Trinity's Blog, page 19
November 6, 2013
Prahara “Niru Traveler”
Saya adalah Trinity, pencipta/pemilik/penulis blog/buku seri berjudul “The Naked Traveler”, atau disebut juga “Naked Traveler” sejak tahun 2005. Sekitar dua bulan yang lalu saat saya sedang #TNTrtw di luar negeri, sebagian follower Twitter @TrinityTraveler bertanya apakah program/iklan Telkomsel yang bernama “Nekad Traveler” itu adalah bikinan saya. Awalnya saya tidak ambil pusing, namun ketika saya kembali ke Indonesia dan melihat program/iklan tersebut, saya merasa sangat terganggu!
Masalahnya program/iklan Telkomsel yang dinamai “Nekad Traveler” yang juga ditayangkan di TransTV setiap Sabtu jam 08.00 WIB itu sangat mirip dengan nama produk yang telah saya gunakan pada blog naked-traveler.com dan 5 buku berjudul “The Naked Traveler”! Secara konsisten nama “The Naked Traveler” juga saya gunakan di social media (antara lain Facebook, Twitter, YouTube, Instagram), dalam berbagai talk show/seminar, artikel/program di berbagai media (majalah, koran, spanduk, baliho, radio, situs web, TV), bahkan di TransTV sendiri (antara lain pada acara D’Show dan Ceriwis sebagai bintang tamu). Untuk perusahaan seprofesional Telkomsel yang sudah pasti didukung dana dan tim kreatif yang hebat, masa iya membuat marketing campaign dengan cara meniru nama produk lain yang sudah eksis?
Mengapa saya berpikir bahwa Telkomsel meniru nama produk saya:
[1] Telkomsel menggunakan nama, font, dan warna yang mirip dengan cover buku-buku saya .
[2] Sama-sama berhubungan dengan jalan-jalan atau travel, juga internet. Kalau nama mirip tapi produknya sendal, ya beda cerita.
[3] Saya menggunakan nama “The Naked Traveler” karena “naked” merupakan “plesetan” dari kata “nekad”. Silakan cek di Wikipedia dan berbagai artikel lainnya, sebagian besar pembaca/follower saya sudah paham akan hal itu. Tapi justru dari nama plesetan saya, diplesetkan lagi oleh Telkomsel.
[4] Saya sengaja menggunakan kata “traveler” dengan huruf “l” hanya satu, supaya berbeda dari sebagian besar orang yang menulis “traveller” dengan huruf “l” dua. Jadi kalau tidak niat meniru, kemungkinan besar jadi “traveller”.
[5] Bila sebelumnya meng-google kata “nekad traveler”, maka yang muncul adalah alamat blog saya dan segala hal yang berhubungan dengan saya.
[6] Salah seorang model iklan/host acara “Nekad Traveler” pun sadar-sesadarnya bahwa nama itu mirip nama blog/buku saya. Dia pernah melayangkan protes secara verbal yang dijawab, “Memang itu sengaja plesetan dari Naked Traveler-nya Trinity!” Nah lho!
[7] Advertising agency yang menangani program ini, Leo Burnett, pernah meng-hire saya sebagai buzzer. Jadi tidak mungkin juga mereka tidak tahu.
Saya ini buta hukum, tidak sanggup pula sewa lawyer, tapi secara logika bisa diurai. Sebagian orang akan berpikir bahwa “Naked” dan “Nekad” berbeda. Ya, memang beda huruf dan beda makna. Tapi coba bayangkan apabila ada provider telepon selular atau merek ponsel atau program TV yang lebih buruk yang memakai nama “Telkomsil”, apakah akan diam saja? Telkomsil itu beda lho dengan Telkomsel! Kedua, kalau Telkomsel memang tidak niat meniru nama produk saya, mengapa tidak menggunakan nama lain, misalnya “Pejalan Nekat” atau “Pelancong Tangguh”? Kalau alasan Telkomsel “tidak tahu” ya tidak mungkin, apalagi produk itu mengandalkan internet. Emang nggak browsing dulu? Lalu, apakah isi blog/buku Naked Traveler dengan program Nekad Traveler beda? Ya memang beda, tapi keduanya dalam konteks jalan-jalan dan menggunakan internet. Yang bikin saya tambah sedih adalah, beberapa teman saya di-hire jadi buzzer Nekad Traveler melalui akun Twitter mereka masing-masing! Saya yakin bahwa mereka sadar akan kemiripan nama ini, tapi… ya sudahlah.
Sungguh disayangkan perusahaan sebesar Telkomsel ternyata strategi pemasarannya bak produk KW dengan memlesetkan nama produk/merek yang sudah terkenal agar menjaring konsumen dengan cepat. Kemiripan tersebut menyebabkan kebingungan di dalam masyarakat, dimana mereka berasumsi bahwa program “Nekad Traveler” adalah program jalan-jalan yang dibuat oleh saya. Kasus ini pun ditulis oleh @auliagurdi di sini. Kalau program TV itu bagus dan sesuai dengan kepribadian saya, tentu saya tidak akan sekesal ini. Acara jalan-jalan “Nekad Traveler” yang minta gratisan sana-sini dari Jakarta sampai Komodo kelihatan banget settingan! Imej saya menjadi buruk karena bertolak belakang dengan semangat traveling yang selalu saya tanamkan, yaitu “bekerja-menabung-traveling”.
Saya mengalami kerugian yang sangat besar karena Telkomsel! Saya telah berjuang susah payah membangun “Naked Traveler” selama lebih dari 8 tahun namun didomplengi begitu saja oleh Telkomsel demi kepentingan komersialnya. Siapa yang diuntungkan? Telkomsel! Waktu dan energi saya terbuang sia-sia karena capek menjelaskan bahwa program tiruan itu tidak ada hubungannya dengan saya. Saya kehilangan mood untuk menulis (yang merupakan mata pencaharian utama saya) karena lelah dengan kasus ini.
Dari sisi opportunity cost, bisa jadi saya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kontrak kerja dari produk saingan Telkomsel karena nama tiruan saya menempel dengan Telkomsel. Atau saya kehilangan kesempatan untuk memiliki program sendiri dengan menggunakan nama saya sendiri karena dianggap saya lah yang meniru program Telkomsel. Saya menulis blog ini pun menimbulkan resiko tidak lagi diajak bekerja sama dengan sebagian perusahaan karena malas berurusan dengan seseorang yang sudah “bikin ribut”.
Pada 27 Oktober 2013, saya telah mengirimkan surat keberatan ke cs@telkomsel.co.id dan ke Head of Marketing Communications Postpaid & Broadband Telkomsel (nama dan alamat email sengaja tidak saya cantumkan di sini). Saya ditelepon oleh seorang staf Telkomsel pada 31 Oktober 2013 untuk diajak meeting pada 6 November 2013. Tayangan program Nekad Traveler di TransTV telah habis episodenya pada 2 November 2013, namun iklannya masih tayang.
Hasil dari meeting hari ini: seperti sudah diduga, tim Telkomsel dan Leo Burnett berbicara di area “abu-abu”; mereka tidak mengatakan iya maupun tidak bahwa Nekad Traveler adalah meniru. Langkah selanjutnya masih panjang, masih akan ada meeting-meeting berikutnya sampai ada titik temu. Tapi salah seorang staf yang datang terlambat berkata, “Sebenernya nih, dulu awalnya kita mau bikin program ini pengennya sama Mbak Trinity, tapi Mbak lagi di luar negeri.” Saya duga ia berkata demikian supaya meredam saya, tapi hellooow… udah tau gitu kok dari dulu nggak kulo nuwun ke saya?
Well, silakan Anda menilai sendiri. Saya menulis ini agar jadi pembelajaran bagi kita semua, terutama bagi blogger/penulis. Kalau ada tanggapan atau masukan, silakan komen di bawah ini.

October 27, 2013
Jadi bintang di Malaysia

Masuk TV3!
Akhirnya saat itu datang juga! Saya harus beli tiket pulang ke Indonesia, setelah hampir setahun #TNTrtw. Saya berencana tinggal beberapa hari di Kuala Lumpur. Abang saya dan keluarganya pindah ke KL sudah 8 bulan ini (sebelum saya pergi), jadi saya sempatkan mampir. Masalahnya, mereka tinggal di apartemen 3 kamar tapi dengan anak 5 orang, saya nggak kebagian kamar untuk nginep. Sedangkan Yasmin memutuskan untuk langsung ke Jakarta.
Setelah setahun hidup tanpa privacy dan jauh dari kenyamanan, kali ini boleh dong saya “borju” dengan menginap di hotel mewah sendiri! Saya pun langsung booking via AsiaRooms.com. Selain harga kamarnya lebih murah, bayarnya bisa belakangan. Tidak seperti situs sebelah (yang pernah mengecewakan saya) yang bayar full di depan, di AsiaRooms.com bayarnya ke hotel pas check out, jadi kita nggak rugi nilai tukar mata uang.

