Suryadi's Blog, page 24

September 23, 2012

Minang Saisuak #104 - Tari piring di Sungai Pua

1eea2cf54fe0a6a80e076be50615edc4_minang-saisuak-tari-piring-di-sungai-pua



Kalau orang bicara tentang tarian tradisional Minangkabau, salah satu tarian yang mungkin langsung teringat oleh kita adalah tari piring. Sejauh yang saya ketahui, belum ada penelitian tentang asal-muasal tari piring ini. Yang ada baru deskripsi tentang struktur pertunjukannya dan metodologi pengajarannya, misalnya oleh Mid Jamal (1992), Trianti Nugraheni (2004) dan Deni Hermawan (2004). Barangkali perlu juga diteliti lebih dalam sejarahnya oleh civitas akademika ISI Padang Panjang atau UNP supaya dapat diketahui dari mana dan bagaimana asal muasal tari piring ini. Data tertulis dan visual tentangnya mungkin tak kurang lengkapnya, seperti antara lain diperlihatkan dalam foto klasik yang kita turunkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini.



Foto ini (18×24 cm.) mengabadikan sebuah pertunjukan tari piring di Sungai Pua pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Mat kodaknya tidak dikenal. Dalam catalog institusi yang menyimpan foto ini disebutkan bahwa tarian ini bernama “lampendans” (tari lampu). Barangkali nama ini didasarkan atas penggunaan lilin di piring yang dilenggang-lenggokkan.



Secara arbitrer saya memperkirakan tari piring ini mungkin asalnya dari acara pesta perkawinan atau keramaian lainnya yang melibatkan prosesi makan, misalnya dalam pesta panen dan lain-lain. Jadi, ketika muncul kegembiraan saat itu, seorang secara spontan mengambil piring yang kosong dan menari-nari dengan melenggang-lenggokkannya. Banyak kajian antropologi (tari) menunjukkan bahwa tarian-tarian tertentu dalam berbagai kelompok etnis terkait dengan ritus panen dan kesuburan tanah. Namun demikian, asumsi saya di atas tentu perlu dibuktikan lebih lanjut lewat kajian ilmiah.



Konteks foto di atas tampaknya satu prosesi penyambutan tamu-tamu terhormat. Lihatlah ekspresi para penonton yang memanjangkan leher melihat ke rah depan. Di latar belakang terlihat gaba-gaba yang menunjukkan bahwa di tempat ini sedang ada pesta keramaian. Terlihat bahwa para penari dalam foto ini adalah kaum lelaki, tidak seperti sekarang di mana tari piring cenderung ditarikan oleh perempuan (yang kadang-kadang masih dikombinasikan dengan penari laki-laki). Dulu di Minangkabau alek kaum laki-laki dibedakan dengan alek kaum perempuan: tamu laki-laki dilayani oleh tuan rumah laki-laki dan tamu perempuan juga dilayani oleh tuan rumah perempuan. Kini zaman lah moderen, angin Baraik lah barambuih. Ka dipangakan lai.




Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam). | Singgalang, Minggu, 23 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 23, 2012 23:00

September 18, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 97 - JERAT SUDAH MENGAMBUNG DIRI

Sejauh yang terlacak oleh saya, belum banyak kajian mengenai paralelisme dan metafora dari perspektif linguistik dan stilistik yang mengambil objek pantun Minangkabau. Barangkali ada baiknya jika Jurusan Sastra Daerah/Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas menawarkan mata kuliah kajian pantun Minangkabau. Dalam kuliah itu bisa dibahas aspek intrinsik dan ekstrinsik pantun Minangkabau. Mari kita nikmati lagi estetika pantun Minangkabau yang khas itu di nomor ini, tiga nomor menjelang edisi ke-100 rubrik ini.



767.


Siamang di kayu kalek,


Malompek ka puncak batuang,


Tuan tagamang lagi bajawek,


Takantuak Tuan lai badukuang.



768.


Taganang aia di lasuang,


Disalin ka buli-buli,


Marantak balam ateh batuang,


Jarek lah maambung diri.



769.


Mulo kami ka jadi mandi,


Baolah galuak gadang-gadang,


Latak’an ateh pincuran,


Mulo kami tak jadi pai,


Bao bagaluik adang-adang,


Ka pamupuih kamaluan.



770.


Karateh turap aia ameh,


Bagirah rono limbayuang,


Tuan kandung kamilah cameh,


Dalam paneh lai ka linduang?



771.


Rang Padang manggiliang rokok,


Diisok sambia manitih,


Binguang alang pandialah sikok,


Murai lah dapek dek sikikih.



772.


Rang Guguak macah galanggang,


Tampaklah tirai kulambunyo,


Dimalah lubuak nan tapanggang,


Kami baniaik di abunyo.



773.


Bagerai kapa si Ulando,


Kumandua mudiak ka Poncan,


Tahun mano musim pabilo,


Mangko ka sanang paratian.



774.


Balam timbago patah kapak,


Bulu tatabua di tapian,


Dalam nan tarang tidak tampak,


Alang kamabuak paratian.



775.


Tangih marunguik sambia mandi,


Karanggo mamanjek rangkiang,


Badan tubuah buliah diganti,


Guno Tuan tidak kailang.



