Rhein Fathia's Blog, page 19

June 12, 2012

25!


Dear Mom & Daddy, I'm 25 now...Even I'm not a kid anymore, not a toddler or teenager, but still will be your little daugther, little princess... :)
Pagi ini menyenangkan seperti biasa. Bedanya, saat akan berangkat ke kantor, Ibu mencium pipi dan memelukku erat. Mengucapkan selamat ulang tahun dan berdoa supaya aku cepat menikah *gubraaaakk*. Bapak pun turut serta mencium pipiku serta berdoa, "Semoga teteh selalu sabar dan semakin bijaksana dalam menghadapi semua ujian Allah", sembari mencium ubun-ubun. Ah, doa pagi dari orangtua selalu mengharukan, bukan?

Setelah mendapat selamat dan doa dari adik-adik, pacar, geng H. Ridhi, temen-temen plurk, facebook, rasanya sangat menyenangkan pagi hari yang didoakan banyak orang. Semoga doa yang kalian berikan mendapat balasan dari Allah SWT dengan balasan sebaik-baiknya. Aamiin...
So,  I'm 25 now.. Seperemat abad, mameeeenn!! Hahaha... Konon, wanita di usia gw ini sedang masa-masa rawan. Rawan mengejar karir, rawan ditanya "kapan nikah" melulu sama orang-orang, rawan bertanya-tanya dalam hati "apa yang udah gw berikan untuk orang tua?", rawan banyak hal deh pokoknya. Meski yang terpenting adalah gw tetep perawan *eh*.
Bicara tentang usia 25, gw selalu inget apa kata seorang sahabat, "Lu jangan sampe kena syndrome wanita usia 25, ya. Yang ujung-ujungnya 'siapa aja boleh'". Hahaha... Ngerti kan lah ya maksudnya... Apalagi kalau bukan kalang kabut urusan menggenapkan separuh agama. Jujur, gw belum akan melangkah ke jenjang itu *cium jauh ke pacar*. Gw masih pengen mandiri, hanya bergantung pada Allah dan keluarga. Gw pengen sekolah lagi, nulis novel yang banyak, backpacking ke segala tempat, belajar banyak hal. Dan gw ingin melakukan itu semua dengan bebas. 
Doa gw di hari spesial ini, semoga bapak ibu selalu sehat, bisnis makin lancar, perusahaan keluarga kami makin berkembang. Semoga Furky bisa semakin melejit karirnya sebagai atlet, main di kancah internasional, bertanding dengan idolanya Ueno, dan lulus kuliah tepat waktu *jangan mencontoh tetehnya*. Semoga Bani bisa lulus SNMPTN, kuliah di jurusan yang diimpikan, bikin perusahaan software house & web development sendiri, dan menjadi pria yang bijaksana & bertanggung jawab. Semoga si pacar makin sabar dengan semua ke-complicated-an saya dan dapet banyak pahala karena menghadapinya... :D
All in all, have a nice day! 

Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 12, 2012 19:44

June 5, 2012

Seven Days (part of)


Ubud, kota kecil, sejuk, nan indah yang kukenal justru melalui film produksi Holywood, Eat, Pray, Love. Aku dan Shen sampai menjelang maghrib dan langsung mencari penginapan. Setelah menyimpan barang dan bersih-bersih, kami keluar mencari makan malam.Ada cerita unik yang kudapat dari pemilik penginapan saat check in tadi. Saat aku melihat jejeran motor milik pengunjung terparkir di jalanan di depan penginapan, aku bertanya kemana semua kendaraan itu nanti disimpan. Karena kulihat tempat parkir yang tersedia sedikit sekali. Pemilik penginapan malah tertawa menanggapi pertanyaanku. Katanya, motor-motor itu diparkir di jalan saja. Tidak pernah terjadi pencurian selama ia hidup di Ubud ini. Semuanya aman. Giliran aku terhenyak tak percaya."Romantis banget tempatnya ya, Shen?" Kepalaku menoleh ke sana kemari dan menatap sekeliling café yang Shen pilih sebagai tempat makan malam. Ruangan luas dengan penataan kursi dan meja kayu yang rapi, di beberapa sudut malah berupa sofa empuk berwarna merah. Di setiap meja tampak vas yang diisi bunga segar nan harum. Termasuk meja yang kami tempati. Shen memilih kursi di pojok ruangan. Sedikit terasing dari pengunjung lain yang rata-rata turis asing.Lampu-lampu menyala lembut, memancarkan cahaya kuning yang memberi efek romantis. Dari speaker di langit-langit terdengar suara musik jazz mengalun lembut, bergantian antara iringan piano, biola, atau saxophone. Suara penyanyi luar negeri melantunkan lirik-lirik lagu yang menyentuh hati."Kamu suka?" Shen duduk di hadapanku, menatap dengan sorot mata yang membuatku bertanya-tanya apa artinya."Banget!" jawabku senang. "Harusnya kamu ke sini sama pacar kamu, Shen."Shen malah tertawa. "Makanya aku bawa kamu dulu.""Maksudnya?""Ibarat mobil, kamu ini objek test-drive. Kalau kamu suka, berarti cewek yang nanti jadi pacarku bakal suka juga kalau kuajak kesini."Aku mencibir. Dasar Shen, bahkan untuk merencanakan pergi makan malam sama pacarnya saja harus pakai test-drive segala. Tapi, memang nanti pacar Shen bakal kayak apa ya? Selama ini, gadis-gadis objek petualangan Shen yang dikenalkan padaku tipenya cantik, putih, langsing, dan penuh senyum. Kira-kira kalau Shen punya pacar, gadis itu mau jadi sahabatku juga nggak, ya? Jujur saja, dari dalam lubuk hati aku sering khawatir kalau pacar atau bahkan istri Shen nanti tipikal pencemburu dan nggak suka aku dekat-dekat dengan suaminya."Kamu mencintai Reza, Nilam?"Eh? Kepalaku mendongak, menatap Shen bingung. "Iya, dong," jawabku singkat. Reza kan pacarku, apa alasannya untuk tidak cinta? Pikirku heran."Kenapa?" tanya Shen lagi.Mataku berputar-putar memikirkan jawabannya. Kebersamaanku dengan Reza selama tiga tahun ini mengalir begitu saja. Saling mendukung saat kondisi buruk menghadang, bersuka cita bersama ketika sukses datang. Keberadaannya sudah seperti bagian dari hidupku sehari-hari. "Karena aku nyaman sama Reza."Shen manggut-manggut. "Kalau suatu hari dia membuatmu nggak nyaman, kamu nggak cinta lagi?"Pertanyaan Shen mulai menjebak. "Dia juga cowok sabar, Shen. Jarang ada cowok sabar di dunia ini.""Kalau suatu hari dia berubah jadi nggak sabaran, yakin kamu masih cinta? Pribadi orang bisa berubah seiring waktu, kan?"Sebenarnya, aku tidak pernah terlalu ribet dalam urusan cinta-cintaan. Sama-sama suka, nyaman, jadilah pacaran. Kalaupun sampai menikah, ya berarti jodoh. Simpel saja, kan. Beda dengan Shen yang harus mempertanyakan banyak hal bahkan untuk mencari sosok pacar. Bagiku, cinta itu dinikmati, dirasakan, meski harus dari sosok yang datang dan pergi. "Nilam?"Panggilan Shen membuyarkan lamunanku. "Ya. Kalau sudah menikah nanti, mau nggak mau aku bakal menerima Reza apa adanya, Shen. Aku juga bukan sosok sempurna buat Reza. Nah, dari rasa saling legowo akan ketidaksempurnaan masing-masing, cinta itu akan tumbuh.""Lalu, kenapa sampai sekarang kamu masih belum menjawab lamaran Reza?"Pertanyaan Shen benar-benar langsung menohok hati. Mengapa? Karena aku masih belum siap untuk dimiliki seorang pria dan melepaskan Shen tentunya. Ah, andai dia bisa mengerti tentang itu. "Aku belum siap menikah, Shen," elakku.Shen tertawa. "Belum siap atau ragu?"Aku menatapnya bingung. Ragu? Apakah mungkin setelah tiga tahun bersama, hatiku masih merasa ragu? "Kita bahas yang lain aja, ya?"Lagi-lagi Shen tertawa. "Nilam, menurutku ada dua jenis cinta dalam memilih pasangan hidup." Kurasakan tatapan Shen mulai serius memandangku. Sorot mata yang biasa ia lakukan untuk meyakinkan segala rencana atau teori-teori dalam otaknya. Dan aku seperti tersihir, larut dalam letupan dunia kecil yang Shen ciptakan. "Ada cinta yang tumbuh karena witing trisno jalaran soko kulino," tutur Shen lirih. "Mungkin itu yang kamu rasakan dengan Reza.  Lalu, ada juga cinta yang memang muncul tanpa ada alasan. Cinta itu hadir, ditujukan pada seseorang, karena hati memang memilihnya." Ada senyap yang hadir di antara kami, seolah kata-kata yang terucap dari Shen serupa mantera yang menyerap suasana. Kami hanya bertatapan dalam diam. Diam yang malah memberiku efek mendebarkan."Kamu sendiri pilih cinta yang mana, Shen?" Aku terkejut pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa kutahan.Senyum lembut Shen tersungging, matanya masih menatapku lekat. "Aku punya jenis cinta yang kedua."Pada siapa? Hatiku sontak bertanya-tanya. Pada siapa hati Shen memilihkan cinta untuknya? Rasa penasaran dan cemburu itu terbersit di hatiku begitu saja."Silakan pesanannya."Seketika kami tersadarkan oleh pelayan yang datang membawa menu pesanan. Aku tersenyum dan berterima kasih pada pemuda berseragam yang membawa sepiring nasi goreng untuk Shen, semangkuk salad untukku, dan dua gelas cokelat panas. Dinginnya ubud dan cokelat panas adalah pasangan yang tepat untuk melengkapi suasana romantis di kafe ini.Telingaku menangkap alunan musik intro yang sangat kukenal. Suara khas Frank Sinatra terdengar menyanyikan bait lagu yang kuhapal di luar kepala."Shen, lagu kita!" ujarku spontan dan senang.Shen tersenyum mengangguk. "Iya.""Fly me to the moon, let me play among the stars..." Aku ikut berdendang."Let me see what springs is like on Jupiter and Mars..." Shen melanjutkan.Kami tertawa. Makan malam kali ini terasa begitu menyenangkan. Kafe yang tenang, menu lezat, dan musik kesukaan. Lengkap sudah.In other word, please be trueIn other word, I love you

Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 05, 2012 08:39

June 2, 2012

Editor Belajar Branding



Lagi kesel setengah mati. Sekesel-keselnya karena ketemu orang super egois yang baru kali ini gue temui dan dengan terpaksa harus gw ladenin. Setelah gw jadi editor buku fashion muslimah milik seorang desainer yang Alhamdulillah best seller, bos gw memperkenalkan dengan seorang calon penulis lagi. Ceritanya dia mau bikin buku fashion muslimah juga. Gue bilang dia calon penulis karena dia belum pernah nulis dan setau gw bukan lulusan sekolah desainer mana pun (ga patut lah gw sebut desainer fashion juga). Sebut aja namanya Vitri dan sebut aja dia punya merk baju KIVITS yang dikelola bareng suaminya yang bernama sebut saja Mulki. (Sebut saja semua bukan nama sebenarnya)

Awal-awal kerja bareng masih okelah, meski feeling gue merasa nggak enak (masih inget kan gw kalau ketemu orang pertama kali selalu langsung dapet feeling 'sesuatu'). Why? Karena dia nggak ramah. Kalau dateng ke kantor hampir nggak pernah nyapa-nyapa atau senyum. Tiap rapat pun seringnya nggak merhatiin, malah asik main BB ato tabletnya. Siapa yang suka sama orang yang attitudenya seperti ini. Waktu berjalan seiring proses pembuatan buku, bolak balik pemotretan, ngurusin model, booking tempat, dll. Banyak hal yang gue kerjakan meski BUKAN jobdesc gw (stupid me). Sampai pada suatu ketika semua isi foto fashion untuk calon buku itu udah terkumpul, naskahnya belum ada. Perlu diketahui kalau urusan naskah ini bukan jobdesc gue juga, tapi gw ikut-ikutan nagih. Si kivits ini molooorrr jauh dari deadline yang disepakati dengan alasan macem-macem. Padahal kan tuh naskah musti gue edit dulu. Padahal udah janjian sama dia mau pilih-pilih foto dan diskusi dari waktu-waktu lalu entah kapan. Sampai akhirnya gue bilang kalau naskah udah mau dilayout, eh dia ngomel...
Alasannya dia belum dapat foto-foto hasil pemotretan jadi ngga bisa bikin naskah. Lah, dimana-mana foto itu hak penerbit, bukan penulis! Yang motret itu kan pihak penerbit.Belum lagi dia yang selalu mengedepankan brand..brand..brand.. Apa-apa brand.. Kivits juga keukeuh konsep desain si calon buku harus menunjukkan brand dia. Seolah-olah brand dia itu paling manteb sejagad raya. Lah, kami penerbit mau jualan buku, bukan jualan merk baju situ. Dari sini, gw mulai gerah. Kenapa? Karena dia amat sangat tidak kooperatif dan tidak mau menerima ide-ide yang diberikan penerbit. Akhirnya bos gw ngalah dan ngasih keleluasaan biarkan kivitz yang mendesain bukunya sendiri. Deadline? As usual, molooorrrr dari jadwal. Ngakunya sih yang bikin itu master desain.
Lucunya, kivits malah pake analogi Steve Jobs yang punya ide bikin iPad dan membangun brand karena konsisten dengan konsep iPad-nya. Makanya terkenal dan laku. Lah, lu kira gw bego? Nih ya, iPad itu SANGAT BERMANFAAT dan memudahkan aktivitas manusia dalam keep in touch dengan informasi. Brand dan konsep branding yang lu sebutkan sampe berbusa-busa itu, apa manfaatnya bagi manusia? Memudahkan hidup? Memberi inspirasi? Inspirasi banyak di mana-mana... Lu ga punya hal unik seperti Steve Jobs dengan iPadnya. Tapi ya tetep, karena si bos nyuruh gw ngalah, ya gw ngikut (kasian ya gw).
Desain (setelah molor berapa lama) akhirnya jadi. Desain layout isi buku dan covernya. Desain isi bagus. Desain cover? Nggak cocok. Cover yang didesain itu kurang menonjol dan menurut pihak marketing nggak bagus buat penjualan. Jadi intinya cover harus di ganti dengan desain yang lebih bagus demi mendongkrak penjualan (namannya juga jualan buku). Masalah muncul: Kivits nggak mau covernya diubah dan dia nggak mau ada usulan ide. Ternyata Tuhan juga menciptakan orang ajaib yang sangat tidak kooperatif seperti ini. Setelah melalui percakapan panjang yang semakin emosi antara kivits dan bos gue, kivits memutuskan kalau covernya diganti mending bukunya nggak usah terbit. Jeng! Jeng! Sape lo?Keputusan final desain isi dan cover itu ada di tangan penerbit. Dari awal sudah tahu itu.Modal nerbitin buku puluhan juta itu dari penerbit.Gue mengerti kalau desainer pasti punya ide-ide briliannya sendiri dan ingin mempertahankan itu. Tapi selama gw pernah ketemu beberapa desainer, mereka welcome tuh sama usulan ide-ide. Itu yang desainer fashion beneran loh, lah ini mah bukan.Semua foto hak penerbit udah dikasih ke penulis (padahal harusnya ngga boleh) daaaann.. Ternyata bos gue nggak mengadakan surat perjanjian penerbitan sebelumnya dengan kivitz ini. Jadi nggak bisa menuntut apa-apa. *facepalm*Gw dan fotografer udah kerjain semua proses dari awal, pemotretan jauh-jauh, sampe malem, hari minggu masuk, lembur. Semua capek. Sia-sia.Fotografer gajinya per bulan itu tetap mau motret banyak atau dikit. Lah gw berdasarkan intensif buku yang terbit! Cukup tahu, begini nyeseknya keluar energi dan nggak dihargai. *sabar...sabar...*Cerita lain lagi, desainer cover di kantor gw udah bela-belain bikin alternatif cover sampe lembur, sampe malem, dan merancang sesuai dengan keinginan penulis. Terus pas dikirim by email, TIDAK ADA TANGGAPAN sama sekali bahkan sampai berhari-hari. See? Punya rasa saling menghargai dan menghormati nggak sih tim kivits ini?
Dear (sebut saja) kivitz, berterima kasihlah mungkin karena tulisan gw ini makin banyak orang yang searching dan nyasar ke brand kamu. Ini salah satu cara membangun brand juga, loh... :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 02, 2012 01:49