MiCasa All Suite Hotel
Dari sekian banyak pilihan hotel KL di AsiaRooms.com itu akhirnya saya pilih MiCasa All Suite Hotel. Karena kebiasaan berbahasa Spanyol belakangan ini, nama hotel ini langsung ketangkep. “Mi casa” artinya “rumahku”. Dengernya aja langsung adem. Kedua, lokasinya strategis banget di pusat kota. Dekat dengan Twin Tower dan apartemen abang saya, jadi nggak ngerepotin orang kalau mau ke mana-mana karena tinggal nyebrang dan jalan kaki sendiri. Ketiga, kamarnya model studio, jadi kalau keponakan-keponakan main, bisa lega.

Kamar di MiCasa
MiCasa ternyata kamarnya gede banget! Pantes semua kamar di hotel ini disebut Suite. Ada meja kerja, ada dapur lengkap dengan peralatan yang lengkap dan canggih, ada “ruang” nonton TV dengan sofa nyaman, plus kamar mandi luas. Benar-benar melebihi ekspektasi untuk sebuah kamar hotel. Lumayan banget untuk tidur sambil menyesuaikan jam biologis akibat jet lag. Sarapan prasmanan di Tapas Bistro juga ikut memperbaiki gizi saya karena makanannya banyak, bervariasi dan enak! Sayangnya saya tidak sempat merasakan kolam renang dengan air laut dan gym-nya.
Hari terakhir, saya dijemput oleh kru TV3 karena saya diundang syuting live acara Malaysia Hari Ini. Studionya berlokasi di Petaling Jaya. Mirip dengan studio-studio TV di Indonesia, hanya saja di sana jumlah krunya jauh lebih sedikit. Saya langsung disuruh ke ruang make up untuk dirias oleh seorang cowok jutek yang hanya 3 kata keluar dari mulutnya, “Duduk! Sandar! Pejam mata!” Oke deh. Saya sempat panik karena talk show ini dalam bahasa Malaysia. Jadi saya di-training sama host-nya untuk ngomong santai aja tapi tidak mengucapkan kata-kata “jorok” dalam bahasa Malaysia, yaitu: butuh, burit, gampang. Artinya apa? Ah, sudahlah. Hehe!
Setelah syuting, saya dibawa ke kantornya Pak @johan_djaffar. Beliau adalah pembaca setia buku-buku saya, kami sering berhubungan via email dan twitter. Sungguh saya tidak tahu siapa dia sampai saya sadar bahwa saya berada di ruangan kerjanya yang superluas di kantor pusat Media Prima Group, pemilik sejumlah stasiun TV, media cetak, radio, dan lain-lain. Saya pun bertanya sama anak buahnya tentang siapa dia. Jawabnya, “Datuk is the Chairman!” What? Udah Datuk, pimpinan utama grup media besar pula! Bisa dikatakan dia Hary Tanoe-nya Malaysia. Bedanya, Bapak eh Datuk ini ganteng, pintar dan sangat humble! Wah, kalau di Indonesia saya nggak dianggep sama penguasa atas, di Malaysia saya jadi bintang gini.

Koran Malaysia
Lalu saya diwawancara bergantian oleh jurnalis dari koran New Strait Times dan Berita Harian. Kedua jurnalis itu ibu-ibu berjilbab yang sangat kekeuh bertanya umur saya berapa. Saya juga diminta untuk photo session di studio koran. Masuk ke kantornya, bagus banget! Maaf, lebih bagus daripada kantor-kantor koran yang pernah saya datangi di Indonesia. Penampakannya persis seperti kantor swasta di bilangan Sudirman!
Malamnya saya diundang Datuk makan di rumahnya. Awalnya saya menolak karena saya kan sama abang saya. Katanya, “Bring them along!” Saya jawab, “Aduh, keponakan saya ada 5 orang loh, makannya banyak banget mereka!” Jawabnya, “No issue.We used to cater for 1,000!” Jadilah saya bersama rombongan sirkus datang. Datin (istri Datuk) memasak Asam Pedas yang enak banget. Datuk pun sengaja meng-hire tukang bakso dari Jawa yang jago banget bikin bakso enak, lengkap dengan bakso tenis, bakso kecil dan tetelannya!
Sebelum pulang saya bertanya kepada Datuk mengapa dia “ngotot” mempromosikan saya. Katanya, “Saya ingin kamu menginspirasi anak-anak muda Malaysia supaya traveling juga. Kita tahu banyak sekali manfaat dari traveling. Tapi mereka itu sekarang malas-malas semua! Payah!”
Nah!

October 2, 2013
Perjalanan Sial 32 Jam (Bagian 2)
(Sambungan dari sini)
Karena ditinggal 2 abang Honduras, kami terpaksa naik taksi sendiri. Perut yang keroncongan masih belum bisa diisi karena di sekitar kantor imigrasi tidak tampak ada rumah makan. Pikir saya, nanti makan di terminal bus aja. Setelah menunggu lama, akhirnya sebuah taksi berhenti tapi… di jok belakang ada dua orang cowok gede banget! Takut ketinggalan bus, akhirnya kami naik. Tentu saya milih duduk di depan karena bakal nggak muat, sementara si Yasmin terpaksa duduk di belakang (mereka bertiga tampak seperti angka 100!). Duh, sial apa lagi neh? Saya memegang pepper spray, berjaga-jaga takut dibekap.
Rupanya taksi menurunkan kami di kantor shuttle bus jurusan ke Palenque, bukan di terminal bus! Tadinya mau tukar uang dan makan, eh gagal maning! Bus berangkat jam 3 sore atau 10 menit lagi. Saya hanya sempat beli sebotol air mineral dan biskuit. Grrr…
Setengah jam jalan, dua orang abang Honduras naik bus kami lagi. Loh? Dua jam kemudian supir bus menurunkan mereka di tengah hutan. Loh? 15 menit kemudian, mobil distop oleh polisi federal. Saya dan dua lelaki gede tinggal di dalam mobil, sementara semua penumpang disuruh turun! Mereka berbaris, diinterogasi, bahkan ada yang disuruh buka baju. Saya bertanya kepada si Lelaki Gede #1 kenapa mereka tidak turun. Jawabnya, “Kami orang Meksiko, mereka orang Guatemala.” Oh! Makanya 2 abang Honduras diturunin di jalan sebelumnya. Mereka pasti masuk secara ilegal. Rupanya supir bus sudah hapal banget sama para imigran gelap, bahkan tau kapan harus menurunkan mereka.
Sampai di Palenque, saya langsung ke terminal bus. Benar aja, bus ke Oaxaca sudah berangkat. Petugas loket menyuruh kami naik bus yang jam 7 malam ke Oaxaca terminal Juchitan de Zaragoza, dengan transit di Villa Hermosa. Katanya total perjalanan 17 jam. Ampun! Masalahnya, bus berangkat setengah jam lagi. Setelah membayar, kami pun terbirit-birit berlari ke restoran China langganan untuk membeli 2 kotak nasi dan lauk pauk.
Begitu masuk bus, saya santai aja makan nasi kotak. Wih bau bawang dan sambalnya begitu menyengat di bus ber-AC ini sampe dipelototin penumpang lain. Saya cuma bisa melotot balik dengan memberi sinyal, “Lu tau kagak gue udah nggak makan 14 jam? Give me a break!” Eh sejam kemudian, bus kami distop lagi oleh polisi. Kali ini 5 orang cowok Guatemala diturunkan dari bus, entah karena apa.
Dua jam kemudian sampai di Villa Hermosa, lalu transit selama sejam. Badan udah rontok. Abis diisi nasi, mata bawaannya mau merem tapi takut ketinggalan bus. Rupanya kami dinaikkan ke bus kelas eksekutif. Sial, si petugas loket untung banyak bener! Begitulah kalau kita nggak bilang kelasnya, mereka suka ngegetok dengan memasukkan di kelas eksekutif yang jauh lebih mahal daripada kelas reguler. Ya sudah, pasrah. Meski bus pake personal TV dan toiletnya terpisah cewek dan cowok, tapi fasilitas itu nggak kepake karena saya pengen merem! Meski kelas eksekutif, senderan kursinyanya nggak sampe ngejeblak. Haduh, pegel!
Sampai di Juchitan, loh kok masih gelap gulita? Saya bertanya ke supir apakah ini Juchitan di Oaxaca. Jawabnya, iya. Saya tanya ke petugas toilet, jawabnya juga bener Juchitan ada di Oaxaca. Lah, katanya 17 jam, kok udah nyampe? Kali ketiga saya bertanya lagi kepada petugas bagasi. Dan terjawablah sudah… Juchitan memang ada di… propinsi Oaxaca, sedangkan Kota Oaxaca masih 5 jam lagi naik bus! *Gubrak!* Sekali lagi ditipu saya sama petugas loket bus!!
Sekarang baru jam 6 pagi, kata petugas loket, bus ke Kota Oaxaca yang terdekat adanya jam 11 siang. Mampus, lama banget nunggunya! Curiga ditipu lagi, selanjutnya Yasmin yang bertanya ke petugas loket. Ternyata ada bus yang jam 8 pagi! Saya langsung mencak-mencak ke petugas loket. Alasannya, bus jam 11 itu kelas satu sedangkan yang jam 8 pagi itu kelas ecek-ecek. Tentu saya beli yang kelas ecek-ecek. Membayangkan tempat tidur empuk dan punggung lurus lebih cepat itu sangat memotivasi.
Sampai di Kota Oaxaca 6 jam kemudian (bukan 5 jam seperti kata petugas bagasi, dan pake acara distop tentara), dan ternyata berhentinya bukan di terminal bus utama. Tidak tahu ada di mana, kami pun naik taksi. Saya menyerahkan secarik kertas berisi alamat sebuah hostel. Menurut situsnya, hostel ini merupakan hostel khusus wanita dengan harga murah sudah termasuk sarapan. Ah, senangnya sebentar lagi punggung saya bisa lurus horisontal! Sampai di hostel, kami diterima oleh seorang mbak-mbak. Katanya, hostel ini sudah bukan lagi hostel khusus wanita, harganya pun naik, dan tidak termasuk sarapan! Lah, semua informasi di situs kenyataannya malah sebaliknya! Saya minta password wifi, dia pun tidak tahu. Hadoh!
Kami pun pindah ke hostel lain. Ya ampuuun, ini sudah 31 jam di perjalanan eh masih harus jalan kaki bawa ransel lagi 5 blok – belum pake nyasar! Saya berjalan udah kayak Zombie karena lemas kurang tidur, atau mungkin juga kayak pemabuk karena jalan udah miring-miring dengan mata merah. Untunglah hostel kedua ada tempat. Kami masih harus naik tangga dua lantai untuk sampai ke kamar dorm berisi 10 bed. Duh, ternyata jarak antar bunk bed rapat banget, tidak sampai semeter, sehingga kamar luar biasa sumpek. Biasanya saya menghindari kamar hostel seperti ini, namun saya sudah tidak perduli. Setelah 32 jam akhirnya punggung saya bisa lurus lagi. Saya pun tertidur lelap.

