Suryadi's Blog, page 9
August 24, 2014
Minang Saisuak #187 - Bagindo Dahlan Abdullah: Duta RIS di Irak (1950)
Dalam minggu ini sebuah perhelatan diadakan di Pariaman untuk meresmikan nama baru untuk sebuah jalan di kota itu: Jalan Pahlawan Baginda Dahlan Abdullah. Untuk itu, pada minggu ini tiga tulisan bersambung disajikan dalam harian ini untuk memperkenalkan sosok Bagindo Dahlan Abdullah. Kata ‘Baginda’ pada namanya merujuk pada catatan-catatan kolonial yang menuliskannya seperti itu.
Rubrik Minang Saisuak kali ini memfokuskan uraian pada sosok Bagindo Dahlan Abdullah sebagai Duta Republik Indonesia Serikat untuk Kerajaan Irak, Syria, dan Trans-Jordania yang berkedudukan di Bagdad pada tahun 1950. Kemudian disajikan puka kesan-kesan para sahabat terhadap beliau. Secara ringkas disebutkan di sini perjalanan hidup Bagindo Dahlan Abdullah: 1895-1914 di kampung halaman (Sumatera Barat); 1914-1922 di Negeri Belanda (khususnya Leiden); 1922-27 Maret 1950 di Indonesia (khususnya Jakarta); 28 Maret - 12 Mei 1950 di Bagdad, Irak. Tulisan ini berfokus pada sekuen terakhir masa hidup Bagindo Dahlan Abdullah. Kisah hidup beliau secara komprehensif telah diuraikan dalam tiga tulisan tersebut dan satu versi yang lebih singkat juga sudah terbit dalam Minang Saisuak edisi 29 Desember 2013.
Setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat, Presiden Sukarno mengangkat beberapa orang Duta untuk negara-negara sahabat. Bagindo Dahlan Abdullah ditunjuk untuk pos Irak, Syiria, dan trans-Trans Yordania, berkdudukan di Bagdad. Beliau berangkat menuju Irak pada 27 Maret 1950 (De Locomotief, 23-3-1950). Tugas itu tentu sangat berat, mengingat kondisi keuangan dan juga administrasi Departemen Luar Negeri Indonesia yang boleh dibilang masih bayi pada waktu itu.
Rupanya Dahlan hanya sempat menjalankan tugasnya selama tiga bulan saja. Beliau wafat pada tanggal 12 Mei 1950 di Bagdad karena serangan jantung. Kepergian beliau selamanya tidak sempat disaksikan oleh istri dan beberapa anak beliau yang waktu itu masih berada di Jakarta. Atas nasehat diplomat senior H. Agus Salim, jenazah Dahlan kemudian dimakamkan dengan upacara kenegaraan Kerajaan Irak di Mesjid Syekh Abdul Qadir Jailani di Bagdad (Het Nieuwsblad voor Sumatra, 15-5-1950). Menurut Haji Agus Salim, dengan dimakamkan di Bagdan, almarhum akan dikenang lama dan akan menjadi simbol tali persahabatan Indonesia dan Irak.
Semasa hidupnya, H. Bagindo Dahlan Abdullah adalah pribadi yang hangat dan oleh karena itu beliau mempunyai banyak teman. ‘Papa’, demikian beliau dipanggil oleh anak-anaknya, ‘berteman dengan banyak orang yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia’, demikian kenangan Gandasari terhadap ayahnya. Harian Merdeka (15 Mei 1950) menulis: “[D]ikalangan pemimpin2 jang sudah landjut umurnja nama Dahlan Abdullah sudah tidak asing lagi, jang memberikannja nama djolokan “Lach en Abdullah” karena sifatnja jang selalu riang gembira. Dia teman sewaktu dari almarhum Dr. Ratulangi, almarhum [M.H.] Thamrin dan Monotutu, Tan Malaka dan lain2″.
Demikianlah sekuen terakhir kisah hidup Bagindo Dahlan Abdullah, putra Minang asal Pariaman yang namanya diabadikan untuk nama sebuah jalan di kampung halamannya mulai Agustus ini.
Singgalang, Minggu, 24 Agustus 2014 (Sumber foto: Arsip keluarga Bgd Dahlan Abdullah)
August 22, 2014
Peresmian ‘Jalan Pahlawan Bagindo Dahlan Abdullah’ di Pariaman
Tanggal 25 Agustus 2014 Pemerintah Kota Pariaman membuat alek gandang untuk meresmikan nama baru sebuah jalan di kota itu, yaitu Jalan Pahlawan Bagindo Dahlan Abdullah. Acara itu diramaikan dengan seminar setengah hari tentang Bagindo Dahlan Abdullah (dalam catatan-catatan colonial namanya dieja ‘Baginda Dahlan Abdullah’), tokoh nasional asal Pariaman yang namanya diabadikan untuk nama jalan tersebut.
Suryadi dari Universitas Leiden akan menapaktilasi sejarah hidup Bagindo Dahlan Abdullah (1895-1950) dan Prof. Gusti Asnan dari Universitas Andalas akan memaparkan konteks sejarah Pariaman sebagai salah satu entrepot yang maju dalam era perdagangan pantai di abad ke-19 untuk memberikan latar historis kehidupan masa kecil Bagindo Dahlan Abdullah.
Setelah itu, beberapa wakil dari keturunan Bagindo Dahlan Abdullah akan menyampaikan kesan-kesandan kata kenangan tentang ayah/kakek mereka. Seusai seminar, akan dilakukan pembukaan selubung nama jalan baru tersebut, dilanjutkan dengan acara ramah-tamah dan hiburan.
Dalam rangka alek gadang itu pula, padaMinggu 24 Agustus, Yayasan H. Bgd Dahlan Abdullah & Hj. Siti Akmar akan menyerahkan sumbangan tahunan untuk 100 murid SD di Pariaman dan Sungai Limau dan memberi beasiswa untuk 30 murid SMP/SLA. Acara itu akan dihadiri oleh Walikota Pariaman Drs. H. Mukhlis Rahman, MM, Wakil Walikota Pariaman Dr. Genius Umar, dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Pariaman, Drs. Kanderi, MM.
Mungkin banyak orang Minang dan orang Pariaman sendiri yang tidak mengenal nama Bagindo Dahlan Abdullah. Untuk itu, masih dalam rangka alekgadang tersebut, pada 22 Agustus jam 09:30-10:30 Radio Dhara FM Pariaman menyiarkan secara langsung riwayat hidup Bagindo Dahlan Abdullah, diikuti dengan quiz berhadiah yang dapat diikuti oleh para pendengar acara tersebut.
Dahlan Abdullah adalah salah seorang putra Pariaman yang telah memberi kontribusi cukup besar dalam gerakan nasionalisme Indonesia di akhir zaman kolonial dan menjadi politisi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankannya ketika dalam usianya yang masih bayisudah dirongrong lagi oleh Belanda dengan agresi militer yang mereka lakukan tahun 1947-1949.
Dahlan Abdullah lahir pada tanggal 15 Juni 1895 di Pasia Pariaman dari pasangan Haji Abdullah, seorang kadi di Pariaman, dan istrinya yang akrab di panggil ‘Uniang’. Mula-mula ia belajar di Sekolah Melayu (Inlandsche School) di Pariaman dan, sebagaimana anak Minangkabau lainnya, juga diserahkan oleh orang tuanya mengaji ke surau. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi). Dahlan seangkatan dengan Tan Malaka yang juga bersekolah di sana. Studi dahlan di Kweekschool Fort de Kock diselesaikannya tahun 1913.
