Skylashtar Maryam's Blog: Mimpi dan Ilusi, page 18
October 21, 2013
A Year to Remember
Kali ini aku berjanji, ini surat terakhir yang aku buat untukmu, meski aku tahu bahwa kau tak akan pernah berhasil membaca ataupun sekadar menerka. Di dalam mimpi paling retih sekalipun, tak pernah aku ingin kehilanganmu. Sampai hari ini, kau adalah jantera darah dan jantungku. Jantung yang jika detakannya dapat engkau hitung maka ia hanya akan meneriakkan satu nama selain Tuhan, yaitu namamu.
Mengingatmu layaknya membuka sebuah kotak pandora berisi para penyihir dan hantu-hantu. Segala kenangan yang ingin sekali aku lupakan berebut keluar. Mereka mencakar-cakar isi kepala, membuatku ingin menyayat segala, termasuk urat nadiku sendiri. Ya, sesakit itulah mengingatmu.
Namun aku harus tetap mengingat agar segala macam kegilaan yang pernah kulakukan untuk mempertahankanmu menjadi pelajaran paling berharga. Meski dengan melakukan itu, aku dikutuk oleh kata lupa.
Aku berjanji, ini surat terakhir yang kubuat untukmu. Entah kau akan membacanya atau tidak. Entah kau masih ingat kepadaku atau tidak. Mungkin saja namaku di benakmu sudah dimamah lupa sehingga aku bukanlah siapa-siapa, hanya sebuah nama yang tak memiliki arti apa-apa.
Ini surat terakhir yang aku buat untukmu. Mungkin engkau akan lupa, meski aku tidak.
Published on October 21, 2013 00:15
October 20, 2013
Bagaimana Rasanya Jika Suami Anda Dicuri?
"Bagaiamana jika suami Anda dicuri?"
Kalimat itu dilontarkan seorang perempuan kepada saya di sela-sela obrolan ringan yang malah menjurus ke topik paling rentan; poligami. Saya tidak bisa menjawab, saya tidak bisa memberikan pendapat. Karena jawaban saya tentu tak akan jauh-jauh dari kata 'bakar', 'pencit', dan sesuatu seperti itu. Jika pertanyaan seperti ini diajukan beberapa tahun yang lalu, barangkali saya akan berkata 'Memangnya kenapa? Perempuan lain itu kan hanya ingin kamu berbagi'. Tapi tidak hari ini, saat ini pertanyaan itu lebih sulit dijawab daripada pertanyaan mengenai berapa jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh saya.
Seorang teman yang lain pernah berkata, selama ini para perempuan sering salah. Yang sering menyakiti perempuan bukanlah laki-laki melainkan para perempuan itu sendiri.
Pemikiran seperti itu membawa saya kepada pemahaman bahwa manusia -terlepas dari gender- adalah makhluk bebal yang rela menjajah dan menumpahkan darah untuk kesenangannya sendiri. Kekuasaan, jabatan, harta, cinta, adalah motivasi yang seringkali membuat manusia lebih hewan daripada hewan. Ini bukan hanya masalah egoisasi, bukan hanya masalah empati. Ini masalah nurani.
Perempuan itu, masih dengan isak kembali berbicara.
"Rasa sakit yang pernah saya rasakan mungkin tidak pernah kamu rasakan. Tapi kamu perlu tahu bahwa sakit ini tidak akan pernah hilang."
Saya tahu apa yang ia rasakan, saya tahu pedih seperti apa yang sedang mengeram di dadanya. Saya tahu luka seperti apa yang tengah menganga dan menjajah pertahanan air matanya. Saya tahu, percayalah bahwa saya tahu.
Cinta adalah entitas paling besar yang pernah kita temukan, namun sebesar apa pun ia, kita tak pernah ingin berbagi. Apalagi jika cinta itu dicuri.
Perempuan mana yang akan bertahan dari tikaman bayang-bayang ketika suaminya mengirimkan berbagai pesan mesra kepada perempuan lain? Ketika suaminya menyentuh perempuan lain? Ketika suaminya berbagi selimut dengan perempuan lain. Tidak akan pernah ada perempuan yang bertahan. Saya tidak akan bertahan. Tidak akan pernah.
Kita, para perempuan, ternyata adalah musuh bagi kaum kita sendiri. Sekarang saya yang ingin bertanya kepada Anda, BAGAIMANA RASANYA JIKA SUAMI ANDA DICURI?
Kalimat itu dilontarkan seorang perempuan kepada saya di sela-sela obrolan ringan yang malah menjurus ke topik paling rentan; poligami. Saya tidak bisa menjawab, saya tidak bisa memberikan pendapat. Karena jawaban saya tentu tak akan jauh-jauh dari kata 'bakar', 'pencit', dan sesuatu seperti itu. Jika pertanyaan seperti ini diajukan beberapa tahun yang lalu, barangkali saya akan berkata 'Memangnya kenapa? Perempuan lain itu kan hanya ingin kamu berbagi'. Tapi tidak hari ini, saat ini pertanyaan itu lebih sulit dijawab daripada pertanyaan mengenai berapa jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh saya.
Seorang teman yang lain pernah berkata, selama ini para perempuan sering salah. Yang sering menyakiti perempuan bukanlah laki-laki melainkan para perempuan itu sendiri.
Pemikiran seperti itu membawa saya kepada pemahaman bahwa manusia -terlepas dari gender- adalah makhluk bebal yang rela menjajah dan menumpahkan darah untuk kesenangannya sendiri. Kekuasaan, jabatan, harta, cinta, adalah motivasi yang seringkali membuat manusia lebih hewan daripada hewan. Ini bukan hanya masalah egoisasi, bukan hanya masalah empati. Ini masalah nurani.
Perempuan itu, masih dengan isak kembali berbicara.
"Rasa sakit yang pernah saya rasakan mungkin tidak pernah kamu rasakan. Tapi kamu perlu tahu bahwa sakit ini tidak akan pernah hilang."
Saya tahu apa yang ia rasakan, saya tahu pedih seperti apa yang sedang mengeram di dadanya. Saya tahu luka seperti apa yang tengah menganga dan menjajah pertahanan air matanya. Saya tahu, percayalah bahwa saya tahu.
Cinta adalah entitas paling besar yang pernah kita temukan, namun sebesar apa pun ia, kita tak pernah ingin berbagi. Apalagi jika cinta itu dicuri.
Perempuan mana yang akan bertahan dari tikaman bayang-bayang ketika suaminya mengirimkan berbagai pesan mesra kepada perempuan lain? Ketika suaminya menyentuh perempuan lain? Ketika suaminya berbagi selimut dengan perempuan lain. Tidak akan pernah ada perempuan yang bertahan. Saya tidak akan bertahan. Tidak akan pernah.
Kita, para perempuan, ternyata adalah musuh bagi kaum kita sendiri. Sekarang saya yang ingin bertanya kepada Anda, BAGAIMANA RASANYA JIKA SUAMI ANDA DICURI?
Published on October 20, 2013 23:49
September 28, 2013
Perempuan yang Mati Berkali-Kali (Pikiran Rakyat, 29 September 2013)
TASTE of Beauty, karya Alima Hayatun Nufus
(Sumber: Pikiran Rakyat)
Ratna M Rochiman, 40 Tahun, Pemain Teater
Jika kematian menjadi sesuatu yang sangat sakral, maka tidak begitu bagi perempuan itu; Maryam. Baginya, kematian menjadi semacam ritual yang dijadwal, persis seperti keberangkatan kereta api atau menggosok gigi di pagi hari. Ya, ia sudah mati berkali-kali kemudian hidup kembali.
Pertama kali hal itu terjadi sepuluh tahun lalu, Maryam mengira bahwa dirinya adalah siluman cecak dengan kemampuan beregenerasi. Urat nadinya yang sempat rampung kembali tersambung. Waktu itu ia mengira akan mati dengan cara yang diinginkan; telentang di atas ranjang dengan tangan terjuntai dan berlelehan darah. Dia membayangkan ubin-ubin itu akan berubah menjadi lukisan mural berwarna merah. Dalam kepalanya, adegan ibunya yang histeris dan bapaknya yang menangis berseliweran seperti film-film murahan. Ya, ia telentang di atas ranjang. Ya, tangan kirinya terjuntai dengan lelehan darah berwarna merah. Ya, lantai kamarnya berhasil dilukis dengan pola acak berbercak-bercak. Tapi ia tak mati, ia hidup kembali.
