Suryadi's Blog, page 40

May 22, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 29 - MENGHARAPKAN 'BUNGA TANGKAI BESI'

Di zaman modern yang makin absurd oleh hiperrealitas ini, pantun mungkin dapat mendekatkan kita kepada akar kebudayaan sendiri. Bahasa pantun merefleksikan tata tertib berkomunikasi yang menjunjung tinggi falsafah 'kato nan ampek'. Suatu maksud disampaikan dengan menimbang perasaan orang lain. Oleh karenanya pantun penting dipelajari lagi di tengah gejala munculnya banalisme dalam adab berbahasa. Selamat menikmati se-jamba pantun Minangkabau lagi yang kami suguhkan di nomor ini (29).



228.


Barapo panjang panggalan,


Buliah kami rantangkan tali,


Barapo lamo Tuan bajalan?


Buliah kami bilangkan hari.




229.


Kok ado sumua di Padang,


Marilah kito tanami padi,


Kok ado umua samo panjang,


Aroklah Adiak batamu lai.



230.


Babuni pukua salapan,


Tasingkok pintu jandela,


Adiak maunyi gaduang intan,


Kami maunyi lapau tingga.



231.


Manggih hutan sadang babungo,


Dima ka buliah diputiak'i,


Gaduang intan sadang bapunyo,


Dima ka buliah dinaiak'i.



232.


Kok mandi mandi bak kini,


Sikujua balah paduo,


Kok mati mati bak kini,


Nak sakubua kito baduo.



233.


Kok bak nangko tumbuahnyo padi,


Ka baraik condong mah buahnyo,


Kok cando iko rusuahnyo hati,


Mularaik juo kasudahannyo.



234.


Paniang-paniang jalan ka Nareh,


Singgah ka rumah tukang basi,


Hari aniang bungo tak rareh,


Kironyo bungo tangkai basi.



235.


Pucuak pauah silaro pauah,


Pucuak kacang laduang-laduangkan,


Adiak jauah kami pun jauah,


Taragak samo ditangguangkan.



Konon menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Dalam bait 228 terkandung harapan supaya si dia lekas kembali dari perantauan. "Berapa lama Tuan akan pergi, biar Adinda bilangkan hari", demikian kata si dia kepada kekasih hatinya yang akan segera turun jenjang rumah gadang menuju rantau nan bertuah. Si bujang menjawab dengan harapan tapi minus kepastian: 'jika umur sama panjang, diharap kita berjumpa lagi' (bait 229).



Bait 230 mengandung suara si miskin. Gedung intan (kiasan terhadap kediaman si gadis yang berasal dari keluarga kaya) dioposisikan dengan lapau tingga, warung yang sudah tidak dihuni lagi (kiasan untuk kediaman si bujang yang berasal dari keluarga miskin). Sementara bait 231 menyiratkan suara si pencundang lagi. Si gadis kaya yang dia taksir rupanya sudah ada yang punya (gaduang intan sadang bapunyo). Jadi, tidak mungkin mendekatinya. Terpaksa mundur teratur deh.



Ada gema kisah Laila Majnun dalam bait 232. Kekasih hati yang meninggal membuat si dia tak tahan hidup sendiri. Ketika jenazah akan diturunkan ke dalam liang lahat, rasanya dia juga ingin ikut mati, biar bisa sekubur dengan kekasih hatinya. Ini tentu sebuah hiperbol tentang kesetiaan cinta.



Dalam bait 233 digambarkan perasaan hati yang rusuh dan membawa kesedihan yang dalam (mularaik). Mungkin ada beberapa faktor peyebabnya, misalnya karena dikhianati oleh kekasih atau ditinggal mati oleh si jantung hati. Ini memang berbahaya: jatuh ke dalam air mata, seperti api 'memakan' dedak. Badan tidak sakit tapi makin kurus saja.



Kiasan yang elok muncul dalam bait 234: 'Cuaca tenang bunga tak jatuh / Rupanya bunga tangkai besi'. Ini kiasan kepada usaha mendekati si dia yang sudah dilakukan dengan bersungguh-sungguh, tapi ternyata hatinya berbenteng karang, tidak mempan dirayu, tak bergeming. Anda gagal merebut hatinya.