“Lantaran keentjeran otaknya”, demikian tulis harian Merdeka edisi 15 Mei 1950, maka setamatnja dari sekolah ini, ia [Dahlan] beserta Tan Malaka dan seorang temannja jang lain mendapat kesempatan untuk melandjutkan peladjarannya ke negeri Belanda dan masuk pada Kweekschool voor onderwijzer di Den Haag sampai tammat tahun 1915. Bersamaan dengan itu (atau mungkin dalam rombongan lain) dikirim pula ke Belanda dua orang putra Pariaman yang termasuk jalan mamak oleh Dahlan Abdullah, yaitu Djamaludin Rasad dan Zainudin Rasad.
“Kemudian ia [Dahlan] menjambung pengetahuannja untuk mempeladjari ‘Maleische Land en Volkenkunde’ pada Universiteit Leiden hingga tammat pula. Lalu ia mempeladjari ilmu bahasa2 Timur sambil membantu Prof. Van Ronkel [menjadi native speaker, 'penutur asli' dalam pengajaran bahasa Melayu di Universitas Leiden], tetapi peladjarannja ini tak pernah ditamatkannja.
Sebabnja ialah, sebagaimana djuga kebanjakan mahasiswa Indonesia dimasa itu lantaran ketularan semangat pergerakan nasional. Ia lebih mentjurahkan fikiran dan tenaganja untuk perdjuangan ‘Perhimpoenan Indonesia’ [berdiri 1908 dengan nama awal De Indishe Vereeninging, 'Perhimpunan Hindia'] jg. diketuainja beberapa waktu lamanja [Dahlan menggatikan Loekman Djajadinigrat menjadi ketua 'Perhimpoenan Hindia' pada akhir 1917]. Teman seperdjuangannja diantaranja ialah Ir. Soerachman [Presiden Balai Perguruan Tinggi tahun 1950-an], Prof. Surjomihardjo dan banjak lagi lain2 jang termasuk golongan radikal”.
Sampai akhir hayatnya, Dahlan Abdullah mengabdi kepada Republik Indonesia yang waktu itu masih berusia muda. Oleh sebab itu, pengabadian nama Bagindo Dahlan Abdullah untuk nama sebuah jalan di Pariaman ibarat mengembalikan sirih ke gagangnya, mengembalikan pinang ke tampuknya, memulangkan kembali seorang putra Pariaman diaspora ke kampung halamannya. Baik Dahlan Abdullah sendiri maupun para keturunannya yang masih hidup sampai sekarang kebanyakan tinggal di rantau (dalam dan, luar negeri. Di antara keturunannya yang masih hidup antara lain adalah anak-anaknya Malik Abdullah, Gandasari Abdullah (Amerika), Jamaludin Abdullah, dan cucunya ‘Ajo’ Iqbal Alan Abdullah, mantan anggota DPR pusat. Namun demikian, mereka tetap peduli kepada kampung halaman mereka (Pariaman), terbukti dengan aktifitas Yayasan H. Bgd Dahlan Abdullah & Hj. Siti Akmar [yang terakhir ini adalah nama istri beliau] yang didirikan di Pariaman tahun 2007 yang setiap tahun memberikan bantuan kepada pelajar dan masyarakat di Pariaman dan Sungai Limau.
Peresmian nama Jalan Pahlawan Bagindo Dahlan Abdullah adalah wujud penghargaan masyarakat dan Pemerintah Kota Pariaman terhadap seorang putra terbaik Pariaman. Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita menghargai jasa dari para Pahlawan yang sudah mengorbankan jiwa dan raga untuk merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Dua tulisan berikutnya di harian ini, penyambung tulisan ini, akan memaparkan lebih jauh lanjut sejarah hidup dan perjuangan Bagindo Dahlan Abdullah untuk Republik Indonesia. (*)
Harian Singgalang | August 22, 2014
August 18, 2014
Renung #27 | Boros
Kita mungkin termasuk bangsa paling boros di dunia. Hal itu dapat dikesan dari pemandangan yang dapat kita lihat sehari-hari secara kasat mata, baik dalam maupun di luar lingkungan keluarga sendiri. Kebanyakan individu dalam masyarakat kita mempraktekkan gaya hidup yang jauh dari sifat hemat dan ekonomis, padahal bangsa ini lama dijajah Belanda, sebuah bangsa kecil dari Negeri Kincir Angin yang mempraktekkan hidup hemat dan irit, walau sering dimaknai sebagai sifat kikir oleh orang Indonesia.
Memang jarang tindak laku kita yang menunjukkan sikap hemat. Dalam laku makan saja misalnya, masyarakat kita sering menyisakan nasi di piring. Banyak orang Indonesia memakai lebih dari satu HP dan sepeda motor. Orang-orang kaya apalagi: mereka punya banyak rumah dan di garase mereka bertumpuk mobil-mobil mewah melebihi jumlah anggota keluarga.
Di kota-kota sikap hidup boros didorong oleh lingkungan baik fisik dan non fisik. Kemacetan di jalan-jalan akibat infrastruktur yang buruk telah menimbulkan pemborosan penggunaan bahan bakar kendaraan. Sementara dalam kehidupan sehari-hari orang berlomba-lomba memamerkan kekayaan. Program-program televisi menghadirkan mimpi-mimpi tentang kemewahan dan hidup senang penuh materi, menghadirkan sikap hidup permisif dan nafsu mengejar materi yang kerap dilakukan dengan jalan pintas.
Sikap boros dalam bentuk yang sederhana dapat dilihat dalam praktek seperti ini: seseorang punya rumah yang berjarak 100 atau 200 meter dari sebuah warung, tapi untuk membeli rokok atau obat nyamuk ke warung itu ia lebih suka mengendarai motor ketimbang jalan kaki. Seseorang tidak lagi memakai baju yang belum lama dibelinya karena tertantang untuk membeli baju model baru sebab tetangga sebelah sudah memakainya.
Boros tidak saja sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materi. Boros waktu adalah sifat yang tak kunjung hilang dari perilaku bangsa kita. Kebiasaan ngaret dalam berbagai kegiatan acara (resmi dan tak resmi) adalah cerminan dari sifat boros dalam penggunaan waktu. Kalau seseorang diberi kesempatan berpidato atau memberi sambutan, sering ia menggunakan waktu lebih panjang dari yang dialokasikan. Itu juga sifat boros yang sulit diubah oleh banyak pejabat publik.
Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang beragama. Dalam Islam, agama mayoritas di negara ini, umat dinasehatkan untuk mempraktekkan hidup hemat. Akan tetapi mengapa justru yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari adalah gaya hidup boros? Lihatlah misalnya dalam perayaan lebaran: banyak orang memboroskan uang untuk membeli barang-barang yang kadang-kadang tidak diperlukan benar. Apakah umat tidak lagi mendengar ajaran agama mereka? Atau mungkin juga karena para pemimpin agama juga banyak yang tidak lagi memberi suri tauladan hidup hemat kepada umat? Sering dikatakan bahwa orang kafir, karena tak mempercayai hari akhirat, hidup mengejar duniawi. Karena setelah mati, ya… semua akan berakhir dan materi tidak lagi dapat dinikmati. Kita orang yang mempercayai adanya hidup sesudah mati mestinya lebih asketis dan mempersiapkan bekal untuk hari akhirat. Tapi dalam prakteknya, umat Islam justru hidup boros dan orang-orang kafir hidup hemat, penuh perhitungan, dan ekonomis.
Gaya hidup boros juga telah lama melunyah jiwa para pemimpin Indonesia. Beberapa kali saya diundang makan siang atau makan malam oleh beberapa politikus. Saya melihat kelimpahan makanan yang kadang-kadang tidak dihabiskan. Dalam keadaan seperti itu, saya ingat orang-orang miskin yang kekurangan makanan, yang membanting tulang delapan kerat hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.
