Suryadi's Blog, page 41

April 24, 2011

Minang Saisuak #47 - Monumen Ekuator di Kampung Jambak, Sunur, Pariaman

minang-saisuak-monumen-ekuator-di-kampung-jambak-sunur-pariaman




yang membagi bola dunia jadi dua melewati wilayah Indonesia, salah satunya adalah Pulau Sumatra. Sudah umum diketahui bahwa di Bonjol ada satu tugu khatulistiwa yang dibuat Belanda. Tapi banyak orang mungkin belum tahu bahwa ada satu tugu lagi yang dibuat Belanda untuk menandai garis ekuator yang 'mengudung' pulau Sumatra.


Tugu ekuator yang kedua itu, yang fotonya kami turunkan dalam rubrik 'Minang Saisuak' kali ini, terletak di korong Kampung Jambak, Nagari Sunur, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Tepat di atas puncak tugu ini garis khatulistiwa lewat merentang lurus ke atas tugu yang ada di Bonjol. Tidak diketahui siapa nama mat kodak foto ini.


Foto ini cukup unik: tugu dan manusia yang terekam dalam foto ini berwarna putih bersih. Kelihatan seorang bule (kemungkinan besar orang Belanda) yang memakai pakaian serba putih. Ia memegang suatu benda, mungkin sebuah teropong atau kamera. Tidak ada informasi siapa bule itu. Barangkali dia seorang peneliti (onderzoeker). Tapi ia memakai cepiau yang biasa dipakai oleh tuan kontrolir (controleur). Mungkin saja ia adalah kontrolir yang lagi bertugas di Padang Pariaman waktu itu.


Lima anak kecil itu, entah kebetulan atau tidak, juga memakai pakaian putih, mungkin dibuat dari jenis kain ganiah atau marekan. Tampaknya anak-anak itu sedang berdialog cukup akrab dengan si Belanda jangkung itu. Foto ini seperti menyembunyikan wajah bengis kolonialisme: putih, suci, tanpa letusan bedil dan jeritan kematian. Anak-anak itu agaknya sudah mengenal bangku sekolah, tidak seperti anak yang kampungan benar, yang lari menyuruk masuk pandan ketika orang putih datang.


ng Jambak ini masih ada sampai sekarang, walau sudah kurang terawat. Letaknya di pertigaan jalan di kaki jembatan Pasir Sunur: sesimpang menuju Ulakan, sesimpang menuju Kuraitaji dan sesimpang lagi menuju Pariaman (menyusuri pantai). Dalam foto ini ruas jalan yang menuju ke Ulakan (yang sekarang melewati korong Pasir Baru dan Muara) tampaknya belum ada; yang ada baru ruas jalan yang menuju Kuraitaji, yang sekarang menjadi jalan utama di Nagari Sunur.


Ketika masih kecil, seusia anak-anak dalam foto itu, saat akan pergi dan pulang mandi dengan teman-teman di pantai Sunur yang ombaknya bak buni urang maimbau itu, penulis sering bersandar di tugu itu dan memandang puncaknya. Koto Rajo, desa kelahiran penulis adalah salah satu korong Nagari Sunur, yang terletak sekitar 2 km. dari tugu itu. Kelima bocah Sunur yang terekam dalam foto itu mungkin pernah berpikir bisa menjejakkan kaki di Belanda, kampung si bule berkaos putih itu. Enam puluh tahun kemudian seorang putra Sunur yang lain terdampar di negeri penjajah itu.


Suryadi(Sumber foto: KITLV Leiden).


Minggu, 24 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 24, 2011 16:00

April 18, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 24 - TAHULAH DI 'ANGIN BERKISAR'


189.


Pacah kaco di dalam padi,


Apo kato tingga di kami?


Pulang baliak kangkuang baranang,


Adiak sapantun payuang kambang,


191.


Sinan kamuniang rampak mudo,


Lenggang nan Kuniang tampak juo.


