Trinity's Blog, page 15

June 11, 2015

Honeymoon with myself in Zanzibar

Kadang kita pengen ke suatu tempat hanya karena nama tempat tersebut terdengar eksotis di telinga. Seperti saya pengen ke Zanzibar. Nggak kebayang sebelumnya bahwa Zanzibar itu ternyata sebuah kepulauan di negara Tanzania, di timur benua Afrika. Bahkan merupakan tempat kelahiran Freddie Mercury, vokalis Queen!


Sebelum pergi, saya browsing penginapan di Pulau Zanzibar. Penginapan murah adanya di kota Stone Town tapi tampak mengerikan karena dekat dengan pelabuhan dengan jalan-jalan yang sempit dan gelap. Hostel cuma ada satu, itu pun sekamar berdua mixed gender – hii, apa nggak takut tergoda? Secara saya traveling sendirian, di Afrika pula, borju dikit nggak apa-apa lah. Jadi lah saya memutuskan untuk tinggal di hotel pinggir pantai. Asal dekat laut, I’d be happy meski sendirian.


Akhirnya dapatlah di sebuah hotel di Pantai Uroa seharga 40 USD sekamar sendiri di satu bungalow. Cukup mahal, tapi itu yang terbaik dari fasilitas yang disediakan karena ada kolam renang dan free WiFi. Pantainya pun bukan pantai turis yang banyak beach boys dan tukang jualan gengges, jadi bisa santai gugulingan pake bikini. Hotelnya cukup gede, ada 18 bungalow. Mayan bisa kenalan sama tamu-tamu lain.


Dari Dar es Salaam saya naik feri ke Zanzibar dan minta dijemput oleh supir hotel. Rupanya jaraknya jauh juga, sekitar sejam naik mobil. Mendekati Uroa, jalanan supersepi dan ada 2 hotel lain yang sudah tutup. Ebuset, jadi hotel saya ini tinggal satu-satunya yang buka! Sampai hotel, dikasih bungalow yang jauh dari resepsionis. Pas masuk kamar, lha listrik kok mati? Katanya, jam 18.00 baru akan dinyalakan genset. Karena gelap, saya nongkrong aja di restorannya yang luas. Lhaa, kok nggak ada orang lain? “Am I the only guest here?” tanya saya. “Yes,” jawab mas resepsionis. Haa? Jadiii… saya satu-satunya tamu di satu-satunya hotel di daerah sepi ini?! Maksudnya sih mau menyepi, tapi ini kebangetan!


Sehotel searea sendirian!

Sehotel searea sendirian!


Sialnya WiFi gratis itu cuman bisa diakses di lobi hotel. Karena saya satu-satunya tamu, router-nya saya paksa bawa ke kamar – mayan untuk maen hape. Ehh, pas jam 22.00 WiFi mati! Lhaa? Mati gaya deh! Belum ngantuk gini ngapain di tempat supersepi begini? Suara terdengar cuman dengungan nyamuk dan deburan ombak. Area hotel tidak berpagar dan gelap. Satpam kagak ada. Resepsionis cuman seorang, jauh pula dari kamar. Kalau saya dirampok atau diculik, nggak bakal ada yang dengar. Mulai deh saya parno. Ini Afrika, bung! Saya pun berdoa, baca Alkitab, berkali-kali mengunci pintu, bahkan menghalangi pintu dengan kursi, dan pegang pepper spray. Rasanya saya pengen malam itu cepat berakhir. Hiy!


Saya terbangun dengan bersyukur, ternyata semalaman aman terkendali. Seharian saya pun hepi-hepi berjemur dan berenang di kolam renang dan laut sampe gosong. Pantai Uroa ini memang cantik! Pasirnya putih, teksturnya halus kayak bedak. Pantainya pun landai tak berkarang dengan air laut berwarna turquoise. Mana bersih lagi, sama sekali nggak ada sampah. Sesekali para wanita lokal yang berjilbab warna ngejreng lewat sambil membawa ember berisi rumput laut di atas kepala mereka. Selain mereka, tidak ada siapa pun. Serasa pantai pribadi banget. Yay, I’m having honeymoon with myself!


Depan hotel

Depan hotel


Sore balik ke kamar, saya mau mandi. Udah telanjang, buka kran… lha, air mati! Apa-apaan ini? Saya pun berlari ke resepsion dengan hanya berbalut handuk – mumpung nggak ada siapa-siapa. Pas lagi nyap-nyap komplen ke resepsionis, eh datanglah dua mobil gerombolan cowok lokal yang mau makan di restoran! KWAK KWAAAW! Mata mereka langsung melotot. Saya seperti mau dimakan hidup-hidup! Saya buru-buru lari ngebut ke kamar dan berharap handuk nggak melorot.


Sejam berlalu air belum nyala juga. Saya masih handukan dengan badan lengket dan diserbu nyamuk. Setengah jam kemudian datanglah staf hotel membawa dua ember berisi air. “I’m sorry, madam. The water is off. Something wrong with the plumbing. We’re calling the technician,” katanya. Huh! Baru telepon? Ini gimana mau keramas? Belum air untuk nyiram boker. Arrrgh!


Sehabis mandi ipik-ipik, saya makan malam sendiri lagi di restoran. Katanya air sudah nyala, tapi WiFi masih mati. Alasannya jaringan provider-nya lagi gangguan. Saya yakin sih mereka malas aja ngisi pulsa. Daripada bete di kamar sendiri, saya pun ngobrol sama para staf hotel.


Penduduk Zanzibar 99% Muslim. Kalau menyapa orang, bukannya “jambo” (“halo” dalam bahasa Swahili) tapi “Assalammualaikum”. Tentu saya lancar ngomong begitu – yang membuat mereka kagum karena saya dianggap fasih bahasa Swahili. “It’s Arabic,” kata saya. “No, it’s Swahili!” jawab mereka. Terserah deh, nek! Mungkin karena itu lah mereka hormat dengan orang Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sekaligus heran kenapa saya bukan Muslim.


Menariknya, seorang staf bernama Hamadi meminta saya menerjemahkan sepatah lagu berbahasa Indonesia yang selalu diputar di masjid desa Uroa setiap habis sholat Jumat. Dia pun bernyanyi terbata-bata, “Hai kalian, kaum wanita yang menderita…” HAH? Beneran bahasa Indonesia! Lagu apaan tuh? Iramanya seperti kasidah, tapi kenapa kata-katanya begitu? Dan kenapa diputar di masjid? Setelah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Hamadi tambah bingung dan bertanya, “So what’s wrong with the women in Indonesia?” Waduh, kalau nggak lengkap kalimatnya ya susah. Tapi saya jadi ngikik sendiri. Jangan-jangan itu lagu dangdut!


Hari-hari selanjutnya saya nggak parno lagi dan survived hidup tanpa internet. Makanan enak sesuai request karena semua staf hanya melayani saya seorang. Masalah air teratasi. Listrik dinyalakan 24 jam. Plus, dikasih semprotan nyamuk – yang ternyata made in Indonesia. Selain berenang dan jalan-jalan, setiap hari saya nongkrong bareng dengan para staf hotel. Malah saya sempat main ke rumah keluarga mereka di desa Uroa. Saya pun jadi belajar bahasa Swahili gratis.


Hari terakhir saya mau terbang ke Arusha dan minta diantar ke bandara. Lho, kok yang nganter sekeluarga supir? Segitu merasa akrabnya kah mereka? Supir berkata, “I’m sorry, madam. My daughter just delivered a baby. We’re all going to the hospital in town after taking you to the airport!” Saya pun tersenyum dan berkata, “Hakuna matata, kaka!” (artinya “No problem, bro!”).


P.S. Mungkin saya harus pergi ke tempat lain yang juga terdengar eksotis; Timbuktu. Apa ya yang akan terjadi di sana? :)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 11, 2015 04:00

June 1, 2015

Dugem di Afrika!

Pada dasarnya saya nggak suka sudah pensiun dari dugem. Apalagi pas traveling – sendiri pula. Udah harus keluar duit ekstra karena saya minumnya banyak, kudu mikir transportasi yang jadinya mahal karena pulang pagi berarti kudu naik taksi, belum lagi mikir keselamatan diri. Pas rencana mau traveling ke Afrika sendiri, saya nggak mikir akan pergi dugem. Eh, tau-tau ada aja yang ngajak!


Pas malam Minggu di Seychelles, seorang jurnalis cewek AS ngajak dugem dan janjian ketemu di lobi Hotel Savoy jam 22.30. Nggak taunya ada 5 jurnalis lain yang diajak juga. Hore, the more the merrier! Liat di GPS, club-nya bisa dicapai dengan jalan kaki lewat pantai. Ternyata jalannya tak semudah itu. Udah gelap, banyak anjing liar, harus melewati sungai dan tembus segala, sehingga kami harus nyeker dan kemringet.


Club-nya bernama Tequila Boom. Di sana kami ketemu lagi sesama jurnalis, sehingga kami berjumlah 10 orang. Si cewek AS ini rupanya tajir, dia mentraktir saya minum tequila berkali-kali, di luar berbotol-botol bir yang saya beli (dan dibeliin cowok. #ehm). Makin malam, club yang tidak begitu luas ini makin penuh sesak. Musiknya hip hop Amerika. Orang lokal yang bodinya gede-gede berbaju serba kekurangan bahan. Mana jogetnya egol-egol pantat sehingga tambah sumpek, jadinya kami nongkrong di bar luar. Berjam-jam kemudian kami pulang ke hotel berjalan kaki yang rasanya tambah jauh karena kami sudah tipsy. Malam pagi itu diakhiri dengan nyebur rame-rame di kolam renang hotel!