September 23, 2013
Perjalanan Sial 32 jam
Hari ke-341 #TNTrtw
Selama hampir setahun ini mungkin sudah jutaan kilometer yang saya jalani naik bus dari ujung selatan benua Amerika sampai ke utara. Namun rekor terlama saya dalam satu kali perjalanan adalah 32 jam, yaitu dari Pulau Flores di negara Guatemala ke Kota Oaxaca (baca: Oahaka) di negara Meksiko!

Boneka monyet juga sebel kelamaan di mobil!
Di Guatemala, transportasi umumnya kurang baik. Travel agent lokal memanfaatkan kondisi ini dengan membuat shuttle khusus turis atau semacam mobil travel Jakarta-Bandung, hanya saja kondisinya jauh lebih kacrut. Semobil diempet-empet 14 penumpang + 1 supir, tanpa AC, dan bagasi ditaro di atap mobil. Meskipun demikian, saya tidak pernah mendapat masalah karena cara itu adalah paling praktis dan harganya tidak beda jauh daripada pergi sendiri dengan segala keribetannya. Makanya saya yakin aja dari Flores mau ke Palenque naik shuttle lagi. Di Flores, shuttle jurusan itu dimonopoli oleh travel agent bernama San Juan. Kata masnya, perjalanan memakan waktu 8 jam, berangkat jam 5 pagi sampai jam 2 siang waktu Meksiko. Dari Palenque saya akan lanjut naik bus ke Oaxaca yang jam 5 sore.
Jam 5 pagi saya dijemput oleh mobil San Juan. Tumben, kali ini tasnya ditaro di dalam mobil, bukan di atap. Asyik deh, berarti penumpangnya sedikit! Baru 5 menit jalan, mobil berhenti di terminal bus. Lalu mobil jalan lagi, berhenti lagi di kantornya yang sepi. Jalan lagi, berhenti lagi di sebuah rumah. Dan akhirnya balik lagi ke terminal bus dan si supir bilang dalam bahasa Spanyol yang kira-kira begini, “Karena hujan deras, jalan nggak bisa dilewatin. Ini duitnya kami kembalikan.” Hah? Saya yang lagi makan pisang ampe keselek. BANGSAT! Kok enak banget gitu caranya?! Andai saja bahasa Spanyol saya udah canggih pasti tu supir udah saya maki habis-habisan, tapi reaksi saya cuman bisa melempar kulit pisang. Uh, gue sumpahin perusahaan lu bangkrut!
Saya dan tas diturunkan secara paksa di terminal bus Santa Helena yang masih gelap gulita! Langsung lah saya dikerubuti cowok-cowok yang menawarkan berbagai macam servis pengantaran. Jiah, perusahaan nomor satu aja nipu, apalagi perusahaan ecek-ecek di terminal bus? Saya pun bertekad untuk pergi sendiri naik apapun sampai Palenque. Tak sudi ditipu lagi! Setelah tanya sana-sini, akhirnya saya naik mobil semacam L-300 jurusan La Tecnica, jam 7 pagi. Saya dan Yasmin duduk di depan, sedangkan di belakang ada serombongan abang-abang Latino pake singlet, celana jins selutut, sepatu kets putih, tak ketinggalan kalung rantai regal dan rambut berdiri kena gel.
Baru jalan 15 menit, tau-tau ada seorang ibu masuk dari pintu supir dan duduk di sebelah kami. Buset, di di depan ada empat orang! Lama-lama mobil jadi tambah penuh. Kapasitas yang seharusnya 14, diisi 25 orang! Di bagian belakang ada yang berdiri, bahkan nungging. Di atas kepala kami pun ada kepala-kepala lain yang nongol ke depan sambil megap-megap cari udara! Pantat saya naik sebelah karena duduk di sambungan kursi. Lama-lama pantat saya kesemutan, kaki kebas, dan pinggang mau copot karena duduk miring sambil memangku ransel selama berjam-jam. Penderitaan ini diperparah dengan kondisi jalan yang tadinya aspal menjadi jalan tanah bergelombang campur kerikil sehingga mobil berjalan ajrut-ajrutan.
Saya lapar luar biasa karena tidak sempat sarapan dan makan siang. Makin lapar melihat si supir santai makan ayam goreng dan tortilla sambil nyupir sampe stirnya berminyak, sementara mobil tidak pernah berhenti istirahat. Bekal saya berupa pisang, keripik, dan air putih sudah habis tapi belum nyampe juga. Sudah lima jam perjalanan kok pemandangan sekelilingnya seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan? Isinya kebun jagung, semak-semak, rerumputan. Gimana mau pipis coba? Kok tidak ada satu penumpang pun yang minta mobil berhenti? Nggak ada yang kebelet apa? Tak tahan lagi, akhirnya saya yang bilang ke supir dan ia baru berhenti di sebuah pom bensin sepi. Seluruh penumpang turun dengan tubuh gontai. “10 menit kembali, ya!” kata kenek. Doh, kita ini penumpang bus atau tawanan Nazi sih?!
Sejam kemudian mobil berjalan, kami distop petugas berseragam. Kami disuruh turun dan masuk ke dalam sebuah rumah yang nyempil di antara perumahan penduduk. Oh, ini kantor imigrasi Guatemala. Tidak ada palang dan tidak ada plang yang mengatakan ini perbatasan antarnegara. Setelah paspor saya dicap, ngobrol lah sama geng abang-abang di belakang. Rupanya mereka adalah warga negara Guatemala dan Honduras yang akan bekerja di AS. Dari Meksiko mereka akan lanjut naik kereta api. Wah, saya jadi ingat film dokumenter tentang para imigran gelap asal negara-negara Amerika Tengah yang masuk ke AS.
Perjalanan masih berlanjut di jalan yang makin rusak dan sempit, dan dikelilingi hutan yang makin lebat. Gila, mau dibawa ke mana coba? Hampir sampai di La Tecnica, jalan menjadi sangat berlumpur. Kata supir, jalan tidak bisa dilalui mobil, dan… kami semua diturunin di jalan! Ya ampun, again?! Katanya kami bisa meneruskan perjalanan ke La Tecnica naik kapal. Hah? Geng abang-abang lalu mengajak kami, “Vamos!”. Mereka menolong membawakan tas, memegangi tangan kami menuruni bukit, masuk hutan, jalan di lumpur, sampai di bibir sungai yang airnya berwarna coklat dan berarus deras. Rupanya Guatemala dan Meksiko dipisahkan oleh sungai ini!
Terbayang para imigran gelap berenang ngumpet-ngumpet sambil ditembak-tembakin. Atau terjadi tembak-tembakan antara jaringan kartel narkoba dan polisi, karena Meksiko saat ini merupakan pemasok 90% kokain ke Amerika Serikat. Waduh, gimana kalo kapal ini tiba-tiba ditembakin dari balik hutan karena saya bersama abang-abang nggak jelas gini?
15 menit menyusuri sungai, supir kapal bertanya, “Yang perlu ke imigrasi Meksiko silakan turun di sini.” Saya, Yasmin, dan 2 orang abang asal Honduras turun. Kami pun berpisah dengan abang-abang lain yang bermuka tegang. “Buena suerte!” kata saya kepada mereka, artinya “good luck”. Saya benar-benar berharap mereka selamat.
Dua ratus meter di seberang sungai terdapat kantor imigrasi Meksiko. Saat saya mengisi formulir, kedua abang itu disuruh masuk kantor dan diwawancara petugas. Kami menunggu cukup lama karena mau patungan naik taksi ke terminal bus. Tiba-tiba mereka berdua keluar ruangan dengan muka bete dan meninggalkan kami begitu saja! Lah? Saya bertanya kepada petugas imigrasi ada apa dengan mereka. Katanya, “Mereka tidak punya dokumen untuk masuk ke negara ini sehingga harus kembali.” Apa? Mengulangi penderitaan 6 jam di bus tadi? Pantas saja abang-abang yang tadi di kapal tidak ikut turun. Mereka diam-diam lewat jalur lain tanpa lewat imigrasi!
(bersambung)

