Trinity's Blog, page 6

May 20, 2021

NEGARA BEBAS VISA UNTUK PASPOR INDONESIA

Meski masih pandemi, boleh dong mikir mau pergi ke negara mana selanjutnya. Tapi pandemi nggak pandemi, tetap aja kita sebagai pemegang paspor Indonesia membutuhkan visa ke hampir semua negara di dunia. Bagi yang belum paham, visa adalah izin masuk ke negara lain atau izin tinggal sementara di negara lain yang diberikan oleh pejabat pemerintah yang berwenang di negara yang dikunjungi.

Menurut Henley Passport Index, tiga besar paspor terkuat di dunia saat ini dipegang oleh negara Asia, yaitu Jepang (bebas akses ke 193 negara), Singapura, dan Korea Selatan. Bayangkan, negara Eropa yang biasanya bercokol di peringkat atas aja kalah! Sementara Indonesia sendiri berada di peringkat 72 (bebas ke 72 negara), tapi masih di bawah Timor Leste dan Thailand. Hiks.

Oleh karena itu, saya bikin daftar negara mana saja yang tidak memerlukan visa bagi pemegang paspor Indonesia. Artinya, sebelum berangkat kita tidak perlu ribet apply visa dengan setumpuk dokumen macam rekening bank, surat sponsor, bukti pemesanan tiket pesawat dan hotel, serta tidak usah bolak-balik ke kedutaan atau agen.

Daftar ini saya buat dengan tiga kategori visa sebagai berikut;

Bebas visa ini yang paling mudah, artinya kita datang ke negara tersebut dengan hanya menyerahkannya paspor ke petugas imigrasi untuk dicap visanya. Jadi tinggal mengantre doang dan tidak dipungut biaya alias gratis. Kita pasti diterima masuk ke negara tersebut, kecuali Anda masuk black list.Visa on Arrival (disingkat VoA, diterjemahkan sebagai Visa Saat Kedatangan) artinya setelah tiba di negara tersebut (umumnya di bandara internasional), kita ke loket khusus yang menyediakan visa. Biasanya kita diminta mengisi formulir dan dipungut biaya, meski ada juga yang gratis. Cara pembayaran visa ada yang harus tunai dalam mata uang Dolar Amerika atau mata uang setempat, ada juga yang gesek kartu kredit. Setelah mendapat visa, petugas imigrasi jarang sih nanya-nanya, jadi santai aja karena kemungkinan sangat besar diterima.eVisa artinya sebelum tiba di negara tersebut, kita mengajukan visa dan membayarnya secara daring (online) dengan menggunakan kartu kredit, lalu visa di-print dan diserahkan ke petugas imigrasi saat kedatangan. Mengurus eVisa nggak ribet kok, paling isi formulir dan foto. Pastikan saja alamat situs pengajuan eVisa harus yang resmi dari pemerintah negara yang bersangkutan karena cukup banyak situs hoax.

Tapi ingat ya, Anda tetap harus mengecek situs terpercaya untuk mengetahui syaratnya. Saat ke negara yang “aneh”, misalnya negara-negara di Amerika Selatan, saya sih selalu print informasi bebas visa dari situs resmi berbahasa Inggris karena kadang si petugas imigrasi tidak mengerti peraturannya, bahkan baru dengar nama negara kita.

Karena pandemi, meski kita sudah punya visa, sebagian negara mensyaratkan tes PCR, kartu vaksin Covid-19 (konon harus merk vaksin tertentu), bahkan ada yang masih harus karantina. Jadi harap dicek lagi secara berkala, apalagi negara kita termasuk zona merah. Ya berharap aja deh pandemi cepat kelar biar bebas dan mari menabung dari sekarang!

Yang abu-abu yang butuh visa. Sumber: wikipedia

Anyway, berikut daftar negara berdasarkan wilayah, kategori visa, dan durasi tinggal per 20 Mei 2021;

Asia
Bangladesh – Bebas visa 30 hari
Brunei – Bebas visa 14 hari
Kamboja – Bebas visa 30 hari
Filipina – Bebas visa 30 hari
Hong Kong – Bebas visa 30 hari
India – eVisa 90 hari
Jepang – Bebas visa 15 hari, diurus di Kedutaan Jepang sebelumnya
Kazakhstan – Bebas visa 30 hari
Kyrgyzstan – eVisa / visa on Arrival 30 hari
Laos – Bebas visa 30 hari
Makau – Bebas visa 30 hari
Maladewa – Visa on Arrival gratis selama 30 hari
Malaysia – Bebas visa 90 hari
Myanmar – Bebas visa 14 hari
Nepal – Visa on Arrival 90 hari
Pakistan – eVisa selama 90 hari
Singapura – Bebas visa 30 hari
Sri Lanka – Bebas visa gartis 30 hari
Tajikistan – eVisa selama 45 hari
Thailand – Bebas visa 30 hari
Timor-Leste – Bebas visa selama 30 hari
Uzbekistan – Bebas visa 30 hari
Vietnam – Bebas visa 30 hari

Eropa
Armenia – eVisa / Visa on Arrival 120 hari
Azerbaijan – eVisa / Visa on Arrival 30 hari
Belarusia – Bebas visa 30 hari di Bandara Minsk
Georgia – eVisa 30 hari
Moldova – eVisa 90 hari
Rusia – eVisa 16 hari
Serbia – Bebas visa 30 hari
Turki – eVisa 30 hari
Ukraina – eVisa 30 hari

Amerika
Brasil – Bebas visa 30 hari
Chili – Bebas visa 90 hari
Ekuador – Bebas visa 90 hari
Guyana – Bebas visa 30 hari
Kolombia – Bebas visa 90 hari
Nikaragua – Visa on Arrival 30 hari
Peru – Bebas visa 90 hari
Suriname – Bebas visa 30 hari

Timur Tengah
Bahrain – eVisa 30 hari
Iran – Visa on Arrival 30 hari
Oman – Bebas visa 10 hari
Qatar – Bebas visa 30 hari
Yordania – Visa on Arrival 90 hari

Afrika
Benin – Bebas visa 90 hari
Cape Verde – Visa on Arrival
Comoros Island – Visa on Arrival 45 hari
Djibouti – eVisa 31 hari
Ethiopia – eVisa 90 hari
Gabon – eVisa / Visa on Arrival 90 hari
Gambia – Bebas visa 90 hari
Guinea – eVisa 90 hari
Guinea-Bissau – eVisa / Visa on Arrival 90 hari
Kenya – eVisa / Visa on Arrival 90 hari
Lesotho – eVisa
Madagaskar – eVisa / Visa on Arrival 90 hari
Malawi – eVisa / Visa on Arrival 30 hari
Mali – Bebas visa 30 hari
Maroko – Bebas visa 90 hari
Mauritania – Visa on Arrival di Bandara Nouakchott-Outounsy
Mauritius – Visa on Arrival 60 hari
Mozambik – Visa on Arrival 30 hari
Namibia – Bebas visa 30 hari
Pantai Gading – eVisa 90 hari
Rwanda – Bebas visa 90 hari
Senegal – Visa on Arrival
Seychelles – Visa on arrival 30 hari
Sierra Leone – Visa on arrival
Somalia – Visa on Arrival
South Sudan – eVisa
Tanzania – eVisa / Visa on Arrival selama 90 hari
Togo – Visa on Arrival selama 7 hari
Uganda – eVisa / Visa on Arrival
Zambia – eVisa 90 hari
Zimbabwe – eVisa / Visa on Arrival selama 90 hari

Oseania
Cook Islands – Bebas visa 31 hari
Fiji – Bebas visa 120 hari
Marshall Island – Visa on Arrival 90 hari
Mikronesia – Bebas visa 30 hari
Niue – Bebas visa 30 hari
Palau – Bebas visa 30 hari
Papua Nugini – eVisa / Visa on Arrival 60 hari
Samoa – Visa on Arrival 60 hari
Togo – Visa on Arrival 7 hari
Tuvalu – Visa on Arrival 30 hari

Karibia
Antigua and Barbuda – eVisa 30 hari
Barbados – Bebas visa 90 hari
Bermuda – Bebas visa
Dominika – Bebas visa 21 hari
Haiti – Bebas visa 90 hari
Saint Kitts and Nevis – Bebas visa 30 hari
Saint Vincent and Grenadines – Bebas visa 30 hari

Tonton video saya tentang susahnya traveling menggunakan paspor dunia ketiga (dalam bahasa Inggris):

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 20, 2021 04:12

April 8, 2021

Cara Mudah Menulis Perjalanan

Siapa sih yang tidak suka traveling? Sayangnya karena pandemi, setahun ini perjalanan kita jadi sangat terbatas. Tapi masih ingatkah perjalanan Anda yang dulu? Bagaimana serunya sampai masih membekas dalam ingatan?

