Citra Rizcha Maya's Blog, page 8

December 1, 2013

[Review Novel] A Thousand Splendid Suns

gambar : di sini


Judul           : A Thousand Splendid SunsPenulis        : Khaled HosseiniTranslator  : Berliani M NugrahaniPenyunting : Andhy RomdhaniPenerbit      : Qanita (Mizan Grup)Penghargaan: Book Sense Book of the Year Award for Adult Fiction (2008), Exclusive Books Boeke Prize Nominee (2007), Abraham Lincoln Award Nominee (2011)

Blurb: Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. "Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!"Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak, Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri. Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun, dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.***          Aku ingin membuka review-ku dengan kutipan dari Fyodor Dostoyevsky dalam Catatan dari Bawah Tanah; “Mana yang lebih baik- kebahagiaan picisan atau penderitaan yang agung?” Sejujurnya harus kukatakan aku memilih kebahagiaan bahkan walaupun itu picisan, tetapi mengenal tokoh Mariam membuat aku memahami apa itu penderitaan yang agung. Sebagai pecinta fairy tale yang menganggap bahwa idealnya suatu kisah harus selalu diwarnai dengan banyak hal indah dan penuh cinta di udara. Kupikir aku tak ingin tenggelam dalam kisah ini. Walau aku tak bisa memungkiri betapa luar biasanya tulisan Khaled Hosseini lewat The Kite Runner, tapi A Thousand of Splendid Suns memberi lebih dari sekedar sebuah kisah. Dan aku bahkan tak kecewa dengan ‘nyaris tak adanya kebahagiaan’ dalam kisah ini. Terlahir sebagai anak haram, Mariam seakan tak ditakdirkan untuk mendapat kebahagiaan. Nana—ibunya selalu menganggap bahwa takkan ada seorangpun yang bisa menyayangi Mariam seperti dirinya. Dan di sinilah kehebatan Hosseini dalam menciptakan karakternya. Nana mungkin dibenci dan juga disayangi sama seperti pembaca seakan untuk diminta membenci dan juga menyayangi Jalil, ayah Mariam ‘sang penyebab’ penderitaan Mariam. Karakter yang seolah dilukis hitam-putih nantinya akan diubah dalam abu-abu dengan berbagai nuansa. Bagian pertama (dari empat bagian) novel berkisah tentang masa kecil Mariam, keinginan-keinginan khas anak kecil dari Mariam, penolakan menyakitkan keluarga ‘sah’ ayahnya, kematian tragis Nana yang menanamkan rasa bersalah yang dalam pada diri Mariam. Hingga pernikahannya dengan Rasheed yang semakin menambah daftar penderitaan Mariam di kemudian hari. Pada akhir halaman 54 aku tak bisa menahan air mata.Menampilkan wajah Afganistan dengan segala tragedinya. Menununjukkan kesulitan dalam mempertahankan kehidupan. Bahkan mati tak hanya bisa terjadi sekali namun berkali-kali. Bagaimana peristiwa demi peristiwa dalam rentang waktu yang tak disadari dapat mengubah sesuatu, bahkan manusianya. Fariba, salah satu contohnya. Wanita dengan kebahagiaan yang berpendar bak mentari mampu meredup bagai mayat hidup ketika anak-anaknya harus berperang dan syahid dalam kematian yang membanggakan namun juga begitu menyedihkan. Membuat suami dan gadis kecil bungsunya harus mandiri tanpa fungsi istri dan ibu. Laila, di bagian kedua kisah inipun menuturkan tentangnya. Gadis kecil dari keluarga disfungsional yang memulai kisah tentang persahabatan manisnya dengan anak lelaki berkaki satu korban ranjau bernama Tariq. Bagian ini seakan seperti malam berbintang dengan udara sejuk, kesedihan tetap mengancam namun senyuman masih bisa dirasakan. Tapi, seperti sudah kukatakan bahwa penderitaan dan kesedihan selalu membayangi dan muncul dengan tiba-tiba membuat aku sebagai pembaca diharapkan waspada dan ya tetap saja ada bagian yang membuatku terkejut dimana, si gadis kecil Laila harus kehilangan orang tua disaat dia baru saja mengucapkan selamat tinggal pada Tariq, cinta sejatinya yang mengungsi menuju Pakistan  dan bagai malam kelam, datanglah kabar lebih buruk yang  menghantamnya, saat seseorang memberitakan bahwa Tariq-pun telah tiada. Sebatang kara dan terluka, keadaan pahit membuat dia merasa seperti seperti kejatuhan bom! Laila harus menikahi Rasheed (yang lebih layak menjadi kakeknya) dan bermadu dengan Mariam. Mau tak mau dengan anak Tariq yang ada di rahimnya. Lailapun dipaksa menerima realita.Segalanya memburuk dan terus memburuk hingga kelahiran Aziza dan kecurigaan Rasheed bahwa Azizah bukan darah dagingnya. Kekerasan daam kehidupan rumah tangga yang sebelumnya selalu menjadikan Mariam korban, kali ini membuat Laila bahkan Aziza menjadi korban selanjutnya. Dan di sinilah dimulai, bahwa Tuhan memberi cahaya-Nya dalam bentuk cinta tanpa syarat. Perjuangan Mariam dan Laila dimulai. Dibatas ini aku berhenti untuk bercerita.
Dan di sinilah aku ingin mengatakan bahwa ada cinta yang agung dan suci.Cinta yang sangat megah tak mesti melalui pertalian darah. Cinta tanpa syarat yang hadir setelah menghadapi berbagai macam cobaan berat. Cinta dan pengorbanan dari Mariam untuk Laila, cinta Mullah Faizullah dari masa kecil Mariam yang memberi kekuatan bertahan hingga cinta polos dari Aziza bahkan Zalmai.Untuk Mariam aku ingin mengatakan betapa malunya aku pada hidupku, mempermasalahkan hal sesepele warna hijab atau model sepatu, mengkambinghitamkan PMS-ku tiap bulan sebagai penyebab penderitaanku, merasa benar dan berhak atas tindakan yang kulakukan dan demi oh Tuhan menghadapi perselisihan dengan sahabat akibat seorang cowok yang datang dan pergi dalam hidupku. Apa yang kualami tak sebanding dengan dirinya walau dia adalah tokoh fiksi tapi aku percaya di suatu tempat di sana tak menutup kemungkinan terdapat Mariam-Mariam yang begitu menderita. Hidup tak mudah baginya, betapa keinginannya begitu sederhana dan betapa dukanya seakan bertahan untuk selamanya. Membaca kisah ini pada akhirnya membuatku bersyukur pada hidupku.Di halaman terakhir buku ini aku menuliskan beberapa baris kalimat; Terima kasih Khaled Hosseini untuk membiarkanku menangis dengan cara yang indah dan alasan yang benar. Bersyukur menjumpai Mariam dalam kisah ini, lebih-lebih bersyukur bahwa aku terlahir sebagai perempuan dan bangga atas apa yang kulakukan.

*kabar baiknya, si feminis radikal dalam diriku, tidak mengacau saat aku membaca kisah ini*

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 01, 2013 03:21

November 28, 2013

Menjadi Nekaders J50K


Gambar: di siniApa itu Menulis?
gambar:  di sini
Menulis berarti ambil pulpen dan kertas lalu keluarkan saja semua yang diteriakan otak atau jika kamu bukan tipe konvensional kamu akan menghadap layar canggihmu dan mulai memerintahkan jari-jarimu mengikuti panduan komando pasien skizophrenia yang mulai menggila di dalam pikiranmu. Menulis? kamu bisa definisikan semaumu!          Aku menulis karena suka membaca, terlalu banyak membaca membuat aku jatuh cinta pada kata-kata. Menulis kutipan pada awalnya lalu menjadikan kutipan itu semacam tulisan (yang hanya tulisan) Aku biasa menulis apa yang otakku katakan, ditengah kebosananku di ruang kelas. Aku menulis ketika menunggu dan tak ada buku untuk dibaca sebagai partnerku untuk membunuh waktu. Aku menulis untuk memahami perasaanku. Aku menulis untuk kata-kata yang tak ingin kukatakan ketika berbicara. Menulis adalah kegiatan melarikan diri dari realita yang bisa sangat berbahaya, karena ya ampun menulis telah menjebakku dalam cinta dan menulis telah menjadi ritual wajib tiap hariku. Aku menulis tanpa pernah tahu bahwa menulis juga seperti Fisika perlu rumus. Selain itu, menulis memili teori-teori dan aturan, tapi ....aku percaya aku bisa langsung menulis saja dan belajar teknik menulisnya bisa kulakukan sambil (terus) menulis.

