Trinity's Blog, page 4

December 26, 2022

Perjalanan dari #TNTrtw ke #TNTamteng

Nggak terasa perjalanan 1 Year Round-the-World (atau disebut #TNTrtw) sudah lewat sepuluh tahun yang lalu! Pada 2012-2013, saya keliling dunia selama setahun nggak pulang-pulang dengan mengunjungi total 22 negara: mulai dari Rusia, Estonia, Lithuania, sampai Brasil, Peru, bahkan ke Jamaika dan Kuba. Saking serunya perjalanan tersebut, saya sampai menuliskannya di dua buku, yaitu The Naked Traveler, 1 Year Round-the-World Trip Part #1 dan Part #2.

Waktu itu saya jalan tidak sendiri, tapi bareng sahabat saya si Yasmin. Nah, sejak itu kami bertekad melakukan perjalanan jauh dan lama setiap sepuluh tahun sekali. Ya begitulah, kami sama-sama spouseless, parentless, dan childless, jadi duit mau diapain kalau nggak buat senang-senang sendiri kan? Eaaa! Eh, udah ngayal rencana macam-macam, apa daya pandemi melanda dunia! Tiga tahun yang bikin keuangan kacrut dan ketidakjelasan kapan dunia kembali normal, membuat kami mengubah rencana. But the show must go on!

Dengan pertimbangan keuangan, waktu, dan visa, akhirnya kami memutuskan untuk trip bareng lagi ke negara-negara di Amerika Tengah (disingkat #TNTamteng)! Kenapa? Karena dulu meski sudah hampir khatam Amerika Selatan, kami hanya sempat mengunjungi satu negara di Amerika Tengah, yaitu Guatemala (baca deh di buku #TNTrtw: bikin visanya drama banget!). Tanggung banget kan? Lagipula, kami ingin melancarkan Bahasa Spanyol lagi yang dulu susah payah dipelajari sambil jalan.

Adapun durasinya hanya traveling beberapa bulan aja (bukan setahun!). Kami akan berangkat besok pada 28 Desember 2022, biar bulan depannya dipasin perayaan ulang tahun kami yang sama-sama di bulan Januari. Uhuy! Keliling Amerika Tengah pada saat ini pun dipilih karena musimnya pas hangat jadi nggak ribet bawa gembolan baju winter.

Sepuluh tahun ternyata mengubah banyak hal. Utamanya karena kami sudah semakin tua! “Faktor U” inilah yang membuat kami akan bawa koper, bukan ransel lagi. Perubahan teknologi juga menambah pressure pada perjalanan kami. Contohnya, dulu Instagram isinya foto suka-suka, sekarang ada Story dan Reel yang kudu update. Di sisi lain, sekarang buku panduan Lonely Planet sudah dalam bentuk PDF jadi nggak berat bawanya. Plus, Google Maps sudah mumpuni jadi semoga bikin berkurang nyasarnya.

Peraturan visa sekarang memang telah berubah: ada beberapa negara di Amerika Tengah yang bebas visa asal punya visa Amerika Serikat atau Schengen. Namun ternyata tidak semudah itu, Ferguso! Ada sebagian negara yang masih memasukkan Indonesia ke dalam “Kategori C” bareng Afghanistan, Irak, Eritrea, Korut, dan negara-negara nggak jelas lainnya. Huh! Artinya, kami tetap harus apply visa! Syaratnya aja nggak masuk akal; harus vaksin yellow fever, harus bikin SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), surat sehat, surat undangan, surat kerja, dll, dsb, yang semuanya harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Spanyol! Hadeuuuh!! Alhasil, sampai hari ini aja kami belum dapat sebagian visa! Lha, gimana dong? Ya liat ntar aja gimana!

Intinya, kami mohon doa dari teman-teman semua agar perjalanan kami lancar dan aman. Amin! Kalau kalian tinggal di kawasan tersebut dan bersedia ditebengin nginep, kami mau kok. Hehe! Anyway, ikuti terus perjalanan kami di blog ini, Instagram, Twitter, Facebook, YouTube, TikTok dengan hashtag #TNTamteng ya!
Wish us luck!

P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Bisa juga buat jajan di #TNTamteng lho! Muchas gracias!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 26, 2022 19:43

November 30, 2022

Jadi (Satu-Satunya Orang Indonesia) Pembicara di TBEX Asia 2022!

TBEX (Travel Blogger Exchange) awalnya didirikan oleh sekumpulan travel blogger di Amerika Serikat pada 2009. Lama-lama berkembang menjadi ajang pertemuan dunia antar travel content creator, pelaku industri pariwisata, dan brand. Tujuannya berjejaring, mempelajari tren dan strategi terbaru dari satu sama lain dan para ahli terkemuka di dunia.

TBEX diselenggarakan secara reguler setiap tahun dan dibagi berdasarkan kawasan, seperti TBEX North America, TBEX Europe, dan TBEX Asia. Setelah tiga tahun vakum, TBEX Asia diadakan di Thailand tahun ini yang di-host oleh Tourism Thailand. Saya diundang menjadi pembicara di TBEX Asia 2022 yang diadakan di Angsana Laguna, Phuket, pada 15-18 November 2022.

Ratusan peserta dari berbagai belahan dunia mengikuti konferensi yang dibagi berbagai sesi sesuai tema, antara lain partnership, business model, SEO (Search Engine Optimization), social media, dan online content. Lalu ada acara Speed Networking yang mempertemukan para creator dan perusahaan pariwisata/brand, serta Meet the Expert bagi peserta mau bertanya langsung ke ahlinya. Semuanya tentu termasuk makan siang dan coffee break.

Sesuai dengan keahlian, saya jadi pembicara di sesi online content dengan judul Essential Travel Writing Techniques for Storytelling. Agak grogi juga udah lama ga jadi pembicara pake bahasa Inggris di forum internasional offline, tapi ternyata feedback dari peserta oke banget! Mereka aktif mencatat dan bertanya. Apalagi mereka kagum ada travel blogger yang kisah hidupnya difilmkan! Hehe!

Travel Writing session. (Photo by Jason Rupp)

Saya juga menghadiri beberapa sesi untuk belajar hal baru dan dikasih meja khusus untuk sesi Meet the Expert. Entah harus sedih atau bangga, saya satu-satunya orang Indonesia di acara sebesar itu! Untungnya ada beberapa teman yang pernah trip bareng di berbagai negara sebelumnya dan berkenalan dengan banyak teman baru yang likeminded, jadi asyik aja main bareng. Tapi kadang saya butuh me time juga. Begitu ada break, saya “kabur” sebentar ke hotel tempat menginap para pembicara di Banyan Tree untuk boci (bobo ciang)! 🙂

Sesi terakhir saya adalah Closing Keynote berjudul Travel Content Creation After the Pandemic bersama creator Singapura dan Filipina. Mereka anak muda yang sangat bersemangat memberikan kiat mengembangkan bisnis. Sementara saya intinya bilang begini, “It is okay to grow your business, but it is okay too if you still want to take a nap like I do!” Langsung saya dapat standing applause dari peserta segedung! Hahaha!

Closing Keynote with Anton, Yosh, and Hendric. (Photo by Therine)

Asyiknya, setiap malam ada party yang di-host bergantian oleh Centara, Andamanda Water Park, Aquaria Phuket, dan Intercontinental Phuket. Makanannya enak dan berlimpah, hiburannya ga kaleng-kaleng (termasuk ladyboys’ sexy dance!), plus… alkohol unlimited! Lumayan untuk mencairkan suasana.

O ya, konferensi sebenarnya hanya dua hari penuh, tapi sebelum dan setelahnya diadakan fam trip (familiarization trip) ke berbagai destinasi di Thailand yang dapat dipilih peserta. Saya memilih destinasi serba pantai, yaitu ke Racha Island dan provinsi Phang Nga. Trip ini enak bener sih karena kami benar-benar dimanja dengan hotel mewah dan tempat indah! Liat aja di Instagram Reels @trinitytraveler. Pinter juga Tourism Thailand ini: bayangkan, ada ratusan orang yang mempromosikan pariwisata Thailand dengan senang hati. Salut deh sama pemerintahnya!

