Trinity's Blog, page 12
September 13, 2016
Miss Rempong
Suatu kali saya pernah diundang Media Trip atau jalan-jalan ke sebuah negara bersama rekan-rekan media. Dari daftar yang diundang, tercantum 8 orang dari media cetak, media online, dan TV. Namun ada seorang cewek yang tidak bekerja di media manapun. Saya yang kepo pun bertanya kepadanya kok bisa ikut media trip? Jawabannya, dia adalah salah satu pemenang ketiga kontes Puteri apaan gitu – yang saya nggak pernah denger sebelumnya. Karena dia kenal dengan Duta Besar di Jakarta, jadilah dia diajak.
Anyway, sebut saja dia Miss Rempong*, karena asli rempong banget orangnya! Si Miss ini berusia awal 20an, cantik, putih, tinggi – khas Puteri kecantikan. Saya tidak ada masalah personal sama dia, hanya saja dia membuat rempong semua orang!
Pertama ketika kami naik pesawat dari bandara Soekarno-Hatta, si Miss ini datang paling belakangan. Kami semua tidak mengenal satu sama lain, tapi sudah membentuk grup Whatsapp untuk janjian. Kami sudah di ruang tunggu, si Miss malah baru check in. Ketika naik pesawat, si Miss datang dengan baju sangat rapi; sepatu hak, blazer dan tas jinjing cantik. Bagasinya ternyata yang terberat di antara kami semua. 25 kg dengan ukuran koper besar bak mau migrasi ke negara lain, padahal cuma seminggu.
Kami sampai di negara tersebut pagi hari, dikasih waktu hanya beberapa jam istirahat di kamar untuk bertemu kembali di lobi hotel. Acara pertama kami adalah bertemu Menteri Pariwisata negara tersebut sehingga tidak boleh telat. Siapa dong yang telat datang? Tentu si Miss! Kami semua sudah duduk manis di bus, si Miss datang berlari-lari sambil berkata, “Maaf, ketiduran! Ini aja buru-buru turun, padahal belum mandi!” Perlu diketahui, belum mandi bagi dia artinya dia datang dengan make up tebal. Berarti bela-belain nggak mandi tapi dandan, dan kami semua disuruh nungguin dia! Pret! Anehnya lagi, saat meeting berlangsung di sebuah hotel mewah bersama Menteri, si Miss ternyata memakai selempang “Putri” di badannya! Euh?
Dari situ kami langsung berwisata ke suatu situs arkeologi di atas bukit cadas. Sebelum berangkat ke negara itu, kami semua sudah tahu itinerary-nya akan jalan kaki semi hiking. Berarti kudu bawa sepatu yang nyaman kan? Mau tahu apa yang dipakai si Miss? Stiletto, alias sepatu dengan hak tinggi dan runcing! Tentu dia berjalan terseok-seok dan paling belakang di antara kami.
Besoknya kami berkunjung seharian ke situs arkeologi yang lebih luas lagi, jadi kami pakai sepatu olah raga/trekking. Si Miss agak mending… pakai sepatu wedges dengan tinggi hak 12 cm! Setelah jalan kaki 1 kilometer, sepatu si Miss jebol. Haknya putus sebelah! Hadeuh. Untungnya si Miss pinter, dia mencopot hak sepatu sebelahnya lagi, jadilah sendal flat yang terlihat berantakan. Dan dengan santainya hak sepatu ditinggal aja di kuil ribuan tahun sampai kami semua membentaknya untuk membuang ke tempat sampah!
Setelah kejadian itu, kami baru tahu bahwa si Miss ternyata memang tidak membawa sepatu lain selain empat pasang sepatu hak! Jadilah setiap hari dia sibuk pinjam sepatu teman saya sampai kaki si Miss lecet-lecet dan teman saya kesal karena sepatunya diinjak.
Selain tidak bawa sepatu nyaman untuk jalan, ternyata si Miss juga tidak bawa sampo, sabun, odol. Alasannya karena akan tersedia di hotel. Tapi dari itinerary kami semua sudah tahu bahwa kami akan camping. Alhasil dia ribut cari pinjaman.
Si Miss setiap hari pakai baju berganti-ganti, sehari minimal 3 kali. Demi foto kece di Instagram, katanya. Make up selalu tebal. Tas jinjing selalu dibawa. Tapi asli bikin gengges! Udah tau kami media yang harus memperhatikan penjelasan guide, harus mencatat dan memotret pemandangan, eeh dia sebentar-sebentar minta difotoin! #hakdezig
Soal baju, saya pernah masuk ke kamarnya sebelum makan malam. Dalam setengah jam ternyata dia berganti baju sudah 3 kali karena tidak bisa memutuskan yang mana! Teman saya pun pernah masuk ke kamarnya malam hari, ternyata si Miss tidur pakai lingerie! Wow!
Tapi bukan Miss Rempong namanya kalau nggak bikin rempong. Udah tau kami akan ke situs religius yang perlu selendang penutup kepala, dia nggak bawa. Sibuklah dia cari pinjaman. Udah tau kami akan ke 2 tempat yang aktivitasnya adalah berenang, tapi si Miss (yang setiap hari selalu pakai baju ketat dan seksi) nggak bawa baju renang! Saya yang perenang ini pun berkomentar nyinyir, “Masa koper lu 25 kg dan bawa baju seabrek-abrek, tapi nggak bawa baju renang yang seuprit?!” Alhasil dia nyebur di pantai pakai celana pendek dan kaus, dan sempat suatu kali diusir petugas kolam renang hotel bintang lima karena tidak berbaju renang.
Kesimpulannya, setiap hari si Miss selalu bangun terlambat dan datang berkumpul paling belakangan, termasuk saat kami bersiap berangkat ke bandara untuk pulang. O ya, si Miss adalah orang nomor satu tukang belanja. Dia sering hilang dari rombongan karena sibuk belanja ke sana ke mari – itu pun nggak beli alat mandi dan sepatu untuk dirinya sendiri, padahal itu yang paling dibutuhkan.
Tapi itu belum seberapa. Puncaknya adalah ketika dia meminta pembalut kepada para peserta cewek! Saya sampai nyolot, “Lha, emang lo nggak tau siklus haid sendiri sampai nggak persiapan bawa pembalut sendiri?!” Karena kami para cewek tidak ada yang bawa, akhirnya si Miss punya akal… dia menyumpalnya dengan tisu toilet!
Doh, dasar Miss Rempong!
Semoga Anda bukan tipe orang yang rempong begitu saat traveling. Tapi, pernah nggak punya pengalaman yang sama? Atau punya teman traveling yang rempong juga? Seberapa rempong kah dia? Coba deh ceritain di komen di bawah.
—
*Rempong = repot

August 24, 2016
[Adv] Bermain yang sehat di Amped
Waktu luang di Jakarta enaknya ngapain ya? Ke mal, makan-makan, nonton bioskop. Abis itu bingung mau ngapain lagi. Kalau sama teman-teman sendiri yang seumuran paling acaranya nongkrong di kafe. Nah, masalahnya tambah bingung kalau mau ngajak jalan anak-anak, seperti saat mau ngajak goddaughter saya si Cia dan adiknya Cio.
Hasil browsing, saya menemukan aktivitas menarik, yaitu bermain trampolin! Trampolin itu semacam bentangan kain yang lentur berkerangka yang digunakan untuk meloncat-loncat di atasnya. Termasuk olah raga, trampolin pun dipertandingkan di Olimpiade sejak tahun 2000. Sedangkan untuk rekreasi, Trampoline Park menjamur di Amerika Serikat sejak 1960. Di Indonesia sendiri baru ada beberapa tahun belakangan ini.
Saya memutuskan untuk bermain di Amped Trampoline Park karena merupakan yang terbesar di Indonesia. Lokasinya mudah dicapai, terletak di Kelapa Gading, bekas supermarket Goro zaman dulu. Saya pun booking di sini dan memilih jam 15.00 karena mau makan siang dulu di area Kelapa Gading yang terkenal banyak makanan enak. Perlu diketahui, jam operasional Amped adalah jam 10.00-22.00 (weekend buka lebih pagi jam 9.00) tapi slot terakhir jam 21.00. Kita dapat mulai bermain per slot, jam 10.00, 11.00, 12.00, dan seterusnya.