Rindu yang membentang antara rantau dan kampung, atau sebaliknya, terefleksi lagi dalam bait terakhir. Itulah konsekuensi jika hidup saling berjauhan, yang dipisahkan oleh tujuh gunung sembilan pulau. Boleh saja di zaman sekarang, berkat kecanggihan teknologi komunikasi, Anda dapat mendengarkan suara si dia setiap hari. Tapi itu tak dapat mengobati kerinduan untuk bertemu muka (berjumpa secara fisik). Kalau rasa taragak tak bisa hilang dalam hati, mungkin di bulan depan terpaksa kucari juga kuricih murah agar aku dapat berjumpa lagi dengan si dia di tepian tempat mandi kami dulu.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 22 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 22, 2011 16:00

May 21, 2011

Minang Saisuak #50 - Kantor Gubernur Sumatra's Westkust

mn-kantor-gubernur-sumatrae28099s-westkust




Siapa yang tak kenal 'Rumah Bagonjong', istilah yang diberikan kepada Kantor Gubernur Sumatra Barat yang terletak di Jalan Sudirman, Padang. Sudah silih berganti BA-1 Sumatra Barat yang mendiami 'Rumah Bagonjong' itu. Dalam setiap pilkada, beberapa orang bertarung sahabih buah agar bisa mendapat giliran menaiki 'Rumah Bagonjong' itu. Banyak orang lain ikut pula meramaikan pertarungan itu, ikut pula menyikut kanan-kiri, dengan tujuan agar dapat pula merasakan enaknya duduk di bandua-bandua 'Rumah Bagonjong' itu.



Yang mungkin belum banyak diketahui orang adalah bagaimana bentuk pendahulu (predecessor) 'Rumah Bagonjong' itu. Rubrik 'Minang Saisuak' kali ini menurunkan foto Kantor Gubernur Sumatra's Weskust sebelum adanya Kantor Gubernur Sumatra Barat sekarang. Foto yang berbentuk kartu pos ini berjudul "Gouverneurs bureaux – Padang" yang artinya 'Biro [baca: Kantor] Gubernur Padang'.



Foto ini dikeluarkan oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang pada tahun 1910, dengan kode penerbitan 10799. Di foto ini kelihatan sebuah gedung utama dan beberapa gedung yang lebih kecil di sampingnya. Di depan gedung utama tampaknya sebuah monumen, yang sekarang sudah hilang lenyap. Di depan komplek bangunan itu, agak di pinggir jalan, kelihatan seorang pria berpakaian serba putih lagi mejeng dengan sepeda Fonger-nya. Barangkali orang itu adalah salah seorang ambtenaar (pegawai) di Kantor Gubernur Sumatra's Westkust itu. Juga kelihatan ekor sebuah bendi yang lagi manambang atau mungkin sedang menunggu penumpang. Kalau sekarang banyak pegawai Kantor Gubernur Sumatra Barat naik oto sedan berkilat pulang kerja, dulu mungkin banyak yang pulang kerja naik bendi yang ditarik oleh kuda belang.



Barangkali ada beberapa foto lagi yang memperlihatkan interior Kantor Gubernur Sumatra's Westkust ini. Yang jelas, suasananya tentu berbeda dengan interior 'Rumah Bagonjong' sekarang. Tak tahu apakah pada masa itu banyak pula orang berpakaian parlente menjinjing tas kulit yang mondar-mandir di ruang tamu Kantor Gubernur itu yang semuanya tak sabar ingin berjumpa dengan Gubernur. Sayang sekali tak sedikitpun jejak bangunan ini tertinggal sekarang. Syukurlah bahwa foto ini masih ditemukan dan dengan demikian dapat memberikan sedikit gambaran visual mengenai pemerintahan Sumatra Barat di zaman kolonial.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: http://www.worthpoint.com).



Singgalang, Minggu, 22 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 21, 2011 15:30

May 15, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 28 - HATI YANG SENANG DIPERUSUH


Tema-tema tentang akhirat justru lebih sering direpresentasikan dalam genre syair. Mari kita nikmati lagi dalam nomor ini senda gurau duniawi itu, tanda kita masih hidup, dalam bait-bait pantun Minang .


220.


Jantuang disasok ramo-ramo,


Jangan lamo-lamo.




Tampan ka labek ujan nangko,

Taganang aia di palupuah,


Hati nan sanang diparusuah.


222.


Sahari tibo di Sikilang,


Nan bak arai dalam salodang.


223.


Ambiak pisau turiah indayang,


Nan risau kamari layang.


224.


Mambayang ka tapak tangan,


Baru takana jo tunangan.


225.


Jatuah ka rumpuik bilang-bilang,


Di tak kunjuang hilang.


226.


Tariaklah talang ditugakan,


Sayang jo Adiak 'rang tinggakan.


227.


Di baliak Pulau Tigo Sagi,


Kami bajalan anyo lai.


