Trinity's Blog, page 11

May 21, 2017

Ke mana di Taiwan?

Kalau ke Taiwan, ke mana aja ya? Kemungkinan besar Anda akan mendarat di ibu kotanya Taipei dan tinggal di situ. Destinasi wajibnya ke menara Taipei 101, Chiang Kai Shek Memorial Hall, dan National Palace Museum. Malamnya wajib ke pasar malam untuk makan dan belanja, terutama ke Shilin Night Market yang terbesar itu. Kalau masih ada waktu dan mau ke luar kota dikit, umumnya ke Yehliu Geopark atau Taroko Gorge.


Soal makanan, Taiwan juara. Tempat makan ada di mana-mana dan menurut saya rasanya nggak pernah salah. Cara pilih yang mana prinsipnya adalah cari yang paling rame diantre orang! Restoran yang patut dicoba dan harus sabar antre adalah Din Tai Fung. Ya, restoran yang sudah mendunia ini berasal dari Taiwan, tepatnya di Xinyi Road, Taipei. Kalau ingin coba restoran haute cuisine pemenang Asia’s 50 Best Restaurants 2017, di Taipe ada dua dan di Taichung ada satu.


Kebanyakan turis mentok di Taipei, tapi coba deh jalan ke luar kota arah selatan naik kereta cepat bernama Taiwan High Speed Rail (THSR). Teknologi yang digunakan sama seperti kereta cepat Shinkansen di Jepang yang kecepatannya mencapai 300 km/jam. Waktu itu saya coba dari Taipei ke Taichung hanya dalam waktu 50 menit saja.


Berikut beberapa tempat yang tidak biasa tapi sangat menarik di luar Taipei;


Whisky Distilery – Taiwan ternyata memproduksi salah satu wiski (whisky) terbaik di dunia yang telah memenangkan berbagai penghargaan, bahkan pernah mengalahkan Scotch Whisky yang merupakan asal wiski. Merknya adalah Kavalan. Pernah denger kan? Wiski adalah minuman beralkohol yang berasal dari fermentasi serealia. Pabrik wiski Kavalan ini berada di Yilan karena di sana memiliki sumber mata air yang baik yang merupakan kunci utama pembuatan wiski. Air murni ini lah yang langsung dibuat untuk fermentasi, distilasi, dan seterusnya, dan seterusnya sampai jadi 9 juta botol wiski per tahun.



Mary Leu Fine Art Carving Gallery – Tidak pernah denger nama ini sebelumnya tapi baru kali ini saya ke galeri seni sampai nganga melihat hasil kerja Mary Leu ini! Mary adalah pemahat patung. Mediumnya adalah kayu, tembaga, emas, dan kaca. Yang bikin takjub adalah dia memahat suatu barang yang biasa saja namun pahatannya sangat detil dan rumit. Sayangnya tidak boleh memotret sama sekali di galeri tersebut, tapi saya nemu situs yang memuat sebagian karyanya di sini.


Chun Shui Tang Cultural Tea House – Tahukah Anda bahwa bubble tea itu diciptakan pertama kali di Taiwan? Meski merk Taiwan yang terkenal di Indonesia adalah Chatime, namun di rumah teh Chun Shui Tang di Taichung ini lah pertama kali bubble tea diciptakan pada 1983. Alasannya karena tiga puluh tahun yang lalu budaya minum teh itu hanya dinikmati oleh orang tua, makanya diciptakan lah minuman teh dingin ini agar anak muda mau minum teh. Keberhasilan ini jadi mendunia, bubble tea dikenal di mana-mana. Selain jualan teh, mereka jual aneka kue kering, ada restorannya, juga bisa ikut workshop bikin bubble tea seperti yang saya ikuti. Bikinnya gampang ternyata!





A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 9, 2017 at 10:36pm PDT





National Taichung Theater – Baru dibuka 2016, National Taichung Theater adalah opera house kebanggaan Taiwan – dan tempat paling favorit saya. Meski tidak sempat menonton operanya namun saya sangat terkesan karena arsitekturnya yang keren dan intelligent oleh Toyo Ito dari Jepang. Konsepnya adalah struktur free-form yang terbuat dari 58 dinding melengkung, jadi tidak ada satu pilar atau AC kelihatan di bangunan luas ini. Pokoknya semua sudutnya instagrammable banget deh!





A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 10, 2017 at 4:54am PDT





Chang Lien Cheng Saxophone Museum – Taiwan ternyata memproduksi saksofon. Awalnya seorang pelukis bernama Chang Lien Cheng yang suka bermusik. Suatu hari saksofon temannya terbakar di rumahnya. Chang memperbaikinya dengan membongkarnya dan menggambar satu per satu ratusan part-nya, sampai jadilah saksofon pertama yang dibuat di Taiwan pada 1945, dan akhirnya dibuat pabrik. Saat ini anaknya Chang Wen Tsan yang memimpin perusahaan tersebut, dibantu oleh istri dan keempat anak perempuannya yang semuanya pemain saksofon terkenal. Selain museum saksofon, kita bisa melihat langsung pembuatan saksofon bermerk “LC Saxophone” ini. Kenny G. adalah salah satu saksofonis terkenal dunia yang menggunakannya. Pak Chang sendiri masih mengerjakan saksofon dengan tangannya. Saya baru tahu bahwa sebuah saksofon yang kualitas bagus itu harganya mencapai ribuan dolar.





A post shared by Trinity (@trinitytraveler) on Apr 9, 2017 at 2:22am PDT





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 21, 2017 11:03

May 10, 2017

5 Alasan Taiwan itu Menyenangkan

Saya merupakan salah satu orang yang termasuk telat ke Taiwan. Terus terang dari dulu nggak tertarik ke sana. Alasannya karena saya kurang menyukai traveling di Tiongkok daratan. Kalau pernah membaca buku The Naked Traveler 3 dan 4, Anda tahu alasannya kenapa. Intinya karena saya nggak tahan dengan juteknya orang sana, toiletnya yang jorok, dan kendala bahasa.


Tapi ternyata Taiwan itu jauh berbeda dibanding ‘kakak’-nya Tiongkok. Seminggu di Taiwan saya suka banget karena jauh melebihi ekspektasi saya. Malah saya ingin balik lagi suatu saat. Mengapa demikian? Ada 5 alasan utama sebagai berikut;



Orangnya ramah dan keren

Orang Taiwan lebih mirip orang di Asia Tenggara daripada orang Tiongkok daratan. Mereka ramah dan banyak senyum. Kalau di Tiongkok atau Hongkong saya suka takut masuk toko karena sering dimarahin (bahkan dibentak) sama penjualnya kalau nggak jadi beli, sementara di Taiwan mah santai aja. Malah mereka oke aja difoto sambil disuruh berpose.

Warna kulit orang Taiwan nggak kuning kinclong, namun kuning agak gelap dikit kayak orang Tionghoa di Indonesia. Dandanannya juga keren, nggak norak, nggak pake merk-merk plesetan.


The guards



Toilet bersih

Ini hal yang paling berbeda dengan Tiongkok daratan. Saya nggak pernah ketemu toilet yang bau dan kotor di Taiwan! Di terminal bus, di dalam kereta, di restoran, di tempat wisata, semua bersih. Meski tidak tampak petugas kebersihan, tapi kesadaran akan kebersihan tinggi seperti WC yang selalu di-flush dan pembalut yang dibungkus.

