Trinity's Blog, page 8

November 2, 2019

Apa kabar Mr. X?

Masih ingat kisah Mr. X di buku The Naked Traveler 1? Judulnya “I’m just a lucky bastard!”, bisa dibaca di sini. Singkat cerita, dia adalah seseorang di dunia maya yang tidak pernah bertemu sebelumnya tapi memberikan saya tiket pesawat gratis ke Amerika Serikat dan Puerto Rico pada 2001, setelah kejadian 911.





Di film Trinity, The Nekad Traveler yang tayang pada 2017, saya eh Maudy Ayunda tiba-tiba diberi tiket oleh seseorang yang tidak dikenal ke Maldives. Ya, dia lah Mr. X yang sama! Hanya saja demi kepentingan film, destinasinya pindah dari Amerika Serikat ke Maldives. Kalau penonton belum membaca buku The Naked Traveler tentu membingungkan. Tapi ini memang kisah nyata yang bikin sirik sejuta umat dan pasti akan bertanya, “Kenalin dong Mr. X!”





Jadi siapakah Mr. X? Ini saya
ingatkan lagi deskripsinya yang dikutip dari buku The Naked Traveler 1: “Dia seorang lelaki berusia 36
tahun, seorang Indonesia yang sudah tinggal di Amerika selama 15 tahun”. Kita semua pasti beranggapan dia tajir abis karena
kok enteng banget ngasih-ngasih tiket gratis, ke orang nggak kenal pula! Iya,
saya juga beranggapan begitu. Saya aja masih penasaran kenapa dia mau-maunya
ngasih tiket ke saya, padahal kenal juga kagak.





Well, begini
kisah selanjutnya…





Setahun setelah perjalanan
saya ke Amerika Serikat yang dibayari tiketnya sama Mr. X, akhirnya saya
bertemu langsung dengannya! Waktu itu Mr. X ada urusan bisnis ke Jakarta,
jadilah saya janjian ketemu di sebuah restoran di mal. Saya geret sahabat saya
si Sri yang karena ingin menemui dialah saya ke Dallas dibayarin Mr. X.





Mr. X ternyata adalah seorang pria yang bersahaja. Saya langsung tahu dia WNI keturunan Tionghoa karena matanya sipit dan kulitnya cerah. Perawakannya biasa saja, tingginya sekitar 170 cm dengan berat seimbang. Orangnya santai aja, bukan macam om-om serius yang punya bisnis banyak. Kami pun mengobrol santai. Mr. X sudah berkeluarga. Istri dan dua anaknya tinggal di California, Amerika Serikat. Dia bisnis ekspor impor barang dari Indonesia.





Saat itu karena saya akan
berulang tahun dalam waktu dekat, Mr. X bertanya, “Wah, kamu mau kado apa?”





Saya jawab, “Now you know that I love traveling.”





“Bagaimana kalau saya kasih tiket lagi?”





“Serius? Wah, mau banget!”





“Kamu paling pengin traveling
ke mana sekarang?”





“New Zealand.”





“Oke. Besok saya fax tiketmu ke kantor ya?”





“Ini beneran?”





“Masa saya bohong? Kan sudah terbukti kamu nyampe ke
Amerika karena tiket dari saya!”





Deg. Rasanya saya langsung
mau salto jumpalitan di dalam restoran itu! Ini orang gila benar! Dapat tiket
ke Amerika Serikat dan Puerto Rico aja udah kebangetan beruntungnya saya, eh
ini ditambah lagi ke New Zealand! Nggak tahu mau gimana lagi saya berterima
kasih kepada Mr. X. Dia pun tidak meminta apa-apa.





Besoknya beneran saya dikirim tiket Jakarta-Auckland dan Christchurch-Jakarta naik maskapai bintang lima! Saya yang masih nggak percaya lalu menelepon maskapainya untuk mengecek kebenarannya. Dan lagi-lagi benar tiket itu atas nama saya! Singkat cerita, saya pun traveling bareng Sri dan Jade, kisah-kisah serunya juga ada di buku.





Fast forward
beberapa tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan Mr. X di Jakarta. Saya
menemuinya di apartemennya di bilangan Senayan. Supaya nggak awkward, saya geret aja si Nina.
Apartemennya ternyata supermewah. Lift-nya
aja langsung terbuka ke pintu apartemennya!





Kami pun mengobrol
ngalor-ngidul. Saya bercerita bahwa saya sudah nggak kerja kantoran lagi, tapi
sudah jadi full time traveler dan freelance writer. Saya memberikan buku The Naked Traveler 1 kepada Mr. X sambil
berkata, “I made a
story out of you in this my very first book
!”





“Wah, terima kasih!” jawabnya
terkekeh sambil membolak-balik halamannya.





“Saya masih punya satu pertanyaan,” tanya saya lagi.





“Apa itu?”





“Kenapa Anda mau ngasih tiket ke orang yang tidak
dikenal macam saya?”





“Saya happy
aja kalau bisa bikin orang happy.”





That’s it.
Jawaban yang tampak sangat sederhana tapi maknanya sangat dalam. Saya pun tidak
melanjutkan pertanyaan.





Selama beberapa tahun kami
masih sesekali bertukar pesan lewat SMS tapi kami tidak pernah bertemu lagi.
Sampai suatu hari saya ganti ponsel, nomor ponselnya Mr. X hilang! Sementara platform chat dan akun email yang biasa
kami gunakan pun sudah tutup saking jadulnya.





Untuk Mr. X di mana pun Anda
berada, saya berterima kasih. Saya akan happy
sekali kalau Anda mau menghubungi saya.









Catatan: Penasaran gimana Mr. X digambarkan di layar lebar? Jangan lupa nonton film lanjutannya berjudul “Trinity Traveler” pada 28 November 2019 di bioskop ya? Berikut trailer-nya:




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 02, 2019 00:57

August 13, 2019

Jalan-jalan ke mana di Pakistan?

Jalan-jalan di Pakistan? Emang bisa? Bisa banget! Tapi sebelumnya, baca ini dulu deh supaya ada gambaran. Karena tidak banyak informasi tentang pariwisata di negara ini, maka saya bikin daftar saja ya?





Islamabad





Mendengar nama negara
Pakistan, mungkin kita akan membayangkan ibukotanya awut-awutan. Tapi jangan
salah, Islamabad ternyata benar-benar berbeda! Kotanya luas, modern,
dan sangat hijau. Pakistan memang sengaja
memindahkan
ibukotanya dari Karachi yang sudah sumpek
ke Islamabad yang dibangun khusus. Jadilah Islamabad sebagai ibu kota
administratif di mana pusat pemerintahan dan kedutaan besar berada, sementara
Karachi lebih sebagai ibu kota finansial tempat pusat bisnis. By the way,
Islamabad itu artinya “kota Islam”. Abad dari bahasa Urdu ini artinya adalah “kota”, jadi lumrah di Pakistan bila ada
nama kota berakhiran “abad”, misalnya
Abbottabad dan Eminabad.





Beberapa tempat yang wajib
dikunjungi adalah;





Faisal Mosque – dinamai Fasial karena masjid ini sumbangan Raja Faisal dari Arab Saudi. Arsitekturnya unik karena mesjidnya bukan berbentuk kubah namun mirip tenda Bedouin. Bisa menampung 10.000 umat, mesjid ini pernah menjadi mesjid terbesar di dunia sampai tahun 1993. Mesjid besar berwarna putih terletak di bukit menjadikannya landmark Islamabad.
















View this post on Instagram


























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 27, 2019 at 6:21am PDT







Pakistan Monument – Ini Monas-nya Pakistan, tapi bukan berbentuk menara melainkan empat kelopak bunga raksasa yang merepresentasikan keempat provinsi di Pakistan. Karena letaknya di ketinggian, monumen berwarna kemerahan ini dapat terlihat dari segala penjuru kota. Masih satu kompleks, terdapat museum bagus yang menggambarkan sejarah terbentuknya negara Pakistan. Jalan-jalan di sekitar taman Shakarparian juga nyaman dan bisa melihat kota dari atas bukit.









Lok Virsa Museum – Budaya Pakistan dengan beragam sukunya terpampang di museum etnologi yang luas ini. Menarik melihat pakaian-pakaian adatnya yang berwarna-warni, dongeng rakyat yang isinya kebanyakan tentang kisah cinta tidak disetujui, dan meski negara Islam namun pemberdayaan wanita itu baik sekali sampai ada display khusus tentang prestasi wanita Pakistan mulai dari penyanyi sampai pendaki gunung Everest.





