Rhein Fathia's Blog, page 18
November 14, 2012
Ubud Writers Readers Festival 2012 (part 1)
I know it's so late. Ubud Writers Readers Festival (UWRF) has already held more than last month dan Rhein baru mengulasnya sekarang. Ingkar janji padahal pengen langsung berbagi cerita seminggu setelah pulang dari Bali dan Lombok itu. Namun apa daya, seriously, efek UWRF dan bertemu begitu banyak penulis profesional bin tenar itu membuat semangat menulis langsung meningkat sehingga Rhein begitu tergerak untuk merampungkan editing-revisi sebuah novel. It finished now, Alhamdulillah. And while I'm writing for one thing, I still can't write for other thing. I don't know why. I just feel the characters ruin over my head and said, "Damn you writer! Focus in our life and finish our stories now!" Okay, let's talk about characters later.
Seperti yang sudah banyak orang ketahui, Rhein datang ke UWRF sebagai pengunjung biasa dan berkat kebaikan hati Penerbit Mizan yang memfasilitasi semua akomodasi selama di Bali, sebagai hadiah pemenang pertama lomba novel Qanita Romance. Thanks a bunch, Penerbit Mizan... *kiss & hug*. Di sana, Rhein ditemani oleh mbak editor yang super baik hati, Prisca Primasari. Ah, beliau ini novelis juga yang karya-karyanya keren abis dan sudah tenar. Jum'at 5 Oktober, Rhein berangkat dari Soetta dan sampai di Bali siang. Setelah check in hotel, simpan barang, bersih-bersih, berangkatlah Rhein dan mba Prisca ke acara Ubud Writers Readers Festival.
Untuk lebih tahu banyak tentang UWRF, bisa langsung buka webnya ya... Acaranya banyak banget dan pengunjung harus milih beberapa program yang tersedia. Kami diberi ID card peserta dan buklet yang berisi informasi lengkap buanget tentang UWRF. Event ini sangat-sangat rapi, teratur, dan tepat waktu, lho. Panitianya kebanyakan orang asing. Pengunjungnya juga 75% orang asing. Sehingga sangat wajar kalau bahasa yang digunakan dalam seluruh rangkaian acara UWRF adalah bahasa Inggris. Bahkan penulis Indonesia yang menjadi pembicara di acara ini menggunakan penerjemah yang mentranslate Bahasa ke English. Hehehe.. Oke, berikut beberapa review program diskusi panel yang kami ikuti selama di sana dan memberi banyak insight dalam hal kepenulisan.
1. Why Story Matters
Dari hasil pembicaraan yang masih dalam koridor sesuai topik, disebutkan bahwa buku fiksi yang selama ini banyak beredar dan dibaca, sebenarnya memiliki fungsi utama untuk menolong orang-orang untuk mengerti bagaimana kondisi kehidupan atau dunia sebenarnya. Books help people to understand the world. Itulah kekuatan sebuah cerita. Dari cerita fiksi yang selama ini kita baca, ada banyak pelajaran dan pengalaman para tokohnya yang bisa kita ambil. Kita bisa tahu bagaimana kondisi seorang tawanan penjara, kita bisa mengerti bagaimana perasaan seorang pekerja seks komersil, kita bisa memahami bagaimana jalan pikiran orang-orang yang memiliki penyakit mental. We know they're only fiction. But what the characters want, how they run their life, we can learn a lot from them. And then, we can understand about this life, about this world.
Adanya buku pasti berhubungan dengan minat baca. Bagaimana menyikapi atau membaca buku yang baik? Menurut salah satu pembicara, beliau berkata, reading is feeling in all of our body and keep the intellect. Gunakan seluruh sensitifitas kita saat membaca. Ada yang bertanya mengapa di Indonesia ini sulit menerbitkan buku padahal masyarakatnya banyak? Alasannya bukan pada sedikit jumlah penerbit atau birokrasinya, tapi masalah utama ada pada minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Ada sebuah contoh di Negara Jepang, jumlah novel Mushashi yang terjual pada suatu waktu adalah dua kali lipat dari jumlah masyarakatnya. Mereka memiliki minat baca yang sangat tinggi sehingga jumlah buku yang terbit di sana sangat banyak. Jadi, tidak ada hubungannya antara jumlah buku yang diterbitkan dengan jumlah masyarakat sebuah negara. Tugas para penggiat buku lah untuk meningkatkan minat baca di negara ini.
sebnarnya ngga boleh ambil foto pas acara diskusi. Tapi kan yah... kan.. pengen.... hehehe.. :D
2. Writing There, Living Here, The Difference of Distance
Session ini dibuka dengan pertanyaan "Mengapa kamu menulis?". Para pembicara memberi beberapa jawaban. Ada yang bilang untuk mengungkapkan semua opini dalam otaknya (most of writer yeah). Ada juga yang menjawab bahwa ia menulis karena ingin membentuk sebuah kondisi yang lebih ideal daripada lingkungannya. Contohnya seorang anak yang berasal dari keluarga broken home, ia menulis karena ingin mengatakan pada dunia bahwa keluarga ideal seperti apa yang seharusnya ada. Termasuk bagaimana sikap seorang penulis ketika ia menulis. Salah seorang pembicara berkata, "I don't think who is reader when I write. I just give reflection inside character in my soul". Menulis itu merefleksikan jiwa kita sendiri. Menulislah dengan senang hati tanpa harus dipusingkan oleh bagaimana pendapat pembaca nanti.
Selanjutnya adalah diskusi mengenai hal yang menjadi topik session ini. How about location in story? Do you feel in pressure? Beberapa penulis kadang terlalu mengedepankan riset mengenai lokasi sampai desperate bahkan melupakan inti cerita yang ingin dibuatnya. Menurut para pembicara di sini, "It's fantasy and fiction, not reality. Up to you want to write how authentic about your novel". Sebaiknya penulis tidak perlu dipusingkan dengan hal mendetail yang tampak remeh temeh. Kita penulis punya khayalan sendiri dan itu sah-sah saja. Pembicara juga mengatakan, "For first novel, you need to write enough authentic so nobody complaint. Then, you write with your sensitivity". Masih pada ingat Harry Potter pastinya, kan? Itulah kehebatan J.K Rowling. Bisa menciptakan setting detail dari khayalan dan sensitivitas menulisnya. Jangan pedulikan setting harus mirip suatu tempat yang ada di bumi ini. Remember, it's fiction.
Bahkan jika ingin menulis dengan setting suatu lokasi, sangat baik jika kita berada jauh dari lokasi tersebut. Lho, kok bisa? Far distance from place you write will make you thinking! Itulah menulis sebenarnya. Thinking, feeling, playing with your own fantasy. Jauh dari lokasi yang dituliskan juga akan meminimalisir tulisan dari kontaminasi realitas yang ada di sana. Bahkan seorang pembicara mengatakan, "Better if away from the location and feels like will never comeback". Dari sana sensitivitas kita akan terasah dan membayangkan lokasi tersebut melalui memori menjadi lebih detail, lebih ada kenangan, lebih ada jiwanya, lebih melankolis, dan lebih hidup.
Menulis memang membutuhkan latihan kontinu. Perlu diingat yang dilatih bukan hanya skill menulis, tapi juga sensitivitas dari hati kita sendiri.
Nah, cerita session selanjutnya bersambung yah... Khawatir posting yang ini kepanjangan. Hehehehe... See you in UWRF part 2.. :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
Seperti yang sudah banyak orang ketahui, Rhein datang ke UWRF sebagai pengunjung biasa dan berkat kebaikan hati Penerbit Mizan yang memfasilitasi semua akomodasi selama di Bali, sebagai hadiah pemenang pertama lomba novel Qanita Romance. Thanks a bunch, Penerbit Mizan... *kiss & hug*. Di sana, Rhein ditemani oleh mbak editor yang super baik hati, Prisca Primasari. Ah, beliau ini novelis juga yang karya-karyanya keren abis dan sudah tenar. Jum'at 5 Oktober, Rhein berangkat dari Soetta dan sampai di Bali siang. Setelah check in hotel, simpan barang, bersih-bersih, berangkatlah Rhein dan mba Prisca ke acara Ubud Writers Readers Festival.