Presiden Sukarno pernah dikritik karena sifat borosnya. “Bung Karno dengan dia punya aksi jang berlebih-lebihan untuk menyambut [Jawaharlal] Nehru telah bikin orang djadi muak. [...] Hofmeester [Istana Merdeka] katanja diperintah oleh Bung Karno buat memperbaruhi semua lampu ["Istana"], semua sendok garpu, taplak medja, piring dan mangkok. Semua harus diperbaruhi dengan jang paling indah dari jang indah. Bung Sjafruddin [Prawiranegara] jang tadinja menolak, achirnja kasih djuga uang jang diminta buat keperluan tsb. Apa Bung Karno tidak pernah dengar, bahwa di Priangan Selatan banjak rakjat pernah tidak makan selama seminggu? Tjoba itu uang jang dibuang2 dibelikan beras dan dibagi sama rakjat jang kelaparan?
Bung Karno punya sembojan - gantungkan tjita2 setinggi bintang - tapi kalau bung Karno mau terima Nehru dengan segala matjam kemewahan setinggi bintang, wah, kitapunja negara bisa bangkrut. [...] [M]estinja pemerintah jang mempunjai sembojan: ‘Hemat! Hemat!’ mentjegahnja, bukan? Presiden bukan radja, tidak dapat mengeluarkan uang negeri menurut suka hatinja sendiri. Pun radja jang Konstitutionil tidak lagi dapat mengeluarkan uang negeri sesuka hatinja. Kita sudah tidak hidup dalam djaman tumbak, tetapi hidup dalam djaman atom”. Demikian redaksi majalah Republik menulis dalam edisi no.31, Th.1, 1 Djuni 1950, hlm.34.
Gaya hidup boros tampaknya makin meruyak dalam diri bangsa kita. Aneh juga: bangsa yang dililit utang sabalik pinggang ini jauh dari sikap hidup hemat. Dengan gaya hidup boros itu, makin lama utang bangsa ini makin menggunung. Dan para kapitalis yang menyuapkan segala bentuk hasil teknologi kepada bangsa ini makin bersorak melihat sifat rakus dan boros bangsa kita yang makin bertambah-tambah itu. Jujur saja, karena hidup boros, tampaknya bangsa Indonesia makin sulit lepas dari cengkeraman kuku bangsa asing.
Padang Ekspres, Minggu, 17 Agustus 2014
August 11, 2014
Renung #26 | Presiden blusukan
Hasil pemilu presiden (pilpres) Indonesia 2014 ternyata menghasilkan suara berimbang bagi kedua kandidat: Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Pengumuman KPU tanggal 22 Juli menyebutkan Jokowi sebagai pemenang dengan angka kemenangan tipis sekitar 2 digit di atas Prabowo. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, pengumuman itu tidak langsung diterima oleh pihak yang kalah. Sebagaimana kita dengar melalui media, kubu Prabowo menuduh kubu Jokowi telah melakukan kecurangan terencana. Oleh karena itu mereka mau menggugat kemenangan Jokowi di Mahkamah Konstitusi.
Namun, tampaknya para pendukung Jokowi sudah begitu yakin bahwa jago mereka akan menjadi Presiden Indonesia menggantikan SBY. Seorang facebooker menulis: andai Jokowi tidak terburu-buru mengklaim dan merayakan kemenangannya, mungkin situasinya akan menjadi lain.
Dari wacana yang berkembang sejak awal kampanye pilpres dapat dikesan bahwa jika Jokowi menjadi presiden Indonesia, maka akan muncul kultur baru dalam sistem administrasi pemerintahan negara ini yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kultur baru itu antara lain dicirikan oleh presiden yang bukan berasal dari kalangan elite melainkan dari rakyat jelata sendiri (bekas juragan mebel), yang hidup sederhana, yang akan memberantas korupsi habis-habisan, yang menjunjung demokrasi dan kebebasan, yang akan mencegah campur tangan militer dan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang disinyalir ingin bangkit kembali melalui diri Prabowo, dan - yang sangat penting - suka blusukan dan dekat dengan rakyat berderai. “Sihir Jokowi” dibentuk sedemikian rupa dengan melibatkan banyak hal, termasuk slogan “Jokowi adalah kita” dan jargon “Tidak masanya lagi anak muda cuek kepada negara”. (Seolah-olah sebelum ini orang muda tak peduli terhadap negara, padahal sejak awal persiapan kemerdekaan Indonesia peran pemuda sangatlah penting).
Para pendukung Jokowi adalah bagian dari rakyat Indonesia yang percaya bahwa sang “messiah” pembawa zaman baru bagi Indonesia telah datang. Sang “juru selamat” itu diyakini akan mampu menciptakan revolusi dalam jagad politik Indonesia, termasuk revolusi mental. Jokowi menghadirkan imaji baru tentang seorang pemimpin yang dincintai rakyat, yang dekat dengan rakyat. Mereka sudah muak dengan pemimpin yang berada di menara gading, yang bersikap parlente, yang melihat rakyat dai balik kaca jendela kamar kerja mereka di gedung-gedung tinggi ber-AC dan dari balik kaca hitam mobil-mobil mewah mereka yang berhawa sejuk.
Dalam kebudayaan kita, imaji tentang pemimpin yang merakyat ini sudah lama muncul dan sudah lama ternukil dalam teks-teks sastra tradisional. Mungkin itu lebih sebagai sebuah cerita dari negeri dongeng ketimbang realitas sesungguhnya. Dalam cerita-cerita panji atau kisah-kisah Melayu klasik banyak ditemukan cerita tentang raja-raja yang menyamar guna mengetahui dan melihat kehidupan rakyatnya dari dekat. Sang Pangeran yang tampan, sang raja yang bijaksana, tanpa diiringi oleh wazir dan hulubalang, menyamar menjadi orang biasa, masuk dan keluar kampung, tanpa diketahui oleh rakyatnya. Itulah model blusukan pemimpin negeri di zaman lampau yang jauh. Kisah-kisah seperti itu membuaikan orang Melayu Nusantara dalam mimpi tentang pemimpin yang bijaksana, yang mengasihi rakyat dan yang dicintai oleh rakyatnya.
Jokowi, adalah representasi dari imaji-imaji pemimpin yang rendah hati seperti itu. Tapi zaman telah berubah. Pemimpin modern tidak harus memiliki konsep yang berbeda dan citra yang berbeda pula. Di banyak negara pemimpin modern itu memang berjarak dengan rakyat: mereka duduk di bilik nakhoda, memikirkan kebijakan-kebijakan dan konsep-konsep yang tujuannya untuk memperbaiki taraf hidup rakyatnya. Untuk itu, tak perlu mereka terus-menerus 24 jam harus berada di tengah-tengah rakyat. Rakyat yang dewasa juga tahu bahwa seorang pemimpin memang harus tinggi letaknya, kadang-kadang harus duduk dalam kesunyian. Kita khawatir, imaji tentang Jokowi di mata rakyat terlalu berlebihan. Mereka mungkin membayangkan suatu saat Presiden Jokowi akan blusukan ke desa-desa mereka, baik yang dekat maupun yag paling jauh dari ibukota negara. Berjabat tangan langsung dengan sang Presiden tentu suatu kebanggaan bagi rakyat berderai, sama halnya ketika di zaman lampau seorang raja tiba-tiba muncul di hadapan para kawula di pasar dan alun-alun kota.
Mudah-mudahan, Jokowi (jika memang resmi sudah menjadi presiden Indonesia nanti) tidak akan menghabiskan sepanjang jabatan kepresideannya untuk blusukan ke seluruh desa di seantero Indonesia. Banyak hal lain yang jauh lebih penting yang harus dilakukan oleh seorang Presiden untuk memajukan rakyatnya. Wilayah kekuasaan Jokowi tidak lagi seluas Solo atau DKI Jakarta, tapi sejauh jarak dari London ke Moskow. “Jika ia hanya memimpin Indonesia dengan modal blusukan, dikhawatirkan nanti sejak blusukan hari pertama sampai hari terakhir, sang Presiden sampai di Istana lagi setelah pemilu berikutnya diadakan”, celoteh seorang teman saya dengan nada bergurau.
