Trinity's Blog, page 4
September 15, 2022
Kesialan perjalanan di Eropa
Dari perjalanan saya keliling Eropa 1,5 bulan pada Juni-Agustus lalu, yang paling berkesan justru cerita kesialan-kesialan yang menimpa saya. Rupanya cerita sial ala #TrinityBanget belum berakhir!
Hari ketiga di Eropa, saya menginap di kos teman yang kamarnya berada di attic (loteng) khas rumah Belanda kuno. Setelah packing karena mau pindah kota, saya menuruni tangganya yang sempit dan tegak lurus. Saat turun sambil gotong koper, kaki saya kelewatan satu tangga dan… GEDUBRAK! Saya jatuh terjengkang dari ketinggian 1,5 meter, mendarat di pantat, plus ketiban koper! Ouch! Awalnya masih sakit biasa, eh lama-lama saya kok susah jalan. Takut kenapa-kenapa, pergilah saya ke dokter. Katanya ga ada patah tulang, cuman memar di dalam. Cuman? Sepuluh hari lebih jalan saya sengklek! Mana tubuh saya bau balsam pedas gitu!
Lalu, dalam perjalanan di bus dari Kroasia ke Montenegro perut saya rasanya kok ga enak dan kepala pusing. Sampai di penginapan di Kotor (ini nama kota), eh saya diare parah dan malamnya muntah! Tiga hari saya mengurung diri di kamar karena lemas. Keluar hanya sekali untuk dan belanja bahan makanan ke supermarket dan ke apotek untuk beli obat (itupun susah payah menerangkan karena staf ga bisa berbahasa Inggris). Sial bener, padahal lokasi penginapan saya oke banget, persis berada di dalam wall kota tuanya.

Di Albania, saya sehat ceria, sampai hari keempat saya ke Butrint. Ini adalah situs arkeologi peninggalan zaman Romawi yang sangat luas, tapi karena tempatnya terpencil di tengah hutan, bus umum hanya ada sejam sekali. Saking asyiknya keliling, saya baru sadar hanya punya 10 menit lagi untuk naik bus. Daripada nunggu bego sejam lagi, saya memutuskan untuk berlari ke halte. FYI, sepatu saya jebol (another sial!) sejak di Kroasia, jadi saya hanya pakai sandal. Dari kejauhan, terlihat bus sudah dinyalakan dan siap bergerak. Saya tambah kencang berlari, dan… BRUK! Saya kesandung trotoar! Lutut saya boncos berdarah-darah! Hadeuuh! Untung ditungguin busnya!
Itu baru soal sakitnya yang saya rasa terjadi karena kecerobohan saya. Tapi kok kejadian sial terus menimpa saya, sampai kejadiannya pun ga masuk akal! Saya pikir karena saya lagi jalan sendiri jadi ga ada yang mengingatkan. Tapi anehnya, pas saya jalan sama orang lain pun kok tetap sial?!
Contohnya di Sardinia, saya jalan bareng Ezra (sepupu saya), Tante M (adik ibu), dan Tara. Setiap hari kami ke pantai. Nah, dari ribuan orang yang lalu lalang di pantai dan tiga orang teman jalan, bisa-bisanya ada satu ban terbang kencang… menabrak saya! Iya, cuma kena ke muka saya doang! Atau, ketika kami lagi asyik berendam di pantai, payung pantai gede gitu tiba-tiba terbang dan lagi-lagi sukses menabrak saya! Catat: cuman kena saya, bukan kena teman jalan atau orang lain di tempat yang sama! Ga masuk akal kan?
Di Dubrovnik, saya jalan berdua Tante M naik bus umum. Sistemnya kita bawa kartu bus, lalu divalidasi oleh supir busnya, baru boleh masuk. Tante M masuk duluan lancar, persis di belakangnya saya masuk… tiba-tiba mesin validasinya mati! Penumpang sebus sampai menggerutu karena supir lama benerin mesinnya. Lha, kok bisa pas saya? Atau ketika kami di bandara gantian ke toilet. Tante M beres, giliran saya masuk toilet yang sama, eh tiba-tiba aja ditutup! Pas saya lagi lho!
Di Ksamil, saya dan seorang teman makan malam di restoran alfresco yang cukup mahal. Tau-tauhujan turun dengan derasnya sampai bikin basah seluruh tamu! Tak lama kemudian… JEBRET! Listrik mati! Negara di Eropa kan sangat jarang mati lampu sehingga mereka ga persiapan punya genset, ga ada senter, bahkan ga punya lilin! Akhirnya saya numpang berteduh di dalam dapur menunggu hujan reda, lalu jalan kaki pulang ke hotel dalam kegelapan. Rupanya listrik mati terjadi di seluruh kota sampai pagi, saya pun tidur banjir keringat!
Di Roma, saya jalan bareng Sri dan keluarganya yang jaminan mewah. Airbnb aja luas dan keren banget, tapi toh terjadi juga kesialan. Malam kedua, seluruh AC di rumah mati! Cuman AC, listrik baik-baik aja padahal. Tau aja di Eropa, ga bisa datengin tukang servis malam-malam, jadilah semalaman banjir keringat lagi. Besoknya kami ke Castel Gandolfo, 25 km dari Roma, untuk berenang di Danau Albano yang cantik. Pulangnya, eh kereta strike (mogok karena demo)! Taksi pun tidak ada yang mau mengangkut karena kejauhan. Setelah berusaha bermacam cara berjam-jam, baru jam 10.30 malam kami akhirnya pulang dengan cara pesan taksi melalui teman di Roma dengan membayar dobel. Damn!

Ya ampun… bisa ga sih perjalanan saya lancar-lancar aja? Yang saya tulis di atas baru setengah dari cerita kesialan saya padahal. Mau jalan sendiri maupun sama teman, mau jalan gembel maupun mewah, kok saya tetap sial?!
Tara yang pulang duluan berkomentar, “Kenapa sih IG Story lo selalu mencekam?” Well, saya ga tau jawabannya karena memang begitu realitasnya: saya sakit, jatoh, listrik mati, dan sebagainya. Ezra dan Tante M yang sudah sering jalan sama saya sih sudah paham. Ezra bilang saya selalu ciong sama anak kecil tantrum dan kondisi toilet jorok, tapi dia baru sadar bahwa kesialan saya jauh lebih parah daripada itu. Menurut Tante M, saya memang dari dulu accident prone alias cenderung mengalami kecelakaan. Tak heran alm. ibu sering melarang saya sejak kecil untuk masuk ke toko barang pecah belah.
Dulu saya pikir ini adalah the curse of a travel writer – perjalanan seorang penulis perjalanan tidak pernah smooth karena ada aja kesialan yang terjadi, konon supaya ada bahan untuk ditulis. Tapi saya sudah menyelesaikan buku The Naked Traveler di seri kedelapan pada 2019! Saya pun tidak lagi menulis lagi untuk majalah karena pada tutup karena pandemi.
Padahal setiap hari di Eropa saya mengucapkan mantra, “I’m not a travel writer anymore. My journey will be smooth!” karena katanya bisa bikin keadaan positif. Saya juga selalu memanjatkan doa agar diberi kelancaran. Eh, kok tidak mempan ya? Huhuhu…! Apakah ini caraNya supaya saya pensiun gebet laki? Eh.
Jadi saya harus gimana, gaes? “Diruwat!” ledek Ezra. No. Seriously. Mungkin ada yang tau penjelasan ilmiahnya mengapa saya begini? Atau ada tip dari kalian supaya perjalanan saya lancar? Kasih pencerahan dong!
P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.