Untuk lebih tahu banyak tentang UWRF, bisa langsung buka webnya ya... Acaranya banyak banget dan pengunjung harus milih beberapa program yang tersedia. Kami diberi ID card peserta dan buklet yang berisi informasi lengkap buanget tentang UWRF. Event ini sangat-sangat rapi, teratur, dan tepat waktu, lho. Panitianya kebanyakan orang asing. Pengunjungnya juga 75% orang asing. Sehingga sangat wajar kalau bahasa yang digunakan dalam seluruh rangkaian acara UWRF adalah bahasa Inggris. Bahkan penulis Indonesia yang menjadi pembicara di acara ini menggunakan penerjemah yang mentranslate Bahasa ke English. Hehehe.. Oke, berikut beberapa review program diskusi panel yang kami ikuti selama di sana dan memberi banyak insight dalam hal kepenulisan.
1. Why Story Matters
General: The role of fiction in our lives, how story gives life context and strengthens human understanding. Speaker: Colin Falconer, Kathryn Heyman, Olyrnson, Anuradha Roy.Diskusi ini (seharusnya) membahas tentang bagaimana pengaruh dunia fiksi terhadap kehidupan masyarakat. Namun entah mengapa malah banyak didominasi oleh pengaruh teknologi terhadap minat baca dan tulis. -___-".
Dari hasil pembicaraan yang masih dalam koridor sesuai topik, disebutkan bahwa buku fiksi yang selama ini banyak beredar dan dibaca, sebenarnya memiliki fungsi utama untuk menolong orang-orang untuk mengerti bagaimana kondisi kehidupan atau dunia sebenarnya. Books help people to understand the world. Itulah kekuatan sebuah cerita. Dari cerita fiksi yang selama ini kita baca, ada banyak pelajaran dan pengalaman para tokohnya yang bisa kita ambil. Kita bisa tahu bagaimana kondisi seorang tawanan penjara, kita bisa mengerti bagaimana perasaan seorang pekerja seks komersil, kita bisa memahami bagaimana jalan pikiran orang-orang yang memiliki penyakit mental. We know they're only fiction. But what the characters want, how they run their life, we can learn a lot from them. And then, we can understand about this life, about this world.
Adanya buku pasti berhubungan dengan minat baca. Bagaimana menyikapi atau membaca buku yang baik? Menurut salah satu pembicara, beliau berkata, reading is feeling in all of our body and keep the intellect. Gunakan seluruh sensitifitas kita saat membaca. Ada yang bertanya mengapa di Indonesia ini sulit menerbitkan buku padahal masyarakatnya banyak? Alasannya bukan pada sedikit jumlah penerbit atau birokrasinya, tapi masalah utama ada pada minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Ada sebuah contoh di Negara Jepang, jumlah novel Mushashi yang terjual pada suatu waktu adalah dua kali lipat dari jumlah masyarakatnya. Mereka memiliki minat baca yang sangat tinggi sehingga jumlah buku yang terbit di sana sangat banyak. Jadi, tidak ada hubungannya antara jumlah buku yang diterbitkan dengan jumlah masyarakat sebuah negara. Tugas para penggiat buku lah untuk meningkatkan minat baca di negara ini.

2. Writing There, Living Here, The Difference of Distance
General: The freedoms and difficulties imposed by living in location far distant from that in which on writes. Speaker: Isobelle Carmody, Romesh Gunesekera, Sunil NairNah, session ini yang paling Rhein suka! Hehehe.. Semua pembicaranya keren dan aksen bicaranya jelas. Maklum ya cyynn, kan telinga gw jarang denger orang ngomong English. Hehehe... Selain itu, di session ini juga semua pembicara diminta untuk membacakan cuplikan salah satu novel mereka. And you know what? Soooo touching! Mereka membacakan cuplikan novel mereka sendiri begitu lembut seperti menceritakan sebuah dongeng indah ke anak-anak. Ah Rhein melting. Saya sendiri yang penulis belum tentu bisa seindah itu membacakan novel sendiri.
Session ini dibuka dengan pertanyaan "Mengapa kamu menulis?". Para pembicara memberi beberapa jawaban. Ada yang bilang untuk mengungkapkan semua opini dalam otaknya (most of writer yeah). Ada juga yang menjawab bahwa ia menulis karena ingin membentuk sebuah kondisi yang lebih ideal daripada lingkungannya. Contohnya seorang anak yang berasal dari keluarga broken home, ia menulis karena ingin mengatakan pada dunia bahwa keluarga ideal seperti apa yang seharusnya ada. Termasuk bagaimana sikap seorang penulis ketika ia menulis. Salah seorang pembicara berkata, "I don't think who is reader when I write. I just give reflection inside character in my soul". Menulis itu merefleksikan jiwa kita sendiri. Menulislah dengan senang hati tanpa harus dipusingkan oleh bagaimana pendapat pembaca nanti.
Selanjutnya adalah diskusi mengenai hal yang menjadi topik session ini. How about location in story? Do you feel in pressure? Beberapa penulis kadang terlalu mengedepankan riset mengenai lokasi sampai desperate bahkan melupakan inti cerita yang ingin dibuatnya. Menurut para pembicara di sini, "It's fantasy and fiction, not reality. Up to you want to write how authentic about your novel". Sebaiknya penulis tidak perlu dipusingkan dengan hal mendetail yang tampak remeh temeh. Kita penulis punya khayalan sendiri dan itu sah-sah saja. Pembicara juga mengatakan, "For first novel, you need to write enough authentic so nobody complaint. Then, you write with your sensitivity". Masih pada ingat Harry Potter pastinya, kan? Itulah kehebatan J.K Rowling. Bisa menciptakan setting detail dari khayalan dan sensitivitas menulisnya. Jangan pedulikan setting harus mirip suatu tempat yang ada di bumi ini. Remember, it's fiction.
Bahkan jika ingin menulis dengan setting suatu lokasi, sangat baik jika kita berada jauh dari lokasi tersebut. Lho, kok bisa? Far distance from place you write will make you thinking! Itulah menulis sebenarnya. Thinking, feeling, playing with your own fantasy. Jauh dari lokasi yang dituliskan juga akan meminimalisir tulisan dari kontaminasi realitas yang ada di sana. Bahkan seorang pembicara mengatakan, "Better if away from the location and feels like will never comeback". Dari sana sensitivitas kita akan terasah dan membayangkan lokasi tersebut melalui memori menjadi lebih detail, lebih ada kenangan, lebih ada jiwanya, lebih melankolis, dan lebih hidup.
Menulis memang membutuhkan latihan kontinu. Perlu diingat yang dilatih bukan hanya skill menulis, tapi juga sensitivitas dari hati kita sendiri.
Nah, cerita session selanjutnya bersambung yah... Khawatir posting yang ini kepanjangan. Hehehehe... See you in UWRF part 2.. :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on November 14, 2012 19:07
October 14, 2012
Backpacker: Lombok (Praya-Mataram-Senggigi)
Horeee... Akhirnya Rhein pulang setelah satu minggu melakukan perjalanan Bali-Lombok. Acara ke Bali tentunya merupakan hadiah dari Penerbit Mizan atas kemenangan novel Seven Days. Rhein dapet wisata literer untuk datang ke acara Ubud Writers Readers Festival. Untuk acara kepenulisan itu, Rhein share nanti dulu, ya... Soalnya harus buka-buka catatan lagi. Hehehe.. Ini cerita lanjutan waktu solo backpacker ke Lombok dan Gili Trawangan. Apa? Solo? Yap! Gw backpackeran sendirian, cyyyynnn...

