Trinity's Blog, page 14
September 29, 2015
[Buku Baru] The Naked Traveler Anthology: Horror
Saya melihat cermin …. DUG! Seketika itu jantung saya mau copot!
Di belakang saya ada seorang wanita sedang duduk di sofa! Dia duduk sambil kepalanya menunduk, tertutup rambutnya yang panjang! Saya langsung teringat film hantu Sadako yang pernah saya tonton. Oh, no!
Temukan sensasi baru menyimak kisah perjalanan ke-10 traveler dengan latar belakang yang beragam ini. Dalam pengalaman mereka, masing-masing terselip bonus kenangan tidak mau diingat-ingat lagi. Dari bermalam di sebuah kota mati di Jepang, merasakan hawa janggal dan suara-suara parau memanggil kala mendaki gunung api di Pulau Banda Neira, sampai pengalaman spiritual bertemu peramal misterius yang bikin merinding di Edinburg, Skotlandia.
Siap-siap buka mata, telinga, dan indra lainnya terhadap segala penampakan yang mungkin muncul dalam perjalanan.
Eh, ada apa itu di belakangmu?
—

#TNTAnthologyHorror
Itu dia sinopsis buku The Naked Traveler Anthology: Horror, buku saya yang ke-12! Sesuai dengan judulnya “anthology”, artinya buku ini ditulis rame-rame. Selain saya, ada 9 travelers piawai lain yang heits banget di dunia traveling dan penulisan Indonesia. Mereka adalah @ariysoc (penulis 11 buku travel), @cipukun (penulis 3 buku), @jennyjusuf (Penulis Skenario Terpuji di Festival Film Bandung 2015), @indohoy (travel blogger ngetop), @riniraharjanti (penulis 6 buku travel), @rockyrockers (penulis 2 buku travel), @pergidulu (penulis 4 buku travel), @vabyo (penulis 12 buku laris), dan @jovitaayu (mantan presenter Jejak Petualang).
Kami menuliskan 11 kisah nyata perjalanan yang mencekam yang melibatkan manusia dan “makhluk lain”. Siapa bilang kejadian mencekam itu cuma di Indonesia? Buku ini lokasinya mulai dari Bukit Lawang dan Banda Naira, sampai ke negara maju seperti Jepang dan Skotlandia! Get ready for goosebumps, adrenaline rush, terror, and to conquer your demons!
Diterbitkan oleh @BentangPustaka, buku setebal 192 halaman berwarna ini harganya Rp 54.000,00. Akan tersedia di toko-toko buku di seluruh Indonesia secara bertahap mulai 11 Oktober 2015. Acara launching-nya di Jakarta akan dikabari via socmed @TrinityTraveler. Jangan lupa hashtag-nya #TNTAnthologyHorror.
Supaya nggak ketinggalan, silakan Pre-Order (PO) pada 27 September – 6 Oktober 2015 di toko-toko buku online sebagai berikut: mizanstore.com, temanbuku.com, bukabuku.com, bukukita.com, bukubukularis.com, parcelbuku.com, kutukutubuku.com, lestaribookstore.com, katalisbooks.wordpress.com, pengenbuku.com, tokobaca.com. Semua buku yang PO akan langsung mendapatkan tanda tangan saya dan mendapat harga diskon sampai 20%. Buruan yaa karena persediaan terbatas!
Ayo beli supanya menyumbang duit traveling saya selanjutnya, biar jadi buku lagi The Naked Traveler 7!

September 17, 2015
Kehabisan uang pas traveling?
Saya bingung kalau ditanya, “Gimana kalo kehabisan uang pas traveling?” Masalahnya, gimana saya mau membagikan pengalaman kalau saya sendiri tidak pernah mengalaminya? Bukannya karena saya tajir atau sombong, tapi saya memang nggak pernah kehabisan uang sampai harus pinjem duit, cari kerja serabutan, apalagi mengemis.
Saya sih percaya bahwa setiap orang (yang pintar) nggak mungkin kehabisan uang pas traveling. Caranya begini;
Tahu batas
Saat merencanakan traveling, cuma Anda yang tahu berapa jumlah uang yang tersedia dan berapa jumlah maksimum yang akan dihabiskan untuk perjalanan tersebut. Kalau Anda pintar, tentu Anda tidak akan menghabiskan sesuatu yang melebihi kemampuan.
Riset yang benar dan buat budget.
Selain soal destinasi (cara ke sana, naik apa, berapa lama, ada apa aja), komponen lain adalah akomodasi, transportasi, konsumsi, dan pengurusan visa (jika ada). Cara tau biayanya? Browsing dong! Dari situ buatlah budget per hari dikali lama tinggal. Jangan lupa tambahkan budget shopping dan dugem kalo doyan, tips, dan dana emergency minimal 10% dari total. Kalau pake patokan jumlah dana yang harus tersedia di rekening saat apply visa, berarti di rekening harus ada sejumlah uang yang cukup untuk tiket pulang.
Stick with the budget
Setelah keluar angka budget, paling penting adalah pelaksanaannya. Jangan menghabiskan uang melebihi budget yang telah Anda sepakati. Contohnya jika budget makan 3 kali sehari adalah USD 15 dan Anda sudah menghabiskan USD 12 untuk 2 kali makan, maka cari lah makan malam yang seharga tidak lebih dari USD 3. Iya, harus segitu strict-nya kalau mau aman!
Lupakan shopping dan oleh-oleh
Biasanya orang kehabisan uang pas traveling itu karena kebanyakan shopping. Apalagi pake alasan “lebih murah daripada di Indonesia”. Boleh aja sih shopping, asal Anda sudah mem-budget-kannya dan tetap stick dengan budget tersebut. Anda juga harus tega tidak membelikan oleh-oleh kalau memang duit mepet. Prinsipnya gini: kalau harga suatu barang nggak diskon maka Anda nggak akan beli, berarti barang tersebut tidak Anda butuhkan. #jleb
Beli tiket pulang
Sebelum berangkat, beli lah tiket pulang juga. Itu dapat meminimalisasi ketakutan akan kehabisan uang sehingga nggak bisa pulang.
Punya asuransi perjalanan
Banyak orang mengabaikan asuransi, terutama saat traveling. Padahal selalu ada kemungkinan tiba-tiba kita kecelakaan atau sakit parah, dan kita tidak punya uang saat masuk rumah sakit. Asuransi tertentu ada yang bisa meng-cover hal seperti ini dengan memberikan advanced payment atau kartu khusus yang tinggal digesek. Cermatilah pasal travel insurance sebelum membeli, ada yang hanya meng-cover perjalanan luar negeri atau dalam negeri saja.
Punya kartu kredit
Sebagai traveler, fungsi kartu kredit yang utama adalah untuk booking online. Bagi saya, kartu kredit adalah uang emergency yang dipakai hanya kalau kepepet dengan minimal batas pagunya seharga tiket pulang.
Bawa barang yang kira-kira bisa dijual
Kalau masih khawatir juga, bawa barang yang kira-kira bisa dijual kalo kepepet. Baju yang kita pakai dalam keadaan masih layak, bisa dijual di pasar loak. Jam tangan dan perhiasan adalah sebagian dari barang yang bisa dijual. Tapi kalau bawa yang asli takut dicopet, bawa aja yang palsu. Harap diingat, ada negara yang perlindungan hukum terhadap hak cipta sangat ketat jadi hati-hati aja.
Punya keahlian khusus yang bisa dapat uang instan tanpa modal
Waktu itu saya bukannya dalam keadaan kehabisan uang, tapi karena saya bisa meramal ternyata keahlian sotoy saya ini bisa juga diuangkan. Teman saya yang jago nyanyi dan main gitar pun pernah iseng ngamen dan dapat uang. Tapi jika Anda dalam keadaan benar-benar nggak punya uang sepeser pun di negara antah berantah – ini sih kondisi yang lebay banget, tetap gunakan akal sehat. Jika tiba-tiba didatangi seseorang tak dikenal yang menawarkan pekerjaan dengan bayaran gede banget, selalu ingat prinsip yang diajarkan acara TV Locked Up Abroad bahwa “If it’s too good to be true, then don’t do it!”. Nggak mau kan Anda disuruh bawa narkoba lalu dipenjara, atau dihukum mati?
Bekerja online
Karena saya freelance travel writer, saya sih bisa kerja di mana aja di seluruh dunia asal ada koneksi internet. Contoh pekerjaan lain yang modal internet adalah jadi social media buzzer, main saham, graphic designer, web developer, dan lain-lain. Kalau traveling cuma seminggu dua minggu mah nggak pengaruh karena pembayarannya juga lama. Tapi kalau perjalanan Anda setahun seperti #TNTrtw itu baru pengaruh banget. Paling enak sih punya penghasilan pasif seperti royalti, yang kita tidur pun duit masuk. Makanya beli terus buku-buku saya ya? #tetappromosi
Bekerja part time
Kalau lagi traveling di luar negeri sih saya tidak menyarankan untuk bekerja karena visa yang kita punya adalah visa turis, pake paspor Indonesia pula. Masalahnya kalau ketahuan, saya takut dideportasi atau di-blacklist karena bakal merusak karir saya. Kalau kepepet banget dan katanya bisa kerja jadi tukang cuci piring, silakan aja dicoba. Ada juga teman yang bekerja di hostel dengan bayaran nginep gratis, tapi kan tetep butuh uang untuk makan. Kalau membandingkan “bule aja bisa, kok kita nggak?” ya silakan dicoba sendiri. Jadi guru bahasa Inggris? Dengan muka Melayu aja langsung ditolak karena nggak bergengsi.
Minta dikirimi uang
Kalau nggak malu sih bisa aja minta kirim uang dari orang tua/keluarga. Tapi masa traveling aja minjem duit? Bisa-bisa Anda makin nggak dipercaya dan nggak dikasih izin lagi untuk traveling. Tapi kalau alasannya kepepet, jangan lupa bawa kartu ATM bank Indonesia yang berlaku di seluruh dunia biar nggak nyusahin yang transfer.
Pulang
Sebenarnya jawaban paling top untuk pertanyaan “Gimana kalau kehabisan uang pas traveling?” itu adalah “Pulang aja! Gitu aja kok repot!” Emang Anda bakal malu kalau pulang sebelum waktunya? Berasa jadi pahlawan gagal perang? Mending malu atau tidur di emperan sambil kelaparan? Saya yakin keluarga Anda akan menerima kembali apapun keadaannya, kecuali Anda memang dikutuk diusir.
Intinya sih, nggak usah kebanyakan parno. Emang mau traveling berapa lama dan ke mana sih sampe ribet amat? Asal semua sudah diperhitungkan dan dijalankan dengan benar, niscaya nggak bakal kehabisan uang kok pas traveling! Tetap semangaaat!