Padang Ekspres, Minggu, 10 Agustus 2014
August 10, 2014
Minang Saisuak #186 - Himpunan Putri Nunang (1936)
Pada awal abad ke-20 gerakan untuk memajukan kaum wanita makin menggema di Hindia Belanda. Pada masa itu mulai bermunculan golongan perempuan dari kalangan kaum terpelajar yang mendapat pendidikan sekuler. Dr. Wannofri Samry dalam disertasinya “Penerbitan majalah dan akhbar di Sumatera Utara 1902-1942: proses perjuangan identiti dan kebangsaan” (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2013) menunjukkan bahwa media cetak merupakan corong utama bagi wanita-wanita terpelajar Sumatera untuk menyuarakan kemajuan kaumnya pada paroh pertama abad ke-20, dan kebanyakan mereka berasal dari Minangkabau. Terbitanya surat kabar Soenting Melayu di Padang tahun 1910-an makin menggairahkan gerakan kaum perempuan Minangkabau untuk mencapai kemajuan. Gerakan untuk menyokong kemajuan kaum perempuan itu menjalar sampai ke desa-desa di Sumatera Barat.
Rubrik Minang Saisuak kali ini menurunkan sebuah rekaman visual tentang gerakan kaum perempuan di Nagari Nunang, dekat payakumbuh. Beberapa orang wanita Nunang yang terpelajar mendirikan satu organisasi yang disebut Himpoenan Poetri Noenang. Organisasi ini didirikan sekitar bulan Mei 1936.
Himpoenan Poetri Noenang digagas oleh dua wanita Nunang, yaitu Rangkayo Chamsani Alwis dan Entjik (Nona) Ramajulis Rahib. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian kaum wanita Nunang dengan mengajari mereka berbagai keahlian dalam jenis pekerjaan tangan, seperti sulam-menyulam, membuat buket, dan lain sebagainya. Pengajaran di bidang ini ditangani oleh Rangkayo Chamsani Alwis. Sedangkan Ramajulis Rahib bertugas memberikan pelajaran agama. Dikatakan bahwa “[a]dapoen perkoempoelan itoe, selain dari pada mementingkan pekerdjaan tangan, poen peladjaran agama tidak diloepakannja”.
Himpoenan Putri Noenang ternyata cukup berhasil menggerakkan ekonomi kaum perempuan di Nagari Nunang. Ini antara lain dapat dilihat dari keikutsertaan mereka dalam pameran kerajinan anak negeri di Payakumbuh pada tahun 1936. Mereka berhasil menjual banyak hasil kerajinan tangan dari anggota perkumpulan ini.
Di dalam foto kelihatan para pengurus dan sebagian dari anggota Himpoenan Poetri Noenang. Tentang penampilan Rangkayo Chamsani Alwis dan Ramajulis Rahib dapat dirujuk pada keterangan gambar (caption) foto itu. Di latar depan kelihatan contoh karangan bunga (buket) buatan anggota perhimpunan ini.
Walaupun sudah banyak studi sejarah tentang gerakan kemajuan di Minangkabau, tapi penelitian yang berfokus kepada gerakan wanita dari perspektif sejarah sosial masih perlu diteruskan secara lebih mendalam. Selama ini beberapa penelitian sering terfokus hanya pada satu-dua individu seperti Rasuna Said dan Rohana Kudus, dan cenderung melupakan banyak tokoh lain di tingkat luhak maupun nagari yang juga berperan penting dalam menggerakkan kaum wanita untuk mencapai kemajuan ekonomi dan pendidikan. Rangkayo Chamsani Alwis dan Ramajulis Rahib dari Nagari Nunang adalah dua orang di antaranya.
Singgalang, Minggu, 10 Agustus 2014 | (Sumber foto: Pandji Poestaka, No. 105, Thn XV, 31 December 1937:2089)
August 4, 2014
Renung #25 | Lebaran
Lebaran tahun ini (Idul Fitri 1435 Hijriah) mungkin agak “istimewa” bagi umat Islam Indonesia. Ia jatuh tak lama setelah Pemilihan Presiden yang penuh caci-maki, tuduh-menuduh, hujat-menghujat, dan kata-mengatai antara sesama umat Islam dan juga dengan umat agama-agama lain. Agaknya pada 1 Syawal tahun ini Tuhan dan para malaikat bekerja lebih keras dibanding tahun-tahun sebelumnya untuk memeriksa dokumen-dokumen dosa dan pahala umat Islam Indonesia. Akankah dosa dari tumpukan caci-maki, tuduh-menuduh, hujat-menghujat, dan asung fitnah yang telah dibuat dengan lidah ular selama masa kampanye pilpres akan begitu saja dimaafkan oleh Tuhan setelah ucapan “Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin” (kebanyakan disampikan lewat SMS) keluar dengan ringan dari banyak mulut dan hati manusia yang begitu mudah lupa pada kesalahan yang telah dibuat pada masa lalu?
Lebaran tahun ini berbeda dengan lebaran-lebaran sebelumnya. Begitu juga dengan suasana puasa yang mendahuluinya. Kehidupan manusia makin jauh dari jalan ik’tikaf karena mobilitas orang per orang makin meningkat dan hampir-hampir tidak lagi menyisakan waktu untuk merenung. Materialisme dan hedonisme makin mendesak laku asketis ke pinggir jurang. Teknologi media sosial membuat setiap individu sibuk menjelajahi dunia virtual dari pagi sampai pagi lagi. Manusia makin sulit menghadapkan diri secara kaffah kepadaNya, sekalipun hanya dalam diam sebentar di rumah ibadah. Duduk sesaat di mesjid di antara shalat sunat dan fardu masih saja digunakan untuk mengecek atau mengirim pesan singkat (SMS). Teknologi media sosial telah membuat manusia terbiasa memaki dan memfitnah orang lain sambil duduk diam.
Sadar atau tidak, nuansa sakral bulan Ramadan, pada saat mana i’tikaf harus diperbanyak, makin lama makin menipis. Seorang teman menulis di laman facebooknya: puasa kali ini makin sunyi dari meriah bunyi kentongan dan suara ramai anak-anak muda yang membangunkan orang untuk makan sahur. Mungkin kini orang hanya saling mengingatkan sahur lewat pesan SMS saja. Teman yang lain berefleksi: di bulan Ramadan ini, mereka yang tidak berpuasa tidak lagi merasa malu makan di siang hari. “Perang” meriam betung antar kampung dan parade obor di malam hari selesai shalat Taraweh sudah lama menghilang dari desa-desa kita yang kini telah dibenderangi lisrik walau sering padam. Anak-anak muda kita makin galau dalam gaya hidup modern nan materialis.
Lebaran sarat dengan nuansa budaya, sebagaimana dapat dikesan dalam beberapa cerita pendek karya 11 sastrawan yang terkumpul dalam antologi Kurma: kumpulan cerpen puasa-lebaran Kompas (Jakarta: Kompas, 2002). Sudah sejak lama genre sastra ini merekam pergeseran makna puasa dan lebaran dalam masyarakat kita. Dulu di zaman kejayaan media radio di tahun 1930an orang terkesima dengan lantunan bunyi beduk, salawat, dan takbir di bulan puasa dan lebaran yang bisa didengar lewat radio, sebagaimana direfleksikan oleh Armijn Pane dalam cerpennya “Djika Pohon Djati Berkembang” (Pandji Poestaka, No. 15, 1935). Kini kita dapat mendengarkan salawat dan takbir dari MP3 di mana saja (juga ketika sedang di WC) dan menyampaikan salam lebaran lewat kartu-kartu virtual dan pesan singkat di HP.
