Trinity's Blog, page 11

April 27, 2017

[Adv] Traveler bijak punya travel insurance

Penting nggak sih punya travel insurance (asuransi perjalanan)? Saya sudah pernah membahasnya di sini. Tapi mungkin Anda belum terbayang kesialan atau musibah apa yang mungkin terjadi ketika Anda sedang traveling di luar negeri. Sementara kita tahu bahwa sebagian besar negara di dunia itu biaya hidupnya lebih tinggi daripada kita, sehingga membutuhkan uang ekstra. Ini saya berikan ilustrasi beberapa kejadian sebagai berikut;


Pada trip terakhir saya di Taiwan, seorang teman kehilangan bagasinya dan dijanjikan akan dikembalikan dalam tiga hari ke depan. Padahal dia sedang business trip yang perlu pakai baju rapih untuk bertemu dengan pejabat tinggi setempat. Duh, males banget kan kalo kejadian kayak gitu? Kalau itu terjadi sama saya, pasti saya langsung belanja ke mal terdekat untuk beli baju dan sepatu baru. Nggak khawatir karena uang belanjanya akan ditanggung oleh travel insurance saya.


Sepupu saya juga baru trip ke Australia. Eh sampai di bandara Melbourne, entah kenapa kopernya rusak. Suaminya pas lagi berusaha menutup koper yang sedikit menganga itu, laptop-nya jatuh ke lantai dan pecah. Duh, sial banget kan? Untungnya mereka sudah saya rekomendasikan pake travel insurance langganan saya, jadi mereka santai aja beli koper dan laptop baru di Australia karena uangnya akan diganti.


Tante saya pun pernah mengalami kesialan saat traveling di Inggris. Paspornya hilang dicuri! Tentu beliau harus ke sana ke mari mengurus ini itu dan ke KBRI untuk mendapatkan paspor sementara. Biaya pengurusannya, termasuk transportasi lokal, ditanggung juga oleh travel insurance.


Saya sendiri pernah merasakan manfaatnya pada saat penerbangan saya ke Kenya tiba-tiba dibatalkan dan dimajukan sehari. Hotel dan biaya visa diganti, uangnya ditransfer ke rekening bank saya. Selain itu, travel insurance juga mengganti biaya ketidaknyamanan lainnya seperti delay.


Kondisi lain misalnya saat teman saya yang lagi traveling ke Swedia tiba-tiba jatuh sakit karena terpleset dari tangga. Dengan travel insurance, biaya pengobatan di rumah sakit Stockholm ditanggung. Bahkan bisa menerbangkan seorang anggota keluarga atau teman untuk menemani selama di rumah sakit. Hebatnya, sampai tiga bulan setelah tiba di Indonesia, pengobatan lanjutannya juga ditanggung! Perlu diketahui, travel insurance juga bisa menanggung biaya evakuasi medis darurat dan repatriasi dalam keadaan darurat di seluruh dunia lho!


Kondisi ekstrim lainnya adalah meninggal dunia di luar negeri. Travel insurance akan menanggung biaya pemulangan jenazah. Jika Anda sedang traveling di luar negeri lalu rumah di Indonesia kebakaran pun akan ditanggung oleh travel insurance.


Nah, travel insurance apa yang saya punyai yang bisa menanggung semua ilustrasi di atas? Saya pakai asuransi perjalanan AXA Mandiri. Alasannya karena gampang; bisa beli online di sini dan tinggal di-print langsung berlaku. Harganya terjangkau – setahun penuh ke seluruh dunia hanya USD 114,75 (sekarang lagi diskon 15%). Paket coverage-nya pun lengkap, mencakup seluruh dunia dengan uang santunan/penggantian yang besar.


Tips agar lebih hemat: Jika Anda ke luar negeri minimal tiga kali dalam setahun seperti saya, lebih baik ambil asuransi jenis Annual Trip. Asuransi ini bisa disertakan sebagai syarat pembuatan visa, malah kemungkinan mendapat visa multiple lebih besar karena periode waktu yang panjang. Jika Anda pergi bersama anggota keluarga pada saat yang bersamaan, pilih Family yang mencakup 2 orang dewasa plus maksimal 3 orang anak. Biaya premi Family tentu lebih murah daripada Individual dikali jumlah orang.


Intinya, traveler yang bijak, punya travel insurance! Jangan sampai deh Anda terlantar di luar negeri dan merepotkan keluarga di rumah. Saya sendiri dan orang-orang yang saya kenal telah merasakan manfaatnya.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 27, 2017 07:00

April 3, 2017

Sial di Negara Maju

Di dalam kereta Belgia dari ibu kotanya Brussel ke kota kecil Leuven, tiba-tiba perut saya bergejolak! Ah ini pasti karena saya kalap makan ala buffet di restoran Cina tadi siang. Maklum sudah lebih dari sebulan traveling di Eropa, begitu ketemu makanan yang cocok di perut langsung berontak ingin keluar. Duh, kenapa harus sekarang kebelet sih? Di dalam kereta ada toilet tapi saya sangsi tokai bisa masuk, atau malah langsung jatuh di rel. Saya tahan aja deh sampai stasiun kereta yang sudah pasti ada toilet.


Malam itu sekitar jam 8.30 saya tiba di stasiun kereta Leuven. Saya buru-buru lari mengikuti tanda arah toilet umum. Rupanya berada di bangunan sebelahnya. Saya pegang gagang pintunya… terkunci! Saya baca pengumuman di secarik kertas dalam bahasa Belanda, yang kira-kira artinya tutup. Sialan! Saya lari ke loket dan bertanya kepada petugasnya. Jawabnya, “Maaf, toilet kami memang sudah tutup dari tadi sore.” Hah? Tega benar! Padahal kereta datang setiap saat.


Di stasiun ada beberapa kafe yang masih buka. Saya masuk dan bertanya di mana toiletnya. Eh ternyata toilet mereka juga menggunakan toilet umum stasiun yang tutup itu! Lha? Sekompleks stasiun kereta toiletnya cuman satu? Cis! Saya berjalan lunglai ke luar stasiun. Ya ampun, kota ini sepi! Jam 5 semua toko sudah tutup. Di seberang ada restoran buka, tapi itu restoran mahal – nggak enak rasanya numpang ke toilet (boker pula) kalau nggak duduk dan beli makanan.


Oh well… Jarak dari stasiun kereta ke apartemen Indie, sepupu saya, sekitar 1,5 km. Setiap hari saya jalan kaki bolak-balik nggak masalah, tapi kali ini dalam keadaan kebelet. Ada bus tapi jadwal nggak jelas dan hanya turun satu halte, sisanya tetap jalan kaki. Duh, coba kalo di Indonesia, tinggal naik ojek kelar! Ya sudah lah, saya berjalan kaki saja. Paling 15 menit. Jalannya agak menanjak tapi hanya lurus doang lalu belok kiri di kampus.