May 26, 2012

Uluwatu & Padang-Padang Beach #Bali

Day 3 (part 1)

Selamat pagi menjelang siang, Uluwatu...
Salahkan teman saya, Aha, yang membuat kami berempat harus main kartu sampai jam 3 pagi di malam sebelumnya. Rencana berangkat pukul 06.30 pun molor menjadi jam 8 karena kami semua bangun kesiangan. Hahaha... Setelah sarapan sejenak di penginapan, kami langsung cabut menuju Uluwatu. Perjalanan kali ini cukup menyenangkan. Udara yang sejuk, jalanan mulus dan sepi, meski cukup menanjak karena memang wilayah pegunungan. Karena daerahnya masih sepi, Rhein mendaulat Rama untuk nyupir motor setelah mata gw kelilipan. Gantian. Haha..
Sampai di Uluwatu, kami parkir motor, beli tiket, dan memakai sarung serta tali kain. Karena Uluwatu masih wilayah Pura, kami harus bersikap sopan dengan tidak memakai celana pendek. Makanya, kami memakai kain sarung itu. Kalau Rhein sendiri sih biar buat gaya. Hahaha.. Sebelum masuk ke dalam kompleks juga kami diperingati bahwa ada banyak monyet jahil di dalam sana. Mereka suka merebut dan mencuri barang pengunjung. Oleh petugas, kami diberitahu untuk menyimpan barang berharga di tas, membawa tas seaman mungkin, dan kalau mau bawa kamera harus mengikat talinya di tangan. Jangan sampai barang dicuri monyet.
Berjalanlah kami memasuki wilayah Uluwatu. Ternyata... Waaaaaaahhhh... Indahnya bikin speechless! Pura di atas tebing dan di bawah kami adalah laut lepas dengan warna biru cerah. Belum lagi udaranya yang cerah tapi nggak terik. Indaaaaaahhh banget! Berhubung suasananya menyenangkan, kami langsung antuias cari spot untuk foto-foto dan narsis ria. Tapi tunggu dulu, ada cerita cukup horor saat menuju ke salah satu sudut Uluwatu. Waktu jalan melalui pohon-pohon, tiba-tiba ada monyet nongol dari atas pohon secara mendadak. Kami kaget setengah mati dan langsung lari menghindar. Eeehhh... tuh monyet ngejar gueee, dong!! Aaarrgghh... Nggak hanya ngejar, dia naik ke atas bahu, ke kepala, dan mencopot bros di jilbab gue. Maaaakk... Rhein udah jerit-jerit kayak apa. Temen-temen yang lain juga pada tegang, takut, dan lari sambil menatap Rhein iba plus bingung. Malah ada turis Jepang yang memfoto gue lagi teriak-teriak ketakutan.. Siyaaalll.. 
Thanks God, dia cuma ngambil bros Rhein. Mungkin karena warnanya emas jadi menarik perhatian. Setelah tuh monyet pergi, Rhein langsung mencopoti sisa-sia peniti atau jarum pentul dan memodifikasi jilbab sedemikian rupa supaya nggak menarik perhatian monyet-monyet. Sumpah! Bikin gemeteran abis. Selesai menenangkan diri karena insiden monyet nakal, akhirnya lanjut foto-foto narsis. Teuteuuupp... Rhein dan Anne udah berasa foto model profesional sedangkan Aha dan Rama berasa fotografer profesional. Hahaha... 
Uluwatu ini cukup luas dan ada Pura besar di atas tebing. Kami harus naik tangga berbatu untuk bisa mendapat pemandangan indah. Puas mengeksplor Uluwatu, kami makan sejenak di warung-warung di kompleks tersebut dan diberitahu oleh nenek penjual es kelapa muda untuk datang ke pantai Padang-padang. Menurut cerita beliau, pantai tersebut indah banget dan dekat dari Uluwatu. Nenek juga ngasih tau rutenya. Baiklah, let's go there... 