Besok malamnya, seorang jurnalis Brasil mengundang beach party tim karnaval Brasil dalam rangka perayaan kemenangannya pada Carnaval International de Victoria. Grup hura-hura kemarin pun segera beranjak. Karena kelamaan minum-minum dulu di bar hotel, rupanya pesta Brasil udah kelar. Eh tapi kok masih kedengeran suara perkusi di pantai yang lebih jauh. Rupanya pesta yang sama diadakan oleh tim karnaval Mauritius yang juga menang. Bersama tim Brasil, mereka bergantian menabuh alat-alat perkusi sambil bernyanyi dengan beat cepat. Wih, serasa pesta adat suku terasing! Kami pun ikutan joget lompat-lompat ga keruan!



Belum puas, kami pergi ke Tequila Boom, eh ternyata Minggu tutup! Balik lagi ke pantai, pesta sudah bubar. Tapi kok masih kedengeran suara musik hip hop dari tape di lobi hotel sebelah. Ternyata tim Mauritius itu lanjut berpesta bersama tim Notting Hill dari Inggris! Kami pun ikutan gabung, berpesta lagi sampai bar hotel tutup dan terpaksa harus membeli minum di Casino. Jam 4.00 pagi, anak-anak itu rame-rame nyebur ke laut dan kami pun pulang.


Seminggu sesudahnya, saya berada di Dar es Salaam, ibu kota Tanzania. Denger nama kotanya aja udah bikin serem. Boro-boro mau dugem, jalan kaki sendiri di siang bolong aja pasti kena jambret katanya. Siang harinya saya kenalan sama cowok lokal, nggak taunya dia ngajak dugem di New Maisha Club. Katanya akan dijemput jam 23.30. Say what? Jam bobo banget! Saya benar-benar ketiduran pas dia datang menjemput.


Club ini luas. Ada area semi outdoor dengan bar, kursi, meja, dan biliard di mana orang nongkrong dulu minum-minum. Tiket masuk club seharga 10.000 Shilling (sekitar Rp 75.000,-) tidak termasuk minum. Interiornya luas dan bertingkat dua. Di tengahnya dance floor dengan lantai kaca yang menyala berwarna-warni, plus lampu sorot dan laser. Orang lokalnya, baik cowok maupun cewek, berpakaian ala hip hop dengan celana kedodoran, topi baseball, dan sepatu keds. Beda banget dengan para PSK yang pake hot pants dan tank top keliatan udel! Awalnya dipasang lagu-lagu jadul, lagu dance tahun 1980-1990an Amerika. Lalu berganti jadi lagu hip hop Amerika, dan akhirnya lagu hip hop Tanzania berbahasa Swahili! Orang pun makin ramai memenuhi lantai. Dasar ya ras item itu emang diciptakan jago joget, mereka gayanya asyik banget – macam nonton film Step Up! Jam 2 pagi, lagu berganti jadi lagu Bollywood. Orang Tanzania keturunan India pun turun dengan gaya joget berantakan. Awalnya lucu, lama-lama bosan dan saya pun pulang.


Seminggu kemudian saya berada di Arusha, kota kecil di utara Tanzania. Malam itu saya makan malam bersama guide safari saya dari The Story of Africa. Karena kangen makan babi, saya diajak makan Kitimoto Choma (artinya “babi panggang” dalam bahasa Swahili) di warung pinggir jalan. Lucunya, kami duduk di sebuah bar bernama Sarafina. Ruangannya cukup luas tapi gelap. Cahaya lampu hanya berasal dari bar yang tertutup jeruji besi! Pengunjungnya pun sebagian besar geng lelaki. Widih, ghetto banget! Lalu datanglah si mbak warung bawa teko, sabun cair dan baskom. Maksudnya? Oh untuk cuci tangan sebelum makan! Anyway, Kitimoto ini enaknya luar biasa! Babi dan bir itu emang paduan yang cocok banget. Abis makan, kami menghabiskan malam dengan minum bir di bar gelap gulita sambil ditemani musik hip hop Swahili. Maisha marefu*!


Bar di Arusha

Bar di Arusha


*Cheers! dalam bahasa Swahili, yang arti harfiahnya “hidup lama” (long live). #ironis


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 01, 2015 03:05

May 25, 2015

Seksinya Karnaval di Seychelles!

Seychelles (dibaca: Sey-Syels), negara kepulauan di Afrika ini hanyalah berpenduduk 90.000 orang saja, tapi mereka punya event yang terkenal seantero dunia, yaitu Carnaval International de Victoria. Bertempat di ibu kotanya Victoria, pada 24-26 April 2015 ini adalah tahun kelima diadakannya karnaval. Setiap karnaval, negara itu dibanjiri oleh turis asing dari seluruh dunia, baik sebagai peserta karnaval maupun penonton. Saya pun mendapat kehormatan sebagai satu-satunya orang Indonesia dari antara 109 orang jurnalis dunia yang diundang untuk meliput karnaval ini. #bangga


Hari pertama merupakan malam pembukaan yang diadakan di stadion Stad Popiler. Presiden Seychelles, tamu kehormatan Raja Ghana dan Puteri Mahkota Swaziland, serta para pejabat memberikan sambutannya di atas panggung. “Look at the carnival a small country like Seychelles can stage for the world as large,” kata Alain St. Ange, Menteri Pariwisata dan Budaya Seychelles. Ih, hebat ya?


King of Ghana speech

King of Ghana speech


Lalu panggung dibuka dengan penampilan penyanyi-penyanyi ibu kota yang diiringi band lokal. Mereka juga menampilkan pemenang lomba lagu bertema karnaval 2015. Oya, lagu-lagunya berbahasa Creole. Beberapa negara peserta pun tampil di panggung dalam bentuk musik dan tarian tradisional.


Indonesia yang diwakili oleh tim dari Kepulauan Nias menampilkan tari dan nyanyi. Setelah penampilan live dari tiap negara, eh Indonesia penyanyinya lipsync! Ditambah lagi musiknya mendem, masih mono kualitas kaset gitu. Namun tarian yang ditampilkan oleh 10 penari sih bagus. Saya menggila sendiri teriak-teriak menyemangati tim Indonesia dari bawah panggung!


Setelah semalaman ada pesta rakyat, hari kedua merupakan puncak acara. Jalan-jalan utama di Kota Victoria ditutup, praktis senegara berhenti beroperasi karena hampir semua warganya tumpah ruah ke jalan. Mulai siang hari turun hujan deras, abis itu cuaca menjadi superpanas dan sangat lembap. Acara yang seharusnya mulai jam 15.00 molor 1,5 jam. Ada 60 tim, termasuk tim dari 20 negara asing, menggunakan float (kendaraan hias) berparade di jalan mulai dari Bois de Rose Avenue sampai Orion Mall.


Tim pertama adalah marching band lokal mengiringi para petinggi Seychelles. Lalu muncul lah float yang paling unik berupa giant tortoise (kura-kura raksasa khas Seychelles) yang dinaiki oleh para pemenang kontes beauty pageant dunia, yaitu Miss Seychelles, Miss Tanzania, Miss Australia dan Miss USA.


Miss Seychelles etc

Miss Seychelles etc


Puluhan float dengan sound system menggelegar lewat satu per satu. Di depan tenda VIP mereka memperagakan tarian dan/atau nyanyian selama 5 menit. Tim lokal, mulai dari sekolah, tempat fitness, hotel, sampai perusahaan konstruksi joget-joget seksi diriingi lagu hip hop Amerika. Tim yang terdiri dari sejumlah penari dan penyanyi itu berpakaian minim, mungkin karena negaranya panas. Banyak wanita yang hanya memakai bikini berwarna ngejreng dan pria bertelanjang dada, tak peduli bentuk  bodinya gimana. Makin minim bajunya, penonton makin bersorak!


Salah satu tim lokal Seychelles

Salah satu tim lokal Seychelles


Negara-negara asing pun menampilkan float sesuai dengan budaya masing-masing. Negara-negara Afrika menurut saya paling unik, ya karena saya jarang melihat budaya mereka. Swaziland, Zambia, Kenya dengan pria-pria ras hitam bertelanjang dada menari dan bernyanyi menghentak-hentak itu seksi banget! Bodi mereka emang kayak dipahat aja! #salahfokus


Tim Swaziland bersiap sebelum tampil

Tim Swaziland bersiap sebelum tampil


Peserta dari negara Asia lah yang paling tertutup bajunya dari ujung kepala sampai kaki! Kelihatan sih mereka lodoh keringetan. Tiongkok dengan pasukan kungfu, Korea Selatan dengan tim martial arts diiringi lagu boy band, Kamboja dengan tarian tradisionalnya yang slow, India dengan tarian muter-muter beat cepat. Tapi float mereka saya akui bagus dan dipikirin detailnya.


Cambodian float

Cambodian float


Tim Indonesia naik dua float yang dihias dengan rumah tradisional Nias dibalut spanduk digital print yang kurang rapi. Mereka menampilkan tarian dan… atraksi lompat batu! Batunya sih artifisial, tapi tiga cowok Nias itu sambil nyeker di aspal bisa lompat setinggi 2 meter itu keren banget! Para penonton berkali-kali bilang “WOW!” sampai saya merinding!