Marapalam sarangkai limo,


Cubolah dalam Lauik Cino,


193.


Tak kawek tanunkan suto,


Ko tak suko kirimkan pulo.


Rajo Buo tagak di laman,


Rilakan sado nan tamakan,


195.


Kasiak tadorong ka ilalang,


Camiah tadorong kasiah sayang.


Ka lauik manjalo todak,


Pacik padoman kami tidak,


Jangan sampai "kau pergi tiada pesan" (meminjam penggalan lirik sebuah lagu). Sebelum pergi menuju rantau ucapkan janji kepadanya sekali lagi, biar hati si dia yang ditinggalkan merasa tenang. Demikian pesan pada bait 189. Bait berikutnya (190) terasa seperti air jeruk hangat di kerongkongan: istri atau kekasih yang baik lahir batin memang bisa membuat hidup terasa sejuk, bahagia, dan damai, laksana mendapat payung di tengah terik matahari. Jika si kuning langsat pautan hati yang baik itu terpaksa ditinggalkan di kampung karena Anda harus pergi merantau jauh yang dipisahkan oleh 'tujuh bukit dan sembilan pulau', tentu saja lenggangnya dan gaya jalannya yang si ganjua lalai itu akan selalu terbayang di mata Anda (bait 191).


Ada nada terus terang pada bait 193 yang menyimbolkan penerimaan dan penolakan cinta di balik kata pakirim: kalau suka katakan suka, kalau tidak katakan tidak. Kiasan halus dan indah ala Minangkabau muncul lagi dalam dua bait terakhir. Bait 195 sungguh sangat menarik, terutama karena pemakaian kata 'Allah' pada baris ketiga. Cinta karunia Allah ternyata bisa cacat dalam diri manusia tertentu. Tapi syukurlah ada detak hati, yang juga semacam firasat halus karunia Tuhan kepada diri manusia, yang otomatis memberitahu bahwa Anda tidak akan memperoleh kasih sayang dari lubuk hati yang paling dalam dari si dia. Jadi, Anda telah 'dipintas'Nya sebelum hanyut.


(bersambung minggu depan)


[Leiden University, Belanda]


, Minggu, 17 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 18, 2011 16:00

April 17, 2011

Minang Saisuak #46 - Guru-guru Sekolah Radja Fort de Kock

minang-saisuak-guru-guru-sekolah-radja-fort-de-kock




memang cocok diberi gelar pahlawan tak dikenal itu. Ada guru yang lama terpendam dalam ingatan, tapi ada pula guru yang cepat terlupakan. Guru yang pintar sering lama teringat, juga guru yang 'killer'. Tapi itu biasa. Bukankan sudah disebut dalam pepatah Minang, tak ado gadiang nan tak ratak, tak ado tupai nan tak gawa, untuk menggambarkan bahwa setiap manusia, termasuk guru, sesungguhnya tidak ada yang sempurna. Seseorang, juga guru, lama teringat dalam pikiran kita karena ada yang khas pada dirinya, mungkin yang khas itu baik (positif), mungkin juga yang buruk (negatif).


Dalam sistem pendidikan kolinial (coloniale onderwijs) pada masa itu, posisi guru pribumi dan guru Belanda dibedakan. Guru Belanda sendiri ada dua tingkat: direktur dan guru kedua. Guru pribumi berada di tingkat paling bawah. Namun, mereka yang berprestasi mendapat kesempatan untuk dipromosikan dan turne ke daerah lain. Dalam sejarah Kweekschool Fort de Kock, Engku Nawawi Soetan Makmoer tercatat sebagai guru pribumi yang paling pintar.


Suryadi(Sumber foto: [Nawawi St. Makmoer dan T. Kramer], Gedenkboek Kweekschool Fort de Kock 1873-1908. Arnhem: G.J. Thieme, 1908: 37).