Sayang sih kalau Anda sering traveling tapi jarang atau tidak pernah menuangkannya ke dalam tulisan. Foto-foto saja tidak cukup menggambarkan perasaan, tempat, atau mungkin ribetnya perjalanan tersebut. Menceritakan perjalanan ke orang lain memang akan seru, tapi karena tidak ditulis, kita tidak punya arsipnya.

Jangan membayangkan menulis perjalanan itu sulit. Sudah lupa detil tempatnya, sekarang bisa di-google. Lupa tahunnya, bisa dikira-kira. Tapi perasaan saat perjalanan itu tetap tersimpan di memori, hanya saja perlu digali.

Tapi bagaimana menulis perjalanan yang menarik? Tergantung tujuannya buat apa. Kalau untuk arsip diri sendiri, Anda bebas kok menuliskannya. Kalau untuk ditayangkan di media sosial, perlu dicari tema yang dekat di hati tapi bermanfaat. Kalau untuk dimuat di majalah atau website tertentu, perlu ditulis dengan angle yang unik.

Perjalanan yang bisa ditulis itu tidak perlu jauh-jauh sampai ke luar negeri. Saya pernah menulis tentang Jakarta kok, bahkan lingkungan di sekitar rumah sendiri. Perjalanannya pun tidak perlu yang mewah atau sengsara untuk dijadikan tulisan, tapi bagaimana menggali ide dari perjalanan apapun dan mengemasnya ke dalam tulisan lah yang lebih penting.

Berbekal pengalaman saya memiliki travel blog pertama di Indonesia pada 2005 yang masih aktif sampai sekarang, serta menerbitkan 15 buku perjalanan termasuk seri The Naked Traveler yang super laris (bahkan 2 di antaranya telah diadaptasi menjadi film layar lebar), ditambah lagi ratusan artikel yang pernah dimuat di berbagai majalah dan website, saya akan mengajarkannya di kelas online.

Bagaimana menulis perjalanan yang menarik, informatif, bahkan yang menjual, akan saya beberkan di kelas ini. Cocok bagi Anda yang ingin menulis perjalanan pribadi di media sosial, blog, atau jadi artikel yang menghasilkan upah, syukur-syukur diterbitkan jadi buku.

Jadi, ikutan aja Kelas Cara Mudah Menulis Perjanan pada Sabtu, 1 Mei 2021, pukul 16.00-17.30 WIB, via Zoom. SPP-nya hanya Rp 199.000,- termasuk bonus voucher diskon pembelian buku-buku saya di @mizanstore dan poin 5000 di aplikasi buku @rakatadotid, plus tulisan terbaik mendapatkan kesempatan untuk dimuat di travel blog naked-traveler.com.

Langsung daftar di bit.ly/kelastrinity2 secepatnya karena tempat terbatas. Tunggu reply email dari saya mengenai cara pembayaran dan link Zoom-nya. FYI, semua komunikasi dilakukan hanya via email, jadi harap cek email Anda secara berkala ya?

Mari kita ngabuburit bareng sambil menimba ilmu!
Sampai jumpa di kelas!

TTD,
Bu Guru Trinity

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 08, 2021 21:50

March 23, 2021

Akhirnya Jadi Ibu Kos!

Rumah (peninggalan orang tua) saya baru saja saya renovasi. Salah satu alasannya karena sebagian rumah mau disewakan alias mau bikin kos-kosan. Maklum sekarang saya tinggalnya sendiri, jadi rumah rasanya kegedan karena kedua orang tua sudah meninggal dan adik sudah keluar rumah. Jadi daripada punya aset nganggur, lebih baik dimanfaatkan bukan?

Sebelumnya saya tinggal di semacam paviliun berukuran sekitar 34 meter persegi di bagian depan rumah yang terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, plus ada sedikit halaman berpagar. Kamar saya itu lah yang sangat bersejarah sampai menghasilkan 15 buku!

Kamar bersejarah: sesudah (atas) dan sebelum (bawah).

Karena paviliun itu punya akses sendiri maka lebih mudah disewakan tanpa banyak mengubah bentuk bangunan. Saya tinggal menutup tembok belakang, memindahkan pintu ke depan, dan membuat pagar pembatas antara halaman kos dan garasi saya. Sebenarnya sih bisa aja bikin kos-kosan 2 pintu, atau sekalian bertingkat jadi 4 pintu, tapi bujet saya keburu habis karena renovasi seluruh rumah. Lagipula saya belum tega mengubah fasad rumah yang dibangun oleh orang tua saya.

Saya lalu browsing untuk mencari tahu berapa saya harus menghargai harga kos-kosan dengan membandingkan harga di sekitar rumah saya, juga bertanya sana-sini bagaimana terms and conditions-nya. Untuk melengkapi fasilitasnya, saya bikin dapur kecil di ruang tamu (dulunya perpustakaan), pasang water heater, pasang instalasi listrik baru dengan dengan sistem token prabayar, pasang router internet yang tercanggih, dan bikin taman. Furnitur yang saya tinggali adalah tempat tidur ukuran queen, bufet warisan buyutnya ibu saya, kulkas kecil, meja dan kursi.

Saya pun mulai sounding di medsos soal buka kos-kosan. Rame juga yang komen pengin ngekos. Saya jadi senewen sendiri. Duh, kayak apa ya ntar si anak kos? Apakah saya harus meng-interview calon anak kos dulu? Gimana kalau nantinya nggak cocok?

Isi rumah kos-kosan yang bekas tempat tinggal saya.

Ndilalah, suatu hari saya ketemu teman lama. Kenalannya sama dia lucu. Pada 2016 saya lagi jalan-jalan sendirian di Belgia. Tau-tau ada DM masuk dari mahasiswi Indonesia S2 di Leuven pembaca buku saya yang mau nemenin jalan-jalan. Jadilah kami jalan bareng seharian ke Bruges. Orangnya sepantaran dan asyik juga. Singkat cerita, dia lulus kuliah dan balik ke Indonesia untuk bekerja di Jakarta pertama kali. Saat itu lah dia cerita kalau dia sedang mencari kos karena apartemen sewaannya busuk dan bikin klaustrofobik. Karena apartemen itu jaraknya dekat dengan rumah saya, langsung lah saya tawarkan kos-kosan saya dengan syarat, “Tapi elo harus nunggu 4 bulan lagi karena sedang direnovasi!” Dia pun setuju. “Tapi, rumah gue depannya kuburan!” Dia bilang nggak masalah. Hore! Gila ya, siapa sangka dapatnya semudah itu dan semua gara-gara traveling!

Pada November 2020 akhirnya rumah selesai direnovasi. Saya balik ke rumah setelah ngekos sementara, begitu juga si anak kos pindah dari apartemen busuknya. Yeayyy, akhirnya saya jadi ibu kos! Nggak nyangka dulu pernah jadi anak kos selama lebih dari 10 tahun pas kuliah dan kerja, sekarang saya yang jadi ibu kos!

Berbekal pengalaman ngekos, saya bertekad menjadi ibu kos yang baik. Mungkin karena saya belum ibu-ibu jadi santai aja, nggak rese melarang ini itu. Ternyata jadi ibu kos nggak susah-susah amat kok. Awalnya saya cuman harus kasih info warung, mini market, dan mal terdekat, di mana order gas dan air galon, di mana jalur jogging yang asyik, sampai info abang-abang jualan gerobakan dan restoran GoFood sekitar yang enak. Saya juga harus mendaftarkan anak kos ke Pak RT sebagai penduduk sementara dan mengenalkannya ke para tetangga. Selebihnya saya harus siap juga kalau suatu saat dikomplen anak kos kalau ada kran bocor atau internet mati.

Untungnya yang ngekos teman sendiri, jadinya hubungan kami bukan kayak ibu kos-anak kos tapi lebih kayak room mate. Selama pandemi yang nggak bisa ke mana-mana ini saya jadi ada temennya; bisa ngobrol sama manusia beneran dengan cara offline! Kadang saya main ke rumahnya, kadang dia main ke rumah saya. Kalau suntuk, sesekali kami ke mal bareng atau jalan-jalan di kuburan depan. Anak kos yang jago masak makanan Eropa kadang suka ngundang makan bareng. Sebagai ibu kos yang nggak bisa masak tapi cukup sering dikirimi makanan, saya bagi-bagi makanan kalori ke dia.

Makan spaghetti ricotta pesto buatan anak kos.

Keuntungan lain jadi ibu kos tentunya finansial: saya dapat passive income bulanan. Masa pandemi yang bikin pemasukan saya terjun bebas ini jadi terbantu dengan adanya uang kos – lumayan lah untuk membayar sebagian kebutuhan bulanan saya. Saya nggak komersil amat kok dan nggak mikir BEP (Break Even Point) karena masih jauh dari balik modal. Enaknya lagi, tagihan listrik saya pun jadi berkurang banyak karena listriknya dipisah.

Ah, bahagianya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 23, 2021 21:00

February 24, 2021

Cara Mudah Menulis

Apakah Anda merasa sulit menulis? Tidak tahu mau menulis apa, dan tidak tahu mulainya dari mana?

