Trinity's Blog, page 22
July 23, 2012
[Adv] Nikmatnya Menyepi di Bandung

Nyebur yuk!
Profesi travel writer terdiri dari dua pekerjaan, yaitu traveling dan writing. Memang keliatannya enak karena kerjaannya jalan-jalaaaan melulu. Tapi ketika jalan-jalannya kelar, maka kami wajib menuliskannya – bahkan sering harus kejar-kejaran dengan deadline. Saya sendiri sedang dikejar deadline untuk menulis buku “The Naked Traveler 4”. Sampai rasanya sumpek dan pengen pindah nulis ke tempat sepi.
Menyepi memang bisa di mana aja, tapi lebih nikmat lagi kalau di tempat yang udaranya sejuk. Tadinya saya mau pulang kampung aja ke Sukabumi, tapi jalan ke sananya lagi supermacet. Cara terbaik adalah ke Bandung. Saya dibilang “gila” begitu saya bilang mau menyepi sejenak di sana. Maklum kota itu terkenal dengan ramai dan macet, apalagi pas weekend. Triknya adalah menginap di hotel yang enak sehingga bikin betah dan nggak pengen ke luar ke mana-mana.
Jadilah saya menginap di Sheraton Bandung Hotel & Towers yang terletak di Jl. Juanda No. 390, Dago. Enam tahun yang lalu saya pernah menginap di Sheraton dalam rangka menghadiri pernikahan seorang teman kantor yang juga diadakan di hotel tersebut. Pestanya begitu berkesan karena diadakan pada suatu sore di taman hotel yang masih rindang dikelilingi pepohonan, dan saya yang saltum pakai baju model kemben doang sampe menggigil kedinginan! Saking berkesannya dengan keasrian Sheraton, saya balik lagi deh untuk menyepi di tempat yang rindang dan sejuk ini.

Bobo yuk!
Kali ini saya mengajak teman saya yang sesama penulis buku travel di Bentang Pustaka, Rini Raharjanti, yang lagi sumpek sama kerjaan kantorannya. Surprise, ternyata meski bentuk bangunan Sheraton Bandung tetap sama, namun interior kamar tipe Deluxe Room berbeda sama sekali. Dulu furniturnya serba kayu dengan warna monoton, sekarang lebih modern dengan warna yang segar. Sofa, lampu, lampion, TV flat screen 37” juga baru dengan kualitas yang lebih bagus lagi. Interior kamar mandinya pun senada dengan kamar tidurnya dengan aksen warna hijau toska dan sedikit pink. Saya sih merasa selain relaks, juga memacu kreatifitas. Ditambah lagi sekarang wifi-nya lumayan kencang dan masih nyampe di terasnya yang menghadap taman. Kata seorang staf hotel, Sheraton memang secara regular merenovasi hotelnya setiap beberapa tahun sekali, sehingga hotel tetap baru dan terjaga kualitasnya. Apalagi untuk repeat customer yang tidak pernah bosan karena mendapatkan kamar yang baru.

Sarapan yuk!
Malam-malam saya sama si Rini sengaja ke Feast Restaurant untuk makan burger-nya yang juara kelas. Eits jangan salah, sebagai penggemar burger asli yang patty-nya terbuat dari daging giling olahan sendiri, Sheraton merupakan salah satu yang terenak. Rotinya lembut, isinya padat, dagingnya besar, ditambah lagi kentang gorengnya yang garing… enaaak! Dasar ya wis tue, meski makan burger, minumnya tetap bandrek! Hehe! O ya, di restoran ini juara keduanya adalah Sop Buntut Balado-nya. Cobain deh! Kalau sarapannya, di hotel bintang lima ya pasti komplit – bebas makan ala prasmanan masakan Asia dan Barat. Jadi memang harus makan pelan-pelan deh biar banyak yang bisa dicoba. Tapi yang paling wajib dicobain adalah susu coklat dinginnya yang enaak banget!