Fam trip in Similan Islands.

Hasil pengamatan saya dari TBEX Asia 2022 begini;

Meski travel blog di Indonesia sudah menurun karena tergantikan medsos, namun di Amerika dan Eropa masih hits. Majalah travel aja masih laku. Mungkin karena bangsanya masih suka membaca.Peserta travel blogger Amerika dan Eropa ini mayoritas berusia 50 tahun, mereka aktif ngeblog sejak awal 2000-an. Yang menarik, banyak yang baru mulai ngeblog setelah anak-anaknya yang berusia 18 tahun keluar rumah sehingga mereka punya banyak waktu untuk jalan-jalan dan ngeblog.Sebaliknya, travel blogger Asia masih muda-muda. Mereka mengembangkan semua kanal medsos, bahkan mengelola beberapa blog, karena benar-benar serius berbisnis. Sebagian malah bikin perusahaan agency digital dan punya pegawai sampai selusin orang.Tren konten travel selanjutnya adalah video sangat pendek, jadi harus bikin orang tertarik menonton pada 2 detik pertama!

Duh, gawat! Saya masih suka menulis blog padahal udah jarang dibaca, sementara medsos saya gitu-gitu aja. Jadi saya harus gimana dong ya?
*brb, boci dulu*

P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 30, 2022 08:26

September 15, 2022

Kesialan perjalanan di Eropa

Dari perjalanan saya keliling Eropa 1,5 bulan pada Juni-Agustus lalu, yang paling berkesan justru cerita kesialan-kesialan yang menimpa saya. Rupanya cerita sial ala #TrinityBanget belum berakhir!

Hari ketiga di Eropa, saya menginap di kos teman yang kamarnya berada di attic (loteng) khas rumah Belanda kuno. Setelah packing karena mau pindah kota, saya menuruni tangganya yang sempit dan tegak lurus. Saat turun sambil gotong koper, kaki saya kelewatan satu tangga dan… GEDUBRAK! Saya jatuh terjengkang dari ketinggian 1,5 meter, mendarat di pantat, plus ketiban koper! Ouch! Awalnya masih sakit biasa, eh lama-lama saya kok susah jalan. Takut kenapa-kenapa, pergilah saya ke dokter. Katanya ga ada patah tulang, cuman memar di dalam. Cuman? Sepuluh hari lebih jalan saya sengklek! Mana tubuh saya bau balsam pedas gitu!

Lalu, dalam perjalanan di bus dari Kroasia ke Montenegro perut saya rasanya kok ga enak dan kepala pusing. Sampai di penginapan di Kotor (ini nama kota), eh saya diare parah dan malamnya muntah! Tiga hari saya mengurung diri di kamar karena lemas. Keluar hanya sekali untuk dan belanja bahan makanan ke supermarket dan ke apotek untuk beli obat (itupun susah payah menerangkan karena staf ga bisa berbahasa Inggris). Sial bener, padahal lokasi penginapan saya oke banget, persis berada di dalam wall kota tuanya.

Di Albania, saya sehat ceria, sampai hari keempat saya ke Butrint. Ini adalah situs arkeologi peninggalan zaman Romawi yang sangat luas, tapi karena tempatnya terpencil di tengah hutan, bus umum hanya ada sejam sekali. Saking asyiknya keliling, saya baru sadar hanya punya 10 menit lagi untuk naik bus. Daripada nunggu bego sejam lagi, saya memutuskan untuk berlari ke halte. FYI, sepatu saya jebol (another sial!) sejak di Kroasia, jadi saya hanya pakai sandal. Dari kejauhan, terlihat bus sudah dinyalakan dan siap bergerak. Saya tambah kencang berlari, dan… BRUK! Saya kesandung trotoar! Lutut saya boncos berdarah-darah! Hadeuuh! Untung ditungguin busnya!

Itu baru soal sakitnya yang saya rasa terjadi karena kecerobohan saya. Tapi kok kejadian sial terus menimpa saya, sampai kejadiannya pun ga masuk akal! Saya pikir karena saya lagi jalan sendiri jadi ga ada yang mengingatkan. Tapi anehnya, pas saya jalan sama orang lain pun kok tetap sial?!

Contohnya di Sardinia, saya jalan bareng Ezra (sepupu saya), Tante M (adik ibu), dan Tara. Setiap hari kami ke pantai. Nah, dari ribuan orang yang lalu lalang di pantai dan tiga orang teman jalan, bisa-bisanya ada satu ban terbang kencang… menabrak saya! Iya, cuma kena ke muka saya doang! Atau, ketika kami lagi asyik berendam di pantai, payung pantai gede gitu tiba-tiba terbang dan lagi-lagi sukses menabrak saya! Catat: cuman kena saya, bukan kena teman jalan atau orang lain di tempat yang sama! Ga masuk akal kan?

Di Dubrovnik, saya jalan berdua Tante M naik bus umum. Sistemnya kita bawa kartu bus, lalu divalidasi oleh supir busnya, baru boleh masuk. Tante M masuk duluan lancar, persis di belakangnya saya masuk… tiba-tiba mesin validasinya mati! Penumpang sebus sampai menggerutu karena supir lama benerin mesinnya. Lha, kok bisa pas saya? Atau ketika kami di bandara gantian ke toilet. Tante M beres, giliran saya masuk toilet yang sama, eh tiba-tiba aja ditutup! Pas saya lagi lho!

Di Ksamil, saya dan seorang teman makan malam di restoran alfresco yang cukup mahal. Tau-tauhujan turun dengan derasnya sampai bikin basah seluruh tamu! Tak lama kemudian… JEBRET! Listrik mati! Negara di Eropa kan sangat jarang mati lampu sehingga mereka ga persiapan punya genset, ga ada senter, bahkan ga punya lilin! Akhirnya saya numpang berteduh di dalam dapur menunggu hujan reda, lalu jalan kaki pulang ke hotel dalam kegelapan. Rupanya listrik mati terjadi di seluruh kota sampai pagi, saya pun tidur banjir keringat!

Di Roma, saya jalan bareng Sri dan keluarganya yang jaminan mewah. Airbnb aja luas dan keren banget, tapi toh terjadi juga kesialan. Malam kedua, seluruh AC di rumah mati! Cuman AC, listrik baik-baik aja padahal. Tau aja di Eropa, ga bisa datengin tukang servis malam-malam, jadilah semalaman banjir keringat lagi. Besoknya kami ke Castel Gandolfo, 25 km dari Roma, untuk berenang di Danau Albano yang cantik. Pulangnya, eh kereta strike (mogok karena demo)! Taksi pun tidak ada yang mau mengangkut karena kejauhan. Setelah berusaha bermacam cara berjam-jam, baru jam 10.30 malam kami akhirnya pulang dengan cara pesan taksi melalui teman di Roma dengan membayar dobel. Damn!

Danau Albano, Italia

Ya ampun… bisa ga sih perjalanan saya lancar-lancar aja? Yang saya tulis di atas baru setengah dari cerita kesialan saya padahal. Mau jalan sendiri maupun sama teman, mau jalan gembel maupun mewah, kok saya tetap sial?!

Tara yang pulang duluan berkomentar, “Kenapa sih IG Story lo selalu mencekam?” Well, saya ga tau jawabannya karena memang begitu realitasnya: saya sakit, jatoh, listrik mati, dan sebagainya. Ezra dan Tante M yang sudah sering jalan sama saya sih sudah paham. Ezra bilang saya selalu ciong sama anak kecil tantrum dan kondisi toilet jorok, tapi dia baru sadar bahwa kesialan saya jauh lebih parah daripada itu. Menurut Tante M, saya memang dari dulu accident prone alias cenderung mengalami kecelakaan. Tak heran alm. ibu sering melarang saya sejak kecil untuk masuk ke toko barang pecah belah.