Olympic-sized trampoline
Kami datang 15 menit sebelumnya untuk mendaftarkan diri, mengisi waiver form karena baru pertama kali datang, dan bayar tiket. Harganya terjangkau kok, per orang per jam Rp 80.000,- untuk Senin, weekday Rp 100.000,- dan weekend Rp 125.000,-. Kami diberi gelang yang menandakan berapa jam kami akan bermain dan sebotol air mineral. Karena pengunjung wajib memakai kaos kaki khusus trampolin yang alasnya berkaret sehingga anti slip, maka saya membelinya seharga Rp.20.000,- sepasang.
Fasilitas lain yang tersedia dia Amped adalah adalah locker untuk menaruh tas, toilet bersih, dan restoran Yo’Panino yang menjual sandwich, salad, dan aneka camilan. Ada juga area Playground khusus untuk anak-anak berusia di bawah 12 tahun yang tidak ingin bermain di area trampolin. Area ini terdiri dari mandi bola, tembak-tembakan, mobil-mobilan, wall cllimbing, trampolin mini, dan lain-lain. Harga tiket Playground untuk weekday Rp. 85.000,- dan weekend Rp. 125.000,- tapi tiketnya berlaku seharian, bukan per jam. Karena saya tidak bersama anak kecil, maka kami langsung ke area trampolin.
Sebelum jam buka, kami berkumpul di depan pintu arena untuk mendengarkan peragaan keselamatan oleh instrukturnya. Peraturannya antara lain; tidak boleh melompat berdua, saku harus dikosongkan sepenuhnya, tidak boleh mendorong peserta lain. Main trampolin di sini untuk semua umur, namun anak umur 3-11 tahun harus ditemani orang tua. Ada jam tertentu yang dibuka untuk anak-anak saja atau semua umur.
Tidak seperti “orang tua” lain yang hanya duduk di luar menunggu anak-anaknya, saya ikutan masuk dan bermain trampolin. Dengan bangganya saya adalah peloncat tertua yang ada di di situ! Hehehe! Baru aja meloncat-loncat di trampolin selama 5 menit, saya sudah ngos-ngosan! Ini kayak latihan cardio di gym pake dipelototin Personal Trainer! Sementara si Cia dan Cio dengan santainya loncat dan berlari sana-sini nggak ada capeknya. Untungnya banyak staf Amped yang siap sedia membantu, bahkan bisa minta diajarin gaya tertentu.
Nggak mau rugi, saya pun ikutan mencoba semuanya. Selain free jump area yang bisa berlari naik turun, ada permainan bola basket di atas trampolin sehingga bisa loncat lebih tinggi untuk slam dunk, ada olympic-sized trampoline yang lebih membal sehingga loncataannya lebih tinggi, ada foam pit untuk berlari dan loncat ke dalam kolam busa. Aktivitas yang tidak meloncat adalah berjalan di atas tali slack line dan wall climbing.

Indoor wall climbing
Terakhir kami main di Dodge Ball Field. Caranya, lempar-lemparan bola, yang kena harus balik mengejar yang lain, dan seterusnya. Berlari dan meloncat memang kombinasi yang mantap untuk bikin badan banjir keringat dan napas tersengal-sengal – setidaknya buat saya. Menurut penelitian, kalori yang terbakar meloncat di trampolin selama 10 menit sama dengan berlari 30 menit lho!
Kelar main trampolin, everybody’s happy! Cia dan Cio malah nagih minta diajak ke Amped lagi. Saya sendiri? Serasa berubah jadi Beyonce!

August 3, 2016
Launching #TNT7 6 Agustus!
Kapan launching-nya?
Hari/Tanggal: Sabtu, 6 Agustus 2016
Jam: 15.00-17.00 WIB
Tempat: Toko Buku Gramedia, Central Park Mall lantai 3, Jl. Let. Jend. S. Parman Kav. 28, Jakarta Barat
Apa sih #TNT7?
#TNT7 adalah hashtag dari buku terbaru karya Trinity yang berjudul “The Naked Traveler 7”. Buku ini merupakan seri ke-7 dari buku travel terlaris di Indonesia, setelah The Naked Traveler 1,2,3,4 dan The Naked Traveler: Round-the-World Trip part 1 & 2.
Trinity menumpahkan hal-hal seru, yang bikin senang, kesal, geli, haru, sedih, dan bikin nagih, yang lagi-lagi menularkan virus untuk traveling. Dari perjalanan menyaksikan pesona India yang bersalju di Kashmir, berpesta 3 hari di karnaval di Seychelles, camping bersama singa di Tanzania, mengikuti kapal ekspedisi penelitian bawah laut di Pulau Koon, mencoba aktivitas pemompa adrenalin di New Zealand, terbakar matahari setelah siklon di Fiji, hingga bertemu dinosaurus terbesar di dunia di Kanada.
Yasmin —partner traveling di #TNTrtw, kali ini turut berkontribusi menuliskan satu-satunya pengalaman yang tidak mungkin dimiliki Trinity: naik haji. Pengalaman #YasminNaikHaji menambah keseruan buku ini. Lewat kisahnya, selain menunaikan haji, Yasmin juga mengeksplorasi Mekah dan Madinah dengan cara berbeda.
Apa keuntungannya kalau datang launching?
Acaranya gratis-tis-tis! Tinggal datang aja kok.
Bisa beli langsung buku #TNT7 yang dijual perdana hari itu di toko buku reguler. Buku bisa dibeli mulai jam 14.00 di Gramedia Central Park dan 100 pembeli pertama akan mendapat goodie bag
Bisa ketemu langsung Trinity, bisa dengerin dia ngoceh nggak karuan

Bisa tanya Trinity apapun yang berhubungan dengan traveling, buku, menulis, atau filmnya.
Bisa dapat tanda tangan Trinity di #TNT7 termasuk buku-buku karya Trinity lainnya.
Bisa foto bareng Trinity. Mayan untuk di-posting di medsos untuk nyirik-nyirikin yang lain

Bisa ketemu sesama NTers – siapa tahu bisa diajak traveling bareng!
Bisa beli buku-buku Trinity seri lain terbitan Bentang Pustaka yang kamu belum punya.
Bisa dapat kesempatan memenangkan berbagai hadiah menarik, mulai dari merchandise TNT, T-shirt, voucher hotel, voucher belanja, sampai tablet (ini gadget, bukan obat)!
Jadi, sampai jumpa hari Sabtu besok!

July 13, 2016
Pesona Da Nang dan Hanoi
Saya suka traveling ke Vietnam, alasannya karena murah meriah. Kita sering mengeluh dengan kurs mata uang Rupiah, tapi di Vietnam kita berasa superior karena 1 IDR = 1,7 VND! Sudah beberapa kali saya ke Vietnam, pertama tahun 2006 dan terakhir Juni 2016 kemarin. Saya perhatikan perkembangan ekonomi Vietnam sangat dahsyat – dari mulai nggak ada restoran franchise global, sampai sekarang sudah ada mal mewah berjualan barang branded. Saat ini pun sudah semakin banyak orang lokal yang bisa berbahasa Inggris. Yang tetap sama adalah tayangan TV di-dub oleh suara satu orang ibu-ibu itu doang (baca di buku The Naked Traveler 2)!
Sayangnya, turis Indonesia ke Vietnam umumnya “mentok” di selatan yaitu di Ho Chi Minh City (HCMC), mungkin karena pesawat direct dari Indonesia adanya rute Jakarta-HCMC. Padahal banyak yang bisa di-explore di wilayah tengah dan utaranya yang merupakan tempat kedelapan situs UNESCO World Heritage Site. Ke tengah bisa dimulai di Da Nang, ke utara bisa dimulai di Hanoi.
Da N ang
Da Nang adalah kota terbesar di Central Vietnam. Dulunya Da Nang adalah pusat air base AS saat Perang Vietnam, namun saat ini ia adalah kota yang paling modern dibanding kota-kota lainnya di Vietnam. Berada di sana serasa di negara maju karena bangunannya relatif baru dan bersih. Da Nang berpusat di Sungai Han yang dihubungkan dengan 2 jembatan cantik, yaitu Tran Thi Ly Bridge yang menyerupai layar kapal dan Dragon Bridge yang berbentuk naga. Pada malam hari, kedua jembatan tersebut menyala berwarna-warni jadi kece untuk difoto. Bahkan sekarang sudah ada Sun Wheel, kincir raksasa setinggi 115 meter.