Om Badut & Rini
Salah satu sarapan kami pas jatuh hari Minggu sehingga restoran yang terletak persis di samping kolam renang agak ramai. Rupanya anak-anaknya pada nyebur di kolam, ortunya santai-santai makan di restoran. Eh ada badut yang jalan-jalan sambil menyapa anak-anak. Seorang anak dengan mata membelalak bertanya, “Om Badut rumahnya di mana?” sampe bikin kami ngakak. Kata staf restoran yang bernama Pak Iri (begitu namanya di tag bajunya), weekend memang dipenuhi dengan tamu keluarga sehingga ada badut untuk menghibur, bahkan ada kuda yang bisa disewa di belakang hotel.
Kegiatan lain selain menulis, makan, tidur, sebenernya bisa berenang, tapi Bandung yang dingin begini bikin malas nyebur. Mendingan juga spa mantap di Katineung atau ke Fitness. Karena tidak bawa mobil pribadi, kami memanfaatkan shuttle service gratis dari hotel ke pusat Factory Outlet di Dago pp. Tapi sebenarnya kalau mau naik kendaraan umum juga gampang. Jalan Dago itu cuma lurus doang, dan Sheraton ada di hampir ujungnya. Kami sih santai aja naik angkot dan turun persis di depan hotel, lumayan mengurangi emisi karbon. Kalau nggak pengen ke mana-mana juga nggak apa-apa banget, karena fasilitasnya lengkap. Atau seperti saya mengurung diri di kamar hotel yang baru untuk menulis. Well, doain tulisan saya cepat kelar dan buku TNT4 segera terbit ya?
June 19, 2012
Huru Hara ke Bandara
4 hari sebelumnya
Malam itu saya dan sahabat saya, Nina, sedang makan bersama. Tiba-tiba saya menerima email berisi pembatalan kunjungan ke China atas undangan sebuah maskapai penerbangan. Sial, padahal visa udah keluar dan saya udah keburu mengosongkan jadwal! Spontan kami merencanakan untuk mengisi waktu tersebut dengan berenang di pantai karena kami berdua sama-sama merasa berkulit putih akibat kurang berjemur di matahari – apalagi saya yang habis “dikurung” di rumah untuk recovery pasca operasi. Maka Belitung pun menjadi pilihan karena dekat dan relatif murah. Sampai di rumah, saya pun segera membeli tiket pesawat di tiket.com supaya lebih ringkas dan cepat. Penerbangan Jakarta-Tanjung Pandan dijadwalkan berangkat tanggal 12 Juni 2012 jam 9.20 pagi.
1 hari sebelumnya
Nina mengusulkan agar datang lebih cepat di bandara supaya bisa sarapan bareng dan karena takut terjebak macet gila-gilaan bareng orang Jakarta berangkat ke kantor. Diputuskanlah untuk bertemu sekitar jam 7.30 pagi di Terminal 1C.
Saya menelepon supir taksi langganan untuk minta dijemput di rumah jam 6.30. Supir itu sudah 2 tahun jadi supir setia khusus antar-jemput bandara Soekarno-Hatta. Supir menyetujuinya. Beres! Saya pun packing sambil menonton bola.
12 Juni 20122, jam 05.30
Alarm hape meraung-raung! Gara-gara nonton bola Piala Eropa antara Inggris vs Prancis, saya hanya tidur beberapa jam jadi ngantuknya luar biasa. Saya pun menset alarm lagi ke jam 6.00 agar ada waktu tambahan tidur. Setengah jam selanjutnya saya mandi, berpakaian, dan beberes kamar.
Jam 06.30
Sekarang harusnya supir taksi datang. Biasanya dia sudah tunggu di luar pagar. Saya ingat belum bawa goggle, jadilah saya mencari di sudut lemari. Saya juga memutuskan untuk membawa Ultrabook Acer dengan harapan dapat mood menulis di Belitung. Jadilah saya mem-pack ulang.
Jam 06.45
Saya keluar rumah, ealah si supir belum datang! Tumben nih! Saya pun meneleponnya. Nggak diangkat. Telepon lagi. Nggak diangkat juga. Wah, ketiduran ini pasti. Terus menerus saya telepon dan SMS, tetap tidak ada jawaban sampai 15 menit kemudian! Wah, gawat! Supir keparaaat! Banguun doong!!
Saya pun menelepon perusahaan taksi terkenal untuk memesan taksi. Kata petugasnya, “Maaf ibu, kami tidak terima order lagi sampai jam 8 nanti karena semua taksi fully booked.” JEDAR! Tak hilang akal, saya telepon lagi perusahaan taksi lain. Eh jawabannya sama: tidak ada taksi! Saya googling perusahaan taksi lain lagi, meneleponnya, dan tetap tidak bisa order! MAMPUS GUE!
Saya telepon ojek langganan untuk saya suruh manggil taksi di pinggir jalan raya. Perlu diketahui, lokasi rumah saya ini nyempil di gang buntu persis di samping kuburan dimana jalan raya masih sekitar 2 km lagi. Saya tidak mungkin jalan kaki karena saya bawa koper, takut kenapa-kenapa sama bekas jahitan operasi. Eh, si tukang ojek pun tidak mengangkat telepon! Waks!
Saya lari ke kamar atas, maksudnya mau bangunin ibu untuk minta antar ke jalan raya supaya saya bisa lambai-lambai cari taksi. Eeh, ternyata beliau sudah keluar rumah dari subuh! Oh, tidaaak!!
Jam 7.00
Saya akhirnya order ke perusahaan ojek begini, “Mas, saya mau pesan ojek, tapi untuk nyuruh cariin taksi!”. Si masnya kaget, “Waduh, mbak, kami tidak pernah terima order begini. Kami kan cuma antar orang atau dokumen.” Saya pun merayu, “Tolong deh, mas. Ini urgent banget, saya harus ke bandara sekarang juga!” Si mas sepertinya kasihan, dia bilang, “Baiklah, mbak. Saya carikan dulu supirnya. Perkiraan supir akan datang setengah jam lagi.” SETENGAH JAM?! Ya sudahlah, saya benar-benar tidak ada pilihan.
Jam 07.30
Ibu saya pulang. Dia langsung panik karena saya belum berangkat. Dia menawarkan saya untuk mengantar ke jalan raya. Lah, supir ojek masih cari taksi tapi belum kembali. Belum tentu juga kalau saya sekarang diantar ke jalan raya maka saya akan dapat taksi, jadi saya tolak tawaran ibu.
KRIING! Nina menelepon saya dan mengatakan bahwa dia sudah sampai di bandara! Dudududuuu.. saya masih di rumah! Sungguh saya pengen bunuh si supir taksi langganan yang bikin hidup saya jadi susah begini!
Jam 8.05
Saya duduk di garasi sambil menunggu-nunggu cemas. Lalu saya melihat pemandangan paling absurd di depan rumah: ibu saya berlari, di belakangnya ada tukang ojek di atas motornya, di belakangnya lagi ada taksi! Rupanya ibu mengejar ke jalan depan saking parnonya tukang ojek tidak menemukan rumah kami. HOREE!! Saya pun segera meloncat naik taksi dan berkata ke supirnya, “Pak, tolong ngebut sengebut-ngebutnya ke bandara ya! Saya hampir ketinggalan pesawat nih!”
Jam 8.30
Jakarta GILA! Baru 300 meter keluar rumah, langsung stuck dengan kemacetan! 25 menit kemudian saya baru nyampe jalan raya! Kalau pesawat take off jam 9.20 berarti sekarang juga harus sudah check in, sementara saya baru aja keluar rumah! Arrgghh!! Supir taksi langganan bangsaaaatt! Saya terus menerus memaki.
Nina menelepon, “Gue lagi sarapan nih di lounge. Jadi ini gimana kalo lo ketinggalan pesawat?” Saya jawab, “Ya gue akan beli tiket pesawat lain! Lo tunggu aja ya di bandara Belitung!”
Jam 9.00
20 menit sebelum pesawat take off, saya baru masuk tol! Lalu supir taksi benar-benar ngebut sengebut-ngebutnya. Alarm mobil berteriak konsisten karena terus-menerus berada di atas batas maksimum kecepatan. Kaki saya lemas, jantung saya berdegup kencang, keringat dingin pun menetes. Saya masih komat-kamit berdoa.
Nina menelepon lagi, “Gue dipanggil masuk pesawat nih. Sampe ketemu di Belitung ya?”. Brengsek. Ini ketiga kali seumur hidup saya ketinggalan pesawat. Beli tiket lagi sih mampu, tapi males banget kehilangan waktu.. dan malunya itu!
Saya pasrah. Ya mau gimana lagi, udah pasti ketinggalan pesawat. Saya pun mengganti isi doa, “Ya Tuhan. Saya memaafkan supir taksi langganan yang ingkar janji tadi. Telat pun nggak apa-apa deh.”
Jam 9.15
Turun dari taksi saya langsung berlari menyebrang dan masuk ke bandara, kali-kali aja saya masih beruntung. Dengan cepat mata saya mencari konter check in yang paling pendek antriannya. Di depan saya ada satu keluarga yang sedang menimbang koper-kopernya. Petugas berteriak, “Pangkal Pinang! Pangkal Pinang!”. Saya tahu itu bukan kota tujuan saya, tapi saya tunjuk tangan aja dan akhirnya dipersilakan menyelak keluarga itu. Koper mereka pun diturunkan dari timbangan, diganti dengan koper saya. Saya menyerahkan tiket ke petugas.
“Loh, ini ke Tanjung Pandan, bukan ke Pangkal Pinang!” kata petugas check in.
“Maaf, saya pikir ke Tanjung Pandan, karena udah mau take off nih. Tolongin ya, mbak! Plisss…”
“Tenang aja, pesawat ke Tanjung Pandan delay 45 menit kok!”
DUERRRR!!
Saya senyum sangat lebar. Nggak pernah saya sebahagia ini ketika pesawat di-delay! Huru-hara ke bandara akhirnya ditutup dengan anti klimaks yang begitu manis, khas Indonesia.
June 5, 2012
Prinsip jalan-jalan murah

Murah ke Monas
Sering banget saya ditanya, “Gimana sih caranya jalan-jalan semurah-murahnya?” Saya pun menjawab sekenanya, “Ke sananya berenang, nginep nebeng temen, dan nggak makan”.
Kalau mau jalan-jalan ya pasti lah kita harus mengeluarkan uang, kecuali dibayarin. Kalau budget mepet, kita bisa meminimalisasi biaya perjalanannya, misalnya dengan naik bus bukan naik taksi, tinggal di hostel bukan di hotel, makan di warung bukan di restoran. Itupun tetap harus mengeluarkan uang, kan? Tapi kalau ingin “semurah-murahnya”, pada umumnya ada empat prinsip dasar:
The closer, the cheaper
Semakin dekat destinasinya, semakin murah biayanya. Ya iyalah yaa! Misalnya kita tinggal di Jakarta, jalan-jalan paling murah ya di dalam kota Jakarta. Murah kedua ke Bekasi, Bogor, Tangerang. Murah ketiga ke propinsi sebelahnya, seperti ke Jawa Barat. Artinya, dengan jarak yang semakin dekat maka ongkos transportasi akan semakin murah. Dan karena dekat itulah mungkin kita tidak perlu menginap sehingga dapat menghemat biaya akomodasi.
Bila perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang, cukup sering terjadi pengecualian, misalnya saat ada tiket promo dari low cost airlines sehingga dari Jakarta terbang ke Bali bisa lebih murah daripada ke Semarang. Tapi bila dalam keadaan normal, destinasi lebih jauh umumnya lebih mahal karena pesawat memakan lebih banyak bahan bakar.
Jadi kalau ada pertanyaan “Jalan-jalan paling murah semurah-murahnya ke mana ya?” jangan sakit hati kalau saya jawab “Main ke tetangga”. Jangan juga bertanya, “Kalau ke Antartika itu mahal nggak ya?” karena jawabannya malah saya akan bertanya balik, “Menurut lo?”
The lighter, the cheaper
Semakin ringan, semakin murah. Maksudnya, ringan barang bawaannya. Kalau mau murah, umumnya kita memilih naik low cost airlines yang biaya bagasinya terpisah dengan harga kursi. Jadi, semakin berat tas kita, maka semakin mahal bayarnya. Paling murah adalah tidak ada tas untuk dimasukkan bagasi, alias cuma bawa tas kabin (di bawah 7 kg). Kedua murah, masuk ke bagasi tapi tidak lebih dari 15 kg, dan seterusnya. Paling mahal adalah ketika harus membayar overweight bagasi (di luar batas maksimal) karena harganya dihitung per kilogram.
Semakin banyak barang yang kita bawa, semakin membuat kita lelah. Bayangin aja kalo kita bawa ransel, harus gendong-gendong ke sana ke mari berhari-hari. Bawa koper beroda juga capek, apalagi ke tempat yang harus turun-naik tangga. Dengan kebanyakan bawa barang, dijamin lebih capek bawanya dan akhirnya menghabiskan lebih banyak uang. Nggak percaya? Misalnya tadinya rencana mau naik MRT, tapi karena malas gotong-gotong gembolan, jadinya malah naik taksi. Tadinya mau angkut koper sendiri ke kamar hotel di lantai dua, tapi karena berat dan capek jadi bayar bellboy untuk ngangkatin. Lebih mahal, kan?
The slower, the cheaper
Semakin lambat, semakin murah. Artinya, semakin lambat sampai di tempat tujuan maka semakin murah biayanya. Jalan kaki, naik sepeda, naik motor, naik mobil, naik kereta, naik pesawat… adalah urutan moda transportasi dari yang paling lambat sampai yang paling cepat, juga urutan moda transportasi dengan biaya dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Begitu juga dengan jenis kapal yang semakin mahal harganya seiring dengan semakin tingginya kecepatan mesin kapal. Intinya, kalau mau lebih cepat sampai ke tempat tujuan, maka biayanya semakin mahal.
Saat waktu liburan yang terbatas, orang jadi terburu-buru mengunjungi banyak tempat dalam satu hari, bahkan kalau bisa satu negara satu hari! Untuk mengejar kunjungan ke segala macam tempat dalam satu hari, tentu akan menggunakan moda transportasi yang lebih cepat – sehingga jatuhnya lebih mahal juga.
Quality comes with the price
Terjemahan bebasnya: ada harga, ada mutu. Kalau mau murah ya jangan ribet deh. Udah tau naik low cost airlines, kalau kursinya lebih sempit ya sudahlah. Namanya juga tinggal hostel, ya udah pasti lebih berisik daripada tinggal di hotel. Dikasih sarapan sedikit, ya namanya juga penginapan murah. Makanya kalau mau jalan-jalan murah itu yang lebih penting disiapkan adalah MENTAL. Udah siap belum menerima ketidaknyamanan ini-itu?
Kecuali Anda punya duit untuk membayar kenyamanan perjalanan, maka keempat prinsip di atas tidak usah dipikirkan lagi. Tapi kalau masih mau murah ya terimalah ketidaknyamanan, karena murah dan nyaman itu jarang kompakan. Istilahnya, bayar selawe kok njaluk selamat!
May 23, 2012
Foto bareng Seleb

