Trinity's Blog, page 18

April 10, 2014

Gadget freak in Cuba

Plaza Vieja, Old Havana, Cuba


Saya pikir saya gadget freak, mengalami ketergantungan terhadap gadget. Tiada hari tanpa “main” smart phone, laptop/ tablet, internet/wifi. Kecuali tidur, setiap menit mesti terkoneksi dengan segala macam akun social media seperti Twitter, Facebook, Foursquare, YouTube.


Namun sebulan di Kuba membuka mata saya. Kuba adalah salah satu negara paham komunis bersistem sosialis yang masih tersisa di dunia. Ia juga negara yang bertahan tanpa hubungan dengan Amerika Serikat, meski bertetangga. Tinggal di Kuba bagaikan kembali ke tahun 1960an dimana semuanya tampak jadul. Mobil tua, rumah tua, hotel tua. Jarang ada bangunan baru, apalagi gedung bertingkat tinggi. Pemerintah Kuba menguasai hampir segala yang ada, mulai dari tanah, perusahaan, sampai media massa.


Karena segalanya dikuasai pemerintah, hampir semua harkat hidup orang Kuba dikontrol pemerintah. Kuba adalah salah satu negara yang paling tinggi tingkat penyensorannya. Koran, radio, TV beritanya dimonopoli pemerintah, seperti zaman Orde Lama kita. Parahnya lagi, internet di Kuba pada dasarnya tidak eksis karena kepemilikan akses internet pribadi tidak diperbolehkan. Hanya hotel dan perusahaan tertentu yang diberi lisensi, itupun dimonitor dengan kecepatan yang sangat lambat dan harga yang sangat mahal. Lupakan buka Facebook, buka Gmail saja sulit!


Keadaan diperparah lagi dengan ponsel saya yang bernomor provider asal Indonesia tidak nyala karena tidak ada kerja sama roaming internasional. Harap “maklum”, telepon selular di Kuba baru masuk tahun 2008 sehingga warga Kuba pun jarang ada yang memiliki ponsel, kalau ada pun modelnya ponsel jadul (bukan smartphone). Waduh, hidup saya bagaikan terputus dengan dunia luar! Bayangkan di era dimana orang antarnegara sudah melakukan video call via smartphone, di Kuba SMS aja nggak bisa!


Dua hari pertama saya masih merasa baik-baik saja. Karena banyak hal baru di Kuba, saya tidak berkeinginan untuk membuka smart phone/laptop. Hari ketiga, smartphone saya buka-tutup berkali-kali karena sudah kebiasaan, padahal jelas-jelas pada layarnya tertulis “SOS, Emergency Call” yang berarti tidak ada sinyal sama sekali. Gilanya, saya masih berharap ada keajaiban. Kalau masuk restoran, saya buka wifi berharap ada yang nyangkut. Boro-boro ada notifikasi “connection available”, baru kali ini smartphone saya tidak mendeteksi ada apapun di udara!


Saya mulai blingsatan. Saya merasa ketinggalan berita, nggak gaul, nggak tahu apa yang terjadi di dunia, takut ada tagihan yang tidak bisa dibayar online sehingga kena denda, takut terjadi apa-apa tapi saya tidak bisa menghubungi/dihubungi. Bagaimana bisa tahu tempat apa yang akan saya tuju selanjutnya kalau tidak bisa browsing? Bagaimana cuacanya? Bagaimana mem-booking penginapan di kota selanjutnya? Bagaimana kalau hotelnya penuh? Semua hal-hal yang biasa saya lakukan dengan smartphone dan internet tiba-tiba mandeg.


Saya jadi ingat pemandangan jamak di Jakarta, dimana sekeluarga makan malam di restoran tapi kedua orang tuanya asyik pencat-pencet tuts smartphone dan kedua anaknya asyik main game di tablet. Di Kuba, anak-anak tidak ada yang punya gadget, mereka main di taman, di lapangan, di pantai bersama teman-teman sebaya atau keluarganya. Orang tua ikut bermain bersama anak-anak, dan makan malam bersama di meja sambil ngobrol. Aktivitas antarmanusia jelas lebih dihargai daripada pertemanan dunia maya. Lebih jauh lagi, kecelakaan lalin berkurang karena tidak ada yang berbicara/SMS di ponsel.


Bagaimana hidup saya di Kuba? Ternyata tidak sesulit yang saya sangka. Saya memesan penginapan di kota selanjutnya melalui telepon dari penginapan sebelumnya. Dengan demikian bahasa Spanyol saya jadi lebih maju. Saya memesan bus dengan cara datang ke terminal sejam sebelumnya. Saya minta dijemput pada jam yang sudah ditentukan karena bus di Kuba tepat waktu. Pada akhirnya, saya jadi lebih banyak mengobrol dengan orang lokal dan menikmati pemandangan, dan pada malam hari saya jadi lebih berkonsentrasi menulis karena tidak ada internet. Satu hal lagi, saya tidak lagi jadi “fakir wifi” atau “fakir charger”.




*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 10, 2014 00:04

March 31, 2014

[Adv] Serunya main di Legoland Malaysia!

Legoland Hotel


Waktu masih kecil, saya suka main Lego. Sebenarnya sih punya abang saya, tapi kan suka ikut-ikutan main. Itu semacam batu bata pipih terbuat dari plastik kecil berjendol yang dibangun untuk membentuk sesuatu, seperti rumah, mobil, robot, dan lain lain. Tau nggak, mainan edukatif yang mendunia ini berasal dari Denmark sejak 1949! Setelah setua gini dan udah nggak main Lego, saya baru tahu bahwa ada Legoland Malaysia Resort yang dekat, yaitu di Johor Bahru, Malaysia – hanya 2 jam terbang direct naik Air Asia dari Jakarta! Harus saya akui, Malaysia memang oke banget bisa buka Legoland pertama di Asia, setelah ada di Denmark, AS, Inggris, dan Jerman.