Ia nyaris tak ingat kapan dan bagaimana kematian yang kedua, yang ketiga, dan kematian-kematian seterusnya. Yang ia ingat hanyalah bahwa ia tak pernah benar-benar berhasil mati seakan Izrail atau Tuhan sendiri enggan menerimanya. Jika manusia lain mencari cara agar terhindar dari kepungan kematian dengan berbagai ilmu kanuragan, tidak begitu dengan Maryam. Ia justru melesat ke arah sebaliknya; menyongsong kematian dengan tangan terbuka.
Di dalam kepala Maryam yang terlalu penat, waktu tidak ditandai oleh detak jarum jam atau coretan pada tanggal di almanak. Waktunya ditandai oleh peristiwa demi peristiwa; luka-luka yang tak pernah bersiap hengkang dari hidupnya. Kehilangan demi kehilangan telah ia mamah hingga kenyang. Ditinggalkan oleh orang-orang tersayang adalah peristiwa yang harus ia telan dengan dada lapang. Semua orang mati, kecuali dirinya.
Bahkan ia sempat berpikir bahwa dirinya adalah manusia abadi yang akan hidup sampai Tuhan bosan membiarkannya berkeliaran di dunia. Tapi anggapannya salah, selalu saja salah. Tuhan ternyata memiliki banyak hadiah. Hadiah itu dikirimkan suatu malam, malam yang ia anggap menjadi pemakamannya sendiri. Jika aku jadi Maryam, mungkin aku akan memilih cara kematian paling lesat, tak ada perempuan lain yang bisa bertahan dari kegilaan atau kematian terhadap apa yang Maryam temukan malam itu, tidak ada.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
*
Ratna Ayu Budhiarti, 32 Tahun, Penyair
Ketika pertama kali bertemu tiga tahun lalu, aku sudah tahu bahwa perempuan ini gila. Bukan kegilaan semacam orang gila pada umumnya, aku hanya merasa bahwa ada sesuatu dalam kepala Maryam yang membuatnya nyaris tak waras. Kadang aku ragu apakah yang berada di dalam kepalanya itu malaikat atau setan laknat.
Ia selalu mengatakan bahwa kematian adalah musuh abadi sekaligus musuh yang paling ia rindukan. Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin ada manusia yang mati, hidup lagi, mati lagi, kemudian hidup kembali. Begitu seterusnya sampai berkali-kali. Bahkan dalam tiga tahun pertemanan kami, aku sudah tak bisa menghitung berapa kali ia mati lalu hidup lagi.
Aku tidak tinggal satu kota dengannya, tapi kabar kematian Maryam selalu saja sampai ke pintu telingaku. Hari ini, dengan segala macam alat komunikasi dan berkeliarannya teknologi, tak sulit menerima kabar seperti itu.
Pada kabar kematiannya yang pertama (yang pertama aku dengar, bukan kematian Maryam secara keseluruhan), aku tunggang langgang datang ke kotanya. Aku masih ingat, waktu itu bulan Januari di tahun pertama pertemanan kami. Tergesa aku menumpang mobil travel dengan ongkos nyaris setengah honor tulisanku. Aku tak mempedulikan uang ketika itu, sebab yang ada di pikiranku hanyalah bahwa aku harus datang. Lagi pula, tidak setiap hari temanmu mati, bukan?
Maryam mati. Dia meloncat dari jembatan layang.
Kakinya patah dan kepalanya pecah.
(Meitha)
Itu pesan yang aku dapat. Pesan yang membuatku nyaris pingsan di tempat. Dengan berurai air mata sepanjang perjalanan, aku berusaha datang. Aku membayangkan kesedihan macam apa yang akan dirasakan putri semata wayangnya. Aku juga membayangkan kepedihan seperti apa yang menyelinap di dada kami, teman-temannya.
Selama perjalanan yang terasa amat panjang itu, aku berusaha mengingat Maryam dan kebaikan-kebaikannya. Kita tak boleh memikirkan keburukan orang yang sudah mati, itu tak sopan. Di dalam ingatanku, Maryam adalah tipe teman yang akan dengan sukarela menjadi pembunuh bayaran untuk membela teman-temannya. Meskipun ia jarang sekali memberikan solusi berupa materi atas masalah ekonomi yang sering kami –teman-temannya- alami, tapi ia selalu saja memberikan motivasi (Maryam menyebutnya provokasi) sehingga kami terlecut bagai kuda yang terus-menerus dipecut.
Tapi lalu apa yang aku temukan ketika aku sampai di kotanya? Ia tak jadi mati. Kakinya yang patah dan kepalanya yang konon pecah tak berbekas apa-apa. Ketika aku datang ke ruang gawat darurat rumah sakit, Meitha menyambutku dengan wajah yang tak bisa dengan tepat kubaca.
Kami tidak menemukan Maryam di tempat tidurnya. Kami justru menemukannya di belakang gedung, duduk di lantai, tak memakai sandal, merokok dengan asap menguar-uar. Ia memang tak mati.
“Anjing! Dokter-dokter di rumah sakit ini memang rese. Mereka ketakutan setengah mati saat melihatku hidup lagi,” maki Maryam. “Hai, Ayu!” tangan Maryam melambai ketika melihatku.
Aku mengamati kepalanya yang konon pecah, tapi bentuk kepalanya masih bulat meski rambutnya banyak bernoda darah. Kakinya yang konon patah sekarang sedang ia selonjorkan di atas ubin.
“Kamu …” aku terbata.
“Yu, teman kita satu ini tak jadi mati,” wajah Meitha merah padam ketika mengatakan itu. “Dan sebaiknya kamu terbiasa dengan ini. Sekarang dia melompat dari jalan layang. Mungkin lain kali dia akan melompat dari pesawat terbang. Aku sih tidak keberatan, asalkan tubuhnya tercerai berai lalu hilang di laut dan jadi makanan ikan.”
Aku terlongo.
Maryam malah terkekeh-kekeh mendengar caci-maki yang keluar dari mulut Meitha.
“Kali ini aku hanya belum beruntung, Met. Izrail sialan itu belum mau menjemputku,” Maryam masih terkekeh-kekeh.
Itulah kematian Maryam yang kusaksikan pertama kali. Selanjutnya masih banyak kematian dengan hasil yang sama; Maryam hidup kembali. Hidup dan menjalaninya dengan ketidakwarasan yang sama, bahkan semakin menjadi. Ia bahkan menikah, berumah tangga, memiliki suami, untuk yang ketiga kali.
Aku sempat beranggapan bahwa setelah menikah maka Maryam tak akan mencoba untuk mati, tapi ternyata aku salah. Malam itu, bukan Maryam yang mencari melainkan kematianlah yang mendatangi. Malam itu, jika aku jadi dia, mungkin aku juga tak akan sanggup menahan segala amuk prahara.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
*
Meitha KH, 31 Tahun, Presenter
Maryam memang gila, aku setuju dengan pendapat dua temanku itu. Tapi jika aku jadi dia, mungkin aku akan lebih gila darinya. Bagiku, Maryam lebih pantas untuk berbahagia daripada mati terus-menerus seperti yang selama ini ia inginkan.
Di pernikahannya yang ketiga, ia memang berhenti mati untuk sementara. Kupikir ia sudah benar-benar berbahagia, maka kami teman-temannya mengelus dada, ikut pula berbahagia. Setiap kali kami bertemu, wajahnya semringah seperti habis menang undian berpuluh juta.
“Aku jatuh cinta,’ bibirnya mengeluarkan sabda.
Laki-laki yang menikahi Maryam sebetulnya terhitung biasa-biasa saja, tidak tampan, tidak kaya, pekerjaannya juga biasa saja. Namun bagaimana cara Maryam menggambarkan lelaki itu sering kali membuat kami tertawa. Bagi Maryam, lelaki itu adalah lelaki paling sempurna di dunia. Konyol memang, mengingat Maryam sendiri sudah pernah bertemu dan tidur dengan berbagai macam lelaki yang segalanya lebih baik dari suaminya. Entah kenapa malah lelaki itu yang justru ia puja-puja. Ya, namanya juga cinta.
Nah, apa yang akan kuceritakan kali ini bukanlah kematian-kematian Maryam sebelumnya melainkan kematianya yang terakhir. Malam itu, Maryam datang ke tempatku dengan wajah serupa mayat; pucat. Ia tak mengatakan apa-apa selain duduk, mengeluarkan secarik kertas lalu mengangsurkannya kepadaku. Melihat tangaannya yang gemetar dan bibirnya yang bergeletar, secarik kertas itu memang pantas disebut sebagai pemakamannya.