August 28, 2022
Geng Ibu-Ibu Kuburan
Sudah tau kan rumah saya berada di salah satu kompleks makam terbesar di Jakarta? Cerita lengkapnya ada di buku The Naked Traveler 4. Nah, karena saya sering posting IG Story @trinitytraveler foto makanan yang dimasakin “geng ibu-ibu kuburan” sampai bikin netizen ngiler, maka saya mau ceritakan ah!
Lingkungan rumah saya ini bukan kompleks atau real estate. Dulunya kaveling-kaveling tanah kosong yang rumahnya dibangun oleh pemiliknya masing-masing sehingga model rumahnya tidak setema namun tertata dengan baik – sebut saja “rumah gedong”. Seiring dengan berjalannya waktu, tanah di pinggir kuburan dibangun oleh sejumlah orang tanpa izin. Mereka membangun rumah seadanya dengan bentuk bedeng-bedeng – sebut saja “rumah bedeng”. Sudah beberapa kali dirazia aparat, namun entah kenapa tetap saja tumbuh berkembang. KTP mereka Jakarta, ada nama jalan tapi tidak ada nomor rumah.
Dari dulu saya cuman kenal gitu aja sama tetangga, sekedar hi and bye. Semenjak menjadi Kepala Keluarga di KK, sayalah yang harus berurusan sama RT dan ha-ha-hi-hi sama tetangga. Saya sih nggak gaul sama tetangga rumah gedong karena mereka sibuk kerja kantoran sehingga jarang terlihat. Kebalikannya, tetangga rumah bedeng selalu ramah dan terbuka. Saya kenal mereka dari ART saya.
Sejak pandemi yang nggak bisa ke mana-mana ini, saya jadi sering nongkrong sama para tetangga rumah bedeng, saya menyebutnya “geng ibu-ibu kuburan”. Kami bagaikan tinggal di dalam bubble sendiri yang cuman satu blok perumahan dengan kostum dasteran. Saya paling dekat dengan Ibu T dan Ibu E yang berusia 40-50an tahun. Profesi mereka adalah ART di rumah-rumah gedong samping saya, tapi baiknya luar biasa! Kalau minta nasi atau titip kunci sih biasa, ini mereka sering ngundang makan-makan enak!

Makan-makan biasanya diadakan pada Sabtu malam atau hari Minggu, yang digelar di bale-bale pinggir kuburan atau gelar tikar di pinggir jalan. Menunya sangat beragam, mulai dari aneka sambal yang nendang, oncom leunca, cumi asin, sop iga, soto Betawi, sate maranggi, nasi liwet lengkap, sampai spaghetti dan sup Tom Yam. Kalau Ibu T yang asal Cianjur ini ngeliwet, kami sering makan rame-rame di atas daun pisang. Geng ini pun bertambah banyak dengan ibu-ibu rumah bedeng sekitar, plus bapak-bapaknya yang sering nyumbang ikan hasil pancingan (kadang mancingnya di kuburan!). Makan-makan heboh biasanya dalam rangka Tahun Baru, Lebaran, dan Iduladha (jatah daging kurban mereka dimasak untuk makan rame-rame!).

Ibu-ibu itu memang jago masak karena berpengalaman puluhan tahun jadi ART. Ibu T dulunya kerja di rumah orang kaya dan pernah tinggal di Australia, sekarang dia kerja di tetangga orang Kanada – jadilah dia jago masak makanan mancanegara, termasuk masakan Sunda asalnya. Sedangkan Ibu E dulunya kerja di rumah orang Cina Bangka yang punya restoran – jadilah dia jago masak Chinese food, plus masakan Jawa asalnya. Ibu E ini kadang saya hire kalau ART saya pulkam.
Tragisnya, mereka yang segitu baiknya itu kerap dirundung malang. Suami Ibu T dan Ibu E tiba-tiba meninggal kena serangan jantung. Ibu T harus membagi bedeng kecilnya dengan sepasang keponakan karena tidak sanggup bayar kos. Ibu E motornya hilang dicuri padahal cicilan belum lunas. Sedihnya lagi, anggota geng lain pun meninggal dunia satu per satu karena sakit. Ngeri juga dengan life expectancy warga bedeng yang rendah, tapi mereka menghadapi hidup dengan senyum dan pasrah.
Sebenarnya saya yang jadi nggak enak karena mereka modal sendiri untuk makanan dan nggak pernah mau terima duit dari saya. Yang bisa saya lakukan paling nyumbang duit untuk makan-makan besar, kadang ngasih pakaian atau barang elektronik yang masih layak pakai, kadang traktir makan di mal, dan setiap pergi ke luar kota, saya beliin oleh-oleh. Itu pun mereka balas jasa lagi dengan ngajak saya makan-makan lagi!

Saya pun berasa jadi agen pemerintah karena rajin menyuruh geng untuk vaksin, mengajarkan cara menggunakan aplikasi pedulilindungi, dan menangkal hoaks yang beredar. Saat sekolah masih online, kadang saya dimintai tolong ngajarin PR Bahasa Inggris anak-anak mereka, karena orangtuanya tidak tahu apa artinya share, fill out the form, atau file PDF. Baru kali ini juga saya masuk ke dalam WhatsApp Group RT. Lama-lama kayaknya saya cocok jadi Ketua RT nggak sih? Hehe!
Menjawab pertanyaan netizen di DM, “Obrolannya apa aja sih sama mereka?” Ya yang ringan dan lucu aja. Saya jadi tau gosip warga sekitar, misalnya si ini affair sama si itu lah, si anu berantem sama si ono karena apa lah, si A ketangkep judi lah, si X dikejar debt collector lah, dan sebagainya. Saya pun cuma ketawa aja ketika mereka masih percaya bahwa orang tiba-tiba jadi kaya atau janda yang dikawinin lagi itu karena guna-guna. Positifnya gaul sama mereka, saya dapat referensi jajanan kampung yang enak dan murah dan nomor telepon tukang-tukang jualan sekitar yang siap delivery kapan aja.
Ada juga netizen DM saya, “Mereka tau nggak sih Mbak Trinity itu siapa?” Jawabannya: nggak tau. Mereka taunya saya kerja di depan komputer tapi sering ke luar negeri! Bisa jadi mereka pikir saya miara babi ngepet. Hehe!
Intinya, saya bersyukur punya para tetangga baik hati. Hari gini di Kota Jakarta gitu lho!
P.S. Agar blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen dan supaya saya semangat menulisnya, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.
August 8, 2022
How the pandemic has changed travel
Bagaimana pandemi telah mengubah cara kita bepergian/jalan-jalan? Ini pengamatan saya traveling di lima negara Eropa pada Juni-Juli 2022 selama 1,5 bulan pada saat protokol kesehatan dilonggarkan meski masih (dinyatakan) pandemi.
Sejak pandemi mulai Maret 2020, sebenarnya saya sudah pernah traveling ke luar negeri, yaitu ke Turki pada September 2020 (tulisannya di sini). Saya memang menunggu bisa traveling ke luar negeri lagi setelah vaksin penuh dan saat negara tidak memberlakukan lagi tes PCR dan/atau karantina. Begitu dunia mulai longgar, saya pun pasang ancang-ancang untuk segera cabut! Deg-degan? Tentu! Bayangkan, sudah dua tahun saya tidak solo traveling ke luar negeri!

Ternyata ada hal-hal yang telah berubah setelah 2,5 tahun pandemi, paling tidak di Eropa. Secara umum begini;
Lebih mahal.Pertama, karena pas dibuka pas high season musim panas (summer). Tak heran begitu protokol longgar, banyak orang yang jadinya “revenge travel”. Setelah dikarantina sekian lama, orang berbondong-bondong traveling pada saat bersamaan.
Kedua, karena perang Rusia-Ukraina, harga bahan baku dan BBM di Eropa naik.
Ketiga, informasi di situs industri pariwisata banyak yang tidak update, jadi sering harga sudah naik, sehingga bujet membengkak.