Minggu, 17 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 17, 2011 16:00

April 11, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 23 - BUNGA CANTIK TAPI TAK HARUM


Pantun adalah sebuah situs kearifan. Melalui teks pantun-pantun Minangkabau kita bisa melihat kearifan standar yang berlaku dalam anggota masyarakat Minangkabau dalam menyampaikan berbagai macam maksud. Teks pantun dapat diibaratkan seperti permukaan sebuah sungai yang tenang tapi memiliki arus bawah yang sangat deras. Silakan selami lagi makna konotatif yang melekat erat dalam pantun-pantun Minangkabau dalam bait-bait yang tersaji di nomor ini.



181.


Babelok jalan ka Gantiang,


Singgah ka rumah gonjong limo,


Bago nak elok bungo cangkiang,


Tidak harum apo gunonyo.




182.


Itam-itam si tampuak manggih,


Kamuniang gugua bungonyo,


Bia itam dipandang manih,


Putiah kuniang tidak gunonyo.



183.


Itam-itam tampuaknyo manggih,


Kamuniang bakarek-karek,


Itam-itam dipandang manih,


Putiah kuniang ganggamnyo arek.



184.


Asok api di Pulau Punjuang,


Urang mamanggang sarok balai,


Mukasuik hati mamaluak gunuang,


Apo dayo tangan tak sampai.



185.


Pantai Tiku karang bajangguik,


Tampaik urang mamapeh tamban,


Sungguah jauah di mato lupuik,


Hati kasiah barubah jangan.



186.


Aia satalam duo talam,


Tingga sabanta 'rang tapisi,


Badan tasentak tangah malam,


Dipaluak banta ditangisi.



187.


Karambia satandan labek,


Minyaknyo tangah kuali,


Bapasan di hujan labek,


Alah ko sampai nyo tu kini?



188.


Salasiah jo sikaduduak,


Anjalai gumpo dalam padi,


Kasiah Tuan antaro duduak,


Kok bacarai lupo jo kami.



Bunga (pohon) cangking memang cantik, tapi tak ada baunya, hambar. Begitulah perumpamaan yang tepat yang dipakai dalam bait 181 untuk menggambarkan kepribadian seorang wanita cantik tapi tak berbudi baik dan berpaham ketuju. Mungkin banyak lelaki yang melirik, tapi tak banyak yang berkeinginan lebih dekat dengan dia, apalagi mau mempersuntingnya menjadi teman hidup. Toh sudah dikatakan oleh mamak kepala waris sejak dulu: 'nan baiak budi, nan indah baso'.



Si 'hitam manis' dan si 'putih-kuning' tampaknya selalu kompetitif dalam pikiran lelaki Minangkabau tentang kecantikan perempuan, sebagaimana terefleksi dalam bait 182 dan 183. Selalu bimbang mau memilih yang mana di antara kedua tipe itu. Si hitam manis (plus budi baik dan baso katuju) mungkin akan jadi pilihan Anda ketimbang si putih-kuning (minus budi bahasa). Tapi jika kedua-duanya berbudi baik, ramah, perhatian, memiliki kepribadian (seperti yang selalu dicari dalam kontak jodoh di koran-koran edisi Minggu), apalagi jika yang pertama berpembawaan ceria dengan wajah manisnya, sementara yang kedua erat genggaman jemarinya, mungkin Anda akan mengalami kesulitan dalam menjatuhkan pilihan. Rasain!



'Si pungguk rindukan bulan' disebut-sebut dalam bait 184. Kalau jatuh cinta, ya wong cobalah takar 'modal' sendiri terlebih dahulu, termasuk 'modal' tampang (penampilan) dan isi kantong. Jangan nanti malah jadi pecundang lagi dan menerima kata-kata hinaan: 'Wah, loe mau dekat dengan gue ? Loe ngaca dulu deh !'



