Citra Rizcha Maya's Blog, page 4
July 4, 2015
[Cerpen] Gadis Kesayangan Sang Pecinta Buku

Suatu senja di kota Sumbawa Besar, seorang gadis pulang kepada kenangan masa kecilnya. Gadis itu bernama Gadis. Dulu, di sinilah dia menghabiskan masa kanak-kanaknya yang penuh dengan cerita manis. Namun, ketika dia masuk melalui gerbang kayu lapuk itu, yang dia tahu bahwa hatinya remuk. Ketika pintu diketuk takkan lagi ada yang menyahut. Ketika dia mengucap salam, takkan ada lagi ayahnya yang dengan segera datang menyambut. Pulang, hanya untuk mengenang hal-hal indah yang telah hilang.*** "Jika kamu melangkah pergi artinya kamu tak boleh kembali … " Ancaman dari ayahnya tak mengurungkan niatnya untuk mengejar cita-cita. Selepas SMA dia hanya ingin menuruti mimpinya. Mimpi sangatlah egois. Mimpinyalah yang membuat dirinya berubah menjadi anak sadis yang meninggalkan cerita miris, karena kesalahannyalah Ayahnya meninggal dengan tragis. Menurut Gadis, kesepian dan kekecewaan membuat ayahnya kehilangan harapan hidupnya. Ketika istrinya meninggal, dia masih memiliki anak gadisnya. Ketika anak gadisnya pergi, yang dia ketahui bahwa dia tak cukup berharga untuk membuat orang-orang yang dicintainya tetap tinggal bersamanya. Anak perempuannya memang berkemauan keras. Kebahagiaan baginya tak cukup hanya dengan apa yang mampu pria itu bawa pulang ke rumah. Pria itu penuh cinta, hanya saja dia tak memiliki cukup rupiah untuk membeli berbagai keindahan dunia. Sepotong roti dan secangkir kopi pahit setiap pagi membuat putrinya muak. Gadis itu menginginkan roti dengan keju atau secangkir cokelat panas. Anak perempuannya bosan untuk kado buku di setiap akhir pekan. Kadang sesekali dia ingin hadiah bandul berbentuk hati yang akan membuatnya terlihat menawan. Bagaimanapun, dia anak perempuan.*** Gadis mewujudkan mimpinya. Mimpi yang dia tukarkan dengan cinta ayahnya. Sebuah penukaran yang tak sepadan. Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan tak selamanya membawa kebahagiaan. Mimpi besar gadis itu justru membawanya kepada kehampaan. Dia menerima banyak pujian, dia mendapatkan benda dan barang yang dia inginkan. Tapi, tak ada kasih sayang. Sementara, kerinduan justru membawanya pada penyesalan. Rintik rindu di balkoni, di sebuah rumah musim panas yang disewanyalah yang membawanya pada keputusan untuk pulang. Ketika itu, dia menerima kabar kematian sang ayah. Pulang menjadi suatu keharusan. Dia bahkan mengabaikan kata-kata terakhir ayahnya ketika dulu dia meninggalkannya. *** "Kupu-kupu dan gelembung soda, tahukah kamu betapa kamu mirip keduanya?" Melalui Skype Artha bicara padanya. "Kupu-kupu, berasal dari kepompong. Kamu adalah kepompong yang dirawat ayahmu. Dia mengenalmu, tahu kemampuanmu, tahu seberapa besar cita-citamu. Kamu kupu-kupu bersayap besar dan yang bersayap pada akhirnya akan terbang. Ayahmu justru menyayangkan jika talentamu tak dikembangkan." Artha mencoba meyakinkan Gadis. Saat itu Gadis tak berbicara, dia hanya menatap muram pada layar yang menampilkan wajah teman masa kecil yang tak lagi dijumpai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Teman masa kecil yang terlalu sering dia rindukan. "Dan gelembung soda―tanpanya, minumanmu terasa hambar. Seperti segelas Cola begitulah kehidupan ayahmu, yang tak bisa dikatakan indah jika tanpamu. Kamulah gelembung itu, gelembung-gelembung mungil yang mempengaruhi cara orang-orang menafsirkan rasa manis dalam kehidupan ayahmu. Seorang ayah, butuh seorang anak perempuan untuk disayangi, dilindungi, yang mendampinginya. Anak yang berbakti. Tapi, tahukah kamu ada yang lebih berarti dibanding anak yang berbakti? Anak yang membanggakan. Dan kamu berhasil melakukannya." Artha berusaha memperkecil rasa bersalahnya, tapi baginya hal itu sia-sia. "Ayahmu meninggal dengan tenang, bukan karena kau tinggalkan. Memang ada kesepian dan kepedihan, tapi yang kutahu kamulah kebanggaannya, sumber kebahagiaannya." Bayangan Artha memburam, genangan kesedihan sekarang membanjiri pipinya. Gadis menutup laptopnya. Tak sanggup mendengar hal-hal indah menyayat hati lainnya yang mungkin diucapkan Artha. Pembicaraan terakhirnya dengan Artha membulatkan tekadnya, pada keputusan untuk meninggalkan posisinya sebagai Chef di salah satu restoran terbaik di Beverly Hills. Gadis pulang ke kota kecil itu, walau hanya demi membayar rasa bersalah yang tak lagi berguna. *** Gadis ingat pada salah satu kenangan masa lalunya. Dia merobek buku-buku kesayangan ayahnya dan meletakkannya sebagai hidangan makan malam. Bentuk protesnya, karena ayahnya membeli begitu banyak buku dan tak memikirkan kenikmatan lidah dan rasa kenyang di perutnya. Ayahnya, lebih suka mengenyangkan pikirannya. Hal itu tak masuk akal bagi gadis usia belasan yang memiliki kecintaan besar pada makanan. Pada saat itu Gadis sebetulnya ketakutan, dia merusak benda berharga milik ayahnya. Alih-alih menghukumnya, ayahnya hanya menyentuh kedua pipinya dengan sayang dan menatapnya dalam sambil berbisik. "Ada kunang-kunang di matamu. Cahayanya indah. Ayah menyayangimu." Ingatan itulah salah satu hal yang membawa kakinya kembali menjejakkan kaki di sini. Pagi ini, dia tahu apa yang dia lakukan. Dia harus merawat buku-buku ayahnya―hal lain selain dirinya yang begitu dicintai ayahnya. Dia tak ingin kelembapan atau mungkin rayap merusaknya. Namun, alangkah terkejutnya Gadis, segala sesuatu yang ada di sana sekarang ternyata jauh lebih baik dan buku-bukunya lebih banyak dari apa yang pernah diingatnya. Ada rak-rak baru, dan nampak semuanya terawat. Dinding-dinding perpustakaan pribadi ayahnya masih memajang potret masa kecil hingga remajanya. Tak hanya itu, tapi juga potret-potret terbarunya. Seseorang mengambilnya dari album facebook-nya. Tentu bukan ayahnya, ayahnya tak begitu berminat pada teknologi. Dia bahkan menyalahkan televisi sebagai pembunuh imajinasi. "Ayahmu benar." Seseorang mengagetkannya. Gadis hampir saja menjatuhkan buku yang dipegangnya. "Kunci masih diletakkan di tempat biasa. Seperti katanya, sewaktu-waktu kamu pasti pulang untuk menebus rindu." "Di bawah keset seperti biasa," Gadis hampir tak bisa berkata dengan benar. Ada sesuatu yang membuat lehernya tercekat. "Setiap sore dia selalu menunggu. Duduk di situ." Artha menunjuk sofa yang usianya sama dengan usia si gadis. "Dengan pakaian terbaiknya." Gadis melangkah dan duduk di sana. Matanya tepat menatap lurus pada gerbang kayu rumahnya. "Jika kamu datang, dia akan senang. Jika kamu datang, dia berjanji untuk mencicipi semua yang kamu masakkan. Hal yang seringkali diabaikannya dulu. Ayahmu bilang, maaf karena telah menduakanmu dengan buku-buku." Bagaimana bisa ayahnya menyampaikan hal sepenting ini pada seorang Artha? "Dan, aku juga minta maaf karena marah pada buku-buku bodohnya." Gadis tak bisa menahan sedihnya. "Aku marah karena dia hanya menceritakan tentang mereka yang tak nyata. Dia menyukai dunia yang aku tak bisa masuk ke sana. Seperti dia yang tak ingin masuk ke duniaku. Ayah tak pernah memahami inginku." Suaranya serak, tapi setiap kata yang terucap dari bibirnya membuat perasaannya lega. "Masih ingat apa yang terakhir diucapkannya?" Mengenang itu membuat mata Gadis kembali basah. "Jika kamu melangkah pergi artinya kamu tak boleh kembali … " Artha menghela nafas. "bila belum bisa memuwujudkan mimpi." Sambungnya lagi. Gadis tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku ada di sana, selalu ada dan tetap ada. Aku mendengarnya, seluruh kata yang tak ingin kamu dengar dulu. Kamu hanya ingin pergi secepatnya." Artha mencoba membawa Gadis kembali pada kenangan lama. "Aku minta maaf walau mungkin terlalu terlambat. Walau tak pernah kamu tunjukkan tapi aku tahu kamu marah. Karena, betapa aku dan ayahmu begitu sama, alih-alih kamu putrinya. Pikirmu, setiap ayah menginginkan seorang putra." Ada tawa mengejek dalam suaranya tapi kemudian hilang ketika dia kembali bicara. "Sejak dulu, akulah yang paling sering menghabiskan waktu di sini dengannya. Tak inginkah kamu bertanya, mengapa?" Ada keraguan ketika Artha ingin menyelesaikan kalimatnya. "Karena aku ingin jadi sepertinya. Menjadi pria yang mencintaimu sedemikian besarnya." Bahkan, Artha sendiri terkejut ketika dia menjawab sendiri pertanyaannya. Gadis tak bisa berkata-kata. Dia hanya mampu menatap Artha dan menyambut tangannya. Menggenggamnya erat di dada, dan menumpahkan perasaannya yang tak mampu dibahasakannya. Setelah jeda panjang, akhirnya Artha memilih menggunakan kata-kata. Karena, kadang kebisuan terlalu sulit untuk diterjemahkan. "Kita memang sepasang merpati, tapi kamu adalah merpati yang selalu ingin terbang tinggi. Sulit untuk kuraih." Gadis menggeleng, seakan tak setuju dengan ucapan pria yang berada di depannya. "Oh …Gadis, seandainya saja bisa kukatakan … Terbanglah sejauh sayapmu mampu membawa terbang. Tapi ingat kemana harus pulang." Ada rasa frustasi ketika Artha mengucapkan kata yang telah disimpannya sedemikian lama. Gadis tak pernah mengira apa yang sejak dulu menantinya di sini. Sesuatu yang dulu sulit untuk ditinggalnya pergi. Dan, tak ingin menyesali sekali lagi. Dengan bibir gemetar akhirnya dia mampu mengatakannya: "Aku pulang … padamu. Aku mohon, jadilah mimpi baruku."