Rupanya si dia minta kejelasan hubungan Anda dengannya. Habis, tak ada kepastian, tidak ada tanda-tanda bahwa (keluarga) Anda akan mengajukan lamaran kepada orang tuanya. Siapa saja akan jadi resah hatinya jika 'digantung' lama-lama. Demikian pesan yang terkandung dalam bait 220.


Memang akan susah jadinya jika menunggu dalam ketidakpastian. Si dia sudah melihat Anda mulai menunjukkan rasa bosan kepadanya. Tentu saja hatinya yang semula senang berubah menjadi rusuh. Hal itu bisa membuat ia menempuh jalan 'sesat' (bait 221): membeli tali ijuk empat meter.


Jika kasih sayang Anda begitu tatuntuang kepada si dia, tapi Anda dicuekin, maka saya dapat merasakan jerit hati Anda. Sebab Anda betul-betul ingin bersatu hati dengan si dia, bagaikan tubuh dalam baju, seperti arai dalam salodang kelapa (bait 222).


Bait 223 menyiratkan (salah satu) faktor pendorong si dagang Minang pergi merantau: yang sudah mantap (establish) dalam hal pikiran, ekonomi dan emosi, biasanya suka tinggal di kampung. Sebaliknya, yang selalu risau, yang sedang melakukan pencarian identitas, atau yang cintanya bertepuk sebelah tangan, cenderung pergi merantau kemana-mana. Hidup di kampung jadi terasa gerah karena dianggap sebagai 'sarok balai'.


Gambaran kerinduan terekam begitu elok dalam bait 224: seorang gadis terkulai di pintu rumah gadang karena teringat kepada tunangannya yang jauh di rantau Tanah Jao (Jawa). Entah kapan si dia akan kembali kepadanya. Sudah lama tak ada berita dari si dia, padahal dia sudah punya BlackBerry segala: kaba indak barito indak. Namun, meski saling berjauhan, semoga tetap saling mengingat. Memang begitu sebaiknya: biar jauh di mata tapi tetap dekat di hati (bait 225).


Ada nada rembang mato dalam bait 226: gara-gara kepincut kepada gadis yang berkulit putih, Anda tega meninggalkan kekasih (atau istri) sendiri. Pembaca diingatkan untuk tetap setia kepada pasangan masing-masing. Jangan gampang berkhianat, jangan mudah berpindah ke lain hati, jangan suka pakai PIL atau WIL.


Bait 227 merekam menit-menit terakhir menjelang seorang dagang Minang bertolak ke rantau nan bertuah, momen dimana yang pergi berhati rusuh, yang tinggal badan tak senang. Tampaknya lokasi pertemuan mereka berada di jembatan beratap di perbatasan nagari. Ini pasti saat yang paling syahdu dalam kehidupan sejoli Minangkabau yang segera akan berpisah. Suasananya mungkin lebih syahdu dari gambaran dalam lirik lagu "Senja di Batas Kota". Kalau Anda tidak percaya, tanyakanlah kepada Samsulbahri dan Siti Nurbaya.


(bersambung minggu depan)


Suryadi Padang Ekspres, Minggu, 15 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 15, 2011 16:00

May 11, 2011

Pop Minang pun Dibajak Negeri Jiran

pop-minang-pun-dibajak-negeri-jiran




"Tiga tempat di alamat yang tertulis itu saya datangi, namun tidak ada apa-apa, itu pembajakan," kata Yuskal. "Banyak lagu-lagu Minang yang dibajak di Malaysia, namun saya saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena bukan warga negara sana."


Selain lagu Minang produksi Sinar Padang, juga banyak lagu Minang lainnya yang dibajak di Malaysia."Yang paling banyak itu lagu Gamad, Rabab, dan lagu artis top Minang seperti Susi, Yan Juned, Anroy dan Zalmon," Yuskal menceritakan. Menurut Yuskal, di Malaysia banyak perantau Minang yang menjadi pembeli potensial lagu Minang.


"Hanya pernah satu kali orang Malaysia meminta izin mencetak delapan album yang saya produksi. Saya jual Rp7,5 juta per album, dari pada tidak dapat-apa-apa, hanya itu yang seizin saya, selebihnya dibajak," kata Yuskal.


Menurut Suryadi, Dosen dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oseania, Universitas Leiden, Belanda, banyak lagu Minang yang dibajak secara resmi di Malaysia. "Ada kira-kira selusin perusahaan rekaman di negara jiran itu, umumnya berlokasi di Kuala Lumpur dan Malaka yang mereproduksi album-album pop Minang," kata Suryadi yang kini sedang menulis disertasi mengenai industri rekaman Sumatera Barat.


