Trinity's Blog, page 23

February 8, 2012

Raja Ampat adalah surga lantai ke-9!

Salah satu pantai di Misool


Turun dari kapal LOB (live on board) di Sorong, saya, Nina dan Yasmin rencananya mau jalan-jalan ke bagian lain di Papua karena masih punya 2 minggu liburan. Kami pun pergi ke bandara dan beberapa travel agent untuk nanya info pesawat dan kapal laut. Serasa ditampar, kami disadarkan bahwa Papua itu gedee banget! Naik pesawat bisa empat kali ganti, naik kapal bisa berhari-hari lagi. Setelah dihitung-hitung, harga dan waktu tidak sebanding untuk melanjutkan ke Biak, Nabire, apalagi ke Jayapura dan Wamena. Akhirnya kami memutuskan untuk balik lagi ke Raja Ampat – saking cintanya.


Tapi ke bagian mananya? Raja Ampat itu luasnya 46.000 km² atau hampir seluas provinsi Jawa Timur! Dengan lebih dari 1.500 pulau, sebagian besar dari wilahnya adalah laut. Berbekal informasi dari sana-sini, termasuk cari kenalan di Twitter, kami pergi ke Misool yang berada jauh di selatan Raja Ampat dan pas dapat tebengan speed boat milik TNC. Di distrik Misool hanya ada dua penginapan, yaitu resor milik bule seharga ribuan Euro di Babitim dan homestay lokal di Desa Harapan Jaya dengan harga ratusan ribu. Tentu kami pilih yang kedua meski masih termasuk mahal. Karena daerah kepulauan, kendaraan di sana ya kapal bermotor. Untungnya kami bertiga, jadi bisa patungan menyewa boat yang cukup mahal mengingat harga bensin di Papua itu tinggi dan ketersediaanya terbatas. Setiap hari kami menyewa speed boat untuk berkeliling dan tinggal menunjuk pulau mana yang akan disinggahi untuk berenang.


Sepanjang jalan (di laut), mulut saya menganga: sungguh indah distrik Misool! Contohnya daerah Sumalelen yang jauh lebih bagus daripada Wayag yang terkenal itu, meski tidak ada view point dari ketinggian bukit. Pulau-pulau karstnya yang rapat ditumbuhi pohon itu berjarak dekat satu sama lain, sehingga seperti berjalan di labirin – kalau bawa boat sendiri pasti saya sudah nyasar nggak karuan. Formasi batunya pun unik, mirip seperti pohon natal dengan lapisan bebatuan yang bertumpuk dan meruncing. Yang menariknya lagi, dinding batu di sebagian pulau terdapat lukisan purba yang digambar menggunakan ochre (pigmen dari tanah liat), mirip lukisan Aborigin yang saya pernah lihat di Kepulauan Kei, Maluku. Air lautnya pun sungguh mengundang untuk nyebur!


Suatu siang kami mampir ke pulau yang ada kolam air tawar. Pak Kepala Desa Yellu memelihara ikan bandeng, ikan mas, dan mujair di kolam tersebut. Ia menawarkan makan, lalu dibakarlah beberapa ikan dengan menggunakan kayu bakau. Ya ampun, itu bandeng yang paling enak yang pernah saya makan seumur hidup! Ukuran bandengnya sebesar tangan jadi duri-duri halusnya tidak ada, plus tidak berbau lumpur sama sekali. Begitu pula dengan ikan mujair dan mas, semua berasa manis dan gurih meski cuma dibakar tanpa garam dan bumbu! Enyaaak! Pak Kades bilang bahwa di balik bukit itu terdapat danau prasejarah yang berisi stingless jellyfish (seperti di Derawan dan Palau), hanya saja belum dibuat jalan untuk trekking dan untuk mencapai danau itu katanya sampai “setengah mati”. Saya hanya berharap danau itu nantinya bisa dikelola dengan baik sehingga tidak rusak.


Distrik Misool memiliki pantai-pantai paling sempurna. Sempurna menurut saya yang doyan berenang adalah pulau yang berpohon, lalu pasir putih yang panjang dan lebar, lalu air laut tanpa ombak yang dasarnya pasir doang (tidak ada rumput laut atau terumbu karang, sehingga serasa berenang di kolam renang), lalu sekitar 25 meter ke arah laut barulah hamparan terumbu karang cantik yang penuh dengan ikan warna-warni. Jadi bisa leyeh-leyeh di bawah pohon, jumpalitan di pantai, berenang di laut, dan snorkeling melihat biota laut. Tambah sempurna lagi dengan hadirnya ”ABK babes“, alias cowok-cowok tukang kapal/nelayan asli Indonesia Timur yang perutnya kotak-kotak. Berenang di pantai indah ditambah pemandangan menggiurkan = sedaap! :)


Hampir seminggu di Misool, kami kembali ke Sorong karena pas ada kapal KMP Kurisi yang hanya datang seminggu sekali, kalau lancar. Dari Sorong kami naik kapal ke Pulau Waigeo dimana terdapat pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat di Kota Waisai. Mendengar kata “kota” tentu tidak menarik bagi kami. Pilihan lain adalah dengan menginap di pulau-pulau lain, tapi lagi-lagi milik bule yang muahal. Jadilah kami menginap di resor milik orang lokal di Waiwo, sekitar 10 menit naik boat dari Waisai.


