Skylashtar Maryam's Blog: Mimpi dan Ilusi, page 20

May 5, 2013

Kupu-Kupu di Kamar Kita



:Meitha KH





Moy, kamar kita penuh kupu-kupu. 


Ada banyak tamu yang datang, sebagian tinggal 

dan tak mau pulang. Sebagian lagi hanya 

singgah kemudian enyah. Tapi di sudut pintu dada kita, 

semua kupu-kupu itu selalu berakhir pada tiada. 









Barangkali, kita harus berhenti 

jatuh cinta. Untuk sementara, 

atau untuk selama-lamanya.




(Bandung, 6 Mei 2013)







 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 05, 2013 19:26

May 2, 2013

Bersedihlah, Menulislah




"Puisimu bagus, tapi saya tahu bahwa banyak yang harus kamu tebus untuk membuat puisi sebagus ini."



Kata-kata yang dilontarkan Kang Ferry Curtis terngiang pagi ini. Kata-kata yang tidak saya sadari ketika saya menyerahkan puisi untuk dimusikalisasi. Kata-kata yang baru saya tahu artinya setelah saya meminum kopi pertama hari ini. 



Ia benar, perjalanan hidup telah banyak menempa saya menjadi perempuan yang memiliki banyak kosakata maha tajam. Kadang dalam arti harafiah, kadang dalam arti kiasan. Barangkali seperti kata Teh Em, setiap puisi lahir dari pengalaman empiris penulisnya. Saya tak dapat mengingkari bahwa hidup yang terjal telah membuat puisi-puisi saya sedemikian kelam. 



Untuk mencapai kualitas diksi sesakit sekarang, entah berapa lama saya harus mengasah pedang demi pedang, mengarungi perang demi perang. Tidak seluruhnya saya menangkan, memang. Kadang saya pulang sebagai pecundang, prajurit yang malang. 



Kesedihan dan rasa sakit adalah jantera yang menyulut inspirasi bagi para penulis, entah kenapa. Dalam kasus saya, rasa bahagia sulit untuk dijadikan sebagai landasan berkarya. Sebaliknya, letupan-letupan emosi entah itu sedih atau marah adalah suluh paling ampuh. 



"Kamu mah penulis masokis," kata salah satu teman. 



Ia -sekali lagi- benar. Seorang penulis boleh menjadikan pengalaman hidup yang mana saja agar ia bisa berkarya, agar ia terus meng-ada. Maka rasa sakit yang manakah yang harus kita dustakan? Bersedihlah, bersakit-sakitlah, lalu menulislah. 



Inspirasi tak pernah mengenal kata mati. 



Selamat pagi,
Langit Amaravati
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 02, 2013 17:46

Untuk Putriku; Ziarre Amaravati







Lengking peluit kereta api
gelas styrofoam berisi kopi
akan menghantarmu kembali
padaku



Nak, jika kelak kita bertemu, akan kuceritakan padamu tentang riwayat paling jengat. Riwayat yang akan selalu kauingat. Cerita yang barangkali akan menjadi mimpi buruk paling mengerikan di pelepah tidurmu. Tapi jangan khawatir, bahkan ketika di dalam rahim, kau telah menjadi pejuang paling tangguh. Mimpi buruk tak akan menyurutkan langkahmu, sebab ibumu adalah aku. Sebab engkau adalah putriku. 


Laki-laki itu, yang menanamkan engkau ke dalam rahimku tak pernah pantas kau panggil ayah, bapak, abi, atau sebutan apa pun. Aku bahkan tak yakin apakah ia manusia, seperti kita.  Maka jangan harap suatu hari nanti akan ada laki-laki yang mengajarimu bermain sepeda atau memangkumu ketika kau jatuh dan terluka. Tidak, kau akan berada di dalam perlindunganku, sepenuhnya. 

Ziarre sayang .... 
Perlu kautahu bahwa bumi yang akan engkau huni adalah tempat paling rapuh. Kau akan bertemu dengan manusia-manusia yang seperti daun luruh; mengangap hidup hanya sebagai jalan tempuh. Tapi engkau akan terlahir sebagai manusia yang utuh; petarung paling tangguh.