Suryadi mengatakan, banyak kaset dan VCD pop Minang diproduksi di Malaysia karena pasarnya cukup menjanjikan. Lagi pula, dari segi biaya, jauh lebih murah mereproduksi kaset-kaset dan VCD Minang di Malaysia ketimbang dengan cara mengimpornya dari Sumatra Barat, karena kalau diimpor pasti pajaknya cukup tinggi, dan dengan demikian harganya bisa lebih mahal dan kurang terjangkau oleh konsumen yang rata-rata orang biasa.


"Satu keping VCD Minang yang asli yang direproduksi oleh perusahaan-perushaan rekaman Malaysia dijual sekitar 15 Ringgit, konsumennya yang potensial tentu para perantau Minang yang ada di Malaysia atau mereka yang keturunan Minang," kata Suryadi dalam wawancara melalui email.


Menurut data kasar, Suryadi menambahkan, lebih dari 200.000 perantau Minang di Malaysia, dan ada lebih dari 2, 5 juta penduduk Malaysia yang keturunan Minang, khususnya di Negeri Sembilan. Potensi inilah yang digarap oleh perusahaan rekaman Malaysia dengan memproduksi kaset-kaset dan VCD pop Minang. Pusat penjualan kaset dan VCD pop Minang adalah di distrik Chow Kit, Kuala Lumpur.


Selain menghadapi pembajakan dari Negeri Jiran, produser lagu Minang juga menghadapi ganasnya pembajakan di negeri sendiri. Begitu ada album baru diluncurkan, tiga hari kemudian dikaki lima sudah keluar bajakannya di kaki lima Pasar Raya Padang.


VCD dibajak dengan CD kosong dan sampulnya dicetak berwarna. Album bajakan itu dijual murah, Rp 5 ribu per keping. Padahal VCD asli juga tidak terlalu mahal, VCD paket ekonomis tanpa kotak Rp10 ribu, sedangkan yang menggunakan kotak Rp 15 ribu. "Namun orang dari kampung yang beli tidak bisa membedakan mana yang asli dan palsu," ujar Yuskal.


Agusli Taher, produser dari Pitunang Record di Padang, mengatakan, lagu Minang menjadi sasaran empuk pembajak. "Kalau nggak dibajak, mungkin sudah pada kaya," kata Agusli. "Saya dulu bikin album Bukit Lantiak, itu kita cetak 5 ribu, pembajak cetak 30 ribu."


Untuk mengatasi pembajakan, para produser dan pemilik studio kemudian mendirikan Asrindo (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), yang berpusat di Padang. Tujuan organisasi ini untuk memberantas maraknya pembajakan terhadap lagu-lagu Minang.


Menurut Agusli, yang juga menjadi Sekretaris Asrindo, beberapa tahun lalu Asrindo pernah melakukan razia di Pekanbaru, pembajaknya ternyata punya ruko lantai tiga. "Di tempat itu sudah ada 50 judul album lagu minang dibajak, ada ratusan VCD dan kaset bajakan lagu Minang yang siap diedarkan. Pembajakan ini biasanya dibajak di Jakarta, sebagian di Pekanbaru," Agusli menjelaskan.


Razia juga kerap dilakukan Asrindo bersama polisi ke pelosok Sumatera Barat. "Kalau dikumpulkan VCD yang kami sita sudah satu truk, kami minta pemerintah serius memberantas pembajakan, kalau tidak industri rekaman akan gulung tikar," kata Yuskal. Dari catatan Asrindo, saat ini terdapat 26 produser di Sumatera Barat, menyusut dari jumlah sebelumnya yang mencapai 33 produser.


FEBRIANTI


Tempointeraktif.com, Rabu, 11 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 11, 2011 22:12

Geliat Rekaman Pop Minang



*****


Sepintas, rumah berlantai dua dengan pekaranganya yang cukup luas di pinggir Sungai di Jalan Banda Bakali 17, Padang, Sumatera Barat itu seperti rumah biasa karena tak ada papan namanya. Namun ternyata di situlah letak Studio Rekaman Sinar Padang Record, salah satu studio rekaman terkenal di sana yang ikut mendorong kian bergairahnya industri rekaman lokal.

















Tempointeraktif.com, Rabu, 11 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 11, 2011 20:10

May 9, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 27 - PANAU DI DADA GANTI SULUH


Teks pantun adalah lautan hikmah tempat orang bermain budi dan ajuk-mengajuk hati. Banyak pelajaran mengenai berbagai macam sifat manusia yang dapat kita ketahui dari teks pantun. Di dalamnya terekam sifat-sifat pribadi manusia yang universal, sekaligus yang lokal dan dipengaruhi oleh budaya setempat. Kita nikmati lagi representasi universalisme dan lokalisme sifat manusia itu dalam bait-bait pantun Minangkabau di nomor ini.



