Trinity's Blog, page 20
March 16, 2013
Penyakit Gunung Akut

Laguna Miscanti (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)
Waktu jadi anak PA (Pencinta Alam) di SMA, istilah “mountain sickness” terdengar familiar karena merupakan salah satu materi yang diajarkan. Saat nonton film-film tentang ekspedisi pendakian gunung, penyakit tersebut dialami oleh para pendaki gunung bersalju, tapi tetap nggak terbayang sakitnya kayak apa. Baru-baru ini saya merasakan apa yang disebut dengan penyakit tersebut… jutru pada saat bukan di gunung!
Setelah gempor naik bus selama 18 jam dari kota La Serena ke Calama di negara Chile, begitu nyampe di kamar hostel, tiba-tiba kepala saya rasanya pusing minta ampun, seperti digebukin gada bertubi-tubi! Saya pikir karena kecapekan semalaman di bus dan kurang minum. Setelah mandi, saya tidur dan minum air putih banyak tapi tidak membaik, malah ditambah mual. Waduh! Saya pun minum obat sakit kepala. Sejam, dua jam, beberapa jam kemudian ternyata nggak ngaruh – kepala tetap pusing! Otomatis dari pagi sampai sore saya terkapar di tempat tidur hostel sambil mata berair terkena cahaya. Saya pikir cuma saya doang yang begini, nggak taunya si Yasmin juga mengalami hal yang sama. Kirain pusing karena perut kosong, maka kami makan di restoran terdekat. Perut telah diisi, minum air putih sudah sebotol, tapi pusing nggak hilang! Ah, mungkin masih capek. Minum lagi obat, paksa lagi tidur. Seharian kami berdua meringkuk di kamar sambil mengaduh-aduh. Perasaan lainnya adalah kaki dan tangan kesemutan! Ih aneh banget!
Sore karena masih berasa pusing dan mual, saya googling tentang gejala ini. Oalah, apakah ini yang disebut dengan altitude sickness atau Accute Mountain Sickness (AMS)? Penyakit yang dialami saat berada di ketinggian karena oksigen menipis dan rendahnya tekanan udara. Umumnya orang kena penyakit ini di ketinggian mulai 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut) atau 8000 kaki. Tidak ada teori yang mengatakan kenapa seseorang bisa kena atau tidak penyakit ketinggian ini karena banyaknya faktor. Kota Calama terletak hanya di 2260 mdpl, tapi kenapa saya merasa begitu sakit? Saya berdiskusi sama Yasmin mengingat kami berdua pernah naik Gunung Lawu setinggi 3265 mdpl dan merasa sehat. “Yailah yaa, itu kan pas kita masih kuliah, cuy! Sekarang wis tue!” #hakjleb.
Saya pun chatting sama sahabat saya si Nina di Jakarta, katanya itu udah pasti altitude sickness. Dia pernah kena waktu ke Shangrila di China dan menyarankan untuk turun ketinggian. Hah? Padahal kota sebelumnya 18 jam naik bus lagi! Ih ogah! Saran kedua, beli obat yang mengandung acetazolamide plus dilarang mandi. Malam itu saya dan Yasmin beli obat itu ke apotek, petugasnya aja ngetawain karena ini bukan di gunung. Untuk ngetes, saya minum setengki-setengki dulu sama si Yasmin. Efeknya pusing berkurang, tapi saya jadi insomnia dan pipis melulu setiap setengah jam! Hadeuh!
Dua hari kemudian kami naik bus ke kota San Pedro de Atacama yang ketinggiannya 2407 mdpl atau naik 147 meter dalam 2 jam. Di bus kepala saya muter sampai merasa mual luar biasa, saya bertahan untuk tidak muntah. Berjalan kaki dari terminal bus ke hostel rasanya kok cepet capek karena napas tersengal-sengal. Atacama adalah daerah padang gurun di Chile yang dikeliling pegunungan Andes. Gilanya, tempat-tempat yang menarik di sana berada ketinggian di atas 4000 mdpl, seperti Laguna Miscanti pada ketinggian 4120 mdpl dan Tatio Geyser pada 4200 mdpl! Perasaannya di perut aneh banget, rasanya lambung kok bisa nyolek-nyolek jantung.
Keluar dari Chile, sekali lagi saya dihadapkan dengan ketinggian di negara Peru. Dari kota Arequipa (2335 mdpl) saya akan ke Colca Canyon melewati pegunungan dengan ketinggian 4910 mpdpl! Anjrit, itu kan lebih tinggi dari Cartenz Pyramid aka gunung tertinggi se-Asia-Pasifik yang “hanya” 4884 mdpl! Langsung stres saya membayangkannya! Sebelum naik bus, pemandu menyuruh kami membeli daun Coca. Hah? Coca? As in cocaine? Yup! Coca adalah bahan dasar pembuat salah satu jenis narkoba yang bernama kokain!
Di Peru dan Bolivia, daun Coca itu legal karena merupakan budaya dari orang pegunungan Andes sejak zaman Inca untuk mengunyah daun Coca sebagai tambahan energi. Harganya hanya 2 Soles atau sekitar Rp 8.000 seplastik kecil, termasuk sebuah “batu” kecil. Saya pun dikasih tau caranya. Sejumput daun digulung dengan “batu” di dalamnya lalu dikunyah. Rasa daunnnya agak pahit, tapi batu tersebut yang ternyata semacam gula alami membuat agak manis di kunyahan akhirnya. Bau daunnya sangat keras (sampai keringat dan pipis pun berbau coca). Sepanjang perjalanan saya berasa baik-baik aja, tidak mual sama sekali.
Problem selanjutnya, dari ketinggian hampir 5 km di atas permukaan laut, pas turun 2 km lagi saya jadi pusing! Pemandu memberi saya sebotol alkohol 70% yang banyak tersedia di apotek dan menyuruh saya menuangkannya di telapak tangan, lalu dihirup sampai batuk kayak mau dibius. Tentu saya tersedak! Katanya memang efek tersedak itu yang dicari. Tak berapa lama kemudian… hilang pusingnya! Aneh bener! Pantesan tadi di bus, ada anak kecil yang nangis, diolesin alkohol juga perutnya dan dihirupin alkohol hidungnya. Fungsinya udah kayak minyak kayu putih di kita.
Selanjutnya saya ke kota Puno di ketinggian 3830 mdpl. Berbekal daun coca, saya tidak merasa pusing dan mual lagi. Namun yang ga bisa dihindari adalah napas pendek. Biasanya kita bernapas kan lega aja, ini udara mau dihirup eh seperti udah abis di tengah hirupan. Jadi jalan itu napas kita tersengal-sengal kayak orang kecapekan berat. Apalagi kalau jalan cepat atau naik tangga, wah napas abisss! Kalau parah, rasanya seperti tenggelam di air dan ingin tarik napas tapi masih jauh! Hiy!!
Di Cusco (3400 mdpl), kota tempat transit orang sebelum ke Machu Picchu, konon katanya paling banyak “memakan korban” penyakit ketinggian. Bus-bus eksklusif ke Cusco menyediakan tabung oksigen gratis. Setiap hostel memberikan teh coca gratis. Namun beberapa traveler yang saya temui mengaku sampai parah sakitnya akibat ketinggian, malah ada yang sampai masuk RS. Setelah saya dari Puno dan tempat-tempat tinggi sebelumnya, Cusco tidak ada apa-apanya sehingga saya sehat-sehat aja. Machu Picchu sendiri ketinggiannya 2430 mdpl atau 1000 meter lebih rendah daripada Cusco, meski tetap ngos-ngosan pas mendaki sih.
Yah, berada di ketinggian itu memang beda-beda efeknya setiap orang. Sebagai anak Jakarta yang tinggal 0 mdpl, saya jadi penasaran pernah tinggal di ketinggian berapa selama ini sebagai perbandingan? Pikiran pertama saya adalah Bandung karena terletak di pegunungan makanya dingin. Eh ternyata Bandung hanya 768 mdpl!

