Suryadi's Blog, page 38

July 20, 2011

Buku, Budaya Arsip, dan Kemajuan Bangsa

suryadi-buku-budaya-arsip-dan-kemajuan-bangsa



Sering orang bertanya mengapa untuk studi tentang negeri sendiri orang Indonesia harus pergi luar negeri? Mengapa untuk studi sejarah Indonesia, misalnya, kandidat doktor kita harus pergi ke Leiden, Belanda?




Jawaban dari pertanya itu jelas berkaitan dengan budaya buku dan arsip. Selama 350 tahun menjajah Indonesia, orang Belanda – para misionaris, pegawai Binnenlands Bestuur, guru, peneliti, petualang, jurutulis kapal, dll. – telah menulis dan mencatat banyak hal mengenai budaya dan masyarakat Indonesia. Mereka mendokumentasikan apa saja, mulai dari jenis-jenis semut dan cacing sampai kepada macam-macam permainan anak-anak, sejak dari aspek-aspek kebudayaan lokal Indonesia yang berwujud fisik seperti candi sampai kepada yang abstrak seperti mitos dan cerita rakyat. Semua itu dilakukan di atas kesadaran budaya keberaksaraan: bahwa sesuatu akan mudah terlupakan jika tidak dituliskan; bahwa sesuatu akan lebih mudah diingat dengan jalan membaca.



Leiden, kota kecil berpenduduk sekitar 100.000 jiwa di Belanda, tempat saya bermukim untuk sementara sekarang, adalah salah satu tempat penyimpanan banyak buku dan arsip mengenai Indonesia, termasuk Minangkabau. Di kalangan ilmuwan sosial dan humaniora, Leiden disebut sebagai 'the Mecca of Indonesian studies', lantaran kekayaan kepustakaan dari dua perpustakaan di kota itu yang penuh dengan berbagai buku, naskah, brosur, pamflet, majalah dan koran tua, sketsa, peta, surat-surat, foto, rekaman audio-visual dan lain sebagainya yang terkait dengan masa lalu dan masa kini Indonesia. Kedua perpustakaan itu adalah Universiteitsbiliootheek Leiden, universitas tertua di Belanda yang didirikan tahun 1575, dan di Koninklijk Instituut voor Taal,- Land- en Volkenkunde yang sering disingkat dengan KITLV Leiden.



Salah satu ciri penting bangsa yang maju adalah kuatnya tradisi membaca, mencatat dan menulis apapun, mengumpulkan benda-benda budaya, dan mengarsipkannya dengan rapi, bukan dari banyaknya penduduk dan pejabat publiknya yang mempunyai mobil dan BlackBerry. Belanda adalah sebuah contoh yang bagus dan perlu kita tiru. Tapi yang sering kita dengar hanyalah keluhan bahwa negeri sebesar dangkuang di Benua Eropa itu telah menghisap negeri kita dan (konon) telah mewariskan budaya korupsi kepada bangsa kita.



Bangsa Indonesia, baik rakyat maupun pemerintahnya, memiliki kesadaran arsip yang masih lemah. Jangankan untuk bilangan ratusan atau puluhan tahun ke belakang, arsip-arsip dalam bilangan belasan tahun yang lalu saja sering tidak lengkap dan tidak tertata dengan baik.



Tradisi pengarsipan kantor-kantor pemerintah sama lemahnya dengan instansi-instansi swasta. Misalnya, di mana kita bisa mendapatkan data arsip tentang jumlah penumpang dan bus ANS yang berangkat dari Padang ke Jakarta pada tahun 1991; edisi-edisi koran Haluan yang terbit sepanjang tahun 1952; jumlah kaset komersial yang diproduksi oleh Tanama Record dan Sinar Padang tahun 1978; dan jumlah wartel di Sumatra Barat Padang tahun 1987. Kondisinya tentu lebih parah lagi jika kita menyebut data-data yang lebih awal lagi.



Bangsa yang mempunya budaya arsip yang tinggi akan selalu menganggap penting hal-hal yang mungkin dipandang orang remeh temeh dan tak bermanfaat. Sebab apa saja sebenarnya bermanfaat untuk kepentingan ilmu. Contohnya, pengarsipan surat-surat pribadi yang dilakukan oleh seseorang. Orang Belanda, baik pejabat maupun orang biasa, selalu membuat duplikat surat-surat yang dikirimkannya kepada orang lain, dan selalu menyimpan surat-surat yang diterima dari orang lain. Biasanya surat-surat itu akan diserahkan oleh keluarga ke perpustakaan untuk disimpan jika orang itu sudah meninggal. Banyak pejabat publik di Belanda yang dengan sadar menyerahkan arsip-arsip (tertulis dan visual) tentang dirinya dan yang dimilikinya kepada perpustakaan. Mereka sadar betul bahwa bahan-bahan itu penting bagi ilmu pengetahuan di masa depan. Materi-materi seperti itu sulit kita temukan di perpustakaan-perpustakaan Indonesia. Apakah tradisi pengarsipan surat-surat pribadi itu ada dalam kesadaran kita? Silakan kita tanya sendiri diri kita masing-masing.



Kesadaran menulis para pejabat publik kita memang masih sangat rendah. Di zaman kolonial dulu, para Tuan Kontrolir (controleur) mencatat apa saja yang ada di lungkungan wilayah yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka mempunyai buku harian yang mencatat aktifitas mereka hari per hari. Di zaman sekarang, jangankan seorang wali nagari, seorang walikota atau gubernur saja jarang menulis memoar dan catatan harian. Begitu ia lengser dari jabatannya, generasi mendatang hanya dapat menangkap angin tentang perspektif pejabat publik itu selama periode pemerintahannya, karena ia tidak meninggalkan catatan tertulis apa pun untuk masyarakatnya.