Published on July 04, 2015 06:05
July 3, 2015
Ketika Tuhan Mengabulkan Doaku

"Apa yang kamu minta dalam doamu?" "Agar aku bahagia selalu?" "Misalkan, bahagia hanya mau datang padaku jika aku tanpamu." "Maukah kamu meninggalkanku?" Penggalan-penggalan kalimat tegas dari bibir Banu, masih teringat jelas. Seakan telingaku masih mampu mendengarnya. Kedua mataku seolah masih bisa melihat wajahnya, bahkan untuk detail terhalusnya. Dalam ingatanku yang seringnya kuragukan, ternyata peristiwa yang menancapkan luka terdalam sulit dihapuskan. Perempuan memang bisa melupakan kuncinya, tak pernah ingat dimana meletakkan kacamatanya, bisa juga terlalu lelah untuk memasukkan hal-hal kecil penting ke dalam kepalanya. Tapi, jika itu menyangkut perasaan, ingatan itu seakan abadi untuk selamanya.*** Di usia sembilan belas tahun aku jatuh cinta pada orang yang sungguh sempurna di mataku. Namun, ketika usiaku dua puluh dua tahun, yang kutahu aku telah jatuh cinta pada orang yang salah. Perlu waktu lama untuk menyadarinya. Tapi memang, siapa yang bisa berpikir benar ketika cinta meracuni kesadaran? Tumbuh remaja dengan kepercayaan diri yang rendah adalah sebuah bencana. Sulit bagi remaja yang ditelantarkan orang tua untuk mengenali apa itu cinta yang seharusnya. Dibesarkan oleh lagu, novel dan film yang mengatakan bahwa cinta mampu memenangkan segalanya. Dengan naifnya aku percaya saja. Dan kesimpulanku tentang cinta sungguh layak ditertawakan. Aku percaya saja pada kutipan yang mengatakan bahwa cinta adalah ketika kebahagiaan orang lain adalah sumber kebahagiaan kita. *** "Aku cinta padamu." Kata itu diucapkannya dalam tempo singkat, beberapa detik saja. Sementara untuk mendapatkannya, tahukah kalian apa yang harus kutukarkan? Malam-malam penuh kegelisahan ketika dia meminta satu hal yang sulit untuk kukabulkan; keperawanan. Di usia itu yang kutahu itu bentuk pengorbanan, sekarang yang kusadari bahwa dia tak menyukaiku, dia hanya tertarik secara seksual. Tidak lebih! Semuanya baik-baik saja saat aku dimabuk cinta. Aku tak merasa sakit ketika tamparan mampir di pipiku. Itu cuma caranya mengekspresikan cemburu, ketika ada pria lain yang bicara padaku. Kata-kata kasarnya tak menyakiti telingaku tak juga menggores hatiku, karena aku tahu akulah alasannya dia begitu. Ketika ada barang yang pecah, sesuatu yang dilemparkan atau hantaman yang mampir pada benda sekitar. Aku menyebut pacarku beraliran romantis brutal, dan hari ini, bagiku dia adalah seorang kriminal.*** Menikahinya di jelang usia dua puluh dipikiranku bahwa; Alina dan Banu memang tercipta satu dan lainnya― untuk selamanya. Otak tololku dengan bodohnya merangkum kisah cinta kami seperti ini; Jatuh cinta pada pandangan pertama, merayakan cinta dengan penuh suka cita―lupakan nilai moral, etika, apalagi agama. Hamil jadi alasan untuk menikah agar bisa bebas dari keluarga tak bahagia untuk membentuk keluarga baru yang sempurna. Usia muda? kita perlu membuat kesalahan yang menjadi penyesalan. Bukankah hidup guru yang tegas, ujian dulu baru ambil pelajarannya? Modal kami sederhana saja; cinta, cinta, dan cinta. Bukankah itu lebih dari segalanya?*** Segalanya berubah sejak kepalaku telah mampu berpikir secara dewasa. Aku yang tadinya hanya perlu meminta ketika menginginkan sesuatu kini harus berusaha. Dan segalanya berbeda ketika putri kami telah lahir ke dunia. Sementara Banu masih menganggap bahwa tanggung jawab hanya untuk mereka yang telah berusia senja. Kedua orang tua meminta kami mandiri, beberapa kali memberi modal usaha juga pinjaman ketika kekurangan. Tapi, tak lagi sejak orang tuaku tahu apa yang mereka berikan habis di meja judi dan narkoba dan orang tuanya juga lepas tangan. Kupikir aku tak bisa tinggal diam jadi kuputuskan aku harus berusaha dan hasil memang tak pernah menghianati setiap kerja keras. Toko online-ku yang menjual aneka kosmetik dan juga snack import cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Singkatnya, sekarang kami mandiri secara ekonomi. Namun, walau setiaku tetap terjaga tapi buat Banu tak ada lagi kehidupan cinta diantara kami berdua, rasanya hambar dan tak menyenangkan. Ya, akulah penyebabnya! Aku berusaha, hanya saja kami tak punya waktu yang banyak dan tak lagi menemukan minat yang sama. Sementara, bayi kami berada di orang tuanya, karena mereka tak percaya kami mampu membesarkan anak kami sendiri. Itu sedikit membantu karena aku harus fokus pada usahaku. Toh, agar Banu tak perlu meminta lagi pada orang tuanya untuk kebutuhan 'kebahagiaannya'. Banu hanya akan bahagia jika ada penunjangnya. Jika tak ada, akulah korbannya. Dan, semakin hari kadar kebahagiannya semakin minta ditingkatkan. Siapa lagi yang bisa mewujudkan kebahagiannya, jika bukan aku istrinya? Dengan berat hati aku mengambil keputusan. Banu harus mendapat perawatan untuk menyembuhkan kecanduannya. Sejauh ini aku sudah lelah melihatnya menderita dan hanya bahagia jika cairan 'kebahagiaannya' telah disuntikkan dan mengaliri venanya. Tapi sampai kapan? sampai dia terbunuh, dan aku harus menanggung luka fisik dan mental lebih dari ini? Tidak, cukuplah! Dan inilah pertama kalinya, sejak berbagai kejadian buruk itu, aku berdoa … Tuhan aku ingin Banu bahagia. Karena bahagianyalah sumber bahagiaku. Siapa yang tahu betapa bodohnya doaku. Dan Tuhan begitu mengasihi, Dia mengabulkan doaku. Tanpa kuketahui apa yang sungguh kubutuhkan aku malah meminta apa yang kuinginkan dan lihatlah apa yang kudapatkan. Kebahagiaan itu datang dalam wujud teman lama kami, namanya Shania. Shania baru saja kehilangan kekasihnya karena kecelakaan. Sadar bahwa kami tengah mencoba berdamai dengan masalah. Kami berbagi segalanya bersama. Shania bahkan membantu usahaku, mendengar kisahku, sedihku dan segala curahan hatiku. Shania membantu mengobati luka-lukaku. Luka yang kudapatkan ketika Banu terlalu sulit mengendalikan dirinya. Bodohnya aku, kepercayaan berlebihan bisa membutakan. Shania adalah sumber kebahagiaan Banu yang baru. Aku merasa terkhianati dan Shania sebaliknya malah menusukku dengan cara yang kejam sekali.*** "Apa yang kamu minta dalam doamu? Agar aku bahagia selalu? Misalkan, bahagia hanya mau datang padaku jika aku tanpamu. Maukah kamu meninggalkanku?" Banu dengan masih berbaring di tempat tidur kami malah melontarkan permintaan yang tak pernah aku pikirkan. Aku baru saja memergokinya membagi tempat tidur kami dengan Shania. Tiga tahun tamparan yang pernah mampir dipipiku bahkan jika disatukan, rasanya tak sebanding dengan tusukan yang sedang merobek hatiku. Sebaliknya Shania tak bicara. Dia hanya memunggungiku. Dengan mengenakkan kimono tidurku, dia duduk di depan meja riasku. Dari cermin yang memantulkan wajahnya yang kulihat tak ada sedikitpun penyesalan terlukis di sana, sebaliknya dia memberi senyuman ketika aku memutuskan meninggalkan mereka berdua.