August 23, 2013
Diving di gua suku Maya

Saya di gua bawah tanah
Sebagai penyelam Indonesia, saya jadi punya standar yang tinggi mengenai tempat diving. Bagaimana bisa ada yang mengalahkan indahnya alam bawah laut Indonesia Timur yang terletak di Coral Triangle alias pusat biodiversitas laut dunia! Karena kudu terus berhemat selama trip #TNTrtw ini, maka saya hanya mau diving di tempat yang benar-benar beda dari Indonesia, contohnya di Kepulauan Galapagos, Ekuador, untuk bertemu ikan hiu martil dan singa laut.
Sampai di Meksiko, saya pun memutuskan untuk ikut cenote diving karena diajak juga oleh Ken, teman sekapal di Raja Ampat yang nyusul liburan. Cenote (baca: se-no-te) adalah lubang air alami akibat runtuhnya batuan kapur pada zaman es yang merupakan karateristik di Semenanjung Yukatan, Meksiko. Ia telah dijadikan sumber mata air sejak peradaban Maya ribuan tahun yang lalu, bahkan dianggap suci sehingga sering dijadikan tempat persembahan korban berupa manusia. Hiy!
Jam 8 pagi saya dan Ken sudah sampai di kantor dive operator bernama Bullshark Diving di Playa del Carmen. Seperti biasa, kami mengisi formulir dan menunjukkan lisensi diving. Kami pun dijemput oleh Aurelign, Dive Master (DM) ganteng yang berasal dari Prancis. Dia juga yang menyupiri, mengangkut tabung dan peralatan, menyediakan makanan dan minuman, sekaligus jadi guide bawah air! Dua orang cewek ikut dalam grup kami berasal dari AS. Pagi itu hujan deras tapi DM mengatakan, “Nggak ngaruh lah, kan kita di dalam gua.” Oh iya, ya!

Cenote Dos Ojos dari atas
Cenote yang kami datangi bernama Dos Ojos, artinya “Dua Mata”, karena ada dua lubang besar untuk masuk. Ia adalah salah satu sistem sungai bawah tanah terpanjang di dunia, sampai 310 km! Bahkan kedalamannya juga memegang rekor sepropinsi karena mencapai 119 meter. Lokasinya sekitar 45 menit naik mobil dari Playa del Carmen ke arah Tulum. Dari parkiran mobil, kami harus berjalan kaki menuruni tangga semen sampai ke bibir cenote.
Si DM lalu mem-brief kami. Sehari kami akan melakukan 2 dives, yaitu jalur Barbie Line dan Bat Cave. Ketika saya bertanya kenapa dinamakan demikian, DM nggak mau jawab, “You will find out. It’s a surprise.” Darinya saya baru tahu perbedaan antara cavern diving dan cave diving. Cavern diving termasuk recreational diving karena di dalam gua yang masih terlihat cahaya luar siang hari atau terdapat guideline sehingga dapat dilakukan oleh penyelam yang bersertifikat Open Water. Sementara cave diving adalah technical diving yang memerlukan sekolah dan lisensi khusus karena lebih ke eksplorasi gua yang lebih dalam dan menggunakan peralatan khusus. Makanya DM harus sudah memiliki lisensi full cave diver dan rasio DM:penyelam harus 1:4.
Ternyata peraturan diving di laut dan gua berbeda. Hand signal di laut tidak berlaku, karena di gua gelap sehingga harus menggunakan senter (tahan air). Contohnya,“oke” di laut adalah dengan melingkarkan jempol dan jari telunjuk, sedangkan di gua adalah dengan menyenter ke arah depan membentuk bulatan kecil. Memanggil DM caranya dengan menyenter dari atas ke bawah berkali-kali. Berenangnya pun nggak bisa pake kaki gaya bebas, tapi pake gaya dada dengan minimal gerak. Oksigen setiap 1/3 dan 2/3 dari isi tabung wajib lapor ke DM, karena DM tidak akan menanyakan. Hal ini penting karena di gua, sekali masuk harus terus maju sampe ke ujungnya, jadi nggak bisa balik arah. Yang membuat serem, kalau di laut ada apa-apa tinggal naik ke permukaan, nah di gua nggak bisa karena atasnya tertutup! Saya baru menyadari bahwa istilah “maju terus pantang mundur” sejatinya berlaku di cavern diving. Wuah, adrenalin saya langsung memuncak. Ngeri-ngeri sedap!
Kami memakai dive gear di parkiran mobil, sambil ngos-ngosan bawa tangki dan peralatan seberat 20 kg turun ke bibir cenote, baru nyebur. DM pake dry suit dan membawa 2 tangki sekaligus di punggungnya. Ternyata airnya dingin kayak es! Untung air tawar sehingga nyaman di mata dan mulut, plus superjernih. Setelah cek buoyancy, kami pun turun ke kedalaman menuju mulut gua dengan berenang berurutan, kayak baris tapi di air. Urutannya: DM yang pertama, lalu di belakangnya dimulai dari diver yang paling cemen sampai paling jago. Saya bahagia bukan yang paling belakang (kan takut kalo ada makhluk yang narik kaki gue dari belakang!), karena salah satu cewek AS itu sudah pernah diving 500an kali. Ken yang baru diving 25 kali lebih bangga lagi, “Wah, ternyata ada yang lebih goblok daripada gue!” Tapi saya justru khawatir, mengingat Ken diving-nya masih bergaya “bebek kena potas” sehingga kalau dia nabrak gua, saya yang bakal kena runtuhannya!
Di dalam air awalnya masih terang karena cahaya matahari masuk dari lubang cenote, namun bagaikan corong, lama-lama jalurnya mengecil karena memasuki lubang gua sehingga makin lama makin gelap. Dan diver cewek paling depan pun terserang panik! Ia minta balik sehingga kami semua berenang mundur. Waduh! Setelah ia ditenangkan dan dibawa naik, DM masuk lagi dan tinggalah kami ber-4 yang masuk gua. Reaksi saya, “WOW!” karena melihat formasi stalaktit dan stalakmit yang spektakular! Seperti berada di gua kering, tapi ini dipenuhi oleh air dan kita berenang bermanuver di antara pilar-pilar endapan mineral! Benar-benar serasa berada di planet lain. Suasana begitu tenang dan dingin, saya hanya mendengar suara tarikan napas sendiri. Tidak ada kehidupan di dalam gua berair ini karena nyaris tidak ada cahaya matahari. Paling ada sekelompok “blind fish”yang berukuran sebesar jari jempol. Dinamakan demikian karena ikan ini tidak punya mata alias buta karena berevolusi.
Kesunyian ini terusik karena si Ken buoyancy-nya masih kacau sehingga sering menabrak stalaktit dan serpihannya menimpa saya yang berada di belakangnya! ARRGGH! Sialnya, saya tidak bisa marah karena posisi diver depan-belakang membuat sulit untuk berkomunikasi. 20 menit kemudian saya baru menyadari mengapa jalur ini disebut “Barbie Line”. Rupanya di ujung belokan gua diikatlah mainan buaya karet yang memakan kepala boneka Barbie! Hahaha… kejam!
Tak berapa lama kemudian di ruang yang agak luas, DM membalik badan dan memberi sinyal agar kami menutup senter dengan telapak tangan. Tidaaak! Bagaimana nanti saya melihaat?! Tapi akhirnya kami menyerah. Dan di ujung gua terlihat cahaya biru terang yang bergerak-gerak terkena refleksi air, mirip seperti aurora borealis! Cahaya biru itu pun menyorot stalaktit dan stalakmit sehingga begitu dramatis, membuat mata saya terbelalak kagum. Gilaaa kerennyaaa!! Total 45 menit kami menyelam. Begitu naik ke permukaan, Ken langsung minta maaf. Huh!
Penyelaman kedua berlokasi di Bat Cave. Kami tetap ber-4 karena cewek tadi tetap panik. Seperti yang sudah diperingatkan DM sebelumnya, jalur ini lebih gelap karena lebih jauh dari lubang cenote. Kekaguman saya justru bertambah, karena dengan modal cahaya senter, suasana gua lebih mencekam. Formasi stalaktit dan stalakmitnya pun lebih masif dan kompleks, sampai ada yang berbentuk akordeon raksasa. Kali ini Ken menyelam lebih baik, namun karena ditambah pemberat, ia cenderung nyusruk sehingga sedimen di dasar gua bertebaran membuat pemandangan saya jadi kabur. Hadooh!
Di ruang agak lebar, DM menyuruh kami naik ke permukaan air bersama-sama. Saya pikir ada situasi darurat, nggak taunya DM menunjuk langit-langit gua. Dua meter di atas kepala kami terdapat ribuan kelelewar menggantung! Saya menganga melihat pemandangan ini, sambil tak lupa menutup mulut karena takut boker kelelawar masuk mulut. Sesekali kelelawar terbang ke sana ke mari, anehnya badan kami masih berada di dalam air sehingga tidak bisa ngeles dengan menunduk atau berjongkok seperti di gua kering. Pantaslah jalur ini disebut “Bat Cave”.
Ah, diving di cenote sungguh merupakan salah satu pengalaman diving terbaik saya!