Nenek baik hati itu ternyata tidak bohong. Padang-padang beach is a place that has very beautiful view! Such a heaven on earth... Aahhh.. Melihatnya dari atas jembatan saja sudah merasa seperti terpanggil untuk datang ke sana. Setelah parkir motor, kami bergegas turun menuju pantai. Ternyata akses menuju pantai indah tersebut harus masuk goa dulu. Hahaha.. Sumpah unik banget.. Sampai di pantai udah banyak yang berjemur, berenang, main volley, bahkan asyik baca buku. Pengunjung di sini kebanyakan turis asing dan dari obrolan mereka, rata-rata orang Jerman. Yang unik, pedagang-pedagang di sini fasih banget bahasa Jermannya. Gileee.. Gw yang baru les bahasa Jerman aja kalah, cuy. Hahaha.. Kami pun menyewa payung pantai karena cukup terik, menggelar kain, dan gantian berenang untuk saling menjaga barang. 
Pantai Padang-padang ini nggak seramai Kuta. Pasir putihnya kalau diperhatikan terbentuk dari pecahan karang, laut biru jernih, dan banyak karang-karang besar yang tinggi menjulang. Menurut info dari om Preman Kalem, harus hati-hati berenang di sini karena di bawahnya banyak karang yang tajam-tajam. Meski begitu, Rhein dan Anne tetep berenang meski nggak sampai ke tengah. Main dengan ombak dan air laut yang jernih itu sesuatu banget deh pokoknya. Secara di Jakarta udah nggak ada lagi kayak beginian. Turis-turis asing pun banyak yang berjemur dan kongkow-kongkow dengan rekan mereka. Karena pantai ini juga nggak seluas Kuta dan mungkin karena jauh dari pusat kota, suasananya jadi lebih sepi dan private. Nggak crowded, tenang, cerah, cocok banget buat yang pengen menghabiskan waktu seharian buat berjemur. Kalau Rhein sih ga perlu berjemur juga udah eksotis ya... *tsaaahh...* Overall, di sini menyenangkan banget! Kalau ke Bali lagi, nggak akan melewatkan tempat ini dan ingin lama-lama menikmati waktu di sana.
Selesai berenang dan main di pantai, meski kurang puas juga, kami harus melanjutkan ke tujuan berikutnya. Sebelumnya pasti mandi untuk membersihkan diri dari pasir pantai ya... Dan kami semua nggak ada yang bawa baju ganti. Hahaha.. Jadi ya selesai mandi, masih pake baju basah, langsung naik motor lagi ke Garuda Wisnu Kencana. Di perjalanan, baju kami udah kering. Hahaha... 
Cerita di GWK lanjut di posting berikutnya aja deh ya... Hari ketiga ini banyak spot menarik dan banyak cerita yang bisa ditulis. 
Heaven on Earth! ^_^
Penulis narsis paraaaahh!! :))
Bersambung...

Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2012 03:55

May 22, 2012

Monkey Forest & Tanah Lot #Bali

Day 2

Selamat Pagi, Ubud...
Meski Rhein tidak merasa seperti Julia Roberts, tapi menikmati pagi hari di Ubud memang indah. Suasananya lebih tenang dibanding di Kuta, dengan udara sejuk dan jalanan lebih lapang. Apalagi Ubud baru saja diguyur hujan semalam. Udara segar dan jalanan basah menjadi daya tarik tersendiri untuk bangun pagi dengan penuh senang hati. 
Setelah cukup dengan cuci muka dan gosok gigi tanpa mandi, kami berempat mulai menyusuri jalanan di sekitar penginapan. Tujuan kami pagi ini adalah Monkey Forest, sebuah hutan kecil berisi banyak monyet dan pura besar di pusatnya. Kami memutuskan untuk jalan kaki ke sana, sembari menikmati suasana pagi yang mulai ramai oleh anak sekolah dan beberapa penduduk yang beribadah pagi di setiap rumah. Di Bali, tiap rumah memiliki pura yang konon menurut informasi, besar kecilnya pura menentukan tinggi rendahnya kasta. Mereka beribadah 3 kali sehari, pagi, siang, dan sore. Menyimpan jalinan daun pandan berisi bunga dan membakar dupa, disimpan di pura dan depan rumah. Bahkan ada yang merangkai kuntum-kuntum bunga di tempat air di depan rumah mereka. Indah, tenang, menyenangkan!

Hal lain yang Rhein suka juga, penduduk Ubud ini ramah-ramah banget! Awalnya kami berjalan santai dan bersikap biasa saja pada penduduk sekitar. Ternyata, mereka menyapa duluan, lho! Dengan wajah penuh senyum, semua orang yang kami temui tidak segan menyapa "Halo, selamat pagi!" . Waaaahhh.. EMEZING! Di sinilah bukti penduduk Indonesia memang ramah dan sopan. Karena semua orang ramah, kami pun akhirnya tidak segan untuk tersenyum dan menyapa duluan. Berhubung masih pagi pula, belum banyak toko dan restoran yang buka. Di sini tidak ada toko yang buka 24 jam. Setelah berjalan cukup lama dan nggak kuat menahan lapar, akhirnya kami mampir di salah satu restoran yang menyajikan harga cukup aman di dompet. Seperti yang kami khawatirkan mengenai restoran-restoran di Bali, Rama memesan paket sarapan dan ternyata ada sosis babi... *Oh my...*. Untung saja pelayan restoran tidak tersinggung ketika Rama meminta untuk menyisihkannya. Rhein sendiri memilih menu aman, roti bakar dan secangkir cokelat hangat.
Selesai sarapan, kami menuju Monkey Forest yang sudah dekat. Di sini, banyak sekali kera. Ya iyalah, namanya juga MONKEY Forest. Meski kera-kera di sini lucu dan tidak jahat, tetap saja Rhein dan Anne sedikit ngeri saat mereka mengejar. Sebenarnya mereka baru akan mengejar ketika kita membawa bungkusan plastik yang mereka sangka makanan. Makanya, ada aturan dilarang membawa plastik ke dalam Monkey Forest ini. Saat tiba di wilayah Pura Dalem Agung, kami bertemu bapak-bapak petugas yang sedang memberi makan para kera ini. Menurut cerita beliau, Monkey Forest ini terbagi menjadi 3 wilayah besar yang masing-masing dipimpin oleh Raja Kera. Nah, kera di wilayah dekat Pura ini yang paling elit. Mereka hanya mau makan isi timun. Benar sodara-sodara, potongan ketimun yang diberikan petugas itu mereka potong lagi dan hanya dimakan isinya. Sisanya, dibuang. Duh, kalah kasta deh gw sama kera, gw makan timun aja ludes... Hahahaha...
Untuk wilayah kera lain, mereka diberi makanan ubi dan pisang. Bapak ini juga bercerita bahwa seumur-umur dia bertugas bahkan mengikuti kehidupan kera di hutan ini, tidak pernah ada seorang pun yang melihat proses kelahiran bayi kera. Bahkan ia sudah mencoba mengikuti si kera hamil kemana-mana. Tau-tau udah muncul aja tuh anaknya. Selain itu, kera-kera itu juga dilarang masuk ke wilayah yang bukan daerahnya. Kalau ada kera dari wilayah gerbang masuk ke wilayah sekitar Pura, bisa terjadi perang antar kera tersebut. Dari cerita ini, gw jadi inget bagaimana anak-anak SMA di Jakarta kalau tawuran, nggak beda jauh sama para kera ini.

Saat kami datang ke Pura Dalem Agung, sedang ada persiapan upacara 6 bulan kalender Bali. Sayang sekali kami tidak diizinkan untuk masuk melihat persiapan tersebut dan acaranya akan berlangsung hari Minggu, padahal itu jadwal kami pulang ke Jakarta. Huhuhu... Di Monkey Forest ini juga ada wilayah lembah, kata Rama yang pernah datang kemari, biasanya di lembah tersebut paling banyak berkumpulnya kera. Mungkin karena hari itu banyak pengunjung, malah sedikit kera di sana. Selain pura, di lembah ini juga ada kolam yang banyak koin di dasarnya. Sepertinya banyak pengunjung yang melempar koin dan berdoa untuk keberuntungan. Hutan-hutan di lembah lebih lebat dengan akar gantung menjuntai kemana-mana. Banyak juga ukiran dan pahatan patung dari batu, bahkan pahatan batu berbentuk komodo sebesar aslinya. Suasana di sini campuran antara tenang dan penuh mistik.

