Suryadi's Blog, page 32

January 23, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 64 - ADAT MUDA MENANGGUNG RINDU

Dalam buku Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau yang dikompilasi oleh Adriyetti Amir,


Zuriati, dan Khairil Anwar (Padang: Andalas University Press, 2006) disebutkan beberapa genre sastra lisan Minangkabau yang teksnya berbentuk pantun. Genre-genre itu ada yang berbentuk cerita seperti Dendang Pauah (lih. juga Suryadi 1993) dan ada yang tidak, seperti Bagurau. Ini menunjukkan bahwa fungsi pantun di Minangkabau lebih luas dari dan berbeda dengan yang ditemukan dalam lingkungan loterer tradisional etnis lain di Nusantara. Di nomor ini (64) kami sajikan lagi beberapa untai pantun Minang klasik, penyambung nomor terdahulu.



492.


Ka subarang batuduang pinggan,


Panuah barisi layu-layu,


Kasiah Tolan tainggan-inggan,


Kato kami tadorong lalu.



493.


Lumuik nan dari Pinang Sori,


Badiri dangka kualonyo,


Sadang nan rumik kami cari,


Jikok takaba baritonyo.



494.


Saratuih buah limau kapeh,


Satu pun tidak limau puruik,


Saratuih ajuang dari Aceh,


Satu pun tidak dalam lauik.



495.


Lumbo-lumbo di sawang Pagai,


Mamakan bawa jo tanggiri,


Pancaroba bukan sabagai,


Kurang iman pasiaklah diri.



496.


Ka rimbo ka padang jangan,


Bungo cimpago kambang biru,


Tacinto tagamang jangan,


Adaik mudo manangguang rindu.



497.


Gagak di ateh batuang tinggi,


Siriah aia di ateh dulang,


Diukua kami samo tinggi,


Di lahia banyak kami kurang.



498.


Tinggi bukik gunung di Gadiang,


Tampak tarandam Pulau Duo,


Umpamo duri dalam dagiang,


Tasingguang taraso-raso juo.



499.


Ikan banamo camin-camin,


Tamban  taunggun dalam parahu,


Lauiktan sudah kami pacamin,


Labuahan balun kami tahu.



Ungkapan dalam bait 492 sungguh terasa rancak, yang menggambarkan kasih yang tidak berbalas secara sepadan. Awak kareh ka iyo, tapi dia tampaknya agak anggan, 'kurang serius', kata anak muda kini. Memang agak mamang hati terasa bila menerima perlakuan seperti ini.



Dalam bait 493 ada gambaran tekad yang kuat untuk mencari yang sesuai di hati: di manapun tempatnya akan dikejar ke sana, asalnya ada informasi tentangnya (asa tadanga baritonyo), tak peduli bagaimanapun rumitnya/susahnya. Sampai 'ke ujung dunia akan kucari', kata penggalan lirik sebuah lagu.



Bait 494 sungguh dalam maknanya, sebuah tipe literer pantun Minangkabau yang sebenarnya. Bait ini adalah semacam sindiran terhadap sesuatu yang dianggap kuat tapi tidak menampakkan keberanian. Bait ini sekaligus merefleksikan konteks historis hubungan Minangkabau dan Aceh sebelum datangnya VOC di abad ke-16.



Bait 495 seolah kontekstual dengan zaman yang kita hadapi kini. Sekarang boleh dibilang zaman pancaroba (karena globalisasi). Banyak cobaan yang menantang kepribadian dan keimanan manusia Indonesia, tak terkecuali masyarakat Minangkabau. Kalau kita baca berita di berbagai media, sepertinya Minangkabau sedang mengalami goncangan budaya untuk kesekian kalinya. Dalam menghadapi situasi ini, mengutip larik akhir bait ini, 'kalau iman kurang, maka bisa fasiklah diri.' Semoga para pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' terhindar dari kefasikan akibat globalisasi ini.



Membaca bait 496 mengingatkan kita pada ungkapan Minangkabau saisuak: 'Adaik mudo manangguang rindu, adaik tuo manangguang ragam'. Jelas bahwa ungkapan ini tak akan bisa dimungkiri oleh para veteran perantau Minang (lebih-lebih lagi yang kurang sukses) yang kini menghuni surau-surau tua atau dangau (baruang-baruang) di kampung. Dapat juga kita mengerti mengapa generasi tua selalu 'cemburu' kepada generasi muda yang sedang menikmati alam duniawi sebagaimana dulu mereka juga pernah melakukannya ketika masih muda.



Ada nada merendah dalam bait 497. Walau ukuran tubuh sama besarnya, tapi si aku lirik merasa kurang secara lahiriah, mungkin tampan nan indak tabaokan. Tapi ungkapan 'di lahia banyak kami kurang' dalam konteks ini juga bisa berarti bahwa secara material si aku lirik merasa jauh ketinggalan, tak sebanding dengan rivalnya. Bait ini, dengan demikian, merekam suara si pecundang lagi.



Bait 498 mengilatkan efek dari 'lidah sembilu' seorang (mantan) kekasih yang begitu melukai perasaan. Bait ini mengingatkan kita bahwa hati-hatilah dalam memutus hubungan kasih. Kata-kata yang menusuk hati, walau sekecil ujung duri, bisa menimbulkan luka lebih lama dalam jiwa dan jauh lebih sulit disembuhkan ketimbang luka di tubuh.



Kiasan bait terakhir (498) sungguh indah: 'lautan sudah kami percermin, pelabuhan belum lagi kami tahu'. Sudah jauh perjalanan yang ditempuh oleh seorang perantau Minang, sudah berbagai-bagai cobaan yang dialami (dirasai), tapi belum tahu juga di mana petualangan itu akan berakhir, belum juga ditemukan tempat di mana si perantau Minang itu akan melabuhkan jiwanya dan memulai sebuah hidup yang stabil, yang tidak terus menerus dalam keadaan darurat. Ia merindukan suatu kebahagiaan bersama seseorang yang menjadi pilihan hati sendiri. Bait terakhir ini adalah sebuah pesan yang jelas kepada pembaca Padang Ekspres Minggu yang sudah kelewat umur tapi masih asyik saja men-jomblo.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda], Padang Ekspres, Minggu,  22 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 23, 2012 15:00

Khazanah Pantun Minangkabau # 63 - ADAT MUDA MENANGGUNG RINDU

Dalam buku Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau yang dikompilasi oleh Adriyetti Amir,


Zuriati, dan Khairil Anwar (Padang: Andalas University Press, 2006) disebutkan beberapa genre sastra lisan Minangkabau yang teksnya berbentuk pantun. Genre-genre itu ada yang berbentuk cerita seperti Dendang Pauah (lih. juga Suryadi 1993) dan ada yang tidak, seperti Bagurau. Ini menunjukkan bahwa fungsi pantun di Minangkabau lebih luas dari dan berbeda dengan yang ditemukan dalam lingkungan loterer tradisional etnis lain di Nusantara. Di nomor ini (64) kami sajikan lagi beberapa untai pantun Minang klasik, penyambung nomor terdahulu.



492.


Ka subarang batuduang pinggan,


Panuah barisi layu-layu,


Kasiah Tolan tainggan-inggan,


Kato kami tadorong lalu.



493.


Lumuik nan dari Pinang Sori,


Badiri dangka kualonyo,


Sadang nan rumik kami cari,


Jikok takaba baritonyo.



494.


Saratuih buah limau kapeh,


Satu pun tidak limau puruik,


Saratuih ajuang dari Aceh,


Satu pun tidak dalam lauik.



495.


Lumbo-lumbo di sawang Pagai,


Mamakan bawa jo tanggiri,


Pancaroba bukan sabagai,


Kurang iman pasiaklah diri.



496.


Ka rimbo ka padang jangan,


Bungo cimpago kambang biru,


Tacinto tagamang jangan,


Adaik mudo manangguang rindu.



497.


Gagak di ateh batuang tinggi,


Siriah aia di ateh dulang,


Diukua kami samo tinggi,


Di lahia banyak kami kurang.



498.


Tinggi bukik gunung di Gadiang,


Tampak tarandam Pulau Duo,


Umpamo duri dalam dagiang,


Tasingguang taraso-raso juo.



499.


Ikan banamo camin-camin,


Tamban  taunggun dalam parahu,


Lauiktan sudah kami pacamin,


Labuahan balun kami tahu.



Ungkapan dalam bait 492 sungguh terasa rancak, yang menggambarkan kasih yang tidak berbalas secara sepadan. Awak kareh ka iyo, tapi dia tampaknya agak anggan, 'kurang serius', kata anak muda kini. Memang agak mamang hati terasa bila menerima perlakuan seperti ini.



Dalam bait 493 ada gambaran tekad yang kuat untuk mencari yang sesuai di hati: di manapun tempatnya akan dikejar ke sana, asalnya ada informasi tentangnya (asa tadanga baritonyo), tak peduli bagaimanapun rumitnya/susahnya. Sampai 'ke ujung dunia akan kucari', kata penggalan lirik sebuah lagu.



Bait 494 sungguh dalam maknanya, sebuah tipe literer pantun Minangkabau yang sebenarnya. Bait ini adalah semacam sindiran terhadap sesuatu yang dianggap kuat tapi tidak menampakkan keberanian. Bait ini sekaligus merefleksikan konteks historis hubungan Minangkabau dan Aceh sebelum datangnya VOC di abad ke-16.



Bait 495 seolah kontekstual dengan zaman yang kita hadapi kini. Sekarang boleh dibilang zaman pancaroba (karena globalisasi). Banyak cobaan yang menantang kepribadian dan keimanan manusia Indonesia, tak terkecuali masyarakat Minangkabau. Kalau kita baca berita di berbagai media, sepertinya Minangkabau sedang mengalami goncangan budaya untuk kesekian kalinya. Dalam menghadapi situasi ini, mengutip larik akhir bait ini, 'kalau iman kurang, maka bisa fasiklah diri.' Semoga para pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' terhindar dari kefasikan akibat globalisasi ini.