Dulu saya pikir ini adalah the curse of a travel writer –  perjalanan seorang penulis perjalanan tidak pernah smooth karena ada aja kesialan yang terjadi, konon supaya ada bahan untuk ditulis. Tapi saya sudah menyelesaikan buku The Naked Traveler di seri kedelapan pada 2019! Saya pun tidak lagi menulis lagi untuk majalah karena pada tutup karena pandemi.

Padahal setiap hari di Eropa saya mengucapkan mantra, “I’m not a travel writer anymore. My journey will be smooth!” karena katanya bisa bikin keadaan positif. Saya juga selalu memanjatkan doa agar diberi kelancaran. Eh, kok tidak mempan ya? Huhuhu…! Apakah ini caraNya supaya saya pensiun gebet laki? Eh.

Jadi saya harus gimana, gaes? “Diruwat!” ledek Ezra. No. Seriously. Mungkin ada yang tau penjelasan ilmiahnya mengapa saya begini? Atau ada tip dari kalian supaya perjalanan saya lancar? Kasih pencerahan dong!

P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 15, 2022 21:00

August 28, 2022

Geng Ibu-Ibu Kuburan

Sudah tau kan rumah saya berada di salah satu kompleks makam terbesar di Jakarta? Cerita lengkapnya ada di buku The Naked Traveler 4. Nah, karena saya sering posting IG Story @trinitytraveler foto makanan yang dimasakin “geng ibu-ibu kuburan” sampai bikin netizen ngiler, maka saya mau ceritakan ah!

Lingkungan rumah saya ini bukan kompleks atau real estate. Dulunya kaveling-kaveling tanah kosong yang rumahnya dibangun oleh pemiliknya masing-masing sehingga model rumahnya tidak setema namun tertata dengan baik – sebut saja “rumah gedong”. Seiring dengan berjalannya waktu, tanah di pinggir kuburan dibangun oleh sejumlah orang tanpa izin. Mereka membangun rumah seadanya dengan bentuk bedeng-bedeng – sebut saja “rumah bedeng”. Sudah beberapa kali dirazia aparat, namun entah kenapa tetap saja tumbuh berkembang. KTP mereka Jakarta, ada nama jalan tapi tidak ada nomor rumah.

Dari dulu saya cuman kenal gitu aja sama tetangga, sekedar hi and bye. Semenjak menjadi Kepala Keluarga di KK, sayalah yang harus berurusan sama RT dan ha-ha-hi-hi sama tetangga. Saya sih nggak gaul sama tetangga rumah gedong karena mereka sibuk kerja kantoran sehingga jarang terlihat. Kebalikannya, tetangga rumah bedeng selalu ramah dan terbuka. Saya kenal mereka dari ART saya.

Sejak pandemi yang nggak bisa ke mana-mana ini, saya jadi sering nongkrong sama para tetangga rumah bedeng, saya menyebutnya “geng ibu-ibu kuburan”. Kami bagaikan tinggal di dalam bubble sendiri yang cuman satu blok perumahan dengan kostum dasteran. Saya paling dekat dengan Ibu T dan Ibu E yang berusia 40-50an tahun. Profesi mereka adalah ART di rumah-rumah gedong samping saya, tapi baiknya luar biasa! Kalau minta nasi atau titip kunci sih biasa, ini mereka sering ngundang makan-makan enak!

Bebek goreng & Soto Betawi

Makan-makan biasanya diadakan pada Sabtu malam atau hari Minggu, yang digelar di bale-bale pinggir kuburan atau gelar tikar di pinggir jalan. Menunya sangat beragam, mulai dari aneka sambal yang nendang, oncom leunca, cumi asin, sop iga, soto Betawi, sate maranggi, nasi liwet lengkap, sampai spaghetti dan sup Tom Yam. Kalau Ibu T yang asal Cianjur ini ngeliwet, kami sering makan rame-rame di atas daun pisang. Geng ini pun bertambah banyak dengan ibu-ibu rumah bedeng sekitar, plus bapak-bapaknya yang sering nyumbang ikan hasil pancingan (kadang mancingnya di kuburan!). Makan-makan heboh biasanya dalam rangka Tahun Baru, Lebaran, dan Iduladha (jatah daging kurban mereka dimasak untuk makan rame-rame!).

Ngeliwet Tahun Baru

Ibu-ibu itu memang jago masak karena berpengalaman puluhan tahun jadi ART. Ibu T dulunya kerja di rumah orang kaya dan pernah tinggal di Australia, sekarang dia kerja di tetangga orang Kanada – jadilah dia jago masak makanan mancanegara, termasuk masakan Sunda asalnya. Sedangkan Ibu E dulunya kerja di rumah orang Cina Bangka yang punya restoran – jadilah dia jago masak Chinese food, plus masakan Jawa asalnya. Ibu E ini kadang saya hire kalau ART saya pulkam.

Tragisnya, mereka yang segitu baiknya itu kerap dirundung malang. Suami Ibu T dan Ibu E tiba-tiba meninggal kena serangan jantung. Ibu T harus membagi bedeng kecilnya dengan sepasang keponakan karena tidak sanggup bayar kos. Ibu E motornya hilang dicuri padahal cicilan belum lunas. Sedihnya lagi, anggota geng lain pun meninggal dunia satu per satu karena sakit. Ngeri juga dengan life expectancy warga bedeng yang rendah, tapi mereka menghadapi hidup dengan senyum dan pasrah.

Sebenarnya saya yang jadi nggak enak karena mereka modal sendiri untuk makanan dan nggak pernah mau terima duit dari saya. Yang bisa saya lakukan paling nyumbang duit untuk makan-makan besar, kadang ngasih pakaian atau barang elektronik yang masih layak pakai, kadang traktir makan di mal, dan setiap pergi ke luar kota, saya beliin oleh-oleh. Itu pun mereka balas jasa lagi dengan ngajak saya makan-makan lagi!

Ngajak naik MRT pertama kali

Saya pun berasa jadi agen pemerintah karena rajin menyuruh geng untuk vaksin, mengajarkan cara menggunakan aplikasi pedulilindungi, dan menangkal hoaks yang beredar. Saat sekolah masih online, kadang saya dimintai tolong ngajarin PR Bahasa Inggris anak-anak mereka, karena orangtuanya tidak tahu apa artinya share, fill out the form, atau file PDF. Baru kali ini juga saya masuk ke dalam WhatsApp Group RT. Lama-lama kayaknya saya cocok jadi Ketua RT nggak sih? Hehe!

Menjawab pertanyaan netizen di DM, “Obrolannya apa aja sih sama mereka?” Ya yang ringan dan lucu aja. Saya jadi tau gosip warga sekitar, misalnya si ini affair sama si itu lah, si anu berantem sama si ono karena apa lah, si A ketangkep judi lah, si X dikejar debt collector lah, dan sebagainya. Saya pun cuma ketawa aja ketika mereka masih percaya bahwa orang tiba-tiba jadi kaya atau janda yang dikawinin lagi itu karena guna-guna. Positifnya gaul sama mereka, saya dapat referensi jajanan kampung yang enak dan murah dan nomor telepon tukang-tukang jualan sekitar yang siap delivery kapan aja.

Ada juga netizen DM saya, “Mereka tau nggak sih Mbak Trinity itu siapa?” Jawabannya: nggak tau. Mereka taunya saya kerja di depan komputer tapi sering ke luar negeri! Bisa jadi mereka pikir saya miara babi ngepet. Hehe!

Intinya, saya bersyukur punya para tetangga baik hati. Hari gini di Kota Jakarta gitu lho!