September 3, 2015
Gaya Turis Domestik di Bali
Bali memang membebaskan. Bagi orang Indonesia, pergi ke Bali berarti akan mendapat kebebasan, terutama dalam hal berpakaian. Dari hasil survei kecil-kecilan di Twitter @TrinityTraveler ternyata pada ngaku bahwa memang ada baju yang cuma berani dipakai di Bali. Kenapa cuma di Bali? Karena cuma di Bali lah bebas pakai bikini, hot pants, tank tops/singlet, dan segala macam model baju terbuka tanpa dipandang aneh.
Karena sering ke Bali, saya jadi memperhatikan gaya turis domestik. Saya ingin membuktikan hipotesis bahwa gaya mereka memang dibuat khusus untuk “edisi Bali”. Saya tekankan lagi bahwa pengamatan ini sangat subyektif dan sama sekali bukan berdasarkan sirik. Tidak ada yang bilang benar atau salah kok. Kalau nggak merasa, ya santai aja. Kalau tersinggung, berarti bener kan Anda bergaya seperti di bawah ini?
Pakai baju dengan bahan uncomfortable.
Tau kan kalau di Bali itu panas dengan tingkat kelembapan tinggi? Nah, mereka ini sepertinya punya baju liburan khusus yang (hanya) bagus untuk difoto. Bahannya bukan katun ringan yang menyerap keringat, tapi campuran bahan polyester, spandex, bahkan ada yang pake bahan rajut, satin, sutra, brokat, atau kain yang bunyinya aja kresek-kresek.
Yang make terlihat uncomfortable.
Karena pake baju “khusus di Bali aja” alias bukan dalam keadaan biasa, mereka terlihat uncomfortable. Selain baju serba terbuka seperti tank top berdada rendah dan hot pants yang dalaman sakunya keluar, ada juga yang pake baju bermodel ajaib. Contohnya, baju longgar transparan berbahan mirip selendang, baju yang punggungnya bolong, baju berpayet, dan lain-lain. Umumnya sih cewek-cewek suka pake dress panjang bermotif ramai dengan atasan model kemben. Kaum berjilbab pun tak kalah, ada yang pake summer dress dengan dalaman kaos berlengan panjang turtle neck dan legging berbahan mengkilap. Semua itu ditambah dengan aksesoris, terutama kalung.
Cewek lokal Bali sebenarnya kadang pake baju bermodel ajaib juga, cuman cewek yang bukan orang lokal keliatan banget gayanya dari kejauhan. I can spot them from a mile away! Mereka seperti pake kostum sehingga tampak uncomfortable. Seperti anak SD pake baju tradisional pada Hari Kartini – tampak excited, tapi unnatural.
Pake baju kembaran.
Turis domestik cirinya adalah pergi bergerombolan. Nah, liburan segrup keluarga, sesekolahan, sekantoran, atau segeng temen ketauan dari bajunya. Ada yang niat bikin kaos atau jaket bertuliskan “Keluarga Besar Anu” atau “Outing PT Gila” atau “SMA 1000”. Namanya acara resmi ya sudah lah ya. Nah kalau segeng temen ini yang lucu. Biasanya ada 4-5 cewek seumuran pakai baju yang ada dress code-nya, seperti model sama warna lain atau warna sama model lain. Contoh tank top warna-warni atau blus putih dan celana pendek jeans. Fotonya lagi mimi-mimi di beach club.
Alas kaki yang juga uncomfortable.
Meski sendal, tapi cewek seringnya pake sendal dengan alas berbahan kulit dengan aksesoris manik-manik, kembang, atau tali-tali ala gladiator. Kalaupun sendal jepit karet, itu pun yang beraksesoris. Atau pake sendal berhak. Malah siang-siang ada juga yang pake sepatu berhak tinggi, termasuk wedges.
Full make-up
Ini nggak usah dijelaskan lagi ya? Biasanya sih cewek kota besar di Jawa yang kayak begini. Entah maksudnya supaya kece difoto (karena ke Bali aktivitasnya foto-foto), atau emang nggak pede. Dan menjelang sore, make up mereka meleleh sehingga bedaknya udah blang bentong. Setelah itu, keluar lah kertas minyak. Hehehe!
Bawa tas.
Biasanya cewek doyan bawa handbag besar branded (entah asli atau KW) yang dijinjing di lipatan siku, kadang bertali logam – persis kayak ke kantor atau ke mal. Apa nggak sayang tuh basah? Eh, ke pantai Bali nggak basah-basahan sih. Kalau bapak-bapak, banyak yang doyannya pake tas pinggang. Kalau segeng, plus tas kresek belanjaan.
Pakai kaca mata hitam.
Namanya juga di pantai kan silau, jadi kaca mata hitam itu wajib. Cewek-cewek banyak pake kaca mata item lebar yang lebih mirip “kaca muka” dengan frame beraksesoris. Herannya, kaca mata itu dipake di Bali doang, di Jakarta yang silau juga nggak pernah disentuh.
Pakai topi.
Khusus untuk edisi Bali yang panas, maka keluar lah segala jenis topi. Mulai dari topi bisbol berlogo sponsor, topi ascot, topi panama, topi fedora, topi berbunga, topi anyaman, sampai topi superlebar ala emak-emak main golf. Taruhan, di kota asalnya yang juga panas nggak pernah dipake.
Bawa sarung Bali.
Kalau cuman untuk alas tidur di pantai ya wajar yah, ini sih dipake di badan ke mana-mana. Jadi karena mereka pake baju terbuka – padahal biasanya nggak – jadilah siang krukupan karena takut item dan malem krukupan karena takut dingin.
Pakai jaket.
Umumnya sih bapak-bapak yang doyan pake jaket, terutama para pejabat pemerintah (yang berwarna hitam, sering berbahan kulit). Ada juga sih cewek yang pake jaket di pantai. Biasanya karena nggak pede atau takut hitam, eh pas foto-foto ternyata dalamnya baju yukensi. Nggak percaya? Lihat deh di Pantai Kuta! Dan pada akhirnya, di pesawat menuju ke rumah masing-masing… baju cewek yang modelnya terbuka itu ditutup jaket karena nggak kuat dinginnya AC pesawat!

