleh: Widya Nurrohman
Ketika seorang manusia sebagai insan dihadapkan pada sebuah pemahaman tentang religiusitas, maka yang kemudian nampak adalah bukan pada apa agama atau kepercayaannya. Melainkan pada bagaimana ia mengambil sikap atas agama atau kepercayaannya tersebut. Sementara bagi seorang muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.1Dalam perekonomian misalnya, di mana ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda penerapannya daripada ekonomi negara yang berbasis kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral.2Salah satu hasil akhir yang dimungkinkan dengan menerapkan religiusitas adalah perolehan ketenangan dalam hidup. Sementara bila dikaitkan dengan pengertian ekonomi syariah di atas, hal tersebut dapat merujuk kepada suatu sistem yang menjamin terciptanya suatu ketenangan. Bukan tidak mungkin ketenangan ini diimplikasikan kepada sebuah sistem ekonomi karena pada dasarnya ekonomi syariah memiliki ciri sistem yang Islam, yaitu keseimbangan. Dalam pembagian hasil, ekonomi syariah menganut sistem SHU, di mana hasilnya dibagi rata sesuai dengan kontribusi. Berbeda dengan sistem perbankan konvensional di mana besaran imbalannya yang berupa bunga bernilai tetap.3 Tentunya hal ini pun menjadikan hasil akhir perputaran uang yang didasarkan pada sistem tersebut lebih mudah diprediksi. Namun, di saat bersamaan juga memunculkan sebuah pertanyaan apakah nilai tersebut memang benar-benar sebuah nilai yang riil atau hanya sekadar di atas kertas.  A.        Bayang-bayang Krisis Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, nilai-nilai yang terkandung dalam ekonomi syariah terbukti dapat membuat industri di dalamnya terhindar dari pukulan krisis ekonomi global. Selain itu juga bisa memperkecil jarak antara sektor keuangan dengan sektor riil. Sektor ekonomi syariah juga menghindarkan pembiayaan atau investasi yang sifatnya spekulatif dan hanya berpihak pada sang pemegang modal.4Jika pernyataan tersebut dikembalikan kepada prinsip religiusitas, ada sebentuk keterkaitan yang sangat erat: terhindarinya investasi yang sifatnya spekulatif. Akhirnya pelaku ekonomi tidak akan dibayang-bayangi lagi oleh prasangka-prasangka. Sebentuk ketenangan yang mungkin didapat karena menjalakan ajaran tentang berekonomi.Jenis ketenangan lain yang dimungkinkan pada pelaksanaan sistem ekonomi syariah adalah adanya sebuah jaminan bahwa apa yang dimiliki merupakan sesuatu yang tidak hanya ada di atas kertas. Mungkin, ini terdengar aneh. Namun ekonomi syariah memiliki keunggulan bahwa apa yang diusahakannya memang nyata hasilnya baik dalam bentuk barang dan jasa. Artinya sektor riil benar-benar ikut bergerak, tidak seperti pada sektor perbankan konvesional yang masih belum tahan terhadap krisis keuangan karena masih menggunakan sistem bunga, dan bentuk kegelisahan lain yang muncul adalah sifatnya sebagai turunan kapitalisme lewat fiat money (uang kertas), yang mengembangbiakkan uang lewat sistem moneter, yang sangat rapuh terhadap krisis dan merugikan ekonomi sektor riil.Perlu pula diketahui bahwa Indonesia saat ini menempati urutan kedua dunia karena tingginya angka inflasi, yaitu di kisaran 7-8 % (7,79 % pada November 2013).5 Jika kondisi yang tidak sehat ini terus dilanjutkan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan kembali jatuh dalam krisis moneter untuk kali kedua. Untuk itulah diperlukan suatu perspektif baru yang, untuk saat ini, menyeimbangkan gap tersebut. Pertumbuhan sistem ekonomi syariah mungkin sangat bagus (aktiva perbankan syariah di Indonesia mencapai 38 persen per tahun), tetapi juga memiliki kendala karena aksesnya yang masih sulit untuk para pelaku usaha-usaha mikro (UKM).
B. Prinsip Ketenangan Religiusitas mungkin adalah yang pertama ditanyakan, jika seseorang yang Islam belum mampu menyingkirkan godaan akan bunga perbankan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mungkin tidak ada yang namanya keberimbangan antara kehidupan beragama dengan kehidupan berekonomi. Seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Meskipun hasil yang diperolehnya dalam menjalankan kaidah adalah mungkin satu alasan esensial mengapa seseorang itu harus beragama: ketenangan.Sementara ketenangan ini bila dibawa pada sebuah pengertian pada suatu sistem, yakni ekonomi, dapat berarti adanya suatu keseimbangan antara pertumbuhan sektor riil dan non riil. Sehingga bayang-bayang krisis dapat ditepis jauh-jauh dari kehidupan ekonomi Indonesia. Pada akhirnya akan memunculkan ketenangan pada pelakunya sendiri: tak perlu berspekulasi, jujur, dan tak perlu merasa takut pada bayang-bayang semu angka-angka yang ada sistem perbankan konvesional.


Referensi

Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002 dalam Susanto, Teguh. Pengertian Religiusitas. http://jalurilmu.blogspot.com/ diakses pada Desember, 2013Ayub, Muhammad, 2007. Understanding Islamic Finance. Jakarta: PT  GramediaDwi Condro Triono, 2013. Ekonomi Islam dalam Perspektif Ekonomi Makro dan Kebijakan Publik Untuk Menjawab Kegagalan Ekonomi Kapitalisme. http://www.slideshare.net/indradin/ekonomi-islam-dalam-perspektif-ekonomi-makro-dan-kebijakan-publik-untuk-menjawab-kegagalan-ekonomi-kapitalisme diakses pada Desember, 2013http://www.walipos.com/ diakses pada Desember, 2013Wisnu AS, 2013. Menkeu Yakin Inflasi Mencapai 2013 Bisa 8,5 Persen. http://www.metrotvnews.com/ diakses pada Desember, 2013


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 08, 2014 13:12

January 7, 2014

Menempuh Ini dengan Rela, Bersamamu ...



:Gi

Kadang cinta hanya butuh dijalani. Bersama, atau sendiri-sendiri.
Seperti yang telah kita sepakati, sebuah label bernama hubungan akan menjadikan cinta sebagai barang dagangan; palsu dan loakan. Kita hanya ingin menjalani ini dengan tenang. Tanpa harus saling menjajah, tanpa harus saling melempar serapah. Sebab cinta, walau bagaimanapun, akan selalu memiliki waktu untuk rekah.

Apa yang berdebar di dadamu, apa yang berdetak di jantungku, bukan sesuatu yang harus kita beri nama. Mungkin itu cinta, mungkin itu asmara, mungkin juga bukan apa-apa. Toh, hati kita hanya ingin bersama, hanya ingin saling bertautan tanpa beban. 