Kamar bertema Kingdom


“Lucunyaaa…!” adalah kata yang keluar dari mulut saya saat tiba di Legoland Hotel. Bangunan hotel yang bertingkat tujuh ini berwarna-warni primer khas Lego. Lobby-nya dihiasi dengan kapal dan istana, lengkap dengan tempat bermain Lego di bawahnya.  249 kamar di hotel ini dikhususkan untuk keluarga, jadi sekamar bisa diisi oleh 5 orang dengan 2 kamar terpisah, 1 kamar dengan king bed untuk orang tua, 1 kamar lagi bersisi bunk bed dengan 3 bed. Tamu boleh memilih tema kamar, yaitu Pirate, Kingdom, atau Adventure. Kamarnya dibuat child friendly, bahkan wastafel di kamar mandi ada 2, untuk dewasa dan anak-anak. Kamar juga dilengkapi dengan 2 TV dan seperangkat mainan Lego. Yang bikin berdecak kagum, hiasan dan pajangan di seluruh hotel ini terbuat dari Lego! Ih, gemetz!


Miniatur KL terbuat dari Lego!


Keluar dari pintu belakang hotel, langsung berada di gerbang Legoland Theme Park. Taman bermain ini terbagi ke dalam 7 tema, yaitu The Beginning, Miniland, Imagination, Lego Technic, Lego Kingdom, Land of Adventure, dan Lego City. Favorit saya adalah Miniland karena terdapat miniatur landmark dan kota di dunia yang terbuat dari Lego, seperti kota mini Kuala Lumpur lengkap dengan Twin Tower setingggi hampir 10 meter, ada Taj Mahal, Angkor Wat, dan Indonesia yang diwakili oleh Pura Tanah Lot Bali!


Karakter Lego


Sebagai adrenaline junkie, saya doyan naik extreme rides. Favorit saya adalah The Dragon roller coaster, Dino Island yang jatuh di air terjun setinggi 12 meter, dan Project X roller coaster setinggi 18 meter dan berkelok di 15 sudut. Tenang aja, roller coaster-nya nggak terbuat dari plastik Lego kok! :) Mau yang santai-santai, naik ke Observation Tower setinggi 41 meter dan nonton bioskop 4D. Awal bulan ini baru diluncurkan film 4D dan cluster terbaru di Miniland, berjudul “Legends of Chima”. Jangan lupa juga, nonton parade dan foto bareng sama karakter Lego seperti Emmet dan Wyldstyle. Ah, seru banget!


Legoland Water Park


Baru buka pada Oktober 2013, di sebelah theme park ada Legoland Water Park yang terbesar di dunia. Ada 20 luncuran air, kolam arus, kolam ombak, dan tentu mainan dan model Lego di mana-mana. Kalau Anda suka luncuran yang serem-serem, langsung jalan ke bagian belakang deh! Favorit saya Red Rush, Twin Chaser, Brick Blaster, Wave Rider, Tidal Tube dan Slide Racers. Secara Johor panas dan saya doyan berenang, saya seneng banget main di sini! Dan… life guards-nya ganteng-ganteng loh! Maklumlah, saya suka meleleh liat cowok yang jago berenang. Hihihi!


Maka, marilah segera merencanakan liburan selanjutnya ke tempat yang menyenangkan macam begini!


How to get there


Air Asia terbang direct dengan menggunakan Airbus 320 melayani rute Jakarta (CGK)-Johor Bahru(JHB) pp 4x seminggu, Bandung (BDO)-Johor Baru (JHB) pp 4x seminggu dan Surabaya (SUB)-Johor Bahru (JHB) pp setiap hari. Bisa juga terbang ke Singapura dan naik bus ke Johor selama kira-kira 1,5 jam.


Tips


Karena Legoland Theme Park masih baru jadi pepohonannya belum rindang sehingga panas. Jangan lupa pake sunblock, atau bawa topi.

Kalau mau main luncuran seru di Legoland Water Park, pastikan pake baju renang beneran karena baju biasa (celana pendek/tank top) dilarang naik.

Semua makanan yang disediakan di Legoland Malaysia ini bersertifikat halal. Imbasnya, di sono nggak ada yang jual alkohol :)


What to do


Selain Legoland, di sekitarnya ada tempat-tempat menarik seperti ke Puteri Harbour Family Theme Park di mana ada Sanrio Hello Kitty Town (tau kan ikon kucing lucu ini?), The Little Big Club (bermain sama Thomas & Friends, Barney, Bob the Builder, Angelina Ballerina dan Pingu), dan LAT’s place (animated themed restaurant yang menampilan karakter ciptaan kartunis Malaysia yang legendaris, Lat). Malam hari bisa nongkrong di kafe dan bar di Waterfront.

Yang suka belanja barang branded, saya sangat menyarankan ke Johor Premium Outlets (JPO) yang merupakan cabang FO dari AS. Sekarang sudah ada lebih dari 130 brand yang diskonnya 25% – 65% setiap hari. Seneng karena ada brand favorit saya seperti Gap, Adidas, Nike, Columbia, dan Swatch!


Quiz


Saya bagi-bagi GRATIS 3 tiket Combo Adult (Legoland Theme Park dan Water Park) yang berlaku sampai 30 Juni 2014, total worth RM 525 lho! Caranya gampang, twitpic ke Twitter @TrinityTraveler fotomu dengan buku-buku saya selengkap dan seunik mungkin dengan menggunakan hashtag #TNTquizLego. Saya tunggu sampai 30 April 2014 ya!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 31, 2014 04:04

March 2, 2014

Indonesia di mata orang Amerika Selatan

Ini prekuel dari blogpost sebelumnya.


Setiap saya traveling ke luar negeri, saya selalu penasaran apakah orang tahu tentang Indonesia. Negara-negara yang letaknya dekat dengan Indonesia pasti tahu, terutama sesama Asia dan orang asal Australia. Orang dari negara-negara Eropa paling tahu tentang Indonesia, karena budaya travel di sana memang mendarah daging sehingga tidak sedikit dari mereka yang sudah pernah ke Indonesia.