February 27, 2013
Hostel ideal

Salah satu hostel di Latvia yang mendekati ideal (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)
Sudah ratusan hostel saya tinggali di berbagai negara dalam kurun waktu lebih dari dua dekade. Malah sekarang memasuki bulan ke-5 #TNTrtw, artinya sudah hampir 5 bulan berturut-turut setiap hari saya menginap di hostel! Boleh dong saya punya syarat hostel ideal seperti di bawah ini:
Lokasinya strategis – Dekat dengan terminal bus/kereta api/Metro sehingga jalan kakinya minimal. Lokasi di tengah kota, minimal dekat dengan alun-alun (Square). Dekat dengan supermarket dan tempat makan murah. Tidak berada di atas bukit sampe naiknya bikin semaput.
Aman – Daerahnya aman untuk berjalan kaki, meski sendirian di malam hari. Sistem keamanan hostel yang baik, dimana hanya tamu saja yang bisa masuk pintu utama. Kamar hostel memiliki kunci yang pintunya bisa dikunci. Memiliki signage keluar yang jelas dalam keadaan emergency, juga memiliki fire extinguisher.
WiFi gratis, unlimited, dan kenceng sampai ke kamar – Nggak usah dijelaskan lagi, tapi ini superpenting! Saya paling nggak bisa nulis di tempat yang rame, jadi nulis di atas tempat tidur di kamar yang paling ideal. Saya bisa bete banget kalo WiFi lelet atau mati-nyala, apalagi kalau pake charge dan ada kuota!
Hostel tidak terlalu besar – Maksimal jumlah bed cuma 20. Makin banyak orang, makin gengges. Dengan jumlah tamu sedikit, kita bisa saling mengenal satu sama lain dan jadi akrab.
Jumlah bed sedikit dalam satu kamar – Maksimal 6 bed, paling baik 4 bed. Saya menghindari hostel yang memiliki dorm 12 – 30 bed, apalagi yang bunk bed-nya sampai tiga tingkat! Kalau ada twin bed dalam 1 kamar dengan harga terjangkau lebih baik lagi, saya bersedia nambah 1-2 USD untuk mendapatkan privacy.
Tersedia female dorm – Saya lebih suka sharing kamar hostel sama sesama cewek. Paling tidak cewek itu nggak sejorok cowok dan ngoroknya nggak sekenceng cowok. Trus kalo sekamar cewek semua, lebih bebas ganti baju.
Kamar yang cukup luas dan berjendela – Antar tempat tidur tidak terlalu rapat jaraknya sampe bobo adep-adepan muka ke muka atau malah kaki ke muka. Bila sekamar penuh dengan orang plus barang-barangnya, masih ada space untuk jalan tanpa kesandung. Jendela ini menghadap ke luar bangunan, bukan ke dalam hall, sehingga ada pertukaran udara sekalian bisa bikin jemuran cepat kering.
Bukan party hostel – Kalau sebuah hostel mencap dirinya party hostel, artinya hostel itu ruame, isinya anak-anak muda berisik sampe nggak tau waktu, mabuk-mabukan karena hostel menjual alkohol atau memperbolehkan minum di hostel. Ini yang paling saya hindari karena saya butuh tidur yang berkualitas!
Harganya sesuai – Nggak usah murah banget, tapi paling tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan.
Ada daily maid service – Mereka lah yang membersihkan hostel setiap hari, mengosek WC, men-supply tisu toilet. Resepsionis/pemilik yang berfungsi sebagai tukang bersih-bersih terbukti nggak efektif. Saya benci kalau saat check in lagi capek-capeknya naik bus belasan jam eh malah kudu pasang seprei, sarung bantal dan selimut! Kalo ada pembokat kan kita tinggal masuk dan bobo.
Ada lampu baca dan colokan listrik di tiap bed – Sebelum tidur saya suka baca, sementara yang lain udah bobo kan nggak enak nyalain lampu utama, makanya lampu baca itu penting. Saya juga sebel kalo mau charge laptop atau hape kudu di tempat lain, paling aman kan di tempat tidur sendiri.
Punya locker – Per orang wajib disediakan 1 locker yang bisa dikunci. Minimal ukurannya bisa masuk 1 daypack berikut laptop, lebih bagus lagi bisa masuk ransel juga jadi ukuran locker-nya 90 liter.
Kualitas dan ukuran tempat tidur yang baik – Tempat tidurnya harus spring bed yang rata dan empuk. Tidak terlalu tipis sampai kawatnya terasa di punggung, bagian tengah ranjang tidak mblesek ke dalam sampai kalau tidur rasanya kejepit bak sandwich, rangka tempat tidur tidak berisik, ukuran minimal single bed 90 x 180cm. Sprei dan sarung bantal kudu harum, crisp, bahan yang lembut. Meski kemungkinan besar dapetnya bermotif dan warna-warni, saya sangat menghargai kalau dapat sprei warna putih polos. Menyediakan selimut yang tebal bila berada di daerah dingin.
Tinggi bunk bed yang cukup – Minimal orang di bunk bed bawah masih bisa duduk tegak tanpa kejedut. Orang yang di bunk bed atas tidak terlalu tinggi manjatnya sampe bikin ndredeg. Penting untuk menyediakan tangga naik bunk bed dan semacam pagar di bunk bed atas supaya nggak keguling.
Rasio bed dan kamar mandi yang baik – Menurut saya, yang paling baik rasionya 1:5. Setiap 1 kamar mandi/WC untuk 5 bed. Itupun cewek dan cowok kamar mandi/WC-nya harus terpisah.
Kamar mandi yang luas, bersih, berfungsi baik – Paling sebel mandi di shower yang sempit sampe sering kejedut, atau ke WC yang sempit sampe buka-tutup pintu aja susah, apalagi kalo kamar mandinya jorok, becek, bau. Eww! Soal fungsi, pressure air shower kudu kenceng, saluran pembuangan nggak mampet, WC bisa di-flush.
Hot shower yang konstan 24 jam – Karena saya mandinya malam sebelum tidur, paling benci kalau mandi nggak ada air panas, apalagi kalau lagi di negara dingin! Konstan maksudnya sepanjang mandi, airnya panas terus. Bukan kadang-kadang panas, atau dari panas lama-lama jadi dingin. Arrgh!
Kamar mandi cewek dan cowok terpisah – Udah jelas alasannya kenapa. Entah kenapa cowok ras apapun di seluruh dunia, tetep lebih jorok daripada cewek. Dudukan WC aja sering nggak dibuka jadi bececeran pipisnya cowok. Ih! Boys will be boys!
Termasuk sarapan – Bayangin bangun pagi perut lapar, tapi cuaca lagi dingin dan restoran di luar baru buka jam 10 pagi. Nah, makanya hostel perlu menyediakan free breakfast! Saya sih bakal nerima apa aja kalau dikasih, tapi minimal ada roti dan kopi panas, paling ideal lagi kalau ada cereal dan telor. Kadang ada hostel yang termasuk makan malam gratis, meski nggak begitu penting tapi merupakan poin lebih. Hostel juga sebaiknya menyediakan teh dan kopi gratis, asal ada teko listrik.
Memiliki dapur lengkap dan kondisi baik – Memasak sendiri adalah salah satu cara menghemat budget traveling.Hostel wajib menyediakan dapur yang bisa digunakan umum. Peralatan dapur lengkap dengan kondisi yang baik, minimal ada panci dan wajan anti lengket, ada teko listrik, pisau yang tajam. Kompor gas yang tinggal pencet langsung nyala, nggak usah cari korek api segala. Ada microwave. Juga tersedia peralatan makan lengkap, termasuk mangkok dan sendok. O ya, hostel wajib menyediakan garam dan minyak goreng. Males banget kan bawa-bawa garam sekilo atau minyak seliter padahal makenya juga cuma seencret.
Kondisi bangunan dan desain yang baik – Sebenarnya saya tidak terlalu peduli, tapi saya ogah tinggal di hostel yang lantainya miring, dinding yang tipis sampe orang sebelah ngorok kedengeran, tidak memiliki insulator yang baik sehingga kamar terasa dingin karena anginnya masuk melalui celah pintu/jendela. Desain nggak perlu keren-keren banget, tapi minimal nggak bikin sakit mata.
Resepsion yang ramah namun tegas, berbahasa Inggris, berpengetahuan – Resepsionis hostel adalah sumber utama informasi mengenai kota tersebut, atau sekedar bergosip. Males aja kalo mereka nggak bisa berkomunikasi, jadi susah kalau mau nanya-nanya. Tegas itu artinya, mereka bisa menegur tamu yang berisik, jorok, atau melanggar peraturan. Terakhir, kalau bisa resepsionisnya cowok muda dan cakep. Halah.
Sampai saat ini sih saya belum menemukan satupun hostel yang memenuhi 22 kriteria ini. Ya iyalah yaaa… Mau murah kok minta yang ideal!