Kuta Beach on sunset
Sibuk dengan gadget.
Ini sih kebiasaan yang nggak bisa dihilangin meski lagi liburan di Bali. Zaman sekarang emang nggak bisa lepas dari smartphone. Bukan cuma untuk foto-foto, tapi di mana-mana pun sibuk ketak-ketik. Gadget liburan bertambah dengan kamera yang dicangklong di leher, kamera action HD kecil, plus tongsis. Kalau ada sejumlah orang yang heboh foto-foto melulu dengan menggunakan barang-barang tersebut, dipastikan mereka adalah turis domestik.
Nah, Anda gayanya gimana di Bali? Kalau Anda menyatakan memakai 7 dari 11 point di atas, berarti Anda sah bergaya turis domestik di Bali! Atau ada yang mau nambahin? Silakan komen di bawah ini ya?
—
Catatan:
Oke, oke, pasti kalian nanya: emang saya pake baju apa kalau di Bali? Jawabannya: di Bali maupun tidak, asal di tempat tropis, baju saya ya sama aja – T-shirt polos, celana pendek katun, kaca mata hitam, dan sendal jepit karet. Smartphone saya bawa, tapi nggak sering dikeluarin kok di mana pun.

August 24, 2015
[Adv] Pentingnya memiliki asuransi perjalanan
Hayo ngaku, Anda punya nggak asuransi perjalanan (travel insurance)? Sebagian akan menjawab “pernah punya” tapi punyanya karena syarat bikin visa ke luar negeri. Kalo nggak disyaratin, nggak punya kan? Sama, saya dulu juga gitu.
Dulu masih muda emang cuek dan nggak mikir panjang. Semakin tua jadi semakin gendut bijak. Dengan frekuensi traveling saya yang tinggi, kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan semakin tinggi. Gimana kalo paspor dicuri, bagasi hilang, penerbangan dibatalkan, dsb? Hiyyy… amit-amit! Tapi yang lebih parah lagi, gimana kalo lagi traveling di luar negeri saya masuk Rumah Sakit, kecelakaan, bahkan meninggal dunia? Siapa yang mau bayarin? Udah saya yatim piatu, masih jomblo pula. Males kan kalo ngerepotin orang?
Saya sendiri sudah punya asuransi yang mencakup Indonesia, sehingga saya perlu memiliki asuransi perjalanan yang berlaku di manapun di luar negeri. Dengan memiliki asuransi perjalanan, kita telah meminimalisasi salah satu kekhawatiran – terutama kekhawatiran “gimana kalo kenapa-kenapa, tapi duit abis?”Apalagi biaya hidup di sebagian besar negara jauh lebih mahal daripada di Indonesia.
Setelah browsing sana-sini, pilihan saya adalah AXA Mandiri Travel Insurance. Kenapa? Karena belinya gampang. Nggak usah buang waktu dan energi pergi ke kantor asuransi, tapi tinggal beli online doang di sini. Daripada repot, saya ambil asuransi perjalanan dalam jangka waktu satu tahun penuh (annual trip) ke seluruh negara di dunia, termasuk Schengen (negara-negara di Eropa). Harganya pun terjangkau, hanya USD 135 untuk asuransi perjalanan kategori Platinum! FYI, asuransi ini juga bisa diajukan untuk apply visa.
Keuntungannya bisa dibaca di sini, namun saya sarikan antara lain;
Uang santunan akan dibayar untuk kematian, kehilangan salah satu anggota badan, salah satu atau kedua mata, atau kelumpuhan total akibat kecelakaan yang terjadi selama perjalanan sebesar USD 100.000. Kalau terjadi kecelakaan diri pada saat berada di dalam pesawat terbang komersil terjadwal dapat USD 200.000.
Penggantian biaya pengobatan, perawatan gigi karena dalam keadaan darurat, biaya rumah sakit, biaya operasi, termasuk pengobatan tradisional yang dialami/terjadi selama dalam perjalanan sampai sebesar USD 100.000. Bahkan ditanggung biaya pengobatan terusannya di Indonesia sampai USD 1.250.
Jika harus tinggal di Rumah Sakit luar negeri lebih dari 24 jam, akan memperoleh tunjangan harian berupa uang tunai maksimum USD 25/hari yang bebas digunakan untuk apa saja.
Biaya untuk penguburan atau kremasi di luar negeri ditempat kematian terjadi atau biaya untuk mengangkut jenasah kembali ke Indonesia = USD 7.500.
Bila satu orang keluarga atau teman yang diperlukan untuk tinggal bersama atau melakukan perjalanan bersama Anda selama dirawat di rumah sakit di luar negeri, atau untuk menemani anak Anda kembali ke Indonesia karena Anda harus dirawat di rumah sakit di luar negeri = USD 3.000.
Penggantian uang bila terjadi ketidaknyamanan perjalanan seperti kehilangan paspor USD 300, bagasi telat USD 500, pesawat/KA/kapal delay USD 500, bahkan kalau rumah kebakaran karena ditinggal pergi dapat diganti sampai USD 5.000.
Anda juga bisa memilih asuransi AXA Mandiri Travel Insurance berdasarkan jumlah hari dan negara tujuan. Klik short trip, masukin tanggal pergi dan pulang, pilih cakupan negara (Worldwide including Schengen, Worldwide excluding Schengen, atau ASEAN plus), maka situs akan otomatis memberikan harga. Anda juga bisa beli paket Family (1-2 orang tua + 1-4 anak) dengan harga lebih murah daripada beli satuan yang Individual.
Bagaimana dengan pengalaman saya dalam klaim asuransi AXA Mandiri? Tuhan Maha Baik, selama trip saya baik-baik saja. Tapi ingat cerita “Nggak Sengaja ke Kenya”? Karena penerbangan dimajukan sehari, hotel yang sudah saya pesan seharga USD 50 jadi hangus. Karena terpaksa harus ke Kenya, saya wajib bayar visa USD 20. Total kerugian USD 70 bisa kembali dengan mengajukan dokumen berupa tanda terima pembayaran dan email dari maskapai penerbangan. Memang sih dipotong atas resiko sendiri sebesar USD 25, tapi bisa dapat USD 45 kan lumayan daripada kesel. Duit langsung ditransfer ke rekening saya dalam bentuk rupiah dalam waktu seminggu. Gampang dan menyenangkan kan?
Sebagai traveler yang bertanggung jawab, punya asuransi perjalanan emang penting banget!

