Trinity's Blog, page 5
December 21, 2021
Bagi-Bagi Sedekah ke Mancanegara
Karya: Abe Felisa* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Sejak sekitar 2016 saya aktif menerjemahkan subtitle TED Talks, sebuah platform konferensi ceramah mengenai hampir semua topik dari ilmiah, bisnis, sampai isu global. Ceramah-ceramah ini dibawakan oleh para ahlinya dan kemudian dipublikasikan secara gratis di website TED.com dan channel YouTube TED. Para relawan penerjemah subtitle TED Talks dari berbagai negara ini tergabung di TED Translator Community.
Saya sendiri menerjemahkan TED Talks untuk mengasah keterampilan interpretasi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Menerjemahkan subtitle TED Talks bagi saya menyenangkan karena banyak topik yang menarik serta menambah wawasan dan pengetahuan. Selain itu dengan menerjemahkan TED Talks para relawan penerjemah membantu teman-teman yang belum fasih berbahasa Inggris untuk bisa ikut menikmati TED Talks.
Sampai suatu saat di 2018 saya iseng browsing di blog TED Translator dan menemukan bahwa TED sedang membuka aplikasi bagi para TED Translator yang mau mendaftar ke acara TEDSummit 2019 di Edinburgh, Skotlandia, sebagai delegasi. Yang menarik, kalau diterima maka tiket konferensi, tiket pesawat PP, dan akomodasi semuanya bakal ditanggung oleh TED. Saya hitung-hitung waktu itu nilainya kalau dirupiahkan kurang lebih sekitar seratus jutaan karena mahal di tiket konferensinya yang bisa sampai £ 6,000. Lumayan banget!
Akhirnya saya mengumpulkan niat untuk mengajukan aplikasi. Applicant diminta untuk membuat video berdurasi satu menit untuk menjabarkan alasan mengapa TED harus memilih applicant tersebut untuk pergi ke TEDSummit 2019. Singkat cerita aplikasi saya diterima! Jujur waktu terima email dari TED Translator Team saya hepi banget dan hampir nggak percaya! It was the best day of my life… still!
Saat itu saya belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke Eropa. Eh, sekalinya dapat kesempatan ke Eropa dibayarin full! Belum lagi nanti saya juga akan bertemu dan berkenalan dengan delegasi TED Translator lain dari seluruh dunia. OMG, hepinya sampai terasa beberapa hari! Excited banget lah pokoknya!
TEDSummit 2019 berlangsung pada 21-25 Juli 2019 di Edinburgh International Conference Center. Tetapi dua hari sebelum konferensi dimulai sudah ada acara khusus untuk para delegasi TED Translator. Acaranya macam-macam mulai dari kumpul-kumpul biasa, ngeteh dan dinner bareng, sampai yang serius kayak workshop dan syuting video promosi program TED Translator.
Lalu ada satu acara untuk saling bertukar snack lokal dan souvenir. Nama acaranya TED Translators: Sweets Exchange. Saya membawa dodol Garut dan permen N*** N*** yang gampang dibeli di mini market. Seru juga ngeliatin bungkus-bungkus snack dari seluruh dunia walaupun isinya kebanyakan cokelat, permen, dan cookies. Bahkan delegasi dari Tiongkok ada yang membawa permen Susu Kelinci. Yah, ini mah di Glodok juga banyak! Hahaha!

Snack yang cukup berkesan bagi saya waktu itu adalah halva, semacam kudapan manis asal Turki dengan bahan utama tepung semolina. Ini agak mirip Turkish delight dengan isi kacang. Lalu ada juga yang membawa snack yang mirip sama Rambut Nenek yang dijual abang-abang di Jakarta tapi dengan tekstur yang lebih lembut. Sayangnya saya lupa itu dari negara mana. Ini rasanya seperti around the world in a few hours with snacks!
Untuk souvenir tadinya saya sempet bingung mau bawa apa. Kemudian saya teringat di salah satu buku The Naked Traveler, Kak Trinity pernah membawa uang kertas pecahan kecil untuk dijadikan souvenir. Saya pikir itu good idea banget karena selain unik, nggak ada di negara manapun, biaya yang dikeluarkan juga sangat murah. Bawanya pun nggak pakai ribet. Jadi sebelum berangkat pergi lah saya ke bank untuk menukarkan sejumlah uang dengan uang kertas pecahan Rp 1.000,-
Ternyata ide bagi-bagi duit bisa sangat meramaikan suasana. Pertama-tama saya membagikan uang kertas ke beberapa orang. Tiba-tiba ada yang berteriak, “Heeey, Abe is disributing cash!” Sontak semua orang yang mendengar langsung ngantri. Wah, berasa jadi konglomerat bagi-bagi sedekah! Hahaha! Untung duit saya banyak, walaupun cuma pecahan seribuan.
Occasion kedua di mana saya bagi-bagi duit adalah di acara Celebration. Jadi TED mem-book seluruh venue di National Museum of Scotland untuk pesta. Acara ini literally a party; di pojok-pojok ada stall-stall makanan dan di bagian tengah ada live music, mirip sama kondangan. Bedanya lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu tradisional Skotlandia yang bernuansa ramai.
Saat suasana mulai memanas, orang-orang mulai berdansa di depan band live music. Saat itu lah saya mulai lagi bagi-bagi duit buat yang belum kebagian. Teman Korea saya ngeledek, “Mestinya kamu naik ke lantai paling atas lalu sebar duit dari sana!” Delegasi dari India dan Myanmar akhirnya juga ikutan bagi-bagi duit walaupun duitnya udah lecek-lecek, bukan duit baru yang licin dari bank. Lalu terjadilah percakapan seperti ini:
Myanmar: This is Kyats for you.
Korea: Thank you. Sorry, I don’t bring any banknotes.
Myanmar: It’s okay, I accept credit cards.
*tepokjidat*
Saya dapat juga uang kertas dari si India dan si Myanmar masing-masing 10 Rupees dan 1,000 Kyats yang mana masing-masing kalau dirupiahkan nilainya lebih tinggi dari Rp 1.000,-. Jadi untung deh saya! Lalu ada teman Vietnam saya yang bilang, “Wah, ide ini brilian banget! Di Vietnam paling kecil ada pecahan VND 500. Tahu gitu saya bawa juga!” VND 500 itu kalau dirupiahin kira-kira setara dengan 300 Rupiah. Kalau ditukar sama seribuan Rupiah jadi saya deh yang rugi! Hahaha!
*Abe Felisa saat ini sedang menabung pengalaman hidup dan traveling-nya di https://felisabe.com sambil mendalami dunia blogging, penulisan, dan SEO.
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 29 Oktober 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.
November 13, 2021
Reuni di Gunung Prau
Zaman dulu saat kuliah di Undip, saya dan geng anak perantauan (salah satunya si Yasmin) sering menghabiskan weekend dengan kemping atau naik gunung. Lokasi kampus di Semarang memudahkan kami menjelajah alam di sekitar Jawa hanya dengan naik motor atau bus umum. Lumayan lah puncak Gunung Ungaran (2.050 mpdl) dan Gunung Lawu (3.265 mdpl) sudah pernah kami daki bersama.
Puluhan tahun kemudian, saya diajak reunian sama geng. Bukannya reuni di kafe seperti biasanya, tapi naik gunung lagi! Gunung Prau di Dieng, Jawa Tengah, dipilih karena katanya termasuk paling mudah dan cepat dengan pemandangan yang bagus. Padahal selama itu saya sudah meninggalkan gunung karena beralih ke laut, atau sekedar kemping. Pernah sih beberapa kali trekking di pegunungan, termasuk di Himalaya. Naik gunung pun pernah sampai puncak Mount Sinai di Mesir. Tapi itu kan pas saat masih muda dan tidak sedang sakit dengkul! Maka sebulan sebelum keberangkatan, saya pun ke dokter spesialis ortopedi, rajin fisioterapi, dan diet, demi membuat dengkul enakan.
Semakin mendekati hari-H, WhatsApp Group semakin heboh. Punya keluarga dan pekerja kantoran bikin sebagian orang susah dapat izin. Puluhan tahun yang lalu kami bisa santai naik gunung hanya bermodal sendal jepit dan sarung, sekarang rempong kudu bawa sepatu hiking, tenda, sleeping bag, down jacket, trekking pole, sampai modem WiFi. Akhirnya geng tersisa 4 orang saja yang bisa pergi: saya, Yasmin, Intan, dan Mebi. Yak, 3 buk-ibuk dan 1 bapack-bapack!