Secarik kertas itu bukanlah berisi puisi yang ia buat, melainkan foto kopi buku nikah bertanggal dua minggu sebelumnya. Buku nikah dengan nama suaminya sebagai mempelai pria dan nama perempuan lain sebagai mempelai perempuan. Buku nikah yang terdaftar di KUA Kota Jakarta.
“Sudah tiga minggu dia tidak pulang, kopian buku nikah itu aku dapatkan melalui surel, satu jam yang lalu. Dia hanya mengatakan bahwa dia mencintai perempuan lain dan menikahinya,” bibir Maryam yang bergetar bergumam-gumam.
Tak ada kata-kata penghiburan yang bisa kuhantarkan. Kebahagiaan Maryam yang selama ini kami harapkan kandas. Bahkan pernikahan sekalipun tak dapat membuat Maryam lolos dari kematian, justru menghadiahkan kematian yang lebih mengerikan.
“Sebaiknya aku mati …” gumam Maryam sekali lagi.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
(Kebun Seni, 26 September 2013)
Published on September 28, 2013 22:53
September 25, 2013
Tubuh Perempuan; Benteng Pertahanan Sekaligus Senjata Mematikan
Seperti yang pernah dikatakan oleh Kang Ahda Imran di dalam salah satu percakapan kami, ketika laki-laki 'menikmati' tubuh perempuan, tidak jelas lagi siapa yang objek dan siapa yang subjek. Saya belum begitu memahami teori yang dikemukakan oleh Heidegger dan Merleau-Ponty, jadi tidak akan menelaahnya dari sisi filsafat atapun disiplin ilmu lainnya. Saya hanya berusaha mengamati realitas sosial dan interaksi antarpersonal.
Di dalam Islam, tubuh (bahkan suara) perempuan disebut sebagai aurat yang harus ditutup rapat. Bukan karena agama satu ini mendiskreditkan kemerdakaan perempuan dalam berpakaian, melainkan untuk melindunginya. ‘Keharusan’ menutup aurat ini jugalah yang sering dijadikan dalih oleh para pelacur hukum ketika dihadapkan kepada tindak kejahatan yang berhubungan dengan tubuh perempuan (pemerkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, dll). Tubuh yang tidak tertutup kemudian menjadi objek yang harus disalahkan ketika terjadi penyalahgunaan, menjadi semacam pembenaran ketika tubuh yang bersangkutan ‘dihancurkan’.
Tubuh perempuan sering kali dilolosi dari jiwa yang mengisinya; dibendakan atau dikambinghitamkan. Ketika hal ini terjadi, agama dan budaya lebih sering bersikap ‘I’ve told you so’. Di sinilah seharusnya kemanusiaan mengambil alih dan kembali menyatukan antara tubuh yang dibendakan dengan perempuan sebagai manusia yang memiliki jiwa.
KORBAN, ATAU DIKORBANKAN?
Jika dilihat dari sejarah berakhirnya perang Troya (yang juga diceritakan Kang Ahda), tubuh perempuan adalah subjek otonom yang memegang peranan penting, bahkan kendali di saat-saat genting. Hal inilah yang kerap kali tidak disadari oleh para lelaki maupun perempuan itu sendiri sehingga posisi objek dan subjek menjadi bias. Di dalam perang Troya, perempuan tahu betul bagaimana menggunakan tubuhnya. Istri-istri dari kedua belah pihak sepakat untuk tidak melayani suami mereka di tempat tidur jika peperangan tidak diakhiri. Perang pun berakhir. Ini menunjukkan bahwa di hadapan kuasa tubuh perempuan, prajurit perang paling hebat sekalipun bisa berubah menjadi pandir.
Mari mundur lebih jauh lagi ke tragedi Adam dan Hawa yang diusir dari surga. Di dalam literasi mana yang menyebutkan bahwa Hawa itu buruk rupa? Tidak ada! Hawa adalah blue print keindahan tubuh perempuan. Celakanya, Adam hanya diberi peringatan mengenai tipu daya iblis, bukan tipu daya pasangannya.
Izinkan saya merekonstruksi dialog mereka:
Hawa : Beb, makan deh buah ini. Enak lho.
Adam : Ga mau ah. Kata Tuhan itu buah terlarang.
Hawa : Yaelah, enak kali. Aku udah nyoba, kok.
Adam : Appah? Kamu udah nyoba? Oh my God! Kamu tuh ya, aku bilangin jangan makan ya jangan makan. *marah-marah, banting gelas
Hawa : Beuh, malah nyolot nih laki. Yaudah kalau ga mau makan, kamu ga dapat jatah tiga bulan.
Adam : *kleyengan
Ya, terlepas dari rekonstruksi dialog di atas yang agak-agak gimana gitu, seharusnya kita memang bersyukur. Coba kalau Adam tidak tergoda oleh bujuk rayu Hawa (dan tubuhnya), maka kita tidak akan tinggal di dunia (Di surga belum tentu ada facebook, lho).
Di dalam masyarakat modern yang tengah kita jalani ini, tubuh perempuan memang masih menjadi komoditi. Maaf, saya tidak sedang berbicara tentang pelacuran. Saya sedang berbicara mengenai realitas sosial yang ada di depan mata. Sebut saja satu bidang yang tidak menjadikan tubuh perempuan sebagai garda depan? Periklanan? Perfilm-an?Fashion? Seni? Semuanya ‘menggunakan’ tubuh perempuan bukan hanya untuk menarik perhatian tapi juga untuk menjaring para pelanggan. Coba perhatikan fashion show, yang menarik itu baju yang mereka pakai atau tubuh yang mengenakannya?
Apa ada yang salah dengan komoditi? Tidak. Toh perempuan juga diciptakan karena memiliki fungsi. Yang salah adalah ketika para perempuan itu sendiri selalu merasa bahwa tubuhnya dieksploitasi ketika seharusnya dialah yang memegang kendali. Di dalam prinsip paling dasar hutan rimba, mangsa dan pemangsa hanya dipisahkan oleh garis tipis bernama rasa takut. Jika Anda merasa menjadi korban maka Anda akan diperlakukan sebagai korban.
Jika Anda, para perempuan, selalu merasa bahwa tubuh Anda yang lemah namun indah itu adalah penyebab pelecehan para lelaki, maka sebaiknya Anda membaca tentang Cleopatra atau Dayang Sumbi. Selama ini, tindak kejahatan terhadap tubuh perempuan terjadi karena perempuan itu sendiri menganggap bahwa tubuhnya adalah benda. Tubuh bukan hanya tumpukan otot yang ditutup oleh kulit, ia adalah kendaraan Anda untuk menjalani hidup. Maka perlakukan ia dengan benar.
Pernah dengar tentang Drupadi atau double agent Sang Matahari? Coba katakan, siapa yang memegang kendali di dalam dua legenda tersebut? Kalau Anda masih berpikir bahwa Drupadi dan Sang Matahari adalah korban laki-laki, maka Anda akan terus-menerus diperkosa pemikiran Anda sendiri.
Teruslah merasa menjadi korban dan laki-laki akan memperlakukan Anda sebagai korban.
Anda para perempuan memiliki kuasa penuh atas tubuh yang Anda kendarai. Jika ingin dihijabi maka lakukanlah, jika tidak maka terserah.
INI HANYA MASALAH MEMBALIKKAN POSISI
Apakah Anda tahu berapa banyak laki-laki yang menghubungi saya pasca saya memasang PP dengan dada tersembul bertato kupu-kupu? Lebih dari sepuluh orang, dan kesemuanya hanya menginginkan satu hal yang sama; tubuh. Apakah saya merasa dilecehkan? Merasa dimurah-meriahkan? Merasa keperempuanan saya dijajah? Tidak, ini memang sengaja saya lakukan sebagai riset untuk melihat sejauh mana laki-laki bisa bertahan terhadap kuasa tubuh perempuan.
Sekarang silakan berpikir ulang, siapa yang melecehkan, siapa yang dilecehkan?
Salam,
~eL
Published on September 25, 2013 05:13
September 24, 2013
Bandung-Yogya; Malam-Malam Kita
:eL
Kerap, aku merindukan malam-malam itu. Malam yang lengang dengan kita berdua telentang menatap langit-langit kamar. Sesekali berbicara mengenai cuaca, sesekali bergumam tentang sesuatu yang tak bisa kita terka. Sesekali pula, bibir kita saling bertamu. Kepalaku masih membaca lenganmu, dekat, erat, lekat.