August 5, 2013
Bagaimana untung USD 150 dalam 5 jam?
Baru aja mendarat di Cancun, Meksiko, dan berjalan ke luar bandara, eh saya dicegat seorang pria berbaju rapih yang menawarkan undangan pembukaan resor terbaru di Cancun. Syaratnya hanya “berusia di atas 30 dan pemegang kartu kredit”. Wah, udah pasti jebakan betmen nih! Kalau sudah ada kata kunci “kartu kredit”, pasti ada hubungannya dengan jualan. Kalau ada hubungannya dengan “undangan ke resor”, pasti jualan keanggotan. Secara dulu saya pernah jadi telemarketer, praktik semacam ini kecium banget. Lagipula, bukankah kita udah biasa dijebak sama sales asuransi dan MLM? Apalagi kalau ada teman lama yang tidak pernah berhubungan tiba-tiba menelepon ngajak ketemuan!
Tapi kemudian saya diiming-imingi akan dapat sarapan prasmanan gratis di resor. Hmm… langsung terbayang sunny side up, sosis, bacon, croissant hangat, buah-buahan, yogurt, aneka cereal pake susu enak, pancake pake saus coklat… arrghh! Sebagai backpacker selama 10 bulan #TNTrtw, menikmati kemewahan itu sangatlah menggiurkan. Mak ceglug. Saya menelan ludah.
Satu lagi iming-imingnya adalah bisa dapat paket tur ke Chichen Itza, salah satu New 7 Wonders of the World, seharga hanya USD 35 saja. Saya udah riset, rata-rata tur seharian ke sana USD 100. Kalau mau jalan sendiri sih bisa, tapi tiket busnya aja sekali jalan USD 22. Berarti murah banget tuh! Hmm… kalau bisa bayar murah, kenapa harus bayar mahal? Saya dan Yasmin pun berdiskusi. Ini sih udah pasti bakal ada presentasi, baru dikasih makan. Si sales menjanjikan hanya berlangsung selama 90 menit, 45 menit makan + 45 menit presentasi. Trus pake diantar-jemput naik mobil dari hostel. Hmm.. sounds easy!
Pagi itu kami pakai baju batik, supaya nggak keliatan gembel-gembel banget. Kami dijemput si sales jam 9, dan ia mengantar kami naik taksi. “Jangan bilang kalian tinggal di hostel ya? Pokoknya kalian santai-santai aja dengerin presentasi, yang penting makan enak!” Kami hanya tertawa. Lokasi resornya ternyata ada di Playa del Carmen, sekitar satu jam dari Cancun atau mereka harus bayarin taksi kami sekali jalan seharga USD 35.
Sampai di gerbang resor, mata saya langsung membelalak. Ini resor bukan main besar dan bagusnya! Pake lapangan golf segala! Di lobi kami dijemput petugas yang mengantar kami mendaftar di lobi lain naik mobil mewah. Seorang bapak-bapak berumur sekitar 50an mendatangi kami, namanya Joe. Pertama Joe mewawancara kami; asal dari mana, pekerjaan apa, berapa minggu per tahun liburan, berapa budget liburan per tahun. Saya terpaksa harus berbohong dengan mengatakan liburan 5 minggu/tahun dengan budget USD 5000/tahun. Lalu manager-nya, seorang cewek bule cantik, berkata, “Kalau begitu, kalian boleh sarapan di restoran Havana Moon.” Entah artinya saya nembak budget kegedean atau kekecilan sampai tempat makan pun ada kategorinya.
Kami pun diajak keliling resor. Mulut saya menganga melihat beberapa kolam renang superbesar dan superkeren, taman yang asri, kamar yang menghadap Laut Karibia, beach chairs cantik di pasir putih, dan lain-lain. Sampailah kami di restoran di tepi pantai. Saya baca di papan bahwa harga per orang untuk sarapan di sana sekitar USD 30. Buset, lebih mahal daripada harga menginap semalam saya! “Kantor akan bayarin sarapan kalian, tapi nanti kalian yang bayar tipnya ya?”, kata Joe. Kami pura-pura nggak denger. Mulai detik itu, saya bolak-balik ngambil makanan. Sarapan adalah menu makanan yang paling saya sukai dibanding makan siang dan makan malam. Tidak ada satu makanan di situ yang tidak saya makan. Terakhir saya makan satu pancake yang saya olesi Nutella dua centong! Slurp!
Lalu kami dibawa ke rumah contoh. Ada dua kamar tidur dengan ruang tamu dan dapur. Sungguh keren! Dari situ, kami didudukkan di ruangan khusus negosiasi. Rupanya ada seratusan turis yang sama-sama kena jebak. Mulailah Joe jualan. Sistemnya mirip time share; kita membeli kamar hotel, lalu disewakan sehingga ada pemasukan atau bisa kita pake sendiri. Benefit lain, kita bisa tinggal di resor manapun di dunia dengan harga murah. Untuk itu kita harus membayar… USD 150.000! Apa? 1,5 milyar Rupiah? Saya dan Yasmin saling ngomong dalam bahasa Indonesia, “Dia gila apa? Kita aja nggak punya rumah di Indonesia, suruh beli di Meksiko!”. Kata Joe lagi, “Jangan khawatir, kalian hanya bayar DP 35% pake kartu kredit, sisanya nyicil.” Buset, kartu kredit kami berdua digesek udah pasti nggak bisa. Kartu kredit apaan yang bisa sekali gesek 500 juta?
“Sebentar, kalian mungkin bisa pake harga diskon kemarin. Saya tanya manager dulu ya?” kata Joe. Kami tertawa, ini cara-caranya kayak sales jualan membership gym terkenal di Jakarta. Ajaib, harganya bisa turun jadi USD 50.000! Tentu kami tetap menolak. Akhirnya si manager datang dan bilang bahwa ada member yang baru upgrade sehingga ada unit yang kosong tapi hanya 1 kamar sehingga harganya “hanya” USD 14.000. Kami tetap menolak, kali ini dengan alasan mulai mengada-ada, seperti nggak ngerti hukum Meksiko, jaringan resor di Indonesia sedikit, sampai harus konsultasi pacar. Tidak terasa ternyata kami sudah diintimidasi selama 5 jam lebih! Capeeek! Ini makanan enak rasanya udah menguap lagi, bahkan udah pengen dimuntahin gara-gara eneg!
Akhirnya Joe menyerah. Dengan muka jutek, dia melempar kami ke ruangan lain untuk survei mengenai feedback. Ada bapak-bapak lain bilang, “Kalian sudah menghabiskan waktu berjam-jam di situ dan tidak ada hasilnya? Come on! You can do better! Gimana kalau saya kasih penawaran terakhir. Hanya USD 5000 untuk unit 2 kamar tidur?” Anjrit, murah banget! Tapi mau bayar pake apaa?
Terakhir, si bapak menyuruh anak buahnya menemui kami. Katanya dengan muka sedih, “Ini bukan jualan, tapi program marketing. Kalian bayar USD 700/tahun bisa tinggal di manapun di dunia dengan harga khusus. Ayolah beli! Kalau nggak, abis ini saya ikut kalian ke Indonesia karena saya akan dipecat.” Lah, dia curhat! Tentu, kami menolak lagi.
Kami pun dilempar ke ruangan “gift claim” untuk mengklaim paket tur Chichen Itza seharga USD 35 termasuk ke Valladolid dan Cenote, lunch buffet, dan guide berbahasa Inggris, plus diantar pulang naik taksi! Yay! Mission accomplished. Dihitung-hitung, kami untung lebih dari USD 150/orang dalam sehari, tapi disiksa selama 5 jam! Ketika taksi melewati gerbang resor ada perasaan lega bukan kepalang, sekaligus merasa bersalah. I’m just a cheap shit… but I can’t help it!