P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 28, 2022 21:00

August 8, 2022

How the pandemic has changed travel

Bagaimana pandemi telah mengubah cara kita bepergian/jalan-jalan? Ini pengamatan saya traveling di lima negara Eropa pada Juni-Juli 2022 selama 1,5 bulan pada saat protokol kesehatan dilonggarkan meski masih (dinyatakan) pandemi.

Sejak pandemi mulai Maret 2020, sebenarnya saya sudah pernah traveling ke luar negeri, yaitu ke Turki pada September 2020 (tulisannya di sini). Saya memang menunggu bisa traveling ke luar negeri lagi setelah vaksin penuh dan saat negara tidak memberlakukan lagi tes PCR dan/atau karantina. Begitu dunia mulai longgar, saya pun pasang ancang-ancang untuk segera cabut! Deg-degan? Tentu! Bayangkan, sudah dua tahun saya tidak solo traveling ke luar negeri!

Ksamil, Albania

Ternyata ada hal-hal yang telah berubah setelah 2,5 tahun pandemi, paling tidak di Eropa. Secara umum begini;

Lebih mahal.
Pertama, karena pas dibuka pas high season musim panas (summer). Tak heran begitu protokol longgar, banyak orang yang jadinya “revenge travel”. Setelah dikarantina sekian lama, orang berbondong-bondong traveling pada saat bersamaan.
Kedua, karena perang Rusia-Ukraina, harga bahan baku dan BBM di Eropa naik.
Ketiga, informasi di situs industri pariwisata banyak yang tidak update, jadi sering harga sudah naik, sehingga bujet membengkak.
Terakhir, ini pendapat pribadi: karena 2,5 tahun pandemi bikin pemasukan seret, saya jadi lebih menghargai uang karena sulit banget dapetnya! Dengan kurs EUR ke IDR yang makin jomplang, saya syok! Bayangkan, pipis di toilet umum 1 Euro itu bisa buat makan seporsi di kita! Huhuhuuu!
Lebih lama.
Saat dua tahun pandemi, banyak bandara yang tidak beroperasi sehingga mereka mem-PHK karyawannya. Begitu dibuka lagi, alhasil bandara jadi kekurangan karyawan. Akibatnya, antrean panjang karena dilayani oleh sedikit orang.  Belum lagi menyebabkan pesawat delay, cancel, atau hilangnya bagasi. High season dan understaffed adalah kombinasi yang bikin kacau. Bukan hanya di bandara, tapi terjadi juga di transportasi umum lainnya. Urusan bikin visa juga memakan waktu lebih lama dari biasanya karena membludaknya pelamar.
Tanpa protokol kesehatan.
Ini tergantung negara dan kotanya. Di Dubrovnik, Kroasia, saya dibentak orang lokal untuk lepas masker. Sebaliknya, di bus umum di Milan, Italia, supir bus membentak penumpang yang tidak mau pakai masker. Sementara di pesawat, tergantung peraturan maskapainya. Penerbangan internasional long-haul masih mewajibkan, tapi penerbangan antar kota/negara di Eropa sudah bebas masker. Saya sih tetap pakai masker kalau di dalam pesawat dan transportasi umum antarkota, itu pun diliatin penumpang lain!
Sama seperti di Indonesia, menjaga jarak sama sekali tidak terjadi. Cek suhu tidak pernah ada. Hand sanitizer sudah tidak lagi disediakan, meski sebagian restoran masih menyediakan QR code untuk akses menu.
Sepi rombongan turis Asia.
Saat ini banyak turis yang traveling secara independen, tidak ikut grup tur dari negaranya. Rombongan turis Asia yang sering menyebalkan karena berisik dan memakan space tempat wisata, tidak terlihat. Mungkin mereka belum boleh keluar dari negaranya, atau urusan visa yang makin sulit dan lama, atau belum saatnya aja. Satu lagi, karena perang, turis Rusia pun tidak terlihat.

Sedangkan bagi saya pribadi, pandemi telah mengubah cara traveling jadi begini;

Tak lagi menginap di dorm hostel.
Alasannya tentu karena saya masih parno. Males aja sharing sekamar bermalam-malam dengan banyak orang nggak dikenal di dalam ruangan sempit yang sering tak berjendela. Belum lagi sharing kamar mandi. Iya, pandemi bikin saya agak germophobia! Awalnya saya khawatir juga, soalnya hostel adalah tempat di mana kita ketemu sesama traveler, jadi ada teman ngobrol dan jalan bareng. Kali ini saya memilih bayar lebih mahal untuk sewa apartemen atau menginap di hotel. Tapi ternyata perjalanan saya lancar-lancar aja dan saya tetap bisa punya teman baru hasil kenalan di luar.
Bawa koper, bukan ransel.
Demi cuan (karena pemasukan seret), baru di trip kali ini saya buka jastip. Sengaja bawa koper ukuran medium biar bisa dimasukin barang jualan. Lumayan lah buat nambahin jajan! Itu pun saya masih merasa risih karena koper kegedean untuk naik transportasi umum. Lagipula saya lagi cedera bahu.
Tidak bawa kamera, tapi bawa laptop.
Sebelum pandemi, saya sering menulis artikel perjalanan untuk majalah, jadilah setiap jalan-jalan saya bawa kamera DLSR supaya kualitasnya layak terbit. Sayangnya begitu pandemi, banyak majalah yang tutup! Jadilah saya nggak bawa kamera lagi. Sekarang semua foto dan video dari ponsel aja untuk kepentingan medsos.
Sebaliknya, biasanya saya nggak bawa laptop (kecuali perginya lama banget), sekarang malah bawa. Maklum, pandemi gini segala urusan jadi pindah ke daring, seperti meeting dan webinar. Itu pun susah payah cari waktu yang pas karena beda time zone lima jam!
Beraktivitas outdoor.
Demi mengurangi risiko penularan, trip Eropa kali ini memang tujuannya berenang di pantai. Untungnya beberapa kota/negara sudah pernah saya kunjungi sebelumnya jadi tidak perlu masuk museum atau beraktivitas indoor lagi. Makan di restoran pun saya duduk di luar. Dugem? Tidak terjadi!

Tidak buka aplikasi kencan.
Eaaaa! Jangan ketawa, tapi pandemi gini saya beneran parno dekat-dekat sama orang nggak dikenal! Apalagi bule kan cuek banget sama protokol kesehatan. Hiy, ngeri ah kalo sakit pas lagi di luar negeri! Eh, tapi mungkin juga karena “faktor U”. Wis tuwek gini kok ya saya dikasih sial mulu; datang ke Eropa dengan keadaan tendon bahu sobek jadi pakai penyangga tangan, hari ketiga jatuh dari tangga loteng sampai harus ke dokter di Belanda, kelar sakit pinggang eh saya muntaber di Montenegro, begitu sembuh eh saya jatuh kepleset ngejar bus di Albania sampe dengkul boncos! Duh, mana pede kencan sama laki kalo sengklek begini? Hahaha!

P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 08, 2022 21:00

July 25, 2022

25 Negara Bebas Visa Untuk WNI Kalau Punya Visa Ini!

Baru saja saya traveling ke tiga negara “baru” – maksudnya baru pertama kali menjejakkan kaki ke sana, yaitu Kroasia, Montenegro, dan Albania (jadi total saya sudah ke 96 negara. Uhuy!). Ketiga negara Balkan ini terletak di Eropa, tapi tidak termasuk Uni Eropa ataupun Schengen, namun saya bisa masuk tanpa visa. Kenapa? Karena saya punya visa Schengen multiple-entry. Bagaimana cara dapat visanya, bahkan sampai berlaku 4 tahun? Baca tipnya di sini.