Aku kerap lupa, kapan terakhir kali bersama seseorang yang bisa membuatku tertawa begitu lepas. Aku juga tak ingat, kapan terakhir kalinya aku ingin bersama seseorang sepanjang hari tanpa alasan yang pasti kecuali bersamamu. 

Kita adalah dua orang di bantaran sungai yang terseret arus lalu tak tahu akan ke mana menuju kecuali berenang dan tenggelam. Sesekali menyelam ketika debit air sudah sedemikian dalam. 

Barangkali juga aku dan kau adalah dua orang yang tersesat di kota yang sama lalu saling menemukan, saling mengobati kesunyian. Aku tak tahu pasti, begitupun kau.

Yang aku tahu, Gi. Aku hanya ingin menjalani ini dengan rela. Denganmu. Bersamamu ....

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 07, 2014 23:45

December 22, 2013

Tuan, Tuhan

:Tuhan

Ini surat entah, sebab aku tak tahu bagaimana cara beribadah kecuali mengingatMu dalam setiap detak jantungku yang dedah. Tuan, aku masih tersesat, berjalan dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu hanya untuk menemukanMu. 

Di tanganku, Tuan. Masih kusimpan carikan tiket tanpa tanggal keberangkatan, sebab Engkau hanya menyebutkan satu janji yang akan tetap kupegang, bahwa kelak, Kau akan mengajakku pulang. MenemuiMu.

"Sesungguhnya Aku dekat, lebih dekat dari urat lehermu."

SuaraMu kerap terngiang di telinga. Mengajakku untuk menolak lupa bahwa Engkau ada. Bahwa Engkau akan selalu ada. 

Tuan, bisakah Kau menghitung rindu yang berdegup di jantung? Rindu yang menjantera darahku agar terus-menerus mencariMu. 

Tuan, jika suatu saat aku lelah dan tak lekas menemukanMu, maukah Kau berjanji satu hal padaku? Bernjanjilah untuk datang menjemputKu. 

Sebab aku akan selalu menunggu.

MenungguMu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 22, 2013 08:31

December 13, 2013

Sepetak Mimpi yang Kembali


Poster Talkshow KPPI
Sebetulnya desain bukan keahlian saya, sebab gambar lebih banyak menghabiskan tenaga daripada kata-kata. Mungkin itu sebabnya saya tak pernah berhasil lulus dari Fakultas Senirupa dan Desain ITB. Tapi sesuatu yang pernah kita cintai tak akan pernah benar-benar mati. Selalu ada benih yang sempat tertinggal untuk kemudian tumbuh kembali.


Entah karena kemajuan teknologi, entah karena jari saya memang lebih 'berbakat' memegang mouse daripada pensil, adobe adalah sebuah keajaiban bagi saya. Ada imajinasi yang tak bisa saya realisasikan melalui pensil kemudian dapat saya realisasikan lewat program-program ini. 

Poster seadanya ini saya buat untuk media publikasi talkshow KPPI beberapa bulan silam. Karena waktu itu KPPI tidak memiliki siapa-siapa untuk mengurusi hal-hal semacam ini, maka saya pun belajar dan inilah hasilnya. Sebuah 'keterpaksaan' yang akhirnya membuahkan kesenangan. 

Belajar tetek-bengek soal desain juga adalah salah satu cara saya untuk memaksimalkan fungsi otak agar saya tak sakit jiwa. Semoga dengan begitu tak banyak ruang kosong di kepala saya. 

Desain kartu nama Mahardika Tour & Travel
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 13, 2013 10:04

Takwa Artifisial

Hubungan manusia dengan Tuhan bukan papan iklan, tak usah dipertontonkan. Anda sudah punya dua malaikat yang bertugas mencatat. Anggapan manusia lain hanya selapis jangat. Sebab riya, tak akan menambah pahala, melainkan menancapkan duri paling sakit di hati Anda.
Ketakwaan tidak dinilai dari sebarapa banyak Anda menyebut nama Tuhan di hadapan orang-orang. Juga tidak dinilai dari seberapa fasih kosakata istilah bahasa Arab yang Anda lafalkan. Sebab agama, bukan alat untuk mencari muka.
Ada perbedaan tipis antara ingin menjadi orang baik, tampak baik, dan orang munafik. Di hati Anda yang serpih itu, yang selalu ingin memuaskan keinginan dan ekspektasi orang-orang itu, adakah sekat yang cukup tebal untuk memisah-misahkannya? Jika tidak, maka berhentilah berpura-pura. 
Tuhan bukan poster pameran, berhentilah memamer-mamerkannya.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 13, 2013 06:15