Terakhir, ini pendapat pribadi: karena 2,5 tahun pandemi bikin pemasukan seret, saya jadi lebih menghargai uang karena sulit banget dapetnya! Dengan kurs EUR ke IDR yang makin jomplang, saya syok! Bayangkan, pipis di toilet umum 1 Euro itu bisa buat makan seporsi di kita! Huhuhuuu!
Lebih lama.
Saat dua tahun pandemi, banyak bandara yang tidak beroperasi sehingga mereka mem-PHK karyawannya. Begitu dibuka lagi, alhasil bandara jadi kekurangan karyawan. Akibatnya, antrean panjang karena dilayani oleh sedikit orang. Belum lagi menyebabkan pesawat delay, cancel, atau hilangnya bagasi. High season dan understaffed adalah kombinasi yang bikin kacau. Bukan hanya di bandara, tapi terjadi juga di transportasi umum lainnya. Urusan bikin visa juga memakan waktu lebih lama dari biasanya karena membludaknya pelamar.
Tanpa protokol kesehatan.
Ini tergantung negara dan kotanya. Di Dubrovnik, Kroasia, saya dibentak orang lokal untuk lepas masker. Sebaliknya, di bus umum di Milan, Italia, supir bus membentak penumpang yang tidak mau pakai masker. Sementara di pesawat, tergantung peraturan maskapainya. Penerbangan internasional long-haul masih mewajibkan, tapi penerbangan antar kota/negara di Eropa sudah bebas masker. Saya sih tetap pakai masker kalau di dalam pesawat dan transportasi umum antarkota, itu pun diliatin penumpang lain!
Sama seperti di Indonesia, menjaga jarak sama sekali tidak terjadi. Cek suhu tidak pernah ada. Hand sanitizer sudah tidak lagi disediakan, meski sebagian restoran masih menyediakan QR code untuk akses menu.

Saat ini banyak turis yang traveling secara independen, tidak ikut grup tur dari negaranya. Rombongan turis Asia yang sering menyebalkan karena berisik dan memakan space tempat wisata, tidak terlihat. Mungkin mereka belum boleh keluar dari negaranya, atau urusan visa yang makin sulit dan lama, atau belum saatnya aja. Satu lagi, karena perang, turis Rusia pun tidak terlihat.
Sedangkan bagi saya pribadi, pandemi telah mengubah cara traveling jadi begini;
Tak lagi menginap di dorm hostel.Alasannya tentu karena saya masih parno. Males aja sharing sekamar bermalam-malam dengan banyak orang nggak dikenal di dalam ruangan sempit yang sering tak berjendela. Belum lagi sharing kamar mandi. Iya, pandemi bikin saya agak germophobia! Awalnya saya khawatir juga, soalnya hostel adalah tempat di mana kita ketemu sesama traveler, jadi ada teman ngobrol dan jalan bareng. Kali ini saya memilih bayar lebih mahal untuk sewa apartemen atau menginap di hotel. Tapi ternyata perjalanan saya lancar-lancar aja dan saya tetap bisa punya teman baru hasil kenalan di luar.
Bawa koper, bukan ransel.
Demi cuan (karena pemasukan seret), baru di trip kali ini saya buka jastip. Sengaja bawa koper ukuran medium biar bisa dimasukin barang jualan. Lumayan lah buat nambahin jajan! Itu pun saya masih merasa risih karena koper kegedean untuk naik transportasi umum. Lagipula saya lagi cedera bahu.
Tidak bawa kamera, tapi bawa laptop.
Sebelum pandemi, saya sering menulis artikel perjalanan untuk majalah, jadilah setiap jalan-jalan saya bawa kamera DLSR supaya kualitasnya layak terbit. Sayangnya begitu pandemi, banyak majalah yang tutup! Jadilah saya nggak bawa kamera lagi. Sekarang semua foto dan video dari ponsel aja untuk kepentingan medsos.
Sebaliknya, biasanya saya nggak bawa laptop (kecuali perginya lama banget), sekarang malah bawa. Maklum, pandemi gini segala urusan jadi pindah ke daring, seperti meeting dan webinar. Itu pun susah payah cari waktu yang pas karena beda time zone lima jam!
Beraktivitas outdoor.
Demi mengurangi risiko penularan, trip Eropa kali ini memang tujuannya berenang di pantai. Untungnya beberapa kota/negara sudah pernah saya kunjungi sebelumnya jadi tidak perlu masuk museum atau beraktivitas indoor lagi. Makan di restoran pun saya duduk di luar. Dugem? Tidak terjadi!

Tidak buka aplikasi kencan.
Eaaaa! Jangan ketawa, tapi pandemi gini saya beneran parno dekat-dekat sama orang nggak dikenal! Apalagi bule kan cuek banget sama protokol kesehatan. Hiy, ngeri ah kalo sakit pas lagi di luar negeri! Eh, tapi mungkin juga karena “faktor U”. Wis tuwek gini kok ya saya dikasih sial mulu; datang ke Eropa dengan keadaan tendon bahu sobek jadi pakai penyangga tangan, hari ketiga jatuh dari tangga loteng sampai harus ke dokter di Belanda, kelar sakit pinggang eh saya muntaber di Montenegro, begitu sembuh eh saya jatuh kepleset ngejar bus di Albania sampe dengkul boncos! Duh, mana pede kencan sama laki kalo sengklek begini? Hahaha!
P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.
July 25, 2022
25 Negara Bebas Visa Untuk WNI Kalau Punya Visa Ini!
Baru saja saya traveling ke tiga negara “baru” – maksudnya baru pertama kali menjejakkan kaki ke sana, yaitu Kroasia, Montenegro, dan Albania (jadi total saya sudah ke 96 negara. Uhuy!). Ketiga negara Balkan ini terletak di Eropa, tapi tidak termasuk Uni Eropa ataupun Schengen, namun saya bisa masuk tanpa visa. Kenapa? Karena saya punya visa Schengen multiple-entry. Bagaimana cara dapat visanya, bahkan sampai berlaku 4 tahun? Baca tipnya di sini.
Meski pemegang paspor Indonesia butuh visa ke hampir seluruh negara di dunia, tapi sekarang ada puluhan negara yang bebas visa atau cuma VOA (Visa on Arrival). Daftar negaranya di sini. Selain itu, ada negara yang membebaskan visa untuk WNI dengan syarat punya salah satu visa “sakti” yang umumnya adalah visa Schengen, USA, UK (United Kingdom), Kanada, Australia, atau Selandia Baru.
Saat tulisan ini dibuat, ada 25 negara yang bebas visa bagi WNI apabila memiliki salah satu visa sakti ini. Tapi ingat, visa sakti ini harus yang masih berlaku, jenis multiple-entry (bebas keluar-masuk berkali-kali), dan sudah pernah dipakai di negara pembuat visa. Saya sudah membuktikannya dengan mengunjungi sebagian negara tersebut tanpa visa, seperti Andorra, Bosnia & Herzegovina, Meksiko, Georgia, dan Taiwan. Sebagian negara lain informasinya diambil dari berbagai sumber daring.