776.


Carikan kami lado mudo,


Panggulai ikan nan tasangkuik,


Carikan kami jalo suto,


Pangauik jamua tangah lauik.



777.


Iyu pari tanggiri pari,


Kasumbo bao baranang,


Tau kami di diri kami,


Bagai suto tumbok jo banang.



Bait 767 merefleksikan hati seorang yang sedih karena tidak punya keluarga tempat berlindung, sementara orang lain ada yang menghibur atau melindungi ketika sedang mengalami kedukaan atau kemalangan. Bait berikutnya (768) sangat bagus kiasannya dalam menggambarkan sifat tidak sabar seseorang untuk mendapatkan hal yang sudah lama diincar atau diingininya.



Bait 769 mengilatkan keragu-raguan si dia karena dia kurang yakin apakah Anda betul-betul serius, sebab mungkin dia merasa banyak janji Anda yang muluk-muluk kepadanya tapi ternyata realisasinya tidak ada. Ini seperti diperjelas dalam bait berikutnya (770): si dia ragu-ragu apakah Anda bisa menjadi tempat berlindung baginya.



Bait 771 sangat bagus pula kiasannya. Bait ini mengiaskan orang-orang hebat (kaya, berkuasa) yang kecolongan oleh orang-orang kecil (orang biasa saja) dalam memperebutan kembang desa yang jadi incaran banyak lelaki. Bait 772 menghadirkan logika oposisi (ini salah satu ciri semantis yang penting pada pantun Minang) untuk menyampaikan makna tentang sesuatu yang sulit dan hampir tak mungkin dicapai – meminta ‘tanduak kudo’, kata orang.



Bait 773 menyampaikan suara dagang yang belum juga berubah nasibnya menjadi lebih baik. Nada yang sama tapi berbeda konteks disampaikan dalam bait 774 yang juga bagus kiasannya. Bait ini, yang juga memakai logika oposisional, mengiaskan orang sulitnya menjangkau sesuatu (dalam konteks ini bisa juga cinta seseorang) walaupun ia sehari-harinya kelihatan oleh orang yang berhasrat besar untuk mendapatkannya.



Bait 775 berisi ungkapan perasaan kepada seseorang yang sangat sulit dilupakan karena ia begitu berarti dalam hidup si aku lirik, yang kenangan kepadanya tertanam dalam di lubuk hati. Bait 776 juga bagus kiasannya, yang mengilatkan perlunya modal yang besar (jalo suto) untuk memperoleh sesuatu yang sangat mahal dan sulit (jamua dalam lauik). Memang betul kata orang: memancing ikan besar tidak mungkin memakai benang kail yang halus.



Bait terakhir (777) mengandung refleksi perbedaan kelas yang jomplang: si miskin (banang) yang merasa yang malu berdampingan dengan si kaya (suto). Si dia rupanya merasa rendah diri berdampingan dengan Anda yang berasal dari keluarga berada. Tapi dalam konteks ini bisa juga artinya perbedaan penampilan fisik yang sangat kontras. Bait ini mengingatkan pembaca rubrik ‘Khazanah Pantun Minang’ supaya tahu diri kalau nasksir seseorang. Rasa-rasakan dulu modal sendiri (dalam arti ekonomi dan juga tampang). Ini penting supaya jangan nanti jatuh kecewa karena cinta ditolak. Bahayanya, kalau cinta ditolak sering dukun bertindak. Ini membuat Anda bisa terkelenocong ke jalan yang sesat.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda] | Padang Ekspres, Minggu, 16 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 18, 2012 23:00

September 16, 2012

Minang Saisuak #103 - Pemandangan di Nagari Palembayan

ed98793889e81f4dbaae67ed9b7a54c2_minang-saisuak-pemandangan-di-nagari-palembayan



Tampaknya sangat mungkin untuk menyusun sejarah (visual) sebuah nagari sambil melihat perubahan-perubahan topografis nagari itu sebab cukup banyak tersedia foto-foto klasik yang mengabadikan pemandangan naga-nagari di Minangkabau, khususnya nagari-nagari yang menonjol pada masa lampau, seperti Koto Gadang, Taram, Pariangan, dan lain-lain. Waktu saya menulis buku Syair Sunur (terbit 2004) saya menemukan cukup banyak data mengenai penduduk dan keadaan nagari yang bertetangga dengan Ulakan itu pada abad ke-19. Harsja W. Bachtiar juga telah menulis satu artikel yang berjudul: “Nagari Taram: A Minangkabau Village Community”, dalam: Koentjaranigrat (ed.), Villages in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967: 348-385) (lihat juga rubbrik ‘Minang Saisuak’: “Nagari Taram di Payakumbuh”, Singgalang, 2 Oktober 2011).



Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan sebuah foto klasik tentang nagari Palembayan di Luhak Agam. Kodak  ini (17,6×27,8 cm.) adalah hasil jepretan Christian Benjamin Nieuwenhuis dalam kisaran tahun 1892-1922. “Dorpgezicht, Palembajan” (Pemandangan desa Palembayan), demikian judul foto ini tertera di katalog Tropenmuseum Amsterdam tempat foto ini disimpan. Sangat mungkin foto ini adalah sebuah kartu pos (postcard) dari proyek wisata kolonial yang mempromosikan keindahan dan keunikan nagari-nagari Minangkabau pada abad ke-19. Adalah Asisten Residen Agam Tua, L.C. Westenenk, yang gencar mempromosikan keindahan alam pedalaman Minangkabau kepada pelancong Eropa, seperti dapat dikesan dalam buku turistiknya Eight days in Padang Bovenlanden (Delapan hari di Padang Darat) yang penuh ilustrasi (Batavia: Java Books, 1909).



Melihat foto ini tentu mengingatkan kita pada suasana tradisional di nagari-nagari di Minangkabau zaman saisuak: lapau, sasaran silat, hamparan padi menghijau atau menguning dengan berkaum-kaum tempua dan pipit maraok ke atasnya, suara genta pedati, bunyi alu menghantam lubang lesung bertalu-talu, suara taguak-taguak di tengah malam, bunyi mendayu suara tukang rabab, resitasi al-Quran di surau-surau, rumah gadang dengan anjung bak alang ka tabang dengan gadis berambut legam bergerai mencigap di jendelanya, dan gotong royong membersihkan tali banda. Suasana itu sudah sulit dijumpai di masa kini. Nagari-nagari sudah ‘terpolusi’ oleh aroma uang, sounds of modernity, dan hingar-bingar musik orgen tunggal dengan goyangan berputar-putar tak kerkendali biduan wanitanya bak gasiang yang kapia lanaik ketika dipangko-kan.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam) | Singgalang, Minggu, 16 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 16, 2012 22:00

September 11, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 96 - PERAWAS MASAK JADI BATU

Di abad ke-21 ini masyarakat Indonesia, baik dalam pengertian negara-bangsa maupun kumpulan etnisitas, makin terperosok ke dalam labirin modernisme. Ibarat masuk lubang gelap tanpa penerang, mereka saling berantukan satu sama lain dalam pusaran budaya pop. Dan mereka tak sadar pula telah diperantuk-antukkan bangsa asing melalui tangan-tangan maya imperialisme modern. Mereka cenderung lupa kepada kebudayaan sendiri, larut dalam xenosentrisme yang memuja kebudayaan asing secara berlebih-lebihan. Semoga sajian ‘Khazanah Pantun Minang’ – ini adalah edisi 96 – masih membantu orang Minangkabau meresapi kebudayaan sendiri.



757.


Baladang mudiak Koto Ranah,


Ditabeh mako dianguihsi,


Elok diambiak kutiko randah,


Kok tinggi gunuang ditangisi.



758.


Mambajak urang di Andaleh,


Banto nak kami jaja juo,


Guno tak joa kami baleh,


Jaso ka kami kana juo.



759.


Anak urang di Bukik Duku,


Ka pakan jinjiang durian,


Sariak nan tidak babuah lai,


Mambuhua kok mambuku,


Ratak kok nyo mangasan,


Cadiak tidak paguno lai.



760.


Carikan kami aro baa,


Aro nan condong ka subarang,


Daunnyo babuyun rapek,


Carikan kami jalo baa,


Panjalo ikan tangah padang,


Tahun pabilo ka kadapek.



761.


Panjaik panabang paku,


Puncak baliung panarawang,


Janyo siapo tak karagu,


Ikan baranang tangah padang.



762.


Dari Jalalak ka Jalalai,


Singgah ka Pakan Koto Tujuah,


Tuan bajalan kok talalai,


Tinggakan rambuik ganti tubuah.



763.


Anak alang di ateh talang,


Anak anso ateh kilangan,


Anak sipasan dalam buluah,


Antah bajari antah tidak,


Limpato dalam parahu,


Mari Tuan marilah sayang,


Mari kito bajawek tangan,


Tuan bajalan antah jauah,


Antah kumbali antah tidak,


Garak Allah siapo tahu.



764.


Pandan dituriah Sibaruliah,


Aia di hulu dilakuakkan,


Urang mangali manaruihkan,


Cindai diambiak panyubarang,


Tahun kini zaman baraliah,


Dahulu papeh babengkokkan,


Kini kaia lah baluruihan,


Panganai bukan alang-alang.



765.


Gadanglah aia Batang Anai,


Anyuiklah pandan sularonyo,


Takalo kaia kamanganai,


Ikan dimabuak saleronyo.



766.


Ditanun aru kajumbai,


Labiahnyo sahalai baju,


Mati maratoklah kau tupai,


Paraweh masak jadi batu.



Bait 757 mencatat kebiasaan menunangankan anak sewaktu masih kecil. Kalau sudah besar (kutiko lah tinggi) banyak yang akan berebut, artinya bisa kecolongan. Tapi bisa juga berarti tidak menyia-nyiakan kesempatan baik yang datang. Bait 758 mengilatkan betapa sulitnya membalas utang budi – ‘utang’ yang sering dibawa mati. Ada peringatan dalam bait 759 agar hati-hati dalam pergaulan. Jika sekali saja politik budi Anda ketahuan oleh orang lain, mungkin orang tidak akan percaya lagi kepada Anda untuk selamanya.