December 11, 2013

Orang Sakit Boleh Miskin, Tapi Tidak Boleh Bodoh

Saya jadi tahu sebabnya mengapa orang kaya lebih suka berobat ke rumah sakit swasta daripada harus ke rumah sakit pemerintah. Selain pelayanan dan fasilitas yang lebih prima, keahlian tenaga medis di rumah sakit swasta juga tidak membuat tekanan jiwa.
Dokter memang bukan dewa, tapi bagi masyarakat awam seperti saya, ke tangan para dokter inilah harapan untuk sembuh saya larungkan. Bukan hanya harapan akan obat dan penanganan yang tepat, tapi juga analisis dan diagnosis yang benar. Bagi saya, dokter adalah decision maker. Kalau dokter ahli yang tingkat pendidikannya tinggi saja tidak bisa mengambil keputusan, apatah lagi saya, pasien yang tidak pernah mencecap bangku perkuliahan?
*
BARAK PENDAFTARAN
Awal Agustus tahun 2012. Saat itu usia kandungan saya sudah 44 minggu, telat tiga minggu dari perkiraan kelahiran. Setiap kali berdiri atau berjalan, seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk perut bagian bawah saya. Rasa sakit yang tidak tertahankan.
Berbekal SKM (Surat Keterangan Miskin) yang saya dapat setelah membayar 100 ribu rupiah kepada seorang kader PKK, datanglah saya ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk pemeriksaan kehamilan. Sebelumnya saya sudah diperiksa di RS Hermina Pasteur dan bayi saya didiagnosis anenchepalus. Seharusnya saya melahirkan di RS Hermina, tapi karena biaya persalinan di sana minimal 5 juta, jumlah uang yang bagi saya dan keluarga adalah neraka, saya terpaksa ke RSHS dengan harapan mendapatkan penanganan dengan kualitas yang sama tapi tanpa biaya.
Situasi di loket pendaftaran non umum poliklinik RSHS mengingatkan saya pada barak evakuasi pasca bencana di negeri antah berantah. Ratusan orang sakit dan keluarganya di kursi ruang tunggu, petugas di loket yang bermuka masam mengancam, dan percakapan orang-orang yang berisi berbagai macam keluhan.
Lucunya lagi, saat jam istirahat makan siang, semua loket ditutup selama satu jam. Bagi saya ini menggelikan sekaligus mengerikan. Di tempat pelayanan publik swasta, mereka mengenal yang namanya shift, bahkan untuk istirahat, di rumah sakit umum besar ini malah tidak ada. Padahal pasien pemegang SKM, SKTM, dan asuransi jaminan kesehatan lainnya di ruang tunggu ini tidak sedikit yang memiliki penyakit kronis. Ada yang ginjal, lever, usus buntu. Mereka tidak semua datang dari kota Bandung, sebagian besar datang dari luar kota dan harus berangkat dari kota asal dini hari agar sampai di rumah sakit pagi-pagi.   
Orang lapar bisa menunggu, tapi orang sakit tidak.Setelah menunggu kurang lebih empat jam di loket pendaftaran, saya pun mendapatkan ‘tiket’ untuk diperiksa ke poli kandungan. Poli kandungan artinya sebuah ruangan persegi panjang dengan tiga kamar periksa yang disekat ‘seadanya’, dokter yang entah ada di mana, perawat senior (saya tidak ingin menyebutnya tua) dengan suara menyakitkan telinga, para koas yang berlalu lalang, dan seribu perawat magang yang memandang saya seperti memandang sampel jaringan kodok di meja laboratorium.
Perawat magang yang menimbang berat badan saya bahkan tidak bisa menggunakan timbangan manual lalu kebingungan kalau saja saya tidak berbisik berapa berat badan saya.
“Tulis saja 63 Kg. Terakhir ditimbang tiga hari lalu berat badan saya segitu,” bisik saya. Satu karena kesal, kedua karena kasihan melihat wajahnya yang kebingungan.
Perawat magang itu meringis tapi memandang saya dengan tatapan berterima kasih. Kalau petugas medis yang mereka miliki setolol itu, saya sendiri heran mengapa rumah sakit tidak menggunakan timbangan digital saja.
Proses pemeriksaan adalah momok yang lain lagi. Saya harus terus-terusan mengangkang sementara satu per satu dokter ahli kandungan melakukan pemeriksaan vaginal tanpa berhasil membuat keputusan. Memang, atas petuah kader PKK yang membuatkan SKM itu, saya tidak boleh menyebut-nyebut soal diagnosis dokter di RS Hermina. Karena katanya, dokter di rumah sakit pemerintah akan merasa ‘terhina’.
“Masa iya periksa awal di rumah sakit swasta yang mahal terus karena kurang biaya baru ke rumah sakit pemerintah? Nanti dokter-dokter di sana tersinggung dan takutnya tidak mau memeriksa,” begitu penjelasan kader PKK tersebut.
Setelah siang sampai sore diperiksa (USG dengan mesin kecil, detak jantung bayi, cek darah, ratusan kali pemeriksaan vaginal) oleh lima orang dokter kandungan, tak satu pun hasil diagnosis saya dapatkan. Para tenaga medis berkumpul, berdiskusi, bertanya-tanya ada apa dengan kandungan saya sementara saya dan suami (yang sudah tahu akar permasalahannya) hanya menahan geram. 
Di RS Hermina, dengan ditangani oleh satu orang dokter dan satu orang perawat, empat tahap pemeriksaan (pemeriksaan dalam, detak jantung bayi, USG, dan rontgen) diagnosis didapat dalam waktu 45 menit. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan keahlian antara tenaga medis di rumah sakit swasta dan pemerintah, tapi Anda tentu bisa membayangkan betapa jomplang keahlian mereka.
*
PASIEN SANDIWARA
Esok harinya saya mengulang kembali prosedur yang sama, duduk berjam-jam di ruang pendaftaran, kemudian diperiksa berkali-kali tanpa hasil pasti. Tahap terakhir adalah USG dengan mesin yang lebih besar di rumah sakit yang sama. Anehnya, dokter yang konon ahli itu juga tidak bisa memberikan kesimpulan apa-apa. Ia hanya memberikan keterangan bahwa kepala bayi saya tidak terdeteksi di rongga panggul.
Sambil membawa hasil cetakan USG, saya dan suami kembali lagi ke poli kandungan. Di lorong rumah sakit, sambil menahan nyeri di perut bagian bawah, akhirnya saya mengajukan usul kepada suami agar kami bermain sandiwara. Jujur, saya ingin sekali meneriakkan hasil diagnosis sebelumnya ke telinga mereka. Kalau perlu, akan saya tunjukkan rekap medis dari RS Hermina. Tapi jika itu saya lakukan, saya takut pihak rumah sakit akan membatalkan SKM yang saya bawa. Kalau sampai surat itu tidak berlaku, kami akan membayar biaya perawatan dan persalinan nanti dengan apa?
“A, bagaimana kalau kita bersandiwara?” ide itu saya lontarkan kepada suami ketika kami berjalan di lorong.
“Maksud kamu?”
“Gini aja deh. Nanti, kalau dokter kandungannya bertanya tentang apa yang dibilang dokter USG, kita pura-pura saja bahwa dokter itu bilang anenchepalus. Gimana?”
Suami saya berpikir sebentar. “Tapi kan ga ada tulisannya di sini,” ia mengacungkan hasil USG dan secarik kertas.
“Nggak masalah itu mah, serahkan sama Teteh,” kata saya.
Di poli kandungan, saya menyerahkan hasil USG itu kepada dokter yang sedang bertugas (dokter yang berbeda dari hari sebelumnya). Ia membaca dan menyelidiki hasil USG tapi tidak mengatakan apa-apa kecuali bergumam-gumam. Mungkin ia sedang mengingat-ingat pelajaran sewaktu sekolah kedokteran dulu. Mungkin juga ia sedang berusaha keras mengambil kesimpulan dari kepingan puzzle hasil pemeriksaan.
Saya menunggu. Menunggu pertanyaan ‘keramat’ itu ia ajukan.
“Hmmm … jadi, apa kata dokter di ruang USG?” dokter perempuan di depan saya itu mengetuk-ngetukkan bolpoin di bibirnya.
Nah, kan. Saya memasang wajah pasien yang bodoh dan tak tahu apa-apa.
“Nggg … tadi sih dokternya bilang ada masalah dengan bayi saya, apa ya namanya? Itu lho yang kelainan kepala itu. Anan … anen … hmmm … lus lus gitu,” saya melirik suami saya.
Anenchepalus,” ujar suami saya. Untungnya dia bisa juga berakting.
Kalau ini adegan film kartun, mungkin saya bisa melihat ada pijar bola lampu di atas kepala dokter di depan saya itu.
“Ah iya betul. Anenchepalus!” serunya agak sedikit riang. Keriangan yang tidak pantas mengingat jawaban itu bukan benar-benar didapat dari koleganya.
Beberapa dokter yang masuk ke ruang pemeriksaan di poli ikut-ikutan melihat rekap medis saya. Dengan bangga, mereka mengangguk-angguk, berkata satu sama lain bahwa diagnosis itu sudah mereka perkirakan sejak semula. Diagnosis yang sayangnya tidak akan pernah saya dapat jika saja saya dan suami tidak pandai berpura-pura.
Seorang dokter berbaik hati menghampiri kami di ruang tunggu poli dengan maksud untuk menjelaskan apa itu anenchepalus. Selain memberikan keterangan bahwa bayi saya kemungkinan besar tidak akan hidup lama, dokter itu juga memberikan penghiburan agar saya dan suami bersabar.
Kalimat-kalimat penghiburannya saya terima dengan gembira tapi keterangannya saya anggap sia-sia. Karena sebelum pergi ke rumah sakit saya sudah riset di internet. At least, saya tidak datang dengan kepala kosong.
Mereka memutuskan bahwa saya harus dirawat inap agar segera melakukan persalinan. Sore itu juga, setelah melengkapi kelengkpan administrasi bagi pasien pemegang SKM, saya dipindahkan ke ruang bersalin. Kelengkapan administrasi adalah memersiapkan puluhan fotokopi berkas-berkas. Kalau ada yang kurang lengkap sedikit saja maka petugas di loket bersangkutan akan memberikan petuah yang akan membuat sakit hati siapa saja.
Tempat fotokopi di rumah sakit itu adalah cerita yang lain lagi. Saya tidak pernah melihat tempat fotokopi seramai itu selain di kampus-kampus jika mendekati ujian. Dengan hanya dua mesin dan dua orang operator, antriannya bisa membuat para pasien yang sakit semakin sakit.
*
PASIEN TONTONAN
Ditangani oleh enam dokter ahli kandungan yang semuanya laki-laki, dua orang perawat senior, tiga orang koas, dan lebih dari lima orang perawat yang sedang magang, proses bersalin berhasil saya lalui. Tiba-tiba kamar bersalin saya lebih ramai dari pasar. Vagina dan rasa sakit saya menjadi tontonan.
Kalau saja saya dan suami memiliki banyak uang, mungkin saya akan memilih untuk melahirkan di rumah sakit swasta agar saya tidak ‘dipermalukan’. Tidak menjadi objek praktik hanya karena bayi saya yang memiliki kelainan mampu bertahan selama 9 bulan di dalam kandungan.
Kalau saja saat itu saya memiliki uang lima juta, mungkin saya akan memilih bersalin di ruangan yang nyaman, bukan di ruangan seperti barak dengan dua orang pasien lain yang tak henti-hentinya berteriak.    