Saya sih percaya semua orang bisa menulis. Bukankah menulis adalah ketrampilan dasar setelah kita bisa membaca? Sudah banyak kali kita menulis sejak SD sampai kuliah, mulai dari mencatat pelajaran, bikin PR, makalah, sampai skripsi. Tapi mengapa sekarang terasa sulit menulis? Oh, dulu kan karena terpaksa, demi mengerjakan tugas supaya lulus. Sekarang kan mau menulis hal lain.

Hmm, tapi mau menulis apa ya? Ide ada banyak tapi tidak tahu menuangkannya gimana. Rasanya tiap mau menulis kok mentok aja gitu. Kalau pun sudah menulis, kok rasanya tidak secakep tulisan orang lain? Mereka bisa menggunakan kata-kata yang indah, tapi saya kok isinya gitu-gitu aja. Aduh, nggak pede ah kalau dibaca orang lain!

Apakah Anda adalah salah satu yang berpikiran seperti di atas? Kalau ya, sebenarnya tergantung menulis apa sih. Menulis email atau WhatsApp aja bisa kan? Itu adalah langkah awal yang baik. Tapi kalau Anda ingin menulis lebih panjang dan menarik, seperti membuat caption medsos, cerita pendek, atau blog, itu bisa dipelajari kok.

Tidak semua tulisan itu harus diterbitkan jadi buku. Bagaimana membuat tulisan yang enak dibaca adalah penting dipelajari. Kalau dasarnya sudah kuat, mau menulis apapun jadi lebih mudah. Apalagi zaman sekarang kita berada di era “sharing is caring”, jadi tulisan sebisa mungkin memberikan informasi dengan jelas, bahkan bisa bermanfaat bagi orang lain. Kalau pun tidak mau sharing, menulis itu tetap penting dilakukan untuk pengembangan diri, bahkan untuk terapi.

Saya sendiri bukanlah penulis sastra dengan kata-kata yang berbunga-bunga. Gaya tulisan saya di blog dan buku seri The Naked Traveler ya apa adanya: mengalir, tapi tetap mengikuti kaidah yang benar. Sebagian orang mengatakan, “Membaca tulisan Trinity seperti diceritakan sahabat yang abis pulang jalan-jalan. Yang baca jadi ikut merasakan serunya, sampai ketawa sendiri kayak orang gila!”. Bahkan sebagian pembaca jadi ikutan rajin menulis, punya blog, bahkan menerbitkan bukunya sendiri.

Nah, saya berencana membagikan pengalaman saya untuk semua orang yang ingin belajar menulis dengan cara mudah. Saya mau bikin kelas menulis online untuk pemula nih! Jadi kalau Anda merasa ingin menulis tapi bingung mulainya gimana, atau sudah bisa menulis tapi merasa kurang pede, atau sekedar ingin mengisi waktu luang dengan hal berguna, silakan ikut kelas saya.

Ini bukan kelas menulis perjalanan, bukan pula kelas bikin novel fiksi. Tapi kelas yang akan membekali Anda untuk memulai menulis atau memperbaiki tulisan sehingga enak dibaca. Tenang aja, saya sendiri belajar menulis secara otodidak, jadi ditanggung caranya nggak ribet dan nggak pake istilah njlimet. Yang jelas, kelas ini akan membuat Anda mengangguk-angguk sambil bergumam, “Oh, gitu ya? Bener juga!” dan sesegera mungkin ingin menulis di kertas atau di gawai.

Kelas ini terbuka untuk semua usia, jadi anak sekolah dan ibu rumah tangga juga bisa. Anda tinggal menyiapkan perangkat yang mendukung Zoom (komputer atau ponsel), internet yang memadai, serta kertas dan alat tulis untuk mencatat.

Catat nih: “Kelas Trinity: Cara Mudah Menulis”, Rabu, 17 Maret 2021, pukul 19.30-21.00 WIB, via Zoom. Biayanya cuma Rp 149.000,- per orang. Caranya daftar di bit.ly/kelastrinity dan tunggu email informasinya dari saya. Daftarlah sesegera mungkin karena tempat terbatas. Bonusnya, Anda akan mendapat voucher diskon khusus untuk membeli buku-buku saya di @mizanstore dan @rakatadotid.

Buruan cus ke bit.ly/kelastrinity ya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 24, 2021 02:07

February 7, 2021

Apa rasanya menginap di hotel terbaik sedunia?

Sejak belasan tahun yang lalu saya sudah mendengar tentang resor keren di Pulau Sumba, namanya Nihiwatu. Ternyata pada 2012 namanya telah berubah menjadi Nihi setelah dibeli dan direnovasi oleh pengusaha AS, Chris Burch (FYI, brand fashion Tory Burch adalah salah satu miliknya). Nama Nihi semakin terkenal karena pada 2016-2017 memenangkan penghargaan sebagai Best Hotel in the World oleh Travel & Leisure selama dua tahun berturut-turut. Lalu diikuti oleh penghargaan sebagai hotel terbaik sedunia oleh Conde Nast, The Telegraph UK, Tripadvisor, dan lain-lain.

Selebritas dunia pernah menginap di Nihi: mulai dari liburan keluarganya David Beckham, bulan madunya Jennifer Lawrence, sampai pernikahan Brody Jenner. Belakangan di masa pandemi ini, Nihi menjadi tempat liburan para selebritas Indonesia, seperti Gisel, Luna Maya, dan Raffi Ahmad. Bukannya mau ikut-ikutan para seleb, tapi siapa yang nggak pengen menginap di Nihi?

Dalam rangka merayakan ulang tahun saya pada 11 Januari 2021, akhirnya kesempatan itu datang: saya menginap di Nihi selama 3 malam! Saya pun mengajak sahabat saya si Sri supaya nggak bete-bete amat sendirian di tempat kece begini.

Ucapan selamat ultah di outdoor bathtub!

Nihi terletak di Wanokaka, bagian barat Pulau Sumba, propinsi Nusa Tenggara Timur. Terbangnya dari Bali (DPS) ke Tambolaka (TMC) selama 1 jam. Dari TMC dijemput naik jip Nihi dan berkendara sekitar 1,5 jam. Hebatnya, ada staf Nihi yang membantu mulai dari check in di bandara Bali sampai tiba di hotel! Sampai di reception, kami disambut Kapten yang bertugas sebagai penghubung untuk segala kebutuhan selama menginap. Namanya Simson, pria Sumba asli. Kami bertukar WhatsApp agar memudahkan komunikasi (surprise, wifi lancar jaya!), lalu diantar berkeliling.

Terletak di Pantai Nihiwatu yang berbentuk teluk dan dikelilingi hutan lebat, Nihi memiliki 28 villa bergaya Sumba yang tersebar di kemiringan bukitnya. Setiap villa sangat tersembunyi, tidak kelihatan dari luar saking tertutupnya oleh pepohonan. Semua bangunan terhubung dengan jalan setapak dari batu alam dan berundak-undak, kadang tertutup atap tanaman rambat. Arsitekturnya dibuat khusus agar setiap villa menghadap laut dan matahari terbenam namun tidak tertutup oleh bangunan lain. Semuanya serba terbuka – socially distant, wildly connected yang sangat sesuai di masa pandemi. 

Pantai sepi sejauh mata memandang

Saya menempati 1-bedroom villa yang dinamai Raja Lamba. Desainnya rustic, beratap rumbia, banyak unsur kayu, dengan tone warna tanah. Semuanya terbuat dari bahan alami berkualitas tinggi seperti kayu jati, lantai marmer, dan outdoor bathtub terbuat dari tembaga. Amenities-nya pun sangat eco friendly: tidak ada plastik sekali buang, bahkan tempat sampah aja dialas daun pisang. Halamannya cukup luas menampung bale-bale berkasur empuk dan tentunya infinity pool. Siang hari saya berjemur bugil dengan bebas saking tersembunyinya villa ini. Setiap sore kami nongkrong melihat sunset sambil ngopi di bale-bale.

Villa Raja Lamba

Makan tiga kali sehari termasuk ke dalam harga paket. Makan pagi dan malam di Ombak Restaurant yang terletak di atas bibir tebing menghadap pemandangan laut yang spektakuler. Makan siang di Nio Beach Club yang persis di tepi pantai. Sistemnya a la carte, jadi tinggal pilih di menu aja: ada makanan Indonesia, Italia, Jepang, sampai Meksiko. Selain itu ada Menu of the Day yang berganti setiap hari. Mengingat lokasinya di Sumba yang terpencil, saya salut dengan ketersediaan bahan makanannya, seperti segala macam keju dan daging impor. Salutnya, stafnya semua orang Sumba asli dengan servis yang baik. Di kamar pun tersedia minibar berisi aneka minuman, termasuk bir, vodka, whiskey dan gin, juga handmade coklat organik buatan Nihi. Setiap hari minibar diisi penuh lagi!