Bangsa yang memiliki kesadaran arsip yang tinggi pasti menghargai buku dan dokumen budaya apapun, dan dengan demikian pasti mereka menghargai perpustakaan. Ini akan membawa konsekuensi kausalitas: bangsa itu akan suka membaca.



Kesadaran yang tinggi tentang kearsipan telah menyebabkan isi perpustakaan di negara-negara maju relatif berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan di negara berkembang yang sering lebih diidentikkan dengan buku saja. Sebagai ilustrasi, di Pepustakaan KITLV Leiden, misalnya, tersimpan eksemplar surat undangan palewaan gala datuak untuk almarhum Tan Malaka dan piringan-piringan hitam lagu-lagu Indonesia dari zaman 'mesin bicara'. Apakah di Perpustakaan Universitas Andalas, misalnya, kita dapat menemukan kaset-kaset dan VCD kaba dan lagu-lagu pop Minang dan edisi-edisi koran Mimbar Minang yang dulu pernah terbit di Padang?



Perpustakaan di sebuah wilayah di negara kita, khususnya perpustakaan-perpustakaan di perguruan tinggi, pertama-tama mestinya berfungsi menjadi 'bank' data sosial dan budaya setempat. Syukur apabila perpustakaan-perpustakaan tersebut dapat memperkaya koleksinya dengan buku-buku dan bahan tertulis lainnya tentang budaya dan masyarakat lain.



Kenyataannya sampai sekarang perpustakaan-perpustakaan umum dan perguruan tinggi kita masih belum mampu memenuhi fungsi itu. Perpustakaan-perpustakaan kita boleh dibilang miskin – miskin isi, miskin tenaga profesional untuk mengelolanya, meskipun sebenarnya tidak begitu miskin dalam hal dana. Namun, jika ditelusuri lebih ke hulu, akar kemiskinan perpustakaan-perpustakaan kita itu sebenarnya disebabkan oleh miskinnya visi negara tentang pencerdasan bangsa.



Kita tidak harus berpangku tangan saja menghadapi fenomena ini. Pihak-pihak swasta dan perorangan harus berupaya pula untuk meningkatkan kesadaran membaca dan menulis bangsa kita dan kesadaran untuk mengarsipkan segala sesuatu, baik yang terkait dengan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Gerakan wakaf buku yang digerakkan oleh Komunitas Padang Membaca (lih.: Dedy Arsya, 'Perpustakaan di Padang Masa Kolonial', Padang Ekspres, Minggu, 12-06-2011) adalah salah satu contoh yang patut ditiru dan disokong secara moral dan finansial.



Kelemahan banyak perpustakaan kita adalah pada miskinnya bibliografi sumber-sumber pertama (naskah, koran, majalah, pamflet, brosur, foto, materi-materi audio visual, dll.). Sebaliknya, kekayaan sumber-sumber pertama (bronnen) inilah yang menjadi ciri khas perpustakaan di negara-negara maju. Banyak sumber-sumber pertama tentang negeri, budaya dan bangsa kita sendiri justru tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di luar negeri dan, anehnya, malah sering sulit mendapatkannya di perpustakaan-perpustakaan dalam negeri sendiri. Demikianlah umpamanya arsip koran Haluan yang terlengkap sejak terbitnya di akhir tahun 1940-an justru tersimpan di KITLV Leiden (Belanda) dan Perpustakaan Cornell University (AS), bukan di Perpustakaan Universitas Andalas dan UNP di Padang. Coba kita saling membaui ujung telunjuk sekarang, di mana generasi sarjana kita 50 tahun yang akan datang dapat menemukan arsip lengkap Padang Ekspres dan koran-koran lainnya yang terbit di Sumatra Barat?



Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa kita harus cepat sadar mengenai kekeliruan yang sudah kita buat selama ini: mengabaikan sumber-sumber pertama dan data-data arsip lainnya dan tak berusaha menyimpannya di perpustakaan-perpustakaan di dalam negeri sendiri. Jika tidak juga sadar, jangan terus ngomel bahwa para calon doktor kita di masa depan harus tetap pergi ke luar negeri untuk mengumpulkan data untuk penulisan disertasi mereka.



Rasanya kita tidaklah rugi kalau mau meniru bagaimana perilaku bangsa-bangsa maju dalam menghargai dan merawat berbagai jenis dokumen, khususnya yang sudah klasik, baik berupa buku, surat-surat korespondensi pribadi dan resmi, schoolschriften, foto, sketsa dan lukisan, koran, brosur, pamflet, peta, dan lain sebagainya.



Perspektif para pustakawan kita juga harus diubah: mereka harus tahu bahwa untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia ilmiah, sebuah buku tebal yang baru diterbitkan oleh penerbit terkenal sama pentingnya dengan sebuah kaset pertunjukan salawaik dulang yang pernah diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di Padang sepuluh tahun yang lalu. Kedua jenis dokumen itu semestinya disimpan di perpustakaan-perpustakaan kita. Artinya, mulai sekarang perpustakaan kita harus lebih bervariasi isinya dari tidak hanya sekedar berisi buku-buku dan diktat-diktat kuliah bikinan para dosen.



Kesadaran akan pentingnya membaca, mendokumentasikan, dan mengarsipkan segala sesuatu berbanding lurus dengan tingkat kemajuan sebuah bangsa. Dan kemajuan sebuah bangsa juga tercermin dari sistem administrasi nasionalnya yang tertib, yang pada gilirannya juga akan melahirkan budaya arsip yang rapi.



Dimanakah posisi kita kini? Silakan masing-masing kita membatin, sebaiknya sambil memegang buku dan pena.