Membaca bait 496 mengingatkan kita pada ungkapan Minangkabau saisuak: 'Adaik mudo manangguang rindu, adaik tuo manangguang ragam'. Jelas bahwa ungkapan ini tak akan bisa dimungkiri oleh para veteran perantau Minang (lebih-lebih lagi yang kurang sukses) yang kini menghuni surau-surau tua atau dangau (baruang-baruang) di kampung. Dapat juga kita mengerti mengapa generasi tua selalu 'cemburu' kepada generasi muda yang sedang menikmati alam duniawi sebagaimana dulu mereka juga pernah melakukannya ketika masih muda.



Ada nada merendah dalam bait 497. Walau ukuran tubuh sama besarnya, tapi si aku lirik merasa kurang secara lahiriah, mungkin tampan nan indak tabaokan. Tapi ungkapan 'di lahia banyak kami kurang' dalam konteks ini juga bisa berarti bahwa secara material si aku lirik merasa jauh ketinggalan, tak sebanding dengan rivalnya. Bait ini, dengan demikian, merekam suara si pecundang lagi.



Bait 498 mengilatkan efek dari 'lidah sembilu' seorang (mantan) kekasih yang begitu melukai perasaan. Bait ini mengingatkan kita bahwa hati-hatilah dalam memutus hubungan kasih. Kata-kata yang menusuk hati, walau sekecil ujung duri, bisa menimbulkan luka lebih lama dalam jiwa dan jauh lebih sulit disembuhkan ketimbang luka di tubuh.



Kiasan bait terakhir (498) sungguh indah: 'lautan sudah kami percermin, pelabuhan belum lagi kami tahu'. Sudah jauh perjalanan yang ditempuh oleh seorang perantau Minang, sudah berbagai-bagai cobaan yang dialami (dirasai), tapi belum tahu juga di mana petualangan itu akan berakhir, belum juga ditemukan tempat di mana si perantau Minang itu akan melabuhkan jiwanya dan memulai sebuah hidup yang stabil, yang tidak terus menerus dalam keadaan darurat. Ia merindukan suatu kebahagiaan bersama seseorang yang menjadi pilihan hati sendiri. Bait terakhir ini adalah sebuah pesan yang jelas kepada pembaca Padang Ekspres Minggu yang sudah kelewat umur tapi masih asyik saja men-jomblo.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda], Padang Ekspres, Minggu,  22 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 23, 2012 15:00

January 15, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 63 - JIKA LEPAS ELANG YANG PUNYA

Mengapa satu bahasa sangat kaya dengan kiasan, dan bahasa lain tidak, khususnya dalam ranah literer? Apakah perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat 'sofistikasi' budaya? Pertanyaan ini mungkin menarik dikaji lebih dalam dari perspektif etnolinguistik. Yang jelas, dibanding dengan pantun-pantun Melayu, misalnya, pantun-pantun Minangkabau jauh lebih rumit, lebih esoteris, dan penuh kiasan, sebagaimana dapat dikesan lagi dalam sajian kami di nomor ini (63).



484.


Ampalu di ateh bukik,


Surau Kamba di baliaknyo,


Dapek malu kami sadikik,


Jauah takaba baritonyo.



485.


Dibukak peti bagewang,


Sambilan anak tanggonyo,


Janganlah hati dipacewang,


Nantikan hari kutikonyo.



486.


Tinggilah bukik Gunung Padang,


Bari bajanjang batu mandi,


Manangih ikan dalam karang,


Bakandak buah pauah janggi.



487.


Dari Langkat ka Batu Baro,


Daun pandan Ambo kiraikan,


Kok dapek budi jo baso,


Badan jo nyao Ambo barikan.



488.


Dipanjek pinang tagayuik,


Digigik mumbang badarai,


Dipandang gunung hilang lupuik,


Alamaik badan ka bacarai.



489.


Nasi satungkuih dari gunuang,


Tiok suduik bakarang bungo,


Tujuah musim ayam takuruang,


Kok lapeh alang nan punyo.



490.


Kudo putiah makan salibu,


Makan salibu padi sawah,


Piliah-piliah dalam saribu,


Tolan sorang dipiliah Allah.



491.


Rareh sabiji buah nipah,


Bulek tangkainyo bapasagi,


Kok di kami tidak barubah,


Antah kok tolan jauah hati.



Sebuah berita kurang baik sudah beredar dibawa angin, sudah berkembang dari mulut ke mulut, tentang si anu yang sudah berpisah dengan si anu, atau tentang si anu yang pinangannya ditolak oleh si anu, yang mungkin diikuti dengan cemooh dan hinaan. Itulah refleksi bait 484.



Bait 485 berisi nasehat untuk pasangan yang terlalu lama berada dalam status bertunangan (atau pacaran): hendaknya jangan sampai bubar sebelum ke pelaminan. Banyak kejadian di mana cincin tunangan harus dikembalikan ke ninik mamak karena salah seorang telah mendua hati sebelum 'kereta pertunanganan' itu sampai ke 'stasiun tujuan'.



Ada kiasan yang dalam dan elok pada bait 486: bait ini mengilatkan suatu keinginan yang sulit diwujudkan karena jarak yang terlalu jauh, baik dalam arti geografis maupun status sosial. Bait ini hendak memberikan nasehat: jika menginkan sesuatu (termasuk kalau jatuh cinta) ingatlah bahwa 'bayang-bayang harus sepanjang badan', 'kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak didugal'.



Banyak orang yang mau berkorban apa saja jika apa yang diinginkan dapat diperoleh, termasuk dalam soal mencari pasangan hidup. 'Dapek nan di hati, basobok nan saulah', begitu terdengar dalam istilah Minangkabau. Memang 'murah-murah sarik' mendapatkan model yang cocok di hati ini, sebagaimana pernah diceritakan oleh 'konco pelangkin' saya, Nasrul Azwar, kepada saya. Itulah refleksi bait 487.



Bait 488 mengilatkan adegan perpisahan. Hilang Sinyaru, tampak Pagai, itu tandanya Anda sudah jauh dari 'Tanah Tepi'. Jika puncak Gunung Marapi atau Singgalang sudah tidak kelihatan lagi oleh Anda dalam perjalanan menuju rantau nan bertuah, itu tandanya memang perpisahan akan terjadi. Namun, semoga itu hanya perpisahan sementara, bukan perpisahan abadi, kecuali jika selama di rantau Tanah Jao, Anda sudah 'keracunan' pula oleh kuah sayur lodeh.



Kiasan pada bait 489 elok nian: 'Tujuh musim ayam terkurung, jika lepas elang yang punya'. Ahai…tembakan kata kiasan ini jelas diarahkan ke bujang yang sudah lama maintai seorang gadis cantik yang dipingit atau diproteksi oleh keluarganya. Tiap hari ia mondar-mandir lewat di depan rumah si gadis, ibarat kereta api lansir, ibarat 'urang maunyian durian'. Eh, pas ketika si gadis sudah lepas dari pingitan, ternyata orang lain (juragan kaya di kampung) yang berhasil mempersuntingnya. Pergilah si bujang merantau ke Jawa, dan dapat diduga (karena kecewa) ia akan mencintai 'tempe' daripada 'rendang'.



Hiperbol yang berlebihan untuk menyanjung pasangan (gadis) terefleksi dalam bait 490. Dikatakan Allah-lah yang menentukan si dia menjadi pasangannya. Saya yakin, pujian seperti ini akan dilanjutkan dengan pujian yang lebih 'dahsyat': 'Engkaulah payuang panji Kakanda ka sarugo, unduang-unduang ka Madinah'.



Hati yang terkelencong dalam janjian dikilatkan dalam bait terakhir (491). Si dia tampaknya sudah mendua hati, mungkin karena digaduah oleh bujang dari kampung tetangga yang pulang dari rantau mambao oto sedan berkilat. Berkucak iman di dadanya, lupa dia dengan janji setianya. Tampaknya akan berapat kembali ninik mamak dari kedua belah pihak untuk mengungkai 'buek nan lah dibuek, padang nan lah diukua'. Cincin tunangan harus dikembalikan, dan pihak yang mendua hati harus membayar 'denda'. Dan…si pencundang pasti akan segera membeli tiket Gagak Hitam, menggulung bungkusan, untuk bersiap-siap pergi ke rantau. Seperti terefleksi dalam beberapa novel Indonesia modern berlatar Minangkabau di tahun 1920-an dan 1930-an, mereka yang 'dikalahkan' ini sering merantau Cina, kabur baginya jalan ke Ranah Bundo.



(bersambung minggu depan)



Suryadi - [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu,  15 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 15, 2012 15:00

Khazanah Pantun Minangkabau # 62 - JIKA LEPAS ELANG YANG PUNYA

Mengapa satu bahasa sangat kaya dengan kiasan, dan bahasa lain tidak, khususnya dalam ranah literer? Apakah perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat 'sofistikasi' budaya? Pertanyaan ini mungkin menarik dikaji lebih dalam dari perspektif etnolinguistik. Yang jelas, dibanding dengan pantun-pantun Melayu, misalnya, pantun-pantun Minangkabau jauh lebih rumit, lebih esoteris, dan penuh kiasan, sebagaimana dapat dikesan lagi dalam sajian kami di nomor ini (63).



484.


Ampalu di ateh bukik,


Surau Kamba di baliaknyo,


Dapek malu kami sadikik,


Jauah takaba baritonyo.



485.


Dibukak peti bagewang,


Sambilan anak tanggonyo,


Janganlah hati dipacewang,


Nantikan hari kutikonyo.



486.


Tinggilah bukik Gunung Padang,


Bari bajanjang batu mandi,


Manangih ikan dalam karang,


Bakandak buah pauah janggi.



487.


Dari Langkat ka Batu Baro,


Daun pandan Ambo kiraikan,


Kok dapek budi jo baso,


Badan jo nyao Ambo barikan.



488.


Dipanjek pinang tagayuik,


Digigik mumbang badarai,


Dipandang gunung hilang lupuik,


Alamaik badan ka bacarai.



489.


Nasi satungkuih dari gunuang,


Tiok suduik bakarang bungo,


Tujuah musim ayam takuruang,


Kok lapeh alang nan punyo.



490.


Kudo putiah makan salibu,


Makan salibu padi sawah,


Piliah-piliah dalam saribu,


Tolan sorang dipiliah Allah.



491.


Rareh sabiji buah nipah,


Bulek tangkainyo bapasagi,


Kok di kami tidak barubah,


Antah kok tolan jauah hati.