Kalau bosan leyeh-leyeh, bisa memilih berbagai aktivitas gratis seperti yoga, paddle boarding, dan surfing – peralatannya bisa dipinjam di The Boathouse. Ada juga yang berbayar, seperti spa, cooking class, dan kursus menenun ikat. Saya memilih tiga aktivitas. Pertama, pas ulang tahun, saya ikut Half Day Spa Safari di Nihioka Spa. Ke lokasi spa ini bisa naik jip selama 20 menit atau trekking selama 2 jam. Lagi-lagi tempat ini sangat luas dan tersembunyi dengan pantai pribadi. Saya memilih 3 treatment dari belasan menu yang ada, yaitu Nihioka Signature Massage, Head Massage dan Facial. Tempat spa berupa bale-bale terbuka yang letaknya di pinggir tebing menghadap laut. Terapisnya pun mama-mama Sumba. Saya yang nggak pernah tidur saat dipijit, baru kali itu saya sampai tewas ketiduran saking enaknya!

Nihioka, the sexiest spa!

Kedua, saya ikut Beach Horse Riding. Sumba terkenal dengan kuda pacu endemiknya yang disebut kuda sandel (sandalwood pony) jadi aktivitas ini “Sumba banget”. Nihi sendiri memiliki stable berisi 17 kuda beserta para perawatnya. Menjelang sunset, setelah mengenakan helm dan sepatu boot, saya menunggangi kuda betina bernama Bindy, berusia 4 tahun, ras campuran kuda Sumba dan Australia. Saya lumayan sering berkuda, tapi baru kali ini di tepi pantai dan pakai bikini! Di mana lagi bisa begini coba?

Bindy and I

Terakhir, saya ikut tur The Sumba Foundation karena pengin tahu program CSR Nihi. Organisasi nonprofit ini sudah 20 tahun memberikan bantuan air bersih, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kepada masyarakat sekitarnya yang donasinya berasal dari tamu Nihi. Saya sempat mengunjungi klinik yang mempromosikan anti malaria dan ke Kampung Motodawu untuk memberikan makanan tambahan kepada anak-anak. Model kerjasama hotel dan NGO untuk memerangi kemiskinan ini sampai memenangkan penghargaan dunia dari WTTC dan PATA.

[image error]Anak-anak Kampung Motodawu

Kesimpulannya, Nihi memang salah satu hotel terbaik yang pernah saya inapi! Apakah setuju didaulat sebagai hotel terbaik sedunia dan apakah sebanding dengan harganya? Kalau menggunakan perspektif mayoritas orang Indonesia sih belum tentu ya, karena hotelnya bukan standar kemewahan orang Indonesia. TV aja nggak ada kok. Tapi kalau perspektif bule dari negara maju, Nihi itu seksi karena benar-benar private di tengah alam indah yang masih perawan. Privacy is the key dan Nihi menyediakannya di area yang sangat luas tanpa terganggu orang lain.

Bagi saya pribadi, kelebihan Nihi adalah lokasi dan ambience romantisnya. Bayangkan, sejauh mata memandang tidak ada bangunan apa-apa lagi di sekitarnya, hanyalah hamparan hutan berbukit dan laut luas dengan pantai pasir putih berkilo-kilo meter. Hotel mahal di Bali aja nggak bisa begini. Justru dengan kesederhanaan desain villa Nihi, jadinya menyatu dengan alam. Bagusnya lagi, makanannya berkualitas fine dining yang beneran enak. Dengan harga premium jadi wajar karena lokasi dan kualitasnya, plus mem-filter sendiri jenis tamu yang menginap. Above all, I had the best birthday celebration in Nihi!

Tonton videonya di sini:

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 07, 2021 20:46

January 24, 2021

Liburan dan WFH ke Bali pada Masa Pandemi

Setiap tahun biasanya saya liburan ke Bali bareng sahabat saya Sri dan kedua anaknya. Sayangnya tahun kemarin karena PSBB, kami nyaris nggak ke mana-mana. Kasihan juga melihat anak-anak yang sekolah online hampir setahun sampai ukuran kacamata dan berat badan bertambah – eh saya juga sih!

Tenang, saya juga masih parno kok sama si Kopid. Tinggal di rumah aja memang lebih aman, tapi kadang rasa bosan bahkan muak itu muncul. Akhirnya kami memutuskan untuk mengganti scenery dengan pergi ke Bali tahun ini dengan memperhitungkan resiko secara seksama.

Caranya? Kami sengaja pergi pada saat berakhirnya libur akhir tahun sejuta umat supaya nggak rame, yaitu pada 3-10 Januari 2021. Terbangnya pun naik pesawat yang menerapkan seat distancing, bahkan yang terbangnya dari Bandara Halim Perdana Kusuma karena jauh lebih sepi dibanding Soekarno-Hatta. Tes PCR kami lakukan sehari sebelumnya sebagai syarat untuk terbang ke Bali – semuanya negatif.

Karena masih parno sama kerumunan orang, di Bali kami memilih tinggal di villa private yang mewah (maklum, rumah Sri kan kayak istana, jadi villa-nya harus lebih bagus). Karena saya dan keluarga Sri sudah tidak tinggal serumah, namun demi keamanan bersama, villa harus berisi minimal 3 kamar biar tidurnya misah. Villa juga harus memiliki sirkulasi udara yang baik dengan layout ruang yang open-plan, berjendela besar dan bisa dibuka. Lalu, harus memiliki kolam renang pribadi berukuran besar karena saya lagi sakit syaraf kejepit di leher, jadi harus berenang setiap hari untuk terapi. Dan tentunya harus memiliki jaringan internet yang kuat agar kami dapat WFH (Work from Home) dan SFH (School from Home).

Maka pilihannya jatuh ke Elite Havens karena cuma mereka yang memiliki banyak villa yang memenuhi syarat kami. Perusahaan Luxury Villa Rentals and Management terdepan di Asia ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun yang lalu dan me-manage ratusan villa di seluruh dunia, namun yang terbanyak ada di Bali. Melihat foto villa-villa di situsnya bikin nganga semua deh! Ternyata villa yang kami tempati pun melebihi ekspektasi saya karena tidak hanya desain yang bagus saja.

Living Room di Villa Tirta Nila (source: villatirtanila.com)

Selama seminggu kami tinggal di dua villa. Pertama di Villa Tirta Nila di Candidasa. Memilih di sini karena jauh dari mana-mana sehingga sepi, plus villa-nya langsung berada di tepi pantai dengan ombak tenang. Ternyata villa-nya keren dan gede banget – luas tanahnya aja 2.100 m²! Ada 4 kamar berukuran besar yang semuanya menghadap laut, bedding yang sangat nyaman, ada walk-in closet dan outdoor bathroom. Interiornya apik bertema laut, furniturnya serba kayu yang mewah, peralatan dapur yang serba canggih, ada TV room, kolam renang infinity, tempat main beach volleyball, bahkan dermaga pribadi dengan sun chairs. Setiap sore kami snorkeling di depan, lalu memandang matahari terbenam yang spektakuler.

Leyeh-leyeh di kolam renang Villa Tirta Nila

Villa kedua di Bendega Rato di Canggu. Memilih di Canggu karena biar dekat jalan kaki ke mana-mana, termasuk 5 menit ke pantai. Villa ini juga keren dan gede banget – luas bangunannya aja 966 m²! Arsitekturnya bergaya Bali modern, ruangan serba terbuka, furnitur serba kayu antik, taman hijau asri, kolam renang sepanjang 18 meter, kamar tidur serba luas dengan kamar mandi berisi bathtub dan shower yang luas juga, plus ada ruang TV berlayar lebar dengan sound system, serta perpustakaan dengan koleksi buku yang bagus-bagus. Pada akhirnya, meski lokasinya premium, tapi kami jadi mager parah saking nyamannya villa ini!

Nyamannya Villa Bendega Rato

Selama seminggu itu pula, kami keluar rumah villa cuman dua kali. Di Candidasa kami trip ke Bukit Asah dan berenang di Virgin Beach yang hanya 7 km jaraknya dari Villa Tirta Nila. Di Canggu kami ke Ubud karena anak-anak mau main ATV. Sempat sekali jogging ke pantai Canggu tapi buru-buru balik lagi karena parno liat bule-bule pada nggak pake masker dan suka berkerumun! Selebihnya kami di rumah aja: kerja online, baca buku, ngobrol, berenang di kolam/pantai, berjemur, makan-makan, nobar di TV room. Di hari terakhir, saya sempat dikunjungi teman-teman anak Jakarta yang pindah WFH ke Bali (yang saya tahu banget mereka selalu menjaga prokes). Dengan villa yang luas dan outdoor gini, jadi lebih aman mainnya.

Virgin Beach yang sepi dilihat dari Bukit Asah.