Taxila – Sekitar sejam dari Islamabad, terdapat situs arkeologi yang sangat impresif. Reruntuhannya saja ada yang masih ada sejak abad ke-6 SM, pantas saja masuk ke dalam UNESCO World Heritage Site. Kota kuno ini saja disebut di kisah Mahabarata dan Ramayana di mana disebut sebagai kota indah yang ditemukan oleh Barata. Di kitab Jataka agama Buddha disebut bahwa Taxila adalah ibu kota Kerajaan Gandhara. Di sini lah universitas tertua di dunia berada, yaitu tempat pengajaran agama Buddha pada abad ke-1 yang reruntuhannya bisa kita lihat. Bahkan Tomas, murid Yesus, pernah berkhotbah di sana.









Lahore





Lahore, ibu kota provinsi
Punjab, disebut sebagai ibu kota budaya di Pakistan, mungkin karena terdapat
tiga situs yang termasuk UNESCO World Heritage Site. Mungkin juga karena kuliner
yang enak berasal dari sini, atau karena orang-orangnya yang kece. Kota ini
memang agak awut-awutan namun bangunannya yang banyak bekas peninggalan Inggris
sehingga membuatnya cantik. Lahore pernah diduduki Kerajaan Mughal pada abad
16-18 yang bangunannya berada di dalam Walled City.





Nah, ini sebagaian tempat
yang menarik untuk dikunjungi;





Lahore Fort – Kompleks benteng seluas lebih dari 20 hektar ini terdapat 21 bangunan. Yang paling bikin saya nganga adalah Sheesh Mahal atau “Palace of Mirrors” yang dibangun oleh Shah Jahan pada abad ke-16. Istana ini dibangun khusus untuk istrinya Mumtaz Mahal saking cintanya. Nah, Raja ini pula yang membangun Taj Mahal untuk makam istrinya. Ingat kan? Makamnya aja bagus, apalagi rumahnya! Temboknya terbuat dari marmer lalu dihiasi kaca kecil-kecil sampai ke langit-langitnya. Bangunan sebelahnya adalah Naulakha Pavilion, rumah musim panas sang istri yang tembok marmernya dihiasi bebatuan mulia. Bangunan lain juga cantik-cantik, seperti Alamgiri Gate dan Moti Masjid.









Lahore Museum – Menempati bangunan kemerahan bergaya arsitektur Indo-Mughal yang dibangun pada 1865, yang membuat terkenal karena berisi karya seni Buddha mulai dari zaman Indo-Greek dan Kerajaan Gandhara. Patung paling dicari pengunjung adalah The Fasting Buddha yang dibuat abad ke-2 SM. Ayahnya Rudyard Kipling, penulis Inggris yang terkenal itu, adalah kurator pertama di museum ini.









Wagah Border – Setiap sore sekitar jam 5, orang berbondong-bondong ke perbatasan Pakistan-India ini. Intinya “cuma” untuk menyaksikan upacara penurunan bendera, tapi serunya minta ampun! Di sisi Pakistan ada ratusan orang yang duduk di bangku berundak, di sisi India ada sekitar 3000 orang duduk di setengah stadion. Dimulai dengan parade baris-berbaris pasukan Pakistan yang tingginya semua hampir dua meter dengan mengangkat kaki setinggi mungkin, lalu para penonton meneriakkan yel-yel, “Allahu Akbar! Pakistan Zindabad!”, sampai akhirnya bertemu dengan pasukan India di pagar perbatasan untuk menurunkan bendera bersama. Sungguh lucu dan seru melihat perseteruan dan persatuan kedua negara ini!







Khewra Salt Mine – Tiga jam berkendara dari Lahore terdapat tambang garam yang sangat luas. Di sini lah garam hits ala SJW yang disebut “Himalayan Salt” berasal. Garam berwarna pink ini ditambang dari perut bumi sampai tujuh lantai ke bawah. Masuknya juga kudu naik kereta di kegelapan. Pemandangannya justru jadi cantik karena sebagian batunya dibentuk dan diberi lampu dari dalamnya. Di gua ini juga disediakan beberapa ruang untuk pengobatan asma karena dipercaya asma dapat disembuhkan dengan menghirup garam tambang. Herannya, orang lokal sendiri justru tidak memakai garam ini kecuali untuk hiasan lampu. Garam ini justru diekspor ke negara maju yang dibikin packaging keren, dikatakan lebih sehat daripada garam biasa, dan dihargai sangat mahal. Padahal sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah bahwa garam tambang lebih sehat. Tambah nyesek ketika saya melihat bapak-bapak tua para pekerja tambang mengangkut bebatuan yang begitu beratnya. Aduh!
















View this post on Instagram




























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 24, 2019 at 10:16pm PDT







Katas Raj Temples – Tak jauh dari Khewra, terdapat candi Hindu yang disebut dalam kisah Mahabarata tempat para Pandawa pernah tinggal pada saat pengasingan mereka. Air di kolamnya yang suci dipercaya berasal dari air mata dewa Siwa yang menangis ketika istrinya, Sati, meninggal dunia.
















View this post on Instagram



























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 25, 2019 at 10:12pm PDT







(Bersambung)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 13, 2019 00:02

May 19, 2019

Anggapan vs Kenyataan tentang Pakistan

Setelah saya traveling ke 90 negara, fix Pakistan jadi negara yang paling cantik alamnya! Sayangnya masih banyak keraguan untuk datang ke sana karena banyaknya anggapan negatif tentang Pakistan. Makanya saya senang traveling, salah satunya karena ingin membuktikan sendiri apakah anggapan orang terhadap sesuatu itu benar atau tidak.





Tulisan ini saya buat berdasarkan polling di media sosial tentang apa yang ingin Anda ketahui atau khawatirkan tentang Pakistan yang dirangkum sebagai berikut;





Negara sedang berperang?



Pakistan merdeka dari Inggris sejak 1947 dan setelah konsitusinya berubah ia menjadi Republik Islam Pakistan sejak 1956. Sejak pemisahan Pakistan-India pada 1947 menjadikan kedua negara bersitegang sampai saat ini. Sumber utama konfliknya adalah isu teritorial Kashmir: India dengan Jammu dan Kashmir, sementara Pakistan dengan Gilgit-Baltistan dan Azad Kashmir – mereka saling mengklaim wilayah semua itu milik salah satu negara. Kalau Anda ke wilayah tersebut, isu antarnegara ini sangat sensitif jadi jangan sampai terlontar ya?
Saya sendiri sempat deg-degan ketika tiket pesawat Jakarta-Bangkok-Lahore dibatalkan karena airspace masih ditutup akibat Pakistan-India lagi bertegangan tinggi sejak insiden pada 26 Februari 2019. Terpaksa lah ganti tiket dengan rute yang muter jauh jadi Jakarta-Doha-Lahore karena pesawat tidak boleh melewati udara India kalau mau mendarat di Pakistan, dan sebaliknya.














View this post on Instagram






























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 23, 2019 at 10:55pm PDT







2. Negara miskin?





Kalau berdasarkan GDP per capita, Pakistan memang masih di bawah Indonesia dan India, tapi saya sih nggak pernah melihat orang miskin sampai tidur di jalan atau di rumah kardus. Aura kemiskinan sebuah negara itu terasa ketika saya ke Nepal misalnya, tapi di Pakistan nggak begitu. Tidak pernah lihat orang minta-minta, ataupun agresif memaksakan sesuatu.