Yang menyenangkan lagi, banyak WC di Taiwan bermodel kayak di Jepang yang di panel sisinya ada tombol air untuk cebok, bahkan untuk mengeringkan pantat. Hehe! Kadang masih nemu WC jongkok, tapi itu pun tersedia bidet dan tisu gulung.



Bisa Bahasa Inggris

Orang Taiwan berbahasa Mandarin dengan intonasi yang lebih lambat dan tidak high pitch macam orang Tionghoa daratan. Kalau pun nggak ngerti mereka ngomong apa, paling tidak nggak “sakit hati” karena nadanya terdengar sopan.

Meski tidak semua bisa lancar berbahasa Inggris tapi paling nggak mereka mau membantu, minimal bisa menunjukkan arah. Kalau pengin nanya, cari aja anak muda, rata-rata mereka bisa berbahasa Inggris kok. Malah saya sering jadi ngobrol dengan mereka, yang ternyata berbahasa Inggris sangat baik karena lulusan Amerika atau Eropa.

Selain itu, tulisan pada rambu, nama jalan/stasiun, pengumuman, dan menu makanan rata-rata ada bahasa Inggrisnya, selain tulisan Mandarin.



Transportasi yang gampang dan nyaman

Di Taipei terdapat MRT yang ekstensif. Beli tiketnya di mesin yang tersedia di stasiun dan ada bahasa Inggrisnya, murah pula. Kalau mau ke luar kota Taipei, bisa naik bus atau kereta yang sama mudahnya. Cobain deh naik Taiwan High Speed Railway, kereta supercepat dengan kecepatan sampai 300 km/jam. Di stasiun utama ada kantor informasi untuk turis, mereka dengan senang hati menerangkan dalam bahasa Inggris. Di dalam MRT/bus/kereta ada pengumuman destinasi dalam bahasa Inggris, baik berupa suara maupun running text. Semua transportasi publik umumnya pun sangat nyaman dan bersih. Penumpang pada saat rush hour nggak begitu berjubel karena frekuensi yang banyak.

Enaknya lagi, kalau mau naik taksi pun harganya nggak mencekik. Supirnya jujur, taksinya pake argo. Kalau ada kembalian uang, sampe recehan pun akan dikembalikan. Saya pernah sengaja ninggalin recehan untuk tip, eh malah dikejar untuk dikembalikan!


Taiwan High Speed Rail



Terjangkau

Taiwan itu nggak jauh-jauh banget dari Indonesia. Jakarta-Taipei dengan menggunakan direct flight maskapai Eva Air hanya memakan waktu 4-5 jam saja. Budget airlines pun ada beberapa meski harus transit satu kali dulu. Untuk harga, silakan cek sendiri ya? Siapa tahu ada promo.

Penginapan banyak tersedia, mulai dari hotel sampai hostel. Saya menginap di Grand Hotel yang bersejarah dan megah itu sekitar US$ 122/malam, cukup murah untuk ukuran hotel bintang lima – apalagi kalau bisa patungan berdua. Pernah juga saya menginap di hostel sekamar sendiri harganya cuma US$ 10/malam.

Makanan di Taiwan itu enak-enak dan somehow lebih murah daripada di Jakarta. Kalau malam, kunjungi night market yang banyak menjual street food dengan harga sekitar NT$30-75 per porsi.


Grand Hotel lobby


Dengan 5 alasan di atas, rasanya nggak perlu ragu lagi traveling ke Taiwan. Eh, pasti ada yang tanya bagaimana dengan visa Taiwan? Bagi pemegang paspor Indonesia, bisa bebas visa Taiwan bila memiliki visa atau izin tinggal dari negara Amerika, Jepang, Korea, Australia, New Zealand, Uni Eropa yang masih berlaku, jadi tinggal isi formulir di sini aja. Bagi yang tidak punya visa negara maju tersebut, silakan apply visa di TETO (Taipei Economic Trade Office) di Jakarta, syaratnya ada di sini. Gampang kan?


Berangkaaat!


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 10, 2017 08:08

April 27, 2017

[Adv] Traveler bijak punya travel insurance

Penting nggak sih punya travel insurance (asuransi perjalanan)? Saya sudah pernah membahasnya di sini. Tapi mungkin Anda belum terbayang kesialan atau musibah apa yang mungkin terjadi ketika Anda sedang traveling di luar negeri. Sementara kita tahu bahwa sebagian besar negara di dunia itu biaya hidupnya lebih tinggi daripada kita, sehingga membutuhkan uang ekstra. Ini saya berikan ilustrasi beberapa kejadian sebagai berikut;


Pada trip terakhir saya di Taiwan, seorang teman kehilangan bagasinya dan dijanjikan akan dikembalikan dalam tiga hari ke depan. Padahal dia sedang business trip yang perlu pakai baju rapih untuk bertemu dengan pejabat tinggi setempat. Duh, males banget kan kalo kejadian kayak gitu? Kalau itu terjadi sama saya, pasti saya langsung belanja ke mal terdekat untuk beli baju dan sepatu baru. Nggak khawatir karena uang belanjanya akan ditanggung oleh travel insurance saya.


Sepupu saya juga baru trip ke Australia. Eh sampai di bandara Melbourne, entah kenapa kopernya rusak. Suaminya pas lagi berusaha menutup koper yang sedikit menganga itu, laptop-nya jatuh ke lantai dan pecah. Duh, sial banget kan? Untungnya mereka sudah saya rekomendasikan pake travel insurance langganan saya, jadi mereka santai aja beli koper dan laptop baru di Australia karena uangnya akan diganti.


Tante saya pun pernah mengalami kesialan saat traveling di Inggris. Paspornya hilang dicuri! Tentu beliau harus ke sana ke mari mengurus ini itu dan ke KBRI untuk mendapatkan paspor sementara. Biaya pengurusannya, termasuk transportasi lokal, ditanggung juga oleh travel insurance.


Saya sendiri pernah merasakan manfaatnya pada saat penerbangan saya ke Kenya tiba-tiba dibatalkan dan dimajukan sehari. Hotel dan biaya visa diganti, uangnya ditransfer ke rekening bank saya. Selain itu, travel insurance juga mengganti biaya ketidaknyamanan lainnya seperti delay.


Kondisi lain misalnya saat teman saya yang lagi traveling ke Swedia tiba-tiba jatuh sakit karena terpleset dari tangga. Dengan travel insurance, biaya pengobatan di rumah sakit Stockholm ditanggung. Bahkan bisa menerbangkan seorang anggota keluarga atau teman untuk menemani selama di rumah sakit. Hebatnya, sampai tiga bulan setelah tiba di Indonesia, pengobatan lanjutannya juga ditanggung! Perlu diketahui, travel insurance juga bisa menanggung biaya evakuasi medis darurat dan repatriasi dalam keadaan darurat di seluruh dunia lho!


Kondisi ekstrim lainnya adalah meninggal dunia di luar negeri. Travel insurance akan menanggung biaya pemulangan jenazah. Jika Anda sedang traveling di luar negeri lalu rumah di Indonesia kebakaran pun akan ditanggung oleh travel insurance.