Da Nang beach
Da Nang merupakan hub untuk mengunjungi situs bersejarah yang terdaftar dalam UNESCO Heritage Site seperti Hue (istana kekaisaran yang mirip Forbidden City di Beijing), Hoi An (kota kuno abad 15-19) dan My Son (kompleks candi Hindu abad 4-14). Alasan lain turis ke Da Nang adalah berwisata pantai. Di timur kota Da Nang terdapat pantai panjang berpasir putih, lengkap dengan resor mewah – bahkan masuk ke dalam salah satu dari World’s Most Luxurious Beach versi Forbes. Bisa dikatakan Da Nang adalah Bali-nya Vietnam, disukai turis asing maupun lokal. Event MICE (Meetings, Incentives, Conferencing, Exhibitions) berskala internasional pun sering diadakan di sana, seperti BMTM Danang 2016.

Marble Mountains
Highlight pariwisata Da Nang adalah Marble Mountains yang merupakan rangkaian 5 bukit yang kalau diterjemahkan bernama Gunung Tanah, Air, Api, Kayu dan Besi – masing-masing terdapat gua dan patung Buddha. Kalau punya waktu sebentar, pilih ke Thuy Son (Gunung Air) aja karena bisa naik pakai lift. Pemandangan dari puncaknya keren! Sedangkan situs pariwisata terbaru yang tak jauh dari Da Nang adalah Than Tai Hotspring. Luasnya 165 hektar di kaki gunung, terdiri dari berbagai macam kolam pemandian air panas dan air dingin, termasuk onsen ala Jepang.
Hanoi

Patung di makam Giarai, Museum Ethnology, yg melambangkan kesuburan.
Dibanding HCMC yang kota bisnis, saya lebih suka Hanoi yang lebih tradisional, lebih hijau, dan cuaca lebih sejuk. Ada banyak museum dan temple di Hanoi, yang terkenal di antaranya adalah Ho Chi Minh Mausoleum, Ho Chi Minh Museum, dan Temple of Literature. Yang terbaru saya kunjungi adalah Museum of Ethnology tentang budaya suku-suku di Vietnam. Tapi sekedar jalan kaki atau nongkrong di sekitar Old Quarter dekat Hoan Kim Lake aja saya betah. Soal kuliner, di mana pun di Vietnam sih saya doyan, tapi di Hanoi lah mie Pho (dibaca “fe” dengan e pepet) diciptakan.
Atraksi utama di Hanoi adalah menonton Water Puppet alias pertunjukan wayang di air. Namun setahun ini ada atraksi baru, yaitu Ionah Show. Semacam pertunjukan Cirque du Soleil yang mencampurkan drama, aneka tari termasuk aireal dance, dan sirkus tanpa binatang. Meski plot ceritanya kurang jelas, saya acungkan jempol untuk para performers dan artistik panggung.

Halong Bay from the junk boat
Tidak afdol ke Hanoi kalau tidak mengunjungi Ha Long Bay yang merupakan UNESCO Heritage Site. Untuk ketiga kalinya saya ke sana dan saya tetap kagum! Meski sama-sama terdiri dari ribuan pulau bertebing karst, berbeda dengan Raja Ampat, di Ha Long pulau-pulaunya lebih rapat satu sama lain dalam area yang lebih kecil. Berlayar naik junk boat (kapal tradisionalnya) cuma 15 menit aja udah memasuki gugusan kepulauannya. Di sebagian pulau terdapat gua-gua superluas yang bisa dimasuki dengan berbagai bentuk stalaktit dan stalagmit yang aneh. Ditambah lagi desa-desa apung para nelayan lokal yang masih tradisional. Jadi memang keren dan berkesan magis.

Trang An
Selain perbukitan karst di Ha Long yang berada di laut, ada juga yang berada di darat, yaitu di Trang An Scenic Landscape Complex. Baru masuk daftar UNESCO Heritage Site pada 2014, Trang An dikelilingi sawah, hutan hijau, dan bukit-bukit karst setinggi sampai 200an meter. Menikmati pemandangannya, kita harus naik kapal kecil kapasitas 4 orang yang didayung oleh seorang ibu-ibu menyusuri sungai selama 3-4 jam. Kerennya lagi, selain bisa mengunjungi kuil-kuil Buddha, sambil naik kapal kita juga diajak keluar-masuk gua-gua sempit sampai badan harus menunduk takut nabrak stalaktit – tidak disarankan bagi penderita claustrophobic!
Tips
Vietnam bisa dikunjungi sepanjang tahun. Kalau tidak mau rame, hindari ke Vietnam pada musim panas Juni-Agustus karena pas musim liburan anak sekolah Vietnam. Harap diingat, di Hanoi pada musim winter Desember-Februari suhunya bisa di bawah 10°C dan sering tertutup kabut.
Lebih baik menukar mata uang US Dollar ke Vietnamese Dong seluruhnya. Meski sebagian toko bisa menggunakan Dollar, tapi lebih untung membayar dalam Dong karena di toko 1 USD dihargai 20.000 Dong padahal kurs 1 USD = 22.500 Dong (kurs Juni 2016).
Wi-Fi gratis banyak tersedia di Vietnam, kecepatannya pun lebih kencang daripada Indonesia. Namun bila ingin membeli SIM Card, beli aja di bandara yang banyak pilihan. Paket data 3G sebesar 5 Giga sekitar 100.000 Dong.
Dari Jakarta penerbangan ke Da Nang dan Hanoi bisa menggunakan Vietnam Airlines dengan transit di Ho Chi Minh City.
Informasi pariwisata Vietnam, bisa dibaca di www.vietnamtourism.com