August 10, 2015
Nggak Sengaja ke Kenya
Judulnya sombong banget ya? Padahal saya beneran nggak sengaja bisa menginjak negara Kenya di Afrika Timur itu!
Ceritanya begini. Saya lagi asyik bersafari di utara Tanzania pada penghujung trip. Rencananya saya akan pulang ke Indonesia dengan terbang dari Kilimanjaro ke Seychelles, via Nairobi pada 12 Mei 2015 jam 06.00 pagi. Lalu dilanjut malam harinya terbang ke Jakarta via Dubai. Memang rutenya muter-muter. Maklum, tiket saya dibayarin Jakarta-Seychelles-Jakarta sehingga kalau extend, saya tetap harus kembali ke Seychelles.
Tau-tau saya dapat email dari maskapai penerbangannya kalau pesawat Kilimanjaro-Nairobi dibatalkan! Penerbangan diganti ke tanggal 13 Mei. Lah, nggak nyambung sama pesawat ke Jakarta! Saya pun protes, bilang bahwa tanggal 12 Mei saya harus terbang pulang. Tambah senewen lagi ketika internet sangat terbatas, secara lagi safari di tengah hutan. Alhasil saya minta di-share hotspot dari hapenya guide untuk email-emailan.
Akhirnya maskapai memberikan alternatif solusi, yaitu saya akan terbang Kilimanjaro-Seychelles sehari sebelum jadwal yaitu pada 11 Mei jam 18.20, menginap di Nairobi, baru besoknya 12 Mei jam 11.30 terbang ke Seychelles. Merasa di atas angin – ya iyalah, karena ini bukan salah saya – tentu saya minta ditanggung penginapan, makan, dan transfer bandara-hotel-bandara. Si Manager pun menyetujuinya. Hanya saya harus bayar visa Kenya sebesar USD 20. Untung pemegang paspor Indonesia bisa masuk ke Kenya dengan visa on arrival!
Saya okein aja pulang lebih awal. Alasannya, pertama, setelah empat hari kemping di hutan, saya pengin mandi di shower yang airnya keras dan panas. Kedua, saya belum pernah ke Kenya. Kapan lagi bukan? Saya pun browsing apa yang bisa dilakukan di Kota Nairobi pada malam hari. Katanya Nairobi oke banget night life-nya. Saya pun tambah semangat. Lumayan bisa dugem sambil ngecengin cowok berkulit hitam, pikir saya.
Jam 9 pagi kami terpaksa harus berangkat dari Serengeti National Park menuju Kota Kilimanjaro. Katanya perjalanan akan memakan waktu 5 jam. Ah, aman. Namun di sepanjang jalan, tau-tau aja ketemu 10 ekor singa yang lagi gelantungan di pohon, jalan lagi eh ada 2 ekor singa lagi jalan-jalan di savana, jalan lagi eh ada 2 ekor singa lagi bobo di pinggir jalan! Belum lagi ketemu sekelompok jerapah lagi nyebrang, ribuan wildebeest, ratusan gazelle.. aaahh! Saya sampai diteriaki guide, “Stop it, or you will miss your flight!”
Mobil safari pun ngebut. Saya baru sadar ini jam-jam terakhir di Tanzania dan belum membeli apa-apa untuk kenang-kenangan ke diri sendiri. Saat kami makan siang di restoran, saya lari ke toko membeli kain khas suku Maasai. Penerbangan jam 18.20, tapi jam 17.00 kami baru memasuki Dar es Salaam, sementara bandaranya ada di Kilimanjaro yang sekitar sejam lagi dengan jalan macet begini. Duh, saya mulai sakit perut membayangkan kalau saya ketinggalan pesawat! Tau gitu mending nambah sehari deh daripada kejar-kejaran nggak karuan.
Sampai di bandara Kilimanjaro, saya langsung check in dan tau-tau udah disuruh naik pesawat. Lah, sekarang baru jam 17.45. Saya berlari naik tangga dan pesawat pun langsung terbang. Rupanya mereka nungguin saya doang karena jam terbangnya dipercepat. Di atas udara, pesawat kecil baling-baling ini mengalami turbulence sampe tergoncang-goncang dahsyat! Ya Tuhan, jangan sampe saya mati sia-sia gara-gara bela-belain sehari doang di Kenya.
Untunglah kami selamat mendarat di Nairobi. Sesuai petunjuk, saya ke imigrasi, bayar visa transit, lalu ke bagian Hotel Service. Saya kasih paspor saya, eh si mbak petugas malah marah, “Where is your boarding pass Nairobi-Seychelles?” Lah, meneketehe? Saya kan cuma dikasih Kilimanjaro-Nairobi! Lama kami berdebat karena saya dituduh sengaja pengin jalan-jalan, bukannya terpaksa transit. Akhirnya setelah beberapa telepon ke bos-bosnya, saya pun diberikan boarding pass baru, voucher hotel dan transportasi.
Saya disediakan transportasi gratis yang parkir di luar bandara. Rupanya berupa bus yang segede PPD. Tapi kenapa saya cuma sendiri? Saya disuruh tunggu sebentar karena busnya ngetem. Alhasil 45 menit kemudian saya malah dinaikkan ke mobil sedan menuju hotel. Saya tanya ke supirnya berapa waktu tempuh bandara ke hotel. Jawabnya, “If there’s no traffic, it’s only 15 minutes.” Yes, aman! Masih bisa dugem! Sepanjang jalan saya kagum, kota Nairobi ini maju dan rapi.
Dan… hujan deras pun turun! Deras sederas-derasnya sampai macet total dan mobil tidak bergerak! Ternyata masalahnya sama aja kayak di Jakarta. Karena hujan, jalan banjir. Mobil saling susul, melawan arah, nekat menerabas lampu merah, nggak ada yang mau ngalah, terjadi bottle neck, dan seterusnya. Bedanya, pas di sana nggak ada polisi atau Pak Ogah yang mengurai. Orang hanya buka kaca mobil dan saling meneriaki satu sama lain. Hadeuh!
Total 2,5 jam baru saya sampai di hotel, atau sudah jam 22.30! Saya buru-buru check in, naro tas di kamar, dan lari ke restoran karena takut tutup. Secara ogah rugi, saya pilih makanan yang termahal berupa steak. Bodo amat deh. Kesel!
Sampai kamar… badan saya sudah remuk! Jauh-jauh ke Kenya cuman dipake tidur. Foto-foto aja nggak sempat. Begitulah cerita tentang negara ke-68 yang saya kunjungi.

July 27, 2015
Pantai-pantai di Lampung bagus, tapi…
Pada akhir Juni 2015 sahabat saya, Pepita, ujug-ujug mengajak saya berlibur ke Lampung bersama kedua anaknya; Cia dan Cio. Semua sudah di-arrange jadi saya tinggal bawa baju aja, begitu promosinya. Kami akan menginap di sebuah resort di tepi pantai Kalianda. Mendengar kata “pantai”, saya langsung oke! Apalagi pas awal bulan puasa, jadi bakal sepi.
Dari bandara Radin Inten II naik mobil sewaan memakan waktu 2 jam. Memasuki kota Kalianda kami nyasar-nyasar karena peta di situs hotel sangat disederhanakan dan Google Maps pun tidak mampu memberikan petunjuk saking mblusuknya. Herannya, hanya berjarak 5 menit dari kantor Bupati (yang muka bupatinya selalu ada di setiap billboard apapun) jalannya rusak parah. 20 menit teruncal-uncal kemudian kami tiba di hotel.
Dan… saya kaget karena hotel dan kompleksnya jauh berbeda dengan foto yang ada di situsnya! Bangunannya tampak tua dan kusam, pasir pantainya sudah tidak putih lagi. Ketika sampai di bibir pantainya di depan hotel, saya kaget lagi. Pantainya banyak sampah dan ombaknya besar banget – bahkan ada plang bertuliskan “Kawasan Dilarang Mandi ”. Waduh, gimana mau berenang? “Oh situs itu dibikin tahun 2005, terus password-nya hilang, jadi nggak bisa di-update,” kata manager hotel. Kabar gembiranya, kami adalah satu-satunya tamu yang menginap di hotel. Kedua, sunset-nya keren!