Saya berjalan kaki sambil ‘mengepang’ kedua kaki supaya nggak brojol. Saya juga sambil bermeditasi dengan menarik napas dalam-dalam supaya tenang. Tapi perut saya semakin bergemuruh! Jalanan sepi dan gelap, hanya terlihat beberapa orang yang lewat. Di kiri-kanan jalan berjejer bangunan tua rumah penduduk. Duh, apa saya ketok aja pintu rumahnya untuk numpang ke toilet? Kebayang saya bilang, “I’m sorry, I need help! I need to use your toilet!” Lalu jika dikasih, saya ngebom di WC dengan segala bunyi dan bau khas Asia. Kalau di Indonesia saya berani minta tolong begitu.


Saya lanjut berjalan yang makin terbungkuk-bungkuk menahan gelora. Di ujung jalan pas belokan kampus, saya kentut… eh ternyata keluar sama isinya! Celana jeans saya pun basah. O-em-ji!! Apartemen Indie masih 2 blok lagi dan terlihat sekelompok orang berjalan ke arah saya. Mampus, ini baunya gimana? Kalau keliatan gimana? Hii! Saya tutup pantat saya dengan tas dan terus berjalan. Sialnya, sekali keluar, pertahanan itu jebol-bol-bol! Perduli setan sama orang lain, saya jalan tambah cepat, eh tokai pun jalan cepat… keluar!


Sampai di apartemen Indie (naik tangga dulu dua lantai), saya lari ke toilet untuk meneruskan hajat dan bebersih di dalam shower. Mau jemur, eh nggak ada balkon. Saya gantung aja di toilet. Saya pun mengepel lantai dari tangga, dapur, sampai ke toilet. Ewwww!


Ah, saya jadi haus. Ambil gelas, buka kran di dapur… lho kok nggak ada air? Buka kran di wastafel kamar mandi, eh nggak ada air juga! Wah gawat, air mati nih. Untung udah kelar nyuci. Saya pun buka kulkas, eh tidak ada botol air putih. Wah, si Indie juga nggak nyetok air! Eh jangan-jangan air mati gara-gara saya pakai air kebanyakan sehingga melebihi kuota? Emang bisa gitu?


Tengah malam Indie pulang dan saya cerita soal ‘kecelakaan’ tadi. “Ya begitu lah, di Eropa yang maju ini paling susah cari toilet umum!” komentar Indie. Lalu saya lapor soal air mati. Indie cek kran, setitik air pun tidak keluar.


“Aduh teteh, gue udah 7 tahun tinggal di sini belum pernah sekalipun air mati!” kata Indie.


“Trus gimana? Elo telepon PAM Leuven gih!” saran saya.


“Kantornya tutup jam 5 sore.”


“Hah? Nggak ada nomor emergency?”


“Mana ada orang sini yang mau kerja 24 jam?”


“Kalo gitu elo telepon landlord lo deh, kali dia yang matiin.”


“Aduh, teh, udah jam 12 malam gini masa telepon? Nggak boleh banget di Eropa.”


“Lha terus gue minum gimana? Trus kalo gue kebelet boker lagi gimana?”


“Kalo gue sih bisa mandi, boker, dan minum di kampus besok. Elo besok ikut ke kampus gue aja!”


“Gimana kalo elo keluar sekarang beli air galonan atau air botolan?”


“Teh, jam segini apapun nggak ada yang buka!”


“Lagian elo gimana sih nggak nyetok air putih di botol?”


“Lha mana gue tau di Eropa air bisa mati?”


“Lha ini buktinya mati!”


“Udah gue bilang, ini kejadian baru kali ini setelah 7 tahun, pas ada elo doang!”


Saya pun ngakak kejengkang! Kejadian sial kayak gini itu tipikal gue banget! Bagus sih jadi ada bahan tulisan, tapi kan nyebelin banget! Coba kalau ini terjadi di Indonesia; saya bisa boker di stasiun, kalaupun tutup saya bisa naik ojek ke apartemen Indie, kalau air mati saya bisa beli di toko yang buka 24 jam! Ah, negara maju itu belum tentu lebih baik daripada kita. Hidup Indonesia!



Epilog


Keesokan paginya kami bangun, sama-sama pipis dan tidak bisa mem-flush WC. Kami keluar dengan tampang bete. Eh, di trotoar depan rumah ada hidran bocor dengan air tumpah berlimpah-limpah. “Nah, gue sikat gigi di sini gimana? Air banyak nih!” kata saya. “Hush, nggak boleh teteh!” larang Indie. Dan kami pun didatangi petugas berseragam yang berkata, “Mohon maaf, telah terjadi kebocoran pipa air sehingga kami matikan. Saat ini kami masih memperbaikinya.” Huh, saya yakin mereka memperbaiki baru pagi ini, saat jam kantor mulai.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2017 10:22

March 15, 2017

[Tayang Hari Ini] Trinity, The Nekad Traveler

Setelah tulisan The Naked Traveler Jadi Film Layar Lebar yang di-posting di blog ini pada 2014, akhirnya mulai 16 Maret 2017 filmnya akan tayang di seluruh bioskop di Indonesia! Yeayyyy!


Flashback ke 2005 saat bikin blog naked-traveler.com, saya nggak pernah kepikiran bahwa blog saya jadi buku. Pada 2007 diterbitkan lah buku pertama saya berjudul “The Naked Traveler”. Sampai saat ini saya telah menerbitkan 13 buku dalam 10 tahun. Pernah kepikiran buku saya jadi film? Nggak! Yang tambah gila lagi, ada film tentang diri gue! Padahal siapa lah saya; pahlawan bukan, mantan presiden juga bukan. Istilah bahasa Inggrisnya: it’s beyond my wildest dream!


Sebelum nonton di bioskop, tonton trailer-nya:



Ini sinopsisnya:


Sebuah film mahakarya dari Rizal Mantovani. Diangkat dari travel blog pertama dan teratas selama 12 tahun, dan buku mega best seller “The Naked Traveler” karya Trinity.


Awalnya TRINITY (Maudy Ayunda) adalah seorang mbak-mbak kantoran yang hobi traveling sejak kecil. Namun hobinya ini sering terbentur dengan jatah cuti di kantor dan duit pas-pasan. Akibatnya Trinity sering diomeli BOSS (Ayu Dewi). Trinity memiliki sahabat yang punya hobi sama, yakni YASMIN (Rachel Amanda) dan NINA (Anggika Bolsterli), ditambah dengan sepupu Trinity, EZRA (Babe Cabiita). Trinity selalu menuliskan pengalamannya dalam sebuah blog berjudul naked-traveler.com.


Di rumah, BAPAK (Farhan) dan MAMAH (Cut Mini) selalu menanyakan kapan Trinity serius memikirkan jodoh. Tapi Trinity selalu menjawab: nanti kalau semua bucket list sudah terpenuhi. Bucket list adalah daftar hal-hal yang harus Trinity lakukan sebelum tua, kebanyakan sih isinya (lagi-lagi) tentang jalan-jalan. Bapak langsung pusing mendengarnya. Sebenarnya Trinity bukan tidak tertarik pacaran, bahkan dia sempat tertarik dengan PAUL (Hamish Daud), seorang traveler tampan yang berprofesi fotografer.


Bagaimana keseruan perjalanan Trinity melintasi 3 negara (Indonesia, Maldives dan Filipina)? Keputusan apakah yang diambil Trinity saat menghadapi dilema pekerjaan di kantornya? Bagaimana kelanjutan hubungan Trinity dan Paul?