Dua sejoli yang berpisah karena tradisi merantau Minangkabau yang dahsyat itu bergema lagi dalam bait 185 dan 186. Jarak boleh memisahkan kita, tapi janji erat, baik yang akan maupun yang sudah diucapkan di hadapan ninik-mamak dan andan-pasumandan, semoga tidak akan aus dan berubah oleh jarak dan waktu: jauh di mata tapi selalu dekat di hati. Jika datang rindu dendam itu di tengah malam, peluk saja guling yang sebesar batang pisang timbatu itu. Walau air mata mungkin akan cucur di malam kelam yang didirus hujan mentuyuh itu, tetaplah coba berdamai dengan bayangannya. Pesankan ke hujan lebat, semoga si dia yang sedang mencari tuah di Tanah Jao (Jawa) akan cepat kembali kepada Anda (bait 187).



Adalah wajar jika si Puti Lenggogeni yang ditinggalkan di tepian tempat mandi merasa tak yakin bahwa Anda akan kembali utuh kepadanya. Dia khawatir rantau akan 'menelan' Anda ; dia takut 'tempe' akan terasa lebih enak daripada 'rendang' di lidah Anda nanti. 'Kasihmu hanya antara duduk, jika berjauhan kamu cepat melupakanku', jerit batinnya (bait 188). Maka, saran saya, sebelum peluit terakhir Kambuna melengking, sebelum badan kapal merenggang dari dermaga pelabuhan Teluk Bayur, sebelum Gumarang atau APD bergerak meninggalkan terminal Lintas Andalas (oh, BIM itu telah menyebabkan para pasisie selalu basigageh dan tegang-kaku seperti robot), berikan saputangan sirah baragi (terima kasih Bapak Nasrul Siddik) kesayangan Anda kepada si Lenggo dan bisikkan satu kata kunci di telinganya, kata yang akan membuatnya tenang dan sabar dalam hari-hari penuh penantian nan panjang.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 10 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 11, 2011 15:02

April 10, 2011

Minang Saisuak #45 - Asbon Madjid: 'Nakhoda' Campin Orkes Gumarang

asbon-madjid-e28098nakhodae28099-campin-orkes-gumarang




Bila ingat Orkes Gumarang yang terkenal itu, maka tentu kita juga ingat nama Asbon Madjid, tokoh 'Minang Saisuak' kita kali ini. Orkes Gumarang dibentuk di Jakarta tahun 1953 oleh sepuluh orang putra Minang, di antaranya adalah mantan Kapolri Awaluddin Djamin.



Asbon Madjid lahir di Sibolga tanggal 8 Mei 1925. Kedua orang tuanya berasal dari Tanjuang Alam Tabek Patah. Usia 3 tahun ia meninggalkan Sibolga, pindah ke Padang. Asbon menempuh pendidikan dasar hingga SLP di Padang (1937-1940). Kemudian melanjutkan pendidikan di H.I.S. Taman Sari (sampai 1943).



Asbon mulai menekuni dunia musik sejak 1937. Ia mempelajari berbagai corak musik, seperti keroncong, gambus dan gamad. Bersama Zainul Bahar ia mendirikan Orkes Hawaiian The Smiling Players di Padang tahun 1938. Grup musik ini mengisi banyak acara di pesta dansa orang-orang Belanda dan acara pasar malam di Padang, juga mengisi siaran musik di Padangsche Radio Omroep. Tahun 1939 grup musik ini mengadakan tour ke Medan dan didaulat untuk mengisi siaran di radio NIROM Medan. The Smiling Players eksis sampai 1944.



Ketika Jepang masuk, Asbon ditarik menjadi pemain piston dalam anggota Korps Musik Tentara Dai Nippon. Pada zaman itu ia juga ikut grup sandiwara 'Ratu Asia' (sebagai aktor, penyanyi dan pemusik) yang dipimpin oleh Syamsuddin Syafei. Grup musik 'Ratu Asia' dipimpin oleh Zubir Said, warga Minang yang juga menciptakan lagu kebangsaan Singapura.