Suryadi, Penikmat perpustakaan dan dosen/peneliti di Leiden University Institut for Area Studies (LIAS), Belanda



** Esai untuk diskusi bertema "Buku; Gerakan Membaca dan Arsip (Sebuah Dialog menjadi Bangsa yang Membaca Arsip)" , diselenggarakan oleh Komunitas Padang Membaca, Museum Adityawarman, Padang, Minggu, 17 Juli 2011.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 20, 2011 01:39

July 18, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 37 - SURAT PENGGANTI BADAN DIRI


Setiap pantun Minangkabau selalu bisa diberi makna konotatif, meskipun secara denotatif jelas maksudnya. Baris-baris isi dalam pantun-pantun Minangkabau adalah arena dimana maksud disampaikan dengan cara memiuh kata sehingga orang selalu dituntut untuk paham dengan simbol. Silakan menikmati lagi dunia persilatan kata Minangkabau itu dalam sajian kami di nomor 37 ini.



292.


Urang Kabun mandikan anak,


Mandi batimbo galuak rotan,


Antah ka rimbo antah tidak,


Bari ampun di urang banyak,


Kami mambaco kitab setan,


Antah badoso antah tidak.




293.


Tibarau di umbuik gajah,


Batang nibuang paga tabeknyo,


Parahu Bajau dikutuak Allah,


Pelang nan lalu diambeknyo.



294.


Kuakkkan batang timbakau,


Nak tarang jalan ka aia,


Tulakkan parahu Bajau,


Nak sanang pelang balayia.



295.


Paku kawek ambo pilinkan,


Babungo pandan baduri,


Sugguah surek ambo kirimkan,


Kaganti nyao badan diri.



296.


Mulo ditabang batuang ini,


Rabah tasanda ka pambatang,


Mulo dikarang surek ini,


Rindu dandam bukan kapalang.



297.


Malin Deman manjalo todak,


Naiak sampan turun parahu,


Ado padoman kami tidak,


Angin bakisa kami tahu.



298.


Biduak pelang pangayuah Jambi,


Patah ditanduak kambiang hutan,


Nantikan ilang badan kami,


Mangko diganti jo nan bukan.



299.


Gudang masiu di Birugo,


Tampak nan dari Pasa Gadang,


Hati nan samak-samak ibo,


Badan bacarai samo gadang.



Bait 292 terkesan duniawi banget. Mengembang 'kitab setan' maksudnya mendendangkan atau menceritakan suatu cerita (kaba) yang bersifat duniawi dan pagan. Ada variasi pantun ini dalam teks sijobang (N.G. Phillips 1981:35): 'Ampun dimintak ka nan banyak / Ambo mangombang kitab setan / Indak basyorak basumillah / Ontah badoso ontah tido / Badan Mbo sajo manangguengkan.'



Pertunjukan sijobang, dengan tokoh-tokoh cerita separoh dewa, dianggap berorientasi duniawi. Dulu Kaum Padri tidak suka dengan kaba-kaba seperti ini. Mereka menggantinya dengan cerita-cerita yang lebih Islami, seperti Kaba Puti Balukih, dll. (Gerth van Wijk 1881) Itulah sebabnya mengapa teks kaba-kaba yang berorientasi duniawi itu disebut 'kitab setan'.



Bau laut dan kehidupan orang Bajau digunakan sebagai simbol dalam bait 293 dan 294. 'Perahu bajau' adalah simbol penghalang seseorang untuk mencapai tujuannya, yang dilambangkan dengan pelang (sejenis kapal) yang akan berlayar jauh. Secara antropologis dan historis, kedua bait ini memberi kesan bagaimana pandangan orang Minang terhadap orang Bajau. Tampaknya orang Bajau, yang memang hebat di laut, suka menghalangi, untuk tidak mengatakan merompak, perahu-perahu dagang yang lewat.



Bait 295 dan 296 merekam fungsi surat sebagai ganti diri. Tradisi surat-menyurat di kalangan orang Minangkabau – antara perantau dan ranah atau sebaliknya – muncul akibat berkembangan tradisi tulis (literacy) di kalangan orang Minangkabau, yang mula-mula diperkenalkan oleh Islam (seiring dengan menyebarnya penggunaan huruf Jawi) dan kemudian dilanjutkan dengan aksara Latin yang diperkenalkan oleh Belanda. Dalam kedua bait ini terefleksi fungsi surat penyampai rasa rindu – 'surat cinta' kata anak muda sekarang. Banyak adegan menulis dan berkirim surat kita temukan dalam karya-karya sastra Indonesia berlatar Minagkabau di akhir zaman kolonial.



Mengerutnya cinta dan akibat-akibat yang ditimbulkannya terekam secara indah sekaligus syahdu dalam bait 297-299. Ssangat mudah terbaca oleh Anda bahwa hatinya kepada Anda sudah berubah. Itulah maksud kiasan 'pakai pedoman [kompas] kami tidak, angin berkisar kami tahu' (297). Tapi Anda bermohon agar dibiarkan hilang (ditelan rantau) dulu (pergi jauh), baru kekasih Anda yang khianat itu memilih lelaki lain (298). Mungkin para pembaca setia 'Khazanah Pantun Minang', bila mengalami tragedi cinta seperti itu, juga akan bermohon hal yang sama. Soalnya pasti nggak tahan deh melihat dia digandeng cowok lain dan wira-wiri di depan Anda. Kalau samo gadang harus bercerai karena khianat cinta yang dilakukan salah seorang di antaranya, maka hati si pencundang tentu terhiba dan tersiksa (299). Malam bainai yang telah lama diimpikan rupanya tak pernah akan menjadi kenyataan.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 17 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 18, 2011 16:00

Budaya Arsip : Indonesia Lemah Ciptakan Budaya Arsip



- Dosen dan Peneliti di Leiden University Institute for Area Studies Suryadi menilai, Indonesia masih lemah dalam menciptakan budaya arsip. Padahal, bangsa yang memiliki kesadaran arsip yang tinggi pasti menghargai buku dan dokumen. Menurutnya, budaya arsip akan mendorong kemajuan suatu bangsa. Suryadi mencontohkan, Kota Leiden, Belanda, yang berpenduduk 100.000 jiwa memiliki perpustakaan yang menyimpan berbagai bentuk arsip, hingga arsip tentang Indonesia.