Meski pemegang paspor Indonesia butuh visa ke hampir seluruh negara di dunia, tapi sekarang ada puluhan negara yang bebas visa atau cuma VOA (Visa on Arrival). Daftar negaranya di sini. Selain itu, ada negara yang membebaskan visa untuk WNI dengan syarat punya salah satu visa “sakti” yang umumnya adalah visa Schengen, USA, UK (United Kingdom), Kanada, Australia, atau Selandia Baru.

Saat tulisan ini dibuat, ada 25 negara yang bebas visa bagi WNI apabila memiliki salah satu visa sakti ini. Tapi ingat, visa sakti ini harus yang masih berlaku, jenis multiple-entry (bebas keluar-masuk berkali-kali), dan sudah pernah dipakai di negara pembuat visa. Saya sudah membuktikannya dengan mengunjungi sebagian negara tersebut tanpa visa, seperti Andorra, Bosnia & Herzegovina, Meksiko, Georgia, dan Taiwan. Sebagian negara lain informasinya diambil dari berbagai sumber daring.

Our Lady of the Rocks, Montenegro.

Berikut daftar ke-25 negara yang memiliki peraturan visa waiver alias pembebasan visa bila memiliki salah satu visa dari negara tertentu;

Albania: visa Schengen.Andorra: visa Schengen.Anguilla: visa UK.Antigua and Barbuda: visa USA/Kanada/Schengen/UK dan membayar visa fee.Argentina: apply ETA (electronic travel authorization) bila memiliki visa USA tipe B2 atau visa Schengen tipe C dengan masa berlaku minimal 3 bulan dan membayar fee USD 50 untuk tinggal maksimal 90 hari. Catatan, seorang teman WNI pernah mencoba tapi tetap nggak bisa! Cis!Belize: visa USA.Bosnia and Herzegovina: visa Schengen untuk tinggal maksimal 15 hari.British Virgin Islands: visa Kanada/USA/UK yang masih berlaku minimal 6 bulan sebelum kedatangan.Bulgaria: visa Schengen.Georgia: visa Kanada, USA, UK, Schengen, Jepang, Korea Selatan, Australia, atau Selandia Baru.Honduras: visa Kanada, USA, atau Schengen.Korea Selatan: visa USA/Kanada/Australia/Selandia Baru, asal sudah memiliki tiket pesawat ke salah satu negara tersebut dari/ke negara ketiga dan berangkat dalam waktu maksimal 30 hari.Kosovo: visa Schengen untuk tinggal maksimal 15 hari.Kosta Rika: visa Schengen, Kanada, Jepang, Korea Selatan, atau USA, untuk tinggal maksimal 90 hari.Kroasia: visa Schengen.Makedonia Utara: visa Schengen dengan masa berlaku minimal 5 hari sebelum kedatangan.Meksiko: visa USA.Montenegro: visa Schengen atau USA dengan masa berlaku minimal 7 hari sebelum kedatangan.Panama: visa USA/UK/Kanada/Australia/Schengen, dan membayar tourist card sebesar USD 30 pada saat kedatangan.Republik Dominika: visa Kanada, USA, atau Schengen untuk tinggal maksimal 30 hari dan membayar fee USD 10.Romania: visa Schengen.São Tomé and Príncipe: visa USA atau Schengen dengan paspor berlaku minimal 3 bulan dan dapat tinggal maksimal 15 hari.  Siprus: visa Schengen.Taiwan: apply online untuk Travel Authorization Certificate bila memiliki visa USA/Kanada/Korea Selatan/UK/Schengen/Australia/Selandia Baru.Turks and Caicos Islands: visa Kanada, UK, atau USA.

Sebagai back up, kalau ke negara “aneh”, saya sih memastikannya dengan mencetak peraturan visa waiver dari situs resmi pemerintah negara yang dituju atau mengirimkan email ke kedutaan besarnya untuk ditunjukkan ke petugas imigrasi bila diperlukan. Maklum, kadang petugas sono pun tidak tahu Indonesia itu apaan. Serius!

Peraturan visa sering berubah seiring dengan situasi politik atau bahkan pandemi. Intinya, selalu double check peraturan visa sebelum berangkat ke negara tujuan. Berangkaaaat!

P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2022 10:08

June 7, 2022

Cara Dapat Visa Schengen 4 Tahun!

Schengen adalah kawasan di Eropa yang terdiri dari 26 negara, yaitu Austria, Belgia, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Swiss. Sejak 1985, mereka sepakat menghapus kebijakan paspor dan semua jenis kontrol perbatasan pada masing-masing kawasan perbatasan. Jadi kata “Schengen” artinya apa? Ini adalah nama kota di Luksemburg tempat perjanjian diadakan. Baru tau kan? 🙂

Kalau mau mengunjungi negara-negara tersebut, sebagai pemegang paspor RI kita harus punya visa Schengen yang di-apply ke salah satu negara anggotanya. Dengan satu visa Schengen, di Eropa kita bebas keluar masuk 26 negara tersebut, termasuk ke Vatican, Monaco, dan San Marino. Di Indonesia bisa apply ke kedutaan negara yang bersangkutan, atau melalui agen resmi yang ditunjuk negara tersebut. Umumnya berlokasi di Jakarta, tapi ada yang bisa apply di Surabaya atau Bali. Visa Schengen dari Italia dan Yunani apply di kedutaan yang bersangkutan, Belanda di agen VFS, Prancis di TLS, Spanyol di BLS. Informasi lengkap tentang syarat apply visa, silakan baca di situs resmi Kedutaan negara Schengen.

Secara umum, cara mengajukan visa Schengen adalah: 
1. Dapatkan jadwal appointment (janji temu) untuk wawancara dan menyerahkan dokumen.
2. Membawa dokumen berupa:
– Formulir dari negara yang di-apply.
– Paspor yang masih berlaku.
– Foto terbaru ukuran 3,5 x 4,5 cm dengan latar belakang putih.
– Bukti tiket penerbangan pulang-pergi.
– Bukti akomodasi.
– Asuransi perjalanan yang mencakup negara Schengen dengan minimal coverage 30.000 Euro.
– Bukti keuangan.
3. Membayar visa sebesar 80 Euro.
4. Menunggu dengan harap-harap cemas sambil cek status di link tracking yang diberikan.
5. Mengambil paspor. Artinya, visa bisa dapat atau tidak.


Syarat utama dapat visa adalah dokumen yang lengkap dan meyakinkan.

~@TrinityTraveler


Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya agar dapat visa Schengen multiple entry 4 tahun? Kalau Anda mau mengurus visa sendiri dan pergi ke Eropa sebagai turis tanpa ikut tur, begini tipnya;

