Suryadi's Blog, page 39
June 27, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 34 - MATA DIADU BERPANDANGAN
Mengapa orang Minangkabau dulu menyampaikan pesan atau maksud dengan kiasan? Mengapa kini orang alergi (atau mungkin tak pandai lagi) berbicara dengan kata berkias? Apa efeknya terhadap pemertahanan inti kebudayaan Minangkabau sendiri? Itulah yang antara lain mungkin terkilat dalam pikiran ketika kita membaca bait demi bait pantun klasik Minangkabau, yang kita lanjutkan lagi menikmatinya di nomor ini.
268.
Ditabang batuang limo-anam,
Sutan Maruhun diraoknyo,
Tandonyo buruang ka jahanam,
Bungo baracun disasoknyo.
269.
Bakudo-kudo umaik Nabi,
Bakudo lalu ke Tambangan,
Badoso manahan hati,
Mato diadu bapandangan.
270.
Ramilah balai Pakandangan,
Karuntuang balah parampek,
Kok rareh bungo balarangan,
Baruntuang sajo nan mandapek.
271.
Kok tau barambuik panjang,
Bao balimau paneh hari,
Kok tau bakasiah sayang,
Labiah bak makan tangah hari.
272.
Kok mandi mandi bak kini,
Nak segeh tagak di batu,
Sikujua balah paduo,
Kok mati mati bak kini,
Elok lakeh pasankan aku,
Nak sakubua kito baduo.
273.
Duo tigo rumah di Padang,
Namonyo rumah tukang basi,
Duo tigo bungo nan kambang,
Namonyo bungo pandak kaki.
274.
Kapa Ulando nak ka Poncan,
Patah kamudi ditahankan,
Pintak jo pinto bakeh Tuan,
Adiak nan jangan dilupokan.
275.
Antaro Kaliang jo Malako,
Di sinan bamban ditugakan,
Antaro kaniang dengan mato,
Di sinan dandam ditinggakan.
Lelaki (mungkin hidung belang) yang main hantam saja, yang suka mencari 'bunga beracun' di tempat-tempat pelesiran, itulah kiasan yang disampaikan dalam bait 268. Ini mungkin kiasan pula untuk 'bujang palala'. Jelas lelaki seperti itu tidak baik (buruang jahanam).
Bait 269 menyuguhkan ungkapan yang indah: jangan menahan kehendak hati untuk memandang si dia karena itu artinya Anda bersalah (badoso) kepada hati Anda sendiri, menyiksa diri Anda sendiri. Jadi, kalau hati ingin memandang si dia, pandanglah dirinya dari dekat, asal ingat saja ungkapan: 'dilihat boleh dipegang jangan'.
Bila Anda berhasil merebut hati gadis cantik kembang desa yang selama ini diproteksi oleh keluarganya, maka jelas Anda adalah orang yang sangat beruntung. Itulah kiasan yang dimunculkan dalam bait 270. Oleh sebab itu, mungkin Anda perlu merawat hatinya, memanjakannya. Berikan jantung hati Anda kepadanya dan rawatlah kasih sayang yang dia berikan kepada Anda. Dengan begitu, Anda akan merasa senang, lebih senang dari perasaan enak ketika perut kenyang sambil duduk maunjua dan mengipas peluh setelah makan tengah hari di Lubuak Idai dengan kepala ikan capa dan gulai jering. Hiperbol pada bait 271 ini terasa sangat mengena di hati.
Bait 272 mengandung hiperbol tentang kesetiaan lagi. Si dia tak tabah ditinggal mati oleh pasangannya, tak tahan hidup di dunia ini sendiri tanpa dirinya. Ini tentu sindiran kepada duda yang kebelet kawin lagi setelah seminggu istrinya meninggal.
'Bungo pandak kaki' disebut lagi dalam bait 273, yang juga telah disebut dalam beberapa bait terdahulu. Nama Latinnya belum jelas benar oleh saya. Tapi bunga ini tampaknya digunakan untuk menyimbolkan gadis/perempuan yang kurang diidamkan.
Ada permohonan dari si dia agar dia jangan dilupakan (bait 274), sebuah permintaan yang wajar. Toh dia tidak minta 'tanduk kuda' kepada Anda. Rupanya Anda menjawabnya dengan kalimat hiperbol yang sangat romantis dalam bait terakhir : 'Antara kening dengan mata, di sana rindu (dandam) ditinggalkan.' Ungkapan indah bahasa sastra Minangkabau yang khas tentang cinta yang badaceh dan wangi itu jelas tak akan tergantikan oleh kalimat 'Saya sayang banget sama kamu' atau 'Ik hou van je' atau 'Uda cinto ka Adiak' (seperti sering kita dengar dalam lirik lagu-lagu pop Minang kontemporer yang kedengaran agak mantiak) atau 'Ich liebe dich', bahkan 'I love you' sekalipun. Tak percaya ? Tanyalah penulis novel Bako dan Dendang, Darman Moenir.
(bersambung minggu depan)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 26 Juni 2011
June 26, 2011
Minang Saisuak #55 - Salaju Sampan di Padang
Sudah beberapa tahun belakangan ini di Padang diselenggarakan lomba perahu naga yang digagas oleh Pemerintah. Menurut informasi di internet, lomba perahu naga di kota Padang sudah dimulai sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Orang Padang menyebutnya salaju sampan (pacu sampan). Lomba perahu naga diadakan setiap bulan Agustus, seiring dengan peringatan hari jadi kota Padang yang jatuh pada tanggal 7 Agustus.