Sebelum beranjak dari Monkey Forest, Rama dan Rhein penasaran pengen ngasih makan tuh kera-kera. Atas bantuan petugas, akhirnya kami dikasih biji jagung dan kera-kera pun datang untuk mengambil makanan. Seru, lho! Tangan mereka ternyata lembut. Padahal awalnya Rhein kira cakar mereka tajam dan bikin sakit. Ternyata senjata mereka ada di taring yang panjang dan tajam.
Selesai bermain dengan para kera, kami kembali ke penginapan dan segera berkemas ke destinasi selanjutnya: Tanah Lot! Perjalanan kali ini cukup melelahkan, ternyata dari Ubud ke Tanah Lot itu jauuuuhhh sekali dan macet bukan kepalang. Sepertinya semua wisatawan yang datang punya tujuan sama seperti kami, melihat sunset di Tanah Lot. Benar saja, sampai di sana, sudah banyak orang bahkan banyak bis rombongan wisata. Beruntung kami masih sempat melihat sunset meski sedikit. 
Sebenarnya Tanah Lot ini merupakan kawasan dari kumpulan beberapa Pura. Yang unik dan masih Rhein pikirkan sampai sekarang, mengapa umat Hindu di Bali suka sekali membangun Pura suci di tempat-tempat yang menurut Rhein agak sulit dijangkau. Di atas karang (seperti di Tanah Lot ini), di tengah hutan, di pegunungan, di tengah danau. Karena untuk mencapai Pura di tengah karang ini, harus menyebrangi laut apalagi saat pasang naik.

Lelah dengan perjalanan dari Tanah Lot ini, kami kembali ke penginapan di wilayah Poppies Lane. setelah bersih-bersih sejenak, lanjut menikmati malam hari di sepanjang jalan Legian. Rasanya, WOW! Kota ini seperti hidup selama 24 jam. Hingar bingar suara musik berdentam, lampu-lampu diskotik, DJ yang asyik memainkan musik, dan begitu banyak orang yang tumpah untuk sekedar jalan-jalan. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, lho. Jakarta? Lewaaaaatttt.... Yang Rhein takjub, semua orang-orang di sini tidak ada yang saling memancing keributan apalagi sampai bertengkar. Tidak ada premanisme di sini se-riuh apa pun suasana yang terjadi. Menurut om Preman Kalem, masyarakat Bali memang memiliki toleransi yang sangat tinggi, damai, nggak pernah cari-cari masalah. Satu hal yang Rhein salut dan acungi jempol. For this reason I can say Bali is Paradise... :)

Setelah puas nongkrong-nongkrong di depan Hard Rock Cafe, kami menikmati pantai Kuta di malam hari. Menggelar kain, tidur-tiduran menatap langit yang sedikit berawan meski masih menyajikan rasi Scorpio dan Crux. Berbagi cerita, berbagi mimpi dan rencana. Sampai waktu menunjukkan pukul dua, kami kembali ke penginapan dan main poker! Hahahaha... Tidur? Ah, di Jakarta juga bisa tidur :p
Tim Bali: Anne, Aha, Rhein, Rama
Sedikit aktivitas di penginapan dan narsisme

Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 22, 2012 20:00

Kuta & Ubud... #Bali

Day 1

Selamat pagi, Kuta...Kamu tahu salah satu cara menghilangkan stres? Bangun pagi di tempat berbeda yang memiliki suasana indah. Salah satunya di Bali ini. Rhein dan Anne sampai di Bali malam sebelumnya, langsung cari penginapan dan tidur. Saat bangun pagi, rasanya menyenangkan! Kami langsung berjalan ke arah pantai, menikmati suasana daerah Poppies Lane yang lengang dan udara segar. Jalanan masih sepi, beda jauh dengan jalanan Jakarta di pukul 06.30 yang sudah padat merayap oleh kendaraan lalu lalang. Beberapa orang asing tampak sedang membeli sarapan di mini market atau lari pagi dengan earphone terpasang.
Sampai di pantai, suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang berjalan-jalan di pinggir pantai, orang-orang asing yang juga jalan-jalan (di sini banyak sekali bule), para surfer yang bermain dengan ombak, dan banyak anjing. Salah satu binatang yang Rhein takuti karena waktu kecil sering dikejar anjing. Hahaha.. Setelah menggelar kain di salah satu sisi pantai, kami menikmati suasana sambil duduk-duduk santai. Foto-foto narsis, melihat para bontai (bocah pantai) alias surfer yang punya body oke-oke (haduuuhh, rezeki mata). Kami sengaja tidak berenang di pantai Kuta ini. Selain karena ada bendera peringatan dilarang berenang di pantai, juga airnya yang sudah mulai cokelat. Sebenarnya nggak kotor-kotor amat, mungkin karena pengaruh pasir pantainya yang memang cokelat. Lautnya sendiri biru cerah, menyegarkan!
Selesai nongkrong di pantai, kami mencari sarapan. Apalagi kalau bukan Mc. D. Di sepanjang jalan Legian ini banyak sekali restoran baik fast food maupun bukan. Karena sudah diperingatkan di Bali ini masih banyak restoran yang menyajikan babi, jadilah kami memilih fast food yang insyaAllah aman karena tidak menjual menu babi. Restoran fast food di sini buka 24 jam dengan harga standar. Pikir kami, relatif murah daripada restoran atau cafe-cafe itu lah ya... Maklum backpacker, bo... Hahaha.. Selesai makan, kami kembali ke penginapan dan 2 teman kami, Rama dan Aha, datang menyusul untuk bergabung jalan-jalan. 
Rencana kami kali ini adalah ke Ubud. Benar sodara-sodara, berhubung Rhein dan Anne adalah korban film Eat, Pray, Love , kami pengen banget jalan-jalan ke Ubud. Karena jarak Kuta-Ubud cukup jauh, kami menyewa motor untuk perjalanan ke sana. Di Bali ini banyak sekali yang menyewakan motor dan mobil karena nggak ada angkot. Kendaraan umum yang banyak digunakan di sini ya taksi. Tapi nggak perlu khawatir karena rental mobil dan motor di sini cukup murah. Untuk sewa motor, Rhein kena biaya 120.000 untuk 3 hari. Itu pun dibagi 2 kan karena saling bonceng. Sudah termasuk 2 helm dan Rhein hanya diminta menyerahkan KTP sebagai jaminan. Simpel.
Perjalanan dari Kuta ke Ubud menyenangkan. Jalan by pass Ngurah Rai besar, mulus, dan tidak terlalu ramai. Mirip-mirip jalan tol Jakarta tapi tanpa macet dan motor bisa lewat. Semakin mendekati wilayah Ubud, cuaca semakin dingin karena tempat ini memang sudah termasuk ke wilayah pegunungan. Rhein tidak banyak ambil foto saat perjalanan karena giliran nyupir motor. Tapi dari selayang pandangan mata, di wilayah inilah ada begitu buaaaanyaaak pengrajin. Sampai-sampai Rhein berpikir, sepertinya Bali terutama Ubud ini adalah kota dengan pekerja seni terbanyak di Indonesia. Di Sepanjang jalan, banyak terpampang hasil karya seni. Mulai dari ukiran kayu, hiasan kaca, kreasi kristal, lukisan, pemahat topeng, ukiran batu, dan masih banyak lagi. Belum lagi jejeran bangunan pura yang indah nan mistik. Selain itu, semuanya indah, semuanya amazing. Kalah deh toko-toko seni di Jakarta kalau dibanding jajaran penghasil seni di sepanjang jalan menuju Ubud ini.
Sebelum sampai ke Ubud, kami mampir dulu ke pasar Sukowati. Sepertinya hampir semua orang tahu tentang pasar terkenal satu ini. Di sini pusat dijualnya barang-barang kesenian dan harganya muraaaaahhh buangeeett!! Rhein dan Anne yang penggila belanja udah kalap aja dalam beberapa menit. Dengan kualitas yang lebih bagus, harganya jauuuhh lebih murah dibanding harga di ITC atau Ambassador. Hahahaha... Pokoknya cerita di sini itu ya kalap belanja, deh! 
Nah, ada tips belanja dari Rhein kalau di pasar Sukowati ini. Pertama, jangan keburu laper belanja saat masih di luar pasar. Pergilah ke dalam pasar yang emang penuh penjual dan pembeli, tapi di dalam sini harga bisa lebih murah. Kedua, harus tega untuk nawar. Rhein awalnya ditawari cardigan seharga 95 ribu. Setelah ditawar, bisa dapet 35 ribu. Ini entah gw yang keji atau emang harganya murah ya.. Hahaha..
Ada yang menyenangkan dari belanja di pasar Sukowati ini. Pedagang di sini baik-baik dan jujur. Mereka juga nggak terlalu materialistis dengan mengambil untung banyak. Bahkan hanya mengambil untung 1000-5000 pun mereka tetap mau. Lalu, kalau mereka bilang untuk penglaris, ya memang benar barang itu yang pertama kali laku  di hari tersebut. Lalu uang hasil bayaran kita yang membeli barang penglaris akan didoakan oleh mereka dan ditepuk-tepuk ke barang dagangan lain. Setiap belanja, meski menawar dengan keji, Rhein selalu mendoakan semoga barang mereka selalu laris dan kehidupan mereka semakin makmur. Aamien...
Dibandingkan Kuta, Ubud kota yang tenang dan damai. Jam 8 di wilayah ini sudah sepi meski masih banyak restoran dan cafe yang buka, musik yang mengalun cenderung lembut. Menurut cerita si teman maya, Preman Kalem, ketua adat di Ubud melarang adanya diskotik di wilayahnya. Dan memang tidak ada diskotik di wilayah ini. Yang ada justru gedung-gedung pertunjukan seni dan sendratari. Sayangnya cukup mahal untuk backpakcer kayak Rhein... huhuhu... Oiya satu lagi, di wilayah ini sangat aman. Menurut cerita ibu pemilik losmen tempat kami menginap, tidak pernah ada pencurian motor selama dia tinggal di wilayah ini (yang tentunya udah lama banget). Jadi, motor kami pun diparkir saja di jalan raya depan losmen. Aman. Kalau di Jakarta, beuh.. dalam garasi aja bisa raib.
Karena Ubud sudah cukup sepi padahal baru jam 8, kami cukup kesulitan mencari makan malam. Di sini tidak ada restoran fast food. Pilihannya adalah kafe-kafe atau warung pinggir jalan. Karena khawatir masalah menu babi yang pabalatak di mana-mana, Kami pun lebih memilih nongkrong di tempat jagung bakar dan membeli martabak plus roti bakar. Aman.
Sebagian foto-foto Bersambung....
Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 22, 2012 04:34