February 18, 2013
Agama Pantai

Copacabana, Rio de Janeiro
Baru kali ini saya ke negara yang penduduknya sangat tergila-gila dengan pantai. Ya, siapa lagi kalau bukan Brazil? Selain sepak bola, ternyata “agama” mereka adalah pantai. Mereka pun memiliki budaya pantai sendiri yang tidak dipunyai bangsa lain.
Sebagian besar kota di Brazil berada di tepi pantai. Orang yang tidak tinggal dekat pantai itu dianggap “kasian deh lu” dan dicap stres karena jauh dari laut. Sampai-sampai joke-nya mengatakan, “No mar, [that’s why] we go to bar” (orang Brazil mengucapkannya ‘no mah, we go to bah’ karena ‘r’ di belakang kata diucapkan ‘h’), artinya “karena nggak ada laut, jadi kami minum di bar”. Penduduk Brasilia (ibu kota Brazil), Manaus (dekat Amazon) dan Foz do Iguacu (dekat Air Terjun Iguacu) adalah contoh yang sering stres karena jauh dari pantai. Setiap liburan mereka bela-belain terbang berjam-jam atau naik bus berhari-hari demi ketemu pantai.
Kalau di Indonesia, ke pantai justru dipenuhi oleh turis, kebalikannya di Brazil, pantai dipenuhi oleh orang lokal. Begitu matahari bersinar terang benderang, apalagi pas hari libur, jalan bisa macet parah karena semua orang ke pantai! Kebalikannya di Indonesia, kalau hujan justru macet. Lah di Brazil, macet itu pas cuaca cerah. Hehe!
Yang saya salut dengan pemerintah Brazil adalah mereka melarang pantai dimiliki individual karena semua pantai adalah milik umum. Hotel atau resort mewah pun tidak bisa mematok pantai. Bangunan hanya boleh berdiri di seberang pantai, setelah jalan raya, sehingga semua orang bisa menikmati pemandangan pantai. Maka pantai adalah tempat dimana orang Brazil berkumpul tanpa adanya perbedaan status sosial maupun warna kulit. Selebritas Brazil pun santai aja ke pantai umum.
Budaya pantai paling kental adalah di kota Rio de Janeiro dengan pantai Ipanema dan Copacabana-nya yang terkenal. Cariocas (sebutan untuk penduduk Rio) punya “hukum” sendiri bahwa tidak ada malam keempat tanpa pergi ke pantai. Cariocas ke pantai tidak membawa apa-apa karena di pantai banyak yang jualan, mulai dari tukang sewa kursi dan payung, tukang makanan dan minuman, sampai tukang jualan kaca mata hitam dan bikini.
Selain di Rio, banyak pantai yang tidak ada penyewaan kursi dan payung. Tapi dua barang itu pasti dipunyai oleh keluarga Brazil. Mereka juga punya tikar, beach towels (handuk khusus pantai yang besar dan tebal), dan cooler box untuk menyimpan minuman dingin. Buku dan MP3 player justru haram hukumnya berada di pantai, karena benda itu sangat individualis.
Umumnya orang ke pantai cuma sebentar, abis kecibang-kecibung lalu pulang. Di Brazil, orang ke pantai sehari penuh dari pagi sampai matahari terbenam! Ke pantai itu bukan sekedar berenang, tapi acara ritual yang penting, tempat bersosialisasi bersama keluarga atau teman-teman, termasuk ajang gebet-menggebet dan pamer bodi.
Aktivitas utama di pantai sebenarnya adalah ngobrol sambil minum-minum. Mereka sebenarnya tidak berenang, tapi cuman membasahkan diri ke dalam air laut sebentar, lalu menjemur badan, basahin lagi, jemur lagi, begitu seterusnya sampe gosong. Warna kulit coklat gosong itu dianggap keren, kebalikan dari Indonesia yang menganggap beauty is white. Siang hari mereka makan dan minum. Sorenya berolah raga, seperti main bola, main volley, main tenis-tenisan.
Minuman pantai mereka adalah air kelapa muda (langsung diminum dari buah kelapanya, tapi jarang yang makan daging kelapanya), jus buah asli (menurut saya, jus Brazil adalah yang terbaik di dunia), bir (banyak brand produksi lokal), dan yang paling nendang adalah caipirinha (minuman nasional Brazil yang terbuat dari fermentasi tebu dicampur gula dan lemon, ditanggung teler seketika!). Makanan sih standar, paling burger, hot dog, pastel. Camilan yang unik adalah sate udang goreng, keju bakar dan churros (roti goreng panjang isi susu kental manis).
Pantai di Brazil sebenarnya tidak ada yang spektakuler. Malah karena terletak di Samudra Atlantik ombaknya termasuk gede dan warna airnyanya juga nggak bening. Percayalah, pantai di Indonesia masih jauh lebih bagus! Tapi yang membuat pantai di Brazil menarik adalah orang-orangnya beserta budayanya yang unik.
Bagaimana membedakan cewek Brazil dan non Brazil di pantai? Gampang. Cari aja bikini yang kekecilan, nah itulah cewek Brazil. Budaya mereka adalah: bikini semakin kecil semakin baik. Pemandangan wajar bila melihat cewek Brazil pake bikini yang kainnya cuma nutupin puting. Celananya model G-String, yaitu kain segitiga tipis di depan dan diikat benang di belakang. Bahasa Portugisnya G-String adalah fiodental, atau dental floss dalam bahasa Inggris – saking minimnya bak benang nyempil di gigi. Anak kecil cewek juga pake bikini, meski celananya bukan model fiodental. Perlu diketahui, fiodental ini dipakai bukan hanya oleh cewek muda dengan bodi bagus. Hampir semua cewek dengan segala ukuran dan bentuk pun cuek aja tuh. Mau yang item, gendut, yang tua, yang pantatnya jerawatan, semuanya pede. Malah saya yang berasa jadi alien karena bikini saya jadi tampak “kebesaran” di sana. Anehnya, meski bikini mereka menutupi hanya 98% dari luas tubuh, tapi bugil itu dianggap imoral.
Bagaimana dengan cowok? Seperti yang sudah saya ceritakan di sini, cuma pria Brazil yang pantas dan pede memakai speedo alias celana renang segitiga sambil keleleran, berjemur atau main bola. *slurp*
By the way, secara ke pantai itu acara keluarga, kok mereka nggak risih ya anaknya pake fiodental di depan bapaknya, atau malah di depan bapak mertua. Atau, anak cowoknya kok nggak risih liat pantat ibunya atau ibu mertuanya? Atau, bapaknya kok nggak risih pake speedo di depan menantunya? Belum lagi kalau ada pasangan, mereka asik cipokan mulu sambil gugulingan di pasir di depan orang tuanya. Grrr!
Selain baju renang, mereka memiliki baju pantai khusus. Untuk cewek, di atas bikini, dipakein baju terusan yang longgar. Nah, bajunya itu kalo nggak transparan ya bolong-bolong. Jadi bukan tank top dan short, atau sarung diiket, atau baju motif bunga-bunga semata kaki – kayak cewek Jakarta kalo ke Bali. Cewek Brazil pun tidak jalan-jalan hanya pake bikini, tapi mesti ditutup baju pantai yang sama-aja-boong nutupnya. Sementara cowok Brazil bertelanjang dada jalan-jalan ke mana-mana sih dianggap wajar. Sampai-sampai di sebagian tempat, seperti mal dan terminal bus, membuat peraturan “cowok harus pake baju” untuk bisa masuk. O ya, orang Brazil ke pantai pun selalu pakai sendal jepit karet. Merk sendal ngetop buatan Brazil, Havaianas, bahkan merupakan pelopor industri sendal jepit dunia di awal 1960an.
Well, kalau Anda ke Brazil dan bilang orang Indonesia, pasti Anda jadi superstar karena di mata orang Brazil, Indonesia memiliki pantai yang sangat indah dan ombak yang keren untuk surfing. Ah, bangganya ada yang mengapresiasi tinggi begitu. Sementara kebanyakan orang Indonesia? Pantai? Ih, males. Panas tauk! Bikin item aja!

January 25, 2013
Negara tanpa orang jelek
Baru kali ini jalan-jalan di suatu negara yang bisa bikin saya nggak pede. Cowok-cowoknya ganteng, cewek-ceweknya cantik – plus SEKSI pake huruf besar! Yeah, selamat datang di Brazil! *menatap nanar ke perut sendiri* Sejak mendarat di kota Rio de Janeiro pada musim panas 2012, mulut saya nggak berhenti menganga dan bola mata saya sampe mencelat ke luar saking terpana liat orang-orangnya!
Bayangkan, semua yang berjenis kelamin laki-laki ganteng! Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, sampe kakek-kakek! Mulai dari kuli, supir, kondektur bus, sampai orang kantoran, semua tampak menawan. Aish! Makanya baru kali ini saya jadi ngecengin cowok ABG ganteng. Belum lagi para bapak-bapak muda yang tanpa gengsi dan malu ngangon anaknya di tempat umum.. Uh, tidak ada yang lebih seksi dari cowok yang telaten mengurus anak kecil bukan?
Susah digambarkan gantengnya mereka karena sangat bervariasi. Yang jelas, saya nggak pernah nemu yang jelek, dan kalau pas ketemu yang cakep banget, ampe bikin ngilu. Wajahnya kayak orang indo, bodi pria dewasa rata-rata bagus, dengan tinggi sekitar 170-180an cm, dan wangi habis mandi. Mantabnya lagi, mereka nggak suka pake baju! Mereka doyan bertelanjang dada, baik di rumah maupun di jalan. Dan cuma cowok Brazil yang pantes berenang pake speedo alias celana renang berbentuk segitiga, bukan celana surfing selutut! Dengan cawet kecil begitu mereka pada jago main bola di pantai pula! Awww!! *lap iler* Kalau Anda mengenal orang Brazil dari pemain sepakbolanya, ternyata Kaka mukanya pasaran banget (masih banyak yang lebih ganteng) dan cowok Brazil paling jelek adalah Ronaldinho. Ouch!
Dulu saya bilang cowok Italia paling cakep, terus ke Israel juga lebih cakep lagi. Dan sekarang setelah ke Brazil, cowok Italia dan Israel langsung lewaaat! Well, ketiga negara itu memiliki cowok-cowok cakep. Bedanya, cowok Italia itu ganjen, cowok Israel itu dingin, maka cowok Brazil itu di antaranya: mereka hangat, tulus, tapi nggak gampangan. Mungkin ini yang disebut dengan “inner beauty” karena meski mereka bertampang biasa-biasa saja, tapi emang nature mereka hangat, ramah, supel, dan gentleman, jadinya tampak ganteng. Meski tiap ketemu dan berpisah, cowok Brazil mencium pipi cewek (catet: pake bibirnya) namun bukan keganjenan. Padahal saya jadi geli-geli sendiri gitu deh. Hihihi!
Jadi, apakah saya berhasil menggebet cowok Brazil selama di sana? Nah, timbul persoalan! Inilah yang membuat saya mengkeret: cewek-cewek Brazil bikin saya hilang percaya diri! Kalau Anda lihat cewek Brazil pada pemilihan Miss Dunia, ternyata pada kenyataannya ya emang begitulah cewek-ceweknya di kehidupan sehari-hari. Kulit mulus, tanned, rambut panjang ,senyum lebar dengan gigi putih, pinggang kecil, pantat nonggeng, dan… “tebron” (tete brontak)! Udah toketnya guede, pake behanya pun kekecilan sehingga payudara mereka saling berontak ingin keluar dari tempatnya!
Kalau lagi di pantai, bagaimana membedakan cewek Brazil dan yang bukan Brazil? Dari ukuran bikininya! Cewek Brazil pake bikini dengan celana bermodel G-String alias segitiga kecil di depan dan seutas tali tipis yang nyempil di belahan pantat! Pantes aja ada yang disebut dengan Brazilian Wax (metode cukur rambut kemaluan sampai gundul dengan menggunakan wax) karena dengan model celana begitu kagak boleh ada sehelai rambut pun yang nongol. Saya juga heran, pantat telanjang di Brazil itu dianggap wajar. Sedangkan bikini atasannya mah basa-basi doang, cuma kain segitiga kecil yang berfungsi nutupin puting! Meski demikian, cewek topless di Brazil itu ternyata dilarang loh!
Eh ternyata bukan hanya di pantai cewek-cewek Brazil berpakaian superminim. Tanpa malu, mereka pake celana pendek dan bikini doang, jalan-jalan di trotoar bahkan naik bus. O ya, definisi “celana pendek” cewek di Brazil adalah hot pants alias celana superminim ketat dengan daging pantat yang nyembul! Harus diakui bentuk pantat mereka emang bagus, songgeng ampe bisa dipake boncengan. Makanya celana dalam model G-String itu juga dipake sehari-hari oleh wanita dewasa sampai nenek-nenek. Kalau mau cari model celana dalam normal bentuk segitiga di toko baju atau mal, udah pasti kagak nemu! Gilanya lagi, kalau mereka pake baju atasan, pasti menonjolkan payudaranya (yang besar) dengan belahan rendah atau tank top kekecilan. Kalaupun bagian payudaranya tertutup, pasti bahannya transparan atau ada bolongan besar di bagian lainnya. Meski ada sebagian cewek yang bodinya nggak bagus tapi pake baju minim, namun karena mereka pede jadinya tampak seksi. Doh, mana bisa saya bersaing dengan mereka?
Jadi kenapa orang Brazil bisa cakep secara fisik? Begini teori-teorian ala saya. Tau kan kenapa cowok/cewek indo itu cakep? Karena percampuran ras antara orang tuanya yang Asia dan bule. Begitu pula dengan orang Brazil yang begitu banyak campuran antarras. Suku asli mereka orang Indian. Negaranya pernah diduduki Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris. Abad 16-18 didatangkanlah orang Afrika untuk menjadi buruh. Abad 18-19 datanglah imigran asal Jepang, Italia, Jerman, Perancis, Lebanon untuk membuka lahan. Mereka kawin-mawin satu sama lain sehingga terjadilah percampuran antarras yang menciptakan ras baru: ras orang Brazil yang seng ada lawan!
Bisa jadi teori saya ini salah karena di Brazil saya cuman jalan-jalan di daerah selatan, dari kota Rio de Janeiro ke bawah. Orang Brazil sendiri mengakui bahwa orang cakep Brazil itu pusatnya di selatan, karena dari Rio ke atas lebih banyak orang item. Tapi menurut saya, orang item Brazil juga cakep karena sudah bercampur dengan ras lainnya. Atau bisa juga karena saya datang pas summer sehingga semua orang pengennya telanjang karena panas. Ah, kalau saja biaya hidup di Brazil murah, saya pasti nggak pengen pulang!