June 28, 2016
[Buku Baru] The Naked Traveler 7
Buku terbaru saya, The Naked Traveler 7 akan segera terbit! Buku ini merupakan seri ke-7 dari buku travel terlaris di Indonesia, setelah The Naked Traveler 1,2,3,4 dan The Naked Traveler: Round-the-World Trip part 1 & 2.
Spesialnya dari buku #TNT7 ini karena featuring #YasminNaikHaji. Ya, sahabat jalan saya, Yasmin @jeng_yasmin, turut berkontribusi mengenai perjalananannya naik haji! Buku ini juga full color, lengkap dengan foto-foto dan ilustrasi kece, plus gratis pembatas buku. Tebalnya pun 296 halaman – paling tebal dari semua buku seri The Naked Traveler, jadi bakal puas bacanya!
Sinopsis
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Trinity pertama kali menuliskan rekaman perjalanannya melalui blog naked-traveler.com. Siapa sangka perjalanan-demi-perjalanan ke hampir seluruh provinsi di Indonesia dan 73 negara di dunia, mengantarkannya pada 13 judul buku, termasuk buku ke-7 dari seri The Naked Traveler ini.
Trinity menumpahkan hal-hal seru, yang bikin senang, kesal, geli, haru, sedih, dan bikin nagih, yang lagi-lagi menularkan virus untuk traveling. Dari perjalanan menyaksikan pesona India yang bersalju di Kashmir, berpesta 3 hari di karnaval di Seychelles, camping bersama singa di Tanzania, mengikuti kapal ekspedisi penelitian bawah laut di Pulau Koon, mencoba aktivitas pemompa adrenalin di New Zealand, terbakar matahari setelah siklon di Fiji, hingga bertemu dinosaurus terbesar di dunia di Kanada.
Yasmin —partner traveling di #TNTrtw, kali ini turut berkontribusi menuliskan satu-satunya pengalaman yang tidak mungkin dimiliki Trinity: naik haji. Pengalaman #YasminNaikHaji menambah keseruan buku ini. Lewat kisahnya, selain menunaikan haji, Yasmin juga mengeksplorasi Mekah dan Madinah dengan cara berbeda.
Penerbit: BENTANG PUSTAKA
ISBN: 9786021246986
Tahun Terbit: Juni 2016
Halaman: 296 Halaman
Berat: 0,35 Kg
Format: Soft Cover
Harga: Rp 84.000,-
Pre-Order
Supaya dapat buku #TNT7 ini duluan, dapat diskon minimal 15%, diantar langsung ke rumah, dan dapat tanda tangan saya dan Yasmin, maka silakan pre-order pada 27 Juni – 27 Juli 2016 di toko-toko buku online sebagai berikut: mizanstore.com, temanbuku.com, bukabuku.com, bukukita.com, parcelbuku.com, bukubukularis.com, pengenbuku.com, @demabuku, toko klasika, grobmart.com, kupukupubuku.com
Kalau mau paket spesial buku #TNT7 + tanda tangan saya & Yasmin + T-shirt (gambar cover buku, ukuran all size) dengan harga Rp 150.000,- bisa order ke mizanstore.com
Ingat, jumlah buku sangat terbatas! Jadi buruan hubungi toko-toko buku online di atas dan segera order ya?
Karena percetakan dan distribusi tutup libur lebaran, jadi semua buku #TNT7 yang pre-order akan diantar pada akhir Juli 2016. Sedangkan buku #TNT7 akan tersedia di toko buku reguler (Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dan lain-lain) di Jabodetabek mulai minggu pertama Agustus 2016. Kota-kota lain tersedia mulai seminggu sesudahnya, di luar Jawa secara bertahap tersedia mulai dua minggu sesudahnya. Launching akan diadakan di Jakarta antara tanggal 5-7 Agustus 2016. Informasi launching dan road show di kota-kota lain, tunggu infonya di Twitter/Instagram/Facebook @TrinityTraveler.
Terima kasih dan selamat berburu!

June 18, 2016
Jordan is more than Petra
Jordan atau Yordania adalah sebuah negara di Timur Tengah yang berbatasan dengan Arab Saudi, Suriah, Irak, Israel, Palestina. Meski Jordan dekat dengan wilayah konflik, namun ia adalah negara paling aman se-Timur Tengah. Boro-boro perang, tingkat kriminalitasnya aja sangat rendah. Karena amannya, Jordan sering dijadikan tempat perjanjian antarnegara yang bertikai di sekitarnya, bahkan sering jadi tujuan pengungsi. Meski mayoritas penduduk Jordan adalah Islam, tapi Jordan adalah negara yang netral dan liberal. Bersama Mesir, Jordan merupakan salah satu dari hanya dua negara Arab yang mendantangani perjanjian damai dengan Israel.
Pariwisata Jordan meningkat pesat sejak Petra menjadi salah satu pemenang “7 New Wonders of the World”. Namun tidak hanya Petra karena masih banyak lagi destinasi pariwisata yang menarik dikunjungi di Jordan, antara lain;
Religious Tourism
Bagi umat Kristiani, Jordan memiliki situs penting yang tertulis dalam Alkitab. Ada “Bethany Beyond the Jordan” yang merupakan tempat baptis Yesus orosinil di Sungai Yordan dan baru saja disahkan UNESCO World Heritage Site pada 2014 – jadi bukan di sisi Israel yang selama ini populer dikunjungi orang. Yang penting lainnya adalah Mount Nebo, tempat Musa menunjuk Tanah Perjanjian dan meninggal dunia. Ada juga Amman (di Alkitab disebut Amon, tempat Daud menyuruh Uria berperang), Umm Qays (tempat Yesus menyembuhkan dua orang kerasukan di Gadara), Madaba (sering disebut di Perjanjian Lama tentang Musa, tempat perang Daud melawan Moab), Kings’ Highway (Abraham dan Musa melewati jalan ini), dan lain-lain.

Bethany Beyond the Jordan
Raja dari Kerajaan Yordania Hasyimiah ini adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Bagi umat Islam, Jordan memiliki situs penting, antara lain Al-Raqim (gua Tujuh Orang Tertidur), Bosra Al-Sham (tempat Nabi Muhammad bertemu dengan biara Bahira), Safawi (tempat Nabi Muhammad berteduh di bawah sebatang pohon dalam perjalanan ke Suriah). Banyak pula makam para sahabat Nabi Muhammad, antara lain makam Abdul Rahman bin Awf Al-Zuhri di Amman, Abu Dharr Al Ghitari di Madaba, Zaid bin Harithah di Karak, Abu Ubeida Amer bin Al-Jarrah di Lembah Yordania, dan lain-lain.
Archaelogical Tourism
Amman Citadel – Dihuni sejak zaman Neolitikum (10.200 SM), bangunan yang masih ada antara lain Temple of Hercules (abad ke-2), Gereja Bizantium (abad ke-4) dan Umayyad Palace (abad ke-8). Terdapat juga Jordan Archeological Museum yang terdapat berbagai artefak, terutama patung tembikar berwajah manusia tertua di dunia pada tahun 8000-6000 SM.

Patung Ain Ghazal dibuat tahun 8000-6000 SM
Jerash – Dihuni sejak 6500 tahun yang lalu, masa kejayaan Jerash adalah pada masa kekuasaan Romawi abad ke-1 (dulu bernama Gerasa). Saat ini Jerash merupakan salah satu kota Romawi yang paling well-reserved di dunia. Jalan berbatu, tiang-tiang, kuil, pemandian, air mancur, teater terbuat dari granit dan marmer masih terjaga dengan baik saking canggihnya teknologi masa itu. Bahkan tiang-tiang setinggi 16 meter di Temple of Artemis telah dibuat berteknologi anti gempa!

Jalan di Jerash
Nature Tourism
Ajloun Forest Reserve – Banyak yang mengira Jordan adalah negara tandus dan panas, padahal ia juga memiliki hutan yang terletak di atas bukit. Mayoritas berupa pohon oak yang diselingi pohon pinus, pistachio, dan strawberry. Tersedia trail bagi yang suka hiking. Yang paling oke sih cuacanya yang dingin dan kita bisa tinggal di eco-lodge. Tak jauh dari sana terdapat Ajloun Castle, istana Muslim yang dibangun abad ke-12.
Kalau saya punya waktu lebih banyak lagi, saya sih pengen diving di Red Sea di kota Aqaba.
Wellness Tourism
Dead Sea – Laut Mati kadar garamnya sangat tinggi sehingga kita pasti mengapung di permukaan. Airnya yang berminyak itu mengandung mineral yang dipercaya sangat baik untuk kulit. Dulu saya pernah ke Laut Mati di pantai umum di Israel, kali ini saya merasakan nikmatnya berenang di pantai private karena menginap di Hotel Crowne Plaza, jadi dari kamar tinggal jalan kaki pake bikini. Jangan lupa luluran pake lumpur hitam di sana, jerawat saya langsung hilang!

Dead Sea
Ma’in Hot Springs – Tak jauh dari Dead Sea terdapat Ma’in yang merupakan oasis di tengah gurun pasir. Memang menakjubkan karena di antara bukit tandus ada pepohonan hijau dan air terjun yang mengalirkan air panas yang kaya mineral. Lagi-lagi karena menginap di Evason Ma’in Resort, saya bisa berendam di kolam air panas secara private.
Film Tourism
Petra – kota berwarna pink dengan bangunan yang dipahat dari tebing ini adalah kunjungan kedua saya. Tulisannya silakan dibaca di buku The Naked Traveler 4 ya?