Sepanjang pengalaman saya, orang dari Amerika Utara sedikit yang tahu Indonesia, bahkan pengertiannya sering ngaco. “Indonesia yang dekat sama Bali!” atau “Saya tahu Indonesia, itu dekat Maladewa kan?” atau “Oh, saya pernah ke Jepang. Dekat kan?” Itu baru soal lokasi. Belum lagi cap yang ditempel sebagai “negara teroris” yang sungguh sangat mengganggu.


Bagaimana dengan orang dari benua Afrika dan Amerika Selatan? Karena letak kedua benua ini paling jauh dari Indonesia, rupanya satu sama lain merasa tidak penting. Ketika saya berada di Namibia atau di Ekuador dan mengatakan saya berasal dari Indonesia, sebagian orang sana akan mengernyitkan dahi sambil berkata (atau dengan nada bertanya), “Huh? Indonesia?”. Reaksinya mungkin akan sama seperti saya ketika bertemu orang yang berasal dari Angola atau Guyana. Selanjutnya akan berkomentar, “Wah, jauh banget!” – karena cuma itu yang mereka tahu. Jauh. Entah di mana.


Suatu sore saya berkenalan dengan seorang bapak-bapak di warung kopi di Cartagena, Kolombia. Ketika saya beritahu bahwa saya dari Indonesia, ia langsung membuka agendanya di halaman paling belakang. Rupanya beberapa halaman itu berisi peta dunia berwarna. Ternyata itu hanya peta Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Eropa! Lah, ke mana benua Afrika dan Asia? Nggak penting ya?


Untungnya orang Amerika Selatan tidak menganggap Indonesia negara teroris. Tapi pengertian mereka tentang Indonesia adalah negara yang penuh dengan bencana alam, seperti gempa, gunung meletus, dan tsunami. Bahkan tsunami begitu “ngetopnya” sehingga sering  menjadi top of mind orang Amerika Selatan ketika mendengar kata Indonesia. Rupanya berita media massa yang sampai di benua ini hanyalah tentang bencana alam karena begitu dahsyatnya. Kecuali beberapa orang tua yang saya temui, mereka mengenal Indonesia sebagai “Yang presidennya Sukarno ya?”


Saya merasa sangat bangga ketika berada di Brasil dan ditanya asal saya. Sebagian besar orang Brasil yang saya temui tahu Indonesia, bahkan saya merasa jadi “superstar” karena mereka cinta Indonesia. Rata-rata komentar mereka tentang Indonesia begini, “Wah, Indonesia adalah negara paling indah di dunia! Kalian punya pantai-pantai yang bagus dan ombaknya keren banget!”


Saya jadi bingung. Kalau ada peta dunia yang dibentangkan, Indonesia sangat kelihatan dari bentuknya. Ia hampir sebesar benua yang berada di antara Asia dan Australia. Kalau pulau-pulau Indonesia dijadikan magnet suvenir, bentuknya sudah tidak ada duanya pasti Indonesia meski tidak ada tulisannya. Tapi kata Yasmin, kita bisa dengan mudah mengenalinya karena kita orang Indonesia. Nah, masalahnya kalau ada piala yang ada gambar peta dunia, Indonesia pasti kelihatan, contohnya piala FIFA World Cup. Masa nggak ada yang tahu sih?


Yang lebih bingung lagi, dengan penduduk 246 juta atau nomor empat terbanyak di dunia, kok Indonesia “tidak kelihatan” ya? Apakah hanya karena lokasi yang jauh? Tapi di luar konteks traveling, jangan-jangan memang kita tidak mempunyai prestasi apapun sehingga tidak dikenal? Tidak ada perusahaan, budaya, artis, atlit yang begitu mendunia. Aduh!




*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 02, 2014 09:05

February 16, 2014

Where are you from?

Indonesia in the world map (newbali.info)


“Where are you from?” is such a common question when you travel. It is also my favorite question to ask fellow travelers just to prove my guess is right by observing their languages or physical features. But when it comes to asking where I’m from, it becomes a lot more exciting.


Most Indonesians don’t travel. Most Indonesians who travel do so in tour groups. Most Indonesians who travel in a tour group will almost always go to Asia, Australia, USA or Europe. What about an Indonesian woman traveling in Latin America? 99% of the people I met said, “Wow, you are the first Indonesian I met in my whole life!” This is said not only by the locals, but also by the fellow travelers – mostly Europeans.


Apart from that, I have just realized that Indonesia is unknown to most of Latin Americans. I’m sure most Indonesians also don’t know Chile or Guatemala, but Indonesia is a very big country with 247 million populations. That is number 4 of the most populated country in the world! When you see it in the world map, Indonesia can be identified right away. Well, that’s how I think.


I used to tweet this Q&A of “where are you from?” from my Twitter @TrinityTraveler and my followers told me to post it in my blog. I intended to write in English so I can share this story to my foreigner friends. Here are some:


Among all of Latin Americans, Brazilians are the ones who seem to adore Indonesia very much. We are their dream destination! At the very least they will say, “Indonesia? Ah, tsunami!”


In other Latin American countries, no one really knows Indonesia. But after 8 months, I finally met some locals who knew something about Indonesia – in cute ways.


Guatemalan receptionist guy: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Your country is beautiful! I watched Miss Guatemala competing for Miss World in Indonesia!


Guatemalan Tuk Tuk driver: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Oh that’s very far! More than 25 hours flight, right?


Indonesia and India is the same country in some Latin Americans’ perception because our countries share the same first 3 letters and the last 2 letters. Paraguay and Uruguay is also the same, right?


Cuban landlady: Where are you from?

Me: Indonesia

Her: Wow, I love yoga, toe rings and sari!

Me: No. That’s India.

Her: Oh it’s different?


Argentinian skateboarder guy: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Oh I have a friend who lives in Calcutta!


Indonesia has a negative top of mind. It’s true and I don’t mind, but it’s such an embarrassment.