Rubrik 'Minang Saisuak' Singgalang Minggu kali ini menyuguhkan sebuah foto klasik tentang salaju sampan di Padang. Foto ini berupa sebuah kartu pos (prentbriefkaart) yang diterbitkan oleh toko A.H. Tuinenburg di Padang. Seperti telah diinformasikan sebelumnya dalam rubrik ini (untuk foto yang lain), pemilik toko A.H. Tuinenburg, yang terletak di Tanah Lapang Alang Lawas, bernama J. Boon Jr. Toko ini termasuk salah satu 'toserba' terbesar di Padang pada awal abad ke-20, yang menjual berbagai macam produk impor, termasuk gramofon.
Tajuk foto di atas adalah: "De Grevekade, Roeiwedstrijd Padang" (Dermaga De Greve, Lomba Dayung [di] Padang). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sungai yang terekam dalam foto ini adalah Batang Arau, karena Greve yang disebut dalam judul kartu pos itu tak lain adalah Willem Hendrik de Greve (lahir di Franeker, Belanda, 15 April 1840 – meninggal di Kuantan 22 Oktober 1872), insinyur Belanda kenamaan yang telah memajukan tambang batubara Sawah Lunto (lihat: http://teraszaman.blogspot.com/2011/04/m…. Di Padang dibuat satu taman yang disebut Taman Greve, yang letaknya tak jauh dari Barang Arau, kira-kira di dekat Muara sekarang. Rupanya dekat taman itu juga ada dermaga yang diberi nama Dermaga Greve, sebagaimana dicatat dalam foto ini.
Tak ada keterangan kapan foto yang berukuran 9 x 14 cm. ini dibuat. Namun, sangat mungkin foto ini dibuat sekitar dekade pertama atau kedua abad ke-20, saat toko Tuinenburg sedang jaya-jayanya (seperti merefleksikan namanya: Tuinenburg yang berarti 'Taman-taman benteng').
Terlihat pakaian para pendayung perahunya berwarna putih, warna pakaian para pegawai binnenlandsch bestuur kolonial Belanda. Kurang jelas di foto ini wajah para pendayung itu, tapi tampaknya mereka adalah kaum pribumi. Bentuk perahunya juga cukup unik: seperti sampan salodang. Salaju sampan (dulu) atau lomba perahu naga (sekarang) tujuannya tetap sama: membiasakan orang berani dengan air. Jangan malah kita tinggal di negeri kepulauan tapi tidak pandai berenang.
Mungkin bagus juga nih jika foto klasik ini diproduksi oleh Dinas Pariwisata Kotamadya Padang (tentunya harus saparentah Bapak Walikota Padang, Fauzi Bahar) untuk dibagi-bagikan kepada para peserta lomba perahu naga tahun ini (mudah-mudahan lomba ini tetap diwiridkan tiap tahun. Walaupun Sumatra Barat masih bersih-bersih dan berbenah setelah dilanda gempa tahun 2009, iven lomba perahu naga di tangan Bapak Walikota Padang tentu akan jalan terus.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).
Singgalang, Minggu, 26 Juni 2011
June 20, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 33 - TUAN TERIKAT DALAM HATI
Sastra tradisional seperti pantun dapat melatih kepekaan seseorang dalam bertutur kata. Bahasa pantun merefleksikan cara berbahasa orang Minangkabau yang tidak hanya membaca yang tasurek (tersurat), tapi juga yang tasirek (tersirat), seperti dapat Anda rasakan lagi dalam sajian di nomor ini.
260.
Bukiktinggi tanahnyo tinggi,
Tampaik urang mananam lobak,
Kami bakirim dalam mimpi,
Lai ko sampai bakeh Kakak?
261.
Kok tali ka bahalai juo,
Antah kok pandan ka marimbo,
Kok mimpi ka sampai juo,
Antah kok badan tak ka basuo.
262.
Kain sikalek baru dibali,
Dibali urang Banda Dalam,
Tolan tarikek dalam hati,
Manjadi mimpi siang malam.
263.
Batang birah di tapi lauik,
Ureknyo abih dimakan ikan,
Bapasan Junjungan Nabi Dauik,
Ambo nan jangan dilupokan.
264.
Pipik parik tabang ka parik,
Tibo di parik kanai gatah,
Salasih bajurai daun,
Basungkuik bumi jo langik,
Lah langang nagari Makah,
Kasiah jo Adiak carai balun.
265.
Sumbayang ateh pambatang,
Kabilaik ka Indogiri,
Kasiah sayang tulak balakang,
Kami bajalan anyo lai.
266.
Sulasiah di ateh pantai,
Dibao anak 'rang Pauah,
Alang ka rimbo padi Jambi,
Kasiah nan mulo dipamulai,
Dibao bajalan jauah,
Alang ka ibo hati kami.
267.
Takalo manabang pisang,
Tasanda alu di Indaruang ,
Takalo badan ka ilang,
Takana juo Adiak kanduang.
'Berkirim dalam mimpi', itu suatu ungkapan yang indah: dalam rasian (mimpi) rindu disampaikan. Tampaknya si dia sudah lama tidak pulang dari rantau. Sudah serasa putus hati dan jantung menahan rasa kangen. Begitu terikatnya si dia dalam hati, sehingga siang malam dia menjadi buah mimpi. Berasap ubun-ubun menahan rindu karena sudah begitu lama tidak bertemu dengannya. Demikian refleksi bait 260 -262.