January 16, 2013
I cry for you, Argentina!

Oh no!
Rute #TNTrtw (Trinity Round-the-World trip) di Amerika Selatan pertama adalah Brazil, lalu jalan darat ke Argentina. Maka setelah dapat visa Schengen dan Brazil, saya pun apply visa Argentina di Jakarta. Udah browsing sampe bego, nggak nemu situs resmi yang bisa menjelaskan persyaratannya, kecuali situs-situs travel agent yang syaratnya lebay. Tanya sana-sini, malah nemu 3 orang teman saya yang visa Argentina-nya ditolak dengan alasan nggak jelas, padahal mereka traveler sejati yang udah ke mana-mana. Tapi saya tetap optimis, sampai ketika saya datang ke Kedutaannya…
Baru nyampe, tampak seorang cewek menyerahkan dokumen visanya kepada petugas di loket visa. Mbak-mbak petugas visa dengan juteknya meng-harass si cewek, “Ini tulisannya salah eja, Iguazu dalam bahasa Argentina pake z, bukan c! Ini booking-an hotel harus jelas ditulis nama kamu sesuai paspor! Loh, ini itinerary per harinya mana? Masuk dari mana, keluar dari mana? Ini nanti tiket pesawatnya nggak bisa hanya booking-an aja, harus sudah issued! Kembali lagi kalo udah lengkap!” Glek. Saya langsung mengkeret. Buset, semua orang seruangan bisa mendengar suara si mbak. Si cewek berlinangan air mata karena ternyata dia sudah datang ke sekian kali tapi masih harus disuruh bolak-balik untuk melengkapi dokumennya. Pas giliran saya yang cuma mau nanya persyaratan, diberikanlah secarik kertas berisi alamat situsnya. Buset, pantesan aja kagak bisa di-browsing. Alamatnya panjang, banyak slash dan susah diingat!
Besoknya saya kembali lagi sambil membawa lengkap dokumen sesuai yang tertera di situs resmi Imigrasi Argentina. Setelah menunggu lebih dari sejam, eh si mbak petugas malah mendahului travel agent yang datang belakangan tapi bawa sekardus paspor rombongan dokter jalan-jalan (ehem, tajir amat yak!). Tiba giliran saya, si mbak jutek pun memeriksa dokumen saya sambil berkata…
- Kertas fotokopinya kok nggak sama gini sih besarnya? Harus A4 semua! *padahal buku bank kan kecil, masa fotokopi sehalaman kertasnya harus segede A4?*
- Kok fotokopi paspor cuman halaman depannya aja? Semuanya harus difotokopi berikut visa-visanya!” *jiaah, meneketehe! Di persyaratan cuma ditulis “fotokopi paspor”*
- Ini surat sponsornya harus jelas ditulis ada kata “menginap” di rumahnya. *ebuset, seumur idup surat sponsor gue kagak ada yang pake kata ”menginap” tapi lolos aja tuh*
- Itinerary per harinya mana? Harus jelas hari ini ke kota apa dan tinggal di mana! *bujug, emang kalo berbulan-bulan kita udah tau gitu mau jalan ke mana?*
Tak lama kemudian, dia berkata, “Oh, kamu mau pergi ke Argentina masih bulan Desember? Sekarang kan baru September, kamu dateng lagi aja bulan depan!”
“Maaf, saya bulan depan udah pergi dari Indonesia. Bisa diurusnya sekarang aja nggak?”
“Wah, nggak bisa. Kita lagi sibuk banget. Tuh lihat, application-nya setumpuk gitu!” sambil nunjuk tumpukan kertas yang kira-kira setinggi kurang dari 10 cm.
“Minta tolong, Bu. Urgent nih,” rayu saya.
“Nggak bisa,” jawabnya sambil melengos balik badan.
DARRR!
Singkat cerita, saya sampai di Foz do Iguacu dimana kita bisa melihat air terjun dari dua sisi, yaitu sisi Brazil dan sisi Argentina dalam satu hari. Semua orang melakukannya sekaligus dari kedua sisi… kecuali kami, orang Indonesia! Teman-teman bule sehostel berkomentar, “That’s stupid! Argentina is in crisis now, they should let people come in to make their economy better.” Orang Brazil yang ternyata sebel sama Argentina juga ngomporin, “Mereka memang sombong dan belagu!”. Saya jadi tahu bahwa Brazil dan Argentina itu bagaikan Indonesia dan Malaysia, saling membenci apalagi ketika keduanya bertanding sepak bola.
Setelah lebih dari sebulan di Brazil, menjelang Natal kami harus pindah negara akibat living cost di Brazil yang gila-gilaan mahalnya apalagi pas high season. Rencana awalnya mau jalan darat antarnegara di Amerika Selatan, terpaksa harus terbang ke Chile karena nggak punya visa ke negara-negara yang berbatasan dengannya. Nggak punya visa Argentina, Paraguay dan Uruguay. Dodolimpret!
Setelah browsing sana-sini, termurah adalah naik pesawat Aerolineas Argentinas dari Porto Alegre di Brazil ke Santiago di Chile. Karena pesawat milik negara Argentina, jadi harus transit di Buenos Aires. Sadar diri nggak punya visa, saya milih pesawat yang arrival dan departure-nya dari bandara yang sama supaya nggak usah melewati imigrasi, meski harus menginap semalam. Yah seperti yang biasa saya lakukan di bandara-bandara lain kalo nggak punya visa. Maka dari Florianopolis, kami naik bus semalaman. Nyampe pagi di kota Porto Alegre, langsung cabut ke airport.
Dengan muka Zombie karena kurang tidur, kami check in tiga jam sebelum take off. Belum juga dapat seat, si petugas bertanya, “Do you have Argentina visa?”
“I don’t need one. Only transit before going to Santiago,” jawab saya bingung.
“Let me talk to my boss first.”
Doh, ada apa lagi sih!?
5 menit kemudian bosnya datang meriksa paspor dan bilang bahwa saya harus punya visa. Berkali-kali saya bilang bahwa saya cuman transit dan stay di dalam airport menunggu penerbangan berikutnya jadi memang nggak perlu visa. Tapi si bos tetap keukeuh. Rasanya saya mau teriak, “Woi, gue kagak bakal keluar-keluar, cuman ngedekem di airport doang, cuy!” Si bos tetep ngotot bahwa saya nggak boleh naik pesawat dengan alasan transit lebih dari 6 jam harus pake visa! BANGKE!!! Dia menghalau saya ke kantornya untuk mengurus refund tiket dan memberikan alamat ke Konsulat Argentina untuk minta visa transit. Sialnya, tiket nggak bisa di-refund karena saya belinya di agen online. Hilang deh duit ratusan dolar! Dan disuruh ngurus visa lagi ke Konsulat? Ih, ogah deh! Trauma! Maka saya pun terpaksa menginap di sebuah hostel di Porto Alegre. Malamnya saya posting status di Facebook tentang kejadian ini dan teman saya orang Argentina berkomentar, “On behalf of my country, I apologize. But I already warned you that we are a bunch of assholes!” Nah lho!
Akhirnya saya membeli lagi tiket baru naik Aerolineas Argentinas dari Rio de Janeiro ke Santiago, dengan transit di Buenos Aires selama 2 jam di airport yang sama. Ditambah lagi tiket pesawat dari Porto Alegre ke Rio de Janeiro karena udah nggak sanggup naik bus 3 hari. Plus, saya harus mengeluarkan uang untuk menginap semalam lagi di Rio de Janeiro. Malam itu teman saya, Lia, email bahwa dia pernah transit di Buenos Aires, eh dia dikunciin di sebuah ruangan dingin di airport saking takutnya kabur! Ih, ngehe banget kan? Saya jadi stres!
Oke, saya memaafkan kejadian kemarin dan ingin keluar dari Brazil dengan lancar. Bukan hanya materi yang sudah terbuang percuma, tapi juga fisik dan mental kami sudah lelah. Dengan semangat, pagi-pagi kami ke airport Rio de Jainero, dan… Jeng jeng! Status penerbangan kami ke Buenos Aires adalah CANCELED! Watdefak?! Katanya penerbangan dibatalkan karena cuaca buruk. Penumpang lain dialihkan ke pesawat berikutnya dan dapat voucher makan, tinggal kami yang ketinggalan. Nah, pikirin deh tuh sana gimana caranya kami transit tanpa visa! Emang enak?!
Tiga jam nunggu di depan konter, akhirnya bosnya datang, “We are so sorry because the flight is canceled. Since you have connecting flight to Santiago, the schedule doesn’t match so you need to stay another night here and fly the next day at the same time. However, we will provide hotel, meals and taxi for you.” HAH? Lalu anak buahnya ucluk-ucluk datang sambil memberikan voucher taksi dan alamat hotel. Yihaa, kami nginep semalam lagi di Rio de Janeiro! Kali ini di hotel mewah (baca: hotel, bukan hostel) di Copacabana Beach! Semua makan dan minum tinggal order via room service. Sebagai balas dendam, saya memesan makanan berdasarkan harga yang paling mahal – nggak peduli menunya apaan. Akhirnya saya pun bisa berenang di pantai Copacabana yang cuman jalan kekong pake sarung dan berjemur di kursi pantai yang disediakan hotel.
Akhirnya keesokan harinya lagi kami berhasil terbang. Ketika pesawat akan mendarat di Buenos Aires, dari jendela pesawat terlihat kota yang flat dan pantai yang airnya coklat. Duile, negara jelek aja belagu amat! Terus terang, saya masih sebel. Rasanya pengen boker di WC airport-nya dan nggak disiram saking sebelnya, tapi takut kualat karena masih ada 1 penerbangan lagi sebelum nyampe ke Chile. Karena pesawat penuh pada pulang kampung pas natal, kursi kami di-upgrade ke Business Class. Sekian dan terima kasih!
Mendarat di Santiago, ternyata penderitaan belum berakhir. Begitu saya ambil bagasi, eh ransel saya kebuka tali-talinya dan gemboknya hilang! Saya lapor ke petugas, mereka yang nggak bisa berbahasa Inggris cuma menaikkan bahu. Setelah saya cek, yang dicolong adalah… sendal jepit kesayangan merk Havaianas dan Antangin! Kurang ajaarrrr!!! Meskipun bukan “barang berharga” tapi kedua barang tersebut adalah yang terpenting dalam kehidupan saya dibanding barang-barang lain di koper. Ampun dah!
Gara-gara (visa) Argentina, emosi saya naik-turun cepat bak roller coaster. Kalau ada lagu terkenal berjudul “Don’t cry for me, Argentina”, bagi saya lebih tepat berjudul “I cry for you, Argentina!” karena nyebelin banget lu jadi negara! It’s your lost! Really.