Moroccan girl (my hostel mate in Colombia): Where are you from?

Me: Indonesia

Her: Oh that’s where a baby smoke, right? I watched it on YouTube!


Mexican man I met in a church: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Oh that’s where its government closed down the churches, right?


Indonesia is must be somewhere in Asia. Yeah, sure!


Mexican guy who sells mobile phones: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Wow, I love Manny Pacquiao!

Me: That’s Philippines

Him: Oh it’s different?


Chilean painter guy: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: Wow! Can you do Kung Fu?


Some people don’t know where Indonesia is, or what Indonesia is.


Dominican man in a Muslim prayer: Where are you from?

Yasmin (my friend): Indonesia

Him: Oh, I really want to go to Middle East!


Jamaican beach boy: Where are you from?

Me: Indonesia

Him: In… What?

Me: In-do-ne-si-aaa

Him: Inodesi? What is that? Never heard before!


Now… should I laugh out loud? Or should I cry?


For those who don’t know where Indonesia is exactly located, please look at the map I posted above. Yes, we are Asian, but it doesn’t mean we speak Chinese or can do Kung Fu.




Thanks to @aharadiran for editing this :)

 


 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on February 16, 2014 05:58

February 3, 2014

My 1 year RTW trip in 1 minute video


Kalau umumnya orang Indonesia jalan-jalan selama seminggu, Trinity jalan-jalan selama satu tahun penuh! Ia telah mencapai lebih dari 144.577 km dan berkunjung ke 22 negara di dunia. Bermula dari Rusia, ke negara-negara di Eropa Timur, lalu terbang ke Brazil dan naik bus umum keliling benua Amerika Selatan sampai Kolombia, lanjut ke negara-negara di Kepulauan Karibia sampai ke Amerika Serikat.


Ia mengunjungi Red Square di Moskow, naik kapal laut penuh pemabuk dari Swedia ke Estonia, ke negara baru bernama Republik Uzupis, menangis di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, menginap di penjara tua di Ljulbljana. Juga mendaki kota Inca yang hilang di Machu Picchu, berenang bersama ratusan singa laut di Galapagos, memancing ikan piranha di Sungai Amazon, naik kapal feri menyusuri fjords di Patagonia, menyusup ke pusat kartel narkoba di Medellin, menonton pertandingan sepak bola di Sao Paolo, keliling Kuba naik mobil kuno buatan tahun 1950an, menapaki jejak Bob Marley dan musik reggae-nya di Jamaika, sampai menyelam di gua anker peninggalan suku Maya.


Selama setahun itu, Trinity memvideokan perjalanannya. Stok videonya masih banyak! Semua dalam kualitas HD, di-shoot dengan menggunakan camcorder, berkonsep unscripted - bakal keren untuk dijadikan tayangan acara travel.

Jika ada perusahaan yang berminat, silakan menghubungi: naked at traveler at gmail dot com.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 03, 2014 22:23

January 27, 2014

My gadgets for #TNTrtw

Ultrabook Acer, Kamera Lumix, Hape S3, Camcorder Panasonic


Jalan-jalan setahun keliling dunia (#TNTrtw) wajib memikirkan masak-masak bawa gadget apa aja. Masalahnya, hidup literally di jalan dengan modal satu tas berarti nggak boleh bawa barang yang berat. Padahal masih harus bawa lagi charger, power bank, plug adaptor, colokan T.

Berikut gadget yang saya bawa:


[1] Tablet atau Laptop?

Awalnya sempat bimbang, mending bawa tablet atau laptop. Tablet memang sangat praktis dan ringan, tapi buat ngetik nggak nyaman. Kalau dipakein keyboard tambahan, ya sama aja tebelnya. Lalu saya pikir, selama #TNTrtw ini saya traveling sembari kerja menulis, baik untuk blog maupun jadi kontributor di majalah. Oleh karena itu fungsinya lebih banyak ke kerja, bukan untuk entertainment, maka saya memutuskan untuk bawa laptop. Saya bawa Ultrabook merk Acer Aspire S3 karena saat itu merupakan laptop tertipis (13.3 mm) dan ringan (kurang dari 1,4 kg) – penting banget supaya nggak pegel kalo dibawa-bawa setahun. Layar yang gedenya 13.3” dan keyboard-nya luas bikin mata dan jari-jari nyaman kalau kerja, seperti kondisi biasa di rumah.


[2] Smartphone

Salah satu alasan kenapa saya tidak membawa tablet karena smartphone saya udah cukup banget untuk melakukan seluruh hal yang ada di tablet, hanya saja layarnya lebih kecil. Smartphone yang saya bawa adalah Samsung Galaxy S III GT-I9300. Kamera 8 megapixel dengan kualitas foto yang bagus plus layar 4.8” sehingga nyaman untuk baca dan nonton video, mantap juga untuk mainan social media. Tahun lalu hape tersebut lagi ngetren abis sehingga hape saya sering dilirik orang sehingga bisa jadi pick up line. Ciyee! #modus

Saya juga bawa hape Blackberry jenis Pearl yang kecil, utamanya untuk berkomunikasi dengan ibu saya. Maklum, tahun yang lalu Android belum bisa bbm.

O ya, saya tidak pernah membeli SIM Card lokal karena dengan bermodalkan WiFi kedua hape saya itu berfungsi dengan baik. Jadi selama setahun saya benar-benar “fakir WiFi”!


[3] Kamera

Dulu saya penggemar kamera SLR, tapi sejak jadi tukang jalan-jalan, saya lebih memilih bawa pocket camera (kamera saku) karena alasan kepraktisan. Untuk #TNTrtw ini saya mencari kamera yang lebih tahan banting mengingat saya jalannya naik-turun gunung dan masuk-keluar laut. Saya pilih Panasonic Lumix DMC-FT4 karena kamera 12.1 megapixel yang bisa merekam video kualitas full-HD ini waterproof, shockproof dan dustproof! Kerennya lagi, bisa dibawa snorkeling sampai kedalaman air 12 meter, nggak apa-apa kalau jatuh dari ketinggian 2 meter, dan tahan beku sampai -10°C! Kalau saya nyasar entah di mana, kamera ini sudah ada GPS, kompas, altimeter, bahkan barometer. Kurang canggih gimana coba? Apalagi saya yang kemproh begini, sering careless sama barang elektronik.