Kiasan yang ironis disajikan dalam bait 760 dan 761: tentang harapan yang mungkin utopia, ibarat orang menanti lesung akan berurat, menanti antan akan berdaun. ‘Ikan berenang di tengah Padang’ mengiaskan harapan yang sangat tidak mungkin akan jadi kenyataan.



Bait 762 sangat manis gaya bahasanya: jika engkau kekasih hati akan lama pergi dan telat kembali kepadaku, tinggalkanlah sehelai-dua rambutmu untukku sebagai pengganti badan dirimu. Ada suasana perpisahan yang sangat menyedihkan yang direkam oleh bait ini, seperti dapat dikesan dalam bait berikutnya (763).



Bait 764 merekam perubahan perilaku orang seiring dengan pergeseran zaman. Simbol di balik kata ‘papeh/kaia’ yang biasanya bengkok tapi kini menjadi lurus namun mampu memberikan hasil tangkapan ikan yang banyak tampaknya merujuk sikap permisif: dengan cara yang gampang sesuatu yang dulu sulit untuk didapatkan sekarang dengan mudah dapat diperoleh. Bait berikutnya (765) akan memberi jalan terang bagi kita untuk menafsirkan kata kiasan ini: tampaknya ini terkait dengan hubungan muda-mudi. Kedua bait ini mengiaskan tagarajai-nya seseorang (muda-mudi dalam konteks ini) karena tak kuasa menahan hawa nafsu.



Bait terakhir juga menampilkan kiasan yang sangat berkesan. Bait ini merekam hilangnya kesempatan atau peluang yang bagus karena sifat ragu atau takut. Peluang yang sama tidak datang dua kali. Oleh sebab itu Anda jangan menyia-nyiakan kesempatan. Jangan sampai Anda menyesal dan meratapi ‘cirik anyuik’.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda] | Padang Ekspres, Minggu, 9 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 11, 2012 22:30

September 9, 2012

Minang Saisuak #102 - Pasar Padang Panjang

Pasar Padang Panjang



Kota Padang Panjang sudah lama memiliki peran penting dalam menghubungkan wilayah pusat Minangkabau (darek/luhak nan 3) dengan kawasan rantau di pesisir barat, khususnya Padang dan Rantau Pariaman. Kota ini berfungsi sebagai tempat untuk mentransfer atau pertukaran bahan-bahan komoditi dari kedua wilayah itu. Muhammad Saleh Dt. Orang Kaya Besar, pedagang besar Pariaman di abad ke-19 (lihat: Rubrik ‘Minang Saisuak’, 13 Maret 2011), menceritakan dalam ‘autobiografinya’ Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja (1914) bahwa komoditi utama yang dibawa dari Pariaman ke Padang Panjang adalah minyak kelapa, garam, ikan asin, daun nipah (untuk rokok, yang diambil dari Pulau Pagai), dan beras. Sebaliknya dari Padang Panjang ke Pariaman dibawa berbagai jenis sayur-sayuran. Alat transportasi utama pada waktu itu adalah pedati melewati jalan Lembah Anai yang kondisinya masih sangat sederhana.



Oleh sebab itu kota Padang Panjang selalu ramai. Sejarah telah mencatat bahwa Padang Panjang yang berhawa sejuk juga menjadi pusat pendidikan yang penting di Minangkabau. Salah satu di antaranya adalah Sumatra Tawalib yang terkenal itu. Kota ini juga menjadi pencetus gerakan ideologi-ideologi baru di akhir zaman kolonial.



Rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini menurunkan foto klasik Pasar Padang Panjang yang dibuat sekitar tahun 1930-an. Mat kodaknya tidak diketahui, tapi foto yang berukuran 17,5 x 23,5 cm. ini tampaknya dibuat untuk suatu postcard. “Markt te Padang Pandjang, Padangsche Bovenlanden” (Pasar di Padang Panjang, Padang Darat), demikian judul foto ini.Tampaknya pasar ini sedang ramai. Di latar belakang terlihat bangunan los-los yang tampaknya relatif masih baru. Melihat foto ini muncul kesan pentingnya pasar sebagai ajang pertemuan sosial, tidak sekedar tempat untuk saling menukar barang dan pelintasan uang. Gaya pakaian kaum perempuan dan laki-laki yang terekam dalam foto ini menjadi catatan etnologis dan historis yang penting tentang transformasi politik tubuh etnis Minangkabau.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam). | Singgalang, Minggu, 9 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 09, 2012 22:30

September 5, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 95 - BERMAIN GUNTING DALAM HATI

Sudah seminggu Hari Raya 1433 H berlalu. Kampung sudah lengang kembali. Buaiyan Kaliang di pantai Pariaman sudah dibongkar. Oto-oto berkilat dari berbagai merek sudah balik ke rantau. Sebuah ‘ritual’ atas nama kebudayaan dan agama telah usai. Lebih dari 900 nyawa hilang di jalan. Puji dan umpat bergaung dalam laman-laman facebook (antara lain keluhan tentang semrawutnya kota Bukittinggi). Uang si perantau yang tercicir di kampung sebagian besar telah menguap ke udara. Namun tuah perantau itu, atau kesengrasaannya, serta keindahan kampung halaman dan rumah gadang, tetap abadi dalam pantun-pantun Minangkabau. Mari kita menghibur diri dengan sajian pantun di nomor 95 ini, karena orang rantau tidak akan mungkin dapat kita tahan untuk membali tidur di surau dan mengadu ujung celana galembong di sasaran silat.