Tapi pengalaman ini menghantarkan kesadaran bahwa saya boleh saja miskin, tapi tidak boleh bodoh. Sebab kalau saya bodoh, mungkin para dokter di RSHS akan memerlukan waktu berhari-hari sampai menemukan kesimpulan pasti. Jika itu yang terjadi, barangkali bayi yang saya kandung akan terlanjur mati. Atau mungkin, saya yang akan terlebih dahulu mati. 
*
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” dengan subtema (1) Praktik pelayanan kesehatan di Indonesia (pengalaman berhubungan dengan pelayanan kesehatan).




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 11, 2013 05:47

December 10, 2013

TANGIS

Kau duduk diam di tepi pembaringan. Menangkup wajahmu dengan kedua telapak tangan. Aku menunggu. Menunggu dedah amarah yang akan kau muntahkan. Namun, kau tetap diam.
Aku meringkuk di sudut kamar. Rasai denyutan di pipi yang lebam. Aku menunggu. Menunggu air mata yang sebentar lagi mungkin keluar. Namun, aku pun tetap diam.
Pertengkaran kita kali ini berujung di tempat yang sama. Sebuah tamparan dengan gema nyaring di seantero ruangan. Setelah beberapa kali pukulan, aku mulai kebal akan rasa sakit yang kau timbulkan.
Kau mulai bergerak-gerak gelisah. Berjalan gontai mendekatiku.
“Maafkan aku!” ucapmu perlahan. Duduk di hadapanku.
Aku balas bergumam. Banyak kata yang sebenarnya ingin kumuntahkan. Berjuta cacian yang sebenarnya ingin kuteriakkan. Bahkan aku ingin sekali balas menamparmu, menjedotkan kepalamu ke dinding, atau menendang wajahmu. Andaikan aku bisa.