Hidden Bay


Saya sempat beberapa kali diving di Saonek Monde (tadinya saya pikir Sonic Monday) yang bagus tapi tetap airnya berarus. Selain itu, tetap keliling-keliling naik boat dan berenang. Yang keren itu di daerah Kabui. Sama seperti Wayag dan Sumalelen, di Kabui juga merupakan kumpulan pulau karst, hanya tebingnya jauh lebih tinggi. Ada juga gua berstalagtit yang bisa dilalui boat di dalamnya dan kuburan yang masih ada tengkoraknya. Widih, serasa ikutan ekspedisi bajak laut! Yang keren lagi di Hidden Bay, kumpulan pulau yang rapat dengan hutan bakau dan berair payau. Lalu bisa snorkeling bersama Manta Ray di dekat Pulau Arborek. Belum lagi, pulau-pulau berpasir putih lainnya dan gosongan (pulau pasir) yang spektakuler.


Selain alam bawah lautnya yang terbaik di dunia, Raja Ampat adalah gabungan antara ribuan pulau karst berbukit, hutan rimba pekat, dan pantai pasir putih. Benar-benar perawan sehingga Phi Phi Islands di Thailand dan Halong Bay di Vietnam langsung berasa tawar! Satu hal lagi yang baru saya alami hanya di Raja Ampat, yaitu berenang di pantai sambil mendengar ramainya kicauan burung! Burung-burung terbang bebas dan berwarna-warni ngejreng, seperti Kakaktua dan Cendrawasih. Pokoknya, pagi, siang, sore, malam – terik maupun hujan – tidak ada yang menghalangi kami untuk berenang saking nikmatnya. Karena sesekali hujan, sehari minimal dua kali kami melihat pelangi! Bukan hanya kelihatan jelas lapisan warna me-ji-ku-hi-bi-ni-u, tapi juga bisa melihat busurnya dari satu ujung ke ujung yang lainnya! Dan baru kali ini pula saya bisa menitikkan air mata saking kagumnya melihat indahnya alam ciptaan Tuhan. Ya, indahnya alam Indonesia itu memang bak surga, tapi Raja Ampat itu adalah surga lantai kesembilan!





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 08, 2012 04:10

February 3, 2012

Solo trip pertama kali!

By Pristi Gusmatahati*


Pose sama ikan buntal


Berbekal ilmu sebagai daydreamer, hobi ngiler tiap baca blog The Naked Traveler, pencerahan dari mbah Google dan milis indobackpacker yang saya ikuti, pengalaman pertama backpacking saya alami tahun 2009 ke Singapura bareng 2 teman. Tapi, sebenar-benarnya, saya ingin sekali pergi backpacking sen-di-ri-an, cuma belum ada keberanian. Pertama, karena saya perempuan berukuran kecil kaya balita padahal sudah tua, plus saya buta arah. Sampai akhirnya beberapa waktu yang lalu, saya memberanikan diri pergi ke Tanjung Lesung, sendiri. Yippiiiee!


Tanjung Lesung adalah sebuah pantai yang berada di kawasan Pandeglang, Banten. Disebut Tanjung Lesung karena lokasinya berupa daratan yang menjorok ke laut mirip ujung lesung (alat tradisional untuk menumbuk padi). Tempat ini terkenal dengan resort mewahnya serta Beach Club yang menyediakan fasilitas snorkeling, mancing, banana boat, jetski, dan lain-lain. Ada juga sailing trip ke anak gunung Krakatau, tapi buat saya harganya ngajak miskin banget. Lagipula, saya berencana untuk trip satu hari saja, berangkat pagi, pulang malam, karena esok harinya harus ngantor.


Dari rumah saya yang di Bogor, Tanjung Lesung memang tidak terlalu jauh, “cuma” 7 jam perjalanan saja angkutan umum. Saya berangkat pagi, dan berencana sudah tiba di rumah paling lambat pukul 12 malam. Sepanjang perjalanan, saya dapat pengalaman “unik”. Misalnya, sewaktu menunggu bus pagi-pagi, saya terpaksa diam-diam numpang buang air kecil di toilet pria di sebuah pusat perbelanjaan karena toilet wanitanya belum buka. Sudah mengendap-endap, eh pas keluar toilet sudah ada satpam menanti saya dan “menginterogasi”.