Bait 263 juga elok hiperbolnya: memohon kepada kekasih Anda supaya dia jangan melupakan Anda, tapi membawa-bawa nama Nabi Daud segala. Belum jelas benar bagi saya kenapa Nabi Daud yang dijadikan perumpamaan di sini. Mungkin Nabi Daud tipe suami ideal di zaman nabi-nabi.
Hiperbol yang tak kalah bagusnya muncul lagi dalam bait 264: biar langit terban menyungkup bumi, walaupun Negeri Mekah sudah lengang (bayangkan: kapan hal itu akan terjadi? Sepanjang tahun Mekah ramai oleh jemaah haji mancanegara), namun kasih sayang si dia kepada Anda tidak akan luntur. Rayuan gombal? Mungkin. Tapi kadang-kadang gombalisme perlu juga.
Dalam bait 265 justru hal sebaliknya yang terjadi: si dia rupanya ingin memutuskan tali kasih dengan Anda, mungkin dia sudah berpaling ke lain hati. Kalau dulu dia sayang, sekarang malah sebaliknya: benci (sudah tulak balakang). Dan Anda tampaknya sudah siap untuk menuju rantau (bajalan anyo lai). Besar kemungkinan Ibu Anda akan bermenantukan gadis Jawa atau Sunda. Tapi kalau sudah jodoh, apa hendak dikata.
Ada jeritan hati si gadis dalam bait 266. Rupanya bengkalai kasih baru dijalin, tapi ternyata si bujang sudah bersiap-siap pergi ke rantau (bajalan jauah). Gamang rasanya hati si gadis, takut nanti si dia 'hilang' di rantau, terpikat oleh 'tempe', yang bisa membuat matanya kabur melihat jalan ke Padang. Wajar kalau si gadis begitu bersedih hati.
Tampaknya si bujang memang 'karam'di rantau, seperti dibayangkan dalam bait terakhir (267). Dia dilamun ombak kesengsaraan di Tanah Jao (Jawa). Walau demikian, dia selalu mengingat seorang dara Minang yang menunggunya di kampung (Takana juo Adiak kanduang). Tapi apa daya, rantau terlalu kejam kepadanya di tempat mana bansaik tak dapek salang tenggang.
(bersambung minggu depan)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 19 Juni 2011
June 19, 2011
Minang Saisuak #54 - Sebuah Grup Musik dari Padang
Artikel Ch. E.P. van Kerckhoff, "Het Maleisch Toneel ter Weskust van Sumatra" dalam jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 31 (1886): 302-14, cukup memberi gambaran tentang kehidupan seni di Padang pada akhir abad ke-19. Rupanya pada masa itu di Padang sudah berkembang beberapa cabang seni, seperti seni drama (tonil) dan seni musik.
Sebagai kota bandar yang dihuni oleh para imigran dari berbagai bangsa dan orang pribumi (Minangkabau) sendiri, kota Padang memberi peluang munculnya seni hibrida yang merefleksikan keragaman penduduknya, misalnya musik gamaik yang tetap bertahan sampai sekarang. Seni tonil Melayu yang populer di zaman kolonial seperti bangsawan dan komedie stamboel sering pula tampil menghibur masyarakat kota Padang dalam acara-acara keramaian seperti pasar malam (lihat: Cohen, 2002, 2006).
Rusli Amran dalam Padang rimayatmu dulu (1986:163) mengatakan bahwa kaum Indo di Padang juga memiliki grup musik keroncong. Dapat dikatakan bahwa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan persemaian bagi munculnya gairah berkesenian di Padang, yang kemudian mendorong lahirnya grup-grup musik pada dekade-dekade berikutnya seperti Orkes Hawaiian The Smiling Players yang didirikan oleh Asbon Madjid tahun 1938.
Kali ini kami menampilkan dokumen visual sebuah grup musik yang pernah eksis di Padang pada seperempat pertama abad ke-20. Namanya adalah "Muziekclub 'Petit Advendo'", yang tampaknya merupakan kombinasi bahasa Perancis petit yang berarti 'kecil' dan aknonim bahasa Belanda Advendo (Aangenaam Door Vermaak En Nuttig Door Ontspanning, yang artinya 'menyenangkan oleh kenikmatan dan bermanfaat dengan cara relaksasi').
Tidak ada catatan kapan foto yang berukuran 9,5 x 14 cm. dan berbentuk kartu pos (prentbriefkaart) ini dibuat. Tapi menarik mengamati alat musik yang dipakai oleh group ini, wajah para pemainnya dan stelan pakaian mereka yang terekam dalam foto ini. Ada yang memakai jas tutup berwarna putih, ada yang memakai jas luar berwarna hitam. Dasinya juga dua macam: dasi panjang dan dasi kupu-kupu. Dari wajah para pemainnya, kelihatan bahwa mereka terdiri dari orang pribumi, Eropa, dan Eurasia. Yang duduk nomor dua dari kanan agak pirang rambutnya dan putih wajahnya, sepertinya orang Eropa Asli. Ada beberapa macam alat musik yang mereka pakai: antara lain beberapa jenis gitar, biola, dan sejenis suling. Sayangnya tulisan yang diletakkan di depan mereka tidak dapat dibaca.
Grup-grup musik seperti 'Petit Advendo' inilah yang sering mengisi acara hiburan dalam pesta-pesta kaum elit di kota Padang pada zaman saisuak, termasuk acara-acara di rumah bola (societeit) seperti Endracht dan Matahari. Jika ada grup-grup musik seperti ini di Padang sekarang, tentu akan dapat menghadirkan estetika alternatif dan suasana lain, paling tidak untuk selingan bagi telinga warga Padang yang setiap hari ditembaki dengan bunyi musik yang 'berdentam-dentam' – meminjam istilah Yurnaldi – di bus-bus kota dan angkot-angkotnya.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).