Mataku nyalang mencari-cari bayangan. Kau membantuku bangkit dan duduk. Tanganmu membelai pipiku, mencari-cari sisa air mata. Tak kau temukan di sana.
Bibirmu bergetar. “Sakit?”
Aku diam, tak tahu apa yang kurasakan. Sehingga tak mampu memberimu jawaban.
“Maafkan aku, Ayya!” kali ini kau memelukku.
Tubuh ringkihku tenggelam di di dadamu. Kucium aroma tubuhmu, bau yang sama sejak sepuluh tahun lalu. Aroma inilah yang selalu kurindu di tahun-tahun pertama pernikahan kita. Selalu kutunggu jika kau telat pulang kerja. Sekarang, di mana rindu itu berada?
Perlahan-lahan kau lepaskan pelukan. Entah mengapa, aku malah merasa lega. Seakan-akan kau telah membebaskanku dari kungkungan.
“Sakit?” sekali lagi kau bertanya.
Apa? Apa yang harus kukatakan? Bila aku menjawab iya, akan berhentikah kau memukulku?
Seluruh bagian dalam tubuhku telah kehilangan kontak denga rasa sejak kau mendaratkan pukulan pertama. Kapankah itu? Dua? Tiga? Empat tahun yang lalu kah? Seperti bereon-eon bagiku.
Tanganmu menggenggam jemariku. “Aku tak ingin melakukan ini padamu.”
Dan aku tak ingin kau melakukan ini padaku. Tapi kau tetap melakukannya. Pada akhirnya, keinginan kita berdua tak sampai di titik temu.
“Aku bisa melihatmu kesakitan. Aku merasa sakit bila kamu sakit,” kecupanmu mendarat di telapak tanganku.
Sebab kita sudah bertahun-tahun bersama. Aku yang mati-matian bertahan, dan kau yang kerap mendobrak bentengnya. Barangkali indera di kedua tubuh kita saling mengecap rasa yang sama. Aku pernah mendengar bahwa dua orang yang tinggal bersama dalam waktu yang lama, sel-sel dalam tubuhnya akan saling meniru. Berlakukah itu untuk kelima indera kita?
Lalu apa yang kau rasakan ketika aku mendapatimu di tempat tidur dengan wanita lain enam tahun yang lalu? Saat itu aku ingin sekali membunuh kalian berdua. Tapi kuurungkan karena aku tak mau melahirkan di penjara. Samakah apa yang kau inginkan waktu itu? Hingga kemudian kau memukuliku. Ataukah hanya untuk menutupi rasa malu?
“Ayya, katakanlah sesuatu! Jangan diam saja.”
Tidak, kau pasti berdusta. Sudah sejak lama kau melarangku berbicara. Menutup seluruh akses sosialku. Memutus hubunganku dengan dunia. Satu-satunya orang yang ada dalam hidupku hanyalah kau. Tak ada keluarga, tak ada mertua, tak ada teman-temana. Hanya kau.
Bahkan aku tak tahu kepada siapa harus bercerita ketika kandunganku keguguran. Kau yang mendorongku dari tangga. Ingat? Lalu, saat aku tengah sekarat, yang kau ucapkan hanyalah: “Jangan bilang siapa-siapa. Kalau tidak, kubuat hidupmu lebih menderita!”
Matamu menatap wajah lebamku. “Aku berjanji tak akan memukulmu lagi.”
Aku ingin tertawa. Terbahak-bahak. Terpingkal-pingkal sampai terguling-guling di lantai kalau perlu. Sudah berapa banyak janji ini kau ucapkan? Seratus ribu? Lima puluh juta kali? Andaikan aku pernah sungguh-sungguh menghitung. Kau akan mendapati ratusan juta janji yang tak pernah kau tepati.
“Sungguh, aku menyesal melakukan ini padamu,” tanganmu masih menggenggam jemariku.
Apa? Katakan bahwa aku tidak tuli. Setahuku, menyesal artinya tidak akan melakukan hal yang sama lagi. Selamanya. Barangkali aku yang salah mengartikan kata-katamu.
Kau menyatakan penyesalan ini sejak dulu. Tapi selalu mengulangi itu.
Kau mengatakan menyesal setelah kau memukuliku pertama kali. Kemudian kau memukuliku lagi karena aku menanyakan ke mana kau selama berhari-hari.
Ketika aku lupa menyetrika bajumu, kau menamparku. Lalu mengatakan menyesal setelah itu.
Waktu aku mendapati sms mesra entah dari siapa. Kau melemparkan gelas ke wajahku sehingga aku tak bisa keluar rumah selama seminggu. Waktu itu juga kau mengucapkan penyesalan itu.
Masih ingatkah kau? Saat kau menyuruhku tidur di luar rumah semalaman karena aku sedang darang bulan dan tak bisa memenuhi kewajibanku melayanimu. Pagi-pagi sekali sebelum para tetangga terbangun, kau membangunkanku dan menyuruh membuat sarapan. Dan mengatakan kau menyesal telah melakukan itu.
Lalu, waktu masakanku tak sesuai dengan seleramu. Kau menyimramkan sepanci sayur sop itu ke atas kepalaku. Kau pun berjanji hal itu tak akan kau ulangi.
Tanganmu beralih ke pipiku yang lebam. “Kau terluka, besok kita ke dokter, ya.”
Luka yang mana? Kau tak tanya? Bagiku lebam ini bukan apa-apa. Aku masih punya bekas luka beberapa jahitan di kepala. Luka yang kau hadiahkan sewaktu aku meminta pisah darimu dulu.
“Ayya…” gumammu pelan. “Kenapa kamu tidak mengangis?”
“Me… nang..is?” ejaku.
“Iya, menangislah kalau kamu mau. Aku tak akan melarangmu.”
Iya, aku ingin menangis. Sudah lama sekali aku ingin menangis. Membebaskan air mata yang terbendung sejak lama. Merasakan kembali aliran hangat itu di pipiku.
Tapi aku lupa bagaimana caranya.
Aku tak ingat lagi bagaimana memulainya.
Karena sudah begitu lama aku tak melakukannya.
Bukankah dulu kau melarangku melakukan itu? Kau akan melemparkan seluruh barang yang ada di dekatmu jika aku mulai terisak. Atau kau akan mengunciku di kamar mandi sampai aku berhenti. Pernah suatu kali kau menyumpal mulutku dengan kain lap hingga aku sulit bernapas. Laranganmu membuatku jadi tak manusia.
Tidak, aku tak bisa!
Sudah lama perempuan ini menyimpan sakitnya sendiri. Telah bertahun-tahun perempuan ini memendam lukanya sendiri. Sudah sejak dulu, aku menelan tangisku sendiri.
“Aku mencintaimu.”
Barangkali kita tidak sedang berbicara tentang cinta yang sama, suamiku. Sebab cinta akan tetap saling menemukan muara. Sedangkan kita, cinta itu sendiri terseret dan terengah-engah. Kau sadari atau tidak.
“Ayya…” suaramu bergetar. “Menangislah, sudah lama aku tak melihatmu menangis.”
Aku menggeleng. Rupanya kau tak mengerti juga.
“Kenapa?”
Kuhembuskan nafas. “Sebab aku… sudah tak lagi punya air mata.”
Kemudian kau tergugu. Bahumu berguncang. Matamu berlinang-linang. Tangismu pecah di pelukku. Tangis yang selama ini aku simpan. Sakit, perih, pedih, nyeri, dan luka yang aku masukkan ke dalam kotak. Agar suatu hari bisa juga kau rasa.

Batam, 26 Januari 2009
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 10, 2013 20:15

NO, I'M NOT DESERVE TO GET THIS FUCKING SCAR


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan hal pelik. Pelaku jarang bisa dijerat oleh hukum karena berbagai alasan. Karena tidak ada bukti kuat lah, atau karena yang dilakukannya memang sudah menjadi kewajiban lah, bahkan seringkali pelaku memanipulasi semua orang sehingga seakan-akan dialah yang menjadi korban.
Perempuan, sebagai pihak yang lebih banyak menjadi korban KDRT sulit untuk mendapatkan pertolongan yang tepat. Sebab dalam masyarakat Indonesia, suami adalah raja dan pemimpin yang mempunyai otorisasi dalam menentukan keputusan. Sedangkan istri adalah abdi yang senantiasa diberi kewajiban untuk menjalankan titah. Hubungan suami istri yang seharusnya sebagai partner hidup berubah menjadi hubungan antara tuan dan budaknya.
Korban KDRT sukar mengajukan tuntutan atau mendapatkan perlindungan hukum. Sebagai contoh, Anda adalah korban KDRT dan berniat untuk mengadukan hal ini kepada polisi. Maka bersiap-siaplah membawa saksi dan bukti. Bukti berupa hasil visum dari rumah sakit. Tanpa hasil visum, jangan harap polisi mau menindak lanjuti. Dan meminta visum pada pihak rumah sakit juga sama susahnya seperti kalau kita minta mereka makan durian plus kulit-kulitnya. Dengan alasan yang sangat manusiawi: BEKAS LUKA TIDAK MEMADAI. So, kalau Anda seorang korban KDRT, usahakanlah agar pasangan Anda menambah pukulan hingga sedemikian rupa. Sampai menimbulkan lebam-lebam yang sangat legam, dan benjolan-benjolan sebesar bola tenis. Jangan lupa untuk tidak melawan saat Anda dibanting atau ditendang supaya tulang rusuk Anda retak, kalau bisa sih patah sekalian. Juga beri sentuhan akhir berupa sayatan pisau atau silet, atau tusukan. Setelah itu, barulah Anda pergi ke rumah sakit dalam keadaan sekarat untuk meminta pertolongan.