Nah, travel insurance apa yang saya punyai yang bisa menanggung semua ilustrasi di atas? Saya pakai asuransi perjalanan AXA Mandiri. Alasannya karena gampang; bisa beli online di sini dan tinggal di-print langsung berlaku. Harganya terjangkau – setahun penuh ke seluruh dunia hanya USD 114,75 (sekarang lagi diskon 15%). Paket coverage-nya pun lengkap, mencakup seluruh dunia dengan uang santunan/penggantian yang besar.


Tips agar lebih hemat: Jika Anda ke luar negeri minimal tiga kali dalam setahun seperti saya, lebih baik ambil asuransi jenis Annual Trip. Asuransi ini bisa disertakan sebagai syarat pembuatan visa, malah kemungkinan mendapat visa multiple lebih besar karena periode waktu yang panjang. Jika Anda pergi bersama anggota keluarga pada saat yang bersamaan, pilih Family yang mencakup 2 orang dewasa plus maksimal 3 orang anak. Biaya premi Family tentu lebih murah daripada Individual dikali jumlah orang.


Intinya, traveler yang bijak, punya travel insurance! Jangan sampai deh Anda terlantar di luar negeri dan merepotkan keluarga di rumah. Saya sendiri dan orang-orang yang saya kenal telah merasakan manfaatnya.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 27, 2017 07:00

April 3, 2017

Sial di Negara Maju

Di dalam kereta Belgia dari ibu kotanya Brussel ke kota kecil Leuven, tiba-tiba perut saya bergejolak! Ah ini pasti karena saya kalap makan ala buffet di restoran Cina tadi siang. Maklum sudah lebih dari sebulan traveling di Eropa, begitu ketemu makanan yang cocok di perut langsung berontak ingin keluar. Duh, kenapa harus sekarang kebelet sih? Di dalam kereta ada toilet tapi saya sangsi tokai bisa masuk, atau malah langsung jatuh di rel. Saya tahan aja deh sampai stasiun kereta yang sudah pasti ada toilet.


Malam itu sekitar jam 8.30 saya tiba di stasiun kereta Leuven. Saya buru-buru lari mengikuti tanda arah toilet umum. Rupanya berada di bangunan sebelahnya. Saya pegang gagang pintunya… terkunci! Saya baca pengumuman di secarik kertas dalam bahasa Belanda, yang kira-kira artinya tutup. Sialan! Saya lari ke loket dan bertanya kepada petugasnya. Jawabnya, “Maaf, toilet kami memang sudah tutup dari tadi sore.” Hah? Tega benar! Padahal kereta datang setiap saat.


Di stasiun ada beberapa kafe yang masih buka. Saya masuk dan bertanya di mana toiletnya. Eh ternyata toilet mereka juga menggunakan toilet umum stasiun yang tutup itu! Lha? Sekompleks stasiun kereta toiletnya cuman satu? Cis! Saya berjalan lunglai ke luar stasiun. Ya ampun, kota ini sepi! Jam 5 semua toko sudah tutup. Di seberang ada restoran buka, tapi itu restoran mahal – nggak enak rasanya numpang ke toilet (boker pula) kalau nggak duduk dan beli makanan.


Oh well… Jarak dari stasiun kereta ke apartemen Indie, sepupu saya, sekitar 1,5 km. Setiap hari saya jalan kaki bolak-balik nggak masalah, tapi kali ini dalam keadaan kebelet. Ada bus tapi jadwal nggak jelas dan hanya turun satu halte, sisanya tetap jalan kaki. Duh, coba kalo di Indonesia, tinggal naik ojek kelar! Ya sudah lah, saya berjalan kaki saja. Paling 15 menit. Jalannya agak menanjak tapi hanya lurus doang lalu belok kiri di kampus.


Saya berjalan kaki sambil ‘mengepang’ kedua kaki supaya nggak brojol. Saya juga sambil bermeditasi dengan menarik napas dalam-dalam supaya tenang. Tapi perut saya semakin bergemuruh! Jalanan sepi dan gelap, hanya terlihat beberapa orang yang lewat. Di kiri-kanan jalan berjejer bangunan tua rumah penduduk. Duh, apa saya ketok aja pintu rumahnya untuk numpang ke toilet? Kebayang saya bilang, “I’m sorry, I need help! I need to use your toilet!” Lalu jika dikasih, saya ngebom di WC dengan segala bunyi dan bau khas Asia. Kalau di Indonesia saya berani minta tolong begitu.


Saya lanjut berjalan yang makin terbungkuk-bungkuk menahan gelora. Di ujung jalan pas belokan kampus, saya kentut… eh ternyata keluar sama isinya! Celana jeans saya pun basah. O-em-ji!! Apartemen Indie masih 2 blok lagi dan terlihat sekelompok orang berjalan ke arah saya. Mampus, ini baunya gimana? Kalau keliatan gimana? Hii! Saya tutup pantat saya dengan tas dan terus berjalan. Sialnya, sekali keluar, pertahanan itu jebol-bol-bol! Perduli setan sama orang lain, saya jalan tambah cepat, eh tokai pun jalan cepat… keluar!


Sampai di apartemen Indie (naik tangga dulu dua lantai), saya lari ke toilet untuk meneruskan hajat dan bebersih di dalam shower. Mau jemur, eh nggak ada balkon. Saya gantung aja di toilet. Saya pun mengepel lantai dari tangga, dapur, sampai ke toilet. Ewwww!


Ah, saya jadi haus. Ambil gelas, buka kran di dapur… lho kok nggak ada air? Buka kran di wastafel kamar mandi, eh nggak ada air juga! Wah gawat, air mati nih. Untung udah kelar nyuci. Saya pun buka kulkas, eh tidak ada botol air putih. Wah, si Indie juga nggak nyetok air! Eh jangan-jangan air mati gara-gara saya pakai air kebanyakan sehingga melebihi kuota? Emang bisa gitu?


Tengah malam Indie pulang dan saya cerita soal ‘kecelakaan’ tadi. “Ya begitu lah, di Eropa yang maju ini paling susah cari toilet umum!” komentar Indie. Lalu saya lapor soal air mati. Indie cek kran, setitik air pun tidak keluar.


“Aduh teteh, gue udah 7 tahun tinggal di sini belum pernah sekalipun air mati!” kata Indie.


“Trus gimana? Elo telepon PAM Leuven gih!” saran saya.


“Kantornya tutup jam 5 sore.”


“Hah? Nggak ada nomor emergency?”


“Mana ada orang sini yang mau kerja 24 jam?”


“Kalo gitu elo telepon landlord lo deh, kali dia yang matiin.”


“Aduh, teh, udah jam 12 malam gini masa telepon? Nggak boleh banget di Eropa.”


“Lha terus gue minum gimana? Trus kalo gue kebelet boker lagi gimana?”


“Kalo gue sih bisa mandi, boker, dan minum di kampus besok. Elo besok ikut ke kampus gue aja!”


“Gimana kalo elo keluar sekarang beli air galonan atau air botolan?”


“Teh, jam segini apapun nggak ada yang buka!”


“Lagian elo gimana sih nggak nyetok air putih di botol?”


“Lha mana gue tau di Eropa air bisa mati?”


“Lha ini buktinya mati!”