Apply visa ke satu negara Schengen tempat mendarat pertama kali dan/atau tinggal paling lama.Lama pengurusan visa Schengen umumnya 15 hari kerja. Jadi mengajukannya jauh-jauh hari, ya? Apalagi hari gini abis pandemi lagi rame banget! Saya dapat slot appointment secara daring aja bisa sampai dua bulan. Ingat, selama pengurusan visa ini, paspor Anda akan ditahan, jadi usahakan memang tidak ada jadwal ke luar negeri.Dokumen harus rapi dan urut. Hasil print tintanya jelas. Kalau diberikan check list, urutkan berdasarkan itu. Kalau disuruh fotokopi, buatlah di kertas A4. Jadi kalau diminta KTP, jangan fotokopi yang seukuran KTP, tapi kertasnya harus selembar dengan posisi vertikal. Saya malah kasih post it di tiap dokumen yang diperlukan, jadi pas diperiksa petugas gampang nyarinya.Isi formulir dengan jelas dan tidak typo. Saat mengisi formulir, ada pilihan single entry (masuk cuma sekali) dan multiple entry (masuk berkali-kali). Jangan lupa centang yang multiple entry.Meski tidak diminta, sertakan itinerary hari per hari dengan detail, termasuk naik apa, menginap di mana, mau ngapain/ke mana aja. Ketik aja sendiri di Excel.Bukti reservasi tiket penerbangan ini tricky. Kan rugi kalau sudah beli tiket pesawat tapi tidak dapat visa. Caranya: cari maskapai penerbangan yang bisa free cancelation, atau yang bisa hold booking dengan membayar sedikit fee, atau bayar aja ke travel agent.Sesuaikan bukti akomodasi dengan uang di bank statement yang diajukan. Kalau duit dikit, nginepnya di hostel lah. Kalau ga mau resiko, booking dari situs/aplikasi akomodasi yang bisa free cancelation. Kalau menginap di rumah saudara/teman, dia sendiri harus memberi surat yang menyatakan akan menampung Anda dan biasanya harus didaftarkan ke pemerintah tempat dia tinggal.Berapa banyak uang yang harus ada di bank statement? Memang tidak diinformasikan berapa, tapi travel agent sering mematok Rp 50 juta. Kalau saya sih pakai hitungan minimal begini: jumlah hari di Eropa x 80 Euro + harga tiket pesawat pulang + dilebihin 10% dari total. Lalu, karena bank statement biasanya diminta 3 bulan terakhir, jangan tiba-tiba di bulan kedua ada segelontor uang masuk. Jumlah tiap bulan usahakan konsisten. Slip gaji jumlahnya harus sesuai dengan yang masuk ke bank yang diajukan. Jadi kalau mau minjem supaya kelihatan gede, usahakan masuk sebelum 3 bulan.Kalau diminta surat sponsor/perusahaan tempat bekerja, informasinya harus jelas berisi data Anda, tujuannya, kapan perginya, atas biaya siapa perjalanannya, dan tulis jaminan bahwa Anda akan kembali ke Indonesia untuk bekerja.Berdasarkan pengalaman, ada negara yang lebih generous memberi visa Schengen dibandingkan negara lain. Belanda dan Prancis termasuk yang paling “murah hati”. Jerman, Italia, Swiss termasuk yang ngasih durasi “irit”.Kalau baru pertama kali ke Eropa, sedikit kemungkinan Anda mendapat visa berdurasi panjang. Saya aja mulai dari dapat visa yang tanggalnya dipasin, lalu naik jadi sebulan, tiga bulan, enam bulan, setahun, dua tahun, baru empat tahun.Tapi ingat, durasi visa tergantung dari lamanya paspor Anda berlaku. Tidak seperti Amerika Serikat, visa Schengen tidak pernah dikasih lewat dari masa berlakunya paspor. Meski sudah berkali-kali ke Eropa, kalau pas apply visa masa berlaku paspor tinggal setahun, paling banter dikasih 6 bulan visa doang. Jadi dapat visa 4 tahun karena paspor masih baru, setelah berkali-kali dapat visa Schengen. Kalau diminta fotokopi paspor lama, fotokopi semua halaman yang ada cap dan visa dari berbagai negara. Semakin banyak, semakin “dipercaya”. Bila sudah pernah punya visa Schengen sebelumnya, sertakan fotokopinya. Bawa juga paspor lamanya, kali-kali ditanya.Kalau sekali dapat visa Schengen, usahakan apply visa berikutnya tidak pindah negara karena kemungkinan akan susah “naik pangkat”. Saya pernah dapat visa Belanda setahun, berikutnya apply di Jerman eh malah turun jadi enam bulan! Namun bisa terjadi kasus lain, ada negara yang emang mentoknya ngasih visa maksimal tiga atau enam bulan meski sudah berkali-kali apply di tempat yang sama.Banyakin berdoa. Ini serius.

Tip ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi, jadi hasilnya bisa saja berbeda di tiap orang. Visa Schengen Anda sukses atau tidak itu hanya petugas visa dan Tuhan yang tau. Hehe!

Good luck!

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 07, 2022 09:26

April 24, 2022

Buku seri The Naked Traveler jadi Audiobook!

Saat ini dengan banyaknya disrupsi, seperti nonton film streaming, main game, belanja online, dll, orang (kita) jadi sulit fokus untuk duduk diam membaca buku – apalagi generasi muda! Hayo ngaku! Tapi jangan sedih, sekarang sudah ada teknologi yang bisa membantu kita membaca buku, yaitu dengan mendengarkan buku tersebut.

Audiobook (buku audio) adalah rekaman teks buku yang dibacakan oleh seorang atau sekelompok orang penyuara. Seperti ketika Anda mendengarkan musik atau siniar (podcast), tapi ini isinya tulisan sebuku. Dengan audiobook, kita bisa membaca buku sambil bermacet ria di jalan, bengong di pesawat, sambil masak, nyuci, olahraga, dan lain-lain.

Nah, di Indonesia baru saja diluncurkan audiobook lho! Namanya Storytel, aplikasi audiobook asal Swedia yang tersedia di lebih dari 25 negara di dunia. Kelebihan mereka dibanding pesaingnya adalah mereka menyediakan buku-buku berbahasa lokal, jadi memang kuat di Eropa dan Asia. Sistemnya berlangganan bulanan untuk membaca ratusan ribu buku di dunia.

Kabar gembiranya, buku seri The Naked Traveler kini sudah ada di Storytel! Ah, nggak nyangka banget tulisan perjalanan saya yang bermula dari blog naked-traveler.com pada 2005, lalu jadi buku cetak pada 2007, berkembang jadi acara radio dan acara TV, sampai jadi dua film layar lebar (sudah pada nonton kan?), akhirnya sekarang jadi audiobook!

Pas buku seri The Naked Traveler ditawarkan alih rupa jadi audiobook oleh Storytel, saya langsung berpikir, “Siapa yang akan menarasikan ceritanya? Gimana kalau soul-nya nggak dapet?” Katanya nanti akan dicarikan voice talent yang cocok yang bisa saya pilih. Dasar saya rese kebanyakan nanya, akhirnya ditanya balik, “Gimana kalo Kak Trinity aja yang jadi narator?” HAH? Emang bisa? Perasaan suara saya sember begini! Apa nggak bikin sakit kuping para pendengar?

Saya pun meminta pendapat kepada teman-teman. Katanya, “Kalo gue dengerin audiobook elo, tapi bukan elo yang bacain sih gue merasa tertipu!” Ada juga yang berkomentar, “Obama aja narasiin bukunya sendiri di audiobook lho!” Atau memberi nasihat, “Hati-hati elo kan kalo ngomong cepet banget!”

Setelah berdiskusi panjang, saya pun akhirnya mengiyakan. Kayaknya memang cuman saya yang cocok menarasikan buku sendiri. Apalagi ini buku nonfiksi yang merupakan pengalaman pribadi yang gokil gitu! Jadwal pun langsung dibuat, dan rekaman dilakukan di sebuah studio 20 menit naik ojek dari rumah. Di studio ini saya “dikurung” seharian di kubik kecil yang kedap suara. Saya dipandu oleh seorang operator yang bertugas macam sound engineer, dan seorang VD (voice director) yang bertugas sebagai “sutradara” sekaligus pengarah vokal. Saya belajar banyak banget dari mereka!

Ternyata… susah banget jadi narator! Setiap kata harus dibaca, sampai ke titik koma. Artikulasi pun harus benar dan jelas. Karena buku menggunakan pakem KBBI jadi harus dibaca seperti apa adanya, misalnya nggak boleh bilang “sekedar” karena harus bilang “sekadar”. Yang paling sulit adalah menjaga excitement sepanjang menarasikan buku! Suara nggak boleh turun atau terlalu naik, harus nyambung dengan tone kalimat sebelum, temponya nggak boleh kecepetan atau kelambatan. Dan… hari pertama pun saya sukses dipulangkan siang hari karena suara saya sudah parau nggak karuan! Huhuhuhu!