The Treasury, Petra
Wadi Rum – Gara-gara film The Martian-nya Matt Damon, saya jadi pengin ke Wadi Rum. Berbeda dengan gurun di mana pun di dunia, Wadi Rum memiliki bukit-bukit sandstone yang tinggi jadi pemandangannya tidak flat. Warnanya yang kemerahan emang mirip dengan permukaan planet Mars. Pokoknya foto di sana sangat Instagrammable deh! Untuk berkeliling bisa naik mobil 4×4 atau naik onta. Nongkrong deh di salah satu puncak bukitnya menjelang sunset, wih… keren abis! Biar pengalaman tambah mantap, kita bisa camping di gurun, seperti di Captain’s Desert Camp. Lalu malamnya memandang jutaan bintang yang luar biasa! Bintang memang paling bagus dilihat di gurun yang kering dan tanpa polusi cahaya.

Sunset in Wadi Rum
Tips
Untuk pemegang paspor Indonesia, visa ke Jordan adalah Visa on Arrival dengan membayar 40 JOD (single entry, berlaku sebulan) di bandara.
Maskapai penerbangan Royal Jordanian baru saja membuka rute direct Jakarta-Amman-Jakarta sehingga tidak perlu transit lama-lama lagi.
Yang doyan belanja oleh-oleh, tahan sampai di Petra. Di sebelah Hotel Movenpick yang letaknya persis di seberang pintu gerbang Petra berjejer toko-toko suvenir termurah se-Jordan. Contohnya magnet cuma 1 JOD, bisa ditawar kalau beli banyak.
Informasi pariwisata Jordan, silakan klik visitjordan.com

June 1, 2016
The power of female travelers
Sangat sering saya ditanyakan orang “sebagai cewek, ngeri nggak sih traveling?” dan sungguh saya nggak ngerti kenapa pertanyaan semacam itu masih ada di tahun 2014? Bahkan orang-orang tua (untungnya bukan orang tua saya) hari gini masih ada yang bilang, “Traveling? Tapi kamu kan cewek!”
Sebagai cewek, harus diakui umumnya kita memang lebih rentan dibanding cowok secara fisik. Tapi ingat lah bahwa resiko ditipu, dicuri, dirampok, bahkan diperkosa adalah sama juga dengan yang ditanggung cowok. Kriminalitas itu tidak pandang jenis kelamin, umur, fisik dan lain-lain. Secara kasarnya, kalau sial ya sial aja. Jalan-jalan sendiri di malam hari ke tempat yang sepi? Itu sih bukan hanya cewek, tapi cowok pun akan jadi sasaran kejahatan. Dengan menggunakan common sense, semua resiko itu bisa diminimalisasi, dan tentunya ditambah doa agar kita selalu dalam lindunganNya.
Perhatikan nggak? Buku-buku travel di Indonesia sebagian besar ditulis oleh cewek. Semakin lama pun semakin banyak cewek yang traveling. Bahkan perjalanan setahun saya keliling dunia 2012-2013 saya bertemu lebih banyak cewek daripada cowok. Kalaupun ada cowok, sebagian besar dia datang bersama ceweknya.
Apakah karena populasi cewek lebih banyak di dunia? Salah! Saat ini perbandingan pria dan wanita adalah 101:100 kok. Jadi kenapa cewek lebih banyak traveling? Teori saya sih karena umumnya cowok itu lebih serius memikirkan masa depan karena secara kodrat mereka lah yang nantinya wajib menjadi breadwinner (pencari nafkah untuk keluarga). Jadi, cowok lebih cenderung untuk mengejar karir supaya duluan mapan dan bisa menikahi cewek. Sementara cewek, apalagi masih single, mikirnya kalo ada duit ya dipake untuk senang-senang sendiri aja dulu. Hayo ngaku!
Menurut saya, jadi cewek itu justru jauh lebih diuntungkan saat traveling. Tahu kan ada istilah “ladies first”? Artinya, kita memang selalu didahulukan. Sebut saya tidak mendukung persamaan hak pria dan wanita. Tapi dalam hal traveling, saya tetap ingin mendapat perlakuan khusus kok!
Pertama, cewek itu sering diberikan tempat khusus. Transportasi publik memberikan space khusus untuk cewek, seperti gerbong khusus di kereta api atau dapat prioritas tempat duduk di bus. Parkir aja di mal, cewek mendapat tempat khusus bukan? Bahkan di India yang katanya paling serem bagi traveler cewek, justru memberikan jalur antrian khusus, disediakan polisi cewek, dan kursi MRT hanya boleh diduduki oleh cewek.
Kalau menginap di hostel, sering tersedia kamar dorm khusus cewek tapi sangat jarang ada dorm khusus cowok. Cowok dianggap lebih fleksibel dengan berbagi kamar dengan cowok maupun cewek, sehingga pilihannya hanya dorm yang mix cewek-cowok. Belum lagi soal toilet dan kamar mandi, untuk cewek umumnya lebih luas dan letaknya lebih dekat.
Dalam soal belanja atau membeli sesuatu yang bukan fixed price, cewek yang emang doyan nawar dianggap wajar bagi penjual sehingga pada akhirnya kita bisa mendapatkan harga lebih murah. Cowok umumnya lebih gengsi dalam hal ini, dan itu terbukti seringnya saya mendapat harga lebih murah dibanding teman-teman traveler yang cowok. Secara umum, barang-barang yang tersedia di pasaran pun sebagian besar ditujukan untuk cewek sehingga kita lebih bebas memilih. Baik membeli barang untuk diri sendiri maupun untuk oleh-oleh kepada cewek lebih mudah karena lebih banyak pilihan.
Justru karena kita cewek, kita harus memanfaatkan “kecewekan” kita. Contohnya kalau kita bertanya arah jalan kepada seseorang, hampir dipastikan ia akan menjawab dengan lebih ramah kepada cewek daripada kepada cowok – secara cowok kan gengsi kalau nanya jalan bukan? Malah cewek yang nanya jalan dan akhirnya dianterin itu kemungkinannya besar! Kalau naik kendaraan dan mengambil tas dari bagasi, sebagai cewek kita bisa santai meminta tolong kepada kondektur untuk diangkatin. Saya malah kasihan sama cowok, mereka harus berlaku sebagai cowok dengan mengangkat tas sendiri tanpa minta tolong – bahkan mereka merasa berkewajiban membantu traveler cewek lainnya.
Contoh yang lebih ekstrim lagi, kalau cewek ke bar, kita bisa senyum-senyum kedipin bartender cowok untuk mendapat minuman gratis. Hal semacam ini sulit dilakukan oleh cowok, kecuali emang udah kenal sebelumnya. Pokoknya, kemungkinan cewek ditraktir makan dan minum jauh lebih besar daripada cowok!
Masih banyak lagi deh keuntungan cewek traveling. Intinya, kita tinggal pasang muka memelas dan banyak senyum, orang akan senang hati membantu. Nggak usah sok kuat dan tegar deh. Kadang berlagak lemah justru memberikan keuntungan loh! Yang penting, kita tahu batasnya. Berani tegas kalau ada yang kurang ajar. Berpakaian sopan dan tidak “mengundang”. Sisanya, kita harus menjaga keamanan dan keselamatan diri, apapun jenis kelaminnya.
Ingatlah, worrying gets you nowhere! Kalau kita khawatir melulu, kapan kita jalan-jalannya dong?
—
Tulisan ini pernah masuk ke Majalah Elle, 2014