Ya, aku masih merindukan malam-malam itu. Minum teh berdua, tertawa, bertukar ciuman, bertukar kehangatan. Kau mestinya ingat, ketika hujan menandak-nandak di luar sementara kita mengikuti iramanya di dalam kamar, tubuh kita saling bertukar kabar. Bahkan ketika hujan berhenti, kita masih saja menari sebab ada begitu banyak sunyi yang harus ditangani.
Aku semakin merindukan malam-malam itu.
Kerap, aku merindukan malam-malam itu. Malam yang lengang dengan kita berdua telentang menatap langit-langit kamar. Sesekali berbicara mengenai cuaca, sesekali bergumam tentang sesuatu yang tak bisa kita terka. Sesekali pula, bibir kita saling bertamu. Kepalaku masih membaca lenganmu, dekat, erat, lekat.
Ya, aku masih merindukan malam-malam itu. Minum teh berdua, tertawa, bertukar ciuman, bertukar kehangatan. Kau mestinya ingat, ketika hujan menandak-nandak di luar sementara kita mengikuti iramanya di dalam kamar, tubuh kita saling bertukar kabar. Bahkan ketika hujan berhenti, kita masih saja menari sebab ada begitu banyak sunyi yang harus ditangani.
Aku semakin merindukan malam-malam itu.
Published on September 24, 2013 20:27
September 15, 2013
Percakapan Malam-Malam
:Bung
kita berdua seperti cinderella yang hanya punya sebelah sepatu
ketika jam berdentang dua belas kali
meski tak ada jam malam yang mesti kita taati
walau tak ada kereta labu menunggu
kita ... hanya harus pergi sebelum pagi
'pulanglah engkau ke segala yang menjadikanmu nyaman,
pun petualangan itu sendiri.
sebab hidup adalah keberanian menghadapi kemungkinan di
tengah rasa takut akan ketidakpastian.'
pesanmu kuterima dengan debar
namun tak ada rumah untuk orang-orang seperti kita, bung
engkau dan aku adalah cinderella yang selalu terlunta-lunta di luar istana
suatu saat kita akan lelah kemudian menemukan kata 'pulang'
entah ke mana
entah kepada siapa
Bandung, 15 September 2013
(sebelum atau setelah bercinta, kamar kita adalah semesta. berbaringlah diam)
Published on September 15, 2013 10:10
Binturung (Tribun Jabar, 15 September 2013)
Ada
banyak kematian yang dikabarkan dengan berbagai cara dan pertanda. Jika di
kampung lain, pertanda datang dalam bentuk nyanyian burung uncuing atau
gerombolan burung golejra di atap rumah tetangga, maka tidak begitu dengan
kampung kami. Pertanda kematian datang dalam bentuk binturung, binatang serupa
musang yang diceritakan sering memangsa anak ayam.
Kematian yang ditandai dengan
nyanyian burung uncuing di atas pohon huni biasanya hanya kabar yang
meraba-raba atau sejenis aba-aba. Kadang, kabar itu tidak sampai selama
berhari-hari, jadi kami berhenti waswas akan nasib orang-orang yang berada di
perantauan atau handai tolan yang bermukim di tempat berjauhan. Pun, gerombolan
burung golejra sering tertukar dengan musibah kebakaran. Tapi orang-orang tetap
saja takut sehingga jika gerombolan burung itu bertengger di atap rumah, mereka
cepat-cepat mengusirnya. Sampai hari ini, aku tidak habis mengerti, mengapa
orang-orang lebih takut kepada api daripada kepada mati.
Tapi jangan pernah meragukan
kematian yang dikabarkan oleh binturung. Binatang berbulu hitam yang ukuran
tubuhnya lebih besar daripada kucing bunting itu membawa kepastian sehingga
menjadi semacam ramalan. Kami takut setengah mati setiap kali binturung
terlihat merayap-rayap di atas batang pohon geredog yang tumbuh di pemakaman.
Baiknya kuceritakan perihal
pemakaman itu terlebih dahulu agar kalian mengerti dan berhenti bertanya-tanya mengapa
binturung ada di sana, bukannya di tempat lain seperti hutan belantara.
Pemakaman di kampung kami berada tepat di sebelah kiri jalan masuk kampung. Hal
itu tentu saja membuat kampung kami menjadi tempat yang terlihat menyeramkan.
Jalan masuk kampung lain berhiaskan gapura atau bangunan lainnya, tapi di
kampung kami orang-orang malah disambut dengan pemakaman yang luasnya cukup
untuk membangun tiga puluh rumah, mungkin lebih.
Aku sering bertanya mengapa
pemakaman justru diletakkan di sana, bukan di tempat lain yang lebih jauh dari
pandangan mata. Kata Emak, masih untung pemakaman itu tidak terletak di tengah
kampung. Jika itu yang terjadi, tentu aku tak akan pernah berani tidur dan
buang hajat sendiri di malam hari. Nah, pemakaman itu sendiri memang berbatasan
langsung dengan hutan karet, tempat Bapak menjadi kuli sadap. Jadi ya, memang
tidak aneh kalau ada hewan yang tersesat masuk kampung. Tapi tunggu dulu,
ceritaku belum selesai.
Tanah pemakaman itu tidak hanya
menjadi tempat dibenamkannya orang-orang mati di kampung kami, tapi juga tempat
tumbuhnya berpuluh-puluh batang pohon geredog sebab tak ada pohon lain yang
berani tumbuh di sana. Mungkin itu pohon siluman, pikirku. Pohon-pohon berbuah
masam itu pastilah mengambil saripati tubuh orang-orang mati di sekelilingnya
sehingga buahnya yang berbentuk seperti sawo belanda itu begitu masam. Aku tak
pernah berani memakannya meski bentuk dan warnanya menggoda.
Jika akan ada kematian di kampung
kami, maka binturung akan terlihat di salah satu pohon geredog. Dia datang selepas
senja menjelang malam; saat-saat rawan ketika setan bangun untuk
bergentayangan. Barangkali tidak aneh jika dia datang berdua dengan pasangannya atau
bergerombol seperti burung golejra. Tapi ia datang sendirian, dengan bau
menyengat yang keluar dari bawah pangkal ekornya, merayap dari dahan ke dahan.
Ada yang lebih aneh lagi, binturung yang datang adalah binturung yang sama,
dengan codet di atas mata kirinya. Aku tahu karena aku pernah berpapasan
dengannya tiga hari sebelum kematian Bapak.
Menurut cerita Emak, binturung itu
pertama kali datang beberapa hari sebelum berpuluh-puluh orang berbaju hijau dengan
truk-truk besar beroda banyak mengepung kampung kami. Masa itu panen gagal dan
orang-orang kampung nyaris mati kelaparan. Maka mereka memasukkan ayam-ayam
ternak ke dalam rumah. Tak ada yang mengira bahwa binturung yang datang adalah
pertanda bagi kematian tujuh belas orang laki-laki, dua orang di antaranya
adalah bapak dan pamannya Emak. Mayat ketujuhbelas orang itu ditumpuk begitu
saja di depan jalan masuk kampung dengan banyak lubang di tubuh mereka. Setelah
mayat-mayat itu ditemukan, binturung itu pun hilang.
Ketika Emak kutanyai tentang alasan
mengapa orang-orang berbaju hijau itu mencelakai tujuh belas orang laki-laki di
kampung kami, Emak hanya menggeleng-gelengkan kepala. De-i-te-i-i, hanya itu
yang keluar dari mulut Emak, selebihnya ia tak memperpanjang cerita. Aku
mahfum, barangkali Emak masih terluka akibat kehilangan bapak dan pamannya.
Barangkali juga karena Emak sudah lupa karena hal naas itu terjadi ketika ia
masih begitu belia. Tapi aku masih ingat kematian Bapak. Aku tak akan pernah
lupa.
Setelah kedatangan pertamanya,
orang-orang di kampung kami mulai sadar bahwa binturung yang datang saat senja
itu adalah pertanda bagi kematian; kematian orang-orang dekat, pun kematian
orang-orang jauh. Binturung yang sama, codet di atas mata kiri yang sama. Aku
pun heran, apakah binatang tak pernah bertambah tua? Ataukah binturung di
kampung kami merupakan utusan Izrail, malaikat maut yang keberadaannya tak
dihitung dengan usia?