Ia melanjutkan, dua perpustakaan besar di Leiden, tepatnya Universitets Biliootheek Leiden dan Koninklijk Institut voor Taal- Land-en-Volkenkunde (KITLV), menyimpan berbagai buku, naskah, brosur, pamflet, majalah, koran tua, sketsa, peta, surat-surat, foto, rekaman audio visual, dan lainnya yang terkait dengan masa lalu dan masa kini Indonesia.




"Mereka sadar bahan-bahan itu penting bagi ilmu pengetahuan di masa depan," ujar Suryadi.


Di zaman kolonial, ia mencontohkan, para Tuan Kontrolir, guru, peneliti, petualang hingga juru tulis kapal, selalu mencatat apa saja yang ada di lingkungannya. "Makanya banyak kita temukan data-data Indonesia di Belanda, karena banyak hal mengenai budaya dan masyarakat Indonesia yang sudah mereka arsipkan," terangnya.


Perpustakaan PT jadi Bank Data


Seharusnya, perpustakaan khususnya di perguruan tinggi (PT) berfungsi menjadi bank data sosial dan budaya setempat. Akan tetapi, menurut Suryadi, perpustakaan-perpustakaan umum dan PT di Indonesia masih belum mampu memenuhi fungsi itu.


"Perspektif pustakawan harus diubah. Sebuah buku tebal yang baru diterbitkan, sama pentingnya dengan sebuah kaset pertunjukan yang pernah diproduksi perusahan besar di Padang sepuluh tahun yang lalu," tambah Suryadi.


Ia juga mengingatkan, kesadaran pentingnya membaca, mendokumentasikan dan mengarsipkan segala sesuatu berbanding lurus dengan tingkat kemajuan bangsa. "Kemajuan bangsa tercermin dari sistem administasi nasionalnya yang tertib. Rakyat dan pemerintahnya harus cepat menyadari itu," ujarnya.


Kompas, Senin 18 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 18, 2011 02:00

July 17, 2011

Minang Saisuak #58 - Makam Tua Syekh Burhanuddin di Ulakan

minang-saisuak-makam-tua-syekh-burhanuddin-di-ulakan




ULAKAN adalah sebuah nagari yang penting di Minangkabau karena di sanalah Syekh Burhanuddin, seorang ulama yang telah berperan penting alam pengembangan Islam di Minangkabau, menyiarkan Agama warisan Rasulullah itu sampai akhir hayatnya.



Rubrik 'Minang Saisuak' Singgalang Minggu kali ini menurunkan foto klasik makam Syekh Burhanuddin. Foto ini dibuat sekitar akhir 1930-an oleh J. Jongemans, controleur Belanda di Pariaman. Tamar Djaja dalam Pusaka Indonesia, Jilid I (1965:282-90) menulis bahwa Syekh Burhanudin lahir tahun 1646. Dan menurut Ph.S. van Ronkel dalam artikelnya "Het Heiligdom te Oelakan" (Tempat Keramat di Ulakan) (BKI 56,1914:284), ulama besar itu wafat di Ulakan tanggal 19/20 Juni 1704.



Hari wafat Syekh Burhanuddin, yang bertepatan dengan 15 Safar 1116 H, dijadikan awal kegiatan basapa setiap tahunnya di Ulakan. Ritual basapa diamalkan oleh pengikut tarekat Syattariyah di Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya (lihat: Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, 2008). Dulu para pengikut tarekat Syattariyah percaya, demikian Van Ronkel, bahwa jika tujuh kali pergi basapa ke ulakan sama nilainya dengan satu kali pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji. Tahun ini (2011) acara basapa baru saja selesai dilaksanakan, yaitu tgl.3-10 Februari lalu.


J. Jongemans (1939:305-6) menulis bahwa makam Syekh Burhanudin itu bentuknya sederhana saja, dikelilingi tembok, tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Di atas pusaranya ditaruh sebuah kulit kerang yang besar yang berisi air yang diminum oleh para peziarah, dan di dekatnya ada sebuah peti tempat para peziarah memasukkan uang sedekah. Van Ronkel mengatakan dalam acara basapa ratusan orang ratib dan membaca salawat di sekitar makam itu. Bunyi suara allahu-allahu! mendengung bagai lebah buncah dan dengungan itu bisa kedengaran puluhan meter jauhnya dari komplek makam itu.


Dalam foto di atas kelihatan daun puding yang merimbun dan menyejukkan makam Syekh Burhanuddin, yang seolah memberi bayangan betapa adem dan tenangnya arwah ulama besar itu di alam baka. Tahun lalu penulis berkunjung ke Ulakan dan melihat makam Syekh Burhanuddin yang sudah sangat berbeda: pohon pudingnya tidak begitu rimbun lagi dan juga sudah ada tambahan bangunan bermarmer di sana sini.



Pembaca Singgalang Minggu yang kebetulan ingin berziarah ke Ulakan mungkin dapat membawa guntingan foto tua ini. Silakan Anda membandingkan bentuk makam Syekh Burhanuddin yang diabadikan dalam foto ini kurang lebih 80 tahun yang lalu dengan bentuknya sekarang.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: J. Jongemans, "Het heiligdom te Oelakan", Onze Aarde 12de Jrg., 1939:305).



Singgalang, Minggu, 17 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 17, 2011 15:30

Indonesia Harus Belajar Banyak Mengelola Arsip Pada Belanda



Indonesia, menurut Suryadi, semestinya belajar banyak pada negara Belanda dalam hal perhatian dan pentingnya pengelolaan arsip yang baik. Sejauh ini, bangsa Indonesia masih memiliki kesadaran arsip yang lemah. Tradisi pengarsipan kantor-kantor pemerintah sama lemahnya dengan instansi-instansi swasta. Jangankan untuk bilangan ratusan tahun atau puluhan tahun ke belakang, arsip-arsip dalam bilangan belasan tahun yang lalu saja sering tidak lengkap dan tidak tertata dengan baik.