Singgalang, Miggu, 19 Juni 2011
June 13, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 32 - 'PUNAI' DI PUCUK KAYU ARA
Menikmati pantun muda Minangkabau mungkin dapat diibaratkan seperti makan tengguli: rasa manisnya membuat kita ingin terus-menerus mencicipinya. Di nomor ini kami hadirkan lagi serenjengan pantun muda Minangkabau kepada pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' Padang Ekspres Minggu, menghadirkan gemulai bahasa sastrawi Minangkabau yang enak bagai pati santan. Kata-kata seperti ini jarang kita temukan dalam bahasa Minangkabau kontemporer yang makin meranggas dilanda topan globalisasi.
252.
Apo guno tiang carocok,
Kalau tidak sudah dikatang,
Apo guno pakirim rokok,
Kalau tidak sandiri datang.
253.
Ambiak gandang ambuih sarunai,
Duduak di rumah Bandaharo,
Ingin hati mamandang punai,
Punai di pucuak kayu aro.
254.
Lah masak rukam nan manih,
Tak buliah nan mudo lai,
Lah bangkak mato manangih,
Tak buliah basuo lai.
255.
Nasi putiah pinggannyo sabun,
Makanan anak Rajo Jao,
Mamutiah bungo dalam kabun,
Satangkai sajo nan manggilo.
256.
Dari Tiku nak ka Gasan,
Nak lalu ke Indogiri,
Duduak di pintu nak bapasan,
Nak lapeh hati nan birahi.
257.
Babuni badia sadantaman
Urang manembak gadiang gajah,
Adiak tadanga baganggaman,
Kami mananti garak Allah.
258.
Rami galanggang 'nak 'rang Bayang,
Bungo campago kucuik sajo,
Iyo gak lendo padi Jambi,
Kami diaja kasiah sayang,
Kini dielo suruik sajo,
Iyo gak taibo hati kami.
259.
Hari Ahad pukua duobaleh,
Ulando bamain layang-layang,
Adiak kanduang usahlah cameh,
Tidak barubah kasiah sayang.
Dalam bait 252 ada nada tantangan supaya Anda datang langsung menemui si dia. Pesan yang disampaikan melalui jasa mak comblang (dengan simbol 'rokok kiriman') dinilai sebagai sikap kurang jantan. Konon banyak bujang sekarang beraninya cuma back street saja, kalau datang langsung ke rumah orang tua si gadis mereka sering 'mencret': pacaran mau, nikah ogah.
Bait 253 sangat indah kiasannya: gadis pujaan (dilambangkan: burung punai) berkurung di atas anjung peranginan rumah gadang (dilambangkan: puncak kayu ara), diproteksi berlapis-lapis oleh keluarganya. Hanya dua jam sehari pintu anjungnya terbuka, susah sungguh melihatnya, padahal hati (lihat bukan mata) ingin selalu memandangnya. Dalam konteks kekinian: Anda ingin sekali melihat gadis cantik di atas mobil bagus, tapi kaca reben mobilnya hitam. Anda hnya dapat memandangnya sekilas saja, seterusnya Anda hanya akan bisa berkhayal.
Ada nada perceraian yang agak memilukan dalam bait 254: perceraian bertabur air mata yang bagai manik-manik putus talinya. Rasa tak mungkin ketemu lagi dengan si dia. Mungkin ini cerai mati, tapi mungkin juga karena dipisahkan oleh pihak ketiga, atau karena si dia pergi merantau.
Nada rayuan Casanova agak terasa dalam bait 255. Katanya: walau basilambuihan gadis-gadis, tapi hanya dikau seorang yang dicintainya. Itu maksud kiasan: 'memutih bunga dalam kebun, hanya setangkai saja yang menyita perhatiannya [manggilo]').
Seorang gadis rupanya kangen kepada pujaan hatinya atau tunangannya. Dia duduk di pintu, berharap bisa menitipkan pesan, yaitu rasa kangennya, kepada seseorang yang lewat agar bisa disampaikan kepada pujaan hatinya. Dulu gadis-gadis tidak mudah pergi ke luar, apalagi menemui laki-laki yang belum resmi jadi suaminya. Demikian siratan makna dalam bait 256. Sekarang banyak gadis bahkan sering pulang malam. Zaman memang telah berubah, musim sudah berganti.
Bait 257 mengandung nada melankolis: menanti takdir (garak Allah). Si gadis terdengar sudah bertunangan, sudah bertemu ke dua keluarga mantrilineal. Tampaknya si gadis dijodohkan. Sang kekasih yang jadi pecundang tak dapat berbuat apa-apa, hanya menunggu mu'jizat dari Tuhan (semoga saja dia tidak berdoa supaya pertunangan itu bubar).
Dalam bait 258 si dia tampaknya berulah lagi: hatinya berubah di tengah jalan. Rupanya dia minta putus, tanpa memberikan alasan yang jelas, mungkin juga sudah kepincut kepada yang lain. Yang jelas, sikap seperti itu membuat si dia sangat sedih. Situasi sebaliknya tercermin dalam bait terakhir (259): si dia memberi kepastian bahwa kesetiaannya tidak akan berubah, tidak tergoda oleh yang lain. Itu baru namanya pasangan cap empu.