Kelebihan villa-villa Elite Havens adalah tersedianya butler service 24 jam dan chef andal (semuanya mematuhi protokol kesehatan) yang bisa kita request sebelumnya. Jadi berasa kayak pindah rumah bersama para asisten rumah tangga! Makan tiga kali sehari dimasakin, jadi tidak perlu ke mana-mana. Sistemnya bisa pilih dari menu yang sudah ada harganya kayak di restoran, atau sistem grocery di mana kita kasih uang belanja ke butler – nanti akan dibelikan bahannya, dikasih bon, dan kita tinggal nambah uang jasa dari total harga di bon aja. Makanannya enak-enak semua dengan penyajian ala fine dining. Untungnya di kedua villa kami, ruang makannya ada dua, kadang kami makan di dalam atau di gazebo luar. Butler ini juga yang membersihkan villa dan merapikan kamar. Jangan khawatir, handuk dan toiletries juga disediakan kok. Ah nikmat banget hidup jadinya! Bener-bener worryless!

The friendly Elite Havens butlers

Pengennya saya tinggal lebih lama tinggal di salah satu villa Elite Havens sambil nulis buku baru gitu. Kalau se-villa berisi beberapa kamar, bisa patungan sih sama teman-teman. Hari gini dengan modal internet kan bisa kerja dari mana aja – untungnya internet di Elite Havens memang mumpuni, semua ruangan ter-cover termasuk di kolam renang. FYI, selain di pulau Bali, villa mereka ada juga di Lombok dan Nusa Lembongan. Atau bisa juga sekalian jauh ke Thailand, Sri Lanka, Maldives dan Jepang! Uhuy!

Kalau Anda tertarik dengan konsep liburan dan WFH di villa mewah, cek aja di elitehavens.com. Masa pandemi gini mereka lagi ada promo diskon sampai 80% lho! Tapi jangan lupa tetap jaga protokol kesehatan ya? Stay safe and healthy, folks!

Videonya bisa ditonton di sini:

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 24, 2021 20:50

January 1, 2021

Nikmatnya Sosis Jepang!

Sosis, olahan daging cincang yang diberi bumbu ini tersedia di hampir seluruh muka bumi – bahkan tiap negara maupun daerah punya resep sosisnya masing-masing. Saat traveling di luar negeri maunya hemat dengan masak sendiri di penginapan, sosis pasti masuk ke dalam menu makanan saya karena cara pengolahannya mudah. Di rumah pun, saya pasti nyetok sosis.

Bicara soal makanan, menurut saya negara di luar Indonesia yang kulinernya paling enak adalah Jepang. Rasanya semua makanannya nggak ada yang salah. Mau jajanan pinggir jalan, di minimarket, atau di restoran dari murah sampai mahal, enak-enak semua! Ini karena mereka menggunakan bahan-bahan yang berkualitas baik sehingga tanpa perlu banyak bumbu pun rasanya sudah enak.

Sosis yang paling terkenal mungkin sosis dari Jerman, tapi pernahkah Anda makan sosis Jepang? Saya sih doyan karena rasanya lebih diterima oleh lidah orang Asia. Nah, saya baru nemu nih sosis kemasan terenak se-Indonesia! Sebagai penggemar sosis dan kuliner Jepang, perpaduan ini sempurna deh! Merek sosisnya Riverland yang pabriknya di Indonesia dan dibuat menggunakan resep koki Jepang. Ini diproduksi oleh NHF-Diamond, yaitu perusahaan joint venture antara perusahaan makanan terdepan di Jepang, NH Foods (mereka meng-endorse klub sepak bola Liverpool lho!) dan Diamond Cold Storage dari Indonesia, lalu didistribusikan oleh PT Sukanda Djaya.

Riverland Sausage punya enam varian. Semuanya sudah saya coba dan emang enak-enak semua! Sosisnya terasa daging banget alias tidak terasa tepung sama sekali kayak sosis-sosis lain – bahkan jauh lebih enak daripada sosis di sarapan hotel bintang lima. Ini membuktikan bahwa bahannya memang berkualitas tinggi dengan rasio daging yang pas. Per potongnya pun gendut-gendut. Makan sebiji aja udah lumayan kenyang! Casing-nya aja terbuat dari collagen buatan Jerman dan Spanyol jadi tidak usah dikupas – kalau digigit jadi agak crunchy tapi dagingnya tetap juicy. Namun jangan khawatir, Riverland ini halal dan sudah tersertifikasi dari MUI.

Sosis Riverland ini sebenarnya sudah matang (ready to eat in frozen storage), namun enaknya dimakan hangat jadi biasanya saya masak dengan cara direbus, digoreng, atau dimasukin ke dalam air fryer. Meski saya lebih suka makan sosisnya langsung (karena tanpa dikasih saus sambal, mayones, atau mustard, rasa dagingnya sudah nikmat), tapi bisa juga dijadikan isi hot dog, kebab, pasta, nasi goreng, sayuran, dan lain-lain.

Berikut review singkat saya tentang masing-masing variannya:

Riverland Smoked Arabiki Sausage (sosis daging sapi asap Arabiki)
Arabiki berasal dari Bahasa Jepang yang berarti coarse meat. Di NH Foods Jepang, varian Arabiki ini merupakan pionir di kelasnya. Dari enam varian Riverland yang ada, Arabiki yang paling favorit saya! Dagingnya ada brenjel-brenjelnya kayak bakso urat, aroma asapnya legit, bumbunya kaya. Rasanya umami bener!Riverland Ichimi Sausage (sosis daging sapi dan ayam Ichimi)
Kalau suka bubuk cabai Togarashi/Ichimi yang ada di restoran ramen Jepang, sosis ini dicampur dengan Ichimi juga jadi ada totol-totol kemerahan. Rasanya jadi ada pedas-pedasnya tapi pedas Jepang yaa… yang tidak menutupi rasa gurihnya daging.Riverland Smoked Cheddar Sausage (sosis daging ayam dan sapi asap rasa keju)
Keju cheddar di dalam daging sosis ini berupa gumpalan-gumpalan kecil – yang kalau dimakan panas-panas, kejunya langsung lumer! Omaigat! Campuran daging dan keju ini lalu diasap, jadi aromanya menggugah selera.Riverland Smoky Black Pepper Sausage (sosis daging sapi dan ayam asap lada hitam)
Rasa lada hitamnya terasa di akhir, jadi tidak mengalahkan rasa nikmat dagingnya. Dengan daging yang diasap secara alami dengan wood chips, rasanya lezat di setiap gigitan.Riverland Garlic Frankfurter Sausage (sosis daging sapi dan ayam rasa bawang putih Frankfurter)
Sosis khas Frankfurt, Jerman, ini dimasak dengan pengasapan temperatur rendah. Dengan campuran bawang putih, aroma dan rasanya jadi ada kick-nya dan bercita rasa lebih Asia.Riverland Beef Bratwurst Sausage (sosis daging sapi Bratwurst)
Bratwurst (dalam bahasa Inggris artinya finely chopped meat sausage) adalah sosis khas Jerman. Sesuai dengan namanya, tekstur dagingnya memang halus. Rasa herbs-nya kuat. Yang jelas,  bener-bener nggak kalah sama Bratwurst di restoran Jerman yang ada di Jakarta deh!

Belinya bisa di supermarket (Hypermart, Lottemart, Lotte shopping, AEON, Grand Lucky, Duta Buah, HERO, Foodhall, Diamond Supermarket, Giant Extra, Farmers Market, Maxim Supermarket). Beli online juga bisa di Official Store Sukanda Djaya yang tersedia di Tokopedia, atau cari aja di Bliblimart, Tanihub, Sayurbox, Bukalapak, dan Shopee.

Harga Riverland Sausage sebungkus (isi 5 pcs dengan berat 360 gram) berkisar di antara Rp 58.000 – Rp 68.000. Memang ini harga premium, tapi dengan kualitas dan rasa yang premium sih worth it banget!

Oishi né! *lap iler*

[image error]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 01, 2021 07:25

December 5, 2020

Perjuangan Merenovasi Rumah Impian

I know ini bukan tulisan tentang jalan-jalan. Tapi pada masa pandemi yang sangat minim ke mana-mana, berhasil merenovasi rumah sendiri itu adalah my biggest achievement in 2020!

Rumah saya yang berlokasi di kuburan (iya, kuburan! Baca deh di buku The Naked Traveler 4) sebenarnya adalah rumah peninggalan orang tua yang sudah berusia lebih dari 25 tahun. Saya tinggal di sana sejak bapak saya meninggal dunia pada 2002 untuk menemani mama. Eh pada 2014, mama saya meninggal dunia juga. Hiks. Setelah kelar membiayai kuliah adik saya sehingga dia sudah mandiri, jadilah saya tinggal sendiri (plus seorang pembokat galak yang sudah bekerja 30 tahun di keluarga saya).

Rumah rasanya jadi terlalu besar, biayanya pun lama-lama meningkat. Gara-gara keseringan nonton HGTV dan “Income Property” di Lifetime, saya jadi terinspirasi untuk merenovasi dan menyewakan sebagian rumah. Lagipula, saya ingin menikmati sisa hidup saya dengan nyaman di kamar dan perabot yang saya inginkan. Maklum, tinggal di rumah orang tua artinya kan seleranya ya selera mereka. Lalu, dapat passive income kan lumayan, apalagi industri buku lagi turun.