Berikut daftar ke-25 negara yang memiliki peraturan visa waiver alias pembebasan visa bila memiliki salah satu visa dari negara tertentu;
Albania: visa Schengen.Andorra: visa Schengen.Anguilla: visa UK.Antigua and Barbuda: visa USA/Kanada/Schengen/UK dan membayar visa fee.Argentina: apply ETA (electronic travel authorization) bila memiliki visa USA tipe B2 atau visa Schengen tipe C dengan masa berlaku minimal 3 bulan dan membayar fee USD 50 untuk tinggal maksimal 90 hari. Catatan, seorang teman WNI pernah mencoba tapi tetap nggak bisa! Cis!Belize: visa USA.Bosnia and Herzegovina: visa Schengen untuk tinggal maksimal 15 hari.British Virgin Islands: visa Kanada/USA/UK yang masih berlaku minimal 6 bulan sebelum kedatangan.Bulgaria: visa Schengen.Georgia: visa Kanada, USA, UK, Schengen, Jepang, Korea Selatan, Australia, atau Selandia Baru.Honduras: visa Kanada, USA, atau Schengen.Korea Selatan: visa USA/Kanada/Australia/Selandia Baru, asal sudah memiliki tiket pesawat ke salah satu negara tersebut dari/ke negara ketiga dan berangkat dalam waktu maksimal 30 hari.Kosovo: visa Schengen untuk tinggal maksimal 15 hari.Kosta Rika: visa Schengen, Kanada, Jepang, Korea Selatan, atau USA, untuk tinggal maksimal 90 hari.Kroasia: visa Schengen.Makedonia Utara: visa Schengen dengan masa berlaku minimal 5 hari sebelum kedatangan.Meksiko: visa USA.Montenegro: visa Schengen atau USA dengan masa berlaku minimal 7 hari sebelum kedatangan.Panama: visa USA/UK/Kanada/Australia/Schengen, dan membayar tourist card sebesar USD 30 pada saat kedatangan.Republik Dominika: visa Kanada, USA, atau Schengen untuk tinggal maksimal 30 hari dan membayar fee USD 10.Romania: visa Schengen.São Tomé and Príncipe: visa USA atau Schengen dengan paspor berlaku minimal 3 bulan dan dapat tinggal maksimal 15 hari. Siprus: visa Schengen.Taiwan: apply online untuk Travel Authorization Certificate bila memiliki visa USA/Kanada/Korea Selatan/UK/Schengen/Australia/Selandia Baru.Turks and Caicos Islands: visa Kanada, UK, atau USA.Sebagai back up, kalau ke negara “aneh”, saya sih memastikannya dengan mencetak peraturan visa waiver dari situs resmi pemerintah negara yang dituju atau mengirimkan email ke kedutaan besarnya untuk ditunjukkan ke petugas imigrasi bila diperlukan. Maklum, kadang petugas sono pun tidak tahu Indonesia itu apaan. Serius!
Peraturan visa sering berubah seiring dengan situasi politik atau bahkan pandemi. Intinya, selalu double check peraturan visa sebelum berangkat ke negara tujuan. Berangkaaaat!
P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini. Terima kasih.
June 7, 2022
Cara Dapat Visa Schengen 4 Tahun!
Schengen adalah kawasan di Eropa yang terdiri dari 26 negara, yaitu Austria, Belgia, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Swiss. Sejak 1985, mereka sepakat menghapus kebijakan paspor dan semua jenis kontrol perbatasan pada masing-masing kawasan perbatasan. Jadi kata “Schengen” artinya apa? Ini adalah nama kota di Luksemburg tempat perjanjian diadakan. Baru tau kan?
Kalau mau mengunjungi negara-negara tersebut, sebagai pemegang paspor RI kita harus punya visa Schengen yang di-apply ke salah satu negara anggotanya. Dengan satu visa Schengen, di Eropa kita bebas keluar masuk 26 negara tersebut, termasuk ke Vatican, Monaco, dan San Marino. Di Indonesia bisa apply ke kedutaan negara yang bersangkutan, atau melalui agen resmi yang ditunjuk negara tersebut. Umumnya berlokasi di Jakarta, tapi ada yang bisa apply di Surabaya atau Bali. Visa Schengen dari Italia dan Yunani apply di kedutaan yang bersangkutan, Belanda di agen VFS, Prancis di TLS, Spanyol di BLS. Informasi lengkap tentang syarat apply visa, silakan baca di situs resmi Kedutaan negara Schengen.
Secara umum, cara mengajukan visa Schengen adalah:
1. Dapatkan jadwal appointment (janji temu) untuk wawancara dan menyerahkan dokumen.
2. Membawa dokumen berupa:
– Formulir dari negara yang di-apply.
– Paspor yang masih berlaku.
– Foto terbaru ukuran 3,5 x 4,5 cm dengan latar belakang putih.
– Bukti tiket penerbangan pulang-pergi.
– Bukti akomodasi.
– Asuransi perjalanan yang mencakup negara Schengen dengan minimal coverage 30.000 Euro.
– Bukti keuangan.
3. Membayar visa sebesar 80 Euro.
4. Menunggu dengan harap-harap cemas sambil cek status di link tracking yang diberikan.
5. Mengambil paspor. Artinya, visa bisa dapat atau tidak.
Syarat utama dapat visa adalah dokumen yang lengkap dan meyakinkan.
~@TrinityTraveler
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya agar dapat visa Schengen multiple entry 4 tahun? Kalau Anda mau mengurus visa sendiri dan pergi ke Eropa sebagai turis tanpa ikut tur, begini tipnya;
Tip ini hanya berdasarkan pengalaman pribadi, jadi hasilnya bisa saja berbeda di tiap orang. Visa Schengen Anda sukses atau tidak itu hanya petugas visa dan Tuhan yang tau. Hehe!
Good luck!
April 24, 2022
Buku seri The Naked Traveler jadi Audiobook!
Saat ini dengan banyaknya disrupsi, seperti nonton film streaming, main game, belanja online, dll, orang (kita) jadi sulit fokus untuk duduk diam membaca buku – apalagi generasi muda! Hayo ngaku! Tapi jangan sedih, sekarang sudah ada teknologi yang bisa membantu kita membaca buku, yaitu dengan mendengarkan buku tersebut.
Audiobook (buku audio) adalah rekaman teks buku yang dibacakan oleh seorang atau sekelompok orang penyuara. Seperti ketika Anda mendengarkan musik atau siniar (podcast), tapi ini isinya tulisan sebuku. Dengan audiobook, kita bisa membaca buku sambil bermacet ria di jalan, bengong di pesawat, sambil masak, nyuci, olahraga, dan lain-lain.
Nah, di Indonesia baru saja diluncurkan audiobook lho! Namanya Storytel, aplikasi audiobook asal Swedia yang tersedia di lebih dari 25 negara di dunia. Kelebihan mereka dibanding pesaingnya adalah mereka menyediakan buku-buku berbahasa lokal, jadi memang kuat di Eropa dan Asia. Sistemnya berlangganan bulanan untuk membaca ratusan ribu buku di dunia.
Kabar gembiranya, buku seri The Naked Traveler kini sudah ada di Storytel! Ah, nggak nyangka banget tulisan perjalanan saya yang bermula dari blog naked-traveler.com pada 2005, lalu jadi buku cetak pada 2007, berkembang jadi acara radio dan acara TV, sampai jadi dua film layar lebar (sudah pada nonton kan?), akhirnya sekarang jadi audiobook!
Pas buku seri The Naked Traveler ditawarkan alih rupa jadi audiobook oleh Storytel, saya langsung berpikir, “Siapa yang akan menarasikan ceritanya? Gimana kalau soul-nya nggak dapet?” Katanya nanti akan dicarikan voice talent yang cocok yang bisa saya pilih. Dasar saya rese kebanyakan nanya, akhirnya ditanya balik, “Gimana kalo Kak Trinity aja yang jadi narator?” HAH? Emang bisa? Perasaan suara saya sember begini! Apa nggak bikin sakit kuping para pendengar?
Saya pun meminta pendapat kepada teman-teman. Katanya, “Kalo gue dengerin audiobook elo, tapi bukan elo yang bacain sih gue merasa tertipu!” Ada juga yang berkomentar, “Obama aja narasiin bukunya sendiri di audiobook lho!” Atau memberi nasihat, “Hati-hati elo kan kalo ngomong cepet banget!”