“Udah gue bilang, ini kejadian baru kali ini setelah 7 tahun, pas ada elo doang!”


Saya pun ngakak kejengkang! Kejadian sial kayak gini itu tipikal gue banget! Bagus sih jadi ada bahan tulisan, tapi kan nyebelin banget! Coba kalau ini terjadi di Indonesia; saya bisa boker di stasiun, kalaupun tutup saya bisa naik ojek ke apartemen Indie, kalau air mati saya bisa beli di toko yang buka 24 jam! Ah, negara maju itu belum tentu lebih baik daripada kita. Hidup Indonesia!



Epilog


Keesokan paginya kami bangun, sama-sama pipis dan tidak bisa mem-flush WC. Kami keluar dengan tampang bete. Eh, di trotoar depan rumah ada hidran bocor dengan air tumpah berlimpah-limpah. “Nah, gue sikat gigi di sini gimana? Air banyak nih!” kata saya. “Hush, nggak boleh teteh!” larang Indie. Dan kami pun didatangi petugas berseragam yang berkata, “Mohon maaf, telah terjadi kebocoran pipa air sehingga kami matikan. Saat ini kami masih memperbaikinya.” Huh, saya yakin mereka memperbaiki baru pagi ini, saat jam kantor mulai.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2017 10:22

March 15, 2017

[Tayang Hari Ini] Trinity, The Nekad Traveler

Setelah tulisan The Naked Traveler Jadi Film Layar Lebar yang di-posting di blog ini pada 2014, akhirnya mulai 16 Maret 2017 filmnya akan tayang di seluruh bioskop di Indonesia! Yeayyyy!


Flashback ke 2005 saat bikin blog naked-traveler.com, saya nggak pernah kepikiran bahwa blog saya jadi buku. Pada 2007 diterbitkan lah buku pertama saya berjudul “The Naked Traveler”. Sampai saat ini saya telah menerbitkan 13 buku dalam 10 tahun. Pernah kepikiran buku saya jadi film? Nggak! Yang tambah gila lagi, ada film tentang diri gue! Padahal siapa lah saya; pahlawan bukan, mantan presiden juga bukan. Istilah bahasa Inggrisnya: it’s beyond my wildest dream!


Sebelum nonton di bioskop, tonton trailer-nya:



Ini sinopsisnya:


Sebuah film mahakarya dari Rizal Mantovani. Diangkat dari travel blog pertama dan teratas selama 12 tahun, dan buku mega best seller “The Naked Traveler” karya Trinity.


Awalnya TRINITY (Maudy Ayunda) adalah seorang mbak-mbak kantoran yang hobi traveling sejak kecil. Namun hobinya ini sering terbentur dengan jatah cuti di kantor dan duit pas-pasan. Akibatnya Trinity sering diomeli BOSS (Ayu Dewi). Trinity memiliki sahabat yang punya hobi sama, yakni YASMIN (Rachel Amanda) dan NINA (Anggika Bolsterli), ditambah dengan sepupu Trinity, EZRA (Babe Cabiita). Trinity selalu menuliskan pengalamannya dalam sebuah blog berjudul naked-traveler.com.


Di rumah, BAPAK (Farhan) dan MAMAH (Cut Mini) selalu menanyakan kapan Trinity serius memikirkan jodoh. Tapi Trinity selalu menjawab: nanti kalau semua bucket list sudah terpenuhi. Bucket list adalah daftar hal-hal yang harus Trinity lakukan sebelum tua, kebanyakan sih isinya (lagi-lagi) tentang jalan-jalan. Bapak langsung pusing mendengarnya. Sebenarnya Trinity bukan tidak tertarik pacaran, bahkan dia sempat tertarik dengan PAUL (Hamish Daud), seorang traveler tampan yang berprofesi fotografer.


Bagaimana keseruan perjalanan Trinity melintasi 3 negara (Indonesia, Maldives dan Filipina)? Keputusan apakah yang diambil Trinity saat menghadapi dilema pekerjaan di kantornya? Bagaimana kelanjutan hubungan Trinity dan Paul?


FAQ


Bagi Anda pembaca setia blog dan buku-buku saya, pasti ada segudang pertanyaan. Saya rangkum  sebagai berikut:


Mengapa Naked jadi Nekad?


Karena film ini untuk 13 tahun ke atas, alangkah baiknya tidak menggunakan kata yang provokatif. Kasihan ntar anaknya nggak boleh nonton ke bioskop sama orang tuanya karena disangka nonton film porno. *batuk-batuk*


Mengapa Maudy Ayunda?


Mengapa tidak? Film ini diadaptasi dari buku pertama The Naked Traveler yang ceritanya pas saya masih jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) yang masih muda dan kurus. Konsep film memang dibuat kekinian di mana produser mencari casting cewek umur awal 20-an, yang aktris terkenal film box office. Saya tentu setuju, selama jadi tambah kece positif. Kalau Anda masih belum ‘rela’ Maudy yang jadi saya, maka Anda wajib nonton deh – acting Maudy itu kayak Trinity banget!


Seberapa mirip antara buku dan filmnya?


Bahasa buku dan bahasa film adalah dua hal yang berbeda. Buku saya adalah kumpulan cerita pendek mengenai perjalanan keliling dunia, jadi adaptasinya harus dibuat cerita yang linear. Di film jelas ada tambahan bumbu-bumbu untuk menyatukan semuanya, jadi ada sebagian fiksinya juga.


Nah, daripada penasaran mending tonton film Trinity, The Nekad Traveler di bioskop-bioskop kesayangan Anda di seluruh Indonesia mulai 16 Maret 2017!


Info tentang film silakan follow Instagram @TrinityTheNekadTraveler.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 15, 2017 20:00

February 21, 2017

Touristy?

Saya sering mendengar fellow travelers yang menilai suatu tempat/destinasi bukan berdasarkan bagus atau tidak, tapi touristy atau non-touristy. Kadang disebut destinasi mainstream dan anti-mainstream. Tak jarang saya bertemu traveler yang dengan sombongnya mengatakan hanya akan ke tempat non-touristy atau anti-mainstream.


Touristy menurut kamus Miriam Webster artinya attracting or appealing to tourists. Artinya tempat-tempat yang menarik bagi turis. Catat, bagi turis. Bagi saya, saat kita semua traveling pas liburan adalah turis. Perginya ya ke tempat touristy. Namun istilah tempat touristy itu sering salah kaprah penggunaannya.


Sampai sekarang saat talkshow saya masih ditanya, “Kenapa sih Mbak Trinity perginya hanya ke tempat-tempat touristy? Kenapa nggak ke daerah konflik?” Dan jawaban saya selalu, “Ih, males! Nggak ada mal!” Lalu ada juga yang membandingkan saya dengan travel writer lainnya yang dibilang keren karena traveling-nya ke daerah perang. Saya pun menjawab, “Saya bukan jurnalis atau fotografer yang bekerja di daerah perang. Saya kan hedonis! Ngapain bayar mahal-mahal, pergi susah-susah, terus nyawa kita terancam dan malah nggak enjoy?”