"Dua perpustakaan itu adalah Universiteitsbiliootheek Leiden, universitas tertua di Belanda yang didirikan tahun 1575, dan di Koninklijk Instituut voor Taal, -Land – en Volkenkunde yang sering disingkat dengan KITLV Leiden. Bangsa yang memiliki kesadaran arsip yang tinggi pasti menghargai buku dan dokumen budaya apapun. Kesadaran seperti itu menyebabkan isi perpustakaan di negara-negara maju relatif berbeda dengan perpustakaan di negara berkembang yang sering lebih diidentikkan dengan buku saja," ujarnya.


Lebih lanjut, Suryadi mengatakan, kelemahan banyak perpustakaan kita adalah miskinnya bibliografi sumber-sumber pertama (naskah, koran, majalah, pamflet, brosur, foto, materi-materi audio visual, dan lain-lain). Sebaliknya, kekayaan sumber-sumber pertama seperti itulah yang menjadi kekuatan perpustakaan-perpustakaan di negara maju. Banyak sumber-sumber pertama tentang negeri, budaya, dan bangsa kita sendiri justru tersimpan dengan baik di perpustakaan luar negeri. Anehnya, hal itu justru sering sulit mendapatkannya di perpustakaan-perpustakaan dalam negeri.



"Kita juga punya visi untuk menghadirkan perpustakaan-perpustakaan hingga ke tingkat kelurahan melalui kerjasama dengan berbagai kalangan. Untuk saat ini, kita akan menyalurkan buku-buku yang disumbangkan anggota Padang Membaca ke berbagai perpustakaan, termasuk perpustakaan kecil yang digagas oleh kelompok masyarakat, baik di tingkat kecamatan, kelurahan, sampai perpustakaan mesjid dan musala," kata dia.  (yon/rdf)


Yonda Sisko – detikNews, Minggu, 17/07/2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 17, 2011 02:03

Komunitas Padang Membaca Gelar Diskusi




- Komunitas Padang Membaca, Minggu (17/7/2011) menggelar diskusi bertema Buku, Gerakan Membaca, dan Budaya Arsip di Gedung Museum Adhityawarman, Kota Padang.


Diskusi itu menghadirkan pembicara tunggal Suryadi, seorang dosen dan peneliti di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS) di Leiden, Belanda. Diskusi yang dipandu salah seorang budayawan Sumbar, Nasrul Azwar itu dihadiri puluhan orang yang berminat di bidang tersebut.








"Di dalamnya termasuk kaset dan piringan hitam. Hal yang juga menarik di Belanda ialah, ketika orang itu sudah meninggal, arsipnya diberikan kepada perpustakaan. Orang-orang, termasuk anak-anak juga menulis di buku harian. Ini kan semacam akar, basis kepada anak-anak untuk mu lai menulis dan terus menulis tentang apapun," ujar Suryadi.


Ia mengatakan, jika dikaitkan dengan Komunitas Padang Padang Membaca, kebiasaan menulis pada gilirannya akan muncul. Ketua Komunitas Padang Membaca, Yusrizal KW mengatakan, gerakan yang digagasn ya disebabkan nihilnya kepedulian pemerintah terhadap mirisnya keadaan perpustakaan dan minimnya keinginan masyarakat untuk membaca.


Kompas, Senin 17 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 17, 2011 01:30

July 11, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 36 - RAMBUT PANJANG PENGGANTI TUDUNG


Ding Choo Ming dalam artikelnya "That mighty pantun river and its tributaries" (Wacana 12.1, 2007:115-130) menunjukkan bahwa setiap etnis di Nusantara memiliki ekspresi sastra lisan yang disebut pantun. Berbeda dengan syair yang menggunakan medium bahasa Melayu (lingua franca Nusantara), pantun ditemukan dalam berbagai bahasa daerah. Oleh sebab itu, pantun mestilah mengandung unsur inti budaya sebuah etnis. Dengan demikian, pantun Minangkabau, misalnya, secara intrinsik jelas berbeda dengan pantun-pantun yang ditemukan dalam bahasa daerah lainnya di Nusantara. Di nomor ini kita lanjutkan menikmati estetika pantun-pantun Minangkabau yang manis bagai air tebu talang itu.



284.


Mudiak'an labuah nan gadang,


Manjinjiang sarang tampuo,


Geraikan rambuik nan panjang,


Katuduang kito baduo.



285.


Kaluak paku kulai-kulaikan,


Kasiak badarai di kuali,


Paluak, pangku, buai-buaikan,


Kasiah kacarai anyo lai.




286.


Badarai si kayu arang,


Salawaik manjamua baju,


Bacarai kito sakarang,


Kok hajat kito batamu.



287.


Ukiri bana saruang Padang,


Simpai dahulu mangko puluik,


Pikiri bana duduak surang,


Raso ka kanai ganjua suruik.



288.


Ayam kinantan babanang suto,


Mari dibulang di nan tinggi,


Adiak tadanga rambang mato,


Di mano tampaik hati kini?



289.


Dari Salasa ka Rabaa,


Singgah ka pakan 'rang Pitalah,


Kabek arek bapantang tangga,


Antah kok simpai nan barulah.



290.


Gaduang di baliak limau puruik,


Tampak nan dari Sungai Landai ,


Ka mano Kanduang ka manuruik?


Nyatolah kami dagang sansai.



291.


Pandai-pandai manggulai taruang,


Rancah jo daun tapak leman,


Pandai-pandai bamain taduang,


Anaknyo ambiak ka pamenan.



Terasa adanya erotisme lembut dalam bait 284: rambut si dia yang mengekor kuda bisa berfungsi sebagai tudung bila jalan berdua, paling tidak cukup untuk melindungi dari terik sinar matahari. Rambut panjang memang 'mahkota' klasik bagi wanita. Dulu ia dirawat dengan daun lundang, kini dengan shampo Sunsilk.