Pada 5 November 2021, kami pun berangkat. Setelah santai menyetir mobil bergantian dari Jakarta ke Dieng, sekitar jam 3 pagi kami sampai di Homestay “1000 Bukit” di Patak Banteng untuk menginap. Jam 9 pagi kami mulai jalan ke base camp, mendaftarkan diri di Pos dengan menyertakan fotokopi KTP dan sertifikat vaksin, dan membayar tiket Rp 25 ribu/orang. Eh, tisu basah kami disita karena dilarang.
Demi menjaga keamanan dengkul, saya menyewa porter. Tak lama datanglah pemuda ganteng yang bernama Feri yang mematok harga kenyamanan sebesar Rp 350 ribu. Lalu tenda dan jatah air segrup dimasukkan ke dalam ransel berisi barang saya yang dibawanya naik duluan. Jam 10 kami mulai mendaki dari base camp Patak Banteng ke Pos 1. Awalnya jalan perkampungan, lalu melewati lembah, lanjut dengan undakan tangga batu.
Dari Pos 1 ke Pos 2 jalannya berupa undakan tangga dari tanah, ditambah dengan akar pepohonan dan bebatuan besar. Hujan pun turun deras sehingga jalan berlumpur dan sangat licin. Dari Pos 2 ke Pos 3 masih berupa jalan tanah yang menanjak curam diakhiri dengan undakan batu yang nggak ada habisnya! Sebentar-sebentar kami berhenti karena ngos-ngosan parah. Sepanjang jalan setiap bertemu dengan para pendaki lain yang semuanya anak muda, mereka meneriaki kami, “Semangaaat, Bu!” Duh, tua bener gue!
Untunglah dari Pos 3 ke Sunrise Camp jalannya cukup landai. Kami pun tiba dalam waktu 4 jam. Not bad lah mengingat kami yang wis tuwek dengan jalan santai dan banyak berhenti. Dua tenda sudah terpasang rapi di pinggir tebing oleh Feri, sang porter. Dia pun memasak air dan membuatkan kami kopi. Enak banget punya asisten di gunung!
Geng buk-ibuk mulai blingsatan cari tempat pipis karena camp penuh dengan ratusan orang berserta tendanya. Susah memang jadi cewek! Kami harus berjalan jauh ke balik semak-semak yang sepi, itu pun sudah penuh dengan kotoran orang lain beserta sampahnya! Eww!
Jam 4 sore hujan berhenti, kami berjalan lagi selama sejam ke puncak Gunung Prau (2.690 mpdl). Jalannya tanah cukup rata dengan pemandangan bukit-bukit Teletubies, baru di akhir kami harus naik satu bukit curam sampai puncak yang sangat berkabut.
Lagi asyik foto-foto di plang, perlahan kabut terbuka, lalu terlihatlah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berdiri dengan megahnya. Di sisi kanannya terhampar gumpalan awan yang menutupi lembah – inilah rasa yang paling saya sukai ketika berada di puncak gunung: bisa berdiri lebih tinggi daripada awan!
Dari kejauhan terlihatlah puncak Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu. Saya sampai dadah-dadah ke Gunung Lawu, masih nggak percaya bisa melihat puncaknya lagi puluhan tahun kemudian! Menjelang sunset, kami berpindah ke barat. Matahari hanya mengintip karena tertutup awan, namun di antara hamparan awan itu terlihat puncak Gunung Slamet. Cuaca mulai dingin sampai badan kami menggigil turun ke camp.

Kembali ke tenda, Feri memasak Indomie kornet (tanpa bubuk cabai karena takut bikin BAB) dan ditutup dengan kopi. Kami lalu sikat gigi, ganti baju hangat, dan mulai tidur. Bayangan tidur dalam suasana damai di gunung langsung sirna. Sangat banyak orang di situ dengan tenda-tenda yang dipasang sangat rapat satu sama lain. Mereka mengobrol dan tertawa keras-keras sepanjang malam, serta memasang musik dengan speaker! Hadeeuh!
Saya terbangun saat matahari terbit. Tak heran camp ini disebut Sunrise Camp karena memang menghadap sunrise! Setelah sarapan dan beberes, jam 8.30 pagi kami pun mulai bergerak turun. Kalau turun gunung, napas memang nggak ngos-ngosan, tapi dengkul ini ampun nyerinya karena menahan beban tubuh lebih besar! Jalan tanah yang licin membuat saya berkali-kali memilih meluncur turun pakai pantat. Sampai Pos 1, dengkul saya sangat ndredeg gemetaran. Saya dan Yasmin pun naik ojek dengan membayar Rp 15 ribu sampai ke Homestay.

Intinya, naik Gunung Prau ini bikin saya bangga: ternyata saya yang jompo gini bisa kok! Dan obrolan nostalgia bersama geng sepanjang perjalanan selama berhari-hari ini membuat saya bangga juga: meski selama kuliah itu saya bandel banget namun bisa selamat lulus duluan dengan nilai yang lumayan! Hehehe!
By the way, Gunung Prau yang sudah sangat populer ini bisa dibuatkan fasilitas toilet nggak ya?
September 24, 2021
#KelasTrinity Batch 2!
Setelah sukses diikuti oleh ratusan peserta pada kelas-kelas sebelumnya, saya kembali akan membuka kelas menulis batch 2 secara daring!
Pertama, kelas “Cara Mudah Menulis” ditujukan bagi pemula yang bingung punya banyak ide tapi merasa sulit menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Sangat bisa diterapkan untuk menulis caption medsos, cerita pendek, atau blog. Informasi mengenai materi yang diajarkan bisa dibaca di sini.
Kelas akan diadakan pada Jumat, 15 Oktober 2021, pukul 19.30-21.00 WIB, via Zoom. Biaya investasinya Rp 149.000,- dan dapat bonus voucher diskon pembelian buku saya di mizanstore.com dan aplikasi rakata.id yang akan dikirimkan ke email masing-masing. Di akhir kelas akan ada lomba menulis caption Instagram yang berhadiah buku dari penerbit Bentang Pustaka.