Avenue of Stars
Ketemu seleb (celebrity) bagi sebagian orang merupakan hal yang luar biasa, apalagi kalau bisa foto bareng. Sayangnya seleb ini jarang nongol di tempat umum, jadi susah banget ketemunya. Apalagi artis Hollywood yang tinggalnya jauh dari tempat kita, rasanya ya cuma di mimpi bisa ketemu mereka. Untungnya industri pariwisata memahami hal ini, sehingga dibuatlah semacam wahana untuk “mendekatkan diri” dengan seleb.
Pertama kali ke Amerika pada akhir tahun 1980an, saya membayangkan negara itu seperti adegan di film-film Hollywood yang pernah saya tonton. Nggak pernah telintas dalam pikiran saya kalau saya bisa bertemu seleb manapun, tapi saya sudah cukup bahagia saat ke Hollywood Walk of Fame. Trotoar yang dibangun tahun 1958 ini terletak di Hollywood Boulevard dan pada lantainya terdapat ukiran nama-nama seleb dunia, mulai dari Marilyn Monroe sampai Michael Jackson. Waduh, lihat nama mereka aja saya sudah jejingkrakan! Langsung deh saya jungkir balik foto-foto di tegel lantai trotoar. Nggak pake malu, karena semua orang yang kesana juga melakukan hal yang sama.
Juga saat ke Disneyland Park di Anaheim, saya ketemu boneka hidup macam keluarga Donal Bebek. Saya bukan anak-anak lagi saat ke sana, tapi toh saya semangat foto-foto sama boneka-boneka tolol itu. Saat ke Universal Studio di Hollywood, konsep theme park yang menghidupkan film ini tampak lebih dekat bagi saya karena tokoh-tokohnya manusia, bukan kartun. Foto di sebelah mobilnya Knight Rider aja bikin saya deg-degan, padahal David Hasselhoff entah ada di mana. Haha! Gilanya lagi, saya bela-belain ke studio foto yang punya koleksi lifesize foto 1 dimensi para seleb. Saat itu saya lagi ngefans sama Tom Cruise karena film Top Gun, jadilah saya difoto bersama foto si Tom dengan gaya tangan saya merangkul bahunya. Foto tersebut begitu mirip, seakan-akan saya benar merangkul si Tom. Saya pun jadi orang paling ngetop di sekolah ketika memamerkannya! Maklum, jaman dulu belum ada photoshop.
Saya masih geli sendiri mengingat cara “foto bareng” seleb itu karena dulu teknologinya begitu jadul. Padahal yang paling kelihatan “real” kalau foto bareng seleb ya ke wax museum Madame Tussauds, yang terdekat dari Indonesia saat ini terletak di Hongkong dan Bangkok. Museum patung lilin seleb ini memang paling profesional dalam pembuatan dan pengelolaannya sehingga terlihat begitu mirip. Dijamin, sebenci atau segengsi apapun Anda sama seleb, pasti Anda mau foto bareng! Bagi saya, foto bersama patung lilin dengan ukuran sesungguhnya malah membuat saya sedih. Ternyata… saya jauh lebih besar daripada Brad Pitt!
Negara-negara di Asia pun tidak mau kalah untuk memanfaatkan gaung dari seleb lokal dengan cara sederhana. India yang terkenal dengan film Bollywood-nya mengadakan tur ke rumah-rumah artis filmnya di sekitar kota Mumbai. Korea Selatan yang terkenal dengan serial dramanya, mempromosikan tempat-tempat lokasi syuting film drama tersebut. Meniru Hollywood Walk of Fame, Hongkong bikin Avenue of Stars. Terletak di Victoria Harbor, lantai trotoarnya terdapat sejumlah nama artis yang main di film produksi Hongkong, mulai dari Bruce Lee, Chow Yun Fat, sampai Jet Li. Dan saya tetap mau foto bareng meski hanya dengan tulisan nama seleb Cina tuh!

Cinta Laura (paling kiri) & Ferdy Hasan (paling kanan)
Jangan salah, di Indonesia ada juga yang sejenis. Saya ingat tahun jebot, tapak tangan Krisdayanti pernah diabadikan di sebuah restoran waralaba asal Amerika di Jakarta. Terakhir saya lihat, tapaknya masih dipajang di depan restoran, tapi tidak satupun tamu yang memperhatikannya, apalagi foto bareng. Di Trans Studio Makassar juga ada patung-patung para seleb Indonesia yang pegang acara di program TV tersebut. Masalahnya, patung itu jauh dari mirip! Saya kalau jadi artisnya bakal marah kalau dibikin kayak gitu, abisan udah kayak manekin – patung untuk display baju di toko! Udah gitu nggak bisa dipegang pula karena ditaro di panggung dan dipagari. Tau kan kenapa alasannya?
Padahal seharusnya kalau sistemnya dibuat benar seperti Hollywood Walk of Fame dan Madame Tussauds, para seleb manapun akan merasa bangga luar biasa dan tempatnya akan mendatangkan banyak turis. Eh tapi sekarang pikir deh, kalau di Indonesia ada trotoar yang lantainya tertulis nama-nama seleb Indonesia, apakah Anda mau berfoto bersamanya? Menurut survey kecil-kecilan yang saya adakan via twitter @TrinityTraveler, sebagian besar follower menjawab “OGAH!” – bahkan dengan huruf besar. Kalau ogah, apakah artinya kita tidak bangga terhadap industri hiburan bangsa sendiri? Atau karena follower saya kebanyakan anak Jakarta yang biasa lihat seleb? Eh tapi kalau ada nama seleb Indonesia di Hollywood Walk of Fame, saya yakin pasti kita mau foto bareng. Nah, jadi intinya kenapa, ya? Gengsi kalau foto di negara sendiri? Nah lho!
May 4, 2012
[Buku baru] TraveLove – Dari Ransel Turun ke Hati
Front cover
Telah terbit buku baru berjudul: TraveLove – Dari Ransel Turun ke Hati!
Ditulis oleh 9 travel writer ngetop yang buku-bukunya telah diterbitkan Bentang Pustaka, yaitu: Andrei Budiman, Ariyanto, Claudia Kaunang, Lalu Abdul Fatah, Rei Nina, Rini Raharjanti, Sari Musdar, Salman Faridi, dan Trinity a.k.a. saya
Sinopsis:
Ternyata, traveler tangguh pun tunduk pada cinta. Trinity misalnya, terpaksa menemani orang yang dicintainya ke Bromo, padahal malas setengah mati. Claudia Kaunang, Andrei Budiman, Rini Raharjanti, Sari Musdar, dkk. pun pernah tunduk pada cinta, dengan kisah berbeda-beda.
TraveLove adalah kisah-kisah traveling berbalut cinta, ditulis oleh para traveler dengan segala kejujurannya. Buku ini akan membuat pembaca bisa menemukan sisi lain para traveler. Jadi, jangan kaget kalau ternyata mereka punya sisi melankolis.
Tak hanya disuguhi kisah sedih, romantis, dan mengharukan, pembaca juga akan diajak jalan-jalan keliling dunia lewat buku ini. Menikmati indahnya Lombok, Laos, Jepang, hingga Eropa dengan bumbu kisah cinta tak biasa.
ISBN: 9786028864565
Jumlah halaman: 158
Harga: Rp 47.000,-
Tersedia mulai hari ini di toko-toko buku di Jabodetabek dan secara bertahap di daerah lain, atau pesan online di mizan.com
Serbuuuuu!
April 7, 2012
Beijing 3 tahun kemudian