3. Tidak aman berwisata?





Ini tergantung ke mana sih, makanya perlu riset yang benar. Pakistan itu sangat luas, kira-kira seluas negara Prancis. Masalahnya, di barat Pakistan itu berbatasan dengan Afghanistan yang sedang bergejolak jadi kadang tetangganya kena. Sementara keberadaan kelompok ekstrimis fundamentalis yang doyan ngebom jadi masalah besar di seluruh dunia, ada juga di Pakistan (seperti juga di Indonesia).
Jadi ke mana dong? Kalau lihat peta Pakistan, bagi dua aja. Yang di kanan mulai dari propinsi Sindh di selatan sampai ke propinsi Gilgit-Baltistan (GB) di utara sih aman. Yang di kiri ada propinsi Balochistan itu yang saat ini harus dihindari. Sementara di propinsi Khyber Pakhtunkhwa (KPK) harus hati-hati – yang aman itu mulai dari Chitral ke timurnya. KPK ini lah wilayah tempat Malala pemenang Nobel perdamaian itu berasal. Karena Taliban melarang wanita bersekolah makanya dia melawan. Kebayang kan gimana suasananya di sana?
Saran saya, fokuslah untuk berwisata di GB karena alamnya paling kece sehingga paling banyak didatangi turis lokal dan asing. Yang paling oke, di GB itu crime rate-nya nol saking amannya! Makanya rute saya masuk dari Lahore, ke Islamabad, terbang ke Skardu, lalu keliling GB naik mobil sampai balik lagi ke Islamabad. Pulangnya lewat KPK sih, malah sempat menginap di Kota Besham, tapi Puji Tuhan aman-aman aja.
Dari hasil riset online, secara garis besar wilayah yang aman digambarkan pada peta ini:





Sumber: smartraveller.gov.au



4. Ke mana-mana harus dikawal tentara?





Nggak tuh! Kalau ke Gilgit-Baltistan (GB), tentara memang kelihatan banyak. Itu karena wilayah tersebut berbatasan dengan India, Cina, dan Afghanistan. Kedua, GB itu masih daerah dispute antara Pakistan dan India. Ketiga, tentara memang berkuasa di seluruh Pakistan – bukan cuman menjaga keamanan tapi mereka juga punya banyak perusahaan, mulai dari sekolah, rumah sakit, sampai konstruksi jalan dan provider seluler.
Sebagai turis asing yang masuk ke GB, kita wajib mendaftarkan diri di bandara atau di perbatasan darat dengan mengisi nama, paspor, nomor visa, tujuan, dan penginapan pada sebuah kartu. Jangan sampai hilang karena akan dicek lagi pas keluar GB. Ketika melewati perbatasan antar district ada check point di mana kita harus lapor diri. Untung guide saya pinter, dia sudah mem-print di kertas-kertas kecil berisi informasi tentang saya jadi tinggal dikasih lewat jendela tanpa harus menulis di buku besarnya – sangat menghemat waktu!





5. Wanita harus pakai jilbab?





Sama sekali tidak! Tidak seperti Iran dan Arab Saudi yang mewajibkan semua wanita memakai baju serba tertutup, di Pakistan bebas! Wanita Pakistan kebanyakan memang masih memakai baju tradisional yang disebut shalwar kameez berupa celana panjang, blus tunik, dan kerudung yang ditaro gitu aja di kepala dan kelihatan rambutnya. Di kota besar sih mereka berbaju biasa aja pake jeans dan t-shirt. Cuman demi menghormati, saya sih selalu pakai celana panjang dan baju berlengan. Hanya kalau masuk ke dalam mesjid aja saya pake baju berlengan panjang dan kerudung. Eh kalau kalian cowok, plis jangan juga pakai celana pendek dan kaos yukensi demi menghormati pria Pakistan yang sebagian besar berpakaian tradisional berupa blus tunik dan celana panjang. Saya sendiri anti memakai pakaian ala lokal ketika traveling. Lagipula, biar kita mau pake baju lokal kayak apapun udah pasti ketahuan kita bukan orang lokal kok! Jadi nggak usah sok-sokan biar blend in, ngaku aja cuman buat foto di medsos kan? Huehehe!














View this post on Instagram





























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on May 9, 2019 at 4:38am PDT







6. Visanya susah?





Meski saya keburu pergi ke Pakistan melalui proses apply visa di Kedutaan Pakistan di Jakarta, namun pas saya di sana Pakistan telah memberikan kemudahan berupa e-visa kepada 179 negara dan Visa on Arrival kepada 50 negara di dunia! Pemegang paspor Indonesia gimana dong? Termasuk, shay! Horee! Coba aja di https://visa.nadra.gov.pk/ Kalau butuh informasi lebih lanjut, silakan tanya langsung ke Kedutaan Pakistan di http://www.pakembjakarta.org/














View this post on Instagram































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on May 11, 2019 at 5:44am PDT







7. Traveling di Pakistan itu susah?





Traveling ke Pakistan itu tidak untuk semua orang sih, apalagi untuk liburan keluarga bawa anak-anak. Bukannya soal keamanan, tapi fasilitas dan infrastruktur memang masih kurang. Listrik sering mati senegara, internet lambat bahkan sering nggak ada, jalan banyak yang rusak berat, dan tidak semua berbahasa Inggris. Perlu diketahui, provider seluler Indonesia saya nggak nyala di Pakistan dan kartu debit bank terbesar Indonesia pun tidak bisa buat ambil duit di ATM manapun di Pakistan.
Kalau Anda muda, kuat, dan punya banyak waktu, silakan menggunakan kendaraan umum ke mana-mana. Saya sih traveling sendiri dan cuma punya 2 minggu. Lalu penginnya memaksimalkan waktu di Gilgit-Baltistan yang bergunung-gunung sehingga bagusnya ditempuh dengan cara road trip, jadi saya pakai mobil dan guide lokal pribadi yang oke banget. Kalau perlu rekomendasi, silakan japri aja dengan syarat jangan nawar gila-gilaan ya?
Namun semuanya itu akan terbayar dengan keindahan alamnya, keramahan orang-orangnya (sampai bikin mewek saking baiknya), serta budaya dan sejarah yang sangat menarik!
Tulisan selanjutnya nantikan di blog ini ya?


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 19, 2019 22:31

May 12, 2019

Travel Language Wristband

Pernah nggak kalian traveling
ke negara yang tidak mengerti bahasanya? Senegara jarang ada yang ngerti bahasa
Inggris, belum lagi tulisannya keriting sampai bikin pusing? Mau nanya toilet
di mana nggak ngerti, mau ke bandara nggak ngerti, mau nanya WiFi nggak ngerti
juga. Pfft!





Coba deh pake “Travel Language Wristband” seperti di foto ini. Membantu banget untuk berkomunikasi di negara yang ribet bahasanya. Karena internet belum tentu selalu ada dan ponsel belum tentu selalu nyala, jadi dengan pakai gelang ini niscaya perjalanan lancar!













View this post on Instagram





























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 17, 2019 at 10:09pm PDT







Nonton deh video tutorialnya supaya ngerti cara penggunaannya:











Saya sendiri udah pake gelang kayak gini sejak perjalanan setahun keliling dunia ke 21 negara yang tidak berbahasa Inggris (baca deh di buku “The Naked Traveler: Round-the-World Trip”). Simbolnya dimengerti secara universal jadi lancar. Dipakai pun bikin tambah kece!





Kabar gembira, sekarang kalian bisa mendapatkan “Travel Language Wristband” ini di http://tokopedia.com/tnt-travelstore seharga Rp 49.000 aja (belum termasuk ongkos kirim)!





Berbahan karet yang nyaman di kulit, gambar emboss, lebar 1,75 cm X panjang 21.75 cm, ada 2 kancing adjustable untuk cewek dan cowok, tersedia warna putih, hitam, dan biru muda. 100% proudly made in Indonesia designed by me.





Buruan cus karena persediaan terbatas!





Happy travels!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 12, 2019 21:59

April 29, 2019

Cantiknya Bosnia & Herzegovina!

Heh?
Di mana itu? Bukannya lagi perang?





Negara Bosnia dan Herzegovina (iya, namanya dua gitu, pakai kata “dan” pula) terletak di semenanjung Balkan, Eropa Selatan tapi di Timur. Perangnya sudah lama berakhir. Lebih dari 20 tahun yang lalu. Kalau Anda masih ingat perang Bosnia, berarti Anda cukup tuwir kayak saya.





Sejarah tentang negara ini
sangat menarik. Presidennya aja ada tiga! Kapan-kapan saya tulisin di blog ini
deh. Sementara ini, saya kasih gambaran dulu tentang destinasi pariwisatanya
yang keren-keren dan itinerary-nya
selama seminggu.





Sarajevo





Sarajevo (dibaca: Sarayevo) adalah ibu kota Bosnia & Herzegovina. Jalan-jalan langsung aja ke kota tuanya, dimulai dari Bašcaršija yang dibangun abad ke-15. Sepanjang jalan ada restoran, kafe, toko suvenir dan cowok-cowok Bosnia yang kece-kece. Di sana memang tempat to see and to be seen. Uniknya dalam satu area berdekatan ada mesjid, gereja Katholik, gereja Orthodox dan sinagog. Jangan lupa ke Vijecnica (City Hall) yang bangunan dan interiornya paling cantik. Di dalamnya ada museum sejarah kota Sarajevo. Berjarak 100 meter terdapat Latin Bridge tempat pembunuhan Franz Ferdinand yang menyebabkan Perang Dunia I.





Yang membanggakan adalah berkunjung ke Mesjid Istiqlal. Namanya memang sama dengan yang ada di Jakarta karena mesjid di Sarajevo ini memang diberikan oleh bangsa Indonesia kepada masyarakat Bosnia pada 2001 sebagai simbol solidaritas dan persahabatan antarnegara.