[4] Kamera video (camcorder)

Biasanya sih saya nggak pernah memvideokan perjalanan saya, tapi  #TNTrtw ini kan spesial karena ke tempat yang termasuk paling jarang didatangi oleh orang kita. Sama seperti laptop, saya pilih camcorder yang kecil, ringan, namun sudah berkualitas Full-HD (High Definition). Saya pilih Panasonic HC-V500 karena memenuhi semua syarat itu, ditambah lagi bisa Zoom 50x. Saya akui ini kali pertama punya camcorder, jadinya semua belajar sambil jalan. Sebagian hasil videonya (yang lagi berpose) sudah di-posting di YouTube TheNakedTraveler dengan resolusi yang dikecilkan. Footage lain masih banyak lagi dengan berbagai angle, jadi kalau ada yang tertarik untuk menjadikannya program acara travel, silakan hubungi saya ya? #TeteupPromosi


[5] External hard disk

Karena tahu bakal banyak banget nyimpen file video, saya diajarin sama @edwardsuhadi untuk selalu bikin back-up. Saya beli dua hard disk, yaitu 1 Tera dan 500 GB. Setiap malam, camcorder di-transfer ke laptop, lalu ke kedua hard disk supaya aman. Pada bulan ke-6 saya beli 1 hard disk lagi di Ekuador.


Sekian lama kemudian…


Pada bulan ke-3, layanan Blackberry saya mati di Chile. Gara-garanya si Yasmin memasukkan SIM Card Chile ke dalam hape saya, dan ternyata layanan BB provider selular saya pun jadi mati.


Pada bulan ke-5, camcorder mulai ngadat di Peru. Tiba-tiba saja moncong lensanya nggak mau masuk! Mungkin karena kemasukan pasir di padang gurun. Setelah dibersihkan dengan seksama sih bener lagi. Anehnya, sejak itu dia suka tiba-tiba ngadat saat sedang di tempat “seram”, seperti di kuburan, gua, dan hutan yang sepi. Setiap dia mogok, bulu kuduk saya berdiri! Boleh percaya atau tidak, camcorder bener lagi ketika kami bilang, “Misi, bang!” lalu kami saling komat-kamit membaca doa. Udah kayak si Kumbang aja bernyawa.


Pada bulan ke-8 di Colombia tiba-tiba aja hape Samsung saya mati seada-adanya! Layarnya gelap aja gitu, nggak bisa dipencet apa-apa. Saya pun sibuk cari Service Center Samsung yang ternyata hanya ada di kota besar. Saya pergi ke Service Center di kota Medellin dan Bogota, mereka sama-sama mengatakan bahwa hape tidak dapat diperbaiki karena dibeli di Indonesia. Duh, nggak bisa lagi baca e-book, dan nggak bisa Instagram! Hikz.

Saya pun meminta balik hape Windows yang saya pinjamkan ke Yasmin. Saya baru tahu kalo saat itu Windows nggak punya apps Instagram. Dobel betenya!


Yang sampai pulang masih baik-baik aja adalah kamera Lumix saya. Memang terbukti tahan banting! Ultrabook Acer saya juga baik-baik aja, hanya bantalan karet di dasar laptop udah coplok.


Lesson learned


- Kalau sedang berada di pegunungan setinggi ribuan meter, alat elektronik harus dimatikan saja, terutama smartphone. Manusia aja bisa kena mountain sickness, rupanya gadget pun demikian.

- Setahun itu ternyata banyak yang terjadi di dunia per-gadget-an. Barang semakin cepat obsolete. Kecuali hape, semuanya tidak tersedia lagi di pasaran karena sudah ada produk baru yang berjenis sama namun lebih advance.

- Jagalah baik-baik gadget Anda. Sebagian besar traveler yang saya temui pernah kecopetan gadget-nya. Saran saya, saat berada di tempat/kendaraan umum, jangan biasakan main hape. Lebih aman meninggalkan gadget di dalam safety box/locker/ransel yang terkunci di hostel. Kalau sedang men-charge gadget, selalu tunggui di dekatnya.

- Yang terpenting, enjoy your journey! Jangan terlalu terlalu disibukkan dengan bermain gadget sehingga lupa untuk menikmati pemandangan atau ngobrol dengan real humans. Saya pernah sebulan tidak ada sinyal hape maupun internet sama sekali di Kuba, dan saya tetap hidup kok!


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 27, 2014 09:38

January 6, 2014

Reciprocal Visa

Lake Titicaca yang memisahkan Peru dan Bolivia (taken by Panasonic Lumix DMC-FT4)


Hari ke-140 #TNTrtw


Bila Anda menganggap apply visa Amerika Serikat atau Eropa itu sulit, tunggu sampai Anda apply visa ke negara Bolivia yang tidak memiliki kedutaan di Indonesia. Negara kecil yang hampir tidak terdengar di dunia ini “menggetok” syarat visa bagi WNI yang sungguh tidak masuk akal. Bayangkan, meski sudah berada di Puno, perbatasan Peru-Bolivia, saya tetap harus menyertakan tiket pesawat bolak-balik Indonesia-Bolivia dan reservasi hotel yang sudah dibayar. Harus memiliki surat keterangan kelakuan baik dari polisi Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol tersumpah dan dilegalisir. Harus menyertakan surat keterangan dari dokter di Indonesia yang menyatakan sehat dan tidak membawa penyakit menular, disertakan dengan sertifikat suntik yellow fever – semuanya diterjemahkan dan dilegalisir. Kalau semua dokumen sudah lengkap, maka proses visa ini akan memakan waktu selama 2 bulan dengan membayar USD 135! Gila!