Wangfujing, Beijing
Tidak pernah menyangka bahwa saya dapat kembali lagi ke Beijing. Semua bermula dari undangan sebuah institusi yang akan mengadakan workshop dimana saya dan editor saya, Ikhdah, jadi pembicaranya. Sebenarnya agak malas ke sana lagi, tapi berhubung semua sudah diatur jadi sudah dipastikan bakal jauh lebih nyaman daripada pengalaman bekpekingan saya dan Yasmin di tahun 2009. Tanggal keberangkatan sudah ditentukan, visa China dan tiket pesawat pp pun sudah di tangan. Dua hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba saya dikabari bahwa acara itu dibatalkan dengan alasan budget di-cut! Duh, nggak profesional banget!
Gimana nasib visa dan tiket pesawat yang mubazir ini? Ikhdah yang belum pernah ke China “meracuni” saya untuk tetap berangkat dan mengajak patungan. Tapi ngapain di Beijing? Semua obyek wisatanya sudah pernah saya datengin dan nggak kepengen mengunjungi untuk kedua kalinya. Tambah malas lagi karena cuaca lagi dingin (3-12°C), jalannya jauh, bahasa belibet, dan tidak sempat riset. Saya pun mengontak teman-teman yang tinggal di Beijing, sekalian minta dicarikan hotel murah pake corporate rate. Kali ini saya berencana cuma mau santai-santai aja di Beijing dan nongkrong sama teman-teman. Setelah mengais-ngais tabungan karena berarti saya harus membayar akomodasi, makan dan transportasi sendiri, kami pun berangkat.
Kami tinggal di sebuah hotel bintang 3 di daerah Dongzhimen, area elit pusat expatriate di pusat kota. Teman saya, Lizzie, yang lagi liburan Cheng Beng bersedia nemenin jalan-jalan naik mobilnya. Ikhdah pergi ke obyek wisata seperti Great Wall, Forbidden City, Temple of Heaven, dan tentunya shopping (Psst.. editor ternyata lebih tajir daripada penulisnya!
). Sementara saya nongkrong sama teman-teman di daerah gaul macam Wangfujing, Qianmen, Houhai, Sanlitun, bahkan sempat talkshow di China Radio International (hebat juga, buku TNT nyampe ke China!).
Pergi sama orang lokal pengalamannya memang beda banget. Mereka sudah fasih bahasa Mandarin jadi mudah untuk bertanya, order makanan, menawar harga, dan lain-lain. Karena kebanyakan diantar Lizzie naik mobil, nggak ada acara nyasar-nyasaran. Kalaupun saya harus naik subway, di stasion sudah dijemput teman. Mau beli sesuatu atau mau makan, mereka pula yang merekomendasikan tempatnya. Wih, memang nikmat traveling yang nggak pake mikir! Hehe!
Salah satu alasan saya jadi berangkat adalah karena pengen tahu bagaimana perkembangan Beijing 3 tahun kemudian. Apakah kesannya masih sama seperti tulisan saya di buku TNT3?

Peking Duck
Soal makanan, meski dibawa ke restoran sama orang lokal, tapi makanannya tetap tidak ada yang enaaak banget yang bikin saya tergila-gila. Dibanding dulu, memang yang sekarang lebih enak sih. Cuman makanannya tetap berminyak, berbumbu medok tapi berbau aneh, dan porsinya tetap raksasa. Bagi saya, rasa Chinese food di Indonesia masih tetap lebih enak. Namun, makanan paling enak di Beijing masih dipegang oleh Peking Duck. Bebek panggang asal Beijing ini emang nggak ada duanya di dunia! Bayangin, daging bebek bisa meleleh di mulut! Nyam nyaam! Restoran China termahal di Indonesia sekalipun belum ada yang mengalahkan aslinya.
Selama di Beijing, saya tidak menemukan satupun balita yang pake celana bolong di selangkangannya seperti tahun 2009. Bisa jadi karena saya tidak ke obyek wisata umum atau daerah kumuh. Tapi kata Lizzie, di Beijing memang sudah jarang sekali terlihat. Mungkin itulah sisi positifnya, perekonomiannya semakin maju sehingga sudah mampu membeli diaper.
Anehnya, bila perekonomiannya semakin maju, baru kali ini saya lihat subway-nya berisi pengamen dan pengemis! Padahal dulu di Beijing saya juga naik subway segala macam jalur tapi tidak pernah lihat.
Saya juga masih lihat beberapa bapak-bapak yang bertahak kencang dan buang ludah sembarangan. Memang sih tidak di tengah kota, tapi di pinggiran kota Beijing. Baguslah.
Dan ini lah yang paling menakutkan kalau ke China… saya trauma sama toilet umumnya! Belajar dari pengalaman, saya sengaja tidak banyak minum karena takut kebelet pipis. Akibatnya bibir saya jadi kering dan pecah-pecah. Kalaupun terpaksa pipis, saya menahan diri untuk pipis di hotel sendiri, atau di mal dan restoran. Tapi semua toiletnya tetap jijay banget baunya, bahkan masih ada aja “ranjau” yang tidak disiram dan pembalut berdarah di tempat sampahnya yang selalu terbuka! Pernah di mal, saya bela-belain ke toilet di biskop Imax 3D yang harga tiketnya aja RMB 120 (Rp 175 ribu), tapi ya ampyuun.. sudahlah, nggak usah diceritain lagi – yang jelas saya sampe hoek-hoek muntah! Malamnya Ikhdah berbagi cerita, “Tadi di KFC, ada mbak cantik santai aja keluar dari toilet dan malah ngaca. Begitu aku masuk, eh ternyata dia nggak nyiram bokernya! Kok bisa ya dia cuek begitu, padahal ketemu aku!” Nah!
Yang masih tetap sampai sekarang adalah orang-orang lokalnya yang tidak sopan untuk ukuran Indonesia. Entah mengapa mereka itu kok ya susah senyum dan bermuka dingin. Jangankan orang awam, tukang jualan dan waitress aja juteknya minta ampun. Di mall dan stasion subway, ketika harus membuka pintu, bukannya pintu ditahan, beberapa kali malah dibanting di depan muka saya! Pernah di Hutong, becak kami hampir ditabrak mobil. Saya pun otomatis menjerit kaget, eh si pengemudi mobil bukannya minta maaf malah melabrak saya habis-habisan! Pengalaman saya sih masih mending dibanding Ikhdah. Ia yang berbodi kecil dan bermuka tampak ketakutan, semakin habis di-abuse sama orang sana. Ia sampe dipepet tukang jualan dan dibentak-bentak. Komentar Ikhdah, “Haduh, orang China ini kok ndak ada unggah-ungguhnya ya? Nggak pernah senyum atau bilang terima kasih. Kalaupun kita bilang terima kasih, mereka bukannya senyum atau nunduk atau apa kek gitu?” Hihihi.. welcome to China!
March 22, 2012
Hotel ayam di Singapura
Peringatan: hanya boleh dibaca untuk usia 17 tahun ke atas