Perjalanan dari Bali menuju Lombok menggunakan Wings Air dalam waktu sekitar setengah jam. Cuaca sore hari cerah, menyenangkan, meski ada beberapa penumpang yang bikin sebal karena saat pesawat akan landing, mereka sudah teleponan dan BBMan (DOH!). Are they stupid or what?? Sampai di Bandar Udara Internasional Lombok Praya, lagi-lagi Rhein dikejutkan oleh banyaknya orang yang menonton di luar bandara. Nonton apaan, sih? Nggak tahu, ya... Ya nonton pesawat dan orang-orang yang dateng gitu, deh. Menurut informasi yang pernah gw baca sih emang penduduk di sekitar Praya masih menganggap bandara adalah bangunan yang wah. Sehingga mereka sering datang dan tampak asyik seperti berwisata di sekitar bandara.
Sampai di bandara, tujuan Rhein selanjutnya adalah kota Mataram dengan angkutan bis Damri seharga Rp 15,000. Awalnya sih mau langsung ke Kuta, tapi karena susah angkutan umum yang murah dan menurut teman backpacker yang sudah ke Kuta, penduduk di sana agak rawan kejahatan (apalagi gw sendirian), maka gw memutuskan menginap di Mataram saja. Oiya, sebelum bis Damri berangkat, ada yang nggak kalah menghebohkan. Di bandara lombok, tiba-tiba ada orang mabuk ngamuk dan mau menghajar polisi dengan balok kayu panjang! Nah loh.. Syok kan ya gw? Di bandara Internasional ada orang mabok ngamuk! Saat ada ribut-ribut itu, para penduduk yang lagi 'berwisata' pun langsung menyerbu untuk nonton orang mabuk tadi. Ehm... Sambutan yang cukup meriah.
Perjalanan Praya-Mataram sekitar 1 jam. Sampai di pool Damri, lanjut naik ojeg 10,000 ke penginapan backpacker bernama Hotel Ayu Jaya di Jl. Subak 1 Cakranegara, seharga 70,000/malam. Fasilitas kasur bersar, TV, kipas angin, lemari, kamar mandi di dalam. Nyaman lah untuk tidur mah.
Day 2: Senin, 8 Oktober 2012
Pagi-pagi sekali, setelah sewa motor seharga 60,000 yang ternyata menurut penduduk di sana sebenarnya itu harga mahal, Rhein berangkat hendak menuju Kuta. Perjalanan pagi hari cukup menyenangkan, udara segar, jalanan mulus dan ramai layaknya aktivitas Senin pagi, meski tidak seramai Jakarta pastinya. Oiya, berkendara di Lombok harus mengandalkan GPS dari gadget karena rambu-rambu lalu lintas di sana nggak lengkap. Saat sudah setengah jam perjalanan sampai di daerah Kediri, cerita horor mulai terjadi! RHEIN KECELAKAAN!
Kejadiannya terasa cepet banget. Saat itu Rhein masih enak-enak nyupir motor di jalur lambat, sebelah kiri, selayaknya kalau mengendarai motor. Tiba-tiba, Rhein lihat seperti ada tumpahan air di sepanjang jalan. Entah kenapa, jalanan tiba-tiba terasa licin, motor oleng hebat, nggak bisa di-rem, dan Rhein terpelanting! Nggak cukup sampai di situ, selain terpelanting dan guling-guling di aspal, Rhein juga terseret motor yang posisinya ada di atas tubuh gw. Yang bisa Rhein lakukan saat itu hanya jerit-jerit Allahuakbar, terbayang wajah Bapak-Ibu, dan sudah ikhlas kalau pun harus dipanggil yang Mahakuasa. Huhuhu... T_T. Entah berapa puluh meter terseret sampai akhirnya motor berhenti dan gw masih hidup! Gw membayangkan, kalau nggak pakai helm, sepertinya sudah wassalam, karena pas terpelanting itu kerasa banget benturan di kepala.
Orang-orang di sekitar sana langsung nolong Rhein. Ternyata, yang Rhein sangka air tumpah itu aslinya OLI! Plus menurut orang sekitar situ, sebelumnya udah ada yang jatuh terpeleset juga. Ih, sebel kan gw! Kenapa nggak ada rambu atau polisi yang jaga untuk mengamankan gitu??? Ada seorang bapak-bapak tua baik hati yang ngajak Rhein ke UGD untuk diperiksa. Luka-luka lecet efek terseret aspal itu cukup menyeramkan. Lengan baju robek-robek, kaus kaki robek, tas robek, dari ujung kaki, tangan, bahu, sampai bibir, luka-luka semua berdarah. Belum lagi badan yang lebam-lebam warna ungu-biru. Plus, sedikit gigi depan patah. Huhuhu.... T_T. Setelah pemeriksaan di UGD dan dikasih obat, setidaknya gw masih bersyukur nggak ada patah tulang, sendi-sendi normal tanpa ada keseleo, dan sehat. Gw cuma syok berat! Seumur-umur Rhein bisa naik motor dari SMP kelas 1, baru kali ini kecelakaan dan terjadi di tempat jauuuuhhh dari rumah, dari orang tua, beda pulau, sendirian pula! o_0
Setelah istirahat sebentar di rumah bapak baik hati tadi, gw memutuskan untuk nggak jadi ke Kuta. Selain karena perjalanan masih cukup jauh, gw juga agak khawatir dengan peringatan dari temen backpacker yang bilang bahwa penduduk di sana masih jahil-jahil. Dengan kondisi tubuh luka-luka, Rhein nggak yakin bisa menyelamatkan diri lagi kalau terjadi apa-apa. Terus, Rhein pulang ke penginapan aja, gitu? Nggak, dooonngg!! Motor baik-baik saja dan Rhein masih bisa nyupir, jadi mari lanjut perjalanan ke Pantai Senggigi... Hahahaha...

Beres makan siang, mari mencari masjid untuk shalat dzuhur. Gara-gara kecelakaan tadi, Rhein jadi punya banyak kesempatan untuk ngobrol dengan penduduk Lombok. Secara, siapa yang nggak tertarik dan kasihan sama cewek dengan lengan baju sobek-sobek plus luka menganga dimana-mana.. Hahaha... Sambil nunggu waktu sunset, Rhein diajakin seorang ibu muda untuk mampir ke perusahaan mebel kecil-kecilan milik keluarganya. Dari obrolan dengan ibu muda dan suaminya ini, sedikit banyak Rhein mendapat banyak cerita tentang situasi di Lombok. Masyarakat Lombok bukan tipikal perantau. Mereka juga belum sadar akan pariwisata dan keindahan tempatnya sendiri. Apalagi saat mereka denger cerita kalau gw backpackeran sendiri, mereka takjub. Masyarakat Lombok juga mayoritas muslim dan masih sangat menganut gotong royong. Mereka ramah, baik hati, dan sangat informatif kalau kita tanya-tanya. Meski awalnya Rhein agak kaget karena logat mereka tidak selembut orang Sunda, Jawa, atau Bali. Suami-istri ini juga membenarkan kalau ada penduduk di desa sekitar Kuta yang sering berantem dan sudah menjadi trademark daerah rawan. Kecuali di Desa Sasak-Sade yang memang terkenal sebagai desa budaya Lombok.

Selesai menikmati sunset, mari pulang. Perjalanan ke Mataram agak malam ini harus hati-hati. Selain di kota Mataramnya yang memang ramai, jalanan lain di Lombok ini gelap dan sepi! Setelah sampai Mataram, beli makan di KFC (dasar ye anak kota), dan kembali ke penginapan. Saatnya istirahat sambil meringis karena perih oleh luka. Hahaha... Besok pagi lanjut ke Gili Trawangan!
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on October 14, 2012 20:38
October 2, 2012
Menulis vs Menerbitkan Tulisan