Jadi Nekaders di J50K                Nyaris dua tahun lalu di penghujung Desember saat aku dipaksa (diri sendiri) untuk menuruti nyaliku. Okay, aku tidak punya ilmunya tapi punya nyalinya. Dalam tempo tiga puluh satu hari harus menghasilkan 50.000 kata dalam bentuk fiksi! Sejujurnya harus kukatakan itu agak nekat dan bukankah itulah kenapa para peserta J50K disebut nekaders? Sebelumnya aku sudah mulai menulis, tapi menulis yang hanya mengikuti hatiku dan jika mendapat pembaca apalagi apresiasi yeah itu menjadi bonus yang bikin happy! Jadi, ketika melihat tentang ajang menulis ini ya ampun aku harus ikutan! Kapan lagi menantang diri sendiri untuk melakukan hal yang benar-benar aku sukai?Mau tak mau aku harus bilang bagaimana awal aku menjebak diri dalam hobi menulis. Yeah, di mulai di awal tahun 2010 ketika aku harus berada di tempat baru yang, bisakah kamu bayangkan! Tidak ada perpustakaan, tidak ada toko buku juga rental buku, yang ada hanya sekardus buku lamaku yang tersisa (sebagian besar koleksi bukuku terendam banjir dan sedikit yang lebih beruntung berada di tangan mereka-mereka yang meminjam dan entah lupa apa tidak tapi tak pernah mengembalikan) Betapa menyiksanya tak memiliki sesuatu untuk dibaca, hingga ....karena tidak ada yang bisa dibaca maka aku menuliskan sesuatu untukku baca! Dan yeah aku mulai menulis kisah-kisah sederhana yang ingin kubaca, kedengaran silly kan? Sesuai dengan apa yang kukatakan di bawah header blog-ku! I want to be that quirky girl who writes silly stories that still have meaning.Ternyata apa yang kutuliskan, yeah not too shabby. Beberapa orang membaca tulisanku dan setelahnya mereka jadi temanku. Beberapa tulisanku dapat label HL dari Kompasiana yang pada jaman itu kayaknya keren banget hehehe, dan mari kembali lagi ke ajang J50K, ketika sedang asyik menulis dan kebut-kebutan untuk menambah jumlah angka. Kan, kita sering berbagi info di page J50K, ada postingan tentang info tentang lomba menulis “Berfantasi Tidak Dilarang” jadilah aku mengikutkan sebuah novelku dan tanpa disangka, jadi juara satu dan terbit di akhir tahun lalu. Judulnya Confession of a Silly Drama Queen! Tapi pada saat itu ada kejadian kurang menyenangkan dan beberapa tulisanku di blog jadi korbat plagiat, tapi tak apalah....kreativitasnya tetap milikku dan si plagiat cuma dapat kepuasan palsu.
Setidaknya untuk mencapai target 50.000 kata dalam 31 hari, diperlukan sekurangnya 1613 kata perhari. Kalau dipikir itu bukan masalah besar dengan menganggap bahwa itu cuma sebagian kecil dari total kata yang kita ucapkan sehari-hari. Mengutip kata iklan, talk less do more! Jatah bicara dikurangi dan lebih baik jika dituliskan! Bukankah perempuan berbicara sekitar 20.000 kata perhari dan laki-laki 7000 kata, masih baca kata-kata yang tersisa kan, ya? ·        Ide Tulisan gambar: di siniMengingat tahun pertama aku jadi nekaders dan punya waktu kurang dari tiga hari sebelum memulai ide menulis. Maka yang bisa kulakukan selain nekat adalah menemukan apa yang bisa kutuliskan. Kata JK Rowling, tulislah apa yang kau ketahui, dan kataku sendiri tuliskan juga tentang apa yang kau sukai. Jadi, belajar dari pengalaman. Aku menulis hal yang kuketahui dan yang kusukai. Tahun pertama aku menulis Rahasia Gadis yang kemudian berubah nama jadi Puzzle Pieces. Yang aku tuliskan adalah cerita tentang seorang Gadis yang terperangkap dalam hidup bak fairy tale. Aku suka fairy tale juga balet jadi kutuliskan saja dan kebetulan aku juga tahu banyak hal tentang keduanya. Tahun kedua jadi nekaders kebetulan aku baru terjun ke hobi baru, yaitu exchange experience dengan teman-teman asing, jadinya aku menuliskan sedikit tentang mereka dan jadilah Love for Spacious Skies yang menceritakan tentang Del yang bertemu cowok Jerman keren beserta dua backpackerAmerika konyol dalam drama romantis .·        Konsistensi dan KafeinPercayalah jika kamu mengatakan tidak gambar: di sinimood menulis, maka itu sama dengan alasan cewek 20 tahunan yang mengklaim dirinya insomnia padahal sepanjang malam dia menahan kantuk demi stalkingtwitter mantannya hahaha. Moodjangan ditunggu, jemput dan paksa si moodbersamamu. Ketika kamu merasa jenuh seharian menulis berarti kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, kamu mau jadi penulis atau cuma ingin menjadi penulis? paham bedanya kan?Okay, kantukmu mungkin jadi masalahmu dan yang mengatasinya adalah Kafein! Oh Tuhan aku suka kopi dan kopi sangat dianjurkan, bukankah penulis itu tak (nyaris) mungkin bisa bekerja tanpa bantuan kafein? Aku sudah memiliki cangkir kopi baru untuk persiapan J50K, cangkir mungil warna pink dan putih. Aku tahu aku tak boleh mengecewakan cangkir kopi baruku dengan malas-malasan menulis.·        Membaca, Mendengarkan Musik, dan MenontonSaat jenuh berhadap dengan kertas atau lappy, gambar: di sinikamu bisa memilih membaca, mendengarkan musik dan menonton. Moodmu akan kembali besertamu dan juga plus tambahan ide segar baru.·        Bagaimana Jika Kamu Terlalu Sibuk untuk Menulis?Aku mengalaminya di tahun kedua, di saat Januari aku harus kerja pagi-sore dan hanya bisa mencuri-curi sedikit waktu untuk menulis. Target 50.000 kata mungkin tak bisa tercapai tapi minimal saat menulis usahakan agar apa yang kamu tuliskan sebagai kegiatan menyenangkan bukan tuntutan ataupun beban. Walau gagal (tapi aku tak mengharapkan siapapun untuk gagal jadi nekaders) minimal kamu sudah mengawali tahunmu dengan suatu kegiatan dan kebiasaan yang baik dan menyenangkan.
Akhirnya aku mau bilang bahwa di tahun ketigaku jadi nekaders nanti aku harus lebih baik dan tidak boleh gagal. Ide sudah ada di otak dan yeah aku sudah tak sabar menunggu Januari untuk menuliskannya!
Dan siapapun yang berniat ikutan J50K dan ingin tahu bagaimana persiapannya. Kamu harus tahu bahwa Kampung Fiksi Membuka Kelas Online dan Persiapan J50K 2014 di sini!



gambar: di sini
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 28, 2013 23:22

November 27, 2013

Dongeng: Dominic dan Toko Kue Ajaib

Gambar: di sini



Kisah ini berasal dari sebuah kota yang sebenarnya tidak terlalu indah. Kenapa tidak terlalu indah? karena sedikit sekali rumput hijau di sana, dan langit jarang berwarna biru dan udara segarnya sudah tercemar polusi. Orang-orangnya berisik, selalu bicara ...tapi tidak bicara dengan manusia di sekelilingnya, mereka bicara pada benda mati yang disebut telepon pintar. Aku kadang bertanya jika teleponnya pintar apa mereka begitu bodohnya? Belum lagi suara klakson taxy yang ributnya minta ampun. Fiuh! Di malam hari, kamu tidak bisa berdansa di bawah sinar bulan dan sulit sekali menemukan bintang-bintang karena lampu-lampunya terlalu terang. Memang, kota itu tidak terlalu indah tapi... . hmmm bagaimana jika kita sebut kota itu sebagai kota yang bercahaya, karena banyak lampu-lampunya? Bukankah kita menyukai sinar yang terang-benderang?          Di sudut kota itu terdapat sebuah toko kue mungil berwarna cokelat dan pink yang cantik. Sayangnya, kamu tidak akan mencium aroma lelehan Mentega. Tidak ada wangi Cokelat nikmat yang menenangkan, kamu bahkan tidak akan melihat uap perak yang keluar dari oven dan menguarkan aroma roti yang nikmat. Apakah toko kue itu dikutuk oleh ibu Peri? Apakah ceritanya seperti ini; ketika ibu Peri berpura-pura menjadi nenek tua kelaparan, si pemilik toko kue kejam bahkan tak memberinya sepotong roti dan malah memaki-maki? Tidak...tidak...tidak...! si pemilik toko adalah seorang wanita yang baik hati, dia malah sebaik ibu Peri.          Wanita pemilik toko kue itu bernama nyonya Anna, dia adalah pembuat kue terbaik di kota itu. Dia membuat macam-macam roti, cake, pie, muffin, semua yang lezat, manis dan disukai anak-anak. Tidak hanya anak-anak sih, tapi orang dewasa juga para orang tua. Nyonya Anna bahkan menjadi kaya raya dan memiliki banyak toko kue. Toko kuenya tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan sampai di benua lainnya.          Tapi, di akhir masa hidupnya Nyonya Anna bersedih, karena nyonya Anna tak memiliki seorang putri, untuk diwarisi kerajaan toko kue yang sangat dia cintai. Nyonya Anna memang memiliki seorang putra, namanya Dominic, dia pemuda yang baik tapi Dominic tidak berbakat membuat kue. Jadi, nyonya Anna sengaja membangun lagi sebuah toko kue mungil  jauh dari pusat kota. Toko mungil yang nyaris tak terlihat karena berada di kawasan kumuh yang tidak menarik.Tapi, itu rahasia kecil nyonya Anna, nyonya Anna punya rencana dengan toko kuenya. Kamu tahu,  cinta nyonya Anna untuk putra semata wayangnya, membuat toko kue mungil itu memiliki keajaiban!