Setelah berdiskusi panjang, saya pun akhirnya mengiyakan. Kayaknya memang cuman saya yang cocok menarasikan buku sendiri. Apalagi ini buku nonfiksi yang merupakan pengalaman pribadi yang gokil gitu! Jadwal pun langsung dibuat, dan rekaman dilakukan di sebuah studio 20 menit naik ojek dari rumah. Di studio ini saya “dikurung” seharian di kubik kecil yang kedap suara. Saya dipandu oleh seorang operator yang bertugas macam sound engineer, dan seorang VD (voice director) yang bertugas sebagai “sutradara” sekaligus pengarah vokal. Saya belajar banyak banget dari mereka!
Ternyata… susah banget jadi narator! Setiap kata harus dibaca, sampai ke titik koma. Artikulasi pun harus benar dan jelas. Karena buku menggunakan pakem KBBI jadi harus dibaca seperti apa adanya, misalnya nggak boleh bilang “sekedar” karena harus bilang “sekadar”. Yang paling sulit adalah menjaga excitement sepanjang menarasikan buku! Suara nggak boleh turun atau terlalu naik, harus nyambung dengan tone kalimat sebelum, temponya nggak boleh kecepetan atau kelambatan. Dan… hari pertama pun saya sukses dipulangkan siang hari karena suara saya sudah parau nggak karuan! Huhuhuhu!
Selanjutnya, selama tiga minggu saya balik lagi jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) yang “ngantor” pagi, pulang sore, bahkan lembur sampai malam. Lucunya, setiap siang saya merasakan lagi kebingungan anak kantoran mengenai mau makan apa dan di mana! Hehe! Selama masa rekaman, saya menghindari makan gorengan karena takut tenggorokan gatal. Bahkan atas anjuran teman yang berprofesi sebagai MC, saya mengunyah kencur mentah setiap hari untuk menjaga pita suara.
Karena buku saya tentang perjalanan keliling dunia, maka banyak nama tempat dan istilah yang menggunakan berbagai bahasa asing. Misalnya, Auberge de Jeunesse (Prancis), Jugendherbergen (Jerman), atau Tuol Sleng (Khmer). Huruf e-nya e pepet dan e taling? Nah, semua kata asing itu harus diucapkan sesuai dengan bahasa aslinya! Yang ada, harus bolak-balik cek di Google Translate, dan kalau nggak ketemu, harus cari di YouTube. Belum lagi kalau ada dialog dalam bahasa asing, saya harus mengucapkannya dengan pas, bahkan kadang harus pakai aksen tertentu!
Saya baru tahu kelemahan saya adalah mengucapkan satu kata yang panjang, misalnya kata “menggeneralisasikan”. Juga kata yang banyak huruf g, seperti “gigi-giginya” ternyata sulit diucapkan dengan jelas. Lalu, kata yang huruf depannya “sp” seperti kata “spesies” ternyata membuat “badai” di telinga karena menyemburkan angin yang kebanyakan. Yang lucunya lagi, kadang saya mengutip lirik lagu di buku. Cara bacanya gimana? Ya harus dinyanyikan! Untung suara saya nggak fals-fals amat!

Kalau tahu bahwa buku saya akan jadi audiobook, saya bakal menulis dengan cara berbeda sih! Hehe! Terus terang, membaca lagi buku-buku lama saya sendiri bikin saya agak malu. Gaya tulisan saya sebagai pemula berantakan banget! Mana zaman dulu kan tulisan belum ada norma seperti sekarang, seperti body shaming dan menyebut merk produk. Tapi ya begitulah, tulisan itu memang mencerminkan masanya.
Anyway, jadi narator buku itu adalah salah satu pekerjaan terberat yang pernah saya lakukan seumur hidup! Makanya saya lega banget akhirnya buku The Naked Traveler sudah tersedia di Storytel. Ayo pada dengerin audiobook saya ya! Mumpung mau musim liburan dan dunia sudah kembali terbuka, jadi bisa dapat inspirasi jalan-jalan keliling dunia. Pesan saya, hati-hati disangka gila karena bakal ketawa sendiri!
Yuk lah, buruan dengerin saya bacain buku The Naked Traveler 1 di sini!
P.S. Agar tulisan di blog yang berusia 17 tahun ini bertahan secara independen, silakan menyumbang “uang jajan” untuk saya di sini.
April 7, 2022
Bangga membidani IndonesiaDive!
Berawal pada 17 September 2021. Hari itu adalah tujuh tahun meninggalnya ibu saya, saat saya sedang diving di Sipadan, Malaysia (sudah baca “Running Like Crazy” di buku The Naked Traveler 7 kan?). Untuk memperingatinya, saya ingin mem-posting foto diving di sana beserta caption kisahnya. Karena tidak punya fotonya, saya lalu kontak teman saya, Anis, yang barengan diving waktu itu. Dari minta foto jadi ngobrol panjang, dan Anis malah menawarkan ikut proyek pribadi yang dia sedang kerjakan: indonesiadive.com. Wah, it’s a sign!
Besoknya kami langsung online meeting. Keresahan kami yang doyan diving (menyelam) di Indonesia adalah informasi yang kurang jelas dan berserakan di mana-mana. Tidak ada satu situs khusus yang mencakup penyelaman di Indonesia secara lengkap, kalau pun ada biasanya milik orang asing. Kalau mau menyelam di pelosok Indonesia, harus cari referensi dulu siapa yang kenal siapa. Penyelam asing yang menyelam ke Indonesia pun seringnya bergantung sama dive operator yang sebangsa mereka, itu pun seringnya ke Bali – sementara masih buanyaak situs di Indonesia yang belum terekspos.
Padahal, Indonesia itu memiliki situs penyelaman terbaik di dunia. Bayangkan, kita berada di Coral Triangle yang memiliki keanekaragaman alam bawah laut terkaya di dunia, memiliki cuaca tropis sepanjang tahun, dan sering memenangkan berbagai penghargaan dunia sebagai The World’s Best Scuba Dive Destination. Jadi sebenarnya potensinya sangat besar!
Dari hasil brainstorming, kami ingin membuat platform khusus tentang scuba diving di Indonesia dalam Bahasa Inggris karena target market-nya adalah penyelam di seluruh dunia. Visi dan misi IndonesiaDive yang ingin mempromosikan keindahan alam bawah laut Indonesia dan memajukan industri diving di Indonesia, membuat saya tidak ragu bergabung. I’m sold! Mungkin ini adalah kontribusi saya terhadap negara tercinta. Mungkin ini “tanda” dari mendiang ibu saya untuk keluar dari depresi akibat pandemi.

Lalu mulailah kami berjibaku mendiskusikan konsep, target, action plan, situs, tampilan, sampai ke logo. Nah, logo IndonesiaDive ini adalah gambar ikan yang mencerminkan keanekaragaman ikan dan ekosistem alam bawah laut Indonesia. Ikan menghadap ke atas kanan mencerminkan optimisme IndonesiaDive untuk memajukan industri diving di Indonesia. Dan, warna merah-putih karena merupakan warna bendera Indonesia sekaligus bendera diving dunia.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana business model-nya? Maunya sih IndonesiaDive jadi google-nya segala informasi diving di Indonesia dan bookingdotcom-nya diving di Indonesia. Tapi itu jalannya masih panjang. Kami belum punya resource-nya dan belum sanggup menggaji karyawan. Kami mengerjakannya hanya berdua: Anis yang mengurus teknis situs dan keuangan; saya yang mengurus konten dan marketing.