Sekarang
mari kuceritakan tentang kematian Bapak. Bapak adalah lelaki istimewa di mataku
dan Emak. Sebelum menjadi petani dan menikah dengan Emak, Bapak memang pernah
bekerja di kota, menjadi kuli angkut di pasar. Sesekali Bapak menjadi kuli
sadap di perkebunan karet yang entah milik siapa, mungkin milik pemerintah,
mungkin juga milik perusahaan swasta.
Waktu itu hari Kamis, dua tahun
setelah Gunung Galunggung meletus, aku masih ingat sebab debu dan pasir yang
ditinggalkan masih membukit tak jauh dari kampung kami. Aku tengah berlari-lari
sehabis menonton kuda renggong di kampung sebelah. Tak banyak hiburan dan
keramaian yang bisa kudapat, jadi khitanan anak bungsu kades dan kuda renggong
adalah hal mewah. Aku, Dusep, dan Ahmad menonton paling depan saat kuda-kuda
itu beraksi; menari dan memakan beling sehingga lupa kalau selepas magrib kami
harus mengaji.
Karena kakiku yang pincang, maka aku
tertinggal jauh di belakang. Matahari sudah condong sekali ke barat sana, aku
memelankan lari ketika sampai di jalan masuk kampung, menoleh ke kanan dan
kiri. Di tolehan yang kesekian, di bawah bebayang rimbun pohon geredog,
binturung itu merayap tenang. Pada detik entah keberapa, matanya bersirobok
dengan mataku, ada codet di atas mata kirinya. Itu binturung yang sama dengan
yang datang mengabarkan kematian kakek. Kemudian aku berlari sekencang mungkin
menuju rumah untuk memberitahu Emak.
“Bapakmu belum pulang,” Emak
menyambutku dengan raut cemas bahkan sebelum aku mengabarkan tentang
pertemuanku dengan binturung di pemakaman.
Bukan sekali itu Bapak pulang
terlambat, tapi berita-berita yang dibawa oleh orang yang baru datang dari kota
membuat keterlambatan Bapak menyiksa Emak. Aku hanya mengatakan bahwa mungkin
Bapak masih berada di pinggir hutan, menunda perjalanan karena terhalang azan
magrib lalu memutuskan mencari tempat bersih untuk salat. Sepanjang ingatanku,
Bapak tidak pernah meninggalkan salat dalam keadaan apa pun.
Namun keesokan harinya Bapak tidak
juga pulang, Emak cemas, aku pun cemas. Aku tak berani mengatakan tentang
binturung yang kulihat kepada Emak karena takut kalau itu bisa memudarkan
harapannya. Lagi pula aku juga takut kalau-kalau binturung itu memang pertanda
akan kematian Bapak, meskipun tiga hari kemudian hal itu benar adanya.
Emak menjerit sejadi-jadinya ketika
beberapa orang laki-laki di kampung kami menggotong jenazah ke beranda rumah.
Itu jenazah Bapak, ditemukan dengan kepala berlubang dan dada telanjang di
pinggir pemakaman. Peralatan sadapnya tak ditemukan.
Dari ambang pintu rumah panggung
kami, aku melihat jenazah Bapak dibaringkan. Kepala Bapak berlubang. Tato
kepala harimau terlihat menyeringai di dada kanan Bapak yang telanjang.
Kelak, aku akan selalu ingat, waktu
itu adalah dua tahun setelah Gunung Galunggung meletus. Kelak, aku tak perlu
bertanya kepada Emak perihal penyebab kematian Bapak.
Kebun
Seni, 2013
===
*Langit
Amaravati, penulis, layouter, designer, sekretaris Komunitas Penulis Perempuan
Indonesia (KPPI). Tinggal di Bandung.
Published on September 15, 2013 02:58
July 29, 2013
Bebegig (Inilah Koran, 28 Juli 2013)
Bebegig*
Langit Amaravati**
Isum percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya
melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari
para pengusaha pabrik yang rakus. Satu bebegig
untuk satu petak sawah, dipancangkan tepat di tengah-tengah seperti Cerberus
yang setia menjaga gerbang neraka. Tapi bagi Isum, bebegig-bebegig itu
adalah penjaga ladang surganya; penjaga perut ketiga anaknya.
Untuk membuat satu buah bebegig, Isum memotong bambu sepanjang
satu setengah meter, seukuran tinggi tubuhnya. Bilah bambu kedua dipotong sepanjang
satu meter kemudian diikat di bagian
atas bambu pertama sehingga kedua bilah bambu itu membentuk salib. “Ini untuk
tangan,” katanya kepada Dasep, anak sulungnya. Dengan jerami padi bekas panen
sebelumnya, Isum membentuk kepala, badan, dan tangan. Dengan penuh kasih sayang
seperti kepada anak-anak yang lahir dari rahimnya, Isum memakaikan baju,
celana, dan caping di kepala bebegig
ciptaannya.
Baju dan celana yang ia pakaikan
adalah peninggalan Karman, suami yang meninggalkannya ketika ia hamil muda.
Menurut kabar yang Isum terima, Karman memang berhasil mendapatkan pekerjaan di
Jakarta, tapi kemudian hatinya (jika Karman memiliki hati) tergoda janda muda
yang memberikan janji-janji surga. Karman tak kembali. Isum tak peduli.
Baginya, rasa sakit tidak untuk diratapi. Baginya, hidup bukan hanya tentang
memikirkan laki-laki.
Meski ya, kerinduan kadang datang
tak diundang. Walau bagaimanapun, ia dan Karman pernah bertahun-tahun
dikelantang asam garam kehidupan. Isum mahfum, sebagaimana kematian, kehilangan
akan selalu datang, cepat atau lambat.
Ketiga bebegig berpakaian Karman itu dipasang Isum di tengah sawah ketika
padinya sedang berbuah. Dengan bantuan Dasep yang tak pernah mengecap bangku sekolah
meskipun usianya sudah beranjak sepuluh tahun, Isum memasang temali dari satu bebegig ke bebegig lain agar ketiganya bisa digerak-gerakkan dari saung
tempatnya biasa bernaung.
Kepercayaan Isum terhadap bebegig ciptaannya semakin bertambah
ketika satu per satu sawah di sekitar sawahnya dibeli paksa oleh pengusaha
sedangkan sawahnya tidak. Bukan karena para pengusaha itu tidak berniat
membeli, tapi karena Isum memang bertahan dari segala bentuk ancaman, yang
halus maupun kasar. Konon, sawah-sawah di Kalihurip akan ditimbun lalu
dibangun. Sebagian untuk gedung-gedung pabrik, sebagian lagi untuk jalan agar kontainer-kontainer
berisi barang ekspor bisa lewat.
Satu musim panen terlewati dan bebegig Isum menjalankan tugasnya dengan
sempurna; menjaga sawah dari serbuan hama burung, menjaga dari serbuan
pengusaha, juga menjaga perut ketiga anaknya. Kadang, jika di malam hari saat
Isum memeriksa pintu air yang bersumber dari ragasi, Isum menatap nanar kepada bebegig-bebegig ciptaannya. Di dalam kegelapan, di bawah selarik remang
cahaya bulan, bebegig-bebegig itu seolah menjelma Karman,
suaminya.
Rindu adalah perasaan janggal yang
tak bisa dibantah. Maka dengan terisak, Isum akan merangsek maju ke tengah
sawah, memeluk salah satu bebegig
sambil bergumam-gumam.
“Kang, pulang, Kang …” ratapnya.
Jika sudah begitu, Isum pulang
dengan mata lebam, masuk ke kamar biliknya lalu meringkuk dan terus menangis
sampai azan subuh terdengar dari musala. Tapi kejadian seperti itu tidak sering
terulang karena sebagai ibu dari tiga orang anak dan petani, Isum memiliki
banyak kesibukan.
Dasep tahu, jika di pagi hari ibunya
duduk di depan tungku dengan mata sembab, berarti malam sebelumnya ibunya itu
kembali merindukan bapaknya. Pernah suatu kali Dasep ingin sekali mengarungi
kota Jakarta dengan menumpang truk pasir untuk mencari Karman. Dasep tak ingin
Karman kembali sebab ia sudah bosan dipukuli, Dasep hanya tak ingin melihat
ibunya menangis lagi.