***          Di etalase toko kue itu terdapat tiga buah replika cupcake yang cantik; yang pertama, Red Velvet cupcake dengan krim keju lezat, yang kedua cupcake Mocca dengan krim Espresso yang enak dan yang ketiga hanya cupcake Vanilla tanpa krim apapun di atasnya. Hanya cupcake sederhana berformula 1,2,3.  Satu cangkir susu, satu cangkir gula, satu cangkir mentega, satu  sedok teh garam dan vanila. Dua cangkir terigu dan dua  butir telur, serta tiga sendok teh baking powder. Pokoknya gampang, anak-anak juga bisa membuatnya. Si cupcake vanilla sama sekali tidak istimewa. Maaf keliru, bukan tidak istimewa sama sekali sih. Mereka sebenarnya, replika kue ajaib. Mereka hidup di dalam toko.           “Hey Vanilla, kau tahu aku ada di urutan pertama sebagi cupcake favorite penduduk kota ini.” Si Red Velvet menyombongkan diri. Si Vanilla tahu si Red Velvet memang agak tinggi hati.          “Jadi, kamu bangga? Huh... dasar Red Velvet sombong! Okay, kamu boleh jadi favorite semua orang....tapi kamu harus tahu bahwa cupcake Mocca-lah yang paling laris. Semua orang membeliku!” si Mocca tak mau kalah.          “Membelimu? Para pria tua dan wanita berjas dengan tampang serius dan berkacamata itu? Fiuuuuuh! Betapa membosankannya! Mereka membelimu karena kafeinmu, sementara aku? aku selalu berada di nampan-nampan pelayan di tengah pesta selebritas dunia. Aku dikagumi karena kecantikanku, para pembeli mengantri demi mendapatkanku, dan aku....ada di televisi, nyaris setiap hari!          “Rendah hatilah, Red Velvet!” Mocca memperingati.          “Kau saja, Mocca!” jawabnya sombong “Aku? Takkan pernah! Berdoalah agar mereka terus membelimu, agar kau tak seperti si malang Vanilla! Donat Cokelat bahkan lebih laku dibanding dirinya!”Si Vanilla yang mendengar perkataan Red Velvet hanya tersenyum. Vanilla hafal sifat kedua temannya, Red Velvet yang cantik dan sombong sementara Mocca si kaku yang angkuh.          “Aku bangga dengan kalian berdua, tapi...kadang aku bertanya-tanya. Kapan penantian kita berakhir. Aku ingin sekali pintu itu terbuka, dan Dominic akan membawa gadisnya yang akan menggantikan Nyonya Anna untuk membuat kue-kue enak.”          “Dan itu berarti hidupmu berakhir, sayangku yang malang.” Ejek Red Velvet. “Aku tahu pada akhirnya, Dominic akan membawa gadis yang secantik dan sepopuler aku.”          “Hey! Jaga perkataanmu Red Velvet, Dominic pemuda cerdas, dia akan memilih gadis yang pintar. Cantik akan termakan usia tapi kepintaran akan bertahan selamanya.” Seru Mocca dengan lantang.          “Aku percaya Dominic akan memilih gadis yang memiliki hati sebaik dan selembut ibunya. Dan gadis itu....pandai membuat kue. Dia akan memenuhi toko ini dengan banyak kue lezat....”          “Tapi sialnya, kau tidak termasuk Vanilla sayang. ”Ejek Red Velvet dan Mocca kompak. “Siapa yang mau membuat kue tidak enak seperti kamu.”          Vanilla tidak sakit hati, dia tahu itu cuma cara kedua temannya untuk menyakiti. Vanilla tahu sekali bahwa dia sangat istimewa karena dia adalah kue favorite nyonya Anna.***          Seorang pemuda tampan memasuki toko itu. Dialah Dominic. Serta merta semua benda yang berada di sana, langsung berkilauan dan senyum cerah mengembang di wajah tiga replika kue ajaib itu. Toko kue mungil itu selalu menunggu kedatangan Dominic.          “Akhirnya aku kemari, seandainya mama ada di sini.” Si pemuda berbicara sendiri. Seandainya dia tahu bahwa ketiga kue itu mendengarnya. “Aku teringat pesan mama, ketika aku menemukan gadis yang membuatku jatuh cinta maka aku harus membawanya kemari. Mungkinkah mama akan meminta gadisku untuk membuat kue?” Dominic bicara sendiri dan bertanya sendiri, dia terlihat kebingungan. “Ini sulit, entahlah tapi aku memiliki tiga gadis, entah mana yang paling kucintai. Bella, cantik dan terkenal. Pewaris hotel berbintang. Dia pemilik mahkota dari kerajaan bisnis ayahnya yang kaya. Emma, temanku sejak masa kanak-kanak. Dia terpelajar dan sopan. Dia memiliki gelar putri dari kontes kecantikan. Dan ada Jade, gadis bermahkota kertas, hadiah dari anak-anak yang menyayanginya. Aku bertemu dengan Jade di rumah sakit tempatku pernah menjadi relawan. Dia gadis sederhana yang jelita. Dia juga seorang relawan dan dia pernah berkeliling banyak negara untuk membantu anak-anak cacat dan mereka yang kelaparan.”“Aku kesulitan untuk memilih, dan seandainya mama masih ada tentu mama tahu gadis mana yang tepat bagiku.” Dominic terlihat putus asa.Seketika ruangan berpendar dan cahaya di sekitar berbinar. Tiba-tiba keajaiban terjadi, tercium aroma cupcake yang baru keluar dari oven, cream melayang diudara dan langsung menghiasi atasan cupcake, lalu tiga kotak merah mulai terisi dengan cupcake-cupcake cantik. Ketiga kotak itu tertutup dan pena ajaib bertinta emas menuliskan nama ketiga gadis di atas kotak berbeda. Nama Bella di kotak berisi selusin Red Velvet, nama Emma di kotak berisi selusin Cupcake Mocca, dan nama Jade di kotak berisi selusin Cupcake Vanilla.Dominic masih terheran-heran  sampai dia menyadari bahwa keajaiban itu adalah cara ibunya untuk membantunya memilihkan gadis yang tepat. Dengan cepat dia mengambil ketiga kotak itu dan membawanya pada ketiga gadis tersebut. Dia mendatangi Bella dan menyerahkan kotak kuenya, tahu apa yang dikatakan Bella?“Red Velvet, oh dia sangat cantik. Tapi maaf sayang, aku tidak makan yang manis-manis. Gula tidak baik untuk kecantikanku.” Bahkan tanpa mencicipi sepotongpun Bella langsung menolak kuenya. Tak mau mengambil pusing dengan segera Dominic menemui Emma. “Wah Cupcake Mocca, sangat menggoda dan terlihat enak, tapi maaf sayang. Kue seperti ini tak baik untuk kesehatanku dan bisa merusak gigiku.” Emma bahkan tak menyentuhnya. Dengan langkah berat Dominic meninggalkan Emma dan Dominic seakan kehilangan keyakinan, bahkan ketika menemui Jade. Jade, akan sama seperti dua gadis sebelumnya. Dan Cupcake Vanilla untuknya bahkan tidak istimewa.Jadi, dengan cepat Dominic menyembunyikan kotak kue tersebut sebelum Jade melihatnya. Sial, Jade mengetahuinya.“Kau punya kejutan untukku?” dengan lembut Jade berkata.“Sebenarnya...ini...hanya kue dan sepertinya kau tidak akan menyukainya.” Dominic ragu-ragu.“Bolehkah aku melihatnya?” pinta Jade manja dan Dominic pun menyerah.Senyum mengembang di wajahnya dan dia berterima kasih pada Dominic. “Kejutan yang hebat, terima kasih sayang.” Jade memberi ciuman kecil di pipi Dominic. “Kue ini terlalu banyak untukku sendiri, bagaimana jika kue ini kita bagi-bagi?” dengan penuh semangat Jade menarik tangan Dominic dan membawa Dominic berjalan beberapa blok dari rumahnya dan masuk ke sebuah perumahan kumuh yang ternyata dekat dengan toko kue mamanya, dan setelah berjalan cukup lama pada akhirnya mereka berhenti di sebuah lapangan bermain. Jade menyapa anak-anak dan mereka menyambutnya dengan suka cita, mereka terlihat sudah saling mengenal sejak lama. Mereka bermain, berlari, bernyanyi dan menari. Mereka bersenang-senang. Kebahagiaan mereka seolah beterbangan di udara. Di akhir waktu bermain Jade memanggil anak-anak itu dan membagi-bagikan itu cupcake Vanilla itu ke masing-masing anak. Anak-anak tersebut berbahagia dengan kemurahan hati Jade dan mereka sangat berterima kasih. Jade serta Dominic bersyukur akan hal itu. Mereka percaya kebahagiaan itu jadi sangat berarti ketika dibagi. Dan sekarang Dominic menemukan jawabannya. Jade-lah gadis yang tepat untuknya. Dan diakhir hari itu, ketika Dominic mengantarkan Jade pulang. Dominic dan Jade menemukan sebuah keajaiban. Cupcake Vanilla itu masih tersisa sebuah. Jade bersikeras agar cupcake itu mereka bagi berdua.  Dan tebaklah apa yang mereka temukan ketika cupcake itu terbelah? Sebuah cincin! cincin milik ibu Dominic. Dominic tahu apa yang harus dia lakukan. Melamar Jade! Tak diragukan lagi, setelah Jade menerima lamarannya. Pada akhirnya mereka menikah dan bahagia selama-lamanya.Apakah kisahnya hanya berakhir sampai di sini? Tentu tidak! Karena setelah Dominic dan Jade menikah, keajaiban di toko kue kecil itu hilang sudah. Walau ketiga replika cupcake itu tak lagi hidup, tapi di toko kue mungil itu selalu tercium aroma nikmat cupcake yang baru keluar dari oven. Tak hanya Vanilla, tapi juga Mocca dan Red Velvet. Semua kue di toko itu diberikan gratis untuk semua anak-anak  dari perumahan kumuh yang mampir ke sana setelah pulang sekolah. Dan di setiap penghujung hari. Di dapur toko kue mungil itu, dari jendela yang berkaca warna-warni. Bayangan Dominic dan Jade terlihat. Mereka sedang menikmati cupcake Vanilla dengan secangkir teh sambil berbagi tawa dan bahagia.