Ada juga yang bilang bahwa saya perginya ke tempat-tempat non-touristy seperti negara Tanzania atau Guatemala. Tapi pendapat itu adalah menurut pandangan orang Indonesia kebanyakan. Saya sih tetap ke tempat-tempat touristy di Serengeti (taman nasional di Tanzania) dan Tikal (situs arkeologi di Guatemala). Hanya karena kedua negara tersebut kesannya jauh dan asing aja bagi orang Indonesia, maka dicap non-touristy.


Tikal, Guatemala


Lagipula, bagi saya yang sering traveling, tidak bisa disalahkan kalau saya perginya ke destinasi yang makin jauh dan makin aneh – bukan hanya di Singapura, Malaysia, Thailand lagi. Bukannya sombong, tapi itu lah faktanya. Kalian juga makin lama traveling-nya makin jauh kan? Apalagi saya sebagai travel writer harus selalu cari bahan tulisan yang menarik, salah satunya dengan cara pergi ke tempat “aneh”. Kalau pun ke destinasi yang “biasa”, berarti saya harus cari angle lain.


Sebenarnya tidak semua tempat non-touristy itu selalu bagus dan nyaman. Saya punya contoh perjalanan yang bagus sebagai analoginya. Di Jamaika yang pariwisata adalah penghasilan utama negara tersebut, di mana-mana penuh turis. Di Kingston, Negril, Montego Bay semua sama ramainya. Jarang sekali menemukan spot yang sepi tanpa gangguan tukang jualan. Maka saya pun pindah jauh-jauh ke Treasure Beach. Eh ternyata sepi banget! Saking sepinya, nyari makan susah, belanja susah, ke mana-mana susah karena tidak ada transportasi publik. Sementara di tempat touristy, fasilitas serba ada sehingga mau ngapa-ngapain pun mudah dan sering lebih murah. Jadi tempat touristy itu memang cocok bagi turis karena fasilitas sudah terbangun sedemikian rupa yang memudahkan para turis.



Ada juga istilah “touristy banget”, yang artinya kira-kira “rame banget”, seperti Menara Eiffel dan Pantai Kuta Bali. Itu pun gimana kita mau menghindarinya? Masa jauh-jauh ke Paris nggak ke Menara Eiffel? Saya aja sudah tiga kali ke Paris, tetap ke Eiffel untuk foto-foto. Sedangkan dalam kasus Pantai Kuta Bali memang bisa dihindari, tapi itu pun bagi kita yang sudah sering ke Bali. Bagi turis yang baru pertama kali ke Bali, masa nggak ke Kuta? Apalagi turis asing.


Saya jadi ingat di Bali pernah jadi host bagi sahabat saya orang Filipina, Alda. Hampir seminggu saya mengajak dia berwisata ke tempat-tempat keren dan cukup aneh. Hari terakhir saya mengajak dia ke Pantai Kuta untuk menikmati sunset. Suasana luar biasanya ramainya. Rombongan turis lokal berseragam foto-foto, bule-bule pada cipokan, anak-anak kecil main bola, dan sebagainya. Di belakang kami masih ada pula cowok-cowok lokal yang menggoda dengan sangat cheesy-nya ke cewek-cewek bule. Saya cukup kesal karena ramainya, tapi saya diam saja. Besoknya saat mengantar Alda balik ke bandara, saya tanya, “Jadi dari semua tempat di Bali, yang mana favorit kamu?” Jawab Alda, “Pantai Kuta!” Nah kan?


Kuta Beach, Bali


Well, saya sih tetap senang ke tempat touristy maupun non-touristy. Keduanya punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi tak usahlah sombong mengklaim traveling hanya ke tempat non-touristy, anti-mainstream, off beaten path, road less traveled, dan sebagainya. Apalagi sejak adanya media sosial di mana orang traveling untuk memenuhi feed-nya agar bisa berfoto di tempat yang sama. Saya aja ragu, mana ada tempat yang tidak pernah didatangi orang sebelumnya? Jadi yang penting, traveling aja dulu!


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 21, 2017 02:54

February 4, 2017

Hemat ke Maldives

Maldives (dalam bahasa Indonesia disebut “Maladewa”) akhir-akhir ini jadi destinasi liburan yang lagi hits. Sejak maskapai penerbangan berbiaya rendah terbang ke sana, liburan ke Maldives jadi makin murah (sedihnya, bisa lebih murah daripada liburan ke Papua). Maldives dulu memang identik dengan mahal karena harus menginap di resort yang terletak di pulau eksklusif. Namun sejak 2009, pemerintah Maldives membuka kebijakan baru yaitu memperbolehkan pulau yang dihuni oleh penduduk lokal membuka bisnis pariwisata untuk para wisatawan asing, antara lain di Male (ibu kota Maldives), Hulhule, Maafushi, dan Gulhi.



 


Saya sendiri sudah pernah ke Maldives 20 kg 15 tahun yang lalu, seperti yang diceritakan pada buku The Naked Traveler 1. Nah, Januari 2017 kemarin ini saya ke Maldives lagi ikutan trip @MaldivesHemat karena tertarik untuk merasakan Maldives dari sisi lain. Lagipula, harga paketnya terjangkau banget, Rp 8,7 juta all in selama 4 hari 3 malam termasuk tiket pesawat Jakarta-Male-Jakarta, airport transfer pp, makan ala prasmanan, menginap di hotel berbintang, dan aktivitas laut!


Perlu diketahui, Maldives adalah negara Islam yang cukup ketat peraturannya. Alkohol hanya tersedia di resort eksklusif, kalau bawa alkohol dari luar akan ditahan di bandara. Cewek tidak boleh berenang pakai bikini di pulau lokal. Untunglah kami menginap di Maafushi, sebuah pulau lokal yang paling tourist friendly yang terdekat dari bandara. Selain paling banyak pilihan hotel/restoran/kafe/toko, Maafushi punya “Bikini Beach” alias pantai khusus yang diperuntukkan untuk cewek berbikini. Kalau doyan berenang, jangan deh nginep di Male dan Hulhule (pulau tempat bandara) meski sedikit lebih murah.


Bikini Beach, Maafushi


Saya pikir hotel yang termasuk paket itu ecek-ecek, nggak taunya berbintang tiga, bagus, luas, bersih, ber-AC, air panas, dan ada free WiFi. Saya sih upgrade ke hotel bintang empat bernama Arena Beach Hotel yang lokasinya persis di pinggir Bikini Beach jadi tinggal nyebur. Mau main kano, pinjam sepeda, atau pinjam alat snorkeling juga sudah termasuk.


Sebagian besar orang yang ke Maldives adalah para honeymooners. Sebagai solo traveler, saya sih nggak sirik khawatir karena kalau ikutan open trip kemungkinan besar ada barengannnya. Dan kali ini saya pun otomatis bergabung dengan geng ciwi-ciwi (kurus jomblo). Hehe!





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 16, 2017 at 4:52am PST





Hari pertama kami island hopping naik speed boat keren yang atapnya bisa untuk jemuran badan. Kami snorkeling di Banana Reef dan Biyadhoo Garden. Lumayan banyak ikan karangnya, terutama unicorn fish! Makan siang kami di Pulau Gulhi sambil piknik pake taplak kotak-kotak di pinggir pantai kece. Lalu foto-foto di sandbank (pasir timbul), dan pulangnya sekalian dolphin cruise melihat lumba-lumba.