Laki-laki itu, yang seringkali merapal nama Tuhan di sela doa-doa yang ia panjatkan. Doa yang konon untuk kita, untuk kesembuhan kita, untuk keselamatan kita. Laki-laki itu, yang sering mengutuki kita sebagai anjing sehingga aku belajar berkata anjing, yang sering mengataiku gila sehingga aku betul-betul gila, yang sering menganggap engkau dan aku tak ada sehingga kita memang meniada.

Laki-laki itu, yang kini tengah melolong bersama sekawanan anjing di bukit Golgota dan memanggil-manggil namaku. Tahukah ia bahwa aku telah mati sejak tanggal 20 Mei? Tahukah ia bahwa benih yang ia tancapkan di rahimku kelak akan menjadi prajurit paling depan yang meminta keadilan? Tahukah ia bahwa menjadi ibu telah mendatangkan kekuatan maha besar?

Ia ... laki-laki yang tak bertuhan, Nak. Sebab jika doanya dipanjatkan kepada tuhan yang benar, tentu ia tak akan sesetan sekarang; melarungmu kepada ketiadaan. Menganggapmu makluk yang tak pantas dipertahankan dan dilahirkan.

Ya, ia dan keluarganya begitu membenciku. Karena aku, dan kau, tetap bertahan hidup setelah badai yang mereka kirimkan. Kita salah karena bertahan, kita salah karena tak mati di tepi jurang atau membakar diri. 
Ziarre ...
Aku tak akan melepasmu. Tak akan pernah. Tak akan pernah. Ibu dan anak tidak pernah saling meninggalkan. Bertenanglah di dalam rahimku hingga kelak engkau hadir. Berserahlah kepada takdir paling getir. Sebab engkau anakku, anak semesta. 

Mari kita berdoa. Semoga nama Tuhan yang sering laki-laki itu rapal kelak menyelamatkannya dari dosa-dosa yang ia tanam. Amin. 
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 02, 2013 07:10

Ada Setan di Kepalaku


Judul                                : Ada Setan di Kepalaku (Kumcer)

Penulis                             : Langit Amaravati

Penerbit                            : Metafor Imagination (Mei, 2013)

Disainer kover, ilustrasi

& Layout                   : Langit Amaravati

Halaman                           : viii + 255 halaman

Harga                                : IDR 50,000,- (pre order sampai 30 April diskon 10%)



----






            Aku tidak sedang berbohong ketika kukatakan ada setan di kepalaku. Setan itu berbentuk seperti perempuan, wajahnya nyaris sama seperti wajahku. Hanya di punggungnya ada sayap hitam serupa kelelawar dan geliginya runcing bertaring. Aku tidak tahu apakah setan-setan yang lain nampak seperti itu karena jujur saja, hingga umurku dua puluh tujuh tahun, belum pernah aku melihat setan lain selain ia.






Kumpulan cerpen Ada Setan di Kepalaku berisi 21 cerpen pilihan karya Langit Amaravati. Sebagian besar sudah pernah dimuat di media cetak dan online. Cerpen Ada Setan di Kepalaku yang menjadi judul kumcer ini adalah cerpen yang memenangkan juara I dalam lomba penulisan cerpen bertema “Cinta untuk TKI”, diadakan oleh Lembaga Bhinneka pada tahun 2012.



Tema-tema besar yang diangkat tak jauh dari tema-tema sosial, isu-isu yang sedang in, politik, dan masalah-masalah domestik seperti cinta dan rumah tangga. Namun di tangan Amaravati, tema-tema tersebut dikemas ke dalam cerita yang nyaris tidak biasa sehingga lebih nikmat dibaca.

            

 Meski disebut-sebut sebagai ‘mirip Djenar’, namun eksplorasi teknik penyajian yang terus menerus dilakukan menciptakan gaya bercerita yang khas dan bernas. Semua cerpen dalam kumcer ini pun memakai teknik unsur kedekatan, pembaca tak disuguhi hikmah yang bisa diambil begitu saja melainkan dilemparkan ke dalam ruangan berisi cermin maha besar. Pembaca diajak untuk tidak hanya menikmati cerita melainkan juga berkaca.



Selamat menikmati, selamat terinfeksi.