:::The End:::

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 27, 2013 02:22

November 20, 2013

Hukuman Buat Pita


Gambar : di sini
Pita anak nakal! Mereka selalu bilang begitu! Tapi Pita sih nggak sedih, Pita cuma merasa semua anak-anak boleh nakal. Kaaaan....orang gede juga nakal. Ayah pernah bikin mama menangis, ayah nakal! Tante Uwi dan tante Ica ngomongin mama yang jelek-jelek, mereka nakal juga, kan? Tapi kenapa hayo kalo orang gede yang nakal nggak pernah dapat hukumannya? Karena orang gede malu tau! Masa bikin aturan tapi dapat hukuman.            Praang!!! Gelas susu yang belum sempat Pita minum pecah. Pita ingin susu tapi mama bilang nanti. Pita sudah minta tolong ke tante Ica dan tante Uwi tapi mereka sedang sibuk nonton. Jadi, Pita memutuskan untuk bikin susu sendiri. Ambil bangku buat raih kotak susu di buffet dan ambil satu-satunya gelas yang bersih, tapi Pita tak sengaja ketika siku Pita nyenggol gelasnya. Pita cuma sedang atur keseimbangan biar tak jatuh dari bangku.            “Tuh kan Pita!” omel tante Uwi “Udah dibilangin kalo minum jangan pake gelas kaca, nah kan pecah!” wajah tante Uwi sekarang berubah seram. Pita lalu membayangkan kepala tante Uwi punya tanduk dan dari sudut bibirnya tiba-tiba ada taring.             “Pita nakal!” teriaknya, pasti sebentar lagi tante Uwi ambil sapu tapi dengan cepat Pita lari dan dari kejauhan Pita mendengar suara tante Uwi teriak dan nyalahin mama Pita. Kasihan mama. Padahal ya, mama Pita sekarang lagi repot. Harus rawat adik Pita, Leoni yang lagi pilek dan rewel. Belum lagi mama Pita muntah-muntah terus, soalnya Pita mau punya adik lagi. Pita berdoa, semoga adiknya yang sedang diperut mama adalah adik cowok. Soalnya Pita udah punya adik cewek dan adik cewek itu nggak asyik! Cengeng dan suka merengek, uh juga manja!            Pita sembunyi di sebelah sofa tua tempat kakek sering membaca kalau sedang berkunjung ke rumah. Di sinilah benteng pertahan Pita. Pita menyimpan barang-barang berharga miliknya. Gambar rumahnya yang dapat tanda paraf dari ibu guru, koleksi karet penghapusnya dan kemeja ayahnya. Ayahnya jarang pulang, jadi kalau Pita kangen, Pita sembunyi di sebelah sofa sambil memakai kemeja itu. Pita selalu berpikir itu cara ayah memeluknya dari jauh.            “Kalau Pita bandel terus sudah Pita dititip aja di rumah ape Odeng dan ape Ibo!” Itu suara tante Ica. Tante Ica dan dan tante Uwi sedang ngobrol di sofa. Pita menutup mulut, dia ketakutan. Ape Ibo dan ape Odeng itu seperti tante Uwi dan tante Ica dalam versi lebih tua, jadi mereka itu tantenya mama dan saudara-saudaranya. Dan ya ampun mereka galaknya luar biasa. Mereka cerewat dan tua, mereka bau minyak angin dan rambutnya putih. Mereka....mengingatkan Pita akan nenek sihir di dongeng Hensel and Gretel. Ape Ibo dan Ape Odeng itu memang punya rumah mungil yang cantik dan hobi bikin kue, tapi tetap saja....huh! pokoknya Pita nggak mau dititip di sana!            “Kalau Pita semakin bandel, ya sudah dititip di sana aja!” itu ancaman buat Pita, dalam hati Pita berjanji jadi anak baik. Tapi Pita kadang nggak berniat bandel, hanya kadang banyak hal salah dan itu bikin seolah semuanya adalah gara-gara Pita. Seandainya Nisfi nggak sedang sakit cacar. Pita akan senang dititip dan main sama Nisfi, seandainya tante Ivo dan Mbimbi nggak pindah rumah. Seandainya! Sekarang Pita benci kata seandainya.***            “Mulai hari ini Pita janji jadi anak baik! Nggak nakal nggak bandel.” Pita sungguh-sungguh berjanji dalam hati sebelum dia berangkat ke sekolah TK-nya.            “Maaf sayang, mama nggak bisa antarin Pita ke sekolah, Leoni demam lagi.” Kata mama sambil memasukan bekal ke dalam ransel Pita. “Pita mama titip ke mamanya Gina, ya? Nanti mamanya Gina datang jemput Pita. Pita bisa berangkat bareng Gina dan Mamanya” Gina? Gina yang gembul dan punya hobi cemberut itu nggak suka dengan Pita. Gina selalu ketakutan kalau ada Pita, mamanya selalu meminta Gina untuk membagi makanannya dan Gina nggak suka itu. Selain itu Gina selalu bilang kalau Pita itu pembohong! Pita bilang kalau selain Nisfi Pita punya seorang sahabat, anak laki-laki bernama Jan. Setahu Gina anak laki-laki teman main Pita adalah sekelompok anak nakal bernama Rizvan, Madon, juga Ical dan Abang, beneran lho nama panggilannya Abang, karena dia adalah kakaknya Ical dan dia murid paling gede di sekolah.“Jadi, kamu masih nggak percaya kalau aku punya teman namanya Jan?” kata Pita ketika jam istirahat dan mamanya Gina menyuruh mereka bermain bersama.“Nggak!” Gina tidak tertarik.“Kenapa kamu nggak percaya?” tanya Pita.“Karena nggak ada yang namanya Jan, di sini!”“Pita! Main yuk!” sekelompok anak laki-laki mengajaknya bermain bola. Pita janji jadi anak baik hari ini, kalau main bersama mereka Pita nanti ikut nakal. Pita nggak mau dimusuhi anak-anak cewek.“Pita mainnya sama Gina dulu, ya.” Jawab Pita dan anak-anak cowok pergi. “Gina, mau kalau Pita ajak main sama Jan?” mata Pita berbinar-binar saat membicarakan Jan. Menurut Pita, Jan anak yang baik sekali.“Nggak, nggak ada Jan!” teriak Gina.“Gina, Jan itu ada dia, malah ngajarin Pita nyanyi.” Pita sungguh-sungguh ingin membuktikan keberadaan Jan.“Nggak percaya!” teriak Gina“Pita bisa nyanyiin lagu yang diajarin Jan kalau kamu mau.”“Coba kalau bisa!” Gina menantang.“Ozewiezewoze, wiezewalla, kristalla, Kristoze, wiezewoze, wieze-wies-wies-wies-wies.” Pita menyanyikannya dengan riang tapi Gina terlihat kebingungan.“Pita tukang bohong!” Gina berteriak dan pergi meninggalkan Pita. Tinggal Pita sendiri yang berjalan ke arah belakang sekolah, ke tempat bangunan tua jaman Belanda. Biasanya ada Jan main di sana. Di gudang tempat buku-buku lama di tumpuk juga mainan-mainan rusak di simpan. Gudang ini adalah surga bagi Pita.“Jaaaaaaan.” Panggil Pita dan tak lama, anak laki-laki berambut merah berjas hujan kuning muncul dengan wajah setengah mengantuk dan ada cengiran di wajah pucatnya yang berbintik-bintik.“Gina bilang aku bohong!”Wajah Pita kesal“Kamu nggak bohong.”Jan tersenyum untuk menenangkan Pita.“Tapi...”“Aku suka kamu jadi temanku! Hey aku punya hadiah untuk kamu.” Jan membongkar-bongkar kardus dan mengeluarkan sebuah buku tebal dan berdebu. Jan meniup debunya dan mereka bersin bersamaan. Suara bersin Jan terdengar lucu, dan mereka tertawa. Pita menerima buku yang diberikan Jan dengan wajah bingung.“Terima kasih Jan. Tapi....kenapa Jan memberikan Pita buku ini?” Pita memutar buku itu, sampul depan dan sampul belakang berwarna cokelat kusam. Bukunya juga berat dan Pita tidak mengerti kata-kata di buku itu. “Baiklah!” Jan duduk di samping Pita dan mengambil buku dari pangkuan Pita. Jan membuka halaman paling akhir dan menunjukkan pojok bawah buku yang dipenuhi tulisan kecil dan rapat. Tahukah kamu apa yang Pita lihat di sana? Jan menggambar wajah Pita! Wajah mungil Pita yang sedang tersenyum, dan Pita pun tersenyum.“Mau lihat yang lebih hebat?” tanya Jan.“Yaps!” Pita mengangguk-angguk bersemangat.Jan menahan halaman-halaman buku dengan ibu jari kanannya lalu membiarkan lembar demi lembar terlepas satu persatu dan gambar Pita dalam berbagai ekspresi, terlihat seperti dalam film animasi hitam putih.Pita tertawa-tawa gembira dan berseru hore berkali-kali. Tapi diluar sana semua orang panik, sejak istirahat Pita tak terlihat di halaman sekolah. Pita juga tidak masuk kelas Pita tidak tahu semua orang cemas mencari Pita, sekolah sudah usai dan Pita belum ditemukan!Akhirnya Pak Ardi menemukan Pita di gudang sekolah dan Pita segera dipertemukan mamanya yang cemas. Mama terlihat marah tapi tak bicara, di perjalanan pulang Pita cerita tentang Jan dan hadiahnya, tapi mama seperti Gina mereka tak percaya Jan ada, itu membuat Pita sedih, tapi itu tak lebih buruk karena sekarang Pita dihukum, Pita dititip di rumah ape Odeng dan ape Ibo.***Pita terjebak dengan dua nenek tua. Sekarang Pita berada di meja makan dan harus menghabiskan sepiring penuh nasi dengan aneka sayuran dan ikan goreng. Pita lebih suka nasi dengan ayam goreng dan kecap, tapi Pita nggak bisa memilih.“Kalau Pita habiskan isi piringnya sampai tak bersisa ape janji akan bikinkan Pita kue.” Kata Ape Odeng, tapi bukan janji ape Odeng  yang bikin Pita mengangguk namun pelototan mata ape Ibo. Sebenarnya rasa sayur dan ikan goreng nggak buruk-buruk amat, cukup enak kok dan sehat kayak kata Ape Ibo.Dan, seperti janji Ape Odeng setelah makan dia membuatkan Pita kue, tapi huwek! Kue macam apa coba...? atau tebak aja bagaimana rasanya! Ketika dua gelas tepung terigu dicampur segelas garam? Dicampur air ditambah minyak goreng! Pita merasa mual, tapi ape Odeng tetap saja membentuknya menjadi adonan lembut, lalu ...adonan itu dibagi jadi lima macam  dan diberikan pewarna makanan; Pink, Ungu, Biru, Kuning dan Hijau. Adonannya cantik sih tapi....kue ini pasti bakal bikin Pita muntah-muntah. Tapi anehnya, ada aroma kue yang baru habis dipanggang dan benar saja ape Ibo mengeluarkan beberapa loyang kue warna-warni yang wanginya enak sekali.“Yuk, kita bikin bolu gulung Pelangi! Ape yang beneran Pita dengan adonan dari Plastisin Mainan ya.” ajak Ape Ibo dan betapa lucunya ketika pikiran Pita salah, dan Pita mengetahuinya setelah ape Odeng memberikan adonan yang baru saja dibuatnya untuk Pita. Dengan malu-malu Pita mengambil adonan jatahnyanya dan meniru cara membuat kue Bolu Gulung Pelangi betulan dari kedua ape-nya. Jadi, mereka membuat kue bersama-sama.Setelahnya, Pita dan kedua apenya menikmati kue di halaman depan. Bolu Gulung Pelanginya enak sekali, sambil menikmati kue Pita bertanya. “Ape percaya kalau aku punya teman namanya Jan? Mereka nggak percaya mungkin karena mereka belum pernah ketemu Jan.” “Tidak semua yang tak terlihat itu tak ada.”Kata Ape Odeng.“Jadi ape percaya?”Kedua Apenya mengangguk.“Boleh kuenya Pita bagi dengan Jan?”tanya Pita bersemangat.“Kue plastisinnya boleh, tapi kue benerannya Pita bisa bagi dengan Leoni, Pita nggak pernah main sama Leoni, kan? Mungkin sekarang Pita harus lebih sering berbagi dan bermain bersama Leony. Teman bisa datang dan Pergi tapi saudara selamanya.” Jelas ape Ibo.Pita mengangguk mengerti, dia merasa bersalah pada Leoni karena tak pernah bermain bersamanya. Dan pada akhirnya Pita bilang “Terima kasih untuk hukumannya.” Ada senyuman di bibir Pita secerah binar matanya yang indah. Hukuman buat Pita ternyata tak seburuk pikirannya.
 ::::The End::::
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 20, 2013 21:29