Bukankah dengan makin banyak turis masuk ke suatu negara maka makin baik? Rupanya tidak bagi Bolivia. Memang salah satu ketakutan negara adalah masuknya imigran gelap. Saya yakin cukup banyak (oknum) Warga Negara Indonesia yang tinggal secara ilegal di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Mereka pula lah yang membuat turis biasa yang niat jalan-jalan menjadi lebih sulit dapat visa. Tapi ngapain kita kerja, apalagi ilegal, di Bolivia – negara yang lebih miskin daripada kita?


Ketika saya curhat kepada teman saya asal Eropa mengenai paspor RI yang tidak laku di sebagian besar negara di dunia, ia mengatakan bahwa visa itu sistemnya adalah reciprocal, artinya atas persetujuan kedua negara yang disebut sebagai visa weaver agreements. Bisa jadi pemerintah Indonesia saja yang kurang bernegoisasi dengan negara lain. Saya langsung terhenyak.


Sejak 20 tahun yang lalu saya traveling keliling dunia, daftar negara yang bebas visa bagi pemegang paspor Indonesia tidak banyak berubah. Sekarang hanya nambah Laos, negara tetangga. Kita bisa masuk tanpa visa ke negara-negara anggota ASEAN, kecuali Myanmar. Juga bebas visa ke Hongkong, Macau, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika yang udah pasti jarang banget warga kedua negara saling berkunjung.


Herannya, kita dan Timor Leste yang bekas propinsi RI pun tidak saling bebas visa. WNI yang ke sana di-charge Visa on Arrival USD 30, padahal warga Timor Leste ke Indonesia hanya di-charge USD 25. Wew, “harga diri” kita lebih murah USD 5 dong! Lebih sakit hati lagi, membandingkan puluhan negara yang bisa masuk ke Indonesia hanya dengan Visa on Arrival sementara kita masih tetap “jungkir balik” apply visa sana-sini. Silakan protes kepada saya, tapi bukankah itu artinya negara kita memang inferior?


Ketika saya menyentil hal ini via Twitter, salah seorang pejabat menjelaskan, “Negosiasi untuk visa waiver ini sangat panjang untuk paspor diplomatik, apalagi paspor reguler”. Duh, pernyataan clitoris eh retoris banget! Saya pun membalasnya, “Kok Thailand dan Filipina bisa, kita nggak?”


Ya, saya masih terima bahwa paspor RI sulit apply visa, namun kalau negara tetangga kita bisa, mengapa kita tidak? Tahukah Anda bahwa paspor Singapura dan Malaysia bisa bebas masuk Eropa tanpa visa? Karena mereka memang negara lebih maju, saya “rela”. Namun ternyata pemegang paspor Thailand dan Filipina lebih banyak jumlah negara yang dapat bebas visa daripada Indonesia. Suriname yang nenek moyangnya orang Indonesia, justru paling ribet syarat visanya bagi WNI, padahal pemegang pasport Filipina bisa bebas masuk (WN Suriname bisa masuk Indonesia hanya dengan Visa on Arrival)! Thailand bisa bebas masuk Brazil dan Korea Selatan tanpa visa. Bahkan Vietnam bisa masuk Bolivia hanya dengan Visa on Arrival. Nah lho, salah siapa coba?


Bicara soal reciprocal, saya sangat salut dengan pemerintah Brazil. Mereka memberlakukan peraturan keimigrasian yang menyatakan bahwa warga negara Amerika Serikat wajib membayar visa USD 140/orang untuk masuk ke negaranya karena pemegang paspor Brazil juga dikenakan charge USD 140 untuk masuk ke Amerika Serikat. Teman saya yang warga negara AS menerima kwitansi pembayaran visa Brazil dengan kalimat yang diterjemahkan kira-kira begini  “ini adalah bukti pembayaran visamu, karena negaramu juga men-charge visa kepada warga kami”. Inilah reciprocal dalam arti sebenarnya! Hebat bukan?


Argh, saya memang buta dengan hubungan diplomatik antarnegara. Mungkin memang negara-negara yang saya kunjungi tidak ada untungnya bagi pemerintah kita sehingga tidak penting memberikan visa waiver. Saya jadi penasaran sampai saya buka situs Kemenlu. Apa yang saya temui? Di bagian Landasan, Visi, Misi Politik Luar Negeri, salah satu strategi Kemenlu adalah “Memperluas perjanjian bebas visa diplomatik dan dinas dengan negara lain”. Jiaaah… pantesan pemegang paspor hijau milik rakyat biasa nggak digubris, lah yang diurusin paspornya dhewek!


Saya pun mewek karena gagal menjelajahi Salar de Uyuni, dataran garam terluas di dunia, padahal Bolivia sudah membentang di depan mata…




*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan April 2013.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2014 11:16

December 15, 2013

Kepuasan jalan-jalan sesungguhnya*

Machu Picchu, tempat favorit kaburnya anggota DPR


Saya tertawa miris ketika membaca berita tentang rencana rombongan DPR yang akan studi banding ilmu santet ke Eropa dan menghabiskan anggaran Rp 6,5 milyar. Tidak menyangka saat di Peru saya mendengar kabar bahwa ada beberapa anggota DPR yang akan berkunjung ke Machu Picchu. Siapa yang tidak ingin bertemu wakil rakyat di negara nun jauh ini? Saya pun browsing. Ternyata ada 11 anggota DPR yang ikut sebuah meeting di Quito, Ekuador, 22-27 Maret 2013. Saya pun masuk ke situs acaranya, dan tambah terkejut karena selain 11 anggota DPR masih ditambah lagi 18 orang staf, mulai dari sekretaris sampai interpreter, sehingga menjadikan RI sebagai salah satu negara yang membawa delegasi terbanyak! Wah, berapa biaya yang dihabiskan untuk mengirim 29 orang ini ya? Segitu pentingnya kah? Saya tambah syok ketika tahu bahwa empat orang anggota DPR tersebut melipir ke Machu Picchu di Peru pada tanggal 24-27 Maret 2013! Salah seorang di antaranya adalah anak mantan presiden RI, seorang lagi adalah mantan jurnalis TV terkenal yang dapat banyak penghargaan! Mungkin mereka menggunakan uang pribadi (ehem), tapi mereka pergi pada saat meeting masih berlangsung!