Sudah lama saya menabung untuk merenovasi rumah. Baru mau mulai dikerjakan awal 2020, eh pandemi datang! Bisa jadi blessing in disguise karena saya jadi ada waktu untuk mengawasi pembangunan, namun perhitungan jadi kacau balau karena pemasukan turun drastis tis tis!

Fasad rumah. Beda banget ya!

Anyway, bagi yang mau renovasi rumah juga, begini tahapannya;

Ketahuilah secara detail apa yang ingin direnovasi. Kalau rumah tidak dihancurkan semua dan dibangun dari nol, maka saya rasa tidak perlu jasa arsitek. Yang penting sudah tahu apa yang dibuang, dipertahankan, atau dibangun baru, serta buatlah skala prioritas.Carilah referensi kontraktor/tukang yang terpercaya. Saya sendiri dapat referensi kontraktor dari sahabat sendiri yang hasil pengerjaannya sudah saya lihat sendiri, jadi saya pakai sistem borongan penuh (termasuk bikin tirai sampai perabot). Pilihan lain yang lebih ribet tapi bisa lebih murah adalah cari mandor/tukang dan membayar jasa mereka sementara materialnya kita beli sendiri.Diskusikan dengan kontraktor dan minta RAB (Rencana Anggaran Biaya), berikut terms and conditions, tata cara pembayaran, dan garansinya. Apakah bakal lebih? PASTI! Siapkan aja dana sampai 20% lebihnya, apalagi kalau banyak maunya.Carilah tempat tinggal sementara karena dalam kasus saya (sampai bongkar atap) rumah tidak mungkin ditinggali meski pindah kamar sekalipun. Saya akhirnya ngekos di sini.Cek rumah secara reguler. Saat pekerjaan sipil dilakukan, datang seminggu sekali. Lebih sering datang pada saat pengerjaan interior.

Pertanyaan sejuta umat adalah berapa biaya renovasi rumah? Sungguh saya tidak bisa jawab karena setiap rumah kan unik. Luasnya berapa? Berapa lantai? Apa yang mau direnovasi? Termasuk perabot nggak? Lha, saya habis berapa dong? Silakan membayangkan: luas tanahnya aja 250 m²! *nangis*

Masalahnya, semakin tua rumah maka semakin banyak jebakan betmen. Artinya kita nggak tau ada apa di baliknya. Tadinya mau dipertahankan, ternyata udah keropos atau salurannya mampet. Lalu, ada kemungkinan material yang ditawarkan kontraktor ternyata tidak sesuai dengan selera kita, jadilah dana bertambah karena terpaksa membeli material dengan grade lebih premium. Diperparah lagi oleh keinginan yang tidak sesuai dengan RAB awal. Contohnya ketika rumah hampir jadi, eh lantai teras tampak nggak nyambung. Dengan tema minimalis serba putih, masa lantainya keramik warna merah kusam? Jadilah diganti dengan granit abu-abu. Yang kayak begini ini yang bikin boncos!

Taman After (foto atas) & Before (foto bawah).

Saya belajar bahwa hukum membangun rumah yang terutama adalah ada harga, ada mutu. Pokoknya benar-benar kelihatan dan terasa bedanya antara material murah dan mahal! Saya selalu ingat kata-kata kontraktor saya ketika menawarkan sesuatu, “Ibu mau murah atau bagus?” saking keduanya susah temenan. Huhuhuu!

Kalau di-break down, biaya terbesar adalah ganti atap dan plafon. Lalu bikin perabot (lemari, meja, rak) custom. Secara ruangan, paling mahal adalah bikin kamar mandi dan kitchen set – saya akhirnya menyerah nggak bikin kabinet dapur karena dana terbatas.

My comfy bathroom

Untuk menghemat bujet hukumnya adalah sebisa mungkin tidak mengubah layout ruangan karena membongkar tembok dan membangun tembok baru itu biayanya besar. Pertahankanlah pula apa yang bisa dipertahankan, misalnya jendela, pintu, ubin lantai, keramik dinding. Perlu diketahui, kalau mau mengganti hanya sebagian keramik dinding/lantai, kemungkinan besar materialnya sudah tidak diproduksi lagi jadi bakal belang. Kalau mau hemat, harus kuat melihat bedanya (sangat tidak disarankan bagi penderita OCD)! Bila ingin barang yang spesifik dan tidak ketemu di toko bangunan atau harganya mahal, misalnya tutup toilet warna biru, beli aja sendiri di online shop – asal nggak masalah dengan merk.

Yang jelas, renovasi rumah itu tidak ada batasnya. Mau dibikin kayak apa aja bisa. Jadi yang membatasi itu hanya kita sendiri: seberapa besar biaya yang kita mau keluarkan dibandingkan dengan tingkat kepuasan? Dari awal prioritas saya adalah kamar saya harus kece, sisanya minim aja. Keramik lantai kamar dan dinding kamar mandi aja yang baru cuma di kamar saya, yang lain dipertahankan. Perabot custom hanya dibikin untuk kamar saya dan perpustakaan.

My bedroom now (foto atas), dulunya bekas living room (foto bawah).

Yang perlu disiapkan selain duit sebenarnya adalah mental. Selama empat bulan saya insomnia, sakit kepala, dan sakit perut karena stres! Kadang karena saya terlalu excited memilih desain dan material, tapi seringnya sih karena urusan duit yang keluar melulu tanpa ada pemasukan yang berarti pada masa pandemi. Ternyata, menyamakan keinginan dan bujet itu berat banget!

Pada akhirnya, perjuangan saya merenovasi rumah with sweat, blood and tears terbayar! I finally have my dream home! Semoga bisa membuat almarhum kedua orang tua saya bangga! Dan semoga habis ini, rejeki saya lancar. *Amin yang kenceng!*

I see this everyday from my window!

Kiat tambahan:
– Karena ingin punya taman sebagai focal point, saya hire jasa landscapist (ahli taman). Dia mendesain, memilih, dan menanam aneka tanaman berdasarkan intensitas sinar matahari, jatuhnya hujan dan aliran air. Memang mahal harganya, tapi jadinya keren banget!
– Sebelum ditempati, hire jasa pembersihan khusus pasca renovasi di bersihrapih.com. Karena pasti ada bekas semen, cat, kotoran lain yang menempel di lantai atau jendela. Belum lagi WC dan wastafel tua yang pasti berkerak. Nah, dengan jasa ini semuanya jadi spotless! Mereka akan datang setim dengan peralatan lengkap termasuk tangga, bahan kimia, dan mesin-mesin. Hanya saja harus terus diawasi supaya tau mana aja.
– Kalau butuh referensi, silakan email saya. Tapi ini khusus peminat serius ya, karena sistemnya mereka akan datang survey dulu.

Living room and library (dulunya bekas kamar tidur orang tua).


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 05, 2020 09:36

November 8, 2020

Ngekos di Istana!

Karena rumah saya direnovasi sampai ganti atap segala (cerita lengkap tentang renovasi menyusul ya!), saya terpaksa harus mengungsi beberapa bulan. Lagi cari-cari kos, eh sahabat saya, Sri, menawarkan untuk tinggal di rumahnya aja! Yang mau tau siapa Sri, baca aja di buku seri The Naked Traveler karena dia sudah beberapa kali dibahas.





Rumah Sri sebenarnya berjarak hanya sekitar 6 km dari rumah saya di Jakarta tapi sudah masuk propinsi Banten. Rumahnya guede banget! Bukan gede kayak OKB yang modelnya pake pilar-pilar dan gerbang emas, bukan pula bergaya ala “crazy rich Asian”. Ini secara luas bangunan dan tanah yang gede, tapi model rumahnya justru klasik campur tradisional – macam villa di Bali. Yang jelas sih, lantainya marmer dan punya kolam renang. Bagi saya, rumahnya bak istana!





Sri tinggal bersama dua anaknya yang berusia 14 tahun dan 10 tahun – keduanya bersekolah internasional jadi ngomongnya bahasa Inggris melulu. Ada juga satu ekor kucing ras Himalaya bernama Dante yang bikin gemez. Pembantunya ada tiga orang. Si Emak yang orang Jawa bagian memasak dan mencuci. Ada satu cowok orang Flores bagian menyapu, mengepel, mengurus taman. Ada satu cowok lagi orang Sulawesi sebagai supir dan tukang serba bisa. Dua hari sekali ada pool boy berambut gondrong yang mengurus kolam renang – nggak usah mikir macam-macam, pokoknya jauh dari gambaran pool boy di film bokep! Hehe!