743.


Kalangkari baju rang Sunua


Dijaik balun disudahkan,


Lamak manih nambek dilulua,


Paik nan jangan dimutahkan.



744.


Kuaik ureknyo si sulasiah,


Di halaman bapaga bungo,


Banda diaru rang Salido,


Jawek pakirim tando kasiah,


Galak marahai manyingkoknyo,


Antah barisi aia mato.



745.


Kapeh panji tangah halaman,


Disangko tidak kababuah,


Babuah juo mah kironyo


Bajanji bajawek tangan,


Disangko tidak kabarubah,


Barubah juo mah kironyo.



746.


Tabang buruang ka Taluak Ambun,


Tali perak tambang suaso,


Hati baguluang bagai tanun,


Dikambang banyak nan binaso.



747.


Bulan bulek bintang taletai,


Kaliang bamain bungo api,


Jokok santano Tuan rasai,


Bamain guntiang dalam hati.



748.


Nasi sacambuang nan dirandam,


Santapan Rajo Duo Selo,


Basi namuang kalamnyo tajam,


Mamutuih basi si malelo.



749.


Kasiak barambuang di muaro,


Dibao urang ka musajik,


Kasiah bagantung di udaro,


Satampok ganggang dari langik.



750.


Dibali maco satali,


Digulai jo buah patai,


Disangko tunangan haji,


Kironyo mainan labai.



751.


Baalah ujuang pandan nangko,


Tidak saujuang jo bingkawang,


Baalah untuang badan nangko,


Tidak sauntuang dangan urang.



752.


Indopuro Muaro Sakai,


Kalangkan biduak panjang tujuah,


Nan dimukasuik balun lai sampai,


Sapantun tinaman balun tumbuah.



Sesuatu yang kelihatan baik jangan langsung diterima. Sebaliknya, hal yang kelihatan buruk jangan langsung ditolak. Setiap keputusan yang akan dibuat harus dipertimbangkan dulu masak-masak, jangan memakai ‘ilmu koncek’: begitu teringat langsung melompat. Itulah refleksi bait 743. Bait 744 mengingatkan agar jangan terlalu larut dalam kegembiraan bila menerima pakirim dari kekasih (di rantau). Siapa tahu ada kabar buruk yang menyertainya. Bapado-pado-lah  mengeluarkan kegembiraan. ‘Terlalu berlebihan suka pertanda dekatnya duka’ kata Raja Ali Haji dalam salah satu pasal Gurindam 12.



Refleksi bait 745 - 747 mungkin dapat dirangkaikan: tampaknya hati si dia sudah berubah, dia memungkiri janji setia yang diikrarkannya sendiri. Orang seperti ini akan dimakan oleh biso kawi. Hancur hati, goyang pangana, tapi di lahir tidak diperlihatkan kepada orang banyak. Mulut senyum, hati menangis. Hati sakit bagai digunting. Mungkin Anda tidak akan tahan jika mengalaminya sendiri.



Bait 748 manis perumpamaannya: besi namuang (yang buruk kualitasnya) berhasil mengalahkan besi malelo (yang bagus kualitasnya). Ini makna kiasan bagi orang kecil (orang biasa) yang berhasil mengalahkan orang besar (orang berpunya/berkuasa) di galanggang rami.



Kasih yang hanya tergatung di benang sehelai, yang membuat jiwa terasa sawang-sinawang, direfleksikan dalam bait 749. Bait ini terasa sangat manis ungkapannya. Ia berhasil merekam gundah hati yang tak tepermanai karena cinta yang digantung tidak bertali. Bait 750 adalah pantun jenaka, walau mungkin tak vakum konteks sejarah: dulu banyak haji dan lebai yang berbini di setiap kampung. Di zaman itu haji dan lebai sangat laris untuk dijadikan ‘bijo’. Di Minangkabau sudah tak jadi mode lagi, tapi di Madura konon Kiyai masih ‘laris’ untuk dijadikan menantu.



Suara yang kalah dalam pertarungan di rantau terefleksi lagi dalam bait 751: tentang nasib baik yang masih menjauh dari diri. Tentu biasa terjadi dalam penjuangan hidup apabila harapan belum jadi kenyataan, seperti dikilatkan dalam bait 752. Juga dalam mendapatkan kasih sayang dari si dia. Agaknya dua bait terakhir ini ingin menasehatkan pembaca agar tetap tawakal dan tidak berputus asa dalam hidup ini.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda] | Padang Ekspres, Minggu, 2 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 05, 2012 08:19

September 3, 2012

Minang Saisuak #101 - Sebuah Mesjid di Palembayan

8f259f5589aad840a3c6ee4f9822c83d_minang-saisuak-sebuah-mesjid-di-palembayan



Nagari Palembayan di Kabupaten Agam adalah sebuah nagari yang sering juga disebut-sebut dalam catatan-catatan klasik orang Belanda tentang Minangkabau. Nagari ini, sebagaimana nagari-nagari lainnya di darek, ikut juga merasakah daguah-dagah revolusi yang dibawa Kaum Paderi pada paroh pertama abad ke-19. Islamisasi pedalaman Minangkabau dan gerakan puritanisme agama yang dibawak Kaum Paderi terdengar nyaring di Palembayan.