May 12, 2016
Menginap di Rumah Gubernur
Saat ada kerjaan ke Filipina, saya sengaja extend seminggu untuk mengunjungi sahabat saya Alda, teman sekelas sekaligus roommate di kampus AIM Manila. Alda sudah pernah menginap di rumah saya di Jakarta, saya pernah mengunjunginya saat dia bekerja di Dubai, beberapa kali kami sempat traveling bareng. Akhirnya baru kesampean menginap di rumahnya di Davao City di Pulau Mindanao pada Januari 2016.
Mindanao adalah pulau paling selatan di Filipina yang dekat dengan utaranya Kalimantan dan Sulawesi. Tak heran di wilayah ini paling banyak penganut Islam karena dulu asal penduduknya dari Malaysia dan Indonesia. Sayangnya wilayah Mindanao dicap tidak aman karena di sana lah pusat Abu Sayyaf, kelompok militan Islam yang sering melakukan aksi terorisme, seperti pemboman dan penculikan, juga aksi kriminal lainnya. Terakhir mereka menculik tiga turis asing di Samal Island beberapa bulan sebelum keberangkatan saya! Tapi kata Alda tidak usah khawatir, karena saya bukan target. Baiklah.
Rupanya ayahnya Alda adalah konsultan Gubernur Davao Oriental. Beliau mempromosikan saya sebagai “blogger terkenal”, jadilah saya diundang menjadi tamu kehormatan. Saya, ditemani Alda, akan diajak jalan-jalan ke tempat wisata, disediakan mobil berplat merah dan supir, ditraktir makan, dan menginap di rumah Gubernur! Wah, seumur hidup saya aja nggak pernah ketemu Gubernur DKI Jakarta, apalagi diajak nginep. Diundang gubernur manapun di Indonesia juga nggak pernah sih. Lagian, siapa gue? Hehehe!
Davao Oriental adalah sebuah propinsi di Pulau Mindanao. Ibu kotanya bernama Mati yang berjarak sekitar 3 jam naik mobil dari Davao City. Iya, nama kotanya Mati! Saya aja langsung foto di depan tulisan “Mati”. Kesannya gimana gitu! Perjalanan ke sana pemandangannya keren, karena melewati pesisir yang pantainya bersih. Uniknya, ada sebuah pulau yang bernama Sleeping Dinosaurs. Saya perhatikan, bentuk pulaunya memang mirip dinosaurus yang lagi bobo! Uh, luthunah!
Kota Mati ternyata nggak mati-mati amat. Meski kotanya kecil dan agak awut-awutan, tapi kantor gubernurnya keren banget! Mirip kayak di Indonesia; bangunan paling bagus di suatu kota adalah kantor gubernurnya. Saya pun berencana sowan ke Governor Corazon Nuñez-Malanyaon. Sayangnya Gov Cora (panggilan untuk Ibu Gubernur) lagi sibuk, jadi saya tidak sempat bertemu.

Kantor Gubernur Davao Oriental
Di Mati ada sebuah museum yang surprisingly merupakan museum yang paling bagus se-Filipina yang pernah saya kunjungi. Isinya adalah sejarah peradaban propinsi tersebut dan highlight destinasi wisatanya. Yang keren, display-nya interaktif, seperti lantai dan dindingnya yang berupa layar datar TV menampilkan satwa-satwa endemik yang kalau dipencet keluar informasi. Bagian yang menarik adalah tentang Mount Hamiguitan yang baru saja diresmikan menjadi UNESCO Heritage Site karena memiliki keunikan berupa hutan bonsai terluas di dunia. Sayang saya tidak sempat mengunjunginya.
Di belakang museum tersebut terdapat rumah dinas Gubernur. Di situ lah saya disuruh menginap. Wah, rumahnya mewah banget! Menghadap lembah yang cantik, rumah besar berasitektur mirip rumah kolonial Spanyol ini memiliki kolam renang. Kamar kami aja udah kayak hotel interiornya.
Sore-sore kami ke Dahican Beach. Pantai cantik berpasir putih sepanjang 7 km ini adalah andalan pariwisata Mati. Udah siap-siap mau nyebur, eh ombaknya gede banget sampe saya ciut! Masalahnya di situ tidak ada yang berenang selain para surfer profesional. Jadilah kami nongkrong aja sambil barbeque-an.
Bangun pagi, sudah disediakan sarapan di ruang makan dengan meja panjang bak jamuan kerajaan. Di kepala meja, duduk seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai suaminya Gubernur. Namanya Louie Malanyaon. Aduh saya jadi nggak enak gini. Belum ketemu gubernur tapi suaminya jadi kebawa-bawa. Namun Sir ini orangnya asyik dan pengetahuan tentang pariwisata Davao Oriental luas. Saya pun bertanya di mana berenang yang airnya tenang? Beliau menyarankan ke San Victor Island.
Berangkatlah kami ke pulau tersebut. Dua jam naik mobil ditambah naik kapal nelayan sepuluh menit, sampailah kami di pulau berpasir putih seluar 3 hektar. Kami menyewa saung ke petugasnya. Rupanya pulau ini dimiliki oleh gereja Katolik setempat yang sudah menyediakan fasiltas kamar mandi dan air bersih untuk bilas. Ah, menyenangkan sekali kalau dikelola dengan baik seperti ini. Saya pun langsung nyebur!
Selanjutnya kami mampir di Baganga Sunrise Boulevard. Sejatinya adalah pantai pasir putih yang ditumbuhi hutan bakau. Karena taifun Pablo yang menghancurkan propinsi tersebut pada 2012, hutan bakau itu sebagian besar terserabut dan meranggas. Namun pemandangannya jadi sangat instagrammable!
Akhirnya kami tiba di Cateel (dibaca: Kati-il), kota asal Gubernur. Ternyata rumah pribadi mereka lebih keren lagi! Berasitektur tradisional dengan daun jendela terbuat dari kerang, bertingkat tiga, serba luas dengan interior serba kayu minimalis. Kami disuruh tidur di kamar anaknya. Kekeluargaan banget nggak tuh? Malamnya Sir Louie menjamu kami. Makan cuma bertiga, eh beliau meng-hire catering khusus yang menyediakan seekor lechon (babi guling), lobster, dan udang galah. Wah, mewah bener! Saya jadi tahu perbedaan lechon ala Cateel. Babi yang hidup free range (tanpa dikandangi) ini dipotong saat baru berumur 3 bulan, sehingga dagingnya empuk dan lemaknya tipis. Bumbunya pun minimal sehingga rasanya luar biasa enaknya.

Rumah Gubernur Davao Oriental
Besoknya sebelum kembali ke Davao City, kami mengunjungi Aliwagwag Falls. Denger namanya jadi pengen ketawa: Ali-wag-wag! Air terjun ini tingginya 340 meter atau tertinggi se-Filipina, tapi bentuknya berteras-teras sehingga membentuk 22 air terjun kecil yang jatuh ke kolam-kolam. Cantik banget! Meski lokasinya di tengah hutan, tapi fasilitas telah dibangun dengan baik. Di dasarnya tersedia bangunan permanen bertingkat untuk piknik, jalan setapak ke atas sudah diberi pagar dan bebatuan padat sehingga aman, kolam-kolamnya pun diberi informasi mana yang untuk anak kecil maupun orang dewasa. Salut!
Dan hari-hari selanjutnya saya jalan-jalan deh sama Alda di Davao City, kota terluas se-Filipina. Tahun 2005 saya pernah ke sana sama Yasmin, dan kotanya sendiri sekarang tak banyak berubah, hanya lebih ramai. Hebatnya, Walikota Davao telah menerapkan anti-smoking policy di seluruh kota! Destinasi wisata favorit saya sekitar Davao City adalah Eden Nature Park yang terletak di pegunungan dan Samal Island yang berpasir putih dan laut tenang. Sungguh, saya merasa aman-aman aja selama saya di Mindanao.

April 27, 2016
Ekspedisi WWF ke Pulau Koon
Mendadak saya menerima undangan dari WWF Indonesia untuk mengikuti ekspedisi ke Pulau Koon di Kabupaten Seram Bagian Timur, provinsi Maluku (hashtag #XPDCKOON). Tujuan ekspedisi ini adalah mengumpulkan data ekologi, sosial dan pariwisata kawasan konservasi Koon. Sebagai pecinta pulau eksotis dan diving, saya langsung setuju. Apalagi bisa melihat langsung bagaimana para ilmuwan kelautan dan perikanan bekerja.
Ada 21 orang yang ikut dalam ekspedisi Koon dari WWF Indonesia yang dibantu oleh personel dari Yayasan TERANGI, Dinas Kelautan & Perikanan Kabupaten Seram Bagian Timur, TNI AL Ambon, Balai Taman Nasional Wakatobi, dan 2 orang travel blogger yaitu saya dan Terry dari negerisendiri.com. Ekspedisi yang diadakan pada 13-25 April 2016 ini menggunakan Kapal Menami milik WWF yang dikirimkan dari Wakatobi.