212.


Jangan baladang jauah-jauah,


Rakik siapo maelokan,


Jangan badagang jauah-jauah,


Sakik siapo manggilokan.


 


213.


Pimpiang di suduik ladang kami,


Tampak nan dari Banua Rao,


Suntiang di rambuik dari kami,


Bara ko lama ka dibao?




214.


Kamuniang di tapi tabek,


Jatuh malayang silaronyo,


Putiah kuniang giginyo rapek,


Panau mambayang di dadonyo.


 


215.


Buruang lauik tabang jo balam,


Balam menyemba anak puyuah,


Kok takuik bajalan malam,


Panau di badan ganti suluah.


 


216.


Limau manih di kampuang Tiku,


Dibao urang ka Barangan,


Itam manih duduak di pintu,


Tampak sadikik kalinduangan.


 


217.


Balam timbago patah kapak,


Tingga bulunyo di tapian,


Malam nyato siang tak tampak,


Itu nan marusuah paratian,


 


218.


Takukua balam 'rang Judah,


Kanai dirongkok duo-duo,


Putusi kato nak nyo sudah,


Jan badan bak nangko juo.


 


219.


Kok hujan hujankan bana,


Nak tantu bapayuang lilin,


Kok anggan anggankan bana,


Nak tantu cari nan lain.


 


Ada nada khawatir dalam bait 212 dari si dia yang akan ditinggal pergi merantau oleh kekasih hatinya. 'Jangan terlalu jauh merantau, kalau sakit di sana siapa yang akan menemani', demikian ungkapan rasa gamang si dia yang akan ditinggal pergi.


 


Tapi siapa tahu si dia pergi merantau karena si gadis masih bertangguh terus. Sudah bertunangan, tapi masih belum mau ke pelaminan. Itulah rupanya kiasan yang dimunculkan dalam bait 213: 'sunting di rambut dari kami, masih berapa lama lagi akan dibawa?' Masih berapa lama lagi Anda betah memakai 'cincin tunangan'? Bukankah lebih baik statusnya segera diubah menjadi 'cincin kawin'?


 


Falsafah panau atau panu pada bait 214 dan 215 mungkin kedengaran agak aneh bagi orang Minang sekarang. Dulu panau yang muncul di di tubuh bisa menjadi kebanggaan. Mungkin karena di antara jenis-jenis panau ada yang disebut 'panau bunga' (lih : KBBI 1998 :641). Panau (bercak-bercak putih di kulit) dianggap menambah kecantikan seorang perempuan atau kegagahan seorang lelaki. Tentu saja ada kesan hiperbolis di sini: panau yang membayang di dada seseorang bisa dijadikan obor dalam perjalanan di malam hari (panau di dado ganti suluah). Kini saya mengerti kenapa mamak saya dulu banyak memelihara panau di badannya. Jangan-jangan inilah sebabnya kenapa beliau berbini banyak: ada saja perempuan yang suka kepadanya. Kalau sekarang, walau Anda gagah dan tampan, tapi kalau punya panau di badan, kecil kemungkinan ada yang akan naksir kepada Anda. Masa jaya panau memang sudah lewat.


 


Si hitam manis yang menjadi pujaan muncul lagi dalam bait 216. Kali ini dia duduk di pintu rumah gadang, mungkin sedang menikmati udara sore. Banyangan pohon-pohon dan atap rangkiang sedikit menghalangi mata untuk dapat memandangnya dengan lebih jelas. Memang lain enaknya memandang si hitam manis yang sedang duduk di pintu, lebih nikmat ketimbang memandang si hitam manis yang suka hilir mudik di lebuh raya.



Logika terbalik digunakan dalam kiasan dalam bait 217: dalam gelap terlihat, siang tidak tampak. Ini mungkin mengilatkan dunia suami-istri di Minangkabau yang dibentuk oleh sistem matrilineal, dimana suami atau istri hanya punya kesempatan untuk saling bertemu pada malam hari. Pagi-pagi si suami sudah turun dari rumah istrinya dan baru akan kembali lagi menemui istri dan anak-anaknya jika senja sudah lewat – keakraban dan kasih sayang keluarga yang disetir oleh adat.


 


Dua bait terakhir (218 dan 219) mengandung tuntutan kepastian tentang isi hati Anda kepada si dia: kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak. Jangan angguak-anggak geleang namuah. Tindakan Anda yang demikian itu bikin jiwanya sengsara. Jika hatimu sudah baparinggo kepadanya, ucapkan saja kata putus, biar statusnya jadi jelas, dan biar dia bisa cari yang lain.