Sehubungan dengan banyak banget penulis-penulis (pemula) yang sering tanya tentang bagaimana cara menerbitkan karya, gimana supaya tulisan tembus penerbit, minta diajarin nulis novel, de-el-el, Rhein mau share sedikit tentang dunia tulisan dan penerbitan. Meluruskan sedikit kesalahpahaman yang sering dialami oleh penulis (pemula) akan dunia penerbitan buku. Di sini, Rhein mau bilang bahwa:
Menulis dan menerbitkan karya adalah dua hal yang berbeda
Camkan itu. Dalam topik ini, penulis yang gw sasar adalah penulis pemula yang karyanya belum melanglangbuana secara luas dan penerbit yang dimaksud adalah penerbit major (bukan self publishing).
Menulis cerita, itu mudah. Tulis saja cerita keseharian dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Curhat. Jadilah sebuah cerita. Menulis cerita yang enak dibaca banyak orang, itu susah. Untuk sampai pada tahap ini, seorang penulis membutuhkan referensi, banyak membaca, riset mendalam, dan waktu. Jam terbang, mungkin itu istilahnya. Menulis cerita yang enak dibaca banyak orang dan diterbitkan untuk kalangan luas, ini lebih susah. Why? Karena ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan, dipikirkan, dirangkum, dianalisis. Banyak penulis yang masih kurang paham dan merasa blur mengapa karyanya tidak bisa terbit atau ditolak penerbit berkali-kali. Ada sebagian yang merasa putus asa, sebagian lain tetap gigih berusaha. Namun, kedua reaksi itu tidak akan memberi efek apa-apa jika penulis tidak mau menganalisis di mana letak ketidakpahaman mereka.
Rhein coba urai satu per satu berdasarkan pengalaman pribadi ya..
Persaingan
Yang mau jadi penulis tenar itu banyak. Ciyuss?? Cungguh! Dari beberapa pengalaman Rhein sering menclok ke forum-forum penulis, banyak banget penulis yang pengen karyanya diterbitkan dan dijual di toko buku. Ada rasa bangga tersendiri, itu pasti. Banyak penulis pemula yang merasa karyanya sudah bagus, sudah puas dan merasa enak dibaca, sering dipuji di kalangan komunitasnya, dan membuat mereka tidak sadar bahwa di luar sana BUANYAAAKK penulis yang sama seperti mereka atau lebih canggih dari mereka.
Selain dari forum-forum kepenulisan yang menjamur, persaingan juga terlihat dari banyaknya naskah yang masuk ke penerbit. Dalam satu bulan buanyak sekali naskah yang masuk dan harus diseleksi editor. Jadi, jangan merasa kamu sudah menulis dan dikomentari bagus sama temen-temen, lalu dengan mulus sampai di meja editor. Hohoho, tidak kawan... Sadarilah, meloloskan tulisan hingga terbit selayaknya ikut tes SNMPTN. Yang ikut ribuan, yang lolos paling ratusan.
Tulisan RapiCoba bayangkan, ketika kamu menjelma sebagai editor yang menerima sebuah naskah dan berisi:
Ad cwo yg W n4ks1r beud dech. d0i kEr3n b4N6eT!!!!!! t4J1r m4mpuuuusss!!!!!! KECE BADAAAAAAIIII!!!!! Trus, W sm dy tuch 1 kls 'n sring plng b4reng kl bl1k skul. kekny sich d0i tw kl W n4ks1r, coz d0i sk beud ngsh prh4tian lbh gt ke W. duch, ap d0i n3ks1r W jg eeaaa?????Katakan gw lebay, masak ada yang ngirim naskah kayak gitu? Tapi serius, ADA!! Di era digital yang serba praktis ini, kita dihadapkan pada cara berkomunikasi selain suara juga teks. SMS, chatting messenger, BBM, WhatsApp, Line, dll. Cara kita berkomunikasi dengan teks pun tergantung pada kebiasaan. Nah, banyak penulis pemula yang masih membawa kebiasaannya ber-chatting ria pada saat mereka menulis naskah. Ada yang nulisnya huruf kecil semua. Ada yang lempeng aja tanpa paragraf, jeda, atau perbedaan narasi dan percakapan. Ada yang tanda serunya banyak banget!!!!!!!!! Ada juga yang ngasih tanda tanya ciyuuuuusss?????? Atau banyak banget titik.............
Kembali ke persaingan tadi. Kalau kamu kirim naskah dengan ketikan acak-acakan. Udah pasti dibuang sama editor. So, menulislah dengan rapi. Biasanya tiap penerbit punya standar sendiri untuk penulisan. Rata-rata adalah kertas A4, huruf Times New Roman 12pt, spasi 1,5, margin 3 cm. Itu standar ukuran. Nah, standar tulisan rapi, pakai huruf besar di awal kalimat, jangan lupa titik, tanda baca (?!.) maksimum 3 biji, dll. Pokoknya, standar pelajaran Bahasa Indonesia dari zaman SD sampai SMA, deh.
Target Penerbit yang Kurang Tepat
Banyak penulis pemula yang merasa karyanya sudah bagus dan ngiler karena melihat sosok penulis-penulis lain jadi tenar di penerbit X. Lalu, dikirimlah olehnya karya tersebut ke penerbit X, padahal isi ceritanya beda jauh dengan penulis-penulis yang udah tenar itu. Sudah pasti, tulisannya ditolak. Contoh, penerbit Bukune yang jelas-jelas menyasar buku remaja dan lifestyle, jangan kirim tulisan tentang agama ke sana. Mungkin tulisanmu akan dibaca, ditelaah, tapi kemungkinan diterbitkan sangat kecil. Why? Kan yang penting tulisan gw bagus. Ya, tulisanmu bagus, tapi tiap penerbit punya sasaran pembaca masing-masing. Mereka punya brand dan ciri khas dari karya-karya yang sudah diterbitkan. Kalau nerbitin buku yang nggak nyambung, ya nggak laku. Penerbit itu badan usaha profit, bisnis, mereka nggak akan menerbitkan buku yang nantinya nggak laku. Loh, kan belum dicoba? Ya nggak perlu dicoba lah ya... Mereka kan punya study market dan analisis juga...
Jadi, pelajari masing-masing penerbit. Gimana caranya? Baca buku-buku yang mereka terbitkan. Sesuaikan apakah tulisanmu cocok dengan "karya yang biasa mereka incar"? Perhatikan dari segi tema, setting, taste, usia, genre, de-el-el. Pelajari, analisis, putuskan.
Tidak Sesuai Tren
Ini yang terkadang sulit bagi penulis pemula. Mereka kadang menulis dan mengirim karya sesuai dengan daya khayal saja. Ini tidak salah. Namun, untuk diterbitkan, penerbit juga biasanya melihat tren yang sedang booming. Dulu waktu menerbitkan Jadian 6 Bulan, karya Rhein itu pas banget karena lagi booming teenlit. Setelah ada novel Ayat-Ayat Cinta, booming novel-novel dengan latar negeri Arab dan Timur Tengah. Rhein nggak mengirim dan menerbitkan karya saat itu karena merasa belum mampu. Kalau Rhein mengirim naskah teenlit lagi, kemungkinan besar nggak akan diterbitkan.
Tulisanmu mungkin sudah bagus. Tapi kalau nggak sesuai tren, sulit untuk bersaing di pasaran. Jadi, penerbit lebih memilih untuk tidak menerbitkan. So, pelajari tren. Caranya? Sering-sering main ke toko buku dan buka radar Neptunus selebar-lebarnya.
Tulisan Tidak Logis
Imajinasi memang tanpa batas. Namun bukan berarti tulisanmu diperbolehkan untuk tidak logis. Logis di sini adalah dalam hal plot, alur cerita. Semua orang pasti tahu Harry Potter dengan segala cerita imajinasinya. Nah, dalam dunia nyata, tentu dunia Harry Potter itu tidak logis dan tidak akan terjadi. Tapi, alur cerita Harry Potter itu tetap logis sehingga ia bisa terbit menjadi novel yang gigantis sekali efeknya.
Ada hal-hal remeh yang seringkali dilupakan penulis pemula sehingga membuat karyanya tidak logis. Misalnya, cerita si cowok baru saja mengalami kecelakaan super parah. Saat masih di rumah sakit, ia mendengar gadisnya diserang preman. Dengan secepat kilat ia keluar dari rumah sakit untuk menyelamatkan layaknya pahlawan. How come?? Orang yang baru kecelakaan itu menolong diri sendiri aja sulit apalagi menolong orang lain? Atau misalnya si tokoh di awal cerita memiliki karakter periang tapi bodoh, jangan tiba-tiba di akhir cerita demi menyelamatkan sang kekasih dari cengkraman si jahat, dia harus ikut lomba cerdas cermat yang membutuhkan IQ tinggi, lalu bisa menjawab semua soal sulit. Aneh kan? Hal-hal kecil seperti ini yang penting diperhatikan. Contoh tulisan Rhein yang nggak logis itu novel online Dansa Masa Lalu. Banyak yang bilang ceritanya seru dan manis, tapi buat Rhein banyak hal nggak logis sehingga gw sadar diri nggak akan kirim ke penerbit.
Saran Rhein, kalau mau cari inspirasi tulisan jangan dari sinetron Indonesia, nggak logis. Apalagi dari cerita di stasiun TV Indos*ar yang cerita rakyat tiba-tiba ada Betmen sama Joker. Dijamin kalau tulisan kamu kayak gitu, nggak lolos terbit...
Kepala Batu
Ini sebenarnya lebih pada kepribadian penulis itu sendiri. Saat karya kalian dinyatakan lolos dan akan terbit, penulis akan bekerja sama dengan editor, artistik (yang bikin cover), ilustrator, dll. Nah, penulis memang punya hak untuk memberi masukan ingin karyanya dieksekusi seperti apa. Namun, pahamilah bahwa penerbit yang memiliki keputusan pada akhirnya. Itu hak mereka karena penerbit lebih tahu dan lebih banyak pengalaman dalam dunia penerbitan buku. Ingat, buku kamu yang akan diterbitkan itu bukan hanya untuk kamu atau komunitasmu yang membaca. Tapi masyarakat luas! Penerbit lebih tahu selera pasar dan pasti memikirkan yang terbaik juga untuk karya kamu nantinya. Mereka juga nggak mau rugi dengan menerbitkan buku yang nantinya nggak akan laku.
Rhein pernah kerja sama calon penulis kepala batu ini. Ujung-ujungnya tentu pihak penerbit tempat Rhein dulu bekerja nggak jadi menerbitkan bukunya. Belum lagi kalau karya tersebut sudah dicetak dan sampai di tangan pembaca. Wuiiihh,, kritik mereka akan lebih pedas dan kejam. Jadilah penulis yang rendah hati... :)

Begitulah.. Menulis dan menerbitkan karya adalah dua hal yang berbeda. Tiap orang bebas menulis apa yang ada dalam otak dan hati mereka. Namun, tidak semua bisa terbit menjadi buku dan layak jual.
Writing is easy. Easy reading is hard writing. Publish your writings is even harder. So, keep writing, learning, and never give up! :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on October 02, 2012 23:06
September 30, 2012
Novel, ITB, dan @ Fam

Novel & Mizan
Kamis lalu, 27 Sept 2012, Rhein diundang oleh pihak Penerbit Mizan untuk datang ke kantornya yang di Bandung. Ngapain? Dalam rangka penyerahan hadiah lomba penulisan novel Qanita Romance kemarin itu, dong... Kan eike juara pertama ya, cyyynn.. *sombong abiiisss*. Terakhir kali Rhein main ke kantor Mizan ini duluuuu banget! Zaman SMA sama kuliah tingkat awal, deh. Makanya pas balik lagi ke Mizan, rasanya seperti nostalgia. Ada beberapa yang berubah, ada juga yang enggak. Yang nggak berubah, suasana kekeluargaan di sana. Seneng banget disambut ramah sama temen-temen redaksi dan juri. Selain acara resmi penyerahan hadiah, ucapan selamat, curhat para juri, ketemu editor, de-el-el, salah satu tujuan Rhein ke kantor Mizan juga dalam rangka diskusi untuk penerbitan kembali novel Jadian 6 Bulan.