View this post on Instagram





























A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 5, 2019 at 3:03am PST







Melihat Sarajevo dari atas bisa naik cable car menuju Trebevic yang berada di ketinggian 1,627 meter. Saat saya ke sana pada April 2019, masih tertutup salju. Berjalan kaki untuk makan siang di Pino Nature Hotel yang keren itu jadi agak kesulitan karena super licin esnya. Kalau mau night life ala anak muda Bosnia (yang mayoritas Muslim dan tidak minum alkohol), masuk aja ke shisha bar di mana aja. Musiknya hingar bingar tapi nggak ada yang joget, cuman duduk mengisap shisha sambil goyang-goyang kepala.





Cable Car menuju Trebevic



Travnik





Bekas ibu kota Bosnia pada 1699-1850 ini berjarak 1,5 jam dari Sarajevo. Banyak bangunan peninggalan sejarah zaman Ottoman, seperti rumah, mesjid, dan clock tower. Naik deh ke bentengnya yang berada di puncak bukit agar dapat melihat cantiknya kota medieval dari atas. Sebagai penulis, paling berkesan ketika saya berkunjung ke rumahnya Ivo Andric. Dia adalah penulis Yugoslavia pemenang Nobel di bidang sastra pada 1961. Rumah kelahirannya di Travnik dijadikan museum memorial yang berisi sejarah hidup dan buku-buku karyanya.





Jajce





Di tengah perjalanan antara Travnik dan Bihac, mampirlah ke Kota Jajce yang terhimpit pegunungan. Air terjunnya setinggi 22 meter dan berarir warna emerald green dengan latar belakang rumah-rumah Bosnia ini cantik banget! Tak jauh dari situ terdapat Mlincici – water mills yang dibangun pada masa Austro-Hungarian (1867-1918) ini berbentuk rumah-rumah kayu yang air sungainya menggerakkan mesin penggiling gandum. Jangan lupa ngopi-ngopi di pinggir Danau Pliva yang berair biru dengan latar belakang pegunungan bersalju. Duh, cantiknya!













View this post on Instagram



































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Feb 28, 2019 at 2:11am PST







Bihac





Dari Jajce, makan siang lah
di Etno
Village Cardaklije yang merupakan kompleks
perumahan khas pedesaan Bosnia abad ke-19 di tengah ladang dan hutan. Makanannya
tradisional Bosnia yang menggunakan bahan-bahan alami diproduksi sendiri dari
peternakannya, seperti roti, daging, dan keju. Minuman alkohol (mengandung 40-50%)
khasnya adalah Rakija yang terbuat
dari buah plum atau pear. Beuh, nikmat!













View this post on Instagram
































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 1, 2019 at 4:17am PST







Setengah jam berkendara dari situ wajib ke Una National Park yang terletak di perbatasan Kroasia. Jalan masuknya yang masih tanah ini sudah memanjakan mata karena berada di sepanjang sungai yang berair biru! Langsung aja menuju Štrbacki buk – air terjun megah setinggi 25 meter yang bertingkat-tingkat. Widih cantiknya!





Di Kota Bihac, menginaplah di
Hotel Opal Exclusive karena terletak persis di tepi Sungai Una yang berair
biru. Semua jendela kamar yang berbalkon menghadap sungai cantik ini. Bela-belain
deh bangun pagi untuk melihat sunrise
yang magis. Pilihan lain adalah Hotel Natura Art yang terletak di Una National
Park. Model bangunannya dibuat tradisional, tapi yang bikin nganga adalah lahannya
yang luas di tepi Sungai Una yang airnya biru dan dikelilingi hutan – nikmat
banget untuk leyeh-leyeh! Sungainya pun bisa direnangi dan untuk white water rafting.













View this post on Instagram































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 2, 2019 at 11:00pm PST







Banja Luka





Ibu kota Republik Sprska yang
didominasi etnis Serbia ini cantik juga. Sungai Vrbas yang berwarna biru
membelah kotanya. Di tepinya banyak penduduk memancing dan berjemur saking
bersihnya. Makan siang aja di restoran Kazamat yang terletak di dalam Kastel
Fortress sambil melihat pemandangan kotanya. Oh iya, pesan makanan namanya Teletina ispod saca – daging sapi muda yang dimasak secara tradisional di
bawah tutup logam panas. Gila enaknya!













View this post on Instagram


































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 10, 2019 at 10:29pm PDT







Lalu jalan kaki aja di
sekitar Kota Tua, seperti ke Katedral Saint Bonaventure, Gereja Orthodox Christ
the Saviour, Banski Dvor (Governor’s Palace), dan Mesjid Ferhat Pasha.
Yang paling menarik adalah Museum Republic of Srpska yang berisi sejarah dari
zaman batu sampai perang Bosnia. Tapi yang mengerikan adalah display horor tentang Ustaše concentration
camps
yang dijuluki “Auschwitz-nya Balkan” karena korban pembunuhannya sampai ratusan ribu orang
dengan cara yang mengerikan seperti kepala yang digergaji dan manusia yang
direbus! Keluar dari situ saya langsung mual!





Mostar





Kota yang paling ramai dikunjungi turis adalah Mostar yang merupakan pusat administrasi Herzegovina. Dari Sarajevo memakan waktu sekitar 2 jam berkendara. Pemandangan di sepanjang jalan luar biasa keren dengan sungainya yang berwarna turqoise dan pegunungan berlapis-lapis. Kotanya sendiri cantik. Berpusat di jembatan Stari Most yang ikonik dan termasuk ke dalam UNESCO World Heritage Site.









Sekitar sejam berkendara ke
arah selatan dari Mostar, wajib ke Kravice Waterfall. Air terjunnya yang lebar
cantik banget dengan air yang kebiruan! Bagi pemeluk agama Katholik, wajib ke Medugordje
yang terletak tak jauh dari air terjun. Di sana tempat penampakan Bunda Maria
pada enam orang anak desa situ. Tak heran saat ini Medugordje merupakan tempat
religius nomor tiga yang paling banyak dikunjungi turis di Eropa setelah
Lourdes di Prancis dan Fatima di Portugal.





Masih di sekitaran situ,
mampir lah di Pocitelj. Kota sejak abad ke-15 yang berada di lereng bukit karst
di tepi Sungai Naretva ini cantik banget. Lalu sempatkan makan siang di Blagaj,
tepatnya di restoran Etno House di tepi Sungai Buna. Ikan trout-nya juara kelas enaknya! Wajib berkunjung ke Blagaj Tekke – rumah
sufi berusia 600 tahun yang cantik terletak di bawah tebing batu dan tepi sungai
biru.





Tips





Bagi pemegang paspor Indonesia, ke Bosnia visanya gratis asal memiliki visa multiple entry Schengen atau AS yang masih berlaku. Kalau dua-duanya tidak punya, bisa apply ke Embassy Bosnia & Herzegovina di Menara Imperium, Jakarta.Terbang ke Sarajevo dari Jakarta atau Bali paling efisien naik 5-star airlines Qatar Airways dengan transit di Doha. Kalau punya bujet lebih, cobain deh Business Class-nya yang super keren dan dapat piyama paling nyaman sedunia. Enaknya lagi, bisa nunggu di Al Mourjan Lounge yang menurut saya lounge bandara terbagus di dunia. FYI, sekarang Qatar sudah bebas visa jadi kita bisa keluar jalan-jalan dulu di Doha. Kalau nggak mau ribet, bisa pesan transit tour dari website Qatar Airways atau klik di sini. Selain city tour, saran saya ke gurun pasirnya putih yang keren di tepi pantai biru menghadap Arab Saudi.











View this post on Instagram




































A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 14, 2019 at 3:24am PDT




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 29, 2019 21:59

April 13, 2019

Hijaunya Pabrik Semen

Undangan menjadi pembicara tentang #MembangunKebaikan Melalui Media Sosial yang diselenggarakan di kampus UISI (Universitas Internasional Semen Indonesia) pada 11 April 2019 membuat saya menjejakkan kaki di Gresik untuk pertama kalinya. Wah, kampus ini keren banget karena gedungnya menempati bekas pabrik semen! Interiornya sangat Instagramable, terutama perpustakaannya yang kece (apalagi punya buku seri “The Naked Traveler”)! Setelah berkeliling saya tambah penasaran dan minta diajak jalan-jalan ke pabrik benerannya.