Di hari lain, Dasep pernah
mengutarakan niat untuk membuat bebegig
yang dipasang di dalam rumah, lengkap dengan pakaian Karman agar mereka masih
bisa merasakan kehadirannya. Tapi Isum melarang. Bagi Isum, hal itu sama saja
dengan memelihara ingatan sedangkan ia ingin sekali lupa. Barangkali Dasep
belum mengerti, bahwa yang membuat ibunya sakit bukan hanya karena bapaknya tak
kembali, melainkan karena kesetiaan yang berkali dikhianati.
Maka hanya ada tiga bebegig yang dibuat Isum, tak lebih.
*
Layaknya Cerberus yang setia, bebegig-bebegig itu menjaga ketiga petak sawah Isum dari serangan hama dan
para pengusaha. Berkat kesetiaan bebegig-bebegig itu pulalah, Dasep bisa mengecap
bangku sekolah meskipun agak terlambat. Bebegig-bebegig itu menjaga sawah, menjaga Isum
dan ketiga anaknya, tidak seperti Karman yang lalai.
Karena terus-menerus dibantai
matahari, hujan dan angin malam, bebegig-bebegig Isum perlahan aus seperti orang
tua kurang urus. Meski bambu penyangganya sekokoh pagar-pagar besi, namun
jerami dan pakaian mereka camping satu demi satu. Isum, dengan telaten akan
memperbaiki mereka setelaten seorang istri merawat suaminya yang tengah
sekarat.
Ditambahkannya jerami-jerami baru
sehingga bebegig-bebegignya kembali gemuk. Karman, meskipun miskin tapi memiliki
banyak pakaian, maka bebegig-bebegig Isum tak usah telanjang. Mereka
akan selalu memiliki pakaian.
Tanpa sepengetahuan Isum, Dasep dan
kedua adiknya memanggil bebegig-bebegig penjaga sawah mereka dengan
sebutan bapak. Sebab di dalam ingatan mereka, wajah Karman perlahan pudar,
berdenyar seiring panen demi panen. Dasep dan adik-adiknya hanya mengingat
Karman dari pakaian yang dipakaikan kepada bebegig.
Maka seperti itulah wajah Karman dalam ingatan mereka; bapak berwajah jerami.
*
Isum masih percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya
melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari
para pengusaha pabrik yang rakus. Namun kepercayaan dan kesetiaan kadang tidak
sejalan dengan peradaban yang terus lesat berlari. Petak-petak di sekitar sawah
Isum sudah nyaris seluruhnya terbeli. Tetangga-tetangganya pindah ke kampung
atau ke kota lain. Isum tidak tahu apakah mereka masih setia kepada tanah dan
sawah, ataukah sudah berganti menjadi profesi lain yang tidak ia pahami.
Kalihurip yang gelap dan sunyi
karena belum terjamah listrik kemudian menjadi kampung yang bising.
Traktor-traktor berukuran raksasa didatangkan dari kota, meratakan tanah,
mengubur sawah-sawah. Para pekerja yang didatangkan bahkan lebih menakuti
burung-burung daripada bebegig-bebegig
Isum. Pengusaha-pengusaha pabrik itu tidak kenal kata menyerah.
Isum, rumah biliknya, tiga petak
sawahnya, dan bebegig-bebegignya nyaris sendirian di
tengah-tengah tegalan. Dengan dalih menghambat pembangunan, aparat desa mulai
berdatangan. Mula-mula hanya membujuk dengan iming-iming uang tunai. Wakil para
pengusaha pun datang, menawarkan uang dengan jumlah yang lebih besar. Isum
bergeming. Ketiga petak sawahnya bukan hanya harta, tapi satu-satunya jalan
hidup yang ia tahu.
“Nanti kamu bisa membeli sawah dan
membangun rumah di tempat lain,” bujuk mereka.
Isum menggeleng, baginya tempat lain
tidaklah sama. Berpindah berarti ia harus mencerabut akar sejarah hidupnya
sendiri. Rumah dan ketiga petak sawah itulah satu-satunya peninggalan orang tua
Isum. Di tempat itu pulalah ia memulai kehidupan bersama Karman yang datang tak
membawa apa-apa lalu pergi meninggalkan luka menganga.
Dasep dan kedua adiknya juga tak
siap pergi. Ada banyak pohon buah yang bisa mereka panjat di Kalihurip, di
pekarangan rumah panggung mereka. Ada tiga bebegig
yang mereka panggil bapak. Mereka tak ingin pergi, rumah dan sawah baru
pastilah tidak sama. Lagi pula, mereka tak yakin apakah di tempat baru nanti
ibu mereka masih bisa membuat bapak.
*
Di suatu malam yang sunyi, ketika
bulan tak lebih dari segaris binar di atas langit sana, Isum seperti biasa
memeriksa pintu air yang mengalir ke sawah-sawahnya. Empat puluh hari lagi
sawahnya bisa dipanen. Bulir-bulir padi gemuk menunggu ani-ani memisahkan
mereka dari tanah basah tempat mereka bertumbuh. Senyum Isum terbit memandang
tiga petak sawahnya dari kejauhan. Putri bungsunya merengek meminta sepatu baru
untuk lebaran, ia yakin akan bisa menunaikan keinginan itu.
Isum hendak berbalik pergi ketika ia
baru sadar bahwa jumlah bebegig di
sawahnya tidaklah tiga. Mungkin ia sebodoh keledai dan tak bisa membantu PR
matematika Dasep, tapi ia masih bisa menghitung dengan tepat. Ia berbalik,
memicingkan mata dalam kegelapan. Tidak, ia tak salah lihat, di petak sawahnya
ada lebih dari tiga bayang-bayang bebegig.
Sambil berjalan perlahan, Isum mulai menghitung. Satu, dua, tiga, lima, tujuh,
sembilan …. Sebelum hitungan Isum tuntas, bayang-bayang berloncatan menjauh
diikuti dengan pendar merah. Mula-mula kecil, lalu menjadi besar, semakin
besar.
Isum berlari panik, memburu
padi-padinya yang dipanen api, memburu bebegig-bebegig berpakaian Karman yang
berkobar-kobar. Isum menjerit, tangannya menggapai-gapai udara panas,
menuding-nuding tanpa tahu harus meminta tolong kepada siapa.
Dasep dan kedua adiknya menatap
kobar api dari rumah mereka. Menatap ibunya yang kalap nyaris gila.
“Mereka membakar Bapak,” isak Dasep.
Kebun
Seni, 12 Juli 2013
---
*
Bebegig = orang-orangan sawah (Sunda)
** Langit Amaravati, penulis, sekretaris Komunitas Penulis Perempuan
Indonesia (KPPI), direktur Metafor Production, Marketing Manager SkylArt
Publisher. Tinggal di Bandung.
Langit Amaravati**
Isum percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya
melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari
para pengusaha pabrik yang rakus. Satu bebegig
untuk satu petak sawah, dipancangkan tepat di tengah-tengah seperti Cerberus
yang setia menjaga gerbang neraka. Tapi bagi Isum, bebegig-bebegig itu
adalah penjaga ladang surganya; penjaga perut ketiga anaknya.
Untuk membuat satu buah bebegig, Isum memotong bambu sepanjang
satu setengah meter, seukuran tinggi tubuhnya. Bilah bambu kedua dipotong sepanjang
satu meter kemudian diikat di bagian
atas bambu pertama sehingga kedua bilah bambu itu membentuk salib. “Ini untuk
tangan,” katanya kepada Dasep, anak sulungnya. Dengan jerami padi bekas panen
sebelumnya, Isum membentuk kepala, badan, dan tangan. Dengan penuh kasih sayang
seperti kepada anak-anak yang lahir dari rahimnya, Isum memakaikan baju,
celana, dan caping di kepala bebegig
ciptaannya.
Baju dan celana yang ia pakaikan
adalah peninggalan Karman, suami yang meninggalkannya ketika ia hamil muda.
Menurut kabar yang Isum terima, Karman memang berhasil mendapatkan pekerjaan di
Jakarta, tapi kemudian hatinya (jika Karman memiliki hati) tergoda janda muda
yang memberikan janji-janji surga. Karman tak kembali. Isum tak peduli.
Baginya, rasa sakit tidak untuk diratapi. Baginya, hidup bukan hanya tentang
memikirkan laki-laki.
Meski ya, kerinduan kadang datang
tak diundang. Walau bagaimanapun, ia dan Karman pernah bertahun-tahun
dikelantang asam garam kehidupan. Isum mahfum, sebagaimana kematian, kehilangan
akan selalu datang, cepat atau lambat.