Selanjutnya, selama tiga minggu saya balik lagi jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) yang “ngantor” pagi, pulang sore, bahkan lembur sampai malam. Lucunya, setiap siang saya merasakan lagi kebingungan anak kantoran mengenai mau makan apa dan di mana! Hehe! Selama masa rekaman, saya menghindari makan gorengan karena takut tenggorokan gatal. Bahkan atas anjuran teman yang berprofesi sebagai MC, saya mengunyah kencur mentah setiap hari untuk menjaga pita suara.

Karena buku saya tentang perjalanan keliling dunia, maka banyak nama tempat dan istilah yang menggunakan berbagai bahasa asing. Misalnya, Auberge de Jeunesse (Prancis), Jugendherbergen (Jerman), atau Tuol Sleng (Khmer). Huruf e-nya e pepet dan e taling? Nah, semua kata asing itu harus diucapkan sesuai dengan bahasa aslinya! Yang ada, harus bolak-balik cek di Google Translate, dan kalau nggak ketemu, harus cari di YouTube. Belum lagi kalau ada dialog dalam bahasa asing, saya harus mengucapkannya dengan pas, bahkan kadang harus pakai aksen tertentu!

Saya baru tahu kelemahan saya adalah mengucapkan satu kata yang panjang, misalnya kata “menggeneralisasikan”. Juga kata yang banyak huruf g, seperti “gigi-giginya” ternyata sulit diucapkan dengan jelas. Lalu, kata yang huruf depannya “sp” seperti kata “spesies” ternyata membuat “badai” di telinga karena menyemburkan angin yang kebanyakan. Yang lucunya lagi, kadang saya mengutip lirik lagu di buku. Cara bacanya gimana? Ya harus dinyanyikan! Untung suara saya nggak fals-fals amat!

Rekaman di studio

Kalau tahu bahwa buku saya akan jadi audiobook, saya bakal menulis dengan cara berbeda sih! Hehe! Terus terang, membaca lagi buku-buku lama saya sendiri bikin saya agak malu. Gaya tulisan saya sebagai pemula berantakan banget! Mana zaman dulu kan tulisan belum ada norma seperti sekarang, seperti body shaming dan menyebut merk produk. Tapi ya begitulah, tulisan itu memang mencerminkan masanya.

Anyway, jadi narator buku itu adalah salah satu pekerjaan terberat yang pernah saya lakukan seumur hidup! Makanya saya lega banget akhirnya buku The Naked Traveler sudah tersedia di Storytel. Ayo pada dengerin audiobook saya ya! Mumpung mau musim liburan dan dunia sudah kembali terbuka, jadi bisa dapat inspirasi jalan-jalan keliling dunia. Pesan saya, hati-hati disangka gila karena bakal ketawa sendiri!

Yuk lah, buruan dengerin saya bacain buku The Naked Traveler 1 di sini!

P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 24, 2022 00:28

April 7, 2022

Bangga membidani IndonesiaDive!

Berawal pada 17 September 2021. Hari itu adalah tujuh tahun meninggalnya ibu saya, saat saya sedang diving di Sipadan, Malaysia (sudah baca “Running Like Crazy” di buku The Naked Traveler 7 kan?). Untuk memperingatinya, saya ingin mem-posting foto diving di sana beserta caption kisahnya. Karena tidak punya fotonya, saya lalu kontak teman saya, Anis, yang barengan diving waktu itu. Dari minta foto jadi ngobrol panjang, dan Anis malah menawarkan ikut proyek pribadi yang dia sedang kerjakan: indonesiadive.com. Wah, it’s a sign!

Besoknya kami langsung online meeting. Keresahan kami yang doyan diving (menyelam) di Indonesia adalah informasi yang kurang jelas dan berserakan di mana-mana. Tidak ada satu situs khusus yang mencakup penyelaman di Indonesia secara lengkap, kalau pun ada biasanya milik orang asing. Kalau mau menyelam di pelosok Indonesia, harus cari referensi dulu siapa yang kenal siapa. Penyelam asing yang menyelam ke Indonesia pun seringnya bergantung sama dive operator yang sebangsa mereka, itu pun seringnya ke Bali – sementara masih buanyaak situs di Indonesia yang belum terekspos.

Padahal, Indonesia itu memiliki situs penyelaman terbaik di dunia. Bayangkan, kita berada di Coral Triangle yang memiliki keanekaragaman alam bawah laut terkaya di dunia, memiliki cuaca tropis sepanjang tahun, dan sering memenangkan berbagai penghargaan dunia sebagai The World’s Best Scuba Dive Destination. Jadi sebenarnya potensinya sangat besar!

Dari hasil brainstorming, kami ingin membuat platform khusus tentang scuba diving di Indonesia dalam Bahasa Inggris karena target market-nya adalah penyelam di seluruh dunia. Visi dan misi IndonesiaDive yang ingin mempromosikan keindahan alam bawah laut Indonesia dan memajukan industri diving di Indonesia, membuat saya tidak ragu bergabung. I’m sold! Mungkin ini adalah kontribusi saya terhadap negara tercinta. Mungkin ini “tanda” dari mendiang ibu saya untuk keluar dari depresi akibat pandemi.

Logo IndonesiaDive

Lalu mulailah kami berjibaku mendiskusikan konsep, target, action plan, situs, tampilan, sampai ke logo. Nah, logo IndonesiaDive ini adalah gambar ikan yang mencerminkan keanekaragaman ikan dan ekosistem alam bawah laut Indonesia. Ikan menghadap ke atas kanan mencerminkan optimisme IndonesiaDive untuk memajukan industri diving di Indonesia. Dan, warna merah-putih karena merupakan warna bendera Indonesia sekaligus bendera diving dunia.

Pertanyaan selanjutnya: bagaimana business model-nya? Maunya sih IndonesiaDive jadi google-nya segala informasi diving di Indonesia dan bookingdotcom-nya diving di Indonesia. Tapi itu jalannya masih panjang. Kami belum punya resource-nya dan belum sanggup menggaji karyawan. Kami mengerjakannya hanya berdua: Anis yang mengurus teknis situs dan keuangan; saya yang mengurus konten dan marketing.

Siapa kami, para founder IndonesiaDive? Baca di sini deh! Saya kenal Anis karena teman sekantor belasan tahun yang lalu. Setelah itu kami “berpisah” karena saya kuliah di Filipina dan Anis pindah ke Malaysia. Di antaranya kami kadang ketemuan, karena kami sama-sama suka buku, traveling, dan diving. Sekarang Anis tinggal di Amerika Serikat yang berbeda 12 jam dengan waktu Jakarta. Meeting jadi sulit banget waktunya, apalagi kalau salah satu disibuki dengan perkerjaan lain. Meski teman, kami ada berantemnya juga sih. Untungnya kami sama-sama blak-blakan nyemprot di depan, tapi abis itu baikan lagi. Hehe!

Saya pun kembali disibukkan dengan menulis artikel dalam Bahasa Inggris (maaf ya, blog ini jadi agak terlantar!) dan me-manage medsos (entah kenapa akun Instagram kami sempat menghilang dua kali!). Setelah melalui segala kerusuhan ini-itu, akhirnya IndonesiaDive resmi launching pada 21 November 2021! Wah, bangga betul rasanya! Senang juga karena banyak mendapat pelajaran baru.

Jadi, tolong dukung kami ya? Caranya:

Download e-book GRATIS “99 Scuba Diving Places in Indonesia” di Indonesiadive.com (biar pada tau ada banyak situs penyelaman di Indonesia!).Baca artikel blog kami di indonesiadive.com/blogFollow Instagram @indonesiadive_ dan Facebook Page IndonesiaDiveDotComBelanja merchandise (aneka T-shirt, topi, sampai sarung bantal) untuk divers yang didesain oleh divers di indonesiadive.com/shop yang bisa dikirim ke seluruh dunia.Sebarkan kabar baik ini ke teman-temanmu di seluruh dunia!