Sudah bukan rahasia lagi bahwa menjadi anggota DPR itu sangat menggiurkan. Siapa yang tidak mau gaji Rp 50 juta/bulan, belum termasuk tunjangan? Bahkan kalau sudah pensiun, masih dapat Rp 2 juta/bulan. Tokoh-tokoh masyarakat yang tadinya vokal terhadap kebijakan pemerintah pun bisa berubah ideologi dengan menjadi anggota DPR. Dan yang paling “disiriki” rakyat adalah seringnya mereka jalan-jalan, eh kunjungan kerja, ke luar negeri. Apalagi fasilitasnya bukan main-main: pesawat kelas bisnis, hotel berbintang, plus uang saku – sehingga anggaran perjalanan dinas membengkak.


Saya jadi bertanya kepada diri sendiri. Bila saya jadi anggota DPR, apakah saya akan terikut arus juga? Apakah saya akan silau dengan kunjungan kerja ke luar negeri? Apakah saya akan membuat anggaran secara efisien dan efektif? Apakah saya akan menolak mati-matian rancangan kunjungan kerja rekan-rekan kerja sendiri? Kalau saya tetap dikirim kunjungan kerja, apakah saya akan menghabiskan semua bujetnya? Apakah saya akan membuat laporan secara transparan tentang kunjungan kerja tersebut?


Sebagai travel writer, kadang saya diundang untuk berkunjung ke suatu tempat. Memang nikmat naik pesawat kelas bisnis, tidur di resor mewah, makan di restoran fine dining, dan ke mana-mana diantar-jemput. But there’s no such thing as a free lunch. Semuanya ditukar dengan harus mengikuti acara yang sangat padat sehingga tidak bisa menikmati fasilitas sama sekali. Kembali ke rumah pun harus menulis tentang kunjungan tersebut dengan nada favorable.


Sama seperti ketika dulu saat saya masih menjadi mbak-mbak kantoran. Boro-boro ke luar kota bisa bersenang-senang, bahkan waktu untuk diri sendiri pun nggak ada. Pulangnya masih bikin laporan panjang, bahkan membuat presentasi yang harus dibagikan ke kolega-kolega lain yang tidak berangkat. Sesenpun uang yang dikeluarkan oleh perusahaan, semua harus bisa dipertanggungjawabkan.


Bedakan ketika jalan-jalan sendiri saat cuti atau liburan. Memang tidak mendapat kemewahan seperti ketika jalan-jalan yang dibayari, tapi saya bebas! Bebas menggunakan waktu, bebas mau melakukan apa saja. Percayalah, kepuasaan itu bukan karena bisa jalan-jalan gratis, tapi kepuasaan sesungguhnya adalah bila kita bisa jalan-jalan dengan menggunakan uang hasil keringat sendiri! Satu lagi, bila kita memang tidak korupsi uang dan waktu, tentu kita akan bebas memasang foto diri lagi mejeng di depan Machu Picchu pada akun Twitter maupun Facebook sendiri.




*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan Mei 2013.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 15, 2013 19:57

December 5, 2013

Nikmatnya hiking di Taman Nasional*

Parque Nacional Torres del Paine


Sudah sebulan lebih saya jalan-jalan di negara Chile. Negara itu mengandalkan alamnya sebagai destinasi wisata, terutama aktifitas hiking di Parque Nacional (taman nasional) yang menempati 20% dari luas negara. Sebagai manusia kota Jakarta yang malas jalan kaki, apalagi hiking atau kemping ke hutan, saya memilih untuk ikut trip harian supaya malamnya bisa kembali ke kota dan menginap di hostel. Sebalnya, mau hiking ataupun tidak, semua pengunjung diharuskan membayar park fee yang mahal, antara Rp 110.000 – Rp 360.000!


Setelah mengunjungi beberapa taman nasional di Chile, saya jadi rela membayar mahal karena memang sesuai dengan fasilitas dan layanan yang disediakan. Taman nasional di Chile selalu ada gerbang masuk dan bangunan berisi loket pembayaran park fee, pusat informasi, kafetaria serta toilet bersih lengkap dengan tissue. Tiket masuk selalu dibarengi dengan brosur berisi peta informatif, rules & regulations, dan kontak petugas. Peta sangat jelas, lengkap dengan pos-pos Ranger dan perkiraan waktu hiking dari satu titik ke titik lainnya.


Setiap pengecekan tiket, petugas selalu memberi tahu lagi secara lisan bahwa pengunjung harus selalu berjalan di trail yang disediakan, dilarang membuang sampah, mengganggu hewan atau merusak tumbuhan. Hal yang sama juga diberi tahu oleh staf travel agent di kota, supir bus, dan guide! Saya pernah tanpa sengaja berjalan selangkah di luar jalan setapak, guide pun mengingatkan. Sungguh salut dengan kesadaran pelaku bisnis wisata di Chile, mereka semua bahu membahu saling mengingatkan sehingga alam tetap terjaga.


Selain itu, plang informasi rute, cuaca, dan peringatan keselamatan terpasang di mana-mana. Bahkan di titik tertentu disediakan informasi edukatif mengenai hewan atau tumbuhan tertentu, bahkan tentang bagaimana terjadinya gunung A, glacier B, imigrasi hewan C, mengapa danau D berwarna biru, dan sebagainya.