Kedua, kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” yang ditujukan bagi Anda yang suka jalan-jalan dan ingin menuliskan pengalaman tersebut dengan menarik, bahkan menjual. Informasi materinya bisa dibaca di sini.
Kelas akan diadakan pada Jumat, 29 Oktober 2021, pukul 19.30-21.00 WIB, via Zoom. Biaya investasinya Rp 199.000,- dan juga bonus voucher diskon pembelian buku saya di mizanstore.com dan aplikasi rakata.id.
Di akhir kelas akan ada lomba menulis perjalanan di mana 3 pemenangnya akan dimuat di blog naked-traveler.com serta berhadiah buku dari penerbit Bentang Pustaka. Kalau mau baca tulisan 3 pemenang batch 1 bisa dibaca di sini.
Kabar gembira, bila Anda ingin mengikuti dua kelas di atas sekaligus maka akan biaya investasinya hanya Rp 299.000,- atau mendapat potongan sebesar Rp 49.000,- Lumayan banget kan?
Segera daftarkan diri Anda ke bit.ly/kelastrinityokt karena tempat terbatas.
Sampai jumpa di kelas!
TTD
Bu Guru Trinity

September 12, 2021
Belajar dari Paralimpiade
Paralimpiade (disebut juga Paralimpik) merupakan ajang pertandingan olahraga antar penyandang disabilitas yang diadakan setelah Olimpiade empat tahun sekali. Di Tokyo 2020 kemarin ini atlet Indonesia berhasil meraih kesuksesan tertinggi sepanjang sejarah keikutsertaan Paralimpiade, yaitu mendapat 2 emas, 2 perak, dan 4 perunggu – lebih bagus perolehannya daripada Olimpiade lho! Atlet Paralimpiade penyumbang medali pun mendapat bonus uang milyaran dari pemerintah.
Paralimpiade awalnya diprakarsai oleh Sir Ludwig Guttmann, seorang dokter ortopedi dari Inggris yang mengadakan pertandingan olahraga antar veteran Perang Dunia II yang menderita cacat saraf tulang belakang pada 1948. Lama kelamaan gerakan ini didukung oleh negara lain hingga akhirnya diadakan Paralimpiade pertama di Roma pada 1960 yang diikuti 23 negara. Bandingkan perkembangannya dengan Tokyo yang diikuti oleh 162 negara!
Tahukan Anda bahwa ada 1,2 milyar manusia penyandang disabilitas? Ini merupakan 15% dari jumlah seluruh manusia di muka bumi. Disabilitas (sering disebut “cacat”) adalah orang yang dalam jangka waktu lama mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, sensorik, atau kombinasinya. Contohnya orang yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, lumpuh, buta, dwarfisme, celebral palsy, autisme, dan lain-lain. Penyebabnya bisa karena genetik, penyakit, maupun kecelakaan.

Sedihnya, penyandang disabilitas itu sering di-bully sejak kecil sehingga banyak yang merasa tidak percaya diri dan tidak berguna. Bahkan di negara berkembang mereka masih sering dikucilkan, ditambah lagi fasilitas disabilitas yang tidak memadai. Di buku The Naked Traveler 8 saya menulis betapa sulitnya saya sebagai difabel untuk berjalan di tempat umum.
Sebagai penyintas disabilitas dan mantan atlet, saya menonton banyak pertandingan di Paralimpiade Tokyo yang inspiratif. Menjadi atlet adalah salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan diri para penyandang disabilitas, apalagi kalau bisa mengharumkan nama bangsa. Tidak perlu muluk-muluk sampai ke Paralimpiade, tapi setiap ajang pertandingan olahraga berskala besar pasti ada versi atlet disabilitas, misalnya Pekan Paralimpiade Nasional atau Peparnas (bersamaan dengan PON) atau Asian Para Games (bersamaan dengan Asian Games), dan kejuaraan lainnya berdasarkan cabang olahraga.
Saya pun jadi belajar tentang bagaimana negara-negara lain meraih kesuksesan Paralimpiade dan merangkumnya sebagai berikut;
Negara yang menjadi tuan rumah Paralimpiade lebih berusaha membina atlet disabilitasnya.Contohnya Tiongkok yang secara budaya cenderung mengucilkan penyandang disabilitas. Namun karena menjadi tuan rumah Paralimpiade Beijing 2008, Tiongkok benar-benar mempersiapkan kontingen bertahun-tahun sebelumnya dengan cara mengetuk pintu ke rumah-rumah keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas untuk direkrut menjadi atlet. Soal bagaimana melatihnya kita semua sudah tahu betapa keras sistemnya, tapi di sini saya menekankan pentingnya data kependudukan dan perekrutan.
Contoh lain adalah Inggris yang merupakan tuan rumah Paralimpiade London 2012 dan Brasil yang tuan rumah Paralimpiade Rio 2016. Selain perekrutan, exposure Paralimpiade membuka mata masyarakatnya sehingga menginspirasi para penyandang disabilitas untuk mau mengharumkan nama bangsa dengan berprestasi dalam olahraga.Di Amerika Serikat ada hukum yang menyatakan persamaan hak penyandang disabilitas, termasuk masuk sekolah umum dan berolahraga bersamaan dengan murid normal.


Banyak atlet yang baru menjadi difabel saat dewasa, tapi umumnya peraih medali Paralimpiade adalah yang suka berolahraga bahkan sudah menjadi atlet sebelum difabel. Salah satunya adalah Leani Ratri Oktila, peraih 2 medali emas Indonesia di Paralimpiade Tokyo. Sebelum kecelakaan motor yang menyebabkan satu kakinya lebih pendek, dia merupakan atlet bulu tangkis yang sering berkompetisi dengan orang normal.Klub olahraga wajib menerima atlet disabilitas untuk berlatih bersama. Memang tidak bisa semua cabor, tapi minimal bulu tangkis dan renang yang tidak perlu peralatan khusus pasti bisa. Dari situ baru diarahkan untuk ikut pertandingan khusus disabilitas.Akses pertandingan olahraga disabilitas yang dapat ditonton oleh semua orang. Tak jarang atlet disabilitas mendapat inspirasinya dari menonton Paralimpiade.
Semoga Indonesia bisa menirunya dan menjadi lebih baik di Paralimpiade selanjutnya!

August 5, 2021
Usulan agar Indonesia mendulang lebih banyak medali Olimpiade
Saya termasuk rajin nonton pertandingan olahraga di tiap ajang Olimpiade, apalagi selama Olimpiade Tokyo 2020 ini pas pandemi. Saya yang mantan atlet tidak berprestasi di masa gabut ini jadi menelaah bagaimana caranya agar Indonesia bisa mendulang lebih banyak medali Olimpiade Musim Panas di masa depan. Kesimpulan (bodoh-bodohan) saya: kita harus sadar diri dulu dengan kondisi genetik tubuh orang Indonesia.
Masalahnya, Indonesia merupakan 10 negara yang orangnya terpendek di dunia! Rata-rata tinggi badan orang Indonesia dewasa adalah 158,17 cm dengan pria 163,55 cm dan wanita 158,17 cm. Bandingkan dengan yang tertinggi yaitu Belanda dengan rata-rata 183,79 cm atau yang terpendek Timor Leste dengan 155,47 cm. Ras Asia Tenggara memang secara genetik termasuk yang terpendek, di antara 10 negara itu ada juga Laos dan Kamboja.
Padahal cabor (cabang olah raga) atletik dan renang yang merupakan penyedia medali terbanyak di Olimpiade, masing-masing sebanyak 48 dan 37 emas, sangat membutuhkan tubuh atlet yang tinggi. Lupakan cabor favorit dunia yang sering diajarkan di sekolah macam basket dan voli karena tinggi atletnya aja 2 meter. Umumnya orang yang memiliki postur tubuh tinggi maka akan lebih menguntungkan di banyak cabor karena jangkauannya lebih panjang. Sementara ukuran tinggi tubuh itu bergantung kepada ras manusianya. Maka ada hubungannya antara ras manusia dan prestasi cabor, misalnya ras kulit putih jago di renang dan ras Asia jago di tenis meja. Sedangkan ras kulit hitam paling jago di cabor atletik, terutama lari.
Rata-rata tinggi atlet renang Olimpiade Rio 2016 adalah 188 cm untuk pria dan 175 cm untuk wanita. Di Olimpiade Tokyo 2020, perenang putra Caeleb Dressel (AS) yang dapat 5 medali emas tingginya 191 cm dan perenang putri Emma McKeon (AUS) yang dapat 4 medali emas tingginya 180 cm. Sementara perenang putra Indonesia terbaik sepanjang masa Richard Sam Bera tingginya 183 cm (termasuk sangat jangkung di Indonesia) tapi prestasi tertingginya adalah medali perunggu di Asian Games saja.