Salah satu sudut kampus UISI



Gresik terkenal karena merupakan tempat pabrik semen pertama milik bangsa Indonesia sejak 1957 dan cikal bakal perusahaan semen terbesar di Indonesia. Selama ini saya tahunya “Semen Gresik”, namun ternyata sejak 2013 perusahaannya sudah berganti nama menjadi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Anak perusahaannya antara lain Semen Padang, Semen Tonasa, Thang Long Cement Vietnam dan Solusi Bangun Indonesia (eks Holcim). Perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ini kantor pusatnya memang di Gresik, tapi ternyata pabrik terbesarnya berlokasi di Tuban.











View this post on Instagram


















A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 13, 2019 at 10:39pm PDT







Saya juga baru tahu bahwa
untuk membuat semen itu diperlukan bahan utama berupa batu kapur dan tanah
liat. Kedua bahan tersebut diperoleh dari penambangan sumber daya alam. Penyatuan
kedua bahan ini dilakukan di pabrik, makanya kedua tambang harus berada dekat
satu sama lain. Sebagian dari Gresik yang hijau itu ternyata justru bekas
tambang semen. Karena sudah non aktif, maka tambangnya pindah ke Tuban yang
berjarak 2,5 jam berkendara dari Gresik.





Saya pun diajak jalan-jalan ke Arboretum (kebun botani) Bukit Daun. Disebut demikian karena kalau dilihat dari atas bentuknya seperti selembar daun. Kebun hijau yang asri seluas satu hektar ini berisi tanaman-tanaman langka, seperti pohon kurma, kawista, damar, gaharu, dan ulin. Di depannya terdapat Arboretum Bukit Herbal yang berisi koleksi tanaman obat, seperti merica, bawang dayak, lengkuas, jahe merah, kunir putih, dan kunir kuning. Ada juga Kebun Pangkas berupa pepohonan kayu putih. Angin sepoi-sepoi dan suara aneka burung liar menambah kenyamanan leyeh-leyeh di kebun.









“Dari 752 hektar keseluruhan lahan tambang, ada 200
hektar yang sudah direklamasi. Sisanya belum karena memang masih berfungsi jadi
tambang kapur”, terang Pak Eko Purnomo, Kepala
Seksi Reklamasi Lahan Pabrik Tuban. Praktik penambangan ramah lingkungan inilah
yang ingin ditunjukkan Semen Indonesia kepada masyarakat umum.





Setiap sore taman tersebut
ramai dikunjungi penduduk sekitar, mulai dari rombongan ibu-ibu yang doyan selfie sampai anak muda yang pacaran.
Kadang datang juga rombongan anak sekolah yang belajar alam. Semuanya gratis
masuk dengan jam buka pukul 15.00-17.00 pada Senin-Jumat dan pukul 08.00-17.00 pada
Sabtu dan Minggu. Papan informasi tentang tanaman dan pentingnya penghijauan
terpampang jelas sehingga semua orang dapat pengetahuan baru.





Dari Arboretum yang terletak di atas bukit tersebut terlihat dari kejauhan lahan berwarna putih bak pasir pantai. Ternyata itu lah tambang kapurnya (foto paling atas). Di sekelilingnya ditumbuhi hutan hijau yang menutupi lahan pabrik dan tambang. Pipa untuk mengangkut hasil tambang dan pabrik penghancur kapur hampir tidak terlihat karena tertutup pepohonan. Suaranya pun tidak berisik.





Nampang dulu ah di Arboretum
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 13, 2019 10:37

March 17, 2019

Hampir Semaput di Himalaya

Sebagai bagian dari rangkaian AdventureNEXT di India (baca di blog saya di sini), para delegasi dipersilakan memilih salah satu dari 8 jenis post-adventure trip. Namanya juga acara adventure, maka aktivitas tripnya bervariasi mulai dari ziplining, white water rafting, sampai mountain biking. Saya akhirnya memilih “Walking Holiday in the Himalayas – Kullu Valley” oleh Banjara Camps karena tingkat kesulitannya paling rendah, yaitu 2 dari 5. Jangan membayangkan Himalaya itu adalah Mount Everest tapi ini hanya di sebagian kecil pegunungan Himalaya, tepatnya di propinsi Himachal Pradesh di India. Namun trip ini periodenya paling panjang, yaitu satu minggu penuh pada 6-13 Desember 2018.





Terus terang saya langsung
jiper! Walking Holiday memang artinya
liburan sambil jalan kaki, tapi ini di Himalaya! Artinya, jalan kaki di
ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Nggak mungkin banget jalannya
rata, bukan? Aktivitas ini sih lebih tepat disebut hiking, atau malah trekking.
Dan dilakukan dalam seminggu? Omaigat!
Pada musim winter yang bersalju pula!
Brrrrr! Tambah jiper lagi ini grup internasional. You know lah bule kalo jalan kan ngacir bener, apalagi kalau hiking. Secara jangkung, selangkah dia
adalah dua langkah kita. Saya hanya bisa berharap teman segrup nanti ada yang
jalannya lebih lambat daripada saya.





Singkat cerita, kami semua bertemu di stasiun kereta api New Delhi. Ternyata doa saya terkabul. Segrup isinya cuman bertiga, yaitu saya, seorang cewek India yang anak gunung garis keras, dan seorang kakek Amerika berusia 67 tahun! Guide kami adalah Rajesh, pria India setinggi 190 cm, besar bak beruang dan merupakan pemilik Banjara Camps yang mengorganisasikan trip ini. Kombinasi yang aneh bukan?





The Team: Rajesh, me, Archana, Tom



Kami naik kereta dengan jurusan Delhi-Chandigargh selama 3 jam. Dilanjutkan dengan naik mobil yang disupiri oleh Rajesh menuju Thanedhar dengan jalan yang berliku-liku menyusuri lereng pegunungan. Kami melalui Shimla, tempat syuting film India terkenal berjudul “3 Idiots” yang ternyata ramenya minta ampun. Menjelang malam akhirnya tiba di Banjara Orchard Retreat dan kami tinggal di kabin kayu yang menghadap lembah dengan kedalaman 2.000 meter!





View from my cabin’s window



Besoknya, jalan-jalan eh pendakian pertama dimulai. Entah berada di ketinggian berapa, yang jelas vegetasinya didominasi oleh pohon pinus khas dataran tinggi. Awalnya masih jalan setapak yang agak menanjak, dengan pedenya saya jalan sambil siul-siul karena pemandangannya memang indah. Di antara pepohonan pinus tersebut, menjulanglah pegunungan dengan puncak bersalju: Himalaya! Lama-lama kami masuk ke hutan dengan pepohonan yang semakin rapat dan agak gelap, yang semakin menanjak curam dan bikin ngos-ngosan. Baru sadar bahwa si cewek India yang tadinya di depan saya sudah tidak terlihat, begitu pula si aki bule di belakang saya juga tidak terlihat. Buset, jarak kami satu sama lain begitu jauh! Saya terus melangkah menanjak sambil menyumpah serapah dalam hati, “Ngapain juga gue ikut beginian? Capek, tauk!” Keringat berkucuran dari kening dan punggung basah sehingga saya membuka jaket terluar.





Tau-tau di depan terpampang hamparan salju! Dasar norak, saya langsung pegang-pegang es dan menunggu si aki supaya ada yang motoin. Maklum #anakmedsos! Si aki akhirnya datang dan dengan suksesnya kepleset sampai terjerembap! Ouch! Singkat cerita, kami berjalan sambil mengsle-mengsle di atas es, di atas pasir, terus menanjak ke atas sampai… eh kok ada jalan beraspal? 1 km dari situ sampailah kami pada plang bertuliskan “Hatu Peak at 3,352 m” dan di atasnya ada kuil! Lah, ngapain juga capek-capek hiking berjam-jam kalau bisa naik mobil sampai ke atas sini?! Rajesh tertawa, “Lha kan kita walking tour, bukan car tour!” Sial. Eh, tapi bangga deng karena saya berhasil menyelesaikan pendakian hari itu.













View this post on Instagram






























A post shared by Trinity #TNT8 (@trinitytraveler) on Dec 8, 2018 at 5:02am PST







Dari Thanedhar kami berkendara seharian ke Sojha melalui lereng pegunungan Himalaya. Karena semobil isinya hanya kami berempat, maka kami santai aja kalau mau berhenti untuk berfoto. Namun si aki yang ternyata penderita diabetes itu paling sering minta berhenti untuk buang air kecil di pinggir jalan. Duh, kalau saya diberkahi umur 67 tahun, mana mau saya ikutan trip hiking begini! Sore hari kami tiba di Banjara Retreat and Cottage yang berada di Lembah Seraj dan mengadap Pir Panjal Range – pegunungan bersalju yang merupakan bagian Inner Himalaya yang memanjang sampai Kashmir. Cuacanya dingin! Saya sampai menggigil dan keluar asap dari mulut kayak di AC Milan.