Sunset depan hotel
Besoknya Pepita sekeluarga berwisata ke Way Kambas, tapi saya memilih untuk berenang di pantai. Saya bertanya ke resepsionis di mana berenang yang aman. Mereka mengatakan bahwa saya harus berjalan ke pantai paling kanan dekat batu-batu. Saya pun ke sana, tapi berenangnya hanya bisa kecibak-kecibuk doang karena airnya dangkal dan banyak batu. Selanjutnya saya berjemur matahari beralas sarung Bali sambil baca buku… sampai ketika saya sadar bahwa ada seorang pria sedang merokok duduk di atas batu ngeliatin saya! Duh, males banget kan? Saya berpindah posisi dan ngumpet di balik batu lain, eh dia masih di situ. That’s it. Saya pun balik ke kamar.
Pas jam makan siang saya ke resepsion untuk memesan makanan, eh restoran tutup. Saya mau titip beliin makanan, katanya warung sekitar juga tutup karena bulan puasa. Untungnya Pak Manager hotel berbaik hati mengantarkan saya naik mobilnya cari makan. Setelah keliling-keliling Kota Kalianda, tak satupun tempat makan yang buka! Si Bapak kemudian mengarahkan mobilnya ke Jalan Trans Sumatra ke arah Bakauheni. Sepanjang jalan memang banyak restoran Padang, tapi kata si Bapak males bareng supir-supir truk. 20 menit kemudian, kami sampai di sebuah restoran Padang ber-AC yang parkirannya berisi mobil-mobil pribadi. Waktu menunjukkan pukul 14.00, saya pun kalap menghabiskan 3 piring nasi plus lauk pauk yang berjibun.
Hari berikutnya agenda kami adalah island hopping seharian. Pepita sudah membayar trip ini sebesar Rp 1,7 juta termasuk sewa mobil dan kapal. Gila mahalnya! Tapi ya sudahlah, sudah dibayar ini. Kami naik mobil sejam menuju Pantai Pasir Putih, tempat kapal bersandar. Begitu kapalnya datang, lagi-lagi saya kaget. Kapalnya kecil banget dan hanya memiliki mesin tempel 25 PK! Buset, ini sih harganya digetok! Saking imutnya kapal ini, ke Pulau Pahawang aja memakan waktu 1,5 jam!
Untungnya Pulau Pahawang bagus. Pasirnya putih meski ada sampah plastik juga, tapi airnya tenang. Kami pun berenang sampai jam makan siang. Saya mengusulkan kepada tukang kapal untuk cari makan di pulau lain sekalian berenang lagi. Eh si bapak bilang, “Oh, perjanjiannya kami cuma mengantar ke Pahawang saja. Kalau mau ke pulau-pulau lain tambah Rp 400.000,-!” Hah? “Soalnya muter itu. Jauh lagi!” Hah? Padahal tadi pulau-pulau itu juga kita lewatin! Minta diskon nggak dikasih, saya tidak punya pilihan. Itung-itung membantu perekonomian lokal, ya sudah lah.
Pulau kedua adalah Kelagian Lunik yang ada satu warung jualan mi instan cup dan kopi instan. Abis makan, kami berenang lagi. Pulau ini cakep banget! Dikelilingi pulau-pulau lain yang berbukit dengan air tenang bergradasi biru. Pasirnya pun jauh lebih bersih. Ketika kapal kami pergi, saya ditagih karcis tanda masuk sebesar Rp 25.000,- Saya membayar dengan berpesan agar pulau ini dijaga kebersihannya.

Kelagian Lunik Island
Pulau ketiga adalah ke sebuah pulau gosong atau sandbar yang saya lihat dari hasil browsing. Kata tukang kapal ada di Pulau Pasir Timbul. Begitu mendekat, mata saya terbelalak. Pulau yang cuma seuprit tersebut sudah ada bangunan permanen berupa penginapan dan tambak ikan! Lha, mana keren kalo difoto bocor begitu? Rupanya ada sandbar yang jauh lebih kecil yang harus berjalanan dari dermaga melalui jembatan kayu. Anjir, betul-betul merusak pemandangan! Meskipun demikian, kami menikmati juga berenang dan foto-foto di sandbar selama 10 menit, sampai datang rombongan turis lokal 2 kapal yang langsung bikin penuh. Pulangnya saya ditagih lagi Rp 10.000,-/orang. Saya tanya ke mas-masnya, “Karcisnya mana?” Jawabnya santai, “Nggak ada.” Hmm, baiklah.

Di ujung jembatan ini ada sandbar sih
Saat perjalanan pulang, ombak meninggi. Kami semua basah kuyup diterjang air laut! Mendarat di Pantai Pasir Putih, air surut jauh sehingga kami harus berjalan kaki di atas pasir bersampah. Eww!
Merasa “dirampok”, besoknya kami leyeh-leyeh aja di pantai hotel, tepatnya di “pantai kanan berbatu”. Ternyata di balik bukit sebelah kanannya batu-batuan tersebut, ada pantai lain yang airnya jauh lebih tenang dan tidak berbatu. Karena sengaja dibendung, pantai ini seperti kolam renang alami yang airnya masuk dari terjangan ombak. Meski pasirnya bersampah super banyak, namun tak mengurungkan niat kami untuk berenang sepuasnya. Saya salut sama Cia dan Cio yang tidak rewel berenang di kondisi apapun.
Intinya saya hepi kok liburan di pantai-pantai Lampung. Lumayan dekat dari Jakarta, tapi bisa dapat pantai-pantai cakep. Saya cuman berharap aja dikelola dengan baik, terutama sampah-sampahnya.

Sedih :(

July 15, 2015
[Adv] Amazing stay in Bali’s luxury villas
Alda, cewek Filipino teman sekelas dan sekamar saya waktu sekolah S2 di Manila (ada di buku #TNT3), sedang patah hati. Kangen juga sama dia karena terakhir kami bertemu empat tahun yang lalu di Vietnam. Kali ini saya ingin menghiburnya dengan mengundangnya berlibur ke Bali. “All you have to do is buy the return tickets from Davao to Bali and I will arrange the rest,” begitu pesan saya kepadanya yang supersibuk sama kerjaan kantornya.
Awal Juli 2015, kami janjian mendarat pada waktu yang sama di Bandara Ngurah Rai. Tanpa tahu apa-apa, ia langsung saya ajak menginap di sebuah villa yang hanya berjarak 15 menit dari bandara via tol Mandara. Berbeda dengan kamar hotel, villa ini bentuknya seperti rumah dengan halaman sendiri. Saya tahu Alda belum pernah menginap di villa, jadi saya mau kasih kejutan.
Memasuki halaman Tjendana Villas Nusa Dua di Mumbul Hill dan masuk ke villa kami yang bertipe One Bedroom Pool Villa, Alda membelalakkan mata karena kaget. “Surprise!” kata saya. Gimana dia nggak kaget, villa kami luas, bertingkat dua, ada ruang makan, dapur, dan ada kolam renang pribadi! Interior kamarnya modern dengan aksen warna hijau, satu sisi dinding semua berupa kaca, kamar mandi dengan bathtub-nya terbuka menghadap kolam, dan dapur pun lengkap dengan peralatannya. Tanpa ba-bi-bu, kami langsung ganti baju renang dan nyebur ke kolam pribadi!

Tjendana Villas’ dining room
Tempat paling oke untuk nongkrong malam-malam adalah di rooftop-nya. Bentuknya kotak yang dikarengkeng besi sehingga kanan-kiri-atas terbuka. Di tengahnya dikasih day bed, semacam sofa yang besar tanpa sandaran jadi lebih mirip tempat tidur ukuran kecil sehingga cocok untuk leyeh-leyeh. Setiap malam kami ngegosip di atas atap sambil memandang kerlap-kerlip Teluk Benoa, jutaan bintang dan bulan yang pas lagi purnama, bahkan planet Jupiter dan Venus.