Ada penelitian menarik dari Direktur Copenhagen Muscle Research Institute, Bengt Saltin, yang menjelaskan mengapa pemain top basket NBA hampir semuanya berkulit hitam. Kesimpulannya, untuk membentuk atlet basket yang dahsyat, lingkungan dan teknologi menyumbangkan 25 persen, selebihnya datang dari faktor genetik. Ini membuktikan mengapa Filipina yang negaranya “basket banget” (karena bekas jajahan AS) dan selalu dapat emas di SEA Games namun tidak pernah lolos kualifikasi Olimpiade.
Tak heran sebagian atlet berprestasi di negara Asia merupakan ras campuran. Petenis Naomi Osaka dan pebasket Rui Hachimura merupakan campuran Jepang dan ras kulit hitam. Perenang Siobhan Haughey pemegang 2 medali perak Olimpiade Tokyo merupakan campuran Hongkong dan Irish – pemegang medali emasnya tentu dari ras kulit putih. Sayangnya kalau di Indonesia, ras campuran lebih diminati jadi artis.
Jangan khawatir karena ada kok cabor yang tinggi badan tidak begitu pengaruh, seperti bulu tangkis, tenis meja, golf, baseball/softball, hoki, dan sepak bola. Di Olimpiade Tokyo 2020, bulu tangkis yang merupakan andalan kita membuktikannya. Viktor Axelsen yang dapat emas tingginya 194 cm, Chen Long yang perak tingginya 187 cm, Anthony Ginting yang perunggu tingginya 170 cm. Sebaliknya, pasangan Greysia/Apriyani yang pemegang emas justru tubuhnya terpendek dibanding Tiongkok yang perak dan Korea Selatan yang perunggu. Tapi untuk olahraga beregu sepertinya sulit berkembang maju di Indonesia, mungkin karena butuh fasilitas dan dana lebih besar yang rawan korupsi.

Dengan mempermasalahkan tinggi badan, sebaiknya Indonesia memfokuskan cabor Olimpiade yang justru dengan memiliki tubuh pendek malah keuntungan. Secara ilmiah dijelaskan bahwa orang pendek itu lebih dekat dengan pusat gravitasi bumi sehingga tubuh mereka memiliki keseimbangan lebih baik. Contoh cabornya antara lain:
Weightlifting (angkat berat) karena tubuh pendek membuat jarak untuk mengangkat barbel ke atas kepala jadi lebih pendek.Gymnastic (senam) termasuk Trampolining, Surfing (selancar), Sport Climbing (panjat dinding) dan Skateboarding karena tubuh pendek tidak gampang jatuh, juga butuh tingkat keseimbangan dan fleksibilitas yang tinggi.Diving (loncat indah) karena tubuh pendek (dan langsing) menimbulkan sedikit cipratan saat jatuh ke air, juga lebih mudah salto.Archery (panahan) dan Shooting (menembak) karena butuh keseimbangan dan lebih ajeg.Bisa juga Indonesia memfokuskan pada cabor Olimpiade yang berdasarkan berat badan, seperti taekwondo, tinju, judo, karate, dan gulat. Buktinya Thailand sukses mendapat emas dari taekwondo putri kelas 49 kg, sedangkan Filipina medapat emas dari tinju putra 48–52 kg dan angkat besi putri kelas 55 kg. Jelas orang Asia Tenggara punya kesempatan besar di kelas teringan ini! Apalagi kalau cabornya merupakan kombinasi antara tinggi tubuh dan berat badan dengan gender putri.
Tiongkok adalah contoh sempurna karena mereka sangat sadar diri akan genetiknya. Sejak pertama kali Tiongkok ikut Olimpiade Los Angeles pada 1984, 75% medali emasnya didapat dari cabor loncat indah, angkat besi, senam, tenis meja, menembak, dan bulu tangkis – sebagian besar didapat oleh atlet putri. Hebatnya sekarang mereka telah merambah medali di hampir seluruh cabor Olimpiade, bahkan di cabor non Asia seperti atletik dan renang. Kesuksesan mereka karena didukung penuh oleh pemerintahnya. Pencarian bakat dilakukan sejak mereka masih anak-anak, dimasukkan ke camp khusus untuk latihan, dan dibiayai negara – meski konon latihannya sangat keras. Atlet yang mulai berlatih dan berprestasi sejak anak-anak, maka kemungkinan untuk bertanding di Olimpiade yang diadakan setiap 4 tahun sekali bisa berkali-kali.
Memang tinggi badan bukan satu-satunya cara untuk mendulang medali, tapi merupakan tahap awal bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya memfokuskan pengembangan cabor tersebut bila tujuannya adalah Olimpiade. Hal ini bukan berarti cabor lain harus dikesampingkan, karena masih ada Asian Games, SEA Games, dan PON. Juga tidak berarti saya menafikan usaha para atlet di cabor manapun. Banyak faktor lain yang membuat atlet berhasil, seperti dukungan pemerintah, keluarga, pelatih, fasilitas, latih tanding, dan dana. Namun sekali lagi, bila tujuannya Olimpiade maka pilihlah cabor yang sesuai dengan genetik orang Indonesia.
Dengan adanya cabor baru Olimpiade Musim Panas yang cocok dengan tubuh orang Indonesia seperti sport climbing (panjat dinding), surfing, dan skateboarding, bahkan di Olimpiade Paris 2024 ada cabor breakdance, Indonesia harusnya bisa berpartisipasi, bahkan berprestasi! Sementara kalau mau berpartisipasi di Olimpiade Musim Dingin, Indonesia cocok ikut cabor figure skating. Ayo semangaaat!


July 8, 2021
Cara Mudah Menerbitkan Buku
Siapa yang awalnya suka membaca buku akhirnya jadi suka menulis? Mungkin awalnya menulis diary, medsos, blog, lalu lama-lama artikelnya dimuat di media massa. Dari sekian banyak tulisan yang dibuat, pernahkah Anda berpikiran untuk menerbitkannya jadi buku?
Pertanyaan selanjutnya: mengapa sih kita perlu menerbitkan buku karya sendiri? Alasan sebagian orang adalah legacy, ingin meninggalkan warisan kepada masyarakat luas berupa pemikiran kita yang dituangkan ke dalam tulisan. Rasanya bangga aja kalau punya buku yang ada nama kita tertulis di sampulnya dan dipajang di toko buku di mal – apalagi kalau bukunya laris! Ada juga yang beralasan ingin mendapatkan keuntungan finansial, lumayan untuk menambah penghasilan di masa pandemi begini. Atau ingin terkenal seperti penulis idola, yang bisa dikirim ke luar kota atau negara lain untuk mempromosikan bukunya. Apapun itu alasannya, tidak ada yang salah kok!
Tapi bagaimana caranya? Buku bagaimana yang layak diterbitkan? Apakah perlu biaya? Bagaimana distribusinya? Untunglah kita hidup pada zaman sekarang di mana ada banyak cara untuk menerbitkan buku.
Setelah kelas saya yang bertajuk “Cara Mudah Menulis” dan “Cara Mudah Menulis Perjalanan”, mari kita lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu bagaimana caranya menerbitkan buku. Kelas ini dimaksudkan untuk menerbitkan buku dengan genre apapun, bukan hanya buku perjalanan seperti yang biasa saya terbitkan. Pengalaman saya sebagai penulis di industri buku selama 14 tahun akan saya bagikan di kelas ini.
Segala pertanyaan di atas dan seluk beluknya akan dibeberkan di Kelas “Cara Mudah Menerbitkan Buku” pada Jumat, 30 Juli 2021, pukul 19.30-21.00 WIB, via Zoom.
Biaya investasinya hanya Rp 129.000,- termasuk bonus voucher diskon pembelian buku-buku saya di @mizanstore dan aplikasi buku @rakatadotid.