Hotel di Lorong (pic by Alda)
Jalan-jalan ala backpacker dengan budget seadanya belum tentu wajib tinggal di hostel. Prinsip saya: selama ada hotel yang lebih murah daripada hostel, mendingan tinggal di hotel. Kalau lagi kere dan pengen bekpekingan di Singapura, saya tidak pernah tinggal di hostel manapun karena nemu hotel murah meriah.
Nah, hotel murah di Singapura ada di daerah bernama Geylang. Nama jalannya tidak menarik, yaitu Lorong 1, Lorong 2, Lorong 3, sampai Lorong kesekian puluh (disingkat “Lor”). Stasion MRT terdekatnya di Kallang atau Aljunied. Harga hotel yang berbintang dua ini per malamnya untuk twin bed dulu sekitar Rp 200 ribuan, tapi sekarang sekitar Rp 300 ribuan. Kalau sharing berdua, lumayan banget. Hotelnya besar dengan puluhan bahkan seratusan kamar, gedungnya bertingkat belasan dan tentunya ada lift. Dibanding tinggal di private room bahkan dorm di hostel, tinggal di hotel ini mending banget. Kamarnya privat dengan kamar mandi sendiri, ber-AC dan TV flat screen. Meski ukuran kamarnya kecil, tapi bersiiih. Sprei, sarung bantal, selimut, dan handuk harum bersih tanpa noda – diganti pula setiap hari. Tiap kamar dapat teh, kopi, air minum kemasan, beserta teko pemanas. Dapat juga amenities macam sikat gigi, odol, sabun, sampo dan kadang tersedia hair dryer.
Kalau murah, apa “jebakan betmen”-nya dong? Geylang adalah red-light district alias tempat lokalisasi prostitusi di Singapura! Yihaaa!
Awalnya saya sungguh nggak tahu Geylang itu tempat apaan karena dulu main booking via internet aja cari hotel termurah. Setelah check in di kamar yang bagus, tengah malam saya keluar makan bersama Alda, teman kuliah asal Filipina. Kami baru mendarat, jadi masih pake celana panjang dan jaket. Lagi enak-enaknya makan di sebuah foodcourt, tiba-tiba ada oom-oom Cina gendut bercelana pendek ikutan duduk di meja kami tanpa meminta izin. Trus si oom senyum-senyum dan bertanya semacam “Where are you from? Where are you going in Singapore?” Kami pun menjawab dengan berbohong karena merasa terganggu. Lalu si oom menawarkan untuk membelikan makanan! Eh, apa tampang kami kelihatan miskin dan lapar ya? Selanjutnya si oom senyumnya tambah lebar plus kedip-kedip. Sialan, kami “ditawar”! Saya langsung menyepak kaki Alda di bawah meja, memberi kode agar kami segera pergi.

Toko "ngeri"
Alda syok berat sampai mau nangis. Saya sih menganggap lucu. Lumayan lah, saya yang gendut tua ini masih ada yang nawar! Hehe! Karena takut diikuti si oom, kami berkeliling dulu di sekitar Geylang Road. Malam itu bukan malam weekend, tapi ramai sekali. Rupanya selain toko dan restoran, ada juga bar, karaoke, dan.. sex shop! Setelah memperhatikan orang-orang yang seliweran, barulah saya sadar… ternyata banyak “ayam” nampang di trotoar! Cewek-ceweknya bermata sipit, langsing, putih, pake baju kekurangan bahan, tapi ada yang tua dan gendut – sebagian dari mereka digandeng oom-oom. Berjalan pulang ke hotel yang terletak di Lorong 18, saya melewati perumahan yang mirip jejeran kos-kosan. Nomor rumahnya terpampang besar dan berwarna merah menyala di boks berlampu. Dari pintunya yang terbuka kelihatan ada ruang tamu bersofa yang diduduki cewek-cewek muda. Di rumah sebelahnya malah ada cewek-cewek mejeng pake baju superseksi. Oalah, itu rumah bordil! Langsung saya didamprat Alda, “Why are you taking me to stay in this red-light district?!” Errr…
Saya jadi kepo tanya orang lokal berapa harga ayam di sana, katanya SGD 60 untuk 45 menit. Menurut saya sih lumayan murah dibandingkan dengan biaya hidup di Singapura. Kalau orang asing, tarif ceweknya bisa dua kali lipat. “Well, mereka kerja sikit laa! Mandinya saja sudah setengah jam!” katanya lagi bernada protes. Di dalam rumah bordil itu ada mucikarinya. Customer (hanya menerima cowok heteroseksual) boleh milih ceweknya langsung dari “akuarium”. Kalau udah deal dengan “menu”-nya, customer masuk ke dalam rumah bordil itu yang berisi beberapa kamar termasuk shower. Ritual standarnya adalah dimandiin dulu, baru dipijat biasa, dan terakhir “pijat plus”.
Rupanya prostitusi di Singapura itu legal. Geylang telah menjadi lokalisasi sejak 100 tahun yang lalu. Hebatnya, para ayam dan rumah bordil diregulasi pemerintah. Ayam diperiksa seminggu sekali untuk penyakit kelamin dan dua bulan sekali untuk HIV. Kalau ragu, customer berhak meminta kartu pemeriksaannya! Justru yang bahaya adalah ayam di jalanan karena kalau mereka belum terdaftar bisa ketangkep polisi dan merupakan resiko pula bagi customer karena kesehatan ayam tidak terjamin. Rupanya lagi, tiap Lorong memiliki andalannya sendiri. Misalnya di Lorong 8 dan 10 isinya ayam asal China, Lorong 16, 18, 20 isinya ayam Thailand, dan Lorong 12 isinya ayam Indonesia!
Tapi saya nggak kapok. Buktinya sampai saat ini saya udah empat kali menginap di Geylang. Selain lokasinya strategis, keuntungan tinggal di Geylang adalah banyak tempat makan yang buka 24 jam. Mau dim sum, kopi tiam, Chinese food, Filipino food, Indian food, bahkan ironisnya, halal food juga ada. Selain enak-enak, harganya pun murah. Makan seharga SGD 5 aja udah kenyang dan termasuk minum. Mau beli apa-apa juga gampang karena tokonya buka 24 jam.
Berbeda dengan area lainnya di Singapura, di Geylang sangat rileks. Orang-orangnya lebih ramah, peraturan pun cuek aja dilanggar. Meski ada signage larangan merokok, tapi di semua restoran boleh merokok. Saya aja berani menyebrang jalan raya tanpa lewat zebra cross ya cuma di Geylang. Buang sampah bisa langsung lempar ke jalan, tapi paginya langsung bersih seperti tidak ada keramaian di malam sebelumnya. Siang hari Geylang memang keren dengan jejeran shophouse-nya yang masih asli. Kalau boleh disebut keuntungan, saya nggak pernah lihat seorang Indonesia pun di Geylang.
Jadi, berani tinggal di Geylang?
March 14, 2012
Tua nonton konser band tua

Duran Duran live in Singapore
Saya dan sahabat saya sejak kuliah, Yasmin, tanggal lahirnya cuma beda 2 minggu. Beberapa tahun belakangan ini, kami merayakan ulang tahun bersama dengan cara melakukan tantangan berupa suatu hal yang keluar dari zona nyaman. Tujuannya untuk mengingatkan diri bahwa “meski tua tapi nyali tetap muda”. Contohnya tahun lalu kami sama-sama nekat mencoba reverse bungy jumping di Singapura. Tapi lama-lama we set the bar too high, sehingga bingung juga mau melakukan apa yang lebih gila lagi setelah bungy jumping.
Tahun 2012 ini kami merayakannya dengan nonton konser band Duran Duran. Loh, apa gilanya dong? Bagi penikmat musik, nonton konser adalah hal yang biasa. Tapi bagi saya yang kapok nonton konser malah jadi senewen. Terakhir kali saya nonton konser band adalah Linkin Park di Ancol tahun 2004. Saya hanya bertahan jejingkrakan di tiga lagu pertama. Abis itu, saya sesak napas dan perut mual karena klaustrofobik kegencet ribuan orang. Kepala juga berasa pusing karena berasa ada gempa akibat penonton loncat-loncat di tanah. Akhirnya saya melipir ke pagar belakang sambil merangkak! Sementara si Yasmin nggak pernah nonton konser kecuali di acara sekolah. Maka pilihan teraman bagi yang sudah terkena “Faktor U” seperti kami adalah nonton konser band tua di Singapura dengan harapan lebih tertib.