Sebuah berita kurang baik sudah beredar dibawa angin, sudah berkembang dari mulut ke mulut, tentang si anu yang sudah berpisah dengan si anu, atau tentang si anu yang pinangannya ditolak oleh si anu, yang mungkin diikuti dengan cemooh dan hinaan. Itulah refleksi bait 484.



Bait 485 berisi nasehat untuk pasangan yang terlalu lama berada dalam status bertunangan (atau pacaran): hendaknya jangan sampai bubar sebelum ke pelaminan. Banyak kejadian di mana cincin tunangan harus dikembalikan ke ninik mamak karena salah seorang telah mendua hati sebelum 'kereta pertunanganan' itu sampai ke 'stasiun tujuan'.



Ada kiasan yang dalam dan elok pada bait 486: bait ini mengilatkan suatu keinginan yang sulit diwujudkan karena jarak yang terlalu jauh, baik dalam arti geografis maupun status sosial. Bait ini hendak memberikan nasehat: jika menginkan sesuatu (termasuk kalau jatuh cinta) ingatlah bahwa 'bayang-bayang harus sepanjang badan', 'kalau kail panjang sejengkal, jangan laut hendak didugal'.



Banyak orang yang mau berkorban apa saja jika apa yang diinginkan dapat diperoleh, termasuk dalam soal mencari pasangan hidup. 'Dapek nan di hati, basobok nan saulah', begitu terdengar dalam istilah Minangkabau. Memang 'murah-murah sarik' mendapatkan model yang cocok di hati ini, sebagaimana pernah diceritakan oleh 'konco pelangkin' saya, Nasrul Azwar, kepada saya. Itulah refleksi bait 487.



Bait 488 mengilatkan adegan perpisahan. Hilang Sinyaru, tampak Pagai, itu tandanya Anda sudah jauh dari 'Tanah Tepi'. Jika puncak Gunung Marapi atau Singgalang sudah tidak kelihatan lagi oleh Anda dalam perjalanan menuju rantau nan bertuah, itu tandanya memang perpisahan akan terjadi. Namun, semoga itu hanya perpisahan sementara, bukan perpisahan abadi, kecuali jika selama di rantau Tanah Jao, Anda sudah 'keracunan' pula oleh kuah sayur lodeh.



Kiasan pada bait 489 elok nian: 'Tujuh musim ayam terkurung, jika lepas elang yang punya'. Ahai…tembakan kata kiasan ini jelas diarahkan ke bujang yang sudah lama maintai seorang gadis cantik yang dipingit atau diproteksi oleh keluarganya. Tiap hari ia mondar-mandir lewat di depan rumah si gadis, ibarat kereta api lansir, ibarat 'urang maunyian durian'. Eh, pas ketika si gadis sudah lepas dari pingitan, ternyata orang lain (juragan kaya di kampung) yang berhasil mempersuntingnya. Pergilah si bujang merantau ke Jawa, dan dapat diduga (karena kecewa) ia akan mencintai 'tempe' daripada 'rendang'.



Hiperbol yang berlebihan untuk menyanjung pasangan (gadis) terefleksi dalam bait 490. Dikatakan Allah-lah yang menentukan si dia menjadi pasangannya. Saya yakin, pujian seperti ini akan dilanjutkan dengan pujian yang lebih 'dahsyat': 'Engkaulah payuang panji Kakanda ka sarugo, unduang-unduang ka Madinah'.



Hati yang terkelencong dalam janjian dikilatkan dalam bait terakhir (491). Si dia tampaknya sudah mendua hati, mungkin karena digaduah oleh bujang dari kampung tetangga yang pulang dari rantau mambao oto sedan berkilat. Berkucak iman di dadanya, lupa dia dengan janji setianya. Tampaknya akan berapat kembali ninik mamak dari kedua belah pihak untuk mengungkai 'buek nan lah dibuek, padang nan lah diukua'. Cincin tunangan harus dikembalikan, dan pihak yang mendua hati harus membayar 'denda'. Dan…si pencundang pasti akan segera membeli tiket Gagak Hitam, menggulung bungkusan, untuk bersiap-siap pergi ke rantau. Seperti terefleksi dalam beberapa novel Indonesia modern berlatar Minangkabau di tahun 1920-an dan 1930-an, mereka yang 'dikalahkan' ini sering merantau Cina, kabur baginya jalan ke Ranah Bundo.



(bersambung minggu depan)



Suryadi - [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu,  15 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 15, 2012 15:00

January 9, 2012

Tentang Pemekaran Nagari

Gerakan pemekaran wilayah administrasi pemerintahan dari berbagai tingkat akhirnya sampai pula ke level nagari dalam wilayah kebudayaan Minangkabau di Provinsi Sumatra Barat. Gerakan ini jelas terkait dengan isu nasional di satu pihak dan isu daerah di lain pihak. Dari perspektif nasional, wacana pemekaran nagari, dengan berbagai kepentingan (politik, ekonomi, sosial) yang tersembunyi di baliknya, jelas mengikut tren politik yang terjadi di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru (1998). Sejak mulainya era Reformasi banyak wilayah administrasi pemerintahan di seluruh Indonesia, sejak dari tingkat provinsi sampai kecamatan, sudah dimekarkan. Dari perspektif daerah, wacana pemekaran nagari, langsung atau tidak, telah didorong oleh gerakan "Baliak ka Surau ka Nagari" yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Barat.



Gerakan "Baliak ka Surau ka Nagari", yang merupakan reaksi penolakan atas konsep homogen desa (dipinjam dari sistem geopolitik tradisional Jawa) sebagai unit administrasi pemerintahan terbawah di Indonesia yang telah dijalankan selama Orde Baru berkuasa (1967-1998), rupanya berjalan tidak semulus yang dibayangkan. Persoalan kultural utama yang muncul adalah bahwa dalam masyarakat Minangkabau kontemporer sifat gotong royong sebagai ciri khas kehidupan ber-nagari klasik sudah terkikis. Selain itu, campur tangan politik Orde Baru selama lebih dari tiga dekade telah melahirkan aparat-aparat pemerintahan di level nagari (yang pada masa Orde Baru langsung diubah menjadi desa) yang telah 'tercemar' semangat hirarkis (merasa bertanggung jawab kepada camat) ketimbang memiliki inisiatif terbuka-kolektif yang bersifat awak samo awak dengan warga nagari-nya, sebagaimana dulu tercermin dalam kehidupan ber-nagari di Minangkabau.



Tentu saja Orde Baru bukanlah institusi luar pertama yang telah mengintervensi kehidupan ber-nagari di Minangkabau. Sebelumnya, Kompeni Belanda – sejak 1821, kemudian melalui sistem Tanam Paksa (1847), setelah itu melalui penciptaan  penghulu suku rodi di tahun 1860-an – telah mencampuri kehidupan ber-nagari di Minangkabau. Intervensi-intervensi pihak asing ke dalam sistem nagari Minangkabau tersebut, dan proses modernisasi dan globalisasi yang dialami oleh masyarakat pedesaan Indonesia, tidak terkecuali orang Minangkabau, telah menyebabkan terjadinya transformasi yang signifikan terhadap kehidupan ber-nagari di Sumatra Barat.



Rembesan euforia politik Reformasi



Penelitian terlibat dengan cara duduk-duduk di lapau bermain domino sambil mendengarkan topik-topik sidang 'Parlemen Lapau' dapat memberi informasi kepada seorang pengamat sosial tentang motif-motif apa yang melatarbelakangi dan mendorong ide pemekaran nagari di Minangkabau. Berikut ini adalah beberapa poin yang mendorong dilakukannya pemekaran nagari yang berhasil penulis abstraksikan berdasarkan field work partisipatif seperti itu.



Pertama, nagari yang asal dianggap terlalu luas sehingga wali nagari dan aparatnya menganggap susah mengelolanya. Oleh sebab itu pemekaran adalah salah satu alternatif untuk lebih memudahkan mengelola nagari dan, sebagai efeknya, dengan pemekaran itu diharapkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan nagari dapat dipacu.



Kedua, ketentuan Pemerintah bahwa sebuah nagari berpenduduk minimal 2.500 jiwa. Kenyatannya, banyak nagari asal berpenduduk lebih dari jumlah itu, sehingga muncul dorongan untuk memecah (memekarkan) nagari asal. Namun demikian, tidak selalu nagari-nagari yang mempunyai penduduk lebih dari 2.500 jiwa ingin memekarkan diri. Dalam hal ini tampak jelas fakta empiris dari adagium 'adaik salingka nagari': nagari-nagari yang masyarakat (baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di rantau) beserta alim ulama dan cerdik pandainya relatif masih bersatu, masih memelihara adat resam kampung, dan masih terikat dalam ingatan kolektif tentang kebanggaan nagari asal mereka, tidak serta merta tertarik untuk memekarkan nagari mereka.



Ketiga,  efek dari perubahan/peningkatan status beberapa kota kabupaten menjadi kota administratif atau kotamadya. Akibat perubahan ini, beberapa korong dari nagari-nagari tertentu yang berada di pinggir wilayah kota administratif atau kotamadya yang memperoleh peningkatan status tersebut, langsung atau tidak, ditarik untuk masuk ke dalam wilayah kota, sehingga mereka cenderung ingin memisahkan diri dari nagari induknya dan membentuk nagari atau kelurahan baru yang kemudian menjadi bagian dari kota administratif atau kodamadya bersangkutan.



Keempat (ini sering menjadi faktor pendorong utama), rencana Pemerintah untuk mengucurkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 1 milyar per tahun untuk dana pembangunan setiap nagari. Sejauh yang saya amati, isu DAU yang UUD (ujung-ujungnya duit) ini mendominasi wacana akar rumput yang berkembang di lapau-lapau dari beberapa nagari yang akan dimekarkan.



Logika yang berkembang di kalangan sebagian pemuka masyarakat dalam nagari-nagari yang ingin dimekarkan adalah: jika nagari asal dimekarkan, maka jumlah DAU yang akan diperoleh jadi lebih besar. Katakanlah sebuah nagari asal dimekarkan menjadi lima nagari baru, maka DAU yang akan diperoleh: 5 x 1 milyar = 5 milyar. Dengan demikian dapat diserap DAU yang lebih besar dari pusat untuk membangun nagari-nagari tersebut ketimbang jika tetap dipertahankan sebagai sebuah nagari (asal) saja.