Rooftop at Tjendana Villas Nusa Dua
Untungnya lagi, Tjendana Villas Nusa Dua memiliki Bayleaf Restaurant & Lounge. Interiornya yang chic dan tempatnya yang menghadap teluk bikin betah berlama-lama. Setiap sarapan, kami ke sini. Bisa juga berenang di kolam renang infinity-nya yang cakep banget. Katanya restoran ini suka dijadikan venue untuk pesta pernikahan. Uhuk! Setiap malam pun kami tak melewatkan makan di sini saking kerennya pemandangan dan nikmatnya makanannya. Sempat juga ikutan pesta barbecue dengan hiburan berupa fire dance.
Selain mengunjungi pura-pura dan menonton tari-tarian, ke Bali wajib hukumnya untuk berenang di pantai. Sayangnya sekarang di Bali susah cari pantai ideal ala saya – yang bagus, sepi, tidak berkarang, dan tidak berombak besar. Sialnya pantai favorit saya sudah ditutup oleh hotel bintang lima. Ada pantai yang sepi dan bagus, tapi jalannya setengah mati kudu turun-naik ratusan tangga. Jadilah jam 10 pagi saya mengajaknya ke Surf & Turf Nusa Dua, tepatnya di BTDC. Banyak yang belum tau bahwa pantai di sana termasuk bagus, sepi, dan akses yang mudah.
Surf & Turf Nusa Dua ini merupakan beach club yang baru beroperasi dua bulan dan punya surf rider pertama dan satu-satunya di Bali – itu lho, ombak buatan untuk berselancar! Saya tahu banget Alda suka aktivitas beradrenalin, maka sekali ke tempat itu, kami bisa berenang di pantai, di kolam renang, meluncur di slides-nya yang ekstrim, main kano di laut, dan berselancar di surf rider. Enaknya lagi, sudah tersedia handuk, kamar mandi dan amenities-nya, day bed untuk leyeh-leyeh, dan restoran. Seharian kami turun-naik berbagai perosotan, bolak-balik berselancar, dan pindah-pindah berenang. Makan siangnya di restoran pun enak dengan porsi besar. Alda yang pertama kali makan sup buntut berkali-kali bilang, “Napaka masarap!” (artinya: enak banget!).

Surf & Turf Nusa Dua
Hari Sabtu saya sengaja pindah ke daerah Seminyak, supaya lebih gampang untuk akses gaul dan shopping bagi Alda. Kami pun menginap di The Club Villas di Jalan Kayu Aya. Saya sering ke daerah Seminyak karena banyak restoran enak, tapi baru kali ini saya ngeh bahwa ada gang kecil dekat toko NicoNico yang di dalamnya terdapat kompleks 34 unit villa mewah! Hebatnya, meski dekat dengan jalan utama Seminyak yang ramai, kompleks The Club Villas ini benar-benar secluded, nggak berisik, banyak pepohonan rimbun, bahkan masih terdengar kicauan burung-burung liar!

The Club Villas’ private pool
Kali ini saya dan Alda yang kaget. Villa kami yang bertipe One Bedroom Honeymoon Pool Villa luasnya 165 meter persegi! Abis itu kami tertawa ngakak karena di tempat tidur disebar bunga-bunga mawar sampai ke kamar mandi. Namanya juga honeymoon villa, sayangnya nggak sama suami. #curcol. Arsitektur dan interiornya bergaya tradisional Bali dengan unsur kayu. Ada pendopo untuk duduk-duduk, dapur, meja makan, ruang pakaian, kamar mandi yang superluas – yang terdiri dari shower outdoor, shower indoor, dan bathtub, halaman dan sun lounge, serta kolam renang pribadi berukuran 40 meter persegi yang dalamnya sampai 1,60 meter! Apakah yang kami lakukan pertama kali? Tentu nyebur di kolam renang! Setalah itu saya membiarkan Alda jalan-jalan sendiri di Seminyak karena saya memilih untuk tidur di tempat tidurnya yang supernyaman dan berendam di bathtub-nya yang keren. What an amazing stay in Bali’s luxury villas!

Bathroom in The Club Villas

June 24, 2015
Hidup expat di Dar es Salaam
Begitu tahu akan ke Seychelles, saya langsung lihat peta. Hmm… tidak jauh dari Tanzania, naik pesawat tinggal nyebrang doang. Jadilah saya extend dan cari tiket Seychelles-Tanzania-Seychelles sebelum pulang ke Indonesia. Saya pengen banget ke Tanzania karena tertarik safari di Serengeti National Park untuk melihat migrasi jutaan hewan seperti di TV NatGeo. Tapi masuk ke Tanzania harus melalui ibu kotanya, Dar es Salaam.
Mendengar nama Dar es Salaam aja udah bikin merinding. Macam lokasi film-film Hollywood tentang perang atau secret agent. Di pemberitaan pun kesannya negatif. Dari hasil riset online saya, Dar es Salaam memang termasuk tinggi tingkat kriminalitasnya. 43% rumah di Dar es Salaam pernah dirampok dan 32% penduduknya pernah dijambret/ditodong/dicopet. Ih, serem nggak sih?
Untunglah saya punya teman orang Indonesia yang tinggal di Dar es Salaam dan diperbolehkan menginap di rumahnya. Suaminya orang AS yang kerja di sebuah badan dunia dan mereka memiliki 2 anak kecil. Maka teman saya pun mengirimkan taksi langganan kantor suaminya untuk menjemput saya di Julius Nyerere International Airport pada jam kedatangan saya pukul 23.00.
Rumah mereka terletak di Oyster Bay, area expat yang sekelilingnya adalah rumah kediaman para Duta Besar negara-negara maju. Halamannya yang rimbun dengan pepohonan ini luas, mungkin sekitar 2000an meter persegi. Rumahnya yang bertingkat dua berbentuk persegi panjang dan berumur puluhan tahun. Ada kolam renang kecil di halaman belakang. Yang mencengangkan, seluruh pagarnya diliputi kawat listrik tegangan tinggi! Ada pula Askari (security) di pos depan rumah yang menjaga 24 jam. “Namanya juga di Afrika. Ya harus begini!” kata teman saya.
Rumahnya dekat dengan Coco Beach, pantai umum berpasir putih yang lumayan bagus. Namun mereka sendiri tidak berani ke sana karena pasti ditodong atau dijambret, tidak hanya ke orang asing tapi juga ke orang lokal. Jalan kaki sendirian di Dar es Salaam pada siang hari bolong tidak disarankan, apalagi malam hari. Saya pun diceritakan kejadian-kejadian penodongan dan penjambretan yang pernah terjadi. Saya ya manut aja.
Anak-anak expat tentu bersekolah di sekolah internasional. Banyak dari mereka yang mixed race. Maklum, keluarga expat di sana pasti sudah pernah ditempatkan di berbagai belahan dunia dan kawin-mawin dengan penduduk lokalnya atau sesama expat dari negara lain. Anak-anak itu ada yang lahir di Rwanda, Nairobi, Johannesburg, dan kota-kota lainnya yang terdengar “eksotis”.
Basically, Dar es Salaam nggak ada apa-apanya. Turis pun ke sana hanya untuk transit. Untuk cari hiburan jadi sulit. Restoran standar bule hanya ada 5 buah di seluruh kota. That’s it. Jadi hubungan antar expat sangat erat dan eksklusif. Secara reguler mereka berkegiatan bareng, umumnya para istri yang bikin acara charity ini-itu. Lucunya, kecuali teman saya itu, nggak ada satupun orang Indonesia yang gabung ke geng mereka. Mungkin orang KBRI nggak gaul sama bule, atau emang nggak ada expat orang Indonesia di sana.
Kalau anak-anak mau santai-santai di dalam kota, mereka ke Dar Yacht Club. Klub khusus expat dengan sistem membership ini memang jamak ada di mana pun di negara berkembang. Area klub termasuk pantai yang tertutup dan dijaga Askari. Di dalamnya juga ada kolam renang dan restoran. Aktivitas para anggota berkutat di pantai; berenang, berjemur, paddle boarding, dan berlayar. Sesekali mereka mengundang band luar negeri untuk mengadakan pesta atau bikin kursus ini-itu.