Tim #XPDCKOON tiba di Pulau Gorom
Karena ada kerjaan lain di Lampung, saya baru bisa menyusul pada 14 April 2016 yang dijadwalkan dengan menggunakan pesawat rute Jakarta-Ambon-Langgur, lalu akan naik speed boat WWF dari Langgur (Kei) ke Koon. Baru saja mau naik pesawat di bandara Pattimura Ambon menuju Langgur, saya ditelepon WWF yang mengatakan bahwa saya sebaiknya turun dari pesawat saja karena kapal Menami ternyata masih di Ambon. Saya sampai nggak enak ngerepotin sebandara karena harus mengeluarkan tas dari bagasi pesawat.
Beruntung saya masih bisa ikut workshop sehari untuk semua peserta ekspedisi di atas kapal Menami. Workshop ini antara lain mengenai tata cara survei cepat dan manajemen data. Sehari tiga kali diadakan coral and fish test alias ujian tentang karang dan ikan! Saya baru tahu bahwa karang itu jenisnya sangat banyak. Karang keras saja terbagi lagi menjadi Acropora dan Non Acropora. Masing-masing terbagi menjadi golongan branching, encrusting, submassive, dan lain-lain. Padahal di layar semua tampak sama!
Sedangkan ujian ikan, terbagi antara identifikasi ikan dan ukuran ikan. Ruangan kelas pun terdengar bak bahasa Asterix & Obelix karena mereka menyebut jenis ikan dalam bahasa Latin! Saya yang cuma tahu ikan baronang, ikan kuwe, ikan kerapu itu masih salah karena masing-masing keluarga ikan mempunyai jenis lain-lain – makanya wajib hapal nama Latin dua kata karena termasuk genus-nya. Sebagian besar peserta yang memang sarjana kelautan dan perikanan sekaligus bekerja di LSM bidang konservasi laut membuat saya geleng-geleng kepala. By the way, sebagian besar lulusan IPB dan Universitas Diponegoro lho! Ih, bangga deh saya sebagai almamater Undip!
Yang agak mending saya bisa ikuti adalah ujian mengukur panjang ikan. Panjang dihitung dari ujung muka sampai ujung ekor. Ternyata tidak semua ikan dijadikan target penelitian. Ikan karang di bawah 10 cm tidak dihitung. Kategori ikan yang dihitung adalah “ikan kecil” dengan ukuran 10-35 cm dan “ikan besar” dengan ukuran 35 cm ke atas. Jenisnya pun tertentu, hanya yang dianggap bernilai ekonomis, antara lain Scaridae, Seranidae, Lutjanidae, Carangidae, Sphyraenidae, dan Cachardindae – silakan googling artinya ya? Hehehe.
Ada juga penelitian Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) Selam, seperti kecerahan perariran, tutupan karang, jenis life form, kecepatan arus, dan lain-lain. Juga pengambilan data SPAGs (spawning agregation) yang artinya adalah meneliti ikan kawin! Ditambah lagi penelitian Hewan Karismatik, maksudnya penyu, hiu, paus – entah kenapa disebut “karismatik”. Selain pengambilan data bawah laut, juga ada penelitian darat berupa wawancara kepada para nelayan di pulau-pulau terdekat dengan 150 butir pertanyaan.
Sayangnya karena birokrasi surat izin berlayar dari syahbandar yang ribet, kami stuck di Ambon selama 3 malam. Setelah workshop ekspedisi selesai, mendadak saya disuruh mengisi workshop penulisan. Hari bebas lain kami isi dengan berbelanja di mal dan pasar untuk logistik kapal. Saya sendiri mengajak sebagian peserta untuk berwisata ke Pantai Liang, Kampung Bola Tulehu, dan makan rujak di Pantai Natsepa. Beruntung saya sempat bertemu dengan Victor, seorang teman di Ambon yang berbaik hati meminjami kipas angin… karena kamar tidur di kapal Menami sangat panas!
Singkat cerita, pada 17 April 2016 pukul 10 pagi kami berangkat. DUA PULUH ENAM JAM yang membosankan kemudian, akhirnya kami tiba di Pulau Gorom. Speed boat WWF yang dinamai Pesut dari Kei telah tiba untuk membantu penelitian. Kata kaptennya, untung saya tidak ikut nebeng karena perjalanan molor dari 5 jam jadi 8 jam akibat ombak besar. Titik penyelaman ada dua puluhan di sekitar gugusan Pulau Koon, Pulau Gorom, Pulau Geser, Pulau Grogos, Pulau Nukus, Pulau Neiden, Pulau Kidan, dan Pulau Panjang.
Kami pun dibagi 2 tim ekspedisi penyelaman, masing-masing terdiri dari 6 orang. Saya memilih untuk ikut tim yang berada di kapal Pesut yang bertangga karena masalah (badan) saya adalah memanjat rubber boat dari laut. Urutan penyelaman adalah pertama, “anak ikan” yaitu 2 orang yang mendata ikan kecil dan ikan besar. Kedua adalah “Roll Master” yaitu orang yang bertugas membentangkan tali meteran rol. Ada 5 rol tali, masing-masing sepanjang 50 meter. Ketiga adalah “anak karang” yaitu yang mendata terumbu karang, bleaching, dan bentik. Masing-masing penyelam mencatat hasil temuannya pada papan yang dilapisi kertas anti air. Di atas kapal ada orang yang bertugas mendata lokasi dan men-tag GPS bila bertemu “hewan karismatik”.

Tutus Wijanarko meneliti ikan kawin! (foto: Taufik Abdillah)
Kami semua turun ke kedalaman 10 meter, seseorang akan menandainya dengan jerigen. Lalu “anak ikan” maju ke depan sambil mencatat data ikan. Tugas mereka mendata sampai jarak 250 meter dan dilanjutkan dengan long swim selama 15 menit. Di belakangnya, Roll Master membentangkan tali meteran. Bila sudah lewat 250 meter dan menandainya dengan safety sausage, maka tandanya “anak ikan” akan long swim. Terakhir “anak karang” yang mendata kondisi karang sampai jarak 150 meter. Makanya Roll Master setelah membentangkan tali meteran 250 meter, ia harus balik menggulung meteran sampai ke titik 150 meter. Dan “anak karang” lah yang akan menggulung balik sampai ke titik 0.
Dari semua spot penyelaman, alam bawah lautnya memang bagus. Karena lokasinya yang terpencil, hanya kapal pesiar atau LOB (live on board) yang bisa masuk – itu pun sangat jarang. Memang ada sebagian spot yang rusak akibat pemboman oleh nelayan setempat. Untunglah WWF Indonesia telah melakukan konservasi sejak tahun 2011 dimana WWF bersama dengan Raja dan rakyat Petuanan Negeri Kataloka telah menyepakati kerjasama wilayah konservasi yakni Marine Conservation Agreement (MCA), yang bertujuan untuk pemulihan ekosistem laut di perairan sekitar Pulau Koon. Pelarangan pengambilan ikan di situ dilakukan karena merupakan lokasi agregasi pemijahan ikan kerapu sunu, kakap merah, kerapu macan, dan bobara mata besar. Selain itu, perairan Koon juga memiliki kepadatan biomasa (jumlah spesies) jenis ikan tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah pemijahan ikan lainnya di Indonesia bagian Timur. Terbukti saat menyelam di area MCA tersebut, saya menyaksikan sendiri terumbu karang yang padat, sehat, dengan ikan yang luar biasa banyaknya, termasuk ikan kerapu dan bobara, bahkan bertemu schooling ikan GT, barakuda, bumphead, dan sweetlips! Tak heran situs ini dinamai warga setempat sebagai “Pasar Ikan” – nama yang sangat cocok!
Saya yang biasa diving for fun, sekarang baru tahu bedanya diving for work. Peralatan diving angkut sendiri, pasang sendiri. Setelahnya angkut sendiri, bongkar sendiri, cuci sendiri. Kalau ada arus kencang, kami tetap berenang melawan arus sekencang apapun sampai kaki dan gigi mau copot saking pegelnya. Kalau ada spot oke untuk foto, tidak ada yang peduli karena pada fokus pada penelitian. Kalau pun mau foto-foto, hanya bisa saat safety stop. Kalau ada yang fotoin, hasilnya tidak sebagus teman fun diver yang biasanya bawa kamera profesional. Ya iya lah yaa… namanya juga ekspedisi penelitian ilmiah, bukan hura-hura!
Di sisi lain saya sangat salut dengan para peneliti yang begitu passionate dengan pekerjaannya dan tidak masalah menempuh kondisi apapun. Saya bertanya, “Emang kalian enjoy ya diving tapi kerja keras begitu?” Jawab mereka, “Kami malah bingung kalau cuma diving doang tanpa mencatat ikan dan karang.”
—
PS. Cerita behind the scene ekspedisi ini bisa dibaca di buku “The Naked Traveler 7” yang akan terbit secepatnya.