 


(bersambung minggu depan)


 


Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 8 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 09, 2011 15:30

May 8, 2011

Minang Saisuak #49 - Musyawarah Para Penghulu

minang-saisuak-musyawarah-para-penghulu





di Minangkabau zaman saisuak adalah sebuah acara nagari yang meriah. Acara itu adalah ajang untuk 'bermain pedang' dengan kata-kata bersayap ('bersilat lidah') yang dikemas dalam tradisi pasambahan.


Rubrik 'Minang Saisuak' Singgalang Minggu kali ini menampilkan foto klasik sebuah rapat kaum penghulu di awal abad ke-20. Judul foto ini adalah: "Vergadering van pangoloe's, Soematra" (Rapat para penghulu di Sumatra [Barat]). Tidak disebutkan di nagari mana foto ini diambil, tapi sangat mungkin di darek. Foto ini (ukuran 14 x 23,5 cm.) dibuat tahun 1911 oleh mat kodak Jean Demmeni dan diproduksi dengan memakai teknik fotolithografie. Tercatat foto ini terakhir dikoleksi oleh .




BB.


– Leiden, Belanda.


Wagenaar Reisiger.Indië in beeld: Algemeene Nederlandsche Wielrijdersbond Toeristenbond voor Nederland).


Singgalang, Minggu, 8 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 08, 2011 15:30

May 2, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 26 - JANGAN DIGILA CAHAYA INTAN


Mungkin saya adalah seorang yang tak terlalu digila oleh modernisasi sehingga lupa kepada kebudayaan sendiri. Saya membayangkan generasi Minangkabau yang pintar mengapresiasi kemodernan dunia kini, dengan segala kecanggihan teknologinya, tapi tetap hidup dalam koridor budaya nenek moyangnya: generasi Minangkabau yang campin bermain di tombol-tombol komputer tapi tetap tahu di bayang kata pantun. Itulah antara lain tujuan Padang Ekspres menyajikan rubrik 'Khazanah Pantun Minang', yang terus kita lanjutkan di nomor 26 ini.



205.


Lah lamo kambang bungo pandan,


Kambangnyo cameh baruruik'i,


Lah lamo datang 'nyao badan',


Datang nan cameh baturuik'i.




206.


Lah masak padi 'rang Gunung,


Satangkai digungguang alang,


Bara ka lamo ka digungguang,


Kok lapeh dapek dek urang.



207.


Kambanglah bungo parauiktan,


Kambang satampuak tigo sagi,


Bungo kambang tangah lauiktan,


Pucuak dilingka nago sati.



208.


Anak urang Silaiang Tinggi,


Dibubuik capo diampehkan,


Arok di buruang tabang tinggi,


Punai di tangan dilapehkan.



209.


Babuah durian tinggi,


Batang nan samo diunyikan,


Dibao anak Padang Gantiang,


Kini tatimpo sago juo,


Kasiah tadorong dalam hati,


Badan nan susah marasaikan,


Bak duri di dalam dagiang,


Kini taraso-raso juo.



210.


Sajak samulo den katokan,


Tidak dilatak dalam padi,


Dilatak juo di pambatang,


Tangguang lantaikanlah dek pandan,


Sajak samulo den katokan,


Tidak dilatak dalam hati,


Dilatak juo di balakang,


Tangguang rasaikanlah dek badan.



211.


Anak ikan dimakan ikan,


Ikan dimakan kapalonyo;


Elok-elok bamain intan,


Jangan digilo cahayonyo.



Calon tambatan hati yang dicari-cari sebenarnya sudah lama hadir, tapi ternyata dia merasa enggan didekati. Dia cemas jika Anda mendekatinya. Tentu saja Anda kecewa jadinya. Demikian kira-kira pesan dalam bait 205. Dalam bait 206 ada sindiran kepada seorang bujang yang terlalu lama bersangkut hati dengan seorang gadis, tapi tidak memberi kepastian kapan akan menikahinya. Bisa juga diibaratkan kepada pasangan yang terlalu lama berada dalam status pertunangan. Akibat terlalu lama menunggu, bisa-bisa hubungan kasih itu putus dan si gadis keburu 'disambar' oleh lelaki lain.