Sudah lama terasa nuansa individualitas meningkat di hari raya, mengikis rasa komunalitas antar kampung dan hubungan ipar-besan dan andan-pasumandan. Dulu, selepas shalat Idul Fitri, famili yang jauh dan dekat saling berkunjung dan bersilaturahmi. Sudah sejak Ramadhan andan-pasumandan sibuk saling mengantar pabukoan. Istri mamak perlomba mengantar kue dan juadah ke rumah mertuanya dalam dulang yang berjenjang-jenjang. “Anak pisang” pun tiada ketinggalan. Hantaran itu dibalas dengan dengan kiriman daging bantai dari kerbau yang terbaik. Kini tradisi kebersamaan itu makin menipis. Banyak orang makin memilih cara-cara yang praktis saja. Kue-kue yang terhidang di hari lebaran adalah produk dari toko-toko roti. Ibu-ibu dan gadis-gadis tidak punya waktu lagi untuk membuat kue-kue lebaran dengan tangan mereka sendiri. Juga buah korma, yang kini dapat dibeli dengan mudah dalam berbagai kemasan di toko-toko serba ada. Ia tidak lagi menjadi menu puasa yang khas kiriman dari negeri para nabi, seperti direfleksikan oleh Yusrizal KW dalam cerpennya “Tiga butir korma per kepala”. Hantar-menghantar makanan di antara ipar-besan dan andan-pasumandan makin tidak populer lagi.
Yang relatif tetap tak berubah mungkin tradisi pulang mudik para perantau di hari lebaran. Minggu ini adalah puncak dari kesibukan berbagai jenis oto mobil di jalan raya. Para perantau pulang ke kampung membawa tuah: bergaya dengan mobil-mobil bermerek terbaru (tidak terkecuali mobil sewaan). Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kita akan mendengar lagi tragedi-tragedi kecelakaan di jalan raya, seperti direfleksikan oleh Gus TF dalam cerpennya “Gambar bertulisan ‘kereta lebaran’”. Seminggu kemudian para perantau berkepeng banyak itu bergeduru lagi balik ke “kampung halaman” mereka di kota-kota dan metropolitan yang berserakan di seluruh Indonesia.
Kekangan duniawi selama sebulan berpuasa dilepaskan dan meledak dalam bentuk aksi konsumtif berbelanja di mall-mall dan memamerkan segala kelebihan material yang dimiliki. Uang tampak di mana-mana, juga di pinggir-pinggir jalan dalam bentuk ketengan dan di halaman-halaman rumah dalam jenis recehan. Dalam suasana kegembiraan dan sukacita itu pasti ada yang merasa kesempian: orang tua yang anak-anaknya tidak dapat pulang di hari lebaran, baik karena alasan keuangan maupun oleh kesibukan yang terus meningkat akibat tuntutan dunia modern ini, sebagaimana direfleksikan oleh A.A. Navis dalam cerpennya “Tamu yang Datang di hari lebaran”. Demikian pula halnya dengan keluarga-keluarga miskin yang merayakan lebaran dalam keprihatinan. “Urang mambantai kudo / Awak mambatai itiak / Urang bahari rayo / Awak baguluang lapiak”.
Puasa dan lebaran adalah masa ketika Tuhan dengan sebebas-bebasnya menguji jiwa manusia yang penuh nafsu dan temaah.
| Padang Ekspres, Minggu, 3 Agustus 2014
July 21, 2014
Renung #24 | Sumbangan
Setiap orang dalam hidupnya mungkin pernah menerima atau memberi sumbangan. Bentuknya tentu bermacam-macam: ada yang berbentuk material dan tentu ada juga yang berwujud non material. Sumbangan merupakan representasi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Dan bagi masyarakat Indonesia, laku menyumbang tampaknya sudah lama terinternalisasi dalam kebudayaan mereka.
Dengan kata lain, budaya menyumbang dalam masyarakat kita memiliki makna kultural yang khas, dan jelas dalam satu dan lain hal hakekatnya berbeda dengan laku “charity” dalam budaya orang Barat. Tradisi menyumbang yang sudah mendarah daging dalam budaya kita paling tidak dapat dikesan dari banyaknya sinonim kata “sumbangan” dalam Bahasa Indonesia. Eko Endarmoko dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2006) mencatat, dalam hubungannya dengan sesuatu yang bernuansa religious sumbangan bersinonim dengan kata “amal”, “derma”, “donasi”, “fitrah”, “infak”, “zakat”, “hibah”, “pemberian”. Sedangkan dalam hubungannya dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan politis, kata “sumbangan” bersinonim dengan “bantuan”, “pesolok”, “subsidi”, “tunjangan”, “uluran tangan”, “andil”, “kontribusi”, dan “sumbangsih”. Setiap kata tentu memiliki nuansa: serupa tapi tak sama maknanya.
Tidak hanya dalam level nasional, dalam berbagai budaya lokal di Indonesia pun sumbangan memiliki nilai kultural yang unik. Demikianlah umpamanya, budaya “badoncek” dalam masyarakat Pariaman tentu tidak ada padanannya yang betul-betul pas dalam kelompok masyarakat lainnya.
Sumbangan memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu pihak, kita sering mendengar bahwa orang menyumbang sesuatu (moril atau materil) tanpa pamrih. Di pihak lain, lewat kenyataan yang tampak, kita sering melihat bahwa seseorang/satu pihak menyumbang kepada orang/pihak lain karena ada maunya, didorong oleh maksud tertentu. Makin lama kita makin merasakan bahwa kian banyak aksi menyumbang yang tanpa pamrih, baik dalam konteks agama maupun dalam konteks kehidupan duniawi.
Jenis dan hakekat sumbangan pun makin beragam, misalnya jenis sumbangan baru yang disebut “serangan fajar”. Fenomena ini muncul sejak demokrasi berkecambah di Indonesia. Jenis sumbangan yang satu ini jelas jauh dari sikap tanpa pamrih. Yang menyumbang minta dicoblos agar dapat memenangkan pertarungan politik yang selalu menghabiskan banyak uang. Rakyat yang mendapat sumbangan model ini biasanya sudah tahu bahwa ada “udang di balik batu”. Kebiasaan menyumbang model “serangan fajar” ini makin lama makin menebal dalam kehidupan politik Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Saking terbiasanya masyarakat menghadapi fenomena ini, jika ada konstestan politik yang datang ke masyarakat hanya untuk membagi-bagikan brosur partai dan foto dirinya tanpa amplop uang, bungkusan indomie, atau lada-beras dan lauk-pauk, mereka justru kaget: kok yang diberikan kepada kami hanya kertas-kertas saja? Apa kertas bisa dimakan? Dengan kata lain, sesuatu yang jelek karena dibiasakan telah menjadi hal yang dianggap biasa dan wajar.
Yang tak kurang anehnya sekarang adalah bahwa kebiasaan menyumbang dalam masyarakat kita telah pula disalahgunakan oleh orang-orang yang menjadikannya sebagai mata pencaharian. Sering kita melihat orang-orang meminta sumbangan dengan mengatasnamakan pembangunan rumah ibadah atau fasilitas publik lainnya. Memang ada orang yang melakukannya untuk tujuan yang benar: membangun surau atau mesjid. Tapi banyak pula yang menyalahgunakannya. Sementara itu, di jalan-jalan ramai di kota-kota anak-anak diorganisir kelompok-kelompok preman untuk disuruh meminta-minta. Berbagai pendapat telah muncul bergalau dalam masyarakat mengenai model sumbangan seperti ini. Ada yang berpendapat anak-anak jalanan itu jangan diberi uang karena hal itu hanya akan memupuk kebiasaan malas dan dianggap tidak mendidik. Tapi, orang yang masih mempunyai hati nurani dan rasa belas kasihan tentu tidak tega melihat mereka.