*** Setahun berlalu. Aku dan putriku meninggalkan kota kami yang lama, dan memutuskan untuk hidup baru―secepatnya setelah perceraianku dikabulkan. Satu hal yang kutahu, jangan pernah meletakkan kebahagiaanmu pada orang lain. Letakkanlah kebahagiaanmu hanya pada Tuhanmu. Pagi ini aku mendapat telepon yang mengejutkan, dari Shania. Setahun ini kabar mereka―baik Banu atau Shania tak pernah kudengar. Shania memohon untuk dapat bertemu denganku sekali saja. Dengan enggan aku mengiyakan permintaannya. Tak ada lagi Shania yang kukenal, dia yang duduk di hadapanku lebih mirip dengan orang lain, seseorang yang jauh lebih tua. Seseorang yang terlihat jauh berbeda. Dia tersenyum padaku, tangannya menggengam erat tanganku. "Maafkan aku, karena aku membuat keputusan semauku." Dia berkata dengan suara parau. Alih-alih membicarakan pengkhianatannya, dia malah mengatakan seolah ini masalah lainnya. Aku membuang mukaku, tak ingin menatap wajahnya lebih lama. Aku takut rasa iba meluluhkanku. "Bukankah kita harus meluruskan masalah kita, bukannya memutuskan tali silaturahmi kita?" Kata-katanya terdengar seperti kata yang mungkin diucapkan oleh seorang sahabat. Tapi, mengingat perbuatannya sulit bagiku memaafkan. "Alina … sulit bagimu memaafkanku. Aku tahu." Kedua tangannya masih menggengam tanganku. Ingin rasanya aku menariknya dan pergi berlalu. "Kamu menceritakan semuanya, aku melihat semuanya. Sebagai sahabat kamu sungguh mempercayaiku. Sebagai istri kamu menempatakan suamimu di atas segalanya. Kamu tahu apa kesalahanmu? kamu tak menghargai dirimu dengan cara yang semestinya! Setelah begitu banyak hal yang kamu dapatkan kamu malah menginginkan suamimu mendapat kebahagiaan. Entah kebodohan entah cinta yang membutakan." Aku marah karena seorang pengkhianat justru menghakimiku. "Alina, aku berterima kasih padamu. Karena di saat terpurukku kamu ada untukku. Dan aku harus menghancurkanmu agar kamu bisa bangkit. Dan yang kulihat aku berhasil." Aku tidak membutuhkan motivasi dari orang seperti ini. Aku menarik tanganku dan ingin bergegas pergi, tapi kaki-kakiku yang gemetaran seperti membeku , terpaku di lantai. "Aku mengidap AIDS, aku mengetahuinya lebih dari setahun lalu. Maafkan aku jika membelamu dengan cara menyakitkan seperti ini. Inilah satu-satunya caraku untuk menyelamatkanmu dari hubungan yang bisa membunuhmu. Setelah beberapa saat berlalu kuungkapkan hal ini pada Banu dan yeah jika tak menularinya melalui aku, maka pasti melalui jarum suntiknya. Tapi jarum suntik tak bisa membuatmu terbakar cemburu." Shania berbicara dengan perlahan agar aku dapat mencerna kata-katanya. Aku tahu ini terdengar menyakitkan. Aku tahu ini sulit buat kuterima. "Selamat menikmati hidup barumu. Aku bangga melihatmu yang sekarang." Shania berbisik di telingaku. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku tak ingin melihatnya. Aku masih terpaku, dan sebelum Shania berlalu dia menyempatkan diri memberiku kecupan di pipi. Dari kejauhan barulah muncul keberanianku untuk sanggup memandangi langkah-langkahnya yang ringgih. Satu hal yang ingin kupahami, mengapa harus ada air mata lagi yang kini meleleh di pipi.
Published on July 03, 2015 02:21
July 2, 2015
[Cerpen] Untuk Kamu Yang Kucintai Sepenuh Hati, Izinkan Aku Mengkhianatimu Sekali Ini

Kita saling mencintai sudah begitu lama, dan kali ini kita membuat kesepakatan untuk saling membodohi hati. Ini berat tapi tak bisa ditawar lagi, selalu ada yang dikorbankan untuk apa yang kita inginkan. Lebih-lebih, untuk rencana kita di masa depan nanti. "Kita kadang saling berselisih, tapi berjanjilah takkan mengubahnya menjadi benci." Aku memohon padamu yang tak mau menatap wajahku. Kamu hanya menatap ke kejauhan, dengan tatapan tajam yang kamu takutkan akan membuatku terluka. "Kita harus berpisah, tapi tentu saja kamu tahu bahwa cintaku untukmu di atas segalanya." Aku meyakinkannya. "Lalu bagaimana dengan rencana menua bersama?" Kamu bertanya dalam nada marah yang tertahan. Aku terdiam memikirkan rencana yang kita susun bersama. Membangun pondok kayu di tengah hutan buatan milik kita. Pohon-pohonnya adalah anak kita yang kita beri nama yang kita suka dan dipadu nama belakangmu tentunya. Kita akan menjadikan tempat itu sebagai dunia milik kita. Setiap hari aku akan mengajakmu merayakan pagi dengan sarapan lezat yang sangat kamu sukai. Kamu akan membuat berbagai hal dengan keterampilan tanganmu mengubah kayu menjadi aneka bentuk yang berguna; kursi, meja, rak, lemari buku, segalanya. Di siang hari kita akan bersitirahat di tempat tidur gantung bikinanmu, di halaman belakang kita―sambil membaca juga mendengar musik yang kita suka, sesekali kita akan berdansa. Aku berjanji akan menyenangkan perutmu dengan makanan bikinanku. Aku berjanji akan mencintaimu lebih dan lebih dari waktu ke waktu. Aku berjanji akan merasakan sedih bersamamu, merasakan bosanmu dan bergembira ketika itu maumu. Di malam hari, kita akan bicara banyak tentang apa yang kita pikirkan tentang apa yang kita rasakan. Kita akan menikmati masa tua kita bersama. Jika aku meninggal, berjanjilah tetap setia, seperti aku setia padamu. Ingatlah aku yang selalu mencintaimu. "Tapi, sebelum saat itu. Marilah kita menyepakati untuk saling mengkhianati." Ada keraguan dalam kata-kataku, lidahku tak mampu mengucapkan kalimat sederhana itu dengan mudah. Kamu tak menjawab dan akupun tak mau mendengarnya. Jadi, kuputuskan untuk meninggalkanmu yang terluka. Kakiku nyaris tak mampu menopang tubuhku, tapi aku mencoba terus melangkah, dan kamu yang kutinggalkan tak berusaha berlari untu menyusulku. Tak apa jika kamu marah, kita sama-sama tahu sulit bagi kita untuk saling menyakiti seperti ini. Satu-satu hal yang kutahu, kamu memotret punggungku untuk mengabadikan kepergianku. Suara kameramu seperti salam perpisahan yang sangat menyakitkan.