FAQ


Bagi Anda pembaca setia blog dan buku-buku saya, pasti ada segudang pertanyaan. Saya rangkum  sebagai berikut:


Mengapa Naked jadi Nekad?


Karena film ini untuk 13 tahun ke atas, alangkah baiknya tidak menggunakan kata yang provokatif. Kasihan ntar anaknya nggak boleh nonton ke bioskop sama orang tuanya karena disangka nonton film porno. *batuk-batuk*


Mengapa Maudy Ayunda?


Mengapa tidak? Film ini diadaptasi dari buku pertama The Naked Traveler yang ceritanya pas saya masih jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) yang masih muda dan kurus. Konsep film memang dibuat kekinian di mana produser mencari casting cewek umur awal 20-an, yang aktris terkenal film box office. Saya tentu setuju, selama jadi tambah kece positif. Kalau Anda masih belum ‘rela’ Maudy yang jadi saya, maka Anda wajib nonton deh – acting Maudy itu kayak Trinity banget!


Seberapa mirip antara buku dan filmnya?


Bahasa buku dan bahasa film adalah dua hal yang berbeda. Buku saya adalah kumpulan cerita pendek mengenai perjalanan keliling dunia, jadi adaptasinya harus dibuat cerita yang linear. Di film jelas ada tambahan bumbu-bumbu untuk menyatukan semuanya, jadi ada sebagian fiksinya juga.


Nah, daripada penasaran mending tonton film Trinity, The Nekad Traveler di bioskop-bioskop kesayangan Anda di seluruh Indonesia mulai 16 Maret 2017!


Info tentang film silakan follow Instagram @TrinityTheNekadTraveler.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 15, 2017 20:00

February 21, 2017

Touristy?

Saya sering mendengar fellow travelers yang menilai suatu tempat/destinasi bukan berdasarkan bagus atau tidak, tapi touristy atau non-touristy. Kadang disebut destinasi mainstream dan anti-mainstream. Tak jarang saya bertemu traveler yang dengan sombongnya mengatakan hanya akan ke tempat non-touristy atau anti-mainstream.


Touristy menurut kamus Miriam Webster artinya attracting or appealing to tourists. Artinya tempat-tempat yang menarik bagi turis. Catat, bagi turis. Bagi saya, saat kita semua traveling pas liburan adalah turis. Perginya ya ke tempat touristy. Namun istilah tempat touristy itu sering salah kaprah penggunaannya.


Sampai sekarang saat talkshow saya masih ditanya, “Kenapa sih Mbak Trinity perginya hanya ke tempat-tempat touristy? Kenapa nggak ke daerah konflik?” Dan jawaban saya selalu, “Ih, males! Nggak ada mal!” Lalu ada juga yang membandingkan saya dengan travel writer lainnya yang dibilang keren karena traveling-nya ke daerah perang. Saya pun menjawab, “Saya bukan jurnalis atau fotografer yang bekerja di daerah perang. Saya kan hedonis! Ngapain bayar mahal-mahal, pergi susah-susah, terus nyawa kita terancam dan malah nggak enjoy?”


Ada juga yang bilang bahwa saya perginya ke tempat-tempat non-touristy seperti negara Tanzania atau Guatemala. Tapi pendapat itu adalah menurut pandangan orang Indonesia kebanyakan. Saya sih tetap ke tempat-tempat touristy di Serengeti (taman nasional di Tanzania) dan Tikal (situs arkeologi di Guatemala). Hanya karena kedua negara tersebut kesannya jauh dan asing aja bagi orang Indonesia, maka dicap non-touristy.


Tikal, Guatemala


Lagipula, bagi saya yang sering traveling, tidak bisa disalahkan kalau saya perginya ke destinasi yang makin jauh dan makin aneh – bukan hanya di Singapura, Malaysia, Thailand lagi. Bukannya sombong, tapi itu lah faktanya. Kalian juga makin lama traveling-nya makin jauh kan? Apalagi saya sebagai travel writer harus selalu cari bahan tulisan yang menarik, salah satunya dengan cara pergi ke tempat “aneh”. Kalau pun ke destinasi yang “biasa”, berarti saya harus cari angle lain.


Sebenarnya tidak semua tempat non-touristy itu selalu bagus dan nyaman. Saya punya contoh perjalanan yang bagus sebagai analoginya. Di Jamaika yang pariwisata adalah penghasilan utama negara tersebut, di mana-mana penuh turis. Di Kingston, Negril, Montego Bay semua sama ramainya. Jarang sekali menemukan spot yang sepi tanpa gangguan tukang jualan. Maka saya pun pindah jauh-jauh ke Treasure Beach. Eh ternyata sepi banget! Saking sepinya, nyari makan susah, belanja susah, ke mana-mana susah karena tidak ada transportasi publik. Sementara di tempat touristy, fasilitas serba ada sehingga mau ngapa-ngapain pun mudah dan sering lebih murah. Jadi tempat touristy itu memang cocok bagi turis karena fasilitas sudah terbangun sedemikian rupa yang memudahkan para turis.



Ada juga istilah “touristy banget”, yang artinya kira-kira “rame banget”, seperti Menara Eiffel dan Pantai Kuta Bali. Itu pun gimana kita mau menghindarinya? Masa jauh-jauh ke Paris nggak ke Menara Eiffel? Saya aja sudah tiga kali ke Paris, tetap ke Eiffel untuk foto-foto. Sedangkan dalam kasus Pantai Kuta Bali memang bisa dihindari, tapi itu pun bagi kita yang sudah sering ke Bali. Bagi turis yang baru pertama kali ke Bali, masa nggak ke Kuta? Apalagi turis asing.


Saya jadi ingat di Bali pernah jadi host bagi sahabat saya orang Filipina, Alda. Hampir seminggu saya mengajak dia berwisata ke tempat-tempat keren dan cukup aneh. Hari terakhir saya mengajak dia ke Pantai Kuta untuk menikmati sunset. Suasana luar biasanya ramainya. Rombongan turis lokal berseragam foto-foto, bule-bule pada cipokan, anak-anak kecil main bola, dan sebagainya. Di belakang kami masih ada pula cowok-cowok lokal yang menggoda dengan sangat cheesy-nya ke cewek-cewek bule. Saya cukup kesal karena ramainya, tapi saya diam saja. Besoknya saat mengantar Alda balik ke bandara, saya tanya, “Jadi dari semua tempat di Bali, yang mana favorit kamu?” Jawab Alda, “Pantai Kuta!” Nah kan?


Kuta Beach, Bali


Well, saya sih tetap senang ke tempat touristy maupun non-touristy. Keduanya punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi tak usahlah sombong mengklaim traveling hanya ke tempat non-touristy, anti-mainstream, off beaten path, road less traveled, dan sebagainya. Apalagi sejak adanya media sosial di mana orang traveling untuk memenuhi feed-nya agar bisa berfoto di tempat yang sama. Saya aja ragu, mana ada tempat yang tidak pernah didatangi orang sebelumnya? Jadi yang penting, traveling aja dulu!