Namun, di titik ini pula pemekaran nagari sebenarnya mengandung potensi konflik, di samping tentunya ada faktor-faktor lain yang mungkin pula ikut mempengaruhi. Sudah jamak diketahui bahwa penggunaan uang rakyat (saya menghindari istilah  'uang negara') di tingkat administrasi apapun di Indonesia sangat rawan potensi korupsi. Sejak dari presiden sampai wali nagari berpotensi melakukan korupsi di Indonesia, salah satu negara terkorup di dunia ini. Dengan kata lain, bahwa sangat mungkin aspek uang ini menjadi dorongan yang lebih besar untuk memekarkan sebuah nagari, tetapi rentan konflik dan bukan tidak mungkin bisa menimbulkan ketegangan dan perpecahan di kalangan 'elit nagari' – antara kelompok yang tetap mempertahankan nagari asal dengan kelompok yang menginginkan pemekaran.



Mencegah impak negatif



Dengan mempertimbangkan karakter dasar komunitas nagari Minangkabau yang egaliter, besifat otonom, dan mempunyai keunikan sendiri dalam aspek budaya (lihat: L. C. Westenenk, De Minang Kabaushe Nagari. Padang: Bäumer & Co., 1913), maka sepatutnya masalah pemekaran nagari harus diputuskan sepenuhnya oleh warga nagari yang bersangkutan. Campur tangan politik pihak luar atau yang bersifat top down dikhawatirkan hanya akan menghasillkan hal-hal yang kontraproduktif.



Untuk mereduksi–untuk tidak mengatakan menghilangkan–ekses-ekses sosio-budaya yang mungkin akan muncul di belakang hari, maka seyogianya cerdik pandai dalam nagari, termasuk wali nagari dengan aparatnya berserta Kerapatan Adat Nagari (KAN), bermusyawarah dalam suasana kekeluargaan serta memakaikan 'demokrasi Minangkabau' (kato surang dibulek'i, kato basamo dipaiyokan), dengan melibatkan seluruh komponen nagari (termasuk menampung aspirasi para perantau dari nagari yang bersangkutan), dalam mengambil keputusan apakah nagari mereka akan dimekarkan atau tidak.



Salah satu hal yang penting pula dimusyawarahkan adalah soal status dari simbol-simbol material nagari asal (seperti mesjid, tanah ulayat, tanah wakaf, dll.) apabila sebuah nagari asal akan dimekarkan. Pengabaian aspek ini berpotensi menimbulkan friksi sosial di belakang hari nanti, mengingat bahwa sekarang masalah tanah sangat krusial di Minangkabau (dan di Indonesia pada umumnya).



Sudah barang tentu tugas para akademisi dan instansi yang terkait pula untuk meneliti fenomena pemekaran nagari ini, sebab setiap perombakan administrasi pemerintahan pasti akan menimbulkan efek sosial budaya. Salah satu fenomena sosial kontemporer di Indonesia, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi politik pasca 1998 yang telah memberi ruang otonomi daerah yang lebih luas, adalah semakin ekstensifnya friksi-friksi sosial bernuansa etnisitas dan agama (di kalangan mayarakat maupun elite politik daerah) akibat pemekaran daerah. Hendaknya friksi-friksi sosial budaya yang sudah makin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia itu tidak ditambah lagi oleh fenomena pemekaran nagari ini.



Di tingkat yang lebih tinggi (provinsi, kabupaten) sudah banyak dilakukan penelitian mengenai impak sosial budaya dan ekonomi dari gerakan otonomi daerah ini (lihat misalnya: Andy Yetriyani 2010; Coen Hotlzappel 2009; Syarif Hidayat 2003; Minako Sakai 2002). Adalah suatu keharusan sebenarnya untuk meneliti lebih dalam fenomena pemekaran nagari di Minangkabau, yang tentunya bermanfaat secara akademik maupun untuk kepentingan praktis. Secara teoretis, pemekaran nagari berpotensi makin memudarkan kohesi sosial budaya di kalangan penduduk nagari asal. Konflik-konflik perbatasan (yang kini sangat menonjol di Indonesia) akibat pemekaran nagari perlu pula diwaspadai. Euforia pemekaran nagari yang terlalu besemangat juga akan kontraproduktif mengingat salah satu hambatan substansial dalam pembangunan nagari adalah karena banyaknya angkatan kerja potensial warga nagari-nagari yang pergi merantau.



Biro-biro pemberdayaan nagari, baik yang berada di tingkat provinsi maupun kabupaten, dapat bekerjasama dengan para antropolog, sosiolog, serta peneliti budaya di daerah ini untuk meneliti secara ekstensif nagari-nagari yang sudah dimekarkan. Perlu diamati secara seksama fenomena sosial-budaya apa saja yang muncul di nagari-nagari yang telah dimekarkan. Di Negara-negara maju sudah biasa bahwa setiap kebijakan politik yang menyangkut kehidupan publik diteliti dengan seksama dengan melibatkan dunia akademik untuk kemudian dijadikan bahan refleksi dan evaluasi oleh penyelenggara negara.



Akhirnya, kita sama-sama berharap bahwa pemekaran nagari-nagari di Minangkabau memang akan menimbulkan dampak positif terhadap masyarakat kita serta dapat memacu pembangunan desa, bukan sebaliknya.



Suryadi. Dosen dan peneliti Leiden University Institute for Area Studies, Leiden, Belanda



* Artikel ini telah diterbitkan di harian Haluan (Padang), Senin, 9 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 09, 2012 15:00

January 8, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 62 - AMBIL RACUN UNTUK OBATNYA

Mengarang pantun ibarat mengaduk (maaru) gula saka dan santan jadi tengguli. Adukan yang pas akan menghasilkan tengguli yang manis dan enak. Sebuah ungkapan Minang lama berbunyi: 'Kurang  aru cirik kambiangan, talampau aru bapalantiangan'. Ungkapan itu menyiratkan bahwa hanya tangan dan yang cekatan dan emosi yang tertatalah yang dapat menghasilkan tengguli yang bagus. Demikian pula halnya dalam mengarang pantun. Di nomor ini kami turunkan lagi pantun klasik Minangkabau – contoh yang telah sudah, tempat tuah diambil kepada yang menang.



476.


Dicabiak kain dibali,


Dielo tangah tigo elo,


Mintak tabiak kami banyanyi,


Badan ketek kurang pareso.



477.


Balayia kapa dari Kurinci,


Balabuah tantang Pulau Panai,


Kok banci katokan banci,


Jangan ditulak jo parangai.



478.


Ajuang di Lauik Nagosati,


Si Angkuik namo nangkodonyo,


Jauah nan tidak taturuti,


Dangakan sajo baritonyo.



479.


Siriah kuniang pinang manari,


Anak garudo pandai tabang,


Sabab kami datang kamari,


Maliek bungo jolong kambang.



480.


Koja Usin mangguntiang daun,


Layang-layang di Pulau Judah,


Tujuah musim sambilan tahun,


Kasiah sayang alun lai sudah.



481.


Ikan banamo parang-parang,


Tuhua sisiak mangko dibalah,


Mukaluak nan bukan alang-alang,


Pihak Rasul Khalifatullah.



482.


Kok pandai tagak di Madiun,


Saraso tagak di Kediri,


Kok pandai maminum racun,


Saraso santan jo tangguli.



483.


Dikarek rotan dilabiahkan,


Dikarek lalu ka ureknyo,


Padiah rangkuangan minun santan,


Ambiaklah racun kaubeknyo.



Bait 476 sering ditemukan dalam bagian awal (pembukaan) beberapa genre sastra lisan Minangkabau di mana tukang cerita (storyteller) minta maaf kepada khalayak (audience) sebelum melanjutkan ceritanya jika nanti penyampaian cerita olehnya kurang menarik atau iramanya kurang bagus. (Lihat bahasan G.L. Koster mengenai dalang dan dagang yang terkait dengan hal ini dalam bukunya, Roaming trough Seductive Gardens: Reading in Malay Narratives. Leiden: KITLV Press, 1997).



Suatu penolakan cinta yang dilakukan dengan cara menampilkan perangai tertentu direfleksikan dalam bait 477. Ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya dia sudah membenci Anda, karena itu dia mencari gara-gara (lilik) supaya Anda marah kepadanya, sehingga timbul kesan bahwa Andalah yang menyebabkan timbulnya persoalan dan menginginkan perpisahan.



Jarak antara rantau dan kampung terbayang lagi dalam baris isi bait 478: rantau yang begitu jauh, yang sering 'menelan' dagang Minangkabau, dulu dan kini. Betapa canggihnya teknologi komunikasi dan transportasi sekarang, tapi tetap banyak dagang Minangkabau yang 'hanyut' dan 'tergadai' di rantau, tak kuat menampakkan muka di kampung.



Gadis manis perawan desa yang membuat mabuk hati banyak bujang (dan duda) muncul lagi dalam bait 479. Tepat sekali dalam bait ini dipakai kiasan 'bungo jolong kambang', yang dulu hampir selalu ada di tiap desa. Sekarang mungkin sudah banyak yang hijrah ke kota-kota besar, dan tampil dalam bingkisan 'plastik' dengan parfum dan gincu buatan luar negeri, jauh dari kesan asri dan alamiah.



Hiperbol pada bait 480 terasa sangat kuat dalam merepresentasikan kegigihan dan kekuatan cinta: 'tujuh musim, sembilan tahun', suatu ungkapan yang menyimbolkan kesetiaan yang mampu bertahan lama. Hendaknya kesetiaan seperti itu dialami pula oleh banyak pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' ini. Jangan cepat berpindah ke lain hati.



Bait 481 berisi pujian kepada rasul (-rasul) Allah: khalifatullah. Dalam konteks ini tampaknya yang dimaksud adalah Muhammad S.A.W., khalifah Allah di dunia, manusia yang dianggap paling berpengaruh sepanjang zaman di bumi ini.