Pendakian selanjutnya dimulai dari Jalori Pass dengan ketinggian 3.120 meter. Wah, hampir sama tingginya dengan puncak Gunung Lawu – gunung tertinggi yang pernah saya daki 20 kg yang lalu! Si aki yang masih trauma dengan pendakian kemarin memutuskan untuk tidak ikut. Waduh, saya bakal jadi buntut sendirian ini! Kami memasuki hutan dengan jalan setapak yang agak menanjak. Di beberapa bagian tanahnya tertutup salju tapi saya sudah tidak peduli karena takut ketinggalan mengingat si cewek India sudah tidak kelihatan. Ternyata setelah itu jalannya sangat terjal sampai berkali-kali saya minta ampun tolong Rajesh untuk menarik tubuh saya. Hampir saya menyerah tapi saat keluar dari hutan Ek, terhamparlah padang rumput. This is it! Saya langsung merebahkan badan saking leganya.





“Kita belum selesai!” kata Rajesh. HAH? Dia menunjuk satu titik di puncak bukit yang katanya ada Benteng Raghupur. Buset, berarti masih jauh banget! Saya pun lanjut berjalan dengan misuh-misuh kesal. Tak lama kemudian muka bete saya berubah menjadi hepi karena pemandangannya sungguh spektakuler. Kami berada di puncak yang menghadap Lembah Tirthan dengan pemandangan 360° pegunungan bersalju Himalaya, Dhauladhar, dan Kinnaur yang berlapis-lapis! Ini tempat tinggi sekali, burung elang saja terbang di bawah kami! Di ujung tebing, salju menghampar dengan indahnya. Kami pun asyik berfoto dan saya menolak meneruskan ke benteng karena untuk mencapainya berarti kami harus turun lembah untuk naik lagi.













View this post on Instagram
































A post shared by Trinity #TNT8 (@trinitytraveler) on Dec 14, 2018 at 3:34am PST







Karena kecapekan, paginya kami hanya jalan kaki di sekitar kampung saja – itupun si aki jatuh terjerembap lagi! Rencana menginap dua malam di Sojha dibatalkan karena kami semua kedinginan. Kami pun pindah ke Sonaugi yang “hanya” berada di ketinggian 1.920 mdpl. Untuk mencapai ke sana, kami harus berkendara dua ribuan meter turun ke dasar dulu, menyebrangi sungai, baru naik lereng gunung lagi. Penginapan terakhir trip kami adalah di Sonaugi Homestead yang paling baru dibangun dan paling cantik. Pegunungan Himalaya yang bersalju itu paling jelas terlihat dari Kullu karena letaknya paling dekat ke penginapan. Suasana yang homey itu membuat kami bermalas-malasan saja kerjanya. Satu harian kami isi dengan jalan-jalan naik mobil ke Manali – destinasi turis paling populer dan makan pizza paling enak se-India.













View this post on Instagram































A post shared by Trinity #TNT8 (@trinitytraveler) on Dec 11, 2018 at 9:44pm PST







Hiking terakhir di Sonaugi, Rajesh mengusulkan untuk ambil rute Janna Village Walk. Terdengar mudah macam jalan-jalan di kampung doang, tapi baru berjalan mendaki setengah jam saja si aki menyerah, diikuti si cewek India dengan alasan malas. Tinggal saya, Rajesh, seekor anjing bernama Lakshmi, dan seorang anak laki berusia 16 tahun yang bekerja di penginapan. Dua jam berjalan saya masih bertahan sampai akhirnya kami dihadapkan oleh bebatuan berundak yang dialiri air bak air terjun. Mulai dari situ saya ampun-ampun naiknya karena susah menjaga keseimbangan di batu dan lumpur yang licin, ditambah lagi hujan yang tiba-tiba turun! Kami memang akhirnya tiba di Desa Janna, tapi desa ini terletak di lereng pegunungan. Semua jalan berupa tangga bebatuan alami yang tak ada habisnya menanjak ke atas.





Come on! You can do it! Dikit lagi kok! Nanti di atas sana kita makan!” kata Rajesh menyemangati saya sambil menunjuk ujung desa yang berada jauh di atas – untuk melihatnya saja saya harus menengadahkan kepala! Omaigat! Kaki saya terasa sangat berat, jantung saya berdebum keras, keringat dingin mengucur, mental saya drop – saya hampir semaput! Saya berjalan sampai menangis karena frustasi! Tiba di puncak, berjalan 1 km lagi, tibalah kami di sebuah rumah makan di pinggir air terjun. Ajaibnya, seketika itu turunlah hujan salju! Ah, sungguh akhir yang bahagia!





Epilog:





Sungguh saya sangat bangga atas pencapaian ini. Setelah turun berat badan cukup signifikan, saya jadi lebih kuat hiking. Setahun yang lalu mana mau saya ikut trip beginian! Tapi saya jadi kepikiran: apakah karena saya gendut maka saya malas? Atau karena saya malas maka saya jadi gendut?





Kullu Valley, India
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 17, 2019 13:07

February 10, 2019

Jadi Delegasi Konferensi Adventure Dunia

Dua tahun yang lalu dari hasil browsing di internet, saya menemukan sebuah organisasi bernama ATTA (Adventure Travel Trade Association). Asosiasi yang berbasis di Amerika Serikat dan beranggotakan 100 negara ini adalah kumpulan travel agent, tour operator, akomodasi, dan tourism board yang khusus bergerak di bidang adventure tourism. Susah menerjemahkannya, namun artinya kira-kira jenis pariwisata yang mengandalkan aktivitas fisik di alam bebas dengan memberdayakan sumber lokal. Jadi bukannya jalan-jalan shopping di kota atau leyeh-leyeh di pantai, melainkan melakukan aktivitas seperti white water rafting, hiking, mountain climbing. Tujuan asosiasi ini selain networking, juga edukasi, advokasi, konservasi, dan promosi agar tercipta pariwisata yang bertanggung jawab dan berkesinambungan. Sebagai pecinta alam, asosiasi ini “gue banget” kan?





Shannon Stowell , CEO ATTA (ketiga dari kanan) bersama para pejabat India



Setiap tahun ATTA mengadakan
berbagai kegiatan seperti trade fair,
konferensi, dan pelatihan yang selalu pindah-pindah di berbagai belahan dunia.
Tentunya selalu di tempat-tempat non
mainstream
, seperti di Patagonia (Chile), Banff (Kanada), Pantanal
(Brasil). Setiap kegiatan mereka selalu membuka lowongan bagi buyer, supplier, dan media untuk
berpartisipasi. Bila aplikasi diterima, mereka akan menanggung semua biaya.
Saya langsung ngiler dong! Maka setiap kali mereka buka aplikasi, saya selalu
melamar sebagai media. Lamaran ini cukup ribet karena kita harus bisa menjual
diri sedemikian rupa dan meyakinkan panitia apa yang akan kita kontribusikan.
Dan selama dua tahun itu pula saya ditolak! Hiks.





Sampai akhirnya untuk acara AdventureNEXT di Bhopal, India, pada 3-5 Desember 2018 aplikasi saya diterima! Hore! Tanpa ba-bi-bu saya terima tawaran itu. Yang bikin tambah penasaran adalah konferensinya diadakan di Bhopal. Jika Anda seangkatan sama saya, nama “Bhopal” akan terdengar menyeramkan. Pada 1984 di Bhopal terjadi tragedi ledakan gas dahsyat dari sebuah pabrik pestisida yang menewaskan ribuan jiwa dan meracuni ratusan ribu korban lainnya. Bagaimana kota itu sekarang?





Konferensi selama tiga hari itu dibarengi dengan fam trip sebelum Hari-H yang dapat kami pilih dari 9 jenis trip yang disebut pre-adventure. Karena host-nya adalah Madhya Pradesh Tourism maka trip diadakan di sekitar provinsi itu. Saya memilih trip “Central India Wildlife Safari” karena tingkat kesulitannya paling rendah (1 dari 5) – maklum saya kan newbie. Setelah segalanya fix, eh nggak taunya datang lagi tawaran trip post-adventure ke provinsi lain di India. Saya memilih yang belum pernah yaitu “Walking Holiday in the Himalayas – Kullu Valley” di provinsi Himachal Pradesh dengan tingkat kesulitan terendah juga (2 dari 5). Meski kelihatannya mudah, tapi sungguh saya jiper dengan trip Himalaya ini!