Kalau Anda pemilik dive operator atau toko peralatan diving di Indonesia, kami terbuka untuk bekerja sama. Hubungi kami di contact@indonesiadive.com ya? Mau kasih saran juga boleh. Terima kasih!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 07, 2022 09:32

February 16, 2022

Apa yang harus dilakukan bila positif Covid?

Katanya, semua orang akan kena Covid pada saatnya. Saya nggak percaya itu! Buktinya dalam 2 tahun pandemi, saya aman-aman aja. Saya termasuk parno sehingga selalu jaga prokes. Jarang banget keluar rumah, kalau pun keluar rumah selalu pake masker dan rajin cuci tangan, pulang selalu langsung ganti baju, mandi, bersihin hape. Kalau makan di restoran selalu duduk di outdoor, ketemu orang hanya dalam circle yang sama, bahkan tamu aja kadang harus dites Antigen dulu (saya sampai punya stock tes Antigen sendiri dan lancar nyolokin!).

Sampai akhirnya… pada 2 Februari 2022 saya dikabari orang yang kontak dengan saya positif Covid. Nah lho! Terakhir saya kontak dengan dia pada 31 Januari, setelah tes Antigen saya negatif pada 30 Januari. Hari itu juga saya tes Antigen colok sendiri dan hasilnya negatif. Baru merasa aman, tiba-tiba besoknya saya demam sampai 37,8°C! Saya minum Paracetamol sih normal lagi, lalu tes PCR pada 4 Februari. Besoknya dapat WA dari lab, hasilnya saya positif Covid dengan CT 32! Aplikasi pedulilindungi saya pun berubah statusnya menjadi hitam!

Damn, saya kecolongan juga! Padahal saya terpapar oleh saudara sendiri di rumahnya yang semi outdoor dan duduk pun berjauhan, makanya kami santai aja tidak pakai masker. Ah, saya jadi teringat tweet dari dokter @FaheemYounous:

COVID will come to you through a trusted person, at a trusted place.

Jadi memang kita harus selalu waspada dan jangan kasih kendor prokes!

Ini langkah-langkah yang saya lakukan begitu kena Covid:

Tidak panik dan langsung isoman!Brief orang serumah tentang pemisahan dan pembersihan ruang/barang saat isoman.Mengabari orang-orang yang kontak dengan saya setelah saya terpapar dengan orang yang positif Covid dan minta maaf. Ini penting banget supaya bisa di-tracing dan mereka bisa bersiap untuk tes Covid juga bila bergejala.Bila hasil tes PCR positif dan terkoneksi dengan aplikasi pedulilindungi, maka kita akan mendapat WA dari Kemenkes RI (centang hijau) yang isinya informasi tentang fasilitas ISOMAN GRATIS. Kalau tidak dapat WA, bisa cek NIK Anda di https://isoman.kemkes.go.id. Sampai tulisan ini dibuat, program ini hanya berlaku untuk area Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Solo, Malang dan Kab. Karawang.Kita disuruh konsultasi daring ke dokter via aplikasi telemedisin (Halodoc, Alodokter, Gooddoctor, dll) secara gratis dengan menggunakan kode khusus. Saya sendiri pakai Halodoc, tapi entah kenapa nggak gratis jadi cuman diskon Rp 15 ribu (sementara konsultasi dokter termurahnya Rp 25 ribu). Ya saya bayar aja pakai GoPay. Dokter lalu memberi resep.Obat dapat ditebus gratis di https://isoman.kemkes.go.id./pesan_obat dengan melampirkan resep digital dari dokter telemedisin. Saya didiagnosa OTG (Orang Tanpa Gejala) lalu diberi resep 3 macam vitamin dan 1 obat flu. Kita bisa track pengirimannya melalui situs. Eh, besoknya datang cuman 1 vitamin doang! Lha, ngapain nebus resep kalo gitu yak? Kalau Anda bergejala, obatnya berbeda karena ada obat antivirusnya (itupun tidak semua obat sesuai resep dikirim).Lapor Pak RT dengan mengirimkan hasil PCR, copy KTP dan KK, lalu mereka akan menghubungi Puskesmas terdekat. Beberapa hari kemudian saya menerima sembako bantuan pemerintah berupa 20 kg beras, 2 liter minyak goreng, 1 kaleng kue, 7 kaleng sarden, 1 dus mie instan (yang expire-nya sebulan, jadi saya bagi-bagi lagi ke tetangga). Wah, terharu dapat sembako juga!
Lalu saya dihubungi oleh petugas Puskesmas via WA. Saya diberitahu bahwa orang serumah saya akan mendapatkan tes PCR gratis di Puskesmas, maka saya menyuruh pembokat saya untuk tes 2 hari kemudian (alhamdulilah hasilnya negatif!). Dengan mengirim copy kartu BPJS, Puskesmas memberi saya vitamin C, D, E, Paracetamol, dan obat batuk (padahal nggak batuk). Karena dititip di security Puskesmas, saya minta tolong tetangga ambilin. Penting nih dekat sama tetangga!

Apa rasanya?

Sudah 2 tahun pandemi kebanyakan di rumah doang jadi saya tidak masalah isoman. Secara fisik, perasaan saya sebagai pasien OTG sih biasa-biasa aja, meski di awal badan rasanya greges-greges gitu kayak masuk angin. Saya tidak demam, tidak batuk, tidak pilek, tidak sakit tenggorokan, tidak anosmia. Mulai hari ke-5 aja hidung agak mampet dan kuping agak budeg. Tidur malam pun berkurang kualitasnya karena secara tidak sadar merasa cemas juga. Harap diingat, efek setiap orang mungkin berbeda ya!

Sedangkan secara psikis saya sih aman-aman aja. Tidak blaming, tidak denial, tapi accept aja, dan move on. Saya malah bersyukur kena Covid saat Omicron, setelah 2 kali vaksin, dan tidak ada komorbid – jadi yakin bisa sembuh!

Ngapain aja setiap hari saat isoman?

Saya konsultasi sama teman saya yang dokter @petrichor218 tentang kondisi saya setiap hari via WA. Dia yang menyarankan obat apa saja yang harus diminum (untungnya saya sudah punya telepon apotek terdekat, jadi tinggal beli via aplikasi GoShop). Paracetamol dan obat batuk dari Puskesmas tidak saya minum karena tidak bergejala. Jadinya saya hanya minum vitamin C, D, E, Zinc, dan disuruh rajin cuci hidung dan kumur tenggorokan pakai air garam. Makasih banyak ya, dok!Rajin cek suhu tubuh, saturasi oksigen (pakai oximeter), menghirup minyak kayu putih (untuk ngecek anosmia).
Berjemur pagi hari, meski jadinya tidak setiap hari karena sering hujan.Makan enak-enak (terima kasih untuk teman-teman yang mengirimkan makanan!), tetap makan buah-buahan, banyakin protein, dan minum susu.Nonton streaming film, baca buku, chat sama teman-teman, kadang-kadang kerja daring.Banyak berdoa.Pokoknya dibawa hepi aja! Ingat, hati yang gembira adalah obat yang manjur!

Isoman hari ke-11, saya tes Antigen sendiri lalu tes PCR ke lab. Puji Tuhan, dua-duanya hasilnya negatif! Horeee! Sebenarnya aplikasi pedulilindungi statusnya akan otomatis hijau setelah 10 hari isoman, tapi saya tes lagi untuk memastikannya karena beberapa teman saya tes lagi hari ke-10 pun masih ada yang positif.

Sebagai penyintas Covid, pesan saya: tetap jaga prokes, meski Omicron ini efeknya tampak jinak! Tetaplah bertanggung jawab untuk tidak menyebarkan virus karena ada orang yang belum divaksin, ada orang yang memiliki komorbid, ada lansia, dan anak kecil. Sepakat? Semoga kita semua terus sehat-sehat ya!

Bagaimana pengalaman Anda? Boleh sharing dengan tulis di kolom komen ya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 16, 2022 03:12

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.