Alhamdulillah, seneng banget eksistensi gw di dunia kepenulisan mulai kembali beranjak. Setelah 4 tahun nggak menerbitkan novel sama sekali, insyAllah awal tahun depan akan terbit novel baru Seven Days dan re-publish Jadian 6 Bulan. Pada beli ya, kakaaakkk... Buat biaya kuliah niiiihh... :D
MBA ITB
Bicara tentang kuliah, seperti yang pernah Rhein tulis di curhat-curhat sebelumnya, setelah rempong ngurus persyaratan, akhirnya Rhein ikut tes masuk ke MBA ITB. Kok MBA, sih? Lu kan asalnya dari Fisika Nuklir? Oh well, kan ceritanya Rhein mau mengembangkan bisnis keluarga Tenda Destarata itu. Jadi, supaya usaha keluarga makin canggih, Rhein harus tahu dulu ilmu bisnis seperti apa. Nah, ikut tes ke MBA ini sedikit berbeda dengan tes S2 lainnya. Tesnya berupa ELPT dan AAT. Atau bahasa tenarnya TOEFL sama GMAT. Iya, GMAT yang standar internasional kalau mau kuliah ekonomi atau bisnis itu.
Untuk tes TOEFL, sipirili lah ya, bisa teratasi. GMAT ini yang dari awal Rhein agak-agak ragu karena nggak pernah bersentuhan sama sekali. Plis deh, gw anak fisika mana pernah nyentuh dunia ips? Makanya, Rhein belajar dari ebook GMAT terbitan Mc Graw Hill. Awal-awal belajar dari ebook itu sih, masih bisa mengikuti lah. Soal-soal quantitative GMAT nggak se-menyeramkan rumus kuantum di zaman kuliah. Untuk soal-soal verbal, ini yang agak-agak bikin bingung karena penuh dengan analisis dan bentuk soalnya adalah kasus-kasus di perusahaan gitu. Setelah belajar singkat-singkat seadanya, ikutlah tes di ITB. Ternyataaaahh... Soalnya lebih susaaaaahhh! Aaaakkk... T_T. Baik quantitative apalagi verbal, soal yang diujikan di ITB ini lebih susah dari ebook Mc Graw Hill. Hiks.. Ditambah lagi waktunya mepet. Terus gimana? Ya terpaksa pake cara zaman SMA, tembak aja itu soal-soal pilihan ganda. Huhuhu... Udah hopeless dan mikir ikut tes lagi di gelombang selanjutnya aja. Padahal sih sebenernya nggak semenegangkan zaman SPMB dan soalnya nggak separah SPMB (standar gw anak lulusan SMA). Namun entahlah, emang soalnya yang susah atau kemampuan gw otak mulai menurun. Hiks.. Oiya, semua tes dalam bahasa Inggris.
Tes diadakan tanggal 21-22 September lalu dan pengumuman akan diinfokan satu minggu kemudian. Tapi, sepulang gw dari acara Mizan (belum seminggu), Rhein ditelepon pihak ITB dan dinyatakan lulus tes. Cihuuuyy! Seneng banget. Etapi, perjuangan belum selesai. Masih ada tahap interview yang harus dilewati, yaitu keesokan harinya. Jeng! Jeng! Gw ke Bandung itu kan nggak ada niat nginep, tapi harus ke ITB besok paginya. Nggak bawa baju apalagi alat make up *eeaa*. Hadeeuuhh... Yasudahlah, nebenglah saya di kosan Furky. Pagi-pagi langsung cabut ke ITB dengan kostum ala Cinderella (salah kostum banget untuk sebuah interview sekolah bisnis), baju yang dipakai hari kemarin. Interview ini nggak seperti wawancara kerja, tapi di depan kelas, cyynn.. Di hadapan 3 dosen dan para mahasiswa yang lagi kuliah. Gw harus mempresentasikan diri sendiri, tujuan kuliah di MBA ITB, dan business plan yang nantinya akan dijalani. Ditambah lagi ditanya-tanya ala sidang skripsi gitulah. Fiiuuhhh.. Asli tegang! Beres presentasi dadakan itu, gw disuruh keluar ruangan dan nunggu mereka diskusi untuk keputusan gw lulus atau nggak. Setelah nunggu beberapa menit yang bikin nervous, akhirnya ada pengumuman kalau gw lulus. Cihuuy! Welcome to ITB. :D Alhamdulillah... Sujud Syukur...
Amburadul Family (@ Fam)

One Day with @ Fam kali ini yang datang 7 orang. Kebayang ya 7 orang cewek-cewek ributnya kayak apa kalau kumpul pada berisik saling curhat dan gosip. Hahaha.. Yang gw bersyukur banget punya geng ini adalah, apa pun yang terjadi, kami tetep sahabat. Tetep saling dukung untuk berkembang dan berubah ke arah yang baik. Obrolan kami pun agak lebih dewasa sekarang *ciiyyeeehh*. Kalau dulu obrolan nggak jauh-jauh dari gebetan dan cowok, sekarang juga tetep sama, sih. Apalagi dengan nostalgia kelakuan-kelakuan bodoh zaman sekolah. Hahahaha.. Tapi ya tetep ada tambahan obrolan tentang kesehatan wanita, keluarga, bisnis, kerjaan, pendidikan anak (padahal yang punya anak baru satu), prinsip dengan pasangan, de-el-el. Hanya ngobrol-ngobrol biasa, sharing, dan momen sederhana ini selalu membekas di hati kami masing-masing. Serius deh, di belantara kehidupan yang semakin dewasa dengan segala intriknya, punya sahabat selama 11 tahun dari zaman abegeh itu sangat menyenangkan. Setidaknya dalam kondisi seburuk apa pun, mereka akan menyambut dengan senyum ketika kita butuh bantuan. Entahlah, rasanya kalau kumpul-kumpul, seberubah apa pun, kami masih merasa seperti abegeh polos yang hepi-hepi aja. I love you so much, girls! :)
See, meski Rhein sudah jadi pengangguran dan bokek *teteup dibahas*, Tuhan masih memberikan begitu banyak momen yang membuat hati bahagia. Alhamdulillah... Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on September 30, 2012 00:30
September 16, 2012
Hari-Hari Pengangguran

Selepas Lebaran kemarin, Rhein resmi hengkang dari status pegawai. Nggak ada lagi berangkat pagi pulang malem. Nggak ada lagi tidur di bis pas berangkat & pulang kerja. Nggak melewati macet di jam-jam padat kendaraan. Nggak ada lagi seharian duduk di kantor 8 jam di hadapan PC. Nggak ada lagi meja khusus buat gw kerja dengan setumpuk naskah yang harus gw edit. Nggak ada lagi celoteh temen-temen kantor yang biasa menemani. Is that fine? Yes of course. I'm happy...
Awalnya, Rhein khawatir tidak menjadi pegawai akan bikin gw bosan dan kesepian karena lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Nyatanya? Tidak sodara-sodara. Kesibukan gw tidak berkurang. Gw jadi sering bolak-balik ke Bandung. Selain ngurusin si adek di sana, juga dalam rangka pendaftaran kuliah. Persiapan kuliah ini menyenangkan sekaligus menegangkan. Gw harus belajar buat tes, kembali mengasah otak dengan Math & English. Cukup belajar aja? Ooo.. tentu tidak! Minta surat rekomendasi dosen juga bikin gw dag-dig-dug nggak karuan. Udah pada tahu kan, kalau dulu gw kuliah di jurusan Fisika, konsentrasi Nuklir Partikel pula, dengan topik skripsi Astrofisika *cukup nggak usah dibahas detail, Rhein. Most of readers dislike equation*. Nah, minta rekomendasi ke para dosen-dosen baik hati itu sedikit banyak bikin perasaan gw nggak enak. Why? Karena gw mau lanjut kuliah bisnis. JENG! JENG! Ada satu sisi hati gw yang merasa kalau gw udah mengkhianati ilmu murni ini *semurni hati gw. Plak!*. Untungnya, para dosen baik hati itu tetap mau memberikan rekomendasi dan mendoakan gw untuk sukses. Aaahh... Sumpah gw terharu dan pengen nangis kalau sama para dosen ini. Kejeniusan dan gelar-gelar ilmuwan itu tidak pernah menjadikan mereka sombong. Mereka adalah contoh nyata ilmu padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Bapak-bapak dosen, doakan saya jadi pengusaha sukses ya... Salah satu cita-cita saya tetap ingin memajukan ilmu murni. Kalau udah sukses, saya sangat bersedia jadi donatur untuk perkembangan pendidikan dan penelitian ilmu tersebut. Aamien...
Selain urusan perkuliahan, Rhein juga mulai bantu-bantu ortu menjalankan bisnis keluarga yang udah berjalan. Gimana rasanya? Lebih rempong daripada jadi pegawai kantoran, boooo... Jadi buat yang mengira jadi pengusaha itu enak karena duitnya banyak, gw bilang itu benar. Konsekuensinya, lu bakal lebih sibuk setengah mati. Kalau jadi pegawai, lu tinggal terima gaji buat kehidupan perut keluarga lu. Kalau lu jadi pengusaha, lu harus mikir gimana perusahan jalan, banyak untung, bisa ngasih gaji pegawai-pegawai untuk ngisi perut keluarga mereka. Coba pikir, berapa perut dan otak (karena buat gw asupan pendidikan juga penting) yang jadi tanggung jawab?
Oh well, gw belum sampe pada tahap ke sana, sih. Status gw masih jadi asisten ortu yang ngintil kemana-mana. Ketemu klien, liatin ortu ngasih penjelasan dan presentasi. Survey lapangan, digigitin nyamuk plus serangga lain waktu ke tempat klien yang pengen ngadain pesta kebun. Mengelola pegawai yang moodnya nggak selalu bagus. Didatangi klien yang kadang cerewet plus maunya macem-macem. Bantuin produksi barang kalau kuota nggak memenuhi. Dan... itu nyokap kan punya hape 3 biji, bokap punya 2 biji, nah sering banget-banget rata-rata 3 hape berdering dalam waktu bersamaan! Jadi nyokap lagi angkat hape ngobrol si Ibu A, hape lain bunyi ada pesanan dari Nyonya B, hape lain bunyi lagi dari pegawai yang mau laporan. Kemudian, jangan sangka itu hape berhenti bunyi selepas jam kantor. Jam 11 malem aja masih bunyi! Apalagi kalau lagi peak season pesanan, bisa-bisa sampe pagi. Duh, riweuh! Tapi, dari semua itu gw belajar...
Menjadi pengangguran dan punya banyak waktu luang juga makin mendekatkan Rhein dengan keluarga. Diskusi sama bapak-ibu, dengerin curhat adek-adek. Terutama support si atlet kebanggaan Indonesia, FURKY, yang lagi bertanding di PON. Semoga dapet emas! Sungguh, memberikan waktu untuk keluarga itu rasanya nikmat luar biasa.
Lalu gimana dengan penghasilan? Gw juga digaji sama ortu. Hahaha... Meski jauh lebih kecil dari gaji kantor-kantor sebelumnya. Iyalah, gw masih ece-ece begini. Buat gw yang penting bisa nabung dan nambahin duit jajan adek-adek.
Is that fine? Yes of course. I'm happy... :)
ps: Gw juga masih akan backpacking. Gratis pula! Hadiah menang lomba novel. Oh Allah, rezeki-Mu emang nggak akan kemana. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on September 16, 2012 06:54
September 10, 2012
Seven Days Won Qanita Romance Novel Competition