Bait 207 menyajikan kiasan pekat yang badaceh: ada gadis rancak dalam negeri, jadi perhatian setiap pemuda, tapi proteksi dari keluarganya kuat sekali. Maklumlah, dia berasal dari keluarga kaya, mamak datuk ayah penghulu, anak sorang mandeh bertujuh. Rumit persyaratan yang harus dipenuhi kalau Anda ingin mendekatinya. Kakak saya St. Zaili Asril menasehati: kalau ingin juga mendekati gadis seperti itu, rosok-rosoklah isi saku Anda dan bercerminlah dulu ka kubangan tingga. Dengan kata lain: ukur kemampuan diri. Jangan malah gara-gara terlalu kebelet sama gadis dari keluarga kaya itu, kekasih Anda sendiri ditinggalkan, seperti disindir dalam bait 208: 'harap di burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan'.



Bait 209 merekam perasaan hati seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan (Mohon maaf kepada pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' yang kebetulan juga sedang mengalami hal ini, bukan maksud saya menyindir). Awak berkehendak, dia enggan, kasih terdorong tidak berbalas, ah…betapa menyakitkan memang: bagai duri di dalam daging, lama taukia dalam hati. Namun, tak guna disesali, karena sebenarnya sejak awal memang sudah muncul perasaan ragu juga, tapi hati Anda keras juga kepada si dia. Peringatan orang lain tidak Anda indahkan. Jika begini kejadiannya kini, 'tanggung dan rasaikan sendirilah oleh badan diri Anda' (bait 210).



Bait 211 berisi nasehat jitu kepada siapa saja yang sedang mabuk kepayang: pakailah rasio, jangan hanya menuruti kehendak hati. Cobalah raih apa yang mungkin dapat dijangkau, supaya nanti tidak jadi si pungguk yang merindukan bulan. Kiasan dalam bait terakhir ini sungguh tepat dan mengena: 'hati-hati bermain intan, jangan sampai tergila-gila oleh cahayanya'. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa 'putuih salai tali gitar' Anda, dan lama-lama Anda bisa suka ngomong sendiri (mangecek sorang) sambil bolak-balik mengukur panjang Jalan Sudirman dalam terik matahari kota Padang yang menyengat.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 1 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 02, 2011 15:30

May 1, 2011

Minang Saisuak #48 - Lembah Anai dan Air Terjunnya

minang-saisuak-lembah-anai-dan-air-terjunnya




ANAI mungkin merupakan salah satu tempat yang paling menarik di Sumatra Barat di zaman lampau, dan juga zaman sekarang. Ada banyak foto klasik yang memotret lembah sempit itu, yang menghubungkan dataran rendah rantau Pariaman dan kawasan pedalaman Minangkabau. Kebanyakan foto tersebut mengabadikan kawasan Lembah Anai setelah dibangun jalan kereta api yang dimulai tahun 1891. Foto-foto itu mengabadikan Lembah Anai sekitar air terjunnya – yang anehnya sering diucapkan 'air mancur' oleh lidah orang Minang – dari berbagai sudut bidik (angle).


Salah satu foto tersebut kami sajikan dalam rubrik 'Minang Saisuak' Singgalang Minggu kali ini. Foto ini, yang berukuran 18 x 22 cm., dibuat tahun 1915. Mat kodaknya bernama Jean Demmeni. Foto ini dicetak dengan teknik lichtdruk oleh Winkel Maatschappij Paul Bäumer & Co. di Padang.


Berbeda dengan foto-foto lain tentang Lembah Anai yang biasanya mengambil sudut bidik dari jalan pedati yang berada di sisi bawah jalan kereta api (mudah-mudahan nanti salah satu di antaranya bisa kami tapilkan dalam rubrik ini), sudut bidik foto ini justru dari jalan kereta api. Tampak jelas sekali rel kereta api yang memiliki 'gigi' di tengahnya. 'Gigi' itu diperlukan agar kereta api kuat mendaki karena perbedaan topografi yang tajam antara daerah pantai yang rendah dan pedalaman Minangkabau yang berbukit-bukit.


"De Aneh Kloof met waterval" (Celah Aneh [maksudnya 'Anai'] dengan air jatuh), demikian tertulis di bagian bawah foto ini. Kelihatan hutan Lembah Anai yang masih perawan, juga air terjunnya yang besar karena sumber air di hulunya masih belum banyak dieksploitasi manusia. Pada waktu itu bangunan pun belum banyak dibuat orang di sekitar air terjun, eh…air mancur ini.


Mungkin pembaca Singgalang dapat membandingkan foto ini dengan situasi Lembah Anai masa sekarang: apa yang masih sama dan masih bertahan, dan apa yang sudah berubah. Baru-baru ini media memberitakan bahwa makin banyak orang-orang tamak yang menebangi kayu-kayu di kawasan hutan Lembah Anai. Kita berharap para pelakunya menghentikan tindakan illegal logging yang merusak lingkungan itu. Jika tidak, keindahan Lembah Anai yang kita saksikan dalam foto ini, dan juga yang direkam oleh kamera dan handycam para pengunjungnya hari ini, dikhawatirkan di tahun-tahun mendatang hanya akan tinggal kenangan. Sesal kemudian tentu tiada guna.