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 14, 2017 at 5:44am PST




Ke Maldives rasanya kurang afdol kalo nggak ke resort yang punya bungalow di atas air seperti gambaran klasik Maldives. Hebatnya @MaldivesHemat bisa bikin day trip ke resort sesuai dengan preferensi kita. Paket day trip (jam 9 pagi sampai jam 6 sore) ini termasuk antar-jemput naik speed boat, menggunakan fasilitas resort, makan siang ala prasmanan, termasuk free flow alkohol! Dengan biaya ekstra, saya pilih ke Centara Rash Fushi Resort karena anak kecil dilarang masuk (penting!). Eh nggak taunya barengan pula sama geng ciwi-ciwi. Jadilah kami bergembira ria berenang, foto-foto, dan mimi-mimi di bar kolam renang seharian! Sementara anggota rombongan lain ada yang ke resort-resort lain (yang boleh bawa anak kecil) atau berkeliling di Maafushi.





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 15, 2017 at 8:42pm PST




Malam terakhir, saya dan geng ciwi-ciwi pengen farewel party. Gimana caranya dugem tanpa ada club dan alkohol dong? Robert, pemilik @MaldivesHemat emang anak gaul. Diajaklah kami dugem di tengah laut! Jadi karena dugem dilarang di pulau lokal di Maldives, dibuatlah diskotek di atas kapal dengan lampu biru yang parkir jauh dari daratan. Maka jam 11 malam kami pun naik kapal kecil ke kapal biru yang ternyata kapal besar yang ada lantai dansa dan bar jual alkohol! Yeayy, kami pun berpesta sampai pagi!


Hari terakhir kami bersantai di pantai depan hotel. Si @MaldivesHemat emang tau aja bikin foto yang Instagramable, maka disediakanlah floaties berbentuk flamingo untuk foto-foto cantik di pantai. Yep, mereka pula lah yang menyediakan jasa motoin! Sorenya kami city tour di Male, sekalian shopping dan beli oleh-oleh. Indonesia banget kan?


Abis itu saya nggak ikut pulang ke Jakarta karena extend sendiri. Saya menginap di Club Med Kani, resort keren tempat lokasi syuting film “Trinity, The Nekad Traveler”! FYI, kalau mau menginap di Club Med manapun di Maldives, bisa pesan di @MaldivesHemat karena mereka adalah agen resmi jadi bisa lebih murah.


Yuk ah liburan ke Maldives!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 04, 2017 09:34

January 29, 2017

[Adv] Jadi Juri Blue Band Master Oleh-Oleh

Lumayan sering saya jadi juri dari berbagai macam kompetisi, terutama di bidang penulisan. Tapi baru kali ini saya diminta jadi juri kompetisi makanan Blue Band Master Oleh-Oleh! Sempat bingung juga kenapa saya yang dipilih Unilever Food Solution (UFS) untuk jadi juri, tapi katanya karena ini adalah kompetisi makanan oleh-oleh maka saya sebagai traveler yang sudah keliling Indonesia dianggap berkompeten menilai oleh-oleh.


Emang bener sih, orang Indonesia kalo traveling itu pasti beli oleh-oleh. Saya yang udah nggak beli oleh-oleh aja pasti beli juga kalau traveling di Indonesia, itu pun belinya berupa makanan. Kalo ngasih oleh-oleh berupa makanan itu pasti habis kok, apalagi ditaro di kantor. Survery membuktikan bahwa 3 dari 4 orang Indonesia memilih produk makanan atau kue sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan kerabatnya. Bayangkan berapa besar potensi industri oleh-oleh bagi pariwisata Indonesia!



Diluncurkan pertama kali pada September 2016, kompetisi Blue Band Master Oleh-Oleh adalah sebuah ajang menciptakan ragam kreasi oleh-oleh khas nusantara bagi para pelaku industri bakery dan pastry dari dari seluruh propinsi di Indonesia. Dalam kurun waktu dua bulan sejak diluncurkan, sebanyak 3.667 pelaku industri bakery dan pastry telah berpartisipasi dalam kompetisi Blue Band Master Oleh-Oleh melalui website www.masteroleholeh.com. Animo masyarakat Indonesia dalam memberikan dukungan pun cukup besar, tampak dari terkumpulnya lebih dari 160 ribu dukungan melalui website dan SMS yang dibuka sepanjang 1 September – 31 Oktober 2016. Proses penjurian yang panjang pun telah dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap validasi, tahap penjurian tingkat propinsi, hingga tahap penjurian tingkat nasional hingga akhirnya terpilihlah tiga pemenang utama.


Penjurian diadakan pada 23-29 November 2016 di Jakarta, di mana dewan juri pada final penjurian terdiri dari Chef Rahmat Kusnedi, seorang pastry chef dan President of Indonesia Pastry Alliance yang telah menggeluti dunia baking di Indonesia selama 20 tahun; Ibu Oneng Setya Harini, Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, dan saya sendiri. Cihuy banget nggak sih? Hehe!


Oleh-Oleh Corner


Sebagai penggemar serial TV kompetisi masak MasterChef, saya jadi tahu cara kerja juri lomba makanan. Kesimpulannya, it’s not easy at all! Saat penjurian tingkat nasional, kami harus mencicipi kue dari 34 propinsi di Indonesia, masing-masing 3 jenis! Puluhan kue masuk ke mulut selama beberapa hari itu memang bikin eneg, meski cuma sesendok-sesendok aja. Namun selain menilai rasa, komponen penilaian lain yang tak kalah penting adalah rupa (tampilannya, daya tahan, kemasan) dan keunikan. Untunglah ketua juri, Chef Rahmat, banyak memberikan pelajaran tentang bagaimana menilai kue. Masukannya juga sangat berguna untuk kelangsungan industri, seperti perijinan BPOM dan sertifikasi halal, pengemasan yang kokoh, serta pencantuman tanggal kadaluwarsa. Ah, benar-benar pengalaman yang eye-opening!


Setelah diskusi panjang, akhirnya dewan juri telah sepakat menentukan 3 pemenang. Pemenang pertama adalah Bagelen Bekatul kreasi Toko Super Roti dari propinsi Jawa Tengah, pemenang kedua adalah Cake Salak Kilo kreasi Toko Cake Salak Kilo dari propinsi Kalimantan Timur, dan pemenang ketiga ialah Nutsafir Cookies kreasi oleh Toko Nutsafir Cookies dari propinsi Nusa Tenggara Barat. Seluruh pemenang berhak menerima koin emas, paket iklan promosi, dan gelar Master Oleh-Oleh 2016.


Nara sumber dan para pemenang


Kini seluruh oleh-oleh yang terdaftar dalam kompetisi dapat diakses oleh masyarakat melalui Peta Oleh-Oleh di laman www.masteroleholeh.com untuk menjadi referensi saat memilih oleh-oleh dari seluruh Indonesia.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 29, 2017 10:13

January 8, 2017

Iran itu berbahaya?

Saat saya ke Iran, ada sebagian follower berkomentar, “Hati-hati ke Iran, Syiah kan bahaya!” Widih, segitunya! Sebagai non-Muslim, saya sih nggak ngerti soal perbedaan Islam aliran Sunni dan Syiah. Apanya yang bahaya juga nggak tahu.