*** Aku menerimanya, sayangku. Kamera yang berisikan foto berbagai tempat di dunia yang kau potret untuk kado pernikahanku. Semuanya indah, tentu saja. Bakatmu memang luar biasa. Lihatlah! apa yang kau potretkan adalah; apa yang selalu ingin kulihat, tempat yang selalu ingin kupijak, momen yang ingin kualami. Seperti sejak hari pertama kau kirimi aku kamera ini, aku selalu melihat ulang foto-foto yang ada di sana. Tak ingin kucetak, bukan tak ingin menjadikannya abadi. Hanya saja, aku ingin pura-pura melihatnya melalui matamu yang indah. Itu wajahku, wajah bahagia di hari pernikahanku. Senyumku, salah satu hal yang membuatmu jatuh cinta padaku. Hanya potretku, tanpa mempelai pria yang membuatmu cemburu. Aku tahu, itu karena kamu begitu mencintaiku. Nama kita, namaku dan namamu di sebuah gembok merah berbentuk hati pada sebuah pagar di Albert Docks. Mana kuncinya? kau buang ke sungai Mersey, karena kamu percaya kita takkan pernah kehilangan cinta sejati. Senyum lebarmu yang menunjukkan rasa puas dan bangga di tangga depan Studio Abbey Road. Salah satu tempat yang ingin kudatangi, tentunya. Banyak lagu cinta yang kamu nyanyikan untukku, pertama kali terekam di sini. Vondelpark, dengan segar rumput hijaunya juga bunga liarnya. Tempat terbaik untuk berbaring dan membiarkan pikiran melayang. Untukku, penggemar berat chesse cake kamu memotretkan chesse cakeraksasa di lobby Swissôtel Zurich. Apa benar, sepanjang jalan Zurich beraroma cinta karena 'polusi' phennylethilamine dari café-cafe cokelat melayang di udara? Dan aneka bianglala di tempat berbeda; Perth, Santa Monica, Yokohama. Kamu tahu aku selalu menganggap benda cantik itu sangat romantis. Sayang sekali, aku tak mungkin menerima lamaran impianku di atas benda itu. Lalu, aneka makanan pinggir jalan di Nakhon Si Thammarat adalah potret terburuk yang kamu abadikan. Kamu sengaja membuatku kelaparan dengan Kari yang terlihat sangat lezat. Lalu, ada tiga bayi Panda lucu dari Sichuan membuatku gemas dan inginku untuk bisa memeluk mereka. Seandainya kita bisa memiliki bayi bersama, itu sangat menggemaskan. Aku bahkan iri pada foto keluarga monyet bulu perak dari Bukit Malawati. Seandainya mudah bagi kita untuk menciptakan sebuah keluarga, sehingga kamu bahkan tak perlu ke Panama untuk bermain di sungai dengan seorang gadis cilik di Sungai San Juan de Pequeni. Sadarkah kamu ketika kamu memotret bocah Emberá itu? senyumannya serupa dengan milikku. Harus kuucapkan terima kasihku padamu untuk foto indah dari Gyeongsang Utara; seekor kumbang yang hinggap pada si cantik Sakura yang bermekaran. Itu mengingatkanku pada kita. Sewaktu-waktu kamu terbang dan hinggap padaku untuk melepas rindu. Padahal aku tahu betapa lucunya alasanmu―meninggalkan dia yang sekarat yang begitu mencintaimu. Kau bilang padanya, untuk menguatkan sahabatmu menghadapi pernikahannya yang seperti bencana. Kamu tahu benar alasanku yang dengan sengaja menikahi pria keparat, hanya untuk memiliki alasan kuat untuk menggugatnya dan mengajukan perceraian setelah perkawinan berat yang untungnya hanya sesaat. Dan sekarang, cincin di jari manis ini akan kulepaskan. Setahun sudah kita saling menipu dan membohongi mereka. Kamu pasti merasa bersalah ketika dia kalah melawan kankernya dan meninggalkanmu untuk selamanya. Itulah alasan kau menikahinya, karena usianya tak lama. Dan kamu dengan setia menemaninya berkeliling dunia hanya untuk membuat akhir cerita kalian terlihat indah. *** Hari ini setelah putusan ceraiku terkabulkan, aku tahu dengan pelukan hangatmu kamu akan menyambutku. Kita menyongsong mimpi baru yang telah kita cita-citakan sejak dulu; hidup berdua di pondok mungil dengan hutan buatan milik kita berdua. Dunia akan memandang kita dengan ramah dan bangga, karena kita adalah sepasang perempuan yang berjuang bersama untuk para penderita kanker, dan perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Published on July 02, 2015 00:57
July 1, 2015
[Cerpen] Pertemuan dengan Gadis yang Ada Dalam Pikiran

Aku pernah bertemu dengan seorang gadis. Gadis yang setelah beberapa minggu setelah kami berpisah mengirimiku pesan. Gadis yang mengaku bahwa dia jatuh cinta padaku dengan sangat mendalam. Isi pesannya membuatku kebingungan, dia menyampaikan perasaannya dengan cara yang muram dan dia merasa perasaan itu membuatnya tertekan. Tak seperti perempuan kebanyakan dia bahkan, tak menginginkan sebuah hubungan atau bahkan kesempatan kencan. Jadi, pesannya tak pernah kukirimkan balasan.
Aku ingin melupakan gadis itu― gadis yang ditangannya selalu menggenggam buku. Tapi apa dayaku, ada hal dari dirinya yang menarik tapi juga mengganggu, nama gadis itu ... Bolehkah hanya jadi rahasiaku?
Kupikir aku sedikit menyukai gadis itu karena, sepertinya dia dilengkapi dengan pengertian langka yang bisa dimiliki oleh seorang gadis. Selang beberapa waktu setelah pertemuan singkat kami yang hanya kurang dari seminggu. Sekarang, aku bahkan sudah berada di benua berbeda. Di sebuah negara yang memiliki kota kecil tempat kelahiran kelompok musisi yang menjadi legenda. All You Need is Love adalah salah satu lagunya. Nah, mungkin gadis itu tahu aku akan pergi jauh jadi otak realistis miliknya mengajukan pertanyaan, "Apa yang bisa kuharapkan dari lelaki yang baru kukenal yang akan meninggalkanku beribu-ribu kilometer jauhnya?"
Sebut aku egois atau ungkapan apapun yang mungkin akan terdengar sadis. Tapi buatku, seorang lelaki harus memiliki seperuh waktu dari hidupnya untuk mengejar mimpi. Mungkin kebanyakan orang berpikir cukup untuk menjadi seorang analis bisnis di sebuah perusahaan negara, namun tidak buatku. Jadi, ketika peluang beasiswa itu datang, kupikir ada yang harus dikorbankan untuk gelar MSc di bidang Digital Business Enterprise Management. Termasuk, kesempatan menggunakan perasaan.
Sepanjang hidup yang kulakukan hanya menggunakan otak. Ya, belajar, belajar, belajar dan nyaris belum pernah jatuh cinta. Cinta? Pada akhirnya seorang lelaki butuh untuk menikah, baik dengan dan tanpa cinta. Jadi, buatku itu nyaris tak berguna. Rencanaku, mungkin menikahi seorang gadis Denmark untuk memudahkanku memperoleh kewarganegaraan di Eropa. Aku berniat untuk berkarier di sini, di kota yang terencana baik, dengan arsitektur menarik dan yang jelas memiliki pemandangan matarhari tenggelam yang cantik.
***
Setelah perkuliahan melelahkan juga membosankan dari dosen tamu asal Prancis yang sulit kumengerti. Kusempatkan diri mampir ke perpustakaan publik yang tak jauh dari flat-ku. Aku menatap jam tanganku dan memperkirakan masih ada kurang dari dua jam sebelum tutup. Aku mempercepat langkahku dan kumasuki bangunan bata yang telah lebih seabad usianya. Di lorong aku bertemu teman sekampusku, Patricia―gadis cantik-eksentrik asal Ekuador yang menatapku dengan pandangan mencela namun prihatin. "Kau tampak seperti Zombie kelelahan. Kau butuh tidur dan berhentilah memburu nilai A." Dia memutar bola matanya lalu mendengus, " pergilah ke tempat yang tak terlihat orang lain, mintalah pintu maka akan dibukakan untukmu." Lama bagiku untuk mengerti apa yang dibicarakannya, entah lelucon, entah omong kosong. Tapi, beberapa orang tahu bahwa Patricia tergila-gila pada sihir Wicca. "Wow, thank you Professor Trelawney." Kataku dalam nada bercanda. "Aku serius dengan perkataanku. Jangan sampai kau mati konyol dan mayatmu kembali tanpa gelar ke negaramu." Dia berbicara dalam nada sarkas yang keras dan berlalu dengan diiringi bunyi gemerincing dari gelang kakinya. Aku tersenyum dan melambaikan tangan di udara pada punggungnya. Mungkin dia benar, bercangir-cangkir kopi memang bisa mengurangi keinginanku akan tidur tapi sekarang tubuhku seakan melayang dan tak ada yang lebih kurindukan selain tempat tidur nyaman yang sebaiknya kulupakan demi esai dan nilai A kebanggaan.