Tim Indonesia!

Tim Indonesia!


Yang biasa-biasa aja malah tim negara barat. Maklum mereka kurang kaya budayanya. Contohnya Spanyol menampilkan kwartet pegitar yang nyanyi lagu jadul Macarena dan Jerman menampilkan tim semacam cheer leaders. Paling parah tim Italia. Mereka menampilkan tokoh-tokoh superhero dan kartun, mulai dari Batman, Spiderman, Lara Croft, sampai Minion dan Mickey Mouse! What’s so Italian about that huh?


Di penghujung iringan float, penonton kembali heboh karena melihat tim Brasil. Kebayang kan kostum karnaval samba mereka? Yep, yang cewek pake topi bulu-bulu tinggi sih, tapi kostumnya cuman nutupin puting dan anunya, sementara toket dan pantat mereka telanjang! Wohooo! Masyarakat menggila rebutan motret, sampe saya kelelep.


Float terakhir adalah tim Notting Hill dari Inggris yang paling keren menurut saya. Maklum, mereka adalah grup spesialisasi karnaval. Emang paling niat dari segi kostum, musik, dan atraksinya – yang sampai ada tim sepeda motor menggilas orang tiduran! Sayangnya hari sudah gelap, jadi hasil foto pun ancur. Acara karnaval pun ditutup dengan pesta rakyat semalam suntuk berupa live band dan DJ di Freedom Square dan Waterfront.


Hari terakhir pada 26 Maret 2015 yang diadakan di Freedom Square berupa karnaval khusus anak-anak dan keluarga, serta festival kuliner lokal. Di panggung utama ditampilkan acara hiburan dari pesulap dan band lokal, dan penampilan dari beberapa negara peserta – termasuk tim Brasil yang bikin heboh!


Tim Brasil!

Tim Brasil!


Sorenya diumumkanlah para pemenang karnaval oleh Menbudpar Seychelles. Ada 4 kategori, yaitu Best School Float, Best Local Float, Best Cultural Float, dan Best International Float. Kamboja memenangkan juara kedua kategori Best Cultural Float. Sedangkan untuk Best International Float juara ketiganya adalah Mauritius, juara keduanya adalah Brasil, dan juara pertamanya adalah Notting Hill dari Inggris. Sudah ketebak sih.


Indonesia nggak menang apa-apa, tapi seharusnya sih kita bisa lebih baik. PR selanjutnya, kapan dong Indonesia bikin karnaval yang bertaraf internasional? Eh tapi harus pake baju tertutup ya? Negara-negara selain Asia nggak boleh ikutan dong! :)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 25, 2015 03:00

May 18, 2015

The Extraordinary Flores!

Sebagian besar orang yang sudah pernah ke Flores di Nusa Tenggara Timur, tapi seringnya cuman sampe Labuan Bajo dan Komodo. Saya juga begitu. Padahal Flores merupakan pulau yang luasnya nyaris 2,5 kali lebih besar daripada Bali. Sebenarnya setelah Komodo, saya pengen ke Danau Kelimutu. Sayangnya pada April 2015 jalannya lagi longsor sehingga tidak memungkinkan dilalui. Akhirnya saya hanya main di bagian tengah Flores aja dalam waktu 4 hari.


Saya terbang dari Denpasar menuju Ende naik pesawat Garuda Indonesia, dengan transit di Labuan Bajo sebentar. Nama Ende dulu saya dengar karena Soekarno pernah dibuang oleh Belanda ke sana. Ternyata rumah bekas tempat tinggalnya masih ada dan dijadikan museum. Rumah berkamar tiga ini pernah ditanggali Soekarno bersama Ibu Inggit pada tahun 1934-1938. Furniturnya masih terpelihara dengan baik, bahkan tapak tangan Soekarno saat sujud aja masih ada di musholanya.


Soekarno's House

Soekarno’s House


Yang lebih hebat lagi adalah Taman Renungan Pancasila yang terletak 100 meter dari rumah tersebut. Tau nggak kalo Pancasila itu dirumuskan oleh Soekarno di bawah pohon sukun di situ? Dulu Soekarno mandangin sukun yang bersegi lima itu, merenungi, dan akhirnya kita semua hapal luar kepala kelima sila Pancasila. Saat ini sekelilingnya telah dijadikan taman kota dan ada patung Soekarno sedang duduk.


Sekitar setengah jam dari Ende, saya mampir ke Blue Stone Beach. Aslinya bernama Pantai Penggajawa, entah kenapa namanya berubah meski saya setuju karena namanya menjelaskan tempatnya. Ya, pantai tersebut penuh bebatuan berwarna gradasi biru! Ajaib bener! Terlihat beberapa penduduk lokal mengumpulkan bebatuan tersebut untuk dijual, konon sampai ke Jepang.


Blue Stone Beach

Blue Stone Beach


Menjelang malam, saya tiba di Riung, desa nelayan yang terletak di utara Pulau Flores. Saya menginap di Pondok SVD, sebuah hotel kecil yang dikelola oleh gereja Katolik. Keesokan paginya dengan menyewa boat, saya menyelusuri Taman Laut Riung 17 Pulau. Sebenarnya sih jumlah pulaunya ada 24 buah, namun karena 17 merupakan angka “keramat” maka penduduk setempat menyebutnya 17.


Pertama saya mampir ke Pulau Kalong atau Flying Fox Island. Saya pikir yah cuma beberapa aja kelelawarnya, ternyata ada ratusan bahkan ribuan. Kelelawar tersebut tidur terbalik pada ranting pepohonan dengan krukupan “jubah” hitam persis kayak Batman.


Setelah snorkeling di Pulau Tiga, saya ke Pulau Rutong yang tak berpenghuni. Widih, pantainya adalah salah satu yang terbaik di Indonesia untuk berenang versi saya! Airnya bening, pasirnya putih halus, pantainya landai tak berkarang dan tak berbatu, sehingga serasa berenang di kolam renang. Di belakangnya terdapat bukit yang bisa dinaiki, tapi mana mau saya manjat-manjat gitu.. mending puas-puasin berenang! Makan siang pun tinggal bakar ikan. Nikmat bener!


Rutong Beach

Rutong Beach


Sore harinya perjalanan menuju Bajawa. Sebenarnya jarak Riung-Bajawa cuman 72 km. Kalau jalan aspal mulus yah kira-kira 2 jam lah, tapi karena jalannya sempit dan agak rusak maka ditempuh dalam waktu 4-5 jam! Untungnya pemandangan keren; bukit-bukitnya kayak di film seri Teletubbies!


Between Riung and Bajawa

Between Riung and Bajawa


Sampai di Bajawa saya langsung pake jaket. Maklum, kotanya terletak di ketinggian 1.100 mdpl. Habis panas-panasan di laut, langsung terasa dinginnya udara pegunungan. Keesokan subuh, saya ke bukit Wolobolo untuk melihat matahari terbit. Dari atas bukit langsung dapat terlihat dua gunung yaitu Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Warna langit yang bergradasi kuning dan merah menyembul dari gunung emang gila kerennya!


Kelar sarapan, saya berkunjung ke Desa Bena . Desa ini paling terkenal di antara para wisatawan karena paling tourist friendly; penduduknya yang sadar wisata, bisa beli langsung tenun ikatnya, dan tersedia toilet umum yang bersih. Desa megalitikum sejak 1200 tahun yang lalu ini terdiri dari 45 rumah beratap tinggi serta beberapa bangunan simbolis adat dan tumpukan batu yang merupakan makam. Di atas bukit terdapat Gua Maria yang juga merupakan view point memandang desa yang dikelilingi pegunungan ini.


Bena Village

Bena Village


Dari situ saya ke Malanage Hot Spring di tengah hutan. Biasanya kan hot spring adanya di kolam, nah yang ini ada di sungai. Uniknya, ada dua aliran air, yaitu air panas yang mengandung sulfur berasal dari Gunung Inerie dan air superdingin dari mata air. Kedua aliran itu bersatu di sebuah sungai! Berendamnya sih harus milih tempat agar suhu airnya pas hangat.


Siangnya saya ke Desa Gurusina untuk makan siang; ikan kuah kuning, ayam goreng, sayur, nasi, singkong rebus, sambal.. ah, nikmat! Desa ini meski di tanah yang rata namun dikelilingi perbukitan hijau. Biasanya wisatawan trekking dari Desa Bena ke sini, cuman saya malas karena bisa naik mobil juga kok :)


Sebelum kembali ke Ende, saya mampir ke Papa Wiu untuk melihat secara langsung proses pembuatan kopi mulai dipetik sampai jadi bubuk. Bajawa memang terkenal akan kopi Arabikanya yang premium. Sore itu saya pun ngopi dan membeli kopinya sebagai oleh-oleh.


Liburan singkat di Flores ini membuat saya makin cinta alam dan budaya Indonesia. Destinasi Flores pun komplit; mulai dari museum, desa adat, perkebunan kopi, hot spring, gunung, sampai pantai yang kece! Benar-benar Flores itu extraordinary!


TIPS


Info lengkap tentang destinasi wisata di Flores, silakan cek FloresTourism.com.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2015 09:45

April 30, 2015

[Adv] Manado, destinasi liburan yang menyenangkan!