Perumpamaan pada bait 482 sungguh indah terasa, sebuah gaya literer pantun yang khas Minangkabau. Bait ini tidak dimaksudkan untuk mengajak mati tanpa merasa sakit. Bait ini secara implisit ingin menyampaikan nasehat bahwa penderitaan yang berat, jika diterima dengan lapang dada, bisa terasa sebagai suatu kebahagiaan juga. Dengan kata lain, hadapilah kesulitan dengan tawakkal. Orang yang pandai menyembunyikan penderitaan yang paling pahit yang sedang dialaminya, sehingga di hadapan publik ia tetap terlihat bahagia.



Konstruksi makna asimetris dan kontradiktif pada bait terakhir (483) seakan menghadirkan puncak estetika pantun Minang. 'Jika perih tenggorokan minum santan, ambillah racun untuk obatnya'. Jika menderita karena kecantikan dan kenikmatan, maka selami benar penderitaan itu sampai ke dasarnya yang terdalam. Saya harap kata kiasan ini tidak akan dipraktekkan dengan pemaknaan denotatif pakai kacamata kuda oleh generasi sekarang. Bisa jatuh korban yang tak diinginkan. Yang jelas, bait nan indah ini layak dimanfaatkan oleh para pencipta lagu Minang yang berselera seni tinggi.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu,  8 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 08, 2012 16:00

Khazanah Pantun Minangkabau # 61 - AMBIL RACUN UNTUK OBATNYA

Mengarang pantun ibarat mengaduk (maaru) gula saka dan santan jadi tengguli. Adukan yang pas akan menghasilkan tengguli yang manis dan enak. Sebuah ungkapan Minang lama berbunyi: 'Kurang  aru cirik kambiangan, talampau aru bapalantiangan'. Ungkapan itu menyiratkan bahwa hanya tangan dan yang cekatan dan emosi yang tertatalah yang dapat menghasilkan tengguli yang bagus. Demikian pula halnya dalam mengarang pantun. Di nomor ini kami turunkan lagi pantun klasik Minangkabau – contoh yang telah sudah, tempat tuah diambil kepada yang menang.



476.


Dicabiak kain dibali,


Dielo tangah tigo elo,


Mintak tabiak kami banyanyi,


Badan ketek kurang pareso.



477.


Balayia kapa dari Kurinci,


Balabuah tantang Pulau Panai,


Kok banci katokan banci,


Jangan ditulak jo parangai.



478.


Ajuang di Lauik Nagosati,


Si Angkuik namo nangkodonyo,


Jauah nan tidak taturuti,


Dangakan sajo baritonyo.



479.


Siriah kuniang pinang manari,


Anak garudo pandai tabang,


Sabab kami datang kamari,


Maliek bungo jolong kambang.



480.


Koja Usin mangguntiang daun,


Layang-layang di Pulau Judah,


Tujuah musim sambilan tahun,


Kasiah sayang alun lai sudah.



481.


Ikan banamo parang-parang,


Tuhua sisiak mangko dibalah,


Mukaluak nan bukan alang-alang,


Pihak Rasul Khalifatullah.



482.


Kok pandai tagak di Madiun,


Saraso tagak di Kediri,


Kok pandai maminum racun,


Saraso santan jo tangguli.



483.


Dikarek rotan dilabiahkan,


Dikarek lalu ka ureknyo,


Padiah rangkuangan minun santan,


Ambiaklah racun kaubeknyo.



Bait 476 sering ditemukan dalam bagian awal (pembukaan) beberapa genre sastra lisan Minangkabau di mana tukang cerita (storyteller) minta maaf kepada khalayak (audience) sebelum melanjutkan ceritanya jika nanti penyampaian cerita olehnya kurang menarik atau iramanya kurang bagus. (Lihat bahasan G.L. Koster mengenai dalang dan dagang yang terkait dengan hal ini dalam bukunya, Roaming trough Seductive Gardens: Reading in Malay Narratives. Leiden: KITLV Press, 1997).



Suatu penolakan cinta yang dilakukan dengan cara menampilkan perangai tertentu direfleksikan dalam bait 477. Ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya dia sudah membenci Anda, karena itu dia mencari gara-gara (lilik) supaya Anda marah kepadanya, sehingga timbul kesan bahwa Andalah yang menyebabkan timbulnya persoalan dan menginginkan perpisahan.



Jarak antara rantau dan kampung terbayang lagi dalam baris isi bait 478: rantau yang begitu jauh, yang sering 'menelan' dagang Minangkabau, dulu dan kini. Betapa canggihnya teknologi komunikasi dan transportasi sekarang, tapi tetap banyak dagang Minangkabau yang 'hanyut' dan 'tergadai' di rantau, tak kuat menampakkan muka di kampung.



Gadis manis perawan desa yang membuat mabuk hati banyak bujang (dan duda) muncul lagi dalam bait 479. Tepat sekali dalam bait ini dipakai kiasan 'bungo jolong kambang', yang dulu hampir selalu ada di tiap desa. Sekarang mungkin sudah banyak yang hijrah ke kota-kota besar, dan tampil dalam bingkisan 'plastik' dengan parfum dan gincu buatan luar negeri, jauh dari kesan asri dan alamiah.



Hiperbol pada bait 480 terasa sangat kuat dalam merepresentasikan kegigihan dan kekuatan cinta: 'tujuh musim, sembilan tahun', suatu ungkapan yang menyimbolkan kesetiaan yang mampu bertahan lama. Hendaknya kesetiaan seperti itu dialami pula oleh banyak pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' ini. Jangan cepat berpindah ke lain hati.



Bait 481 berisi pujian kepada rasul (-rasul) Allah: khalifatullah. Dalam konteks ini tampaknya yang dimaksud adalah Muhammad S.A.W., khalifah Allah di dunia, manusia yang dianggap paling berpengaruh sepanjang zaman di bumi ini.



Perumpamaan pada bait 482 sungguh indah terasa, sebuah gaya literer pantun yang khas Minangkabau. Bait ini tidak dimaksudkan untuk mengajak mati tanpa merasa sakit. Bait ini secara implisit ingin menyampaikan nasehat bahwa penderitaan yang berat, jika diterima dengan lapang dada, bisa terasa sebagai suatu kebahagiaan juga. Dengan kata lain, hadapilah kesulitan dengan tawakkal. Orang yang pandai menyembunyikan penderitaan yang paling pahit yang sedang dialaminya, sehingga di hadapan publik ia tetap terlihat bahagia.



Konstruksi makna asimetris dan kontradiktif pada bait terakhir (483) seakan menghadirkan puncak estetika pantun Minang. 'Jika perih tenggorokan minum santan, ambillah racun untuk obatnya'. Jika menderita karena kecantikan dan kenikmatan, maka selami benar penderitaan itu sampai ke dasarnya yang terdalam. Saya harap kata kiasan ini tidak akan dipraktekkan dengan pemaknaan denotatif pakai kacamata kuda oleh generasi sekarang. Bisa jatuh korban yang tak diinginkan. Yang jelas, bait nan indah ini layak dimanfaatkan oleh para pencipta lagu Minang yang berselera seni tinggi.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu,  8 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 08, 2012 16:00

January 3, 2012

Dinamika Etnisitas Minangkabau di Dunia Maya

suryadi-dinamika-etnisitas-minangkabau-di-dunia-maya1



Dalam dekade terakhir ini studi migrasi kelompok-kelompok etnis makin menjadi perhatian para ahli karena efeknya yang cukup signifikan terhadap situasi demografis dan dinamika sosio-politik dunia. Pada tahun 2006 Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penduduk Asli (UNFPII) mengatakan bahwa tren, dinamika, dan impak dari migrasi kelompok-kelompok penduduk asli  belum sepenuhnya dipelajari.



Berbeda dari masa-masa sebelumnya, studi kontemporer mengenai fenomena ini juga menganalisis pengaruh media modern terhadap etnis-etnis migran (diasporic indigenous) dalam kaitannya dengan bagaimana mereka membangun atau merekonstruksi identitas, komunitas, dan aktivisme di perantauan serta memandang etnisitas sendiri.



Di zaman ini media internet telah digunakan oleh berbagai komunitas diaspora tersebut untuk menyoroti memori kolektif dan identitas lokal. E-mail groups dan facebook groups telah menyediakan sebuah tempat baru bagi orang-orang seetnis yang sudah tinggal berjauhan untuk saling berhubungan.



Komunitas Minangkabau di dunia maya



Etnis Minangkabau jelas merupakan contoh yang menarik untuk mengamati fenomena diaspora komunitas etnis, pencarian identitas, dan pengaruh media modern. Artikel ini mendiskusikan interaksi translokal orang Minangkabau di seluruh dunia melalui keanggotaan mereka dalam berbagai e-mail groups dan facebook-groups (fb-groups). Walaupun aspek kultural tradisi merantau Minangkabau sudah pernah diteliti (lihat mis.: Mochtar Naim 1973; Tsuyoshi Kato 1982), namun penelitian-penelitian tersebut tidak menyinggung peran media, karena pada waktu itu memang fenomena media komunikasi modern seperti internet dan facebook belum muncul dan belum mempengaruhi banyak orang seperti sekarang ini.



Sekarang telah bermunculan banyak e-mail group dan fb-group yang 'berlabel' Minangkabau. Demikianlah umpamanya ada e-mail group 'RantauNet', fb group 'Palanta R@antaunet', 'Cimbuak.Net', 'Adat Minangkabau yang Berdasarkan ABS-SBK', 'Benarkah Adat Minang Bersendikan Syarak?', 'Atheis Minangkabau', 'Palanta Urang Awak Minangkabau', 'PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Pariaman)', 'Kembali ke Ranah Minang', 'Rumah Gadang', 'Pelurusan Adat Minangkabau yang Berdasarkan ABS-SBK', dan 'Perjalanan Islam dan Penyempurnaan Adat Minangkabau' – untuk sekedar menyebut contoh. Beberapa e-mail group dan fb group juga menyajikan radio streaming bernuansa Minangkabau yang bisa diakses secara online.