Foto klasi yang kami turunkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini mengabadikan sebuah rumah ibadah di Palembayan. Foto ini (20,2×26,5 cm.) dibuat oleh mar kodak Christian Benjamin Nieuwenhuis sekitar 1892-1905. “Moskee in kampong Taboe, Palembajan” (Mesjid di kampung Tabu, Palembayan), demikian judul foto ini tertera dalam katalog Tropenmuseum Amsterdam, tempat foto ini disimpan. Pembaca setiap rubrik ‘Minang Saisuak’ yang berasal dari Palembayan tentu dapat menduka-duga di mana posisi mesjid ini dulunya. Yang jelas di salah satu sisinya mengalir sungai kecil yang mengalirkan air rimba dingin yang mungkin sangat sejuk dan menyegarkan. Kelihatan juga sebuah jembatan kecil yang menghubungkan kedua sisi sungai kecil itu.



Arstitektur mesjid ini yang bergaya Bodi Caniago dengan konstruksi atap berupa tungkuih nasi bersusun. Ini menandakan bahwa orang Palembayan mungkin menganut kelarasan Bodi Caniago. Saya tidak tahu apakah bekas-bekas bangunan mesjid ini masih ada di Palembayan. Jika masih ada, tentu elok kalau direnovasi dan dipelihara. Mudah-mudahan sungai kecil yang mengalir di sebelahnya masih tetap mengalirkan air rimba yang sejuk dan segar.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam). | Singgalang, Minggu, 2 September 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 03, 2012 08:01

August 27, 2012

Khazanah Pantun Minangkabau # 94 - TUAH DI DALAM TANGAN ORANG

Masih dalam suasana Idul Fitri 1433 H., kita lanjutkan apresiasi kita terhadap khazanah pantun klasik Minangkabau. Barangkali ini suasana yang tepat juga, mengingat banyak perantau sedang di kampung. Semoga rubrik ‘Minang Saisuak’ Padang Ekspres Minggu nomor 94 ini akan menemani nostalgia mereka dan kembali mengingat hakikat perantauan orang Minangkabau. Selamat menikamti.



735.


Amuah nyo kami samo mandi,


Jauah tapian rang subarang,


Amuah nyo kami samo mati,


Tuah di dalam tangan urang.



736.


Batang sianik tagulampai,


Kasturi di dalam kaco,


Tabang ka langik balun sampai,


Jatuah ka bumi balun nyato.



737.


Mandaki jalan ka darek,


Padam dama palito kapeh,


Putuih suto tali pangabek,


Makasuik hati diganggam lapeh.



738.


Buruang banamo penti-penti,


Mantiko ateh kapalonyo,


Kamilau cahayo intan,


Tiok malam Ambo bamimpi,


Raso basuo badan jo inyo,


Raso bagurau bakucindan.



739.


Buruang banamo penti-penti,


Mantiko ateh kapalonyo,

Mambari arok kironyo mimpi,


Hari siang basuo tido.



740.


Salamo pandan badarai,


Lai ka rimbo Adiak kini?


Kok kami ka rimbo juo,


Kok gumpo antara karok,


Kok karok masuak ragian,


Tarentak taelo pulo,


Aia di talam ditapisi,


Tariaklah biduak rang kayuahkan,


Ka baliak pulau Anso Duo


Salamo badan bacarai,


Lai bacinto Adiak kini?


Kok kami bacinto juo,


Kok lupo antaro lalok,


Kok lalok masuak rasian,


Tasentak tacinto pulo,


Dipaluak banta ditangisi,


Ditampa dado dikaluahkan,


Diurai sajo aia mato.



741.


Balayia kapa jo parahu,


Panji-panjinyo bakilatan,


Kasiah barubah kami tahu,


Budilah sudah kalihatan.



742.


Apo nan merah di carano,


Karateh labiah urang guntiang,


Dalam daerah kami tanyo,


Adiak sarupo urang asiang.



Pengorbanan yang rasanya hanya akan sia-sia, itulah refleksi bait 735. Bait 736 manis bahasanya, isinya mengilatkan sesuatu yang belum pasti: si dia belum jelas akan dipersunting orang lain. Jadi, masih ada kans bagi Anda untuk mendapatkannya. Bait berikutnya (737) melukiskan ikatan batin antara dua orang yang sudah putus. Tampaknya si dia akan lepas dari genggaman Anda.