Manado sepertinya sudah pudar kesohorannya. Padahal dulu, liburan ke Manado itu dianggap eksotis. Jauh sebelum “ada” Raja Ampat, Wakatobi dan Komodo, diving di Bunaken itu bak pergi “naik haji”-nya para diver Indonesia. Saya sendiri sudah berkali-kali ke Manado dan Bunaken sejak tahun 1990an. Setelah terakhir 2008, akhirnya saya menginjakkan kaki lagi ke sana pada awal April 2015.


Saya mengajak salah satu sahabat saya sejak SMA, Sri, yang dapet cuti “mother days’ off”. Btw, saya sangat setuju bahwa seluruh ibu di dunia boleh liburan sendiri tanpa suami dan anak-anaknya. *colek para suami*


Karena agenda utama liburan kami adalah leyeh-leyeh, maka kami memilih untuk menginap di resor yang terletak persis di tepi pantai. Satu-satunya hotel yang model begitu di Manado adalah “Manado Tateli Beach Resort”. Dulunya bernama Sedona, tapi sudah pindah kepemilikan. Sudah setahun belakangan, hotel ini sedang berbenah diri dengan merenovasi exterior dan interiornya. Manajemennya saat ini dipegang oleh Accor Hotels, sehingga saat selesai renovasi ia akan menyandang nama brand Mercure.


Kamar yang telah direnovasinya keren banget. Interiornya modern dengan tema laut. Dari balkon kamar, pemandangan langsung menghadap laut, gunung Manado Tua, taman, dan kolam renang. Area resor ini emang luas banget ; 2,4 hektar! Bangunan hotel yang jumlah kamarnya 143 ini bertingkat 4, sisanya ada kebun sayuran, lapangan tenis, gym, kolam ikan, jogging track, pantai, bahkan wedding chapel yang keren! *brb, cari suami*


Newly renovated room @ MTBR

Newly renovated room @ MTBR


Manado yang juga terkenal karena kelezatan makanannya sudah langsung tersedia di hotel. Bayangin, sarapan di Kopi’o Restaurant aja ada Nasi Kuning dan Bubur Manado! Yumm! Kalau belum puas, naik mobil sekitar 5 menit udah nyampe di daerah Kalase di mana terdapat jejeran restoran seafood yang enak-enak.


Nggak mantap ke Manado tanpa ke Taman Nasional Bunaken yang tersohor itu. Ternyata ada Dive Center di hotel, yaitu Minanga Divers. Tinggal pake bikini, jalan kaki ke pantai, naik deh speed boat ke Bunaken yang cuma memakan waktu sekitar 40 menit. Ternyata diving di Bunaken tetap bagus! Rasanya tidak beda dengan diving 7 tahun yang lalu; visibility bagus, ikan tetap buanyak, terumbu karang tetap sehat. Ditambah dengan akses yang mudah dan fasilitas yang baik, tidak ada alasan untuk tidak diving di Bunaken deh. Yang kagetnya, saya adalah orang Indonesia satu-satunya yang sedang diving di situ saat itu. Duh, bule-bule aja terbang ribuan km untuk menikmati Bunaken, mengapa kita tidak?


Pulau Bunaken

Pulau Bunaken


Abis diving, paling enak kan spa. Nah, di hotel ini ada Martha Tilaar Salon Day Spa. Pas banget kan? Saya nyobain paket Aromassage Body Wellness di ruangan serba kayunya yang luas. Terapisnya diimpor dari Jawa yang sudah pengalaman, jadi pijatannya mantap!


Martha Tilaar Spa

Martha Tilaar Spa


Hari berikutnya kami jalan-jalan ke Tomohon pake private tour yang bekerja sama dengan hotel. On the way ke sana, kami mampir ke Monumen Yesus Memberkati. Sudah lama denger, baru kali ini lihat. Patung Yesus setinggi 30 meter ini tingginya sama lho dengan Christ the Redeemer di Rio de Janeiro! Hebat yah, Manado! Dari situ kami ke makam pahlawan Imam Bonjol, yang ternyata tak jauh dari Kota Manado. Ih, saya baru tahu beliau dimakamkan di sana.


Di Tomohon, kami mengunjungi Bukit Doa. Wisata religius untuk umat Katolik ini terdapat Jalan Salib, Gua Maria, replika gua makam Yesus, amphitheater dan wedding chapel di tempat yang sungguh asri. Tempat keren lainnya adalah Danau Linaow yang sebenarnya merupakan kawah sulfur berair kehijauan dan enak untuk tempat ngopi.


Danau Linaow

Danau Linaow


Ah, menurut saya Manado masih menjadi destinasi liburan yang sangat menyenangkan! And oh, did I mention super delicious Manadonese food?


#TNTquiz


Mau liburan ke Manado juga? Menangkan 2 voucher menginap 1 malam gratis di Manado Tateli Beach Resort (masing-masing untuk 2 orang di newly renovated room, termasuk breakfast)! Caranya gampang; follow Twitter @ManadoTateli dan Instagram @manadotateli, posting foto Anda di pantai manapun disertai alasan yang menarik mengapa suka pantai, mention akun Twitter/Instagram @ManadoTateli dengan hashtag #TNTquiz sebelum 31 Mei 2015.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 30, 2015 03:15

April 20, 2015

India bersalju di Jammu & Kashmir

Jammu & Kashmir adalah state yang terletak di paling utara negara India. Karena dekat dengan pegunungan Himalaya, maka tak heran di sana cuacanya relatif lebih dingin dan pada musim winter pun turun salju. Jammu & Kashmir terbagi menjadi 3 region, yaitu Jammu, Kashmir, dan Ladakh. Karena segregasi antaragama, mayoritas penduduk Jammu adalah penganut Hindu, di Kashmir adalah Islam, dan di Ladakh adalah Buddha. Lucunya, ibu kota state tersebut terbagi dua; Srinagar adalah ibu kota saat summer, sedangkan Jammu adalah ibu kota saat winter. Bayangkan, para PNS yang kerja di situ pindah rumah setiap 6 bulan!


Dari dulu kita mendengar dari berita bahwa daerah tersebut bahaya dan sulit didatangi karena diduduki militer. Bahkan pada September 2014 terjadi banjir sehingga jalan putus. Masih ingat Udhi, teman sekelas saya di buku #TNT3? Dia berasal dari Kashmir yang pada saat kuliah terpaksa kabur ke Delhi karena rumahnya dibakar akibat konflik antaragama. Meskipun semua teman India saya bilang bahaya, namun gara-gara salah satu setting film Bollywood berjudul “3 Idiots” saya justru tambah pengen ke sana. Kesempatan itu pun datang pada Maret 2015.


Untuk gampangnya, kita dapat terbang langsung dari Delhi ke ibu kotanya, yaitu ke Jammu (ibu kota Jammu), Srinagar (ibu kota Kashmir), atau Leh (ibu kota Ladakh). Saya memilih mengunjungi kedua kota terakhir. Sebenarnya antarkota tersebut dapat dilalui jalan darat, namun karena bersalju jalan tertutup dan tidak disarankan. Bila Anda terbang ke sana, jangan lupa minta duduk di window seat sebelah kanan. Astagaa… pemandangan pegunungan Himalaya itu benar-benar spektakuler!


Mendarat di bandara Srinagar dan Leh, sebagai turis asing kita wajib mendaftarkan diri dengan mengisi formulir yang sangat detil seperti tinggal di hotel mana, pekerjaannya apa, ngapain ke sana. Saya cukup syok melihat banyak sekali tentara bersenjata di mana-mana, bahkan di sepanjang jalan tiap 25 meter! Belum lagi truk militer yang hilir mudik. Meski rasanya seperti sedang berada di daerah konflik, namun itu adalah hal yang biasa. Maklum Jammu & Kashmir ini berbatasan dengan Pakistan dan China, bahkan sebagian wilayahnya memang masih sengketa. Tapi saya sebagai turis sih justru merasa aman-aman aja.


Di Srinagar, saya tinggal di houseboat bernama Meena. “Rumah kapal” ini terletak di Dal Lake yang pemandangannya gila banget kerennya! Bayangkan, danau yang airnya bening bak kaca sehingga refleksi awannya bisa kelihatan pada permukaannya, lalu dikelilingi pegunungan Himalaya yang puncaknya bersalju dan bukit berpohon almond yang keunguan dan pinus yang hijau. Tak heran Kashmir dijuluki sebagai “mini Swiss”! Tiap sore kerjaan saya naik shikara (kapal tradisional yang didayung) keliling danau dan nongkrong di atas atap houseboat menunggu sunset.