Bait 285, yang juga mengandung erotisme tipis, merekam suasana menjelang perpisahan sejoli yang sedang berkasih sayang. Rupanya si dia jadi juga pergi merantau, karena karcis NPM sudah di tangan. Tapi berpisah toh bukan berarti bercerai: 'Bercerai [berpisah] kita sekarang, kalau masih ada hajat, tentu kita masih akan bertemu lagi', demikian kata si aku lirik dalam bait 286.



'Ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih', begitu bunyi satu ungkapan Minangkabau yang refleksinya dapat dikesan dalam bait 287. Anda sudah terlanjur bersangkut hati dengan si dia. Tapi tampaknya tidak ada kecocokan jiwa yang mungkin disebabkan oleh berbagai faktor. Oleh sebab itu, lebih baik Anda mundur (ganjua suruik) sebelum terlanjur melangkah lebih jauh. Masalah jadi timbul mungkin karena dia sudah rambang mato pula. Sudah kedengaran sas-sus bahwa si dia sudah tergoda pula oleh 'sedan' yang lebih berkilat. 'Lagi gandengan dengan siapa dirimu sekarang (Dimano tampaik hati kini)?' tanya si aku lirik dalam bait 288.



Bait 289 mengandung kata kiasan yang sangat elok : 'ikatan erat mustahil akan lepas, kecuali simpai yang berulah'. Simpai adalah ikatan dari rotan yang biasanya digunakan untuk membuat sapu lidi. Bait ini mengiaskan suatu ikatan batin, bisa juga berarti ikatan cinta, yang kuat. Tak ada kekuatan luar yang dapat memisahkan sejoli yang sudah berjanji erat sehidup semati itu, kecuali kalau salah seorang di antara mereka yang memungkiri janjinya sendiri. Begitulah siratan makna dalam bait ini.



Ada suara melankolis si miskin lagi dalam bait 290. 'Janganlah ikut dengan saya, sebab saya dagang miskin', katanya. Cukup banyak suara nelangsa karena faktor ekonomi ini ditemukan dalam pantun-pantun Minang. Mungkin benar kata orang bahwa kebudayaan Minangkabau sangat kuat sifat materialistisnya. Kesuksesan seseorang cenderung diukur dari kekayaan mereka, dari harta mereka, apalagi jika dikaitkan dengan tradisi merantau, yang tujuannya cenderung dimaknai sebagai jalan untuk mengumpulkan harta agar menjadi kaya.



Bait terakhir (291) mengiaskan cara mendekati seorang yang sangar (diibaratkan di sini seperti ayam taduang). Caranya ialah dengan menjadikan anaknya teman. Tapi bait ini juga bermakna taktik untuk mendekati seorang gadis yang bapaknya killer dengan kumis melintang. Barangkali ada pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' yang pernah menghadapi situasi yang penuh 'tantangan' ini.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 10 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 11, 2011 16:00

July 10, 2011

Minang Saisuak #57 - Penjara Muara Padang

minang-saisuak-penjara-muara-padang




ENTAH kapan institusi penjara mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia. Barangkali tradisi memenjarakan orang diadopsi dari budaya orang Eropa yang suka menjajah bangsa-bangsa lain dan memenjarakan anggota masyarakat yang mereka jajah yang menolak bekerjasama dengan mereka. Belum ditemukan bukti sejarah bahwa di Minangkabau dikenal penjara sebelum orang Eropa datang ke wilayah ini. Biasanya dalam adat Minangkabau, kalau ada orang yang bersalah, hukumannya adalah 'dibuang sepanjang adat'. Dalam tradisi etnis-etnis lain di Asia, ada bentuk hukuman lain: misalnya, seorang yang melakukan kesalahan yang berat diikat di sebuah lapangan dan siapa saja yang lewat boleh melemparnya dengan tahi atau kerikil.



Rubrik 'Minang Saisuak'Singgalang Minggu kali ini menyajikan kepada pembaca setianya foto klasik Penjara Padang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Lembaga Pemasyarakatan (LP) Muara Padang. Foto ini (9 x 14 cm.) aslinya adalah berupa prentbriefkaart (kartu pos) yang diproduksi oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang. Toko ini termasuk salah satu 'toserba' besar di Padang pada awal abad ke-20, letaknya di 'Tanah Lapang Alang Lawas'. Toko Tuinenburg dimiliki oleh keluarga J. Boon yang dari namanya dapat diduga berasal dari Belanda. Ada berbagai macam produk impor yang dijual di toko ini, termasuk sepeda, radio, dan 'mesin bicara' (gramophone) (lihat: Oetoesan Melajoe, 31 Maret 1916).



Di bagian bawah kartu pos ini tertulis: 'Gevangenis, Padang'(Penjara [di] Padang). Tidak ada keterangan tarikh pembuatan foto ini. Tapi dapat diduga mungkin kartu pos ini diproduksi sekitar dekade-dekade pertama abad ke-20. Jalan di depan penjara itu kelihatan masih sepi dan tidak selebar sekarang. Pohon-pohon di seberang jalan itu juga kelihatan masih ramai dan rimbun, yang sekarang sudah diselingi oleh warung-warung penjual makanan dan trotoar tepi pantai. Namun demikian, bentuk asli bangunan penjara ini tampaknya relatif masih bertahan sampai sekarang, walaupun di sana sini sudah direnovasi.



Belum diperoleh data akurat kapan persisinya LP Muara Padang mulai dibangun oleh Belanda. Yang jelas, dalam laporan-laporan Belanda tentang Padang lama, misalnya tulisan E. Netsher, "Padang in het laast de XVIII de eeuw'(Padang di akhir abad ke-18) dalam VBG 41.2 (1881:i-122), LP Muara ini sudah disebut-sebut juga. Pembangunan penjara ini jelas terkait dengan kepentingan konsolidasi politik Belanda untuk menguasai Minangkabau sejak akhir abad ke-17.