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 21, 2017 02:54

February 4, 2017

Hemat ke Maldives

Maldives (dalam bahasa Indonesia disebut “Maladewa”) akhir-akhir ini jadi destinasi liburan yang lagi hits. Sejak maskapai penerbangan berbiaya rendah terbang ke sana, liburan ke Maldives jadi makin murah (sedihnya, bisa lebih murah daripada liburan ke Papua). Maldives dulu memang identik dengan mahal karena harus menginap di resort yang terletak di pulau eksklusif. Namun sejak 2009, pemerintah Maldives membuka kebijakan baru yaitu memperbolehkan pulau yang dihuni oleh penduduk lokal membuka bisnis pariwisata untuk para wisatawan asing, antara lain di Male (ibu kota Maldives), Hulhule, Maafushi, dan Gulhi.



 


Saya sendiri sudah pernah ke Maldives 20 kg 15 tahun yang lalu, seperti yang diceritakan pada buku The Naked Traveler 1. Nah, Januari 2017 kemarin ini saya ke Maldives lagi ikutan trip @MaldivesHemat karena tertarik untuk merasakan Maldives dari sisi lain. Lagipula, harga paketnya terjangkau banget, Rp 8,7 juta all in selama 4 hari 3 malam termasuk tiket pesawat Jakarta-Male-Jakarta, airport transfer pp, makan ala prasmanan, menginap di hotel berbintang, dan aktivitas laut!


Perlu diketahui, Maldives adalah negara Islam yang cukup ketat peraturannya. Alkohol hanya tersedia di resort eksklusif, kalau bawa alkohol dari luar akan ditahan di bandara. Cewek tidak boleh berenang pakai bikini di pulau lokal. Untunglah kami menginap di Maafushi, sebuah pulau lokal yang paling tourist friendly yang terdekat dari bandara. Selain paling banyak pilihan hotel/restoran/kafe/toko, Maafushi punya “Bikini Beach” alias pantai khusus yang diperuntukkan untuk cewek berbikini. Kalau doyan berenang, jangan deh nginep di Male dan Hulhule (pulau tempat bandara) meski sedikit lebih murah.


Bikini Beach, Maafushi


Saya pikir hotel yang termasuk paket itu ecek-ecek, nggak taunya berbintang tiga, bagus, luas, bersih, ber-AC, air panas, dan ada free WiFi. Saya sih upgrade ke hotel bintang empat bernama Arena Beach Hotel yang lokasinya persis di pinggir Bikini Beach jadi tinggal nyebur. Mau main kano, pinjam sepeda, atau pinjam alat snorkeling juga sudah termasuk.


Sebagian besar orang yang ke Maldives adalah para honeymooners. Sebagai solo traveler, saya sih nggak sirik khawatir karena kalau ikutan open trip kemungkinan besar ada barengannnya. Dan kali ini saya pun otomatis bergabung dengan geng ciwi-ciwi (kurus jomblo). Hehe!





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 16, 2017 at 4:52am PST





Hari pertama kami island hopping naik speed boat keren yang atapnya bisa untuk jemuran badan. Kami snorkeling di Banana Reef dan Biyadhoo Garden. Lumayan banyak ikan karangnya, terutama unicorn fish! Makan siang kami di Pulau Gulhi sambil piknik pake taplak kotak-kotak di pinggir pantai kece. Lalu foto-foto di sandbank (pasir timbul), dan pulangnya sekalian dolphin cruise melihat lumba-lumba.





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 14, 2017 at 5:44am PST




Ke Maldives rasanya kurang afdol kalo nggak ke resort yang punya bungalow di atas air seperti gambaran klasik Maldives. Hebatnya @MaldivesHemat bisa bikin day trip ke resort sesuai dengan preferensi kita. Paket day trip (jam 9 pagi sampai jam 6 sore) ini termasuk antar-jemput naik speed boat, menggunakan fasilitas resort, makan siang ala prasmanan, termasuk free flow alkohol! Dengan biaya ekstra, saya pilih ke Centara Rash Fushi Resort karena anak kecil dilarang masuk (penting!). Eh nggak taunya barengan pula sama geng ciwi-ciwi. Jadilah kami bergembira ria berenang, foto-foto, dan mimi-mimi di bar kolam renang seharian! Sementara anggota rombongan lain ada yang ke resort-resort lain (yang boleh bawa anak kecil) atau berkeliling di Maafushi.





A photo posted by Trinity (@trinitytraveler) on Jan 15, 2017 at 8:42pm PST




Malam terakhir, saya dan geng ciwi-ciwi pengen farewel party. Gimana caranya dugem tanpa ada club dan alkohol dong? Robert, pemilik @MaldivesHemat emang anak gaul. Diajaklah kami dugem di tengah laut! Jadi karena dugem dilarang di pulau lokal di Maldives, dibuatlah diskotek di atas kapal dengan lampu biru yang parkir jauh dari daratan. Maka jam 11 malam kami pun naik kapal kecil ke kapal biru yang ternyata kapal besar yang ada lantai dansa dan bar jual alkohol! Yeayy, kami pun berpesta sampai pagi!


Hari terakhir kami bersantai di pantai depan hotel. Si @MaldivesHemat emang tau aja bikin foto yang Instagramable, maka disediakanlah floaties berbentuk flamingo untuk foto-foto cantik di pantai. Yep, mereka pula lah yang menyediakan jasa motoin! Sorenya kami city tour di Male, sekalian shopping dan beli oleh-oleh. Indonesia banget kan?


Abis itu saya nggak ikut pulang ke Jakarta karena extend sendiri. Saya menginap di Club Med Kani, resort keren tempat lokasi syuting film “Trinity, The Nekad Traveler”! FYI, kalau mau menginap di Club Med manapun di Maldives, bisa pesan di @MaldivesHemat karena mereka adalah agen resmi jadi bisa lebih murah.


Yuk ah liburan ke Maldives!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 04, 2017 09:34

January 29, 2017

[Adv] Jadi Juri Blue Band Master Oleh-Oleh

Lumayan sering saya jadi juri dari berbagai macam kompetisi, terutama di bidang penulisan. Tapi baru kali ini saya diminta jadi juri kompetisi makanan Blue Band Master Oleh-Oleh! Sempat bingung juga kenapa saya yang dipilih Unilever Food Solution (UFS) untuk jadi juri, tapi katanya karena ini adalah kompetisi makanan oleh-oleh maka saya sebagai traveler yang sudah keliling Indonesia dianggap berkompeten menilai oleh-oleh.


Emang bener sih, orang Indonesia kalo traveling itu pasti beli oleh-oleh. Saya yang udah nggak beli oleh-oleh aja pasti beli juga kalau traveling di Indonesia, itu pun belinya berupa makanan. Kalo ngasih oleh-oleh berupa makanan itu pasti habis kok, apalagi ditaro di kantor. Survery membuktikan bahwa 3 dari 4 orang Indonesia memilih produk makanan atau kue sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan kerabatnya. Bayangkan berapa besar potensi industri oleh-oleh bagi pariwisata Indonesia!