Dal Lake, Srinagar

Dal Lake, Srinagar


Srinagar terkenal dengan taman-taman cantiknya yang ada sejak zaman Kekaisaran Mughal (abad 15-18). Jama Masjid-nya menurut saya adalah mesjid tercantik di India yang pernah saya lihat. Tempat teruniknya adalah mesjid Hazratbal yang dipercaya menyimpan rambut Nabi Muhammad SAW. Lebih anehnya lagi, di Rozabal ada kuburan yang dipercaya sebagai makam Yesus! Konon gosip ini disebarkan oleh tukang jualan di sana agar turis mau mampir sehingga dagangannya laku. Hahaha! Yang jelas sih, cowok Kashmiri yang mirip orang Persia itu ganteng banget! Tuh yang doyan cowok India putih dan ganteng, Muslim pula, silakan datang langsung! :)


Demi ketemu salju, saya naik mobil lebih dari sejam untuk mengunjungi Gulmarg. Selain merupakan pusat orang bermain ski, Gulmarg memiliki cable car nomor dua tertinggi di dunia. Karena terletak di pegunungan Himalaya maka ia mencapai ketinggian 3.979 meter di atas permukaan laut! Dari stasiun pertamanya saja saljunya sudah menggunung mencapai atap rumah. Gondolanya sendiri berkapasitas maksimum 6 orang, namun saya hanya duduk berdua guide. Tahap pertama ke Kongdoori Station (3.080 m), eh mati listrik sampai 3 kali! Gila, gimana nggak deg-degan? Tahap kedua ke stasiun di puncak gunung dan saya pun turun. Melihat dataran salju begini, langsung saya gogoleran di salju dan foto narsis!


Gulmarg Gondola

Gulmarg Gondola


Leh sendiri berada di ketinggian 3.524 mdpl. Begitu mendarat, saya pun disuruh tidur setengah hari untuk aklimitasi supaya nggak kena mountain sickness. Wih, kepala pusing dan perut mual! Sorenya baru saya jalan-jalan sambil termegeh-megeh keliling Leh. Kota kecil ini terletak di tanah berpasir kecoklatan mirip di gurun. Saya mengunjungi antara lain Leh Palace dan Shanti Stupa yang terletak di atas bukit. Pemandangan kota Leh yang dikelilingi pegununang bersalju keren banget! Saat winter, kota ini relatif sepi. Banyak penduduk yang memilih bekerja di tempat lain yang lebih hangat. Orang Ladakhi mukanya mirip orang Tibet. Mereka pun ramah dan menyenangkan.


Thiksey Gompa

Thiksey Gompa


Biara Buddha aliran Tibet tersebar di Ladakh, antara lain Sankar Gompa, Shey, dan Stok Gompa. Yang paling cantik di Thiksey karena berada di bukit ketinggian 3.600 mdpl dan bertingkat 12 sehingga terlihat sejajar dengan awan! Biara terbesar terdapat di Hemis yang terletak 45 km dari Leh. Perjalanan ke sana disuguhi pemandangan spektakuler. Pegunungan berlapis-lapis dengan gradasi warna coklat, kuning, biru, dan ditutup putihnya salju di puncaknya. Sungai berair turquoise. Ratusan stupa berwarna putih yang tersebar dan bendera doa warna-warni. Para biksu yang sebagian besar anak-anak sampai belasan tahun berjubah merah berjalan beriringan. Dan pemandangan surreal ini pun diiringi dengan turunnya salju… Ah, indahnya! Benar-benar Incredible India!




PS: Foto-foto lainnya bisa dilihat di Instagram @trinitytraveler


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 20, 2015 23:49

April 4, 2015

Sungai Gangga yang bersih

Bersih? Masa sih? Kalau lihat dari berita, Sungai Gangga di India tampak sangat jorok. Berbekal ekspektasi yang rendah, saya pun ke sana. Terlepas dari jorok tidaknya, saya ingin ke sana karena sungai tersebut merupakan sungai suci bagi umat Hindu.


Sungai Gangga (dalam bahasa Inggris disebut “Ganges”) diambil dari nama Dewi umat Hindu yang dipercaya dapat memberikan kesuburan dan membersihkan dosa. Dengan mandi air suci Sungai Gangga ini lah, maka segala dosa dapat terhapus dan manusia dapat terselamatkan. Tak heran, abu jenazah yang telah dikremasi dilarung di sungai ini sebagai penghantar masuk ke surga.


Sungai Gangga sendiri panjangnya 2.525 km mulai dari Himalaya sampai ke Teluk Benggala, kira-kira sama jaraknya dari Banda Aceh ke Jakarta. Meski sungai tersebut banyak melewati kota di India, namun pusatnya terdapat di Varanasi. Kota itu disebut sebagai “Kota Tersuci di India” karena merupakan tempat favorit Dewa Siwa. Ia juga merupakan kota tertua di dunia yang masih ditinggali sejak abad 11 SM sampai saat ini.


Karena nyampe sore di Varanasi, malamnya saya langsung ke Sungai Gangga untuk menyaksikan Ganga Aarti atau ritual doa bersama umat Hindu yang diadakan setiap malam di pinggir Sungai Gangga. Dari parkiran mobil, saya harus berjalan kaki lumayan jauh melewati pasar yang chaos, lalu tiba di Dashashwamedh Ghat. Tangga bertembok menuju sungai disebut ghat dalam bahasa Hindi. Tangga Dashashwamedh ini terpenting di Sungai Gangga karena Dewa Brahma yang menciptakannya untuk menyambut Dewa Siwa, juga tempat Dewa Brahma mengorbankan 10 kuda.


Menuruni tangganya, saya langsung merinding. Nggak nyangka saya akhirnya sampai di Sungai Gangga – sungai yang sering saya dengar sejak kecil dari pelajaran sekolah! Namun di kegelapan sungainya tidak terlihat karena dipenuhi oleh kapal-kapal kayu yang merapat. Sementara di bibir sungai terdapat 7 panggung kecil yang dikelilingi manusia. Daripada klaustrofobik, saya memilih duduk di atap sebuah restoran dengan membayar INR 50.


Di atas panggung 7 pendeta berkain kuning berdiri. Dengan meniup cangkang keong, doa dimulai. Doa yang terdengar seperti lagu himne ini diputar melalui pengeras suara, diikuti oleh para umat dan diiringi dentang simbal. Para pendeta seperti menari mengikuti irama dengan memegang dupa serta lampu api. Tujuh asapnya yang membumbung ke udara dan harum kayu cendananya menambah magis suasana. Lagi-lagi saya merinding.


Katanya kalau ke Sungai Gangga paling oke saat matahari terbit untuk merasakan suasana magisnya. Maka keesokan subuh, saya kembali ke Sungai Gangga masih melalui Dashashwamedh Ghat. Sepagi itu susana sudah hiruk pikuk; orang lokal berganti baju mandi, anak kecil menawarkan flower candle untuk memanjatkan doa, dan puluhan pemilik kapal kayu menawarkan jasanya di pinggir sungai. Saya dan pemandu melompat ke salah satu kapal yang didayung oleh seorang pria muda.


Kapal bergerak melawan arus ke arah kanan menyusuri Sungai Gangga. Rupanya sungai ini sangat lebar, kira-kira 1 km. Suasana yang mulai terang membuat mata saya memperhatikan detil sungai. Sungguh, saya melihat sungai yang bersih tanpa sampah! Tidak ada botol plastik, bungkus plastik, kotoran, atau apapun di sungai. Lalu saya mencelupkan tangan ke dalam air sungai dan menampung airnya di telapak, wah… airnya bening! Saya pun tidak mencium bau apapun!


Mata saya pun tertuju kepada serangkaian ghat. Setiap hari ada 60.000 orang yang mandi di air suci Gangga ini. Tak heran banyak orang berdiri di pinggir sungai; pria memakai celana pendek atau sarung dan wanita memakai kain menutupi dada sampai betis. Saat berdiri, airnya hanya sebatas pinggang. Lalu mereka menyelupkan tubuhnya sebentar sambil berdoa komat-kamit. Sebagian orang mandi menggunakan sabun dan sampo, malah ada yang menggosok gigi.


20150323_074833


Kapal terus berjalan dan matahari mengintip dari balik pepohonan di seberang sungai. Bentuknya bulat sempurna, berwarna sangat oranye, dan tampak dekat. Dengan langit tanpa awan, sinarnya membanjiri permukaan sungai dengan warna keemasan. Wow, ini merupakan salah satu sunrise terbaik yang pernah saya lihat!


Sunrise over the River Ganges

Sunrise over the River Ganges


Saya menengok ke kanan, terlihat orang-orang mencuci pakaian dan seprei. Melihat jumlahnya yang banyak dijemur merentang di atas ghat, mereka rupanya pekerja laundry. “Kemungkinan sprei hotel kamu tuh dicuci di sini,” kata pemandu sambil terkekeh.


Kapal berjalan lagi 15 menit, sampailah kami di Harischandra Ghat. “Mohon jangan memotret,” kata pemandu. Saya pun melihat jenazah yang sedang dikremasi di atas tumpukan kayu di atas ghat. Setelah itu, abunya dilarung ke sungai. “Di sini 50 orang per hari yang dikremasi,” tambahnya.


Kapal pun berbalik arah mengikuti arus sungai. Jadi jika aliran air mengikuti arus, secara otomatis urutannya adalah: air yang mengandung abu jenazah, dipakai nyuci baju, dipakai mandi, lalu air yang sama dipakai untuk gosok gigi! Ewww! “Tenang aja, airnya kan banyak, berarus, dan sungainya lebar kok,” terang pemandu.


Kami terus menyusuri sungai, dan pemandu bercerita tentang bangunan-bangunan kuno di sepanjang sungai. Karena kesucian sungai ini, banyak Raja Hindu dari berbagai daerah di India membangun istana sejak ratusan tahun yang lalu. Saat ini sebagian telah berubah fungsi menjadi hotel. Ada juga sekolah pendeta Hindu yang murid-muridnya setiap pagi melakukan yoga bersama. Selain itu, terdapat sejumlah candi pemujaan terhadap Dewa Siwa. Sinar matahari keemasan menerangi serentetan bangunan berwarna-warni tersebut memang tampak spektakuler!