Banyak putra Minangkabau yang anti pejajahan telah merasakan dinginnya kamar 'Hotel Prodeo' Muara ini. Ada yang meringkuk di dalamnya bertahun-tahun, ada yang hanya menjadikannya tempat 'transit' untuk kemudian dibawa oleh Belanda ke tempat pengasingan yang jauh. Dan ada yang menghasilkan tulisan selama mereka ditahan di penjaran ini, antara lain Ahmat Marzuki, seorang pahlawan Pemberontakan Pajak di Kamang (1908). Selama ditahan di penjara ini, ia menulis Syair Perang Kamang, yang telah mencatat kejadian tragis itu dari perspektif pelakunya sendiri.



Tapi kini banyak pula si 'cerdik buruk' Minang yang menghuni 'hotel berduri' peninggalan Belanda ini. Rasanya tempat ini cocok bagi mereka yang mangauik kepeng rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarga sendiri.



LP Muara Padang jelas merupakan salah satu bangunan cagar budaya kota ini. Mungkin kita bisa pesan kepada Bapak Walikota: semoga LP Muara jangan sampai tertukar dengan 'guling', seperti nasib banyak bangunan tua lainnya di Padang. Mari kita jaga dan kita bela bangunan-bangunan tua di kota tercinta kita ini.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).


Singgalang, Minggu, 10 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 10, 2011 15:30

July 4, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 35 - AUR BULAT PAGARNYA DURI


Muatan lokal yang tersedia dalam kurikulum pengajaran dasar dan menengah di Sumatra Barat tentu dapat dimanfaatkan pula untuk mengajarkan genre sastra Minangkabau seperti pantun. Guru yang pintar akan dapat membuat 'kontes' berbalas pantun di kelas. Atau lomba berbalas pantun seperti yang digagas oleh panitia Festival Sitti Nurbaya (lihat: Padang Ekspres, 26-6-2011). Melalui kegiatan-kegiatan seperti itu, lambat tapi pasti, kita bisa menanamkan lagi rasa dan adab berbahasa Minangkabau kepada anak-anak muda kita yang sekarang makin mengalami ketirisan bahasa ibu yang makin parah. Mari kita pikirkan hal itu sambil menikmati sajian pantun klasik Minangkanau di nomor ini.



276.


Tajongkek batang tabanam,


Tabanam urek kalimomyo,


Bulan sakik matoari damam,


Bintang ka mano mintak cahayo?



277.


Bahujan di tantang Padang,


Bataduah di bangka kayu,


Manangih batarang -tarang,


Bapasan ka urang lalu.




278.


Tak padi parupuak alah,


Indak pandan ka bansa lai,


Tak kini isuak kan alah,


Tak badan manyasa lai.



279.


Tantangan mano Bukik Sumpu?


Di tantang Bukik Galogandang,


Tamanuang duduak di pintu,


Nan kuniang tak kunjuang ilang.



280.


Tanggiri lawan jo pari,


Pari disemba iyu parang,


Dari sahari ka sahari,


Dandam birahi batambah gadang.



281.


Tinggi bukik jalan ka darek,


Padam palito dari kapeh,


Sakiro buliah diganggam arek,


Padam nyao mangko ka lapeh.



282.


Paranglah Batak jo Mantawai,


Sinan Ulando banyak mati,


Sungguah talatak jan diawai,


Aua bulek paganyo duri.



283.


Si Dauik anak 'rang Padang,


Badeta batiak barendo,


Di lauik bungo nan kambang,


Di darek kumbang nan gilo.



Sebuah hiperbol yang menggambarkan duka yang dirasakan seseorang karena orang lain yang dia cintai juga berduka terefleksi dalam bait 276. Dulu, jika permaisuri (simbol: bulan) dan raja (simbol: matahari) berduka (demam), maka rakyat banyak (simbol: bintang-bintang) juga ikut berduka, suasana negeri jadi suram. Jika dipakaikan dalam konteks sekarang: orang-orang andalan Anda, tempat anda menggantungkan hidup, dalam keadaan berduka. Maka tentu saja hal itu juga akan melemahkan persendian Anda.



Rupanya rasa kangen sudah memecah pembuluh darah. Sehingga tak segan-segan lagi berpesan kepada orang yang lewat (urang lalu) dan sudah tak malu menangis di depan orang banyak (bait 277). Bait ini cukup rancak gaya bahasanya, mengena di hati: 'Menangis berterus terang, berpesan di orang lalu.'



Tak ada yang menginginkan perpisahan, tapi toh akhirnya terjadi juga. Walaupun begitu tak perlu ada sesal di hati, karena dulu sudah merasakan kasih sayangnya. Tapi, tetap saja gadis berkulit kuning itu tertinggal dalam ingatan, sering membuat diri Anda terkulai di pintu bila ingat kepadanya. Memang susah melupakan masa lalu yang indah, membuat diri kadang terseok menghadapi masa depan. Demikian refleksi bait 278 dan 279.



Kasih sayang yang makin bertambah karena bagaluik asal mulanya, terefleksi dalam bait 280. Harapan akan abadi bersamanya diungkapkan dengan hiperbol yang indah dalam bait 281: sentana cinta kasihnya boleh digenggam erat, maka sampai mati kasih sayangnya itu tidak akan Anda lepaskan (padam nyao mangko ka lapeh). Ada nada gombal memang, tapi masih dalam batas kewajaran.



Etika berpacaran masa saisuak, yang tentu saja sangat bagus kalau masih dipraktekkan oleh sejoli yang sedang dimabuk asmara di masa kini, direfleksikan dalam kiasan pada bait 282: 'sunggupun terletak jangan dipegang'. Tapi dulu memang ada larangan karena bila sembarang kaca, Anda akan menghadapi konsekuensi besar. Paling tidak, Anda akan berhadapan dengan mamak (-mamak) dan saudara-saudara laki-laki si gadis. Kalau Anda berani manggaduah si Sabai, jelas Mangkutak segera akan bertindak. Sebab gadis-gadis diproteksi oleh keluarga matrilinealnya: lubuk berbatu, ijuk ber-saga (aua bulek paganyo duri).