Jika Anda berhasil selamat dan masih hidup, maka surat visum akan keluar. Tapi saya beri tips jitu bila Anda sedang berada di rumah sakit: JANGAN SEKALI-KALI MEMINTA BELAS KASIHAN PADA DOKTER ATAU PERAWAT. Sebab mereka tidak diprogram untuk menghadapi kasus-kasus seperti ini.
Setelah Anda mendapatkan hasil visum, bersiap-siaplah pergi ke kantor polisi dengan membawa bukti dan saksi. Di sana pun tidak akan mudah. Terutama bila Anda mempunyai pasangan seorang psikopat yang selalu jadi malaikat di depan semua orang tapi berubah jadi iblis bermulut kotor dan kejam bila sedang berada dengan Anda.
Terus bagaimana dengan saksi dan bukti? Saksi itu adalah manusia. Dan manusia merupakan mahluk yang jalan pikirannya paling tidak stabil. Saksi yang pertamanya menguatkan posisi Anda, bisa saja berubah malah memberatkan.
Bukti juga bisa musnah seketika dengan mantra; "You deserve to get this"
Ini baru tahap interogasi dan mendengarkan pengakuan kedua belah pihak. Jika Anda bukan selebriti seperti Manohara atau Cici Paramida, sidang hanya impian. Kasus ditutup dengan Anda sebagai tersangka pembuat pengaduan palsu. Setelah itu, Anda akan digiring kembali ke pangkuan suami. Kemudian mengalami penyiksaan yang sama, pelecehan yang sama, penghinaan yang sama, sampai ... barangkali sampai Anda masuk kubur atau rumah sakit jiwa.

Kenapa KDRT kerap terjadi dan tidak ditangani secara serius sampai sang korban berada dalam tahap akhir: terbunuh oleh pasangannya, bunuh diri, berbulan-bulan koma, atau masuk rumah sakit jiwa? Sebab memang tak banyak yang peduli.
Dalam masyarakat kita, jika si istri membuat kesalahan, lalu ia dilempar gelas oleh suaminya, orang-orang akan berkata begini: "Oh, emang pantes dilempar gelas. Istri macam apa tuh yang kayak gitu?"
Berbeda bila si suami tidur dengan wanita lain, lalu memukuli istrinya karena kepergok. Komentar orang-orang adalah: "Istrinya aja kali yang nggak sanggpu melayani."See? Perempuan tetap berada di pihak yang salah.
Silakan anggap tulisan aku ini sebagai omong kosong, tapi jangan kira perempuan-perempuan yang menjadi korban KDRT itu tidak nyata. Jangan kira semua luka itu tidak ada. Dan jangan berani-berani menutup mata.
Dear, ladies. Tolong jangan cekoki otak kalian dengan anggapan bahwa semua luka itu pantas kalian dapatkan. Tidak, kalian, kita, tidak pantas mendapatkan semua luka itu. Lakukanlah apa yang harus dilakukan, tapi yang paling penting, JANGAN DIAM!
==
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 10, 2013 20:06

AKIBAT NILA SETITIK, RUSAK SUSU SELURUH KOTA


Pernah dengar peribahasa ini? AKIBAT NILA SETITIK, RUSAK SUSU SEBELANGGA. Atau mungkin yang ini? KEMARAU SETAHUN TERHAPUS HUJAN SATU HARI. Kedua peribahasa itu menunjukkan salah satu kelemahan manusia; bahwa kita memang selalu pandai menilai segala sesuatu dari sisi negatifnya. Tidak peduli seumur hidup seseorang berbuat baik, jika sekali saja ia mencuri, maka selamanya ia akan dianggap pencuri.
Hal seperti ini yang kerap terjadi pada Batam. Kita terlalu sibuk menciptakan kelebihan. Itu bagus. Tapi bagaimana dengan kekuarangan? Apakah lantas harus dibiarkan? Pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan mestinya berjalan seimbang. Agar yang tidak baik menjadi baik, dan yang baik menjadi lebih baik.
Karena saya tidak jago mengenai konstruksi bangunan, kondisi jalan, dan tetek bengek yang menyangkut teknis, maka yang bisa saya soroti adalah masalah-masalah yang memang sering saya perhatikan: MANUSIA.
Apa yang berkenaan dengan manusia? Moralitas adalah salah satunya.Pernah berkunjung ke Jembatan Barelang di malam hari? Saya pernah. Apa yang Anda dapati selain penjual jagung bakar dan bakso tenis? Yang saya dapati adalah berpuluh-puluh pasangan yang bermesraan di pinggir jembatan. Meski gelap, kemesraan bak dramatisasi adegan sinetron atau film-film impor itu tetap kelihatan. Jujur, benar-benar mengganggu pemandangan.

Apa jadinya bila wisatawan melihat semua itu? Apa yang akan mereka pikirkan tentang kota ini? Wisatawan asing saja belum tentu terbiasa, apalagi wisatawan domestik. Apakah Anda juga terbiasa dengan hal itu? Jika Anda menjawab ya, maka Anda dikategorikan sebagai masyarakat yang permisif terhadap tindakan asusila di tempat umum. Melanggar peraturan daerah tentang ketertiban dan UU Pornografi dan Pornoaksi.

Saya percaya bahwa testimoni dari mulut ke mulut lebih efektif dari iklan sehebat apapun. Jadi, bila kita mempromosikan aset wisata Batam sampai mulut berbusa pun, jika sekali saja image kota ini tercoreng, maka membutuhkan waktu seabad untuk memperbaikinya. Bahkan mungkin lebih lama. Karena manusia cenderung mengingat hal negatif daripada kesan positif.

Terus, kenapa saya menulis ini? Supaya seluruh dunia tahu begitu? Nggak juga, karena dekadensi moral terjadi di setiap kota, dan masalah seperti ini sudah menjadi lagu lama yang sampai sekarang belum terselesaikan. Saya hanya ingin membuka mata setiap orang. Mengajak Anda, masyarakat Kota Batam untuk tidak lagi permisif. Tidak lagi memakai mantra ajaib "Bukan urusan gue".