January 4, 2013
Agama bola

Estadio Pacaembu, Sao Paolo (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)
Saya termasuk penggemar nonton pertandingan sepak bola. Itu pun nggak gila-gila banget, biasanya hanya bela-belain begadang nonton TV kalau ada pertandingan World Cup atau Euro Cup. Namun salah satu bucket list saya adalah nonton pertandingan sepak bola di Brazil, negara pencetak juara dunia yang terkenal dengan pesepak bola legendaris bernama Pelé.
Sepak bola memang olah raga paling murah sehingga cocok untuk negara-negara yang penduduknya banyak atau negara berkembang. Tapi toh juara dunia berkutat di negara-negara Eropa. Padahal kalau ke Eropa, meskipun ke negara bola macam Jerman atau di Inggris, saya tidak merasakan “hawa” bola di kehidupan mereka sehari-hari.
Berbeda dengan Brazil. Asal ada lahan kosong, terutama di pantai, mesti ada orang yang bermain sepak bola, mulai dari anak kecil sampai kakek-kakek. Asal bawa bola, gampang aja cari lawan. Yang lagi lewat aja bisa langsung buka baju dan ikutan main. Saya sampe terkagum-kagum karena orang awam aja jago men-dribble bola, nyundul, passing, nendang bola dari tumit kaki pindah ke dengkul lalu ke kepala, dan sebagainya. Tidak hanya permainan standar sepak bola, mereka pun menciptakan cabang olah raga baru, yaitu volley pantai tapi menggunakan kaki!
Kalau nanya identitas seseorang, selain nama dan asal, sering juga ditanya “klub bola lo siapa?”. Akan dianggap aneh kalau seseorang tidak support klub bola lokal manapun. Di Brazil, dalam satu kota bisa ada lebih dari 2 klub sepak bola. Sistem piramida kompetisi nasional bola Brazil terdiri dari Seri A sampai D (A paling tinggi), makanya pertandingan di tiap daerah cukup banyak, ditambah kompetisi yang diselenggarakan oleh State-nya. Kerennya lagi, ada beberapa channel TV khusus olah raga yang berlomba-lomba menayangkan pertandingan sepak bola langsung. Kalau ke rumah orang, tak jarang ada pajangan berupa atribut klub bola lokal, mulai dari sticker, poster, baju sampai bendera. Yah, sepak bola di Brazil sudah bagaikan agama!
Katanya kalau mau nonton pertandingan sepak bola di Brazil, paling oke di Stadion Maracaña di kota Rio de Janeiro, tapi ternyata tutup karena sedang direnovasi menjelang World Cup 2014. Pemilik hostel mengatakan sekarang ini lagi pertandingan liga nasional Seri A setiap weekend. Hanya saja tiket sudah habis karena yang main adalah klub sepak bola terfavorit di Rio, yaitu Botafogo. Sampai di kota São Paulo, saya sampai bertanya ke kantor Tourism Information tentang bagaimana caranya nonton bola. Dia menjawab bahwa harus datang langsung ke stadion dan untung-untungan dapet tiket atau nggak. Hadeuh!
Suatu Minggu sore di São Paulo, saya berencana ke Museu do Futebol yang terletak di Stadion Pacaembu. Udah gempor jalan kaki nyasar-nyasar, eh museumnya tutup! Seorang cowok ganteng berusaha keras menerangkan dalam bahasa Portugis bahwa museum tutup karena ada pertandingan bola. Wah, kebetulan! Dia mengantar ke loket pembelian tiket. Ternyata ada pertandingan antara klub Palmeiras vs Atletico Go. Saya pun membeli tiket dengan harga termurah seharga R$ 15 (sekitar Rp 70 ribu).
Di pintu masuk, tas kita diperiksa oleh polisi. Lalu disambut oleh cewek-cewek seksi pemindai bar code tiket, baru pintu berputar. Ternyata penonton masuk dari lantai paling atas stadion. Di hall sebelum turun ke tempat duduk, terdapat toilet (bersih dan ada tissue) yang terpisah cewek dan cowok. Stadion ini terbuka dengan kapasitas 30.000 orang, bentuknya persis kayak di Stadion Lebak Bulus. Kelas termurah ternyata ada di paling pojok, jadi kepala kudu nengok ke kiri sedikit untuk melihat lapangan.
Dua jam sebelum pertandingan mulai, saya sudah duduk manis di stadion. Hebatnya, polisi sudah bersiaga. Mereka berdiri tegak di pinggir lapangan menghadap penonton sambil membawa tameng. Setiap section tempat duduk penonton juga diisi 8 orang polisi yang berjalan turun naik. 3 mobil ambulans lengkap dengan dokter dan suster yang berseragam dan 1 mobil pemadam kebakaran sudah siaga di pinggir lapangan. Bahkan helikopter berkali-kali melintas di atas lapangan. Wow!
Sesuai jadwal tepat jam 17.00, para wasit masuk lapangan sambil dikawal polisi bertameng, diikuti kedua tim yang menggandeng anak-anak kecil, lalu pemutaran lagu kebangsaan. Weits, pertandingannya serius bener kayak piala dunia! Ternyata penonton tidak begitu banyak, tapi ada segala usia, mulai dari bayi sampai kakek-kakek, termasuk cewek-cewek ABG yang pake hot pants. Kerennya, sebagian besar adalah die hard fans. Mereka memakai baju klub, membawa bendera raksasa yang dijalankan di barisan penonton, juga seperangkat gendang dan drum. Sepanjang pertandingan, penonton tak berhenti bernyanyi yel-yel klub sambil joget berirama Samba dan loncat-loncat berirama ke kiri dan kanan. Aih, kerennya! Singkat cerita, Atletico memenangkan pertandingan 2-1 melawan Palmeiras.
Lusanya saya balik lagi untuk ke Museu do Futebol. Ya ampun, saya sampe merinding-merinding liatnya! Brazil begitu cinta dan bangga akan sepakbolanya. Museum sepak bola Brazil ini berisi tentang sejarah persepakbolaan, para pemain, stadion-stadionnya, bahkan termasuk jurnalis dan penyiar radio dan TV yang ikut berjasa memajukan persebakbolaan. Brazil adalah satu-satunya negara di dunia yang selalu ikut Piala Dunia. Ada satu ruangan berisi display keikutsertaan Brazil di setiap Piala Dunia secara kronologis, lengkap dengan kejadian-kejadian dunia. Jadi ketika manusia ke bulan, Jackson Five, sampai tragedi 9/11, Brazil tetap eksis di sepak bola. Bagian terakhir museum berisi aneka game bola interaktif dan bioskop mini yang memutar film 3D tentang otot dan tulang Ronaldinho saat main bola. Sungguh keren!
Sayangnya, banyak orang Brazil meragukan negaranya akan menjuarai Piala Dunia 2014 yang akan diadakan di Rio de Janeiro, karena pemain-pemain yang ada sekarang dianggap masih kurang pengalaman. Tapi setidaknya… kalau dibandingkan dengan persepakbolaan Indonesia… *tutup mata*