Diluncurkan pertama kali pada September 2016, kompetisi Blue Band Master Oleh-Oleh adalah sebuah ajang menciptakan ragam kreasi oleh-oleh khas nusantara bagi para pelaku industri bakery dan pastry dari dari seluruh propinsi di Indonesia. Dalam kurun waktu dua bulan sejak diluncurkan, sebanyak 3.667 pelaku industri bakery dan pastry telah berpartisipasi dalam kompetisi Blue Band Master Oleh-Oleh melalui website www.masteroleholeh.com. Animo masyarakat Indonesia dalam memberikan dukungan pun cukup besar, tampak dari terkumpulnya lebih dari 160 ribu dukungan melalui website dan SMS yang dibuka sepanjang 1 September – 31 Oktober 2016. Proses penjurian yang panjang pun telah dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap validasi, tahap penjurian tingkat propinsi, hingga tahap penjurian tingkat nasional hingga akhirnya terpilihlah tiga pemenang utama.


Penjurian diadakan pada 23-29 November 2016 di Jakarta, di mana dewan juri pada final penjurian terdiri dari Chef Rahmat Kusnedi, seorang pastry chef dan President of Indonesia Pastry Alliance yang telah menggeluti dunia baking di Indonesia selama 20 tahun; Ibu Oneng Setya Harini, Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, dan saya sendiri. Cihuy banget nggak sih? Hehe!


Oleh-Oleh Corner


Sebagai penggemar serial TV kompetisi masak MasterChef, saya jadi tahu cara kerja juri lomba makanan. Kesimpulannya, it’s not easy at all! Saat penjurian tingkat nasional, kami harus mencicipi kue dari 34 propinsi di Indonesia, masing-masing 3 jenis! Puluhan kue masuk ke mulut selama beberapa hari itu memang bikin eneg, meski cuma sesendok-sesendok aja. Namun selain menilai rasa, komponen penilaian lain yang tak kalah penting adalah rupa (tampilannya, daya tahan, kemasan) dan keunikan. Untunglah ketua juri, Chef Rahmat, banyak memberikan pelajaran tentang bagaimana menilai kue. Masukannya juga sangat berguna untuk kelangsungan industri, seperti perijinan BPOM dan sertifikasi halal, pengemasan yang kokoh, serta pencantuman tanggal kadaluwarsa. Ah, benar-benar pengalaman yang eye-opening!


Setelah diskusi panjang, akhirnya dewan juri telah sepakat menentukan 3 pemenang. Pemenang pertama adalah Bagelen Bekatul kreasi Toko Super Roti dari propinsi Jawa Tengah, pemenang kedua adalah Cake Salak Kilo kreasi Toko Cake Salak Kilo dari propinsi Kalimantan Timur, dan pemenang ketiga ialah Nutsafir Cookies kreasi oleh Toko Nutsafir Cookies dari propinsi Nusa Tenggara Barat. Seluruh pemenang berhak menerima koin emas, paket iklan promosi, dan gelar Master Oleh-Oleh 2016.


Nara sumber dan para pemenang


Kini seluruh oleh-oleh yang terdaftar dalam kompetisi dapat diakses oleh masyarakat melalui Peta Oleh-Oleh di laman www.masteroleholeh.com untuk menjadi referensi saat memilih oleh-oleh dari seluruh Indonesia.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 29, 2017 10:13

January 8, 2017

Iran itu berbahaya?

Saat saya ke Iran, ada sebagian follower berkomentar, “Hati-hati ke Iran, Syiah kan bahaya!” Widih, segitunya! Sebagai non-Muslim, saya sih nggak ngerti soal perbedaan Islam aliran Sunni dan Syiah. Apanya yang bahaya juga nggak tahu.


Yang saya amati, mesjid-mesjid di Iran itu luar biasa cakepnya. Baru kali itu liat mesjid sampe nganga! Bentuk mesjid yang terdapat minaret tinggi dan kubah, bukan merupakan satu bangunan besar sekaligus, tapi bagian tengahnya pasti terbuka tanpa atap – dengan cuaca di Iran sih cocok. Dinding-dindingnya berupa kumpulan tegel bermotif cantik yang dihiasi kaligrafi, plus warna yang didominasi warna kesukaan saya: biru.


Ezra pernah ikutan sholat Jumat di mesjid Imam Khomeini di Teheran. Katanya sih ada sedikit perbedaan tata caranya. Beda yang lain adalah saat sujud, kepala harus menempel di tanah. Maka disediakanlah kotak-kotak kecil terbuat dari tanah liat yang dipinjamkan gratis di mesjid.


Pas Idul Adha, ada sih sholat Ied, tapi tidak terlihat ada yang potong kurban. Saya sampai bertanya ke orang-orang lokal. Jawab mereka, “Kami potong kurban tidak di tempat umum, tapi di rumah masing-masing.” Oh, beda ya sama kita yang di tempat umum dan jadi tontonan (berdarah).


Di buku panduan perjalanan Lonely Planet selalu ada bab mengenai highlights dari destinasi setiap negara. Di buku khusus Iran, highlight urutan pertama yang tertulis adalah “People”. Artinya, yang membuat Iran paling menarik adalah orang-orangnya – melebihi destinasi wisatanya. Dan saya mengamininya. Mana mereka cantik-cantik dan ganteng-ganteng pula!


Pertama, saya sebagai turis asing di Iran merasa jadi celebrity! Iran adalah satu-satunya negara di dunia di mana orang-orangnya pengen foto bareng saya! Jadi kayak bule-bule di Indonesia yang sering diminta foto bareng sama orang kita gitu.


Saat lagi asyik jalan kaki di pasar, pasti ada aja orang yang memanggil-manggil, “Excuse me! Excuse me!”. Awalnya saya males nanggepin karena biasanya tukang jualan agresif, atau takutnya malah jebakan betmen semacam tourist scam. Begitu saya nengok, ada seorang bapak-bapak bersama anak perempuannya yang bertanya, “Can I take picture of you and my daughter?” Dan ini terjadi berkali-kali. Sepertinya mereka bangga sekali jika punya foto sama orang asing. Anak-anak pun memberikan senyum terlebar dan tercantik saat foto bareng!



Di berbagai destinasi wisata tak jarang pula saya dan Ezra dipanggil-panggil oleh orang lokal untuk mengajak foto bersama – kalau mereka tidak bisa berbahasa Inggris, jadilah saya ditarik-tarik.  Bukan hanya sama anak-anak, tapi juga sekeluarga besar yang bergantian foto bareng mulai dari nenek sampai ke cucunya! Emangnya nggak ada turis lain? Ada sih. Kebanyaka bule Eropa yang datang serombongan grup tur naik bus, tapi mereka nggak dilirik. Saya bingung, apakah karena tampang Asia atau karena muka kami menggemaskan? #halah


Tak jarang pula kami diajak mampir ke rumah orang lokal. Kalau pun orang dari luar kota, mereka dengan senang hati memberikan alamatnya sambil berpesan, “Kalau kalian ada waktu, mampir ya ke rumah kami!” Bahkan beberapa kali kami dikasih makanan kecil. Pernah sekali saya coba, eh ternyata keju kambing yang asin banget! Terpaksa saya telan karena melihat wajah mereka yang cerah ceria menunggu komentar enak dari saya (setelah mereka pergi, saya muntahkan).