Siapa kami, para founder IndonesiaDive? Baca di sini deh! Saya kenal Anis karena teman sekantor belasan tahun yang lalu. Setelah itu kami “berpisah” karena saya kuliah di Filipina dan Anis pindah ke Malaysia. Di antaranya kami kadang ketemuan, karena kami sama-sama suka buku, traveling, dan diving. Sekarang Anis tinggal di Amerika Serikat yang berbeda 12 jam dengan waktu Jakarta. Meeting jadi sulit banget waktunya, apalagi kalau salah satu disibuki dengan perkerjaan lain. Meski teman, kami ada berantemnya juga sih. Untungnya kami sama-sama blak-blakan nyemprot di depan, tapi abis itu baikan lagi. Hehe!
Saya pun kembali disibukkan dengan menulis artikel dalam Bahasa Inggris (maaf ya, blog ini jadi agak terlantar!) dan me-manage medsos (entah kenapa akun Instagram kami sempat menghilang dua kali!). Setelah melalui segala kerusuhan ini-itu, akhirnya IndonesiaDive resmi launching pada 21 November 2021! Wah, bangga betul rasanya! Senang juga karena banyak mendapat pelajaran baru.
Jadi, tolong dukung kami ya? Caranya:
Download e-book GRATIS “99 Scuba Diving Places in Indonesia” di Indonesiadive.com (biar pada tau ada banyak situs penyelaman di Indonesia!).Baca artikel blog kami di indonesiadive.com/blogFollow Instagram @indonesiadive_ dan Facebook Page IndonesiaDiveDotComBelanja merchandise (aneka T-shirt, topi, sampai sarung bantal) untuk divers yang didesain oleh divers di indonesiadive.com/shop yang bisa dikirim ke seluruh dunia.Sebarkan kabar baik ini ke teman-temanmu di seluruh dunia!
Kalau Anda pemilik dive operator atau toko peralatan diving di Indonesia, kami terbuka untuk bekerja sama. Hubungi kami di contact@indonesiadive.com ya? Mau kasih saran juga boleh. Terima kasih!
February 16, 2022
Apa yang harus dilakukan bila positif Covid?
Katanya, semua orang akan kena Covid pada saatnya. Saya nggak percaya itu! Buktinya dalam 2 tahun pandemi, saya aman-aman aja. Saya termasuk parno sehingga selalu jaga prokes. Jarang banget keluar rumah, kalau pun keluar rumah selalu pake masker dan rajin cuci tangan, pulang selalu langsung ganti baju, mandi, bersihin hape. Kalau makan di restoran selalu duduk di outdoor, ketemu orang hanya dalam circle yang sama, bahkan tamu aja kadang harus dites Antigen dulu (saya sampai punya stock tes Antigen sendiri dan lancar nyolokin!).
Sampai akhirnya… pada 2 Februari 2022 saya dikabari orang yang kontak dengan saya positif Covid. Nah lho! Terakhir saya kontak dengan dia pada 31 Januari, setelah tes Antigen saya negatif pada 30 Januari. Hari itu juga saya tes Antigen colok sendiri dan hasilnya negatif. Baru merasa aman, tiba-tiba besoknya saya demam sampai 37,8°C! Saya minum Paracetamol sih normal lagi, lalu tes PCR pada 4 Februari. Besoknya dapat WA dari lab, hasilnya saya positif Covid dengan CT 32! Aplikasi pedulilindungi saya pun berubah statusnya menjadi hitam!
Damn, saya kecolongan juga! Padahal saya terpapar oleh saudara sendiri di rumahnya yang semi outdoor dan duduk pun berjauhan, makanya kami santai aja tidak pakai masker. Ah, saya jadi teringat tweet dari dokter @FaheemYounous:
COVID will come to you through a trusted person, at a trusted place.
Jadi memang kita harus selalu waspada dan jangan kasih kendor prokes!
Ini langkah-langkah yang saya lakukan begitu kena Covid:
Tidak panik dan langsung isoman!Brief orang serumah tentang pemisahan dan pembersihan ruang/barang saat isoman.Mengabari orang-orang yang kontak dengan saya setelah saya terpapar dengan orang yang positif Covid dan minta maaf. Ini penting banget supaya bisa di-tracing dan mereka bisa bersiap untuk tes Covid juga bila bergejala.Bila hasil tes PCR positif dan terkoneksi dengan aplikasi pedulilindungi, maka kita akan mendapat WA dari Kemenkes RI (centang hijau) yang isinya informasi tentang fasilitas ISOMAN GRATIS. Kalau tidak dapat WA, bisa cek NIK Anda di https://isoman.kemkes.go.id. Sampai tulisan ini dibuat, program ini hanya berlaku untuk area Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Solo, Malang dan Kab. Karawang.Kita disuruh konsultasi daring ke dokter via aplikasi telemedisin (Halodoc, Alodokter, Gooddoctor, dll) secara gratis dengan menggunakan kode khusus. Saya sendiri pakai Halodoc, tapi entah kenapa nggak gratis jadi cuman diskon Rp 15 ribu (sementara konsultasi dokter termurahnya Rp 25 ribu). Ya saya bayar aja pakai GoPay. Dokter lalu memberi resep.Obat dapat ditebus gratis di https://isoman.kemkes.go.id./pesan_obat dengan melampirkan resep digital dari dokter telemedisin. Saya didiagnosa OTG (Orang Tanpa Gejala) lalu diberi resep 3 macam vitamin dan 1 obat flu. Kita bisa track pengirimannya melalui situs. Eh, besoknya datang cuman 1 vitamin doang! Lha, ngapain nebus resep kalo gitu yak? Kalau Anda bergejala, obatnya berbeda karena ada obat antivirusnya (itupun tidak semua obat sesuai resep dikirim).Lapor Pak RT dengan mengirimkan hasil PCR, copy KTP dan KK, lalu mereka akan menghubungi Puskesmas terdekat. Beberapa hari kemudian saya menerima sembako bantuan pemerintah berupa 20 kg beras, 2 liter minyak goreng, 1 kaleng kue, 7 kaleng sarden, 1 dus mie instan (yang expire-nya sebulan, jadi saya bagi-bagi lagi ke tetangga). Wah, terharu dapat sembako juga!
Apa rasanya?
Sudah 2 tahun pandemi kebanyakan di rumah doang jadi saya tidak masalah isoman. Secara fisik, perasaan saya sebagai pasien OTG sih biasa-biasa aja, meski di awal badan rasanya greges-greges gitu kayak masuk angin. Saya tidak demam, tidak batuk, tidak pilek, tidak sakit tenggorokan, tidak anosmia. Mulai hari ke-5 aja hidung agak mampet dan kuping agak budeg. Tidur malam pun berkurang kualitasnya karena secara tidak sadar merasa cemas juga. Harap diingat, efek setiap orang mungkin berbeda ya!
Sedangkan secara psikis saya sih aman-aman aja. Tidak blaming, tidak denial, tapi accept aja, dan move on. Saya malah bersyukur kena Covid saat Omicron, setelah 2 kali vaksin, dan tidak ada komorbid – jadi yakin bisa sembuh!
Ngapain aja setiap hari saat isoman?
Saya konsultasi sama teman saya yang dokter @petrichor218 tentang kondisi saya setiap hari via WA. Dia yang menyarankan obat apa saja yang harus diminum (untungnya saya sudah punya telepon apotek terdekat, jadi tinggal beli via aplikasi GoShop). Paracetamol dan obat batuk dari Puskesmas tidak saya minum karena tidak bergejala. Jadinya saya hanya minum vitamin C, D, E, Zinc, dan disuruh rajin cuci hidung dan kumur tenggorokan pakai air garam. Makasih banyak ya, dok!Rajin cek suhu tubuh, saturasi oksigen (pakai oximeter), menghirup minyak kayu putih (untuk ngecek anosmia).