Supaya tambah semangat, ada bintang tamu nih! Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, akan bergabung di kelas ini! Bentang Pustaka sendiri adalah penerbit buku saya sejak seri “The Naked Traveler” pertama diterbitkan pada 2007. Mereka juga lah yang telah menerbitkan buku-buku laris nasional dari penulis-penulis terkenal, seperti Dee Lestari dan Andrea Hirata. Pengalaman Mas Salman tentu tidak bisa diragukan lagi. Anda bisa tanya langsung ke beliau, lho!
Segera daftarkan diri Anda di bit.ly/kelastrinity3 karena tempat terbatas! Tunggu reply email dari saya mengenai cara pembayaran dan link Zoom-nya. FYI, semua komunikasi dilakukan hanya via email, jadi harap cek email Anda secara berkala ya?
Mari wujudkan mimpi Anda menerbitkan buku!
TTD,
Bu Guru Trinity

July 7, 2021
Jalan-Jalan Murah Cara Nebeng
Oleh Gemala* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Saya yakin setiap orang pasti pernah ngerasain yang namanya nebeng mobil atau motor, baik itu dengan teman, keluarga, pacar, kenalan, atau orang yang nggak dikenal sebelumnya. Di zaman internet dan media sosial seperti saat ini, nebeng dengan orang yang nggak dikenal merupakan fenomena yang biasa karena sudah ada wadahnya melalui website ataupun aplikasi. Sarana ini cukup aman karena baik penebeng maupun yang memberi tebengen wajib mendaftarkan diri.
Pertama kali saya mengetahui ada pilihan sarana transportasi nebeng atau carpooling itu saat saya kuliah di Jerman lebih dari satu dekade yang lalu. Karena hobi jalan-jalan, setiap ada waktu liburan saya selalu mencari daerah yang bisa saya kunjungi atau sekedar main ke tempat teman yang berada di luar kota. Sebagai pelajar dengan budget terbatas maka saya selalu berusaha mencari sarana transportasi yang termurah – dan cara nebeng termasuk yang termurah! Jika dibandingkan dengan kereta atau pesawat sudah tentu carpooling yang termurah. Jika dibandingkan dengan bus kadang bisa lebih mahal sedikit atau lebih murah. Namun kalau kita bisa menemukan tebengan yang benar-benar searah dan sehati alias ingin cepat sampai juga maka waktu perjalanan yang ditempuh bisa lebih cepat dari bus bahkan dari kereta sekalipun.
Memang tidak semua orang nyaman menggunakan sarana transportasi ini apalagi kalau kamu orang asing. Saya pernah merekomendasikan teman saya yang sama-sama orang asing untuk menggunakan sarana transportasi ini dan langsung ditolak mentah-mentah dengan alasan dia merasa nggak nyaman kalau semobil dengan orang yang nggak dia kenal. Padahal naik bus isinya kan lebih banyak orang yang dia nggak kenal! Menurut saya suasana nebeng nggak ada bedanya dengan naik bus, bahkan cenderung lebih nyaman, apalagi kalau kita bisa dapat mobil yang keren.
Pengalaman saya dapat tebengan mobil mahal saat saya nebeng dari Munich ke Berlin. Saat itu lagi momen Oktoberfest jadi banyak banget pilihan tebengan karena orang Jerman dari berbagai daerah banyak datang ke Munich untuk mabuk-mabukan. Saya ke sana bukan untuk ikutan mabuk-mabukan melainkan untuk bertemu dengan teman lama saya yang sedang berkunjung ke Jerman. Pulangnya saya dapat tebengen anak orang kaya di Berlin. Bayangkan, dia baru masuk kuliah S1 tapi sudah mengendarai BMW open rooftop! Kalau dia bukan anak orang kaya nggak mungkin dia punya tunggangan sekeren itu.
Saat saya dijemput, sudah ada 3 cowok di mobil tersebut termasuk si pemilik mobil. Saya diberikan tempat duduk di depan oleh mereka. Biasanya pertanyaan standar kalau lagi nebeng untuk orang asing itu adalah, ”Where are you from?”. Saat saya menjawab Indonesia, reaksi mereka sungguh di luar dugaan karena mereka bilang nggak pernah mendengar Indonesia sebelumnya. Namun saat saya bilang Bali, mereka tahu Bali. Doh! Lebih parahnya lagi, si pemilik kendaraan ini bilang dengan polosnya kalau dia pikir saya orang Cina, karena menurut dia orang Asia itu ya orang Cina. OMG! Untuk standar anak kuliahan pernyataan dia asli bikin saya shock! Jadi jangan pernah berpikir kalau bule itu lebih pintar dari kita, ya! Ada juga kok yang bego. Hehe!
Bonus lainnya dari jalan-jalan dengan nebeng adalah kalau kebetulan dapat supir alias pemilik kendaraan yang ganteng. Saya nggak akan pernah melupakan perjalanan saya dari Austria ke Jerman karena pemilik mobilnya yang ganteng dan ramah. Kebetulan saya duduk di bangku depan saat itu jadi saya yang lebih banyak ngobrol dengan dia dari pada penebeng lain yang duduk dibelakang. Topik pembicaraan kami banyak seputar dunia pendidikan karena dia bekerja sebagai guru sekolah dasar di Jerman. Selain itu mata saya juga dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah di sepanjang jalan karena kami dapat melihat pegunungan Alpen yang berwarna sedikit kemerahan karena diterangi cahaya senja saat itu dan ditambah dengan pak guru ganteng di sebelah saya yang menemani. Sungguh pengalaman yang susah untuk dilupakan! Sayangnya setelah itu saya tidak pernah mendapatkan tebengen seganteng pak guru itu lagi.
Tidak semua pengalaman nebeng saya menyenangkan. Saat itu saya pergi bersama dengan teman saya. Dari awal saya sudah merasa nggak enak hati karena mobil yang mau kami tebengin berbentuk van sehingga penumpangnya cukup banyak. Namun karena tidak apa pilihan lain kami akhirnya mem-booking juga. Rute mobil juga tidak langsung menuju ke Wina karena pemilik mobil banyak melipir keluar jalan utama untuk menjemput penumpang lain. Oleh karena itu waktu perjalanan kami menjadi sangat panjang melebihi waktu yang seharusnya. Mobil kami juga sempat diberhentikan oleh polisi untuk diperiksa. Mungkin karena berbentuk van jadi terlihat mencurigakan – disangka van yang mengangkut korban human trafficking! Hehe! Bedanya korbannya di sini tidak dalam keadaan ketakutan karena ada yang tertidur, mendengarkan musik, membaca buku, ada juga yang ngomel-ngomel sepanjang jalan karena kelaparan… dan itu adalah teman saya. Karena tidak menyangka perjalanannya akan selama itu, kami tidak banyak membawa makanan. Saat sampai di Wina sudah malam dan teman saya pun demam!
Pengalaman buruk seperti itu tidak membuat saya kapok untuk menebeng, bahkan saya ketagihan. Paling nggak ketika ke Eropa, saya selalu mencari alternatif perjalanan jika ada cara nebeng. Terakhir kali saya liburan ke Jerman sebelum pandemi, saya menggunakan carpooling lagi. Kali ini dari Hamburg ke Copenhagen. Saat itu pemilik kendaraannya seorang pria paruh baya yang ramah. Dia cerita kalau dia habis mengunjungi anaknya di Berlin sedangkan dia sendiri tinggal di Copenhagen. Saya sempat terlambat 30 menit namun saya sudah memberitahukan sebelumnya karena ada gangguan di jalur subway saya. Dengan baik hati si bapak bilang dia akan menunggu saya 30 menit. Begitu saya sampai di tempat janjian, dengan ramah dia memperkenalkan diri dan memasukkan koper saya ke bagasi. Saat itu sudah ada 3 cewek penebeng lain di sana dan bangku yang tersisa ada di belakang. Kali ini saya mendapat jatah untuk memandang alam dari kursi belakang sambil mendengarkan si cewek di depan menemani si bapak mengobrol, sampai akhirnya saya tertidur.
*Gemala adalah peminum kopi yang suka jalan-jalan dengan mobil (road trip).
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.