Kedua, bukan karena ngajak foto bareng saya anggap baik. Semua orang ramah dan suka menolong. Kalau lagi sibuk selfie, ada aja yang nawarin motretin. Kalau keliatan bingung nyasar, ada aja yang menyapa dan kasih unjuk jalan. Supir atau tukang jualan yang mukanya seram tanpa senyum pun ternyata nggak menipu karena harganya sesuai. Kalau mau motret orang lokal akan selalu dikasih izin, bahkan dengan senang hati mereka tersenyum dan berpose.



Banyak orang sana memang suka mengajak ngobrol. Sebagian karena ingin praktik ngomong bahasa Inggris. Yang bikin saya merinding, mereka selalu berkata, “Thank you for visiting my country!” (dari situ lah saya belajar untuk berkata hal yang sama kepada turis asing yang saya temui di Indonesia). Aduh, air mata saya sampai menetes karena melihat kebaikan dan ketulusan mereka!



Dan trofi kebaikan jatuh kepada Pak Mousavi. Dia adalah resepsionis hotel di Teheran. Karena Iran mirip seperti di Kuba di mana kalau mau booking hotel cukup sulit karena internet hampir tidak eksis, maka saya menyerahkan urusan booking ke Pak Mousavi. Dia cuman minta dikasih tahu sehari sebelum sampai di kota yang dituju. Semua hasil booking-annya aman dan lancar, bahkan beliau mengorganisir penjemputan pula dari terminal bus ke hotelnya. Beliau juga lah yang memberikan tips and trick traveling di Iran. Dan semua servisnya itu tidak bayar sama sekali!


Jadi apa bahayanya ya? Iran menurut saya sih aman, meski negara sekelilingnya masih bergejolak. Tidak semua orang Iran itu Syiah. Ada juga yang Suni, Kristen, Katolik, bahkan mereka mengakui agama Yahudi dan Zoroastrian dan memiliki bangunan ibadahnya masing-masing. Semuanya terlihat aman-aman aja. Pokoknya apa yang kita pikirkan buruk tentang Iran, kenyataannya malah sebaliknya. Entah kenapa Amerika Serikat dan Arab Saudi segitu bencinya sama Iran. Soal Syiah atau bukan, saya juga tidak peduli. Yang penting saya sebagai turis dihargai dan disambut dengan baik.


 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on January 08, 2017 22:36

December 7, 2016

Berjilbab di Iran

Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Teheran. Sesuai dengan peraturan Republik Islam Iran, semua wanita wajib menutup kepalanya, mulai dari sekarang,” kata pramugari mengumumkan melalui pengeras suara. Saya segera mengambil pashmina di ransel dan menutup rambut saya. Secara bersamaan semua wanita di dalam pesawat memakai kerudung, termasuk para pramugari dan cewek bule. Sebagai cewek non-Muslim yang doyannya pake celana pendek dan t-shirt, saya  merasa excited pertama kali memakai jilbab dalam waktu lama. Pengin tahu juga rasanya gimana hidup di negara Islam dengan segala peraturannya.


Revolusi Iran pada 1979 telah menggulingkan dinasti Pahlavi yang didukung Amerika Serikat lalu Iran menjadi negara Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Sejak itu ditetapkan peraturan bahwa setiap wanita, termasuk orang asing dan non-Muslim, diharuskan menutup kepala, serta berpakaian panjang dan longgar. Perlu diketahui, di dunia ini hanya ada dua negara yang mewajibkan semua wanita berjilbab, yaitu Arab Saudi dan Iran. Ironisnya, mereka berdua adalah dua kubu yang saling perang dingin.


Terus terang saya nggak pede traveling ke Iran sendirian. Untunglah saya barengan sama sepupu saya, Ezra. Lumayan kami bisa lebih hemat akomodasi dan transportasi. Persoalan selanjutnya, menginap di hotel di Iran harus sesama muhrim. Kalau mengaku suami-istri, bakal ditanya surat nikah. Katanya sih turis asing sih mendapat keringanan, tapi Ezra kan cowok Indonesia dan Muslim –di Aceh aja nggak bakalan bisa sekamar.


Sampai di pusat kota Teheran, kami check in di sebuah hotel. Eh si mas resepsionis bertanya, “So, what is your relationship?”


He’s my brother,” jawab saya menunjuk Ezra.


If you’re brother and sister, why do you have different last names?” tanya resepsionis lagi. Kwak kwuawww!


Baru aja saya mau jawab, “We have same mother, but different fathers,” tapi Ezra duluan menjawab, “In Indonesia, we don’t have last names!”


So what about HXXXXXXX (last name saya) and FYYYYYYYYYYY (last name Ezra)?”


They are all our first names!” jawab saya menyeringai lebar. Aduh, maaf saya terpaksa berbohong, kata saya dalam hati.


Berhasil! Kami pun diberikan kunci kamar. Kamar kami terletak di lantai empat, tanpa lift pula, jadi kami harus menggotong sendiri koper ke atas. Sampai di kamar, saya basah kuyup oleh keringat sehingga saya langsung buka kerudung dan baju. Pas saya mau buang air besar… lha, di dalam kamar mandi hanya ada shower! Ternyata toiletnya ada di hall luar yang sharing dengan tamu-tamu lainnya selantai!


“Lha, ini gue mau keluar berjarak 10 meter kudu pake jilbab lagi nih?” tanya saya ke Ezra.


“Ya, iya lah ya!” jawab Ezra terkikik.


Dengan perut bergemuruh karena kebelet, saya terpaksa memakai ulang semua baju dan kerudung yang sudah basah keringat satu per satu! Duh, pe-er banget yak! Kasihan dengan keribetan saya tengah malam, Ezra pun memberikan advice, “Kalo elo mau pipis doang, di kamar mandi sini aja. Elo jongkok, trus lo pas-pasin deh anu lo sama lubang air!” Hahahaha! (((Pas-pasin!))) Membayangkannya saja saya ngakak!


Besoknya saya memperhatikan cara berpakaian wanita Iran. Di Iran, kepala hanya ditutup scarf sehingga poni dan ujung kuciran rambut terlihat. Tapi baju mereka longgar dan menutup pantat sehingga tidak terlihat lekukan tubuh. Biasanya mereka memakai baju 3 potong, yaitu celana panjang/jeans, blus/kaus, dan semacam jaket panjang model trench coat. Cewek-cewek Iran yang cantiknya luar biasa itu terlihat sangat fashionable dan keren padahal pakaian mereka tidak branded sama sekali (ingat, Iran diembargo Amerika Serikat). Berbeda dengan gaya jilbab di Indonesia; rambut tidak boleh kelihatan, tapi baju malah ketat.


Ada memang sebagian kecil wanita Iran yang memakai cadar, terutama di kota kecil dan pedesaan. Namun cadar di sini bukan jilbab yang hanya matanya saja yang kelihatan. Cadar di Iran adalah hitam yang dikenakan seperti selimut di atas baju, jadi kayak memeluk jubah. Wanita tidak diharuskan memakai cadar, kecuali di tempat tertentu. Saya pernah pakai cadar saat masuk mesjid Shah Cheragh. Sulit juga berjalan karena sambil memeluk cadar, sambil bawa tas dan kantong plastik berisi sepatu. Yang bikin saya ngikik sendiri adalah motif cadar ini animal print macan!