(bersambung minggu depan)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 12 Juni 2011
June 12, 2011
Minang Saisuak #53 - Kantor Pos Padang
Tradisi berkirim surat tentu terkait dengan budaya keberaksaraan (literacy). Sejarah mencatat bahwa dinas pos di negeri kita ini diperkenalkan oleh orang Belanda. Sebelum dinas pos ada, surat diantarkan langsung ke alamat oleh pengantar khusus. Namun, tradisi menulis surat tampaknya sudah ada sebelum orang Eropa datang ke Nusantara. Dalam kaitannya dengan hal ini, orang Minang agak unik: jika berkirim surat mereka cenderung memakai bahasa Melayu; kalau berbicara secara lisan (misalnya anak di rantau menelepon ibunya di kampung) mereka sering memakai bahasa Minang.
Bagi masyarakat Minangkabau yang suka merantau, surat adalah media yang penting untuk menghubungkan para perantau dengan keluarga yang ditinggalkan di kampung. Bila rindu kepada tepian tempat mandi membuncah dalam jiwa dagang Minang di rantau, maka ditulislah surat untuk menghantar rindu itu ke kampung. Surat itulah sebagai pengganti diri. "Lamalah Tuan dagang tinggalkan / Habislah tahun berganti zaman / Satupun tidak dagang kirimkan / Dikarang surat kaganti badan", demikian tulis Syekh Daud Sunur dalam Syair Sunur (1830-an) yang ditulisnya dari tempat perantauannya di Trumon (Aceh Barat) kepada sanak familinya di Sunur, Pariaman. Banyak teks sastra Indonesia modern awal yang berlatar Minangkabau menggambarkan adegan berkirim-kiriman surat.
Rubrik 'Minang Saisuak' Singgalang Minggu kali ini menurunkan gambar Kantor Pos Padang yang berbentuk kartu pos. Dijelaskan bahwa kartu tersebut adalah "a hand coloured postcard of Padang, Sumatra Indonesia", yang memperlihatkan sebuah pemandangan Kantor Pos Padang dan kawasan sekitarnya yang indah. Kartu pos ini diterbitkan oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang pada tahun 1911 (kode penerbitannya 11823). Jadi, jika dihitung dari tahun ini, umur kartu pos ini genap 100 tahun.
Terlihat rimbunan pepohonan di sekitar kantor pos ini. Di depannya terbentang jalan besar bertrotoar cukup lebar yang sekarang bernama Jalan Sudirman. Ada beberapa foto lain tentang Kantor Pos Padang yang berusia lebih tua yang tersimpan di Perpustakaan KITLV Leiden dengan bentuk bangunan yang agak berbeda dengan yang telihat dalam foto ini (mudah-mudahan akan dapat kami turunkan pada kesempatan lain).
Di zaman BlackBerry ini, mungkin fungsi kantor pos sedikit menurun. Tapi tetap ada yang hangat pada surat. Walau sms-sms darimu mengketutus masuk ke HP-ku setiap hari, kadang-kadang aku masih merindukan suara tukang pos yang mengantar surat-suratmu yang kertasnya berhiaskan gambar mawar merah, dengan perangko di sampulnya bercap stempel Kantor Pos Padang. Tidak seperti sms-sms yang hambar dan tak berwarna itu, ketika membuka sampul suratmu, hatiku selalu berdegup kencang, karena di akhir kata-katamu yang manis, yang sering diselingi dengan pantun, selalu kutemukan cap bibirmu 'bertinta' merah.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: http://cgi.ebay.nl)
Singgalang, Minggu, 12 Juni 2011
June 6, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 31 - PESANKAN RINDU DALAM MIMPI
Kekayaan pantun muda Minangkabau yang kami dokumentasikan secara bersambung dalam rubrik 'Khazanah Pantun Minang' ini, yang sekarang sudah mencapai nomor 31, menunjukkan bahwa dunia pergaulan orang muda Minangkabau tidaklah terlalu kaku. Kali ini kami salinkan sepucuk surat terbuka seorang gadis Minang, si 'Boengsoe' (Bungsu) namanya, kepada pujaan hatinya yang merantau di Indrapura. Surat yang berbentuk pantun ini dimuat dalam koran Bentara Melajoe, No. 10, Tahoen I, Selasa, 24 Juli 1877. Ejaannya disesuaikan dengan EYD.
244.
Batang Pauah batang cubadak,
Di baliak batang kasumbo,
Tuan jauah kami taragak,
Musim mano buliah basuo?
245.
Taleh Tarumum dari Kedah,
Tampangnyo dari Tanah Siam,
Kasiah nan tidak ka barubah,
Sungguah baraliah tampaik diam.
246.
Kampia siriah balapih intan,
Kiriman anak Rajo Jao,
Kasiah nan buliah dikirimkan,
Sayang siapo ka mambao?
247.
Abih talantuang lado kami,
Dilando tali layang-layang,
Abih tatuntuang cinto kami,
Badan bak raso bayang-bayang.
248.
Ayam nan biriang sangkunani,
Ikua nan panjang diranangkan,
Buruang banamo Rambak Dewi,
Siang jo malam dikanakan.
249.
Balayia kolek si Akuik,
Riak mamacah di kamudi,
Andak pai badan kok takuik,
Bia batamu dalam mimpi.
250.
Taluak Tiku Kualo Gasan,
Batu kaciak kiliran taji,
Kalau rindu jangan bapasan,
Bia batamu dalam mimpi.
251.
Marapalam tigo saririk,
Saririk condong ka tapian,
Sayo damam ditimpo sakik,
Sakik ditimpo paratian.
Rindu dan kesetiaan, itulah tema surat si Bungsu. Rupanya sudah lama si Bungsu ditinggal pergi merantau oleh pujaan hatinya, sehingga rasa kangennya memuncak (bait 244). Tapi dia yakin kasih si dia kepadanya tidak akan berubah, walaupun si dia jauh di perantauan, di Indrapura sana (bait 245).