Isoman hari ke-11, saya tes Antigen sendiri lalu tes PCR ke lab. Puji Tuhan, dua-duanya hasilnya negatif! Horeee! Sebenarnya aplikasi pedulilindungi statusnya akan otomatis hijau setelah 10 hari isoman, tapi saya tes lagi untuk memastikannya karena beberapa teman saya tes lagi hari ke-10 pun masih ada yang positif.
Sebagai penyintas Covid, pesan saya: tetap jaga prokes, meski Omicron ini efeknya tampak jinak! Tetaplah bertanggung jawab untuk tidak menyebarkan virus karena ada orang yang belum divaksin, ada orang yang memiliki komorbid, ada lansia, dan anak kecil. Sepakat? Semoga kita semua terus sehat-sehat ya!
Bagaimana pengalaman Anda? Boleh sharing dengan tulis di kolom komen ya!

December 22, 2021
BALAS DENDAM SI TINDERELLA
Karya: Tanti* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Sebenarnya saya enggan cari pacar lewat internet. Tapi akhirnya saya instal aplikasi kencan bernama Tinder gara-gara sobat saya terus mengompori dengan menceritakan kencan-kencannya yang seru bersama cowok-cowok yang dikenalnya di dunia maya. Saya pun matched dengan beberapa, dua di antaranya berujung kopdar, tapi langsung bikin ilfil! Yang pertama terus bermonolog membosankan, sementara yang kedua malah menipu dengan memasang foto profil yang mungkin diambil sekitar dua puluh tahun sebelumnya.
Tinder pun saya campakkan, sampai saya diundang menghadiri pernikahan seorang sahabat dari Italia. Tebak di mana dia dan istrinya berkenalan untuk kali pertama? Ya, Tinder! Menyaksikan serunya pesta mereka, saya pun mengakui bahwa perjodohan virtual ternyata bisa juga berakhir bahagia.
Nah, jadilah saya tergoda lagi. Iseng saja selagi liburan di Eropa. Kota pertama yang saya datangi setelah kondangan adalah Perugia, tempat saya dulu belajar bahasa Italia. Mungkin karena dianggap eksotis, di sini saya malah lebih laku. Semua cowok yang saya geser kanan ternyata langsung match! Karena tidak mungkin melayani semua chat, saya seleksi lewat deskripsi diri panjang yang diakhiri suruhan untuk menyapa dengan sandi ‘Ciao, Bella!’ dan ancaman bahwa sapaan selain itu akan langsung di-unmatch. Malas ‘kan ketemuan sama cowok yang cuma peduli rupa tapi malas baca. Ampuh juga lho, setengahnya langsung gugur!
Saya putuskan untuk kopdar hanya dengan Filippo yang paling nyambung. Kami janjian ketemu keesokan harinya setelah dia selesai crossfit. Saya sendiri sudah ada janji makan malam dengan Mbak Marmi, orang Indonesia yang bermukim di sana, yang lalu saya paksa untuk menemani ke tempat janjian di depan Fontana Maggiore.
“Sebentar aja, Mbak,” rajuk saya. “Untuk pastiin wajahnya betul ganteng dan suaranya tidak cempreng kayak Chipmunk!”
Akhirnya Mbak Marmi luluh. Kami sepakat jika orangnya ternyata aneh, dia akan langsung pura-pura sakit perut dan saya akan maksa untuk mengantarnya pulang. Tetapi jika Filippo ganteng dan normal selama lima belas menit pertama, Mbak Marmi akan pamit pulang duluan dengan alasan hendak meninabobokan anaknya.
Filippo ternyata lebih keren dari fotonya. Dia mentraktir kami minum spritz sambil menemaninya makan di sebuah kafe.
“Jadi, kapan nih kita nikah?” candanya, begitu Mbak Marmi sudah pergi.
Duh, seandainya saja itu bukan guyonan! Kami asyik mengobrol sampai kafe tutup, lalu dia mengusulkan kami pergi ke rumahnya di Assisi. Waktu saya tolak, dia tampak kecewa. Untung dia masih berbaik hati mengantar berjalan kaki hingga ke depan apartemen tempat saya tinggal, namun tidak saya ajak masuk. Lagi-lagi dia tampak kecewa. Seperti yang sudah saya duga, besoknya dia ghosting! Padahal kami sempat janjian akan ketemuan lagi selama saya masih ada di Perugia.
Meski ilfil dengan pengalaman itu, di Milan jari saya gatal lagi ingin geser-geser, apalagi melihat cowok-cowok keren bertebaran di seluruh penjuru kota. Ketemulah saya sama Edoardo, seorang air traffic controller. Malas jalan kaki ke stasiun Metro pakai sepatu bot dan mantel tebal, saya iyakan saja saat dia menawarkan untuk menjemput ke depan apartemen tempat saya menginap. Mobilnya ternyata Mercedez Benz keluaran terbaru, dengan atap convertible dan kursi yang bisa menghangat otomatis di udara dingin.
Dipikir-pikir nekat juga sih, tapi mengingat pesan-pesannya santun dan dia mengajak ketemuan di siang bolong, saya percaya dia tidak akan macam-macam. Dan ternyata, selain tajir dan keren, bahasa Inggrisnya sempurna, tanpa aksen sama sekali. Tampaknya dia pun bangga dengan hal itu, sampai-sampai saat dia menerjemahkan menu, saya tak tega memberitahunya bahwa saya sebenarnya bisa bahasa Italia.
Percakapan kami mengalir lancar sampai dia harus pergi kerja ke bandara sekitar dua jam kemudian. Katanya, jadwal kerjanya yang aneh (dari sore hingga dini hari) membuat dia kesulitan bertemu orang dan menjalin hubungan, karena itulah dia memasang Tinder. Dia mengantar saya kembali pulang dan mengecup kedua pipi saya dengan sopan saat berpamitan.
Saat menaiki bus menuju Austria keesokan subuhnya, saya agak menyesal tidak lebih lama di Milan saja, siapa tahu kisah kami bisa berlanjut, mengingat kencan saya dengan Edoardo bisa dibilang yang terbaik dibanding pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Terinspirasi dari pengalaman positif itu, di Wina saya coba-coba lagi. Bagaikan takdir, lagi-lagi saya ‘berjodoh’ dengan pemuda Italia. Namanya Antonio, seorang pekerja magang di kantor PBB. Kelakar-kelakar hangatnya amat menghibur di tengah dinginnya cuaca. Demi kopdar sama dia, saya bahkan rela ditinggal Mila, teman traveling saya untuk jalan-jalan ke Bratislava.
Kami janjian ketemu di McD sebelah Airbnb saya. Tunggu punya tunggu, dia tak pernah muncul alias raib begitu saja! Dengan geram saya pun unmatch dia, meski sempat terbersit dugaan dia tiba-tiba kecelakaan atau mati mendadak.
Skenario nahas itu menguap sehari setelahnya, saat Mila memperlihatkan ponselnya di perjalanan menuju bandara. “Lucu juga nih,” kekehnya sambil menatap tangkapannya. “Sayang kita udah mau pulang!”
Mata saya langsung melotot. Itu kan si Antonio! Rupanya dia masih hidup dan sempat-sempatnya mencari mangsa baru! “Kurang ajar!” gerutu saya. “Lelaki macam gitu harus dikasih pelajaran!”
Ide jahil pun mampir di kepala. Saya ingat si Antonio tinggal di wilayah yang jauh dari area bandara. Saya catat hotel yang baru saja kami lewati, sambil membuat profil baru dengan foto-foto palsu, dan mempersempit pencarian lewat rentang umurnya. Begitu dia tertangkap, langsung saya superlike supaya dia ngeh ada cewek seksi yang ngebet ingin kenalan.