December 19, 2012
Seramnya kamp konsentrasi NAZI
Alasan saya ke negara Polandia cuma karena pengen mengunjungi Auschwitz akibat doyan nonton film tentang NAZI dan kamp konsentrasinya, salah satu yang terbaik adalah film “Schindler’s List”-nya Steven Spielberg. Highlight perjalanan saya keliling Eropa Timur adalah ke Auschwitz, jadi saya memilih untuk ikut paket tur dari hostel di kota Krakow supaya diceritakan dengan detil oleh pemandunya.
Jam 9 pagi bus berangkat menuju kota Oswiecim (nama Auschwitz dalam bahasa Polandia). Di bus kami disuguhi film dokumenter tentang pembebasan tahanan Auschwitz. Itu saya nonton aja ampe mewek-mewek saking kasihannya liat penderitaan para tahanan kamp konsentrasi, atau lebih tepatnya kamp pembantaian. Guide kami adalah seorang nenek-nenek. Masing-masing peserta tur diberikan headset khusus dimana suara si nenek itu hanya bisa kita dengar lewat headset sehingga si nenek tidak perlu teriak-teriak, dan pengunjung lain tidak bisa nguping, plus situs ini jadi tetap tenang dan sunyi.
Pertama kami masuk ke gerbang kamp yang sangat terkenal dengan plang “Arbeit macht frei” (work makes you free). Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan dua tingkat yang dulunya barak tahanan yang sekarang telah dijadikan museum. Auschwitz ini ternyata hanya sebagian kecil kamp, karena nggak muat, akhirnya dipindahkan ke Birkenau sekitar 10 menit berkendara dari Auschwitz. Di sana terdapat kamp yang lebih luas dan rel kereta api berisi gerbong berisi tahanan yang pada ujung relnya berakhir kematian.
Si nenek pemandu mengajak kami berkeliling sambil bercerita.. Awalnya, orang Yahudi dari berbagai daerah jajahan Jerman di Eropa mendapat “undangan” bekerja untuk hidup baru yang lebih baik. Mereka datang berbondong-bondong dari jauh, sejauh Athena di Yunani maupun Oslo di Norwegia, bahkan membayar sendiri tiket kereta apinya. Begitu turun di Auschwitz, betapa kagetnya mereka karena disambut oleh banyak pasukan SS yang membentak-bentak dalam bahasa Jerman. Koper-koper mereka disita, malah disuruh berdiri berbaris. Seorang dokter berdiri di depan sambil memilih orang mana yang dianggap layak bekerja. Yang layak membuat barisan sendiri, yang tidak layak dibawa ke suatu tempat.
Yang tidak layak tentu adalah orang sakit, manula, wanita hamil, dan anak-anak. Mereka disuruh mandi dan diminta untuk menanggalkan pakaiannya, lalu berbaris menuju “shower”. Mereka dijejali masuk ke dalam ruangan sempit, lalu kran berisi gas beracun dibuka, dan tewaslah mereka sekaligus! Ya, itulah GAS CHAMBER! Belum selesai sampai di situ. Jasadnya, baik yang sudah mati maupun yang masih semaput, langsung dimasukkan ke dalam krematorium, alias dibakar! Proses pembantaian manusia ini dibikin sistem industri kayak di pabrik, bahkan untuk mempercepat prosesnya, satu tungku krematorium diisi 2-3 orang. AAAARRGH!
Bagaimana dengan orang dengan kategori layak bekerja? Mereka dipaksa bekerja di pabrik industrial tanpa digaji, bahkan tanpa diberi kehidupan yang layak. Mereka bekerja sangat keras dalam waktu belasan jam sehari, plus sambil disiksa. Tidurnya di barak, berisi rak tiga susun yang masing-masing lantai berisi 6-7 orang. Tidak ada air, apalagi WC. Saatnya ke belakang hanya sehari sekali, di sebuah bangunan yang berisi jejeran lubang. Mereka harus ngantri panjang, dan begitu make, cuma dalam hitungan 1 sampai 5! Jadi bisa bayangkan bagaimana keadaan barak yang sangat tidak higinis karena orang buang air di situ juga. Kalau ada yang sakit atau bahkan mati di barak, tidak ada yang boleh memindahkan selain petugas. Makanan yang diberikan sangat sedikit dan tidak bergizi sehingga banyak yang mati kelaparan. Ada lagi tahanan yang tidak bekerja tapi lolos dari chamber. Mereka adalah anak-anak dan dewasa yang dijadikan eksperimen kedokteran. Contohnya mengujicoba anak kembar, uji coba Sinar X untuk membuat kemandulan, dan berbagai macam obat.
Pada saat pasukan Soviet mengalahkan Jerman, kamp konsentrasi dimusnahkan oleh Jerman. Sebagian tahanan yang survive ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan. Total ada 1,2 juta orang yang mati, 90%-nya adalah Yahudi, karena mati di gas chamber, kelaparan, dibunuh, dan eksperimen kedokteran - the biggest mass murderer in the history of mankind! Dan itu semua terjadi dalam kurun waktu 5 tahun pada 1940-1945! HIYY!!
Sambil bercerita sejarah kekejaman NAZI, si nenek menunjukkan situs-situsnya. Jadi yang dilihat adalah kompleks barak, display foto-foto korban dan dokumen lainnya, alat-alat penyiksaan, sel tahanan, tiang gantung, melihat gas chamber dan krematorium. Museumnya berisi barang-barang pribadi peninggalan korban, seperti puluhan ribu koper yang masing-masing bernama pemiliknya, sepatu, pakaian, dan lain-lain – yang jelas-jelas banyak juga milik anak kecil. Yang paling bikin mual adalah ruangan berisi 7 ton rambut manusia! Jadi tahanan semua dibotakin, rambutnya dijual ke perusahaan pembuat baju! Gila!
Hati saya groak melihat museum ini! Tambah groak lagi ketika melihat para pengunjung yang merupakan keturunan dari para korban, seperti serombongan anak-anak pelajar dari Israel yang membacakan puisi di depan foto-foto korban sambil berlinangan air mata. Nyesss! May their souls rest in peace…