Para anggota e-mail groups dan fb groups tersebut, yang tampaknya memiliki latar belakang pendidikan dan profesi yang berbeda-beda, tinggal di berbagai rantau maupun di kampung (Sumatra Barat). Kemudahan yang diberikan oleh media internet telah memungkinkan mereka 'mertemu' dan saling berinteraksi di 'ranah Minangkabau maya', membuat ranah realis sendiri (Sumatra Barat) merasa dekat, seperti terefleksi dalam motto salah seorang partisipan: 'Kampuang nan jauah di mato, dakek di jari' (Is St Marajo, dikutip dari e-mail group 'RantauNet'; maksudnya: Ranah Minang yang jauh di mata tapi terasa begitu dekat dengan hanya mengetik sesuatu dengan jari di komputer atau HP).



Topik-topik perdebatan



Dengan cara pengamatan terlibat selama beberapa bulan, saya mencoba mencatat topik-topik perbincangan (lebih sering sebenarnya dalam bentuk perdebatan yang sering sampai saling hujat-menghujat) yang menonjol dalam e-mail groups dan fb groups yang berlabel 'Minangkabau' tersebut. Namun demikian, setiap e-mail group atau fb group memiliki perbedaan karakter dalam model diskusi dan perdebatan – ada yang sangat radikal dan ada yang moderat.



Umumnya topik-topik perdebatan di forum-forum e-mail group dan fb group Minangkabau itu terkait erat dengan sistem matrilineal Minangkabau versus Islam. Perdebatan mengenai topik ini sangat intens. Satu pihak menginginkan agar sistem matrilineal dihapuskan di Minangkabau dan diganti dengan sistem yang menurut mereka sesuai dengan syariat Islam. Namun, tentu saja hal ini mendapat bantahan dari pendukung sistem ini. Pihak yang anti sistem matrilineal mengatakan bahwa sistem itu meniru perilaku binatang, menganggap bahwa anak-anak Minangkabau tak ubahnya seperti anak zina (bahkan sampai dipakai istilah  'anak anjing')  karena di dalam ranji kaum tidak dicatat siapa ayahnya. Akan tetapi pihak yang ingin mempertahankan sistem ini membantah bahwa ranji disusun bukan untuk mencatat keturunan, tapi untuk merekam hubungan keluarga untuk menegaskan jalur pewarisan harta pusaka tinggi (HPT).



Pihak yang anti sistem matrilineal menganggap sistem sosial Minangkabau tidak sesuai dengan Islam, dan oleh karenanya harus diubah total menjadi sistem patrilineal, sebagaimana yang berlaku umum di dunia, di mana ayah menjadi figur sentral melalui mana garis keturunan ditarik. Pembela sistem matrilineal menganggap bahwa sistem itu – yang, uniknya, dapat hidup berdampingan dengan Islam – justru harus dipertahankan dan mestinya membuat orang Minangkabau bangga kepada kebudayaannya sendiri.



Tentu saja perdebatan seperti di atas sudah lama terjadi, sejak zaman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kontra Mahyuddin Dt. Sutan Maharadja di awal abad 20 sampai sekarang. Saafroedin Bahar dan M Zulfan Tadjoeddin (2004:18-21) bahkan sampai penganggap sistem matrilineal Minangkabau berpotensi melanggar hukum internasional hak azasi manusia dan hukum pidana nasional. Argumen itu –lebih-lebih jika dikaitkan dengan posisi Saafroedin Bahar sebagai salah seorang aktivis pembela masyarakat adat – terkesan ambigu karena sebuah sistem budaya etnik telah diukur dengan kriteria-kriteria di luarnya. Jika ukuran seperti itu diberlakukan, pasti akan ditemukan masalah dalam sistem budaya dari ratusan etnik lainnya yang ada di Indonesia.



Perdebataan mengenai sistem mantrilineal ini tentu saja terkait dengan banyak aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Demikianlah umpamanya, masalah pewarisan HPT dan harta pusaka rendah (HPR) juga menjadi salah satu topik yang hangat. Satu pihak mendesak agar HPT dan HPR diwariskan menurut syariat Islam yang tentu saja tidak memberi ruang lagi kepada kemenakan. Ide ini tentu saja dibantah oleh kelompok yang menganggap konsep ABS-SBK yang berlaku sekarang sudah ideal. Terkait dengan hal ini, ramai pula diperdebatkan soal hak waris dan status anak-anak dari perkawinan antar etnis (ibu Minangkabau, ayah etnis lain atau sebaliknya).



Muncul berbagai ide-ide baru yang dianggap dapat memberikan solusi: misalnya ide untuk membuat ranji ABS-SBK (yang mencatatkan ayah dari anak-anak), mengubah status HPT dan tanah ulayat, merumuskan strategi baru untuk menyatukan orang Minangkabau di tingkat supra nagari, dan menghapuskan tanggung jawab mamak kepada kemenakan. Yang terakhir ini terkait dengan munculnya keluhan terhadap peran ganda laki-laki Minang – seperti terefleksi dalam ungakapan 'anak dipangku, kamanakan dibimbiang' – yang dianggap sulit dipikul oleh laki-laki Minang zaman sekarang.



Konsep nasab dan suku diperdebatkan pula. Apa sesungguhnya nasab dan suku dalam konteks kebudayaan Minangkabau? Apakah keduanya substitutif atau berbeda? Konsep 'bernasab ke ayah, bersuku ke ibu, bersako ke mamak' yang konon pernah dikemukakan oleh Buya Mas'ed Abidin diperdebatkan dengan sengit. Terkait dengan ini diperbincangkan pula konsep anak pisang dan induak bako. Langsung atau tidak, hal ini terkait dengan posisi suami dalam keluarga yang diibaratkan seperti 'abu di atas tunggul' atau  'lalat di ekor kerbau'. Pihak yang anti sistem matrilineal mengeritik keras konsep ini yang mereka anggap melecehkan peran dan tanggung jawab suami dalam keluarga Minangkabau.



Isu lain yang diperdebatkan adalah tentang daulat Pagaruyung dan status keluarga diraja, baik Raja Alam, Raja Adat, maupun Raja Ibadat. Gelapnya sejarah Minangkabau pra Paderi diperdebatkan dengan berbagai macam interpretasi.



Akhirnya, perubahan-perubahan sosial di ranah sendiri (Sumatra Barat) juga tak luput dari perbincangan. Pengaruh asing, baik yang bersifat material maupun non-material, dinilai sudah menggoyahan masyarakat Minangkabau. Dalam konteks ini, penerapan ajaran Islam  yang total dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk menyelamatkan masyarakat Minangkabau dari pengaruh asing itu.



Menarik diamati bahwa perdebatan-perdebatan sengit sering dipicu oleh percanggahan interpretasi terhadap ungkapan-ungkapan adat Minangkabau yang pada umumnya merepresentasikan gejala alam, sesuai dengan falsafah etnis Minangkabau: 'alam takambang jadi guru'. Rupanya generasi yang tidak lagi merasakan dan mengenal basis geografis ungkapan-ungkapan tersebut tidak mengerti lagi maksudnya yang tersirat dan cenderung memaknainya secara denotatif. Kiranya fenomena etnolinguistik yang menarik ini perlu dikaji lebih dalam.



Translokalitas dan komunikasi internet



Seperti ditunjukkan oleh beberapa kajian mengenai aspek kultural globalisasi (mis.: Lee 2006; Watson 2010; Longboan 2011), para peserta forum-forum e-mail group dan fb group, seperti komunitas-komunitas Minangkabau maya, cenderung memperbincangkan kebudayaan asli (authentic cultures) dan upaya untuk memproteksinya dari pengaruh Westernisasi. Namun, dalam konteks ini, kebudayaan asli itu juga dipandang secara kritis dalam aspek mana pengaruh budaya Barat cenderung ditolak dan, sebaliknya, dalam konteks Minangkabau, pengaruh Islam selalu ingin diperkuat.



Forum-forum keminangkabauan di dunia maya tersebut menunjukkan bahwa etnis Minangkabau, yang sudah mengalami mobilitas geografis yang luar biasa akibat tradisi merantau, terus-menerus mengartikulasikan dan mereproduksi identitas asli (indigenous identities) mereka jauh di luar batas geografi yang real (Sumatra Barat). Di sini saya meminjam istilah translocality (translokalitas) dari Arjun Appadurai (1995) untuk menunjukkan hubungan emosional antara para perantau Minang yang  jauh melewati batas-batas geografis etnis atau nasion yang real. Banyak penelitian sudah dilakukan tentang bagaimana peran media elektronik seperti internet (dan sekarang facebook) dalam menciptakan lingkungan virtual (virtual neighbourhoods) yang terkait erat dengan anggota komunitas yang tinggal di  kampung (lived-in local neighbourhoods).



Pengamatan terhadap komunitas-komunitas Minangkabau maya, seperti telah dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa gejala translokal dari komunikasi diaspora yang dimungkinkan oleh media komunikasi modern telah membentuk tidak hanya relasi yang mencakup daerah yang berbeda-beda tetapi juga membentuk lokalitas itu sendiri yang melaluinya selalu tercermin dikotomi antara tempat (place) dan ruang (space) dan antara yang lokal dan yang global.



Artikel ini baru merupakan perbincangan awal, yang lebih dimaksudkan sebagai refleksi akhir tahun (dan menyambut awal 2012) tentang keminangkabauan. Lepas dari itu, fenomena etnisitas dalam komunitas dunia maya, Minangkabau khususnya, jelas merupakan objek penelitian yang menarik dalam konteks studi mengenai budaya media (media culture) di Indonesia. Penelitian menegenai hal ini tentu dapat pula memberikan manfaat praktis, setidaknya untuk memetakan pandangan dan pemikiran perantau Minang terhadap ranah bundanya serta manfaat (dan mudarat) mereka bagi Sumatra Barat sendiri.



Suryadi


Dosen dan peneliti di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda



* Artikel ini telah diterbitkan di harian Haluan (Padang), Selasa, 3 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2012 16:00

January 1, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 60 - SEPANTUN BULAN DIPAGAR BINTANG

Konon dalam sebuah buku muatan lokal untuk sekolah dasar dan menengah di Sumatra Barat disebutkan bahwa adat Minangkabau yang matrilineal meniru perilaku binatang. Apa sebenarnya yang diajarkan kepada generasi muda kita dalam buku muatan lokal itu? Mengapa, misalnya, melalui buku muatan lokal itu tidak diinformasikan juga khazanah sastra Minangkabau seperti pantun, teka-teki, kaba, dan lain sebagainya. Bahan-bahan untuk itu lebih dari cukup, seperti yang kami sajikan lagi di nomor ini.