Memang sepatutnya demikian: walau tinggal berjauhan, tapi janji setia jangan dilupakan. Janji itu harus tetap dipegang erat digenggam teguh. Jangan sebaliknya: baru saja kapal Kambuna melewati Pulau Sinyaru, Anda sudah lupa sama si dia yang Anda tinggalkan di kampung. Itu berarti Anda tidak setia.
Ada permainan kata 'kasih' dan 'sayang' pada bait 246. Intinya: rasa kangen, rindu-dendam, pasti bisa diekpresikan kepada kekasih hati yang sedang jauh di rantau lewat media (surat atau sms dari HP yang tercanggih), tapi toh berjumpa jua baru perasaan jadi tenang: 'badan batamu mangko sanang', kata Elly Kasim.
Memang begitulah jadinya jika kasih sayang tercurah sehabis rasa kepada dia. Badan serasa bayang-bayang apabila tidak berjumpa dengannya (bait 247). Si dia, yang disimbolkan sebagai burung Rambak Dewi, selalu tersangkut dalam pikiran: siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi (bait 248). Namun bait 248 ini bisa berarti lebih erotis. Tak usahlah saya ceritakan secara panjang lebar kepada Anda. Rebab sajalah yang akan menyampaikan. Saya takut melanggar Undang-Undang Anti Pornografi.
Pada zaman itu (1870-an) belum banyak perempuan Minangkabau yang ikut suami ke rantau. Hal itu terefleksi dalam bait 249: ingin ikut dengan si dia, tapi diri merasa takut. Dalam keadaan demikian, hanya mimpi yang dapat jadi pengobat rindu. Janganlah berpesan jika sedang rindu, mari kita berjumpa dalam mimpi, katanya (bait 250).
Bait-bait pantun si Bungsu kepada pujaan hatinya di rantau, yang kami kutip dari surat kabar Bentara Melajoe yang terbit di Padang ini, yang dieditori oleh Arnold Snackey (seorang Indo terkemuka di Padang pada zaman itu), sangat indah gaya bahasa yang dipakai di dalamnya. Begitulah orang Minang dulu: rasa kangen tak harus diekspresikan dalam kata-kata yang vulgar.
Dalam bait terakhir (250) digambarkan rasa kangen itu, yang telah sampai membawa demam pada badan diri, yang kemudian ditimpa pula dengan sakit, yang penyebabnya tiada lain adalah karena rindu-dendam (paratian) yang tak tertahankan. Sakit yang demikian itu tentu saja di lahir tidak tampak, tapi di batin sudah dalam tahap stadium lanjut. Pasti banyak juga pembaca setia rubrik 'Khazanah pantun Minang' yang menderita 'penyakit' ini. Aduh… kacian deh lu!
(bersambung minggu depan)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 5 Juni 2011
June 5, 2011
Minang Saisuak #52 - Makam De Greve, peneliti deposit batubara Sawahlunto
Kali ini dalam rubrik 'Minang Saisuak' ini menurunkan foto makam Ir. W.H. de Greve di Durian Gadang, Silokek, Sinjunjuang. Foto ini (18 x 21 cm.) dibuat tahun 1872. Di nisan makam itu tertulis: "Hier rust de mijn ingenieur W.H. de Greve den 22″ October 1872 door een ongelukkig toeval alhier omgekomen R.I.P." yang kurang lebih berarti: 'Di sini beristirahat dengan tenang insinyur pertambangan W.H. de Greve yang pada 22 Oktober 1872 meninggal di tempat ini karena kecelakaan".
Kisah hidup W.H. de Greve di Hindia Belanda berakhir cukup tragis, sebagaimana ditulis oleh Yonni Saputra, SS dalam http://teraszaman.blogspot.com/2011/0... yang antara lain menjadi sumber rujukan tulisan ini. Lahir di Frakener, Belanda, pada 15 April 1840, Willem Hendrik de Greve adalah seorang geolog yang pintar. Dalam usia masih 19 tahun, ia telah meraih gelar insinyur pertambangan dari Akademi Delft pada 1859. Kemudian ia segera pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu peruntungan. Pada 14 Desember 1861 insinyur muda yang bersemangat itu ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menangani berbagai penelitan tentang bahan tambang di Hindia Belanda. Selang dua minggu kemudian, pada 27 Desember 1861, De Greve menikah dengan ELT Baroness, putri W.R. Baron Hoevell. Pasangan itu kemudian beroleh tiga orang anak.
Sebagai peneliti pertambangan, De Greve, diutus oleh Pemerintah Kolonial Belanda kemana-mana, antara lain ke Seram dan Bangka. Sembilan tahun setelah penyelidikan yang dilakukan oleh seorang insinyur Belanda yang lain yang bernama C. de Groot van Embden, melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 26 Mei 1867, De Greve diperintahkan pergi ke Ombilin untuk melakukan penyelidikan lebih rinci mengenai kandungan mineral di sana, yang sejak tahun 1858 sudah diteliti juga oleh seniornya, Ir. de Groot.
Di Ombilin De Greve melakukan penelitian intensif. Pada 1868 ia menyatakan bahwa kandungan 'emas hitam' di aliran Sungai Ombilin tak kurang dari 200 juta ton, yang tersebar di beberapa tempat, seperti Parambahan, Sigaloet, Lembah Soegar, Sungai Durian, Sawah Rasau, dan Tanah Hitam. Tahun 1870 De Greve melaporkan hasil penelitiannya itu ke Batavia dan pada 1871 ia, bersama W.A. Henny, mempublikasikan hasil penelitiannya yang judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra's Weskust ('s Gravenhage: Algemeene Landsdrukkerij).