Saya mengerti bahwa setiap tahunnya Batam selalu kekurangan pasokan listrik, tapi berani berharap bahwa pemerintah mau menambah penerangan di Jembatan Barelang. Kalau di sana terang benderang, semoga saja pasangan-pasangan yang sedang sakaw asmara itu merasa risih, dan tidak lagi syuting sinetron di sana.

Saya juga berbesar hati bahwa Satpol PP akan mengefektifkan razia ketertiban di tempat-tempat umum. Kayaknya keren kalau setiap malam, di jembatan satu ada petugas yang bertanya begini pada semua pasangan: "Maaf Mas, Mbak, bisa saya lihat surat nikahnya? Kalau nggak punya, tolong nggak usah pelukan terlalu rapat dan c.....an di sini. Pegangan tangan saja sudah cukup. Terima kasih."

Wuih, dijamin jembatan satu kosong melompong setiap malam deh :D. Oh iya, satu lagi. Bisa nggak yah petugas Satpol PP itu sekalian teriak pakai megaphone: "DILARANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN! DILARANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN...!"

Foto jembatan dipinjam dari : www.batamevent.com

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 10, 2013 18:48

December 3, 2013

Nadran


(Pikiran Rakyat, 1 Desember 2013)

Permusuhanku dengan Ibu selalu dimulai dari pertanyaan yang sama: “Kapan kamu akan nadran ke makam anakmu?”. Pertanyaan itu pun berulang setiap tahun di setiap kali kepulanganku ke Babakan. Bagi Ibu, nadran bukan hanya amalan mengingat kematian melainkan sudah menjadi semacam ritual. Dia melakukannya setiap bulan selama bertahun-tahun. Semakin banyak anggota keluarga kami yang mati, maka semakin giranglah dia, karena itu artinya Ibu memiliki satu lagi alasan untuk tetap nadran dan berlama-lama di pemakaman.


Jadwal nadran Ibu adalah di hari Jumat pertama setiap bulan. Jadwal yang kerap kali memusuhi jadwal membayar listrik ataupun pengajian. Jika ada perhelatan di hari Jumat pertama, maka sudah dipastikan Ibu tak akan datang. Dia lebih memilih untuk nadran; menganyam doa di pinggiran makam.
Benda-benda yang dianggap sebagai bakti terhadap anggota keluarga yang sudah mati itu dibawa Ibu ke Mak Iti, perempuan paling tua di Babakan. Mak Iti, sepanjang ingatanku adalah indung beurang yang memiliki banyak sekali keahlian. Anehnya,semua kehlian Mak Iti selalu berhubungan dengan kelahiran dan kematian. Di dalam ritual Ibu, Mak Iti berperan sebagai pendoa. Benda-benda yang Ibu bawa akan didoakan, diamini, tapi tak dikembalikan.

“Itu kan sedekah untuk keluarga kita yang sudah meninggal, Sum. Jika semasa hidup aku tak bisa memberikan makanan mewah seperti itu untuk uyutmu, maka sekaranglah masa yang tepat untuk membalas jasa-jasanya. Jadi tutup saja mulut nyinyirmu itu.”
Itu selalu yang dikatakan Ibu jika sedikit saja aku memperlihatkan ketidaksetujuan. Lagi pula, bagaimana mungkin aku mengamini semua yang dilakukan Ibu jika itu malah mendatangkan nasib celaka bagi perut kami, anak-anaknya? Selain menyunat uang belanja yang diberikan Bapak, tak jarang Ibu berutang pada tetangga untuk ritual nadrannya.

Setelah aku dewasa, menikah, memiliki anak, bercerai, merantau ke Batam, sampai aku pulang kembali ke kampung halaman, ritual Ibu itu tak juga usai. Maka setiap kali aku pulang, pertanyaan itulah yang sering kali ia ulang.
*

“Tadi malam aku bermimpi buruk sekali, Sum,” bisik Ibu begitu aku masuk ke dapur. Tangannya yang sedang menyiapkan sarapan sejenak berhenti.


“Mimpi apa?” pertanyaan yang kuajukan tidak berisi keingintahuan barang setetes. Tapi Ibu tak akan berhenti berbicara terlepas apakah aku bertanya atau tidak.


“Aku bermimpi anakmu telanjang sambil menangis di tepi makam, katanya dia kedinginan.”


Aku mendengus. Apa lagi ini? “Lalu?”


“Dia minta dikirimi pakaian,” bisik Ibu. Dengan pandai ia mengatur intonasi suaranya agar dramatis dan mistis.


“Lalu?” aku mengangkat alis, sesuatu yang sangat dibenci Ibu.


“Belilah barang sepotong dua potong pakaian di Pasar Cibogo lalu kirimkan pada anakmu itu. Kalau kamu tak mau, biar aku yang pergi ke pasar dan mengantarkannya ke Mak Iti,” suara Ibu mulai meninggi.


Aku hanya mengeleng-gelengkan kepala, mulai menyapu lantai dapur tanpa banyak bersuara.


“Sum!” panggil Ibu ketika dilihatnya aku tak menggubrisnya lagi. “Kalau kamu tak mau, biar Ibu yang membelinya ke pasar,” ulangnya.


“Bu …,” kubuat suaraku serendah mungkin. “Apa Ibu tahu bahwa anak Teteh sudah meninggal?”


“Ya tentu saja aku tahu, aku kan yang memandikan dan ikut menguburkannya.”


“Apa Ibu yakin kalau Najwa masuk surga?” aku berdiri di ambang pintu dapur sementara tanganku masih menggenggam sapu.


“Bicara apa kamu ini? Tentu saja anakmu yang meninggal sewaktu bayi itu akan masuk surga, juga menjadi pembuka pintunya untukmu, barangkali juga untukku,” suara Ibu masih tinggi.


“Kalau dia masuk surga, berarti dia tak akan pernah kekurangan apa-apa. Untuk apa kita harus repot-repot mengirimkan barang-barang dunia kepadanya?”


Setelah kalimat itu kukeluarkan, Ibu sempurna diam. Entah karena kata-kataku yang bertemu dengan kebenaran di dalam kepalanya, atau karena alasan-alasan yang tidak dapat kuterka. Yang jelas Ibu sama sekali berhenti berbicara.



Tadinya kukira bahwa diamnya Ibu adalah semacam pertobatan, tapi bukan Ibu namanya kalau kegandrungannya terhadap memuaskan mereka yang sudah mati dapat begitu saja dihentikan. Siangnya Ibu justru pergi ke pasar, membeli tiga stel pakaian bayi, mainan, selimut, satu dus susu formula, dan tiga dus makanan bayi. Barang-barang itu dibawanya kepada Mak Iti, dan tentu saja tak kembali.