Salah satu istana

Salah satu istana


Mendayung dari Harischandra Ghat sepanjang 6 km, sampai lah kami di Manikarnika Ghat. “Di sini 150 orang per hari dikremasi,” kata pemandu. Lalu… saya lihat ada 2 mayat tertutup kain diletakkan di pinggir sungai! Dua pasang kaki mereka yang berwarna pucat dicelupkan ke dalam sungai sebelum dikremasi. Aduh, saya langsung buang muka!


Kami turun di ghat selanjutnya, lalu meneruskan berjalan kaki di antara gang sempit. Sepanjang gang terdapat toko, warung makan, sapi berkeliaran, candi, dan tumpukan kayu. Untuk sekali kremasi dibutuhkan sekitar 70 kg kayu yang dapat membakar jenazah dalam 2,5 jam menjadi abu. “Kasihan orang yang miskin yang tidak sanggup membayar biaya kremasi. Keluarganya cuek aja membuang jenazahnya di sungai. Tapi ada juga orang yang tidak boleh dikremasi, seperti jenazah anak kecil atau ibu hamil. Caranya, mereka ditenggelamkan ke dasar sungai dengan menggunakan pemberat dari batu. Kadang talinya lepas sehingga mayatnya mengambang,” kata pemandu dengan tenang. WHAT? Untung dari tadi saya tidak lihat!


Intinya, secara kasatmata menurut saya Sungai Gangga sih bersih. Malah jauh lebih bersih daripada sungai/kali yang ada di Jakarta di mana sampahnya yang menumpuk, superbau, dan bikin banjir. Kalau secara tidak kasatmata, sungai di mana pun sih nggak janji ya!



Quiz


Udah follow Instagram saya @trinitytraveler? Banyak foto keren tentang trip saya ke India baru-baru ini lho! Nah, yang mau traveling GRATIS ke India, ikutan aja “My Incredible India Journey Contest”. Pasang foto selfie yang diambil di semua rangkaian acara Festival of India 2015 di Indonesia dengan menyertakan nama, umur, nama acara dan kota tempat foto diambil. Tag Twitter @IndianEmbJkt atau Facebook Fanpage Embassy of India in Jakarta dengan hashtag #SahabatIndiaContest, sebelum 22 Mei 2015. Info lengkap di sini.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2015 08:42

March 19, 2015

One random night in Surfers Paradise

Suatu malam pada Juni 2014, sampai lah saya di Surfers Paradise, Australia. Saya teringat punya teman yang tinggal di situ, yaitu Christian dan Larissa – sepasang Aussie yang pernah traveling bareng di Filipina 10 tahun yang lalu. Thanks to Facebook, saya bisa terhubung lagi dengannya. Akhirnya kami bertemu. Christian mengajak saya “getting pissed”, istilah Aussie untuk minum-minum sampe lodoh. Sayangnya Larissa, yang kini telah menjadi istrinya, tidak bisa ikut.


Menambah ke-random-an malam itu, saya sedang traveling ke Australia bareng Daniel Mananta, host Indonesian Idol yang ngetop itu. Gile, jalan bareng artis, bo! Eh malam itu Daniel minta ikutan dugem bareng. Ya udah, saya bilang bahwa Christian ini orangnya gokil dan pasti ngaco. Saya sendiri nggak tau mau diajak ke mana. Daniel malah setuju.


Christian beli alkohol

Christian beli alkohol “drive-thru” :)


Christian mengajak kami ke sebuah pesta temannya teman dia. Nah, mulai nih ngaconya. Jadi, Christian punya teman namanya Jack, si Jack ini punya teman namanya Fernanda. Nah, si Fernanda ini adalah cewek Chile yang ngadain farewell party di apartemennya. Lah, masa yang diundang si Jack, yang dateng segerombolan orang tak dikenal? Kata Christian, “No problem! The more the merrier! Party di Australia itu ya begitu, kita datang ke rumah orang sambil bawa minum sendiri.”


Kami pun mampir ke supermarket untuk membeli bir masing-masing serenteng. Ternyata pesta diadakan di kolam renang apartemen Fernanda. Isinya full sama orang Amerika Selatan. Yep, all the Latinos! Saya tentu semangat karena bisa mempraktekkan bahasa Spanyol yang sudah lama nggak dipakai. Kenalan sana-sini, ngobral-ngobrol, kakak-kikik, jadilah saya berbaur dengan mereka yang kira-kira berjumlah 30 orang. Tentu saya yang paling tua! Rata-rata mereka berusia awal 20an dan ke Australia dengan visa working holiday.


Si Daniel pun asyik ngobrol sana-sini, sampai ketika ada cowok Asia yang datang dan menjerit, “Wow! An Indonesian celebrity is in the house!” dan semua orang menoleh ke Daniel. Rupanya dia anak Indonesia yang tinggal di sana. Saya ngakak! Belakangan kami baru tau bahwa pesta ini diadakan Fernanda karena dia akan pergi berlibur 2 minggu di Australia. Duile, ngapain bikin pesta segala ya?


Kebanyakan minum, saya pun ke kamar mandi yang berada di basement. Baru aja mengancingkan celana… tiba-tiba lampu mati! Di kegelapan saya merambat keluar. Eh, saya disambut oleh dua orang polisi berseragam! Nah lho, ngapain polisi ada di sini? “Are you the last person in the toilet?” tanyanya.


Yes. But… where are my friends?” Saya melihat area kolam renang yang sepi-pi-pi! Apa-apaan ini?


You are not allowed to have party after 9 PM in this apartement, so your friends may be outside!”


Astaga, norak amat pesta dibubarin polisi! Kayak pesta anak ABG aja. Ini baru jam 9 malam dan saya lagi tinggi-tingginya! Saya dihalau keluar oleh polisi. Ternyata semua orang sudah di halaman parkir depan lobi. Teman-teman saya tertawa melihat kepanikan saya. Minum tanggung gini bikin semua orang pengen nerusin pesta. Diputuskan lah untuk meneruskan party di sebuah club. Saya dan Christian berjalan kaki duluan. Jack entah ke mana sama Fernanda. Daniel pulang duluan.


Sampai lah kami ke sebuah bar dan memesan bir lagi. Tunggu punya tunggu, sampai sejam, tak kelihatan sebatang hidung pun orang-orang yang di pesta tadi! Jack tidak mengangkat telepon Christian pula. Lama-lama baru sadar bahwa club itu ada di atas bar! Kami pun naik ke atas. Kabar gembiranya, malam itu ada promo free unlimited champagne for ladies dan birnya juga cuma AUD 2.50/botol. Horeee! Di dalam kami pun bertemu dengan geng Fernanda, termasuk Jack yang kelihatan lagi sibuk menggebet.


Lagi-lagi saya kebelet pipis. Kata Christian, “Tuh ada di ujung!” Saya pun mengikuti arahnya. Buka pintu club, belok kiri, buka pintu toilet. Widih, toiletnya bersih amat. Sepi pula nggak ada orang. Tumben toilet club keren begini. Begitu kelar, saya buka pintu toilet dan buka pintu ke club. Ehh… kok kekunci? Nah lho! Saya coba lagi dorong yang keras. Masih bergeming. Saya ketok-ketok, tidak ada jawaban. Pintu kayu ini luar biasa tebalnya, sound proof, sampai tidak terdengar keramaian di club. Lha, gimana orang-orang mau ke toilet kalau gini caranya? Saya menunggu 5 menit, kali-kali aja ada orang yang mau ke toilet dan buka pintu.


5 menit lagi menunggu, tidak ada orang yang buka pintu. Saya pun menelepon Christian. Tidak diangkat. Telepon lagi. Tidak ada jawaban. Dan seterusnya sampai berkali-kali. Saya mengirimkan SMS juga tidak dijawab.


Oke, plan B. Saya melihat ke sekeliling. Rupanya ini adalah kantor yang sudah tutup dan gelap. Saya mencari pintu Emergency Exit di pojokan. Klik. Terbuka! Tapi… kenapa tangganya banyak banget ya? Lebih dari dua lantai dan ada pintu-pintu lain! Kalau saya keluar tapi pintu satunya tidak terbuka, alamat gawat karena tidak bisa balik lagiii.. Hiyy!


Panik, saya balik lagi ke pintu club. Saya gedor-gedor sekuat tenaga sambil teriak, “Help! Help!! Open the door, pleaseee!” Entah berapa kali saya gedor sampai saya kecapekan sendiri dan ngejoprak di lantai.


Tiba-tiba… KREK! Pintu terbuka! Seorang bouncer menongolkan kepalanya. Saya langsung nyamber, “Thank you! You saved my life!” dan wussssh… saya lari ke dalam club. Daaan… si Christian dengan santainya lagi joget-joget!


“Elu gila telepon nggak diangkat! Gue kekunci lagi di toilet tauk!” kata saya sambil misuh-misuh menceritakan kejadian tadi.


Christian pun ngakak kejengkang. “Pantes dari tadi gue tungguin kok lama banget.” Ia lalu mengajak saya ke arah toilet. “Ini lihat, sebelum pintu exit itu, ada toilet di samping kirinya. Mata lo aja nggak bener! Mabuk ya?” ledeknya terkekeh. “Buruan minum champagne lagi yang banyak, mumpung gratis!”