Satu hal lagi yang mengagetkan, banyak cewek Iran yang hidungnya ditutup plester karena hidung mereka habis dioperasi plastik! Ya, Iran adalah “nose job capital of the world”. Jumlah operasi hidung terbanyak di dunia per kapita ada di Iran, atau empat kali lebih banyak daripada di Amerika Serikat! Saya pernah tanya, katanya biayanya murah, sekitar Rp 3 jutaan saja. Saya bingung, padahal hidung orang Persia kan bangir gitu. Rupanya ada unsur gengsi dan status sosial, sehingga mereka dengan bangganya memamerkan plester.


Anyway, lama-lama saya jadi belajar berpakaian ala cewek Iran. Setiap pagi sebelum keluar hotel, Ezra memasangkan jilbab di kepala saya, menyarankan #OOTD (outfit of the day), bahkan meminjamkan tunik dan selendangnya. Mumpung ada yang fotoin, saya jadi sering posting foto diri berjilbab ala Iran di Instagram @TrinityTraveler. Banyak yang likes dan berkomentar positif, bahkan ada yang komen, “Semoga istiqomah, mbak!”


Ternyata memakai jilbab tidak semudah itu! Iran pada bulan September suhunya sekitar 33? dan lembab, tapi baju harus lengan panjang dan pakai celana panjang. Kepala tertutup sih nggak apa-apa, tapi leher yang tertutup itu membuat saya sangat kepanasan! Kadang saya membuka bagian leher untuk kipas-kipas. Saya juga merasa pendengaran berkurang karena tertutup kain. Kadang tanpa sadar jilbab saya buka bagian kuping. Karena lembab, kulit kepala saya kadang gatal. Saya diam-diam membuka jilbab untuk menggaruk kepala. Tidak ada orang yang marah dan protes, kecuali Ezra yang menjerit, “Teteh, jilbabnya yang bener dong!”


Budaya Islam pun terasa di Iran. Karena saya jalan dengan Ezra, dunia antara wanita dan pria itu terasa bedanya. Meski saya yang booking ini-itu, tapi selalu Ezra yang diajak ngomong. Kalau berkenalan, hanya pria yang bersalaman dengan Ezra. Kadang saya lupa menyorongkan tangan untuk bersalaman, maka pria Iran itu akan menaruh tangannya di dadanya. Kalau duduk di mana pun, saya harus duduk di sebelah wanita atau sebelah Ezra, di mana sebelah Ezra harus pria.


Yang katanya duduk di restoran harus dipisah, malah tidak terjadi. Wanita, pria, keluarga, semua duduk di ruangan yang sama. Yang katanya cewek dan cowok dilarang jalan berduaan apalagi bermesraan, malah sering ketemu pasangan anak muda yang begitu. Yang jarang lihat memang cewek jalan sendiri.


Balik lagi ke soal menginap di hotel, di kota-kota selanjutnya kami tidak pernah ada masalah. Namun entah kenapa oleh staf hotel di mana pun, kami disebut sebagai “brother and sister from Indonesia”. Sampai suatu kali seorang staf hotel bertanya, “You are from Indonesia? So you are Moslem?”


I am,” jawab Ezra. “I’m not,” jawab saya. Berbarengan sampai kami saling berpandangan. Nah lho!


Why you’re brother and sister but you have different religions?” tanyanya. Nah, kan?


In Indonesia, we are free to choose whatever religion we want to have,” jawab saya perlahan. Meski kurang yakin tapi paling tidak saya bersyukur tinggal di Indonesia, negara sekuler.



Katanya Iran yang syiah itu bahaya. Masa sih? (Bersambung)


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 07, 2016 07:50

November 17, 2016

[Adv] Liburan dan kerja di Solo

Setelah launching buku “The Naked Traveler 7” di Jakarta, saatnya promosi ke kota-kota lain. Kali ini kota Solo-Yogyakarta-Semarang disambangi duluan pada akhir Agustus 2016. Tapi bukan Trinity namanya kalau tidak sekalian jalan-jalan. Cukup sering saya merambah Yogyakarta dan Semarang, namun Solo yang masih kurang. Jadilah saya menyediakan waktu 3 hari/2 malam untuk jalan-jalan di Solo.


Saya menginap di Hotel Ibis Styles dan Novotel Solo dengan pertimbangan mereka punya paket jalan-jalan di sekitar Solo yang menarik – cocok lah untuk saya yang travel solo. Eh, it rhymes! Travel solo in Solo! :) Kedua hotel tersebut letaknya bersebelahan dan fasilitasnya bisa sama-sama digunakan bila menginap di salah satunya.


20160825_114816


Mendarat siang di bandara, saya dijemput mobil hotel dan langsung ke situs arkeologi Sangiran. Perlu diketahui, Indonesia memiliki 8 situs yang termasuk ke dalam UNESCO Heritage Site, Sangiran adalah salah satunya. Homo erectus ditemukan di sini lho! Museumnya besar dan cukup banyak informasi. Sangiran ini memang banyak ditemukan fosil manusia dan hewan yang hidup sejak sejuta tahun yang lalu. Yang bikin saya gemas adalah informasi yang tertulis itu sering typo dan tidak menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hehehe, maklum penulis!


20160825_143416


Sorenya saya diajak ke perkebunan teh Kemuning yang berkabut. Pemandangan bukit serba hijau dengan kabur memang terkesan magis. Saya cuma nongkrong di saung sambil bengong aja nikmat banget!


Malamnya saya menginap di hotel Ibis Styles Solo. Perbedaan Ibis Styles dengan Ibis Hotel dan Ibis Budget adalah luas kamar, fasilitas dan dekorasinya. Ibis Styles ini yang “pangkatnya” paling tinggi di antara ketiganya. Interiornya memang lebih segar dengan warna-warni terang. Paling oke sih kolam renangnya yang luas! #penting


20160825_111520Keesokan paginya saya ikut Bicycle Tour alias tur naik sepeda. Awalnya ke Museum Batik Danar Hadi yang menampilkan koleksi ribuan batik berusia ratusan tahun. Yang paling menarik adalah koleksi Batik Belanda dengan motif tokoh cerita Snow WhiteLittle Red Riding Hood, hingga Hansel and Gretel. Di bagian belakangnya terdapat pembuatan Batik tulis dan Batik cap yang bisa dilihat langsung prosesnya yang rumit itu yang dikerjakan oleh karyawannya yang telah bekerja puluhan tahun.


20160826_113340


Setelah menggoseh sampai naik sampan menyebrangi Sungai Bengawan Solo dan melewati sawah, sampailah di pabrik pembuatan Ciu, minuman beralkohol tradisional terbuat dari penyulingan tetes tebu yang telah difermentasi. Melihat drum-drum dan botol-botol plastik di area yang tidak steril ini malah bikin tambah serem bagi saya.


20160826_130311Paling menarik dari tur sepeda ini adalah mengunjungi pabrik shuttlecock alias bola kok pada olah raga bulu tangkis. Kok di sini terbuat dari bulu ayam karena memang bukan kualitas utama, hanya untuk latihan. Ternyata untuk membuat sebuah kok dibutuhkan 16 helai bulu ayam yang diambil dari 2 ekor ayam berbulu putih masing-masing 4 helai bulu pada masing-masing sayap! Ada sekitar 40 orang yang membuat kok dengan tangan (hand made), bahkan dijahit manual oleh nenek-nenek! Ternyata perjuangannya berat banget untuk jadi 1 kok yang umurnya paling hanya 5 menit!