June 20, 2013
Masih mau jadi orang kaya?
Setelah 7 bulan #TNTrtw, saya mendambakan berenang di pantai pasir putih yang berair hangat. Seluruh pantai di benua Amerika Selatan yang menghadap Samudra Pasifik airnya dingin minta ampun meski di musim panas. Makanya saya nggak sabar pengen ke Cartagena, sebuah kota di utara negara Kolombia yang menghadap Laut Karibia. Sayangnya pantai di Cartagena tidak masuk hitungan bagus bagi saya sebagai orang Indonesia, jadi saya berencana ke Playa Blanca, pantai favorit wisatawan. Tapi kata pemilik hostel, kalo nyari pantai sepi dan bagus mending ke Isla Grande. Masih sama-sama di Kepulauan Rosario, sekitar sejam naik kapal dari Cartagena.
Saya naik kapal umum dan minta turun di sebuah hotel yang namanya asal nyomot dari internet. Pas diturunin di dermaga, langsung disambut staf hotel. Semua orang di kapal menganga karena gaya saya bekpeker tapi turunnya di hotel keren! Saya pede aja masuk ke resepsionis dan bertanya berapa harganya. Meh, ternyata sekitar Rp 700 ribu/orang/malam! Buset, mau bayar pake bulu ketek apa? Saya pun langsung melipir ke pintu belakang untuk kabur. Eh tapi ke mana? Udah kadung malu, saya bertanya, “Ada yang lebih murah lagi nggak kamarnya?” Jawab resepsionis,“Kita ada yang Rp 160 ribu tapi kemping, itupun kudu bawa tenda sendiri”. Hah? Saya tanya lagi, “Ada hotel lain nggak yang lebih murah?” Katanya ada di kanan atau kiri, jalan kaki sekitar 20 menit. Cabut!
Bagian belakang hotel ini ternyata hutan-tan-tan! Memang nggak selebat di Papua, tapi mayan bikin kemringet trekking di jalan setapak di cuaca panas dan lembab. Setelah tanya sana-sini, sampailah ke sebuah “ecohotel”. Namanya doang gaya, padahal isinya cuma 6 rumah kecil yang dindingnya gedeg dan beratap rumbia. Paling tidak ada kamar mandi sendiri, meski tidak beratap dan airnya kudu nyiduk dari ember. Setengah mati nawar, si ibu pemilik, Ana Rosa, nggak mau turun dari Rp 400 ribu/orang/malam tapi udah termasuk 3 kali makan. Ya sudahlah, ini masih lebih bagus daripada losmen di Raja Ampat dengan harga mirip.
Ternyata panasnya gila banget! Benar-benar mati angin. Daun pun tidak bergerak sama sekali. Belum lagi nyamuknya yang menggila! Setelah diterangkan di peta, ternyata ecohostel ini letaknya di tengah pulau, di antara hutan. Sekeliling pantainya sudah ditutupi oleh lahan hotel mewah sehingga angin dari pantai nembus ke tengah juga kagak. Phew!
Untuk ke pantai, tamu ecohotel harus jalan kaki menembus hutan selama 15 menit. Ana Rosa bilang bahwa ini adalah satu-satunya pantai umum terdekat dan gratis. Saya melewati bagian belakang sebuah resor mewah dengan bunyi generator listriknya yang memekakkan telinga. Pasti enak banget itu kamarnya ada AC sementara saya jalan aja sambil gaplok-gaplokin nyamuk. Eh ternyata untuk ke pantai itu harus masuk pagar sebuah hotel mewah lainnya. Duh, kasian amat nasib orang kismin!
Pantainya sungguh keren, sesuai dengan selera saya dengan pasir putih dan air bening tak berombak. Dari jauh terlihat kapal yacht dengan suara musik keras dan tamu-tamu yang berenang di tengah laut. Seorang crew membawa baki berisi gelas-gelas champagne yang dibagikan ke para tamu. Begitu tamunya naik, sudah ada crew yang menyediakan handuk. Hmm… nikmatnya jadi orang kaya! Sementara saya cuman gelar sarung di pasir karena nyewa kursi dan payung aja nggak sanggup.
Malamnya saya diajak suami Ana Rosa, Manuel, ke Laguna Encantada. Ini danau yang mengalami fenomena alam yang disebut bioluminesence atau makhluk organis yang dapat mengeluarkan terang, seperti kunang-kunang di darat tapi ini plankton di dalam air. Saya sampe menjerit-jerit senang karena ketika saya menyibak air, seketika itu pula timbul cahaya bak bintang-bintang seperti Tinker Bell! Di pekatnya malam, saya berenang sambil menggerakkan kedua tangan dan kaki sehingga sekujur tubuh saya seperti dikelilingi bintang! Begitu kelar, saya perhatikan orang-orang lain pake handuk kembar dengan bordir nama hotel dan diantar sama guide berseragam yang muda dan cakep pula. Saya? Ya sama bapak-bapak tua!
Pulangnya Manuel mengajak pulang lewat resor mahal yang generatornya superberisik itu. Katanya harga menginap semalam sekitar USD 500! Saya sampe menganga melihat bungalow di sana saking bagusnya. Bahkan terasnya aja jauh lebih bagus daripada seluruh rumah yang di ecohostel! Bunyi AC dan kaca yang sedikit berembun bikin tambah sirik, pasti adem banget di situ dan nggak ada nyamuk! Arrgh! Melewati restoran, terlihat sepasang kekasih sedang candlelight dinner di tepi pantai. Ceweknya bengong makan sendiri, sementara cowoknya yang jauh lebih tua sedang sibuk bicara bisnis via hapenya dengan suara keras. Nah, itulah resikonya kalau jadi orang kaya!
Hari terakhir, Manuel menyogok satpam hotel mahal itu agar kami bisa nebeng speed boat hotel balik ke Cartagena. Ya ampun, baru aja masuk pagar langsung ketemu tukang kebon yang ganteng mampus! Lalu ketemu lagi waiters, satpam, housekeepers yang semuanya cocok banget kalo jadi bintang sinetron saking gantengnya. Mereka semua tersenyum dan menyapa dengan ramahnya. Mana harum-harum lagi!
Saya pun masuk ke kapal hotel yang keren: putih, bersih, nggak jejel-jejelan, plus tempat duduk empuk. Satu per satu tamu hotel masuk kapal, dan saya syok karena.. tamu-tamunya wuelek kabeh! Pria botak tapi rambut belakangnya gondrong, pria pake sepatu pantalon kulit + kaus kaki hitam tapi pake celana pendek rumahan motif kotak-kotak, pria pake baju hawaii tapi pake celana bahan goyang, pria supergendut pake kalung rantai regal! Sementara para wanitanya gayanya juga sok aristrokat pake topi lebar, syal bahan satin, perhiasan gede dan kempling. Semua mukenye jutek-jutek! Ah, Tuhan Maha Adil!
Catatan: Salah satu ciri hotel mahal: pegawainya cakep-cakep, tapi tamunya jelek-jelek! Hehe!

June 1, 2013
Machu Picchu.. dream came true!
Jangan pernah berhenti bermimpi. Dari kecil saya bermimpi pengen ke Machu Picchu. Saya sampe bikin trip #TNTrtw juga karena pengen ke Machu Picchu. Ke sananya gimana, bener—bener nggak kebayang. Yang selalu saya dengar adalah lokasinya terpencil di antara gunung, jadi harus trekking atau naik gunung ampe mampus. Mumpung belum tua dan masih sehat, maka mimpi itu harus diwujudkan!
Setelah 4 bulan keleleran di Amerika Selatan, awal Maret 2013 saya tiba di Cusco – kota besar yang terdekat dengan Machu Picchu dengan suasana mendung, kelam, superdingin, dan hujan. Yang cukup mengesalkan adalah saya tiba sebulan lebih awal dari yang direncanakan akibat visa Bolivia ditolak sehingga datang pas musim hujan. Sedangkan waktu terbaik ke Machu Picchu adalah pada bulan April – November, pas musim kering. Males banget kan udah jauh-jauh ke sana, eh hujan sampe nggak bisa menikmati situsnya.
Begitu tiba di Cusco, orang langsung heboh menawarkan paket tur ke Machu Picchu, mulai dari supir taksi, resepsionis hostel, juga para sales dari travel agent yang bagi brosur di jalan-jalan. Saya sih mendengarkan presentasi mereka, sebagai tolak ukur untuk membandingkan harga dan usaha. Di samping itu, saya keluar-masuk travel agent dan tanya-tanya sesama traveler di hostel. Tapi dari “iPeru”, pusat informasi wisata resmi dari pemerintah Peru, saya dapat gambaran lengkap.
Sebagian besar backpacker bule dan muda trekking ke Machu Picchu melalui Inca Trail selama 4 hari dengan harga sekitar USD 200an. Tapi semua yang pernah ikut mengatakan bahwa trekking-nya berat banget karena jalannya 4 hari full naik-turun gunung ribuan meter. FYI, Cusco aja berada di ketinggian 3.399 mdpl. Kalo bule aja ngomong “it’s fuckin hard!” tentu saya tidak memilih option ini.
Meski kita bisa jalan sendiri, tapi Machu Picchu tidaklah murah. Tiket masuknya aja hampir USD 50/orang! Yang gila adalah harga tiket kereta apinya yang USD 100 pp, itupun di kelas tourist alias yang paling murah. Ditambah lagi bus dari Aguas Calientes ke Machu Picchu sebesar USD 18 pp. Jadi kalo mau hemat, naik KA diganti dengan naik bus nyambung-nyambung, plus jalan kaki 3 jam, plus naik gunung 2 jam! Kesusahan lain adalah kudu beli tiket masuk Machu Picchu di kantor kementrian budaya Peru, itupun dibatasi hanya 2.500 orang/hari. Lalu beli tiket KA Inca Rail atau Peru Rail di kantor penjualannya. Buset!
Setelah dihitung-hitung, ikut paket tur lebih nggak ribet, perbedaan harganya pun cuma sekitar USD 20 tapi nggak usah wara-wiri ke kantor, cari-cari bus, dan jalan kekong ampe semaput. Akhirnya saya ambil paket 2D/1N dari travel agent di Plaza de Armas. Selain karena paling murah, mas-masnya bisa bahasa Inggris dan manis pula. Halah. Dengan harga USD 218, saya dapat semua tiket (bus, KA, entrance fees), tur ke Sacred Valley, menginap semalam di hotel di Aguas Calientes, dan guide, dengan total USD 218. Kalau mau lebih murah dari itu, ikut day trip juga bisa tapi dijemput jam 4 pagi dengan harga lebih murah USD 20. Yah, mending pake nginep jadi nggak keburu-buru.
Keesokan paginya, saya dijemput mobil tur, ditransfer ke bus besar untuk ngider-ngider di Sacred Valley pake guide, lalu jam 4 sore naik KA sendiri ke Aguas Calientes. Sampe stasiun KA dijemput sama pemilik hotel. Jam 7 malam pintu kamar diketok oleh guide Machu Picchu yang mem-briefing tata cara bertemu di situs. Beginilah cara kerja tur di Peru, saya ditangani oleh pihak yang berbeda-beda bagaikan ban berjalan. Malam hari saya keliling Aguas Calientes yang ternyata kotanya kecil banget, jalannya cuma satu yaitu jalan kereta api! Sintingnya harga apapun muahal banget, paling mahal senegara Peru. Makan satu lauk minimal Rp 100 ribu. Sarapan aja di-charge hotel seharga Rp 50 ribu padahal cuman roti dan kopi. Cis!
Semalaman hujan turun bikin saya telat bangun! Karena menolak sarapan di hotel, saya cari makan di luar. Ealah, nggak ada satupun restoran maupun warung yang buka! Membayangkan naik gunung tanpa sarapan bikin panik. Untunglah nemu mini market yang jual sandwich dingin. Saya bersyukur naik bus dari Aguas Calientes ke Machu Picchu, karena jalannya ternyata benar-benar menanjak sangat terjal! Saya bertemu beberapa orang yang berjalan kaki, tampangnya aja udah mau mati gitu saking capeknya.
Jam 7 pagi saya sudah sampai di pintu gerbang Machu Picchu. Karena di dalam situs tidak ada toilet sama sekali, saya keluar-masuk WC untuk melaksanakan ritual pagi. Jam 7.45 cuaca masih mendung dan gerimis, saya bergabung dengan grup tur dan bersama-sama berjalan di jalan setapak di tengah hutan. Inilah saatnya… kami berjalan kaki naik, naik, naik… sampe saya bengek!
Akhirnya sampailah pada jalan berumput yang rata. “This is Machu Picchu!” kata si guide. Di depan kami adalah reruntuhan bangunan Inca, tapi tertutup awan! Lah? Kami semua berdiri di pinggir tebing sambil terdiam dalam kesunyian. Pelan-pelan matahari semakin tinggi dan awan terbuka… jantung saya berdetak cepat… akhirnya saya bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri… Machu Picchu, my dream came true!
–
Catatan:
#TNTrtw adalah hashtag di twitter @TrinityTraveler yang merupakan singkatan dari “Trinity round-the-world”. Untuk lebih lengkapnya, silakan baca di sini.
Untuk video perjalanan #TNTrtw lainnya, tonton di sini.