Yang saya amati, mesjid-mesjid di Iran itu luar biasa cakepnya. Baru kali itu liat mesjid sampe nganga! Bentuk mesjid yang terdapat minaret tinggi dan kubah, bukan merupakan satu bangunan besar sekaligus, tapi bagian tengahnya pasti terbuka tanpa atap – dengan cuaca di Iran sih cocok. Dinding-dindingnya berupa kumpulan tegel bermotif cantik yang dihiasi kaligrafi, plus warna yang didominasi warna kesukaan saya: biru.


Ezra pernah ikutan sholat Jumat di mesjid Imam Khomeini di Teheran. Katanya sih ada sedikit perbedaan tata caranya. Beda yang lain adalah saat sujud, kepala harus menempel di tanah. Maka disediakanlah kotak-kotak kecil terbuat dari tanah liat yang dipinjamkan gratis di mesjid.


Pas Idul Adha, ada sih sholat Ied, tapi tidak terlihat ada yang potong kurban. Saya sampai bertanya ke orang-orang lokal. Jawab mereka, “Kami potong kurban tidak di tempat umum, tapi di rumah masing-masing.” Oh, beda ya sama kita yang di tempat umum dan jadi tontonan (berdarah).


Di buku panduan perjalanan Lonely Planet selalu ada bab mengenai highlights dari destinasi setiap negara. Di buku khusus Iran, highlight urutan pertama yang tertulis adalah “People”. Artinya, yang membuat Iran paling menarik adalah orang-orangnya – melebihi destinasi wisatanya. Dan saya mengamininya. Mana mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng pula!


Pertama, saya sebagai turis asing di Iran merasa jadi celebrity! Iran adalah satu-satunya negara di dunia di mana orang-orangnya pengen foto bareng saya! Jadi kayak bule-bule di Indonesia yang sering diminta foto bareng sama orang kita gitu.


Saat lagi asyik jalan kaki di pasar, pasti ada aja orang yang memanggil-manggil, “Excuse me! Excuse me!”. Awalnya saya males nanggepin karena biasanya tukang jualan agresif, atau takutnya malah jebakan betmen semacam tourist scam. Begitu saya nengok, ada seorang bapak-bapak bersama anak perempuannya yang bertanya, “Can I take picture of you and my daughter?” Dan ini terjadi berkali-kali. Sepertinya mereka bangga sekali jika punya foto sama orang asing. Anak-anak pun memberikan senyum terlebar dan tercantik saat foto bareng!



Di berbagai destinasi wisata tak jarang pula saya dan Ezra dipanggil-panggil oleh orang lokal untuk mengajak foto bersama – kalau mereka tidak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya ditarik-tarik.  Bukan hanya sama anak-anak, tapi juga sekeluarga besar yang bergantian foto bareng mulai dari nenek sampai ke cucunya! Emangnya nggak ada turis lain? Ada sih. Kebanyaka bule Eropa yang datang serombongan grup tur naik bus, tapi mereka nggak dilirik. Saya bingung, apakah karena tampang Asia atau karena muka kami menggemaskan? #halah


Tak jarang pula kami diajak mampir ke rumah orang lokal. Kalau pun orang dari luar kota, mereka dengan senang hati memberikan alamatnya sambil berpesan, “Kalau kalian ada waktu, mampir ya ke rumah kami!” Bahkan beberapa kali kami dikasih makanan kecil. Pernah sekali saya coba, eh ternyata keju kambing yang asin banget! Terpaksa saya telan karena melihat wajah mereka yang cerah ceria menunggu komentar enak dari saya (setelah mereka pergi, saya muntahkan).


Kedua, bukan karena ngajak foto bareng saya anggap baik. Semua orang ramah dan suka menolong. Kalau lagi sibuk selfie, ada aja yang nawarin motretin. Kalau keliatan bingung nyasar, ada aja yang menyapa dan kasih unjuk jalan. Supir atau tukang jualan yang mukanya seram tanpa senyum pun ternyata nggak menipu karena harganya sesuai. Kalau mau motret orang lokal akan selalu dikasih izin, bahkan dengan senang hati mereka tersenyum dan berpose.



Banyak orang sana memang suka mengajak ngobrol. Sebagian karena ingin praktik ngomong bahasa Inggris. Yang bikin saya merinding, mereka selalu berkata, “Thank you for visiting my country!” (dari situ lah saya belajar untuk berkata hal yang sama kepada turis asing yang saya temui di Indonesia). Aduh, air mata saya sampai menetes karena melihat kebaikan dan ketulusan mereka!



Dan trofi kebaikan jatuh kepada Pak Mousavi. Dia adalah resepsionis hotel di Teheran. Karena Iran mirip seperti di Kuba di mana kalau mau booking hotel cukup sulit karena internet hampir tidak eksis, maka saya menyerahkan urusan booking ke Pak Mousavi. Dia cuman minta dikasih tahu sehari sebelum sampai di kota yang dituju. Semua hasil booking-annya aman dan lancar, bahkan beliau mengorganisir penjemputan pula dari terminal bus ke hotelnya. Beliau juga lah yang memberikan tips and trick traveling di Iran. Dan semua servisnya itu tidak bayar sama sekali!


Jadi apa bahayanya ya? Iran menurut saya sih aman, meski negara sekelilingnya masih bergejolak. Tidak semua orang Iran itu Syiah. Ada juga yang Suni, Kristen, Katolik, bahkan mereka mengakui agama Yahudi dan Zoroastrian dan memiliki bangunan ibadahnya masing-masing. Semuanya terlihat aman-aman aja. Pokoknya apa yang kita pikirkan buruk tentang Iran, kenyataannya malah sebaliknya. Entah kenapa Amerika Serikat dan Arab Saudi segitu bencinya sama Iran. Soal Syiah atau bukan, saya juga tidak peduli. Yang penting saya sebagai turis dihargai dan disambut dengan baik.


 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on January 08, 2017 22:36

December 7, 2016

Berjilbab di Iran

Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Teheran. Sesuai dengan peraturan Republik Islam Iran, semua wanita wajib menutup kepalanya, mulai dari sekarang,” kata pramugari mengumumkan melalui pengeras suara. Saya segera mengambil pashmina di ransel dan menutup rambut saya. Secara bersamaan semua wanita di dalam pesawat memakai kerudung, termasuk para pramugari dan cewek bule. Sebagai cewek non-Muslim yang doyannya pake celana pendek dan t-shirt, saya  merasa excited pertama kali memakai jilbab dalam waktu lama. Pengin tahu juga rasanya gimana hidup di negara Islam dengan segala peraturannya.


Revolusi Iran pada 1979 telah menggulingkan dinasti Pahlavi yang didukung Amerika Serikat lalu Iran menjadi negara Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Sejak itu ditetapkan peraturan bahwa setiap wanita, termasuk orang asing dan non-Muslim, diharuskan menutup kepala, serta berpakaian panjang dan longgar. Perlu diketahui, di dunia ini hanya ada dua negara yang mewajibkan semua wanita berjilbab, yaitu Arab Saudi dan Iran. Ironisnya, mereka berdua adalah dua kubu yang saling perang dingin.