July 6, 2021
Ke Shanghai Demi Roger Federer
Oleh Henri Batubara* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Perjalanan saya ke Shanghai pada Oktober 2019 silam adalah traveling sekaligus menonton tenis. Ya, tenis adalah olah raga yang rutin saya geluti. Dan menyaksikan pertandingan tenis kelas dunia sudah sejak dulu saya cita-citakan. Syukurlah benua Asia masih dapat jatah menyelenggarakan satu turnamen, tepatnya di Shanghai. Saya pun sejak tahun 2018 saya sudah menetapkan salah satu tujuan liburan saya tahun 2019 adalah kota nomor dua terbesar di China itu.
Pada akhir tahun 2018 laman asosiasi tenis putra (ATP) sudah mencantum kalender turnamen selama tahun 2019. Maka sebagai seorang traveler yang ‘bertumbuh’ berkat buku-buku The Naked Traveler, saya pun langsung berburu tiket sebuah maskapai yang mengadakan Travel Fair awal Februari 2019 di Gandaria City. Yay, dapat dong tiket yang terbilang sangat murah untuk maskapai sekelas Singapore Airlines karena cuma Rp 4,5 juta pp! Ketahuan ya saya kalau bepergian selalu ‘modis’ alias modal diskon!
Setelah hotel di Shanghai berhasil dipesan, saya belum lega 100 persen karena lewat laman turnamen untuk pembelian tiket, usaha saya tidak membuahkan hasil. Denah kursi dan diferensiasi harga yang jelas tercantum sudah saya pilih, namun saat membayar dengan kartu kredit selalu tidak berhasil. Sesuai ketibaan, saya menetapkan untuk menonton babak perempat final dulu. Semifinal dan final nanti saja karena tiketnya lebih mahal. Pertandingan yang saya pilih tentunya idola saya, Roger Federer. Karena dialah saya ke Shanghai. Tentu saya sudah ‘berdoa semalam suntuk’ agar dia tidak tersingkir di babak-babak awal.
Perjalanan dari Jakarta ke Pudong transit di Changi berjalan lancar. Saya sudah sampai di hotel hari Jumat jam delapan. Kepagian dong untuk check in! Saya yang belum kenyang saat sarapan di pesawat langsung mencari makanan di sekitar hotel. Ternyata pramusajinya pada nggak ngerti bahasa Inggris! Akhirnya kami pun bicara pakai bahasa isyarat dengan menunjuk-nunjuk gambar. Pilihan berdasarkan cocok di mata dulu. Urusan di lidah belakangan.
Dengan taksi yang dipesan resepsionis hotel, saya pun berangkat ke TKP. Butuh waktu 30 menit ke stadion bernama The Qizhong Arena itu. Memasuki menit ke 20, saya menyadari tujuan semakin dekat. Spanduk, baliho para pemain dan poster turnamen sudah berkibar menyambut. Barisan mobil-mobil pun mulai melambat. Calo-calo dengan sigap mengejar dan menggedor kaca, namun saya tidak tergoda. Kaca mobil tidak saya turunkan. Pasti harganya melambung tinggi. Beberapa meneriakkan Federer berkali-kali sambil mengibarkan lembaran tiket di tangannya. Saya tetap bergeming.
Begitu turun dari taksi, kembali saya diserbu para calo. Meski mereka mengatakan semua tiket sudah sold out, saya tetap melangkah menuju loket. Apa mau dikata, tiket pertandingan Federer melawan Zverev benar sudah habis. Namun untuk pertandingan sekarang masih ada antara Novak Djokovic versus Tsitsipas. Ah, ini seru juga, bisikku dalam hati mengingat Djokovic adalah pemain nomor satu. Ambil! Lega, karena tiket saya peroleh sesuai harga resmi.
Sebelum masuk stadion yang termasuk lima besar di dunia dalam hal kapasitas daya tampung itu, tentu tak lupa foto-foto dulu, baik secara swafoto maupun minta tolong ke pengunjung lain. Tentu berpose bersama sang idola tak dilewatkan. Barbuk lho! Setelah puas berfoto-ria, saya mampir ke beberapa booth sponsor turnamen. Topi dan apparel tenis pindah ke dalam tas.
Begitu memasuki stadion dan menempati kursi yang termaktub di tiket, saya mengitari seluruh stadion yang lapangannya berada jauh di bawah sana (ketahuan deh harga tiket saya!). Stadion berbentuk oval ini beratapkan langit. Sesekali pesawat-pesawat melintas dengan berisiknya. Semoga tidak hujan, batin saya. Begitu kedua pemain memasuki arena, hati saya bergemuruh. Akhirnya saya melihat langsung para pemain kelas dunia, meski kecil namun terbantu oleh monitor-monitor raksasa di beberapa penjuru sehingga wajah mereka jelas terlihat. Pertandingan berlangsung ketat sampai tiga set yang dimenangi petenis Yunani itu. Apes, unggulan pertama keok!
Memang kalau sudah jodoh, ke mana pun akan dapat juga. Saat istirahat set ke tiga, seorang pria lokal menyandang tas ransel tenis berisi dua raket masuk dan duduk hanya dua kursi di sebelahku. Aku tegur, dan dia merespon dengan ramah. Termasuk niat saya hendak menonton Roger Federer pun dia tanggapi dengan sempurna. Dia buka aplikasi dari gawainya, “The ticket is still available!”
Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan tiket itu dengan harga normal berkat pertolongannya. Rejeki anak soleh! Roger main menjelang malam hari. Langit sudah meremang. Begitu masuk kembali ke dalam, saya menengadah. Ternyata stadion ini punya atap yang bisa disetel sesuai keperluan dan cuaca. Saya berdecak kagum. Meski hujan badai turun, pertandingan tak akan terinterupsi ternyata. Sayangnya jagoanku kalah menyesakkan tiga set! Dia mengikuti jejak rivalnya yang telah duluan bertekuk lutut melawan petenis Yunani tadi. Sedih? Pasti. Idola kalah gitu, lho! Saya langsung mencoret rencana menonton semifinal dan final.
Hari Sabtu saya mengitari kawasan The Bund yang menjadi ikon kota Shanghai. Saya juga berbelanja ke toko Uniqlo yang menjual baju dan celana yang dikenakan Roger Federer waktu main kemarin. Anehnya tidak semua gerai menjualnya. Hanya di gerai terbesar yang menjual. Makanya alangkah bahagianya ketika saya berhasil membelinya. Namun imbasnya, keinginan untuk memakai kaos Federer saat menggebu-gebu. Kalau saya pakai kembali ke stadion seperti thematic gitu, kan? Akhirnya saya putuskan untuk menonton partai puncak alias final keesokan harinya. Saya pede saja pergi, dengan keyakinan tiket pasti akan bisa saya peroleh.
Karena bukan orang baru lagi, saya langsung menuju loket. Namun petugas security menghadang seraya menggeleng. Yaah, tiket sudah ludes terjual! Yang masuk final adalah si penakluk Federer dengan petenis muda Rusia yang sedang naik daun: Daniil Medvedev. Karena belum memiliki tiket, otomatis saya tidak boleh memasuki arena.
Dalam keputusasaan, mata saya terpaku pada wanita bule semampai yang sangat cantik dengan dandanan formal berwarna pastel; seperti menunggu seseorang. Sayang dilewatkan begitu saja, iseng saya nekat mendekat, “Excuse me, I’d like to buy a ticket. Do you sell it?” Dia sontak kaget menatap saya dan menggeleng tentu saja. Mungkin dalam hati memaki saya: Emang gue punya tampang calo apa?
Kelar ‘bermain’ dengan cewek cakep, beberapa menit berlalu begitu saja. Final tinggal 15 menit lagi akan dimulai. Saya mulai gelisah. Apakah saya akhirnya pulang dengan tangan hampa? Sia-sia dong ‘pamer’ kaos Federer!
Tiba-tiba ada tiga remaja oriental menawarkan satu tiket kepada pria bule berpakaian mentereng. Si bule menggeleng. Saya tak ingin membuang kesempatan. Begitu mereka lewat di depan, langsung saya tegur. Ternyata seorang teman mereka tiba-tiba batal menonton. Olala, pucuk dicinta ulam tiba! Saya berhasil mendapatkan satu tiket final dengan harga diskon – bahkan lebih murah dari harga resmi! Baik benar mereka! Mereka pun mengajak saya untuk masuk bareng.
Ternyata kursi saya terpisah dari mereka bertiga. Saya duduk tiga baris di depan mereka. Duduk di sebelah saya adalah seorang pria bule, yang ternyata dari Rusia. Vladimir namanya, seorang tennis freak juga. Buktinya dia datang dari Moskow demi Medvedev. Kami ngobrol dengan akrab dan saling memberi nomor ponsel. Oh, indah sekali akhir perjalanan ke Shanghai ini. Apalagi Medvedev juara pula! Kami berdua tanpa jaim lagi melonjak-lonjak gembira.
*Henri Batubara berprofesi sebagai dokter aparat sipil negara. Hobinya membaca, menulis, dan koleksi buku (di antaranya seri The Naked Traveler). Karyanya berupa cerpen dan cerber pernah dimuat di majalah Femina, Kartini, Gadis, dan Tabloid Nyata. Juga satu buku kumpulan cerita yang terbit indie berjudul Song for Susan (April 2020). Saat ini sebuah novelnya sedang tayang di platform Storial.co berjudul Setelah Matahari Padam. Ia dapat dihubungi di email: batubara184@gmail.com
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.