Dante



Saya menempati kamar anak keduanya di lantai atas tower pertama. Dia sendiri masih tidur sama ibunya (ayahnya/suami Sri baru meninggal tahun lalu). Kamarnya gede juga; ada kamar mandi dalam dan ada walk in closet. Kalau buka jendela, saya merasa kayak Rapunzel yang siap turun pakai rambut. Gilanya, kamar ini punya jendela 22 biji! Setiap pagi saya membuka tirai tujuh jendela sambil mengerek roller blind jadi berasa kayak pengibaran bendera.





Saya mendapat kemewahan yang tidak pernah saya dapati di rumah saya. Pertama, makan disediakan 3 kali sehari dengan menu yang berbeda-beda. Iya, si Emak masaknya 3 kali sehari! Kadang Sri masak juga, nggak nyangka ternyata dia jago. Jenis makanannya pun bagaikan makanan Lebaran, bisa-bisanya makanan sehari-hari ada gudeg lengkap, bebek goreng, rendang paru, gulai tunjang, steak, cream of mussel soup, lasagna, shakshouka, sampai shabu-shabu! Alhasil fix saya ngekos 4 bulan, naik berat badan 4 kg!





Kedua, karena pembokatnya banyak, hidup memang jadi nikmat banget. Mau apa-apa tinggal bilang, trus langsung jadi dalam sekejap! Kalau cuman bersihin rumah sih udah biasa, ini bisa sampai ganti batre jam dinding, ambilin koper di gudang atas, manjat pohon petikin mangga, beliin obat di apotek, benerin sepeda, urusin kartu keluarga, dan sebagainya – bahkan bisa fotoin barang endorsan saya. Beda banget sama pembokat semata wayang saya yang galaknya luar biasa sampai saya males nyuruh-nyuruh!





Ketiga, saya yang udah lama nggak punya mobil, sekarang jadi menyetir mobil-mobil mewahnya Sri. How mewah is mewah? Pokoknya jenis mobil yang udah nggak pake kunci, nggak pake rem tangan, dan atapnya yang bisa dibuka. Semua serba otomatis, jadi kita cuman nginjek gas aja tugasnya! Selain itu, Sri punya banyak sepeda dari berbagai jenis dengan merk mahal (brompt*n mah nggak ada apa-apanya!). Setiap minggu kami gowes puluhan kilometer. Kadang saya dipinjami seli, mountain bike atau road bike lengkap dengan helm, sarung tangan, botol minum yang bisa pilih warna matching! Udah gitu, kalau sampai rumah tinggal turun, karena semua barang di mobil/sepeda bakal dibawain ke dalam sama pembokatnya. Widih!





Sepeda mewah



Kekurangannya, ngekos di istana ini bikin saya susah diet dan susah nulis karena makanan enak-enak dan susah punya waktu sendiri. Saya sudah biasa tinggal sendiri, sekarang jadi tinggal sama keluarga rasanya beda banget. Saya kan jadi ikut rules-nya yang punya rumah. Saya nggak bisa tidur dan bangun suka-suka. Nggak bisa pake daster robek-robek dan nggak mandi seharian. Nggak bisa makan babi pula. Hehe!





Setiap hari jadi ngobrol panjang sama Sri, minimal setelah sarapan dan setelah makan malam (yang sering dilanjut dengan nonton film bareng). Di antaranya pas si ibu ngantor, saya ngobrol sama anak-anaknya, bantuin bikin PR, nganterin ke dokter, nemenin nonton TV, main sama Dante. Belum lagi rumah orang tua dan kakaknya Sri bersebelahan, jadi kadang acara kumpul pindah ke kedua rumah keluarga itu. Bahkan tiga keluarga itu liburan bareng juga sama saya, kami sempat ke Kepulauan Seribu dan pulkam ke Salatiga. Rasanya hari-hari kok berjalan sibuk banget, sampai-sampai saya merasa kurang “me time”.





Namun saya mendapat banyak pelajaran. Pertama, sebagai jomblo akut yang nggak beranak, baru kali ini saya merasa jadi “ibu”. Saya jadi tahu perkembangan berat dan tinggi anak-anaknya yang tiba-tiba melesat selama PSBB. Jadi tahu siapa teman-teman anak-anaknya, bahkan guru-guru dan orang tua murid lain. Juga tahu soal karakter anime, gitar klasik, sampai soal kucing. Saya pun baru tahu bahwa PR anak kelas 5 SD susah banget! Yah, namanya sekolah internasional, meski online tapi padat banget belajarnya dari jam 7:30 sampai 15:00 terus-terusan, belum lagi PR-nya yang sejibun. Hadeuh! Intinya, mengurus anak itu capek. Melihat ibunya ngomoooong mulu ke anak-anaknya, saya jadi capek sendiri. Tapi hasilnya, anak-anaknya jadi tertib dan mandiri. Pokoknya, tetep enakan jadi tante deh!





Pelajaran lain, karena jadi sering ngobrol sama Sri, saya jadi tahu seluk beluk dia mengelola perusahaan. Ternyata susah bener berbisnis karena banyak yang dipikirin. Belum lagi oknum aparat pemerintah yang kadang ngehe bener. Saya jadi bersyukur punya pekerjaan yang low risk low gain. Duitnya dikit, tapi saya nggak pusing! Namun dengan pekerjaan Sri yang high risk high gain, dia bisa punya kolam renang. Dari dulu saya pengen banget punya kolam renang, tapi sekarang saya ditampar kenyataan bahwa tidak mungkin saya punya. Baru tahu bahwa bikin kolam itu mahalnya minta ampun, belum lagi maintenance-nya yang harus punya pool boy, obat-obatan, peralatan, ditambah lagi biaya air dan listrik yang sangat tinggi. Selama di sana, saya pikir saya bisa berenang setiap hari, eh kenyataannya saya berenang cuma empat kali, bahkan serumah tidak pernah berenang sama sekali. Ah, bye-bye swimming pool!





[image error]Kolam renang + pohon mangga yang buahnya enak banget + Dante yang abis mandi dijemur



Fakta lain yang menurut saya lucu: mimpi saya jadi ramai dengan orang-orang. Sri jadi sering ikut masuk ke dalam mimpi saya. Bahkan kadang mimpi saya berbahasa Inggris karena kebiasaan ngobrol sama anak-anaknya! Hahaha!





Anyway, ngekos liburan di istana sudah berakhir. Empat hari ini saya sudah kembali tinggal di rumah saya yang sepi, tapi berat badan sudah turun 1,5 kg dan saya jadi produktif dengan mem-posting tulisan baru di blog ini.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 08, 2020 09:58

October 6, 2020

Traveling di Turki pada masa pandemi

Karena pandemi Covid-19, sudah tujuh bulan saya di rumah aja. Giliran PSBB dilonggarkan, eh warga Indonesia dilarang masuk oleh puluhan negara. Nggak usah ditanya gimana rasanya saya yang hidupnya di jalan harus terkungkung sekian lama!





Begitu Turki buka border bagi seluruh warga negara di dunia mulai Juli 2020, saya langsung gatel pengin pergi, tapi… masih parno sama corona! Saya pun riset sana-sini. Kesimpulannya: grafik kasus Covid-19 di Turki sudah melandai, sementara di kita masih terus naik. Bahkan pemerintah Turki telah menerapkan Safe Tourism Certification Program untuk mensertifikasi fasilitas pariwisata dan memastikan kesehatan dan keamanan para pekerja dan pengunjung. Lembaga yang telah terakreditasi memeriksa dan menilai fasilitas tersebut secara berkala sesuai standar internasional. Bila sudah lolos, maka fasilitas tersebut diberikan logo, QR code dan diumukan ke publik sehingga semua orang bisa mengakses data pemeriksaan. Jadi bukan hanya sekedar cek suhu dan pakai masker doang.





Namun agar lebih aman lagi, saya membuat itinerary yang banyak aktivitas outdoor yaitu di sekitar pantai Mediterania. Terbangnya harus naik Turkish Airlines karena merupakan satu-satunya maskapai yang direct flight Jakarta-Istanbul. Lalu harus private tour dengan hotel, restoran, dan transportasi yang sudah tersertifikasi Safe Tourism, termasuk asuransi bila saya terkena Covid-19. Bahkan guide dan supirnya aja saya minta rapid test dulu. Setelah semua dipastikan, saya dan sahabat saya, Sri, berangkat pada 19 September 2020.





Kas



Apa perbedaannya traveling di masa kenormalan baru ini?





Pertama, Turkish Airlines menerapkan kebijakan bahwa tidak boleh bawa koper kabin, jadi bolehnya bawa tas kecil dengan maksimum berat 4 kg. Alasannya, kabin tidak boleh dibuka karena akan membuat para penumpang berebutan koper sambil berdiri sehingga lebih beresiko penyebaran virus. Begitu masuk pesawat, biasanya kita dapat pouch berisi penutup mata, ear plugs dan sikat gigi, sekarang dapatnya hygiene kit berisi masker, alcohol wipes dan hand sanitizer. Duduknya diberi jarak. Kemarin sih, baik ekonomi dan bisnis tengahnya dikosongkan. Yang beda banget adalah sekarang tidak ada lagi makanan dan minuman panas, semua makanan dibungkus plastik di dalam kotak, minuman pun terbatas hanya botolan yang tertutup. Tidak ada lagi troli makanan yang lewat-lewat, pramugara/i benar-benar dibatasi kontaknya dengan penumpang. Tengah malam haus, saya lah yang harus berjalan ke galley untuk minta air botolan.