Dua bait berikutnya (738 & 739) merefleksikan kerinduan yang terpendam akibat perpisahan: si dia datang dalam mimpi. Begitu terjaga baru sadar bahwa itu hanya ‘rasian pamenan lalok’. Bait panjang nomor 740 menguraikan lebih detil rasa rindu akibat perpisahan (panjang) itu. Rantau memang sering ‘merusak’ banyak hati orang Minangkabau. Ada rasa gamang bahwa si dia akan berpaling ke lain hati. Ini wajar karena perpisahan yang menahun dapat saja mengubah perasaan hati seseorang: ‘janji’ arek bisa jadi lungga. Mudah-mudahan di hari Lebaran ini si dia yang dirindukan pulang untuk menepati ‘janji’ yang sudah ‘dikarang’: ke pelaminan, baralek gadang.



Bahasa yang manis diekspresikan lagi dalam bait 741: terkilat dari matanya dan dari gestur tubuhnya bahwa hatinya sudah berubah kepada diri Anda. Sepandai-pandai dia ‘bersembunyi’, Anda kini tahu bahwa dia sudah berpindah ke lain hati. Dia mencoba ‘main teater’ di depan Anda. Tapi sebagai seorang Minangkabau Anda tahu bahwa ‘angin sudah ‘bakisa’. Soalnya sejak beberapa waktu belakangan ini si dia sudah seperti orang asing (bait 742), lebih sering mengambil jarak dan keakrabannya seperti dibuat-buat. Senyum yang menghias bibirnya ketika berjumpa Anda tidak lagi senyum yang murni dan tulus. Kalau sudah begitu keadaannya, lepaskan saja dia dengan hati tulus. Jangan pergi ke duku sirompak, sebab ini masih dalam suasana Idul Fitri. Jangan merusak ibadah puasa yang sudah dilakukan selama sebulan penuh.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda] | Padang Ekspres, Minggu, 26 Agustus 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 27, 2012 23:00

Khazanah Pantun Minangkabau # 94 - TUAH DI DALAM RANGAN ORANG

Masih dalam suasana Idul Fitri 1433 H., kita lanjutkan apresiasi kita terhadap khazanah pantun klasik Minangkabau. Barangkali ini suasana yang tepat juga, mengingat banyak perantau sedang di kampung. Semoga rubrik ‘Minang Saisuak’ Padang Ekspres Minggu nomor 94 ini akan menemani nostalgia mereka dan kembali mengingat hakikat perantauan orang Minangkabau. Selamat menikamti.



735.


Amuah nyo kami samo mandi,


Jauah tapian rang subarang,


Amuah nyo kami samo mati,


Tuah di dalam tangan urang.



736.


Batang sianik tagulampai,


Kasturi di dalam kaco,


Tabang ka langik balun sampai,


Jatuah ka bumi balun nyato.



737.


Mandaki jalan ka darek,


Padam dama palito kapeh,


Putuih suto tali pangabek,


Makasuik hati diganggam lapeh.



738.


Buruang banamo penti-penti,


Mantiko ateh kapalonyo,


Kamilau cahayo intan,


Tiok malam Ambo bamimpi,


Raso basuo badan jo inyo,


Raso bagurau bakucindan.



739.


Buruang banamo penti-penti,


Mantiko ateh kapalonyo,

Mambari arok kironyo mimpi,


Hari siang basuo tido.



740.


Salamo pandan badarai,


Lai ka rimbo Adiak kini?


Kok kami ka rimbo juo,


Kok gumpo antara karok,


Kok karok masuak ragian,


Tarentak taelo pulo,


Aia di talam ditapisi,


Tariaklah biduak rang kayuahkan,


Ka baliak pulau Anso Duo


Salamo badan bacarai,


Lai bacinto Adiak kini?


Kok kami bacinto juo,


Kok lupo antaro lalok,


Kok lalok masuak rasian,


Tasentak tacinto pulo,


Dipaluak banta ditangisi,


Ditampa dado dikaluahkan,


Diurai sajo aia mato.



741.


Balayia kapa jo parahu,


Panji-panjinyo bakilatan,


Kasiah barubah kami tahu,


Budilah sudah kalihatan.



742.


Apo nan merah di carano,


Karateh labiah urang guntiang,


Dalam daerah kami tanyo,


Adiak sarupo urang asiang.



Pengorbanan yang rasanya hanya akan sia-sia, itulah refleksi bait 735. Bait 736 manis bahasanya, isinya mengilatkan sesuatu yang belum pasti: si dia belum jelas akan dipersunting orang lain. Jadi, masih ada kans bagi Anda untuk mendapatkannya. Bait berikutnya (737) melukiskan ikatan batin antara dua orang yang sudah putus. Tampaknya si dia akan lepas dari genggaman Anda.



Dua bait berikutnya (738 & 739) merefleksikan kerinduan yang terpendam akibat perpisahan: si dia datang dalam mimpi. Begitu terjaga baru sadar bahwa itu hanya ‘rasian pamenan lalok’. Bait panjang nomor 740 menguraikan lebih detil rasa rindu akibat perpisahan (panjang) itu. Rantau memang sering ‘merusak’ banyak hati orang Minangkabau. Ada rasa gamang bahwa si dia akan berpaling ke lain hati. Ini wajar karena perpisahan yang menahun dapat saja mengubah perasaan hati seseorang: ‘janji’ arek bisa jadi lungga. Mudah-mudahan di hari Lebaran ini si dia yang dirindukan pulang untuk menepati ‘janji’ yang sudah ‘dikarang’: ke pelaminan, baralek gadang.