Seven Days bercerita dengan latar belakang Bali. Mengapa? Karena saat Rhein mendapat info mengenai lomba itu tepat sepulang dari Bali. Jadi, munculah ide tentang novel berlatar perjalanan ke Bali. Tentang isi novelnya, nanti aja lah ya pada baca kalau novelnya udah terbit. Hahaha... Sebenarnya agak khawatir novel itu bakal selesai di tengah kesibukan kantor dan waktu yang sudah mepet deadline, untunglah deadline diperpanjang. Thanks, Mizan :). Proses pembuatan novel ini tepat satu bulan. Dengan spesifikasi naskah sejumlah 111 halaman, riset dari berbagai sumber dan kawan yang di Bali, plus ingatan Rhein yang masih segar mengenai Bali tentunya. Apakah waktu tersebut cukup singkat atau lama? Bagi Rhein, jangka waktu 1 bulan untuk novel 100an halaman termasuk standar. Karena novel sebelumnya, Jalan Menuju Cinta-Mu, juga waktunya kira-kira segitu. Dengan konsistensi menulis per hari yang rutin dan bahan riset yang sudah 3/4 matang di otak, pastinya... :)
Buat Rhein, novel ini termasuk spesial. Pertama, dari dulu Rhein bercita-cita bikin novel perjalanan. Berhubung Rhein suka backpacking tapi belum bisa bikin berita atau feature kayak para backpacker+penulis yang udah tenar, bikin novel dengan latar perjalanan adalah satu-satunya yang mungkin bagi Rhein. Kedua, karena ini pertama kalinya Rhein nulis dengan sudut pandang orang pertama "AKU". Selama ini, Rhein selalu nulis dengan sudut pandang ketiga "penulis pembuat segala", dengan alasan bisa mengeksplor masing-masing tokoh. Resikonya adalah novel yang panjang seperti CoupL(ov)e yang lebih dari 250 halaman dan sampe sekarang belum terbit. Hehehehe... *dijitak rame-rame*. Keliatan banget Rhein tipikal penulis yang pengen tiap tokohnya pada cerewet mengungkap perasaan masing-masing.. :D Jadi, Rhein memutuskan untuk pake sudut "aku" karena batasan halaman maksimum 125 halaman.
Satu bulan, novel ini beres. Mengendap 1 minggu, lalu masuk fase editing pangkas sana-sini, kasih ke beberapa teman untuk meminta komentar, revisi, dan voila! Kurang lebih satu minggu sebelum deadline, barulah dikirim ke penyelenggara lomba, Penerbit Mizan. Awal-awal dapet info yang peserta lomba sekitar 100 naskah, Rhein cukup pede untuk lolos terbit. Tapi menjelang deadline, ternyata yang kirim tambah banyak... *kayak gw ini, ngirim pas akhir-akhir* dan jumlah peserta hampir 400 naskah! JENG! JENG! Jiperlah gw, maaakkk... :)). Tapi tetep, harus pede. Rhein udah mengusahakan yang terbaik dan mengaplikasikan teknik-teknik menulis semampu Rhein.
Tanggal 30 Agustus, Rhein dikasih tahu kalau ada pengumuman finalis 20 besar dan naskah Seven Days lolos. Hore! Senang, tapi belum tenang. Dengan cukup kepo, Rhein mencari tahu informasi mengenai ke-19 penulis yang masuk finalis tersebut! *apa Rhein, lu cukup kepo? Lu kebangetan kepo itu mah!*. But hey, dalam strategi perang, kita perlu mengenal lawan, bukan? :D. Setelah melalui informasi data penulis hasil kepo dan analisis dari otak cerdas ini, Rhein bisa menyimpulkan kalau naskah Seven Days kemungkinan hanya bisa lolos ke 10 besar yang layak terbit. Tapi ternyata, analisis gw MELESET! Karena tidak hanya masuk 10 besar, tapi Seven Days menang juara 1. JENG! JENG! :))

Naskah ini, dibandingkan naskah-naskah lomba lain, mungkin bukan yang terapi, terseru ceritanya, terromantis kisahnya, termendayu-dayu, terbanyak quote-quote cantik *karena gw ngga pandai gombal*, terunik karakternya, atau ter-ter lainnya. Karena Rhein percaya, tiap cerita punya ciri khas dan keunikan masing-masing. Seven Days dipilih, mungkin karena mewakili, cocok, dan click dengan kriteria yang Penerbit Mizan-Qanita butuhkan. Jadi saya percaya, ke 10 besar naskah yang lolos terbit itu pasti yang terbaik! :)
Selamat untuk seluruh pemenang!
Untuk yang hobi menulis, teruslah menulis. Karena dengan karya tertulis, kalian bisa abadi... ^_^
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on September 10, 2012 06:18
September 4, 2012
Idul Fitri 1433 H

Selamat Idul Fitri 1433 H. Mohon Maaf Lahir Batin
Apa kabar nih semua? Gimana puasanya? Mudiknya? Silaturahminya? Lebarannya? Oleh-olehnya mana? Hehehe.. :D Buat Rhein pribadi, akhir Agustus ini memberikan kesan yang campur aduk antara senang, sedih, syok, kaget, dan bingung (aduh lu rempong banget sih, Rhein!). Lebaran lalu Rhein sekeluarga shalat Ied di masjid dekat rumah, seperti tahun-tahun sebelumnya. Lepas shalat, pastinya maaf-maafan sekeluarga, makan-makan, terima tamu-tamu, ngobrol sama pacar dan Ibu Camer yang ada di Semarang, dan prepare untuk ke rumah nenek di daerah Purwakarta. Semuanya, menyenangkan! Perjalanan ke rumah nenek juga lancar. Sampai di suatu sore, pacar ngasih kabar singkat kalau Ibu Camer masuk rumah sakit dan pacar minta Rhein untuk nggak tanya2 apapun karena dia lagi hectic merawat ibunya. Rhein pun mengiyakan, sedikit deg-degan, menunggu kabar...
Kondisi di rumah nenek menyenangkan, dengan para sepupu yang masih kecil-kecil yang ramai. Menginap semalam di rumah nenek, ke makam almarhum kakek, jalan-jalan ke kolam renang yang isinya kayak cendol (penuh buaaannggeettt), dan menikmati suasana desa yang mulai terpengaruh kota. Dari kabar-kabar pacar, ternyata kondisi Ibu Camer semakin parah, beliau koma sudah hampir 24 jam. Senin sore, Rhein sekeluarga pulang ke Bogor, persiapan menyambut keluarga besar Klan Suminta yang akan kumpul di villa Sentul sebagai acara Idul Fitri tahun ini. Selain itu, Rhein juga kelimpungan cari tiket ke Semarang yang ternyata susssyyaaaahhh buaanggeeettt (ya iyalah, Lebaran getoh?). Akhirnya dapet tiket untuk hari rabu. Sayang beribu sayang, Senin malam itu juga, Ibunda pacar ini dipanggil untuk kembali pada Allah... Rhein syok!
Rasanya, entahlah... Nggak nyangka, itu aja. Pagi hari saat Idul Fitri, Rhein dan beliau masih ngobrol banyak, beliau bilang merasa sehat, senang banyak keluarga datang, senang karena mau jalan silaturahmi ke Kendal, kerepotan mengurus cucunya yang makin bandel, dsb...dsb... Plus pesan-pesan beliau untukku dan si pacar. Obrolan-obrolan standar yang biasa kami lakukan. Kemudian, Allah memang Maha Pengendali Segalanya. Dia memanggil Ibu Camer untuk kembali. Tanpa Rhein, bahkan si pacar dan keluarganya pun nggak menyangka.
Selasa, Rhein kumpul keluarga Suminta dengan pikiran nggak konsen. Mau langsung ke Semarang juga gimana? Semua tiket ludes dan kalau naik bis mau macet kayak apa? Rabu pagi, Rhein berangkat ke Semarang. Sumpah waktu ketemu pacar rasanya udah nggak karuan sedihnya. Ah, gitulah... nggak terdeskripsi. I know how much he loves his mom...
Sisa liburan Rhein habiskan di Semarang. Nemenin pacar dan bantu-bantu di keluarganya. Ikut ke makam, melakukan beberapa ritual ibadah, tahlilan, doa-doa, bantu-bantu di dapur (meski nggak mahir), plus mengurus keponakan si pacar yang lucu 'n gemesin minta ampun. Nggak banyak yang bisa gw lakukan untuk keluarga pacar selain ikut memahami perasaan mereka...
Usai 7 harian alm. Ibu Camer, gw dan pacar mau balik ke Jakarta dan jeng! Jeng! Tiket susahnya minta ampun... Iya sih, itu pas arus balik dan semua tiket ludes dengan harga melonjak tinggi. Setelah akhirnya dapet pas hari Senin malam, kami pulang ke Bogor.
Hari selasa 28 Agustus, pacar ulang tahun.. Gw seneng dia ada di Bogor dan bisa merayakannya bareng dia. Maklum, pasangan LDR yang jarang ketemu nih... :D.
Well, ini Idul Fitri yang nggak terlupakan buat kami... Semoga Ibunda Camer tenang dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt. Aamien...
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on September 04, 2012 07:55
August 16, 2012
Resign Story