Mendarat di bandara Istanbul, saya kaget karena bandaranya baru dan gede banget! Rupanya sudah setahun ini bandaranya dipindah ke lokasi baru, jadi nggak ada lagi bandara lama yang sumpek itu. Semua penumpang lalu di-scan suhu tubuh otomatis di bandara, lalu di imigrasi menyerahkan formulir kesehatan. Beres! Rapid test dari Indonesia saya aja nggak diperiksa sama sekali.





Istanbul



Dua hari pertama kami jalan-jalan di Istanbul. Ya standar turis sih ke Hagia Sophia, Blue Mosque, Topkapi Palace, Basilica Cistern, Taksim Square, Grand Bazaar, ditambah Dolmabahçe Palace. Mau update sedikit tentang Hagia Sophia yang menghebohkan warga +62 karena baru saja diubah dari museum menjadi masjid. Warga lokalnya mah biasa aja menanggapi, secara masjid juga udah banyak di sekitar situ. Perbedaannya, sekarang gambar mosaik Bunda Maria dan simbol Kristiani di dinding ditutupi, lantai dua juga ditutup, dan seluruh lantai dasar ditutupi karpet hijau.





Dalamnya Hagia Sophia sekarang



Sementara di Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed) sedang direnovasi besar-besaran jadi sebagian besar ditutup. Di kedua tempat itu saya tidak berlama-lama karena parno liat banyak turis di dalam ruangan! Protokolnya yang keren adalah ketika turis bule harus menutup aurat masuk ke masjid biasanya dipinjami kerudung atau jubah, sekarang dikasih kain yang sekali pakai!





Selanjutnya saya melipir ke selatan Turki, tepatnya di sekitar Laut Mediterania. Dari Istanbul terbang ke Dalaman (nama kotanya bikin pengen nanya, “Dalaman lo warna apa?” Hehe!) naik Turkish Airlines yang kursi tengahnya juga dikosongin. Baru pulangnya saya terbang dari kota Antalya.





Laut Mediterania atau disebut juga Laut Tengah terletak di utara benua Afrika sampai selatan benua Eropa yang garis pantainya dimiliki oleh 22 negara, mulai dari Spanyol, Italia, Kroasia, Yunani, Turki, Lebanon, Israel sampai Mesir dan Maroko. Sejarah Mediterania berperan penting dalam permulaan dan perkembangan Peradaban Barat. Dan… cowok-cowok Mediterania itu kece-kece lho! #eaaa





Berenang, berjemu dan leyeh-leyeh di pantai adalah tujuan utama saya ke wilayah Mediterania. Biru lautnya memang biru banget! Nggak nyangka saya balik lagi ke sini sejak 2008 ikut trip Blue Cruise (kisahnya ada di buku “The Naked Traveler 2”). Namun kali ini highlight-nya adalah diving di Kas! Lagi-lagi nggak nyangka diving pertama saya pada 2020 malah di Turki! Laut Mediterania ini visibility-nya sampai 30an meter saking jernihnya. Saya menyelam di kedalaman 35 meter melihat shipwreck aja masih keliatan permukaan lautnya. Lanskap bawah lautnya berbentuk bebatuan besar bak pilar-pilar dengan gua-gua, tapi karang dan ikannya sepi! Ya bedalah sama kita di negara tropis.







Turki (dulu disebut Asia Minor atau Anatolia) mungkin memiliki lebih banyak reruntuhan peninggalan bangsa Romawi dibanding di Italia sendiri. Sudah tiga kali ke Turki tapi masih banyak yang belum saya kunjungi. Mumpung sedang berada di propinsi Antalya, kali ini saya mengunjungi Xanthos, Patara, Demre, Aspendos, dan Perge – semuanya dibangun oleh bangsa Romawi pada abad ke-1 SM, bahkan sebagian dibangun pada periode Lycian (abad ke-5 SM) dan Hellenistik (abad ke-3 SM). Kota-kota kuno dengan pilar-pilar marmer dan toko-toko di sepanjang jalan utama dengan air mancur, amfiteater berkapasitas ribuan orang tempat pertandingan gladiator (antarmanusia maupun manusia lawan hewan buas), monumen mata air beserta aqueduct (terowongan air), tempat pemandian, basilika, makam-makam kuno yang dipahat pada batu gunung, dan lain-lain benar-benar bikin berdecak kagum! Maju banget peradaban ribuan tahun yang lalu. Hebatnya, reruntuhannya masih terpelihara dengan baik!





Amfiteater Aspendos



Perge



Ada cerita penting tentang kota Demre (dulunya bernama Myra) yang terdapat Gereja Saint Nicholas. Beliau adalah seorang Uskup di Myra yang memang terkenal suka membagi-bagikan hadiah kepada orang miskin secara sembunyi pada malam hari. Berasal dari beliaulah figur Sinterklaas dikenal di Eropa, lalu berkembang menjadi Santa Claus di Amerika dengan percampuran budaya dan kepentingan komersial. Jadi Santa Claus ternyata berasal dari Turki, gaes!





Altar gereja St. Nicholas



Soal makan, saya strict banget hanya mau makan di restoran yang outdoor karena pas makan akan lepas masker jadi perlu pertukaran udara yang baik. Kalau di Istanbul makan daging-dagingan ala kebab, di Mediterania saya makanannya ikan dan seafood. Mana propinsi Antalya merupakan salah satu penghasil sayuran dan buah-buahan terbesar di Turki, jadi saya puas makan aneka salad dan buah delima segar!





Amankah Turki?





Di Turki peraturannya semua orang harus pakai masker begitu keluar rumah, kalau nggak kena denda. Setiap warganya setiap keluar rumah harus mendafarkan diri pada aplikasi yang disediakan pemerintah agar diketahui pergerakannya dan untuk contact tracing. Informasi maupun peringatan tentang protokol Covid-19 tersebar di mana-mana, hampir di tiap sudut. Hebatnya lagi, hand sanitizer juga disediakan di mana-mana, bahkan di pasar sekalipun! Saya lihat semua orang memang pakai masker, cuman memang kadang ada yang melorot. Yang nggak pake masker itu justru turis-turis bule! Memang sih di luar ruangan, tapi kan mereka rombongan sebus yang nggak pake masker semua. Begitu ada turis kayak begitu lewat, saya buru-buru menjauh.





Hotel yang sudah bersertifikasi Safe Tourism membersihkan fasilitasnya lebih teliti lagi, seperti handuk diplastik, bantal diplastik, alat makan dimasukan ke dalam amplop, tidak disediakan condiment (garam, merica, saus) di meja, tidak ada makanan prasmanan, menu digital. Masker surgical dan hand sanitizer diawur-awur di hotel dan restoran, sebelum masuk pintu atau lift. Bahkan tiap meja diberikan sebotol hand sanitizer sampai-sampai saya hampir meminumnya karena disangka air mineral!





Traveling di masa pandemi ini membuat bawaan saya jadi tambah banyak. Baju sekali pakai. Tas selempang isinya hand sanitizer, masker ekstra (saya pakai yang surgical supaya lebih efektif), disinfektan, tisu basah, tisu kering. Di bandara dan pesawat saya tambah pakai face shield setelah masker. Setiap mau menyenderkan tangan ke meja atau mau ke WC, saya bersihkan dulu pakai disinfektan. Setiap balik ke hotel langsung mandi, ganti baju, bersihkan jam tangan dan hape, minum vitamin. Coba bayangin, minimal 15 jam sehari saya pakai masker! Buka masker aja takut, apalagi buka Tinder! Eh! Nggak apa-apa deh parno, daripada cuek. Ya kan?





Intinya, di Turki pada masa pandemi ini kehidupan berjalan normal aja, semua buka dan beraktivitas seperti biasa. Bedanya pakai masker aja! Saya sampai berhenti mengoleksi foto cowok-cowok ganteng karena semua muka nggak kelihatan – untung dua guide saya ganteng abis (intip deh di Highlight Instagram @trinitytraveler)! Positifnya karena belum banyak turis, saya tidak pernah antre masuk ke tempat wisata apapun. Pengaruhnya bagi saya sendiri adalah: baru kali semua foto traveling saya pakai masker!









Tips penting:
Sebelum pulang ke Indonesia, wajib tes PCR dulu di Turki supaya nanti sampai di Indonesia nggak dikarantina dulu di Wisma Atlet. Saya minta tolong hotel di Antalya panggilin dokter untuk tes, biayanya cuman 29 Euro dan hasilnya kurang dari 24 jam.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 06, 2020 06:06

Trinity's Blog

Trinity
Trinity isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Trinity's blog with rss.