Duran Duran 1980an (pic by Simon Fowler)
Untuk yesterday afternoon child (istilah si Yasmin untuk “anak kemarin sore”) yang nggak ngerti siapa itu Duran Duran, mereka adalah band rock asal Inggris yang sangat terkenal sedunia di awal tahun 1980an. *Doh, ketauan deh tuwirnya gue!* Anggotanya adalah Simon Le Bon, Nick Rhodes, John Taylor, Roger Taylor, Andy Taylor yang cakep-cakep dengan dandanan metroseksual, sampe dijuluki “the prettiest boys in rock”. Video klipnya keren-keren, sampe saya aja masih inget jelas adegannya. Sampai saat ini mereka telah merilis 14 album dalam 34 tahun berkarya. Nah, kebayang kan seberapa tuanya mereka sekarang?
Enaknya konser di Singapura, kita bisa dengan mudahnya beli tiket online dan tiket akan ditukar di loket stadion sejam sebelum konser dimulai. Pas beli, saya pun ngakak… ternyata ini konser duduk! Jadi, stadion gede begini ada nomor kursinya, termasuk tiket yang termahal yang duduk di depan panggung. Dasar band tua dan ditonton orang tua, sampe nggak ada tiket festival padahal Duran Duran adalah rock band. Positifnya, kami bakal aman dari “gempa”.
Untuk menambah faktor “gila”, kami janjian untuk nonton dengan dress code dandanan ala tahun 80an. Duran Duran memang cocok ditonton dengan ikutan berdandan ala mereka. Tapi dandan itu pun bukan gaya kami banget, secara lipstik aja kami nggak punya. Untungnya sahabat saya sejak SMA, Sri, ikutan nonton dan punya peralatan lenong.
Setelah seharian jalan-jalan keliling Singapura, sore itu kami kembali ke hotel dengan niat dandan heboh sebelum konser dimulai jam 8 malam. Dasar tuwir, bukannya dandan, kami semua malah ketiduran saking capeknya! Tanpa mandi, kami buru-buru ganti baju. Saya pake tank top dilapis kaos gombrong bergambar jadul dengan leher lebar dan celana gombrong. Yasmin pake skinny jeans yang digulung, tank top, dan kemeja denim kedombrangan yang diiket di pinggang. Sri pake tank top, blus model sabrina, legging dan leg warmer (semacam kaos kaki panjang yang digulung). Untuk menambah ke-80an-an, kami semua pake headband, rambut model awut-awutan, dan make up menor (sampai bibir saya terlihat seperti abis makan bayi saking merahnya)!

Dandanan penonton
Saking nggak beraninya berdandan begitu di depan umum, kami berjalan kaki sambil ngebut ke jalan utama dan memutuskan untuk naik taksi. Duh, rasanya deg-degan setengah mati! Turun pun jauh-jauh dari Singapore Indoor Stadium dan berharap semoga nggak ketemu siapa-siapa. Setengah berlari kami mendekati stadion… eh nggak taunya sebagian besar penonton adalah bule yang juga berdandan ala 80an! Bahkan mereka jauh lebih niat dengan pakai wig, rok tutu, stocking jala-jala, dengan warna lebih ngejreng! Hebatnya lagi, yang dandan bukan hanya cewek, tapi juga cowok, dan mereka berusia 40-50an! Kami pun saling menyapa, bahkan bule-bule itu memuji dandanan kami. Ah, ternyata kami termasuk generasi termuda di situ dengan dandanan 80an yang paling nggak niat! Hehe! FYI, di sana orang Asia berdandan biasa, dan orang Indonesia berdandan bak ke pesta.
Maksud hati mau foto di depan poster Duran Duran, ternyata dari jalan raya sampai ke dalam stadion tidak ada sama sekali poster, umbul-umbul, maupun spanduk konser! Di halaman stadion pun hanya ada satu booth jualan makanan dan minuman (yang gelasnya pun boleh dibawa masuk) dan satu booth jualan merchandise. Masuk ke stadion berkapasitas 12.000 orang ini pun nggak pake besi penghalang dan tidak kelihatan polisi berkeliaran. Petugas hanya ada beberapa yang jaga di pintu, itu pun kebanyakan nenek-nenek. Semua penonton mengantri masuk dengan tertib dan dapat dengan mudah menemukan nomor kursi karena petunjuknya sangat jelas terpampang di mana-mana. Stadion terisi hampir penuh tapi AC berasa superdingin. Aih, beda banget sama di Indonesia! Atau karena ini Duran Duran ya?
Karena beli tiket termurah seharga SGD 98, kami duduk di paling atas dan paling jauh dari panggung. Meski muka anggota band nggak kelihatan, tapi tata panggung, lighting dan sound system-nya oke. Lagu pertama semua terdiam karena merupakan lagu dari album yang baru dirilis tahun 2011. Lagu kedua Planet Earth, barulah semua penonton bangkit dari kursinya dan mulai joget-joget. Vokalis Simon Le Bon suaranya nggak berubah, meski gayanya udah nggak selincah dulu karena sekarang jauh lebih gendut. Main musiknya pun sempurna, meski melodi seperti itu berasa jadul banget untuk ukuran sekarang. Bedanya, kali ini mereka berdandan standar berbaju hitam, tidak sewarna-warni dulu. Simon bahkan melucu dengan mengatakan bahwa sekarang ia sudah sulit membaca daftar urutan lagu karena tidak bawa kacamatanya. Oh, so sweet!
Lagu keempat, dasar tuwir, kami udah kebelet pipis. Kembali dari toilet, kami menyelinap ke balkon lantai tengah stadion sehingga pandangan ke panggung lebih dekat. Rupanya banyak penonton melakukan hal yang sama karena pengen jejingkrakan bebas, meski gaya jogetnya pun jadul banget. Nyaris dua jam kami dihibur dengan lagu-lagu andalannya tahun 1980an seperti A View to a Kill, The Reflex, Hungry Like the Wolf, Notorious, Wild Boys, Rio, dan yang dirilis awal 1990an seperti Ordinary World dan Come Undone. Tanpa malu-malu (dan tidak pake desak-desakan) kami bernyanyi dan bergoyang bersama. Wah, serasa balik ke jaman ABG lagi!
Di penghujung konser, layar proyektor menampilkan wajah anggota Duran Duran (yang sekarang tinggal berempat) secara close up. Saya baru sadar bahwa mereka sudah tua dengan muka peot, keriput, dan rambut ubanan. Dan ketika melihat sekeliling, penontonnya pun rata-rata setua mereka. Namun penampilan Duran Duran dan penonton sama-sama tak kenal umur, persis seperti berada di tahun 80an. Bahkan idola saya, si drummer Roger Taylor masih cool dan ganteng! Setelah lebih dari 20 tahun, it’s a great come back, both for Duran Duran and us!
Mau tahu apa tantangan ulang tahun kami tahun 2013? Tunggu aja ya!
March 8, 2012
Keliling dunia makan seafood