Suryadi(Sumber foto: Souvenir der Padangsche Bovenlanden. Padang: Winkel Mij. v/h P. Baumer & Co,19xx: foto no.12). , Minggu, 1 Mei 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 01, 2011 16:00

April 25, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 25 - MENGHADAP TAPI MEMBELAKANG



Kapa Ulando buang jangka,


Kaba barito kami danga,


lah


Sugilandak guntiang Patani,


Hati andak mato birahi,


199.


Rami balainyo Pasa Gantiang,


Bungo kambang di ujuang ranting.


200.


Barabah makan saribulan,


Ubahnyo datang dari tolan.


201.


Asoknyo sampai ka Salido


Di hati sadikik tido.


202.


Dalam batarok bakudarang,


Dalam maadok mambalakang.


203.


Tumbuahlah banto dalam padi,


Danga barito dagang kami.


204.


Den siang babanda juo,


Den rintang takana juo.


Sudah lama Anda mengharapkan cinta si dia, tapi rupanya hatinya nyangkut kepada orang lain. Demikian siratan makna pada bait 197. Rindu dendam Anda kepadanya sudah pekat bak tengguli yang menyebabkan pikiran Anda tak lepas darinya, membuat si dia terus teringat (bait 198). Tapi apa daya, harapan Anda ternyata jauh dari kenyataan: ternyata hatinya diberikan kepada orang lain.


Kiasan pada bait 199 halus sungguh, sebagaimana disiratkan juga oleh kata ranting yang dipakai dalam baris isinya. Bait ini mengiaskan cinta yang rawan, ibarat bunga di ujung ranting: mudah jatuh ditiup angin. Mungkin harus diingat lagi, apa sebabnya muncul cinta yang lemah itu. Perkuatlah cinta itu kembali, pikir-pikirlah sebelum mengucapkan 'talak tiga', agar esok tidak menyesal.


Namun, tampaknya yang berubah memang perasaan hatinya kepada Anda, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, rupanya si dia yang berpindah ke lain hati (bait 200). Akhirnya Anda tahu juga bahwa mulut dan hatinya sudah tak sinkron lagi; sudah tak sesuai apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Malah sudah bertolak belakang: dari mulutnya masih terus balapia-lapia kata sayang terucap, tapi dalam hatinya rasa itu tak sedikitpun lagi tersisa (bait 201). Dan prilaku si dia yang munafik itu dirumuskan dalam sebuah bahasa seni Minangkabau yang luar biasa indah dan dalam maknanya: 'dalam maadok mambalakang' (bait 202), yang makna konotatifnya tak akan bisa ditampung oleh terjemahan bahasa Indonesianya: 'dalam menghadap membelakang'. Jelas maksudnya adalah: tubuhnya tetap berdekatan dengan Anda, tapi hatinya jauh dari Anda.


Hati-hati lo, menurut sebuah survei ilmiah fenomena 'dalam menghadap membelakang' ini makin banyak terjadi di zaman BlackBerry ini: 'perselingkuhan virtual' kata orang kini. Si dia tetap di rumah, dekat dengan Anda, tapi begitu ada kesempatan sedikit (tapico sabanta), dia langsung bermesraan dengan seseorang di taman siber. Awalnya memang hanya sekedar 'ketemu' di udara, tapi lama-lama bisa lanjut ke 'copy darat'.


Ada suara dari rantau lagi di dalam bait 203, yang diungkapkan dengan kiasan yang indah. Rupanya si subjek lirik sedang diarak peruntungan di rantau (dagangan lagi sepi). Ia menyeru ke langit tinggi, semoga kekasihnya di kampung terbangun dari tidurnya, dan semoga sang pautan hati mengirimkan doa untuknya. Konon doa orang tercinta memang dapat memberikan kekuatan.


Di bait 204 ada suara hati yang tersayat sembilu darah lagi. Siapa saja tentu akan bersedih jika cinta sucinya dikhianati. Walau telah dirintang dengan 'pamenan mato' yang lain, wajah si dia tetap saja muncul di orang-orang mata Anda; siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi. Tepat benar apa yang dikatakan konco pelangkin saya, Nasrul Azwar: 'Lah dilampok jo tapak tangan, di salo jari tampak juo' (Sudah ditutup dengan telapak tangan, namun di sela jari kelihatan juga). Aduh…gelap dunia!


Suryadi Padang Ekspres, Minggu, 24 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 25, 2011 16:00

Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.