Seperti terefleksi dalam judul laporannya itu, rupanya De Greve sudah memikirkan sistem transportasi (transportstelsel) apabila kandungan batubara Ombilin dieksploitasi nantinya. Dan hal itulah yang membuat hidupnya berakhir tragis. Pada 1872, demikian Yonni, De Greve melakukan ekspedisi lagi menghiliri Sungai Ombilin hingga ke Batang Kuantan. Selain masih menyelidiki kandungan dan sebaran batu bara Ombilin pada jalur Sijunjung, ekspedisi itu juga dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan membangun jalur transportasi alternatif untuk membawa batu bara Ombilin 'melalui Pantai Timur' (Selat Malaka) jika sudah dieksploitasi nantinya.
Rombongan ekspedisi De Greve mencoba melintasi Batang Kuantan yang besar dan berarus deras itu. Di luar dugaan dan perhitungan, mengutip Yonni lagi, ketika memanfaatkan aliran Sungai Kuantan, perahu yang ditumpangi De Greve terbalik dan dia terseter arus desar Batang Kuantan. Ia tidak dapat menyelamatkan diri atau tidak pula ada orang yang bisa menyelamatkannya. De Greve tewas tenggelam. Peristiwa naas itu terjadi pada 22 Oktober 1872.
Mayat De Greve berhasil ditemukan dan kemudian dimakamkan di Nagari Durian Gadang, Silokek (sekarang masuk Kabupaten Sijunjung). Makam itulah yang terekam dalam foto ini. Untuk menghormati De Greve, pemerintah menamakan satu taman di Padang dengan namanya: Taman De Greve (letaknya kira-kira dekat Gedung Javasche Bank yang baru di Padang). Di sana dibangun sebuah monumen untuk mengenang insinyur berbakat yang mati muda itu. Salah satu dermaga kapal di tepian Batang Arau juga diberi nama De Grevekade (Dermaga De Greve).
Demikianlah kisah hidup Ir. W.H. de Greve yang cukup singkat itu (32 tahun). De Greve berkubur di Tanah Jajahan, jauh dari kampung halamanya, Frekener. Lepas dari niat dari setiap hati manusia yang hidup, langkah, rezeki, pertemuan, dan maut – seperti kata ahli hikmah – adalah rahasia Dia Yang Maha Kuasa.
Suryadi - Leiden, Belanda. (Sumber foto: Yonni Saputra, SS, http://teraszaman.blogspot.com; KITLV Leiden).
Singgalang, Minggu, 5 Juni 2011
May 30, 2011
Khazanah Pantun Minangkabau # 30 - IKAN TERKILAT DALAM LUBUK
Setiap kebudayaan memiliki ruang dan model yang khas dalam memberikan ruang engekpresi kepada kaum mudanya untuk menyatakan perasaan hati dan pikiran mereka. Dalam kasus Minangkabau, kata-kata literer dalam bentuk pantun menjadi media yang penting untuk tujuan itu. Kita teruskan menikmatinya di nomor ini.
236.
Padi sipuluik tanak baru,
Karambia mudo lah babalah,
Kami di muluik sudah tau,
Bahaso Adiak lah barubah.
237.
Kabau nan gadang kabau jantan,
Tunjang siapo ka mambali,
Adiak dimukasuik ka pakaian,
Hilang siapo ka mangganti.
238.
Anak itiak di sawah gadang,
Barakuak bantuak paruahnyo,
Sajak ketek dinanti gadang,
Lah gadang banyak tangguahnyo.
239.
Taluak Balai suduiknyo tigo,
Ka darek Padang Sikaduduak,
Sabab talalai dagang siko,
Ikan takilek dalam lubuak.
240.
Ikan takilek jalo tibo,
Putuih taruntun kanai batang,
Siang maliek malam tiado,
Itu nan mamutuih hati dagang.
241.
Alang sariknyo jalan ka tambang,
Patah batungkek batang padi,
Alang sakiknyo anak dagang,
Tidaklah buliah kandak hati.
242.
Tidak kami marampak padi,
Padi marampak dulang-dulang,
Tida kami manapak lai,
Kami di dalam tangan urang.
243.
Kok iyo salasiah Jambi,
Tanam karakok di pambatang,
Kok iyo kasiah ka kami,
Kirimlah rokok tigo batang.
Bicaranya yang tak lagi seperti biasanya mengindikasikan bahwa hatinya sudah berubah (bait 236). Jadi, ke depannya Anda seharusnya tahu diri saja. Bait 237 mengungkapkan kesan pertama yang begitu menggoda yang seterusnya tidak akan berubah. Si bujang ingin mempersunting si gadis (ka pakaian), dan dia bilang sulit mencari pengganti kalau si gadis pergi. Tampaknya si bujang amat serius. Jadi, sepatutnya si gadis menyambutnya dengan antusias pula.
Bait 238 merefleksikan sifat enggan menerima kasih sayang. Mungkin karena terlalu pilih-pilih. Sudah lama Anda menunggu si dia, sudah sejak kecil dipertunangkan oleh orang tua. Tapi setelah besar banyak kilahnya, bertangguh berkali-kali. Tentu muncul rasa kecewa di hati Anda.