Sendirian di pantai Dar Yacht Club
Hiburan lain untuk para expat adalah bikin pesta di rumah orang secara bergilir setiap Jumat malam. Saya pernah ikut juga. Ada sekitar 15 keluarga yang datang. Keluarga? Ya. Suami-istri-anak. Host-nya menyediakan makanan dan minuman bagi para tamu. Jadi semacam arisan bergilir. Rumah para expat memang luar biasa besar dan mewahnya, semuanya pun berpagar listrik tegangan tinggi dan dijaga Askari. Para asisten rumah tangganya semua orang lokal yang sudah dilatih memasak makanan western.
Anak-anak pun tak ketinggalan dibuat hiburan sendiri. Salah satunya adalah pementasan Kid Rock yang diadakan selama sebulan setiap weekend di bulan Mei. Seratusan anak tampil di panggung, ditonton oleh seratusan anak lain dan orangtuanya.
Suatu weekend, keluarga teman saya ini ada acara nginep bareng para expat di South Beach. Saya yang malas gaul dengan anak-anak memilih untuk tinggal sendiri di rumahnya. Sebelum mereka berangkat, saya pun di-traning singkat tentang sistem keamanan rumahnya. Pertama, kunci pintu. Rumahnya harus selalu dikunci dobel-dobel. Kuncinya pun disembunyikan di tempat tertentu. Pintu utama rumah terdiri dari dua pintu besi yang harus dikunci plus digembok. Naik ke lantai dua, ada dua pintu besi lagi yang harus dikunci, plus gembok rantai. Kamar anak-anaknya yang saya tebengi memiliki balkon pun ada dua pintu besi yang harus dikunci. Pokoknya ribet dah!
“Lah, kalau ada kebakaran, gue gimana keluarnya dong?” tanya saya ke suaminya setelah sadar betapa banyak pintu yang harus saya kunci. Saya pun diajak masuk ke kamarnya. Ada sebuah tombol emergency yang harus ditekan. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu pencet tombol ini. Dalam lima menit, pasukan security dan pemadam kebakaran akan datang ke rumah untuk menyelamatkan kita,” terangnya. WOW! Berasa kayak di rumah James Bond! “Dalam lima menit, kamu harus keluar ke balkon kamarmu dan tunggu di sana. Don’t worry. You’ll be fine!”
Siaaap!
Dan dua hari itu saya punya waktu untuk jalan-jalan keliling kota Dar es Salaam dengan diantar taksi langganan. Saya pun ke Museum Nasional Tanzania, ke Wonder Workshop, ke pasar lukisan Tinga-Tinga, bahkan ke Coco Beach dan dugem di Maisha Club – yang mereka pun belum pernah sambangi! Yah begitulah, kadang perjalanan kita tergantung dengan siapa kita pergi atau tinggal.
Jadi mikir, apakah expat di Indonesia segitu ketat penjagaan keamanannya ya?

June 11, 2015
Honeymoon with myself in Zanzibar
Kadang kita pengen ke suatu tempat hanya karena nama tempat tersebut terdengar eksotis di telinga. Seperti saya pengen ke Zanzibar. Nggak kebayang sebelumnya bahwa Zanzibar itu ternyata sebuah kepulauan di negara Tanzania, di timur benua Afrika. Bahkan merupakan tempat kelahiran Freddie Mercury, vokalis Queen!
Sebelum pergi, saya browsing penginapan di Pulau Zanzibar. Penginapan murah adanya di kota Stone Town tapi tampak mengerikan karena dekat dengan pelabuhan dengan jalan-jalan yang sempit dan gelap. Hostel cuma ada satu, itu pun sekamar berdua mixed gender – hii, apa nggak takut tergoda? Secara saya traveling sendirian, di Afrika pula, borju dikit nggak apa-apa lah. Jadi lah saya memutuskan untuk tinggal di hotel pinggir pantai. Asal dekat laut, I’d be happy meski sendirian.
Akhirnya dapatlah di sebuah hotel di Pantai Uroa seharga 40 USD sekamar sendiri di satu bungalow. Cukup mahal, tapi itu yang terbaik dari fasilitas yang disediakan karena ada kolam renang dan free WiFi. Pantainya pun bukan pantai turis yang banyak beach boys dan tukang jualan gengges, jadi bisa santai gugulingan pake bikini. Hotelnya cukup gede, ada 18 bungalow. Mayan bisa kenalan sama tamu-tamu lain.
Dari Dar es Salaam saya naik feri ke Zanzibar dan minta dijemput oleh supir hotel. Rupanya jaraknya jauh juga, sekitar sejam naik mobil. Mendekati Uroa, jalanan supersepi dan ada 2 hotel lain yang sudah tutup. Ebuset, jadi hotel saya ini tinggal satu-satunya yang buka! Sampai hotel, dikasih bungalow yang jauh dari resepsionis. Pas masuk kamar, lha listrik kok mati? Katanya, jam 18.00 baru akan dinyalakan genset. Karena gelap, saya nongkrong aja di restorannya yang luas. Lhaa, kok nggak ada orang lain? “Am I the only guest here?” tanya saya. “Yes,” jawab mas resepsionis. Haa? Jadiii… saya satu-satunya tamu di satu-satunya hotel di daerah sepi ini?! Maksudnya sih mau menyepi, tapi ini kebangetan!

Sehotel searea sendirian!
Sialnya WiFi gratis itu cuman bisa diakses di lobi hotel. Karena saya satu-satunya tamu, router-nya saya paksa bawa ke kamar – mayan untuk maen hape. Ehh, pas jam 22.00 WiFi mati! Lhaa? Mati gaya deh! Belum ngantuk gini ngapain di tempat supersepi begini? Suara terdengar cuman dengungan nyamuk dan deburan ombak. Area hotel tidak berpagar dan gelap. Satpam kagak ada. Resepsionis cuman seorang, jauh pula dari kamar. Kalau saya dirampok atau diculik, nggak bakal ada yang dengar. Mulai deh saya parno. Ini Afrika, bung! Saya pun berdoa, baca Alkitab, berkali-kali mengunci pintu, bahkan menghalangi pintu dengan kursi, dan pegang pepper spray. Rasanya saya pengen malam itu cepat berakhir. Hiy!
Saya terbangun dengan bersyukur, ternyata semalaman aman terkendali. Seharian saya pun hepi-hepi berjemur dan berenang di kolam renang dan laut sampe gosong. Pantai Uroa ini memang cantik! Pasirnya putih, teksturnya halus kayak bedak. Pantainya pun landai tak berkarang dengan air laut berwarna turquoise. Mana bersih lagi, sama sekali nggak ada sampah. Sesekali para wanita lokal yang berjilbab warna ngejreng lewat sambil membawa ember berisi rumput laut di atas kepala mereka. Selain mereka, tidak ada siapa pun. Serasa pantai pribadi banget. Yay, I’m having honeymoon with myself!