***
Aroma buku mengingatkanku pada gadis yang tengah memanggilku dari dalam kepala. Di pertemuan pertama kami, gadis itu tengah mengulang novel The Great Gatsby, kupikir itu bacaan bagus sebagai dongeng sebelum tidur. Sialan, aku tak bisa menahan kantukku. Dan otak tengah mengkhianatiku, karena tengah mempertimbangkan saran dari si aneh Patricia. Aku berjalan menjauh dari pandangan orang yang lebih fokus pada buku yang dicari atau tengah mereka baca. Jadi, kusentuh dinding yang dingin dan berharap … entah bagaimana bisa kupercaya ketika kenop pintu berada dalam genggamanku dan aku tengah memutarnya?
***
"Hai," sapa gadis yang selalu ada dalam pikiran tapi terus menerus kuabaikan. Dia bangkit dari kursi kayu pink berbantal mungil dengan motif bunga. Aku memandang sekelilingku, kami berada di sebuah tea room dengan wallpaperbunga dan beberapa rak buku di dindingnya. Ini mungkin bukan tea room, ini seperti perpustakaan mini dan ruangan pribadi. "Aku mengikuti kelinci dan terperosok di sini. Aku bukan Alice!" Dia menjelaskan dalam nada heran. Aku mengusap mataku dan memandangnya lekat-lekat. Dia seperti yang kuingat, tak bisa dikatakan cantik tapi menarik. Dia berkulit keemasan, menggunakan gaun hitam sebatas lutut, dan rambut dikepang ke samping, bersepatu datar, dan ada rasa antusias juga kegembiraan terlukis di wajahnya. "Aku suka tempat ini," dia berjinjit dan berbisik di telingaku, setelahnya dia duduk di kursinya, menyesap tehnya dan kembali membaca. "Kau boleh duduk kalau mau," katanya tanpa mengangkat wajah dari bukunya. Dia tengah membaca novel remaja berjudul Before I Die karangan Jenny Downham. Sekarang wajahnya terlihat sedih dan muram. Aku memilih duduk di sofa depannya. Kupikir sebaiknya aku berbaring dan mengabaikan godaan cream tea dan juga red velvet, yang kubutuhkan adalah tidur dan melepas lelahku. Tapi, ada gadis yang mencintaiku dan dia bertingkah tak acuh. Ini membingungkanku. Aku bangkit dan menatapnya, sebaliknya dia malah membalik halaman bukunya dan meneruskan membaca. Sekarang di tangannya bukunya berubah menjadi Pride and Prejudice. Aku menggeleng dan berpikir apa yang tengah terjadi di sini. Hingga aku mengajukan pertanyaan terbodoh yang bisa otakku pikirkan. "Kau mencintaiku?" Kuharap gadis itu menatap wajahku dan menjawab dengan malu-malu. "Tentu, tapi tak sebesar cintaku untuk Mr. Darcy." Dia mengabaikanku. Dia bahkan tersenyum malu justru pada si buku. "Bagaimana bisa kau ada di sini?" Aku menatap pada puncak kepalanya yang tengah menunduk. "Si kelinci mengatakan bahwa kamu terus menerus berpikir tentangku. Bisakah itu disebut rindu?" Dia mengajukan pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Aku menghela nafas dan kesulitan untuk tetap sadar. Kantuk menyiksaku tapi mungkin inilah kesempatan satu-satunya untuk bisa bertemu gadis yang selama ini hanya selalu ada dalam kepalaku. Sebuah ide melintas di kepalaku dan tak lama musik mengalun, sebuah lagu Real Love dari The Beatles. "Mau berdansa denganku?" Jujur, aku malu saat mengatakannya. "Itu lagu favoriteku," katanya masih tanpa menatapku. "Tapi aku harus menyelesaikan bukuku." Sekarang dia tengah membaca Oliver Twist. "Apa maumu?" aku terdengar tak sabaran. Kali ini gadis itu mengangkat wajahnya dan menutup buku lalu meletakkannya di pangkuannya. Kali ini adalah The Casual Vacancy. "Aku juga tak tahu. Mungkin bertemu denganmu cukup untukku." Katanya ragu. "Apa kau ingin aku membalas pesanmu?" Dia menggeleng "Apa kau mau aku membalas perasaanmu." Dia tersenyum namun menggeleng. "Sulit mencintaimu yang terlalu sibuk mengejar mimpi yang bahkan lupa bahwa dirinya sendiri juga butuh dicintai." Dia berkata lirih dan memandangku dengan sedih. "Tolong jaga diri. Kamu kadang terlalu menyiksa diri sendiri." Aku tertawa, mengejek diriku, mengejek dirinya yang sok tahu. Tak lama yang kutahu aroma kopi mampir di hidungku dari gelas plastik yang masih mengepulkan uap panasnya―membangunkanku dari atas tumpukan tugas kuliahku. Samar-samar kudengar gemerincing gelang kaki perlahan menghilang di kejauhan yang berganti dengan pengumuman bahwa jam kunjung perpustakaan akan berakhir dengan segera.
Published on July 01, 2015 01:10
April 23, 2015
Mereka Bukan Tidak Suka Membaca, Mereka Hanya Trauma Dengan Pengalaman Membaca Yang Kurang Menyenangkan

Ada pertanyaan yang diajukan seorang teman beberapa tahun lalu yang membuat saya kesulitan menjawabnya secara serius, jawaban yang saya berikan akan lebih baik jika dianggap candaan. Tapi jika kamu tipe serius, maka itu akan terdengar miris dan tragis. Pertanyaannya adalah: "Apa buku favorite siswamu?" Saya cuma bisa bilang, "Buku wajah, karya Mark Zuckeberg." Sesungguhnya kebanyakan siswa saya menderita buta aksara. Ini masalah besar! Siswa SMA tidak bisa membaca? Jangan salah paham, mereka sebenarnya bisa mengenali huruf, merangkainya menjadi kata dan melafalkannya dengan benar. Tapi membaca bukan hanya kegiatan membunyikan kata, namun mengerti dan memahami si kata. Bukankah nyaris tak ada bedanya bisa melafalkan huruf namun tak mengerti artinya dengan sama sekali tak bisa membaca. Sebagai guru saya memahami hal ini. Kebanyakan anak-anak usia sekolah tidak menaruh minat besar pada membaca. Padahal menurut saya ini adalah kesalahan, karena― contoh sederhana saja, dalam proses belajar misalnya, ‘kesalahan’ metode belajar dapat berakibat fatal. Pernah dengar tentang solusi tak masuk akal agar pintar? Bakar bukunya, abunya dicampur air dan diminum. Itu kelakar populer di kalangan anak-anak sekolah. Banyak anak-anak memilih ingin pintar tapi tanpa pengorbanan. Untuk itu marilah kita jawab pertanyaan berikut ini. Berapa banyak siswa yang memilih metode menghafal alih-alih membaca perlahan guna memahami materi yang mereka pelajari? Salah satu kunci belajar adalah banyak membaca. Namun tak sedikit yang memilih cara praktis dengan langsung menghafal, mereka keliru atau mungkin tak mengerti bahwa otak manusia memiliki keterbatasan ingatan seiring berjalannya waktu dan juga ada memori-memori yang akan terhapus oleh memori yang lebih penting. Berbeda jika mereka belajar dengan cara membaca materi dengan mengerti isi materi tersebut. Selamanya mereka akan mengingatnya. Memahami menjadikan seorang anak mampu menganalisis masalah. Bukankah pada akhirnya apa yang dipelajari di sekolah adalah bekal si anak untuk menyelesaikan masalah di masa depan? Tapi bila membaca saja malas rasanya sulit bisa membuat siswa menjadi lebih berpengetahuan. Anak-anak dan remaja masa kini adalah tipe manusia yang sudah dimanjakan oleh keberhasilan teknologi yang dikembangkan secara susah payah oleh generasi sebelumnya, televisi menjadikan anak-anak sebagai makhluk audio-visual yang ‘mematikan’ fungsi otak dalam berimajinasi dan sebagai generasi ponsel pintar (smart phone) mereka dengan memudah bertanya pada Google, nyaris tidak ada proses mencari ilmu, mendapatkan, memahami hingga menyimpulkannya Kenapa Siswa Benci Membaca? Saya percaya pada kalimat , tidak ada orang yang benci membaca, mereka hanya membaca buku yang salah . Mari kita kembali pada sub judul, kenapa siswa benci membaca? Untuk mendapat jawaban mungkin kita harus kembali ke masa lalu dan bertanya tentang bagaimana sejarah si anak mengenal huruf. Saya termasuk yang beruntung di usia lima tahun saya lancar membaca karena saya lahir dari keluarga yang mencintai buku dan segala jenis bacaan. Perkenalan saya dengan huruf juga sangat menyenangkan. Ayah saya secara kreatif memperkenalkan anak-anaknya dengan alphabet melalui cara yang kami pikir itu hanya permainan bukan sebuah kegiatan belajar. Ayah saya membuatkan huruf-huruf dalam bentuk puzzle sebagai cara kami belajar mengeja. Dibanding membelikan mainan orang tua saya justru sengaja berlangganan majalah anak untuk kami, antara lain Bobo dan Donald Bebek. Di hari ulang tahun saya dan adik-adik saya pasti mendapat kado buku dari orang tua. Jelas terdengar aneh saat anak berusia 9 tahun mendapat novel John Grisham yang berjudul The Client dan di ulang tahun ke-24 saya mendapat buku langka-terlarang Mein Kampf―buku wajib-nya NAZI, catatan harian dari Adolf Hitler. Kesimpulannya, memang ternyata keinginan membaca harus dimulai dari lingkungan keluarga. Hingga ketika tahun 2010 saya akhirnya menjadi guru SMA (hurray!!!) eh, saya kaget luar biasa mengetahui bahwa di lingkungan terdekat saya, tak ada perpustakaan atau minimal rental buku. Dari hal tersebut kesimpulannya adalah bahwa saya berada di tempat yang masyarakatnya memiliki minat membaca rendah. Lalu apa kabar dengan anak-anak usia sekolah? tak jauh berbeda. Dan (malunya) … mungkin saya tipe yang gampang menyerah karena saya juga tidak berusaha 'mengajak' mereka jadi suka membaca dengan aksi yang nyata. Yang saya tahu, mereka memang tak berminat dan lebih parahnya beberapa memiliki ketakutan akan membaca.