Sejak Indonesia merdeka (1945) sampai 1953, Asbon aktif dalam dunia kemiliteran, antara lain sebagai Tentara Pelajar Padang dan anggota TRI Divisi Banteng di Bukittinggi. Tahun 1954, setelah bebas dari dinas ketentaraan, Asbon merantau ke Jakarta dan bergabung dengan Orkes Gumarang yang waktu itu dipimpin oleh Alidir (sebelumnya oleh Anwar Anif). Tahun 1955 Alidir menyerahkan kepemimpinan Orkes Gumarang kepada Asbon. Sejak itu Orkes Gumarang, yang mencangkokkan unsur musik Amerika Latin ke dalam musik Minang, menjadi terkenal ke seluruh Nusantara, bahkan sampai ke Malaysia melalui rekaman-rekamannya dalam bentuk piringan hitam. Asbon memimpin Gumarang sampai 1964.



Pada Februari 1964 Asbon dan beberapa personil Gumarang lainnya menyertai New York World Fair. Mereka berada di Amerika Serikat selama 11 bulan, kemudian meneruskan perjalanan Eropa. Tahun 1970 Asbon dan kawan-kawan mengikuti misi kesenian di Pekan Raya EXPO 1970 di Osaka, Jepang.



Tahun 1971 untuk pertama kalinya Orkes Gumarang manggung di Padang. Asbon, Syaiful Nawas, Dhira Suhud, Anas Yusuf dan istrinya yang warga Jerman, Ingrid Michel, serta biduanita cantiknya, Nurseha, dan bintang tamu Elly Kasim tampil memukau warga ibukota ranah bundo-nya itu ([Asbon Madjid] 1997:xix).



Asbon Madjid, yang telah banyak mendapat penghargaan atas sumbangsihnya teradap perkembangan musik Minang dan tanah air pada umumnya, meninggal pada tahun 1980 di Jakarta. Bersamaan dengan itu riwayat Orkes Gumarang turut tamat. Para personil Gumarang cerai-berai 'dilarikan' nasib masing-masing setelah sang 'nakhoda' meninggal. Yang masih hidup kini hanya Awaluddin Djamin dan Syaiful Nawas (tinggal di Jakarta), serta Anas Yusuf yang ikut istrinya di Jerman dan menjadi penyanyi opera di sana. Khairil Anwar benar: 'sekali berarti setelah itu mati'.



– Leiden, Belanda.


(http://www.tamanismailmarzuki.com/tok...)



Singgalang, Minggu, 10 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 10, 2011 16:00

April 4, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 22 - TEMPAT BERGANTUNG SUDAH PUTUS



Dari Tembok ka Kampuang Baru,


Tuan elok carilah judu,



Karangkan kami bungo pandan,


Sorakkan kami tangah medan,


176.


Simantuang di Bukit Putuih,


Bakeh bagantung nan lah putuih.


177.


Manurun Tanjuang Barulak,


Di bawah tidak mangulak.


178.


Kapa balayia dari Tiku,


Sasa tak sudah di hatiku.


179.


Iliakan kampung nona Cino,


Tabuang kami dagang hino.


180.


Mati tapuluik dalam padi,


Tidak di muluik dalam hati.


Bait 174 berisi suara si pecundang lagi: tak mungkin rasanya bersama si dia, yang kelas sosialnya lebih tinggi, yang lebih terpandang. Makanya si subjek lirik berterus terang saja: menyuruh si dia mencari jodoh (judu) lain karena dia orang miskin dan susah (suka). Walaupun begitu, si pecundang masih berharap jangan dilupakan, walau mungkin dipermalukan di hadapan publik (disorakkan di tengah medan) (bait 175).


Kalau menghadapi perceraian, lahir maupun batin, rasanya memang jadi putus asa, walau tentunya tidak semestinya begitu: seperti tidak berpijak di bumi lagi, tak ada lagi tempat bergantung (bait 176). Konteksnya bisa dalam arti hubungan kasih sayang, tapi juga dalam keluarga matrilineal, apabila mamak tidak ada lagi. Orang bilang seperti lubuk tidak berbatu, seperti ijuk tidak ber-saga.