Don't Let Your Dreams be Dreams


gambar: di sini


Oktober  2002Aku benci kelasku. Aku benci sekolahku. Aku benci guru-guruku. Lebih dari segalanya aku benci teman-temanku yang pintar (katanya) dan juga sombong! Aku benci ketika guruku dengan nada sombongnya menyebut namaku. Ketika namaku dipanggil ... bisakah kau membayangkan nadanya? Seolah aku adalah sesuatu bukan seseorang! Aku membencinya. Nina...Nina...Nina harusnya namaku terdengar manis di lidah mereka yang menyayangiku, di lidah orang yang tak mengenalku tapi menghakimiku, namaku terasa seperti nasi basi yang ingin dimuntahkan dengan segera.                Aku menyeret langkah malas. Aku menatap ujung sepatuku yang berdebu dan terkena berbagai noda. Menyerahkan bukuku yang bersampul kertas lilin berwarna kuning dengan hiasan stiker bunga-bunga bergliter yang juga kulindungi sampul plastik. Menurutku bukuku cantik.                 “Mana catatanmu?” Seharusnya cuma kalimat tanya sederhana, tak perlu disertai dengan tatapan mata tajam.                “Sedang ibu pegang,”                “Catatan Geografi bukannya diary!”                Matanya yang melotot seolah menyuruhku untuk melihat tumpukan rapi buku-buku tulis bersampul cokelat dengan gambar siswa-siswi sekolah berseragam. Sampul cokelat kusam yang membosankan. Aku harus katakan. Aku tak bisa jadi yang tercerdas. Aku juga bukan salah satu anak-anak paling kaya di kelas. Ini terdengar payah, tapi aku cuma ingin jadi yang sedikit berbeda. Seharusnya itu sudah jelas. Ibu guruku yang sekarang berwajah bosan (dan juga menyebalkan) membolak-balik bukuku. Meraih spidol merah dan memberi nilai E “Silahkan berdiri di pojokan kelas!” kalimat pedas yang membuat hatiku memanas.***                Jam istirahat, saatnya aku melepas penat. Aku memilih duduk di bangkuku dan menikmati duniaku. Dunia milikku sendiri. Tapi, seseorang nampaknya ingin aku kembali ke dunia nyata.“Boleh lihat catatan Geografimu?” seharusnya permintaan itu terdengar seperti hinaan, tapi sejujurnya ini justru adalah mimpi yang jadi kenyataan. Nata menyapaku! Okay aku benci seisi kelasku karena label kelas plus di mana anak-anak cerdas dengan nilai bagus berkumpul (kecuali aku, kata mereka aku cuma beruntung punya nilai tes bagus ketika pendaftaran masuk) tapi Nata adalah yeah Nata....my first crush! Usiaku 15 tahun, sedang mengalami masa puber dan aku memilih Nata sebagai orang yang sering berada di dalam khayalanku.                “Boleh kulihat catatan Geografimu?” Nata bertanya sekali lagi. Aku (pura-pura) mengabaikannya. (Masih) berusaha menenggelamkan diri dalam komik serial cantik Throbbing Tonight, cerita cinta konyol tentang gadis dari dunia setan yang jatuh cinta pada cowok cuek dari dunia manusia. Kisah cinta nyaris tak mungkin tapi kau tahu komik. Apapun mungkin terjadi untuk menuju happy ending.                “Nina?” dia memanggil namaku. Nada suaranya terdengar.... seperti nyayian.                “Yeah?” aku pura-pura kesal seolah Nata tengah mengganggu kegiatanku. Aku masih terus pura-pura fokus pada komikku. Tangan kananku masuk ke laci meja dan mengambil buku yang menjadi sumber penderitaanku hari ini. Aku tak ingin menatap wajah Nata. Aku tak ingin Nata melihat pandangan mengagumi dariku dan juga rona merah dipipiku.                “Boleh pinjam catatanmu?” aku ingin memutar bola mataku.                “Kamu berniat mengejekku?” mau tak mau aku melipat halaman komikku menutupnya dan walau ragu akhirnya aku memberanikan diri menatap mata bulat Nata. Bulu matanya lebat dan kenapa seorang anak laki-laki harus memiliki sinar mata seteduh itu?                “Jangan menatapku seperti itu!” Nata terdengar gugup dan menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal. Rambut Nata bagus dia tak mungkin kutuan ataupun ketombean. Sekarang, apa aku boleh ke-geer-an?                 Aku bersyukur dia membolehkanku untuk tidak menatapnya. Setidaknya dia juga tak perlu melihat warna merah muda di pipiku. Aku harap sekarang dia mendadak tuli hingga dia tak perlu mendengar hatiku yang bernyanyi juga kepakan halus sayap kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku.                 “Matamu mengintimidasi,” itu pengakuan yang tak ingin kudengarkan. “ Matamu indah seandainya sorot itu....maksudku...berhentilah melotot dan berekspresi seperti pembangkang.” Aku terkejut mendengar apa yang dia katakan. Hatiku berhenti bernyanyi dan kupu-kupu di dalam perutku tiba-tiba mati. Aku merebut bukuku dari tangannya, genggamannya erat dan aku tak mau menyerah. Sekarang, aku lebih suka buku itu rusak daripada terus berada di tangan orang yang baru saja menghinaku. Wajahnya sekarang lebih buruk dari monster dalam mimpi malam Jumatku.                “Kamu mudah marah,” tak perlu memberitahuku aku lebih mengenal diriku lebih daripada yang dia tahu. “Nina!” dia membentakku dan aku membeku, mau tak mau aku menatap wajahnya nampaknya dia sama terkejutnya dengan aku.                “Diam dan dengarkan!” dia berbicara dan aku memang akan memilih diam. Aku tak bisa berkata-kata dalam suasana canggung begini. “Berhentilah berada di balik benteng komik dan buku-buku bacaanmu! Berhentilah menjadi Alien! Berhentilah berpura-pura aneh!”                Aku ingin berbicara tapi kata-kata itu tertahan ditenggorokkanku.                “Sejak tahun pertama kamu membuat banyak masalah, berharap kamu dikeluarkan dari kelas ini. Dua tahun terlewati, ini tahun terakhir kita bersama-sama. Aku tidak mau kamu pindah kelas!” Mau tak mau aku terkejut, Nata ingin aku terus berada di sini? Bersamanya?                “Aku tak seharusnya berkumpul dengan makhluk-makhluk jenius.” Aku menyindirnya juga mereka. “Nilai matematikaku jelek. Aku bahkan tak bisa berhitung jika jumlahnya lebih dari jariku ahahaha,” tawaku jelek sekali. “Bahasa Inggrisku parah,”                “Itu karena kamu tidak mau kursus di guru bahasa Inggris yang mengajar di kelas!”                “Dia membosankan!” aku teringat Mr Joseph yang gendut, aku lebih suka kursus yang lebih dekat dengan rumah dan akibatnya nilai raportku merah. “Dan....aku nyaris berdiri di semua jam pelajaran.” Aku memberitahunya seolah dia tak tahu.                “Hei...Nina.” Dia memanggilku lembut dan matanya kini memandang mataku, dia berkedip sejenak lalu kami bertatapan. Pandangan kami bertemu dan di detik itu waktu seolah membeku. Bumi berhenti berputar dan aku lebih ringan dibanding udara. “Sebenarnya kalau kamu mau kamu bisa jadi cewek manis, aku akan membantumu. Aku berjanji. Aku akan menuliskan catatan-catatanmu. Aku akan mengerjakan PR-mu. Asal kamu mau bertahan di kelas ini,”                “Demi alasan apa?” tanyaku cepat. Aku ingin mendengar jawabannya tapi aku juga ketakutan jika jawaban yang kudengar tak seperti harapan.                 Nata diam, mengambil buku di tanganku yang tak lagi kupegang erat. Dia duduk di kursi sampingku. Udara memanas dan sejuk di saat yang sama. Aku melihat sekeliling yang seakan tiba-tiba tersihir. Seisi kelasku seolah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Dan bumi tempat kami pijaki hanya milik kami; aku dan Nata.                 “Kamu berbeda Nina.”                “Aneh, kan? Itu maksud kamu?” okay, menyebalkan adalah nama tengahku.                “Hahahahaha,” tawanya renyah, terdengar menyenangkan. “Dunia ingin kamu bahagia, cerialah!”                Dunia? Kenapa dia mengatasnamakan dunia, seandainya saja dia yang menginginkan aku bahagia.                 “Okay, maksudku begini.... Di saat seluruh isi kelas menipu diri demi deretan angka sempurna. Kamu tetap seperti apa adanya yang kamu inginkan. Kamu menikmati menjadi dirimu,”                “Yeah, kamu harus tahu betapa menyenangkannya menjadi...yeah...freak!”                “Kapan kamu berhenti berakting jadi orang aneh di hadapan seisi kelas?”                Aku tak ingin menjawab, Nata membuka bukuku dan membalik halaman-halamannya.                 “Diary?” dia tersenyum lalu menatapku, aku mengalihkan pandangan.                “Kamu satu-satunya anak yang menulis dengan tinta oranye, menggambar peta dengan spidol 24 warna. Setidaknya warna-warni lebih bagus dari warna hitam-putih. Peta bikinanmu sendiri lebih keren dari peta yang dijiplak dengan bantuan kertas karbon. Kamu original kamu tidak pernah ingin menjadi apapun selain dirimu, tapi hal terburuk dari kamu, kamu tak ingin bersikap ramah pada orang yang tak kamu suka. Kapan kamu menyadari bahwa ada orang yang peduli. Ada orang yang menyayangi.”                Aku menatap padanya, mencari-cari bagian yang menunjukkan kebohongan, entah mataku dibutakan atau aku memang tak ingin menemukan sesuatu yang tak kuinginkan.                “Nina, seperti janjiku. Aku akan membantumu. Kau tahu aku mengagumi, di saat anak-anak lain selalu ingin jadi yang tercerdas kamu tetap menjadi yang paling kreatif. “ Dia membalik halam paling belakang dari bukuku. Sketsa-sketsa dan potongan-potongan kalimat indah selalu menghiasa halaman bukumu. Untuk alasan itu aku berniat meminjam catatanmu, aku menyukainya.”                 Aku menghela nafas.                 “Seandainya usia kita tidak lima belas tahun, “ ada ragu di antara kata perkata yang diucapkannya.                 “Kenapa?”                “Sekarang waktunya untuk mengejar mimpi dengan belajar. Aku ingin memiliki kesempatan menciptakan prestasi. Menyenangkan jadi remaja kebanyakan, tapi aku punya mimpi yang ingin aku wujudkan. Prestasi yang ingin aku raih. Bagaimana kalau kita sama-sama membagi mimpi?”                Aku mengerti, kenapa dia bicara dengan kalimat yang menyimpan makna seperti itu. Seandainya dengan mudah dia mengatakan ‘Aku mau kita pacaran tapi kau tahu aku si jenius yang ingin terus belajar. Itu akan membuatmu bosan. Kita hanya akan sama-sama sebagai teman, sebagai sahabat. Menyenangkan?’ Baiklah aku akan membunuh mimpiku. Mimpi-mimpi dimana wajah yang sekarang berada di depanku tengah berakting ala drama si putri konyol dan pangeran tampan. Aku melihat layar di dalam otakku rusak dan meledak, fiuh menjadi cabikan-cabikan hitam akhirnya berubah menjadi asap abu-abu yang membuatku batuk. Aku mengambil botol minumanku di laci dan minum.                Dia membalik lembaran-lembaran bukuku. Berhenti di halaman di mana peta dunia berada.                 “Ini mimpiku!” dia menunjuk peta itu. “Aku ingin berkeliling dunia.                “Mimpi yang hebat,” pujian yang tak tulus, setengahnya terdengar seakan aku mengejeknya. Aku tak bermaksud tapi begitulah nada bicaraku.                “Tapi itu bukan mimpi terbesarku,”                “Oh....jadi, apa mimpi terbesarmu?”                “Akan kubagi jika kau mau membagi mimpimu.”                “Aku baru mengubur mimpiku dan aku belum menciptakan mimpi baruku.” Jawabku setengah hati.                “Jika aku mengatakan mimpi apa yang terlintas dipikiranmu?” okay dia menjebakku, hatiku menjawab “Kamu,” tapi lidahku menjawab “Aku ingin dunia yang datang kepadaku,” di otakku muncul mimpi baru. Aku melihat rumah panggung mungil di kaki bukit. Sebuah guest house berisi di mana nanti aku akan mengajak tamuku berkeliling tanah kelahiranku, tana Bulaeng, tana Samawa yang kaya tak hanya alamnya tapi juga budayanya. Aku ingin seperti ibuku yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga, memelihara, dan meneruskan budaya kami. Rumah panggung mungil itu akan di datangi oleh mereka yang dari Eropa, Amerika, dan seluruh penjuru dunia. Indonesia tak hanya Bali saja, kan ya?                “Wow, aku akan berkeliling dunia, dan dunia akan mendatangimu.”                “Mimpi kita berbeda.”                “Tapi yang aku tahu tak ada mimpi yang tak indah.”                Itu tahun terakhirku di SMP, aku menjadikan Nata sebagai satu-satunya alasan bertahan di kelasku yang menyebalkan. Nata membantuku belajar tapi satu hal yang tak kupikirkan, perpisahan. Nata pergi dan tak mengucapkan selamat tinggal. Satu hal yang kupelajari, jangan pernah memberikan begitu besar kepercayaan pada siapapun. Dia yang membuatmu bertahan untuk tak pergi tapi justru dia yang meninggalkanku sendiri. Kita tidak lima belas tahun lagi, cukup dewasa untuk sebuah hubungan....pacaran ....tapi bagai setan dia hilang! Satu hal yang membuatku tersenyum dan percaya dan tetap memiliki keyakinan. Tulisan tangannya yang membentang di atas peta warna-warni di buku Geografiku yang bertuliskan. :::The End:::