Kiasan pada bait akhir sangat rancak: kata bungo dan kumbang jelas simbol untuk gadis dan bujang. 'Di laut bunga yang mekar, di darat kumbang yang gila.' Ini jelas gambaran efek dari kecantikan seorang kembang desa di suatu nagari yang bikin hati banyak pemuda dari berbagai tempat mabuk kepayang. Saya yakin di antara pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' pasti ada yang pernah mengidap 'dekam kuro' yang tak bisa disembukan oleh perasan air buah mingkudu ini. Dan siapa tahu Dr. Agusli Taher, pencipta 'Kasiak Tujuah Muaro' itu, pernah juga mengalaminya.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 3 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 04, 2011 16:00

July 3, 2011

Minang Saisuak #56 - Dja Endar Moeda dan Pers Pribumi di Padang Zaman Kolonial

minang-saisuak-dja-endar-moeda-dan-pers-pribumi-di-padang-zaman-kolonial




Jika kita menapaktilasi sejarah hadirnya pers pribumi di Sumatra, khususnya di Padang, maka jelas nama Dja Endar Moeda (DjEM) alias Haji Moehamad Saleh, tokoh kita minggu ini, haram untuk dilewatkan.



DjEM lahir di Padang Sidempuan tahun 1861; menempuh Sekolah Pendidikan Guru di sana (tamat 1884); menjadi asisten guru di Air Bangis, lalu dipromosikan menjadi guru kepala pribumi di Batahan; sambil mengajar menjadi koresponden Soeloeh Pengajar (diterbit di Probolinggo mulai 1887); kemudian dipindahkan ke Singkil; pada tahun 1892 pergi ke Mekah; balik dari Mekah 1893; memutuskan tinggal di Padang; mendirikan sekolah partikulir dan pensiun sebagai guru pemerintah. Di Padang DjEM diterima sebagai editor koran Pertja Barat (pendiri: Lie Bian Goan, 1894).



Tahun 1900 DjEM menerbitkan berkala Tapian na Oeli (bahasa Batak) dan Insulinde di Padang. Tahun 1905 dia mengambil alih kepemilikan Pertja Barat dan percetakan Snelpersdrukkerij Insulinde dari Lie Bian Goan.



DjEM adalah seorang pribumi pintar yang terkemuka di Padang, punya kepribadian yang hangat dan punya banyak teman, baik dari kalangan pribumi maupun orang Belanda. Bahasa Belandanya lancar. Ii sempat menjadi penerjemah waktu berada di kapal dalam perjalanan haji dari Padang ke Jeddah.



Tahun 1906 DjEM menerbitkan Pemberita Atjeh di Kutaraja. Dua tahun kemudian ia menerbitkan lagi Warta Berita di Padang (sudah pernah terbit sebelumnya) dan berkala Minangkabau. Namun ketiga media itu tidak berumur panjang. Pemberita Atjeh pun berhenti terbit tahun 1909 karena mendapat saingan berat dari Sinar Atjeh (terbit 1907; dieditor: Liem Soen What).



DjEM mencoba peruntungan di Medan dengan menerbitkan Sjarikat Tapanuli dan Pewarta Deli (terbit 1910). Namun koran-korannya di Medan tak jalan karena persoalan SDM dan juga karena konflik dengan rekan bisnisnya. DjEM mengehentikan bisnis persnya dari Medan dan mencoba lagi peruntungan di Aceh dengan menerbitkan Bintang Atjeh (edisi perdana: Juni 1911). Tapi koran itu hanya bertahan sampai tahun 1913 (lih.: Ahmat B. Adam: http://www.mandailing.org/Eng/djaendar.h…).



Melalui koran-korannya DjEM menggugah kaum pribumi agar bergiat meraih kemajuan, juga untuk kaum perempuan. Sampai medio 1911 Pertja Barat masih terbit tiga kali seminggu. Bulan Juli 1911 DjEM terkena ranjau pers kolonial (tampaknya terkait dengan kritiknya terhadap para pegawai pribumi priyayi yang merugikan rakyat). Bersama saudaranya, Dja Endar Bongsoe, DjEM mendirikan persatuan wartawan pribumi.



Karena tertusuk ranjau pers kolonial, pimpinan Pertja Barat diambil alih oleh Dja Endar Bongsoe. Namun pada 11 Agustus 1911 Dja Endar Bongsoe mendadak meninggal. Kemudian Redaksi Pertja Barat dipegang oleh anak DjEM, Kamaruddin. Tapi rupanya Kamaruddin tidak secakap ayah dan pamannya. Tahun 1912, setelah bertahan hampir 2 dekade, Pertja Barat akhirnya berhenti terbit.



DjEM adalah seorang perintis pers pribumi di Sumatra, bahkan mungkin di Hindia Belanda. Minatnya sangat besar pada buku, media yang menurutnya penting untuk memajukan kaum pribumi sebangsanya. Penerbit dan toko Snelpersdrukkerij Insulinde, selain digunakan untuk mencetak koran-korannya, juga digunakan untuk mencetak buku-buku, baik karangannya sendiri maupun karangan orang lain.



Belum diketahui kapan persisnya DjEM meninggal. Namun, berdasarkan informasi fragmentaris dari beberapa surat kabar pribumi yang saya baca, besar kemungkinan tokoh telah memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan pers pribumi di Hindia Belanda itu ia meninggal sebelum 1920.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Bintang Hindia Thn. 1, No.15, 25 Juli 1903: 273).



Singgalang, Minggu, 3 Juli 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 03, 2011 16:30

Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.