April 23, 2012

Tuhan Sedang Bercanda dan Aku Suka

Rhein mau curhat tentang kejadian yang bikin otak dan hati ini think deeply , terus bersyukur banget. Rasanya campur aduk antara seneng, excited, bangga, kecewa, sedih, dan terharu. Berawal dari kurang lebih satu bulan lalu. Rhein dapet telepon dari salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia. Kata bagian SDM nya, mereka membutuhkan editor dan Rhein diundang untuk ikut seleksi. Gimana rasanya? Seneng dan bangga, dong! Mereka tertarik pada profil Rhein, bahkan tanpa perlu kirim lamaran. Petualangan ikut seleksi untuk bergabung dengan perusahaan impian itu pun dimulai.

Tahap pertama seleksi adalah interview dengan HRD. Bertemu dengan banyak kandidat lain yang juga sesama 'pekerja media', ngobrol-ngobrol pengalaman di kantor masing-masing, dan nunggu antrian lama banget sampai sore. Dalam perjalanan pulang setelah seleksi, Rhein ditelepon dan lolos seleksi tahap satu menuju tahap berikutnya. Yeay! Makin excited karena dari sekian pelamar datang interview, yang lolos hanya 5 orang. Tahap kedua adalah seleksi skill pekerjaan. Menerjemahkan cuplikan buku impor, mengedit, dan menulis. Lagi-lagi, Rhein dikabari kalau lolos seleksi ke tahap berikutnya. Dari 5 orang, 3 orang lolos menuju seleksi psikotes. Di sini, Rhein mulai merasa tegang karena setahu Rhein, psikotes itu berguna untuk mencari sosok yang dibutuhkan perusahaan, bukan dari seberapa pintar orang tersebut (I'm smart, yes of course). Apalagi saingan Rhein tentunya nggak kalah tangguh. Tapi ya... Bismillah... Satu minggu setelah psikotes, hasil diumumkan, dan Alhamdulillah Rhein lolos lagi ke tahap berikutnya.

Kandidat yang tersisa 2 orang, yaitu Rhein dan 1 orang lagi lulusan sastra. Saingan berat, kan? Untuk posisi editor, jelas-jelas background pendidikan Rhein (fisika nuklir partikel) hubungannya jauuuuuuuhhhhh sekali. Seleksi kali ini interview terkhir dengan pihak redaksi. Di sini, Rhein excited banget bertemu pewawancara yang cerdas bukan main. Cerdas dalam arti pintar memberi pertanyaan kritis yang menjebak. Hahaha... Untunglah, Rhein nggak kalah cerdik. Hampir semua pertanyaan bisa dijawab. Dari interview yang 'hanya' satu jam lebih ini, Rhein belajar satu hal. Dalam hidup, kita harus punya rencana, kita harus memikirkan dan mempertimbangkan baik-baik setiap keputusan langkah yang akan diambil. Harus ada argumen kuat dibalik setiap pilihan, karena dari sanalah salah satu kepribadian kita dinilai. Setelah wawancara selesai, Rhein harus menunggu 1 kandidat lagi selesai diwawancara. Hasilnya? Rhein yang lolos. Benar sodara-sodara. Hanya Rhein satu-satunya kandidat yang tersisa! Gimana nggak seneng tinggal 1 langkah lagi bisa kerja di perusahaan yang jadi incaran banyak 'pekerja media'?