Setelah berpuas diri dengan mengirimkan sesaji dan ritual nadran yang semakin lama waktunya semakin panjang, Ibu pulang ke rumah dengan raut wajah semringah. Tak lupa ia membawa bekal sebotol air mineral yang telah diberi doa dan memberikannya kepadaku. Agar aku tak lupa pada tradisi, katanya.


Dua hari kemudian seorang tetangga bertandang untuk menagih utang. Utang apalagi kalau bukan utang Ibu, utang yang dipakainya untuk memuaskan mimpi-mimpi dan ritual nadrannya. Tentu saja aku meradang, meski utang itu tetap kubayar.


Mestinya Ibu tahu bahwa kepulanganku ke Babakan tidaklah berbekal berkarung uang. Berapalah gaji seorang buruh pabrik tamatan SMU yang usianya tak muda lagi sepertiku? Aku hanya berhasil menabung tak lebih dari dua juta rupiah, itu artinya aku harus cepat mendapatkan pekerjaan di Bandung jika tak ingin hidupku terkatung-katung. Sebab bagiku, menumpang hidup di rumah orang tua –apalagi dengan kegemaran Ibu- tidak berarti aku bisa menumpang makan dan tidur seenaknya.
*

Permusuhanku dengan Ibu kemudian dimulai dengan pembukaan yang berbeda: “Tadi malam aku bermimpi ….”. Jika di suatu pagi Ibu mengatakan bahwa ia bermimpi, maka aku akan cepat menjawabnya bahwa mimpi baik itu berasal dari Tuhan sedangkan mimpi buruk asalnya dari setan. Dan mimpi buruk jelas tak layak diceritakan.


Biasanya, Ibu akan menutup mulutnya rapat-rapat setelah mendengar sanggahanku. Ia akan dengan senang hati menganggapku batu, tak ingin berbicara atau bertegur sapa. Kedua adikku sudah menikah dan tinggal di rumah yang berbeda, ikut dengan suami-suami mereka. Otomatis, jika Bapak pergi bekerja, aku dan Ibulah yang ada di rumah seharian. Aku tahu, Ibu sengaja menjadikanku orang asing semata-mata karena mulut nyinyirku.


Meski mimpi-mimpi Ibu kerap kali tidak kutanggapi, ia tak lantas berhenti. Ritual nadrannya seakan tak memiliki tepi. Aku sendiri heran, mengapa banyak sekali orang mati yang mengajukan permintaan? Permintaan yang membuat Ibu semakin khusyuk nadran dan berdoa di atas makam, juga semakin khusyuk berutang. Utang yang tentu saja harus aku atau Bapak bayar.


Semakin aku geram, semakin seringlah Ibu pergi ke makam. Karena menolak berbicara denganku, Ibu akan menggerutu sendirian di dapur dengan suara keras agar aku juga bisa mendengar. Dalam gerutuannya, sesekali Ibu seolah-olah sedang berbincang dengan Najwa, almarhum putriku. Dikatakannya bahwa sebagai nenek ia tak akan membiarkan cucunya nelangsa di akhirat sana, tak seperti aku ibunya.


Dalau gerutuannya, sering pula Ibu mengatakan bahwa aku adalah anak sulung yang tak tahu tradisi, tak mengerti agama. Sering kali Ibu menuding-nuding jilbab yang kukenakan dan mengatakan bahwa itu hanya pakaian yang membuatku justru semakin kurang ajar. Semakin tak tahu aturan.



Jika gerutuannya kubalas dengan pertanyaan “Apakah Ibu sudah salat atau belum?”, maka ia akan semakin berang. Semakin memiliki alasan untuk pergi ke makam dan melakukan ritual nadran, meski belum awal bulan. Dan aku, dengan keras kepala akan terus-menerus menolaknya. Sebab bagiku, kematian bukan sesuatu yang harus selalu dirayakan. Bagiku, bersebrangan dengan kepercayaan Ibu, doa tak harus dilarungkan di atas nisan, apalagi jika harus melalui ritual yang dipaksakan. Jika beras di dapur kami yang masih hidup ini kadang ada kadang tiada, untuk apa aku harus berutang kesana-kemari hanya untuk memuaskan keinginan mereka yang jelas-jelas sudah mati?


Bagi Ibu, aku adalah anak yang mengingkari tradisi. Bagiku, Ibu adalah manusia yang selalu menolak untuk mengerti.
*

Setelah bertahun-tahun, permusuhanku dengan Ibu tidak lantas berhenti. Bahkan setelah ia sendiri dihampiri maut; sesuatu yang semasa hidup ia puja sekaligus ia takuti. Ibu, kerap datang ke dalam mimpi dan menggumamkan hal yang sama berulang kali.


“Kapan kamu akan nadran ke makamku, Sum? Aku begitu kesepian dan kedinginan.”


Rupanya Bapak tidak pernah memimpikan hal yang sama. Ketika kubisikkan mimpi itu ke telinga tuanya, ia hanya terbatuk-batuk lantas menghunuskan mata penuh pertanyaan. Mungkin ia sedang menerka, apakah anak sulungnya ini sedang mengarang cerita ataukah sudah berangkat gila?


Namun mimpi itu selalu kembali, selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, sehingga aku nyaris tak tahan.


“Pergilah berziarah. Toh doa bisa dipanjatkan kapan dan di mana saja,” kata Bapak setelah beribu kali aku mengeluhkan mimpi yang sama.


“Ibu juga minta dikirimi baju dan selimut,” suaraku parau, berusaha menepis ingatan tentang Ibu yang duduk telanjang di tepian makam dengan mata murka.


Mata Bapak menerawang, mungkin sedang mencari jawaban. “Lakukan apa saja yang kaupercayai, Sum. Ini hanya ikhtiar untuk membuat tidurmu tenang,” katanya.



Maka aku pergi ke makam Ibu tanpa berbekal apa-apa sebab Surat Yasin yang sering dirapal orang-orang ketika ziarah sudah kuhafal di luar kepala, tidak juga berbekal baju atau selimut seperti yang diminta Ibu di dalam mimpi. Sesampainya di pemakaman, kubersihkan ilalang dan daun-daun kering yang berkeliaran di atas kuburannya. Lalu aku mulai berdoa, untuk keselamatan Ibu, untuk ketentramannya di akhirat sana. Itu adalah doa yang sama yang kupanjatkan setiap kali sehabis salat. Tak ada yang berbeda. Benar kata Bapak, toh doa bisa dipanjatkan di mana saja.


Ibu pun berhenti datang ke dalam mimpi. Permusuhan kami telah menemukan tepi.
(Bandung, 27 November 2013)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 03, 2013 10:37

Mimpi dan Ilusi

Skylashtar Maryam
An author's blog ...more
Skylashtar Maryam isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Skylashtar Maryam's blog with rss.