Suryadi's Blog, page 42
March 20, 2011
Minang Saisuak #42 - Datuak Batuah : Districtshoodf Tilatang IV Angkat (1873-1929)
yang kami tampilkan kali ini dalam rubrik 'Minang Saisuak' bernama Datoek Batoeah (selanjutnya: Datuak Batuah). Nama kecilnya adalah Si Djaa, bersuku Jambak, dan gelar adatnya adalah Datuak Bandaharo Panghulu Nan Baniniak. Datuak Batuah adalah Tuanku Kepala Distrik (Districtshoofd) kelas 1 Tilatang IV Angkat. Rupanya ia adalah seorang pengawai pribumi kolonial Belanda yang dianggap sukses menjalankan tugasnya.
Tapi tak tahulah kita bagaimana pandangan rakyat yang sebenarnya kepadanya pada masa hidupnya. Dulu kakeknya, Si Mulia, mendapat sebuah bintang perak karena telah berjasa kepada Belanda: tahun 1868-1870 Si Mulia telah mengamankan kerusuhan anti Belanda di Tilatang. Dua pemimpin pemberontakan itu, Tuanku Bandaharo di Koto Tangah dan Haji Abdullah Pakih di Gadut dibuang oleh Belanda ke luar Minangkabau. Sikap 'pro Belanda' keluarga Datuak Batuah agaknya dapat dipahami dengan melihat riwayat keluarga ini: tahun 1833 ninik Si Mulia dari pihak ibu, Si Elok Lenggang gelar Datuak Batuah, penghulu kepala dalam sukunya, mati dibunuh orang Paderi karena gigih mempertahankan adat Minangkabau.
Foto Datuak Batuah di atas dibuat lebih awal dari tahun 1929.
Monumen itu diresmikan tgl. 16 April 1930. Mungkin (sisa) monumen itu masih ada sekarang. Tapi barangkali juga sudah hapus, sebab segala yang berlabel kolonial di negeri ini terasa anyir dan cenderung disingkirkan.
SuryadiLeiden, Belanda. (Sumber foto: W. Groeneveld dkk., Riwajat kehidoepan Datoek Batoeah, Toeankoe Districtshoofd 1e Klas Tilatang IV Angkat. Fort de Kock: Drukkerij 'Agam', 1930: [1]).
Singgalang Minggu, 20 Maret 2011
March 14, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 19 - YANG JELEK AKHIRNYA DICAMPAKKAN
Ka rimbo pai baaka,
Tuan bacinto dalam ama,
151.
Ilang di pakan Kuraitaji,
Kononlah main nan tak jadi.
152.
Bakudo baganto tidak,
Basuo bakato tidak.
153.
Disangko tidak ka gubalo,
Disangko tidak ka manggilo.
154.
Pipik sinanduang makan padi,
Kironyo manyusah hati.
155.
Tanduak di mano dilagakan?
Lapuk di mano ditinggakan?
156.
Urek manjulai ka subarang,
Tabuang kain kasah jarang.
157.
Kundua mintak manjulai pulo,
Kok rarak pamulai pulo.
Bait 150 mengilatkan kadar cinta yang berbeda: si dia mencintai Anda dengan maksud-maksud (ama) tertentu, tapi Anda benar-benar mencintainya dari lubuk hati Anda yang paling dalam. Jika demikian halnya, mungkin hubungan kasih Anda dengan si dia tak akan bertahan lama. Kadarnya beda sih, tak seimbang. Dapat dibayangkan betapa sedih dan hancurnya hati Anda. Wajar. Teman biasa saja sulit dilupakan, apalagi jika 'main' (baca : hubungan kasih) yang tak jadi (bait 151). Kalau tersua di badan diri siapa saja kasih yang tak berbalas seimbang seperti itu, seperti direfleksikan dalam bait 153, memang menyesal rasanya jatuh cinta. Bukan kebahagiaan yang diperoleh, tapi justru membuat hati jadi remuk (bait 154). Tapi tak guna disesali, sudah terlanjur, waktu tak mungkin lagi dimundurkan.
Bait 152 menggambarkan dengan sangat elok laku sejoli yang sedang jatuh hati: kalau sedang berenggang diri rasanya ingin berjumpa; bila sudah jumpa, eh…keduanya diam seribu bahasa. Mulut terkunci, badan gemetar, walau ada yang terasa di hati tapi mulut tak mampu mengucapkan. Dalam keadaan seperti itu bahasa mata sajalah yang bagus untuk digunakan.
Bahasa kias yang pekat terhantar lagi dalam bait 155 dan 156: suara berhiba-hiba lagi, diskriminasi dalam cinta karena ukuran-ukuran duniawi jua (harta, tahta, dan ketampanan/kecantikan). Silakan pembaca Padang Eskpres yang kebetulan sedang jadi pecundang cinta mengembarkan diri dengan subjek lirik dalam kedua bait ini. Kain putiah (ganih) dan kasah jarang (dua jenis kain yang murah harganya) adalah perlambangan bagi si pencundang cinta; cindai panjang tujuah (cindai = sejenis kain halus yang amat mahal garganya) adalah perlambangan bagi si pememang yang berhasil membuat si dia berpaling hati (darimu). Pada akhirnya, kain putih dan kasah jarang, apalagi kalau sudah lapuk (baca: sudah dah mulai tua), akan ditinggalkan atau dibuang.