Istilah “sumbangan wajib” sudah lama pula kita dengar. Ini biasanya dilakukan di kantor-kantor pemerintah. Gaji para pegawai yang kurang mamadai itu disunat lagi untuk sumbangan ini dan itu. Kalau tidak ikut dalam aksi “sumbangan wajib” itu, seseorang bisa dituding asosial. Di Indonesia, negara juga menyibukkan diri mengatur sumbanga pribadi, misalnya dalam soal zakat. Di pasar para preman menerapkan “sumbangan wajib” kepada para pedagang. Kalau tidak memberi, mereka mendapat ancaman. Ini lebih cocok disebut “upeti” ketimbang “sumbangan”. Sering pula media memberitakan tentang sumbangan yang dikorupsi oleh orang tertentu dan pejabat pemerintah, khususnya bantuan korban bencana alam. Apakah orang-orang yang melakukan perbuatan jahat seperti itu tidak merasa mata Tuhan Yang Maha Kuasa tidak mengamati gerak otaknya?
Dengan kata lain, kebiasaan menyumbang makin kehilangan nilai etik dan kejujuran dalam masyarakat kita. Barangkali ini juga disebabkan oleh media (sosial) yang cenderung membuat orang narsis. Makin banyak orang menganggap menyumbang dengan diam-diam adalah sesuatu yang menyimpang (deviant). Walaupun demikian, kita yakin tentu masih ada orang yang menyumbang dengan tujuan tidak untuk mengharapkan tepuk tangan, pujian, dan sanjung berhadapan. Menurut khotbah para ahli agama, sumbangan seperti ini konon lebih bernilai di mata Tuhan. Saya yakin, Anda adalah salah seorang di antara para penyumbang yang tidak mencari sensasi dan tuah duniawi itu.
Suryadi - Leiden University, Belanda | Padang Ekspres, Minggu, 20 Juli 2014
July 20, 2014
Minang Saisuak #185 - Dramatisasi Kaba Cindua Mato di Betawi (1939)
Rasanya mungkin hanya orang Minangkabau yang agak ongok raya yang tidak mengenal Kaba Cindua Mato. Kaba itu merupakan salah satu cerita klasik Minangkabau sangat terkenal. Sudah sejak beberapa abad lampau Kaba Cindua Mato menjadi perhatian banyak ahli, tak tercuali bangsa Barat. Ini antara lain dapat dikesan dari usaha J.L. van Der Toorn, Kepala Sekolah Kweekschool di Fort dek Kock (lih: http://niadilova.blogdetik.com/index.php/ archives/274), menerbitkan dan menerjemahkan kaba itu ke dalam Bahasa Belanda pada akhir abad 19 (lihat: J.L. van der Toorn (translator), Tjindoer Mato: Minangkabausch-Maleische legende. Batavia: Albrecht & Rusche, 1886).
Kaba Cindua Mato adalah salah satu historiografi etnis Minangkabau selain tambo. Taufik Abdullah dalam artikelnya yang menarik mengenai kaba ini mengatakan bahwa teks Kaba Cindua Mato antara lain merekam kont(r)ak historis antara Minangkabau dan Aceh di abad ke-16 dan juga persentuhan awal antara etnis Minangkabau dengan agama Islam (lihat Taufik Abdullah, “Some notes on the kaba Tjindua Mato: An example of Minangkabau traditional literature”, Indonesia 9, 1970: 1-22).
Kaba Cindua Mato telah mengalami transformasi dari repertoar lisan ke dalam bentuk yang lain, seperti buku (baik yang berbahasa Minangkabau maupun Melayu/Indonesia; yang beraksara Arab-Melayu dan Latin) dan sandiwara/drama. Belum diperoleh informasi apakah Kaba Cindua Mato juga pernah pula difilmkan dan diterjemahkan ke dalam genre-genre seni yang lain.
Rubrik Minang saisuak kali ini menurunkan foto klasik dramatisasi Kaba Cindua Mato yang cukup awal (1930-an). Foto ini mengabadikan pertunjukan drama (toneel) Cindua Mato di Gedung Pertunjukan (Schouwburg) Betawi pada tahun 1939. Sutradara pertunjukan ini adalah A.K. Gani (1905-1968), seorang dokter dan politisi asal Minang yang sangat tertarik pada dunia seni dan juga aktif dalam politik Indonesia di Zaman Pergerakan dan saat Republik Indonesia masih muda usia (lih: http://id.wikipedia.org/wiki/Adenan_Kapau_ Gani). Pertunjukan itu diadakan dalam rangka menggalang dana ‘oentoek bahaja kelaparan di S.W.K [Sumatra’s Westkust, Sumatra Barat) dan Bodjonegoro’. Tampaknya penonton cukup banyak yang datang sehingga terkumpul uang sebanyak kurang lebih 700 gulden.
Sebelum pementasan drama Cindua Mato yang disturadarai oleh A.K. Gani ini, pada 1925 murid-murid Kweekschool Fort dek Kock (Bukittinggi) juga sudah menggubah kaba ini ke dalam bentuk pertunjukan yang menurut A.A. Navis dalam bukunya Alam Terkembang jadi Guru (1985) menjadi cikal bakal seni randai yang kita kenal sekarang. Akan tetapi sejauh yang dapat saya kesan dari foto-foto pertunjukan itu, tidak terlihat adanya tarian pencak yang menjadi salah satu unsur randai. Oleh karena itu, saya menduga pertunjukan yang dipentaskan oleh siswa Sekolah Raja di Bukittingi itu adalah bentuk drama seperti yang juga disutradarai oleh A.K Gani, meskipun mungkin teknik penyutradaraannya bisa berbeda.
Adalah sangat menarik jika ada peneliti kita (dari ISI Padang Panjang, UNAND, atau UNP) yang mencoba menelusuri secara historis ‘penerjemahan’ Kaba Cindua Mato ke dalam berbagai genre seni lain, khususnya seni drama (bisa juga untuk thesis S2 dan disertasi S3). Foto ini sendiri dapat dianalisa lebih dalam. Kalau saya tidak salah, script drama Cindua Mato yang disutradari A.K. Gani masih tersimpan di salah satu perpustakaan di Belanda. Dengan kajian tersebut, tentu akan bertambah pengetahuan kita tentang jalan adaptasi dan pemertahanan sebuah teks klasik Minangkabau oleh pendukungnya dalam arus perubahan zaman.
Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto: Poestaka Timoer 11, 1 Juli 1939:17) | Singgalang, Minggu, 20 Juli 2014
July 15, 2014
Pariaman: Kota Bersejarah
Tanggal 2 Juli 2014 kota Pariaman merayakan hari ulang tahunnya yang ke-12. Bersempena dengan peringatan hari ulang tahun kota Pariaman itu, diadakan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Pariaman yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim, Walikota Pariaman Mukhlis Rahman, Wakil Walikota Pariaman Genius Umar, dan para pejabat terkait serta perwakilan tungku tigo sajarangan. “Hari Ini Kota Pariaman 12 Tahun, Bertabur Penghargaan”, tulis Sumbar Online.com (diakses 3-7-2014) yang memberitakan berbagai penghargaan yang diterima oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pariaman bersama masyarakatnya.
Di tengah sukacita perayaan hari jadi kota Pariaman itu, ada sedikit catatan yang hendak saya kemukakan, lebih sebagai sumbangan pikiran dari seorang perantau awam asal Pariaman kepada Pemkot Pariaman. Catatan itu menyangkut tarikh hari jadi kota Pariaman yang ditetapkan tanggal 2 Juli 2002 dengan mengacu kepada tarikh resmi kota Pariaman menjadi kota otonom berdasarkan UU no. 12 Tahun 2002.
Tarikh itu paling tidak menimbulkan kesan bahwa kota Pariaman masih berusia seumur jagung alias masih muda belia. Padahal sejarah sudah mencatat bahwa Pariaman adalah salah satu entrepot (kota pelabuhan) tertua di pantai Barat Sumatra.