Bait 177 bisa diartikan dalam konteks yang bermacam-macam. Kata 'ateh' boleh berarti ujaran atau bicara; kata 'bawah' bisa berarti 'hati'. Boleh jadi maksudnya: dalam omongan seperti mau berpisah, sudah tak ada harapan lagi, tapi dalam hati sebenarnya masih sayang, masih kuat perasaan kepadanya (tidak mangulak). Di lahir benci, di batin cinta. Seperti telah disebutkan dulu, orang bisa melakukan multitafsir terhadap pantun Minangkabau. Setiap penafsiran sangat tergantung pada konteks pembicaraan. Tidak tertutup kemungkinan untuk menafsirkan arti lain terhadap bait yang sangat esoterik ini.


Ada suara si pencundang lagi pada bait 178. 'Cincin batuah' menyimbolkan orang lain yang lebih tinggi derajatnya, kaya, ternama, termasyhur. Hati si dia tampaknya sudah berpindah kepadanya, sehingg si pecundang ditinggalkan. Hatinya menyesal gadang. Sasa tak sudah jelas ibarat dua sisi mata pisau dengan sayang tak sudah. Yang pertama sering muncul akibat yang kedua. Begitulah yang sering terjadi jika si dia sudah 'lago jo nan gadang' (baca: sudah berpindah ke lain hati, kepada orang berpangkat, ternama, dan kaya berlindak). Jelas cinta si pecundang (dagang hino) akan ditelantarkan (bait 179).


Rupanya memang rasa kasih itu sudah baparinggo juga, sudah retak, sebagaimana disiratkan dalam bait terakhir (180). Tanda-tandanya sudah ada, mungkin sudah datang dalam mimpi: 'ayam dalam pautan benar yang disambar elang'. 'Datak hati ateh pado tanuang', kata orang tua-tua kita dulu. Tampaknya si dia sudah bikin ulah, sudah nggak fokus lagi ke Anda. Ini memang pertanda bahwa sebentar lagi akan datang sesal, kalau tidak terucapkan di mulut, paling tidak tergurat dalam hati. Alamat Anda akan berusuh hati juga jadinya. Tapi tak usahlah disesalkan benar. Jatuh hati dan patah hati adalah bagian dari permainan hidup manusia. Toh ungkapan lama sudah mengatakan bahwa 'adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam'.


(bersambung minggu depan)


Suryadi Padang Ekspres, Minggu, 3 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2011 14:30

April 3, 2011

Minang Saisuak #44 - Nurseha "Perkutut Minang"

minang-saisuak-nurseha-e28098perkutut-minange28099




Yurnaldi (2001) menyebut Elly Kasim sebagai 'Kutilang Minang', maka Nurseha, sosok yang kami tampilkan dalam rubrik 'Minang Saisuak' kali ini, boleh dianggap sebagai 'Perkutut Minang'. Keduanya melegenda sebagai generasi pertama artis pop Minang yang menonjol. Wajah cantik Nurseha sulit dicari bandingannya sampai kini dalam jajaran penyanyi pop Minang. Suara indahnya terekam dalam sejumlah piringan hitam yang beredar di tahun 1950-an dan 1960-an.


Nurseha adalah dara asal Banuhampu, lahir sekitar tahun 1938. Kedua orang tuanya berasal dari Bukittinggi. Tapi sejak gadis Nurseha sudah merantau ke Jawa. Ia menamatkan SMP di BandungIa pernah dikirim ke Nusakambangan untuk meliput tahanan penjara di pulau itu. Di samping itu ia, bersama Yus Parmato Intan, juga menjadi penyiar acara siaran Minang di Radio Draba dan Radio P2SC di Jakarta (1967-1970).