Kami pun berpesta sampai pagi. Sungguh malam yang random!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 19, 2015 05:00

March 11, 2015

#Escapers15, bertanding melawan 8 negara

Dapat undangan jalan-jalan ke Singapura dan Australia sudah biasa, tapi pada 28 Februari – 4 Maret 2015 ini dalam rangka tanding antar tim dari negara-negara Asia Pasifik dengan hashtag #Escapers15. Awalnya males banget ikutan, secara udah kena “faktor U”. Ini masa kudu lari-lari segala ala Amazing Race? Panitianya dari #ThisIsQueensland, #AccorHotels, dan #FlyScoot meyakinkan bahwa tantangannya nggak ekstrim. Senegara diwakilkan oleh 2 orang dan saya akan dipasangkan dengan @amrazing. Selain udah kenal Alex, saya okein karena pengen kenal juga para travel blogger dari negara lain.


H-1


Kami semua berkumpul di Hotel Ibis Bencoleen, malamnya acara perkenalan. Pesertanya ada 9 tim masing-masing 2 orang travel blogger/jurnalis dari 9 negara, yaitu: Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Jepang, India, China, dan Australia. Rata-rata masih anak muda dan sehat, kecuali saya dan tim ibu-ibu Australia. Tim Jepang dan Australia pernah ikut #EscapersHK tahun sebelumnya. Lucunya, sebagian peserta bahasa Inggrisnya belepotan, bahkan ada yang sama sekali nggak bisa bahasa Inggris.


The #Escapers15 from 9 countries (pic by TEQ)

The #Escapers15 from 9 countries (pic by TEQ)


Malam itu kami diberi kertas challenge berupa clue tempat yang harus kami datangi besok. Di kamar, jawaban dibantu follower, terutama follower Alex yang hampir 500K. Masing-masing peserta dipinjami handy phone dari hotel yang bisa unlimited 3G dan telepon.


Hari ke-1


Seharian saya dan Alex keliling Singapura melakukan challenge di 5 lokasi dari jam 09.00-17.00 dengan hanya naik transportasi umum. Semua peserta pake sepatu lari, sementara saya dan Alex pake sendal jepit aja. Tempat pertama ternyata di puncak Mount Faber yang bikin gempor naik tangga! Udah mo mati, eh peserta lain ada yang santai naik cable car! 4 tempat lain susah payah nyarinya karena ternyata kami berdua sama-sama tukang nyasar. Akhirnya dari lokasi ke-5 kami pulang naik taksi demi mengejar waktu.. yang akhirnya karena ngaku, point kami dikurangi.


Dari situ saya sadar betapa pemalasnya saya motret dan main socmed. Alex sambil lari pun sempet motret dan ngetwit! Lebih gila lagi peserta negara lain. Mereka masing-masing bawa smartphone, kamera SLR dengan beberapa jenis lensa, kamera mirrorless, tripod/tongsis, bahkan ada yang bawa kamera 360° – ditambah lagi kecanggihan mereka ngedit/posting foto/video dalam waktu cepat! Kreatifitas mereka pun patut diacungin jempol. Contohnya aja nih, kita harus foto di depan patung Merlion. Saya berpose air muncratan Merlion masuk ke dada dan Alex bergaya keramas, eh peserta lain pake gaya air masuk botol, gaya bawa payung supaya nggak basah, ada yang buka baju mandi beneran, dan ada yang bikin video slow motion bergaya silat! Wow!


Malamnya kami terbang naik Scoot dengan rute Singapura-Gold Coast. Mulai dari check in, nunggu di SATS lounge, terbang, sampai mendarat ada 5 challenge. Secara hape saya pasti mati sebelum masuk pesawat ditambah bodi udah remuk, saya cuek aja langsung tidur ngejoprak. Rencananya saya akan RT aja dari twit Alex.


Hari ke-2


Mendarat di Gold Coast, kami naik bus ke Brisbane dan check in di Hotel Ibis dan Mercure. Amplop challenge dibagikan. Salah satunya adalah foto relaxing di kamar. Saya cuma foto selfie di cermin kamar mandi, eh peserta lain heboh banget posenya. Sebagian besar bawa tripod/tongsis foto diri tidur di ranjang yang keliatan sekamar-kamarnya dengan gaya artistik. Waduh!


Kami berjalan kaki ke City dipandu guide dari Brisbane Greeters dan langsung dikasih challenge, antara lain foto sama baju berlabel asli Queensland dan cari CD musikus asal Brisbane. Sorenya kami dibagi 4 grup yang melakukan challenge berbeda. Saya yang seharusnya manjat Story Bridge memilih tukeran sama Alex yang seharusnya tur jalan kaki keliling kota. Bodi nggak fit gini malas banget suruh manjat jembatan! Ternyata challenge saya pun tidak mudah. Bukan hanya jalan kaki jauh banget, tapi juga naik sepeda menanjak sampe ngos-ngosan! Untungnya peserta grup saya baik-baik dan saling kasih contekan.


Abis makan malam, masih ada challenge, yaitu nebak ingredients 3 desert dengan mata tertutup! Yang menang tim Australia dan Malaysia. Juga diumumkan pemenang foto terbaik, yaitu tim Singapura. Yah, kalah lagi deh! Saya dan Alex yang kalah telak berbisik-bisik, “Ya udah lah ya, bo. Emang dasar kita selow. Yang penting have fun!”


Hari ke-3


Kami ke Australia Zoo dengan challenge antara lain ngasih makan kanguru dan ngelingkarin ular piton ke leher! Astaganaga, saya jiji’an sama hewan apapun, ini disuruh ular pula! Mananya yang nggak ekstrim?


Lalu grup dibagi 2, saya ke Noosa Beach dan Alex ke Mooloolaba Beach. Challenge kali ini kami disuruh ganti baju ketat dan topi renang berwarna pink ala Life Guard lalu 9 orang peserta adu lomba lari memperebutkan 5 bendera. Meski saya larinya termasuk paling lambat, tapi cukup cerdik – saya pun mendapatkan badge! Eh ternyata Alex di grup satunya juga pemenang lari nomor satu. Untung setelah itu challenge-nya menyenangkan: kami jet boating mengarungi laut.


Foto Alex dengan saya sebagai model :)

Foto Alex dengan saya sebagai model :)


Sorenya kami check in di Novotel Twin Waters Resort. Melihat kolam renang bagus, saya langsung nyebur aja sambil difoto Alex. Malamnya BBQ party di pinggir pantai plus ada challenge tertulis. Diumumkan juga bahwa pemenang foto terbaik adalah Alex. Hore, tim Indonesia!


Hari ke-4


Jam 8 pagi grup dibagi 2, yaitu wet challenge atau dry challenge. Karena saya jago berenang dan Alex jago lari, maka saya lah yang ikutan wet challenge. Ternyata challenge grup saya adalah lomba kayak dan lomba sailing. Saya dapat badge lagi karena menang!


Siang hari kami pindah Gold Coast. Grup dibagi 4, challenge saya adalah belajar surfing dan Alex ke Movie World. Sirik banget karena challenge Alex adalah naik roller coaster – hobi saya yang ditakuti Alex. Saya sendiri sudah pernah belajar surfing, tapi nggak pernah berhasil. Untungnya kami sama-sama berhasil mengatasi ketakutan itu.


#TeamIndonesia

#TeamIndonesia


Sorenya kami check in di Hotel Sofitel Broadbeach. Malamnya ada acara Awards Dinner. Pengumuman tim terbaik pun tiba. Sebelumnya ada 4 pemenang individu untuk posting terlucu, terkreatif, dan lain-lain yang banyak dimenangkan oleh tim China. Lalu diumumkanlah juara ke-3, yaitu tim Malaysia. Saya dan Alex bisik-bisik, “Yah, alamat kita nggak kebagian deh. Malaysia yang rajin gitu aja juara 3.” And the runner up goes to… team Indonesia! Saya dan Alex sampe melongo beberapa detik. “Yes, you!” kata MC. Kami pun ke depan menerima hadiah sampe sumringah karena masih nggak percaya. Juara pertamanya dengan beda 1 point adalah tim Australia.


Hari ke-5


Sebagian besar peserta pulang ke negaranya masing-masing, tapi saya extend sendiri ke Brisbane dengan menginap beberapa hari di apartemen teman. Ketika diajak jalan, saya jawab, “I don’t wanna do anything except sleeping!” #EdisiAmbruk


 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on March 11, 2015 10:36

February 27, 2015

Terdampar di bandara Lombok

Setelah kelar liburan di pantai-pantai di selatan Pulau Lombok yang supercantik itu, saya dan Tante Em (adik ibu saya) berencana meneruskan liburan ke Bali pada 4 Februari 2015. Ndelalah, bangun tidur dapat SMS dari Garuda bahwa pesawat dipindah dari jam 9.50 ke jam 14.40. Senang juga, bisa tidur lebih lama. Tapi ada apa ya? Saya browsing, ternyata kemarinnya jam 17.00 ada pesawat Garuda tergelincir di runway bandara LOP, untungnya tidak ada korban jiwa. Hmm, berarti sudah semalaman bandara ditutup.