469.


Anak buayo di Gunung Tabua,


Anak ruso di dalam padi,


Mudiak ka Padang patang-patang,


Lalu diburu masuak kampuang,


Kasiah ka Adiak lah tatabua,


Tolong latak'an dalam hati,


Pikia dek Adiak duduak surang,


Kasiah mularaik masuak jantuang.



470.


Pabilo hari Jumaaik,


Di situlah haji babaju jubah,


Pabilo hari kiamaik,


Di situlah dandam baru sudah.



471.


Pulau Karang dilingkuang karang,


Parulangan sampan pangaia,


Angan-angan ka tolan surang,


Umpamo utang alun dibayia.



472.


Putiah kasiaknyo Pulau Karang,


Tampak nan dari Ujuang Batu,


Lauik intan bapaga karang,


Lai ko buliah sampan lalu?



473.


Limau manih di Karang Butun,


Tampak nan dari Pulau Pisang,


Hitam manih rambuik basusun,


Sapantun bulan dipaga bintang.



474.


Urang Pauah pai ka Padang,


Tibo di Padang bajua bali,


Dari jauah kami lah datang,


Mandanga Adiak baiak budi.



475.


Batiak cimangko tangah padang,


Masak baparam dalam paneh,


Itiak jo anso nan baranang,


Baa kok ayam mati lameh?



Kasih sudah kadung tertumpah kepada si dia. Ada rasa was-was kalau-kalau si dia tidak merawatnya dengan baik, sehingga ada permohonan: 'tolong latak'an dalam hati'. Ada rasa khawatir jika si dia menolak kasih sayang yang sudah terlanjur tacoroh itu. Jika itu yang terjadi, tentu akan merusak jiwa. Itulah refleksi dari bait  delapan larik pantun nomor 469.



Rindu yang begitu besar kepada si dia diungkapkan lagi dalam gaya hiperbola dalam bait 470. Bait ini merefleksikan janji erat yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas. Kalau meminjam penggalan dendangan Elly Kasim: 'baranak ampek den nanti juo'. Hanya kiamatlah yang akan menghentikan rindunya kepada si dia.



Bait 471 menyajikan sebuah perumpamaan yang elok tentang angan-angan yang begitu besar kepada seseorang yang jadi pujaan hati tapi isi hati belum sempat terungkapkan kepadanya –  ibarat si bisu barasian: takana lai, takatokan tidak. Tepat benar bahwa situasi pikiran seperti itu kepada si dia dapat diibaratkan seperti hutang yang belum dibayarkan.



Suatu wilayah yang sangat diproteksi dan diisolasi (seperti Korea Utara) sering menimbulkan keinginan yang lebih besar pada diri orang-orang tertentu untuk mengunjunginya. Ya, kurang lebih seperti gadis cantik berkerudung. Bila seseorang ingin melewati wilayah seperti itu, tentu harus minta izin dulu. Itulah refleksi bait 472 yang mengambil setting perairan/lautan. Bait ini mencatat sebuah kebiasaan lama: jika seseorang ingin melewati kampung orang lain, ia harus mengucap salam dan minta izin, karena pantun adat Minang sudah mencatatkan: Nagari bapaga undang / Kok kampuang bapaga buek / Tiok lasuang 'baayam gadang' / Salah tampuah buliah diambek.



Hitam manis menjadi idola lagi dalam bait 473. Kecantikan alami gadis dari alam tropis itu, dengan wajah bulat indah dan rambut tersisir rapi, yang mengkilat terkena minyak kelapa tanak, diibaratkan seperti bulan dipagar bintang. Memang kadang-kadang rambut yang dirawat secara alami dan dikeramasi dengan daun lundang secara teratur kadang-kadang menjadi lebih sehat dan segar ketimbang rambut 'modern' yang setiap hari terkena shampo buatan London dan Paris.



Budi baik selalu mengundang perhatian. Bukankah sudah biasa kita dengar bahwa 'nan baiak budi, nan indah baso'. Sebaliknya jika seseorang menanam budi buruk dalam dirinya, pasti banyak orang akan menghindar. Seorang gadis yang berbudi baik telah mengundang para jejaka untuk datang agar bisa mengenalnya lebih dekat. Beruntunglah gadis (dan juga bujang) yang baik budi dan indah basa-basinya. Itulah refleksi baik 474.



Kiasan pada bait akhir (475) potensial dialami oleh seorang –wanita atau lelaki – yang cemburu, yang naksir kepada seseorang tapi ternyata yang ditaksir lagi bermesraan dengan orang lain. Itulah refleksi bait ini: 'itik dan angsa yang berenang, mengapa ayam yang 'mati lemas''? Maksudnya: ada dua orang yang bermesraan, mengapa Anda yang panas hati tidak berkeruncingan? Pasti ada apa-apanya. Fenomena yang dikiaskan dalam bait ini sering tersua dalam kehidupan sehari-hari kita, baik di kalangan orang muda maupun orang tua. Barangkali ada pula pembaca setia rubrik 'Khazanah Pantun Minang' yang (pernah) 'terbakar hatinya' seperti dikiaskan dalam bait ini. Buat apa cemburu-cemburuan, yang bisa-bisa membawa kericuhan pula nantinya. Lebih baik cari saja layang lain. Toh kumbang tidak seekor, bunga tidak setangkai.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda]


Padang Ekspres, Minggu,  1 Januari 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 01, 2012 15:00

December 29, 2011

Ulasan/ Revie - Etnografi Muzik Pop di Indonesia

suryadi-revie-etnografi-muzik-pop-di-indonesiaJeremy Wallach


Modern Noise, Fluid Genres; Popular Music in Indonesia, 1997–2001 Madison, Wisconsin [etc.]: The University of Wisconsin Press, 2008 xvi + 323 halaman.


ISBN 978-0-299-22904-7 (paperback)



Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997–2001 adalah studi mutakhir yang mendalam mengenai muzik pop Indonesia. Penulisnya sendiri menyebut studi ini sebagai an ethnographic investigation of Indonesian popular music genres and their producers and listeners during the period of dramatic political and cultural transformation (mukasurat 3). Jelas bahawa penulisnya menaruh kesedaran atas perubahan mendasar politik Indonesia selepas tumbangnya Rezin Orde Baru (1998) yang kemudian berganti dengan Era Reformasi. Semula buku ini adalah disertasi Wallach yang bertajuk "Modern Noise and Ethnic Accents: Indonesian Popular Music in the Era of Reformasi" (University of Pennsylvania, 2002).



Modern Noise terdiri atas dua bahagian, iaitu Bahagian 1 (meliputi 6 bab) dan Bahagian 2 (meliputi 4 bab), didahului oleh Introduction (mukasurat 3–23) yang menjelaskan sejarah ringkas muzik pop Indonesia serta teori dan metode yang dipakai yang menawarkan kebaharuan: Wallach melakukan riset etnografis untuk menelaah dunia muzik pop Indonesia dengan menggunakan teori-teori kontemporer tentang kebudayaan. Ia menunjukkan bagaimana muzik pop sebagai salah satu ekspresi kebudayaan Indonesia berkelindan erat dengan berbagai hal: dinamika politik, gender, kelas sosial, nasionalisma, globalisasi, etnisiti dan xenosentrisma (xenocentrism), iaitu rasa ketagihan kepada segala sesuatu (fizik mahupun non fizik) yang berlabel asing (baca: Barat).



Wallach melakukan studi lapangan yang luas dan mendalam di Indonesia (1999–2000) untuk mengamati dari dekat aktiviti muzik dalam masyarakat urban, khususnya di Jakarta dan Bandung. Selama melakukan penelitian lapangan (field work), Wallach melibatkan diri dalam aktiviti-aktiviti penciptaan dan pertunjukan muzik pop Indonesia. Ia mengumpulkan segala benda yang terkait dengan muzik pop Indonesia (kaset, CD, VCD, pamflet, grafiti, stiker, T-shirt, berita-berita dalam akhbar dan majalah, dan lain sebagainya) yang merepresentasikan apresiasi masyarakat urban Indonesia terhadap muzik pop. Ia memilih  ngekost (menyewa sebuah kamar di rumah orang) di Kebayoran



Baru agar dapat bergaul rapat dengan praktisi dan khalayak (audience) muzik pop Indonesia. Ia melakukan temubual dengan banyak orang yang berasal dari berbagai kelas sosial dan mengunjungi berbagai lokasi tempat muzik pop Indonesia diciptakan, dipertunjukkan, dan diapresiasi oleh publiknya, dan mengamati dengan seksama segala peristiwa yang terjadi di  studio rakaman, dalam pembuatan klip video album muzik, toko-toko kaset dan VCD (juga di kaki lima), arena konsert, aktiviti muzik di kampus-kampus, di jalanan, dan di gang-gang kota Jakarta dan Bandung.



Bahagian 1 buku ini (Bab 1–6), yang bertajuk Sites, mengeksplorasi lokasi-lokasi tempat muzik pop Indonesia dipertunjukkan dan diapresiasi oleh khalayaknya. Wallach menghuraikan secara rinci interaksi dan aktiviti sosial, pihak-pihak yang terlibat dalam penciptaan dan penikmatan muzik pop, dan bentuk-bentuk ekspresi muzik yang mereka tampilkan di lokasi-lokasi pertunjukan muzik yang dikunjunginya. Selanjutnya Wallach mendiskusikan kepelbagaian makna dan fungsi sosial di sebalik aktiviti dan perilaku para penampil (performers) dan khalayak dalam acara-acara pertunjukan muzik tersebut dan mengaitkannya dengan wacana (discourse) tentang kelas, moderniti, gender, dan nation dalam konteks Indonesia masa kini.



Bab 1, yang bertajuk Indonesian Popular Music Genres in the Global Censorium (mukasurat 27–41), membahas tempat genre-genre muzik pop yang menonjol di Indonesia—Pop Barat,  Pop Indonesia, dangdut, dan muzik daerah—dalam konteks kesejarahan dan sosio-budaya yang lebih luas di Indonesia.