May 8, 2013
Pelarian kriminal
Peringatan: Jangan ditiru!
Entah bagaimana kedutaan itu memutuskan seseorang mendapatkan visa atau tidak. Lebih heran lagi dengan keputusan berapa lama seseorang asing bisa tinggal di suatu negara. Terakhir saya apply visa Schengen tahun lalu, pada sticker visanya tertulis masa berlaku “from 19-10-12 until 27-11-12”, tapi “duration: 27 days”. Lah, nggak sesuai dengan bukti reservasi tiket pesawat yang disertakan. Kenapa angka ganjil 27 hari? Kenapa nggak genap aja 30 hari? Atau malah 25 hari?
Masalahnya adalah saya udah ngincer mau beli tiket promo Frankfurt-Rio de Janeiro yang berangkat tanggal 17 November 2012. Sedangkan kalau visa cuma dapat 27 hari maka akan jatuh pada tanggal 14 November, sehingga harga tiketnya lebih mahal 150 USD! Demi menghemat hampir Rp 1,5 juta, saya dan Yasmin akhirnya membeli juga tiket promo.
19 Oktober 2012
Kami terbang dari Saint Petersburg di Rusia ke Helsinki di Finlandia – negara Schengen pertama yang kami masuki. Di imigrasi, paspor saya cuma dicap dan saya langsung melenggang keluar. Eh si Yasmin malah diinterogasi lamaaa banget! Petugasnya emang rese dan bersuara keras sehingga saya bisa nguping dari ujung loket. Petugas bertanya, “Dalam rangka apa ke Eropa? Ke negara mana aja rencananya? Visa Schengen kamu dari Swedia, tapi masuk dari Finlandia, kenapa? Kapan kamu ke Finlandia? Keluar dari negara mana?” Sampai lah petugas bertanya, “Mau berapa lama di Eropa? Loh kok satu bulan? Kamu cuma punya 27 hari, berarti kamu harus keluar dari Eropa sebelum tanggal 14 November 2013!” Nah lho!
Saya pun browsing tentang pengalaman orang-orang yang overstay, juga bertanya di Twitter. Kemungkinannya:
1. Nggak diapa-apain sama sekali, cuma diperingatkan sama petugas. Itu kalau lagi hoki, kalau nggak?
2. Kena denda sampai 1100 Euro. Mampus! Duit dari mana?
3. Di-ban masuk ke Schengen Area sampai 5 tahun. Kalau ada cap semacam itu di paspor bakal nggak bisa masuk ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Inggris, atau bahkan ke negara-negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat dan Australia. Wah, gawat nih bagi karir saya selanjutnya!
4. Diinterogasi abis-abisan sampai lama banget sehingga ketinggalan pesawat. Kalau apes, kudu beli tiket baru lagi yang mahal.
5. Dideportasi. Jiaah, bisa bubar dong rencana #TNTrtw setahun!
6. Beberapa atau semua kombinasi di atas. Nggak bisa ngebayangin!
Saya pun bertanya kepada teman-teman di Eropa. Semuanya menyarankan untuk pulang lebih awal saja. Apalagi saya akan keluar dari Jerman, negara yang terkenal strict. Kata teman saya Henna, “Kalau keluar dari Finlandia masih mending lah, petugasnya masih lebih baik. Tapi Jerman? Good luck aja! Saya pernah tinggal di Jerman 3 tahun, jadi tau banget gimana mereka!” Hakjleb!
Selanjutnya, hidup benar-benar tidak tenang. Selama 27 hari itu setiap hari saya dan Yasmin membahas tentang bagaimana kalau ditanya “kenapa overstay?”
Tapi ternyata kami tidak sendiri. Selama nginap di hostel, nemu beberapa traveler asal Australia yang overstay. Mereka menyarankan agar menghindari perjalanan dengan menggunakan penerbangan karena paspor pasti dicek di bandara. Kalau bisa, hindari juga naik bus karena kadang ada pemeriksaan paspor secara random di perbatasan. Paling mending adalah naik kereta api karena gerbongnya panjang dan penumpang terlalu banyak untuk diperiksa satu-satu paspornya. Ting tong! Kami dapat pencerahan yang oke banget! Maka strategi selanjutnya adalah naik KA sampai mampus! But then again, “Mereka kan paspor Australia, lah kita… Indonesia!”
14 November 2012
Hari ini batas akhir visa expired, kami tiba di Ljulbjana, Slovenia. Beginilah rasanya jadi pelarian kriminal, hidup jadi nggak tenang. Makan nggak enak, tidur nggak nyenyak, tiap liat orang berseragam bawaannya deg-degan. Rasanya saya pengen nanya sama koruptor, gimana caranya mereka bisa hidup tenang!
Yasmin pun mendapat ide brilian tentang bagaimana cara ngeles, dan kami berlatih berkali-kali dengan gantian berperan jadi petugas imigrasi dan kami sendiri. Begini (terjemahan) skenarionya;
Pertanyaan: “Kamu overstay!”
Jawaban: “Oh ya?” (pasang muka terkejut)
Pertanyaan: “Kenapa?”
Jawaban: “Bukannya benar ya? Masuk tanggal 19, sekarang tanggal 17. Berarti tanggal 19 ke akhir bulan kan totalnya 10 hari, ditambah 17 hari kan 27 hari. Pas dong.” (pasang muka tidak bersalah)
Pertanyaan: “Bego banget sih lo jadi orang! Ngitungnya bukan begitu! Oktober itu kan ada 31 hari! Tanggal 19 masuk itu sudah harus dihitung juga! Kamu seharusnya keluar tanggal 14!
Jawaban: “Oh gituu.. Salah itung dong ya?” (pasang muka memelas) “Maaf deh kalau begitu. Nggak bakal diulang lagi. Ini juga mau cabut kok.” (pasang muka tambah melas dan menyesal).
Kami juga akan memilih petugas cowok yang tua, jangan ibu-ibu apalagi nenek-nenek karena mereka lebih galak dan nyinyir. Juga membahas bagaimana kalau hanya salah satu dari kami yang bisa lolos. Kami pun sepakat agar mengantri di loket imigrasi yang sama, berbaris depan-belakang agar hasilnya sama – kalau nggak sama-sama lolos, atau sama-sama ditahan.
17 November 2012
Yang bisa kami lakukan adalah meminimalisasi, oleh karena itu kami sampai di bandara 4 jam sebelumnya. Setelah check in, kami tidak banyak omong karena sibuk “menenangkan” detak jantung yang rasanya bisa terdengar sampai ke telinga semua orang.
Inilah saatnya… antrian imigrasi! Pelan-pelan berjalan maju, tapi dengkul saya lemas sekali. Berasa mau terjun ke ujung platform bungy jump dari menara ratusan meter. Makin dekat, makin lemas. Kedua telapak tangan saya keringetan. Saya pun berdoa dalam hati agar dilancarkan. Entah bagaimana doa seorang kriminal bisa diterima.
Saat giliran saya yang maju, eh si Yasmin disuruh maju ke konter yang berbeda. Dari jauh kami liat-liatan dengan muka stres. Saya menarik napas dalam-dalam. “Hhh-haii,” kata saya sambil menyerahkan paspor. Duh, suara saya kok parau gini. Ketauan banget bersalahnya!
Petugasnya seorang pria berusia akhir 20an mengambil paspor saya. Dag-dig-dug. Membolak-balik halamannya. Dag-dig-dugg. Lalu berhenti sejenak di satu halaman. Dag-dig-dug. Dag-dig-dug. Lalu ia menarik napas dan melihat saya dalam-dalam selama beberapa detik. DAG-DIG-DUG. DAG-DIG-DUG. Saya menatapnya balik dengan bibir bergetar. Kalau di sinetron, adegan ini akan di zoom-in zoom-out antara wajah saya dan wajah petugas dan diberi bekgron suara, “Jeng jeng jeeeng.. “
Tiba-tiba ada tangan di depan muka saya bersama paspor hijau. Eh ini kan paspor saya! Lah, ternyata si petugas ngomong sepatah kata aja nggak! HOREEE!!! Maunya saya bereaksi jumpalitan, apa daya terlalu lemas sehingga saya jatuh lunglai di belakang konter imigrasi. Tak berapa lama kemudian Yasmin muncul sambil nyengir. Fuuuiiihh… Bye Europe, welcome South America!