Lagi asyik makan siang, saya terima email dari Garuda yang mengatakan bahwa pesawat saya yang tadinya jam 14.40 dipindah lagi ke jam 19.00, itupun rutenya jadi muter. Tadinya direct LOP-DPS, sekarang jadi LOP-SUB-DPS. Gilanya lagi, connecting flight-nya ga nyambung, masa flight SUB-DPS tetap jam 16.25? Saya pun menelepon CS Garuda, dan ia mengubah tiket SUB-DPS sehingga akan mendarat di Denpasar pada jam 22.45. Buset!


Opsi lain adalah naik feri ke Bali yang memakan waktu 4 jam, tapi lebih ribet karena harus ke Pelabuhan Lembar dan sampainya pun di Padang Bai. Ditambah supir mobil sewaan sedang sakit dan mobilnya tidak ada seatbelt, saya memutuskan untuk didrop saja di bandara dan lebih baik menunggu jam 19.00 sampe bego.


Sampai di bandara LOP, suasananya luar biasa ramai kayak pasar! Banyak orang duduk di taman, di jalan, di lantai bandara, dan di semua restoran. Saya mengikuti kerumunan orang yang ternyata adalah bagian informasi bandara. Seorang mbak-mbak bilang bahwa belum ada pesawat yang bisa terbang karena bandara masih ditutup. Saya segera mencari tahu bagaimana caranya ke Bali naik boat. Rupanya saya tidak sendiri, selusinan orang juga mencari informasi yang sama. Katanya, boat terakhir ke Bali jam 14.00. Jiaah!


Saya masuk aja ke dalam dan check in supaya tidak harus menggeret koper. Petugasnya bilang, “Kok aneh ya, malah disuruh muter lewat Surabaya. Padahal ada pesawat direct LOP-DPS nanti jam 18.10.” Lha nggak tau, disuruh CS-nya begitu! Tapi… horee, bisa berangkat lebih cepat sejam! Kami pun membunuh waktu dengan pijat refleksi, makan bakso sampe 3 mangkok, dan keluar-masuk semua toko di bandara.


Jam 17.00 kami masuk ke ruang tunggu yang superpenuh. Berkali-kali diumumkan bahwa pesawat AirAsia, Citilink, Lion Air, dan lain lain dibatalkan penerbangannya karena “alasan operasional” yang disusul dengan suara bergemuruh, “HUUUUUUU!!” dari ratusan orang. Saya mengintip dari jendela, di ujung runway terdapat pesawat Garuda tipe ATR 72-600 yang mandeg di rumput dan beberapa kendaraan di sekitarnya. Entah apa yang sedang mereka perbuat selama lebih dari 24 jam tanpa hasil.


Sampai jam 20.00 atau sudah lewat sejam dari jadwal, belum juga ada pengumuman terbang. Saya bertanya kepada petugas, katanya saya disuruh ke bawah untuk minta refund. Lha? Di dekat gate, terlihat troli berisi kantong plastik sampah berwarna hitam. Saya intip dalamnya, eh ada nasi kotak dan air mineral botol. Aduh, makanan dan minuman sebanyak ini teronggok begitu saja karena tidak ada yang memberi tahu! Tentu saya langsung ambil karena lapar luar biasa.


Di bawah, saya mengantri di konter Garuda bersama ratusan penumpang yang you know lah ngantrinya berbentuk trapesium, bukan satu garis. Orang-orang mulai saling sikut dan teriak marah-marah, anak-anak menangis keras. Beberapa kali saya pun jadi ikutan memaki bapak-bapak yang dengan santainya memotong jalur antrian. Karena lama, sambil berdiri saya makan nasi kotak. Beberapa penumpang yang tampak ngiler saya bilangin, “Pak, Bu, disediain nasi kotak lho di atas. Ambil aja, daripada laper!” Mereka pun pergi, sehingga antrian saya jadi lebih pendek. #modus


Saya nguping orang-orang di depan, ternyata ada yang dipindahkan ke pesawat besok atau lusanya. Ada juga bule mewek karena ketinggalan connecting flight pulang ke Australia. Pas giliran saya, petugas konter bilang bahwa penerbangan saya diganti jadi keesokan harinya. “Pesawat jam berapa, Pak?” tanya saya. “Belum bisa dipastikan. Tunggu besok di-SMS aja. Malam ini menginap dulu di Lombok. Voucher hotelnya diambil di konter sebelah,” jawabnya. Hah? Tapi ya sudah lah, mau apa lagi. Yang lebih kasihan lagi sih yang nggak naik Garuda, katanya mereka tidak dapat fasilitas hotel.


Saya mengantri lagi di konter ujung. Petugas mbak-mbak yang jutek hanya memberikan secarik kertas dan saya disuruh menulis nama dan nomor hape. Ia berkata, “Nanti menginap di Hotel Praya. Tunjukin aja boarding pass-nya. Abis ini keluar bandara, dan cari petugas berseragam. Tanya infonya di sana.” Saya jadi curiga, semua orang cuman nulis di kertas oret-oretan, apa mereka tahu siapa menginap di mana dan apakah cukup jumlah kamarnya?


Di luar bandara, banyak orang berkumpul di parkiran. Saya menemui seorang petugas yang dikerubuti para penumpang gagal. Katanya, “Hotel Praya kemungkinan sudah penuh, jadi pindah ke Hotel Lombok Raya.” Lha, tadi di dalam didaftarkan ke Hotel Praya, kok sekarang ganti? Mereka menghitung nggak sih jumlah orang yang akan menginap dengan ketersediaan kamar dan jumlah kursi bus? Bagaimana dengan makan malam dan sarapan?


Tau-tau kami disuruh naik bus kecil yang telah disediakan untuk membawa kami ke hotel. Udah buru-buru naik, jreng… bus penuh banget! Gimana sih ini? Kata petugasnya, “Tunggu aja bus lain! Nanti busnya abis nganter akan balik ke sini untuk jemput.” Kami pun turun lagi dan berkumpul lagi. Orang-orang bertambah panik dan mengomeli petugas.


20 menit berlalu, belum ada bus juga. Hotel Praya ada di Praya, Hotel Lombok Raya ada di Mataram. Keduanya berjarak 1,5 jam. Kebayang kan lamanya? Saya benar-benar sudah lelah fisik dan mental. Saya pun berinisiatif untuk naik taksi saja. Saya ditawari sewa mobil ke Mataram. Bergaya ala bekpeker, saya pun berteriak, “Woiii, ada yang mau patungan taksi? Rp 160.000 nih. Saya sudah berdua, butuh dua orang lagi. Jadi per orang bayar Rp 40.000 aja!” Dan dapatlah sepasang suami-istri asal Jakarta.


Sepanjang jalan kami saling bercerita. Kata si suami, ia pernah juga diinapkan di Bali karena pesawat cancel, tapi penanganannya jauh lebih baik. Seluruh penumpang dikumpulkan, ada seorang yang in charge dan memberikan pengumuman secara baik-baik sehingga tidak ada yang panik. Hotel dan makan dapat, bahkan dapat uang cash sebagai ganti rugi. Saya pun baru tau darinya bahwa airport tax bisa minta refund. Ih, kok beda banget ya Bali sama Lombok?


Tiba di lobi hotel, kami check in dengan menyerahkan boarding pass. Staf hotel menawarkan sekamar sendiri atau berdua. Tentu saya memilih sekamar berdua karena kasihan kalau penumpang lain nggak dapat kamar. Setelah menaruh barang di kamar, saya ke restoran untuk makan. “Saya dari Garuda yang cancel, katanya boleh minta makan di sini. Bolehnya makan apa ya?” Staf restoran bingung, ia menelepon entah siapa. 10 menit kemudian baru diperbolehkan. Saya juga tahu diri dengan memesan hanya seporsi makanan. Saya lihat tidak ada penumpang lain di restoran ini. Kasihan sekali mereka yang kelaparan.


Sarapan keesokan harinya dipenuhi oleh para penumpang yang kemarin ketemu di bandara. Katanya mereka akan menunggu SMS dari Garuda untuk kepastian keberangkatan. Sampai jam 9.00 belum di-SMS, saya pun kabur naik fast boat dari pelabuhan Senggigi – bersama puluhan orang yang sama-sama di-cancel. Tante Em pun berkomentar, “Sekarang baru nyadar kalau kamu traveling emang sering sial sampe gue kebawa-bawa. Bagusnya, kamu jadi punya banyak bahan untuk ditulis.” :)


Dari follower Twitter, belakangan saya tahu bahwa bandara LOP akhirnya dibuka pada tanggal 5 Februari 2015 malam atau lebih dari 48 jam! Bayangkan, berapa kerugian yang telah ditanggung atas batalnya puluhan penerbangan? Berapa ratus orang yang kecewa akibat gagal pulang atau menghadiri acara penting? Come on, bandara internasional sebesar Lombok masa tidak punya peralatan yang memadai?


Kecelakaan (pesawat) memang di luar kuasa kita, tapi seharusnya kerugian itu bisa diminimalkan dengan lebih cepatnya penanganan terhadap pesawat (yang tergelincir). Yang terpenting lagi, perlunya pelatihan manajemen tanggap darurat bagi seluruh staf bandara dan perusahaan penerbangan sehingga tidak terjadi kepanikan di antara para penumpang dan kacaunya bandara.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 27, 2015 09:00

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.