Sorenya saya ikut Becak Tour, mayan tinggal duduk dan dibawa ke mana-mana. Diawali dengan mengunjungi daerah Kauman, pusat batik Solo. Selanjutnya adalah tur kuliner Solo yang legendaris, mulai dari makan Nasi Liwet, Wedang Ronde, dan Gudeg. Aduh, perut sampai mau pecah!


Malam itu saya menginap di hotel Novotel Solo yang merupakan hotel berbintang pertama di Solo. Sebagai hotel berbintang empat, kamarnya memang luas dan berseni. Dari kamar saya di lantai 8, kota Solo terlihat asri. Paginya saya sarapan enak yang sudah termasuk dalam paket kamar dan bersantai di kolam renang sebelum launching buku dan talk show di Toko Buku Togamas.


20160826_152637Dari Solo, saya pindah ke Yogyakarta dan Semarang untuk launching buku. Sudah nyaman dengan menginap di hotel grup Accor, saya pun tinggal di hotel The Phoenix MGallery Yogyakarta dan Novotel Semarang. Saya pernah menginap sebelumnya di kedua hotel tersebut dengan alasan utama lokasinya yang strategis. Kelebihan lain, Hotel Phoenix berbintang lima yang menggunakan bangunan bersejarah dan dekorasi tradisional Jawa. Sementara Novotel Semarang hotel berbintang empat yang luas, nyaman, dan fasilitas lengkap.


Terima kasih NTers yang datang di acara launching buku “The Naked Traveler 7“! Kota-kota lainnya menyusul, ya? Terima kasih Novotel & Ibis Styles Solo dan grup hotel Accor! Mau ah menginap dan jalan-jalan lagi di kota-kota lain!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 17, 2016 02:05

November 4, 2016

Nikmatnya kota layak huni

Pada Maret 2015, hampir seminggu saya menghabiskan waktu di Brisbane, ibu kota negara bagian Queensland di Australia. Karena sudah beberapa kali ke Brisbane dan selalu sebagai turis ke tempat wisata, kali ini setiap hari saya kerjanya jalan-jalan sendirian tanpa arah. Sungguh saya sangat menikmati kota yang layak huni, seperti sebagai berikut;



Pejalan kaki sangat dihargai

Ini lah yang saya kangeni dari traveling di (umumnya) negara maju – saya bebas berjalan kaki ke mana-mana tanpa rasa takut. Kotanya bersih, nyaris tak bersampah, trotoar lebar dan kondisi baik. Pengguna mobil pun menghargai pejalan kaki. Begitu satu kaki kita menginjak zebra cross, otomatis mobil berhenti.



Transportasi umum yang baik

Meski di Brisbane tidak ada MRT, tapi bus banyak tersedia yang menjangkau ke mana-mana. Ada juga kereta api yang menghubungkan kota dengan suburb dan feri berupa catamaran di sepanjang sungai. Transportasi umum semua terjadwal dengan baik dan tepat waktu. Informasi jadwal dan peta jelas, baik offline maupun online.



Sepeda gratis

20150302_100235Demi gaya hidup sehat dan mengurangi polusi, di Brisbane disediakan sepeda gratis yang ditaruh di 150 lokasi strategis. Kondisi sepeda baik, dilengkapi dengan helm pula. Jalur sepeda dibuat khusus, panjangnya sampai 27 km di tengah kota. Hebatnya lagi, di beberapa tempat disediakan kios gratis untuk mengisi angin. Siapa yang memodali? Iklan! Hebat kan?


 



Banyak taman

Karena bersih dan tingkat polusi rendah, paling enak memang berkegiatan di luar ruangan. Saya banyak menghabiskan waktu dengan gogoleran di taman manapun di Brisbane, bahkan sampai boci (bobo ciang). Tamannya bersih, tanamannya rapih, pohonnya rindang. Tidak hanya taman, pemerintahnya pun menyediakan fasilitas pantai berpasir putih buatan gratis di South Bank Parklands. Kalau udah kepanasan, saya tinggal buka baju nyebur, trus jemuran di taman sebelahnya. Life guard pun selalu ada dan siap siaga menjaga. Ah, nikmatnya!


20150302_122828

Pantai gratis di tengah kota!



Banyak instalasi seni

Sambil jalan-jalan, alangkah nikmatnya kalau ada instalasi seni sehingga pemandangan kota bukan hanya gedung belaka. Bukan sekedar dekorasi, tapi setiap instalasi diberi informasi tentang pembuat dan sejarah singkatnya. Para pematung dihargai. Tak hanya itu, sebagian jalan aspal dan trotoar pun dihias menarik. Siapa sih yang nggak pengin foto di depan instalasi seni yang menarik?


20150302_095305



Atraksi gratis

Hiburan tidak hanya di nonton TV atau ke mal. Di Brisbane banyak atraksi gratis. Mulai dari membaca di perpustakaan di Brisbane City Council Library, museum keren seperti Queensland Art Gallery dan Gallery of Modern Art, bahkan pertunjukan musik dan stand up comedy di Brisbane Powerhouse. Semuanya profesional sehingga yang nonton juga menikmati.


20150302_133117



Air kran yang bisa diminum

Kita selalu ribut nyari Wi-Fi gratis, padahal itu bukan kebutuhan utama manusia. Air minum aja kita masih bayar! Nikmatnya hidup di negara maju adalah air minum gratis yang tinggal glegek dari kran. Bayangkan berapa kita bisa menghemat kalau air minum gratis? Sampah plastik pun jadi minim.



Free Wi-Fi

Meskipun demikian, di Brisbane juga tersedia Wi-Fi gratis yang disediakan oleh pemerintah kotanya. Memang waktunya terbatas, tapi mending banget untuk posting di media sosial dan untuk janjian ketemuan sama orang. Mengingat Australia adalah salah satu negara yang paling pelit kasih Wi-Fi gratis, Brisbane termasuk murah hati.



Toilet umum yang bersih

Rasanya cuma di Australia yang tersedia banyak toilet umum dan letaknya strategis, jadi nggak usah ribet pura-pura masuk ke restoran kayak di Eropa. Di Brisbane pun demikian. Toilet umum tersedia di mana-mana, bersih dan gratis. Tisu gulung selalu ada. Air selalu nyala. Bahkan tersedia kamar mandi gratis untuk shower di dekat pantai.



Fasilitas difabel

Ini ciri negara maju, para difabel disediakan fasilitas khusus. Jalan tak bertangga, toilet luas, pintu lebar, tempat khusus di bus yang bisa masuk kursi roda, dan lain lain. Tombol-tombol pun ada huruf Braile untuk tuna netra.


Tidak bijaksana juga membandingkannya dengan salah satu kota di Indonesia. Kita penduduknya sangat banyak dan tingkat ekonominya pun tidak merata. Tapi boleh dong saya mendambakan Indonesia akan seperti ini suatu saat?


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 04, 2016 11:14

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.