Ketiga bebegig berpakaian Karman itu dipasang Isum di tengah sawah ketika
padinya sedang berbuah. Dengan bantuan Dasep yang tak pernah mengecap bangku sekolah
meskipun usianya sudah beranjak sepuluh tahun, Isum memasang temali dari satu bebegig ke bebegig lain agar ketiganya bisa digerak-gerakkan dari saung
tempatnya biasa bernaung.
Kepercayaan Isum terhadap bebegig ciptaannya semakin bertambah
ketika satu per satu sawah di sekitar sawahnya dibeli paksa oleh pengusaha
sedangkan sawahnya tidak. Bukan karena para pengusaha itu tidak berniat
membeli, tapi karena Isum memang bertahan dari segala bentuk ancaman, yang
halus maupun kasar. Konon, sawah-sawah di Kalihurip akan ditimbun lalu
dibangun. Sebagian untuk gedung-gedung pabrik, sebagian lagi untuk jalan agar kontainer-kontainer
berisi barang ekspor bisa lewat.
Satu musim panen terlewati dan bebegig Isum menjalankan tugasnya dengan
sempurna; menjaga sawah dari serbuan hama burung, menjaga dari serbuan
pengusaha, juga menjaga perut ketiga anaknya. Kadang, jika di malam hari saat
Isum memeriksa pintu air yang bersumber dari ragasi, Isum menatap nanar kepada bebegig-bebegig ciptaannya. Di dalam kegelapan, di bawah selarik remang
cahaya bulan, bebegig-bebegig itu seolah menjelma Karman,
suaminya.
Rindu adalah perasaan janggal yang
tak bisa dibantah. Maka dengan terisak, Isum akan merangsek maju ke tengah
sawah, memeluk salah satu bebegig
sambil bergumam-gumam.
“Kang, pulang, Kang …” ratapnya.
Jika sudah begitu, Isum pulang
dengan mata lebam, masuk ke kamar biliknya lalu meringkuk dan terus menangis
sampai azan subuh terdengar dari musala. Tapi kejadian seperti itu tidak sering
terulang karena sebagai ibu dari tiga orang anak dan petani, Isum memiliki
banyak kesibukan.
Dasep tahu, jika di pagi hari ibunya
duduk di depan tungku dengan mata sembab, berarti malam sebelumnya ibunya itu
kembali merindukan bapaknya. Pernah suatu kali Dasep ingin sekali mengarungi
kota Jakarta dengan menumpang truk pasir untuk mencari Karman. Dasep tak ingin
Karman kembali sebab ia sudah bosan dipukuli, Dasep hanya tak ingin melihat
ibunya menangis lagi.
Di hari lain, Dasep pernah
mengutarakan niat untuk membuat bebegig
yang dipasang di dalam rumah, lengkap dengan pakaian Karman agar mereka masih
bisa merasakan kehadirannya. Tapi Isum melarang. Bagi Isum, hal itu sama saja
dengan memelihara ingatan sedangkan ia ingin sekali lupa. Barangkali Dasep
belum mengerti, bahwa yang membuat ibunya sakit bukan hanya karena bapaknya tak
kembali, melainkan karena kesetiaan yang berkali dikhianati.
Maka hanya ada tiga bebegig yang dibuat Isum, tak lebih.
*
Layaknya Cerberus yang setia, bebegig-bebegig itu menjaga ketiga petak sawah Isum dari serangan hama dan
para pengusaha. Berkat kesetiaan bebegig-bebegig itu pulalah, Dasep bisa mengecap
bangku sekolah meskipun agak terlambat. Bebegig-bebegig itu menjaga sawah, menjaga Isum
dan ketiga anaknya, tidak seperti Karman yang lalai.
Karena terus-menerus dibantai
matahari, hujan dan angin malam, bebegig-bebegig Isum perlahan aus seperti orang
tua kurang urus. Meski bambu penyangganya sekokoh pagar-pagar besi, namun
jerami dan pakaian mereka camping satu demi satu. Isum, dengan telaten akan
memperbaiki mereka setelaten seorang istri merawat suaminya yang tengah
sekarat.
Ditambahkannya jerami-jerami baru
sehingga bebegig-bebegignya kembali gemuk. Karman, meskipun miskin tapi memiliki
banyak pakaian, maka bebegig-bebegig Isum tak usah telanjang. Mereka
akan selalu memiliki pakaian.
Tanpa sepengetahuan Isum, Dasep dan
kedua adiknya memanggil bebegig-bebegig penjaga sawah mereka dengan
sebutan bapak. Sebab di dalam ingatan mereka, wajah Karman perlahan pudar,
berdenyar seiring panen demi panen. Dasep dan adik-adiknya hanya mengingat
Karman dari pakaian yang dipakaikan kepada bebegig.
Maka seperti itulah wajah Karman dalam ingatan mereka; bapak berwajah jerami.
*
Isum masih percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya
melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari
para pengusaha pabrik yang rakus. Namun kepercayaan dan kesetiaan kadang tidak
sejalan dengan peradaban yang terus lesat berlari. Petak-petak di sekitar sawah
Isum sudah nyaris seluruhnya terbeli. Tetangga-tetangganya pindah ke kampung
atau ke kota lain. Isum tidak tahu apakah mereka masih setia kepada tanah dan
sawah, ataukah sudah berganti menjadi profesi lain yang tidak ia pahami.
Kalihurip yang gelap dan sunyi
karena belum terjamah listrik kemudian menjadi kampung yang bising.
Traktor-traktor berukuran raksasa didatangkan dari kota, meratakan tanah,
mengubur sawah-sawah. Para pekerja yang didatangkan bahkan lebih menakuti
burung-burung daripada bebegig-bebegig
Isum. Pengusaha-pengusaha pabrik itu tidak kenal kata menyerah.
Isum, rumah biliknya, tiga petak
sawahnya, dan bebegig-bebegignya nyaris sendirian di
tengah-tengah tegalan. Dengan dalih menghambat pembangunan, aparat desa mulai
berdatangan. Mula-mula hanya membujuk dengan iming-iming uang tunai. Wakil para
pengusaha pun datang, menawarkan uang dengan jumlah yang lebih besar. Isum
bergeming. Ketiga petak sawahnya bukan hanya harta, tapi satu-satunya jalan
hidup yang ia tahu.
“Nanti kamu bisa membeli sawah dan
membangun rumah di tempat lain,” bujuk mereka.
Isum menggeleng, baginya tempat lain
tidaklah sama. Berpindah berarti ia harus mencerabut akar sejarah hidupnya
sendiri. Rumah dan ketiga petak sawah itulah satu-satunya peninggalan orang tua
Isum. Di tempat itu pulalah ia memulai kehidupan bersama Karman yang datang tak
membawa apa-apa lalu pergi meninggalkan luka menganga.
Dasep dan kedua adiknya juga tak
siap pergi. Ada banyak pohon buah yang bisa mereka panjat di Kalihurip, di
pekarangan rumah panggung mereka. Ada tiga bebegig
yang mereka panggil bapak. Mereka tak ingin pergi, rumah dan sawah baru
pastilah tidak sama. Lagi pula, mereka tak yakin apakah di tempat baru nanti
ibu mereka masih bisa membuat bapak.
*
Di suatu malam yang sunyi, ketika
bulan tak lebih dari segaris binar di atas langit sana, Isum seperti biasa
memeriksa pintu air yang mengalir ke sawah-sawahnya. Empat puluh hari lagi
sawahnya bisa dipanen. Bulir-bulir padi gemuk menunggu ani-ani memisahkan
mereka dari tanah basah tempat mereka bertumbuh. Senyum Isum terbit memandang
tiga petak sawahnya dari kejauhan. Putri bungsunya merengek meminta sepatu baru
untuk lebaran, ia yakin akan bisa menunaikan keinginan itu.
Isum hendak berbalik pergi ketika ia
baru sadar bahwa jumlah bebegig di
sawahnya tidaklah tiga. Mungkin ia sebodoh keledai dan tak bisa membantu PR
matematika Dasep, tapi ia masih bisa menghitung dengan tepat. Ia berbalik,
memicingkan mata dalam kegelapan. Tidak, ia tak salah lihat, di petak sawahnya
ada lebih dari tiga bayang-bayang bebegig.
Sambil berjalan perlahan, Isum mulai menghitung. Satu, dua, tiga, lima, tujuh,
sembilan …. Sebelum hitungan Isum tuntas, bayang-bayang berloncatan menjauh
diikuti dengan pendar merah. Mula-mula kecil, lalu menjadi besar, semakin
besar.