Bait terakhir (157) semakin menjelaskan bahwa memang si gadis agak rembang mato: bila mendekat cindai aluih dia lalu mengabaikanmu. Bila sudah bosan si cindai aluih dan pergi, dia bilang sayang lagi kepadamu. Giliran cindai aluih lain yang datang, dia merenggang lagi darimu. Repot. Jelas dirimu bisa makan hati. Bakal sering 'talak' dan 'rujuk' kayaknya.
Penulis ingatkan: jangan sampai cinta Anda terus dipermainkannya. Bilang saja kepadanya: 'Loe serius nggak nih ama gue?' Kalau masih terus dimainin begitu, sebagai pencundang lebih baik Anda beli tiket Gagak Hitam, APD, atau Gumarang dan segera bawa bungkusan pakaian Anda ke Terminal Lintas Andalas. (Mudah-mudahan terminal yang menjadi salah satu ikon kota Padang ini belum ditukar dengan guling sekarang). Lebih baik merantau (Cina) daripada membeli tali lima meter dan memudian mamatut-matut dahan kayu atau kusen rumah gadang, seperti laku Mangkutak bila tak berhasil menemukan uncang pitih Aciak-nya, si Sabai.
(bersambung minggu depan)
Suryadi, Minggu, 13 Maret 2011
March 13, 2011
Minang Saisuak #41 - Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar: Saudagar Besar Pariaman
adalah sebuah kota pelabuhan (entrepot) yang sudah tua usianya. Kota ini pernah melahirkan seorang pedagang besar pada abad ke-19, yaitu Moehammad Saleh Datoek Orang Kaya Besar, tokoh yang kita tampilkan dalam rubrik 'Minang Saisuak' kali ini.
Moehammad Saleh lahir tahun 1841 di Desa Pasir Baru, Pariaman. Ayahnya, Peto Rajo, juga seorang pedagang, adalah penduduk Pariaman asli. Namun, ayah Peto Rajo adalah keturunan seorang raja di Rigah, Rantau Duabelas, Aceh Barat. Tarus, Ibu Moehammad Saleh, berasal dari Guguak Ampek Koto, dekat Bukittinggi. Mungkin keluarga Tarus telah hijrah ke Pariaman akibat Perang Padri.
Kisah sukses Moehammad Saleh sebagai pedagang besar Pariaman pada paroh kedua abad ke-19 dapat kita ketahui berkat otobiografi yang ditulisnya sendiri pada tahun 1914 (tulisan Jawi). Pada tahun 1965 otobiografi itu di-Latin-kan oleh cucu beliau, S.M. Latif (lihat gambar sampulnya di atas). Tsuyoshi Kato yang merekonstruksi dunia perdagangan pantai di Rantau Pariaman (dalam JSEAS 39.4, 1980:729-52) berdasarkan otobiografi Moehammad Saleh itu mengatakan bahwa autobiografi itu adalah "sebuah dokumen yang berharga dalam banyak hal", karena ditulis oleh seorang yang bukan berpendidikan Barat dan nasionalis seperti kebanyakan otobiografi di Indonesia, tapi oleh seorang pedagang yang menjadi kaya berkat usahanya sendiri. Secara terperinci Moehammad Saleh menceritakan "kegiatannya sehari-hari sebagai pedagang yang mengandung nasihat praktis mengenai kehidupan pada umumnya dan perdagangan pada khususnya, daripada mengemukakan gagasan-gagasan tinggi dan proses kebangkitan politik" (Kato 1980:729).
Usaha Moehammad Saleh dirintis dari seorang penghela pukat di Pantai Pariaman sampai akhirnya menjadi seorang pedagang besar yang mempunyai beberapa perahu, pencalang dan kolek yang berlayar hingga sejauh Rigah di pantai Barat Aceh dan Bandar Sepuluh di selatan. Saleh mempunyai beberapa toko di Pariaman dan Padang Panjang. Anak buahnya di darat dan di laut mencapai puluhan orang. Bahan dagangannya berupa macam-macam hasil bumi. Moehammad Saleh juga dipercaya oleh Belanda untuk mendistribusikan garam ke darek.
Selama hidupnya Moehammad Saleh menikah sebanyak 14 kali. Gelar kebesarannya (bahasa Minang: 'Datuak Urang Kayo Basa') diperoleh pada bulan Oktober 1877, dalam upacara khitanan anak pertamanya, Moehammad Taib (lahir pada tgl. 6 Syaban 1281 H dari istrinya yang keduanya, Banoe Idah) (Saleh 1965:94). Kekayaan Moehammad Saleh dapat dikesan dari dua rumah besar (yang satu bernama rumah batu tinggi) milik keluarga besarnya di Pariaman, masing-masing tahun 1895 dan 1904. Jika kita ke Pariaman, rumah itu masih dapat dilihat sampai sekarang.
Moehammad Saleh meninggal di Pariaman tahun 1922 dalam usia 81 tahun. Sampai sekarang cerita mengenai Moehammad Saleh tetap hidup di kalangan generasi tua di kota Pariaman. Keturunannya telah menyebar kemana-mana: ada yang merantau dan juga ada yang tinggal di kampung menjadi pejabat daerah.
Suryadi
Minggu, 13 Maret 2011
Suryadi's Blog
- Suryadi's profile
- 15 followers