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 20, 2013 17:49

November 10, 2013

Pahlawanku Lahir Hari Ini


Gambar di sini


Aku terasa terbakar dibawah terik matahari. Mataku tak sanggup berkedip memandang kobaran api yang melalap bangunan supermarket yang berada di seberang jalan. Jilatan-jilatan panas bahkan terasa di dalam diriku. Seperti para penjarah yang merampas isi yang bangunan nyaris hangus itu, sesuatu di dalam hatikupun seakan dirampas, dipaksa untuk tak lagi kumiliki. Tidak! Aku akan mempertahankannya.
“Yusnida?” suara di seberang terdengar cemas.
“Ya, aku baik-baik saja,” tapi tentu saja nada ketakutan itu pasti terdengar hingga seberang. Bukan kekacauan atau panas atau api yang berkobar. Ketakutan itu berasal dari dalam diriku sendiri.
“Kapan kau pulang?”
“Segera,”
“Aku akan menjemputmu,jika kau mau …  Aku mendengar apa yang terjadi di sana?”
“Tidak perlu,” aku mematikan sambungan telepon. Aku melangkah diantara mereka yang berlari, berteriak, cemas, bahkan ketakutan. Aku bergerak lambat diantara mereka yang bergerak menyaingi kilat. Dunia milikku berputar tenang tapi di dalam diriku ada goncangan yang memaksaku tegang.
Bagaimana bisa cinta menjadi sedemikian berbahaya?
1800 warga mengungsi. Tempat ibadah, toko, kendaraan dan rumah wargapun tak luput dari amukkan massa. Hanya karena dua orang berbeda keyakinan saling jatuh cinta. Salahkah? Tidak, jika salah satu darinya tidak mati dan yang lainnya dituduh memperkosa dan membunuh kekasihnya. Salahkah? Mereka boleh menghakimi, tapi buatku tidak ada yang salah.
***
“Ada baiknya jika diakhiri.” Saran sahabat yang tak mungkin kuikuti.
“Entah apa aku bisa,” Pasti bisa, hanya aku tak ingin melakukannya.
“Sebelum terlambat, pikirkanlah. Berapa banyak yang tersakiti?”
“Melepaskan ataupun mempertahankan, tetaplah aku pihak yang tersakiti. Aku dan hanya aku,” Aku ingin marah tapi ternyata malah air mataku yang tertumpah.
Kenapa mereka tak bisa melihat cinta kami secara sederhana?
***
“Maat tak bisa.”
Aku pernah menolaknya dengan halus. Pria dewasa, memiliki istri dan anak di sana. Jika bukan karena kesepian dan kebutuhan dia takkan memilihku.
“Aku mencintaimu.”
“Bagaimana bisa? Kenapa aku, bukan yang lainnya?”
“Aku tak memilihmu, tapi hatiku.”
Kenapa kamu tak pergi? Untuk apa bertahan di sini?”
“Kenapa aku tetap di sini? Aku harus bersamamu!”
Sekarang aku masih mempertanyakannya, sementara dia telah menjawab semuanya sejak lama.
Jadi. Aku hanya perlu berbahagia. Bukankah cinta hanya untuk kita yang ingin menikmatinya, tak peduli benar salah. Tak usah mempertimbangkan baik buruknya. Aku tak ingin melihat sisi hitam atau putihnya. Pada akhirnya, akulah yang harus menyesuaikan impian dengan kenyataan. Mereka boleh memaki, membicarakanku di balik punggung. Menghina? Sudah biasa! Luka? Jangan ditanya, sejak ayahku yang ditinggalkan istrinya demi majikan kaya di Timur Tengah sana. Lukaku tak pernah sembuh. Akan ada luka baru sebelum waktu mengobati yang lama.
Sosoknya datang begitu saja, serupa pria penyayang. Seragamnya menampilkan wibawa, tatapan matanya membuatku percaya. Dia berjanji akan menjagaku. Dia mencintaiku, aku tahu. Jika dia hanya ingin memperalatku, akupun juga tahu. Karena rasanya takkan seperti ini di hatiku.
***
Aku pernah melihat kemarahan, amukan massa, ketakutan, kecemasan yang mencekam. Aku pernah melihat kobaran api. Aku pernah melihat mimpi buruk dalam kenyataan. Tapi, tak lama, ketakutan-ketakutan, tragedi dan kesengsaraan itu akan jadi milikku. Sekarang mungkin aku yang akan mengalami mimpi buruk dalamku terjaga.
Aku berharap aku mati saja ketika bambu itu menghantam-hantam tubuhku. Teriakan-teriakan itu merobek gendang telingaku. Aku berharap tidak akan ada yang membantuku.
“Dimana malumu?”
Aku tak menjawab hanya menikmati sakit yang kualami.
“Dimana dia yang katanya akan melindungimu?”
Aku membisu.
“Akan kukatakan pada warga, anakku jadi korban pemerkosaan. Akan kukatakan, kubakar kemarahan mereka.” Ancaman yang kuharap tak pernah menjadi kenyataan.
Aku mengingat tragedi yang kulihat seperti mimpi di depan mataku. 23 Januari lalu. Di mana cinta menjadi petaka. Cinta yang memakan korban-korban lainnya. Di antara sadar dan mimpiku, kudengar bisik lembut sahabatku, aku tahu dia tak di sampingku. Aku pernah mendengar nasihat ini dulu. “Demi cinta jangan kau korbankan Tuhan, keluarga dan harga dirimu”. Maaf inilah satu-satunya jalanku.
***
“Jika dia menikahiku?”
“Ada keluarga yang terluka, wanita lain—istrinya sahnya.” Ada penekanan di kata sah yang membuatku merasa bersalah. “Putrinya, tidakkah kau ingat bagaimana rasanya ketika orangtuamu berpisah?”
Aku mengeleng-gelengkan kepala seakan aku tak ingin menerima bahwa kemungkinan itu menjadi nyata.“Jika kalian memilih menikah, mungkinkah ada diantara kalian yang rela mengkhianati Tuhan kalian?”
Aku menutup telingaku, apa yang kudengar membuat tubuhku gemetar.
“Jika kalian menikah, sanggupkah kamu melihat dia kehilangan segalanya?”
Duniaku berputar cepat dan segala sesuatu di sekelilingku seakan runtuh.
“Jika….”
Aku benci kata ‘jika’!
Aku dan dia pernah memiliki hari sempurna, saat cinta masih milik kita, saat cinta enggan menunjukkan sisi gelapnya, saat cinta membutakan mata, saat cinta tak pernah salah. Saat dia raja dan aku ratunya. Saat semuanya begitu mudah dipercaya. Hanya saja sayangnya di hari yang sempurna kamipun menikmati saat matahari tenggelam di barat sana tanpa benar-benar menyadari bahwa hari akan berganti. Dan bodohnya kami tak mempersiapkan diri bahwa di hari baru segalanya bisa berubah. Kami tak bisa membekukan hal yang indah untuk selamanya.
“Jika dia tak menikahiku, bagaimana nasib anakku?”
Sekali lagi kata ‘Jika’ tak perlu kudapatkan sebuah jawaban, karena yang kuperlukan adalah kekuatan untuk menghadapinya.
***
Aku memohon agar ayahku membunuhku, alih-alih membunuh dia yang kucinta dan mungkin juga mereka-mereka yang tak berdosa. Kelompok minoritas—dia dan orang-orang di desa sekita pegunungan yang di bujuk pemerintah dengan program transmigrasinya, yang jika seorang bersalah namun seluruhnya mungkin menanggung akibatnya. Akhirnya, ayahku membunuhku. Tidak ada lagi Yusnida yang dulu, ayah membunuhku seperti cara dia membunuh ibuku.Kami tak lagi ada di dalam hidupnya.  Tak lagi dianggap anak. Terpaksa pergi dari hidupnya sebuah penyiksaan, kesedihan yang mendalam. Namun, aku tak juga tak datang kepadanya, dia yang kucinta.
Setelah ayahku membunuhku, akupun membunuh diriku. Aku mati, juga cintaku yang dulu. Tapi kini aku hidup lagi bersama dengan kelahiran bayi mungilku di hari ini.
“Harpan,” kata suara berat itu “Hari Pahlawan, itu namanya.”
Aku memandang wajah itu, pria itu mencintaiku. Aku tahu, cintanya berbeda, tak membuatku berbahagia dengan membuat hatiku berbunga-bunga. Cintanya kadang berupa marah, kadang berupa sesuatu yang memaksaku untuk membencinya. Ada sentuhan lembut di kepalaku.
“Boleh bapak mengadzani, cucu bapak?”
Aku tersenyum dan mengangguk. Ada haru ada bahagia.
Pahlawanku lahir di hari ini, dia menyelamatkanku dari masa lalu. Kelahirannya membawa harapan baru. Aku tahu dan percaya ada hal-hal yang tak bisa diubah, tak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya. Aku menerima kesalahanku tapi tak menerima jika ada bagian diriku yang menyesalinya. Aku menerimanya sebagai pembelajaran. Ayahku memaafkan masa laluku. Kurasa itu cukup untuk menguatkanku melangkah ke masa depan bersama Harpan—Pahlawanku di masa depan.
:::The End:::
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 10, 2013 04:41

November 5, 2013

Karena Aku Tak Ingin Menatap Matamu



Gambar: di sini


Bagaimana kau tahu itu adalah cinta? Ada kupu-kupu dalam perutmu yang beterbangan ataukah sebuah goresan di hati saat kau tahu sudah terlalu lambat untuk menyadari?***Akan lebih mudah jika kami hanya bercanda lalu tertawa lepas.Tapi sekarang, hanya dengan menatap matanya aku menjadi lemas. Ekspresiku berubah menjadi memelas dan yang tak bisa kujelaskan hanya dengan memikirkannya membuatku cemas.            “Itulah kenapa aku sangat menyayangimu!” Tawanya renyah.            Sayang, andai sayang hanya sayang, bukan desakan hasrat untuk memilikinya sampai mati.            “Kamu tak menyayangiku?” dia merajuk, aku hanya mengangguk.            “Okay, baiklah. Sampai bertemu besok.” Aku pamit tanpa menatap wajahnya. Pintu itu tertutup dan aku menyesalinya.***            “Aku membencimu!”             Aku tertawa.            “Kuharap kamu juga membenciku!”            Aku menatap langit berbintang lalu mengangguk. “Baiklah aku akan membencimu jika kau mau.”            “Apa yang kau benci dariku?”            “Matamu.”            Kuharap aku sanggup melihat matanya yang melotot lalu dengan setengah histeris dan penuh kepanikan dia akan membongkar tas mungilnya dan mencari-cari kotak make up-nya. Dia bercermin.            “Eye liner-ku tidak luntur, mascara-ku juga, di kemasannya tertulis water proof! Kupikir perusahaan kosmetik itu menipuku,” nada suaranya lega dan ada suara riang tawa sesaat. “Yaampun! Apa eye shadow abu membuat mata mataku sayu?” Sekilas aku melihat matanya mengerjap.             “Kamu cantik,”            “Terima kasih tapi kamu bilang kamu benci mataku, kenapa?” dia terdengar marah. Aku tak menjawab dan setelah beberapa lama dia memberiku jeda akhirnya dia kembali bicara. “Untuk kali ini kamu kumaafkan, tak semua orang harus menyukai semua bagian diriku.” Sekarang suaranya kembali ceria. Dia berubah dengan sangat mudah.            “Waktunya pulang.”            Dan aku kembali mengantarnya hingga pintu. Menunggu lama di depan sana dan berkhayal tentang ucapan selamat malam juga mungkin sebuah kecupan. ***            “Apa aku sudah membuatmu kesal?” Dia menatapku, kualihkan pandangan.            “Aku akan menikmati kekesalan,”            Dia tertawa.            “Bagaimana aku malam ini?”            “Secantik biasa.”            “Aku pasti tak secantik itu, kamu bahkan tak ingin menatapku.”            “Aku tak ingin terbius pesonamu,”            Dia tertawa, tawa indah yang selalu kusuka.            “Sampai kapan kamu akan bersamaku?”            “Kuharap sampai maut memisahkan,”             “Terima ka...”            “Aku hanya bercanda,”            “Aku kecewa. Aku suka kata-kata yang memanjakan telinga. “            “Walau itu bohong?”            “Hahaha....”            “Aku hanya bersamamu, sampai hari ini.” Aku melihat lelaki itu datang, di wajahnya ada senyuman yang mengembang. Dan cemburu membuatku tumbang.            Menjadi pemeran pengganti untuk menemani malam-malamnya yang sepi usai sudah. Lelaki yang selalu dinantinya sekarang telah kembali. Sahabatku telah pulang dan itu berarti aku berhenti menjaga kekasihnya. Ada jabatan tangan ada pelukan penuh keakraban. Aku ingin mengepalkan tangan dan menghadiakannya sebuah hantaman. Aku hampir tak bisa menahan godaan untuk membuat wajahnya lebam. Tak mungkin, kurelakan saja apa yang ada di hati untuk padam.***Aku menikmati, saat-saat kami saling menjaga dalam sepi. Aku menghiburnya dari sepi ketika dia merindukan kekasih dan dia menghiburku dari sepi merindukan sahabatku yang sejati. Kami berbagi lelucon, pada awalnya. Berbagi kopi, jika dia bosan dengan cokelat hangatnya. Juga berbagi kata-kata dan juga harapan. Aku akan merindukan malam-malam itu. Kuharap malam-malam di coffee shop seberang jalan itu seperti mimpi semalam yang memudar ketika pagi datang.***Sekarang aku berdiri di hadapan mereka berdua. Menghadiahkan satu pelukan untuk masing-masing mereka, dan ucapan selamat tinggal.“Aku akan merindukanmu,” suara manja yang takkan lagi didengar oleh telinga.Harusnya mereka berjalan saja dan tak perlu berbalik, apalagi berkali-kali melambaikan tangan. Siapa yang suka perpisahan? Mereka berhenti, saling berbicara di ujung sana, dan si gadis melangkah kembali mendekatiku yang begitu bodohnya tak sempat beranjak. “Ada yang tertinggal?” aku bertanya.“Sebuah permintaan....dan pertanyaan.”“Katakan segera atau pesawat akan meninggalkanmu.”“Kumohon tataplah mataku,”Aku menggeleng.“Sudah kuduga.”Suaranya tak terdengar indah yang tersisa hanya nada putus asa.“Kalau begitu jawab pertanyaanku!”“Kenapa kau membenci mataku?”Aku berbalik dan melangkah meninggalkannya, tapi kupastikan dia mendapat jawaban. “Karena aku tak ingin kamu melihat mataku. Karena .... aku terlalu takut kamu melihat besarnya cintaku untukmu.”
:::The End:::Aku mendengar cinta dalam tawamuTapi aku tak ingin kamu melihat cinta dalam mataku.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 05, 2013 20:28