Tapi tunggu dulu, petualangan belum selesai. Rhein masih harus medical check up dan periksa dengan dokter perusahaan. Baiklah, medical check up pun Rhein jalani di salah satu rumah sakit di Jakarta. Lalu, bagaimana kondisi kesehatan Rhein? Alhamdulillah baik-baik saja. Sayangnya, ada kabar tidak menyenangkan, Rhein divonis menderita suatu penyakit. Kaget? Syok? BANGEETT!! Menurut informasi dari hasil medical check up, ada virus dalam tubuh Rhein yang butuh perawatan khusus, sehingga Rhein tidak bisa lolos menjadi karyawan perusahaan tersebut. JENG! JENG! JENG! Double shock! Segala jenis spekulasi berkecamuk di otak Rhein. Dari mana Rhein tertular penyakit itu padahal nggak pernah bersentuhan dengan metode penularan tuh virus. Rhein juga selama ini Alhamdulilah sehat-sehat aja meski aktifitas kantor seabrek, tiap weekend les, dan sering backpacking. Rhein juga udah divaksin dan menurut hasil medical check up keluarga sebelumnya, ga ada catatan Rhein punya penyakit tersebut, bahkan udah punya antibodinya. So, what the hell about this virus come from??! *sabar, Rhein... sabaaarr*

Syok nggak hanya menimpa Rhein. Keluarga and pacar juga nggak kalah syok plus sedih. Bukan hanya karena Rhein nggak lolos ke perusahaan impian, tapi karena gue sakit. Sakit? Helooo... se-sakit-sakitnya gue selama ini cuma demam, flu, maag, sama sedikit sakit jiwa kalau PMS. Akhirnya, setelah terima copy hasil medical check up dari perusahaan tersebut, nyokap ambil tindakan untuk tes lab ulang seluruh keluarga. Bokap, adek-adek, dan pacar nggak henti menghibur dan ngasih support. Kesehatan lebih penting daripada karir, meski toh selama ini gw sehat. Kalau pun bener Rhein sakit, alhamdulillah ketahuan sejak dini dan bisa langsung pengobatan. Jujur, satu sisi dari diri Rhein nggak terima. Gue nggak sakit, gue kecewa karena nggak lolos ke perusahaan itu padahal dari serangkaian seleksi selalu lolos. Gue punya skill dan potensi! *sabar, Rhein... sabaaarr*

Rhein sempat beberapa kali komunikasi sama pihak perusahaan, mengajukan argumen dan minta kesempatan. Beruntung pihak SDM perusahaan tersebut baik banget menanggapi, meski memang tetap pada keputusan nggak bisa menerima Rhein dan meminta Rhein untuk sembuh.

Akhirnya, setelah gw bolak-balik ke Prodia untuk cek darah ulang di lab, hasilnya gimana? GUE SEHAT! Ahlamaaaaakkkk... *tepok jidat*. Diagnosis Rhein terjangkit tuh virus bahaya nggak terbukti, negatif. How come? Setelah konsultasi dengan pihak Prodia dan gw wawancara, ada kemungkinan saat medical check up di rumah sakit tersebut, Rhein dalam kondisi nggak fit. Emang iya sih, saat itu Rhein baru pulang dari backpacking ke Dieng (bayangin aja, rafting dan hiking ke pegunungan capeknya kayak apa), dan pulang-pulang masih kondisi diare. Bisa jadi virus yang terdeteksi dalam perut dan darah itu ya virus diare. Ayolah, gue nggak keterima di perusahaan impian hanya karena mencret-mencret? Oh, I don't know...

Rasanya, gimana gitu ya mendapati kejadian kayak gini. Apakah Rhein merasa nggak beruntung, nggak bernasib baik? Jelas nggak... Malah dari kejadian ini Rhein menyadari banyak hal.Rhein Sehat. Alhamdulillah... ini rejeki yang paling patut disyukuri. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?Rhein punya keluarga yang bener-bener sayang dan support seburuk apa pun kondisi Rhein. Orangtua Rhein mencari solusi dari masalah yang dihadapi, nggak hanya sedih bertopang dagu. Adek-adek juga tetep support dan bikin ketawa, memberi nasihat menyejukkan buat Teteh nya yang kadang suka lebay ini. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?Rhein punya pacar yang meski berjarak jauh, toh ternyata nggak 'mundur' waktu dikabari Rhein punya penyakit ganas. He still love and stay by my side, support, and make me laugh. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?Sudah sejak dulu Rhein belajar, hidup itu harus punya tujuan. Dan buatlah banyak rencana dalam menggapai tujuan itu. Meski masuk ke perusahaan impian itu menjadi salah satu rencana Rhein dan nggak tercapai, mimpi gue nggak berhenti begitu aja. Rhein kecewa, pasti. Terutama banget kecewa karena kehilangan kesempatan untuk belajar banyak hal di perusahaan impian itu. Emang di kantor sekarang nggak bisa belajar? Bukan begitu. Layaknya sekolah, nggak mungkin kita ada terus di SD. Waktu bertemu dengan pihak redaksi di interview terakhir, Rhein merasa excited dan berharap banget bisa belajar banyak hal sama mereka. Terlihat jelas bagaimana obrolan-obrolan dengan mereka bergitu 'berisi' dan banyak ilmu yang bisa didapat. Apalagi nggak keterima karena tersandung kejadian yang tampak begitu miss-communication lab result ini. Belum lagi ortu dan pacar yang misuh-misuh karena kesel setengah mati sama hasil salah diagnosa ini. Hahaha...

Tapi ya sudahlah, manusia tempatnya salah. Begitu pula dengan lab medis. Yang terpenting adalah Rhein bisa menyadari ternyata ada banyak orang sayang sama Rhein. Mungkin Rhein sering lupa, cuek, lupa bersyukur. Lagipula kalau dirunut satu demi satu, toh Rhein menjalani medical check up di rumah sakit itu tanpa rencana, dengan hasil nggak memuaskan yang bukan keinginan Rhein. Kebetulan saja Rhein baru pulang backpacking dan sedang diare, jadi hasilnya nggak bagus. Backpacking sudah direncakan jauh-jauh hari, medical check up tidak Rhein rencanakan. Dengan hasil seperti ini, pasti sudah menjadi rencana Tuhan... :). Well, tampak seperti Tuhan sedang bercanda dalam kejadian ini, ya. Dan Rhein suka... Pasti setelah semua ini bisa dilewati, Rhein akan 'naik kelas' .

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Yang penting sekarang, Rhein tetap jaga kesehatan, tetap 'bermain puzzle' rencana dan mimpi ke depan. Setidaknya, dari ikut seleksi tahap awal sampai akhir di perusahaan impian itu, secara skill dan potensi Rhein diakui. Yes, I'm awesome. Tetap senyum, semangat, dan narsis!
Aku cantik cantik dari hatiku~~~ *plak*
Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 23, 2012 07:03

April 8, 2012

Semarang, Serayu, Dieng - Land Above the Clouds

Happy Go Lucky Team!