July 5, 2021
PULAU BURU DAN HAL-HAL YANG INGIN KULUPAKAN
Oleh Fatma Puri Sayekti* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Pulau Buru adalah sebuah ambisi. Aku beberapa kali pernah ke Maluku, tapi belum ke Buru. Aku hanya mendengar pulau kecil di barat Ambon ini dari cerita sepintas lalu bahwa sastrawan kawakan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah dibuang ke sana. Lalu orang ramai membicarakannya.
Awal mula perjalanan ke Pulau Buru ini cukup menggelikan, lalu kemudian menyesakkan. Sekitar Mei 2018, aku bertemu seorang laki-laki di Aceh. Sebut saja namanya Bastian. Kami ada acara bersama selama seminggu. Dia asli Maluku, jadi sangat pas bila aku bertanya bagaimana cara ke Buru. Setelah ngobrol, aku baru tahu ternyata dia berasal dari Sofifi, ibukota Maluku Utara, tapi sedang berkuliah di Jogja. Sebuah pulau yang bahkan sangat jauh di utara Buru, pun beda provinsi. Tapi tak apa, pikirku.
Setelah pulang dari Aceh, aku dan Bastian intens berkabar di chat. Tujuanku antara lain mengetahui dengan persis bagaimana cara menyeberang dari Ambon ke Buru, berapa biaya yang dibutuhkan, minta dikenalkan ke teman yang tinggal di sana, dan sebuah jaminan bahwa aku akan bisa pulang dengan badan utuh.
Akhirnya hari itupun tiba. Aku sudah menyelesaikan pekerjaan di Ambon dan mulai merealisasikan rencana ke Pulau Buru. Bastian “mengawasiku” dari Jogja. Mengirim banyak pesan singkat selagi aku membunuh waktu menunggu jadwal keberangkatan feri di pelabuhan Ambon pukul 8 malam. Selama 6 jam perjalanan laut dengan bantal apek dan ketakutan dimaling, setengahnya kuhabiskan dengan chat dengan Bastian juga. Ngobrol tentang proyek menulis kami, buku-buku yang dibaca, apa yang dilakukan, sampai kekhawatiran karena aku selalu gagal mengontak teman yang akan menjemputku besok pagi. Ah, untunglah, teman itu memang nyata wujudnya dan membawaku naik motor dari Namlea ke Lamahang, kampungnya. Teman baruku ini bernama La Ode.
Aku merekam dengan baik setiap senti perjalanan naik motor selama sejam bersama La Ode. Aku mengabarkan pada Bastian bahwa benar Pulau Buru berbau minyak kayu putih segar, pohon-pohon kayu putih yang normal terbakar di musim panas, dan garis pantai yang amat panjang. Aku seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Sangat bersemangat.
“Aku mau ke desanya Pram! Savanajaya! ” tekatku kepada Bastian, setelah aku sampai di Lamahang. Dia dengan sabar menyarankan aku untuk menggali hal lain selain kejadian 1965 atau para tapol dilan (tahanan politik tanpa pengadilan). Ia memberi ide agar aku mencari cerita tentang makanan kesukaan Pramoedya Ananta Toer, hobi, dan cerita ringan lain. Spontan aku tertawa.
Esoknya, La Ode memboncengku dengan motor melaju ke Savanajaya, yang ternyata jaraknya jauh. Dua jam naik motor cukup bikin bokong dan punggung pegel. Aku bercerita lagi kepada Bastian, bahwa aku tak mungkin melewatkan pergi ke hutan untuk mencari pembuat minyak kayu putih asli dari penyulingannya. Aku bahkan cukup haru bisa melihat wujud daun dari pohon putih, bahan utama pembuatan minyak. Hidungku seperti dimanjakan bau wangi yang agak jauh beda dengan minyak buatan pabrik yang biasa kubeli di supermarket. Aku tersenyum mendapati para pekerja bertelanjang dada yang menunggui tungku panas. Aku melanjutkan perjalanan dengan membawa sebotol tanggung minyak kayu putih yang telah dingin. Mahal juga, 175 ribu rupiah!
Sesampai di desa Pram, kami mendatangi rumah seorang pegiat literasi di sana, sebut saja Bu Minarsih. Beliau masih sangat menggebu-gebu bercerita bagaimana tahun 1980-an harus datang ke Buru karena orangtuanya diasingkan di sini. Stigma negatif masyarakat luas masih ada saja, yang menganggap mereka adalah bekas anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Walau ia juga mengakui bahwa pemerintah sudah banyak memberikan akses pada berbagai fasilitas untuk warga Savanajaya, kompleks perumahan eks pembuangan tapol dilan itu. Aku menceritakan semuanya pada Bastian, yang setia menunggu ceritaku dari Jogja.
Bu Minarsih juga menunjukkan pada kami perpustakaan kecil belakang rumahnya, yang dindingnya dipasang banner foto para perempuan yang zaman dahulu dianggap PKI kemudian diasingkan di sana. Hatiku senang dapat memori baru soal Buru, tapi juga trenyuh dan sakit bagaimana sejarah di bumi manusia bisa begitu bias dan tidak adil bagi sebagian rakyat Indonesia. Perjalanan ini aku akhiri dengan naik feri kembali ke Ambon 7 jam, direct flight 2,5 jam Ambon – Surabaya, lanjut mobil travel 4 jam menuju Kediri.
Sepulang dari Pulau Buru dan kembali ke kota asalku, aku makin intens berhubungan dengan Bastian. Bahkan ketika aku ada agenda ke Jogja, aku menyempatkan diri menemuinya. Di trotoar seberang Alun-alun Kidul Jogja, dengan dua gelas kopi dan kacang. Ia baru jujur bahwa sebenarnya ia pun tak kenal sama sekali awalnya dengan La Ode yang tinggal di Buru itu. Ia hanya teman dari temannya. Jadi dia melepasku ke Buru dalam kondisi berjudi, antara selamat atau tidak. Aku tertawa sejadi-jadinya. Tapi aku tahu. Agar aku mendapat akses ke Buru dengan mudah, ia sedikit omong kosong ke La Ode bahwa aku adalah pegiat literasi yang sedang meneliti dan ingin menulis soal Pram.
Sejak saat itu, aku dan Bastian semakin dekat. Bagiku, tak mudah menemukan pria yang bisa nyambung diajak ngobrol, sekaligus menghormati dan mendukung aktifitas perempuan.
Namun, tepat sebulan setelah pertemuan terakhir kami, Bastian menghilang tanpa kabar. Sampai sekarang. Seandainya boleh memilih, aku ingin melupakan semua yang sudah dia lakukan. Aku ingin lupa bahwa dialah yang sudah “membawaku” jauh ke Buru. Lupa bahwa dia yang membuatku mengalami hal-hal seru. Lupa bahwa ia yang “menemaniku” sepanjang perjalanan dengan pesan-pesan singkat menanyakan kabar dan sebagainya. Lupa bahwa ia adalah salah satu orang paling bahagia ketika aku berhasil kembali ke Kediri dengan selamat. Dan lupa bahwa keinginan melupakan justru membuatku semakin ingat dia, bahkan setelah tiga tahun sesudahnya.
—
*Fatma Puri Sayekti, asli Kediri, Jawa Timur. Sekarang menjadi psikolog dan dosen Psikologi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Hobi membaca novel dan nonfiksi traveling, jalan-jalan, serta nonton drama Korea. Pernah singgah hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bercita-cita keliling dunia gratis.
IG: @puri.fatma, FB: Fatma Puri, Blog: www.petypuri.blogspot.com