April 10, 2016
Traveling with Travel Writers
Tidak semua teman itu enak buat diajak traveling bareng, meski itungannya sahabat paling dekat sekalipun. Tapi kalau teman yang emang sama-sama penggila traveling, tanpa ba-bi-bu langsung aja setuju.
Saya, @claudiakaunang, dan @riniraharjanti sama-sama penulis buku travel. Kami berkenalan lebih dari 5 tahun yang lalu karena sama-sama satu penerbit di Bentang Pustaka. Sejak itu kami berteman baik. Namanya juga tukang jalan-jalan, kami jarang banget bertemu. Namun gosip chatting jalan terus, mulai dulu di laptop via Yahoo Messenger sampai sekarang di smartphone via Whatsapp dan Skype.
Saya sendiri sudah pernah traveling bareng Rini ke Raja Ampat, itu pun gabung dengan 10 orang lainnya di atas kapal. Sama Claudia baru sekali ke Yogya, sehari pula. Rini dan Claudia malah belum pernah traveling bareng. Setiap chatting kami selalu melontarkan ide untuk traveling bareng, tapi nggak pernah kesampaian. Bahkan mengunjungi Rini yang tinggal di Kuala Lumpur aja nggak jadi-jadi. Sampai lah suatu hari terlontar ide untuk traveling bareng ke Canada. Kenapa Canada? Meski sudah puluhan negara kami kunjungi, tapi kami bertiga sama-sama belum pernah ke Canada.
Singkat cerita, coba tebak, gimana gaya jalan kami – para travel writer kondang? #ciyee
Apakah disponsorin? Nggak sama sekali. Kami traveling ke Canada pake duit tabungan masing-masing.
Seberapa banyak bawaannya? Setiap orang bawa 2 pieces; koper/ransel dan ransel kecil. Karena cuaca dingin, bawaan jadi lebih banyak dan bulky. Bawaan yang paling lengkap sampe ke printilan sih Claudia – minta apa aja kayaknya ada. Rini yang bodinya paling kecil justru bawaannya paling banyak.
Bikin itinerary? Kagak! Kami cuma tahu tanggal berapa ada di mana. Karena saya punya waktu hampir sebulan, Rini 2 minggu, dan Claudia cuman punya semingguan. Artinya, kami hanya bersama seminggu pertama. Tiga hari pertama saya dan Rini ke Victoria, sebelum bergabung dengan Claudia di Vancouver. Setelah itu tiap malam kami berdiskusi mau ngapain,ke mana besoknya dan sama-sama browsing. Di tiap kota kami selalu ke Tourism Office setempat untuk cari info. Itu pun sering nemu ide baru di jalan dan berubah rencana. Pokoknya kami sangat fleksibel.
Naik apa? Kebanyakan sih jalan kaki. Sebagai tukang jalan-jalan, kami semua kuat jalan kaki seharian. Kalo jauh ya naik bus, atau naik taksi ke bandara/terminal bus karena bisa patungan bertiga. Pernah juga nyewa mobil ke Lake Louise karena Rini dan Claudia punya SIM Internasional.
Apakah ke mana-mana selalu barengan? Seharian sih iya, tapi duduk di bus pun kami bertiga mencar karena sama-sama maunya duduk di jendela. Tapi kalo ada salah satu yang nggak mau ikut, ya nggak maksa. Sehabis makan malam biasanya ada sesi curhat. Setelah itu, Rini yang anak kantoran pasti tidur duluan, Claudia kerja di laptop-nya, saya kadang ngelayap.
Menginap di mana? Kami tinggal di hostel yang female dorm sekamar berempat, jadi ada seorang wanita lain yang tidak kami kenal. Saya dan Claudia yang bertubuh besar mendapat kemewahan untuk boleh tidur di bunkbed bawah.
Apakah ada ritual khusus? Claudia bangun selalu paling pagi karena dia kudu dandan dulu. Tidur paling telat pasti saya, karena saya selalu mandi sebelum tidur dan mengeringkan rambut pake hair dryer. Karena kami bertiga sama-sama Kristiani, sebelum berangkat kami berdoa bersama yang dipimpin oleh Rini.
Gimana makannya? Cari makan pasti yang lebih hemat, seperti di food court atau restoran lokal. Sesuai dengan ukuran tubuh, Rini makannya paling sedikit. Claudia yang doyan ngemil mesti ke supermarket beli camilan sendiri. Saya hanya makan 3 kali sehari langsung porsi besar. Lucunya setiap order makanan di restoran ada polanya; Rini makan ayam, Claudia makan sapi, saya makan babi. Hehehe!
Gimana soal perduitan? Untuk booking tiket bus dan hostel biasanya ditalangin dulu pake kartu kredit Claudia, bayarnya belakangan pas tagihan datang dalam Rupiah. Sisanya duit sendiri-sendiri.
Siapa yang jadi leader? Tanpa traveling bareng pun, kami sudah tahu bahwa Claudia lah yang otomatis menjadi pemimpin, dia juga paling jago baca peta. Saya dan Rini sih seneng banget ada yang ngurusin. Claudia pun hepi karena dia terbiasa bawa grup #TripBarengCK. Lucunya pernah dia kebablasan mengajak kami ke kafe populer asal Amerika karena kebiasaan grupnya suka beli tumbler.
Shopping nggak? Ternyata di antara kami bertiga, yang paling doyan shopping adalah Rini! Dia juga yang rajin ngeracunin kami kalo ada barang sale. Claudia hanya beli suvenir, saya yang paling nggak beli apa-apa kecuali sekali kena racunnya Rini beli jaket.
Pada gila selfie nggak? Nggak sama sekali. Motret aja kami termasuk malas. Kami semua tidak punya action cam dan tongsis, jadi kalau mau foto ya gantian aja. Itu pun foto bertiga jarang banget. Meski kami aktif di socmed, tapi kami tidak terpaku pada smartphone masing-masing. Interaksi dengan real people lebih penting!
Berantem nggak? Nggak sama sekali! Itu dia, kalo jalan sama orang udah sama-sama sering traveling, hampir dipastikan orangnya sama-sama asyik. Apa-apa dikomunikasikan dan transparan. Mau gebet cowok juga aman karena selera kami berbeda.
Ah, ternyata traveling sama mereka memang menyenangkan! Pulang dari Canada, kami pun merencanakan untuk traveling bareng lagi di tahun 2016. Ke mana? Yang jelas ke negara yang kami semua belum pernah juga. Ada yang bisa tebak? Tunggu aja ceritanya!

Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