Ah elu Rhein, mentang-mentang lagi bulan Ramadhan jadi nyapa pake Assalamu'alaikum. Plak!
Baiklah, jadi gimana puasanya? Yang cewek udah bolong berapa? Udah ngaji berapa juz? Dapet jadwal buka puasa bersama berapa kali? Udah dapet THR? Jangan lupa zakat yaaaa... :)
Terus, kalau Rhein sendiri gimana? Ah, nggak usah curhat di sini nanti disangka sombong... Hahaha...
Sebenarnya, nulis postingan ini dalam rangka update blog aja... :D Rhein sedang tidak dalam rangka backpacking jadi belum ada cerita jalan-jalan yang terbaru.. Ya iyalah, bulan puasa mau naik gunung atau nyelam di laut? Batal dong, cyyynn... Apalagi setelah bulan Ramadhan ini bakal semakin kencangkan ikat pinggang dan hemat abis karena Rhein sudah mengajukan resign. Apa, Rhein? Lu resign lagi? Betol, sodara-sodara...
Pengajuan Resign sudah sejak awal bulan. Alasan utama, jelas karena mau sekolah lagi. Dari dulu, Rhein memang tidak pernah berniat membangung karir di dunia kantor, sih. Secara gw tipe orang yang nggak suka rutinitas monoton. Buat gw, niat awal bekerja kantoran itu memang untuk belajar, menyerap ilmu how to be smart when you have deal with sucks and nice people, how to manage your time, how to keep professional and responsible with your job even yourself in the worst condition, etc...etc... Karena bekerja kantoran beda dengan freelance yang lebih membebaskan diri pribadi dan fleksibel. Kemudian setelah satu setengah tahun bekerja, Rhein merasa sudah saatnya untuk naik kelas. Ayolah, sekolah aja naik tingkat tiap setahun, masak di dunia kerja nggak ada peningkatan juga? Jadi, resign ini menjadi pilihan.
Sempat dapet banyak pertanyaan dari orang-orang, lu kenapa resign, nyari kerja lagi susah gini? Udah dapet kerjaan baru? Mau sekolah emang udah diterima? Ntar kalau nggak keterima gimana? Lu nganggur? Well yah, pertanyaan standar dan realistis sih, ya... Meski dari kacamata gw, kalau kita punya energi untuk berpikir buruk dan mencemaskan banyak hal, kenapa energi itu nggak dialihkan untuk berpikir positif dan tetap ikhtiar? Toh itu sama-sama tentang prasangka yang dibuat otak kita sendiri tentang masa depan yang sama-sama masih misteri. Lagipula buat Rhein, keluar dari zona nyaman itu juga menantang, toh? Itu yang namanya meng-improve diri untuk naik kelas :)
Alhamdulillah, Rhein punya keluarga dan sahabat-sahabat yang mendukung penuh. Planning 'menari-nari' di luar zona nyaman itu sudah ada. Rhein harus belajar supaya lolos tes kuliah, lebih banyak studi literatur dan menulis lagi, dan bantu orang tua menjalankan bisnis. Emang bisnis apa, Rhein? Itu loh, penyedia jasa peralatan acara. Jadi sejak 2006 keluarga Rhein punya usaha sendiri untuk persewaan tenda, kursi, meja, sound system, dekorasi, alat katering, AC, kipas angin, lampu kristal, dsb..dsb... Jadi buat yang mau punya acara nikahan, khitan, pesta kantor, ultah, konser musik, dll, bisa loh datang ke tempat Rhein dengan perusahaan Tenda Destarata dan di email tenda_desta@yahoo.com. Kami juga melayani wilayah Jabodetabek. Kok lu jadi promosi gini, sih? Ya biarin lah ya.. Blog gw perusahaan keluarga gw... Hahaha...
Balik cerita tentang resign, ini yang kedua kali dan gw nggak pernah menyesali setiap kali gw resign. Jadi pengangguran itu jeleknya cuma nggak punya duit, kok. Hahahaha... Paling jatah backpacking menghilang. Untuk urusan rezeki, selama masih usaha, Allah nggak pernah tidur. :)
Btw, doakan juga novel gw bisa cepat terbit ya... Semoga doa pembaca di bulan Ramadhan cepat diijabah.. :)
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on August 16, 2012 21:40
July 13, 2012
Mein Traumhaus!