Moonfish di Korea
Saat saya tinggal sebuah homestay di Misool, Raja Ampat, paket menginapnya sudah termasuk makan. Saya yang selalu kelaparan selalu pengen tahu makan jam berapa dan makan apa, tapi selalu dijawab, “Tunggu saja ikan hasil pancingan.” Penduduk desa di pinggir laut Papua yang sehat yang tidak memiliki listrik ini, makanannya bergantung sepenuhnya dari laut. Maka sehari tiga kali selama hampir seminggu saya makan ikan dan nasi. Memang nikmat makan ikan yang dimasak begitu habis dipancing! Orang sana menyebutnya sebagai “Ikan mati sekali”. Saya langsung membayangkan makan ikan di Jakarta yang ditangkap entah di mana, dibunuh, dimasukkan es, dipeti, naik kapal berhari-hari, pindah ke beberapa suplier, dijual di supermarket, sampai dimasak di rumah. Wah, matinya berapa kali itu? Pantas rasanya jauh berbeda!
Ketika setiap hari makan ikan (enak), saya tidak keberatan. Yang keberatan adalah ketika setiap sarapan makan nasi goreng pake ikan. Maka hari keempat saya bilang ke anak pemilik homestay untuk mengganti ikan dengan telur untuk makan pagi. Jawabnya, “Ngapain makan telur? Orang di Jawa itu makan telur karena tidak ada ikan di sana! Di sini kan banyak ikan dan tinggal ambil saja!” Err.. bukan begitu maksudnya, cuman berasa nggak nyambung aja. Saya dan teman-teman pun patungan membeli telur yang harganya mahal di warung.
Di Indonesia Timur, terutama di pulau terpencil, harga ayam dan telur jauh lebih mahal. Harga KFC di Ambon dan Sorong lebih mahal daripada di Pulau Jawa, bahkan harga sebutir telur di Pulau Hoga (Wakatobi) aja Rp 5.000! Meski penduduk yang tinggal di pesisir Jawa atau di Indonesia Barat makan ikan juga, sepertinya cuma di Indonesia Timur yang ikannya gede-gede dan beragam. Contohnya di Maluku, seekor ikan besar sebesar tangan (bukan telapak doang) adalah untuk porsi satu orang. Padahal kalau di rumah, seekor ikan besar itu dibagi untuk sekeluarga. Teman saya yang asli orang Selayar (Sulawesi Selatan) sampe stres ketika pindah ke Bandung karena sulit makan ikan. Menurutnya, ikan mujair yang ukurannya mini itu bukan termasuk kategori ikan.
Untungnya tinggal di Indonesia yang negara kepulauan, kita terbiasa makan aneka seafood karena cukup mudah didapatkan, apalagi bagi yang tinggal di pesisir. Ikan paling enak yang berasal dari perairan terdekat di Jakarta menurut saya adalah ikan bandeng yang beli langsung di Kepulauan Seribu. Di sebuah pulau, ada tambak ikan bandeng dan parbrik pencabutan duri. Setiap hari ada puluhan ibu bekerja nyabutin duri bandeng… pake pinset! Itulah kelebihan bandeng di sana: tidak berbau lumpur, plus tidak ada duri sama sekali. Ada sih dijual di supermarket, cuman beli di sana lebih segar dan lebih murah.
Pengalaman makan seafood di luar negeri pun unik. Lansekap dan budaya di suatu negara itu mempengaruhi jenis kulinernya. Contohnya India yang sebagian besar wilayahnya adalah daratan dan banyak yang vegetarian, maka tidak terbiasa makan seafood. Sebulan di India, saya tidak pernah makan ikan sekalipun. Banyak teman kuliah saya yang orang India baru pertama kali makan cumi dan kepiting di Filipina. Penduduk di negara yang sebagian besar daratan biasanya makan ikan yang dihasilkan dari danau atau sungai. Contohnya di Israel, ada ikan yang terkenal dengan nama “Ikan Petrus” (Saint Peter’s fish) di kota Tiberias persis di tepi Danau Galilea. Disebut ikan Petrus karena di danau itu tempat Rasul Petrus menjala ikan. Sejatinya ikan itu sejenis ikan nila, namun berukuran besar. Orang sana memakan ikan Petrus dengan kentang dan salad, tapi saya memesan nasi pake sambal sachet bawa dari rumah.
Kebiasaan orang Indonesia kalau makan, semuanya dimakan sampai bersih – semua digerogotin, diisep-isep, pake tangan pula. Saya menyadarinya ketika makan seafood di luar negeri. Ketika orang Barat makan ikan dengan mem-fillet dagingnya menggunakan pisau dan garpu meski porsi satu ikan satu orang di piring masing-masing, saya maen comot pake tangan bahkan memakan bersih kepala ikannya. Ketika udang goreng dikuliti dulu, saya makan semua sampai ekornya. Paling lucu ketika di Palau, saya dan Yasmin makan kepiting. Harganya mahal USD 50/ekor. Untungnya seekor itu ukurannya superbesar, cangkang perutnya aja sebesar piring. Kami menghabiskan berjam-jam untuk menghabiskannya, karena sibuk memotong dan mengisap sampai bersih. Berbeda dengan meja lain yang bersih, meja kami yang bertaplak kertas sampai penuh dengan potongan-potongan cangkang kepiting bak habis perang. Para waiter dan tamu lain di restoran itu sampai terbelalak matanya melihat kami yang nggragas! Haha!
Di Pantai Cesme, Turki, bosan dengan makan daging-dagingan, saya pengen makan seafood. Saya dan seorang teman pun pergi ke salah satu restoran kecil di ruko yang nyempil di gang. Ikan-ikan segar sebesar telapak tangan dipajang di atas tumpukan es. Dengan riang gembira, saya asik milih-milih ikan untuk dimasak. Ikan pun ditimbang, rupanya harga ikan dihitung per gram. Tak lama kemudian, si pemilik restoran yang tidak bisa berbahasa Inggris, menuliskan sesuatu di secarik kertas: 50 TYL/pc. Hah? Rp 260.000,- untuk seekor ikan bakar? Mahal banget! Saya langsung mau pingsan! Reaksi saya selanjutnya adalah membatalkan order, dari tadinya 3 ikan jadi 1 ikan berdua. Hiks. Masalah selanjutnya, makan ikan itu cocoknya pake nasi putih. Pemilik restoran pun membeli nasi dari restoran sebelah dan setiap orang yang lewat mentertawai kami. Rupanya orang Turki menganggap makan ikan pake nasi adalah hal yang sangat aneh, karena ikan itu cocoknya dimakan pake roti tawar, sementara daging cocoknya dimakan pake nasi.
Di Seoul, Korea Selatan, pertama kali saya makan moonfish. Katanya ini ikan enak banget dan hanya terdapat di laut dalam di Korea jadi merupakan andalan negara itu. Di restoran yang terkenal ini, saya makan moonfish yang disup. Rasanya ikannya sih enak karena kenyal dan berlemak, tapi bumbunya ya rasa kimchi aja gitu. Lagi enak-enak makan, pemilik restoran mendatangi meja kami sambil membawa moonfish hidup. Duh, selera makan saya langsung hilang seketika saat melihat si ikan ini. Bentuknya kayak ikan purba dengan kepala bulat dan mulut yang lebar! Waks! Lalu si waiter memasukkan sesuatu ke dalam sup saya. Saya tanya apa, dia menyebutkan suatu kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah “sea sperm”. Hah? Entah hewan apa lagi itu, yang jelas perut saya mulai berontak.

sampah di lantai
Di Da Nang, Vietnam, bosan makan mie khas sana, saya pun mencari seafood, mumpung di pinggir pantai dan sungai. Malam hari berjalan kaki, saya menemukan restoran seafood yang sangat ramai pengunjung. Saya pun duduk di meja pendek dan dingklik. Restoran yang lebih mirip warung ini joroknya minta ampun, lantainya penuh dengan sampah makanan. Problem selanjutnya adalah gimana ngomongnya untuk memesan makanan? Si waitress berinisiatif memberikan selembar kertas bertuliskan menu dalam bahasa Inggris. Curiganya ia tidak bisa menerjemahkan semua makanan karena hanya ada beberapa pilihan. Saya pun menunjuk-nunjuk menu. Hasilnya? Datanglah nasi, mayones, dan sepiring cumi kukus – padahal saya pesan cumi bakar! Sungguh seafood dengan paduan teraneh! Saya pesan lagi udang bakar dengan menunjuk makanan meja sebelah. Kulit udangnya dibuang ke mana? Si waitress menunjuk lantai! Oalahh pantas!
Saya sungguh kasihan dengan orang yang alergi seafood, biasanya sih alergi dengan shellfish. Duh, makanan begitu enaknya kok nggak bisa? Si Yasmin sendiri sangat doyan seafood tapi kadang alergi kalau tidak segar. Saya pernah lihat mukanya jadi moon face alias mukanya bengkak bak bulan karena makan lobster di Pelabuhan Ratu. Kabar buruk, bulan lalu saya medical check up, ketahuan lah bahwa kolesterol saya cukup tinggi. Dokter menyarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi termasuk udang dan kepiting! Haduh!
February 13, 2012
Disiksa Kurisi