Terus terang saya nggak pede traveling ke Iran sendirian. Untunglah saya barengan sama sepupu saya, Ezra. Lumayan kami bisa lebih hemat akomodasi dan transportasi. Persoalan selanjutnya, menginap di hotel di Iran harus sesama muhrim. Kalau mengaku suami-istri, bakal ditanya surat nikah. Katanya sih turis asing sih mendapat keringanan, tapi Ezra kan cowok Indonesia dan Muslim –di Aceh aja nggak bakalan bisa sekamar.


Sampai di pusat kota Teheran, kami check in di sebuah hotel. Eh si mas resepsionis bertanya, “So, what is your relationship?”


He’s my brother,” jawab saya menunjuk Ezra.


If you’re brother and sister, why do you have different last names?” tanya resepsionis lagi. Kwak kwuawww!


Baru aja saya mau jawab, “We have same mother, but different fathers,” tapi Ezra duluan menjawab, “In Indonesia, we don’t have last names!”


So what about HXXXXXXX (last name saya) and FYYYYYYYYYYY (last name Ezra)?”


They are all our first names!” jawab saya menyeringai lebar. Aduh, maaf saya terpaksa berbohong, kata saya dalam hati.


Berhasil! Kami pun diberikan kunci kamar. Kamar kami terletak di lantai empat, tanpa lift pula, jadi kami harus menggotong sendiri koper ke atas. Sampai di kamar, saya basah kuyup oleh keringat sehingga saya langsung buka kerudung dan baju. Pas saya mau buang air besar… lha, di dalam kamar mandi hanya ada shower! Ternyata toiletnya ada di hall luar yang sharing dengan tamu-tamu lainnya selantai!


“Lha, ini gue mau keluar berjarak 10 meter kudu pake jilbab lagi nih?” tanya saya ke Ezra.


“Ya, iya lah ya!” jawab Ezra terkikik.


Dengan perut bergemuruh karena kebelet, saya terpaksa memakai ulang semua baju dan kerudung yang sudah basah keringat satu per satu! Duh, pe-er banget yak! Kasihan dengan keribetan saya tengah malam, Ezra pun memberikan advice, “Kalo elo mau pipis doang, di kamar mandi sini aja. Elo jongkok, trus lo pas-pasin deh anu lo sama lubang air!” Hahahaha! (((Pas-pasin!))) Membayangkannya saja saya ngakak!


Besoknya saya memperhatikan cara berpakaian wanita Iran. Di Iran, kepala hanya ditutup scarf sehingga poni dan ujung kuciran rambut terlihat. Tapi baju mereka longgar dan menutup pantat sehingga tidak terlihat lekukan tubuh. Biasanya mereka memakai baju 3 potong, yaitu celana panjang/jeans, blus/kaus, dan semacam jaket panjang model trench coat. Cewek-cewek Iran yang cantiknya luar biasa itu terlihat sangat fashionable dan keren padahal pakaian mereka tidak branded sama sekali (ingat, Iran diembargo Amerika Serikat). Berbeda dengan gaya jilbab di Indonesia; rambut tidak boleh kelihatan, tapi baju malah ketat.


Ada memang sebagian kecil wanita Iran yang memakai cadar, terutama di kota kecil dan pedesaan. Namun cadar di sini bukan jilbab yang hanya matanya saja yang kelihatan. Cadar di Iran adalah hitam yang dikenakan seperti selimut di atas baju, jadi kayak memeluk jubah. Wanita tidak diharuskan memakai cadar, kecuali di tempat tertentu. Saya pernah pakai cadar saat masuk mesjid Shah Cheragh. Sulit juga berjalan karena sambil memeluk cadar, sambil bawa tas dan kantong plastik berisi sepatu. Yang bikin saya ngikik sendiri adalah motif cadar ini animal print macan!


Satu hal lagi yang mengagetkan, banyak cewek Iran yang hidungnya ditutup plester karena hidung mereka habis dioperasi plastik! Ya, Iran adalah “nose job capital of the world”. Jumlah operasi hidung terbanyak di dunia per kapita ada di Iran, atau empat kali lebih banyak daripada di Amerika Serikat! Saya pernah tanya, katanya biayanya murah, sekitar Rp 3 jutaan saja. Saya bingung, padahal hidung orang Persia kan bangir gitu. Rupanya ada unsur gengsi dan status sosial, sehingga mereka dengan bangganya memamerkan plester.


Anyway, lama-lama saya jadi belajar berpakaian ala cewek Iran. Setiap pagi sebelum keluar hotel, Ezra memasangkan jilbab di kepala saya, menyarankan #OOTD (outfit of the day), bahkan meminjamkan tunik dan selendangnya. Mumpung ada yang fotoin, saya jadi sering posting foto diri berjilbab ala Iran di Instagram @TrinityTraveler. Banyak yang likes dan berkomentar positif, bahkan ada yang komen, “Semoga istiqomah, mbak!”


Ternyata memakai jilbab tidak semudah itu! Iran pada bulan September suhunya sekitar 33? dan lembab, tapi baju harus lengan panjang dan pakai celana panjang. Kepala tertutup sih nggak apa-apa, tapi leher yang tertutup itu membuat saya sangat kepanasan! Kadang saya membuka bagian leher untuk kipas-kipas. Saya juga merasa pendengaran berkurang karena tertutup kain. Kadang tanpa sadar jilbab saya buka bagian kuping. Karena lembab, kulit kepala saya kadang gatal. Saya diam-diam membuka jilbab untuk menggaruk kepala. Tidak ada orang yang marah dan protes, kecuali Ezra yang menjerit, “Teteh, jilbabnya yang bener dong!”


Budaya Islam pun terasa di Iran. Karena saya jalan dengan Ezra, dunia antara wanita dan pria itu terasa bedanya. Meski saya yang booking ini-itu, tapi selalu Ezra yang diajak ngomong. Kalau berkenalan, hanya pria yang bersalaman dengan Ezra. Kadang saya lupa menyorongkan tangan untuk bersalaman, maka pria Iran itu akan menaruh tangannya di dadanya. Kalau duduk di mana pun, saya harus duduk di sebelah wanita atau sebelah Ezra, di mana sebelah Ezra harus pria.


Yang katanya duduk di restoran harus dipisah, malah tidak terjadi. Wanita, pria, keluarga, semua duduk di ruangan yang sama. Yang katanya cewek dan cowok dilarang jalan berduaan apalagi bermesraan, malah sering ketemu pasangan anak muda yang begitu. Yang jarang lihat memang cewek jalan sendiri.


Balik lagi ke soal menginap di hotel, di kota-kota selanjutnya kami tidak pernah ada masalah. Namun entah kenapa oleh staf hotel di mana pun, kami disebut sebagai “brother and sister from Indonesia”. Sampai suatu kali seorang staf hotel bertanya, “You are from Indonesia? So you are Moslem?”


I am,” jawab Ezra. “I’m not,” jawab saya. Berbarengan sampai kami saling berpandangan. Nah lho!


Why you’re brother and sister but you have different religions?” tanyanya. Nah, kan?


In Indonesia, we are free to choose whatever religion we want to have,” jawab saya perlahan. Meski kurang yakin tapi paling tidak saya bersyukur tinggal di Indonesia, negara sekuler.



Katanya Iran yang syiah itu bahaya. Masa sih? (Bersambung)


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 07, 2016 07:50

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.