Ada baiknya juga saya kepo dengan iseng bertanya dan mengamati secara diam-diam, sehingga saya (dengan sok tahu) mendapat tiga alasan ini:
1. Membaca membuat mereka (maaf) muak. Ada yang ingat keluarga Budi? Sebagian besar siswa belajar membaca dengan Bapak, Ibu, Budi, serta saudara Budi; Wati dan Iwan di buku yang berjudul Bahasa Indonesia Belajar Membaca dan Menulis 1a seringnya masih diwariskan dari generasi ke generasi, yang membuat saya shockadalah buku SD kelas 1 saya sama dengan siswa saya ketika mereka dibangku SD juga (padahal rentang umur kami belasan tahun). Pendidikan kita memang lebih suka berjalan di tempat. Bayangkanlah buku tua dan apak (secara fisik lho ya, saya mengakui buku belajar membaca itu secara isi sangat bagus sekali dan berterima kasih, dengannya saya belajar dan suka membaca hingga kini) bukanlah buku yang layak dan metodenya pun seharusnya tak lagi mengeja satu per satu ke depan kelas di meja guru dan didengar oleh seisi kelas. Ketika salah, guru tak segan menghardik, buat saya bagi anak yang bermental lemah itu bisa jadi pengalaman yang traumatik. Jelas sekali sejarah awal membaca buku tak layak membuat (maaf) alih-alih siswa suka membaca mereka malah muak.
2. Membaca bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Setiap jenjang pendidikan pada generasi saya hingga siswa saya selalu ada kegiatan membaca di depan kelas dimana bahan bacaannya hanya lebih panjang pada tiap tingkat pendidikan. Bahkan yang tak masuk akal masih ada di SMA seorang siswa berdiri untuk membaca (tak jarang dengan terbata) yang didengar oleh seluruh kelas untuk nantinya mereka ditanya tentang gagasan atau ide pokok dari yang mereka baca. Membaca seperti itu membutuhkan keberanian buat banyak orang, apalagi kemudian ditodong dengan jawaban tentang ide pokok seperti. Itu seperti bentuk pemaksaan dan pembunuhan karakter. Selalu ada sisi ketakutan dari siswa jikalau pendapat mereka salah. Dan mau tak mau ini berhubungan dengan pengalaman membaca, mari kita flashback ke sejarah awal mereka belajar membaca. Dulu, pasti pernah ada anak yang berdiri di pojok kelas setelah dijewer karena tak hafal alfabet. Dan di pojok itulah si anak yang malu harus menghafal alfabet tersebut. Bisa berpikir dari sudut pandang si anak atau mencoba memahami perasaannya?
3. Membaca buku yang salah. Di negara kita (secara umum) buku tidak termasuk benda primer dan buku yang dimiliki biasanya bukanlah benda kepemilikan tetapi berupa pinjaman dari sekolah untuk nanti dikembalikan dan diwariskan ke angkatan di bawah dan seterusnya. Dan seperti yang dibahas sebelumnya, sebagian besar bukunya sangat tak layak. Pun buka juga bukan benda murah yang mudah ditemukan di luar sekolah. Buku yang beredar di sekolah (maaf) lebih banyak buku yang tak menarik. Berdasaran pengalaman saya sejak SD hingga SMP, buku-buku dari perpustakaan sekolah saya tidak memiliki kekuatan untuk membuat siapapun ingin membacanya. Dan dijaman SMA hanya buku paket yang diperkenankan dipinjamkan dengan bebas sementara ensiklopedia, biografi, novel dan buku menarik lainnya dikunci di lemari kaca, hanya sebagai hiasan. Mari bertanya berapa banyak sekolah yang bersikap seperti itu yang secara tidak langsung mematikan keinginan para siswa untuk membaca? Sementara jika ingin membeli buku pribadi itu tak murah dan tak mudah ditemukan, apalagi di tempat kami, jika harus beli online harganya lumayan mahal.
Dengan keadaan seperti ini sulit sekali untuk membangkitkan minat membaca, saya pribadi dengan senang hati sih meminjamkan buku-buku saya (asal dikembalikan) tapi mau meminjamkan kepada yang tak suka membaca rasanya kok percuma. Harapan saya semoga generasi muda menjadikan budaya membaca sebagai hiburan yang menyenangkan. Ada yang mau berbagi ide bagaimana caranya membuat mereka suka membaca? Oh ya, tulisan saya jangan dibawa serius, ini cuma curhatan untuk menyambut hari buku doang kok. Selamat hari buku, yuk budayakan mencintai kegiatan membaca buku!
Published on April 23, 2015 05:37
April 8, 2015
Komitmen itu Mungkin Seperti Membaca atau Mungkin Juga Seperti Menulis dan Kemudian Membaca

Untuk saat ini, menjalani sebuah komitmen itu menurut saya seperti membaca fiksi yang sangat bagus. Anggaplah itu, Pride and Prejudice atau The Known World. Iya saya membacanya, menikmati kata perkatanya. Namun, selalu ada jeda untuk membalik halamannya. Untuk menatap sekilas ke kejauhan, untuk mengedipkan mata, untuk menyandarkan kepala. Mungkin saya akan berbicara dengan orang di sekitar, mungkin saya akan mendengarkan mereka yang perlu di dengarkan. Saya melipat halaman dan menutup bukunya sebentar. Saya kembali, membalik bab baru. Menandai bagian penting, bagian terbaik, bagian yang tak ingin terlupakan, saya ingin mengabadikannya, mungkin saya berjanji membaca ulangnya suatu hari nanti. Saya mungkin menyesap kopi, berjalan melanjutkan tujuan, atau malah jatuh tertidur―bukan karena bosan tapi lebih karena membaca seperti bermimpi dengan mata terbuka dan saya hanya terlalu nyaman jadi melanjutkannya sambil memejamkan mata, bukankah kita menutup mata ketika ingin melihat hal yang begitu indah? Di suatu ketika saya membacanya lagi, memberinya marginalia. Berdebat dengan kepala bahwa cerita ini mungkin salah satu bagiannya juga pernah saya alami. Saya berpikir, membaca lagi dan membandingkan hingga tahu-tahu saya menutup bagian akhirnya. Saya mendapatkan perasaannya, perasaan yang buku itu berikan, tapi inilah perpisahan. Saya menilainya saya mungkin merensinya, saya ingin menguatkannya dalam ingatan. Tapi mengingatkan diri lagi, saya telah menutupnya. Setelahnya, iya saya kembali ke keadaan yang sebenarnya. Menyelesaikan bacaan lainnya yang tertunda, yang tak sempat saya kerjalan, membaca laporan, membaca esai anak-anak, membaca buku refrensi apa yang diajarkan besok, membaca tips-tips dari majalah, membuka lagi buku teori Sosiologi, saya masih berharap belajar ini lagi suatu hari nanti. Membaca artikel yang mereka bagikan di beranda, membaca apa yang ada di sekitar dan ya hingga apa yang buku itu berikan memudar dan siap memilih buku bagus lainnya. Dan setiap orang seperti buku yang bagus dengan kisah yang berbeda. Dan dalam setiap komitmen saya menghubungkan mereka yang bersama saya dengan buku apa yang tengah saya baca.