Banyak catatan orang Barat menunjukkan bahwa entrepot Pariaman sudah ada paling tidak sejak abad ke-16. Tiga sumber pertama (bronnen) penting yang mencatat entrepot Pariaman pada abad 16 dan 17 adalah:
Pertama, buku Suma Oriental of Tome Pires. Tome Pires (c. 1446-1524) adalah seorang pelaut yang bekerja untuk Kerajaan Portugis di Asia. Dalam bukunya itu, Pires antara lain mencatat bahwa telah ada lalu-lintas perdagangan antara India dengan beberapa kota pelabuhan di pantai barat Sumatera, yang terpenting di antaraanya adalah Pariaman, Tiku, dan Barus. Pires mencatat bahwa setiap tahun tidak kurang dari tiga kapal dagang dari Gujarat singgah di Pariaman untuk menjual tekstil yang dibarter dengan emas. Buku harian Tom Pires itu telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Armando Corteso tahun 1944.
Buku kedua adalah karya laborious Francois Valentijn, Oud and Niew Oost-Indien:… (Amsterdam: Joannes van Braam & Gerard Onder de Linden, 1724-1726). Dalam volume 5 bukunya (1724), Valentijn mencatat kota Pariaman dan juga menandainya dalam peta Pulau Sumatera yang dibuatnya.
Buku ketiga adalah karya Isaac Commelin, Begin ende Voorthgangh, van de Vereenighde Nederlantsche Oost-Indinshe Compagnie: … (Amsterdam: Jan Janz, 1646). Sebagaimana halnya Pires dan Valentijn, Commelin memberi catatan khusus mengenai entrepot Pariaman dalam deskripsinya mengenai Pulau Sumatera.
Pada masa sesudahnya (abad 18-19) tak kurang banyaknya catatan mengenai kota Pariaman yang ditulis oleh para pelaut dan pengelana Barat. Tentu kurang pada tempatnya untuk menyenaraikan seluruh catatan itu dalam esai yang pendek dengan ruang terbatas ini.
Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa Pariaman adalah kota tua dan bersejarah. Bangsa Barat pertama yang singgah di Pariaman adalah orang Portugis, sebagaimana dapat dikesan dari catatan Tome Pires. Setelah itu baru menyusul orang Belanda dan orang Inggris. Pada 21 November 1600 dua kapal Belanda yang dinakhodai Paulus van Caarden tiba di Pariaman, disusul kemudian oleh kapal-kapal Belanda lainnya. Sedangkan ekspedisi dagang Inggris pertama kali baru sampai di Pariaman pada 1685.
Bukti-bukti historis tentang kedatangan orang Barat di Pariaman, baik fisik maupun non fisik, dapat ditelusuri sampai kini. Sebagai contoh, kehadiran orang Portugis dan Inggris di Pariaman mengendap jauh ke lubuk memori kolektif masyarakat Pariaman lewat penggambaran tokoh Rajo Sipatokah (Portugis) dan Rajo Sianggarai (Inggris) yang besar dan bengis dalam Kaba Anggun Nan Tongga Magek Jabang, sebagaimana dicatat Nigel Philips dalam disertasinya Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra (1981) dan Hamka dalan bukunya Dari Perbendaharaan Lama (1982).
Setidaknya entrepot Pariaman sudah memiliki wilayah administratif yang jelas sejak awal abad ke-17. Menurut Valentijn dalam bukunya di atas (1724[V/Sumarta]:17), secara administratif kota Pariaman di Zaman VOC terbagi atas dua bagian: pertama, Kampung di Hulu yang dipimpin oleh Orang Kaya Raja Nanda (Urang Kayo Rajo Nando) yang dibantu oleh 5 penghulu; kedua, Kampung di Hilir atau Kampung Aceh (menyiratkan kuatnya pengaruh Aceh di Pariaman pada masa itu) yang meliputi 5 kampung: “Soengei Pampan”, “Soengei Rotang [Rotan] Batoe”, “Batang Koebon” (Batang Kabun/Kabung?), “Jatze” (maksudnya: Jati), “Gadja Mati” (Gajah Mati), dan “Pauw” (Pauh). Kampung di Hilir diperintah oleh Orang Kaya Sri Amar Bangsa Diraja yang dibantu pula oleh 5 penghulu.
Konsolidasi kekuatan VOC di Pariaman mempengaruhi pemerintahan lokal, hal yang terjadi di mana-mana pada masa itu. Penulis Belanda Van Basel mencatat bahwa sekitar 1730 Pariaman diperintah oleh 2 orang regent (berbeda dengan jabatan regent abad 19) dibantu oleh 10 penghulu. Kedua regent itu adalah Raja Ibrahim dan Maharaja Muda.
Banyak sumber yang mencatat susunan pemerintahan dan peta administratif kota Pariaman pada abad 17-19 (termasuk denah perkampungan-perkampungan penduduk yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang seperti Cina, India/Keling, dan Arab), misalnya dalam Beschrijving van Sumatras Westkust oleh VOC dan Dagregisters tentang VOC, juga laporan Residen Sumatras Westkust Emanuel Alexander Intveld Francis (1835-1874) Register de aantekeningen en verrigtingen van den Resident van Sumatras Westkust, op eene reis over Priaman, Tieko en de Danauw naar de Padangsche Bovenlanden (1836) sekedar menyebut beberapa sumber primer.
Catatan singkat ini dimaksudkan untuk sekedar memberi gambaran bahwa kota pelabuhan Pariaman sudah berusia setidaknya 5 abad. Karena Pariaman adalah kota tua dan bersejarah, maka sebaiknya sejarah kota ini ditulis ulang dengan lebih lengkap. Usia kota Pariaman yang sudah berbilang abad itu tentu menjadi aset wisata yang penting bagi Pemkot dan masyarakat Pariaman. Tinggal Pemkot Pariaman (melalui Dinas Pariwisata) mengolah dan menjabarkannya di lapangan, misalnya dengan memperkenalkannya melalui berbagai media disertai dengan tindakan-tindakan konkrit yang menunjukkan kepedulian Pemerintah terhadap artefak-artefak sejarah yang ada di kota ini.
Dalam pertemuan dengan Wakil Walikota Dr. Genius Umar Januari lalu, saya sudah mendiskusikan pemanfaatan aspek sejarah Kota Pariaman ini untuk meningkatkan pariwisata khususnya dan kesadaran sejarah masyarakat pada umumnya. Kalau boleh saya memberi usul: alangkah baiknya jika diadakan seminar untuk menggali sejarah kota Pariaman dengan melibatkan pakar-pakar sejarah seperti Prof. Gusti Asnan (UNAND) yang menulis disertasinya di Jerman tentang masa masa gemilang ekonomi pelayaran di pantai barat Sumatera pada abad ke-19, Dr. Wannofri Samry dan Dr. Anatona Gulo (juga dari UNAND), Prof. Mestika Zed (UNP), Prof. Tsuyoshi Kato (Jepang), dll. dengan mengikutsertakan para pengulu dan cerdik pandai di Pariaman. Dalam seminar itu coba ditentukan hari lahir kota Pariaman secara historis dengan mengemukakan data-data sejarah yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ini bukan berarti menganulir hari lahir Kota Otonom Pariaman 2 Juli 2002. Jika hari lahir historis kota Pariaman itu berhasil disepakati, nantinya akan ada dua hari bersejarah kota Pariaman: dalam perayaan hari jadi kota ini pada tahun-tahun mendatang disuarakan (dalam spanduk, udangan, dll) dua hari lahir kota Pariaman: 1) Hari ulang tahun Pariaman sebagai kota otonom (2 Juli 2002) dan hari lahirnya secara historis.
Demikian sedikit catatan dari saya untuk Pemkot dan DPRD kota Pariaman. Semoga bermanfaat.