Mein Traumhaus ist minimalistische und ziemlich groß und modern. Es hat eine Garage, eine Terrase, fünf zimmer, eine Badezimmer, eine Küche, und eine Bibliothek. Im Wohnzimmer sind zwei Sofas, ein Tisch, und eine vase mit Blume. Im Familienzimmer sind ein Teppich und ein Fernseher. Die Küche ist klein aber hat modern Küchenausstattung. Die Esszimmer stehen einen Tisch und vier Stühle. Das ist eine Gastezimmer für eine Freundnen und eine Familien. Das Schlafzimmer ist hell und ruhig denn es hat Fenster zum Hinterfof. Das steht eine Bett und eine Schrank. Das haus hat eine groß Bibliothek, da stehen Bücherregale haben hier viel Platz und eine Sofa. Die Bibliothek is hell denn es hat Wand aus Glas. Das haus hat Hinterhof. Der Hinterhof is groß und mit Blumen geschmückt. Ich kann schön Hinterhof sehen von Esszimmer, Schlafzimmer, und Bibliothek.
Das ist ein Traum. Ich hoffe, Ich kann es realisieren. Der Design von mein Vater. Danke, Vater... :)
ps: Bahasa Jerman gw amatir ya, bo... Kalau ada yang ahli baca jangan diomelin... hihihi.. :p
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on July 13, 2012 09:26
June 30, 2012
Happines of June :)
Juni memang bulan yang spesial. Sampai-sampai seorang sastrawan pak Sapardi Djoko Damono pun membuatkan puisi tentangnya dengan judul, "Hujan di Bulan Juni".
Buat Rhein, Juni tentu lebih-lebih spesial. Alasan utama tentu karena Rhein dan Furky lahir di bulan ini, dengan tanggal lahir beda 1 minggu. Itu tandanya, selalu ada syukuran dan keluarga kumpul lengkap di tiap bulan ini. Juni juga identik dengan libur sekolah, libur kuliah, summer time kalau kata orang Eropa & Amrik sana, meski nggak berlaku libur buat kuli Jakarta. Hiks.. Intinya, Juni selalu ditunggu-tunggu oleh keluarga Rhein. Ultah, makan-makan, liburan. Cihuy!
Nah, Juni di tahun ini juga spesial banget buat Rhein. Pertama, si pacar datang. Iya, si pacar yang sedang merantau di pulau terpencil bernama Tarakan di Kalimantan Timur itu, dapet izin libur dari kantor dan datang ke Bogor! Hohoho... Kejutan! Senaaannngg banget! Karena Rhein belum bisa cuti dan ngga ada long weekend, kami cuma melakukan aktivitas orang pacaran kayak biasanya. Jalan-jalan, makan di resto, nonton bioskop, foto narsis. Standar? Emang! Namun, bagi Rhein yang anggota Laskar LDR dari zaman baheula, kegiatan sederhana itu tetap spesial pastinya. Thanks for coming, om Beruang. You always know how to make me happy :).
Kedua, Rhein juga ketemu penulis yang dari duluuuuuuu Rhein kagumi dan admire banget! Dewi Lestari. Waktu tahu ada book signing Partikel di Botani Square, udah catet dari jauh-jauh hari harus dateng! Meski cuma ketemu nggak sampai 5 menit dan hanya sekedar foto dan tanda tangan, tapi udah seneng banget. :D
Ketiga, ini yang paling menyenangkan. Rhein akhirnya bisa melakukan aktivitas yang dari dulu pengeeeeenn banget dilakuin. PARALAYANG! Iya, TERBANG! Hahaha... Sebenarnya udah pengen nyobain dari dulu, tergiur oleh postingan nona seeska cantik ini. Sayangnya, baru bulan ini kesampaian. Pikir-pikir, pengen merayakan ulang tahun bareng adek yang spesial. Kalau cuma makan-makan di resto pastinya udah biasa. Nah, tahun ini harus spesial. Jadi setelah dari bulan lalu sms-an sama Pak Anwar, CP untuk paralayang di Puncak, tanya-tanya masalah cuaca, dll, berangkatlah Rhein sekeluarga ke puncak di saat weekend.
Pergi ke puncak subuh-subuh, sayang banget ternyata anginnya kenceng banget, bahaya buat terbang. Huhuhu... Kami harus nunggu lamaaaaa sampai siang, angin juga masih kenceng. :'(. Untungnya di wilayah paralayang ini emang sering jadi tempat wisata. Tempatnya enak buat nongkrong, bisa liat pemandangan indah ke bawah, banyak warung makan, deket masjid At-Taawun, enak buat wisata lah pokoknya. Jadi, menunggu juga nggak bete-bete amat. Cuma yang perlu dikhawatirkan adalah kalau pulang terlalu sore pasti macetnya luar biasa.
Baru jam 3 sore angin mulai bagus (foto di samping itu alat penanda angin, pas angin nggak bagus). Perjuangan banget yak, buat nunggu. Setelah ada test-drive dari beberapa pilot paralayang dan siswanya (ada juga sekolah paralayang di sini), barulah pengunjung diperbolehkan terbang. Ternyata, yang mau terbang banyak, lho! Tapi antrenya nggak lama-lama banget karena peralatan dan pilot tandemnya banyak. Oiya, ada peraturan kalau mau ikut terbang, berat badan maksimum 80 kilogram :D.
Diantara kami bertiga, yang pertama terbang adalah Furky, Bani, lalu Rhein. Bukan karena alasan takut lho ya, Rhein terbang terakhir. Tapi lebih karena Rhein yang bawa digicam jadi bisa foto-foto mereka dulu pas persiapan. Hehehe... Setelah semua atribut terpasang dan parasut dibentangkan, Bismillah... Ada pilot tandem yang menaikkan parasut (kayak nerbangin layang-layang), dan Rhein dibantu lari kencang di landasan. Kemudian, SYUUUUTTT TERBAAANGG!! Parasut mengembang tertiup angin. Kami berada di ketinggian entah berapa ratus meter di atas tanah. Tinggiiiiii banget!
Takut kah? Awalnya, iya bangeeett! Itu tingginya MasyaAllah, kalau jatuh gimana, kalau kebawa angin yang tiba-tiba kenceng ke gunung salak gimana. Sempet pas atribut sudah lengkap terpasang, Rhein pengen membatalkan. Namun apa daya udah disuruh lari di landasan. Ya udah deh, lahaula... :))
Ternyata rasanya? Rasanya? Senaaaaannnggg... Kayak burung terbang. Emangnya tahu gimana rasanya burung terbang? :p Udara sore, jingga matahari, awan putih, dan pemandangan hijaunya puncak. Keren banget! Speechless, deh... Tapi, terbang di udara dengan kondisi angin sepoi langsung menerpa kulit itu emang bener-bener menyenangkan. Pengen lagi, tapi mahal... Hahaha.. Biaya paralayang ini 300.000 per orang. Etapi kalau mau sekolah paralayang, cukup bayar 6 atau 7 juta gitu (lupa gw) untuk 40 kali terbang dan sampai bisa. Siapa tahu ada pembaca yang minat. Hehehe...
Oiya, paralayang ini ditangani sama pilot-pilot yang udah ahli, rata-rata atlet nasional, dengan peralatan bagus dan aman. Kalau pun jatuh, ya masih ke bawah... *maksutloRhein*. Jangan sampai lah ya... :). Tapi para pilot tandem ini ga mau ambil resiko kok kalau angin nggak bagus nggak bakal maksain terbang. Buat yang pengen mencoba tantangan, paralayang worth it dicoba!
The last happiness in June, alhamdulillah Rhein bisa nulis lagi. Sebuah novel, BELOM TERBIT, dan berencana untuk diikutkan lomba. Doakan semoga menang ya, teman-teman... Kalau pun nggak menang, Rhein seneng kok udah bisa nulis dan berkarya lagi, meski untuk diri sendiri... :)
Here we go for another pictures...
All in all, see you again, June... ^_^
Love is real, real is love. -John Lennon-
Buat Rhein, Juni tentu lebih-lebih spesial. Alasan utama tentu karena Rhein dan Furky lahir di bulan ini, dengan tanggal lahir beda 1 minggu. Itu tandanya, selalu ada syukuran dan keluarga kumpul lengkap di tiap bulan ini. Juni juga identik dengan libur sekolah, libur kuliah, summer time kalau kata orang Eropa & Amrik sana, meski nggak berlaku libur buat kuli Jakarta. Hiks.. Intinya, Juni selalu ditunggu-tunggu oleh keluarga Rhein. Ultah, makan-makan, liburan. Cihuy!

Nah, Juni di tahun ini juga spesial banget buat Rhein. Pertama, si pacar datang. Iya, si pacar yang sedang merantau di pulau terpencil bernama Tarakan di Kalimantan Timur itu, dapet izin libur dari kantor dan datang ke Bogor! Hohoho... Kejutan! Senaaannngg banget! Karena Rhein belum bisa cuti dan ngga ada long weekend, kami cuma melakukan aktivitas orang pacaran kayak biasanya. Jalan-jalan, makan di resto, nonton bioskop, foto narsis. Standar? Emang! Namun, bagi Rhein yang anggota Laskar LDR dari zaman baheula, kegiatan sederhana itu tetap spesial pastinya. Thanks for coming, om Beruang. You always know how to make me happy :).


Pergi ke puncak subuh-subuh, sayang banget ternyata anginnya kenceng banget, bahaya buat terbang. Huhuhu... Kami harus nunggu lamaaaaa sampai siang, angin juga masih kenceng. :'(. Untungnya di wilayah paralayang ini emang sering jadi tempat wisata. Tempatnya enak buat nongkrong, bisa liat pemandangan indah ke bawah, banyak warung makan, deket masjid At-Taawun, enak buat wisata lah pokoknya. Jadi, menunggu juga nggak bete-bete amat. Cuma yang perlu dikhawatirkan adalah kalau pulang terlalu sore pasti macetnya luar biasa.

Baru jam 3 sore angin mulai bagus (foto di samping itu alat penanda angin, pas angin nggak bagus). Perjuangan banget yak, buat nunggu. Setelah ada test-drive dari beberapa pilot paralayang dan siswanya (ada juga sekolah paralayang di sini), barulah pengunjung diperbolehkan terbang. Ternyata, yang mau terbang banyak, lho! Tapi antrenya nggak lama-lama banget karena peralatan dan pilot tandemnya banyak. Oiya, ada peraturan kalau mau ikut terbang, berat badan maksimum 80 kilogram :D.
Diantara kami bertiga, yang pertama terbang adalah Furky, Bani, lalu Rhein. Bukan karena alasan takut lho ya, Rhein terbang terakhir. Tapi lebih karena Rhein yang bawa digicam jadi bisa foto-foto mereka dulu pas persiapan. Hehehe... Setelah semua atribut terpasang dan parasut dibentangkan, Bismillah... Ada pilot tandem yang menaikkan parasut (kayak nerbangin layang-layang), dan Rhein dibantu lari kencang di landasan. Kemudian, SYUUUUTTT TERBAAANGG!! Parasut mengembang tertiup angin. Kami berada di ketinggian entah berapa ratus meter di atas tanah. Tinggiiiiii banget!
Takut kah? Awalnya, iya bangeeett! Itu tingginya MasyaAllah, kalau jatuh gimana, kalau kebawa angin yang tiba-tiba kenceng ke gunung salak gimana. Sempet pas atribut sudah lengkap terpasang, Rhein pengen membatalkan. Namun apa daya udah disuruh lari di landasan. Ya udah deh, lahaula... :))

Oiya, paralayang ini ditangani sama pilot-pilot yang udah ahli, rata-rata atlet nasional, dengan peralatan bagus dan aman. Kalau pun jatuh, ya masih ke bawah... *maksutloRhein*. Jangan sampai lah ya... :). Tapi para pilot tandem ini ga mau ambil resiko kok kalau angin nggak bagus nggak bakal maksain terbang. Buat yang pengen mencoba tantangan, paralayang worth it dicoba!

Here we go for another pictures...




All in all, see you again, June... ^_^
Love is real, real is love. -John Lennon-
Published on June 30, 2012 07:20