Di sana pernah ada dia si cowok komik dan serial fear street, hey kita berjalan bersama untuk menemukan bacaan bagus. Pernah ada dia, si teenlit dan buku-buku pengembangan diri di saat hantaman masa remaja menyiksa. Pernah ada dia di deretan chicklit dan majalah perempuan yang menyuruh perempuan jadi diri sendiri dengan standar majalah mereka yang mahal dan tinggi. Pernah ada dia diantara Mapping Human History hingga Letter to Daniel, saat mulai ingin memetakan hidup. Dan pernah ada dia, saat tangan dengan tumpukan buku-buku yang harus dibaca sebelum mati, saat saya mulai membaca karya Murakami, Adiga, hingga Tolstoy. Saat episode hidup memaksa untuk berpikir lebih matang dan mulai menomor-duakan kesenangan.
Pada akhirnya mungkin sebuah komitmen nantinya lebih mirip seperti buku catatan, dimana ada seseorang yang bersedia menulis dan kemudian membacanya secara bersama-sama dengan saya.

Published on April 08, 2015 05:37
March 7, 2015
[Review] Veronika Decides to Die: Hanya Karena Semuanya Biasa Jadi Boleh Mati Begitu Saja?

Judul Buku : Veronika Decides to Die (Veronika Memutuskan Mati)Jenis Buku : FiksiPenulis : Paulo CoelhoAlih Bahasa : Lina JusufPenyunting : Candra GautamaDesain dan Ilustrasi Cover : Boy Bayu AnggaraPenata Letak : Bakti SetiyantoPenerbit : Kepustakaan Gramedia PopulerCetakan : Ketujuh, Juli 2012Tebal : 235 halamanISBN : 978-979-91-0478-6
Veronika Memutuskan Mati adalah novel tentang pencarian makna hidup dalam masyarakat yang terbelenggu rutinitas tanpa jiwa dan takluk terhadap tekanan sosial. Dengan tokoh utama Veronika, seorang gadis yang berusaha bunuh diri, Paulo Coelho mengisahkan individu-individu rapuh yang terlempar ke rumah sakit jiwa karena hasrat, impian, dan sikap hidup mereka berbeda dengan yang dianggap normal oleh masyarakat.*** Kita lebih alami untuk menanti mati alih-alih memutuskan mati, jadi ketika 'keputusan' seseorang tak sama seperti kebanyakan, apakah itu artinya vonis gila akan jadi miliknya? Perempuan, muda, cantik, dengan kehidupan normal memutuskan untuk menegak pil tidur guna membunuh dirinya dengan alasan, hidupnya terlalu biasa saja, tak bisa menghindari hal yang salah dan memperbaiki hal dalam hidup dengan kebenaran, dia kesal bahwa koran menulis suatu hal yang konyol, mereka tak tahu dimana letak Slovenia, dan yang terakhir seperti dalam buku ini tertulis (hal 78) dia membenci cinta yang diberikan kepadanya, karena cinta itu tak menuntut balas apa-apa, dan itu tidak masuk akal, tidak nyata melawan hukum alam (siapa yang gila di sini? adakah cinta yang masuk akal? dan apakah semuanya harus lulus sensor si akal untuk bisa diterima?) Ah Veronika! Sulit sekali membedakaan kenormalan dan kegilaan, keduanya begitu tipis dan nyaris serupa. Gunakan sudut pandang berbeda kamu mungkin gila, kamu mungkin normal. Tapi, pada saat ini gila dan normal seringnya… siapa yang peduli sih? tapi jika sudah senekat memilih mati itu masalah lain lagi. Ini buku ketiga tentang ketidaknormalan kejiwaan tokohnya yang saya baca (ulang) belakangan. Dan harus saya katakan buku ini pernah saya selipkan di salah satu novel saya sebagai bacaan dari ibu tokoh saya yang juga memilih mati (Spacious Love) Penyebab kegilaan: korban stres, rasa jemu (mungkin inilah Veronika) penyakit bawaan, kesepian, penolakan dan juga kata dr Igor karena kekurangan Serotonin, zat yang yang bertanggung jawab atas perasaan manusia. Manusia, mereka kesulitan mengolah kebahagiaannya. Dan yeah untuk tetap normal usaha yang bisa dilakukan (jika kita mencoret 'ikuti saja mayoritas') maka; kendalikan saja pikiran, atau jika tidak maka pikiran yang akan mengendalikan kita yang artinya berakhir gila! Sayangnya saat ini, gila mulai mengalami perluasan makna dan tak sedikit orang yang bangga menjadi gila (saya mereview buku atau apaan coba? haha) Mengambil setting di Vilette, sebuah rumah sakit jiwa. Buku ini selain mengisahkan Veronika juga berkisah tentang Eduard, lelaki yang (sayangnya) gila (saya sendiri tak berpikir dia gila) Mari yang memutuskan gila dan Dr. Igor dengan penelitiannya. Adegan tergila adalah saat Veronika memutuskan dengan berani untuk bermarturbasi di hadapan Eduard, dia ingin melepaskan ketakutannya atas sebuah kenikmatan. Dan dongeng raja dan sumurnya membuka mata tentang apa sebenarnya definisi gila. Saya suka Eduard dan Dr. Igor juga Mari tapi tidak begitu dengan Veronika untuk alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dan kesimpulan besar dari buku ini sesuai dengan judul bab terakhir dari tesis Dr. Igor, 'Kesadaran Akan Kematian Membangkitkan Semangat Hidup' Tidak seperti buku lain dari Paulo Coelho, Veronika memutuskan untuk mati disajikan dengan pemilihan kata yang paling sederhana namun tetap kaya makna akan kehidupan. Selalu menyukai karya Coelho!
Published on March 07, 2015 22:18
[Review] Saving Francesca: Bagaimana Jika 'Tombol Kehidupanmu' Dimatikan Begitu Saja?

Judul Buku : Saving Francesca (Tolong, Aku Dong!)Jenis Buku : FiksiPenulis : Melina MarchettaAlih Bahasa : Dewi SunarniDesaian dan Ilustrasi Cover : eMTePenerbit : PT. Gramedia Pustaka UtamaCetakan : I April 2006Tebal : 304 halamanISBN : 979-22-2035-6
Francesca Spinelli pusing berat karena ibunya tiba-tiba depresi, kehilangan semangat hidup, dan hampir tidak mau turun dari tempat tidur. Keluarganya terancam berantakan, apalagi ayahnya sepertinya pasif dan menganggap sepele masalah itu. Satu-satunya hiburan bagi Francesca adalah Will Trombal, cowok keren yang dia taksir, tapi dia malah makin sedih saat mengetahui ternyata Will sudah punya pacar. Francesca jadi merasa galau dan kesepian. Apalagi ia merasa tidak cocok dengan teman-teman di sekolah barunya. Teman-teman lamanya yang keren dan selalu dapat ia andalkan, sekarang semakin menjauh. Ia sulit bergaul dan merasa terkucil. Semuanya membuat Francesca tidak tahan lagi. Siapakah yang dapat menolongnya? Atau, ia hanya perlu membuka mata dan melihat bahwa justru orang-orang yang ia anggap remeh lah yang justru menyayanginya? Eksplorasi yang sangat dalam tentang kedewasaan, jati diri, keluarga, dan persahabatan. *** Pernahkah kamu membayangkan bangun di suatu pagi dan keadaannya ternyata tak sama lagi? Pernahkah kamu yang adalah seorang anak, yang memusatkan semua kebutuhanmu pada seorang ibu dan suatu pagi ibumu bahkan ibumu tak lagi bisa memenuhi kebutuhannya sendiri? Tidakkah itu menyerupai keadaan seolah-oleh tombol kehidupanmu dimatikan begitu saja? Ditambah dengan perubahan signifikan dalam hidupmu; hidupmu tercerai berai, kamu bahkan diungsikan ke rumah kerbatmu, teman-teman sekolah lamamu melupakanmu dan teman di sekolah barumu terlalu sulit diraih, kamu jatuh cinta pada orang yang tak seharusnya disaat… siapa sih yang bisa menyalahkan cinta? Kamu sungguh butuh pertolongan, tapi siapa yang harus menolongmu? Mungkin pilihan paling bijaksana adalah terima saja hal-hal acak yang menjungkirbalikan hidupmu, tatalah dengan perlahan dan sedikit demi sedikit bersikaplah dewasa. Itulah yang ingin disampaikan oleh Melina Marchetta melalui tokohnya Frankie yang mirip Sophia Loren. Untuk hal semacam ini Marchetta sungguh jagonya. Dia penulis novel remaja favoriteku, dan karena membaca karya sebelumnyalah (Looking for Alibrandri) aku memutuskan untuk menulis. Children's Book Council of Australia Award for Book of the Year for Older Readers (2004), Canberra's Own Outstanding List (COOL) Awards Nominee for Older Readers (2004), Kids Own Australian Literature Awards (KOALA) Nominee for Older Readers (2004), Young Australians' Best Book Award (YABBA) Nominee for Older Readers (2004), West Australian Young Readers' Book Award (WAYRBA) for Older Readers (2004) Parents' Choice Gold Award (2004), S.A. Festival National Children’s Book Award Nominee for Young Adult (2004), W.A. Young Readers Book Award (WAYRA) for Older Readers (2004), YALSA Best Books for Young Adults (Top Ten) (2005) Itu adalah deretan penghargaan untuk karya ini. Marchetta tahu cara menyentuh pikiran remaja melalui tulisan dan mengangkat tema-tema yang berkaitan erat dengan kehidupan mereka. Proses menjadi dewasa, hubungan orang tua-anak, teman dan teman juga hubungan asmara remaja, dan dalam karyanya dia selalu menyelipkan isu lintas budaya Australia- Mediterania. Kutipan favoriteku adalah; “People with lost personalities will suffer a great deal more than those with lost virginities―Orang-orang yang kehilangan kepribadian akan menderita lebih banyak daripada mereka yang kehilangan keperawanan." Bukan berarti menyuruh siapa saja untuk kehilangan keperawanannya juga sih, ini terkesan dalam dan membuat berpikir. Untuk ukuran bacaan remaja Saving Francesca cenderung serius namun tak kehilangan citarasa remajanya.