April 9, 2013
Drama kakek-nenek di Chile

Hospedaje in Chile (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)
Untuk menjaga kewarasan traveling dalam jangka waktu yang panjang, bohong banget kalau tiap hari oke aja tinggal di dorm hostel berame-rame. Sesekali orang kan butuh privacy. Setelah 2,5 bulan #TNTrtw dan menginap di puluhan hostel, di Chile saya mendapat pengalaman baru dengan menginap di Hospedaje (dalam bahasa Spanyol, dibaca: ospedahe).
Hospedaje kurang lebih sama dengan lodging, losmen, guesthouse, atau bed & breakfast. Dimiliki oleh perorangan, dimana mereka menyewakan sebagian kamar di rumahnya untuk penginapan. Umumnya dimiliki oleh nenek-nenek sebagai mata pencahariannya di masa tua. Berbeda dengan hostel yang lebih besar dan memiliki kamar dorm (satu kamar berisi banyak tempat tidur), hospedaje biasanya memiliki beberapa kamar twin atau double, dengan atau tanpa kamar mandi privat. Karena saya traveling bareng si Yasmin, dengan menambah Rp 10.000-20.000 per orang bisa dapat kamar sendiri kan sungguh menyenangkan. Bisa bebas nyalain-matiin lampu, bisa tidur nggak pake baju, juga bisa bebas kentut! Kekurangannya, pemilik/staf tidak ada yang bisa berbahasa Inggris dan sulit dapat info tentang pariwisata setempat. Kedua hal itu ditukar dengan penginapan yang worth the value, plus nggak berisik sama backpacker ABG yang tukang mabok. Pokoknya cocok deh bagi yang udah kena “faktor U” macam saya!
Perkenalan pertama saya dengan hospedaje di kota kecil bernama Pucon. Dimiliki seorang nenek single bernama Ema yang kisah cintanya pahit karena sering banget menasehati saya, “Cowok semua brengsek, kamu harus hati-hati!” Tapi rumah si nenek merupakan penginapan terbaik yang pernah saya tinggali. Tempat tidur, sprei, bantal, selimut… semuanya bener, baik dari segi ukuran maupun kualitas bahan. Rencana menginap cuma 2 malam, berakhir jadi seminggu saking nyamannya. Karena jumlah tamu tidak banyak, kami jadi saling mengenal satu sama lain sampe kami bikin pesta barbecue menyambut tahun baru 2013 di halaman rumahnya. Semua berjalan dengan baik sampai hari terakhir saya memperhatikan rumah di sebelahnya.. ada plang bertuliskan “Funeraria” alias kamar mayat! Aaak!
Di kota Puerto Montt, hospedaje dimiliki oleh Nenek Perla dan suaminya yang sakit-sakitan, dan nggak punya fruit child (istilah si Yasmin untuk “anak buah”) yang bantuin! Parahnya si nenek udah pikun. Lagi enak-enaknya tidur, eh kami disuruh pindah ke kamar lain karena ternyata udah ditempatin orang lain. Untungnya kami dapat kamar yang lebih bagus. Malamnya kami bayar kamar supaya pagi-pagi tidak terburu-buru, eh besoknya pas check out ditagih lagi bayaran sama si nenek! Wah, gawat banget nih manajemennya!
Di kota Puerto Natales, kami booking hostel di situs langganan. Ternyata namanya doang hostel, tapi ada nenek sangat tua yang tinggal di situ. Setiap hari dia duduk di ruang tamu, melototin tamu yang keluar-masuk. Parahnya, kalau ada tamu yang masuk dapur, dia tiba-tiba ikutan masuk dapur dan duduk mengawasi dengan muka jutek. Hebatnya matanya masih awas. Sekali salah ambil peralatan dapur, dia langsung teriak! Duile, meneketehe panci mana yang boleh dipake mana yang kagak! Ternyata abis dicuci, salah naro di rak juga diteriakin! Buka kulkas, eh dia berdiri di balik pintu! Doh, gengges abis tu nenek! Padahal kamarnya lumayan nyaman, sehingga setelah 3 malam kami minta extend.
Sialnya, ada rombongan Korea datang sehingga kami dipaksa pindah ke hospedaje saudaranya yang dimiliki Nenek Gladys. Meski hospedaje itu ada dapur, tapi kompornya model tungku kuno yang cuma dia yang bisa nyalain. Sekalinya nyala, apinya nggak bisa dikecilin jadi dapur terasa panas terbakar! Baru aja megang wajan, eh tiba-tiba dia merebut wajan itu sambil ngomel kalo dapur nggak boleh dipake buat ngegoreng apapun karena dia nggak suka baunya! Lah? Kami pun bergosip dengan tamu-tamu lain. Mereka mengaku sampe dikasih kompor gas untuk kemping dan disuruh masak di halaman! Buset! Besok paginya pas sarapan, nenek Gladys memberikan kami roti dan secuil mentega dengan muka masih jutek. That’s it! Kami pun buru-buru check out.
Setelah jalan kaki 2 jam nyari penginapan, dapatlah hospedaje yang dimiliki Nenek Gloria yang mirip Martina Navratilova tua dan suaminya yang mirip Papa Smurf. Terharu deh kalo lihat mereka berdua beresin tempat tidur. Si nenek di ujung kiri, si kakek di ujung satunya, saling tarik-tarikan sprei. Dua-duanya duduk di kursi abang bakso, saking udah nggak kuat. Tapi mereka adalah kakek-nenek favorit saya karena selain ramah dan baik, kamarnya pun paling murah dengan sarapan yang dihidangkan penuh kasih sayang. Plus punya anak cowok ganteng yang single! Hehe!
Di kota Punta Arenas, hospedaje-nya dimiliki Nenek Teresa dibantu seorang bapak-bapak ganteng. Kamarnya nyaman, sarapannya enak. Anehnya, semua tamu tidak diberi kunci rumah, jadi kalau mau masuk harus pencet bel dan si bapak jam berapapun akan bangun bukain pintu! Malam hari saat saya mau ke kamar mandi, eh pintu kamar di sebelah terbuka. Dasar kepo, saya ngintip ke dalam kamar itu. Lah, isinya ternyata si nenek dan si bapak itu di satu tempat tidur! Jadi..? Besoknya saya bergosip sama tamu-tamu yang lain. Ternyata si nenek memang menikah dengan si bapak yang usianya jauh lebih muda! Hihihi! Pinter banget si nenek milih suami. Dia asyik tidur, suaminya terpaksa turun-naik tangga bukain pintu para tamu!
Bosan dengan hospedaje, di kota La Serena saya bela-belain booking di hostel ngetop. Eh mereka overbooking, jadi kami dipindah ke… hospedaje sebelahnya! Hospedaje ini mirip kos-kosan yang memanjang ke belakang. Eh isinya abang-abang gitu! Sekamar isinya 3-4 orang abang-abang ngekos. Dari penampilan mereka, sepertinya mereka tukang bangunan atau pekerja tambang. Mereka kagak pake baju, cuma celana pendekan doang, dan maen gitar! Aww, cowok Latin gitu loh! Pengurus hospedaje ini adalah Kakek Claudio yang baik dan ramah. Terlalu baik sampe saya risih karena dia naksir saya dan minta diajak pulang ke Indonesia! Halah!

Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