Saya bersandiwara jadi musisi muda Hongkong yang hendak mengadu nasib di kota itu, dan menawarinya untuk minum-minum di bar hotel tempat ‘saya’ menginap. Cowok itu langsung setuju ketemuan malam itu juga, sambil wanti-wanti supaya saya pakai gaun hitam yang seksi (idih!). Seru juga ternyata ngibul virtual daripada bengong menanti jam penerbangan pulang. Dengan rayuan-rayuan nakal, saya berharap kali ini dia tidak akan mangkir lagi.
Beberapa menit sebelum jam delapan, dia memberitahu bahwa dia sudah menunggu di bar. Saya bilang masih dandan dan sebentar lagi akan turun. Setiap dia tanya, saya selalu cari-cari sejuta alasan. Sampai akhirnya dia marah-marah karena sadar sudah tertipu begitu resepsionis yang ditanyainya mengkonfirmasi tidak ada tamu dengan nama (samaran) saya.
Mila ngakak membaca pesan nyolot cowok itu, sementara saya mengklik tombol unmatch sambil tersenyum puas.
*Tanti adalah seorang penerjemah dan pengajar Bahasa Italia yang hobi jalan-jalan, membaca buku, dan bercita-cita bisa menjadi penulis betulan dan traveler yang lebih bernyali seperti Mbak Trinity. Ocehan-ocehan tentang perjalanannya sebelum pandemi bisa dibaca di tantitaliana.wordpress.com.
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 29 Oktober 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.
December 21, 2021
KENANGAN TOPI PUTIH
Karya: Laksmi Proborini* (Pemenang #LombaKelasTrinity)
Umurku, sejauh yang bisa kuhitung adalah 36 tahun. Kulitku putih dan asalku dari Korea Selatan. Aku yakin sekali asal usulku yang satu itu, meski tidak ada yang sanggup membuktikannya. Aku ingat jelas sekali seakan baru saja terjadi, majikan pertamaku adalah seorang pemuda asal Korea Selatan karena saat itu adalah acara Perkemahan Pramuka sedunia di Deokyudae Scout Reservation dan dia menggunakan seragam South Korean’s boy scout.
Majikanku itu tinggi, putih, sepertinya masih SMA dilihat dari tinggi badan dan kefasihan bahasa Inggrisnya. Sebagai info saja, pada 1985 di acara berskala internasional, 85% peserta Korea Selatan tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi komunikasi dengan peserta dari negara lain terjalin dengan penerjemah. Atau, jika tidak ada penerjemah yang sedang berkeliaran, menggunakan bahasa isyarat seadanya. Aku tidak tahu apakah majikanku itu tampan atau tidak, aku tidak dapat mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat nama majikan pertamaku. Ingatanku saat ini hanya berdasarkan ingatan majikanku berikutnya.
Tapi aku ingat bahwa majikanku si pemuda Korea tertarik pada gadis remaja asal Indonesia saat melihatnya menarikan tarian tradisional Indonesia di satu malam musim panas pada Juli 1985 itu. Gadis itu, yang menjadi majikanku sekarang ini, menari begitu gemulai dan juga tangguh, sesuai dengan karakter tariannya yang diangkat dari gerakan bela diri pencak silat. Dia menari sendirian di tengah-tengah penonton yang sebagian besar adalah orang asing dengan percaya diri, luwes, dan memikat hati.
Pucuk dicinta ulam tiba, keesokan harinya saat berjalan mengelilingi bumi perkemahan di waktu senggangnya, si pemuda bertemu dengan si gadis remaja yang juga sepertinya sedang berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan. Langsung saja si pemuda mengajak si gadis mengobrol di salah satu tenda kosong di dekat sana. Jangan berpikiran buruk dulu! Mereka hanya duduk dan mengobrol di pintu tenda. Masih banyak Pramuka-Pramuka lainnya yang berseliweran di sekitar mereka. Benar-benar hanya mengobrol. Itu pun sudah menjadi momen yang meninggalkan kesan yang sangat dalam bagi si gadis untuk menjadi kenangan seumur hidupnya.
Si gadis adalah siswi yang cukup berprestasi di sekolahnya, terutama dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Tapi dia sangat pemalu. Jika di gugup maka segala macam perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris, bahkan bahasa Indonesia juga, akan melayang dari benaknya. Jadi bisa dibayangkan suasana yang terjadi pada saat mereka berdua mengobrol di keteduhan pintu tenda. Memang sih, kebanyakan si pemuda yang bertanya dan si gadis hanya menjawab. Dalam bahasa Inggris tentunya.
Tapi begitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si pemuda menjadi semakin sulit (ini murni anggapan dari si gadis karena semakin lama waktu yang dihabiskan mereka mengobrol, semakin gugup dirinya, dan semakin susah dia mengartikan ucapan si pemuda yang menganggap dirinya memiliki kekurangan dalam vocabulary bahasa Inggris), maka sungguh lucu melihat akhir dari obrolan dan pertemuan mereka. Dengan pipi merah padam dan wajah tertunduk, si gadis berkata, “I am so sorry, I can not speak English!” dan hendak beranjak meninggalkan si pemuda. Ya ampun! Memangnya sedari tadi mereka berkomunikasi menggunakan bahasa apa?
Sebelum si gadis sempat berdiri dan meninggalkan tenda, si pemuda segera memakaikan sebuah topi putih cantik berpita cokelat berbunga kuning dan putih ke kepala si gadis, seraya berkata bahwa itu adalah kenang-kenangan darinya. Segera setelah itu, si gadis melarikan diri dengan hati berdebar, kembali ke tendanya sendiri.
Sesudahnya mereka tidak pernah bertemu lagi. Entah karena kegiatan acara yang cukup padat, ataupun karena takdir belaka. Yang pasti si gadis selalu bertanya-tanya dan menyesali diri, mengapa saat mereka bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya mereka tidak bertukar alamat, sehingga mereka setidaknya bisa saling berkirim surat. Zaman itu email belum ada, apalagi telepon genggam. Surat adalah cara komunikasi paling umum. Dan si gadis suka sekali berkirim surat dengan teman-temannya di Indonesia dan di luar negeri.
36 tahun berlalu. Ingatanku sekarang hanya milik si gadis. Ingatan tentang perkemahan musim panas di Korea Selatan. Ingatan tentang betapa bangga dirinya menjadi duta kesenian di acara internasional, mengalahkan peserta satu timnya dari Indonesia untuk menampilkan tarian solo. Ingatan tentang dirinya yang hanya mandi sekali selama lima hari berkemah di pegunungan karena jauhnya jarak kamar mandi umum dan betapa dingin air di sana. Ingatan tentang betapa sulitnya menahan BAB hingga tim mereka kembali ke peradaban, hotel. Iya, majikanku tidak bisa BAB di perkemahan karena toilet umum yang disediakan hanya berupa lubang di tanah, tanpa ada keran air ataupun tisu.
Dan pastinya ingatan tentang pemuda Korea yang menyapa dan mengajaknya mengobrol, yang memberinya hadiah sebuah topi putih cantik. Ingatan tentang penyesalan dirinya yang tidak berusaha melihat wajah si pemuda, penyesalan tidak menghafalkan nama si pemuda, penyesalan tidak menanyakan alamat si pemuda. Juga ingatan tentang gadis remaja pemalu yang pulang naik pesawat sendirian dari Balikpapan ke Tarakan, Tarakan ke pulau Bunyu, dengan memangku sebuah topi putih. Topi yang selalu disimpan dan ditatapnya dengan mata penuh kenangan masa lalu. Topi putih yang akhirnya dimakan usia: aku.
*Laksmi Proborini, ibu rumah tangga, 50 tahun. Bahagia dengan suami yang (sayangnya) rejekinya di luar kota alias LDR, dan satu gadis remaja, plus 2 kelinci. Penggila novel historical romance dan vampire ataupun paranormal romance. Moody crafter.
#LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 29 Oktober 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler.
Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