 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 02, 2013 02:50

April 19, 2013

Kepada Tuan, Kepada Tuhan

Engkau pernah bercerita bahwa hidup hanya sementara, bahwa di tepi hari sana, aku akan berada abadi di sisiMu. Engkau juga pernah bercerita, bahwa di sana kelak akan tersedia surga dan neraka sehingga aku harus pandai-pandai mencari bekal agar tidak sengsara. Namun, Engkau lupa bercerita bahwa dunia adalah neraka yang sebenarnya.



Tuan, andaikan Engkau tahu betapa bosan aku menyebut-nyebutMu di setiap kalut dan kemelut. Andai Engkau tahu, bahwa manusia-manusia yang memuja-mujiMu itulah yang paling sering menyakitiku.



Tuan ...



Tuan ...



Tuan ...



Engkau Tuhan, bukan?



Bukan?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 19, 2013 21:34

March 31, 2013

Kematian Paling Pantas Untukmu, Skylashtar Maryam

Engkaukah pisau ini, Maryam? Yang bersiap menyayat nadiku tadi malam. Katamu rasa sakit harus diakhiri, aku boleh mati berkali-kali untuk kemudian hidup kembali. Bibirmu bergeletar ketika sisi tajammu menyentuh kulit tanganku. Engkau tak mencegah, tak marah, engkau hanya pasrah, menyambut darah yang akan tertumpah.



"Matilah!" bisikmu.



Ya, aku akan mati. Meninggalkan apa-apa yang di belakang, melupakan semua hal silam, mengubur semua luka dan rasa sakit ke dalam lapisan tanah paling dalam. Aku tak tahu, Maryam. Apakah kematian ini diperuntukkan kepada diriku sendiri atau laki-laki yang suaranya menari-nari di dalam kepala kita? Laki-laki yang sepuluh bulan lalu menikahiku. Laki-laki yang tak memberikan apa-apa kecuali membuatku jatuh cinta mati-matian untuk kemudian menyakitiku lebih dalam.



"Ia tak pernah mencintaimu, ia hanya mencintai dirinya sendiri, ibunya, dan semua orang yang memiliki pertalian darah dengannya. Tentu kau masih ingat, bertahun lalu lelaki itu membuat seorang perempuan hamil, keguguran kemudian membiarkannya menyongsong kematian sendirian. Lelaki seperti itukah yang harus kau cintai hingga ke tulang belakang? Apa yang kau dapatkan dari sebuah pernikahan yang tak seimbang? Ia, menikahimu, kemudian menyiksamu sedemikian rupa, tak memberikan hak-hakmu sebagai istri, tak melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai suami. Bukan hidup seperti itu yang kau inginkan, bukan hidup seperti itu yang pantas kau dapatkan."



Jadi, engkaukah pisau ini, Maryam? Yang bersiap menyayat nadiku tadi malam. Aku akan mati di tanganmu dengan senang hati, untuk kemudian hidup kembali.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 31, 2013 20:02

March 22, 2013

Kembali ke Kotamu

Inilah yang kusebut dejavu; debar-debar liar ketika untuk pertama kalinya bibir kita bertemu. Ketika rasa kopi menyatu dengan degup di jantungmu, di jantungku.



"Bajumu basah," katamu gugup.



Bukan itu yang sebenarnya harus kau khawatirkan, melainkan gigil yang bertahun berusaha kutahan. Tanganmu bahkan bergetar-getar ketika malam dan hujan semakin menandak-nandak dengan liar, suaramu berbisik samar. "Aku mencintaimu," ucapan itu seakan berasal dari dunia yang begitu jauh, begitu jauh.



Tapi aku harus kembali. Kembali kepada dunia yang selama ini aku kenali. Dunia yang tidak ada kamu di dalamnya karena kita sama-sama tahu bahwa cinta tak pernah pulang ke muara yang sama.



Mungkin esok, aku akan kembali untuk menikmati hujan dan menyesap kopi, bersamamu, dari bibirmu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 22, 2013 07:47

Mimpi dan Ilusi

Skylashtar Maryam
An author's blog ...more
Skylashtar Maryam isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Skylashtar Maryam's blog with rss.