Peraturan taman nasional yang ditulis di brosur pun sangat spesifik. Kalau mau pasang tenda untuk menginap, hanya boleh di tempat yang sudah disediakan dimana sudah difasilitasi dengan kamar mandi. Beberapa area bahkan dikelola oleh swasta dimana mereka menyediakan penginapan sederhana dan restoran. Pengunjung tidak boleh menyalakan api sembarangan karena dapat merusak tumbuhan atau dikhawatirkan terjadi kebakaran.


Ada lagi peraturan yang sangat hebat, antara lain: Bawalah sampah ke mana-mana, termasuk puntung rokok, dan buanglah hanya di tempat yang disediakan. Dilarang mencuci piring, menggunakan detergen, membuang sisa makanan ke dalam sungai/danau/aliran air karena airnya merupakan supply minuman semua orang. Kalau perlu buang air dan tidak ketemu toilet, harus berjalan 100 meter jauhnya dari aliran air dan jalan setapak. Kotoran harus dikubur sedalam 20 cm dan ditutup – tissue harus dibawa, bukan ikutan dikubur.


Rasanya saya langsung malu luar biasa! Zaman sekolah dulu saya sering kemping dan naik gunung, kok ya cuek aja tuh merusak tumbuhan untuk membuka jalan dan memasang tenda. Juga bikin api unggun untuk masak dan menghangatkan badan. Bahkan mencuci, mandi, dan buang air pun di sungai. Ironisnya, saya ikut klub yang disebut Pencinta Alam!


Pantas saja para hiker di Chile tidak usah berat-berat membawa botol air minuman, karena mereka tinggal meminum dari air alami yang bersih. Mereka tetap bisa mandi dan buang air di kamar mandi setiap hari meski sedang berada di hutan. Untungnya lagi, alam yang terjaga kealamiannya membuat pengunjung masih dapat melihat langsung hewan di habitatnya, seperti Guanaco (semacam Llama) dan burung Condor. Kalau hewan dan tumbuhan bisa ngomong, saya yakin mereka juga akan hepi dengan kebijakan taman nasional Chile.


Mari kita kembali ke Indonesia. Alam kita tak kalah indahnya, sumber daya manusia ada, dana ada, tapi kok ya susah dikelola dengan baik. Masalah selanjutnya: bagaimana mengubah kebiasaan buruk terhadap alam kita sendiri?




*Edited version dari tulisan ini dimuat di rubrik “Insight” Majalah JalanJalan Maret 2013.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 05, 2013 02:09

November 24, 2013

[New Release] The Naked Traveler, Across the Indonesian Archipelago (#TNTeng)

by Trinity


#TNTeng


Trinity is Indonesia’s leading travel blogger and writer. Four volumes of “The Naked Traveler” have been published to date, and have quickly become Indonesia’s best-selling travel book. Her books tell of her adventures around the world in compilations of thoughtful, entertaining and often hysterical short stories. Through her blog, books, and appearances, Trinity has inspired a young generation of Indonesians to expand their horizons through travel. For the first time in English, this compilation focuses on Trinity’s adventures in and around Indonesia, providing travelers to the region an indispensable insight into the culture and sights of this multi-faceted archipelago.


(preview from page 51-53)



From what you see of it on TV, the Komodo is truly terrifying – I will never erase the image of a goat being swallowed whole in a single huge gulp. For a whole month before we left, Yasmin, Jana and I (none of us spring chickens) were busy developing our komodo evasion techniques in case we were suddenly charged. Apparently, a komodo that is approximately three metres long and weighs 70kg (on an empty stomach) can run at 20km/h, climb trees, and swim underwater!



When the boat arrived in Komodo Island, a World Heritage Site, we were given a briefing by the guide. “There are 2,500 komodos in the park. Komodos like to eat meat, including human meat.”

One westerner was less than excited. “Can I just stay in the boat?”

But there was no backing out now. All the foreign tourists who had spent the boat ride wearing as little as possible were suddenly transformed into Indiana Jones attire, complete with hats, khaki shirts, pants and trekking boots. Of course, that left us three looking like total dorks. All we were worried about was making sure we had put on enough insect repellent.

And the dorkiness continued when the Komodo National Park ranger asked, “Who wants to go for a short trek?”

All three of us put our hands up at the same time.

“Medium trek?”

No response.

“Long trek?”

At this point the remaining 23 sets of hands shot up into the air. Damn westerners! It wasn’t all bad though as the three of us were given our own guide while the rest of the group shared the remaining two. Aside from not really wanting to go trekking, we were also glad we would not have to try to keep up with their long-legged strides.

… 


Translator/Editor: Alan Llewelyn

Publisher: B-First, PT Bentang Pustaka

Language: English

ISBN: 978-602-8864-95-4

Paperback: 204 pages

Weight: 0.26 kg

Price: IDR 79,000




FAQ


Where can I buy it?

As of 25 Nov 2013, #TNTeng is available in book stores, such as Gramedia, Gunung Agung, and Togamas, in Java and Bali. A week after will be available in Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, and other islands. You also can buy online at mizan.com or other Indonesian online book stores. The e-book via iOS and Android apps will be available soon.


Where can I find it in the book store?

Usually it’s placed under the book shelf of “Novel”, or “Pariwisata”, or “Buku Baru” right in front of the entrance.


Is it available in the book store outside Indonesia?

Not at the moment. Foreign publisher needs to get the copyright in order to publish it outside Indonesia. However, my publisher is working on it.


Is it newly written?

#TNTeng was taken from The Naked Traveler 1-4 and focuses in stories about Indonesia.


Why it’s more expensive than previous books?

Besides the increasing prices of paper and printing, translating from Indonesian language to English needs to be included.


Why should I buy?

It’s the first wittiest travel book in English written by an Indonesian! You’d want to get one to have an ultimate collection of all The Naked Traveler series! If not for you, it’s a perfect gift for your foreign families/friends for their reference to travel around Indonesia that honestly written by a well-traveled Indonesian.


What if I’m interested to buy the copyright and distribute overseas, or need more information?

Please contact my publisher, Ms. Ditta Sekar at ditta.sekar@gmail.com or call at +6281318012358


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 24, 2013 09:41

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.