Ada gadis yang tacelak di suatu desa : 'kembang desa' (buah salek). Jika Anda melintas di desa itu, pasti akan tertegun langkah Anda, terpana melihat kecantikan dan keelokan budinya. Saya yakin Anda akan berulang ke desa itu, mungkin menyamar menjadi pembeli ayam atau pura-pura mencari kerbau yang lepas. Demikian maksud bait 239.
Mungkin Anda akan jadi tergila-gila setelah melihat 'ikan yang terkilat dalam lubuk' itu. Jika beruntung, ungkapan perasaan hari Anda akan disambutnya. Tapi, untuk beberapa waktu lamanya tentu Anda hanya akan dapat berjumpa dengannya di siang hari, itu pun mungkin terbatas; di malam hari Anda terpaksa marunuih dalam kain sarung mengingat 'kembang desa' itu. Demikian refleksi terhadap bait 240.
Maka, sebaiknya cepat saja mengajukan lamaran kepada orang tua si gadis. Kalau Anda berlalai-lalai, dijamin Anda akan kecele, dipotong oleh 'sedan berkilat' yang lain tanpa menghidupan lampu sen (sign). Jika hal itu terjadi, ungkapan dalam bait 241 mungkin akan tersua oleh Anda: 'gigit jari'. Si dia disambar 'elang' karena Anda anak dagang, yang konotasinya agak berkekurangan secara ekonomi. Tentu Anda sakit hati kecewa berat.
Bait 242 merefleksikan sikap yang baik jika Anda sudah bertunangan. Jangan coba-coba rambang mato lagi (jangan manapak lai). Tunggu sajalah hari alek yang penuh kebahagiaan itu. Ini pesan penting untuk pembaca rubrik 'Khazanah Pantun Minang' yang sudah bertukar cincin tunangan atau sudah berjanji setia sehidup semati.
Bait 243 agak berisi unsur garah: kasih yang diukur dengan rokok tiga batang. Ini mengingatkan kita pada fungsi rokok dan sirih dalam undangan perkawinan di Minangkabau. Dan dulu di Minangkabau, di bilik anak daro juga tersedia rokok untuk menantu baru, rokok titipan dari mamak si anak daro untuk orang semenda barunya.
(bersambung minggu depan)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Padang Ekspres, Minggu, 29 Mei 2011
May 29, 2011
Minang Saisuak #51 - 'Toserba' A.H. Tuinenburg di Padang
Toko A.H. Tuinenburg yang fotonya kami turunkan dalam rubrik 'Minang Saisuak' kali ini adalah salah satu 'toserba' terkenal di Padang pada awal abad ke-20. Menurut keterangan dalam berbagai iklan dari toko ini yang dimuat dalam koran-koran yang terbit di Padang seperti Sinar Sumatra, Warta Berita, dll., toko ini terletak di 'Tanah Lapang Alang Lawas' (di bilangan Alang Laweh sekarang). Pemilik toko ini bernama J. Boon Jr. Jadi, tampaknya toko ini dikelola oleh keluarga J. Boon turun temurun. Belum diperoleh informasi lebih lanjut mengenai keluarga J. Boon ini.
Toko A.H. Tuinenburg menjual berbagai jenis barang impor dari Eropa, antara lain sepeda, jam, alat musik, dan gramofon. Tentu saja dapat dibayangkan bahwa para pelanggan toko ini berasal dari kalangan atas di Padang pada masa itu, seperti orang Belanda dan elit pribumi dan Cina. Toko ini juga menerbitkan ratusan seri kartu pos (prentbriefkaart) yang indah-indah gambarnya. Berkat hasil terbitan berupa kartu-kartu pos itu, sekarang kita masih bisa melihat rekaman visual banyak tempat dan bangunan-bangunan penting di Padang dan Minangkabau pada umumnya di zaman lampau karena sebagian kartu-kartu itu masih tersimpan di beberapa perpustakaan di Belanda dan di toko-toko antik di luar negeri.
Foto ini aslinya berbentuk kartu pos yang dicetak tahun 1899 (kira-kira 112 tahun lalu). Di atas foto ini tertulis 'Agentschap Ned. Ind. Sport Maatschappij', dan di bawahnya tertulis 'Rijwielhandel van A.H. Tuinenburg'. Jadi, rupanya Toko A.H. Tuinenburg juga berperan menjadi Perwakilan Masyarakat Olahraga Hindia Belanda di Padang. Bukan tidak mungkin bahwa pembuatan kartu pos ini adalah dalam rangka mempromosikan olahraga bersepeda di Padang pada waktu itu. Di depan toko ini kelihatan deretan sepeda di bawah sebuah palang besi bertuliskan 'FONGERS RIJWIELEN' yang artinya 'sepeda Fongers', satu merek sepeda yang cukup terkenal pada waktu itu.
Tapi kini sepeda, walau merek Raleigh (Reli) sekalipun, yang dulu menjadi standar jemputan bagi seorang pria yang tinggi derajatnya di Pariaman, tak laku lagi di Padang. Orang bergeduru membeli mobil yang tujuannya lebih untuk jaga gengsi. Betul kata tukang rabab Pariaman, Amir Hosen: 'Lakuak Uba tabiangnyo tinggi / Padang Gantiang duo basimpang / Lah batandiang Honda jo Suzuki / Tampak taicia Reli usang.' Toko A.H. Tuinenburg adalah bagian dari sejarah tradisi bersepada warga kota Padang di zaman lampau, yang kini makin macet oleh serbuan 'kuda Jepang' dari berbagai merek.
Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: http://www.worthpoint.com).
Singgalang, Minggu, 29 Mei 2011
Suryadi's Blog
- Suryadi's profile
- 15 followers