Suryadi, perantau Pariaman, dosen/peneliti di Universitas Leiden, Belanda
* Artikel ini dimuat di harian Singgalang, Kamis, 10 Juli 2014
July 14, 2014
KITLV Leiden ditutup untuk selamanya
Pada 27 Juni 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en Vokenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) yang berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk selamanya. Dalam situs KITLV dikatakan bahwa penutupan secara resmi dilakukan tanggal 1 Juli 2014.
Penutupan KITLV itu telah mengagetkan para Indonesianis internasional. Banyak petisi dikirimkan kepada Pemerintah Belanda, namun tampaknya penguasa di Den Haag tetap pada keputusannya: mengakhiri hidup KITLV dengan alasan untuk menghemat pengeluaran pemerintah.
Termasyhur dan mendunia
KITLV adalah nama yang sudah begitu melekat dalam ingatan masyarakat akademis internasional yang mengkaji Indonesia. Lembaga ini juga telah memberikan kontribusi besar dalam menjadikan Universitas Leiden sebagai Mekahnya studi Indonesia.
Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satupun risalah akademis yang bermutu mengenai Indonesia, lebih-lebih lagi disertasi doktor, yang tidak mencantumkan ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden dalam halaman penghargaan (acknowledgement) dan kecil pula kemungkinan untuk tidak menemukan Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI), jurnal bertaraf internasional terbitan KITLV yang usianya sudah lebih 150 tahun, dalam senarai bibliografinya. Dengan kata lain, KITLV Leiden, karena kekayaan perpustakaanya yang berlimpah itu, wajib dikunjungi oleh para peneliti yang ingin menulis risalah akademis bermutu tentang Indonesia.
KITLV berdiri tahun 1851 di Delft atas inisiatif tiga orang intelektual Belanda: Menteri Wilayah Jajahan yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.C. Baud; Professor Studi Jawa di Delft dan Leiden, Taco Roorda; dan Direktur Akademi Kerajaan Belanda di Delft, Gerrit Simons. Penubuhan lembaga ini tidak lepas dari tujuan untuk mengembangkan studi tentang tanah, budaya, dan masyarakat jajahan (Hindia Belanda) di negara induknya (Belanda) untuk melanggengkan kekuasaan kolonial mereka di nusantara.
Maarten Kuitenbrouwer dalam bukunya Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond: KITLV - The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies, 1851 - 2011 (2014) membagi perjalanan sejarah KITLV menjadi lima fase: era rezim konservatif dan liberal (1851-1870); era imperialisme, orientalisme dan politik etis (1870-1914); masa mencelatnya kajian Indologi di Leiden mendekati akhir zaman kolonial (1914-1940); era dekolonisasi dan internasionalisasi (1940-1975; dan era kegiatan akademik postkolonial (1975 - [2014]). Dengan demikian, KITLV telah menjalani kehidupan dalam zaman kolonial dan postkolonial.
KITLV telah beberapa kali pindah kantor: dari Delft ke Den Haag tahun 1903, kemudian pindah ke Leiden tahun 1967. Sejak itulah nama Leiden melekat pada KITLV, sehingga seluruh dunia mengenalnya dengan nama KITLV Leiden. Oleh karena itu pula banyak orang mengira KITLV adalah bagian dari Universitas Leiden, padahal secara administratif lembaga ini berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada Pemerintah Kerajaan Belanda (melalui KNAW - Akademi Kerajaan Belanda untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).
Dalam usianya yang cukup panjang, KITLV telah berkembang pesat. Hal itu tidak hanya dapat dikesan dari meningkatnya jumlah pegawainya (staf umum dan peneliti) dari hanya beberapa orang saja pada tahun-tahun awal berdirinya menjadi sekitar 55 orang pada tahun 2014.
Pengembangan internal KITLV dilakukan pada tahun 1970-an. Selain Departemen Perpustakaan yang sudah lebih dulu ada, dibentuk 3 departemen baru: Departemen Dokumentasi Sejarah Indonesia, Departemen Dokumentasi Indonesia Modern, dan Departemen Karibia yang meneliti daerah-daerah bekas jajahan Belanda di Karibia (termasuk Suriname) dan memberi masukan untuk penambahan koleksi perpustakaannya yang terkait dengan wilayah tersebut. Selain itu ada pula KITLV Press yang mengurus penerbitan buku dan Jurnal BKI.
Setiap tahun Perpustakaan KITLV terus menambah koleksinya yang terkait dengan Asia Tenggara (dengan fokus Indonesia) dan Karibia, meliputi buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan majalah; materi visual (foto, sketsa, peta, atlas); dan audio visual (piringan hitam, kaset, CD, VCD). Sekitar 10.000 judul buku dibeli setiap tahun dari Indonesia yang dikoordinasikan oleh Kantor Cabang KITLV di Jakarta yang dibentuk tahun 1969. Koleksi Perpustakaan KITLV mencapai lebih sejuta judul (buku, jurnal, majalah, surat kabar), puluhan ribu foto, kartu pos, sketsa, gambar, peta dan atlas, dan ratusan piringan hitam, kaset, CD, dan VCD yang panjangnya lebih dari 10 km jika dijejer.
KITLV Press, bekerjasama dengan penerbit lain, telah menerbitkan tidak kurang dari 580 judul buku, sebagian besar di antaranya tentang Indonesia, yang meliputi bidang linguistik, antropologi, sejarah, hukum, dan umum.
Akhir hayat sebuah legenda
Akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa, Pemerintah Belanda memotong subsidi untuk museum dan melakukan merger berbagai lembaga kebudayaan untuk menghemat biaya. KITLV pun terkena dampaknya. Semula Pemerintah mengusulkan agar KITLV dipindahkan ke Amsterdam untuk disatukan dengan lembaga-lembaga lain yang berada di bawah otoritas KNAW. Akan tetapi para pegawai KITLV menolak karena mempertimbangkan nama KITLV yang sudah begitu menyatu dengan nama (Universitas) Leiden.
Akhirnya dipilih jalan kompromi: seluruh koleksi perpustakaan KITLV tetap berada di Leiden (Mare, 23 October 2013). Mulai 1 Juli 2014, setelah eksis selama 163 tahun, KITLV ditutup untuk selamanya. Seluruh koleksi perpustakaannya diserahkan ke Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden) yang letaknya hanya sekitar 30 meter di sebelahnya (di seberang kanal), sementara departemen penelitiannya akan terus eksis. KITLV Press diambil alih oleh Penerbit Brill yang tetap menerbitkan Jurnal BKI. Sedangkan KITLV-Jakarta akan beralih fungsi sebagai perkawilan Universitas Leiden di Indonesia.
Universitas Leiden cukup lega dengan keputusan itu. Bekas koleksi Perpustakaan KITLV makin menambah koleksi UB Leiden dan kian mengukuhkan eksistensinya sebagai perpustakaan yang terkaya di dunia mengenai Indonesia. Dengan demikian, diharapkan Universitas Leiden akan tetap menjadi pilihan paling menarik bagi mahasiswa internasional yang ingin melakukan studi tentang Indonesia dan Leiden tetap menjadi kota yang perlu dikunjungi oleh komunitas akademis internasional yang mengkaji Indonesia.
Namun, tentu saja ada yang hilang dengan ditutupnya KITLV: suasana keindonesiaan di ruang baca dan tamannya, tempat para mahasiswa dan peneliti internasional bertemu dengan rekan-rekan Indonesianya. Belum ada gambaran yang jelas bagaimana nantinya bekas koleksi perpsutakaan KITLV akan dikelola oleh UB Leiden. Mudah-mudahan UB Leiden akan menyedikan ruang Indonesia, sekecil apapun, sehingga arwah KITLV tetap terasa di sana.
Suryadi, dosen kajian Indonesia di Universitas Leiden, Belada
* Artikel ini dimuat di harian Kompas edisi siang, Sabtu, 12 Juli 2014
Suryadi's Blog
- Suryadi's profile
- 15 followers