Nama Nurseha melambung sebagai penyanyi pop Minang berkat Orkes Gumarang, sebuah grup musik yang didirikan oleh beberapa anak muda perantau Minang di Jakarta tahun 1953. Orkes Gumarang pimpinan Asbon Madjid (sebelumnya oleh Anwar Anif dan Alidir), yang telah menerima banyak penghargaan di dalam dan luar negeri, adalah pionir dalam menghibridisasi dan memodernisasi musik dan lagu-lagu Minang dengan irama Latin cha-cha-cha sehingga tampil dalam kualitas baru dan dikenal di tengah-tengah kebudayaan nasional tanpa kehilangan identitatasnya.


Nurseha adalah biduan Orkes Gumarang yang menonjol. Wajah cantiknya dan merdu suaranya seolah menjadi daya pesona khusus grup orkes kebanggaan orang Minang itu. Dari markasnya di rantau Jakarta, Orkes Gumarang, yang namanya diilhami oleh nama kuda sakti dalam Kaba Cindua Mato, melanglang buana ke berbagai kota di tanah air. Baru pada tahun 1971 Orkes Gumarang tampil di ranah bundanya sendiri: di Padang. Waktu itu warga kota Padang dibuat terpukau oleh penampilan Nurseha dan personil Gumarang lainnya, seperti Syaiful Nawas, Dhira Suhud, Asbon Madjid, Anas Yusuf yang juga memboyong istri bule Jermannya, Ingrid Michel. Ingrid yang fasih berbahasa Minangkabau ikut pula bernyanyi.




– Leiden, Belanda.


Singgalang, Minggu, 3 April 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2011 15:30

March 28, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 21 - DALAM TANGAN ORANG YANG PUNYA



Kabau bakubang dalam parik,


Kasiah bamulai dalam raik,


167.


Padi sipuluik ditugakan,


Kami manuruik ditinggakan.


168.


Padi ditanam Sutan Mudo,


Kami biaso rami juo.


169.


Urang gubalo kalaparan,


Suaro tidak kadangaran.


170.


Diambiak panyapu bungo,


Dalam tangan urang nan punyo.


171.


Tampak nan dari Sungai Jirak,


Biduak lai pangayuah tidak.


172.


Tampaik manjamua buah palo,


Sabanyak rambuik di kapalo.



Jendaral Machiels mati di Bali,


Apo diarok pado kami?











[Leiden University, Belanda]


, Minggu, 27 Maret 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2011 15:20

March 27, 2011

Minang Saisuak #43 - Haji Abdul Gani Rajo Mangkuto: Bos 'Mafia' Kotogadang

haji-abdul-gadi-rajo-mangkuto





kolah guru yang baru didirikan di Fort de Kock. Ia mengajar sebentar di sekolah itu, tapi kemudian cabut dari sekolah itu dan mendalami dunia swasta.






– Leiden, Belanda. (Sumber foto: Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1986:151).


Singgalang, Minggu, 27 Maret 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 27, 2011 15:17

March 21, 2011

Khazanah Pantun Minangkabau # 20 - KASIH TERBAWA DALAM TULANG


François-René Daillie (1988) menyebut baris-baris sampiran pantun sebagai body (tubuh) dan baris-baris isi sebagai soul (jiwa). Yang diungkapkan dalam sampiran pantun selalu sesuatu yang terkait dengan alam nyata, yang fisikal, yang bisa diraba dengan pancaindera. Sebaliknya, yang diungkapkan dalam isi adalah sesuatu yang non fisik: keindahan, kecantikan, cinta, benci, rindu, nelangsa, marah, dan lain sebagainya. Dalam nomor ini, kami menyajikan lagi berbagai perasaan seperti itu, yang murni dimiliki oleh setiap pribadi manusia, dalam beberapa bait pantun muda Minangkabau lagi.



158.


Kasiak badarai tanam jiluang,


Padi di baruah rabah runtuah,


Kasiah carai sabab dek urang,


Hati di dalam tambah rusuah.




159.


Lah tumbuah parang jo galah,


Panikam punai bakuruang,


Patamukan badan dengan Allah,


Hati di dalam bak ka kuduang.



160.