October 29, 2013

Ketika Hidup Menjebakku




Gambar: di sini


Aku melihat mereka mati berkali-kali. Mati dijalan raya terlindas gengsi. Mati di kamar-kamar pengap terjebak asap. Mati frustasi gara-gara patah hati. Mati karena sesat dan kehilangan arah. Aku pernah menjadi bagian dari mereka semua. Nyaris mati, namun hidup menyelamatkanku. ***                 “Apa itu masa depan?” Tanyaku pada remaja tanggung kerempeng dengan muka penuh bopeng. Masa puber membuat jerawat beranak pinak dan wajahnya rusak. Dia menatapku muak.                “Cuma waktu yang masih sangat lama.” Dia memandang ke luar jendela.                “Tidakkah kamu memikirkannya?” Aku ingin dia memikirkannya.                “Kadang-kadang jika aku sempat!” jawabnya tanpa berpikir.                “Apa cita-citamu?” Kenapa aku begitu ingin tahu?                “Apa itu urusan anda?” dia balik bertanya.                 “Ya, karena aku yang akan membantumu untuk meraihnya.”                “Apa anda sudah meraih cita-cita anda?”                Surat skors dan usai sudah.***                “Tugas anda berat ya?” tak terdengar seperti pertanyaan, itu adalah ejekan. “Hanya melelahkan,” Sebenarnya aku tak ingin menjawabnya.                “Yakin tidak ingin pindah? Saya mengenal orang yang bisa mengurus kepindahan anda lho, cuma tiga puluh lima juta, murah.”                “Bukankah di kontrak tertera sepuluh tahun baru boleh mutasi?”                “Itu kan di kontrak, atau anda menikah saja dengan PNS di kota anda, nanti bisa pindah dengan alasan ikut suami, mudah toh?”                “Kenapa daerah harus buat peraturan kalau begitu?”                “Daerah tidak punya SDM yang memadai, kalau bukan gara-gara kita yang kekurangan kesempatan di kota ini, siapa lagi? Tapi saya ketemu jodoh di sini, ya sudah menetap. Tidak perlu kembali.”                “Saya tahu itu, tapi kenapa harus bikin kontrak kalau masih bisa dinegosiasi?”                “Polos sekali.” ibu itu mendengus dan meninggalkan meja saya. Bergabung bersama ibu-ibu di meja sebelah sambil mencicipi rujak dan membolak balik katalog-katalog barang dapur sampai kosmetik yang boleh dikredit dan kalau cashbisa didiskon sepuluh persen.***                “Terus kita mesti bagaimana? Enam bulan sekali dan kita hanya bertemu beberapa hari.”                “Mungkin putus adalah jawabannya.” Aku tak ingin berpikir lagi. Suara klik dan telepon terputus. Aku terbiasa dengan ini, laki-laki bisa datang dan pergi. Tapi, pada akhirnya nanti, pasti akan ada yang kembali.                Aku tersenyum pada cermin yang menampilkan wajah muramku.                “Apa yang kau cari, La?” tanyaku lirih.                “Takdir dan pikiran dangkalku berkonspirasi, inilah yang kudapatkan,” jawab si gadis sinis di dalam cermin. Kutinggalkan bayanganku dan menghadapi layar netbook. Mengecek aktivitas maya teman-teman yang dengan begitu sombongnya dulu pernah kupandang sebelah mata. Apakah kehidupan mereka lebih baik dariku?                Nimas yang ibu rumah tangga dengan bisnis kue keringnya,  cukup sukses tengah membangun rumah dan menanti kelahiran anak kedua. Farah, no wonder... tersenyum lebar dengan latar belakang sunset dengan pria tua asing barunya. Lian dan Akbar—mereka menikah dan akan terbang ke Aussie, beruntungnya Akbar dapat beasiswa lagi.                 Ingin tersenyum tapi tak bisa memungkiri hati sedikit iri.***                Pada awalnya aku tak menginginkannya. Selalu begitu. Apa yang kita terima kadang bukan yang kita harapkan. Tapi, kemudahan membuat kita menjadikannya sebuah pilihan yang diinginkan.                “Kenapa bukan fakultas Hukum, seperti kita semua?” sepupu-sepupuku mencercaku.                “PMJK dan ucapkan selamat! Aku mensyukurinya jadi aku tak perlu repot-repot ikut SNMPTN. Berapa banyak dari kita yang kuliah dan ujung-ujungnya.... bukankah kita hanya mencari gelar?”                “S.Pd? Sarjana Pulang desa?” sebuah ejekan yang harus kubalas dengan senyuman.                “Setidaknya, para guru didoakan setiap upacara senin pagi, katakan padaku, siapa yang mendoakan para notaris atau pengacara?”                Mereka meninggalkanku dengan gerutuan, bola mata berputar juga gelengan kepala. Tak mengerti dengan jalan pikiranku.                Akupun tak mengerti, aku sendiri memiliki cita-cita lainnya, yang jauh lebih hebat. Menjadi Sosiolog barangkali, mencicipi belajar ilmunya di Brown atau creative writing di Princeton. Bisa saja, dengan sedikit kerja keras beasiswa akan kudapatkan.Tapi menghabiskan waktu bersama teman-teman dan bersenang-senang membuat aku memilih berpikir dengan lebih sederhana.                Aku hanya belajar di kampus beberapa saat  dan mendapat gelar, selebihnya bonus. Jadi kubunuh cita-cita besarku, mengambil formulir jalur khusus yang dengan mudah akan kudapatkan. Tak perlu jauh, hanya di Universitas kota seberang. Di sana aku hanya perlu bersenang-senang, tempatnya indah  salah satu pusat pariwisata favorite dunia. Tempat yang memiliki pantai eksotik, makanan yang sesuai lidahku yang penggila pedas, serta pesta-pesta semalam suntuk, tak perlu memikirkan materi kuliahku, salahku, aku menggampangkannya! Empat tahun hebat berlalu, lulus tepat waktu dan ta ra! setelah wisuda dengan predikat nyaris cum laude. Dan demi menunjukkan bahwa aku mampu. Aku lulus lho di tes PNS yang ‘bergengsi’ itu! Di sebuah Kabupaten baru yang berdiri karena kenekatan tanpa kesiapan.                Gadis itu. Gadis yang pernah berpikir ‘dengan pengorbanan minimal mendapatkan hasil maksimal’. Yang semasa kuliah dengan ‘polos’ mendatangi rental komputer langganan si kutu buku kelas dan hanya tinggal mengedit tugas demi tugas dan selalu mendapat B+ dan beberapa A untuk tugas yang tak pernah dipikirkannya.  Yang selalu mengantuk dan bad mood di jam kuliah karena energinya telah dihabiskan untuk pesta sepanjang malam.Yang karena keberuntungan akhirnya dia mendapat tujuan-tujuan yang hanya dipikir dalam waktu singkat. Sayang sekali gadis manis, kini pikiran-pikiran dangkal itu menjebakmu ke negeri antah berantah! Di mana musik-musik berdentum? Di mana gelak tawa kawan-kawanmu? Di mana lagi kau temukan tempat untuk menangis, ngambek, dan beberapa butir obat tidur bisa menenangkanmu? Kau hanya berada di dua tempat;  di kelas dengan pelajar yang jauh lebih dewasa darimu dan kamar pengap tempat kau menumpahkan kekesalan.Hingga, saat kau memiliki kesempatan untuk pergi, kenapa kau masih bertahan di sini? Aku memang suka mengejek diriku sendiri.***Aku masih ingat tahun-tahun awal dan aku sempat  berpikir untuk menukar nasibku dalam beberapa kesempatan.“Cowok pemberani nggak ngajak kawin lari!” aku menggelengkan kepala dan menolak tawaran Gusti. Kami berbeda kepercayaan dan Gusti  bukan orang yang dilahirkan dengan tanggung jawab. Kita bisa selalu bersama di saat bahagia, tapi saat menderita? Seandainya hanya ada hidup bahagia selama-lamanya, maka tawarannya  takkan kutolak.“Cuma cowok sengak yang ngajak kawin kontrak!” Aku ingin memaki si jangkung pirang yang sebelumnya membuatku terharu, karena dia masih mengingatku setelah beberapa tahun tak bertemu. Menyebrangi separuh dunia untuk menemuiku, bersama menikmati akhir pekan romantis sebelum lamaran memuakan, menikah hingga kontrak kerjanya usai. Lalu setelahnya? Aku belum gila!“Putuskanlah, sekarang atau tidak sama sekali?” Meninggalkan apa yang tengah kujalani ternyata aku tak cukup berani. “Kamu mungkin akan mengatakan tak lagi mencintaiku, tapi pekerjaanku takkan pernah mengatakan itu.”“Dan keputusanmu?”“Kalau jodoh kita pasti bertemu di lain waktu.”***Dan aku bertahan, bukan karena tidak ada lagi kewarasan. Aku bertahan karena jika tanpa kepedulian maka akan ada banyak kesia-siaan yang takkan sampai di masa depan. Beberapa diantara mereka mungkin takkan menyelesaikan tahun ketiga karena ada yang masuk ke sawah, terpaksa menikah, menjadi penambang liar bahkan mengadu nasib ke luar negeri, menjadi pahlawan devisa yang tak dihargai.Di sini, tempat yang pernah kubenci karena terpaksa untuk kutinggali. Aku pernah— tak hanya satu dua kali, ingin berlari pergi. Tapi di sini aku bertahan karena di sinilah aku menjadi diriku yang memiliki arti. Tak perlu menjadi hebat, tak perlu menjadi luar biasa, tak perlu berbahagia dengan iringan musik dan tawa.
Aku hanya perlu menghadapi hari ke hari dengan penuh rasa syukur; mendengarkan mereka, melihat kehidupan yang sebenarnya. Belajar menjadi diriku yang seharusnya. Belajar untuk memaknai bahwa hidup adalah guru terbaik. Suatu hari, aku akan pergi tapi episode ketika aku hidup di sini adalah salah satu episode yang paling berarti.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2013 06:45