Pagi hari kapal masih sepi
Misool dan kepulauan sekitarnya memang paling indah dibanding daerah lainnya di Raja Ampat. Tapi tempat yang luar biasa indah bak surga itu tentu ada “jebakan betmen”-nya. Ya, tidak segampang itu mencapai Misool! Maklum, semakin jarang ada manusia, maka semakin indah alamnya. Misool yang menjauh sendiri lokasinya di selatan Raja Ampat sampai saat ini aksesnya masih sangat terbatas. Kapal reguler Sorong-Misool hanya ada minimal seminggu sekali, itupun dengan jadwal yang nggak jelas. Mau sewa speed boat sendiri bisa, tapi harganya mencapai Rp 10 juta! Jadi pilihannya: punya duit banyak atau waktu yang panjang.
Kami sangat tertolong saat berangkat Sorong-Misool bisa nebeng kapal milik salah satu LSM, tapi pulangnya terpaksa harus menggunakan kapal perintis. Sebenarnya masih betah banget tinggal di Misool, tapi kalau harus menunggu seminggu lagi takutnya tidak terkejar pesawat ke Jakarta. Dari Harfat Homestay jam 10.30 pagi, kami diantar naik boat ke kapal bernama KMP Kurisi yang bercat putih dan berkarat. Setelah susah payah memanjat pinggiran kapal… jreng, terjebaklah saya ke dalam lautan manusia!
Sebenarnya KMP Kurisi adalah kapal jenis Roro, alias kapal kargo pengangkut kendaraan beroda sehingga bagian tengah dan belakangnya kosong – jadi bukan kapal yang diperuntukkan untuk penumpang manusia. Namun kapal telah dimodifikasi dengan dipasangnya tenda terpal pada atapnya dan papan-papan kayu pada lantainya agar penumpang dapat duduk tidak kena terik matahari. Ratusan orang segala umur tumpah ruah di situ, persis kayak militer mau perang, atau lebih parahnya lagi, kayak pengungsi. Mau jalan harus berhati-hati takut menginjak kaki bahkan kepala orang yang sedang tidur. Bawaan mereka pun bukan hanya tas, tapi juga kardus, karung, peti, ikan, dan sembako.

Selamatkan dirimu!
Saya diperkenalkan dengan salah seorang ABK (Anak Buah Kapal) yang menerima side job dengan menyewakan kabin kamarnya yang tak berjendela di lantai dua. Di dalam kabin hanya ada tempat tidur susun ukuran kecil dan space kosong di lantai yang selebar pantat. Di luarnya, tempat jalan umum pun sudah dikapling para penumpang dengan tikar sewaan. Ada juga ruangan di samping kabin yang terdapat belasan kursi, TV rusak, dan satu lemari bercat pink yang digembok berisi… life jacket! Saya langsung mual, membayangkan keadaan darurat dimana ratusan orang berebutan membuka lemari dengan paksa.
Kabar buruknya lagi, kami diberitahu ABK itu bahwa KMP Kurisi kecepatannya 7 knot, jadi Misool-Sorong ditempuh dalam waktu 15 jam atau bakal nyampe jam 3 pagi! What? Itu kan lambatnya sama kayak kita naik sepeda dari Jakarta ke Bandung! Baru sadar bahwa tebengan speed boat minggu lalu itu bagaikan naik mobil karena hanya 3 jam. Haduh, bagaimana menghabiskan waktu 15 jam di kapal kacrut dan sumpek macam ini? Padahal saya sudah pernah naik segala jenis kapal laut. Kapal feri dari Lampung ke Merak adalah yang terburuk di dunia, tapi hanya 3 jam. Rekor terlama saya naik kapal pun 7 hari, tapi naik kapal phinisi yang mewah. Namun baru kali ini saya merasa waktu berjalan sangat lambat! Setiap lihat jam, penambahannya hanya tiap 15 menit.
Awalnya masih lucu, saya, Nina dan Yasmin ngobrol-ngobrol sambil memperhatikan orang lalu lalang. Sejam kemudian kapal berhenti dan mengangkut ratusan penumpang lagi! Sepertinya memang tidak ada batasan jumlah penumpang. Weleh, kapal makin ramai dan sumpek! Lama-lama perut mulai keroncongan, saya pun pergi ke kantin. Ternyata kantin tidak menjual nasi dan lauk pauk, tapi hanya pop mie! Baru ambil satu, eh tau-tau udah abis aja dibeli orang. Saya langsung stres, masih ada belasan jam tanpa makanan berat – padahal ketakutan terbesar saya adalah kelaparan. Saya menyesal tidak minta dibawakan makanan dari homestay karena katanya di kapal ada yang jual. Sejam kemudian, giliran Nina ke kantin. Dan kantin tutup begitu saja! Aww! Kami pun makan kue bolu sisa sarapan sambil melihat para penumpang lain asyik makan dari rantang bawaan sendiri. Ada nasi, ikan goreng rica, sayur singkong. Gleg!

Uwel2an di kabin
Berjam-jam kemudian kami mati gaya. Memotret dengan gaya biasa sampe gaya ngaco udah bosan, mengedit foto dengan berbagai macam efek udah kelar, baca buku udah tamat, main Angry Bird di Iconia udah sampe mentok levelnya. Mau ngapain lagi, coba? Diperparah lagi dengan kabin yang cuma muat dua orang sehingga kami bertiga harus bergantian keluar-masuk. Oh, badan udah basah keringat, mau ngomong pun yang keluar kebanyakan huruf ‘h’ saking lelahnya.
Tepat jam 7 malam, saya pergi lagi ke kantin, dan… pop mie sudah habis! Berkaca dari pengalaman makan siang, saya langsung kalap membeli biskuit, kacang, air mineral, teh kotak, masing-masing dikali tiga seharga Rp 50 ribu. Benar saja, setelah itu kantin diserbu penumpang. Zet! Habis semua dagangan yang ada di kantin! Penjaga kantin langsung menutup kios, dengan cueknya mereka membuang sampah makanan dan botol minuman langsung ke laut! Kembali ke kabin, setengah menangis kami “makan malam mini” bersama.
Tentu lama-lama perut kami berontak. Saya jadi ingat ada seorang pria yang menawarkan “Nasi goreng! Nasi goreng!” dengan suara lantang. Cling! Saya langsung jelalatan mencari orang yang berpakaian kuning dan membawa balon itu. Tiba-tiba suaranya makin dekat, saya pun mencegatnya dan bertanya, “Kau tadi bilang jualan nasi goreng. Mana nasi gorengnya? Kami lapar sekali!”
“Nasi goreng? Tarada!” jawabnya sambil tersenyum.
“Loh kok nggak ada? Trus, kenapa kau tawarkan nasi goreng?”
“Maksudnya, kalau nanti kapal mendarat di Sorong, baru saya masak nasi gorengnya. Kalau sekarang tarada nasinya.”
“Berarti kau menipu dong?”
“Tidak! Kan hanya bercandaa…”
Sialan, joke-nya nggak lucu sama sekali! Mungkin dia memang tukang jual balon, dan “nasi goreng” itu adalah strateginya untuk menarik perhatian pembeli. Tapi, sekapal aja nggak ada yang jualan makanan, masa dia nekat jualan balon? Kami pun tertawa guling-guling karena kena tipu orang gila!

Ada yg tidurnya imut
Perut lapar, orang tumpah ruah, dan sumpek kepanasan merupakan kombinasi yang mematikan selama belasan jam di dalam kapal ini. Air minum yang cuma sebotol 600 ml itu saya irit-irit karena tidak punya stok lagi, plus malas ke toilet di lantai bawah karena harus berjuang untuk berjalan di antara lautan manusia. Malam itu sebagian besar penumpang tidur, atau pura-pura tidur. Sebagian lagi masih ada yang berjudi kartu, main catur, atau mendengarkan lagu dari handphone tanpa headset sehingga segala macam musik terdengar bersahutan. Saya sempat tidur sebentar di kabin yang terasa seperti sauna saking panasnya, tapi terbangun karena digigit kutu busuk yang bikin badan bentol-bentol dan gatal luar biasa. Duh, lengkap sudah penderitaan saya disiksa Kurisi!
Trinity's Blog
- Trinity's profile
- 235 followers