Kasiak tatontong ka ilalang,


Balimau puruik lah daulu,


Kasiah tadoroang lah tabuang,


Baganjua suruik lah daulu.



161.


Alang sarik balimau puruik,


Kasiak tadorong ka ilalang,


Alang sarik mangganjua suruik,


Kasiah ambo tabuang surang.



162.


Mudiak Padang bajenjang batu,


Kasiak nila di dalam dulang,


Ambiak padang pancuanglah aku,


Kasiah tabao dalam tulang.



163.


Pisang naneh masak digoyang,


Digoyang urang Kampuang Aua,


Adiak ameh kami ko loyang,


Dima ka dapek campua-baua.



164.


Sungai Lansek pasanyo langang,


Tampek urang bajua-bali,


Sangkek 'lun dapek balun lai sanang,


Antah kok indak banyao lai.



165.


Jaik baju guntiang salendang,


Nambek dikili tapi kain,


Adiak ragu kami lah bimbang,


Nambek diganti jo nan lain.



Bait 158 mengilatkan kisruh cinta lagi: akibat ulah orang ketiga, hubungan kasih dua sejoli akhirnya berantakan, yang bikin perasaan hancur. Ada nada putus asa pada bait berikutnya (159): dia yang sedang dirundung kemelut cinta itu mohon 'bertemu dengan Allah' (baca: minta mati saja) karena setelah cintanya berantakan, hidupnya merasa tak berguna lagi.



Terlalu cinta tapi dicuekin memang bisa bikin hati sedih sekali. Kasih Anda terdorong kepadanya, tapi si dia acuh tak acuh saja. Kalau tersua keadaan seperti ini, lebih baik mundur dulu (baganjua suruik lah daulu), walaupun kadang-kadang sulit melakukannya, sebab Anda naksir berat sama si dia. Serasa cinta Anda terbuang sia-sia. Demikian kira-kira pesan dalam baris-baris isi bait 160 dan 161.



Suatu gaya flirting yang hebat didemonstrasikan lagi dalam bait 162. Mirip dengan syair lagu dangdut: 'belahlah dadaku, dan lihat hatiku, di dalamnya ada cinta untukmu', di sini dipakai istilah 'pancunglah diriku, dan lihat dalam tulang-tulangku ada cinta untukmu'. Singkatnya: cinta yang mendalam sampai ke sumsum tulang. Untuk itu orang mau berkorban apa saja, termasuk berkorban nyawa. Seperti ada suara Laila dan Majnun di sini.



Bait 163 merepresentasikan suara si pencundang cinta lagi: kasih yang tak jadi karena perbedaan kelas sosial yang jomplang, tak mungkin bisa bersatu (campua-baua). Sekarang bisa dimengerti mengapa banyak bujang Minang pergi merantau: ya, biar jadi kaya agar 'loyang' bisa berubah jadi 'emas'. Eh, jangan-jangan bait ini (juga ditemukan dalam bait-bait yang lain) merefleksikan mentalitas kaum wanita Minang yang hartaisme. Kan mereka dimanjakan oleh sistem matrilienal Minangkabau.



Ada suara optimis dan nekad dalam bait 164. Si dia akan tetap 'dikuntit' sampai kemanapun dan sampai kapanpun. Mungkin kalau sudah mati saja baru dia berhenti 'memburu'nya. Wah, ini tipe pribadi yang bisa-bisa menghalalkan segala cara dalam meraih cinta, termasuk main dukun dan menggunakan gasiang tangkurak.



Kontradiktif dengan bait 164, ada perasaan tegar dan rasional dalam bait 165. Kalau kedua belah pihak sudah sama-sama ragu dan bimbang, memang sebaiknya putus saja. Tak guna cinta yang sudah 'layu' itu dipertahankan. Lebih baik (nambek) dicari saja yang lain sebagai penggantinya. Toh dunia tidak selebar daun kelor; kumbang bukan seekor, bunga bukan setangkai…



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu, 20 Maret 2011

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 21, 2011 14:47

Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.