Bahasa yang manis diekspresikan lagi dalam bait 741: terkilat dari matanya dan dari gestur tubuhnya bahwa hatinya sudah berubah kepada diri Anda. Sepandai-pandai dia ‘bersembunyi’, Anda kini tahu bahwa dia sudah berpindah ke lain hati. Dia mencoba ‘main teater’ di depan Anda. Tapi sebagai seorang Minangkabau Anda tahu bahwa ‘angin sudah ‘bakisa’. Soalnya sejak beberapa waktu belakangan ini si dia sudah seperti orang asing (bait 742), lebih sering mengambil jarak dan keakrabannya seperti dibuat-buat. Senyum yang menghias bibirnya ketika berjumpa Anda tidak lagi senyum yang murni dan tulus. Kalau sudah begitu keadaannya, lepaskan saja dia dengan hati tulus. Jangan pergi ke duku sirompak, sebab ini masih dalam suasana Idul Fitri. Jangan merusak ibadah puasa yang sudah dilakukan selama sebulan penuh.



(bersambung minggu depan)



Suryadi [Leiden University, Belanda] | Padang Ekspres, Minggu, 26 Agustus 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 27, 2012 23:00

August 26, 2012

Minang Saisuak #100 - Ungku Saliah Kiramaik, Sungai Sariak (c. 1887 - 1974)

ef9c974c8d023036373762594a9f10cb_minang-saisuak-ungku-saliah-kiramaik-sungai-sariak-c-1887-e28093-1974



“Orang dulu banyak kiramaik”, demikiam sering kita dengar omongan dalam masyarakat. Fenomena Ungku Saliah mungkin membenarkan omongan itu. Beliau adalah seorang ulama yang sangat dikeramatkan di daerah Pariaman, malah menyebar sampai ke rantau. Skripsi Miko Juniputra Biografi dan Dokumentasi Cerita tentang Ungku Saliah Kiramat di Sungai Sariak (Universitas Andalas, 2006) mencatat dengan cukup rinci folklor tentang ulama yang dikeramatkan tersebut. (Terima kasih kepada M. Yunis yang telah berkenan mengirimkan fotokopi skirpsi itu kepada saya di Leiden).



Angku Saliah diperkirakan lahir tahun 1887 di Pasa Panjang Sungai Sariak, anak dari Tulih (ayah; Mandailing) dan Tuneh (ibu; Sikumbang). Dawat, demikian nama kecilnya, punya empat saudara, tapi hanya dirinya seorang yang menjadi ulama. Masa kecil Dawat dihabiskan di kampungnya, seperti umumnya anak-anak Minangkabau. Pada usia 15 tahun (sekitar 1902) Dawat belajar mengaji dengan Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Di sana ia mendapat pengajaran ilmu tarekat dan mendapat gelar ‘saliah’ (saleh) dari gurunya karena ia sangat rajin belajar dan beribadah. Setelah itu Dawat memperdalam ilmu tarekatnya dengan Syekh Aluma Nan Tuo di Koto Tuo, Bukittinggi. Setelah itu Dawat balik ke Ampalu, namun kemudian ia pergi memperdalam ilmu tarekatnya lagi kepada Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi. Setelah tamat ‘mengaji’ di Surau Bintungan Tinggi, Dawat kembali ke Ampalu. Gelar ‘Ungku Saliah’ melekat pada dirinya setelah ia menjadi guru mengaji di kampungnya sendiri di Sungai Sariak.



Semasa hidupnya Ungku Saliah melakukan berbagai perbuatan yang memperlihatkan ciri-ciri orang kiramaik. Skripsi Miko Joniputra mencatat berbagai cerita yang mengendap dalam pikiran kolektif penduduk Sungai Sariak mengenai kekeramatan Ungku Saliah. Antara lain disebutkan apabila seorang pedagang tidak mau menjual suat barang seharga yang beliau tawar, maka barang itu tidak akan terjual sampai kapanpun. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang pedagang mau menjual barangnya seharga yang beliau tawar, maka dagangan itu akan laris manis dan bemberikan keuntungan yang besar.



Ungku Saliah wafat di rumahnya di Sungai Sariak pada 3 Agustus 1974. Di makamnya dibuatkan gobah yang sampai sekarang tetap dikunjungi oleh para penziarah. Kini saya mengerti mengapa di banyak kedai dan rumah makan milik orang Pariaman, baik di kampung maupun di rantau, dipajang potret Ungku Saliah. Saya pun sempat membelinya sebuah potret beliau yang dijual di depan gerbang masuk makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sentengah orang berkata memajang foto Ungku Saliah itu adalah perbuatan bid’ah. Entahlah. Siapa tahu Tuhan Yang Maha Bijaksana berpendapat lain.



Suryadi – Leiden, Belanda. (Sumber foto: koleksi penulis). | Singgalang, Minggu, 26 Agustus 2012

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2012 23:00

Suryadi's Blog

Suryadi
Suryadi isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Suryadi's blog with rss.