Setelah naik-turun bus, ajrut-ajrutan melewati jalanan busuk, sampai akhirnya mata dimanjakan dengan pemandangan pantai biru kehijauan dan nyiur melambai, sampai juga saya di Tanjung Lesung Beach Club. Cuaca yang lumayan terik tidak menyurutkan niat saya snorkeling. Sayangnya visibility-nya sedang kurang bagus karena sempat hujan. Walaupun begitu, snorkeling di Tanjung Lesung ini bagi saya lebih menyenangkan daripada pengalaman snorkeling sebelum-sebelumnya karena dengan jarak 20 meter saja dari pantai. Kedalaman tidak sampai 5 meter, begitu nyemplung saya langsung nabrak beragam school of fish! Terumbu karangnya pun berwarna-warni dan saya bisa mengelus-elusnya tanpa harus menyelam dalam-dalam. Saya juga bertemu banyak clownfish alias Nemo, dari ukuran kecil sampai yang agak besar. Tapi juaranya… saya nemu ikan buntal! Ternyata ikan ini wujudnya benar-benar lucu, selain badannya yang gembung, ikan ini punya gigi besar-besar bak gigi kelinci memenuhi mulutnya yang imut. Tapi ‘kurang ajar’nya si ikan ini (maaf) ternyata hobi pup. Selama saya pegang dalam air, dalam 1 menit dia pup sampai 2 kali.


Selesai snorkeling, saya pesan makanan. Berhubung Tanjung Lesung adalah objek wisata yang pada umumnya menyasar golongan “the have”, dengan akomodasi rata-rata minimal Rp. 1.000.000/malam, jadi Beach Club-nya pun menyediakan makanan mahal. Sekedar ilustrasi, teh tawar panas yang biasa digratisin di tukang pecel lele, di resto ini membandrolnya dengan harga Rp. 8000. Dan kalau di tukang pecel lele kita dapat segelas gede GRATIS, di sini hanya secangkir kecil.


Sambil menunggu pesanan, saya leyeh-leyeh di pinggir pantai sok-sok sunbathing ketika saya melihat ada cowo bule GANTENG berperut kotak-kotak! Untung saya pakai sunglass, jadi bisa ngelirik sepuas hati. Setelah saya perhatikan, ternyata memang banyak pengunjung yang bertampang ‘indo’. Selain si ganteng itu, ada segerombol keluarga Arab yang cakep-cakep banget. Ada juga keluarga India yang salah seorang wanitanya pakai sari lengkap sambil leyeh-leyeh di pantai! Hasil obrolan dengan pengelolanya, pengunjung di sini memang banyak ekspatriat dan rombongan perusahaan yang menginap di resort. Orang lokal Pandeglang-nya justru nyaris tidak ada.


Matahari mulai bergulir ke barat, dan ternyata oh ternyata, di Beach Club ini kita tidak bisa melihat sunset. Itulah sebabnya mereka menyediakan Sunset Trip, karena untuk melihat sunset mesti naik boat agak ke tengah laut. Gagal deh niat foto-foto “klasik” siluet berlatar sunset. Saya memutuskan untuk beranjak pulang, karena transportasi umum dari Tanjung Lesung ke terminal bus terdekat terbatas. Benar saja, selepas maghrib sudah tidak nampak ojek satupun! Untungnya seorang instruktur snorkeling berbaik hati memberi tumpangan sampai pangkalan ojek terdekat.


Di sinilah ‘kesalahperhitungan’ makin kacau. Karena niatnya backpacking, saya bawa uang tunai pas-pasan. Tapi ternyata di sini ada aturan tidak tertulis bahwa transportasi umum harganya bisa naik hampir 3 kali lipat kalau malam dan tidak bisa negosiasi karena tidak ada pilihan transportasi lain! Ojek yang harusnya Rp 15.000 jadi Rp. 35.000, angkot yang mestinya Rp. 10.000 jadi Rp. 25.000. Selain itu, sesampainya di Terminal Serang, saya yang santai karena diberitahu terminal ini beroperasi 24 jam, melongo melihat cuma ada 2 bus AC jurusan Bandung. Oalah, baru sadar ternyata walaupun terminalnya 24 jamtidak  berarti semua trayeknya  ikutan 24 jam. Wah, sudah deg-degan takut uang yang saya bawa tidak cukup, busnya gak ada pula! Apalagi waktu itu sudah menjelang tengah malam. Saya pun bertanya sama salah satu calo di situ, kalau mau ke Bogor bagaimana. Ternyata saya bisa naik bus jurusan Bandung tapi yang ekonomi via Ciawi, hanya saja saya harus sabar menanti karena datangnya biasanya lewat tengah malam. Waduh! Cuma dasar saya ndablek kali ya, karena terlalu senang berhasil backpacking sendirian, jadi sepanjang perjalanan bibir saya tidak bisa berhenti cekikikan walaupun lagi deg-degan takut tidak bisa pulang.


Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman ini adalah, riset-riset-riset. Mungkin menyenangkan jalan-jalan dengan spontan, tapi salah perhitungan di tengah jalan itu tidak menyenangkan loh! Apalagi jalan sendirian berarti tidak ada orang lain yang bisa diandalkan selain diri sendiri.




*Pristi Gusmatahati, broadcaster yang baru belajar jadi backpacker. Obsesi keliling Eropa sebelum usia 26 tahun, biar dapat diskon kereta 30%. Suka curhat dan menampung curhatan di http://kangenkasur.wordpress.com





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 03, 2012 04:57

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.