Perjalanan menuju SemarangAwalnya, kami berencana untuk pergi ke Karimunjawa. Seperti cerita yang sudah-sudah sejak perjalanan ke Bosscha dan Bromo, gw pun bikin rancangan perjalanan, jadwal main-main, rincian biaya, sampai ngurusin booking tiket. Pokoknya, seksi sibuk deh. Sayangnya, setelah semua rencana tersusun rapi, ternyata kapal dari Semarang menuju Karimunjawa nggak berangkat... Hiks.. hiks.. T_T Alasannya karena saat itu kondisi cuaca dan ombak lagi nggak bagus. Gw juga sempet baca sih banyak wisatawan yang nggak bisa balik dari Karimunjawa karena ombak tinggi. Nah loh, ketar-ketir dong gw sama temen-temen takut nggak bisa balik ke Jakarta. Ya sudah, daripada nggak jadi backpacking, kami pun tetep cabut ke Semarang untuk memanfaatkan long weekend. Senang-senang di Semarang dan di penginapan DiengSampai di Semarang, thanks to Kus-kus yang udah ngasih kami penginapan gratisan. Hehehe... Kami pun jalan-jalan keliling kota semarang malem-malem ke Semawis sama Simpang Lima. Nggak sempet eksplore Semarang lebih jauh karena udah pada capek dan besok harus melakukan perjalanan ke.... DIENG!! Yap, nggak jadi ke Karimunjawa, kami pun belok ke Dieng. Tadinya sempet mau ke Yogya, tapi plis deh long wiken, pastinya nggak kebayang penuhnya tuh kota. Rafting dulu di SerayuSebelum sampai ke Dieng, tiba-tiba ada yang usul gitu aja ngajakin arung jeram. Alasannya sih karena di Dieng nantinya cuma liat-liat pemandangan aja, kurang menantang. Ya sudah deh, kami belok dulu ke Banjarnegara dan rafting di Serayu. Seru banget, loh! Asli, meskipun gw sama temen-temen cuma modal teriak-teriak sama gaya-gayaan doang kalau pas mau difoto, tapi bikin pegel-pegel banget. Hahaha... Serayu ini salah satu lokasi rafting yang terkenal di Indonesia. Bahkan sering jadi tempat perlombaan. Yah, bisa sombong dikit lah kita-kita ini pernah rafting di tempat terkenal.. :p Foto-foto dulu ahBeres rafting, sore-sore langsung cabut ke Wonosobo. Sempet makan malem di angkringan dulu. Nggak lama-lama di sana, terus ke Dieng deh... Suasana Dieng malam hari dingin pastinya. Cuma buat gw sih nggak se-dingin waktu di Bromo yang bikin nggak bisa tidur karena menggigil. Mungkin juga karena di Dieng ini kami dapet homestay yang menyenangkan. Satu rumah ada 2 kamar besar plus springbed+selimut ukuran besar, 1 ruang tamu dengan sofa besar, 1 ruang TV dengan kasur, 1 kamar mandi dengan fasilitas air panas, dan seluruh lantai di rumah itu dilapisi karpet. Huhuuuyyy... Hangat, deh. Apalagi pemilik homestay juga ngasih air panas, kopi, gula, plus teh. Dengan harga 450 ribu untuk 8 orang (bahkan bisa lebih) dengan fasilitas oke, lumayan lah ya... Eiya, foto penginapan ada nyempil di foto ke 3 dari atas ya.. :D Sunrise di Dieng, Telaga Warna, dan Kawah DiengSebelum subuh, kami udah bangun. Niatnya pasti mau ngejar sunrise di dataran tinggi Dieng yang konon merupakan dataran tertinggi di Pulau Jawa. Sama seperti kalau mau naik ke gunung lain, kami cuma naik mobil sampai kaki gunung, selanjutnya pasti mendaki! Nah, pendakian ke puncak Dieng ini lebih sukar dibanding kalau ke Bromo (menurut gw). Karena nggak ada fasilitas jalan setapak alias ya harus nerobos-nerobos pepohonan dan hati-hati banget karena tanah licin. Sekali kepeleset, ya nggak kebayang lah ya jatuh ke jurang... :p . Sampai di Puncak, WOOOOWW....!! Kami pun bisa melihat sunrise yang cantiknya Subhanallah banget itu. Apalagi setelah sunrise, arak-arakan awan muncul, bener-bener berasa lagi ada di Negeri di Atas Awan. Capek-capek setelah rafting terus hiking nggak terlalu terasa deh. Nggak nyesel pokoknya... Sunrise dan Telaga CebongBeres liat sunrise, lanjut keliling ke Telaga Warna, Telaga Cebong, Dieng Plaetau, Kawah Dieng, dan kompleks Candi Arjuna. Oiya, karena kita datengnya pagi-pagi banget ke semua tempat wisata itu, jadi nggak terlalu rame dan asik buat eksplore... (narsis-narsis poto maksudnya). Kalau udah siang, banyak banget pengunjung kayak waktu kami ke Candi Arjuna. Kuliner... Kuliner.. Kuliner...Nah, backpacking nggak lengkap tanpa kuliner! Di Semarang, kami icip-icip makanan yang gw pun lupa apa namanya.. Pas di Dieng, ada mie ongklok yang jadi makanan khas, makannya sama sate kambing. Berhubung gw emang udah nggak makan read meat, jadi ya mie nya aja deh... :p
Narsisme itu penting! Inilah foto narsis!
Here we are!Beberapa tips untuk ke Dieng:Bawa mobil pribadi. Perjalanan ke Dieng jarang banget angkutan umum dan banyak lokasi yang akan lebih mudah kalau bawa kendaraan sendiri. Apalagi tempat wisatanya banyak. Mobil bisa sewa dari Yogya atau Semarang.Siapkan perbekalan yang banyak terutama minum. Sepanjang perjalanan menuju dieng pastinya jarang pertokoan (namanya juga ke pegunungan). Nemu Indo/Alfa maret itu berasa nemu peradaban. Siapin perbekalan untuk selama menginap di sana ya... Di sana banyak penginapan yang bisa dicari, jadi nggak perlu khawatir. Tapi kalau mau jaga-jaga bisa hubungi beberapa contact person pemilik homestay di Dieng yang bisa dicari by googling. Sorry gw juga lupa. Hahaha...Bawa baju hangat, jaket, sweater, dll. Gimana pun, di sana tetep dingin.Bawa masker. Kalau mau ke kawah yang penuh belerang, musti tutup hidung pakai masker, sapu tangan, atau apapun lah. Beracun, cyyynnn...
So, segini dulu catatan perjalanan ke Dieng ini. Kami pulang ke Jakarta dengan badan setengah remuk. Arung jeram, mendaki pegunungan, tidur di kereta, dan pagi-pagi sampe Jakarta langsung cabut ke kantor... Hahahaha... Namun tetap, menyenangkan! :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 08, 2012 08:49

March 28, 2012

I'm Stupid in 'Chaos' Country



Hari ini, salah seorang rekan kantor cerita kalau harga-harga makanan di tukang sayur dan pasar sudah ada yang naik. Alasannya ya pastinya karena konon pemerintah akan menaikkan harga BBM.
Di sini, otak saya mulai mencerna. 
Pemerintah baru AKAN menaikkan harga BBM (berarti belum) -->> Orang-orang udah pada demonstrasi aja. Bikin macet, merusak, baku hantam, mengganggu wilayah kerja orang lain, bersikap anarkis, dan vandalis. -->> Media meliput dengan hiperbolis, provokatif, dan dihubung-hubungkan dengan runtuhnya rezim Soeharto (alm.). Lah, apa hubungannya?. -->> Orang-orang merasa tidak nyaman, khawatir harga-harga ikut naik. -->> Para pedagang menaikkan harga-harga barang dengan alasan BBM akan naik. Padahaaaall.... -->> Pemerintah baru AKAN menaikkan harga BBM (berarti belum).
Entahlah, bahkan otak saya yang cerdas ini pun tidak bisa mencerna chaos yang terjadi di negeri tercinta ini.


Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2012 01:36

March 13, 2012

Family Time

I still busy... I don't know why my schedule every weeks are soooo dense. Okay, I just wanna update my blog, some pic of my family time. This pic taken last january, hahaha... When we finally got free time just for couple days and went to Taman Safari, spent a night at Caravan! Woooww....

Like we know, I'm busy at office, my brother busy with his campus, my sister busy with her softball team, and my parents busy with their business. Pretty busy family... And we're still happy... :)
















Love is real, real is love. -John Lennon-
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 13, 2012 08:10