Depan hotel
Sore balik ke kamar, saya mau mandi. Udah telanjang, buka kran… lha, air mati! Apa-apaan ini? Saya pun berlari ke resepsion dengan hanya berbalut handuk – mumpung nggak ada siapa-siapa. Pas lagi nyap-nyap komplen ke resepsionis, eh datanglah dua mobil gerombolan cowok lokal yang mau makan di restoran! KWAK KWAAAW! Mata mereka langsung melotot. Saya seperti mau dimakan hidup-hidup! Saya buru-buru lari ngebut ke kamar dan berharap handuk nggak melorot.
Sejam berlalu air belum nyala juga. Saya masih handukan dengan badan lengket dan diserbu nyamuk. Setengah jam kemudian datanglah staf hotel membawa dua ember berisi air. “I’m sorry, madam. The water is off. Something wrong with the plumbing. We’re calling the technician,” katanya. Huh! Baru telepon? Ini gimana mau keramas? Belum air untuk nyiram boker. Arrrgh!
Sehabis mandi ipik-ipik, saya makan malam sendiri lagi di restoran. Katanya air sudah nyala, tapi WiFi masih mati. Alasannya jaringan provider-nya lagi gangguan. Saya yakin sih mereka malas aja ngisi pulsa. Daripada bete di kamar sendiri, saya pun ngobrol sama para staf hotel.
Penduduk Zanzibar 99% Muslim. Kalau menyapa orang, bukannya “jambo” (“halo” dalam bahasa Swahili) tapi “Assalammualaikum”. Tentu saya lancar ngomong begitu – yang membuat mereka kagum karena saya dianggap fasih bahasa Swahili. “It’s Arabic,” kata saya. “No, it’s Swahili!” jawab mereka. Terserah deh, nek! Mungkin karena itu lah mereka hormat dengan orang Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sekaligus heran kenapa saya bukan Muslim.
Menariknya, seorang staf bernama Hamadi meminta saya menerjemahkan sepatah lagu berbahasa Indonesia yang selalu diputar di masjid desa Uroa setiap habis sholat Jumat. Dia pun bernyanyi terbata-bata, “Hai kalian, kaum wanita yang menderita…” HAH? Beneran bahasa Indonesia! Lagu apaan tuh? Iramanya seperti kasidah, tapi kenapa kata-katanya begitu? Dan kenapa diputar di masjid? Setelah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Hamadi tambah bingung dan bertanya, “So what’s wrong with the women in Indonesia?” Waduh, kalau nggak lengkap kalimatnya ya susah. Tapi saya jadi ngikik sendiri. Jangan-jangan itu lagu dangdut!
Hari-hari selanjutnya saya nggak parno lagi dan survived hidup tanpa internet. Makanan enak sesuai request karena semua staf hanya melayani saya seorang. Masalah air teratasi. Listrik dinyalakan 24 jam. Plus, dikasih semprotan nyamuk – yang ternyata made in Indonesia. Selain berenang dan jalan-jalan, setiap hari saya nongkrong bareng dengan para staf hotel. Malah saya sempat main ke rumah keluarga mereka di desa Uroa. Saya pun jadi belajar bahasa Swahili gratis.
Hari terakhir saya mau terbang ke Arusha dan minta diantar ke bandara. Lho, kok yang nganter sekeluarga supir? Segitu merasa akrabnya kah mereka? Supir berkata, “I’m sorry, madam. My daughter just delivered a baby. We’re all going to the hospital in town after taking you to the airport!” Saya pun tersenyum dan berkata, “Hakuna matata, kaka!” (artinya “No problem, bro!”).
—
P.S. Mungkin saya harus pergi ke tempat lain yang juga terdengar eksotis; Timbuktu. Apa ya yang akan terjadi di sana?

June 1, 2015
Dugem di Afrika!
Pada dasarnya saya nggak suka sudah pensiun dari dugem. Apalagi pas traveling – sendiri pula. Udah harus keluar duit ekstra karena saya minumnya banyak, kudu mikir transportasi yang jadinya mahal karena pulang pagi berarti kudu naik taksi, belum lagi mikir keselamatan diri. Pas rencana mau traveling ke Afrika sendiri, saya nggak mikir akan pergi dugem. Eh, tau-tau ada aja yang ngajak!
Pas malam Minggu di Seychelles, seorang jurnalis cewek AS ngajak dugem dan janjian ketemu di lobi Hotel Savoy jam 22.30. Nggak taunya ada 5 jurnalis lain yang diajak juga. Hore, the more the merrier! Liat di GPS, club-nya bisa dicapai dengan jalan kaki lewat pantai. Ternyata jalannya tak semudah itu. Udah gelap, banyak anjing liar, harus melewati sungai dan tembus segala, sehingga kami harus nyeker dan kemringet.
Club-nya bernama Tequila Boom. Di sana kami ketemu lagi sesama jurnalis, sehingga kami berjumlah 10 orang. Si cewek AS ini rupanya tajir, dia mentraktir saya minum tequila berkali-kali, di luar berbotol-botol bir yang saya beli (dan dibeliin cowok. #ehm). Makin malam, club yang tidak begitu luas ini makin penuh sesak. Musiknya hip hop Amerika. Orang lokal yang bodinya gede-gede berbaju serba kekurangan bahan. Mana jogetnya egol-egol pantat sehingga tambah sumpek, jadinya kami nongkrong di bar luar. Berjam-jam kemudian kami pulang ke hotel berjalan kaki yang rasanya tambah jauh karena kami sudah tipsy. Malam pagi itu diakhiri dengan nyebur rame-rame di kolam renang hotel!
Besok malamnya, seorang jurnalis Brasil mengundang beach party tim karnaval Brasil dalam rangka perayaan kemenangannya pada Carnaval International de Victoria. Grup hura-hura kemarin pun segera beranjak. Karena kelamaan minum-minum dulu di bar hotel, rupanya pesta Brasil udah kelar. Eh tapi kok masih kedengeran suara perkusi di pantai yang lebih jauh. Rupanya pesta yang sama diadakan oleh tim karnaval Mauritius yang juga menang. Bersama tim Brasil, mereka bergantian menabuh alat-alat perkusi sambil bernyanyi dengan beat cepat. Wih, serasa pesta adat suku terasing! Kami pun ikutan joget lompat-lompat ga keruan!
Belum puas, kami pergi ke Tequila Boom, eh ternyata Minggu tutup! Balik lagi ke pantai, pesta sudah bubar. Tapi kok masih kedengeran suara musik hip hop dari tape di lobi hotel sebelah. Ternyata tim Mauritius itu lanjut berpesta bersama tim Notting Hill dari Inggris! Kami pun ikutan gabung, berpesta lagi sampai bar hotel tutup dan terpaksa harus membeli minum di Casino. Jam 4.00 pagi, anak-anak itu rame-rame nyebur ke laut dan kami pun pulang.
Seminggu sesudahnya, saya berada di Dar es Salaam, ibu kota Tanzania. Denger nama kotanya aja udah bikin serem. Boro-boro mau dugem, jalan kaki sendiri di siang bolong aja pasti kena jambret katanya. Siang harinya saya kenalan sama cowok lokal, nggak taunya dia ngajak dugem di New Maisha Club. Katanya akan dijemput jam 23.30. Say what? Jam bobo banget! Saya benar-benar ketiduran pas dia datang menjemput.
Club ini luas. Ada area semi outdoor dengan bar, kursi, meja, dan biliard di mana orang nongkrong dulu minum-minum. Tiket masuk club seharga 10.000 Shilling (sekitar Rp 75.000,-) tidak termasuk minum. Interiornya luas dan bertingkat dua. Di tengahnya dance floor dengan lantai kaca yang menyala berwarna-warni, plus lampu sorot dan laser. Orang lokalnya, baik cowok maupun cewek, berpakaian ala hip hop dengan celana kedodoran, topi baseball, dan sepatu keds. Beda banget dengan para PSK yang pake hot pants dan tank top keliatan udel! Awalnya dipasang lagu-lagu jadul, lagu dance tahun 1980-1990an Amerika. Lalu berganti jadi lagu hip hop Amerika, dan akhirnya lagu hip hop Tanzania berbahasa Swahili! Orang pun makin ramai memenuhi lantai. Dasar ya ras item itu emang diciptakan jago joget, mereka gayanya asyik banget – macam nonton film Step Up! Jam 2 pagi, lagu berganti jadi lagu Bollywood. Orang Tanzania keturunan India pun turun dengan gaya joget berantakan. Awalnya lucu, lama-lama bosan dan saya pun pulang.
Seminggu kemudian saya berada di Arusha, kota kecil di utara Tanzania. Malam itu saya makan malam bersama guide safari saya dari The Story of Africa. Karena kangen makan babi, saya diajak makan Kitimoto Choma (artinya “babi panggang” dalam bahasa Swahili) di warung pinggir jalan. Lucunya, kami duduk di sebuah bar bernama Sarafina. Ruangannya cukup luas tapi gelap. Cahaya lampu hanya berasal dari bar yang tertutup jeruji besi! Pengunjungnya pun sebagian besar geng lelaki. Widih, ghetto banget! Lalu datanglah si mbak warung bawa teko, sabun cair dan baskom. Maksudnya? Oh untuk cuci tangan sebelum makan! Anyway, Kitimoto ini enaknya luar biasa! Babi dan bir itu emang paduan yang cocok banget. Abis makan, kami menghabiskan malam dengan minum bir di bar gelap gulita sambil ditemani musik hip hop Swahili. Maisha marefu*!

Bar di Arusha
*Cheers! dalam bahasa Swahili, yang arti harfiahnya “hidup lama” (long live). #ironis

Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 234 followers