Selanjutnya, dalam Bab 2, yang bertajuk In the City: Class, History, and Modernity's Failures (mukasurat 42–66), Wallach memaparkan latar geografis studi ini yang utama, iaitu metropolitan Jakarta, episentrum aktiviti ekonomi Indonesia. Lewat analisis budaya mengenai keanekaragaman bahasa, ruang (spaces), dan soundscapes ibukota Republik Indonesia, Wallach mengeksplorasi peranan sosio-ekonomis kelas dalam proses urban yang mendasar yang membentuk diferensiasi atau perbezaan sosial dan kuatnya peran kelas dalam wacana  kemodenan  (modernity) dan pembangunan (development) yang menghegemoni dan begitu berpengaruh di zaman Orde Baru.


Bab ini menjadi dasar pijakan untuk memahami potret etnografis eksistensi dan tempat muzik pop Indonesia dalam lingkungan budaya urban di negara ini.



Wallach berargumen bahawa fenomena muzik harus dipahami lewat ruang sosial (social spaces) yang ditempatinya dan berbagai bentuk material (kebendaan) yang dimilikinya. Menurutnya pula, tafsiran mengenai makna muzik dalam kebudayaan masyarakat tertentu memerlukan pemahaman tentang aktiviti dan interaksi sosial yang menyangkut bentuk-bentuk muzik yang terdapat dalam konteks sosial khusus dalam masyarakat berkenaan.



Atas dasar argumen itu Wallach mengamati juga tempat-tempat penjualan rakaman komersial muzik di Indonesia, seperti toko kaset di mall dan pertokoan, warung kaset, penjual kaset di kaki lima, dan lain sebagainya, yang hasilnya dipaparkan dalam Bab 3 dengan tajuk Cassette Retail Outlets: Organizations, Iconography, Consumer Behaviour (mukasurat 67–90). Bab ini menghuraikan susunan spasial, pola klasifikasi, ikonografi, dan pola-pola kebiasaan yang mencirikan ruang penjualan produk muzik di Indonesia dan mengaitkannya dengan pemahaman publik mengenai genre muzik. Lewat pengamatan yang cermat tentang cara penataan produkproduk rekaman muzik di berbagai tempat penjualan kaset rekaman serta perilaku penjual serta pembeli (consumers), Wallach mendiskusikan genre, kelas, dan status dalam konsumsi muzik di Indonesia.



Bab 4, yang bertajuk In the Studio: An Ethnography of Sound Production (mukasurat 91–120)  membahas hubungan muzik dengan genre dan hierarki budaya lewat telaah mengenai konteks interaksional dalam studio rakaman (recording studio), salah satu ranah (domain) utama tempat muzik pop Indonesia diproduksi. Untuk memahami berbagai peristiwa yang terjadi selama proses pembuatan muzik di studio rakaman, Wallach mengamati aktiviti pembuatan album muzik pop di tiga studio rakaman, iaitu di 601 Studio Lab yang besar dan khusus menghasilkan rakaman-rakaman komersial muzik dangdut dan pop Indonesia, di Paradi Studio yang kebanyakan merakam pop Indonesia, Jazz dan artis R & B (keduanya berlokasi di Jakarta Barat), dan di Studio Underdog State (berlokasi di Denpasar) yang khusus merakam muzik undeground. Analisis Wallach menunjukkan bahawa para produser menggunakan teknologi rakaman yang canggih (sophisticated) untuk memanipulasi dan menjajarkan elemen-elemen sonik daerah, nasional, dan global dalam produksi komoditas muzikal untuk pasar Indonesia.



Bab 5, yang bertajuk On Location: Shooting Music Video Clips (mukasurat 121–38), menyelami proses pembuatan video klip dua genre muzik, iaitu lagu dangdut dan lagu rock, yang pembuatan video klipnya membutuhkan biaya dengan jumlah berbeza, dan dengan teknologi yang kecanggihannya berbeza pula. Proses pembuatan kedua video klip itu memperlihatkan permainan simbol-simbol lokal, nasional, dan global dalam muzik pop Indonesia dan juga menyingkapkan keasyikan budaya terhadap moderniti yang tentu saja diiringi dengan konsekuensi moraliti yang ditimbulkannya.



Bab 6, yang bertajuk Offstage: Music in Informal Contexts (mukasurat 139–67), membahas pertunjukan dan apresiasi terhadap muzik pop di Indonesia dalam konteks informal, misalnya bagaimana muzik pop diapresiasi di pinggir jalan yang terkait dengan kelas pekerja yang kebanyakannya lelaki, dan di kampus-kampus dengan para pelakunya yang berasal dari kalangan mahasiswa yang asosiatif dengan kelas menengah. Dalam dua latar yang berbeza ini pertunjukan muzik pop memainkan peran sentral dalam budaya nongkrong (hanging out) yang oleh Wallach disebut sebagai 'ethic of sociality' yang sangat bersifat maskulin. Wallach menunjukkan peran penting budaya nongkrong dalam cara bagaimana muzik global dan muzik nasional Indonesia digunakan dan ditafsirkan oleh anak muda Indonesia.



Bahagian 2 (Bab 7–10) yang bertajuk Genres in Performance memfokuskan perhatian pada acara-acara pertunjukan live genre muzik tertentu: misalnya apa yang terjadi dalam pertunjukan dangdut dan apa bezanya dengan pertunjukan genre muzik pop yang lain. Dengan kata lain, Wallach menelaah sifat-sifat khas dan kontestasi dimana genre-genre muzik pop dipertunjukkan secara live oleh para muzikus dan diterima oleh khalayak dalam berbagai konser dan festival.



Bab 7, 8, dan 9 yang bersifat etnografis membahas konser tiga genre muzik yang menjadi fokus utama studi ini, iaitu pop, dangdut, dan muzik underground.  Dalam Bab 7, yang bertajuk Onstage: The Live Musical Event (mukasurat 171–89), Wallach memaparkan berbagai bentuk pertunjukan live muzik di Indonesia, mulai dari bentuk ngamen sampai kepada acara yang terorganisir, formal dan bergengsi, seperti show dan festival muzik, untuk memahami apa yang disebut oleh Wallach sebagai 'performance of social class'.



Bab 8, yang bertajuk Dangdut Concerts: The Politics of Pleasure (mukasurat 190-209), menyajikan analisa etnogrfis pertunjukan live muzik dangdut di lapangan terbuka dan dalam kelab-kelab malam dengan khalayak yang umumnya berasal dari kelas pekerja rendahan. Wallach menelaah simbol-simbol gender dan pertukaran material yang terjadi dalam pertunjukan dangdut di dua jenis lokasi pertunjukan yang berbeza itu dan mendiskusikan pentingnya hal itu vis-à-vis dangdut sebagai genre muzik 'nasional'.



Rock and Pop Events adalah tajuk Bab 9 (mukasurat 210–25). Dalam bab ini Wallach membahas pertunjukan muzik pop, rock, dan lagu-lagu Barat di kafe-kafe urban yang bergengsi, yang identik dengan kelas menengah dan atas, dan konser-konser yang diselenggarakan oleh mahasiswa. Bab 10, yang bertajuk Undergound Music: Imagining Alternative Community (mukasurat 226–46). menelaah pertunjukan muzik underground yang biasa diselenggarakan oleh anak muda dan mengeksplorasi bagaimana acara-acara tersebut membentuk komuniti penyuka muzik ini melalui ekspresi kolektif yang bersifat subkultur. Dengan mencuatkan pertanyaan mengenai kelas, identiti, dan dinamik budaya dalam gerakan muzik global, bab ini ditutup dengan penafsiran tentang fungsi kultural pertunjukan muzik underground dalam konteks Indonesia moden masa kini.



Dalam Conclusion (Kesimpulan) yang bertajuk Indonesian youth, music,  and globalization (mukasurat 247–64) Wallach menjelaskan bahawa buku ini berhasil memotret sebuah momen historis mengenai kehidupan muzik kaum muda Indonesia di daerah perkotaan. Dengan pendekatan etnografis yang digunakan, buku ini tidak saja telah berhasil menggambarkan  berbagai praktek muzik pop di Indonesia—bagaimana muzik itu dirakam, dipertunjukkan, dinikmati, dan dibeli tapi juga sejumlah dinamik yang mendasar dalam budaya nasional Indonesia di zaman ini dan implikasinya terhadap proyek identiti dalam diri kaum muda Indonesia.



Namun, setelah membaca buku ini, ada kesan bahawa Wallach tidak sepenuhnya dapat melepaskan diri dari pandangan Barat dalam melihat muzik pop Indonesia, walaupun dia sudah melakukan penelitian lapangan secara terlibat. Wallach juga kurang mengimbangi pandangan para penyuka muzik pop Indonesia dengan mereka yang menyukai jenis muzik lain (misalnya muzik daerah/etnis). Walau bagaimanapun kuatnya unsur xenocentrism dalam fenomena muzik pop Indonesia, tetap ada ciri keindonesiaan yang membezakan muzik pop Indonesia dengan, misalnya, muzik pop Malaysia, muzik pop Thailand, dan muzik pop Philipina. Yang luput dari perhatian Wallach, saya kira, adalah bagaimana muzik pop Indonesia diapresiasi di negara-negara jirannya, seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura, yang mungkin akan dapat memberi gambaran bahawa muzik pop Indonesia bukan sekedar proyek identiti kaum muda (yang cenderung anti establishment dan 'melawan' state), tetapi juga bagian dari proyek kebudayaan nasional.



Lepas dari hal itu, buku ini merupakan tonggak penting dalam penelitian mutakhir mengenai muzik pop Indonesia, kerana sejak zaman kolonial sampai sekarang perhatian akademis terhadap muzik Indonesia lebih condong kepada muzik-muzik daerah atau muzik-muzik etnis daripada muzik nasional. Buku ini jelas sangat penting dibaca oleh kalangan dakademisi atau siapa saja yang ingin memahami muzik pop Indonesia di zaman moden ini dalam kacamata  cultural studies.



Suryadi - Leiden University, Belanda


Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.8. 2009



http://wacanaseni.usm.my/WACANA%20SENI%20JOURNAL%20OF%20ARTS%20DISCOURSE/JOURNAL_8%20PDF/6Suryadi.pdf

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 29, 2011 10:00

Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.