Semua urusan per-booking-an dilakukan via email dari pengurus ATTA di Amerika dengan mengisi formulir online. Briefing sebelum keberangkatan dilakukan melalui webinar. Kami juga wajib mengunduh mobile app ATTA untuk mengetahui segala macam jadwal, lokasi, peta, serta nama setiap delegasi yang mana kita bisa saling mengirim chat. Setiap delegasi yang ingin meeting dengan calon rekanan bisnisnya harus mendaftarkan slot di Marketplace. Canggih deh pokoknya! Saya jadi ngintip siapa saja delegasi yang akan hadir. Wah, rupanya saya satu-satunya dari Indonesia!





MarketPlace



Singkat cerita, setelah pre-adventure berjalan dengan sukses, seluruh delegasi akhirnya berkumpul di Bhopal. Ternyata kotanya cantik dan hijau karena terletak di pinggir danau dan ditumbuhi banyak pepohonan – berbeda dengan kota-kota besar di India lainnya. Seluruh media menginap di Noor-Us-Sabah Palace, sementara acara konferensi diadakan di Minto Hall. Panitia telah menyiapkan shuttle bus dari hotel ke tempat acara yang berjarak sekitar 20 menit saja. Hari pertama kami disiapkan city tour Bhopal, namun saya skip karena terlalu lelah. Sorenya acara pembukaan diadakan di Tribal Museum sambil dihibur dengan tari-tarian tradisional India.





Tarian khas Madhya Pradesh



Selama dua hari penuh
konferensi berlangsung. Sebagai media, saya wajib menghadiri press conference dan media peer-to-peer exchange, sisanya
terserah memilih ikut acara apa. Di saat ini lah para buyer (travel agent luar
negeri) bertransaksi bisnis dengan para supplier
(tour operator lokal) di Marketplace – semacam trade
fair
yang dilakukan di puluhan meja dan terbatas 15 menit per pertemuan.
Acara lain adalah berbagai seminar dan workshop
keren oleh para ahli di bidangnya. Saya ikut beberapa di antaranya, seperti Defining Yourself: Branding in the
Experience Age
, Workshop: The Fine
Art of Travel Photography
, The
Economic of Wildlife Tourism in India
, dan The Keys to Digital Marketing Success. Di antaranya tentu ada coffee break dan makan siang, lalu diakhiri
dengan makan malam sambil mimi-mimi alkohol.











View this post on Instagram


















A post shared by Trinity #TNT8 (@trinitytraveler) on Dec 6, 2018 at 8:21pm PST







Saya banyak mendapat pelajaran berharga dari event ini. Pertama, sungguh menyenangkan bertemu dengan like-minded people atau orang-orang yang memiliki gagasan, pendapat, dan minat yang sama. Semua sudah pernah ke puluhan negara, semua suka adventure, dan kalo ngobrol sangat nyambung. Awalnya memang saya agak kikuk tiba-tiba diceburkan ke kumpulan orang asing yang tidak kenal dan harus mingle sana-sini, tapi lama-lama langsung kompak gitu aja. Saya aja jadi belajar dari mereka, mulai dari soal industri pariwisata, cara membangun bisnis, sampai survival tips. Saya yang selalu menganggap diri “wis tuwek” jadi malu sendiri melihat mereka yang meski manula namun adventure tetap jalan terus!





ATTA members and Kanha Earth Lodge staffs



Kedua, India sangat maju dalam adventure tourism dibandingkan Indonesia. Pariwisata India tidak
semata mengandalkan cultural tourism
yang menjual budaya, bangunan bersejarah, atau tempat suci, tapi sudah bergerak
ke arah aktivitas adventure di alam bebas
seperti mountain biking, skiing, paragliding, wildlife safari, dan motorcycle tour. Bahkan ada organisasi
khususnya yaitu ATOAI (Adventure Tour Operators Assosication of India) yang
membantu anggotanya beroperasi di 7 benua dunia dan bermisi menjadikan India
sebagai destinasi adventure terbesar
di dunia yang bisa dilakukan 365 hari setahun. Hebat kan?





Kebayang tuh orang Eropa dan
Amerika yang “alam banget” pasti doyan banget berwisata adventure. Pengeluaran mereka tentu lebih banyak daripada turis
biasa karena harus modal membayar tour
operator
yang spesifik mengorganisasikan aktivitas alam. Mengapa Indonesia
belum mengambil segmen ini ya? Padahal Indonesia kurang adventure apa coba?


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 10, 2019 20:00

January 31, 2019

Salim sama Luis Figo, si gajah Sumatera

Ada yang ikut berpartisipasi dalam lomba lari Pertamina Eco Run 2018? Hasil penjualan tiket dari Anda (kalau ikut) dan ribuan pelari lainnya itu dimanfaatkan untuk pelestarian satwa Elang Bondol dan Gajah Sumatera lho! Donasi yang terkumpul lebih dari Rp 1 Miliar itu dibagi dua peruntukkannya: setengah untuk pelestarian Elang Bondol, setengah lagi untuk Gajah Sumatera. Pada 24 Januari 2019, Pertamina pun menyerahkan donasi untuk konservasi Gajah Sumatera kepada Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli. Dan saya beruntung jadi salah satu yang diundang untuk melihat konservasi gajah tersebut!





Rasanya baru saja saya kelar melihat harimau India, langsung dilanjut melihat gajah Sumatera. Sebagai pencinta satwa tentu saya senang sekali! Apalagi kunjungan ini bersama teman sendiri @MarischkaPrue yang udah lama nggak jalan bareng. Pagi itu kami pun terbang ke Medan, lalu berkendara menuju TBBM (Terminal Bahan Bakar Minyak) Pertamina di Pematang Siantar. Alasan Pertamina membantu konservasi gajah yang di Aek Nauli adalah karena letaknya dekat dengan TBBM ini sehingga turut memberdayakan masyarakat dan alam sekitarnya.





Saya dan Prue di TBBM Siantar



Konservasi gajah yang dinamai
Aek Nauli
Elephant Conservation Camp (ANECC) ini letaknya
hampir sejam berkendara dari kota Pematang Siantar ke arah Parapat. Di kanan jalan raya terdapat bangunan bercat putih yang
berisi Galeri informasi tentang gajah-gajah ANECC berserta foto-fotonya. Rupanya
gajah-gajah di sini memang sudah didomestikasi atau yang sudah dijinakkan di berbagai
Pusat Pelatihan Gajah di seluruh Indonesia.





Karena gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) statusnya satwa kritis terancam punah (critically endangered species), maka program domestikasi bermanfaat
sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengawetan sumber genetik,
peningkatan populasi, dan ekowisata gajah. Saat ini ada sekitar 500 ekor gajah
jinak di Pusat Konservasi Gajah di Sumatera, Jawa, dan Bali dari sekitar 1800
ekor populasi gajah di Indonesia.











View this post on Instagram


















A post shared by Trinity #TNT8 (@trinitytraveler) on Jan 24, 2019 at 8:33pm PST







ANECC merupakan lembaga yang
ditunjuk sebagai pemangku Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dimana di
dalamnya terdapat konservasi gajah sumatera. Mereka bekerja sama dengan Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli, dan Veterinary Society
for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic). Jadi memang konservasi gajah
resmi pemerintah.





Di seberang Galeri, barulah
tempat gajahnya tinggal. Dari gerbangnya kami harus berjalan kaki agak menanjak
sekitar 700 meter untuk sampai ke pusat gajah. Di sepanjang jalan setapak yang
dikelilingi hutan ini terdapat beberapa plang informasi edukatif mengenai gajah,
seperti perbedaan gajah Afrika dan gajah Asia, dan Klasifikasi dan Morfologi
Gajah Sumatera.





Lalu kami dipersilakan duduk sambil diperkenalkan kepada para gajah. Datanglah empat ekor gajah bersama para mahout (pawang gajah) masing-masing. Lucunya gajah-gajah itu bernama Luis Figo (berusia 12 tahun), Vini Alvionita (30), Esther Juwita (36), dan Siti (37). Kami pun mendengarkan kuliah tentang gajah dari Pak Ilham, mahout senior. Contohnya kuping gajah yang berisi banyak urat itu berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh gajah makanya sering dikibas-kibas supaya badannya dingin bak AC. Makanya juga kuping gajah Afrika lebih besar daripada gajah Asia karena di Afrika suhunya panas. Saya juga baru tahu bahwa gajah itu giginya hanya ada 4 gigi geraham saja, meski ukuran gerahamnya super besar tapi gajah adalah vegetarian. Sambil menerangkan, satu per satu gajah yang dipanggil “sayang” oleh Pak Ilham itu maju mengibaskan kupingnya atau membuka mulut untuk memperlihatkan giginya.