June 20, 2021
5 Cara Berhemat pada Masa Pandemi
Karena pandemi Covid-19, perekonomian dunia melesu. Sebagian dari kita pemasukannya berkurang karena gaji yang dipotong kantor atau pekerjaan freelancer jadi berkurang drastis. Termasuk saya freelancer yang secara tidak langsung bergantung kepada sektor pariwisata, ditambah lagi royalti buku yang terjun bebas karena toko buku sepi. Mana tahun lalu saya habis renovasi rumah, jadi duit sepeser pun saya perhitungkan.
Pandemi sudah berjalan lebih dari setahun tanpa kita tahu kapan berakhir. Meski sekarang perekonomian mulai bergeliat lagi, namun tetap saja belum pulih seratus persen. Yang bisa saya lakukan adalah mengatur keuangan pribadi. Saya makin rajin menabung dan berhemat. Jadi nanti kalau pandemi kelar, saya siap cabut traveling lagi dan bikin buku lagi!

Bicara soal perencanaan keuangan, untuk mendapat keuntungan kuncinya adalah menambah pemasukan dan menekan pengeluaran. Pemasukan bertambah bisa dari pekerjaan sampingan, seperti jadi pemengaruh medsos dan berjualan barang di lokamarket. Atau dengan cara berinvestasi, seperti obligasi, emas, saham, dan uang kripto.
Menekan pengeluaran sepertinya kita sudah otomatis menerapkannya. Contohnya karena tidak ke mana-mana, maka pengeluaran beli baju, sepatu, make up, makan di luar, ngopi-ngopi sama teman berkurang drastis. Itu sudah bagus! Namun tahukah Anda bahwa ada lagi biaya yang masih bisa ditekan tanpa kita sadari?
Berikut saya sharing cara-caranya;
Masak sendiri – Cara ini saya lakukan saat traveling maupun di kehidupan sehari-hari karena sangat menghemat pengeluaran. Memang karena tinggal sendiri lebih mudah pesan makanan di aplikasi daring, tapi dengan ongkos minimal Rp 13.000,- per order belum termasuk harga makanan yang berkisar di Rp 20 ribu – Rp 50 ribu jadinya tidak murah juga. Masih lebih murah bila membeli bahan makanan dari tukang sayur dan masak sendiri. Belanja Rp 50 ribu saja sudah bisa buat makan beberapa hari. Kalau sekali masak porsinya terlalu besar, biasanya saya bagi-bagi ke dalam food container, masukin kulkas, dan siap dipanaskan kalau mau makan selanjutnya.Cek tagihan berlangganan – Kalau tidak karena pandemi, saya tidak memperhatikan lembar tagihan langganan secara rinci. Saya baru sadar di tagihan TV kabel dan internet ternyata ada komponen biaya langganan yang saya tidak pernah daftar, yaitu langganan channel sepak bola dan aplikasi nonton di ponsel. Baru tahu selama ini mereka men-charge Rp 20.000,- per bulan untuk sesuatu yang tidak pernah saya gunakan. Bayangkan, setahun saya membuang Rp 240.000,- dengan sia-sia dan itu sudah terjadi bertahun-tahun! Saya juga pernah cek tagihan TV kabel teman, ternyata sama juga. Dia akhirnya downgrade paket berlangganan karena tidak butuh semua channel. Jadi coba cek lembar tagihan Anda dan sesuaikan dengan kebutuhan.
Berhenti keanggotaan gym – Sejak lockdown, saya memberhentikan keanggotan gym. Meski mereka memberikan biaya gratis selama gym tutup sementara, namun saya masih takut berolahraga di gym pada masa pandemi ini. Saya pun beralih ke olah raga daring di rumah via YouTube. Dengan demikian, saya berhemat Rp 500 ribuan sebulan. Lumayan kan?

Hapus biaya transfer – Karena hampir semua transaksi perbankan harus dilakukan dari rumah padahal banyak orang yang pakai bank berbeda, maka kita perlu punya aplikasi bank yang mumpuni. Kita tahu bahwa biaya transfer antarbank berbeda biayanya Rp 6.500,- per transaksi sampai-sampai kita terbiasa bertanya, “Punya bank X nggak biar gratis transfer?”. Makanya carilah bank yang membebaskan biaya transfer seperti CIMB Niaga melalui aplikasi OCTO Mobile. Mereka membebaskan biaya transfer ke bank lain sebanyak 20 kali per bulan. Berarti kita sudah menghemat Rp 130.000,- per bulan atau Rp 1.560.000,- per tahun! Lumayan banget hematnya kan?

Cicilan 0% – Kalau ada pengeluaran yang bisa dicicil tanpa bunga, lakukanlah! Ini membantu beban bulanan jadi tidak tiba-tiba besar sehingga mempengaruhi cash flow, maka lebih baik bebannya dibagi ke beberapa bulan. Kartu kredit CIMB Niaga bisa melakukan hal ini dengan bunga 0% di aplikasi OCTO Mobile. Jadi kalau transaksi minimal Rp 300 ribu, kita bisa langsung ubah jadi cicilan 0% selama 3 atau 6 bulan dengan hanya pencet-pencet tombol di OCTO Mobile dengan mudahnya dan otomatis disetujui secara real time. Misalnya beli sesuatu seharga Rp 600 ribu, daripada langsung bayar Rp 600 ribu di 1 bulan, mending bayar Rp 200 ribu per bulan selama 3 bulan. Benar-benar bermanfaat!

Bagaimana kalian berhemat di masa pandemi? Coba share di comment ya!

Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