November 28, 2012
Hostel esek-esek

Dorm (taken by Panasonic Lumix DMC-TS3)
Peringatan: Untuk 17 tahun ke atas.
Sudah ratusan hostel (bukan hotel, karena ada ‘s’ di tengah kata) yang saya inapi di seluruh dunia. Sebenarnya udah wis tue kayak sekarang ini saya males banget tinggal di hostel. Tapi apa daya sampai sekarang saya masih nggak sanggup (dan nggak tega) bayar hotel di negara-negara mahal, apalagi kalau jalan-jalannya sampai setahun penuh. Sialnya lagi, sanggupnya masih nginap di dorm yang sekamar rame-rame.
Bayangkan, setiap hari saya bobo sama orang ga kenal dengan berbagai bau dan bunyi. Terpaksa harus mencium bau alkohol, bau kentut, bau jigong, bau ketek, dan lain-lain. Mendengar bunyi ngorok sahut-sahutan, bunyi ranjang berdenyit-denyit, bunyi kresek-kresek orang lagi packing, bunyi pintu berkali-kali buka-tutup, berisiknya suara orang ngobrol – apalagi kalau lagi mabuk dan masuk ke kamar di pagi buta! Arrgh!
Sialnya tidak semua kota memiliki hostel dengan standar yang baik, apalagi kalau jumlah hostel di kota tersebut terbatas. Contohnya ketika saya berada di Vilnius, ibu kota negara Lithuania. Bayangin, negara itu belum eksis aja saya udah bekpeking (anjrit, tua bener gue!). Di Vilnius saya memilih untuk menginap di Hostel G (bukan nama sebenarnya) karena lokasinya yang dekat Old Town dan jumlah kamar dorm hanya 3 sehingga tidak terlalu banyak penghuni.
Dari stasiun bus konon hanya 5 menit jalan kaki ke hostel, tapi kenyataannya sampai 2 jam. Kalau nggak karena diantar ibu-ibu baik hati, sampe mati juga nggak bakal ketemu tu hostel karena letaknya di gang gelap. Fasad bangunannya pun hanya gerbang berjeruji besi hitam dengan plang nama kecil berupa boks lampu temaram. Resepsionisnya seorang cowok berambut gondrong awut-awutan, pake kaca mata item bundar, bertampang dingin, bersuara datar, sambil makan wortel serut. Tampaknya dia penganut new age bullshit.
Kamar saya yang tidak berkunci ini berisi 8 bed dan berada di lantai tiga paling atas, sampai langit-langitnya pun miring mengikuti bubungan. Ada 4 bunk bed (tempat tidur susun) yang berseberangan dan saling menempel satu sama lain. Ruangannya cukup sempit sehingga jalan pun harus berjinjit karena di lantai bergelatakan ransel dan barang-barang tamu. Sekamar ada saya, di atas saya si Yasmin, di sebelah ada seorang cewek gendut asal Inggris dan di atasnya seorang cowok gondrong asal Rusia, di seberang ada 3 orang cowok ABG asal Canada (sebut saja si Pirang, si Brewok dan si Item) dan seorang pria tua asal Inggris. Untungnya kamar mandi ada di dalam, sehingga saya “hanya” sharing dengan 7 orang lainnya.
Malam itu kami berlima lagi enak-enaknya tidur, eh 3 cowok Canada masuk kamar sambil teriak-teriak, ketawa ngakak dan bau alkohol. Saya lihat jam.. duh, jam 4 pagi! Pria Inggris terbangun dan marahin mereka karena berisik. Mampus lu! Lalu suara mereka memelan, terdengar seperti suara di ruangan lain. Ealah, mereka bertiga masuk kamar mandi bareng dan nerusin ngobrol! Eh tapiii… kok saya dengar ada suara cewek juga di dalam kamar mandi? Dasar kepo, saya pun ngintip di kegelapan. Si Pirang duluan keluar dari kamar mandi, disusul si Brewok – mereka cuma koloran doang dan langsung tidur. Di kamar mandi terdengar suara grudak-gruduk, lalu pintu terbuka. Keluarlah sepasang kaki putih. Lah, ternyata cewek bugil! Dia berjalan berjinjit-jinjit… Lho, itu kan cewek di bed sebelah saya! Cuek bener jalan-jalan bugil di dorm! Tak berapa lama kemudian, dari kamar mandi keluarlah sepasang kaki hitam berbulu. Lah, ternyata si Item! Jadiii… tadi si cewek Inggris sama si Item ngapain dong di dalam kamar mandi? Eh, dipake sama si Item doang atau bertiga hayo?
Malam kedua lagi-lagi geng ABG Canada masuk kamar di pagi buta. Kali ini mereka tidak teriak-teriak, meski tetap bau alkohol. Eh tapi kok ada suara cewek bisik-bisik ya? “What? What? I don’t undersand,” katanya berkali-kali. Sret-sret bunyi orang buka baju dan tarik selimut. Lama-lama sunyi senyap, dan tiba-tiba ranjang berdenyit berirama “nyit-nyit-nyit” dan suara lenguhan, “Ah, uh, ah, uh!”. BRENGSEK! Mereka lagi berhubungan seks! Eh tapi sama siapa? Si cewek Inggris kan udah pulang. Saya ngintip.. lho, ada cewek lain di ranjang si Brewok! Oh, dia bawa cewek masuk kamar! Saya pun belagak batuk-batuk, eeh mereka langsung “jadi patung”. Begitu batuk saya berhenti, mereka berjibaku lagi. Geblek!
Lalu ada lagi yang buka pintu, masuk kamar diam-diam, dan ada suara bisik-bisik juga. Kali ini bunyi derit ranjang besi makin keras. Lenguhannya makin banyak dengan nada bervariasi, sepertinya dari orang yang berbeda, “Aah, aah, uuh, uuh. Hmm… ooh… hmm.. ooh”, lalu “What? What?” Lho kok bisa? Saya intip lagi. Ealah.. si Pirang juga lagi berhubungan seks sama cewek! Jadi ada 2 pasang manusia berasyik masyuk pada jam 6 pagi saat matahari terbit! Jendela kamar persis di sebelah ranjang mereka sehingga dua pasang manusia brengsek itu tampak bayangannya lagi naik-turun berirama. BANGKE!! Get a room dong kalo mau esek-esek, berani-beraninya berbuat di kamar hostel yang berisi 8 orang!
Saking keselnya, saya langsung tulis review di situs booking hostel yang bilang bahwa cowok-cowok sekamar ini bawa cewek-cewek bobo bareng di kamar dorm tanpa sepengetahuan staf hostel. Begitu mereka ngorok, saya turun ke bawah dan komplen sama si resepsionis tolol itu. Lah, kamar dorm cuma 3 biji masa dia nggak hapal muka-muka penghuninya sampe dibiarkan masuk? Si tolol cuma bilang, “I’ll tell them when they wake up.” Dodol, kagak liat mata gue bejendol karena kurang tidur apa?
Hari itu pas check out. Karena balas dendam, saya, Yasmin dan pria Inggris bangun jam 7 pagi, sengaja packing keras-keras sambil nyalain lampu, banting pintu, buang barang di tempat sampah sambil dilempar, ngobrol keras-keras, dan sebagainya. Tampaklah dengan jelas 4 manusia bugil di ranjang bawah. Lalu kami turun, duduk di dapur sambil sarapan dan ngegosip. Jam 10 mereka turun. Bukannya dimarahin resepsionis, eh mereka cuma disuruh bayar ekstra 2 bed! Cowok-cowok itu berdebat, tapi akhirnya cewek-cewek itu (ternyata orang Lithuania, pantes nggak lancar bahasa Inggris) yang bayar karena cowok-cowoknya kere! Buset, udah dipake gratis, si cewek disuruh bayar hostel lagi! Pudarlah imej saya terhadap backpacker Canada yang selalu saya kagumi!
Abis itu si resepsionis mendatangi saya dan bilang, “I read your review about our hostel in the website. Can I offer you chocolate and you make the review nicer?”. Eh sialan, saya disogok! “I don’t like chocolate,” jawab saya juga datar.