October 26, 2013

Yang Hilang Yang Dikenang


Gambar: Di sini 
“Sepuluh tahun ke depan....”                “Kita masih bersama dan selalu bahagia,”                Terdengar luar biasa.                “Kita akan memiliki pondok mungil dari kayu di kaki bukit. Memiliki taman bunga Matahari ...“                “Jangan lupa kebun sayur dan buah!”                “Berperahu setiap sore, menikmati matahari terbenam.”                “Berdansa di bawah sinar bulan,”                “Menghitung bintang-bintang,”                “Memulai petualangan!”                “Kemana?”                “Tak peduli, asal bersamamu.”                “Aku akan menuliskan tentang petualangan kita.”                “Kameraku akan mengabadikan momen-momen indahnya,”                “Jika aku sedih?”                “Aku akan bernyanyi untukmu.”                “Jika aku marah?”                “Cokelat akan membuatmu memaafkan.”                “Jika aku kecewa?”                “Pelukanku jadi hak milikmu, akan kuberikan kapan saja kau perlu.”                “Jika aku terluka?”                “Ciumanku akan menyembuhkanmu.”                “Jika aku menyebalkan?”                “Hahaha,”                “Kenapa tertawa?”                “Berarti aku tahu itu adalah kamu!”                “Aku akan menyebalkan sepanjang waktu,”                “Aku akan mencintaimu, lebih dan lebih dari waktu ke waktu.”                “Bagaimana jika aku membuat kesalahan?”                “Kita akan menjadikannya pelajaran dan jikapun itu sulit aku akan bersabar dan tak menyerah untuk mencobanya.”                “Bagaimana jika waktu terlalu banyak dan kita tak memiliki sesuatu untuk dikerjakan?”                “Itu artinya kita perlu buku baru dan aku berjanji takkan cemburu saat kau tenggelam dalam bacaanmu.”                “Bagaimana jika aku jatuh cinta pada orang lain?”                “Aku tak ingin memikirkannya, sulit untuk kupercaya. Kau tergila-gila padaku.”                “Bagaimana jika kau jatuh cinta pada yang lain?”                “Aku akan memenuhi hatiku dengan kamu, kamu, dan kamu. Menyesakkan hatiku dengan dirimu, agar tidak ada tempat untuk yang lainnya.”                “Betapa indahnya selamanya,”                “Bahkan selamanya takkan cukup jika kita bersama.”Kita pernah memiliki saat bahagia itu. Hingga sekarang tawamu masih terdengar merdu dalam ingatanku. Binar matamu masih seindah dulu dalam bayanganku. Tapi siapa yang menyadari hari ini? Kita pernah merencanakan, segalanya. Nyaris sempurna, tapi kita hanya manusia dan siapa mengira akan begini jadinya. Seandainya aku tahu, aku akan mempersiapkan hatiku untuk merasakan sakit saat kita dipaksa takdir untuk berpisah. “Saatnya menghapus air mata dan...,baiklah aku siap kembali ke realita dan menerima bahwa kau tak lagi bisa mengingat kenangan kita.”
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 26, 2013 01:24

Kalau Kolong Kosong

Gambar: di sini

Aku datang membawa beberapa lembar sarung untuk ‘melamar’ calon pengantinku. Mengendap-endap melewati gang demi gang dalam perkampungan antara magrib dan isya dan langsung menemui dia di bawah kolong rumah panggungnya.             “Pakailah.Sebagai ganti rok yang biasa kau kenakan.” Kataku pelan dalam bisikan cepat.            Wajahnya kebingungan  tapi mendekap sarung-sarung itu di dadanya.            “Haruskah?” tanyanya polos. Usianya delapan belas jelang sembilan belas. Aku lebih tua tiga tahun darinya. Aku ingin menikahinya tanpa dia harus tahu apa maksudku. Aku ingin kami menikah, segera. Menikah adalah salah satu upaya untuk dianggap dewasa.            “Kunjungilah rumah sepupuku seperti biasa, pakailah sarung-sarung yang kuberikan untukmu ketika kau ke sana.”            Seminggu kemudian kami menikah. Persis seperti perkiraanku, sepupuku curiga aku menghamili kekasihku, keluargaku berkumpul, berbicara dalam bisikan karena ini aib yang memalukan.***            “Sinar muak, Sinar mau pergi dari rumah ini!” Sinar, memuntahkan kata-kata itu. Ada kecewa di sudut hatiku. “Cahaya pergi dari rumah, dia bahagia seperti juga Terang. Mereka mendapatkan kebebasan, mereka menyusun kehidupan.” Binar mulai membandingkan diri dengan kakak dan adiknya.            “Mereka pergi setelah mimpinya mati.” Dalam hati aku mengingatkan diriku sendiri. Akulah pembunuh mimpi mereka. “Mereka pergi karena sudah waktunya untuk mereka pergi.”            “Lalu, kapan waktu yang tepat untuk Sinar bisa pergi?” kata-katanya tegas, warisan dariku. Betapa miripnya dia denganku. Itulah yang membuatku tak ingin membiarkannya pergi. Terlalu menyayanginya karena ada banyak sama yang kami punya.            “Kapan?”tak terdengar. Aku menyesap teh dinginku, menarik rokok meraih remote televisi dan menonton tayangan berita. Sinar meraih tas kerjanya dan tak lama kudengar pintu terbanting dan suara langkahnya di atas. Debu-debu halus jatuh di wajahku. Aku seperti merasakan kaki-kakinya menginjak lantai kayu tepat di atas kepalaku.Nyaris dua puluh tujuh tahun berlalu dan aku membuat sebuah kesimpulan, tak mudah membesarkan empat orang anak; Cahaya, Sinar, Terang dan Pijar. Cahaya, yang tertua, sudah delapan tahun tak di rumah. Setengah waktunya untuk belajar di kota seberang setengah waktunya untuk bekerja di sebuah desa di pedalaman. Sewaktu-waktu dia pulang dan mengunjungi rumah. Dia selalu bahagia di rumah. Tahun lalu Terang berangkat ke kota untuk kuliah, tak adil memang bagi Sinar. Ketika gilirannya untuk melanjutkan kuliah aku tak menemukan rupiah. Tahun depan, Pijar si bungsu menyusul Terang dan dia harus diperjuangkan.            “Bapak, lambang partainya mau di sebelah kanan atas atau di kiri bawah?” Itu pertanyaan Pijar. Aku bangkit dan menunduk untuk berjalan ke arahnya yang duduk bersila di depan komputer tua. Pijar tengah mendesain stiker untuk beberapa sepupu dan familiku yang akan menjadi calon legislatif.            “Bisakah mereka memenuhi janjinya?” tanya Pijar “Pijar takut membuat orang lain mempercayai mereka.” Ragu-ragu, Pijar akhirnya menghapus sederet kata yang terdengar menjual harapan. “Pijar mendesain beberapa stiker dan poster untuk mereka. Pijar sendiri tak tahu harus memilih yang mana.” Kebingungan tampak di wajahnya.            “Tuliskan saja, biar mereka yang memilih untuk mempercayainya.”            “Bagaimana jika, Pijar harus memilih karena Pijar terpaksa percaya?” pertanyaan yang sama yang pernah dilontarkan ibunya tepat di malam pernikahan kami. Pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab hingga kini.***            Menikah tidak sesederhana menggengam tangan ayahnya dan berikrar ‘saya terima nikahnya.’ Maknanya dalam, janji seumur hidup, janji sampai mati.            “Kenapa kita harus menikah?” Pertanyaan yang terlontar di malam pertama. Dia tahu aku menjebaknya.”Cinta bukan jawabannya?”            Aku menggeleng.             “Bapakku meninggal, aku tak punya tujuan. Tidak ada kepercayaan bagi remaja lelaki  dengan banyak masalah. Aku ingin mereka melihatku sebagai laki-laki dewasa.” Aku menjawabnya. “Aku perlu pengakuan, sedikit warisan dan sebuah kehidupan. Kehidupan di atas kakiku sendiri. Denganmu aku bisa mewujudkan kehidupan itu, beri aku kepercayaan.”            “Bagaimana jika, aku harus memilih karena aku terpaksa percaya?”             Terpaksa, karena ya kami sekarang telah menikah. Pakaian adat yang masih melekat dan cincin pengikat adalah bukti yang kuat.***            “Aku sudah melahirkan anak-anakmu. Membesarkan mereka dengan bantuan sedikit tanggung jawab darimu! Cahaya menelponku, aku bersyukur dia sakit. Aku memiliki alasan untuk menjenguk dan merawatnya beberapa hari. Artinya aku bisa libur dari pekerjaan rumah tangga dan lelahnya mencari nafkah.” Dia membereskan tas pakaiannya. “Untuk makan dan rokok.” Dia menyelipkan beberapa lembaran berangka yang akan memenuhi kebutuhanku beberapa hari.             “Kapan kau pulang?”            “Segera setelah Cahaya pulih, dia hanya perlu ini dan ini.” Istriku memperlihatkan dua kantung plastik kecil berisi obat-obatan tradisional.            “Suruh saja Cahaya pulang dia bisa ke dokter,”            “Tiga perempat gajinya habis untung Bank dan dia masih menanggung kuliah Terang.” Jawabnya cepat. “Lagipula, mau suruh Cahaya tidur di mana? Kursi di ruang tamu, tidak nyaman untuk orang yang sakit. Dan kolong? Dia harus berbagi tempat dengan Pijar dan barang-barang usang? Dia dengan senang hati andai kata dia anak lelaki! “            “Di kamar Sinar,”            “Seperti tak mengenal adat Sinar dan Cahaya, mereka terlihat seperti saudara hanya di depan kamera.” Aku teringat banyak foto-foto mereka di komputer milik Pijar. Mereka tampak bahagia tapi setahuku mereka jarang berbicara. Cahaya berhasil di wisuda di saat Sinar tak bisa melanjutkan kuliah. Sinar terlalu marah dan Cahaya terlalu merasa bersalah.            Aku membiarkan istriku berangkat untuk menemui putri tertuaku. Di rumah aku hanya bisa menunggu.***            “Sampai kapan kita tinggal di sini?” Istriku mengeluhkan hal yang sama berulang-ulang. Dia ingin segera berada di rumah yang belum kami miliki.Untuk sementara kami harus bersyukur memiliki tempat berteduh di kolong rumah panggungnya. Itupun berkat kemurahan saudari-saudarinya yang dia tinggal menikah.            “Bukankah ini rumahmu?” itu jawaban dan juga pertanyaan.            “Masih rumah bapakku, andaikan dia tak kawin lagi dan meninggalkan aku dan saudari-saudariku di sini. Kapan kita bisa punya rumah sendiri, agar aku tak terus menerus bertoleransi?”            “Nanti,”            “Nanti? Setelah tanah warisanmu kau jual dan uangnya habis di meja judi?”            Tak ada jawaban hanya tamparan, setelah itu aku akan pergi dan menghilang berhari-hari.***            Aku menua, terlihat dari jumlah uban dan kerutan. Kedewasaanku terlambat datang. Menyesal menyia-nyiakan begitu banyak waktu dan kesempatan. Lupa kapan harus memulai untuk bertanggung jawab sampai kemudian tanggung jawab sendiri yang menuntutku dengan kejam.Pijar baru saja pamit ke lapangan untuk bermain bola. Nyaris bersamaan dengan masuknya SMS Terang yang minta dikirimkan uang tunggakkan kosnya. Tak lama istriku menelpon, mengabarkan untuk menjemputnya segera. Cahaya kritis dan nyawanya dalam bahaya. Hendak melangkah, seorang pemuda tanggung berwajah cemas memasuki kolong, menyapaku ragu lalu menjabat tanganku. Aku merasakan tangannya dingin dan gemetar.            “Ijinkan saya bertanggung jawab atas Sinar,”            Peristiwa itu seolah saling bertabrakan dan pecahan-pecahannya menghantamku tanpa rasa kasihan. Aku ingin kembali di suatu ketika saat kolong ini masih kosong. Aku berharap aku hanya menunggu dan menunggu, gadis itu tak pernah datang dan sarungku tak berpindah tangan. Hingga aku tak perlu memikirkan jawaban ‘Bagaimana jika, aku harus memilih karena aku terpaksa percaya?’ Sekarang, aku hanya ingin memilih untuk percaya bahwa kolong ini pernah tanpa cerita dan kosong. Jauh sebelum aku datang dan memulai segalanya dengan sebuah jebakan bohong.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 26, 2013 01:18