Gajah jinak ini memang sangat pintar dan menggemaskan. Mereka bisa disuruh berpose ala model, bermain bola, bahkan berhitung. Saya mengetes dengan memberi soal, “Delapan kurang dua sama dengan?” Eh si Esther datang dengan membawa papan bertuliskan angka enam! Saya juga sempat dikalungkan bunga oleh Luis Figo dan diajak salim. Wow, pinternya!







Saya lalu diajak berkeliling
konservasi. Sore itu gajahnya sedang mandi. Sayang saya tidak bawa baju ganti
karena rasanya pengen ikut nyebur aja mandi sama gajah. Setelah mandi, gajah
dikasih makan. Makanannya sebak mobil! Maklum gajah itu sehari makan sebanyak
10% dari berat tubuhnya. Jadi kalau si Siti beratnya 2700 kg, maka dia butuh
makan sebanyak 270 kg per hari! Minumnya aja perlu 30-40 liter per hari. Jadi
siapa bilang jadi vegetarian itu bisa kurus? #eaaa





Tingkah polah empat gajah
pintar tersebut tak lepas dari peran 10 mahout
yang sehari-hari mendidik mereka dengan kasih sayang. Mahout bertugas merawat gajah, termasuk menjaga kenyamanan kandang,
menjaga kesehatan gajah, dan memonitor reproduksi gajah. Jadi jangan harap Anda
datang ke sini untuk menunggangi gajah keliling hutan karena gajah di sini
bukan untuk wisata konvensional dan bertujuan komersil.





Dengan donasi Pertamina melalui program CSR
Keanekaragaman Hayati ini membantu
kekurangan biaya pemeliharan gajah seperti kebutuhan pakan gajah, suplemen
gajah, obat-obatan, monitoring, galeri, dan lain lain. Semoga semua ini dapat menciptakan
ekosistem alami untuk Gajah Sumatera berkembang biak dan dapat menjadi sarana
edukasi.




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 31, 2019 10:58

April 1, 2018

Diving sama hiu di Maldives

Trip “Maldives with Trinity” pada 23-26 Maret 2018 by @MaldivesHemat akhirnya “terjaring” 20 orang. Itinerary masih sama dengan yang saya tulis di sini. Bedanya, ya orang-orangnya. Banyak yang datang sendiri sebagai solo traveler, bahkan sebagian baru pertama kali. Modal nekad katanya. Tapi akhirnya everybody’s happy karena bertemu dengan teman-teman baru – yang sampai sekarang masih rame di grup WhatsApp karena pada susah move on. ?



Yang perlu saya highlight adalah island hopping naik private boat mewah bak horang kayah. Kali ini lokasi snorkeling dan sandbank-nya beda. Sandbank (pasir timbul) yang ini bentuknya panjang banget jadi gampang cari spot kosong untuk foto-foto. @MaldivesHemat pun kemajuan udah punya drone, jadilah angle foto-foto makin menggila. Trus, pas acara free time, hampir semuanya kompak milih day trip ke satu resor jadilah seharian kami main bareng, tanding polo air melawan bule-bule, belajar berenang gratis by Coach Trinity, sampai belajar signature pose saya yang gaya kaki di atas. Malam terakhir pun kami dugem di atas kapal di tengah laut karena di darat alkohol dilarang.







A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 25, 2018 at 6:29am PDT





Setelah rombongan cabut, saya pun extend untuk menikmati Maldives dengan cara lain karena udah dua kali ke Maafushi. Selain jalan-jalan keliling Maafushi, tujuan utamanya adalah diving. Bagusnya @MaldivesHemat baru bikin paket diving bekerja sama dengan Arena Dive Club yang terletak di hotel yang sama tempat rombongan biasa menginap. Saya salut dengan bagaimana Rudi dan Pajay, pemilik @MaldivesHemat, menangani open trip. Semua paket sudah dicoba dulu berkali-kali untuk memastikan pelayanannya, bahkan mereka sampai ambil license diving dulu di sana!


Seperti biasa sebelum diving, saya ke kantornya untuk sewa alat dan ukur-ukur peralatan. Arena Dive Club ini baru aja buka Juli 2017, jadi peralatannya serba baru dengan merk ngetop. Roberto, bos dive center ini asal Italia yang sudah pernah punya bisnis dive operator di Sharm El Sheikh, Mesir. Dive Guide dan instrukturnya multinasional; ada Veronica asal Rusia, Jean asal Taiwan, Ahmed asal Mesir, dan Isa asal Maldives. Yang saya senang lagi, karena udah kurusan, sekarang saya muat sewa wetsuit ukuran orang normal! Ih, bangganya! Hehehe!


Hebatnya lagi – dan ini yang bikin kita kalah adalah kalau mau diving nggak perlu nunggu minimal jumlah orang. Mau sendiri juga tetap berangkat dengan harga per orang sama. Kapal mereka juga gede banget! Kapal dengan bentuk kapal tradisional Maldives ini bisa muat 20an orang bersama tangki-tangkinya yang dikali dua tanpa bersesakkan. Di depan dan atapnya ada deck untuk duduk-duduk atau berjemur, ada shower air tawar untuk bilas, ada toilet. Stafnya pun baik-baik banget, sampai megangin tangan pas jalan ke pinggir kapal untuk nyebur gaya giant step.


Tiga hari saya diving, dua kali di pagi hari mulai jam 8.00 dan satu kali di sore hari jam 14.30. Karena base-nya di Pulau Maafushi, maka lokasi diving di sekitar Kaafu Atol yang naik kapal maksimum 20 menit aja. Spot yang dekat bisa liat terumbu karang dan ikan-ikan karang, ada gua, ada shipwreck. Entah kenapa biota laut di sana ukurannya kok lebih gede gitu. Nudi branch segede tikus, surgeonfish dan anglefish aja lebih gede dari telapak tangan, mooray eel super gemuk dan berenang (bukan ngumpet), bahkan puffer fish ampe segede kepala!







A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 30, 2018 at 10:06pm PDT





Spot yang jauh, terutama area antar pulau di Guraidoo Corner dan Kandooma Thila, ini yang bikin sedap. Diving di kedalaman sampai 35 meter, arusnya super kenceng, di situ lah ikan pelagis berada! Hiunya banyak banget (di pantai Maafushi aja banyak baby sharks, rupanya di sinilah ortu-ortunya berasal), ada grey reef shark, black tip shark, white tip shark. Saking arus kenceng, di satu spot kami terpaksa harus mengaitkan hook ke karang dan membiarkan gerombolan hiu lewat. Selain itu ada banyak penyu, barakuda, bumphead fish, dogtooth tuna, giant trevally, eagle ray, stingray. Ahh, gilaaaa mantapnyaa!! Satu lagi temuan, setelah kurusan ternyata napas saya jadi irit. Setiap kelar diving, masih ada sisa 100 bar oksigen! Sampai rombongan diver bule komen, “Are you a fish?” #bangga







A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Mar 31, 2018 at 11:17pm PDT





Saya masih punya seharian untuk dihabiskan sebelum terbang pulang jam 9 malam. @MaldivesHemat menyarankan untuk ikut excursion snorkeling trip ke Shark Bay atau liat whaleshark. Karena pernah liat whaleshark, saya memutuskan untuk ke Shark Bay. Mereka pernah ikutan dan katanya banyak banget nurse sharks. Tapi namanya juga alam, sialnya saya nggak ketemu satupun hiu. Yang ada adalah gerombolan ikan giant trevally segede bayi! Serius! Ntar deh kalau videonya jadi, saya share di YouTube TheNakedTraveler. Abis itu kami lunch di Pulau Fulidhoo yang bagusnya kebangetan sampai mau nangis. Lalu berenang bersama lumba-lumba di lagoon – yang ternyata susah bener mendekat. Meski saya jago berenang, tetep kalah. #yaiyalah


Fulidhoo Island


Sorenya kami ke Male. Diajak ke toko suvenir termurah se-Male, namanya My Friends. Ternyata sebagian peserta ada yang nitip beliin oleh-oleh lagi. Lalu diajak keliling kota, ke alun-alun, ke Friday Mosque, minaret Munnaaru, ke rumah presiden Maldives yang masih gedean rumah di Pondok Indah, ke pasar, dan terakhir ke pelabuhan untuk melihat stingray banyak banget!


Seminggu di Maldives lewat begitu aja. Ya begitulah kalo kita sangat menikmati liburan. Kalau Anda mau ikut paket liburan hemat di Maldives atau mau diving, kontak aja maldives-hemat.com ya? Very recommended!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 01, 2018 22:53

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.