November 4, 2012
Ice Hockey, bir, dan cewek
Kedua kalinya ke tempat yang sama, saya pasti melakukan hal yang berbeda. Seperti ketika ke Helsinki, Finlandia, pada Oktober 2012, teman saya, Henna, mengajak nonton pertandingan ice hockey – olah raga nasional negara Finlandia, seperti Indonesia dengan badminton atau sepak bolanya. Sebagai penggemar (nonton) olah raga, tentu saya mengiyakan meski agak deg-degan karena ini pertandingan “laki banget”.
Kami nonton SM-liiga atau liga profesional ice hockey senegara Finlandia, antara klub tuan rumah HIFK (Idrottsföreningen Kamraterna i Helsingfors) dari Helsinki melawan klub Pelicans dari Lahti. Pertandingan di Helsingin jäähalli dimulai jam 18.30, tapi kami minum-minum dulu di bar sekalian kenalan dengan Jani (ini nama cowok loh), teman Henna yang suporter HIFK. Sekilas ia bercerita tentang olah raga ice hockey yang dijuluki “The fastest game on earth”. Kenapa Finlandia sepak bolanya tidak sebaik Swedia dan Denmark karena katanya olah raga kebanggaan Finlandia adalah ice hockey. Ngeles!
Kami cewek-cewek disuruh pake baju warna merah, warna khas HIFK – seperti merah bagi tim sepak bola Manchester United. Jani sudah membelikan tiket via internet seharga 29,50 Euro/orang. Cukup mahal, padahal itu adalah tiket kelas kambing alias yang paling murah. Dengan selembar kertas hasil nge-print, kami masuk ke dalam stadion dengan tertib, nggak pake dorong-dorongan, padahal nggak pake besi pembatas antrian. Petugas di pintu hanya membawa alat pembaca bar code dan memindainya pada kertas. Canggih ya?
Masuk ke dalam stadion ternyata tidak langsung ice rink, namun ada koridor luas yang penuh dengan bar! “Nonton ice hockey paduannya adalah bir”, kata Jani. Sebelum pertandingan, pas break selama 18 menit, dan sesudah pertandingan, orang ke luar rink dan minum bir. Ini memang acara cowok-cowok dan gengnya: ngebir-nonton-ngebir-nonton dan seterusnya . Bagusnya, alkohol nggak boleh dibawa masuk ke arena, tapi makanan dan minuman lain boleh. Jadilah saya nonton sambil makan nachos dan minum jus jeruk. *anak baik*
Penonton wanita mungkin hanya 20% dari keseluruhan, namun anak-anak ada juga yang nonton. Kapasitas stadion sejumlah 8200 kursi terisi 80%nya. Hebatnya, kursi semua bernomor dan penonton duduk sesuai nomor di tiket. Tiket kami yang kelas kambing itu ternyata paling atas, paling jauh, dan paling bikin nyer-nyeran bagi yang takut ketinggian. Masalahnya, tingkat kemiringan kursi penonton sangat curam. Naiknya aja sampe ngos-ngosan. Pas duduk, telapak kaki saya aja sejajar dengan pundak penonton di depan saya!
Ice hockey pada dasarnya adalah olah raga hoki yang dimainkan di atas es. Jadi masing-masing pemain pake sepatu ice skate, memegang stick dan saling berebut “bola” untuk digolkan ke gawang lawan. Olah raga ini diciptakan oleh Canada dan diminati oleh negara-negara bersalju. Satu tim terdiri dari 20 orang pemain, termasuk pemain pengganti. Dalam 1 pertandingan 1 tim yang main hanya 5 orang plus 1 orang penjaga gawang. Luas rink lebih dari setengah luas lapangan sepak bola, namun garis terluarnya ditutupi dinding tembus pandang. Pertandingan terdiri dari 3 game, masing-masing selama 20 menit. Semua pemain memakai seragam khusus yang tampak seperti robot karena terlalu banyak pelindung di seluruh tubuh, termasuk helm. O ya, dalam satu tim pasti ada pemain yang pake helm berwarna emas. Itu artinya si pemain adalah pencetak gol terbanyak di klubnya. Artinya juga, ia akan selalu diincar oleh tim lawan dan sering dihajar. Aww!
Ya, ini adalah olah raga keras! Wasitnya ada 4 orang yang masing-masing memakai sepatu ice skate dan helm. Tugas wasit ini berat, karena mereka sendiri harus bergerak cepat, baik mata maupun kaki, untuk mengawasi pertandingan dan… melerai perkelahian! Yep, tak jarang antartim saling dorong dan pukul sehingga harus dilerai wasit. Ice hockey tidak mengenal kartu kuning dan kartu merah, tapi kalau salah seorang pemain melakukan pelanggaran, hukumannya adalah penalti. Artinya si pemain “disetrap” dengan cara dimasukkan ke dalam kotak di luar rink dan disuruh duduk selama 2 menit! Hehe!
Pertandingan berjalan seru juga. Para pemain yang berseluncur di atas es ini memang sangat cepat bergerak, udah kayak nonton bulu tangkis karena kepala kita cepat nengok kiri dan kanan. Bola nggak ada sistem keluar garis, karena sengaja dipantulkan ke tembok untuk mengoper ke pemain lain. Wah, ilmu main biliard juga penting untuk bisa jago main ice hockey rupanya. Pergantian pemain udah nggak pake diumumin segala, tapi tau-tau diganti sekaligus 5 orang.
Nonton ice hockey sama kayak nonton sepak bola. Penonton memakai atribut tim kesayangannya sehingga stadion sebagian besar berwarna merah, warna tim tuan rumah. Mereka juga menyanyikan yel-yel klub. Teriakan penonton, ah-uh, makian, dan tepuk tangan membahana di sepanjang pertandingan. Bedanya, nggak ada terompet atau drum. Menurut Jani, itu kampungan dan hanya terjadi di klub kecil di desa.
Nah, olah raga laki begini tidak mungkin tidak ada “pemanis”. Maka tersedialah cewek-cewek cheerleaders pake rok mini (padahal lagi winter) yang berjoget di antara penonton. Setiap ada “tendangan bebas”, stadion memutar lagu dan mereka berjoget seksi bersama pom-pomnya. Selain itu, setiap break masuklah cewek-cewek seksi ber-ice skating pake tank top dan hot pants. Maksudnya kayak cewek pembawa papan di pertandingan tinju gitu, tapi di ice hockey mereka bawa sekop! Ternyata mereka bertugas untuk meratakan es di depan gawang, tapi sambil senyum-senyum dan dadah-dadah ke penonton. Oke deh!
Singkat kata, HIFK menang 4-1 melawan Pelicans. Pertandingan ice hockey bukan hanya sekedar nonton pertandingan olah raga, tapi juga tempat hiburan – hang out bareng geng sambil ngebir dan cuci mata. Mungkin maksudnya biar suasana dinginnya es jadi “panas”

October 23, 2012
Rusia seram?
Dulu pada saat Rusia masih bernama CCCP atau USSR atau Soviet, rasanya mereka adalah negara yang sangat menyeramkan. Apalagi saya besar pada zaman Orba dimana komunis itu digambarkan sebagai “bahaya laten yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya” (anjrit, bahasa gue Orba banget!). Belum lagi gambaran pasukan Rusia yang berjubah panjang dan peci tinggi berbulu. Atau “joke” yang mengatakan kalau mereka ngga bener, akan dibuang ke Siberia yang superdingin untuk kerja paksa. Sebagian besar film Hollywood pun menggambarkan orang Rusia sebagai musuh bebuyutan, apalagi film-film James Bond. Bahkan Lord Voldermort di film Harry Potter aja beraksen Rusia!
Apply visa turis ke Kedutaan Rusia pun salah satu yang teraneh syaratnya, karena harus dapat undangan dari pihak hotel atau travel agent yang sudah ditunjuk pemerintah Rusia. Peraturan aneh lagi adalah begitu tiba di Rusia, setiap tiga hari sekali atau pindah kota, turis harus mendaftarkan diri ke kantor imigrasi kalau tinggal di penginapan atau kantor polisi setempat kalau nebeng di rumah orang! Hadeuh! Tentunya semua ini nggak akan pusing diurus kalau kita jalan-jalan ikut tour yang sudah diurus travel agent di Indonesia sehingga semuanya jelas dan terdaftar, sayangnya saya cuma backpacker tanpa arah. Maka tak heran saya deg-degan setengah mati begitu mengantri di imigrasi bandara di Moscow, tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Saya cuma disuruh buka kaca mata untuk menyamakan foto paspor, lalu paspor dicap. Kalau kata buku Lonely Planet, lebih mudah masuk ke Rusia daripada keluar.
Yang bikin saya shock, begitu keluar dari airport Domodedovo ternyata semua petunjuk ditulis dalam bahasa Rusia dengan alfabet Cyrillic! Bertanya ke orang lokal pun percuma karena mereka tidak ada yang bisa bahasa Inggris. Berbekal petunjuk cara mencapai hostel dalam bahasa Inggris ternyata tidak cukup karena saya makin pusing ketika harus naik Metro. Nama stasiun, jalur, arah semuanya dalam bahasa Rusia! Saya melipir ke warung di stasiun KA untuk makan dan menenangkan diri. Sekali lagi saya shock, saya makan sepotong paha ayam panggang dan air putih botol seharga 310 Rubel atau hampir Rp 100 ribu – wah, bener berarti yang dibilang bahwa Rusia adalah negara mahal. Akhirnya saya menggunakan ilmu “cari 8 titik perbedaan” untuk menemukan nama stasiun dan jalur dalam alfabet Cyrillic ke dalam bahasa Inggris dan sampailah di hostel.
Kesan pertama sampai di Rusia, tidak seseram yang saya bayangkan. Malah lebih seram ketika dulu tahun 2006 pertama kali ke Vietnam. Orang-orang Rusia ya seperti orang Eropa pada umumnya, bermuka datar dan berjalan cepat saking dinginnya (saat itu suhu udara 4°C). Soal bahasa Inggris, ya hanya petugas resepsion hostel yang bisa berbahasa Inggris, tapi toh kami sukses ngiter-ngiter. Si Yasmin yang bodinya lebih kecil daripada saya tapi bawa ransel lebih gede daripada saya malah beberapa kali ditolong pemuda lokal untuk dibawakan saat naik tangga.
6 hari di Moscow dan 4 hari di Saint Petersburg memang tidak cukup untuk menggeneralisasikan Rusia, tapi saya hepi jalan-jalan di sana. Karena memang sengaja tidak ada persiapan untuk mempelajari negaranya, kami berjalan-jalan seadanya dan senemunya aja. Itupun tetap membuat saya kagum dengan sistem transportasi publik yang ekstensif, toilet umum yang bersih, dan orang-orang yang disiplin. Yang disayangkan adalah museum-museumnya yang keren tapi kurang informasi dalam bahasa Inggris. Saya juga tidak menyangka bahwa Rusia memiliki begitu banyak destinasi wisata berupa gereja-gereja yang supercantik, terutama Church of the Saviour on Spilled Blood, bahkan sebagian di antaranya masih digunakan warga lokal untuk beribadah.
Yang saya tangkap malah cewek-cewek Rusia cantik-cantik bak model, sementara cowok-cowoknya ya kayak di film-film Hollywood gitu deh. Surprisingly, banyak cewek merokok dan banyak cowok yang bau vodka. Beberapa kali saya menyaksikan cowok-cowok mabuk berantem di tempat umum, atau tiba-tiba jatuh di elevator saking mabuknya. Polisi yang banyak berkeliaran di tempat umum pun kerjanya jadi sering melerai perkelahian!
Anyway, kesan negara komunis atau negara bertirai besi benar-benar tidak terasa. Meski Red Square dan Kremlin namanya cukup intimidatif, ternyata merupakan tempat yang indah untuk dikunjungi, bukan tempat yang bikin deg-degan karena gambaran media.

Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