Isum berlari panik, memburu
padi-padinya yang dipanen api, memburu bebegig-bebegig berpakaian Karman yang
berkobar-kobar. Isum menjerit, tangannya menggapai-gapai udara panas,
menuding-nuding tanpa tahu harus meminta tolong kepada siapa.
Dasep dan kedua adiknya menatap
kobar api dari rumah mereka. Menatap ibunya yang kalap nyaris gila.
“Mereka membakar Bapak,” isak Dasep.
Kebun
Seni, 12 Juli 2013
---
*
Bebegig = orang-orangan sawah (Sunda)
** Langit Amaravati, penulis, sekretaris Komunitas Penulis Perempuan
Indonesia (KPPI), direktur Metafor Production, Marketing Manager SkylArt
Publisher. Tinggal di Bandung.
Published on July 29, 2013 09:35
July 22, 2013
Kembalikan Zi Padaku, Tuhan
Jika ada doa yang terus-menerus kupanjatkan, maka itu adalah permintaan yang sama sejak tanggal 17 Juni lalu; kembalikan Zi padaku.
Tuhan Yang Maha Baik ....
KataMu aku selalu bisa memilih dan memilah takdir seperti apa yang akan kujalani. Tapi kematian harga pasti yang tidak bisa ditawar lagi. Bukankah begitu? Maka jika Engkau memberi aku pilihan untuk kembali, aku akan memilih untuk tidak membaca pesan-pesan terkutuk itu. Aku akan memilih untuk tidak tahu.
"Kematian selalu memiliki jalan."
Barangkali itulah pesan yang ingin Engkau sampaikan. Pesan yang sampai sekarang masih menjadi semacam ritual penyesalan. Kenapa Kau tidak mengambil Zi secara diam-diam saja tanpa huru-hara? Kenapa Kau menyeret aku ke jalan yang menyebabkan mereka membunuh anakku?
Tuhan ...
Aku tahu bahwa semua pertanyaan yang aku ajukan tak akan bertemu dengan satupun jawaban kecuali bahwa Zi akan lebih baik berada di sisiMu. Aku adalah ibu paling durhaka. Pun jika Zi lahir ia tak akan benar-benar memiliki bapak.
Tapi aku tak akan lelah berdoa, agar Engkau mengembalikan Zi padaku.
Tuhan Yang Maha Tahu ....
Terima kasih karena selalu memperlihatkan segala sesuatunya di saat yang paling tepat. Terima kasih karena telah menyingkirkan orang-orang yang akan membuat hidupku celaka.
Tuhan Yang Maha Pemaaf ....
Aku akan memaafkan diriku yang lemah, yang selalu saja terjerumus ke dalam cinta yang salah. Aku akan memaafkan diriku yang fakir, yang tak pernah memiliki apa-apa kecuali zikir demi zikir. Maka lapangkanlah hatiku agar bisa memaafkan para pembunuh anakku itu.
Amin.
Tuhan Yang Maha Baik ....
KataMu aku selalu bisa memilih dan memilah takdir seperti apa yang akan kujalani. Tapi kematian harga pasti yang tidak bisa ditawar lagi. Bukankah begitu? Maka jika Engkau memberi aku pilihan untuk kembali, aku akan memilih untuk tidak membaca pesan-pesan terkutuk itu. Aku akan memilih untuk tidak tahu.
"Kematian selalu memiliki jalan."
Barangkali itulah pesan yang ingin Engkau sampaikan. Pesan yang sampai sekarang masih menjadi semacam ritual penyesalan. Kenapa Kau tidak mengambil Zi secara diam-diam saja tanpa huru-hara? Kenapa Kau menyeret aku ke jalan yang menyebabkan mereka membunuh anakku?
Tuhan ...
Aku tahu bahwa semua pertanyaan yang aku ajukan tak akan bertemu dengan satupun jawaban kecuali bahwa Zi akan lebih baik berada di sisiMu. Aku adalah ibu paling durhaka. Pun jika Zi lahir ia tak akan benar-benar memiliki bapak.
Tapi aku tak akan lelah berdoa, agar Engkau mengembalikan Zi padaku.
Tuhan Yang Maha Tahu ....
Terima kasih karena selalu memperlihatkan segala sesuatunya di saat yang paling tepat. Terima kasih karena telah menyingkirkan orang-orang yang akan membuat hidupku celaka.
Tuhan Yang Maha Pemaaf ....
Aku akan memaafkan diriku yang lemah, yang selalu saja terjerumus ke dalam cinta yang salah. Aku akan memaafkan diriku yang fakir, yang tak pernah memiliki apa-apa kecuali zikir demi zikir. Maka lapangkanlah hatiku agar bisa memaafkan para pembunuh anakku itu.
Amin.
Published on July 22, 2013 22:19
July 21, 2013
Kabar-Kabar Kematian
Aku tak berani mengatakan 'Jangan bersedih, dunia akan baik-baik saja'. Sebab barangkali dalam kehilanganmu kali ini, segala macam penghiburan hanyalah omong kosong yang tak akan menghasilkan apa-apa selain ucapan yang dilontarkan kemudian dilupakan. Tak ada satupun orang yang bisa merasakan dengan tepat bagaimana sakitmu, tidak juga aku.
Di dunia kita yang terjal, segala macam kehilangan pernah mampir di beranda dada kita masing-masing. Kita berdua adalah dua batang pohon yang tumbuh di atas tanah timpang. Kita harus bersiap kehilangan akar, kehilangan ranting, kehilangan daun, kehilangan buah, bahkan kehilangan tubuh kita sendiri. Pada akhirnya, semua proses bernama kematian hanya akan jadi ritual dan membuat kita kebal.
Seperti yang kita pahami bersama, semua yang bernyawa akan merasakan tiada. Hari ini orang-orang yang kita cintai pergi, esok mungkin giliran kita yang pergi. Bukankah mati adalah kata yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi?
Barangkali aku tahu bagaimana sakitmu kali ini, barangkali juga tidak. Entahlah, karena kesedihan yang satu tidak pernah memiliki warna yang persis sama dengan kesedihan lainnya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau pernah mengalami berjuta hal dan tetap berdiri bagai pohon ketapang yang nakal; tetap tumbuh dari musim ke musim meski meranggas sedemikian buas. Seperti itulah kau sekarang, berdiri dan tetap tak tertumbangkan.
Andai satu pelukan bisa meredakan satu kesakitan akibat ditinggalkan, maka akan kukirimkan pelukan dalam jumlah tak terbatas. Sebutkan saja jumlahnya, maka akan kusediakan dengan senang hati.
Menangislah jika kau ingin. Bersedihlah sebanyak dan selama kauperlukan. Tapi yang paling penting dari semua itu, kemudian berdirilah gegap dan tegap.
Di dunia kita yang terjal, segala macam kehilangan pernah mampir di beranda dada kita masing-masing. Kita berdua adalah dua batang pohon yang tumbuh di atas tanah timpang. Kita harus bersiap kehilangan akar, kehilangan ranting, kehilangan daun, kehilangan buah, bahkan kehilangan tubuh kita sendiri. Pada akhirnya, semua proses bernama kematian hanya akan jadi ritual dan membuat kita kebal.
Seperti yang kita pahami bersama, semua yang bernyawa akan merasakan tiada. Hari ini orang-orang yang kita cintai pergi, esok mungkin giliran kita yang pergi. Bukankah mati adalah kata yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi?
Barangkali aku tahu bagaimana sakitmu kali ini, barangkali juga tidak. Entahlah, karena kesedihan yang satu tidak pernah memiliki warna yang persis sama dengan kesedihan lainnya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau pernah mengalami berjuta hal dan tetap berdiri bagai pohon ketapang yang nakal; tetap tumbuh dari musim ke musim meski meranggas sedemikian buas. Seperti itulah kau sekarang, berdiri dan tetap tak tertumbangkan.
Andai satu pelukan bisa meredakan satu kesakitan akibat ditinggalkan, maka akan kukirimkan pelukan dalam jumlah tak terbatas. Sebutkan saja jumlahnya, maka akan kusediakan dengan senang hati.
Menangislah jika kau ingin. Bersedihlah sebanyak dan selama kauperlukan. Tapi yang paling penting dari semua itu, kemudian berdirilah gegap dan tegap.
Published on July 21, 2013 10:40
Mimpi dan Ilusi
- Skylashtar Maryam's profile
- 8 followers
Skylashtar Maryam isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.