Published on March 07, 2015 22:07
[Review] Semusim dan Semusim Lagi: Kecuali Kenyataan dan Impian Semua ada Pasangannya

Keterangan Buku:
Judul : Semusim, dan Semusim Lagi Penulis : Andina Dwifatma Editor : Hetih Rusli Desain Cover : Rio Tupai Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Cetakan : I, April 2013 Tebal : 232 halaman ISBN : 978-979-22-9510-8
-- Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 --“...ditulis dengan teknik penceritaan yang intens, serius, eksploratif, dan mencekam.”(Dewan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012)
Surat Kertas Hijau Segala kedaraannya tersaji hijau mudaMelayang di lembaran surat musim bungaBerita dari jauhSebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kataMenepis dalam kelakar sonder dustaHarum anak daraMengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup iniSemusim dan semusim lagiBurung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua iniPeluk goreskan di tempat iniSebelum kapal dirapatkan
Sitor Situmorang, 1953
Dari sebuah sajak, seorang penulis memindahkan suatu baris dan menjadikannya suatu judul, lantas melanjutkannya dengan kalimat demi kalimat, yang akhirnya terbentuk menjadi roman ini. Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya. —Seno Gumira Ajidarma***
Dibacanya tak lama, tak sampai sehari juga kelar. Yang menyebalkan dari membaca adalah kadang kepala ini sering menjadi sok, sengaja membagi dua sudut berpikirnya; sebagai penulis dan sebagai pembaca. Sebagai penulis saya mencoba mereka-reka bagaimana si penulis menyusun kisahnya, saya menganggap Andina Dwifatma adalah seorang penimbun fakta, pecandu trivia, pengoleksi kutipan yang untuk menjadi novel seolah caranya menyusun seakan dia hanya menyusun puzzle yang direkatkan dengan imajinasinya. Sebagai pembaca saya menemukan bahwa sekilas citarasa Haruki Murakami melekat. Keluarga disfungsional, anak yang dibesarkan oleh buku dan limpahan informasi tanpa filter agama, moral, nilai-norma. Kesepian, keterpurukan, dan ketiadaannya harapan yang selalu disangkalnya. Si aku mencoba mempercayai hanya pada apa yang hanya ingin dipercayainya. Mengenai karakter. Si aku adalah... banyak penulis menurut saya juga menjalani hidup seperti apa yang si aku alami. Meletakkan kepercayaan berlebihan pada apa yang dibacanya, pada informasi yang dianggapnya benar ( entah itu berlaku hanya bagi saya pribadi, ya ya ya saya tumbuh besar derngan membaca apa saja dan cenderung mudah percaya pada apa yang saya baca dibanding orang asing yang saya temui di dunia nyata) tapi jika seseorang mampu menciptakan karakter semacam itu artinya ada banyak orang semacam itu di luar sana. Si aku hanya dia yang seharusnya mendapatkan cinta yang berhak didapatkannya. Ini nanti berkaitan dengan pesan yang dibawa buku ini. Tentang karakter kesukaan saya Muara, adalah nama karakter yang seandainya dia nyata, dia adalah orang yang dengannya saya ingin bertukar perasaan (Terbaca pendekatan emosionalnya -_-) Muara dia yang akan membicarakan Bob Dylan, menceritakan sejarah musik blues, berkaos dengan wajah Rabinranath Tagore. Saya sungguh meluangkan waktu untuk bertukar topik menarik dengan lelaki yang juga digambarkan dengan sangat menarik. Sejak awal ketidakwarasan si aku sudah tampak, tapi arah menuju pada kegilaannya disajikan dengan serius dan eksploratis seperti kata Dewan Juri Sayembara Menulis DKJ. Novel ini layak juara, hanya saja... kenapa harus menyelesaikan novel itu begitu segera? dan mengapa surealis yang hadir di tengah-tengah 'agak mengacaukan' sisa cerita? Dan memang isi buku 'menceritakan' tentang kutipan dari Darmanto Jatman; "Semua anak ada ibu-bapaknya, kecuali impian. Semua pasangan ada jantan ada betinanya, kecuali kenyataan."
Published on March 07, 2015 21:58
February 28, 2015
[Review] Cerpen Kompas Pilihan: RIPIN, Melihat Dunia Melalui Mata Anak-anak

Judul Buku : Cerpen Kompas Pilihan 2005-2006 RIPINJenis Buku : FiksiPenulis : Ugoran Prasad, Kurnia Effendi, Eka Kurniawan, Danarto, Djenar Maesa Ayu, dkk.Penyunting : Ninuk Mardiana PambudyDesaian dan Ilustrasi Cover : A.N Rahmawanta dan Ipong Purnama SidhiPenerbit : PT. Kompas Media NusantaraCetakan : Kedua, November 2007Tebal : 180 hlmISBN : 978-979-709-314-3
Seperti dikatakan di bagian sampul belakang buku, buku kumpulan cerpen Kompas memakai Cerpen Kompas Pilihan sementara biasananya menggunakan judul Cerpen Pilihan Kompas. Dan, bila sebelumnya cerpen-cerpen yang akan diterbitkan menjadi buku itu dipilih sejumlah anggota Redaksi Kompas maka, kali ini proses pemilihan sepenuhnya diserahkan kepada pihak luar; Prof Dr Bambang Sugiharto, guru besar Filsafat dan Nirwan Dewanto, penulis berbagai genre sastra. Terdapat enam belas cerpen dalam buku ini, dan alasan kenapa saya memilih dan membeli buku ini karena judul buku ini adalah nama panggilan dari bapak saya. Dan saya harus katakan bahwa Ripin sendiri adalah kisah yang paling saya sukai dalam buku ini, terlepas dari alasan kenapa saya memilih buku ini. Ripin, Ibu Pergi Ke Laut, serta Rumah Hujan adalah cerpen-cerpen kesayangan saya dan Caronang, Bocah-bocah Berseragam Biru Laut, juga Mata Mungil yang Menyimpan Dunia membuat saya menyayangkan tokoh anak-anak yang menjadi korban dari yang lainnya. Kebanyakan cerita ini menceritakan tentang anak-anak baik secara utuh maupun sebagian, dan tentang anak-anak saya sungguh menggunakan perasaan dan ini memang tidak objektif tapi terserahlah. Tentang Ripin yang adalah anak dengan keinginan sederhana untuk membawa emaknya ke pasar malam demi melihat sang idola dari emaknya yang berakhir tragis. Ibu Pergi Ke Laut, sangat mengiris hati, Dinda mengirim surat untuk ibu di laut melalui sang hujan.Rumah Hujan, tentang Narpati bocah yang ditinggalkan oleh orang tuanya di rumah huan yang penuh misteri. Sementara untuk Caronang saya sungguh marah atas kematian Baby dan sungguh bersedih untuk nasib anak-anak di Anak-anak yang Berseragam Biru Laut,' Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin belajar menjadi manusia. Tetapi, kami tak sanggup berada di dunia yang dulu.' Dan Mata Mungil yang Menyimpan Dunia tak lagi bisa memandang dunia yang indah dengan cara yang sama akibat keserakahan orang dewasa. Cerpen-cerpen ini indah dengan sentuhan perasaan karena membawa sudut pandang anak-anak di sebagian besar ceritanya, walau jelas ini bukan kisah anak-anak. Tapi, berbeda dari sudut pandang orang lain yang membahas buku ini, saya menyukai buku ini karena hal tersebut. Ada banyak kisah menarik lainnya, seperti Nistagmus yang tentang seorang penulis obituari yang menadi korban dan saksi Tsunami, cerpen satire Piknik, dan saya berusaha menikmati Air juga Jejak yang Kekal, Mata Sultani, Sayap Kabut Sultan Ngamid, Sumur, Gerobak dan Malaikat Tanah Asal.
Published on February 28, 2015 21:38